acara 2 pengenalan hewan avertebrata dan vertebrata pada berbagai habitat
DESCRIPTION
Acara 2 Pengenalan Hewan Avertebrata Dan Vertebrata Pada Berbagai HabitatTRANSCRIPT
PENGENALAN HEWAN AVERTEBRATA DAN VERTEBRATA PADA BERBAGAI HABITAT
Oleh :
Nama : Hanifah Kholid BasalamahNIM : B1J011156Rombongan : IVKelompok : 2Asisten : Kukuh Riyan Maulana
LAPORAN PRAKTIKUM TAKSONOMI HEWAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hewan avertebrata pertama kali dikelompokkan berdasarkan banyaknya
sel penyusun tubuh. Hewan avertebrata bersel satu dikelompokkan ke dalam
hewan uniseluler, sedangkan yang tersusun dari banyak sel dikelompokkan ke
dalam hewan multiseluler. Hewan uniseluler atau Protozoa dibedakan atas cara
lokomosinya yaitu menggunakan silia, flagella, atau pseudopodia. Pembedaan
hewan yang lainnya dilakukan berdasarkan kesimetrian tubuhnya, yaitu simetri
radial atau bilateral, berdasarkan bentuk tubuh (bulat, memanjang, elips), ada
tidaknya insang segmen, cangkang, antenna, dan ciri pembeda lainnya (Soeseno,
1990).
Hewan avertebrata dari kelompok Protozoa, Cnidaria, Protostomata dan
Deuterostomata sebagian besar hidup di daerah perairan, walaupun ada yang
hidup di darat. Protozoa yang umum dapat ditemukan jika media air diberi bahan
pakan adalah Trichodina, Tetrahymena, Paramecium, Spirostomata, Stentor,
Euglena, Volvox, Phacus dan Vorticella. Classis Rotifera dari Pseudocelomata
cukup banyak yang hidup di perairan tawar, sebagai contoh Branchionus, Rotaria,
Keratella, Polyartha dan Fitinia (Soeseno, 1990). Mollusca terutama dari classis
Gastropoda memiliki anggota yang hidup di air tawar. Sebagai contih : Bellamya,
Pila, Brotia, Melanoides dan Lymnea. Disamping itu juga hidup di air tawar dari
anggota Classsis Pelecypoda, antara lain Contradens, Corbicula dan Anadonta
( Suhardi, 1983).
Hewan vertebrata sebagian besar memiliki habitat terestrial (Amfibia,
Reptilia, Aves dan Mamalia). Adapun yang aktivitasnya lebih banyak di habitat
akuatik antara lain adalah anggota dari Pisces, vertebrata semi-akuatik diantaranya
adalah anggota dari Amibia. Habitat aboreal antara lain adalah anggota Amfibia
(katak pohon) dan Aves (Jasin, 1989).
B. Tujuan
Tujuan praktikum acara pengenalan hewan avertebrata dan vertebrata di
berbagai habitat adalah untuk mengenali ciri-ciri yang tampak pada hewan
avertebrata dan vertebrata yang hidup di habitat terrestrial, semi-akuatik, akuatik,
dan aboreal serta mendeskripsikan ciri-ciri tempat hidup hewan avertebrata dan
vertebrata yang diamati.
II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Materi yang diamati adalah hewan avertebrata yang hidup di habitat
terrestrial, semi-akuatik, akuatik, dan aboreal (bekicot, capung, keong mas,
burung hantu, kalajengking dan ikan pari.
Alat yang digunakan yaitu bak preparat, pinset, jarum preparat, buku
gambar, dan alat tulis.
B. Metode
1. Mempersiapkan preparat yang akan diamati, minimal 2 jenis hewan
avertebrata dan vertebrata dari masing-masing habitat.
2. Menegenali dan mencatat tempat hidup hewan avertebrata dan vertebrata yang
diperoleh.
3. Mengenali dan menggambar hewan avertebrata dan vertebrata yang diamati
berdasarkan ciri-ciri morfologi spesifik yang dimiliki dan memberi keterangan
tempat hidupnya.
4. Preparat yang telah diamati selanjutnya diklasifikasikan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengelompokkan Hewan Avertebrata Dan Vertebrata berdasarkan habitat
Terestrial AkuatikSemi
AkuatikAboreal
Avertebrata
Achatina
fulica
Heteromethrus
sp.
Pomacea
canaliculataAnax junius
Vertebrata Himantura sp. Tyto alba
Tyto alba Himantura sp
Pomaceae canaliculata Anax junius
Achatina fulica Heteromethrus sp.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil bahwa setiap hewan baik
vertebrata maupun avertebrata mempunyai tempat hidupnya masing-masing.
Berdasarkan lingkungan hidupnya, tempat hidup organisme di bedakan menjadi
beberapa kelompok yaitu terestrial, akuatik, semi-akuatik, dan aboreal.
Lingkungan terrestrial yaitu lingkungan dimana hewan hidup di daratan atau
sebagian besar aktifitasnya di daratan. Lingkungan akuatik yaitu lingkungan
dimana hewan hidup di lingkungan perairan atau sebagian besar aktifitasnya
berada di perairan. Lingkungan semi-akuatik yaitu lingkungan dimana hewan
hidup pada dua lingkungan secara seimbang yaitu lingkungan akuatik dan
lingkungan semi akuatik. Lingkungan aboreal yaitu lingkungan dimana hewan
hidup sebagian besar di pepohonan.
Karakter ekologi merupakan karakter non struktural yang meliputi habitat,
inang, kebiasaan makan, variasi makanan, parasit maupun reaksi inang.
Sedangkan habitat yang dimaksud adalah tempat hidup dari suatu organisme atau
komunitas organisme. Di bumi ini, pada dasarnya dikenal dua tipe habitat daratan
dan perairan. Tetapi, karena suatu organisme adakalnya membutuhkan beberapa
macam habitat dan siklus hidupnya sehingga dikenal pula adanya habitat akuatik,
semi-akuatik, daratan (terestial) dan aboreal (Radiopoetro, 1991).
Perbedaan hewan vertebrata dan avertebrata adalah adanya rangka internal
yang tersusun atas tulang rawan dan tulang sejati. Vertebrata memiliki cranium
(wadah otak) yang membungkus dan melindungi otak, serabut-serabut saraf halus
bagian dorsal yang membesar di ujung anteriornya. Hewan avertebrata sebagian
besar sistem sirkulasinya terbuka, sedangkan pada vertebrata sirkulasinya tertutup
(Siwi, 1991). Hewan vertebrata merupakan hewan bertulang belakang dengan
struktur tubuh yang jauh lebih sempurna dibandingkan dengan hewan avertebrata.
Hewan vertebrata memiliki tali yang merupakan susunan tempat terkumpulnya
sel-sel saraf, dan memiliki perpanjangan kumpulan saraf dari otak. Sistem kerja
yang sempurna, sistem peredaran darah yang terpusat pada organ jantung dengan
pembuluh-pembuluh menjadi salurannya merupakan kemampuan hewan
vertebrata dalam pemenuhan kebutuhan (Jasin, 1989). Habitat adalah tempat
hidup suatu organisme atau komunitas organisme. Habitat juga merupakan tempat
hewan tinggal dan berkembang biak. Dasarnya, habitat adalah lingkungan fisik di
sekeliling populasi suatu spesies yang mempengaruhi dan dimanfaatkan oleh
spesies tersebut (Costello, 2009). Habitat hewan avertebrata dan vertebrata dapat
dikelompokkan menjadi hewan akuatik, semiakuatik, terrestrial dan arboreal.
Hewan akuatik merupakan hewan yang lebih banyak berada di air untuk aktivitas
hidupnya. Habitat ini hampir seluruhnya terdiri dari air, umumnya dengan lahan
kecil untuk berjemur atau beristirahat (Hickman, 1972). Pemahaman tentang
morfologi, karakter taksonomi dan habitat diperlukan guna mengungkap potensi
hewan tersebut. Studi taksonomi membutuhkan pemahaman aspek morfologi,
terutama yang terkait dengan karakter taksonomi (Hadiyanto, 2010).
Terestrial (terrestrial) berarti terkait dengan tanah atau permukaan tanah
(terra, tanah). Hewan terestrial adalah hewan-hewan yang biasa berkeliaran di
atas tanah, seperti harimau, biawak dan lain-lain. Tumbuhan terestrial adalah
tumbuhan yang hidup di permukaan tanah, seperti kebanyakan jenis tanaman serta
pohon. Semi akuatik merupakan habitat dimana aktivitas hewan dilakukan secara
seimbang antara di air dan di darat. Arboreal merupakan daerah untuk aktivitas
hewan yang lebih menyukai hidup diketinggian seperti pepohonanan (Siwi, 1991).
Dari hasil pengamatan hewan avertebrata yang hidup di habitat terestrial
adalah Achatina fulica (Bekicot), Heteromethrus sp. (Kalajengking). Avertebrata
yang hidup di habitat akuatik adalah Pomacea canaliculata (Keong mas), yang
hidup di habitat semi-akuatik adalah Anax junius (Capung). Sedangkan hewan
vertebrata yang hidup di habitat akuatik adalah Lacrymaria sp. (Ikan Pari), dan
yang hidup di habitat arboreal adalah Tyto alba (Burung Hantu).
1. Bekicot (Achatina fulica)
Klasifikasi bekicot adalah sebagai berikut (Beng, 1982) :
Kingdom : Animalia Species : Achatina fulica
Phylum : Mollusca
Classis : Gastropoda
Ordo : Pulmonata
Familia : Achatinidae
Genus : Achatina
Moluska adalah binatang yang berukuran relatif besar yang hidup pada
dasar perairan. Kebanyakan mererka tidak dijumpai sebagai plankton pada waktu
dewasa dan hanya menjadi plankton untuk sementara waktu ketika masih berupa
larva. Walaupun demikian, gastropoda yang merupakan salah satu hewan dari
group ini adalah plankton sejati yang bersifat pelagik. Kebanyakan mereka dapat
dikenal dari cangkang (shell) yang mengandung zat kapur (calcareous). Shell ini
kadang-kadang tidak dapat dijumpai pada beberapa spesies. Gastropoda
cenderung untuk mengerut dan melingkar di dalam awetan yang membuat mereka
sulit dikenal (Hutabarat, 1986).
Larva gastropoda mempunyai cangkang yang seperti agar-agar dan jernih
tetapi bentuknya kahas seperti cangkang siput. Binatangnya sendiri agak mengerut
berbentuk seperti garis hitam dalam cangkang ketika diawetkan. Cangkang (shell)
membentuk lingkaran yang berputar seperti arah jarum jam (dextral) dan terdapat
sebuah titik mata yang menyolok. Panjang larva ini berkisar antara 0,5-3 mm
(Hutabarat, 1986).
Bekicot adalah binatang malam. Semua kegiatannya dilakukan pada
malam hari. Siang hari digunakan sebagai waktu istirahat dan tidur. Makanan
pokoknya berupa sisa-sisa tumbuhan dan daun-daun lunak terutama daun muda.
Bekas gigitannya berbentuk lubang atau lekukan bergerigi kecil-kecil sesuai
dengna lidahnya yang bergerigi lembut (Beng, 1982).
Cangkok kerang ini terdiri dari dua belahan, sedangkan cangkok siput
berbentuk seperti kerucut yang melingkar. Perbedaan lainnya, kaki siput tipis dan
rata. Fungsinya adalah untuk berjalan dengan cara kontraksi otot. Lain halnya
dengan kerang yang mempunyai kaki seperti mata kapak yang dipergunakan
untuk berjalan di lumpur atau pasir. Sementara itu cumi-cumi dan sotong tidak
punya cangkok, kakinya terletak di bagian kepala yang berfungsi untuk
menangkap mangsa. Mollusca memiliki alat pencernaan sempurna mulai dari
mulut yang mempunyai radula (lidah parut) sampai dengan anus terbuka di
daerah rongga mantel. Di samping itu juga terdapat kelenjar pencernaan yang
sudah berkembang baik. Peredaran darah terbuka ini terjadi pada semua kelas
Mollusca kecuali kelas Cephalopoda (Beng, 1982).
Pernafasan dilakukan dengan menggunakan insang atau “paru-paru”,
mantel atau oleh bagian epidermis. Alat ekskresi berupa ginjal. Sistem saraf terdiri
atas tiga pasang ganglion yaitu ganglion cerebral, ganglion visceral dan ganglion
pedal yang ketiganya dihubungkan oleh tali-tali saraf longitudinal. Alat
reproduksi umumnya terpisah atau bersatu dan pembuahan internal atau eksternal.
Berdasarkan simetri tubuh, ciri kaki dan cangkoknya, Mollusca dibagi menjadi
lima kelas, yaitu kelas Gastropoda, Cephalopoda, Bivalvia atau Pelecypoda,
Amphineura dan kelas Scaphopoda (Jasin, 1989).
2. Kalajengking (Heterometrus sp.)
Menurut (Hutabarat, 1986) Klasifikasi dari kalajengking adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Ordo : Scorpiones
Genus : Heterometrus
Spesies : Heterometrus sp.
Kalajengking adalah sebuah arthropoda dengan delapan kaki, termasuk
dalam ordo Scorpiones dalam kelas Arachnida. Dalam kelas ini juga termasuk
laba-laba, harvestmen, mites, dan tick. Ada sekitar 2000 spesies kalajengking.
Mereka banyak ditemukan selatan dari 49° U, kecuali New Zealand dan
Antarctica. Tubuh kalajengking dibagi menjadi dua segmen: cephalothorax dan
abdomen. Abdomen terdiri dari mesosoma dan metasoma. Seluruh spesies
kalajengking memiliki bisa. Umumnya, bisa kalajengking termasuk sebagai
neurotoxin. Suatu pengecualian adalah Hemiscorpius lepturus yang memiliki
bisa cytotoxic. Neurotoxin terdiri dari protein kecil dan juga sodium dan
potassium, yang berguna untuk mengganggu transmisi neuro sang korban.
Kalajengking menggunakan bisanya untuk membunuh atau melumpuhkan mangsa
mereka agar mudah dimakan. Bisa kalajengking lebih berfungsi terhadap
arthropod lainnya dan kebanyakan kalajengking tidak berbahaya bagi manusia;
sengatan menghasilkan efek lokal (seperti rasa sakit, pembengkakan). Namun
beberapa spesies kalajengking, terutama dalam keluarga Buthidae dapat
berbahaya bagi manusia. Salah satu yang paling berbahaya adalah Leiurus
quinquestriatus, dan anggota dari genera Parabuthus, Tityus, Centruroides, dan
terutama Androctonus. Kalajengking yang paling banyak menyebabkan kematian
manusia adalah Androctonus australis (Hutabarat, 1986).
3. Burung Hantu (Tyto alba)
Menurut Anonymous (2008), klasifikasi Burung Hantu adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Strigiformes
Familia : Tytonidae
Genus : Tyto
Spesies : Tyto alba
Burung Hantu adalah kelompok burung yang merupakan anggota ordo
Strigiformes. Burung ini termasuk golongan burung buas (karnivora, pemakan
daging) dan merupakan hewan malam (nokturnal). Seluruhnya, terdapat sekitar
222 spesies yang telah diketahui, yang menyebar di seluruh dunia kecuali
Antartika, sebagian besar Greenland, dan beberapa pulau-pulau terpencil
(MacKinnon, 1993).
Di dunia barat, hewan ini dianggap simbol kebijaksanaan, tetapi di
beberapa tempat di Indonesia dianggap pembawa pratanda maut, maka namanya
Burung Hantu. Walau begitu tidak di semua tempat di Nusantara burung ini
disebut sebagai burung hantu. Di Jawa misalnya, nama burung ini adalah darès
atau manuk. Burung hantu amat dikenal karena matanya besar dan menghadap ke
depan, tak seperti umumnya jenis burung lain yang matanya menghadap ke
samping. Bersama paruh yang bengkok tajam seperti paruh elang dan susunan
bulu di kepala yang membentuk lingkaran wajah, tampilan ‘wajah’ burung hantu
ini demikian mengesankan dan terkadang menyeramkan. Apalagi leher burung ini
demikian lentur sehingga wajahnya dapat berputar 180 derajat ke belakang
(MacKinnon, 1993).
Umumnya burung hantu berbulu burik, kecoklatan atau abu-abu dengan
bercak-bercak hitam dan putih. Dipadukan dengan perilakunya yang kerap
mematung dan tidak banyak bergerak, menjadikan burung ini tidak mudah
kelihatan; begitu pun ketika tidur di siang hari di bawah lindungan daun-daun.
Ekor burung hantu umumnya pendek, namun sayapnya besar dan lebar. Rentang
sayapnya mencapai sekitar tiga kali panjang tubuhnya. Walau begitu tidak di
semua tempat di Nusantara burung ini disebut sebagai burung hantu (MacKinnon
et al., 2000).
Kebanyakan jenis burung hantu berburu di malam hari, meski sebagiannya
berburu ketika hari remang-remang di waktu subuh dan sore (krepuskular) dan
ada pula beberapa yang berburu di siang hari. Mata yang menghadap ke depan,
sehingga memungkinkan mengukur jarak dengan tepat; paruh yang kuat dan
tajam; kaki yang cekatan dan mampu mencengkeram dengan kuat; dan
kemampuan terbang tanpa berisik, merupakan modal dasar bagi kemampuan
berburu dalam gelapnya malam. Beberapa jenis bahkan dapat memperkirakan
jarak dan posisi mangsa dalam kegelapan total, hanya berdasarkan indera
pendengaran dibantu oleh bulu-bulu wajahnya untuk mengarahkan suara
(MacKinnon et al., 2000).
Burung hantu berburu aneka binatang seperti serangga, kodok, tikus, dan
lain-lain.Sarang terutama dibuat di lubang-lubang pohon, atau di antara pelepah
daun bangsa palem. Beberapa jenis juga kerap memanfaatkan ruang-ruang pada
bangunan, seperti di bawah atap atau lubang-lubang yang kosong. Bergantung
pada jenisnya, bertelur antara satu hingga empat butir, kebanyakan berwarna putih
atau putih berbercak. Ordo Strigiformes terdiri dari dua suku (familia), yakni suku
burung serak atau burung-hantu gudang (Tytonidae) dan suku burung hantu sejati
(Strigidae). Banyak dari jenis-jenis burung hantu ini yang merupakan jenis
endemik (menyebar terbatas di satu pulau atau satu region saja) di Indonesia,
terutama dari marga Tyto, Otus, dan Ninox (MacKinnon, 1993).
4. Ikan Pari (Himantura sp.)
Klasifikasi ikan pari menurut Wikipedia (2012),
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Chondrichthyes
Subclass : Elasmobranchii
Order : Myliobatiformes
Family : Dasyatidae
Genus : Himantura
Species : Himantura sp.
Ikan pari merupakan salah satu jenis ikan yang termasuk kelas
Elasmobranchii. Ikan ini dikenal sebagai ikan batoid, yaitu sekelompok ikan
bertulang rawan yang mempunyai ekor seperti cambuk. Ikan pari memiliki celah
insang yang terletak disisi ventral kepala. Sirip dada ikan ini melebar menyerupai
sayap, dengan sisi bagian depan bergabung dengan kepala. Bagian tubuh sangat
pipih sehingga memungkinkan untuk hidup di dasar laut. Bentuk ekor seperti
cambuk pada beberapa spesies dengan sebuah atau lebih duri tajam di bagian
ventral dan dorsal (Anonim, 2004).
Ikan pari (famili Dasyatidae) mempunyai variasi habitat yang sangat luas
dengan pola sebaran yang unik. Daerah sebaran ikan pari adalah perairan pantai
dan kadang masuk ke daerah pasang surut. Ikan pari biasa ditemukan di perairan
laut tropis. Di perairan tropis Asia Tenggara (Thailand; Indonesia; Papua Nugini)
dan Amerika Selatan (Sungai Amazon), sejumlah spesies ikan pari bermigrasi dari
perairan ( Anonymous, 2008).
5. Keong Emas (Pomaceae canaliculata)
Klasifikasi keong mas menurut Jasin (1989) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Classis : Gastropoda
Ordo : Architaenioglosa
Family : Ampullariidae
Genus : Pomaceae
Subgenus : Pomacea
Spesies : Pomaceae Canaliculata
Keong mas atau siput murbai merupakan hewan lunak (Mollusca) dari
kelas Gastropoda yang berarti berjalan dengan perut. Secara rinci klasifikasi
bekicot termasuk dalam divisio Mollusca, kelas Gastropoda, ordo Pulmonata,
famili Pomaceatidae, genus Pomacea, spesies Pomacea canaliculata Lamarck.
Siklus hidup yang pendek, keperidian tinggi dan toleransi yang luas terhadap
lingkungan membuat hewan ini mampu bereproduksi dengan cepat dan
kosmopolit. Selama ini keong emas dikenal sebagai hama tanaman padi. Padahal
keong emas ini memiliki kandungan gizi yang tak dapat disepelekan. Fertilitas
yang tinggi dipadu dengan siklus hidup yang pendek membuat hewan ini mampu
bereproduksi dengan cepat. Selain itu siput ini memiliki toleransi dan daya
adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya sedemikian
rupa sehingga mampu terdistribusi di seluruh wilayah tanah air (Jasin, 1989).
Siput murbai dapat hidup antara 2 sampai 6 tahun dengan keperidian
(fertilitas) yang tinggi. Rumah siput (cangkang) berwarna coklat muda, dagingnya
berwarna putih susu sampai merah keemasan atau oranye. Ukuran siput murbai
sangat tergantung pada ketersediaan makanan. Tutup rumah siput (operculum)
siput murbai betina) (a1) berwarna putih cekung dan yang jantan cembung (a2).
Stadia yang paling merusak ketika rumah siput berukuran 10 mm (kira kira
sebesar biji jagung) sampai 40 mm ( kira kira sebesar bola pingpong). Tepi mulut
rumah siput betina dewasa melengkung kedalam (b1), sedangkan tepi rumah siput
yang jantan melengkung keluar (Wikipedia, 2012).
Habitat keong mas yaitu dikolam, rawa, sawah, irigasi, saluran air, dan
areal yang selalu tergenang. Mereka mengubur diri dalam tanah yang lembab
selama musim kemarau. Mereka kemudian berdiapause selama 6 bulan, kemudian
aktif kembali jika tanah diairi. Mereka bisa bertahan hidup paadaa lingkungan
yang ganas seperti air yang terpolusi atau kurang kandungan oksigen (Wikipedia,
2012).
6. Capung (Anax junius)
Klasifikasi Capung ( Anax junius) menurut
Anonymous (2008) adalah :
Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta
Ordo : Odonata
Familia : Aeshnidae
Genus : Anax
Spesies : Anax junius
Seperti serangga pada umumnya, tubuh capung terdiri dari tiga
bagian. kepala dengan mata faset (mata majemuk), dada atau thorax dengan
empat sayap panjang yang tidak bisa dilipat dan dilengkapi tiga pasang kaki,
dan abdomen dengan sepuluh segmen. Memiliki dua pasang sayap tipis seperti
selaput. Mengalami metamorfosis tidak sempurna merupakan metamorphosis
yang melewati 2 tahapan yaitu dari telur menjadi nimfa kemudian menjadi hewan
dewasa. Biasanya metamorfosis ini terjadi pada serangga seperti capung, belalang,
jangkrik dan lainnya. Tipe mulut pada capung adalah menggigit (Anonymous,
2008).
Capung dan capung jarum menyebar luas, di hutan-hutan, kebun, sawah,
sungai dan danau, hingga ke pekarangan rumah dan lingkungan perkotaan.
Ditemukan mulai dari tepi pantai hingga ketinggian lebih dari 3.000 m dpl.
Beberapa jenisnya, umumnya jenis capung, merupakan penerbang yang kuat dan
luas wilayah jelajahnya. Beberapa jenis yang lain memiliki habitat yang spesifik
dan wilayah hidup yang sempit. Capung jarum biasanya terbang dengan lemah,
dan jarang menjelajah sampai jauh (Wikipedia, 2012).
Sebagian besar siklus hidup capung dihabiskan dalam bentuk nimfa, di
bawah permukaan air, dengan menggunakan insang internal untuk bernafas.
Tempayak dan nimfa capung hidup sebagai hewan karnivora yang ganas. Nimfa
capung yang berukuran besar bahkan dapat memburu dan memangsa berudu dan
anak ikan. Setelah dewasa, capung hanya mampu hidup maksimal selama empat
bulan (Anonim, 2004).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Hewan avertebrata yang hidup di habitat terestrial adalah Achatina fulica
(Bekicot), Heteromethrus sp. (Kalajengking). Avertebrata yang hidup akuatik
adalah Pomacea canaliculata (Keong mas), yang hidup semi akuatik Anax
junius (Capung).
2. Hewan vertebrata yang hidup di akuatik adalah Himantura sp. (Ikan Pari), dan
yang hidup arboreal adalah Tyto alba (Burung Hantu).
3. Habitat terrestrial adalah mayoritas berupa daratan, akuatik adalah habitat
lebih banyak perairan daripada daratan, semi akuatik adalah habitat dimana
hewan membagi waktu secara seimbang antara darat dan air, sedangkan
arboreal merupakan habitat dimana hewannya banyak berada dipepohonan.
B. Saran
1. Sebaiknya untuk praktikum pengenalan hewan avertebrata dan vertebrata
diberbagai habitat, spesimen yang disediakan jumlahnya diperbanyak supaya
praktikan tidak berebut dalam menggambar.
2. Sebaiknya dalam menggambar harus lebih cermat lagi agar tidak keliru dalam
mengelompokkan .
DAFTAR REFERENSI
Anonim. 2004. Anax junius. www.zipcodezoo.com. Diakses tanggal 30 Maret 2013.
Anonim. 2008. Capung. http://www.wikipedia. org. Diakses tanggal 30 Maret 2013.
Costello, MJ. 2009. Distinguishing Marine Habitat Classification Concept for Ecological Data Management. Mar Ecol Prog Ser Vol. 397: 253-268
Beng, A. A. 1982. Bekicot Budidaya dan Pemanfaatannya. PT Penebar Swadaya, Jakarta.
Hadiyanto. 2010. Biologi, Ekologi dan Peranan Suku Capitellidae Grube 1862 (Annelida: Polychaeta). LIPI, Jakarta. Oseana Vol XXXV Nomor 3 Tahun 2010: 29-38
Hickman, C. F. 1972. Biology of Animal. The C. V. Mosby Company, Saint Louis.
Hutabarat, S. 1986. Kunci Identifikasi Zooplankton. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Jasin, M. 1989. Sistematika Hewan. Sinar Jaya, Surabaya.
MacKinnon, J. 1993. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung Di Jawa Dan Bali. Gadjah Mada University Press, Jogyakarta.
MacKinnon, J., K. Phillipps, and B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP, Bogor.
Radiopoetro. 1977. Zoologi. Erlangga, Jakarta.
Siwi, S. S . 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius, Yogyakarta.
Soeseno, 1990. Burung Hias Aneka Jenis dan Perawatannya. Penebar Swadaya, Jakarta Suhardi, 1983. Evolusi Avertebrata. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Suhardi, 1983. Evolusi Avertebrata. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Wikipedia. 2010. http://wikipediaklasifikasi.org. Diakses tanggal 29 Maret
2013.