abstrak yogyasmara. p. ardhi, wayang kulit sebagai media

101
ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang), Skripsi. Jakarta : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Juni 2010. Pembimbing : D r. H. A. Ilyas Ismail, MA Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi moderen yang semakin pesat, seringkali kita mendengar tentang gejala dehumanisasi, adalah kemrosotan nilai- nilai kemanusiaan dan lain sebagainya. Dengan kemajuan-kemajuan yang di capai itu manusia kurang mampu mengendalikan diri, sehingga kehidupan manusia tidak seimbang baik kehidupan jasmani dan rohaninya. Dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa bahasa dan nilai-nilai dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang ?Bagaimana teknik penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang ? Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriftif dengan metode deskriptif anlisis. Penulis akan menggambarkan dan menguraikan secara factual apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini. Penulis berupaya untuk meghimpun, mengolah, dan menganalisa secara kulaitatif, dan diwujudkan dalam konsep. Sedangkan data yang penulis peroleh dengan cara, observasi, wawancara, study dokumentasi, Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil dari kebudayaan Mempunyai beberapa kelebihan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pertama, kebudayaan wayang kulit sudah mendarah daging pada masyarakat khusunya masyarakat jawa tengah. kedua, pementasan atau pertunjukan wayang kulit selalu menyampaikan nilai-nilai yang sedikit banyaknya akan membawa pengaruh bagi para penggemarnya. ketiga, media wayang kulit dalam pementasannya banyak mengandung falsafah kehidupan dan tata nilai yang luhur, pada masyarakat jawa khususnya yang berada di pringapus semarang yang masih menggunakan wayang kulit sebagait media dakwah.

Upload: haque

Post on 31-Dec-2016

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang), Skripsi. Jakarta : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Juni 2010. Pembimbing : Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA

Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi moderen yang semakin pesat, seringkali kita mendengar tentang gejala dehumanisasi, adalah kemrosotan nilai-nilai kemanusiaan dan lain sebagainya. Dengan kemajuan-kemajuan yang di capai itu manusia kurang mampu mengendalikan diri, sehingga kehidupan manusia tidak seimbang baik kehidupan jasmani dan rohaninya.

Dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa bahasa dan nilai-nilai dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang ?Bagaimana teknik penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang ?

Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriftif dengan metode deskriptif anlisis. Penulis akan menggambarkan dan menguraikan secara factual apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini. Penulis berupaya untuk meghimpun, mengolah, dan menganalisa secara kulaitatif, dan diwujudkan dalam konsep. Sedangkan data yang penulis peroleh dengan cara, observasi, wawancara, study dokumentasi,

Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil dari kebudayaan Mempunyai beberapa kelebihan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pertama, kebudayaan wayang kulit sudah mendarah daging pada masyarakat khusunya masyarakat jawa tengah. kedua, pementasan atau pertunjukan wayang kulit selalu menyampaikan nilai-nilai yang sedikit banyaknya akan membawa pengaruh bagi para penggemarnya. ketiga, media wayang kulit dalam pementasannya banyak mengandung falsafah kehidupan dan tata nilai yang luhur, pada masyarakat jawa khususnya yang berada di pringapus semarang yang masih menggunakan wayang kulit sebagait media dakwah.

Page 2: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

Lampiran-lampiran

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

DAKWAH

(Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki

Sudardi di Desa Pringapus Semarang)

59

Page 3: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH

(Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus

Semarang)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh :

Yogyasmara. P. Ardhi

NIM: 106051001901

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 / 1431 H

Page 4: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH

(Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Disusun Oleh:

Yogyasmara. P. Ardhi

NIM: 106051001901

Di Bawah Bimbingan:

Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA

NIP: 19630405 199403 1 001

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 / 1431 H

Page 5: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi ini berjudul WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH

(Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang) telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal

14 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I), Pada Jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta 22 Juni 2010

Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota

Dr. H. Arief Subhan, MA Dra. Hj. Musfirah Nurlaily,MA NIP : 19660110 199303 1 004 NIP : 19671126 199603 2 001

Anggota

Penguji I Penguji II DR. Hj. Roudhonah, MA Drs. M. Sungaidi, MA NIP : 19580910 198703 2 001 NIP : 19600803 199603 2 001

Pembimbing

Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA NIP: 19630405 199403 1 001

Page 6: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

LEMBAR PERNYATAAN

Assalamualaikum, Wr. Wb

Saya penulis skripsi ini dengan judul “WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

DAKWAH (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus

Semarang), dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini adalah benar-benar murni hasil karya penulis sendiri, tanpa

adanya duplikasi dari hasil karya orang lain.

2. Adapun apabila penulis mengutip tulisan dan karya ilmiah orang lain,

penulis telah menyantukan dalam bentu refrensi, baik footnote ataupun

daftar pustaka.

3. Apabila di kemudian hari terjadi hal-hal yang merugikan orang lain, atau

terbukti penulis menduplikasi karya orang lain, penulis siap menerima

konsekwensi dan saksi akademis yang berlaku di UIN Syarif Hiayatullah

Jakarta ini.

Demikian lembar pernyataan ini di buat, harap dipergunakan sebagaimana

mestinya. Terimakasih

Wassalamualaikum, Wr, Wb

Jakarta, 22 Juni 2010

Penulis,

Yogyasmara. P. Ardhi

Page 7: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadiran Dzat yang paling

agung Allah SWT, yang dengan Rahmat dan Rahiem-Nya lah penulis dapat

memulai dan menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta

salam semoga senantiasa terlimpah dan mencurahkan kepada junjungan alam

baginda Nabi Besar Muhammad SAW, keluargnya, serta kita umatnya yang setia

yang sampai hari pembalasan nanti. Amien

Dari lubuk hati yang paling terdalam, penulis sadar betul bahwa dibalik

keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini tidak lepas dari

bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Bapak DR. Arief Subhan,

MA, serta para pembantu Dekan I bapak Drs. Wahidin Saputra, MA,

pembantu Dekan II bapak Drs. H. Mahmud Jalal, MA, dan pembantu

Dekan III bapak Drs. Studi Rizal LK, MA.

3. Bapak Drs. Jumroni, M.Si dan Ibu Umi Musyarrofah, MA selaku ketua

dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas

Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. H. A. Ilyas Ismail, MA selaku pembimbing skripsi yang

telah banyak meluangkan waktu untuk membantu, mengarahkan,

membimbing, memberikan masukan, saran serta kritik yang

i

Page 8: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih atas bantuan

dan kesabaran bapak dalam memberikan bimbingan selama ini.

5. Bapak H. Sudardi, selaku dalang dalam perkumpulan seni wayang

kulit Smarangan, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan

data-data dalam pembuatan skripsi ini.

6. Pimpinan serta staf perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi

serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Segenap dosen Fakultas Imu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah ikhlas

memberikan ilmu dan pengetahuan selama peneliti melakukan riset,

terimakasih atas semua petunjuk atas bantuannya.

8. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Ketua Sidang, Dra. Hj.

Musfirah Nurlaily, MA selaku Sekertaris, Dr. Hj. Roudhonah, MA

selaku Penguji I, Drs. Sungaidi, MA selaku Penguji II, Dr. H. A. Ilyas

Ismail, MA selaku Pembimbing, di dalam Sidang Munaqosyah pada

hari Senin 14 Juni 2010.

9. Teristimewa untuk Bapak Muslimin dan Ibu Sri Purwati selaku orang

tuaku yang aku cintai, adik-adikku Wawan, dan si kembar Rina-Rini

yang aku sayangi, serta Amelia yang selalu di hatiku dan menemani ku

di saat senang ataupun susah, engkau motivasi dalam hidupku, serta

seluruh keluargaku yang aku hormati.

Dengan penuh ketulusan dan kekurangan yang penulis miliki, penulis

haturkan penghargaan dan bakti yang sedalam-delamnya, dan semoga

ii

Page 9: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

iii

Allah SWT senantiasa menaungi mereka semua dengan keselamatan,

rahmat, dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat. Amien

10. Teman-temanku KPI D angkatan 2006. bersama merekalah penulis

menimba ilmu di Universitas ini dengan segala duka maupun duka

yang kami tempuh, sukses untuk kita semua. Amien

11. Sahabat setiaku baik suka ataupun duka Robby Auliya, Syafrian Akbar

tanpa dukungan kalian aku tak tau jadi apa, terimakasih banyak. Kita

selalu berjuang bersama untuk cita-cita kita, sekali lagi terimakasih

hidup trio K.

12. Untuk teman-teman perjuangan yang juga tidak dapat kusebut

namanya satu persatu, baik di kampus ataupun di rumah. Terimakasih

untuk teman-teman yang selalu menyemangati dan memberi warna di

dalam hidupku ini.

Akhirnya , dengan mengharap ridho Allah swt, peneliti persembahkan

karya tulis ini pada almamater tercinta dan mereka yang konsen pada kajian

dakwah komunikasi. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan menjadi

penambah wacana keilmuan dakwah. Penulis mohon do’a dan restu, agar ilmu

yang diperoleh bermanfaat dan menuai keberkahan bagi kehidupan pribadi,

keluarga, masyarakat agama, serta bangsa dan Negara ini. Amin.

Jakarta, Juni 2010

Penulis

Page 10: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

1

Nomor : Istimewa Jakarta, 7 April 2010 Lampiran : 1 berkas Perihal : Pengajuan Judul Skripsi Kepada Yang Terhormat: Ketua Dewan Pertimbangan Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Di Tempat Assalamu’alaaikum Wr.Wb Salam sejahtera saya sampaikan, semoga bapak/ibu senantiasa dalam lindungan Allah SWT, serta selalu sukses dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Selanjutnya saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Yogyasmara. P. Ardhi NIM : 106051001901 Semester : VIII Fakultas/Jurusan : Dakwah dan Komunikasi/KPI Bermaksud mengajukan judul skripsi yang berjudul ”WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang)”, proposal skripsi selanjutnya diharapkan dapat diteruskan sebagai syarat mendapatkan gelar S.Sos.I dalam jenjang strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan ini saya lampirkan:

1. Outline 2. Proposal Skripsi 3. Daftar Pustaka Sementara

Demikian surat permohonan ini saya sampaikan, atas segala perhatian saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Mengetahui, Penasehat Akademik Pemohon Drs. H. Mahmud Djalal, MA Yogyasmara. P. Ardhi NIP: 150202342 NIM: 106051001901

Page 11: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

2

Outline Skripsi BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

D. Metodologi Penelitian

E. Sistematika Penelitian

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

A. Ruang Lingkup Dakwah

1. Pengertian Dakwah

2. Subjek dan Objek Dakwah

3. Metode Dakwah

4. Materi Dakwah

5. Tujuan Dakwah

B. Ruang Lingkup Wayang Kulit

1. Pengertian Wayang Kulit

2. Sejerah Perkembangan wayang kulit

3. Dalang Sebagai Juru Dakwah

BAB III : PROFIL DALANG KI SUDARDI DAN GAMBARAN UMUM DESA

PRINGAPUS SEMARANG

A. Sejarah Hidup Ki Sudardi

B. Pendidikan Ki Sudardi

1. Secara Formal

2. Secara Informal

C. Desa Pringapus Semarang

1. Sejarah Desa Pringapus Semarang

2. Kehidupan Sosial dan Budaya

BAB IV : HASIL TEMUAN DAN ANALISA DATA PENELITIAN

A. Bahasa Dakwah dalam Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi

B. Nilai-nilai Dakwah dalam Pementasan

C. Teknik Penyampaian pesan dalam Pementasan

Page 12: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

3

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

BAB I

Page 13: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

4

PENDAHULUAN

A..Latar Belakang Masalah

Sejarah adalah mata rantai kehidupan dan kita adalah bagian dari mata rantai

kehidupan tersebut. Hanya orang yang pandai menangkap semangat zaman, dialah yang

akan menjadi pelita kehidupan. Maka sudah sepatutnya setiap pribadi dari kita

memperhatikan waktu dan lingkungannya. Hari kemarin adalah pelajaran hari esok, hari

esok adalah harapan dan hari ini adalah kenyataan dan perjuangan untuk mewujudkan

harapan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memahami proses kesejarahan

bangsanya. Hal ini dapat dimengerti karena berbicara masalah sejarah tidak lepas dari

tiga dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi moderen yang semakin pesat,

seringkali kita mendengar tentang gejala dehumanisasi, adalah kemrosotan nilai-nilai

kemanusiaan dan lain sebagainya. Dengan kemajuan-kemajuan yang di capai itu manusia

kurang mampu mengendalikan diri, sehingga kehidupan manusia tidak seimbang baik

kehidupan jasmani dan rohaninya.

Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan dari da’i atau

pendakwah agar tercipta individu, keluarga, dan masyarakat yang menjadikan islam

sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan yang bahagia baik di dunia

maupun di akherat 1

Untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah seorang da’I harus mampu dalam

menggunakan berbagai media dalam melakukan dakwahnnya.

Dari berbagai macam media yang bisan digunakan untuk menyampaikan pesan-

pesan dakwah yang bersifat tradisioanal dan modern di antaranya ialah wayang kulit .

Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif untuk

menyampaikan pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya peninggalan leluhur

yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di masyarakat, seni pewayangan

sudah lama digunakan sebagai media penyampaian nilai-nilai luhur/moral, etika, dan

1 Rosidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina,2004), Cet. Ke-I, h.1

Page 14: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

5

religius. Dari zaman kedatangan Islam digunakan oleh para wali songo sebagai media

dakwah Islam di tanah Jawa.2

Di masa lalu para ulama dan para wali melakukan pendekatan yang sama dalam

menyiarkan agama islam, yaitu melalui media dakwah yang telah menjadi warisan

budaya tanah leluhur Indonesia.3 Sehingga proses akultrasi pribumi dengan budaya islam

berjalan begitu harmonis.

Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil dari kebudayaan

Mempunyai beberapa kelebihan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh

masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pertama, kebudayaan wayang kulit sudah

mendarah daging pada masyarakat khusunya masyarakat jawa tengah. kedua,

pementasan atau pertunjukan wayang kulit selalu menyampaikan nilai-nilai yang sedikit

banyaknya akan membawa pengaruh bagi para penggemarnya. ketiga, media wayang

kulit dalam pementasannya banyak mengandung falsafah kehidupan dan tata nilai yang

luhur, pada masyarakat jawa khususnya yang berada di pringapus semarang yang masih

menggunakan wayang kulit sebagait media dakwah.

Keberhasilan dakwah melalui wayang kulit tergantung pada beberapa variable.

Pertama, wujud wayang kulit merupakan kulit yang dibentuk hingga menyerupai sosok

yang mempunyai karakter, diantaranya baik, jahat, kaya, miskin, dll. Melalui variable

wayang kulit ini bisa menciptakan karakter yang islami diantarannya adalah karakter kyai

atau ulama4 Kedua, adalah cerita yang menggambarkan situasi kejadian dan pesan-pesan

yang ada dalam pementasan wayang kulit. Cerita dalam pewayangan juga berfungsi

sebagai media dakwah atau sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran keagaaman.5

Ketiga, adalah dalang, karena sosok dalang sesungguhnya bukan seorang dewa (juru

penerang yang serba bisa) tetapi juga bisa disebut pembawa kaca benggala (cermin besar)

yang berperan sebagai seorang budayawan, guru, kritikus, dan seorang juru bicara yang

2 Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, (Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991), Cet.Ke-I, h. 16 3 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-IV,

h.203 4 Sri Mulyono, Wayang; Asal Usuil Filsafat dan Masa Depannya (PT, Gunung Agung, 1976)

h.154 5 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistisme dalam Wayang (Jakarta: PT.Gunung Agung, 1979), Cet.

Ke-I, h. 77

Page 15: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

6

bisa mengartikilasi isi hati, alam pikiran dan alam rasa6 Ini merupakan variable sentral

terhadap keberhasilan pementasan wayang kulit, sehingga dapat menarik perhatian

masyarakat.

Salah satu pementasan wayang kulit yang berada di Pringapus Semarang, dalam

sejarahnya , sejah zaman dahulu wayang kulit bisa dikatakan media yang sampai

sekarang masih digaunakan dalam aktifitas berdakwah, masyarakat Pringapus Semarang

adalah masyarakat yang sederhana mereka adalah masyarakat yang agraris, hasil bumi

berupa beras, dan sayur-sayuran merupakan komiditas yang mereka andalkan untuk

pendapatan mereka sehari-hari. Tak bedanya dengan desa-desa lain dapat dikatakan

memiliki pertumbuhan yang cukup lambat di dalam pembangunan, keberhasilan wayang

kulit sebagai media dakwah di pringapus semarang masih dapat dirasakan yang terlihat

dari sikap dan tutur kata masyakat Pringapus Semarang.

Berdasarkan latar belakang maslah di atas maka penulis menusun skripsi dengan

judul ”WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi Pada Wayang Kulit

Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang)”B. Pembatasan Dan Perumusan

Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis hanya membatasi pembahasan

ini pada daerah pementasan wayang kulit pada masyarakat Pringapus Semarang saja

tanpa harus melebar luas ke topik pembahasan yang lain.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

a. Apa bahasa dan nilai-nilai dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki Sudardi

di desa Pringapus Semarang ?

b. Bagaimana teknik penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan wayang kulit

dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang.

6 Suwaji Bastomi, etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, (Semarang; Dahara Prize, 1993), Cet.ke-I

h.59

Page 16: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

a. Penulis ingin mengungkap lebih dalam tentang kiprah pementasan wayang kulit Ki

Sudardi sebagai media dakwah pada masyarakat Pringapus Semarang.

b. Penulis ingin mengetahui lebih dalam pandangan masyarakat terhadap wayang kulit Ki

Sudardi di Pringapus Semarang

c. kajian ini memberikan kontribusi bagi khazanah sejarah islam Indonesia. Untuk

menambah literatur kebudayaan yang berkaitan dengan sejarah Islam yang ada di

Indonesia.

d. Untuk memenuhi gelar sarjana pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi wacana keilmuan dakwah,

khususnya program dakwah melalui media seni seperti wayang kulit sebagai media

dakwah.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan baru bagi para aktivis dakwah, akademisi

serta masyarakat umum yang konsen pada perkembangan dakwah untuk menjadikan

seni budaya wayang kulit sebagai media dakwah.

c. Hasil penelitian ini menjadi acuan bagi masyarakat yang mencintai seni budaya

wayang kulit dan para budayawan agar dapat melestarikan bahkan mengemas seni

budaya tersebut sehingga lebih dirasakan manfaatnya khususnya dalam syiar Islam.

D. Metodologi Penelitian

Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriftif dengan

metode deskriptif anlisis. Penulis akan menggambarkan dan menguraikan secara factual

apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini. Bagdan dan Taylor dalam buku

penelitian kualitatif mendefinisikan “Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

Page 17: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

8

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau tulisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati”.7

Dean J. Champion dalam bukunya mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah

penelitian yang berfungsi untuk mendata atau mengelompokan sederet unsur yang terlihat

sebagai pembentukan suatu bidang persoalan yang ada.8

1. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah Ki Sudardi. Dan objek dari penelitian ini adalah

Pementasan Wayang Kulit di Pringapus Semarang.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan dimulai pada tanggal 10 April 2010

sampai 10 Juni 2010. Sedangkan tempat penelitian ini adalah Pringapus Semarang.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

a. Observasi, yaitu pengamatan langung terhadap pementasan wayang kulit di

Pringapus Semarang.

b. Wawancara, yakni suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan langsung kepada seorang narasumber dalam hal ini Ki Sudardi. Maksud

dari wawancara ini adalah untuk mengungkap riwayat hidup, aktifitas dan lain-lain,

terutama untuk melengkapi data, guna menjawab rumusan masalah yang peneliti

ajukan.

c. Study Dokumentasi, adalah merupakan tekhnik yang juga dilakukan dalam

mengumpulkan data berupa buku, majalah, makalah, ataupun literatur-literatur

lainnya. Peneulis akan mengumpulkan beberapa foto, video, dan gambar aplikasi

Dalang Ki Sudardi pada pementasan di Pringapus Semarang.

4. Tekhnik Analisa Data

Analisa data menurut Patton (1980), adalah proses mengatur uraian data.

Mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan suatu uraian dasar. Ia

7 Lexy. J. Moeleng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdya Karya, 1933)

cet. Ke- 1, h. 3 8 Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian, (Bandung: Refika Aditama, 1998) h. 6

Page 18: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

9

membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap

analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi

uraian.9

5. Tekhnik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengacu kepada buku “Pedoman Akademik

Fakultas Dakwah dan Komunikasi ( FDK)” yang diterbikan oleh Dakwah Press tahun

2006-2007.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, dengan perincian sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang memuat latar belakang, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat pnelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan teoritis, yang memuat ruang lingkup dakwah berupa, pengertian

dakwah, subjek dan objek dakwah, metode dakwah, materi dakwah, dan

tujuan dakwah. Ruang lingkup wayang kulit yaitu, pengertian wayang kulit

serta perkembangan wayang kulit, dan dalang sebagai juru dakwah.

BAB III : Mendeskripsikan mengenai profil dalang Ki Sudardi yang terdiri dari

riwayat hidup, pendidikan, pengalaman beliau serta aktifitas dalam

pementasan wayang kulit di Pringapus Semarang.

BAB IV : Dalam bab ini berisikan data penelitian dan analisa data penelitian,

menguraikan tentang kiprah pementasan wayang kulit oleh dalang Ki

Sudardi, serta pandangan masyarakat mengenai kiprah wayang kulit di

Pringapus Semerang.

BAB V : Penutup, memuat kesimpulan yang didasarkan pada uraian-uraian dan

bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya dan juga memuat saran-saran

serta dilengkapi dengan daftar pustaka.

9 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 103

Page 19: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

10

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Ruang Lingkup Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Kata dakwah berasal dari bahasa Arab (da’a) yang artinya menyeru, memanggil,

mengajak, dan menjamu. Dan yang kedua yaitu : (yad’u) yang artinya memannggil,

mendo’a dan memohon.10

Secara etimologi, kata dakwah sebagai bentuk mashdar dari kata da’a (fi’il madhi)

dan yad’u (fi’il mudhari’) yang artinya memanggil (to call), mengundang ( to invite), dll.

(Warson Munawir, 1994 : 439). Dakwah dalam pengertian ini dapat dijumpai dalam Al

Qur’an yaitu pada surat Yusuf : 33 dan Surat Yunus : 25.

Dalam Al Qur’an, dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39

kali dalam arti mengajak kepada Isalam dan kebaikan, 7 kali ditemukan dalam makna

mengajak kepada mereka dan kejahatan

Beberapa dari ayat tersebut adalah :

1. Mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran ( QS. Ali Imran :

104)

2. mengajak manusia kepada jalan Tuhan (QS an-Nahl : 125)

3. Mengajak manusia kepada agama Islam (QS as-Shaf : 7)

4. Mengajak manusia kepada jalan yang lurus (QS al-Mukminun : 73)

5. Memutuskan perkara dalam kehidupan umat manusia, kitabullah dan sunnaturrasul

(QS an-Nur : 48 dan 51, serta QS Ali Imran : 23)

6. Menggajak ke surga (QS al-Baqarah : 122)

Definisi dakwah di dalam Islam adalah sebagai kegiatan “mengajak, mendorong

dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah dan istiqomah

di jalanNya serta berjuang bersama meninggikan agama-Nya. Kata mengajak,

10 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 127

Page 20: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

11

memotivasi, dan mendorong adalah kegiatan dakwah dalam ruang lingkup tabligh. Kata

bashirah untuk menunjukkan dakwah itu harus dengan ilmu dan perencanaan yang baik.

Kalimat meniti jalan Allah untuk menunjukkan tujuan dakwah yaitu mardhatillah

(keridhoan Allah). Kalimat istiqamah di jalan-Nya untuk menunjukkan dakwah itu harus

berkesinambungan. Sedangkan kalimat berjuang bersama meninggikan agama Allah

untuk menunjukkan dakwah bukan untuk menciptakan kesalehan pribadi. Untuk

mewujudkan masyarakat yang saleh tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus

bersama-sama. (Muhammad Ali Aziz, 2004: 4).

Definisi di atas mencakup pengertian-pengertian sebagai berikut:

1. Dakwah adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau mengajak

kepada orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam.

2. Dakwah adalah suatu proses penyampaian ajaran Islam yang dilakukan secara sadar

dan sengaja.

3. Dakwah adalah suatu aktivitas yang pelaksanaannya bisa dilakukan dengan berbagai

cara atau metode.

4. Dakwah adalah kegiatan yang direncanakan dengan tujuan mencari kebahagiaan hidup

dunia dan akhirat dengan dasar keridhaan Allah.

5. Dakwah adalah usaha peningkatan pemahaman keagamaan yang mengubah

pandangan hidup, sikap batin dan prilaku umat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam

menjadi sesuai dengan tuntunan syari’at untuk memperoleh kebahagiaan hidup di

dunia dan akhirat.

Sedangkan secara istilah dakwah didefinisikan beragam. Hal ini tergantung dari

sudut mana para ahli ilmu dakwah dalam memberikan pengertian atau definisi dakwah itu

sendiri.

a. Menurut M. Quraish Shihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan

atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik

terhadap pribadi maupun masyarakat.11

11 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung Mizan. 1996), Cet ke-XIX, h. 194.

Page 21: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

12

b. Menurut Syekh Muhammad Abduh, ringkasnya dakwah adalah menyeru kepada

kebaikan, dan mencegah dari yang mungkar adalah fardlu yang diwajibkan kepada

setiap muslim. 12

c. Arifin, M. Ed. Mengatakan bahwa dakwah mengandung pengertian sebagai suatu

kegiatan ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang

dilakukan secara sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain secara

individual maupun kelompok, supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian,

kesadaran, sikap, penghayatan serta pengalaman terhadap ajaran agama sebagai pesan

yan disampaikan padanya tanpa unsur paksaan. 13

Jadi dakwah adalah suatu usaha atau proses yang diselenggarakan dengan sadar ,

terncana, dan usaha yang dilakukan adalah mengajak umat manusia ke jalan Allah,

memperbaiki situasi yang lebih baik. Usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencapai

tujuan tertentu, yakni agar manusia hidup dengan penuh kebahagiaan dunia akhirat tanpa

adanya unsur paksaan.

2. Subjek dan Objek Dakwah

Subjek dakwah (ulama, mubaligh, dan da’i), yaitu orang yang melaksanakan

tugas dakwah. Pelaksanaan tugas dakwah ini bisa perorangan atau kelompok manusia

yang memiliki nilai keteladanan yang baik (usawatun hasanah) dalam segala hal.14

Daerah Da’i adalah mulai dari masyarakat desa yang primitif hingga masyarakat

industri yang telah terpengaruh diktatornya pengaruh ekonomi raksasa dan teknologi ultra

modern dan merajalelanya individualisme. Da’i berbeda di tengah gejolak masyarakat

yang bergejolak. Dengan demikian dapat dikatakan behwa da’i adalah seorang yang

harus paham benar tentang kondisi masyarakat itu dari berbagai segi, psikologi, sosial,

budaya, etnis, ekonomi, politik, mahluk tuhan ahsani takwim.15

12 Sayyid. M. Nuh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islami,(Solo: Citra Islami Press,

1996), h.28 13 Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 54 14 Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah,(Bandung : CV. Pustaka Setia,

1997), cet. Ke-1, hal. 47 15 M. Syafaat Habin, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982), cet Ke-1, hal.106

Page 22: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

13

Muhammad Ghazali juga menegaskan dua syarat utama yang harus dimiliki oleh

seorang juru dakwah, yaitu: pengetahuan mendalam tentang Islam dan juru dakwah harus

memiliki jiwa kebenaran (ruh yang penuh dengan kebenaran, kegiatan, kesadaran,

kemajuan).16

Objek dakwah itu juga disebut mad’u, yaitu orang-orang yang diseru, dipanggil,

atau diundang. Berdasarkan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat bila dilihat

dalam aspek kehidupan psikologis, maka dalam pelaksanaan program kegiatan dakwah,

sasaran dakwahnya tarbagi menjadi:

a. Sasaran yang menyangkut kelempok masyarakat, dilihat dari segi sosiologis barupa

masyarakat yang terasing, pedesaan, kota besar dan kota kecil, serta masyarakat di

daerah marginal dari kota besar.

b. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat yang dilihat dari segi struktur

kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.

c. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masarakat dilihat dari segi sosial struktural

berupa golongan priayi, abangan dan santri. Klasifikasi terutama terdapat dalam

masyarakat di jawa.

d. Sasaran yang berhubunagn dengan golongan dilihat dari segi tingkat usia berupa

golongan anak-anak, remaja, dan orang tua.

e. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial

ekonomi berupa golongan orang kaya, menengah dan mkiskin.

f. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi okupasional (profesi

dan pekerjaan), berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri,

dan sebagainya.17

3. Metode Dakwah

Dalam melakukan suatu kegitan dakwah, diperlukan metode penyampaian yang

tepat agar tujuan dakwah tercapai. Metode dalam kegiatan dakwah adalah suatu cara

dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Metode dakwah adalah cara yang dipakai

da’i dalam menyebarkan agama Islam.

16 Ibid, h. 167 17 M. Arifin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), ed. Ke-2 cet. Ke-4, hal. 47

Page 23: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

14

Menurut Drs. Abdul Kadir Munsyi: Metode artinya cara untuk menyampaikan

sesuatu. Yang dinamakan metode dakwah ialah, cara yang dipakai atau yang digunakan

untuk memberikan dakwah. Metode ini penting untuk mengantarkan kepada tujuan yang

akan dicapai.18

Banyak ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan masalah dakwah namun dari

kesekian banyak ayat itu, yang dapat dijadikan sebagai acuan utama dalam prinsip

metode dakwah secara umum adalah surat an-Nahl ayat: 125, yaitu:

☺ ☺

☺ Artinya :

” serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang

baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang

lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan dialah yang mengetahui orang-

orang yang dapat petunjuk”.

Dari pernyataan Suray an-Nahl ayat 125 tersebut dapat dijelaskan bahwa seruan

dan ajakan menuju jalan Allah (din al-Islam) harus menggunakan metode-metode al-

hikmah, al-mauidzah, a-hasanah, dan mujadalah bi alati hiya ahsan.

4. Materi Dakwah

Menurut Asmuni Syukir dalam bukunya dasar-dasar stategi dakwah Islam.

Secara global materi materi dakwah dapat di klasifikasikan menjadi tiga hal pokok, yaitu:

18 Alwisral Imam Zaidallah, Starategi Dakwah dalam Membentuk Da’ dan Khotib Propesional,

(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 16

Page 24: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

15

a. Masalah Aqidah

Aqidah dalam islam bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup masalah-masalah

yang erat hubungannya dengan rukun Iman. Di bidang aqidah ini pembahasannya bukan

saja tertuju pada masalah-masalah yang wajib di’Imani, akan tetapi materi dakwah

meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai lawannya, misalnya Syirik

(menyekutukan adanya Tuhan), Ingkar dengan adanya Tuhan dan sebagainya.

b. Masalah Syari’Iyah

Syar’Iyah dalam Islam adalah berhubungan erat dengan amal lahir (nyata) dalam

rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah guna mengatur hubungan antara

manusia dengan tuhannya dan mengatur pergaulan hidup antar sesame manusia

c. Masalah Akhlaqul Karimah

masalah Akhlak dalam aktivitas dakwah (sebagai materi dakwah) merupakan pelengkap

saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman seseorang. Meskipun akhlak ini

berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti masalah akhlak kurang penting dibandingkan

dengan masalah keimanan, akan tetapi akhlak adalah sebagai penyempurna dan

keislaman.19

5. Tujuan Dakwah

Tujuan utama dakwah adalah terwujudnya kebahagian hidup dan kesejahteraan

hidup di dunia dan akhirat yang diridoi Allah SWT.

Syeikh Ali Mahfudz merumiskan, bahwa tujuan dakwah ada lima perkara, yaitu:

1. Menyiarkan tuntutan Islam, membetulkan aqidah, dan meluruskan amal perbuatan

manusia, terutama budi pekertinya.

2. Memindahkan hati dari keadaan yang jelek kepada kedaan yang baik.

3. Membentuk persaudaraan dan menguatkan tali persatuan diantara kaum muslimin.

4. Menolak faham atheisme dengan mengimbangi cara-cara mereka bekerja.

19Ibid, h.63

Page 25: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

16

5. Menolak syubha-syubhat, bid’ah dan khurafat atau kepercayaan yang tidak

bersumber dari agama dengan mendalami islam Ushuluddin.20

B. Ruang Lingkup Wayang Kulit

1. Pengertian Wayang Kulit

Pengertian wayang menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : “Boneka

tiruan yang dibuat dari kulit yang diukir, kayu yang dipahat, dan sebagainya yang dapat

dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan drama tradisional yang dimainkan

oleh seorang dalang.”21

Pengertian wayang adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat

bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah

Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang. Tapi akhirnya makna kata ini meluas

menjadi segala bentuk pertunjukan yang menggunakan dalang sebagai penuturnya

disebut wayang. Oleh karena itu terdapat wayang golek, wayang beber, dan lain-lain.

Pengecualian terhadap wayang orang yang tiap boneka wayang tersebut diperankan oleh

aktor dan aktris sehingga menyerupai pertunjukan drama.22

Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau

Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7

November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita

narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible

Heritage of Humanity).

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di

Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu.

Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-

tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga

dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di

20 Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dan Berdakwah di Indonesia. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) . Cet ke-1, h. 33-34

21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia.h, 1010 22 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung, 1976), h.

154

Page 26: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

17

balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan

lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi

lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat

memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-

tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

2. Sejarah Perkembangan Wayang kulit

WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling

menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran,

seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni

perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga

merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta

hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan

budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-

abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer

di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan

Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan

dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis

masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam

pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga

makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya

tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia

(tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak

ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu

menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel

(1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya

bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr.

Page 27: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

18

Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir.

Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang

kita kenal sekarang.23

Ada dua pendapat mengenai asal - usul wayang. Pertama, pendapat bahwa

wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat

ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga

merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang

termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat

kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang

Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk,

Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu,

nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan

bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa

bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding,

Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah

sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat

bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari

negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman

pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di

Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita

wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah

sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan

raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan

pujangga India, Walmiki.

Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan

Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali

23 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta:

Penerbit Djambatan, 1988), Cet, ke-1 h-24

Page 28: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

19

dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa

Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab

Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah

Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan

pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak

zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara

lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah

pertunjukan wayang.24

3. Dalang Sebagai Juru Dakwah

Dalam dunia pewayangan dalang merupakan unsur penting pada sebuah

pementasan, terlepas dari apa pun tema yang akan di pentaskan. Berkaitan dengan

kegiatan dakwah Islamiah, seorang dalang pun dapat di katagorikan sebagai juru dakwah

atau seorang Da’i melalui profesinya tersebut. Hal ini memungkinkan karena dalam

setiap pementasan sabuah pagelaran wayang seorang dalang sangat mungkin

menyampaikan pesan-pesan agamis dalam setiap lakon yang dipentaskan. Dahulu pada

saat awal-awalnya perkembangan Islam di Nusantara, para penyebar Islam khususnya

Walisongo yaitu Sunan Kali Jaga, juga telah menggunakan media wayang untuk

mendukung kegiatan dakwahnya, dan ternyata berhasil. Faktor-faktor yang

memungkinkan seorang dalang menjadi seorang juru dakwah di antaranya adalah :

a. Karakter dalang yang faham betul isi cerita setiap lakon pewayangan yang umumnya

mengandung tema kehidupan sosial. Apapun temanya, baik tentang kerajaan,

mahabrata, cerita hindu dan sebagainya, namun semua itu bisa dimasuki pesan-pesan

bernilai Islami tanpa harus merubah inti dan isi cerita secara keseluruhan atau

sebagian, dengan kecerdasan dan wawasann yang dimiliki, profesi seorang dalang

dapat dengan mudah untuk melakukannnya.

24 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung, 1976), h.

239-245

Page 29: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

20

b. Wayang merupakan kesenian tradisional yang masih banyak digemari, dan biasanya

dalang sangat dikagumi oleh para penggemarnya. Situasi ini dapat digunakan oleh

seorang dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bernilai Islami pada setiap

pementasannya, tentunya di selingi oleh humor-humor yang mendidik yang dapat

mempengaruhi para audiennya.

c. Tema wayang mengikuti zaman, sehingga dalang tidak akan ditinggalkan oleh

penggemarnya, sehingga ia akan terus berdakwah.

d. Dalang adalah Guru, Victoria M, Clara dalam bukunya Dalang di Balik Wayang

(1967) ”menyatakan bahwa dalang yang dahulu menganggap dirinya sendiri sebagai

guru masyarakat , sekarang justru menyebut dirinya sebagai seniman, sementara itu

kaum elit baru, berbeda dari kaum tradisional, justru sekarang tertarik pertama-tama

dan terutama terhadap peranan dalang sebagai guru, tulisnya.”25

25 Sigit Oerdianto, “Berdakwah Keliling Kota dengan Wayang Kulit, Suara Merdeka, senin 31 Oktober 2008

Page 30: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

21

Daftar Pustaka

Amir, Hazim, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991.

Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, 1997

Bastomi, Suwaji etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, Semarang; Dahara Prize, 1993.

Champion, Dean J., Metode dan Masalah Penelitian, Bandung: Refika Aditama, 1998.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia..

Habib, M. Syafaat, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982.

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dan Berdakwah di Indonesia.

Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.

Moeleng, Lexy. J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdya Karya,

1933.

Mulyono, Sri, Wayang; Asal Usuil Filsafat dan Masa Depannya PT, Gunung Agung,

1976.

--------------, Simbolisme dan Mistisme dalam Wayang Jakarta: PT.Gunung Agung, 1979.

Oerdianto, Sigit, “Berdakwah Keliling Kota dengan Wayang Kulit, Suara Merdeka, senin

31 Oktober 2008

Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah, Bandung : CV. Pustaka

Setia, 1997.

S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, Yogyakarta:

Penerbit Djambatan, 1988.

Page 31: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

22

Sayyid. M. Nuh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islami, Solo: Citra Islami

Press, 1996

Shihab, Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat Bandung Mizan. 1996.

Yatim , Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

Zaidallah, Alwisral Imam, Starategi Dakwah dalam Membentuk Da’ dan Khotib

Propesional, Jakarta: Kalam Mulia, 2002

Page 32: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...................................................................1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah.................................................6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................6

D. Metodologi Penelitian......................................................................7

E. Sistematika Penelitian......................................................................9

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG DAKWAH DAN

WAYANG KULIT

A. Ruang Lingkup Dakwah................................................................11

1. Pengertian Dakwah..................................................................11

2. Subjek dan Objek Dakwah.......................................................14

3. Metode Dakwah.......................................................................16

4. Materi Dakwah.........................................................................17

5. Tujuan Dakwah........................................................................18

B. Ruang Lingkup Wayang Kulit.......................................................18

1. Pengertian Wayang Kulit.........................................................18

2. Sejerah Perkembangan Wayang Kulit.....................................23

3. Dalang Sebagai Juru Dakwah..................................................26

iv

Page 33: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

v

BAB III GAMBARAN UMUM WAYANG, PROFIL DALANG KI

SUDARDI, DAN GAMBARAN UMUM DESA

PRINGAPUS SEMARANG

A. Gambaran Umum Wayang……………………………………....28

a. Pengertian Wayang…………………………………………..28

b. Jenis-jenis Wayang…………………………………………..28

B. Profil Dalang Ki Sudardi...............................................................31

a. Sejarah Hidup Ki Sudardi........................................................31

b. Pendidikan Ki Sudardi.............................................................33

C. Desa Pringapus Semarang..............................................................35

1. Sejarah Desa Pringapus Semarang...........................................35

2. Kehidupan Sosial dan Budaya.................................................37

BAB IV WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH

A. Bahasa Dakwah dalam Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki

Sudardi...........................................................................................38

B. Nilai-nilai Dakwah dalam Pementasan..........................................41

C. Teknik Penyampaian pesan dalam Pementasan.............................49

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................54

B. Saran...............................................................................................55

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................57

LAMPIRAN..........................................................................................................59

Page 34: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang

paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi

seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan

juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke

zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan,

pemahaman filsafat, serta hiburan.

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Jawa tak bisa

dilepaskan dari peran Walisongo sebagai ulama penyebar ajaran Islam. Yang

cukup menarik untuk disimak adalah bagaimana cara ulama yang sembilan itu

mengajarkan Islam. Masyarakat semasa itu sebagian besar memeluk Hindu.

Walisongo tak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan yang sejak lama menjadi

keyakinan masyarakat.

Salah satunya adalah metode yang digunakan oleh para Wali dengan

menggunakan media Wayang. Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara–

khususnya di Jawa-wayang telah menemukan bentuknya. Bentuk wayang pada

awalnya menyerupai relif yang bisa kita jumpai di candi-candi seperti di

Prambanan maupun Borobudur. Pagelaran wayang sangat digemari masyarakat.

Setiap pementasannya selalu dipenuhi penonton.1

1 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta:

Penerbit Djambatan, 1988), Cet, ke-1 h- 14

1

Page 35: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

2

Para wali melihat wayang bisa menjadi media penyebaran Islam yang

sangat bagus. Namun timbul perdebatan di antara para wali mengenai bentuk

wayang yang menyerupai manusia. Setelah berembuk, akhirnya mereka

menemukan kesepakatan untuk menggunakan wayang sebagai media dakwah

tetapi bentuknya harus diubah.

Bentuk baru pun tercipta. Wayang dibuat dari kulit kerbau dengan wajah

yang digambarkan miring, leher yang panjang, serta tangan yang dibuat

memanjang sampai ke kaki. Bentuk bagian-bagian wajah juga dibuat berbeda

dengan wajah manusia.

Tak hanya bentuknya, ada banyak sisipan-sisipan dalam cerita dan

pemaknaan wayang yang berisi ajaran-ajaran dan pesan moral Islam. Dalam lakon

Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini

adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia

dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima

mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran

tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan

sesama manusia.2

Cara dakwah yang diterapkan oleh para wali tersebut terbukti efektif.

Masyarakat menerima ajaran Islam tanpa ada pertentangan maupun penolakan.

Ajaran Islam tersebar hampir di seluruh tanah Jawa. Penganut Islam semakin hari

semakin bertambah, termasuk para penguasa-penguasanya.

Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara

resmi kerajaan, masyarakat secara umum pun sering menggelarnya. Karena

2 Bastomi, Suwaji etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, (Semarang; Dahara Prize, 1993), h. 26.

Page 36: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

3

banyak ajaran moral dan kebaikan dalam setiap lakonnya, wayang tak hanya

dianggap sebagai tontonan saja, tetapi juga tuntunan.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi moderen yang semakin pesat,

seringkali kita mendengar tentang gejala dehumanisasi, adalah kemrosotan nilai-

nilai kemanusiaan dan lain sebagainya. Dengan kemajuan-kemajuan yang di capai

itu manusia kurang mampu mengendalikan diri, sehingga kehidupan manusia

tidak seimbang baik kehidupan jasmani dan rohaninya.

Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan dari da’i

atau pendakwah agar tercipta individu, keluarga, dan masyarakat yang menjadikan

islam sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan yang bahagia baik

di dunia maupun di akhirat 3

Untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah seorang da’i harus mampu

dalam menggunakan berbagai media dalam melakukan dakwahnnya.

Dari berbagai macam media yang bisan digunakan untuk menyampaikan

pesan-pesan dakwah yang bersifat tradisioanal dan modern di antaranya ialah

wayang kulit . Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif

untuk menyampaikan pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya

peninggalan leluhur yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di

masyarakat, seni pewayangan sudah lama digunakan sebagai media penyampaian

nilai-nilai luhur/moral, etika, dan religius. Dari zaman kedatangan Islam

digunakan oleh para wali songo sebagai media dakwah Islam di tanah Jawa.4

Di masa lalu para ulama dan para wali melakukan pendekatan yang sama

dalam menyiarkan agama Islam, yaitu melalui media dakwah yang telah menjadi

3 Rosidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina,2004), Cet. Ke-I, h.1 4 Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, (Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991), Cet.Ke-I,

h. 16

Page 37: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

4

warisan budaya tanah leluhur Indonesia.5 Sehingga proses akultrasi pribumi

dengan budaya islam berjalan begitu harmonis.

Pendekatan dakwah melalui media wayang kulit sebagai hasil dari

kebudayaan Mempunyai beberapa kelebihan yang langsung bisa dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini. Pertama, kebudayaan

wayang kulit sudah mendarah daging pada masyarakat khusunya masyarakat jawa

tengah. kedua, pementasan atau pertunjukan wayang kulit selalu menyampaikan

nilai-nilai yang sedikit banyaknya akan membawa pengaruh bagi para

penggemarnya. ketiga, media wayang kulit dalam pementasannya banyak

mengandung falsafah kehidupan dan tata nilai yang luhur, pada masyarakat jawa

khususnya yang berada di pringapus semarang yang masih menggunakan wayang

kulit sebagait media dakwah.

Keberhasilan dakwah melalui wayang kulit tergantung pada beberapa

variable. Pertama, wujud wayang kulit merupakan kulit yang dibentuk hingga

menyerupai sosok yang mempunyai karakter, diantaranya baik, jahat, kaya,

miskin, dll. Melalui variable wayang kulit ini bisa menciptakan karakter yang

Islami diantarannya adalah karakter kyai atau ulama6 Kedua, adalah cerita yang

menggambarkan situasi kejadian dan pesan-pesan yang ada dalam pementasan

wayang kulit. Cerita dalam pewayangan juga berfungsi sebagai media dakwah

atau sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran keagaaman.7 Ketiga, adalah

dalang, karena sosok dalang sesungguhnya bukan seorang dewa (juru penerang

5 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.

Ke-IV, h.203 6 Sri Mulyono, Wayang; Asal Usuil Filsafat dan Masa Depannya (PT, Gunung Agung,

1976) h.154 7 Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistisme dalam Wayang (Jakarta: PT.Gunung Agung,

1979), Cet. Ke-I, h. 77

Page 38: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

5

yang serba bisa) tetapi juga bisa disebut pembawa kaca benggala (cermin besar)

yang berperan sebagai seorang budayawan, guru, kritikus, dan seorang juru bicara

yang bisa mengartikilasi isi hati, alam pikiran dan alam rasa8 Ini merupakan

variable sentral terhadap keberhasilan pementasan wayang kulit, sehingga dapat

menarik perhatian masyarakat.

Salah satu pementasan wayang kulit yang berada di Pringapus Semarang,

dalam sejarahnya , sejah zaman dahulu wayang kulit bisa dikatakan media yang

sampai sekarang masih digaunakan dalam aktifitas berdakwah, masyarakat

Pringapus Semarang adalah masyarakat yang sederhana mereka adalah

masyarakat yang agraris, hasil bumi berupa beras, dan sayur-sayuran merupakan

komiditas yang mereka andalkan untuk pendapatan mereka sehari-hari. Tak

bedanya dengan desa-desa lain dapat dikatakan memiliki pertumbuhan yang

cukup lambat di dalam pembangunan, keberhasilan wayang kulit sebagai media

dakwah di pringapus semarang masih dapat dirasakan yang terlihat dari sikap dan

tutur kata masyakat Pringapus Semarang.

Berdasarkan latar belakang maslah di atas maka penulis menusun skripsi

dengan judul berjudul ”WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH (Studi

Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang)”.

8 Suwaji Bastomi, etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, (Semarang; Dahara Prize, 1993),

Cet.ke-I h.59

Page 39: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

6

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis hanya membatasi

pembahasan ini pada daerah pementasan wayang kulit pada masyarakat Pringapus

Semarang saja tanpa harus melebar luas ke topik pembahasan yang lain.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

a. Apa bahasa dan nilai-nilai dakwah dalam pementasan wayang kulit dalang Ki

Sudardi di desa Pringapus Semarang ?

b. Bagaimana teknik penyampaian pesan-pesan dakwah dalam pementasan

wayang kulit dalang Ki Sudardi di desa Pringapus Semarang ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk :

a. Penulis ingin mengungkap lebih dalam tentang pementasan wayang kulit Ki

Sudardi sebagai media dakwah pada masyarakat Pringapus Semarang.

b. Penulis ingin mengetahui lebih dalam pandangan masyarakat terhadap wayang

kulit Ki Sudardi di Pringapus Semarang

c. Kajian ini memberikan kontribusi bagi khazanah sejarah islam Indonesia.

Untuk menjadikan Akultrasi, Rekomendasi, serta sebagai media Praktis, dan

Page 40: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

7

menambah literatur kebudayaan yang berkaitan dengan sejarah Islam yang ada

di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi wacana keilmuan

dakwah, khususnya program dakwah melalui media seni seperti wayang kulit

sebagai media dakwah.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan baru bagi para aktivis dakwah,

akademisi serta masyarakat umum yang konsen pada perkembangan dakwah

untuk menjadikan seni budaya wayang kulit sebagai media dakwah.

c. Hasil penelitian ini menjadi acuan bagi masyarakat yang mencintai seni

budaya wayang kulit dan para budayawan agar dapat melestarikan bahkan

mengemas seni budaya tersebut sehingga lebih dirasakan manfaatnya

khususnya dalam syiar Islam.

D. Metodologi Penelitian

Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif diskriftif

dengan metode deskriptif anlisis. Penulis akan menggambarkan dan menguraikan

secara factual apa yang dilihat dan ditemukan dari objek penelitian ini. Bagdan

dan Taylor dalam buku penelitian kualitatif mendefinisikan “Metode kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.9

9 Lexy. J. Moeleng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdya Karya,

1933) cet. Ke- 1, h. 3

Page 41: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

8

Dean J. Champion dalam bukunya mengatakan bahwa penelitian kualitatif

adalah penelitian yang berfungsi untuk mendata atau mengelompokan sederet

unsur yang terlihat sebagai pembentukan suatu bidang persoalan yang ada.10

1. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah Ki Sudardi. Dan objek dari penelitian ini

adalah Pementasan Wayang Kulit di Pringapus Semarang.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan dimulai pada tanggal 10 April

2010 sampai 10 Juni 2010. Sedangkan tempat penelitian ini adalah Pringapus

Semarang.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

a. Observasi, yaitu pengamatan langung terhadap pementasan wayang kulit di

Pringapus Semarang.

b. Wawancara, yakni suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan langsung kepada seorang narasumber dalam hal ini Ki Sudardi.

Maksud dari wawancara ini adalah untuk mengungkap riwayat hidup, aktifitas

dan lain-lain, terutama untuk melengkapi data, guna menjawab rumusan

masalah yang peneliti ajukan.

c. Study Dokumentasi, adalah merupakan tekhnik yang juga dilakukan dalam

mengumpulkan data berupa buku, majalah, makalah, ataupun literatur-literatur

lainnya. Peneulis akan mengumpulkan beberapa foto, video, dan gambar

aplikasi Dalang Ki Sudardi pada pementasan di Pringapus Semarang.

10 Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian, (Bandung: Refika Aditama, 1998)

h. 6

Page 42: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

9

4. Tekhnik Analisa Data

Analisa data menurut Patton (1980), adalah proses mengatur uraian data.

Mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan suatu uraian dasar. Ia

membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan

terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara

dimensi-dimensi uraian.11

5. Tekhnik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengacu kepada buku “Pedoman

Akademik Fakultas Dakwah dan Komunikasi ( FDK)” yang diterbikan oleh

Dakwah Press tahun 2006-2007.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, dengan perincian sebagai

berikut:

BAB I : Pendahuluan yang memuat latar belakang, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat pnelitian serta sistematika

penulisan.

BAB II : Tinjauan teoritis, yang memuat ruang lingkup dakwah berupa,

pengertian dakwah, subjek dan objek dakwah, metode dakwah,

materi dakwah, dan tujuan dakwah. Ruang lingkup wayang kulit yaitu,

pengertian wayang kulit serta perkembangan wayang kulit, dan dalang

sebagai juru dakwah.

11 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bnadung : PT. Remaja Rosdya Karya,

Cet. Ke-10, h. 103

Page 43: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

10

BAB III : Meneskripsikan mengenai profil dalang Ki Sudardi yang terdiri dari

riwayat hidup, pendidikan, pengalaman beliau serta aktifitas dalam

pementasan wayang kulit di Pringapus Semarang.

BAB IV : Dalam bab ini berisikan data penelitian dan analisa data penelitian,

menguraikan tentang kiprah pementasan wayang kulit oleh dalang Ki

Sudardi, serta pandangan masyarakat mengenai kiprah wayang kulit di

Pringapus Semerang.

BAB V : Penutup, memuat kesimpulan yang didasarkan pada uraian-uraian dan

bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya dan juga memuat saran-

saran serta dilengkapi dengan daftar pustaka.

Page 44: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

11

11

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Ruang Lingkup Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Kata dakwah berasal dari bahasa Arab (da’a) yang artinya menyeru,

memanggil, mengajak, dan menjamu. Kedua yaitu : (yad’u) yang artinya

memannggil, mendo’a dan memohon.1

Secara etimologi, kata dakwah sebagai bentuk mashdar dari kata da’a

(fi’il madhi) dan yad’u (fi’il mudhari’) yang artinya memanggil (to call),

mengundang (to invite), dll. (Warson Munawir, 1994 : 439). Dakwah dalam

pengertian ini dapat dijumpai dalam Al Qur’an yaitu pada surat Yusuf : 33 dan

Surat Yunus : 25.

Dalam Al Qur’an, dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46

kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Isalam dan kebaikan, 7 kali ditemukan

dalam makna mengajak kepada mereka dan kejahatan

Beberapa dari ayat tersebut adalah :

1. Mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran ( QS. Ali

Imran : 104)

2. Mengajak manusia kepada jalan Tuhan (QS an-Nahl : 125)

3. Mengajak manusia kepada agama Islam (QS as-Shaf : 7)

4. Mengajak manusia kepada jalan yang lurus (QS al-Mukminun : 73)

1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 127

Page 45: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

12

5. Memutuskan perkara dalam kehidupan umat manusia, kitabullah dan

sunnaturrasul (QS an-Nur : 48 dan 51, serta QS Ali Imran : 23)

6. Menggajak ke surga (QS al-Baqarah : 122)

Definisi dakwah di dalam Islam adalah sebagai kegiatan “mengajak,

mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan

Allah dan istiqomah di jalanNya serta berjuang bersama meninggikan agama-

Nya. Kata mengajak, memotivasi, dan mendorong adalah kegiatan dakwah dalam

ruang lingkup tabligh. Kata bashirah untuk menunjukkan dakwah itu harus

dengan ilmu dan perencanaan yang baik. Kalimat meniti jalan Allah untuk

menunjukkan tujuan dakwah yaitu mardhatillah (keridhoan Allah). Kalimat

istiqamah di jalan-Nya untuk menunjukkan dakwah itu harus berkesinambungan.

Sedangkan kalimat berjuang bersama meninggikan agama Allah untuk

menunjukkan dakwah bukan untuk menciptakan kesalehan pribadi. Untuk

mewujudkan masyarakat yang saleh tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi

harus bersama-sama.

Definisi di atas mencakup pengertian-pengertian sebagai berikut:

1. Dakwah adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau

mengajak kepada orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam.

2. Dakwah adalah suatu proses penyampaian ajaran Islam yang dilakukan

secara sadar dan sengaja.

3. Dakwah adalah suatu aktivitas yang pelaksanaannya bisa dilakukan dengan

berbagai cara atau metode.

4. Dakwah adalah kegiatan yang direncanakan dengan tujuan mencari

kebahagiaan hidup dunia dan akhirat dengan dasar keridhaan Allah.

Page 46: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

13

5. Dakwah adalah usaha peningkatan pemahaman keagamaan yang mengubah

pandangan hidup, sikap batin dan prilaku umat yang tidak sesuai dengan

ajaran Islam menjadi sesuai dengan tuntunan syari’at untuk memperoleh

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Sedangkan secara istilah dakwah didefinisikan beragam. Hal ini

tergantung dari sudut mana para ahli ilmu dakwah dalam memberikan pengertian

atau definisi dakwah itu sendiri.

a. Menurut M. Quraish Shihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada

keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan

sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.2

b. Menurut Syekh Muhammad Abduh, ringkasnya dakwah adalah menyeru

kepada kebaikan, dan mencegah dari yang mungkar adalah fardlu yang

diwajibkan kepada setiap muslim. 3

c. Arifin, M. Ed. Mengatakan bahwa dakwah mengandung pengertian sebagai

suatu kegiatan ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan

sebagainya yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam usaha

mempengaruhi orang lain secara individual maupun kelompok, supaya timbul

dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan serta

pengalaman terhadap ajaran agama sebagai pesan yan disampaikan padanya

tanpa unsur paksaan. 4

2 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung Mizan. 1996), Cet ke-XIX, h. 194. 3 Sayyid. M. Nuh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islami,(Solo: Citra Islami

Press, 1996), h.28 4 Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 54

Page 47: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

14

Jadi dakwah adalah suatu usaha atau proses yang diselenggarakan dengan

sadar, terencana, dan usaha yang dilakukan adalah mengajak umat manusia ke

jalan Allah, memperbaiki situasi yang lebih baik. Usaha tersebut dilakukan dalam

rangka mencapai tujuan tertentu, yakni agar manusia hidup dengan penuh

kebahagiaan dunia akhirat tanpa adanya unsur paksaan.

2. Subjek dan Objek Dakwah

Subjek dakwah (ulama, mubaligh, dan da’i), yaitu orang yang

melaksanakan tugas dakwah. Pelaksanaan tugas dakwah ini bisa perorangan atau

kelompok manusia yang memiliki nilai keteladanan yang baik (usawatun

hasanah) dalam segala hal.5

Daerah Da’i adalah mulai dari masyarakat desa yang primitif hingga

masyarakat industri yang telah terpengaruh diktatornya pengaruh ekonomi

raksasa dan teknologi ultra modern dan merajalelanya individualisme. Da’i

berbeda di tengah gejolak masyarakat yang bergejolak. Dengan demikian dapat

dikatakan behwa da’i adalah seorang yang harus paham benar tentang kondisi

masyarakat itu dari berbagai segi, psikologi, sosial, budaya, etnis, ekonomi,

politik, mahluk tuhan ahsani takwim.6

Muhammad Ghazali juga menegaskan dua syarat utama yang harus

dimiliki oleh seorang juru dakwah, yaitu: pengetahuan mendalam tentang Islam

dan juru dakwah harus memiliki jiwa kebenaran (ruh yang penuh dengan

kebenaran, kegiatan, kesadaran, kemajuan).7

5 Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah,(Bandung : CV. Pustaka

Setia, 1997), cet. Ke-1, hal. 47 6 M. Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982), cet Ke-1, hal.106

Page 48: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

15

Objek dakwah itu juga disebut mad’u, yaitu orang-orang yang diseru,

dipanggil, atau diundang. Berdasarkan kenyataan yang berkembang dalam

masyarakat bila dilihat dalam aspek kehidupan psikologis, maka dalam

pelaksanaan program kegiatan dakwah, sasaran dakwahnya tarbagi menjadi:

a. Sasaran yang menyangkut kelempok masyarakat, dilihat dari segi sosiologis

barupa masyarakat yang terasing, pedesaan, kota besar dan kota kecil, serta

masyarakat di daerah marginal dari kota besar.

b. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat yang dilihat dari segi

struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.

c. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masarakat dilihat dari segi sosial

struktural berupa golongan priayi, abangan dan santri. Klasifikasi terutama

terdapat dalam masyarakat di jawa.

d. Sasaran yang berhubunagn dengan golongan dilihat dari segi tingkat usia

berupa golongan anak-anak, remaja, dan orang tua.

e. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat

hidup sosial ekonomi berupa golongan orang kaya, menengah dan mkiskin.

f. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi okupasional

(profesi dan pekerjaan), berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh,

pegawai negeri, dan sebagainya.8

7 Ibid, h. 167 8 M. Arifin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), ed. Ke-2 cet. Ke-4, hal. 47

Page 49: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

16

3. Metode Dakwah

Dalam melakukan suatu kegitan dakwah, diperlukan metode penyampaian

yang tepat agar tujuan dakwah tercapai. Metode dalam kegiatan dakwah adalah

suatu cara dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Metode dakwah adalah

cara yang dipakai da’i dalam menyebarkan agama Islam.

Menurut Drs. Abdul Kadir Munsyi: Metode artinya cara untuk

menyampaikan sesuatu. Yang dinamakan metode dakwah ialah, cara yang

dipakai atau yang digunakan untuk memberikan dakwah. Metode ini penting

untuk mengantarkan kepada tujuan yang akan dicapai.9

Banyak ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan masalah dakwah namun

dari kesekian banyak ayat itu, yang dapat dijadikan sebagai acuan utama dalam

prinsip metode dakwah secara umum adalah surat an-Nahl ayat: 125, yaitu:

ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي

هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين

Artinya :

” serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan dialah yang mengetahui orang-orang yang dapat petunjuk”.

Dari pernyataan Surat an-Nahl ayat 125 tersebut dapat dijelaskan bahwa

seruan dan ajakan menuju jalan Allah (din al-Islam) harus menggunakan metode-

metode al-hikmah, al-mauidzah, a-hasanah, dan mujadalah bi alati hiya ahsan.

9 Alwisral Imam Zaidallah, Starategi Dakwah dalam Membentuk Da’I dan Khotib

Propesional, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 16

Page 50: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

17

4. Materi Dakwah

Menurut Asmuni Syukir dalam bukunya dasar-dasar stategi dakwah

Islam. Secara global materi materi dakwah dapat di klasifikasikan menjadi tiga

hal pokok, yaitu:

a. Masalah Aqidah

Aqidah dalam islam bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup masalah-

masalah yang erat hubungannya dengan rukun Iman. Di bidang aqidah ini

pembahasannya bukan saja tertuju pada masalah-masalah yang wajib di’Imani,

akan tetapi materi dakwah meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai

lawannya, misalnya Syirik (menyekutukan adanya Tuhan), Ingkar dengan adanya

Tuhan dan sebagainya.

b. Masalah Syari’ah

Syar’Iyah dalam Islam adalah berhubungan erat dengan amal lahir (nyata)

dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah guna mengatur

hubungan antara manusia dengan tuhannya dan mengatur pergaulan hidup antar

sesame manusia

c. Masalah Akhlaqul Karimah

masalah Akhlak dalam aktivitas dakwah (sebagai materi dakwah)

merupakan pelengkap saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman

seseorang. Meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti

masalah akhlak kurang penting dibandingkan dengan masalah keimanan, akan

tetapi akhlak adalah sebagai penyempurna dan keislaman.10

10Ibid, h.63

Page 51: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

18

5. Tujuan Dakwah

Tujuan utama dakwah adalah terwujudnya kebahagian hidup dan

kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang diridoi Allah SWT.

Syeikh Ali Mahfudz merumiskan, bahwa tujuan dakwah ada lima perkara,

yaitu:

1. Menyiarkan tuntutan Islam, membetulkan aqidah, dan meluruskan amal

perbuatan manusia, terutama budi pekertinya.

2. Memindahkan hati dari keadaan yang jelek kepada kedaan yang baik.

3. Membentuk persaudaraan dan menguatkan tali persatuan diantara kaum

muslimin.

4. Menolak faham atheisme dengan mengimbangi cara-cara mereka bekerja.

5. Menolak syubha-syubhat, bid’ah dan khurafat atau kepercayaan yang tidak

bersumber dari agama dengan mendalami islam Ushuluddin.11

B. Ruang Lingkup Wayang Kulit

1. Pengertian Wayang Kulit

Pengertian wayang menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :

“Boneka tiruan yang dibuat dari kulit yang diukir, kayu yang dipahat, dan

sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan

drama tradisional yang dimainkan oleh seorang dalang.”12

Pengertian wayang adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat

bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya

adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang. Tapi akhirnya makna kata

11 Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dan Berdakwah di Indonesia. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) . Cet ke-1, h. 33-34

12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia.h, 1010

Page 52: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

19

ini meluas menjadi segala bentuk pertunjukan yang menggunakan dalang sebagai

penuturnya disebut wayang. Oleh karena itu terdapat wayang golek, wayang

beber, dan lain-lain. Pengecualian terhadap wayang orang yang tiap boneka

wayang tersebut diperankan oleh aktor dan aktris sehingga menyerupai

pertunjukan drama.13

Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di

Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada

tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam

bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of

Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama

berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di

Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang

juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik

gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan

oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar

yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik

atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain

dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat

memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan

tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Dan di dalam wayang kulit terdapat tokoh sebagai peran utama dalam

cerita pakem jawa diantaranya adalah :

13 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung,

1976), h. 154

Page 53: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

20

Puntadewa14 Sebagai raja (Syahadat bagaikan rajanya rajanya Rukun

Islam) dan saudara-saudaranya merupakan symbol rukun Islam. Puntadewa

memiliki sifat ”berbudi bawa leksana, berbudi luhur dan penuh kewibawaan.

Seorang raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan (al-adlu),

sebagai pengajawantahan dari kalimat syahadat yang selamanya mengilhami

kearifan dan keadilan. Puntawa memimpin ke-4 adiknya atau bias dikatakan

keempat saudaranya dalam suka duka dan penuh kasih sayang. Demikian pula

dalam rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima namun tidak

menjalankan rukun Islam yang pertama maka seluruh amalnya akan sia-sia.

Terlebih orang yang akan menyebutnua sebagai orang yang munafik (hipokrit).

Prabu Puntadewa tidak pernah mati selama ia memiliki azimat “Kalimaosodo”

(kalimat syahadat atau stayadatain), senantiasa unggul dalam setiap perjuangan

dan selalu ikhlas dan menyayangi rakyarnya.

Tokoh Bima atau Werkudara15, dia dipersonifikasikan sebagai rukun

Islam yang kedua yaitu Shalat lima waktu. Dalam kisah pewayangan, Bima

terkenal sebagai penegak Pandawa. Ia hanya bias berdiri saja, Karena memang

tidak biasa duduk, konon menurut cerita pewayangan “tidurpun Bima dengan

berdiri.” Seperti halnya hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya :

14 Puntadewa atau Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua. Ia

merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah.

15 Bima merupakan putera kedua Kunti dengan Pandu. Nama bhimā dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "mengerikan". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. “artikel di akses tanggal 25 Mei 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa.

Page 54: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

21

“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menjalankannya maka ia menegakkan Islam dan barang siapa yang meninggalkannya maka ia merobohkan Islam “

Dalam kehidupannya sehari-hari Bima selalu menggunakan “Bahasa

Ngoko” atau bahasa jawa kasar baik itu kepada dewa, pendeta, kyai, dan lain

sebagainya lambing rukun Islam yang kedua shalat lima waktu, maka shalat

berlaku terhadap siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Arjuna atau Janoko16, dia di personifikasikan sebagai rukun Islam yang

ketiga yaitu Zakat. dalam cerita pewayangan dia disebut sebagai “lelanganing

jagad” (lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata “Jun” yang artinya

Jambangan. Benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih. Banyak wanita yang

“nandhang gandrung kapirangu lan kapilayu” (tergila-gila) kepadanya. Arjuna

memiliki sifat yang sangat lemah lembut, terlebih kaum wanita, dia sangat tidak

bias mengatakan “tidak” (seperti orang jawa pada umumnya diluar mengatakan

tidak padahal batinnya meng’iyakan). Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna

maka ia terlihat lemah dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kehalusanya

terdapat kekuatan yang sangat luar biasa. Terbukti Arjuna selalu unggul di dalam

setiap petempuran. Maka demikianlah zakat sebagai rukun Islam yang kertiga

16 Arjuna merupakan putera bungsu Kunti dengan Pandu. Namanya (dalam bahasa

Sansekerta) memiliki arti "yang bersinar", "yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat berada di surga); Partha (putera Kunti – karena ia merupakan putera Pritha alias Kunti). Dalam pertempuran di Kurukshetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama para Pandawa dan melepaskan segala kehidupan duniawai. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan mencapai surga. Nama lain Janaka, senjata utama ialah panah Pasopati. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa)

Page 55: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

22

yang kewajiban bagi setiap muslim disini juga mengandung arti agar setiap

muslim dimanapun berada agar beerjuang untuk mendapatkan rizqi dan

kekayaan. Setiap oaring pasti menginginkan “mas peci raja brana “ (harta

kekayaan dan lain-lainnya). Maka agar harta itu berfungsi social dan pembersih

maka harus di zakati agar suci dan bersih lahir batinnya.

Nakula dan Sadewa17, dia dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang

keempat dan kelima yaitu Puasa di bulan Ramadhan dan Haji. Kedua tokoh ini

hanya bertemu pada saat-saat tertentu saja. Demikian juga dengan puasa

ramadhan dan haji tidak setiap hari dikerjakan. Hanya dikerjakan dalam waktu

tertentu saja misalnya, puasa setahun sekali pada bulan ramadhan, dan haji juga

setahun sekali pada bulan dzulhijah di Mekkah al-Mukaromah. Pandawa

bukanlah Pandawa tanpa si kembar nakula sadewa, meskipun mereka ini lahir

dari ibu yang lain, Dewi Madrim yang ikut “labuh geni” (menceburkan diri

17 Nakula merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia

merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi berkata bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengasuh kuda. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga

Sadewa merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Nakula, yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengembala sapi. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa)

Page 56: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

23

kedalam api bila suaminya meninggal menurut tradisi Hindu) dengan suaminya

Pandu Dewanata. Memang dengan demikian Puasa Ramadhan dan Haji lahir

pada bulan-bulan tertentu (ramadhan dan zhulhijah).

2. Sejarah Perkembangan Wayang Kulit

WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia

khususnya di pulau Jawa yang paling menonjol di antara banyak karya budaya

lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur,

seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang,

yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan,

dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang

merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang

sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun

cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari

karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu

dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk

menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan

filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan.

Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari

salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak

keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan

sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk

Page 57: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

24

memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-

benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur

kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche

Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau

menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa.

Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit

yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang

dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.18

Ada dua pendapat mengenai asal - usul wayang. Pertama, pendapat bahwa

wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur.

Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli

bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di

antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes,

Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat

erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,

khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni

Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan

tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya

berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang

dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah

18 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang,

(Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1988), Cet, ke-1 h-24

Page 58: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

25

Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar

kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah

India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah

sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak

diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia

setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -

1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya.

Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga

Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin

berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-

910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,

Walmiki.

Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan

Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan

menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya.

Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan

gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata

bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu

Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan

Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada

sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada

Page 59: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

26

masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan `aringgit’

yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.19

3. Dalang Sebagai Juru Dakwah

Dalam dunia pewayangan dalang merupakan unsur penting pada sebuah

pementasan, terlepas dari apa pun tema yang akan di pentaskan. Berkaitan

dengan kegiatan dakwah Islamiah, seorang dalang pun dapat di katagorikan

sebagai juru dakwah atau seorang Da’i melalui profesinya tersebut. Hal ini

memungkinkan karena dalam setiap pementasan sabuah pagelaran wayang

seorang dalang sangat mungkin menyampaikan pesan-pesan agamis dalam setiap

lakon yang dipentaskan. Dahulu pada saat awal-awalnya perkembangan Islam di

Nusantara, para penyebar Islam khususnya Walisongo yaitu Sunan Kali Jaga,

juga telah menggunakan media wayang untuk mendukung kegiatan dakwahnya,

dan ternyata berhasil. Faktor-faktor yang memungkinkan seorang dalang menjadi

seorang juru dakwah di antaranya adalah :

a. Karakter dalang yang faham betul isi cerita setiap lakon pewayangan yang

umumnya mengandung tema kehidupan sosial. Apapun temanya, baik tentang

kerajaan, mahabrata, cerita hindu dan sebagainya, namun semua itu bisa

dimasuki pesan-pesan bernilai Islami tanpa harus merubah inti dan isi cerita

secara keseluruhan atau sebagian, dengan kecerdasan dan wawasann yang

dimiliki, profesi seorang dalang dapat dengan mudah untuk melakukannnya.

b. Wayang merupakan kesenian tradisional yang masih banyak digemari, dan

biasanya dalang sangat dikagumi oleh para penggemarnya. Situasi ini dapat

19 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung,

1976), h. 239-245

Page 60: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

27

digunakan oleh seorang dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bernilai

Islami pada setiap pementasannya, tentunya di selingi oleh humor-humor

yang mendidik yang dapat mempengaruhi para audiennya.

c. Tema wayang mengikuti zaman, sehingga dalang tidak akan ditinggalkan

oleh penggemarnya, sehingga ia akan terus berdakwah.

d. Dalang adalah Guru, Victoria M, Clara dalam bukunya Dalang di Balik

Wayang (1967) ”menyatakan bahwa dalang yang dahulu menganggap dirinya

sendiri sebagai guru masyarakat , sekarang justru menyebut dirinya sebagai

seniman, sementara itu kaum elit baru, berbeda dari kaum tradisional, justru

sekarang tertarik pertama-tama dan terutama terhadap peranan dalang sebagai

guru, tulisnya.”20

20 Sigit Oerdianto, “Berdakwah Keliling Kota dengan Wayang Kulit, Suara Merdeka,

senin 31 Oktober 2008

Page 61: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

28

BAB III

GAMBARAN UMUM WAYANG DAN PROFIL DALANG KI

SUDARDI

A. Gambaran Umum Wayang

a. Pengertian Wayang

Pengertian wayang menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :

“Boneka tiruan yang dibuat dari kulit yang diukir, kayu yang dipahat, dan

sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukan

drama tradisional yang dimainkan oleh seorang dalang.”1

Pengertian wayang adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat

bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya

adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang. Tapi akhirnya makna kata

ini meluas menjadi segala bentuk pertunjukan yang menggunakan dalang sebagai

penuturnya disebut wayang. Oleh karena itu terdapat wayang golek, wayang

beber, dan lain-lain. Pengecualian terhadap wayang orang yang tiap boneka

wayang tersebut diperankan oleh aktor dan aktris sehingga menyerupai

pertunjukan drama.2

b. Jenis - Jenis Wayang

Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum

Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan

roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam

bentuk arca atau gambar.

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia.h, 1010 2 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung,

1976), h. 154

28

Page 62: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

29

Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang

di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada

tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam

bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of

Oral and Intangible Heritage of Humanity).3

Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum,

yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa

sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang

ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan

dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.

Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri,

dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang

memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa.

Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam)

dipentaskan pula.

Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang

sangat dalam. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam

mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian

rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang

Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa

Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang

Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang

Golek)".

3 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta:

Penerbit Djambatan, 1988), Cet, ke-1 h- 5-6

Page 63: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

30

Jenis-jenis Wayang :

1. Wayang purwa atau wayang kulit purwa. Kata purwa (pertama) dipakai untuk

membedakan wayang jenis ini dengan wayang kulit yang lainnya. Banyak jenis

wayang kulit mulai dari wayang wahyu, wayang sadat, wayang gedhog, wayang

kancil, wayang pancasila dan sebagainya. Purwa berarti awal, wayang purwa

diperkirakan mempunyai umur yang paling tua di antara wayang kulit lainnya.

2. Wayang Madya adalah Wayang kulit yang diciptakan oleh Mangkunegara IV

sebagai penyambung cerita Wayang Purwa dengan Wayang Gedog. Cerita

Wayang Madya merupakan peralihan cerita Purwa ke cerita Panji. Salah satu

cerita Wayang Madya yang terkenal adalah cerita Anglingdarma. Wayang madya

tidak sempat berkembang di luar lingkungan Pura Mangkunegaran.Cerita Wayang

Madya menceritakan sejak wafatnya Prabu Yudayana sampai Prabu Jayalengkara

naik tahta. Cerita Wayang Madya ditulis oleh R.Ngabehi Tandakusuma dengan

judul Pakem Ringgit Madya yang terdiri dari lima jilid, dan tiap jilid berisi 20

cerita atau lakon.

3. Wayang Gedog atau Wayang Panji adalah wayang yang memakai cerita dari

serat Panji. Wayang ini mungkin telah ada sejak zaman Majapahit. Bentuk

wayangnya hampir sama dengan wayang purwa. Tokoh-tokoh kesatria selalu

memakai tekes dan rapekan. Tokoh-tokoh rajanya memakai garuda mungkur dan

gelung keling. Dalam cerita Panji tidak ada tokoh raksasa dan kera. Sebagai

gantinya, terdapat tokoh Prabu Klana dari Makassar yang memiliki tentara orang-

orang Bugis. Namun, tidak selamanya tokoh klana berasal dari Makassar, terdapat

pula tokoh-tokoh dari Bantarangin (Ponorogo), seperti Klana Siwandana,

Page 64: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

31

kemudian dari Ternate seperti prabu Geniyara dan Daeng Purbayunus, dari Siam

seperti Prabu Maesadura, dan dari negara Bali.

Wayang gedog yang kita kenal sekarang, konon diciptakan oleh Sunan Giri pada

tahun 1485 (gaman naga kinaryeng bathara) pada saat mewakili raja Demak yang

sedang melakukan penyerbuan ke Jawa Timur (invasi Trenggono ke Pasuruan).

4. Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka

kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan.

5. Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah

wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita

wayang tersebut. Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi

dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang

biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi

menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang

tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada

wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai

wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini

diubah/ dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan. 4

B. Profil Dalang Ki Sudardi

a. Sejarah Hidup Ki Sudardi

SUDARDI, KI. Lahir di Semarang pada tanggal 10 September 1946 di

sebuah desa Pringapus, kecamatan Klepu Kabupaten Semarang. Nama

lengkapnya H. Sudardi, sering dipanggil dengan sebutan Ki Sudardi. Merupakan

4 Artikel ini di akses tanggal 18 Juni 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/WayangWayang

Page 65: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

32

28

putra dari Satijan dan Sri Wahyuni yang merupakan tokoh masyarakat desa

Pringapus yang dikenal sebagai seorang pengusaha dan sesepuh desa.

Satijan atau yang dikenal sebagai Mbah Satijan merupakan pengusaha di

bidang pertanian, beliau dikenal sebagai orang yang memiliki banyak sawah, dan

beliau merupakan salah satu orang terkaya pada masanya. Ki Sudardi merupakan

anak pertama dari 5 bersaudara, diantaranya adalah Sudardi, Sudarto, Mulyono

Pangestu, Sri Sulastri, dan Suhendra.5

Ki Sudardi adalah dalang wayang Kulit Purwa yang terkenal di tahun

1987-an sampai saat ini. Pernah mengenyam pendidikan di Konservatori

Karawitan Indonesia Surakarta, selain mengikuti kursus pedalangan HBS dan

Kursus Pedalangan Pamardi Putri.

Ia merupakan salah satu dari beberapa dalang yang pernah ditugasi

mendalang di Keraton Kesultanan Yogyakarta, pada masa pemerintahan Sri

Sultan Hamengkubuwono ke X. Dalang lainnya yang juga mendapatkan

kehormatan tampil di Keraton adalah dalang-dalang pilihan pada jamannya. Tidak

banyak dalang yang mendapat kesempatan itu.

Ki Sudardi yang berasal dari desa kecil di Pringapus Semarang. Belajar

mendalang pertama kali ketika usianya 16 tahun. Mulai berani tampil di muka

umum sejak tahun 1962. Sebagai dalang ia pernah mendalang di daerah-daerah

khusunya di khusnya di pulau Jawa, dan pernah sesekali pentas di pulau Sumatra

(1980). Di samping mendalang, Ki Sudardi juga berprofesi sebagai seorang guru.

Beliau pensiun sebagai Guru SPG Negeri di Pringapus Semarang.

5 Wawancara Pribadi dengan Ki Sudardi, Desa Pringapus Semarang, tanggal 20 Mei

2010.

Page 66: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

33

Atas jasa-jasanya mengembangkan dunia pewayangan khususnya di

Kabupaten Semarang, pada tahun 1984 Ki Sudardi mendapat anugerah Hadiah

Seni. Karena pengabdiannya di bidang seni pedalangan, beliau mendapat

anugerah dari Keraton Surakarta, Hadiah dari Hamengku Buwana X, mendapat

sebutan sebagai abdi dalem keraton.6

Beliau tergabung di dalam Perkumpulan Seni Wayang Kulit Smarangan,

bersama dalang-dalang yang berada di daerahnya, Ki Sudardi merupakan salah

seorang dalang yang dikenal pada masanya.

Ki Sudardi dikenal piawai dalam menggarap catur dan dramatisasi dalam

adegan-adegan. Sebagai seorang dalang beliau memfaforitkan beberapa dalang

pendahulu, di antaranya adalah Ki Pujosumarto, Ki Nyoto Carito, Ki Harjocarito,

Ki Nartosabda, Ki Amat Cremodisono dll. Dalam meniti kesuksesan dalam

berkarya, beliau berpendapat bahwa seorang dalang harus bisa mengikuti situasi

dan kondisi serta berpedoman Trikarsa: Melestarikan, mengembangkan dan

mengagungkan wayang.

b. Pendidikan Ki Sudardi

1. Secara Formal

H. Sudardi, yang akrap di panggil Ki Sudardi dalam perilaku

keseharinannya sejak duduk di bangku SD sudah menampakan sosok pribadi yang

kreatif dan dinamis dalam bergaul sesama teman seusianya.

Setelah selesai mengenyam pendidikan tingkat dasar (SD) pada tahun

1958, Ki Sudardi melanjutkan sekolah ke menengah tingkat pertama (SMP), pada

6 Arsip pementasan wayang kulit Ki Sudardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007

Page 67: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

34

masa-masa itu konsentrasi masa belajarnya banyak tertganggu oleh hobinya

mendalami ilmu pedalangan sampai lulus SMP pada tahun 1961. dengan tekadnya

untuk segera bisa mendalang termotivasi oleh dalang-dalang yang pernah pentas

di daerahnya. Selain itu Ki Sudardi juga pernah belajar mendalang oleh dalang Ki

Pujosumarto dan Ki Nyoto Carito.7

Pengalaman serta prestasi yang telah diraihnya sebagai juara dalang se-

kecamatan klepu yang diadakan oleh lurah desa Pringapus Semarang pada tahun

1965, sedang pada tahun 1984 Ki Sudardi mendapat anugerah Hadiah Seni.

Karena pengabdiannya di bidang seni pedalangan, beliau mendapat anugerah dari

Keraton Surakarta, Hadiah dari Hamengku Buwana X, mendapat sebutan sebagai

abdi dalem keraton, dan Ia merupakan salah satu dari beberapa dalang yang

pernah ditugasi mendalang oleh beliau, pada masa pemerintahannya. Dalang

lainnya yang juga mendapatkan kehormatan tampil di Istana kesultanan adalah

dalang-dalang pilihan pada jamannya. Tidak banyak dalang yang mendapat

kesempatan itu.8

2. Secara Non-formal

Ilmu pedalangan yang beliau peroles semata-mata diperoleh secara belajar

dengan dalang yang lebih dulu ada dan secara otodikdak. Refrensi tentang

pewayangan diambil dari berbagai sumber diantaranya sastra jawa dan pergaulan

dengan berbagai kalangan khususnya kalangan pedalangan, sehingga setiap dalam

pagelaran/pementasan selalu beradaptasi dengan apresiasi masyarakat serta dalam

penyajiannya selalu sesuai dengan perkembangan jaman.

7 Wawancara Pribadi dengan Ki Sudardi, Desa Pringapus Semarang, tanggal 20 Mei 2010 8 Arsip pementasan wayang kulit Ki Sudardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007

Page 68: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

35

C. Desa Pringapus Semarang

1. Sejarah Desa Pringapus Semarang

Desa Pringapus terletak di wilayah Kabupaten Semarang. Wilayah

Kabupaten Semarang merupakan wilayah Pembantu Gubernur Wilayah

Semarang, dengan Ibukota Ungaran. Jarak Pringapus dari pusat pemerintahan

kabupaten adalah 9 km ke arah selatan menuju Solo atau Jogjakarta.9

Pada tahun 2001, Desa Pringapus menjadi kecamatan, sebelumnya

wilayah Desa Pringapus termasuk dalam Kecamatan Klepu. Pada pertengahan

tahun 2005 bentuk pemerintahan desa Pringapus berubah statusnya menjadi

kelurahan. Akan tetapi, dalam penelitian ini penulis tetap menggunakan istilah

’desa’ karena perubahan status tersebut hanya bersifat administratif semata tanpa

ada pengaruh terhadap data pada objek penelitian. Dalam artian perubahan status

tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan cerita yang ada dalam masyarakat.

Luas wilayah Desa Pringapus 509.380 Ha atau 5.093,8 km2.

Desa Pringapus adalah pusat pemerintahan Kecamatan Pringapus. Dengan

luas terbesar sebagai lahan pemukiman penduduk yaitu 642 km2 atau 64.202 Ha

sedangkan lainnya merupakan lahan pertanian baik sawah maupun ladang serta

kawasan industri. Dengan batas wilayahnya:

1. Sebelah Barat : Desa Derekan, Desa Klepu

2. Sebelah Timur : Desa Pringsari

3. Sebelah Utara : Desa Klepu, Desa Sambeng

4. Sebelah Selatan : Desa Jatirunggo

9Artikel di akses tanggal 25 Mei 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pringapus.Semarang

Page 69: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

36

Gambar1. Peta Desa Pringapus

Insert Peta Desa Pringapus

Desa Pringapus termasuk daerah dataran tinggi karena letaknya berada di sekitar

kaki Gunung Ungaran dengan ketinggian tanah 600 meter dari permukaan laut.

Selain itu, wilayahnya terdiri dari 7 dusun yaitu Krajan Barat, Krajan Timur,

Ngabean, Tangkil, Kalikidang, Ngetuk dan Wahyurejo atau Trembel yang

letaknya terpencar dan sebagian besar di kelilingi bukit-bukit kecil. Dari beberapa

dusun tersebut dusun Krajan Barat dan Krajan Timur merupakan pusat

pemerintahan Desa Pringapus.10

10 Artikel di akses tanggal 25 Mei 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pringapus.Semarang

Page 70: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

37

2. Kehidupan Sosial dan Budaya

a. Penduduk

Berdasarkan data pada tahun 2006, penduduk Desa Pringapus adalah

7.386 jiwa dengan perbandingan penduduk pria sebanyak 3.099 orang sedangkan

penduduk wanita sebanyak 4.287 orang. Akan tetapi terjadi pertambahan

penduduk dalam jumlah besar akibat dari banyaknya perantau yang bekerja di

pabrik-pabrik yang berada di wilayah Desa Pringapus yang kemudian menjadi

penduduk sementara.

Kehidupan masyarakat Desa Pringapus walaupun dalam kenyataan sudah

terjadi interaksi antara masyarakat pertanian dan masyarakat industri, tetapi masih

dapat dikategorikan tradisional. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih

eratnya hubungan antar masyarakat sebagai contoh warga Dusun Krajan Barat

tetap tahu dalam artian mengenal warga Dusun Wahyurejo walaupun jaraknya

termasuk jauh. Solidaritas masyarakat Desa Pringapus satu sama lain masih

tinggi, sebagai contoh ketika salah satu warga mempunyai hajat seperti

menikahkan anak, melahirkan bahkan kematian, tanpa adanya undangan hamper

semua warga lainnya, akan datang dan memberikan sumbangan. Dengan kata lain

pola kekerabatan masyarakat tidak terpengaruh oleh pola masyarakat industri

yang biasanya lebih cenderung hidup secara individu.

Sepintas, tidak tampak adanya perbedaan dalam hal status sosial pada

masyarakat Desa Pringapus. Akan tetapi dalam kenyataannya masih terdapat

pembedaan perlakuan kepada beberapa orang karena dianggap lebih terhormat

dibanding dengan masyarakat biasa yaitu tokoh agama, pejabat, pengusaha dan

orang-orang yang dianggap mampu dalam hal ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat

Page 71: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

38

dengan jelas dalam setiap acara yang diadakan di lingkup desa maupun

kecamatan. Selalu terdapat perlakuan istimewa kepada orang-orang dengan

kategori mampu tersebut dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.11

b. Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat desa Pringapus sebagian besar adalah

sebagai karyawan perusahaan swasta. Disebutkan bahwa mata pencaharian pokok

penduduk sesuai usia kerja yaitu 15-60 tahun adalah buruh atau swasta.

c. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat

1. Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat Desa Pringapus, secara umum tergolong

baik, karena sudah banyak penduduk yang berpendidikan tinggi. Namun

demikian, masih banyak penduduk yang hanya lulusan SD, sebagian lulusan

SLTP dan SLTA

2. Agama

Sebagian besar peduduk Desa Pringapus yaitu 7.360 orang beragama

Islam dari penduduk Pringapus yang berjumlah 7.386 orang. Karena itu, menjadi

biasa dipahami kalau dalam keseharian pola hidup masyarakat Desa Pringapus

menunjukkan corak kehidupan yang islami. Keislaman menurut faham yang

dilakukan oleh warga NU dan Muhammadiyah.

Sekilas, kehidupan keagamaan cara NU dengan Muhammadiyah tidak ada

perbedaan yang tajam, akan tetapi pada tataran realitas sosial, sering terjadi

11 Ibid

Page 72: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

39

adanya perbedaan pendapat yang mendasar, terutama dalam hal pandangan dan

cara menyikapi ritual ziarah kubur (makam).

Bagi masyarakat NU, ziarah kubur tidak dilarang bahkan dianjurkan

karena tidak dianggap menyalahi syariat Islam. Akan tetapi, bagi warga

Muhammadiyah, ziarah kubur dianggap tidak benar dan merupakan bid’ah (segala

sesuatu yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad). Contoh lain adalah pada

saat perayaan hari raya Islam kaitannya dengan sholat sunat Ied. Biasanya warga

Muhammadiyah cenderung menjalankan sholat Ied di tanah lapang sementara

warga NU melaksanakan sholat di masjid. Kenyataan tersebut sedikit banyak

berpengaruh pada tradisi yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Desa

Pringapus. Secara keseluruhan, dalam kesehariannya warga NU cenderung lebih

banyak melakukan aktivitas yang mentradisi.

Page 73: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

38

BAB IV

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA DAKWAH

A. Bahasa Dakwah dalam Pementasan Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran

Walisongo sebagai ulama penyebar ajaran Islam. Yang cukup menarik untuk

disimak adalah bagaimana cara ulama yang sembilan itu mengajarkan Islam.

Masyarakat semasa itu sebagian besar memeluk Hindu. Walisongo tak langsung

menentang kebiasaan-kebiasaan yang sejak lama menjadi keyakinan masyarakat.

Salah satunya adalah wayang. Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara

khususnya di Jawa-wayang telah menemukan bentuknya. Pagelaran wayang

sangat digemari masyarakat. Setiap pementasannya selalu dipenuhi penonton.

Tak hanya bentuknya, ada banyak sisipan-sisipan dalam cerita dan

pemaknaan wayang yang berisi ajaran-ajaran dan pesan moral Islam. Dalam lakon

Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini

adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia

dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima

mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaranajaran

tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan

sesama manusia.

Cara dakwah yang diterapkan oleh para wali tersebut terbukti efektif.

Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara resmi

kerajaan, masyarakat secara umum pun sering menggelarnya. Karena banyak

ajaran moral dan kebaikan dalam setiap lakonnya, wayang tak hanya dianggap

38

Page 74: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

39

sebagai tontonan saja, tetapi juga tuntunan.1

Di dalam pertunjukan wayangnya dalang Ki Sudardi berusaha untuk

menyisipkan bahasa-bahasa dakwah, agar pementasan wayang kulitnya syarat

akan pesan-pesan dakwah islam, dan bahasa dakwah yang kerap muncul di dalam

pementasannya.

Ketika mendalang ia mengatakan : “Kep sidakep loro dadia tunggal. Ana ucap mboten ditingal, ana sambung mboten diambun. Ati ngait ka yang widi, manah muntang kanu kawasa, kalbu agung, angbrantang kanu murbeng alam”, artinya : dua tangan menjadi satu disimpan diantara dada dan perut tidak boleh berbicara meskipun ada yang harus dibicarakan, tidak boleh melihat apapun, apalagi menengok kekiri dan kekanan, tidak boleh mendengarkan sesuatu, sebab kita sedang menghadapkan diri kepada Illahirobbi.2

Beliau menyelipkan pesan berupa dakwah itu ketika ada tokoh wayang

yang beliau mainkan sedang melakukan semedi (bertapa) guna mendapatkan

suatu kesaktian. Sebagaimana tata cara pengerjaan shalat. Selain itu Ki Sudardi

juga mengatakan.

“Gedung duwur kali sambung, panggulingan sepi tringtrim, balingbing lan jeruk manis...” Artinya : Gedung tinggi disambung dengan memakai kubah, tempat yang sangat sepi untuk orang yang berzikir. “belimbing lan jeruk manis, menggambarkan bintang yang biasa dipakai di atas kubah masjid. Selain daripada itu nama Negara dan nama-nama tokoh-tokoh wayang

kulit yang dimainkan oleh dalang Ki Sudardi banyak yang diceritakan dengan

bahasa Arab dan bahasa Jawa yang mengandung makna ajaran Islam, sebagai

contoh adalah :

1. Hestinapura atau yang sering disebut dengan Astina lebih dekat kepada

kata Asy-Syaithan. Raja Astina namanya Daryudana, lebih dekat dengan

1 S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1988), h.124-126

2 Hasil wawancara pribadi dengan dalang Ki Sudardi, Pringapus Semarang 20 mei 2010

Page 75: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

40

kata Durjana = orang jahat. Orang jahat pasti termasuk balad syaithan.

Setiap balad syaithan pasti masuk Darona Jahanama = neraka jahanam

(drona).

2. Pandawa bisa diartikan asal kata dari “Dawa” = Dawaun (bahasa Arab)

yang artinya obat. Manusia mempunyai kewajiban untuk berupaya saling

mengobati dan memberikan obat kepada orang yang sedang kena penyakit

terutama penyakit yang merusak akidah.

3. Dharma Kusumo, Sami Aji, Dharma Bhakti Kusumo, kalau kita ingin harum

atau wangi dan dhargai oleh orang lain, kita harus berbakti pada Negara,

Bangsa, dan Agama.

4. Bima atau Aria Werkudoro

Jimat yang selalu dipakai oleh Werkudoro diantaranya adalah :

a. Anting-anting manggis mateng, artinya : manggis = mangu, mateng =

masak. Kalau kita lihat mangu matang, luarnya jelek sekali namun kalau

dibelah isinya putih bersih dan manis sekali. Jadi, kalau menilai seseorang

janganlah dari luarnya saja namun harus dilihat dari hatinya.

b. Kangkalung Arko Naga Bandang, sering kita saksikan tokoh wayang Bima

di lehernya terikat kalung seperti ular naga. Hal itu bisa diartikan bahwa

ular tersebut dinamakan “Sijalur Arko” sebagai saksi apabila kita

berbicara dusta maka ia akan mematuk orang yang berdusta.

c. Dodot bangbing tilu aji, bisa diartikan bahwa Bima diselimuti tiga ilmu

yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.

Page 76: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

41

d. Kuku Pancanaka, artinya kuku = kuat, panca = lima, naka = waktu, jadi

apabila manusia sudah mempunyai keyakinan akan pengertian keimanan,

ke-Islaman dan Ihsan pasti tidak akan meninggalkan sholat 5 waktu.

5. Arjuna, bisa diartikan dua kata dalam bahasa arab ialah arju dan jannah,

arju = mengharap, jannah = surga.

6. Nakula artinya ana kul bahasa arab artinya ana adalah saya, kul artinya

makan atau berkata. Maksudnya adalah rizki yang kita dapatkan sebelum

dimakan hak orang lain harus diberikan dahulu.

7. Sadewa, artinya salira piamba atau mensucikan diri.

B. Nilai-nilai Dakwah dalam Pementasan

Dahulu pada saat awal-awalnya perkembangan Islam di Nusantara, para

penyebar Islam khususnya Walisongo yaitu Sunan Kali Jaga, menggunakan media

wayang untuk mendukung kegiatan dakwahnya, wayang merupakan salah satu

media dakwah islam yang tepat, sebab wayang merupakan salah satu jenis

kesenian tradisional yang disukai oleh masyarakat pedesan (yang merupakan 80%

dari jumlah penduduk di Indonesia) selain itu wayang juga biasa dijadikan sebagai

media dakwah Islam.

Sunan Kalijaga sangat berhasil dalam berdakwah melalui kesenian

wayang. Unsur baru berupa ajaran ke-Islaman dimasukan ke dalam pewayangan.

Ia membuat “Pakem Pewayangan” yang baru dan bernafaskan Islam, seperti

cerita Jamus Kalimosodo atau menyelipkan ajaran Islam ke dalam pekem

Page 77: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

42

pewayangan yang asli. Dengan cara tersebut maka masyarakat dapat dengan

mudah menerima ajaran-ajaran Islam dengan perlahan-lahan.3

Sebagai seorang muslim dalang Ki Sudardi memasukan ajaran-ajaran

Islam di setiap pertunjukan wayangnya, dalang Ki Sudardi sendiri kerap kali

menyelenggrarakan pertenjukan wayang kulit semalam suntuk pada event-event

khusus keagamaan. Seperti pada acara Isra Mi’raj, Maulid Nabi Muhammsad

Saw, Tahun Baru Islam, Walimatul ‘Aqiqah, Walimatul ‘Arsy (pernikahan), dan

lain-lain sebagainya.

Saya“ selalu mengajarkan kepada masyarakat desa untuk rajin dan mau melaksanakan rukun Islam yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.”, “Shalat adalah tiang agama, karena dengan shalat kita juga akan terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar.”“Inna shalata tanha ‘anil fakshai wa mungkar.” 4

Islam jika dikupas maka akan menjadi Akidah, Syariah, dan Akhlak.

Akidah merupakan nilai-nilai luhur fundamental yang wajib dipegang oleh setiap

muslim.

1. Nilai-nilai Akidah

Akidah dalam Islam adalah bersifat I’tiqad Bathiniyah (keyakinan yang

bersifat batin) yang mencakup masalah-maslah yang erat hubunganya dengan

rukun Iman. Dibidang Aqidah ini pembahasannya bukan hanya tertuju pada

masalah-masalah yang wajib di Imani, akan tetapi materi dakwah meliputi

masalah-masalah yang dilarang sebagai lawanya, misalnya Syirik (menyekutukan

adanya Tuhan), Ingkar dengan adanya Tuhan dan sebagainya.

3 Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung,

1976), h. 245 4 Hasil wawancara pribadi dengan dalang Ki Sudardi, Pringapus Semarang 20 mei 2010

Page 78: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

43

Dalam prakteknya Ia mengajak umat khusunya masyarakat desa Pringapus

untuk percaya kepada do’a, satu hal yang tidak mempunyai dasar secara ilmiah,

karena memang do’a bersifat spiritual. Do’a meruakan sebuah perwujudan dari

iman kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa. Asumsi adanya Tuhan sebagai rabb

atau pengatur seluruh urusan manusia merasionalisasikan keharusan semua orang

untuk melakukan shalat, zakat, dan berbagai ibadah lainnya yang merupakan

perwujudan dari ketundukan (Islam) mereka kepada Allah. Sebelum beliau

memuai pagelaran wayang kulitnya, Ia mengatakan :

Ayo mulo tak jaluk warga sregepo ndedungo marang purbaning kang kawaso. Mogo rino lan wengi tansah nyanding karahayon, ketentreman, kawilujengan, tebing saking kolo, adoh soko tumindak cidro, tansah sungkem marang padaning wong tuwo. (Saya minta kepada seluruh warga untuk rajin berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa semoga siang dan malam senantiasa mendapat kemuliaan, ketentraman, keselamatan, dan jauh dari mara bahaya, jauh dari tindakan yang tercela dan menghormati orang tua)5

2. Nilai-nilai Syari’ah

Selain Akidah, aspek lain dari Islam yang tak kalah penting adalah syariah

merupakan wujud nyata dari ketundukan seorang muslim kepada Tuhannya.

Syari’ah mewujud dalam ibadah dan mu’amalah. Ibadah adalah ritual yang syarat

akan symbol-simbol takbir kepada Allah, sedangkan mu’amalah adalah interaksi

social yang diberikan batasan dan aturannya dalam agama Islam.

Ki Sudardi, sebagaimana di singgung di atas, melakukan pentas wayang

menurut event-event social-keagamaan tertentu, seperti kelahiran, perkawinan,

‘aqiqah anak, dan lain sebagainya. Pada momen-momen tersebut, ia

menyampaikan wayang dengan pesan-pesan yang syarat akan nilai-nilai syari’at

5 Arsip pementasan wayang kulit Ki Sidardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007

Page 79: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

44

ketika pernikahan dilangsungkan dan wayang digelar, maka nilai-nilai

pernikalhan menurut Islam disampaikan melalui pementasan wayang kulit

tersebut.

Cerita wayang kulit yang disampaikan sarat akan nilai-nilai syari’ah dan

merupakan perumusan yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga pada masa lalu.

Tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita wayang melambangkan nilai-nilai syari’at

yang mudah dicerna untuk masyarakat jawa khusnya di desa Pringapus Semarang.

Di dalam cerita wayang kulit, sifat-sifat Puntadewa sebagai raja

(Syahadat bagaikan rajanya rajanya Rukun Islam) dan saudara-saudaranya

merupakan symbol rukun Islam. Puntadewa memiliki sifat ”berbudi bawa

leksana, berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang raja yang arif bijaksana,

adil dalam ucapan dan perbuatan (al-adlu), sebagai pengajawantahan dari kalimat

syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Puntawa memimpin

ke-4 adiknya atau biasa dikatakan keempat saudaranya dalam suka duka dan

penuh kasih sayang. Demikian pula dalam rukun Islam yang kedua, ketiga,

keempat, dan kelima namun tidak menjalankan rukun Islam yang pertama maka

seluruh amalnya akan sia-sia. Terlebih orang yang akan menyebutnua sebagai

orang yang munafik (hipokrit). Prabu Puntadewa tidak pernah mati selama ia

memiliki azimat “Kalimaosodo” (kalimat syahadat atau stayadatain), senantiasa

unggul dalam setiap perjuangan dan selalu ikhlas dan menyayangi rakyarnya.

Tokoh Bima atau Werkudara, dipersonifikasikan sebagai rukun Islam

yang kedua yaitu Shalat lima waktu. Dalam kisah pewayangan, Bima terkenal

sebagai penegak Pandawa. Ia hanya bias berdiri saja, Karena memang tidak bias

Page 80: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

45

duduk, konon menurut Ki dalang Sudardi “tidurpun Bima dengan berdiri.” Seperti

halnya hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya :

“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menjalankannya maka ia menegakkan Islam dan barang siapa yang meninggalkannya maka ia merobohkan Islam “

Dalam kehidupannya sehari-hari Bima selalu menggunakan “Bahasa

Ngoko” atau bahasa jawa kasar baik itu kepada dewa, pendeta, kyai, dan lain

sebagainya lambing rukun yang kedua rukun Islam yang kedua shalat lima waktu,

maka shalat berlaku terhadap siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Arjuna atau Janoko, dia di personifikasikan sebagai rukun Islam yang

ketiga yaitu Zakat. dalam cerita pewayangan dia disebut sebagai “lelanganing

jagad” (lelaki pilihan). Nama Arjuna berasal dari kata “Jun” yang artinya

Jambangan. Benda ini merupakan symbol jiwa yang bersih. Banyak wanita yang

“nandhang gandrung kapirangu lan kapilayu” (tergila-gila) kepadanya. Arjuna

memiliki sifat yang sangat lemah lembut, terlebih kaum wanita, dia sangat tidak

bias mengatakan “tidak” (seperti orang jawa pada umumnya diluar mengatakan

tidak padahal batinnya meng’iyakan). Dengan kehalusan dan kelembutan Arjuna

maka ia terlihat lemah dan tidak berdaya, namun sebenarnya dibalik kehalusanya

terdapat kekuatan yang sangat luar biasa. Terbukti Arjuna selalu unggul di dalam

setiap petempuran. Maka demikianlah zakat sebagai rukun Islam yang kertiga

yang kewajiban bagi setiap muslim disini juga mengandung arti agar setiap

muslim dimanapun berada agar beerjuang untuk mendapatkan rizqi dan kekayaan.

Setiap oaring pasti menginginkan “mas peci raja brana “ (harta kekayaan dan

lain-lainnya). Maka agar harta itu berfungsi social dan pembersih maka harus di

zakati agar suci dan bersih lahir batinnya.

Page 81: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

46

Nakula dan Sadewa, dia dipersonifikasikan sebagai rukun Islam yang

keempat dan kelima yaitu Puasa di bulan Ramadhan dan Haji. Kedua tokoh ini

hanya bertemu pada saat-saat tertentu saja. Demikian juga dengan puasa

ramadhan dan haji tidak setiap hari dikerjakan. Hanya dikerjakan dalam waktu

tertentu saja misalnya, puasa setahun sekali pada bulan ramadhan, dan haji juga

setahun sekali pada bulan dzulhijah di mekkah al-Mukaromah. Pandawa bukanlah

Pandawa tanpa si kembar nakula sadewa, meskipun mereka ini lahir dari ibu yang

lain, Dewi Madrim yang ikut “labuh geni” (menceburkan diri kedalam api bila

suaminya meninggal menurut tradisi Hindu) dengan suaminya Pandu Dewanata.

Memang dengan demikian Puasa Ramadhan dan Haji lahir pada bulan-bulan

tertentu (Ramadhan dan Zhulhijah).

Persoalan keagamaan yang disampaikan melalui cerita wayang di atas

merupakan ritual keagamaan yang disebut dengan ibadah. Pada parakteknya yang

lain. Ki Sudardi juga mengajarkan syari’at yang berbentuk ibadah sosial, seperti

pemberdayaan masyarakat dengan zakat dan sedekah, pernikahan yang

mawaddah, sakinah, wa rahmah, dan lain-lain. Ia mengatakan :

Secara spiritual, saya akan menyampaikan ke masyarakat sesuai dengan tema wayangan, misalnya pada waktu hajatan nikah maka saya akan memberikan materi ayat-ayat yang berhubungan dengan rumah tangga di dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah dan warahmah, pada waktu aqiqah maka saya membawakan ajaran yang berhubungan dengan bakti anak dengan orang tua, atau pada waktu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW maka saya akan membawakan bagaimana sejarah beliau di dalam memperjuangkan agama Islam dan lain-lain. Intinya adalah sampaikanlah walau satu ayat (Balighu ‘ani walau ayat).6

6 Wawancara pribadi dengan dalang Ki Sudardi, Pringapus Semarang 20 mei 2010

Page 82: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

47

3. Nilai-nilai akhlak

Ki Sudardi ketika mendalang beliau selalu menanamkan dan mengajarkan

kasih sayang dan kepekaan sosial. Karena dengan itu semua masyarakat dapat

hidup rukun dan gotong royong demi membangun daerahnya atau desanya.

Nilai-nilai Akhlak merupakan sasaran penting dalam penyampaian

dakwah. Sebab, selain Akidah dan Syari’ah, dan Akhlak merupakan perwujudan

dari hablumminanannas seorang muslim.

Melalui wayang kulit Ki Sudardi juga selalu mengajarkan kepada

masyarakat untuk selalu peduli terhadap masyarakat lainyang kurang mampu.

Sebagaimana disinggung di muka, ia membuka program tali asih yang merupakan

santunan bagi masyarakat khususnya di desa Pringapus Semarang.

Ketika mendalang ia mengatakan : Tak jaluk ojo nganti bosen, olehe podo seneng rukun, sing cerdas lan biso menyikapi masalah tansah tresno tinresnanan, ajen-kinanjenan ing sapodho-podho, gotong royong, samad sinamadhan, ojo podo tuker padu. (saya minta jangan sampai bosan toleransi, cerdas dalam menyikapi masalah, saling menyayangi dan menghargai antar sesama, gotong royong, jangan suka berkelahi).7 Toleransi, saling meghargai, dan gotong royong, tidak suka berkelahi

merupakan akhlak seorang muslim yang begitu luhur dan digambarkan dalam Al-

Quran surat Al-Hujarat ayat 11

7 Arsip pementasan wayang kulit Ki Sidardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007

Page 83: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

48

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki

merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendir dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zali”.

Sikap tersebut di atas merupakan akhlak yang diperlikan dalam suasana

demokrasi dan pluralisme, dimana rakyat memilih pemimpinnya masing-masing

secara langsung dan mereka mempunyai orientasi politik yang berbeda-beda. Ia

menyerukan toleransi, kebersamaan, silaturahim, yang merupakan akhlah paling

luhur dalam Islam.

Di dalam wayangnya beliau selalu mengajarkan pentingnya silaturahmi

antar sesame. Sebagai bukti ketika mendalang beliau selaulu menyalami semua

tamu-tamu yang ada mulai dari yang kecil, muda, tua sampai yang masih di

gendong disalami semua. Perilaku semacam ini secara tak langsung mengajarkan

bahwa seorang pemimpin merupakan abdi ummat, yang seharusnya

mempergunakan kekuasaan untuk kemaslahatan ummat, abdi ummat, yang

seharusnya mengayomi dan memberikan excellent service kepada ummat.

Pada setiap Ki Sudardi melakukan pementasan wayang kulit, beliau selalu

memberikan salam kepada warga setempat, seperti tuan rumah, karang taruna, dan

sebagainya rasa syukur dan hormat kepada orang tua. Disetiap Ki Sudardi tampil

maka ia selalu meminta para sesepuh daerah setempat untuk hadir dan beliau

Page 84: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

49

selalu memberikan bantuan yang dinamakan Tali Asih. Menurutnya kepekaan

sosial itu akan menimbulkan kasih sayang antar sesame, sehingga akan tercipta

masyarakat yang damai dan sejahtera. Kepekaan sosial itu akan membentuk rasa

kasih sayang antar sesama umat masnusia.

C. Teknik Penyampaian Pesan Dalam Pementasan

Salah satu tokoh wali yang sangat terkenal yakni Sunan Kalijaga. Sunan

Kalijaga adalah salah satu tokoh wali yang aktif berdakwah melalui pendekatan

budaya.

Ia dikenal sebagai seorang Wali yang memiliki kharisma tersendiri di

antara wali-wali yang lain, dan paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat

apalagi kalangan bawah. Beliau memperkenalkan agama Islam secara luwes tanpa

menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna

Islami). Banyak sekali maha karya beliau dalam bidang budaya, di mana

semuanya beliau gunakan sebagai media dalam menyampaikan ajaran Islam.

Untuk membentuk manusia yang seimbang diperlukan peranan dari da’i

atau pendakwah agar tercipta individu, keluarga, dan masyarakat yang menjadikan

islam sebagai pola pikir dan pola hidup agar tercapai kehidupan yang bahagia baik

di dunia maupun di akhirat 8

Untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah seorang da’I harus mampu

dalam menggunakan berbagai media dalam melakukan dakwahnnya.

Dari berbagai macam media yang bisa digunakan untuk menyampaikan

pesan-pesan dakwah yang bersifat tradisioanal dan modern di antaranya ialah

wayang kulit . Pementasan wayang kulit termasuk salah satu media yang efektif

8 Rosidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, (Jakarta: Paramadina,2004), Cet. Ke-I, h.1

Page 85: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

50

untuk menyampaikan pesan dakwah. Wayang kulit adalah seni budaya

peninggalan leluhur yang sudah berumur berabad-abad dan kini masih lestari di

masyarakat, seni pewayangan sudah lama digunakan sebagai media penyampaian

nilai-nilai luhur/moral, etika, dan religius. Dari zaman kedatangan Islam

digunakan oleh para wali songo sebagai media dakwah Islam di tanah Jawa.9

Di masa lalu para ulama dan para wali melakukan pendekatan yang sama

dalam menyiarkan agama islam, yaitu melalui media dakwah yang telah menjadi

warisan budaya tanah leluhur Indonesia.10

Teknik penyampaian pesan dakwah dalam pementasan wayang kulit,

dengan cara memasukan unsur-unsur materi dakwah pada alur cerita yang

dipentaskan. Pesan yang ingin disampaiakan oleh dalang sebagai da’i kepada

penyimak wayang sebagai pemanis dalam pementasan cerita wayang, ia

“dihidupkan” oleh seorang dalang yang juga sekaligus berperan sebagai sutradara

dan pemberi watak dan ekspresi setiap tokoh yang ditampilkan melalui

cerita/lakon dan wacana dari tokoh wayang.11 Dialog-dialog yang pesan dakwah

disampaikan dengan diiringi gerakan lenggak-lenggok wayang sebagai tokoh

sentralnya. Posisii seperti ini akan menimbulkan daya tarik berupa kelucuan,

kesedihan, senang atau susah dan dapat memancing emosional penontonya yang

menyebabkan gelak tawa dan haru para penontonnya. Dan ketika hal ini telah

terjadi, maka dakwah yang disisipkan melalui lakon cerita atau wacana akan

sampai kepada audien atau penonton.

9 Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, (Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991), Cet.Ke-I,

h. 16 10 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004),

Cet. Ke-IV, h.203 11 S. Haryono, Pratiwibawa Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta

: Penerbit Djembatan, 1988), Cet. Ke-I, h. 24

Page 86: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

51

Sebagaimana yang telah dilakukan dalang Ki Sudardi dalam setiap

pementasannya, beliau selalu menyelipkan nilai-nilai keislaman dan itu

merupakan dakwah yang dilakukan dengan media wayang kulit. Dengan

dijadikanya wayang kulit sebagai medianya maka teknik penyampaian pesan yang

beliau gunakan adalah metode interktif dengan penonton.

Sampai saat ini saya masih menganggap bahwa metode interaktif dengan penonton masih efektif. Dan biasanya saya menyampaikannya lewat segmen/bagian ”limbung atau goro-goro” dari situ saya menyampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan jelas.12 Ki Sudardi menjelaskan bagaimana tentang konsep Panakawan yang

selalu ditampilkan dalam setiap pementasan wayang yang beliau dalangi. Para

tokoh Panakawan ini selalu beliau tampilkan dalam setiap pementasan wayang

kulit. Tokoh-tokoh Panakawan tersebut adalah :

1. Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Mismar. Mismar berarti

paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran

yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala

masalah. Agama adalah pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan

demikian juga adalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap

umat beragama.

2. Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam

pengucapan lidah Jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini

berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia

sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman

12 Wawancara pribadi dengan dalang Ki Sudardi, Pringapus Semarang 20 mei 2010.

Page 87: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

52

(umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan

yang baik.

3. Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari

sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa

siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah.

Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada

waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong

yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan

hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas,

seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.

4. Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak

terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si “Bayangan Semar” ini

karakternya lancang dan suka berlagak bodoh

Secara umum, Panakawan melambangkan orang kebanyakan. Karakternya

mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penghibur, kritisi sosial, badut

bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Para tokoh Panakawan juga berfungsi

sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada dasarnya setiap

manusia umumnya memerlukan pamomong, mengingat lemahnya manusia,

hidupnya perlu orang lain (makhluk sosial) yang dapat membantunya

mengarahkan atau memberikan saran / pertimbangan. Pamomong dapat diartikan

pula sebagai guru / mursyid terhadap salik yang dalam upaya pencerahan jati diri.

Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap

permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara tokoh-

Page 88: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

53

tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan. Artinya adalah bahwa jalan

kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang

dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang sama. Lakon goro-goro pun

menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar menjadi

kelihatan jelas sebagaimana sebuah doa:

Allahuma arinal haqqa-haqqa warzuknat tiba’ah, wa'arinal baathila-

baathila warzuknat tinaabah,

artinya: Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah

kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukilah yang salah kelihatan

salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya.

Dalang Ki Sudardi selalu memasukan unsur-unsur filsafat hidup dalam

tiap cerita atau lakon yang ia pentaskan agar tidak terkesan monoton dan Ki

Sudardi juga memasukan nilai-nilai santrisme yaitu dialog dalam lakon

pewayangan yang sifatnya menyindir, baik sifatnya ringan ataupun sindiran

pedas.

Banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari setiap hasil budaya bangsa

kita wayang kulit merupakan salah satu kebudayaan yang harus kita jaga dan

dilestarikan.

Page 89: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

54

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

berdasarkan penjabaran yang telah dikemukankan, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Dalang Ki Sudardi di dalam pementasan wayangnya berusaha untuk

menyisipkan bahasa-bahasa dakwah, agar pementasan wayang kulitnya

syarat akan pesan-pesan dakwah Islam. Bahasa yang digunakan KI

Sudardi dalam pementasan wayang kulit adalah dengan menyelipkan

pesan dakwah ketika ada tokoh wayang yang beliau mainkan sedang

melakukan semedi (bertapa) guna mendapatkan suatu kesaktian, selain

daripada itu nama Negara dan nama-nama tokoh-tokoh wayang kulit

banyak yang diceritakan dengan bahasa Arab dan bahasa Jawa yang

mengandung makna ajaran Islam Ki Sudardi menggunakan bahasa yang

mudah dimengerti oleh masyarakat, Nilai-nilai dakwah yang terdapat di

dalam pementasan dalang Ki Sudardi adalah terdapat nilai Akidah

(mencakup masalah-maslah yang erat hubunganya dengan rukun Iman.),

Syariah (merupakan wujud nyata dari ketundukan seorang muslim kepada

Tuhannya), dan Akhlak (merupakan perwujudan dari hablumminanannas

seorang muslim).

2. Tehnik penyampaian pesan yang digunakan oleh dalang Ki Sudardi di

dalam upaya menyampaikan pesan dakwah pada pementasan wayang

kulitnya ialah, dengan adalah dengan cara memasukan unsur-unsur materi

dakwah pada alur cerita yang dipentaskan dan dengan menggunakan

54

Page 90: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

55

metode intraktif dengan penonton. Dalang Ki Sudardi dalam setiap

pementasannya, beliau selalu menyelipkan nilai-nilai keislaman dan itu

merupakan dakwah yang dilakukan dengan media wayang kulit. Dengan

dijadikanya wayang kulit sebagai medianya maka teknik penyampaian

pesan yang beliau gunakan adalah metode interktif dengan penonton.

Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap

permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara

tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan. Artinya adalah bahwa

jalan kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun, setiap dakwah

yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang sama. Lakon goro-

goro pun menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang

samar-samar menjadi kelihatan jelas.

B. Saran

1. Untuk para dalang kesenian wayang kulit, pecinta kesenian wayang kulit

agar memiliki tanggung jawab yang besar terhadap hasil karya

pementasannya, karena disebabkan karya pementasannya, mempunyai

pengaruh yang besar terhadap para penggemar kesenian wayang

kulit.maka sampaikanlah karya-karya cerita kesenian wayang yangf dapat

mendidik dan dapat membawa kebaikan bagi para penggemar wayang

kulit apalagi jika mengemasi pementasannya dengan pesan-pesan religius,

di satukan dengan cerita sesuai perkembangan era sekarang ini, tentu akan

sangat bermanfaat bagi para pencipta cerita pewayangan juga para

penggemmar wayang baik di negara maupun di dunia.

Page 91: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

56

2. untuk seluruh umat islam yang semuanya terkena kewajiban untuk

berdakwah, agar tetap menjalankan dakwahnya sesuai bidang dan

kemampuan masing-masing, karena dakwah islam ini diperlukan di segala

bidang. Sampaikamlah kebaikan yang kita bisa walaupun hanya sedikit,

Ballighu ‘Annii Walau aayat.

3. Untuk Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam hal ini

Fakultas Dakkwah dan Komunikasi Khususnya Jurusan Komunikasi

Penyiaran Islam untuk lebih memperdalam disiplin ilmu dakkwah

terutama pemehaman penyiaran melalui media kesenian wayang,

khusumya wayang kulit, dan diharapkan juga ada kajian khusus

mengenaik dakwah melalui media wayang kulit, sebagaimana kita tahu

bahwa media wayang telah dipergunakan sebagai media dakwah pada

awal perkembangan islam di indonesia oleh Wali Songo. Ketersediaan

literatur pewayangan di Fakultas Dakwah dapat dijadikan sebagai acuan

perluasan dakwah Islam melalui media wayang di masa depan.

Page 92: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

57

Daftar Pustaka

Amir, Martosedono, SH, Sejarah Wayang Asal Usul Jenis dan Cirinya,

Semarang: Dahara Press, 1990, Cet. Ke-2

Amir, Hazim, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta: CV.Mulia Sari, 1991).

Arifin, M. Ed, Psikologi Dakwah, Jakarta: Bulan Bintang, 1997

Bactiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah (Jakarta: Logos, 1997)

Bastomi, Suwaji etika, Nilai-nilai Seni Pewayangan, Semarang; Dahara Prize,

1993.

Champion, Dean J., Metode dan Masalah Penelitian, Bandung: Refika Aditama,

1998.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia..

Habib, M. Syafaat, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982)

Hamka, Prinsip dan kebijaksanaan Dakwah Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta,

1984

Harjowirogo, Sejarah Wayang Purwa, Balai Pustaka, Jakarta, 1968

Hasanuddin, Hukum Dakwah: Tinjauan Aspek Hukum dan Berdakwah di

Indonesia. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.

Mertosedono, Amir, Sejarah Wayang: Asal-Usul, Jenis dan Cirinya. (Semarang:

Dahara Prize. 1990).

Moeleng, Lexy. J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdya

Karya, 1933.

Mulyono, Sri, Wayang; Asal Usuil Filsafat dan Masa Depannya PT, Gunung

Agung, 1976.

--------------, Simbolisme dan Mistisme dalam Wayang Jakarta: PT.Gunung

Agung, 1979.

Oerdianto, Sigit, “Berdakwah Keliling Kota dengan Wayang Kulit, Suara

Merdeka, senin 31 Oktober 2008

Page 93: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

58

Rafiudin, Maman Addul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah, Bandung : CV.

Pustaka Setia, 1997.

Rahmad, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Remaja Karya, Bandung, 2000

S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang,

Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1988.

Sayyid. M. Nuh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islami, Solo: Citra

Islami Press, 1996

Shihab, Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat Bandung Mizan. 1996.

Wawancara Pribadi dengan Dalang Ki Sudardi, Desa Pringapus Semarang,

tanggal 20 Mei 2010.

Wawancara Pribadi dengan Tokoh Masyarakat Joko Winarno, Desa Pringapus

Semarang, tanggal 21 Mei 2010.

Wikipedia, artikel di akses tanggal 25 Mei 2010 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa.

Wikipwdia, Artikel ini di akses tanggal 18 Juni 2010 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/WayangWayang

Yatim , Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,

2004.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

Zaidallah, Alwisral Imam, Starategi Dakwah dalam Membentuk Da’ dan Khotib

Propesional, Jakarta: Kalam Mulia, 2002

Page 94: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Foto setelah melakukan wawancara dengan dalang wayang kulit Ki Sudardi

di desa Pringapus, Semarang, tanggal 20 Mei 2010

Page 95: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

Arsip pementasan wayang kulit Ki Sudardi, Pringapus Semarang, 10 November 2007

2

Page 96: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

Transkip Wawancara

Nama : Ki Sudardi Jabatan : Dalang Seni wayang kulit Smarangan – Desa Pringapus Kec.

Klepu, Kab. Semarang Hari/tanggal : Kamis, 20 Mei 2010 Tempat : Jln. Kampung Kobongan, desa Pringapus Semarang Jawa Tengah Penulis : Sejak kapan bapak mulai mendalang/menekuni kesenian wayang

kulit ? Ki Sudardi : Profesi sebagai dalang ini saya lakoni tahun sejak tahun 1971.

Sejak kecil, saya menyukai kesenian wayang kulit, saya tertarik dengan kesenian wayang ini karena saya sudah diperkenalkan dengan kebudayaan jawa ini oleh almarhum orang tua saya yang sudah menyukai kesenian ini terlebih dahulu. Dalam dunia pewayangan karakternya sungguh banyak. Semua karakter manusia ada, mulai dari yang baik sampai yang jahat dan saya menggemari wayang sejak dulu. Wayang kulit merupakan sebuah kesenian tradisional yang sangat digemari oleh kebanyakan masyarakat di desa Pringapus Semarang, oleh karena itu saya sangat menjaga agar tradisi ini tidak punah, salah satunya itu dengan membentuk organisasi perkumpulan seni wayang kulit smarangan di desa Pringapus Semarang Jawa Tengah.

Penulis : Bagaimana sejarah awal bapak memilih wayang sebagai media

dakwah ? Ki Sudardi : Wayang sejak zaman para wali telah dipergunakan sebagai media

dakwah yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan atau ajaran agama Islam. Hal tersebut dikarenakan metode yang biasa digunakan oleh para dalang adalah metode komunikasi yang interaktif dengan penonton, penonton menganggap dalang seseorang yang memiliki pengetahuan lebih dan harus diikuti. Saya pribadi juga menyadari bahwa media wayang kulit dapat dijadikan sebagai tontonan juga sekaligus tutunan. Sehingga nilai-nilai dan bahasa dakwah yang saya sampaikan dapat mudah diterima oleh masyarakat desa Pringapus Semarang.

Penulis : Apa Visi dan Misi bapak menggunakan wayang kulit sebagai

media dakwah ? Ki Sudardi : Visi dan Misi saya pribadi menggunakan media wayang kulit

sebagai media dakwah, sebagaimana sebagai umat muslim saya

Page 97: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

ingin mengajarkan agama Islam kepada seluruh masyarakat, sebagaimana hadis Nabi ”Sampaikanlah walau hanya satu ayat.”

Penulis : Bagaimana metode yang bapak pakai dalam mendalang ? Ki Sudardi : Sampai saat ini saya masih menganggap bahwa metode interaktif

dengan penonton masih efektif. Dan biasanya saya menyampaikannya lewat segmen/bagian ”limbung atau goro-goro” dari situ saya menyampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan jelas.

Penulis : Materi apa saja yang bapk sampaikan dalam mendalang ? Ki Sudardi : Materinya antara lain pemberdayaan masyarakat tentang sosial.

Dan secara spiritual, saya akan menyampaikan ke masyarakat sesuai dengan tema wayangan, misalnya pada waktu hajatan nikah maka saya akan memberikan materi ayat-ayat yang berhubungan dengan rumah tangga di dalam membentuk keluarga sakinah mawaddah dan warahmah, pada waktu aqiqah maka saya membawakan ajaran yang berhubungan dengan bakti anak dengan orang tua, atau pada waktu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW maka saya akan membawakan bagaimana sejarah beliau di dalam memperjuangkan agama Islam dan lain-lain. Intinya adalah sampaikanlah walau satu ayat (Balighu ‘ani walau ayat).

Penulis : Apakah ritual yang biasa bapak lakukan sebelum pementasan ? Ki Sudardi : sebelum pentas saya selalu mengatakan.

Ayo mulo tak jaluk wargaku sregepo ndedungo marang purbaning kang kawaso. Mogo rino lan wengi tansah nyanding karahayon, ketentreman, kawilujengan, tebing saking kolo, adoh soko tumindak cidro, tansah sungkem marang padaning wong tuwo. (Saya minta kepada seluruh warga untuk rajin berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa semoga siang dan malam senantiasa mendapat kemuliaan, ketentraman, keselamatan, dan jauh dari mara bahaya, jauh dari tindakan yang tercela dan menghormati orang tua).

Penulis : Nilai-nilai dakwah apakah yang selalu bapak ajarkan kepada

masyarakat desa Pringapus ? Ki Sudardi : Saya“ selalu mengajarkan kepada masyarakat desa untuk rajin

dan maumelaksanakan rukun Islam yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.”, “Shalat adalah tiang agama, karena dengan shalat kita juga akan terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar.”“Inna shalata tanha ‘anil fakshai wa mungkar.”

Page 98: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

Penulis : Apa bahasa dakwah yang biasa bapak suguhkan dalam

pementasan wayang bapak ? Ki Sudardi : Bahasa dakwah yang biasa saya sisispkan dalam pementasan

saya, “kep sidakep loro dadia tunggal. Ana ucap mboten ditingal, ana sambung mboten diambun. Ati ngait ka yang widi, manah muntang kanu kawasa, kalbu agung, angbrantang kanu murbeng alam”, artinya : dua tangan menjadi satu disimpan diantara dada dan perut tidak boleh berbicara meskipun ada yang harus dibicarakan, tidak boleh melihat apapun, apalagi menengok kekiri dan kekanan, tidak boleh mendengarkan sesuatu sebab kita sedang menghadapkan diri kepada Illahirobbi.

Penulis : Apa saja yang menjadi faktor pendukung dalam pertunjukan

wayang bapak ? Ki Sudardi : Saya didukung oleh tim kesenian yang telah dibentuk. Mulai dari

gamelan-gamelan jawa, pemain alat musik yang saya mengiringi saya ketika pentas, seniman-seniwati, dan terkadang salalu ada radio-radio setempat yang menyiarkan secara langsung pementasan wayang kulit, sehingga seluruh desa dapat mendengarkan.

Penulis : Menurut bapak apa saja yang menjadi hambatan dalam proses

pertunjukan wayang bapak ? Ki Sudardi : Sebenarnya tidak ada hambatan. Mungkin hanya masalah cuaca

dan lokasi yang cukup jauh. Penulis : Bagaimana solusi dari hambatan-hambatan yang bapak alami,

ketika akan mengadakan pertunjukan wayang bapak ? Ki Sudardi : Setiap hambatan yang ada selalu dicarikan solusi dengan

kerjasama antara tim dan masyarakat setempat, dan pihak-pihak yang terkait.

Penulis : Bagaiman respon masyarakat desa Pringapus Semarang terhadap

pertunjukan wayang bapak ? Ki Sudardi : Respon masyarakat desa Pringapus semarang sangat antusias dan

baik sekali. Tertbukti, dari penuhnya lapangan dan halaman rumah setiap kali saya pentas.

Penulis : Bagaimana harapan bapak terhadap kesenian wayang khususnya

di desa Pringapus Semarang ?

Page 99: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

Ki Sudardi : Kesenian wayang kulit adalah sebagai seni dan budaya warisan leluhur harus terus dijaga dan dilestarikan, saya pribadi berharap kepada generasi penerus agar melestarikan dan mengembangkan, karena banyak sekeli manfaat yang ada di dalam kebudayaan kita ini khususnya kesenian wayang kulit ini.

Mengetahui

Pewawancara Responden Yogyasmara. P. Ardhi Ki Sudardi

Page 100: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

Transkip Wawancara

Nama : Joko Winarno

Jabatan : Tokoh Masyarakat Desa Pringapus Semarang

Hari/tanggal : Jum’at, 21 Mei 2010

Tempat : Jln. Kali Seneng, desa Pringapus Semarang Jawa Tengah

Penulis : Bagaimana menurut bapak tentang pentas pertunjukan wayang kulit oleh dalang Ki Sudardi ?

Joko Winarno : Dalang Ki Sudardi ketika mendalang selalu mengajarkan kasih

sayang dan kepekaan sosial. Karena dengan itu semua masyarakat dapat hidup rukun dan gotong royong demi membangun daerahnya atau desanya.

Penulis : Nilai-nilai apa yang bisa bapak tangkap dari pertunjukan

wayang beliau ? Joko Winarno : Melalui wayang beliau juga mengajarkan kepada masyarakat

untuk selalu perduli terhadap masyarakat yang lain, dan yang kurang mampu. Serta hubungan dengan masalah sosial sebagai media pendekatan kepada masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan baik itu sosial, politik, serta sebagai media dakwah.

Penulis : Bagaimana respon masyarakat terhadap pementasan wayang beliau ?

Joko Winarno : Respon masyarakat terhadap pementasan wayang kulit Ki

Sudardi, wayang sebagai media pendekatan itu sangat baik sekali. Terbukti ketika diadakannya pertunjukan wayang diadakan pasti penontonnya banyak, terkadang itu kasihan terhadap dalang aslinya, pernah waktu iti beliau mendalang di dua tempat sampai jam 5 pagi itu pun penontonnya banyak sekali, mualai dari yang kecil, muda, dan yang tua. Karena selain sebagai hiburan wayang juga digunakan sebagai media untuk melakukan pendekatan terhadap ajaran-ajaran agama.

Penulis : Bagaimana contoh konkrit yang dilakukan dalang Ki Sudardi

ketika mendalang yang berhubungan dengan dakwah ? Joko Winarno : Sebagai bukti ketika mendalang beliau selalu menyalami semua

tamu-tamu yang ada mulai dari yang kecil, muda, tua, sampai yang masih digendong. Ini membuktikan bahwa selain aqidah, dan syari’ah beliau juga memiliki akhlak yang baik dan patut dicontoh oleh masyarakat desa.

Page 101: ABSTRAK Yogyasmara. P. Ardhi, WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA

Penulis : Bagaimana contoh konkrit yang dilakukan beliau ketika

mendalang yang berkaitan dengan sosial dan budaya ? Joko Winarno : Disetiap beliau mendalang, beliau selalu mengajarkan kepada

masyarakat untuk selalu memiliki jiwa sosial dan peduli terhadap sesama. Beliau selalu menyampaikan di dalam wayang dan biasanya paling sering pada segmen “goro-goro”

Penulis : Bagaimana hubungan antara masyarakat desa khusunya desa

Pringapus Semarang terhadap kegiatang wayang kulit beliau ? Joko Winarno : Hubungannya sangat erat sekali, karena belau mendalang itu

tidak hanya cerita tentang wayang saja, yang jelas ketika beliau mendalang beliau selalu menyampaikan pesan-pesan baik itu pesan agama, sosial, atau budaya. Melalui media wayang kulit, terbukti efektif dalam menyampaikan pesan-pesan yang yang kiranya dapat dimengerti oleh masyarakat awam.

Mengetahui

Pewawancara Responden Yogyasmara. P. Ardhi Joko Winarno