perubahan pagelaran wayang kulit di surakarta

94

Click here to load reader

Upload: hadung

Post on 12-Jan-2017

350 views

Category:

Documents


78 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

Skripsi

Oleh :

MOHAMMAD FAROKH PURBOYO

X4406009

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

Oleh :

MOHAMMAD FAROKH PURBOYO

X4406009

Skripsi

Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011

Page 3: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Surakarta, Januuari 2011

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dra.Sutiyah,M.Pd,M.Hum Drs. Djono, M. Pd NIP. 19590708 198601 2 001 NIP. 19630702 199003 1 005

Page 4: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi sebagian dari persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Rabu

Tanggal : 02 Februari 2011

Tim Penguji Skripsi :

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ( ) NIP. 19541129 198601 2 001

Sekretaris : Drs. Leo Agung Sutimin, M. Pd ( ) NIP. 19560515 198203 1 005

Anggota I : Dra. Sutiyah, M. Pd, M. Hum ( ) NIP. 19590708 198601 2 001

Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ( )

NIP. 19630702 199003 1 005

Disahkan oleh,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP. 19600727 198702 1 001

Page 5: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK

Mohammad Farokh Purboyo. PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret, Januari 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Struktur pakeliran gaya Surakarta, (2) Nilai-nilai filosofi pertunjukan wayang kulit purwa, (3) Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan pakem, (4) Bentuk pertunjukan wayang kulit modern.

Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, dokumen, buku-buku, surat kabar dan majalah yang relevan dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara, observasi lapangan, kajian pustaka, dan memanfaatkan internet. Sample yang digunakan bersifat purposive sampling. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model analisis interaktif, yaitu interaksi antara pengumpulan data dengan tiga komponen pokok, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi data melalui proses siklus. Pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi. Untuk menguji keabsahan data penulis menggunakan trianggulasi sumber (data) dan trianggulasi metode.

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat menyimpulkan bahwa: (1) Dalam struktur pakeliran gaya Surakarta terdapat aturan-aturan baku dalam pementasan wayang yang harus diikuti. Aturan tersebut mengenai pembagian adegan dalam pathet, pemakaian gendhing tiap adegan, sulukan, dan dhodhogan/keprakan. Aturan tersebut telah disusun dan dibakukan dalam Serat Tuntunan Pedalangan jilid I-IV yang disusun oleh Nojowirongko Als. Atmotjendono yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta. (2) Di dalam pertunjukan wayang kulit mengandung gambaran tata kehidupan nenek moyang yang patut di ambil suri tauladan. Selain itu, juga terkandung makna proses pendidikan dari lahir hingga mati. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian periode pertunjukan (pathet) bentuk semalam, yang dimulai dari pathet nem, pathet songo, dan pathet menyura. Selain terkandung proses pendidikan dari lahir hingga mati dalam periode pertunjukan yang ditampilkan oleh dalang, terkandung pula secara simbolis di dalamnya mengenai ajaran, petuah, keteladanan, dan juga makna tentang hubungan manusia dengan tuhan. (3) Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan pakem adalah pertunjukan wayang kulit yang berpegang terhadap naskah lakon pewayangan. Dalam perkembangannya pakem lakon wayang mengalami perubahan. Pakem lakon yang digunakan kebanyakan berasal dari Pustaka Raja Purwa dan Serat Pedalangan Ringgit Purwa yang di dalamnya merupakan cerita sempalan/carangan yang berasal dari kitab Mahabarata dan Ramayana. (4) Pakeliran padat merupakan bentuk pembaharuan dalam pakeliran. Pakeliran padat dikenalkan oleh Humardani. Meskipun berbeda dengan pakeliran bentuk semalam, pakeliran padat tidak secara penuh melepaskan unsur tradisi dari pakeliran bentuk semalam.

Page 6: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

ABSTRACT

Mohammad Farokh Purboyo. THE TRANSITION OF THE WAYANG KULIT THEATRE IN SURAKARTA. Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University, January 2011.

This study has an aims to know: (1) The Surakarta wayang kulit theatre structure, (2) The philosophical values of the wayang kulit purwa theatre, (3) The form of the wayang kulit theatre that fit with the rules, (4) The modern wayang kulit theatre.

This study used qualitative method. The data source used informant, events, or activity, place or spot, documents, literatures, newspaper and magazine that relevance with the study. The data collecting used are interview, field observation, study literature, and internet. The study used purposive sampling in gaining the data from the sample. The technique of analysis used was qualitative with interactive analysis model, the interaction between data collecting with three main components that are data reduction, data serving, and conclusion withdrawal/data verification through cycle process. Checking the validity of data used triangulation. To analyze the data, the researcher used triangulation of the resource data and triangulation method.

Based on the results of data analysis and discussion in this study, can concluded that: (1) In the Surakarta wayang kulit theatre, there are standard rules in puppets theatre which it must be followed. The rules are about scene division in pathet, using gendhing for each scene, sulukan, and dhodhogan/keprakan. That rules have been arranged and setled in Serat Tuntunan Pedalangan part I-IV by Nojowirongko Al. Atmotjendono. He is an abdi dalem in Kasunanan Surakarta palace. (2) Wayang kulit theatre contains pictures of ancestor life which can be example for our life, and purpose of education process from it born until die. It can be seen period division performance (pathet) whole night form (type), which it is stared from pathet nem, pathet sanga, and pathet manyura. Besides that, it contains doctrines, advices, example, and purpose of relation between god and human, (3) The form of the wayang kulit theatre that fit with the rules is wayang kulit theatre which hanging on the puppets lakon manuscript. On its development, puppets pakem lakon had change. The puppets pakem lakon that usually use coming from Pustaka Raja Purwa and Serat Pedalangan Ringgit Purwa which its load is a sempalan/carangan stories that coming from Kitab Mahabarata and Ramayana (4) The modern form of wayang kulit theatre is pakeliran padat. Pakeliran padat is a renewal on pakeliran. Pakeliran padat was defined by Humardani. Even though it is different with whole night’s wayang kulit theatre. The pakeliran padat not totally release traditional unsure from whole night’s wayang kulit theatre.

Page 7: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO

”Allah meninggikan orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang di beri

ilmu pengetahuan, beberapa derajat”( QS. Al-Mujadalah : 11 )

Katakanlah : “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang

tidak mengetahui ?” sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima

pelajaran ( QS Az-Zumar : 9 )

“Setiap generasi tidak akan puas dengan hanya mewariskan pusaka (budaya) yang

diterimanya dari masa lalu, tetapi akan berusaha untuk membuat sumbangannya

sendiri” ( Maurice Duverger )

“Posisikanlah dirimu menjadi seseorang yang hebat saat dirimu memilih sesuatu dan

jadikanlah kekuranganmu menjadi kelebihanmu” ( Penulis )

Page 8: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini Penulis persembahkan kepada:

� Bapak dan Ibu yang tercinta, semoga Allah senantiasa

meridhoi serta adik yang aku sayang Dwi Retno

Fatmawati

� Sahabat terbaikku yang senantiasa menyemangatiku

� My best friend Dian Nursiwi, An Nuur Sakha H.P.,

Anggi Permatasari, Wenda Widyo S., dan Sri Wahyuni

� Rekan-rekan seperjuangan Pendidikan Sejarah

Angkatan 2006

� Almamater FKIP UNS Surakarta

Page 9: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala

limpahan rahmat dan karunia-Nya penulisan Skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan guna mendapatkan

gelar Sarjana Pendidikan di Program Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penulisan Skripsi ini,

namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan tersebut dapat diatasi.

Oleh karena itu, atas segala bentuk bantuannya penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta

2. Ketua Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

4. Dra. Sariyatun, M. Pd, M. Hum Selaku Pembimbing Akademis yang telah

membantu menyelesaikan studi ini

5. Dra. Sutiyah, M. Pd, M. Hum Selaku Dosen Pembimbing I yang telah

membimbing dalam penyusunan Skripsi ini

6. Drs. Djono, M. Pd Selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dalam

penyusunan Skripsi ini

7. Bapak & Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS.

8. Semua informan yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

Page 10: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

Penulis menyadari bahwa dalam Skripsi ini masih ada kekurangan. Namun

demikian, penulis berharap semoga Skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan dan penelitian pendidikan.

Surakarta, Februari 2011

Penulis

Page 11: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PENGAJUAN ........................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv

HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ v

HALAMAN ABSTRACT .............................................................................. vi

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii

KATA PENGANTAR .................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR .............................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian....................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian .................................................................... 8

1. ManfaatTeoritis ..................................................................... 8

2. Manfaat Praktis ..................................................................... 8

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 10

1. Pagelaran Wayang Kulit ....................................................... 10

B. Kerangka Berfikir ...................................................................... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 26

1. Tempat Penelitian ................................................................. 26

2. Waktu Penelitian ................................................................... 26

Page 12: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ................................................. 27

1. Bentuk Penelitian .................................................................. 27

2. Strategi Penelitian ................................................................. 28

C. Sumber Data .............................................................................. 29

1. Informan ................................................................................ 29

2. Tempat dan Peristiwa ........................................................... 29

3. Arsip dan Dokumen .............................................................. 30

D. Sampling .................................................................................... 30

E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 31

1. Wawancara Mendalam ......................................................... 31

2. Observasi ............................................................................... 31

3. Analisis Dokumen ................................................................. 32

F. Validitas Data ............................................................................. 33

G. Teknik Analisis Data ................................................................ 34

H. Prosedur Penelitian ................................................................... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Struktur Pakeliran Gaya Surakarta .......................................... 37

B. Nilai-nilai Filosofis dalam Pertunjukan Wayang Kulit .......... 41

1. Simbol Kehidupan Masa Kanak-kanak (Pathet Nem) ........ 41

2. Simbol Kehidupan Masa Dewasa (Pathet Sanga) .............. 43

3. Simbol Kehidupan Masa Tua (Pathet Menyura) ................ 44

C. Pertunjukan Wayang Kulit Sesuai dengan Pakem .................. 48

1. Garap Catur ........................................................................... 48

2. Garap Sabet ........................................................................... 56

3. Garap Iringan ........................................................................ 57

D. Pertunjukan Wayang Kulit Modern ......................................... 67

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................................ 77

B. Implikasi .................................................................................... 78

1. Implikasi Metodologis .......................................................... 78

Page 13: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

2. Implikasi Teoritis .................................................................. 78

3. Implikasi Praktis ................................................................... 79

B. Saran ........................................................................................... 79

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 80

GLOSARI ........................................................................................................ 84

LAMPIRAN .................................................................................................... 91

JURNAL INTERNASIONAL ........................................................................ 145

Page 14: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel dan Gambar Halaman

2.1. Gambar Bagan Kerangka Pemikiran ........................................................ 23

3.1. Tabel Waktu Penelitian.............................................................................. 27

3.2. Skema Analisis Data Model Interaktif ..................................................... 35

3.3. Gambar Bagan Prosedur Penelitian .......................................................... 37

Page 15: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Peta Wilayah Surakarta .............................................................. 92

Lampiran 2 : Foto Pertunjukan Wayang Kulit Ki Anom Suroto ................... 93

Lampiran 3 : Foto Adegan Goro-goro ............................................................. 94

Lampiran 4 : Cerita Lakon Ramayana dan Mahabarata ................................. 95

Lampiran 5 : Macam Lakon dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa ........... 100

Lampiran 6 : Daftar Informan .......................................................................... 138

Lampiran 7 : Surat Ijin Menyusun Skripsi dan Penelitian .............................. 139

Lampiran 8 : Jurnal-jurnal ................................................................................ 145

Page 16: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai sebuah kasenian yang adiluhung, pertunjukan wayang kulit

purwa merupakan sebuah hasil budaya masyarakat Jawa yang masih dapat

bertahan sampai sekarang dibandingkan dengan kesenian sejenis. Di masa lampau

pernah hidup dan berkembang wayang madya, wayang gedog, wayang krucil,

wayang klitik, wayang dupara, wayang makripat, wayang kuluk, wayang suluh,

wayang kancil, wayang beber, wayang bible, wayang wahyu, wayang warta, dan

wayang sadat. Sebagian besar wayang-wayang itu tinggal dikenal namanya saja,

wujud pertunjukannya sudah tidak dikenal lagi dan/atau jarang dipentaskan

(Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 1). Pertunjukan wayang kulit yang sering

disebut dengan sebutan pakeliran ini banyak terkandung nilai di dalamnya seperti

sistem kepercayaan, filsafat, pandangan hidup, adat istiadat, ’unggah-ungguh’.

Wayang kulit juga dapat berfungsi sebagai perangkat upaya tradisi dan

kebudayaan, wahana pendidikan yang didalamnya tercakup penerangan dan

dakwah, penyampaian kritik sosial dan budaya (Karsono H. Saputro 1987 : 10).

Selain itu secara luwes dapat digunakan untuk mewadahi dan menjembatani

berbagai kepentingan masyarakat, di antaranya untuk peringatan peristiwa -

peristiwa penting dalam kehidupan atau perjalanan hidup manusia sejak dalam

kandungan hingga meninggal dunia; untuk sarana pemujaan (upacara agama atau

kepercayaan); untuk peringatan hari-hari besar kenegaraan atau keagamaan; untuk

kepentingan sosial; untuk sarana penyampaian ide-ide dan pesan pemerintah atau

kelompok masyarakat; serta untuk tontonan dan tuntunan (Soetarno, Sarwanto,

Sudarko 2007: 6).

Sebagai sebuah pertunjukan tradisi, wayang kulit merupakan media

untuk kongkow-kongkow bagi penggemarnya. Masyarakat selain menikmati

pertunjukan wayang kulit yang syarat akan makna juga dijadikan sebagai sarana

untuk bertemu dengan tetangga di lain desa maupun sanak saudara yang jarang

bertemu satu sama lain. Fungsi pertunjukan kesenian mulai mengalami

1

Page 17: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

pergeseran. Pertunjukan wayang menjadi wahana soldaritas sosial masyarakat

(Sarworo Suprapto 1994 : t.h.).

Dalam kaitannya wayang kulit sebagai sebuah tindakan kesenian sudah

sejak lama dapat diketahui dengan adanya sebuah karya sastra Jawa Kuna

Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa yang ditulis pada abad XI masa

pemerintahan maharaja Airlangga antara tahun 1019-1042 Masehi seperti

tercantum dalam kakawin Arjunawiwaha bait 59 yang berbunyi :

“Hanonton ringgit manangis asekel muda hadepan huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresning wisaya malah tan wihikana tatwan jan maya sahan kahaning bahwa siluman.”(Hazeu yang dikutip Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 1) “Ada orang yang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihatnya itu hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja” (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 1).

Wayang kulit memiliki filosofi yang sangat tinggi terhadap kehidupan

manusia. Dalam perkembangannya pertunjukan wayang kulit purwa mengalami

banyak sekali parubahan yang sangat signifikan. Baik dalam pementasan, jalan

cerita, maupun hal yang lain terkait dengan pertunjukan itu sendiri.

Sebagai sebuah kesenian tradisi, pakeliran gaya Surakarta telah memberi

pengaruh yang cukup besar terhadap dunia pewayangan di Jawa. Pakeliran gaya

Surakarta telah menyebar luas sampai ke daerah Pantura dan Jawa Timur.

Pengaruhnya meliputi daerah – daerah : Purwokerto, Purwodadi, Pati, Semarang,

Boyolali, Wonogiri, Sragen, Ngawi, Nganjuk, Surabaya, Malang, Kediri, Blitar,

dan Tulung Agung (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007 : 261).

Kesenian pada hekekatnya merupakan tindak komunikasi, baik

komunikasi vertikal maupun komunikasi horizontal yang disublimasikan

sedemikian rupa berdasarkan kaidah-kaidah estetika sehingga tidak tampak

vulgar. Sebagai media komunikasi, suatu bentuk kesenian akan lahir, tumbuh, dan

berkembang berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat dimana kesenian tersebut

menampakkan eksistensinya. Adanya kesatuan antara corak kesenian dan jaman.

Page 18: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Sebaliknya suatu bentuk kesenian akan punah dengan sendirinya apabila tidak

mampu lagi manampung aspirasi masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu

hanya kesenian yang memiliki elastisitas tinggi dalam arti mampu berkomunikasi

sepanjang jaman, akan langgeng sekalipun harus mengalami inovasi, modivikasi,

atau transformasi (Karsono H. Saputro 1987 : 10).

Pada awal tahun 90-an di Jawa Tengah muncul pertunjukan wayang

purwa dengan menggunakan dua kelir/layar atau lebih dikenal dengan nama

pakeliran Pantap yang merupakan bentuk pembaruan yang dilakukan oleh pejabat

pemerintah di Jawa Tengah. Pakeliran ini berfungsi sebagai alat propaganda

partai politik Golkar masa Orde Baru. Selain itu dalam pergelarannya juga

terdapat perbedaan dengan bentuk pertunjukan wayang kulit semalam yaitu :

pertama, pertunjukan dilakukan oleh dua orang dalang dengan dua layar yang

dilakukan secara bersamaan ataupun bergantian; kedua, ada penambahan pelaku

pertunjukan, yaitu pemusik, pelawak, pemain wayang orang, dan penyanyi.

Masuknya lawak, penyanyi, bintang tamu, penonton ke panggung

wayang kulit menjadikan suasana sakral, magis, dan mistik lenyap. Dengan

demikian dunia wayang menjadi lebih dekat dengan penonton karena penggunaan

bahasa sehari-hari tidak hanya terbatas pada adegan gara-gara maupun Limbuk-

Cangik, tetapi kapan saja dan pada adegan manapun yang dikehendaki dalang

(Soetarno 2004 : 178). Selain itu Penghadiran bintang tamu hanya akan

mencerminkan ketidakmampuan dalang yang bersangkutan menampilkan

jatidirinya secara utuh (Antonius Darmanto, 1995 : 11).

Media pertunjukan pada era Orde Baru diharapkan dapat menyampaikan

pesan-pesan pembangunan. Hampir semua pertunjukan harus mampu

menyampaikan pesan-pesan pembangunan dengan cara menyisipkan pesan-pesan.

Pesan-pesan tersebut berupa filsafat umum, 1. Pancasila, 2. GBHN, 3. Pelita, dan

pemikiran-pemikiran lain yang sehubungan dengan budi daya memasyarakatkan

ketiga hal tersebut. Pertunjukan apa saja merupakan media massa. Media pentas

yang dilaksanakan secara tatap muka atau face to face antara pemain sebagai

komunikator dan penonton sebagai audience merupakan sarana yang sangat

efektif. Selain itu pengolahan pesan yang sedemikian rupa tidak akan membuat

Page 19: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

audience merasa sakit hati walaupun mereka tersindir (S. Darmoatmodjo 1987 :

12-13).

Pada era Orde Baru, penguasa Orde Baru melakukan suatu perubahan

besar dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat

Jawa pada khususnya, membentuk satu tata kehidupan ekonomi masyarakat

Indonesia yang hampir sepenuhnya kapitalis. Dengan demikian, Orde Baru telah

menciptakan sebuah iklim bagi pakeliran yang membuatnya ke arah

kecenderungan materialisasi dan ekonomisasi wayang kulit.

(http://www.adln.lib.unair.ac.id di unduh tanggal 22 April 2010)

Dalam rangka memperingati lima puluh tahun kemerdekaan RI, kota

Surakarta mengadakan Festival Gregat Dalang (FGD) yang diselenggarakan

selama 18 hari dari tanggal 15 Juli – 2 September 1995 yang diikuti oleh 49

dalang muda se-Jawa (DKI, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) dengan bentuk

pakeliran semalam tradisi gaya Surakarta. Melalui FGD ini diharapkan dapat

memacu kreativitas dalang muda dalam bingkai pakeliran tradisi gaya Surakarta

(2007 : 275).

Pada pertengahan tahun 1990-an, dalang Warseno Slenk memasukkan

beberapa intrumen musik (non gamelan) sebagai sarana pendukung dalam

pertunjukannya. Intrumen musik yang digunakan antara lain keyboard, drum, bass

gitar elektrik dan gitar rithym.

Sekitar tahun 1998 kehadiran campursari merebak dan digemari

masyarakat. Sebagai dalang mengerti selera pasar, Warseno Slenk menyajikan

pertunjukan wayang kulit dengan tambahan sajian lagu-lagu campusari setiap

pementasan wayangnya. Biasanya lagu-lagu campursari dimasukkan dalam

adegan Limbuk Cangik dan gara-gara. Ki Warsena banyak melakukan

eksperimen kreatif dengan memadukan beberapa aliran musik seperti rock, punk,

rap yang dipadukan dengan gamelan. Hasilnya adalah musik gamelan yang

kolaboratif yang digandrungi kawula muda (http://cetak.kompas.com di unduh

tanggal 08 Juni 2010).

Ki Manteb yang lihai dalam hal sabetan (memainkan wayang)

mementaskan pertunjukan wayang bersama dengan pelawak, penyanyi dangdut,

Page 20: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

dan penyanyi campursari. Beliau bahkan membolehkan pelawak dan penyanyi

dangdut beraksi di pangung wayangan kulit dengan berdiri dan berjoget di antara

para pemain gamelan dan dalang yang duduk bersimpuh. Di sisi lain dalang papan

atas seperti Ki Anom Soeroto yang setia di jalur pakem, pada akhirnya juga tidak

menolak kehadiran bintang tamu dalam pentas wayang kulit. Ki Anom, yang

dijuluki sebagai dalang “bersuara emas”, memberi tempat para pelawak seperti

Timbul, Kirun, dan Ranto Edi-Gudel (almarhum) menyemarakkan panggungnya.

Beliau juga mau menerima kehadiran penyanyi campursari dan keroncong seperti

Waldjinah di pentasnya, tetapi Ki Anom menolak apabila bintang tamunya berdiri

di atas pentas. Dalam soal pakem pakeliran, Ki Anom dan Ki Manteb sama-sama

masih setia pada pakem. Dua dalang kondang ini berusaha memadukan fungsi

wayang sebagai tuntunan (pembawa pesan moral) dan wayang sebagai tontonan

alias hiburan. (http://anugerahadiwarta.org di unduh tanggal 08 Juni 2010)

Garapan lakon para seniman dalang di masa Orba adalah lakon yang ada

hubungannya dengan peristiwa sekarang. Lakon-lakon yang dipilih merupakan

kemasan baru antara lain: lakon Ontran-ontran Winatha, Semar Babar Jatidiri,

Wahyu Ketentraman, Semar Bangun Kayangan, Pilihan Senapati, Wahyu Ringin

Kencana, Wahyu Purbeng Kayun, Wisanggeni Kridha dan sebagainya

(http://www.j-harmonia.com di unduh tanggal 22 April 2010).

Tahun 1997 tidak terkecuali, krisis melanda dunia seni. Terutama seni

yang berbasis idealisme dan tidak bisa menembus pangsa pasar. Vakumnya

pementasan teater dan sepinya tanggapan wayang adalah fenomena krisis

kesenian yang tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Asumsi yang pertama muncul

faktor ekonomi dituding sebagai penyebab. Kedua, kesenian tradisional seperti

wayang telah ditinggalkan penggemarnya. Kaum muda lebih suka kesenian pop,

band adalah contohnya (http://www.bentarabudaya.com di unduh tanggal 08 Juni

2010).

Tahun 1998 merupakan tahun dimana runtuhnya rezim Orde Baru dan

dimulainya Orde reformasi. Era reformasi membawa dampak yang cukup

signifikan dalam jagad pedalangan. Dengan adanya krisis yang berkepanjangan

menambah kompleksitas masyarakat urban untuk bekerja lebih keras agar

Page 21: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

terpenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak jarang mereka membuat keputusan yang

cepat tanpa melalui perencanaan yang matang. Situasi yang demikian berdampak

terhadap kesenian, khususnya pertunjukan wayang kulit purwa Jawa.

Dalam perjalanannya pertunjukan wayang kulit cenderung berkembang

menjadi bentuk-bentuk hiburan dan sebagai komoditas dagangan (komersial).

Keindahan pakeliran lebih cenderung untuk memenuhi selera dan memadai

permintaan massa. Garapan tokoh-tokohnya dalam lakon yang disajikan

menunjukkan antihero dengan mempresentasikan tokoh-tokoh gambaran manusia

biasa seperti tokoh : Limbuk, Cangik, Petruk, dan Bagong. Selain itu bentuk

pakeliran ini lebih mementingkan aspek komunikasi daripada mempertahankan

sastra pedalangannya (2004 : 169-170).

Cara penggarapan baru bermunculan. Kadang-kadang jauh menyimpang

dari pola pengadegan buku yang sudah ada, namun kadang-kadang tetap

manggunakan kerangka acuan klasik dengan memberi warna yang berbeda.

Alasan untuk manyajikan pakeliran yang modern yaitu : Pertama, untuk

menarik minat generasi muda. Kedua, untuk memodernisasi sajian. Ketiga,

mengikuti tuntutan jaman (Ki Edy Suwondo 1995 : 9).

Sebagai contoh Ki Enthus Susmono seorang dalang dari kabupaten

Tegal, ia memfungsikan panggung secara maksimal. Fungsi panggung tidak

hanya untuk mengakomodasi peralatan pakeliran akan tetapi juga digunakan

sebagai arena penampilan penyanyi, penari, pelawak, bahkan dalang secara

teatrikal. Pada atraksi perang, ia sering melibatkan diri sebagai pelaku lakon.

Selain itu ia tidak segan-segan bernyanyi ataupun berorasi saat adegan Limbukan

dan/atau gara-gara. Kabebasan berekspresi membuat gaya pakeliran Ki Enthus

Susmono lebih disukai daripada gaya pakeliran Ki Manteb Soedarsono yang

mengandalkan sabet maupun Ki Anom Suroto yang mengandalkan pakeliran

tradisinya. Kedua orang dalang ini merupakan dalang yang banyak menerima job

pada masa Orde Baru (2007 : 277).

Pada setiap penampilan Ki Enthus selalu mempertunjukkan sebuah

pertunjukan wayang kulit yang lebih daripada dalang yang lain. Sebagai contoh

dalam pertunjukannya yang mengambil lakon “Rahwana Gugur”. Lakon yang

Page 22: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

penuh dengan adegan peperangan ini semakin menarik karena Ki Enthus piawai

memainkan wayang. Sesekali Ki Enthus membuang wayang yang dipegangnya ke

samping kanan atau kiri untuk menggambarkan efek perkelahian yang dahsyat.

Narasi yang diucapkan Ki Enthus pun sering memancing gelak tawa para

penonton. Kata-kata vulgar dan umpatan dalam bahasa Jawa kerap meluncur dari

mulut Ki Enthus dan semakin membuat penonton terpingkal

(http://majalah.tempointeraktif.com di unduh tanggal 08 Juni 2010). Melihat hal

seperti ini unsur tontonan lebih banyak terlihat daripada unsur tuntunannya.

Pada kenyataannya sebagian besar dari penonton tidak paham akan

pesan-pesan moral yang disampaikan oleh dalang, baik yang disampaikan dalam

adegan Limbukan maupun dalam adegan Gara-gara, terlebih dalam sanggit lakon.

Oleh karena itu, sebagian besar pakeliran mengarah pada bentuk hiburan,

walaupun ada beberapa dalang tetap menyampaikan pesan-pesan moral dan kritik

sosial (http://www.adln.lib.unair.ac.id di unduh tanggal 22 April 2010).

Jagad pakeliran pada beberapa waktu terakhir mengalami banyak

perubahan pola pentas. Terlihat dari keseluruhan durasi pentas semalam suntuk,

adegan gara-gara berlangsung berkepanjangan sehingga alur utama wayang justru

tidak tergarap secara intensif. Hal seperti ini terjadi karena adanya tuntutan dari

penonton. Penonton bukan ingin melihat alur cerita wayang namun sekadar

menonton gara-gara. Begitu adegan gara-gara usai penonton segera bubar.

Bagaimanapun wayang diputarbalikkan, dipengaruhi akan tetap berjalan

pada intinya yaitu berjalan atas dasar klasik tradisional adiluhung. Ide pokok

cerita pakeliran bentuk semalam tetap bertumpu pada kitab Ramayana dan

Mahabarata (Sri Mulyono 1982 : 292) Berdasarkan latar belakang masalah di atas

maka diambil judul ”Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta”

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis merumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana struktur pakeliran gaya Surakarta?

Page 23: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

2. Bagaimana nilai-nilai filosofi pertunjukan wayang kulit purwa?

3. Bagaimana bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan

pakem?

4. Bagaimana bentuk pertunjukan wayang kulit modern?

C. Tujuan Penelitian

Dalam hubungannya dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka

penelitian ini bertujuan :

1. Menjelaskan struktur pakeliran gaya Surakarta.

2. Menjelaskan nilai-nilai filosofi pertunjukan wayang kulit purwa.

3. Menjelaskan bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan

pakem.

4. Menjelaskan bentuk pertunjukan wayang kulit modern.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna

dalam rangka pengembangan ilmu sejarah khususnya yang berkaitan

dengan Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta.

b. Memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan kepada peneliti

khususnya dan pembaca umumnya tentang Perubahan Pagelaran

Wayang Kulit di Surakarta.

c. Menjadi salah satu bahan perbandingan apabila ada penelitian yang

sama diwaktu-waktu mendatang.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana

kependidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Pendidikan Ilmu

Page 24: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

b. Melengkapi koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan, Khususnya

mengenai Perubahan Pagelaran Wayang Kulit di Surakarta.

c. Menambah bahan bacaan di Perpustakaan Program Studi Pendidikan

Sejarah maupun di Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan.

Page 25: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pagelaran Wayang Kulit

Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa dan kebudayaan yang

beranekaragam dan berbeda satu dengan yang lainnya, yang kesemuanya itu turut

memperkaya khasanah kebudayaan di tanah air ini. Demikian pula Seni

pertunjukan wayang kulit Jawa yang merupakan salah satu bentuk kesenian

tradisional yang sarat akan filosofi dan kebijaksanaan.

a. Pagelaran (pergelaran) / Pakeliran

1) Pengertian

Pergelaran adalah suatu kegiatan dalam pertunjukan hasil karya seni kepada

orang banyak pada tempat tertentu. Untuk mencapai suatu tujuan pada dasarnya

pergelaran adalah merupakan kegiatan konsumsi secara tidak langsung antara pemain

dengan penonton untuk mencapai kepuasan masing-masing (baik penonton maupun

pemain). Baik tidaknya suatu pergelaran dapat di ukur dengan melihat bagaimana

respon dan tanggapan serta perhatian penonton selama pergelaran itu berlangsung.

Kadang-kadang ada suatu pergelaran yang di tinggalkan oleh penonton ini

menandakan bahwa pergelaran itu tidak dapat berkomunikasi dengan penontonnya

(Trio Nugraha. http://www.blogspot.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).

Pergelaran/Pementasan adalah kegiatan memperkenalkan atau menunjukkan

hasil karya seni seperti: musik, tari, teater/drama dan lainnya kepada masyarakat

luas. Pergelaran merupakan cara untuk melakukan komunikasi antara pencipta karya

dan penikmat karya. Pergelaran bersifat Dinamis/bergerak seperti: Pergelaran musik,

pergelaran tari, pergelaran busana dan pergelaran wayang (Zakki.

http://www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).

Pakeliran adalah bentuk pertunjukan wayang dalam bingkai kelir atau geber,

pada pertunjukan wayang kulit. Peranan kelir dalam pertunjukan wayang kulit pantas

diperhitungkan dan ikut menentukan pertimbangan estetis, tetapi jika untuk jenis

10

Page 26: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

pertunjukan wayang golek yang tanpa geber dapat saja disebut pakeliran golek

sebagaimana istilah STSI Surakarta (Poniman Sumarno, 2001: 1).

Manfaat Pergelaran : Melatih mengapresiasi karya, melatih tanggung jawab,

melatih mengevaluasi karya, membangkitkan motivasi dan melatih kegiatan bersama

serta melatih mandiri. Tujuan Pergelaran : Menawarkan karya kepada masyarakat,

berkomunikasi dengan masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat dan

melatih masyarakat untuk berapresiasi. Fungsi Pergelaran : Sarana apresiasi, sarana

rekreasi, sarana edukasi/pendidikan dan sarana ajang prestasi (Zakki.

http://www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).

2) Syarat-syarat Pakeliran

Pakeliran memiliki tiga syarat yaitu :

a) Dalang

Dalang merupakan tokoh utama dalam pertunjukan wayang dan pada

umumnya pria dikarenakan pekerjaan sebagai dalang memang amat berat. Dalang

harus duduk bersila semalam suntuk untuk melaksanakan pertunjukan wayang, dan

juga memimpin yang lain seperti seniman-seniwati yang duduk di belakangnya

dengan aba-aba tersamar, berupa wangsalan atau petunjuk sastra yang diselipkan

dalam cariyos atau narasinya, berupa gerak-gerik wayang, berupa nyanyian, berupa

dodogan dan kepyakan (Pandam Guritno 1988: 33-34).

Kewajiban dan pantangan yang harus ditaati para dalang, di samping

keharusan menguasai macam-macam keahlian seperti pandai memainkan wayang-

wayang dengan terampil, mampu menyarakan sedikitnya tiga puluh macam suara

para tokoh wayang yang masing-masing memiliki wataknya yang khas, pandai

memukau para hadirin dengan suaranya yang merdu, menguasai seni sastra dan

filsafat (Pandam Guritno 1988: 35). Selain itu seniman dalang dituntut memiliki

kreativitas yang tinggi dan matang dalam hal mengkolaborasikan intrumen musik

sehingga pada setiap penyajian pertunjukan wayangnya dapat memanfaatkan

intrumen-instrumen baru dengan komposisi gendhing yang baru (Soetarno, Sarwanto

dan Sudarko 2007: 54).

Page 27: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

Secara tradisional ada beberapa kelas dalang, yakni : (1) mereka yang baru

dapat mendalang, (2) yang sudah pandai mendalang, (3) yang telah menguasai semua

teknik pedalangan, (4) yang telah menguasai isi pedalangan, dan (5) ‘dalang sejati’,

yaitu dalang yang telah menguasai semua isi pedalangan dan juga dapat memberi

suri tauladan kepada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seorang yang arif,

bijaksana, dan patut dihormati (Pandam Guritno 1988: 36).

b) Niyaga atau wiyaga (di Jawa Barat dinamakan nayaga)

Niyaga merupakan sebutan bagi para penabuh gamelan dan biasanya pria.

Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit, jumlah niyaga itu sedikitnya sepuluh

orang untuk memainkan sedikitnya lima belas peralatan gamelan. Jadi ada beberapa

orang yang mampu merangkap memainkan beberapa peralatan gamelan, jika jumlah

niyaga kurang dari lima belas orang.

Untuk mengiringi bebagai lakon pertunjukan wayang kulit secara lengkap

sesuai ketentuan tradisional diperlukan lebih dari seratus enam puluh gending klasik.

Melihat hal tersebut pengetahuan dan kemampuan suatu kelompok niyaga ikut

menentukan pilihan gending-gending yang dimainkan. Apabila niyaga hanya terbatas

memainkan macam-macam gendingnya, maka dalang pun hanya terbatas sekali

dalam pemilihannya, dan pertunjukannya tidak dapat bermutu tinggi (Pandam

Guritno 1988: 37).

Kebanyakan peralatan yang dimainkan adalah peralatan pukul yang cara

membunyikannya dengan dipukul seperti : jenis gender, gambang beberapa jenis

saron, kempyang, kathuk, kenong, kempul, gong, dan bonang. Selain peralatan

gamelan pukul ada juga yang di tabuh seperti beberapa jenis kendang, peralatan

berdawai seperti rebab dan kadang-kadang juga siter, dan alat-alat tiup berupa suling

(Pandam Guritno 1988: 37). Untuk membantu para niyaga menyesuaikan dengan

perkembangan jaman, ada pula yang memasukkan alat-alat musik modern seperti

keyboard, drum, bass gitar elektrik dan gitar rithym yang dipadupadankan dengan

gamelan tradisi.

Posisi terpenting dari semua niyaga adalah penabuh kendang (pengendang),

karena dialah yang biasanya menangkap isyarat dan perintah dalang, dan

Page 28: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

meneruskannya kepada niyaga yang lain, terutama untuk melirihkan atau

mengeraskan bunyi gamelan, mempercepat atau memperlambat irama gending,

memulai dan menghentikannya. Pengendang juga harus menghidupkan pagelaran

karena bunyi kendang-kendangnya yang mengiringi gerak-gerak wayang di pentas

sungguh merupakan ilustrasi yang menghidupkan suasana (Pandam Guritno 1988:

37-38).

c) Pesinden atau penyanyi wanita

Pesinden atau penyanyi wanita sudah lama di kenal di kalangan seni di

pulau Jawa, tetapi para pesinden dikenal sebagai bagian dari pagelaran wayang kulit

baru pada tahun 1925-an. Hingga kini pagelaran wayang kulit dianggap tidak wajar

apabila pesinden tidak ada. Para pesinden memiliki nama lain yaitu waranggana,

widuwati, dan suarawati (Pandam Guritno 1988: 39). Nyanyian para pesinden

kebanyakan dari jenis macapat meskipun pada perkembangannya pesinden juga

menyanyikan musik campursari.

Jumlah suarawati sebaiknya 2 (dua) orang, meskipun juga dapat dilakukan

1 orang. Jumlah pesinden tidak boleh terlalu banyak agar suaranya tidak

mengganggu jalannya pagelaran. Sebaiknya pesinden tidak lebih dari 5 (lima) orang

(Sri Mulyono 1982: 129). Akan tetapi pada perkembangannya jumlah suarawati

yang mengiringi pagelaran banyak yang lebih dari 5 orang dan kadang-kadang

mencapai 10 orang tergantung event yang ada.

3) Jenis-jenis Pakeliran

a) Wayang Gedhog

Wayang gedhog memiliki fungsi akspresif atau penghayatan estetis dan

sebagai fungsi hiburan bagi para abdi dalem selama raja berada di luar keraton.

Selain itu memiliki fungsi lain yaitu sebagai alat pendidikan dan sebagai pengukuh

kedudukan raja (alat legitimasi raja). Wayang gedog tidak berkembang di masyarakat

karena ada faktor interen dan faktor eksteren. Faktor interen bahwa garap pakeliran

wayang gedog lebih sulit dari wayang kulit purwa. Faktor eksteren bahwa wayang

gedog di lingkungan keraton berfungsi untuk mengukuhkan kedudukan dan kekusaan

raja. Teknis pertunjukan wayang gedog berbeda dengan wayang kulit purwa, sang

Page 29: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

dalang harus menguasai repertoar cerita panji yang berupa seluk beluk keraton secara

seksama. Dan biasanya ditampilkan dalam keraton (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko

2007: 135-137).

b) Wayang Golek

Wayang golek adalah salah satu jenis wayang diantara berbagai jenis

wayang yang ada di jawa. Wayang golek masih hidup sampai sekarang dan tersebar

diberbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, dan di Jawa Barat. Wayang

golek bonekanya berbentuk tiga dimensi, terbuat dari bahan kayu jaranan, kayu

kemiri atau kayu mentaos. Kata golek berarti anak – anakan, patung kecil, cari

mencari. Timbulnya wayang golek menurut tradisi lisan yang dikutip oleh soetarno,

sarwanto, sudarko, (2007) bahwa pada tahun 1659 keraton Kartosura membangun

serta menyempurnakan berbagai seni pertunjukan istana. Sedangkan di masyarakat,

banyak seni pertunjukan yang datang dari daerah pesisir, yaitu wayang golek purwa.

Sedangkan seni pertunjukan yang datang dari Kudus adalah wayang golek menak.

Hadirnya wayang golek itu membuat para ulama tidak senang dan menolak karena

wayang golek itu mirip gambar manusia maka dianggap karam, sehingga di Jawa

Tengah wayang golek tidak berkembang. Bentuk boneka wayang ini bulat. Wayang

golek berupa balutan kayu yang diukir dan dipahat serta terbagi atas: kepala, badan,

tanganan dengan tuding (tongkat kecil) (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 142).

c) Wayang Madya

Pertunjukan wayang madya pada dasarnya tidak berbeda dengan wayang

kulit purwa. Wayang Madya lebih muda daripada wayang kulit purwa. Wayang

madya tidak dapat berkembang dengan baik dikarenakan: (1) masyarakat telah

mendarah daging terhadap wayang purwa; (2) wayang madya jarang dipergelarkan

diluar dan biasanya hanya dipertunjukan di dalam istana; (3) kerena gineologi

wayang madya tidak dikenal oleh masyarakat, sehingga tidak disukai. Isi cerita

wayang madya kurang lebih sama dengan wayang purwa dengan pembagian tiga

tataran, yaitu: (1) Purwa carita, sesuai dengan iringan gamelan dalam pathet nem; (2)

Madya carita, sesuai dengan iringan gamelan dalam pathet sanga; (3) Wasana carita,

Page 30: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

sesuai dengan iringan dalam pathet manyura, sebagai inti cerita wayang semalam

suntuk (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 158-159).

4) Kelengkapan

Kelengkapan yang harus ada pada suatu pakeliran :

a) Boneka Wayang

Satu kothak wayang kulit purwa berisi sekitar 200 buah boneka atau wayang

yang terbuat dari belulang dan kulit kerbau, dan dapat pula dibuat dari kulit lembu

(Pandam Guritno 1988 : 40).

Boneka-boneka wayang kulit tidak menggambarkan manusia-manusia

secara wajar, demikian pula boneka-boneka yang digunakan dalam wayang-wayang

jenis lainnya. Yang digambarkan adalah watak berbagai tokoh dalam dunia

pewayangan. Setiap boneka/wayang kulit melukiskan watak tertentu dalam keadaan

batin tertentu (Pandam Guritno 1988: 42).

Dalam pertunjukan semalam suntuk yang mulai sekitar pukul 21.00 dan

berakhir pada saat matahari terbit keesokan harinya, dalang biasanya hanya

menggunakan antara 50-60 buah wayang. Wayang-wayang yang lain hanya

ditancapkan berjajar di kanan dan kiri panggung, sebagian masih diletakkan dalam

kothak, sebagian lainnya diletakkan di sisi kanan dalang, di atas tutup kothak.

Semuanya dilakukan menurut aturan-aturan tertentu sehingga dalang mengetahui

betul di mana wayang-wayang yang dibutuhkannya (Pandam Guritno 1988: 42-43).

b) Kelir (layar dari katun)

Sebagai permainan bayangan, wayang kulit purwa memerlukan layar yang

dinamakan kelir (Pandam Guritno, 1988: 49). Kelir adalah selembar tabir yang

terbuat dari kain putih, pada umumnya terbuat dari kain blacu, dan di sekeliling kelir

dengan kain merah atau hitam, dengan ukuran lebar 1 1/2 – 2 meter, dan panjang 3- 3 1/2 meter. Kelir dalam pertunjukan wayang merupakan peralatan yang penting sekali,

karena yang direntangkan dengan bingkai gawangan yang terbuat dari kayu atau

bambu. Kelir pada umumnya berwarna putih, karena ada kaitannya dengan

pengertian bahwa kelir merupakan lambang semesta alam. Dalam perkembanganya

kelir dewasa ini terbuat dari kain mori prima putih, sekelilingnya dihias dengan

Page 31: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

bludru hitam (biru) dan dihias dengan benang emas, serta dibingkai gawangan yang

terbuat dari kayu jati yang penuh dengan ukiran dengan ukuran panjang 25 meter dan

lebar 2 1/2 – 3 meter.

Hazeu yang dikutip Soetarno, Sarwanto dan Sudarko (2007: 40) istilah kelir

dalam pagelaran wayang telah muncul sejak abad XII, seperti tercantum dalam Serat

Wreta Sancaya, dalam bait 93, Sekar Mandraka antara lain berbunyi :

”Lwir mawayang tahen ganti mikang wukir kineliran himarang anipis/ bungbung ikang petung kapawanan, jateka tudungan ja munya ngarangin/ paksi ketur selundingan ika kinang syani pamungsal ing kidang alon/ mandrakala sabda ing mrak alano sawang pangidungnya mangrai hati” Dalam pertunjukan wayang kulit fungsi kelir adalah tempat untuk

mempergelarkan/ memainkan wayang di samping juga sebagai tempat untuk

meletakkan simpingan wayang. Kecuali itu gawangan kelir dipakai untuk

meletakkan sesaji (sajen) seperti padha, kain, pohon tebu yang merupakan

perlengkapan (sesaji) dalam pertunjukan wayang (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko

2007: 40).

Kelir selalu digunakan dalam pagelaran wayang kulit purwa sejak dahulu

kala, lain halnya dengan pertunjukan wayang golek, menunjukkan bahwa wayang

kulit purwa merupakan pertunjukan bayangan (Pandam Guritno 1988: 51).

c) Blencong (lampu)

Blencong merupakan lampu minyak kelapa yang digunakan dalam

pertunjunkan wayang kulit purwa. Lampu ini terbuat dari logam (perunggu)

bentuknya menyerupai burung dengan sayap-sayapmengepak dan ekornya terangkat.

Kedua sayap dan ekornya berfungsi sebagai reflektor yang memantulkan cahaya

lampu pada kelir. Sebagai sumbu lampu minyak kelapa digunakan lawe, yaitu

benang-benang kapas yang keluar dari paruh burung yang menyerupai garuda

(Pandam Guritno 1988: 53). Pesatnya perkembangan teknologi di masa kini, pada

pertunjukan wayang kulit tidak lagi menggunakan blencong tetapi dengan lampu

penerangan listrik yang menggunakan sistem cahaya/lighting, yang berwarna-warni

(Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 44-45).

Page 32: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

d) Dhebog (batang pisang)

Untuk pertunjukan wayang kulit purwa biasanya diperlukan tiga sampai

empat batang pisang yang cukup panjang dan padat (batang pisang raja). Ukuran

dhebog sangat tergantung dengan ukuran gawangan kelir, yang normal dhebog yang

berada di sebelah kanan dan kiri sekitar 3,5 m, sedangkan yang ditengah dua buah

dengan panjang 2 m dan dipilih dhebog yang masih segar, sehabis ditebang

(Soetarno, Sarwanto dan Sudarko 2007: 41). Dari dhebog tersebut dibuat bertingkat

dua yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Dhebog atas merupakan bagian pentas

untuk menancapkan tokoh-tokoh wayang yang dalam adegan berstatus tinggi

sedangkan dhebog lapisan bawah berfungsi seperti lantai tempat untuk duduk

bawahan. Kedua lapisan dhebog bertumpu pada penyangga-penyangga dari kayu

yang dinamakan tapak dara, sedang bagian atas sligi-sligi dan blandar diikat pada

kayu-kayu melintang yang menghubungkan tiang-tiang rumah (Pandam Guritno

1988: 52).

e) Kothak wayang

Sebuah kothak yang terbuat dari kayu nangka atau kayu suren dengan

ukuran panjang sekitar 55 cm. Kothak untuk menyimpan boneka wayang setelah

selesai pertunjukan. Dalam pertunjukan kothak diletakkan pada sisi kiri dalang

sedangkan tutup kothak diletakkkan pada sebelah kanan dalang (Soetarno, Sarwanto

dan Sudarko 2007: 42). Pada bibir kothak digantungkan kepyak, yang saat waktu

pertunjukan dibunyikan dengan jejakan-jejakan ujung kaki kanan dalang. Kothak

tersebut juga dipukul-pukul dalang dengan menggunakan cempala-cempala (Pandam

Guritno 1988: 56).

f) Cempala (pemukul kothak)

Cempala merupakan alat pemukul yang dipukulkan pada kothak wayang

untuk menimbulkan suara/efek tertentu sesuai dengan kebutuhan dalang. Cempala

biasanya terbuat dari kayu galih asem atau kayu kemuning atau kayu sambi. Dalam

pedalangan terdapat dua cempala yaitu cempala ageng dan cempala alit (Soetarno,

Sarwanto dan Sudarko 2007: 43). Dalam pertunjukan cempala alit dijepit oleh jari

kaki kanan dalang dan dapat diketukkan pada tepi luar kothak ataupun pada kepyak,

Page 33: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

sebagai ganti dari cempala ageng saat dalang sedang memainkan wayang

menggunakan kedua tangannya (Pandam Guritno 1988: 56-57).

g) Kepyak atau keprak

Pada pedalangan gaya Surakarta kepyak terdiri dari lembaran-lembaran

logam, biasanya besi atau perunggu, dengan ukuran kira-kira 10 x 15 cm dan tebal

sekitar 1 mm, biasanya berjumlah tiga lembar (Pandam Guritno 1988: 58).

Permainan kepyak menurut tradisi pedalangan Keraton Surakarta mulai dibunyikan

dalam pertunjukan wayang pada adegan budhalan menjelang adegan jaranan.

Dengan demikian mulai adegan jejer sampai dengan adegan seban jawi kepyak

belum dibunyikan untuk mengiringi tokoh tertentu (Soetarno, Sarwanto dan Sudarko

2007: 44).

h) Gamelan (alat-alat musik)

Gamelan merupakan alat musik tradisional yang kebanyakan merupakan

instrumen pukul dan biasanya terbuat dari perunggu. Gamelan yang digunakan untuk

mengiringi pertunjukn wayang kulit purwa meliputi: kendang (besar, sedang, kecil

atau ketipung), rebab (instrumen gesek), gender, demung (semacam gender besar),

gambang, suling, siter, kempyang atau kemong, kethuk, kempul, kenong, saron,

peking (saron kecil), slenthem (saron besar), bonang dan gong (Pandam Guritno

1988: 58).

b. Wayang Kulit Purwa

1) Pengertian

Pertunjukan baying-bayang pada mulanya bersifat upacara agama, tetapi

kemudian berkembang menjadi pertunjukan wayang purwa yang bersifat pertunjukan

duniawi. Pada perkembangannya pertunjukan purwa menjadi popular dan

mengharukan kalbu penonton. Akan tetapi pokok pertunjukan wayang masih tetap

memiliki kesan sifat magis-religius (Sri Mulyono 1982: 147).

Wayang berarti bayangan, tetapi dalam perjalanannya pengertian wayang

berubah dan kini wayang dapat berarti pertunjukan penggung atau teater yang

memiliki padanan kata dengan aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti

Page 34: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Adapun sutradara dalam

pertunjukan wayang dikenal sebagai dalang. Wayang kulit purwa merupakan

pertunjukan wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabarata dan

Ramayana (Pandam Guritno 1988: 11).

Purwa semula adalah bahasa Sansekerta yang berarti ‘ pertama’, yang

terdahulu, ‘yang dahulu’. Jaman purwa berarti ‘dulu’. Wayang purwa berarti wayang

jaman dulu, atau wayang yang mempertunjukkan cerita jaman dulu (Sri Mulyono

1982: 149).

Perkataan paruwa oleh Dr. Brandes yang dikutip Sri Mulyono (1982)

menganggap “salah satu mata- rantai antara perkataan parwa, yang kemudian

menjadi purwa, yang dipakai dalam pengertian wayang purwa”.

Jadi nama “wayang purwa” adalah karena jenis-jenis cerita yang

dipertunjukkan (parwa) dan bukan karena suatu sifat teknis sarana pentasnya

ataupun boneka-bonekannya (Sri Mulyono, 1982: 150).

2) Jenis cerita

Wayang kulit purwa merupakan jenis pertunjukan wayang kulit yang paling

terkenal, tersebar luas dan diketahui sejarah perkembangannya (Pandam Guritno

1988: 15). Pada pertunjukan wayang kulit purwa kebanyakan lakon-lakonnya pada

awal mulanya bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan India, yaitu: Ramayana

dan Mahabarata. Berbagai jenis wayang menurut sumber ceritanya antara lain

wayang kulit, sumber ceritanya mengambil cerita dari serat Ramayana dan

Mahabarata; wayang madya sumbar lakonnya dari serat Pustaka Raja Madya;

wayang gedog dari serat Panji; wayang klitik dari Damarwulan; wayang golek dari

Serat Menak; wayang beber dari Serat Panji; wayang kancil mengambil cerita

tentang binatang atau dari Serat Kancil Kridamartana; wayang dupara mengambil

cerita dari babad; wayang suluh dengan cerita perjuangan dalam mengusir penjajah

Belanda; wayang wahyu mengambil cerita dari serat perjanjian lama; wayang sadat

mengambil cerita tentang Wali Sanga, wayang buda ceritanya adalah tokoh

Sutasoma; wayang sandosa ceritanya Serat Mahabarata (Soetarno, Sarwanto dan

Sudarko 2007: 133-134).

Page 35: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

Secara rinci, pakem wayang yang berupa naskah berbahasa Jawa dapat

dibedakan dalam lima kelompok yaitu (a) lakon atau cerita dalam syair tembang, (b)

lakon wayang dalam bentuk cerita prosa atau lazim disebut gancaran, (c) cerita

wayang dalam bentuk lakon wayang, (d) ikhtisar tentang rangkaian lakon wayang,

(e) cerita wayang dalam bentuk balungan lakon wayang (Ensiklopedi Wayang

Indonesia)

Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa mengambil

epos Ramayana dan Mahabharata yang merupakan karya sastra yang berasal dari

India. Keduanya digubah dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuna pada abad X

pada masa raja Dyah Balitung (898-910 Masehi) dan raja Dharmawangsa Teguh

(991-1007 Masehi) (Soetarno. Sarwanto. Sudarko 2007: 58). Pada zaman Surakarta

sejak Paku Buwana II sampai dengan raja Paku Buwana X, kesenian berkembang

dengan pesat. Begitu pula untuk seni pedalangan, muncul karya sastra yang

digunakan untuk pedoman cerita dalam pertunjukan wayang diantaranya Serat

Pustaka Raja Purwa, Serat Putaka Raja Madya yang merupakan sumber lakon

wayang kulit purwa dan lakon wayang madya (Soetarno 2004: 105).

Untuk lakon wayang yang bersumber dari pakem balungan lakon untuk

daerah Surakarta bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A.

Mangkunegara VII (1916-1944). Pakem Serat Pedalangan Ringgit Purwa terdiri dari

37 jilid yang berisi 177 lakon yang terbagi menjadi 4 bagian yaitu cerita dewa-dewa,

siklus Arjuna Sasrabahu, siklus Rama, dan siklus Pandawa. Lakon yang terdapat

dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya Mangkunegara VII terdiri dari lakon

baku, lakon sempalan, dan lakon carangan. Lakon baku adalah suatu lakon yang

ceritanya langsung diambil dari Serat Pustaka Raja atau tradisi resmi. Lakon

carangan adalah suatu lakon yang direkayasa atau disadur yang lepas dari cerita

pokok. Contoh dari lakon carangan yang ditampilkan dalang saat ini adalah lakon

banjaran, seperti banjaran bima dan banjaran durna. Lakon Banjaran mengisahkan

tokoh dalam pewayangan sejak lahir sampai matinya. Sedangkan untuk masa kini

dalang-dalang tenar dan pemula jarang menggunakan lakon-lakon yang bersumber

dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa, mereka cenderung menampilkan lakon

carangan (Soetarno. Sarwanto. Sudarko 2007: 59-60).

Page 36: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

3) Nilai-nilai yang terkandung di dalam wayang kulit

Wayang mempunyai nilai-nilai istimewa yang tersembunyi di dalamnya,

wayang purwa, disebut juga “Ringgit Purwa”. Ringgit beraal dari 2 kata: Miring dan

Anggit yang dipersatukan. Miring mempunyai arti tidak tegak lurus. Untuk

memperoleh pandangan isi dan bentuk yang sebenarnya harus memproyeksikan

kembali pada proyeksi tegaknya. Sedangkan Anggit berarti “Cipta”. Secara

keselurhan Ringgit berarti: diciptakan dalam bentuk yang miring.

Istilah wayang sendiri telah memberikan petunjuk bahwa yang disaksikan

itu hanyalah bayangannya. Belum wujud yang sebenarnya. Sebab wujud yang

sebenarnya terletak di balik “Kelir” (tabir). Untuk melihat bentuk yang sebenarnya

harus menyingkirkan kelir itu. Perumpamaan wayang sebagai bayangan dari seluruh

segi kehidupan, untuk mengetahuinya harus membuka tabir yang menyelubungi

makna yang sebenarnya.

Wayang ditancapkan pada pohon pisang saat pertunjukan wayang

berlangsung. Pisang dalam bahasa Jawa disebut “Gedang”. Kata-kata ini berasal dari

“Geged” dan “Padang”. Geged berarti gigit, artinya, apabila menggigit atau

mencernakan apa yang disaksikan di dalam pagelaran wayang, dalam arti tidak

menelannya begitu saja, akan tercapailah keadaan “Padang” (terang). Keadaan ini

tercapai apabila betul-betul mengerti dengan jalan mengupas kulit pembungkusnya

dan dicerna sampai halus kemudian barulah ditelan sebagai suatu pengertian yang

“menerangi”.

Itulah sebabnya wayang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Mereka semua mendapat suguhan sesuai dengan pengertiannya. Yang muda terpikat

oleh karena kepahlawanannya. Sebagian yang lain terpikat oleh karena

kehumorannya. Ada juga yang terpikat oleh keasyikan ceritanya (Ki Wahyu Pratista.

http://www.wordpress.com diunduh tanggal 26 Agustus 2010).

Boneka-boneka wayang tidak menggambarkan manusia secara utuh,

demikian juga boneka yang digunakan pada jenis wayang yang lain. Boneka wayang

menggambarkan watak berbagai tokoh dalam dunia pewayangan. Setiap boneka

menampilkan watak tertentu dalam keadaan tertentu. Setiap pola bentuk wayang

Page 37: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

menggambarkan suasana batin tokoh wayang dinamakan wandha (Pandam Guritno

1988: 42)

4) Cara pagelaran wayang kulit

Setiap pertunjukan wayang kulit semalam dibagi ke dalam tiga bagian

pathet yang masing-masing mempunyai struktur internal yang sama dalam setiap

pathet, yang terdiri dari tiga bagian yaitu: jejer, adegan dan perang. Masing-masing

bagian memiliki struktur yaitu deskripsi, dialog dan tindakan. Ketiga struktur intern

tersebut masih didukung oleh unsur iringan seperti sulukan, keprakan dan gendhing-

gendhing iringan adegan (Soetarno 2007: 107).

Pakeliran tradisi gaya Surakarta semalam dengan struktur lakon pakeliran

yang lebih terperinci sebagai berikut :

a) Pathet Nem: (1) Jejer; (2) Babak Unjal; (3) Bedhol jejer; (4) Gapuran; (5) Kedhatonan; (6) Paseban jawi; (7) Budhalan; (8) Kapalan; (9) Pocapan kreta/gajah; (10) Perang ampyak; (11)Adegan sabrang; (12) Budhalan; (13) Perang gagal

b) Pathet Sanga: (14) Gara-gara; (15) Adegan pertapan atau tengah hutan; (16) Alas-alasan; (17) Perang kembang; (18) Adegan sintren; (19) Perang sintren

c) Pathet Menyura: (20) Adegan menyura; (21) Perang sampak menyura; (22) Adegan perang brubuh; (23) Tayungan; (24) Tancep kayon (Soetarno 2007: 111).

Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan

ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar

untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya Untuk mementaskan pertunjukan

wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung.

Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai

penabuh gamelan merangkap wiraswara. Pertunjukan dalam satu malam adalah 7

sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi dan pada siang hari

pertunjukan dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00. Tempat pertunjukan

wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak (Ki Demang

Sokowaten http://www.sutresnajawa.com diunduh tanggal 18 Maret 2010).

Page 38: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

B. Kerangka Berfikir

Keterangan :

Sebagai sebuah kesenian tradisi, pertunjukan wayang kulit purwa

merupakan hasil karya budaya masyarakat Jawa yang memiliki kedudukan yang

cukup tinggi.

Sebagai salah satu gaya pedalangan, pedalangan gaya Surakarta merupakan

gaya pedalangan yang cukup luas persebarannya. Dengan luasnya persebarannya ini

membuat khasanah pedalangan gaya Surakarta menjadi lebih bervariasi.

Sebagai sebuah kesenian keraton, pertunjukan wayang kulit purwa gaya

Surakarta memiliki aturan-aturan yang harus di penuhi. Di lain pihak adanya

penambahan unsur hiburan seperti banyolan dan campursari dan unsur politik dari

pemerintah seperti pesan-pesan pembangunan merupakan sebuah perubahan dari

pola dasar pakeliran keraton. Dengan ini unsur hiburan mulai muncul. Pergeseran-

pergeseran mulai intensif terlihat. Munculnya dalang-dalang dari kalangan biasa

Wayang Kulit

Pagelaran

Gaya Surakarta Nilai Filosofi

Struktur

Pertunjukan

Modern Pakem

Pesan-pesan pemerintah

Hiburan

Kreasi baru

Budaya Jawa

Page 39: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

yang terkenal membuat pakeliran gaya Surakarta mendapat tambahan-tambahan

unsur garapan.

Banyak dalang-dalang baru bermunculan. Baik yang berasal dari sekolah-

sekolah seni maupun yang belajar secara otodidak. Kebanyakan dari dalang ini

melakukan banyak perubahan pada struktur lakon pakeliran yang telah ada.

Kebanyakan dari dalang-dalang ini mengurangi beberapa adegan dalam struktur

lakon pakeliran semalam dan lebih menekankan pada unsur hiburan seperti dalam

adegan Limbuk Cangik dan Goro-goro. Selain itu penekanan pada segi hiburan telah

jelas terlihat dengan penambahan waktu pada adegan Limbuk Cangik dan Goro-goro

yang pada akhirnya membuat alur cerita pertunjukan wayang tidak jelas pada

akhirnya.

Berkurangnya adegan-adegan dalam pertunjukan wayang kulit semalam

pada akhirnya akan mengurangi nilai-nilai dari sebuah pertunjukan kesenian tradisi.

Sebagai contoh hilangnya adegan kedhatonan yang merupakan gambaran tentang

pelukisan permaisuri raja, serta keindahan kedhaton (tempat istri raja), yang sedang

menanti raja kembali dari siniwaka (pertemuan di sitihinggil). Selain adegan

kedhatonan masih terdapat adegan yang lain yang dihilangkan untuk memperpanjang

waktu untuk adegan goro-goro.

Sebenarnya tidak semua lakon menampilkan adegan goro-goro akan tetapi

adegan ini pulalah yang mampu menarik daya kreasi dalang untuk menarik penonton

dan juga pemerintah untuk merangkul para dalang dengan pesan-pesan

pembangunannya.

Perubahan demi perubahan memberi banyak sekali dampak yang kurang

baik terhadap kehidupan wayang bektuk tradisi. Penambahan waktu untuk adegan

gara-gara dan limbuk cangik membuat alur dalam setiap pementasan wayang kulit

menjadi bias. Keterbukaan panggung untuk menampilkan pelawak dan penyanyi

membuat situasi sakral sebuah pagelaran wayang menjadi luntur.

Lunturnya budaya tradisi dalam sebuah kesenian yang dibarengi dengan

berkembangnya budaya baru membuat budaya tradisi menjadi tergeser.

Metamorfosis yang tidak sempurna yang terjadi dalam kebudayaan tradisi ini

membuatnya terlihat baru akan tetapi dengan adanya hal tersebut membuat budaya

Page 40: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

ini menjadi tidak ada artinya lagi. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak mengikuti

kaidah yang yang ada sehingga penambahan-penambahan yang terjadi membuat

kesenian menjadi lebih menduniawi. Pada hakekatnya kesenian merupakan budaya

tradisi yang merupakan hasil cipta karya nenek moyang kita dan patut kita jaga dan

pelihara.

Page 41: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian.

1. Tempat Penelitian.

Tempat penelitian sangat menentukan diperolehnya informasi untuk

menyampaikan kebenaran dari suatu penelitian. Penulis mengadakan penelitian

dengan mengambil lokasi:

a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

e. Perpustakaan ISI Surakarta

f. Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran.

g. Perpustakaan Daerah Kota Surakarta

h. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta

i. Library Center Jogja

2. Waktu Penelitian.

Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal disetujui

pembimbing yaitu bulan Februari 2010 sampai dengan November 2010 (sepuluh

bulan). Adapun kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber, melakukan

kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling

berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil

penelitian.

Dengan jadwal penelitian, sebagai berikut :

26

Page 42: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian

NO

JENIS KEGIATAN

Bulan

Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov

1 Pengajuan Proposal

2 Pengumpulan data dan

analisa data

3 Penyusunan

Laporan penelitian

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

1. Bentuk Penelitian.

Bentuk penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

Deskriptif Kualitatif, karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, yang

memiliki arti dan makna daripada sekedar angka atau frekuensi. Penelitian Kualitatif

adalah bentuk penelitian yang menghasilkan karya ilmiah yang menggunakan data

diskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dengan orang-orang atau perilaku

yang dapat diamati terhadap status kelompok orang, suatu obyek, dan suatu

kelompok kebudayaan (Laxy J. Moleong, 1990: 3).

Ciri-ciri pokok metode Diskriptif adalah : a) Memusatkan perhatian pada

masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau

masalah yang aktual, b) Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki

sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional (Hadari Nawawi, 1995:

64).

Page 43: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian deskriptif

adalah metode penilitian yang digunakan untuk meneliti peristiwa yang terjadi

sekarang atau masih aktual, dengan cara interpretasi rasional dengan fakta-fakta

sebagaimana adanya, data-data yang didapatkan berupa data diskriptif berupa kata-

kata atau lisan terhadap suatu obyek tertentu.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian diskriptif sebagai berikut

: (a) memilih masalah yang diteliti, (b) merumuskan dan mengadakan pembatasan

masalah. Kemudian berdasarkan masalah tersebut diadakan studi pendahuluan yang

menghimpun data dasar menyusun teori, (c) membuat asumsi atau anggapan yang

menjadi dasar perumusan hipotesis, (d) merumuskan hipotesis, (e) merumuskan dan

memilih teknik pengumpulan data, (f) mengumpulkan dan mengategorikan data

untuk megklasifikasi data. Menetapkan teknik pengumpulan data yang akan

digunakan, (g) melaksanakan penelitian atau pengumpulan data untuk menguji

hipotesis, (h) mengadakan analisis data (menguji hipotesis), (i) menarik kesimpulan

atau generalisasi, dan (j) menyusun dan mempublikasikan Laporan Penelitian

(Mohammad Ali, 1982: 20)

2. Strategi Penelitian.

Ditinjau dari masalah yang diangkat, teknik serta alat yang digunakan maka

dapat digunakan strategi penelitan studi kasus. Studi kasus adalah salah satu metode

penelitian ilmu-ilmu sosial, studi kasus adalah inkuiri empiris yang menyelidiki

fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas antara fenomena

dan konteks tak tampak dengan tegas dan di mana multi sumber di manfaatkan.

Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok

pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”, bila peneliti hanya

memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa yang akan diselidiki dan

bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di

dalam konteks kehidupan nyata (K. Yin, 1997: 1-18).

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terpancang

tunggal. Penelitian ini disebut terpancang karena sasaran yang akan diteliti adalah

Page 44: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

perubahan bentuk pertunjukan wayang kulit purwa. Sedangkan disebut tunggal

karena hanya meneliti pada satu tempat yaitu di Surakarta.

Sesuai dengan pengertian di atas bahwa penilitian ini membahas tentang

fenomena dalam konteks kehidupan nyata dan sudah ditentukan fokus penelitianya

yaitu tentang perubahan pagelaran wayang di Surakarta.

C. Sumber Data

Menurut Sutopo (2002) bahwa “Dalam penelitian kualitatif, sumber datanya

dapat berupa manusia, tingkah laku, dokumen dan arsip atau benda lain”. Sedangkan

menurut Lofland, “ Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan

tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen”. (Lexi J. Moleong,

2001). Dalam penelitian ini sumber data diperoleh melalui :

1. Informan

Informan yaitu individu-individu tertentu yang dapat memberikan

keterangan dan data atau informasi untuk berkepentingan penelitian. “Dalam

penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (narasumber) sangat penting

perannya sebagai individu yang memiliki motivasinya” (H.B. Sutopo, 2002:50).

Narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan yang diminta peneliti tetapi bisa

lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang dimilikinya.

Lexy J. Moleong (2001: 45) mengatakan bahwa ”yang disebut informan

adalah “Orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan

kondisi latar belakang penelitian”. Dalam penelitian ini orang yang dianggap tahu

dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data serta mengetahui permasalahan yang

akan dikaji adalah dalang dan juga dosen dari ISI Surakarta serta dalang diluar

institusi pendidikan (dalang non-akademis).

2. Tempat dan Peristiwa

Sumber data lain adalah tempat dan peristiwa. Informasi mengenai kondisi

dari lokasi peristiwa atau aktivitas dilakukan bisa digali lewat sumber lokasinya baik

yang merupakan tempat maupun lingkungannya. Sebagai sumber data, tempat dan

peristiwa yang diambil merupakan tempat di mana pertunjukan wayang dilaksanakan

Page 45: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

sedangkan peristiwanya berupa pertunjukan wayang kulit semalam gaya Surakarta.

Tempat yang diambil sebagai sumber data adalah pendopo ISI Surakarta dan Taman

Budaya Jawa Tengah karena ditempat tersebut sering digunakan sebagai tempat

pertunjukan wayang kulit semalam gaya Surakarta.

3. Dokumen dan Arsip

Dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang dapat digunakan sebagai

sumber data yang dijadikan sumber informasi, dokumen-dokumen yang digunakan

tentu saja yang berkaitan dengan masalah yang sedang dipelajari saat ini. Sutopo

(2002: 54) mengemukakan bahwa “Dokumen dan arsip merupakan sumber data yang

sering sangat penting artinya dalam penelitian kualitatif. Terutama bila sasarannya

terarah pada latar belakang dengan kondisi peristiwa yang terkini yang sedang

dipelajari”. Dokumen yang digunakan berupa naskah pertunjukan wayang semalam

suntuk yang digunakan oleh dalang nara sumber dan juga hasil dari menganalisis dari

beberapa karangan dari Pandam Guritno dengan judul Wayang, Kebudayaan

Indonesia dan Pancasila, Karangan dari Soetarno dengan judul Wayang Kulit:

Perubahan Makna Ritual dan Hiburan, dan karangan dari Sri Mulyono dengan judul

Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya.

D. Sampling

Bertolak dari sumber data, maka dalam penelitian ini bentuk sampling yang

digunakan adalah purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informan

yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. “Dalam

purposive sampling, dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang

dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat

dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap” (Sutopo, 2002: 56). Selain

menggunakan purposive sampling dalam penelitian ini juga menggunakan snowball

sampling. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel yang pada mulanya

jumlahnya kecil tetapi makin lama makin banyak berhenti sampai informasi yang

didapatkan dinilai telah cukup.

Dalam pengambilan sumber data, peneliti memilih waktu yang tepat untuk

melakukan penelitian di lapangan. Untuk pengambilan data observasi di lapangan

Page 46: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

seperti melihat pertunjukan wayang, peneliti memilih waktu yang sesuai yaitu untuk

pertunjukan wayang di TBS pada malam Jumat Kliwon tiap bulan dan even-even

tertentu yang menampilkan pertunjukan wayang.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang ditempuh untuk

memperoleh data yang diperlukan sehingga data yang diperoleh menjadi sempurna

dan dapat dipertanggungjawabkan. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan

adalah sebagai berikut :

1. Wawancara Mendalam

Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi

atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Wawancara yang digunakan dalam

penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (indepth

interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara

tanya jawab sambil bertatap muka antara pewancara dengan informan atau yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakann pedoman (guide) wawancara, di

mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.

Menurut Bungin (2003: 62) wawancara mendalam bersifat terbuka. Moleong (2001:

35) mendefinisikan wawancara adalah “Percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan dengan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang

mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan

jawaban atas pertanyaan itu”. Untuk lebih mendapatkan hasil yang tepat wawancara

ini digunakan untuk menutup kekurangan dari hasil analisis data sumber yang berupa

dokumen, arsip maupun buku. Sebagai penunjang penulisan yang dijadikan adalah

dosen dari ISI Surakarta yang memiliki profesi sebagai dalang. Selain itu juga

mewawancarai dalang yang berasal dari non-akademis yang masih menggunakan

pedalangan gaya Surakarta.

2. Observasi

Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara

sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. Observasi ini dapat

Page 47: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Observasi langsung dilakukan

terhadap obyek di tempat berlangsungnya kegiatan, sehingga observer berada

bersama obyek yang diteliti (Hadari Nawawi, 1993). Bungin (2007:115)

mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian

kualitatif, yaitu obeservasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi

kelompok tidak berstruktur. Dengan observasi dapat memudahkan bagi peneliti

untuk mendapatkan data secara mendalam, sebab peneliti sudah melihat sendiri

bagaimana keadaan obyek tersebut. Dalam penelitian ini observasi dilakukan dengan

jalan melihat pertunjukan wayang secara langsung di pendopo ISI Surakarta maupun

Taman Budaya Jawa Tengah.

3. Analisis Dokumen

Untuk memperjelas dari pada wawancara dan observasi digunakan

dokumentasi. Dokumen merupakan sumber data yang sangat penting dalam

penelitian kualitatif, memanfaatkan suatu dokumen yang padat isinya biasanya

menggunakan teknik tertentu, teknik yang paling umum digunakan yaitu Content

Analysis atau kajian isi. Kajian isi menurut Burhan Bungin (2007: 155) yaitu teknik

penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru, dan sah dengan

memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi

komunikasi. Melalui dokumen dapat mempermudah peneliti untuk membandingkan

antara gaya pertunjukan para dalang tradisi maupun modern.

Menurut Suharsini Arikunto (2002: 206), metode dokumentasi mencari data

mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan transkip, buku, surat kabar,

majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Teknik analisis

dokumen ini dengan cara menganalisa sumber-sumber atau dokumen-dokumen yang

relevan dengan obyek penelitian sebab tidak semua obyek dapat diteliti.

Menurut Koentjaraningrat (1997: 63-65), ada empat keuntungan

menggunakan teknik tersebut, yaitu : (a) memperdalam pengetahuan dengan

menggunakan masalah yang diteliti, (b) menegaskan teoritis yang akan dijadikan

landasan pemikiran, (c) mempertajam konsep yang digunakan sehingga

mempermudah perumusan kesimpulan, dan (d) menghindari pengulangan penelitian.

Page 48: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Dokumen yang digunakan berupa video-video dokumentasi pertunjukan

wayang Ki Manteb Sudarsono, Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, dan dalang-dalang

yang lain.

F. Validitas Data

Validitas data adalah kebenaran dalam kancah penelitian, dimana kebenaran

data dalam penelitian itu sangat diperlukan agar hasil penelitian tersebut benar-benar

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode trianggulasi data dan

review informan dalam menguji keabsahan data. Untuk lebih jelasnya dapat

diuraikan sebagai berikut :

Trianggulasi data adalah melakukan recheck dan cross chek informasi dan

data yang diperoleh dari lapangan dengan informan lain untuk memehami

kompleksitas fenomena sosial ke sebuah esensi yang sederhana, langkah-langkah

triangulasi, yaitu ; (a) Trianggulasi sumber data, (b) Trianggulasi penyidik, (c)

Trianggulasi metode, dan (d) Trianggulasi teori.

Dalam penelitian ini digunakan trianggulasi sumber data, review informan,

dan trianggulasi metode. Teknik trianggulasi data yaitu mengarahkan peneliti agar di

dalam mengumpulkan data, ia wajib menggunakan beragam sumber data yang

tersedia, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya apabila

digali dari beberapa sumber data yang berbeda (Sutopo. 2002: 79). Triangulasi

metode adalah penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode

wawancara dan metode observasi.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang

dengan metode observasi pada saat wawancara dilakukan. Dalam menggunakan

trianggulasi sumber, peneliti mengumpulkan data menggunakan informan dan

sumber lapangan yaitu tempat dan peristiwa, serta menggunakan arsip dan dokumen.

Narasumber yang menjadi informan adalah dalang yang melakukan pertunjukan

wayang kulit semalam gaya Surakarta. Untuk arsip dan dokumen yang dipakai

adalah membandingkan dari berbagai buku serta naskah pertunjukan wayang dari

dalang yang di wawancara.

Page 49: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Review Informan yaitu mengadakan pengecekan data dengan cara

mengadakan diskusi dengan para narasumber data di lapangan guna memeriksa

ulang atas informasi yang telah diberikan sebelumnya. Dengan kata lain peneliti akan

mencocokkan data yang sudah diperoleh dengan narasumber yang berada di

lapangan.

G. Teknik Analisis Data

Menurut Moleong (2001: 103), pengertian analisis data adalah “Proses

mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam bentuk suatu pola kategori dan

satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan rumusan hipotesa kerja

seperti yang disarankan oleh data”.

Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis kualitatif

merupakan analisis data yang didasarkan pada hubungan antara fakta satu dengan

fakta yang lain secara hubungan sebab akibat untuk menerangkan suatu peristiwa.

Analisis kualitatif yang digunakan adalah teknik analisis interaktif yang merupakan

proses siklus yang bergerak diantara ketiga komponen pokok yaitu reduksi atau

seleksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan.

Adapun skema model analisis interaktif menurut Miles dan Huberman

(1992: 20) yaitu sebagai berikut :

Gambar Skema Analisis Data Model Interaktif

Sumber: Miles, B. Mathew & Huberman, A. Michael, 1992: 20

Pengumpulan Data Penyajian Data

Reduksi Data Penelitian Kesimpulan

atau Verifikasi

Page 50: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Keterangan :

1. Pengumpulan Data

Langkah pengumpulan data ini sesuai dengan teknik pengumpulan data yang

telah diuraikan, yang terdiri atas wawancara, observasi, dan dokumentasi.

2. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan penelitian pada

penyederhanaan, pengabsahan, dan transformasi data yang muncul dari catatan-

catatan tertulis dilapangan untuk diolah lebih lanjut sehingga dapat disajikan

sebagai laporan.

3. Penyajian Data

Penyajian data adalah mengorganisasikan informasi secara sistematis untuk

mempermudah penelitian dalam mengembangkan dan merangkai keterikatan

antar data dalam menyusun penggambaran proses dan fenomena yang ada pada

objek penelitian.

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan rangkaian pengolahan data penyusunan

catatan, pola dan arahan sebab akibat dilakukan secara teratur.

H. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah secara rinci dalam penelitian

dari awal sampai akhir. Adapun langkah-langkah prosedur penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Penulisan proposal pengurusan perijinan

Setelah judul penelitian disetujui atau ditentukan dilanjutkan dengan penulisan

proposal yang berisi garis besar penelitian. Langkah selanjutnya mengadakan

langkah pelaksanaan yaitu dengan mengurus perijinan penelitian.

2. Pengumpulan data dan analisis awal

Pengumpulan data dilakukan di lokasi penelitian termasuk dalam hal ini

mengadakan wawancara dengan informan dan mengadakan observasi terhadap

sumber-sumber tertulis yang ada kaitannya dengan topic dalam penelitian

sebagai data.

Page 51: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

3. Analisis akhir dan penarikan kesimpulan

Data yang sudah tersusun rapi merupakan bagian dari analisis awal, maka

kegiatan selanjutnya merupakan analisis akhir dengan mengorganisasikan dan

mengurutkan data pola dalam uraian dasar sehingga dapat ditarik suatu

kesimpulan.

4. Penulisan laporan dan perbanyakan laporan

Dari data yang sudah disusun berdasarkan pedoman penelitian kualitatif, maka

akan dapat diambil sebuah laporan penelitian sebagai karya ilmiah, yang

sebelumnya melalui proses pengujian terlebih dahulu.

Dari uraian di atas, maka dapat digambarkan skema prosedur penelitian

sebagai berikut :

Skema 2. Prosedur Penelitian

Penarikan Kesimpulan Penulisan

Proposal

Persiapan Pelaksanaan

Pengumpulan Data dan

Analisis Awal

Analis Akhir

Penulisan Laporan

Perbanyak Laporan

Page 52: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Struktur Pakeliran Gaya Surakarta

Dalam dunia pedalangan struktur dalam pakeliran semalam merupakan

tuntunan bagi calon dalang untuk berlatih dalam pengasaan materi. Adapun garis

besar struktur pakeliran semalam gaya Surakarta antara lain :

1. Pathet Nem terdiri atas : Jejer, Adegan babak unjal, Adegan bedhol jejer, Adegan

gapuran, Adegan kedhatonan, Adegan paseban jawi, Adegan budhalan paseban

jawi, Adegan kapalan, Pocapan kreta/gajah, Adegan perang ampyak, Adegan

sabrang, Adegan budhalan sabrang, Adegan perang gagal (Atmotjendono, 1958:

(I) 68-84).

a. Jejer, berisi pambuka, pelukisan keadaan kerajaan, kemakmuran kerajaan,

nama raja yang memerintah, keadaan sitihinggil, patih dan sentana yang

menghadap raja, dan situasi di pasewakan. Gendhing-gendhing yang

digunakan yaitu (1) jejer Khayangan (Bathara Guru) dan Negara Amarta

menggunakan Ketawang Gendhing Kawit berbentuk kethuk loro kerep

minggah ladrang, laras slendro pathet menyura; (2) jejer Negara Astina

dengan raja Duryudana menggunakan Ketawang Gendhing Kabor berbentuk

kethuk loro kerep minggah Ladrang Sekar Lesah, larasa slendro pathet nem;

(3) jejer negara selain yang telah disebutkan tadi menggunakan Gendhing

Karawitan berbentuk kethuk papat kerep minggah ladrang, laras slendro

pathet nem (Nojowirongko, 1958: 33-35; Sudarko, 2003: 19)

b. Babak unjal adalah deskripsi atau pelukisan tamu agung atau urusan dari

kerajaan lain yang akan menghadap raja. Gendhing-gendhing yang digunakan

yaitu (1) Ladrang Mangu, laras slendro pathet nem untuk mengiringi tokoh

Puntadewa; (2) Ladrang Kembang Pepe, laras slendro pathet menyura untuk

mengiringi tokoh Nakula dan Sadewa; (3) Ladrang Srikaton, laras slendro

pathet menyura untuk mengiringi tokoh Janaka; (4) Ladrang Remeng,

Sobrang, dan Daradimeta laras slendra pathet nem untuk mengiringi tokoh

Baladewa (Nojowirongko, 1958: 35-36; Sudarko, 2003: 19).

37

Page 53: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

c. Bedhol jejer adalah raja masuk kembali ke istana dalam atau kedhaton dan

patih atau perdana menteri membubarkan pasewakan.

d. Gapuran adalah pelukisan raja pada waktu menuju ke tempat permaisuri,

berhenti sejenak di pintu gerbang guna menikmati keindahan gapura.

e. Kedhatonan adalah pelukisan permaisuri raja, serta keindahan kedhaton

(tempat istri raja), yang sedang menanti raja kembali dari siniwaka

(pertemuan di sitihinggil). Gendhing-gendhing yang digunakan yaitu (1)

Gendhing Damarkeli berbentuk kethuk papat kerep minggah kethuk wolu

laras slendro pathet menyura untuk mengiringi Dewi Banuwati; (2)

Gendhing Titipati berbentuk kethuk loro kerep minggah kehuk papat laras

slendro pathet nem untuk mengiringi Dewi Jembawati (Nojowirongko, 1958:

37; Sudarko 2003: 19).

f. Paseban jawi adalah gambaran para sentana, bupati dan prajurit hadir di

alun-alundan di pagelaran, menanti kedatangan patih. Gendhing-gendhing

yang digunakan yaitu (1) Gendhing Kedhatonbentar berbentuk kethuk loro

kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi tokoh

Samba dan Setyaki; (2) Gendhing Semukirang berbentuk kethuk loro kerep

minggah kethuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi tokoh

Dursasana (Nojowirongko, 1958: 38-39;Sudarko 2003: 19-20).

g. Budhalan paseban jawi adalah perjalanan para bupati, sentana dan prajurit

menuju tempat kerajaan yang telah ditentukan.

h. Kapalan adalah perjalanan para sentana dengan menaiki kuda. Gendhing-

gendhing yang digunakan yaitu (1) Lancaran Kebogiro laras slendro pathet

sanga; (2) Lancaran Manyarsewu laras slendro pathet menyura

(Nojowirongko, 1958: 39; Sudarko 2003: 20).

i. Pocapan kreta atau gajah adalah pelukisan sentana raja dan patih yang

sedang berada di kereta atau sedang naik gajah untuk menuju tempat kerajaan

yang telah ditentukan.

j. Perang ampyak adalah pelukisan perjalanan para prajurit yang mendapatkan

kesulitan di tengah perjalanan dilanjutkan perbaikan jalan oleh para prajurit.

Page 54: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

k. Adegan sabrang adalah pelukisan raja, tempat kerajaan, nama raja dalam

suatu kerajaan yang mempunyai maksud bertentangan dengan keinginan raja

yang tampil pada jejer. Gendhing-gendhing yang digunakan yaitu (1)

Gendhing Majemuk berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras

slendro pathet nem untuk mengiringi raja raksasa muda; (2) Ladrang

Babatkenceng laras slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan binatang

di hutan (Nojowirongko, 1958: 39-40; Sudarko 2003: 20).

l. Budhalan sabrang adalah perjalan para prajurit dan patih menuju tempat/

kerajaan yang diinginkan.

m. Perang gagal adalah perkelahian/peperangan antara prajurit dari kubu yang

tampil pada jejer dan prajurit dari raja sabrang. Dalam adegan perang ini

belum ada korban yang jatuh (mati).

2. Pathet Sanga terdiari atas : Adegan Gara-gara, Adegan pertapan atau tengah

hutan, Adegan Alas-alasan, Adegan perang kembang, Adegan sintren, Adegan

perang sintren (Atmotjendono, 1958: (II) 3-76).

a. Adegan gara-gara, dalam pakeliran gaya Surakarta hanya terdapat dalam

lakon tertentu yang sedang dalam keadaan sedih, misalnya Palasara,

Ciptaning, Manumaya. Jadi tidak semua lakon menampilkan adegan gara-

gara.

b. Adegan pertapan adalah melukiskan pertapa dan situasi pertapaan, serta

cantrik yang menghadap, demikian pula menyebutkan ksatria yang sedang

menghadap. Sedangkan adegan di tengah hutan, melukiskan ksatria sedang

berada di hutan dalam keadaan sedih diiringi panakawan (abdi). Gendhing-

gendhing yang digunakan yaitu (1) Gendhing Kalunta berbentuk kethuk loro

kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet sanga; (2) Gendhing

Bondhet berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro

pathet sanga (Nojowirongko, 1958: 40-41; Sudarko 2003: 20).

c. Alas-alasan mendiskripsikan ksatria yang sedang masuk ke tengah hutan

belantara, yang diikuti para panakawan.

d. Perang kembang adalah perkelahian seorang ksatria dengan raksasa yang

diakhiri dengan terbunuhnya para raksasa dari negara seberang. Gendhing

Page 55: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

yang digunakan diantaranya untuk mengiringi raksasa menjelang perang

kembang misalnya Lancaran Jangkrik Genggong laras slendro pathet sanga

untuk mengiringi adegan danawa prepatan (raksasa). Gendhing-gendhing

sesudah perang kembang misalnya (1) Gendhing Kencengbarong berbentuk

kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet sanga untuk

mengiringi adegan Astina (Raja Duryudana); (2) Gendhing Rondhon

berbentuk kethuk papat arang minggah kethuk wolu laras slendro pathet

sanga untuk mengiringi adegan Dwarawati (Nojoworongko, 1958: 41-42;

Sudarko 2003: 20).

e. Adegan sintren adalah melukiskan adegan di kerajaan tertentu dalam pathet

sanga.

f. Perang sintren adalah peperangan antara prajurit/senapati dari kerajaan yang

tempil dalam adegan sintren dengan tentara/prajurit dari negara lain.

3. Pathet Manyura terdiri atas : Adegan menyura, Adegan perang sampak menyura,

Adegan perang brubuh, Tayungan, Tancep kayon (Atmotjendono, 1958: (III &

IV) 3-71). Gendhing-gendhing untuk adegan pathet menyura untuk mengiringi

adegan Dwarawati dan Amarta misalnya Gendhing Kutut Manggung berbentuk

kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet menyura. Gendhing

Montro berbentuk kethuk papat laras slendro pathet menyura untuk mengiringi

adegan putrid (Nojowirongko, 1958: 42-43; Sudarko 2003: 20).

a. Adegan menyura adalah pelukisan kerajaan, nama raja, wibawa raja,

kesaktian raja, serta tokoh yang hadir.

b. Perang sampak menyura adalah peperangan antara tokoh senapati yang baik

dan terjadi pembunuhan atau ada korban tokoh atau senapati jahat.

c. Perang brubuh adalah peperangan antara raja jahat melawan tokoh yang baik

(raja yang baik) dan kemenangan di pihak yang baik. Sedangkan tokoh yang

jahat mati terbunuh atau dilempar dengan kekuatan angin (dibalang barat).

d. Tayungan adalah terian tokoh yang baik atas kemenangan perang dan

biasanya tokoh Bima dan Petruk yang menari.

e. Tancep kayon adalah adegan akhir pertunjukan yang menampilkan tokoh

yang baik ditutup dengan menancapkan figur kayon di tengah layar, dan

Page 56: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

sebagai tanda bahwa pertunjukan selesai. Gendhing-gendhing yang

digunakan untuk mengiringi adegan tancep kayon (penghabisan) misalnya (1)

Gendhing Lobong berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras

slendro pathet menyura; (2) Gendhing Boyong berbentuk Kethuk loro kerep

minggah ladrang ikaras slendro pathet menyura (Nojowirongko, 1958: 43;

Sudarko 2003: 21)

Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan dari beberapa pertunjukan

wayang semalam suntuk yang diamati terdapat unsur-unsur dalam pakeliran yang

sering dihilangkan seperti: gapuran, kedhatonan, adegan perang ampyak, adegan

paseban jawi sabrang, adegan pertapan menjadi adegan gara-gara, adegan sintren,

dan adegan menyura 2 dan hal tersebut terjadi pada dalang non-akademis dan dalang

pejabat karena penyaji kebanyakan tidak menguasai unsur-unsur sabet dalam bentuk

pakeliran semalam, kecenderungannya lebih menekankan Limbuk Cangik dan Gara-

Gara.

B. Nilai-nilai Filosofi Dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa

Masyarakat Jawa mempercayai bahwa dalam pertunjukan wayang kulit

purwa merupakan gambaran tata kehidupan nenek moyang yang patut diambil suri

tauladan. Selain itu, masyarakat Jawa juga meyakini di dalam pertunjukan wayang

terkandung makna proses pendidikan dari lahir hingga mati. Hal ini dapat dilihat

dalam pembagian periode pertunjukan (pathet) semalam suntuk, yang dimulai dari

pathet nem, pathet songo, dan pathet menyura. Selain terkandung proses pendidikan

dari lahir hingga mati dalam periode pertunjukan yang ditampilkan oleh dalang,

terkandung pula secara simbolis di dalamnya mengenai ajaran, petuah, keteladanan,

dan juga makna tentang hubungan manusia dengan alkhalik-Nya (Soetomo, 2005:

(II) 1).

Pembabagan proses pendidikan dari lahir hingga mati secara terperinci

yaitu:

1. Simbol Kehidupan Masa Kanak-kanak (Pathet Nem)

Periode yang berlangsung mulai pukul 21.00-24.00 ini melambangkan masa

kanak-kanak. Sesuai dengan suasana ini, maka gamelan dan lagu dalam pathet nem

Page 57: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

ini ditandai dengan kayon (gunungan) ditancapkan cenderung ke kiri. Periode pathet

nem ini dibagi menjadi 6 adegan (jejeran) yaitu:

a) Jejeran raja yang dilanjutkan dengan adegan kedhatonan. Setelah selesai

bersidang raja diterima permaisuri untuk bersantap bersama. Jejeran ini

melambangkan bayi yang mulai diterima diasuh kembali ke ibunya.

b) Adegan paseban jawi, melambangkan seorang anak yang sudah mengenal dunia

luar.

c) Adegan jaranan (pasukan binatang, gajah, babi hutan). Adegan itu

melambangkan watak anak yang belum dewasa dan biasa mempunyai sifat

seperti binatang. Anak itu tidak memperhatikan aturan yang ada tetapi hanya

memikirkan diri sendiri.

d) Adegan Perang ampyak (menghadapi rintangan) melambangkan perjalanan

seorang anak yang sudah beranjak dewasa yang mulai menghadapi banyak

kesukaran dan hambatan, namun dapat dilaluinya dengan aman.

e) Adegan sabrangan (raksasa), melambangkan anak yang sudah dewasa tetapi

watak-wataknya masih banyak didominasi oleh keangkaraan, emosi dan nafsu.

f) Adegan Perang gagal, suatu perang yang belum diakhiri suatu kemenangan,

kekalahan, hanya berpapasan saja, atau masing-masing mencari jalan lain.

Adegan ini melambangkan suatu tataran hidup manusia masih dalam fase ragu-

ragu, belum mantap, karena belum ada suatu tujuan yang pasti.

Mengenai pathet nem ini, R. Ng. Ranggawarsita menjelaskan dalam Serat

Wedhapurwaka demikian :

Pathet nenem rasaning dumadi, saking soko rongron, kadhaton yoiku tegese, rahsa kumpul neng gwa garba wibi, gya paseban jawi, iku tegesepun. Jabang bayi wus lahir neng Jawi, sabrang cariyos, bay iwis tumangkar kersane, darbe mosik sabarang kepingin, prang gagal kang arti, tumangkaring nafsu, (Padmosoekotjo, 1995: 22) Pathet nem rasa kehidupan, dari dua pihak, kedhaton yaitu maknanya, rahsa kumpul dalam kandungan ibu, segera paseban jawi, itu maknanya, bayi lahir di luar, sebrangan diceritakan, bayi sudah berkembang pikirannya, punya ulah segala kehendak, perang gagal artinya, berkembang nafsu.

Wulangan yang diterapkan pada pathet nem ini merupakan ajaran yang

bersumber dari lingkungan hidup lahir dan sebagian dari lingkungan hidup batin,

tetapi gambaran alam benda dan alam biologis di dalam janturan jejeran yang

Page 58: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

berupa penggambaran keadaan kerajaan, kemakmuran kerajaan, nama raja yang

memerintah, keadaan sitihinggil, patih dan sentana yang menghadap raja, dan situasi

di pasewakan.. Pada penggambaran keadaan alam ini diharapkan selalu mengingat

kesatuan hidup, meliputi manusia, alam sekitarnya dan kekuasaan Tuhan.

Tata laku dalam alam manusia atau masyarakat disesuaikan dengan tata

susila yang berlaku dalam suatu budaya. Namun di sini juga diingat latar belakang

kesatuan hidup dan usaha mencari kesempurnaan. Lingkungan hidup alam batin

diambil ajaran-ajaran yang membawa manusia dari rasa nafsu naluri dan rasa

keakuan meningkat ke dalam rasa kesusilaan dan pengalaman dalam masyarakat

(Abdullah Ciptoprawiro 1986: 89). Pathet nem dengan posisi kayon sedikit miring ke

kanan melambangkan iman manusia yang harus dipelihara sebaik-baiknya.

2. Simbol Kehidupan Masa Dewasa (pathet sanga)

Pathet sanga, periode ini berlangsung pada pukul 24.00-03.00 dengan

ditandai gunungan yang berdiri tegak di tengah-tengah kelir seperti pada waktu mulai

pergelaran. Pathet sanga ini dibagi menjadi tiga jejeran yaitu:

a) Adegan bambangan, yaitu adegan seorang satria berada di tengah hutan atau

sedang menghadap pendeta. Adegan ini melambangkan manusia yang sudah

mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan.

b) Adegan Perang Kembang, yaitu adegan perang antara raksasa Cakil berwarna

kuning, Rambut Geni berwarna merah, Pragalba berwarna hitam, Galiuk

berwarna hijau, melawan seorang satria yang diiringi panakawan. Adegan ini

melambangkan suatu tataran manusia yang sudah mulai mampu dan berani

mengalahkan nafsu angkara murka (sufiah, lawamah, amarah dan mutmainah).

c) Adegan Jejer Sintren, yaitu suatu adegan seorang satria yang sudah menetapkan

pilihannya dalam menempuh jalan hidupnya (Sri Mulyono 1989: 112-113).

Serat Wedhapurwaka menerangkan demikian:

… Sabubare prang gagal pathete Salin Sanga prapteng tengah wingi… Gya pandhitan wayah tengah wengi lire yuswaning wong ya wus tengah tuwuh ing wancine ya ing kono barang kang kinapti rarase wus salin sarwo awas emut

Page 59: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Dyan prang kembang wus ana pepati tegese lamun wong wus kuwawa nayuti nafsune pan wis bangkit amateni pancaindriya kang mrih durlaksaneng kalbu (Padmosoekotjo, 1995: 23) …setelah perang gagal pathetnya ganti sanga sampai tengah malam… segera adegan pendhita saat tengah malam ibarat umur manusia ya sudah tengah baya waktunya ya disitu segala kehendak iramanya sudah berganti serba awas waspada Sedang perang kembang telah ada kematian artinya kalau manusia sudah mampu mengendalikan nafsu memang telah bisa meredam panca indera yang hendak mengotori hati

Wejangan pada pathet sanga ini disampaikan kepada seorang satria oleh

dewa, pendeta, pertapa, Semar atau pinisepuh lainnya. Wejangan berisikan kesadaran

dalam ngudi kasampurnaan.

a) Dari lingkungan hidup batin meningkat kemampuan rasa kesusilaan sampai

kemampuan rasa jati.

b) Perjalanan mencapai kesempurnaan melalui darma atau kewajiban dengan

memperoleh kesaksian atau jaya kawijayan.

c) Wejangan tentang manunggal, kesempurnaan (Abdullah Ciptoprawiro, 1986: 89)

3. Simbol Kehidupan Masa Tua (pathet menyura)

Pathet manyura, Periode ini berlangsung dari pukul 03.00-06.00, ditandai

dengan gunungan (kayon) condong ke kanan. Pathet manyura ini dibagi menjadi tiga

jejeran yaitu:

a) Jejer Manyura. Tokoh utama adegan ini sudah berhasil dan mengetahui dengan

jelas akan tujuan hidupnya. Mereka sudah dekat dengan sesuatu yang dicita-

citakan.

b) Adegan Perang Brubuh. Yaitu suatu adegan yang diakhiri dengan suatu

kemenangan dan banyak jatuh korban. Adegan ini melambangkan suatu tataran

Page 60: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

manusia yang sudah dapat menyingkirkan segala hambatan hingga berhasil

mencapai tujuannya.

c) Tancep Kayon. Penutup pergelaran wayang ini, diadakan tarian Bima atau Bayu

yang berarti angina tau nafas. Kemudian gunungan (kayon) ditancapkan di

tengah-tengah kelir lagi.

Adegan yang terakhir ini melambangkan proses maut, jiwa meninggalkan

alam fana dan menuju kepada kehidupan alam baqa, kekal, abadi. R. Ng.

Ranggawarsita dalam Serat Wedhapurwaka menerangkan:

Dupi prapteng wanci lingsir wengi rasane ginantos ingaranan pathet manyura lah ing kono upamane janmi wus anandhang sakit aperak ing lampus Wancinira wus prapteng byar enjing bubar tancep kayon iya iku kulup umpamane wong wus krasa sanget kang sesakit praptil sakaratil katerak reridhu Gora godha sasring pati ngrayah angreroyok yen kalipyan tan tekeng kajaten ya Sang Banyusiwi tegese puniku Banyusiwi iku angin cilik mungguh angining wong ya napas wuwus pradikane yo ing kono jroning sakaratil napas kang mungkasi neneng tamah lampus (Padmosoekotjo, 1995: 23). Saat sudah sampai lewat tengah malam iramanya berganti disebut pathet menyura nah disitu ibarat manusia telah terkena sakit mendekati kematian Waktunya sudah menginjak pagi

Page 61: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

bubar tancep kayon yaitulah ibaratnya orang telah merasa sakit sekali tiba saat maut terkena cobaan Aneka unjian menuju kematian mengeroyok mengepung jika lupa tak sampai kesejatian Bratasena yang mengakhiri perang artinya begini Banyusiwi itu angin kecil padahal angin manusia yaitu napas jantung tempatnya di situ dalam sakaratul maut napas yang mengakhiri diam lalu meninggal

Wedharan pada pathet menyura berupa nasihat atau pernyataan pada jejeran

menjelang perang brubuh. Setelah mendapatkan pengetahuan dan penghayatan dari

wejangan pathet sanga seorang satria lalu memperlihatkan kemampuannya untuk

memberantas dur angkara. Tindakan yang dilakukan tanpa marah, tanpa pamrih

yang melihat pada dirinya.

Melalui uraian yang telah dijelaskan bahwa pergelaran wayang semalam

suntuk itu sebagai lambang keberadaan manusia secara ontologis-metafisis, yaitu

dari tiada menjadi ada dan kemudian melaksanakan lakon, maut dan kembali

menjadi tiada lagi. Semua sudah diatur menurut jadwal yang sudah ditentukan pada

waktu sebelum hidup (pergelaran), yaitu di Lauh Mahfudz atau surat dan ilahi.

Setelah paripurna pergelaran wayang semalam suntuk itu, maka semua wayang

beserta perlengkapannya dikukut sedemikian rupa, sehingga pendapa menjadi kosong

atau suwung. Kemudian barulah Sang Dalang bertemu dengan yang kuasa untuk

menerima pahala sebagai berkah usahanya. Pathet Menyura yang ditandai dengan

posisi kayon sedikit miring ke kiri melambangkan bahwa manusia harus beramal,

sehingga kehidupannya akan berbuah kebahagiaan (Purwadi, 2005: (VII)11).

Iman-ilmu-amal yang padu akan mengantarkan diri manusia yang ihsan.

Ibarat orang berdagang, pada akhirnya harus mendapat untung, namun tidak

selamanya untung harus berupa harta. Dalam pemahaman orang Jawa terdapat

Page 62: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

konsep tentang untung rugi, yakni tuna sathak bathi sanak ‘rugi harta untung

mendapat saudara’.

Penggambaran perjalanan hidup manusia dari pagi sampai sore atau lahir

sampai meninggal dunia juga dapat dilihat melalui judul tembang-tembang macapat

seperti yang tercantum dalam makalah konggres pewayangan yang disusun oleh

Purwadi (2005: (VII)12) berikut ini:

1. Mijil : miyos, metu, lahir melambangkan seorang bayi lahir dari guwa garba

(rahim) ibunya.

2. Sinom : pupus (daun muda) melambangkan seorang bayi sudah mulai

berkembang/bagaikan daun yang bersemi.

3. Maskumambang : mas = perhiasan, kumambang = kelihatan, melambangkan

perkembangan seorang bayi /anak yang semakin terlihat keindahannya bagaikan

emas.

4. Asmarandana : asmara = asmara, dana = member, melambangkan

perkembangan seorang anak mulai mengenal dan saling mengasihi kepada lain

jenis. Dalam kitab Smaradahana juga diceritakan tentang api asmara.

5. Dhandhanggula : dandang = hitam, gula = legi atau manis, melambangkan anak

yang telah menemukan gula hitam atau madu manisnya asmara.

6. Kinanthi : diajak, dibawa atau bersama-sama untuk menikmati manisnya atau

harmonisnya rumah tangga.

7. Gambuh : sudah sangat cocok, selaras, serasi, dan seimbang, melambangkan

kehidupan rumah tangga benar-benar mencapai kebahagiaandan kemuliaan

hidup di dunia.

8. Durmo : dur = mundur, mo = momor, mundur dari kebahagiaan duniawi untuk

mempersiapkan diri mencapai kebahagiaan ukhrawi.

9. Pangkur : mungkur atau meninggalkan diri dari kesenangan-kesenangan

duniawi, melambangkan bahwa manusia telah meninggalkan perbuatan-

perbuatan yang menjadi larangan agama, dan selalu berbuat sebaik-baiknya serta

meningkatkan amal ibadahnya.

Page 63: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

10. Megatruh : megat = misah atau pisah, ruh = nyawa atau jiwa, melambangkan

behwa manusia telah usai melaksanakan tugas-tugas di dunia dan kembali

pulang ke alam baka (akhirat atau jaman kelanggengan).

11. Pocung : pocong, tata cara agama yang dilaksanakan oleh umat islam, orang

yang telah meninggal dunia sebelum dimakamkan atau dikubur terlebih dulu

dimandikan dan di pocong dengan kain kafan yang berwarna putih.

C. Pertunjukan Wayang Kulit Sesuai dengan Pakem

Sebagai salah satu bentuk kesenian yang multi lapis, pertunjukan wayang

merupakan jalinan dari berbagai perabot atau unsur, baik yang bersifat fisik maupun

non fisik. Perabot fisik merupakan berbagai unsur nir kasat mata yang berperan

dalam sajian pakeliran sebagai sarana ekspresi, misalnya: gamelan, wayang,

gawang, kelir, kothak. Sedangkan perabot non fisik adalah unsur-unsur yang tidak

kasat mata yang berupa ide atau gagasan yang diekspresikan melalui pengolahan

medium yang sesuai dengan kebutuhan, misalnya: ekspresi berupa suara lagu,

wacana, gerak. Pada dasarnya antara perabot fisik dengan unsur-unsur garap

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Perabot garap berperan

sebagai sarana ekspresi dari unsur-unsur garap, sedangkan unsur-unsur garap akan

berarti apabila diungkapkan melalui bentuk-bentuk ekspresi sesuai dengan tuntunan

suasananya (Suyanto 2003: 23-24).

Ditinjau dari jenisnya unsur-unsur garap pakeliran terdiri dari 3 (tiga) jenis

yaitu:

1. Garap Catur

Catur adalah semua wujud bahasa atau wacana yang diucapkan oleh dalang

di dalam pakeliran (Bambang Murtiyoso 1981: 6). Selain itu catur adalah semua

bentuk ekspresi dalang lewat wacana yang berupa narasi maupun dialog tokoh dalam

pakeliran (Suyanto 2003: 28). Pada prinsipnya catur adalah kemampuan dalang

dalam berbahasa untuk mengekspresikan pengalaman dan perasaannya dalam

pakeliran.

Dalam pemilihan catur, seniman dalang biasanya tinggal memilih mana

yang akan digunakan karena pada umumnya catur yang digunakan sudah ada dan

Page 64: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

pada umumnya memiliki struktur isi dan pola yang telah membeku (narasi, dialog,

dan monolog). Sebagai contoh: (1) untuk bentuk narasi seperti janturan jejer,

janturan gapuran, janturan kedhatonan, pocapan gajah, dan pocapan kreta; (2)

bentuk dialog seperti bage-binage, tantangan, bantah, dan wejangan (Sudarko, 2003:

102).

Catur pakeliran bentuk semalam pada umumnya menggunakan kalimat-

kalimat panjang. Selain itu pakeliran bentuk semalam juga sering menggunakan

catur-catur klise dikarenakan adanya suatu hubungan yang erat antara lama waktu

pertunjukan dengan kebutuhan caturnya. Pada umumnya dalang yang menyajikan

pakeliran bentuk semalam harus mempunyai perbendaharaan catur yang banyak

serta lengkap. Jika tidak demikian ia akan kehabisan bahan. Selain itu bentuk

susunan catur klise dirasa masih cocok digunakan oleh para pendukung pakeliran

bentuk semalam (Sudarko 2003: 107-108).

Pengulangan dalam bentuk catur dapat terjadi baik dalam janturan,

pocapan, maupun dialog. Pengulangan sering terjadi dalam hal isi dan kosakata.

Misalnya narasi yang berisi deskripsi tentang perang yang sebetulnya perang ini telah

dingkapkan melalui sabet, atau dalam bentuk dialog dapat berupa dialog tokoh

mengutarakan suatu masalah tertentu kemudian diulangi oleh tokoh lain baik

langsung maupun tidak langsung (Sudarko 2003: 109).

Di dalam pakeliran gaya Surakarta, catur dapat digolongkan menjadi tiga

jenis, yaitu:

a. Janturan

Janturan adalah cerita yang diutarakan / diungkapkan oleh dalang dalam

pertunjukan wayang yang diringi dengan suara gamelan yang dibunyikan secara

lirih. Janturan memiliki fungsi pokok yaitu untuk memberitahu penonton mengenai

dimana tempat adegan, siapa-siapa saja yang ada di pentas, sketsa watak dari tokoh

wayang, dan apa yang akan dijadikan pokok pembicaraan dalang (Pandam Guritno

1988: 67).

Dalam buku Bahan Ajar Teori Pedalangan 1 yang disusun oleh Suyanto

(2003: 28) disebutkan bahwa “janturan adalah wacana dalang yang berupa deskripsi

Page 65: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

suatu adegan yang sedang berlangsung, mencakup suasana tempat (negara), tokoh,

dan peristiwa dengan diiringi gendhing sirepan”.

Dilihat dari aspek kesusastraan yang digunakan, janturan mempunyai ciri

khas sebagai berikut: (1) bentuk bahasanya prosa liris; (2) banyak menghadirkan

leksikal arkhais (Bahasa Kawi); dan (3) terdapat jalinan harmonis antara suasana dan

lagu iringan (Suyanto, 2003: 28).

Dalam pakeliran tradisi gaya Surakarta, bentuk dari janturan menurut

proporsi pengungkapannya terbagi menjadi dua macam yaitu: Janturan Ageng dan

Janturan Alit. Janturan Ageng adalah janturan yang proporsi pengungkapannya

cukup panjang, biasanya digunakan dalam adegan pertama atau yang disebut jejer.

Misalnya: Jejer Ngastina, Jejer Dwarawati, Jejer Khayangan Suralaya, dan

sebagainya. Sedangkan Janturan Alit adalah janturan yang proporsi ungkapannya

relative pendek dan biasanya digunakan dalam adegan-adegan setelah jejer pertama.

Misalnya: adegan kedhatonan, adegan paseban jawi, adegan sabrangan

(Yaksa/bagus), adegan magak, adegan pertapan (sanga sepisan), adegan alas-

alasan, adegan menyura sepisan, dan sebagainya.

Contoh Janturan Ageng dan Janturan Alit:

1) Janturan Ageng (Jejer Ngastina dalam lakon Wahyu Makhuta Rama)

Swuh rep data pitana, anenggih negari pundi ta ingkang kaeka adi dasa purwa, eka sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan, sanadyan kathah titahing bathara ingkang kasangga ing pratiwi, kaungkulan ing akasa, kahapit samodra laya, saha kathah ingkang samya anggana raras; nanging datan kadyan gelaring negari Nastina, ya Hastinapura, Gajahoya, Limanbenawi, ya Kurujanggala. Marma dadya bebukaning carita awit pranyata pinunjul ing jagad. Bebasan ngupaya nagari satus datan antuk kalih, sanadyan sewu datan jangkep sedasa. Dasar negara kang panjang, punjung, pasir, wuklir, loh jinawi, gemah, ripah, karta tur raharja. Nagari kang ngungkuraken pareden, nengenaken benawi, ngeringakaen pasabinan, ngayunaken bandaran agung. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang samya tinuku, gemah kang samya lampah dagang layar surya ratri tan ana kendhate labet tan ana sansayaning marga. Ripah kathah janma manca ingkang samya bebara miwah samya bebadra, bebasan jejel pipit, aben cukit wisma nira, papan wiyar katingal rupak labet saking rejaning praja. Karta lebih saking parangmuka, raharja gesanging para nara prajasamya sahiyek saeka praya, senadyan para kamwula dasih samyaguyup rukun lebih saking hambeg dursila juti myang cecengilan. Ingon-ingon raja kaya, pitik iwen

Page 66: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

datan samya kinandhangan, yen siang aglar ing pangonan, lamun ratri bali mring kandhanging sowang-sawang tan ana kang ghothang sawiji. Dhasar nagari Ngastina kasusra kajanapriya, mila winastan nagari kang gedhe obore, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, amba leladane. Boten ngemungaken ing tanah jawi kewala, senadyan para bupati ing tanah sabrang kathah ingkang samya sumuyut sumawita tan karana ginebanging prah pupuh, labet hamung kayungyun kapiluyu ing pepoyaning kautaman. Saben hari kalamangsa samya asok bulu bekti glondhang pangareng-areng, peni-peni raja peni, guru bakal guru dadi, pinangka tandha panungkul. Lah sinten ta ingkang ngasta pusaraning Negari Ngastina?, wenang den ucapna jejuluking sang bumi nata nenggih prabu Duryudana, Suyudana, Kurupati, Jakapitana, Jayapitana, Sang Gendarisuta, Dhestharastraatmaja, ya Sang Kurawaendra. Marma ajejuluk Prabu Duryudana nerendra kang awrat sanggahing aprang, Suyudana prajuritlinangkukng, Kurupati narendraning bangsa Kuru, Jakapita nggenya jumeneng nata maksih jejaka, Jayapitana nerendra kang rosa ing pamuja, Gendarisuta linahirake dening Dewi Gendari, Dhestharastraatmaja pinutrakake dening adipati Dhestharastra, Kurawaendra narendraning para kadang. ............................................................................. (Suyanto, 2003: 30-32).

2) Janturan Alit (Janturan Kedhatonan Dwarawati) Hanenggih kang cinerita, ing Kenyopuri Praja nDwarawati. Sang sri supadniwara tetiga, kang sepuh kekasih Dewi Jembawati. Dhasar wanodya endah ing warna, karengga ing busana, atmajaning pandhita tuwuk winulang ing darma; marma katingal wingit pasemone, ngenguwung tejane. Wimbuh ginarwa narendra binathara, kalangkung sinihan, labet wignya hanuju prana. Nadyan wus peputra tiga, parandene sapisan dereng nate karengon. Garwa ingkang panenggak putri saking Kumbina, kekasih Retnaning Dyah Dewi Rukmini. Galak ulat raga karana, gonas-ganes lelewane milangoni. Liringing netra tumanen nala, tembeling lathi handudut ati. Garwa ingkang katiga putri saking Lesanpura, kekasih Dewi Setyaboma. Endahing suwarna tan pae kadya widadari tumurun; wimbuh lebda ngadi sarira, marma hanggung sinihan ing sri nata. Kacarita sang prameswari tetiga saben sang nata miyos sinewaka, samya lenggah aneng prabasuyasa kaleres pananggap ingkang sisih ler wetan; den-ayap para dyah ingkang samya ngampil upacara garwaning nata; ing ngandap andher para parekan cethi. Sinambi mriksani ajaran bedhayasrimpi; pradangga munya hangrangin keplok imbal hangudasih, senggakan rebut wirama. Nuju suwuking pradangga munya tengara konduring nata. Sang dayinta gya mirantos tirta pawijikan ing sangku. Gupuh prameswari tiga, samya methuk konduring nata (Tim, 2006: 25-26).

b. Pocapan

Pocapan adalah wacana dalang berupa narasi yang pada umumnya

menceritakan peristiwa yang sudah, sedang dan akan berlangsung, tanpa iringan

Page 67: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

gedhing sirepan (Suyanto, 2003: 33). Menurut Soetarno (2004: 129), pocapan adalah

suatu deskripsi suatu adegan atau peristiwa menjelang atau sesudah adegan.

Dilihat dari bentuk bahasanya pocapan dalam pakeliran gaya Surakarta

terdapat dua macam bentuk yaitu: pocapan baku dan pocapan blangkon. Pocapan

baku adalah suatu bentuk narasi yang menceritakan suatu peristiwa berupa bahasa

bebas yang berkaitan langsung dengan konteks lakon. Seperti: pocapan peralihan

adegan, pocapan suasana tokoh (marah, sedih, emeng). Sedangkan pocapan

blangkon adalah bentuk narasi yang menceritakan suatu keadaan berupa bahasa klise

yang berlaku umum dan tidak terkait dengan konteks lakon. Misalnya: pocapan

padupan, pocapan pathet kedhu, pocapan abur-aburan Gathutkaca, pocapan Gara-

gara (Suyanto 2003: 34).

Contoh pocapan baku dan pocapan blangkon

1) Pocapan Baku

Lah ing kana wau, untaping wadya-bala saking nagari Ngastina lir pindah sela blekithi, anglur selur data nana pedhote kadi semut gumreget ing sela. Abra busananing wadya lir pendah panjrahing puspita. Gebyaring busana cawuh lan klebeting bandera lelayu kelaping kakandha pedhang tameng mawur lan kelaping paying agung, sinawung saking mandrawa pindha wredu angga sasra. Wredu lintah angga banyu sasra sewu, kaya lintah sewu aneng banyu bareng kumerlap. Rame swaraning janma, cawuh lan kriciking kendhali kropyaking watang gathik, pengeriking kuda myang pangepreting dwipangga, barung lan swaraning poksur tambur gong beri wurahan, jajah warsa kinteki. Warsa udan kinteki alas pajaten, kaya udan nrajang wana pajaten. Nyarangaping langkap bedhil tombak landheyan pindha jati ngarang. Prajurit sajuru-jurudatan kena carob wor. Kang busana putih kumpul padha seta, tinon saking mandrawa pindha kontul aneba. Kang busana Kresna kumpul padha langking, kadi dhandhang areraton. Kang busana rekta kumpul padha abang, tinon saking mandrawa abra markata pindha wukir kawelagar. Kang busana ijo kumpul padha wilis, katon riyo-riyo kadi tanem nedhenging gumadhung. Baleduging lampah, peteng angampak-ampak, katon angendanu pindha mendhung (Siswoharsojo yang dikutip Soetarno, 2004: 129).

Terjemahan:

Demikianlah keberangkatan prajurit dari kerajaan Astina seperti batu, terus mengalir tidak henti-hentinya seperti semut sedang berjalan di batu. Warsa-warni busananya para prajurit seperti bunga yang sedang berkembang. Gemerlapnya busana yang bercampur dengan berkibarnya bendera serta mengkilapnya senjata pedang tameng dan warsa-warni paying, kalau dilihat dari kejauhan seperti lintah seribu dalam air. Gemuruh suaranya menusia

Page 68: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

bersama dengan suara kereta dan kuda, serta suara gajah yang ditambah dengan suara tambur dan gong beri seperti hujan yang menerjang hutan jati. Prajurit yang berbusana putih berkumpul dengan yang memakai busana putih seperti burung kuntul di sawah, yang berpakaian warsa hitam berkumpul dengan yang berbusana hitam seperti burung gagak. Yang berseragam merah bersama dengan yang berbusana merahseperti hutan terbakar. Prajurit yang berseragam hijau berkumpul dengan hijau seperti tanaman padi masih muda. Debu di jalan tampak tebal dan gelap seperti awan.

2) Pocapan Blangkon

Lah ning kana ta wau, Nata ing Dwarawati wus manjing jroning sasana busana, lukar busana keprabon ngrasuk busana kapandhitan; sigra laju manjing sanggar pamelengan. Ing mriku wus samapta uparengganing sesaji. Sela gengnya samustaka, liman, winor lan ratus, kayu garu rasamala, miwah cendhana sari. Tinumpangaken ing bagni makantar-kantar, kukusing dupa kumelun yayah sundhul ngantariksa. Sang katong murwani denira semedi, sendhakep asta suku juga, nutupi bah-bahan nawa sanga, meper dayaning pancadriya sekawan kang binengkas sajuga kang sinidikara pinangka nut laksitaning subrata. Mandeng pucaking grana, ngeningaken wijiling bajra hirawana. Bawaning narendra kang sembada pralebdeng patrap mangulah lenging subrata, bebasan mung sakedheping netra wus gambuh mring panguwasaning Widhi.gemblengng pangesti maharani pratitising pamawas. Ancasing sedya wus melok datanpa aling-aling, kang ngalingi wus kelingling. Syekti katarima panedhaning sang nata, apa ta tandhane? jroning palanggatan ana riris manda linuting maruta midit angganda arum. Mesem jroning werdaya sang nata, sigra wudhar denira mangsah semedi. Neng na wau genti kang kinocap tan kandya ingkang wonten ing pagelaran jawi, solahing wadya bala ing madyaning alun-alun tinon saking mandrawa kaya robbing jalanidhi (Suyanto 2003: 34-35).

c. Ginem

Di dalam dunia pedalangan istilah ginem mempunyai pengertian khusus

yaitu ucapan dalang yang mengekspresikan wacana tokoh, baik dalam bentuk

monolog maupun dialog (Suyanto 2003: 35). Pada perkembangannya dalang-dalang

populer telah mempersiapkan sendiri dialog tokoh wayang berdasarkan situasi aktual

dan telah meninggalkan basa pinathok (bahasa yang klise). Dengan demikian, ginem

dalam adegan tertentu telah berubah dan kebanyakan telah menyimpang dari esensi

pembicaraan arau keluar dari pakeliran. Dialog yang sering dipersiapkan oleh dalang

biasanya dalam adegan limbuk-cangik dan adegan goro-goro (Soetarno 2004: 131-

133).

Page 69: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Jika dilihat dari bentuknya, ginem dapat digolongkan menjadi dua macam

yaitu: ginem blangkon dan ginem baku. Ginem blangkon adalah wacana yang berupa

bahasa klise yang dikemas secara konvensional. Untuk isi dari wacananya, tidak

berkaitan langsung dengan jalan cerita. Sedangkan ginem baku adalah wacana

wayang yang berkaitan langsung dengan isi atau permasalahan dalam lakon. Untuk

bahasa yang digunakan disesuaikan dengan karakter tokoh yang akan ditampilkan

(Suyanto 2003: 36).

Contoh ginem blangkon dan ginem baku

1) Ginem Blangkon Jejer Dwarawati

Kresna : Kulup [kuluuup] Samba, kaya ora dadi guguping atinira, sira ingsun timbali marak ana ngarsaningsun?

Samba : Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun. Sareng nampi dhawuh timbalanipun Kanjeng Dewaji, sanget guguping manah. Nalika wonten ing njawi raosing manah kados sinamber ing gelap tuna, tinubruk ing simo lepat; upami sumerep gebyaring caleret, mboten sumerap dhawahing gelap. Dhahat kumepyar kados kados panjang putra dhumawah ing sela kumalasa. Upami kambengan salamba kapanjer madyaning alul-alun, katiyup ing samirana, sakalangkung kejot kumitir carub maras. Nanging sareng dumugi ing ngarsa Nata asreping manah pindha siniram toya wanci enjing, mboten pisan yen ta darbeya manah maras. Kawula nuwun [nuwuun], nuwun.

Kresna : Apa mulane nalika ana ing njaba banget kuwatir, nanging bareng prapta ngarsaningsun datan darbe rasa maras?

Samba : Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun. Mila nalika wonten ing njawi dhahat sumelanging manah, sareng wonten ing ngarsa Nata mboten darbe raos maras; upami pun Samba nandhanga dosa sakit Sinuhun ingkang nyakitana, yen hanandhang dosa pejah Sinuhun ingkang hamejahana. Sampun ingkang siyang, sanadyan dalu pejah-gesangipun pun Samba sumangga ing asta kekalih; tembang tadhah wadana, suka kakurepna ing abahan, kapanduka warastra ingkang lungit. Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun.

Kresna : Kulup [kuluuup], kejeron panampa. Koyo wong nandang dedosan, ngaturake pati-urip. Iya sadurung lan sawise banget ing panarimaningsun, awit anggonira hanjunjung kapraboningsun. Ana bebasan sak galak-galake macan ora kolu mangsa marang anake dhewe. Apa maneh panjenenganinsun kaya durung tau kelakon hangukum wong kang tanpa dosa. Tumrape marang sira kaya maksih akeh parimarmaning karaton. Sapa ta kang kawongan ing Praja nDwarawati pantes ngobori pepeteng, hambabadi rerungkut, kajaba hamung sira. Marma haywa kaduk ati bela panampa; aja katenta ingsun piji nampani gnjaran mas sesotya sarwa retna,

Page 70: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

myang busana adi endah; ora pisan bebasan adoh lintang waluku sinawat ing baling kayu, cepak cupete-tangeh kenane.

Samba : Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun. Sadrahing angin pinara sapta, sarekma pinara sasra, yen tilema kula mboten supena hangajeng-ajeng ganjaran. Tebih sampun tuwuk, celak mboten kuwawi nampi rumentahing ganjaran, ingkang prasasat mboten wonten kandhatipun pindha ilining toya narmada. mBoten langkung kawula hamung nyenyadhang dhawuhing Nata, suka kakarsakna nggayuh ingkang tebih, ngrangsang ingkang inggil. Kawula nuwun [nuwuuun], nuwun (Sugeng Nugroho, dkk, 2006: 20-22).

2) Ginem baku (Jejer Dwarawati dalam lakon Parta Krama)

Kresna : Kaka Prabu Mandura kawistingan sumengka pengawak prapta wonten ing negari Dwarawati esmu mengku wigatos, menawi ta tanpa sangsaya saha kengaing kawedhar ing akathah mugi ri paduka enggal kababarana sejati.

Baladewa : Mangkene yayi prabu, abot-abote pun kakang pinutra mantu tinemu tuwa dening Rama Prabu Salyapati. Telung dina kepungkur aku mertuwi marang marang negara Mandaraka. Kanjeng rama Prabu Salya apadene Kanjeng ibu Satyawati kawistara suntrut pasemone labet menggalihake pamothane si Burisrawa nggone adreng kepingin dhaup kalawan kadangmu si Rara Ireng. Ringkesing rembug Rama Prabu nuding pun kakang bab prakara Burisrawa dipasrahake sawutuhe marang aku. Oh yayi abot sangganing atiku. Aku pinangka kadang wredha dadi wakile Sudarma, mesthine aku metu mikirake kabgyaning kadangku siji si Rara Ireng. Mangka pitungkasing Kanjeng Rama Suwangi, Rara Ireng kuwi ginadhang dadi jodhoning Premadi, lan kuwi tak rasa wis trep. Nanging bareng ngadepi lelekon kang kaya mangkene pun kakang dadi kodheng, yen nganti aku ora bisa ngusadani larane Burisrawa, iba ingsemku ana ngarsaning Kanjeng Rama maratuwa. Mula yayi tekaku ing kene muhung pasrah bongkokan marang si adhi, mara lungguhna pun kakang iki kudu kepriye yayi? (Suyanto, 2003: 37-38).

Di dalam adegan pakeliran tradisi semalam, peralihan antara ginem

blangkon dengan ginem baku biasanya ditandai dengan singgetan suluk pendek

(pathetan jugag), baik pada jejer pertama, adegan kedua dan seterusnya. Hal ini

digunakan untuk membedakan suasana dialog pengantar kemudian masuk pada

ginem wigati, sehingga nampak jelas peningkatan suasana suatu adegan (Suyanto,

2003: 37).

Page 71: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

2. Garap Sabet

Pengertian sabet di dalam pakeliran adalah semua bentuk penampilan di

dalam pakeliran, termasuk di dalamnya cara memegang wayang, tanceban,

bedholan, solah, dan entes-entesan (Soetrisno: 1976). Menurut Sudarko (2003: 117)

sabet adalah gerak wayang dari awal pertunjukan sampai akhir, termasuk perhatian

dalang terhadap bayangan pada kelir (layar), serta pengaturan wayang di luar kelir.

Jadi sabet merupakan semua bentuk ekspresi dalang lewat gerak wayang dalam

pakeliran, baik dalam bingkai kelir maupun tidak yang dilaksanakan dalang dari

awal pertunjukan sampai akhir.

Dalam hal sabet, gerak wayang merupakan bahasa ungkap yang dapat

dimanfaatkan oleh seniman dalang untuk mengungkapkan kesan tertentu.

Sehubungan dengan konsep yang dikemukakan di dalam hal menyusun gerak harus

mempertimbangkan sudah atau belum tercapainya kesan yang diharapkan. Parameter

mangenai hal ini memeng sulit, tetapi pada umumnya setiap dalang sudah memiliki

kepekaan, sehingga hal ini tidak menjadi masalah baginya (Sudarko 2003: 115).

Di dalam pakeliran bentuk semalam terjadi kebiasaan menggunakan waktu

yang longgar dalam pementasannya. Waktu untuk menampilkan sabet sangat

longgar, sehingga untuk mengisinya dalang mengulang gerak-gerak yang sudah

ditampilkan sebelumnya serta memperbanyak tokoh yang tampil. Misalnya di dalam

gerak perang, perbendaharaan-perbendaharaan gerak seperti ancap-ancapan,

tubrukan, prapatan, anteman, bantingan, dugangan, membuang, dan sebagainya

selalu diulang-ulang. Pengulangan tidak hanya dilakukan oleh satu pihak tetapi oleh

kedua pihak yang berperang. Pertama-tama yang melakukan tokoh sebelah kiri

kemudian diulangi oleh tokoh pihak kanan. Dalam gerak kiprahan yang sedikitnya

terdiri atas tujuh jenis sekaran: (a) ogekan pacak gulu, (b) ogekan tawing, (c) trap

jamang, (d) ngudhal rikma, (e) nimbang, (f) tumpang tali, dan (g) nebak bumi,

semuanya ditampilkan dengan mengulang-ulang masing-masing sekaran. Hal ini

menunjukkan bahwa dalam pakeliran bentuk semalam pamer kekayaan vokabuler

merupakan salah satu unsur yang dominan (Sudarko 2003: 115-116).

Page 72: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

3. Garap Iringan pakeliran.

Pada pakeliran bentuk semalam iringan yang digunakan berupa gendhing,

tembang, sulukan, dhodhogan/keprakan, dan sindenan. Fungsi dari iringan untuk

mendukung suasana dan/atau membuat suasana tertentu. Iringan dalam pakeliran

bentuk semalam kurang menyatu dengan unsur yang lain. Hal ini membari kesan

bahwa iringan merupakan medium bantu dalam pakeliran bentuk semalam (Sudarko

2003: 119).

Di dalam pemilihan vokabuler iringan, seniman dalang memiliki kebebasan

untuk mamanfaatkan unsur-unsur iringan dari gaya-gaya pakeliran lain. Pakeliran

gaya Surakarta tidak ditabukan memanfaatkan iringan gaya Mataram, Banyumas,

Jawa Timuran, dan sebagainya. Pemanfaatan iringan gaya lain ini di populerkan oleh

Ki Nartasabda. Pemanfaatan iringan ini lebih cenderung sebagai variasi untuk

menunjukkan bahwa beliau menguasai unsur iringan gaya lain (Sudarko 2003: 120).

Pada tanggal 1 April 1969 Ki Nartasabda mendirikan perkumpulan

karawitan dengan diberi nama “Condong Raos”, dan beliau menjadi pemimpinnya.

Condong Raos merupakan perkumpulan karawitan professional dan semua

anggotanya sudah terlatih menggarap gendhing-gendhing klenengan, iringan tari dan

pedalangan. Kemampuan Ki Nartasabda dengan dukungan karawitan Condong Raos

dengan pengrawitnya yang berbobot menyebabkan popularitasnya sebagai dalang

semakin menanjak (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 263).

Di dalam pakeliran gaya Surakarta yang termasuk dalam unsur garap

iringan pakeliran adalah sebagai berikut:

a. Karawitan Pakeliran (gendhing dan tembang)

Pertunjukan wayang kulit purwa Jawa sekarang ini pada umumnya diiringi

dengan gamelan yang berlaras slendro dan pelog bahkan sering juga ditambah

dengan beberapa instrumen non gamelan seperti keyboard, symbal, bass, drum. Pada

zaman pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820) di lingkungan keraton gamelan

laras slendro instrumennya terdiri atas : rebab, gender, saron dua rancak, kendhang,

gambang, suling, kecer, kethuk, kenong laras lima dan laras nem, kempul laras lima

dan laras nem, dan gong suwukan. Memasuki zaman kekuasaan Paku Buwana X

(1893-1939) instrumen gamelan mengalami penambahan antara lain adanya

Page 73: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

penambahan rincikan sehingga jumlah rincikan untuk gamelan wayangan terdiri atas

: gender barung, gender penerus, rebab, kendhang wayangan, slenthem, saron

barung dua buah, saron penerus, gambang, suling, kecer, kethuk dan kempyeng,

kenong lima, kenong nem, kempul nem, kempul barang serta gong suwukan

(Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 48-49).

Terjadi perubahan pada penggunaan laras gamelan antara dalang keraton

dengan dalang kerakyatan. Dalam lingkungan keraton gamelan yang digunakan

kebanyakan berlaras slendro sedangkan yang berkembang di luar keraton gamelan

yang digunakan tidak hanya berlaras slendro tetapi para dalang kerakyatan juga

memakai gamelan berlaras pelog. Hal ini terjadi karena penggunaan gamelan

berlaras slendro dan pelog digunakan untuk keperluan peristiwa hidup (rites de

passage). Perubahan perangkat gamelan yang digunakan untuk mengiringi

pertunjukan wayang kulit purwa disebabkan fungsi dari kerawitan wayang sangat

penting dan dapat mendukung suasana adegan (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007:

49).

Karawitan wayang atau gendhing-gendhing wayangan dalam tradisi

wayang gaya keraton Surakarta telah disusun oleh Warsodiningrat bersama-sama

dengan Nojowirongko dan telah dibukukan seperti yang tertulis dalam buku Serat

Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi (1954). Sebagai contoh

gendhing-gendhing untuk jejer, misalnya (1) jejer Khayangan (Bathara Guru) dan

Negara Amarta menggunakan Ketawang Gendhing Kawit berbentuk kethuk loro

kerep minggah ladrang, laras slendro pathet menyura, (2) jejer Negara Astina

dengan raja Duryudana menggunakan Ketawang Gendhing Kabor berbentuk kethuk

loro kerep minggah Ladrang Sekar Lesah, larasa slendro pathet nem. (3) jejer

negara selain yang telah disebutkan tadi menggunakan Gendhing Karawitan

berbentuk kethuk papat kerep minggah ladrang, laras slendro pathet nem

(Atmotjendono, 1958: (I) 68-84).

Gendhing-gendhing untuk mengiringi babak unjal (tamu dalam adegan

pertama) misalnya (1) Ladrang Mangu, laras slendro pathet nem untuk mengiringi

tokoh Puntadewa, (2) Ladrang Kembang Pepe, laras slendro pathet menyura untuk

mengiringi tokoh Nakula dan Sadewa, (3) Ladrang Srikaton, laras slendro pathet

Page 74: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

menyura untuk mengiringi tokoh Janaka. (4) Ladrang Remeng, Sobrang, dan

Daradimeta laras slendra pathet nem untuk mengiringi tokoh Baladewa

(Nojowirongko, 1958: 35-36; Sudarko, 2003: 19).

Gendhing-gendhing untuk mengiringi kedhatonan misalnya (1) Gendhing

Damarkeli berbentuk kethuk papat kerep minggah kethuk wolu laras slendro pathet

menyura untuk mengiringi Dewi Banuwati, (2) Gendhing Titipati berbentuk kethuk

loro kerep minggah kehuk papat laras slendro pathet nem untuk mengiringi Dewi

Jembawati (Nojowirongko, 1958: 37; Sudarko 2003: 19).

Gendhing-gendhing untuk mengiringi paseban jawi misalnya (1) Gendhing

Kedhatonbentar berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro

pathet nem untuk mengiringi tokoh Samba dan Setyaki, (2) Gendhing Semukirang

berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet nem untuk

mengiringi tokoh Dursasana. Gendhing-gendhing untuk mengiringi kapalan

misalnya (1) Lancaran Kebogiro laras slendro pathet sanga; (2) Lancaran

Manyarsewu laras slendro pathet menyura (Nojowirongko, 1958: 38-39;Sudarko

2003: 19-20).

Gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan sabrangan misalnya (1)

Gendhing Majemuk berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro

pathet nem untuk mengiringi raja raksasa muda, (2) Ladrang Babatkenceng laras

slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan binatang di hutan. Gendhing-

gendhing untuk mengiringi adegan pendeta misalnya (1) Gendhing Kalunta

berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet sanga, (2)

Gendhing Bondhet berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras slendro

pathet sanga (Nojowirongko, 1958: 39-42; Sudarko 2003: 20).

Gendhing untuk mengiringi raksasa menjelang perang kembang misalnya

(1) Lancaran Jangkrik Genggong laras slendro pathet sanga untuk mengiringi

adegan danawa prepatan (raksasa). Gendhing-gendhing sesudah perang kembang

misalnya (1) Gendhing Kencengbarong berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk

papat laras slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan Astina (Raja Duryudana),

(2) Gendhing Rondhon berbentuk kethuk papat arang minggah kethuk wolu laras

Page 75: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan Dwarawati (Nojoworongko, 1958:

42-43; Sudarko 2003: 20).

Gendhing-gendhing untuk adegan pathet menyura untuk mengiringi adegan

Dwarawati dan Amarta misalnya Gendhing Kutut Manggung berbentuk kethuk loro

kerep minggah kethuk papat laras slendro pathet menyura. Gendhing Montro

berbentuk kethuk papat laras slendro pathet menyura untuk mengiringi adegan putri.

Gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan tancep kayon (penghabisan) misalnya

(1) Gendhing Lobong berbentuk kethuk loro kerep minggah kethuk papat laras

slendro pathet menyura, (2) Gendhing Boyong berbentuk Kethuk loro kerep minggah

ladrang ikaras slendro pathet menyura (Nojowirongko, 1958: 43; Sudarko, 2003:

21)

Meskipun pembakuan ini tidak selalu tepat untuk membeberkan seluruh

lakon yang ada dalam pakeliran, pada umumnya semua dalang berusaha mengikuti

secara ketat. Akibat dari keketatan mengikuti pembakuan (pakem) ini, perhatian

dalang tidak lagi kepada isi lakon, tetapi bagaimana menyesuaikan lakonnya dengan

urutan adegan yang telah dibakukan itu. Dipandang dari kesan rasa gendhing

kaitannya dengan suasana adegan, aturan penggunaan gendhing ini sering tidak

sesuai, misalnya untuk adegan Negara Astina baik negara itu dilanda konflik, dalam

suasana menderita, dalam suasana perang, atau dalam suasana damai, dalam

pakeliran gaya Surakarta selalu digunakan iringan Ketawang Gendhing Kabor

berbentuk kethuk loro kerep minggah Ladrang Sekar Lesah, laras slendro pathet

nem. Demikian juga penggunaan gendhing-gendhing untuk mengiringi adegan-

adegan yang lain (Sudarko 2003: 22).

Pada perkembangannya di luar tembok keraton, dalang kerakyatan kurang

mentaati gendhing-gendhing yang telah disusun oleh Nayawirangka. Dalang

kerakyatan menyesuaikan pemakaian gendhing dengan repertoar gendhing yang di

kuasai. Misalnya untuk adegan kedhatonan Dwarawati diiringi dengan ladrang

Asmarandana, adegan paseban jawi digunakan ladrang Moncer, adegan sabrang

digunakan ladrang Remeng. Untuk penggunaan gendhing-gendhing laras pelog

pengunaannya terbatas pada adegan tertentu seperti adegan budhalan dan jaranan

dengan menggunakan gendhing Tropongbang. Pada adegan ksatria (Arjuna) ditengah

Page 76: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

hutan digunakan gendhing Onang-onang, adegan perang kembang digunakan srepeg

Kemuda, dan adegan menyura digunakan gendhing Bandilori. Dengan demikian

gendhing-gendhing laras pelog yang dipergunakan untuk mengiringi adegan sangat

terbatas atau pada adegan tertentu saja (Soetarno, Sarwanto, Sudarko 2007: 49-50).

Kehadiran Nartasabda di jagad pedalangan sekitar tahun 1960 mambawa

perubahan yang sangat hebat terhadap wujud penyajian karawitan pedalangan gaya

Surakarta. Dalam sajiannnya, beliau menyusun gendhing-gendhing khusus untuk

keperluan adegan tertentu. Sebagai contoh gendhing untuk budhalan bambangan

atau ksatria dari pertapan, beliau menyusun gendhing khusus yaitu Ketawang Ibu

Pertiwi laras pelog pathet nem. Untuk mengiringi gugurnya Kumbakarna pada

waktu membela kerajaan Alengka beliau menyusun Ketawang Layu-layu slendra

sanga, sedangkan untuk adegan gara-gara, beliau menyusun gendhing-gendhing

dolanan seperti: Gambang Suling, Praon, Saputangan, Sarung Jagung, mBokyo

Mesem, Ayo Guyu, Mimpi, Tukang Cukur dan sebagainya. Selain itu Ki Nartasabda

juga mencoba memasukkan idom-idiom gendhing bedhayan, musik keroncong,

langgam Jawa, bahkan musik pop dangdut ke dalam garap karawitannya (Soetarno,

Sarwanto, Sudarko 2007: 50-51; 262).

Perubahan gendhing-gendhing adegan juga diikuti oleh Anom Suroto. Hal

ini dapat dilihat pada gendhing adegan kedhatonan, gendhing adegan gara-gara dan

gendhing bedholan. Untuk adegan bedholan, Anom Suroto menggunakan Ketawang

Tumedhak Slendro Manyura. Adegan kedhatonan dihilangkan dan hanya

menampilkan Limbuk dan Cangik. Hal ini dilakukan oleh Anom Suroto karena beliau

ingin menonjolkan segi hiburan. Untuk gendhing-gendhing yang disajikan dalam

adegan tersebut di antaranya: Mijil Kethoprak. Dandhanggula Temanten Anyar, lagu

Mubeng Jawa Tengah, dan Sinom Parijatha. Pada adegan gara-gara, Anom Suroto

menyajikan gendhing-gendhing dolanan dan gendhing non gamelan antara lain:

Lagu Ela-elo, Es Lilin, Suruling Njot-njotan, Sinom Grandhel, dan Dhendang

Semarang (dokumentasi video pertunjukan wayang Anom Suroto dalam lakon

Harjunasasra Lahir di Alun-alun utara Surakarta, tanggal 15 Juli 1995 milik pribadi

sanggar wayang Gogon).

Page 77: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

b. Sulukan

Sulukan adalah vokal yang dibawakan oleh dalang untuk mendukung

suasana tertentu di dalam pakeliran. Sulukan menurut Poniran Sumarno (2001: 20)

adalah nyanyian dalang yang terdiri dari tiga jenis suluk, yaitu patetan, sendon, dan

ada-ada. Pada setiap jenis suluk mewakili suasana yang terjadi pada adegan dalam

pertunjukan wayang. Untuk pathetan memberikan kesan suasana wibawa (regu),

tenang, mantap, dan lega. Pathetan ini diiringi oleh instrumen: rebab, gender, barung

gambang, suling, dan pada bagian-bagian tertentu disertai dengan kempul dan gong,

serta kendang. Pada sendhon mempunyai kesan suasana sendu, haru, susah, tangis,

cemas, dan ada satu sendhon yang bersuasana romantik yaitu sendhon Kloloran.

Suluk jenis ini sekilas hampir sama dengan pathetan, akan tetapi sangat berbeda.

Perbedaan ini dapat dilihat dari tempo penyuaraan, tekanan, dan instrumen yang

mengiringi. Sendhon menggunakan tempo penyuaraan pendek-pendek, tekanan

ringan, iringan seperti pathetan namun tanpa rebab. Sedangkan ada-ada adalah jenis

suluk yang memiliki suasana tegang, greget, dan tergesa-gesa. Instrumen yang

mengiringi adalah grimingan gender barung yang disertai dengan kempul, gong,

kendang, dan pada bagian-bagian tertentu dimantapkan dengan rangkaian dhodhogan

dan keprakan (Poniran Sumarno 2001: 20; Suyanto 2003: 64).

Seperti halnya dalam gendhing, pembakuan aturan dalam pakeliran juga

berlaku dalam sulukan. Sebagai misal Sulukan Pathet Nem Ageng khusus digunakan

untuk adegan pertama (jejer); Sulukan Pathet Menyura Ageng digunakan untuk

adegan Kedhatonan Astina; Sendhon Kloloran digunakan untuk mengiringi bedholan

kedhatonan; Sendhon Penanggalan digunakan untuk mengiringi menjelang tamu

datang dalam adegan pertama. Pathet Sanga Ngelik digunakan untuk emngiringi

sesudah gendhing dalam adegan pendeta; Pathet Sendhon Bimanyu digunakan untuk

mengiringi bedholan sesudah perang kembang; Sendhon Rencasih digunakan untuk

mengiringi setelah pathet sanga dalam adegan Amarta. Ada-ada Palaran digunakan

untuk mengiringi prajuritraksasa dalam keadaan payah karena perang dengan ksatria;

Ada-ada Wrekudara Mlumpat digunakan untuk mengiringi Wrekudara melompat;

Ada-ada Astakuswala Sanga dilanjut Jineman Srimartana serta srepegan laras

slendro pathet sanga digunakan untuk mengiring ksatria memanah di dalam perang

Page 78: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

kembang; Sendhon Sastradatan digunakan untuk mengiringi adegan Amarta sesudah

gendhing selesai di dalam pathet menyura; Sendhon Kagok Ketanon untuk nyanyan

semar di dalam adegan gara-gara (Nojowirongko, 1958: 13-27; Sudarko, 2003: 21).

Mengambil contoh gaya sulukan dari Anom Suroto pada dokumentasi

pertunjukan wayang kulit di alun-alun utara Surakarta pada tanggal 15 Juli 1995

dalam lakon Harjunosasra Lahir. Sulukan yang digunakan Anom Suroto sebagian

besar masih menggunakan sulukan tradisi pakeliran gaya keraton Surakarta. Hal ini

dapat dilihat dalam beberapa adegan seperti pada jejer, suluk yang digunakan adalah

pathet Nem Ageng, menjelang budhalan dengan Ada-ada Hastakuswala, sebelum

adegan sabrang dengan pathet Kedhu, pathet Sanga Wantah, dan pathet Menyura

Wantah. Sedangkan sulukan yang tidak digunakan dalam lakon adalah pathetan

Menyura Ageng, Lindur, Jingking, Sendhon, Sastradatan, Rancasih, Kagog Ketanon,

Ada-ada Manggalan, Bima Mlumpat, dan ada-ada Tlutur Sanga (koleksi video milik

pribadi sanggar wayang Gogon).

Untuk sumber syair atau cakepan sulukan kebanyakan diambil dari tembang

(Kakawin), baik sekar ageng, sekar tengahan, maupun sekar macapat (Suyanto

2003: 63).

1) Macam Sekar Ageng : Sekar Ageng Salisir, Sekar Ageng Saliran, Sekar Ageng

Raketan, dan Sekar Ageng Denda

2) Macam Sekar Tengahan : Sekar Tengahan Kuswarini, Sekar Tengahan Kulante,

Sekar Tengahan Palugon, Sekar Tengahan Kuswaraga, Sekar Tengahan

Sumekar, Sekar Tengahan Palugongso, Sekar Tengahan Kenyokediri, Sekar

Tengahan Pranasmara, Sekar Tengahan Pangajabsih, Sekar Tengahan

Srimartana, Sekar Tengahan Jurudemung, Sekar Tengahan Wirangrong, Sekar

Tengahan Balabak, Sekar Tengahan Girisa, Sekar Tengahan Gambuh, dan

Sekar Tengahan Megatruh.

3) Macam Sekar Macapat : mijil, maskumambang, kimanti, sinom, asmarandana,

durma, gambuh, dandanggula, pangkur, megatruh, dan pocung.

Page 79: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

c. Kombangan

Kombangan adalah vokal dalang yang dibawakan pada saat gendhing

berbunyi dalam suasana tertentu dengan nada dan lagu yang menyesuaikan jalannya

gendhing (Suyanto, 2003: 66).

Syair atau cakepan kombangan biasanya diambil dari syair suluk atau

Kakawin. Contoh kombangan dalam inggah Ladrang Sekar Lesah:

- 3 - 5 - 6 - 5

Leng-leng ramyaningkang

- 3 - 6 - 5 - 3

O-------- sasangka kumenyar

- 5 - 2 - 3 - 2

O-------- mangrengga rum ing pun

- 3 - 5 - 3 - (2)

O-------- halep nikang umah…(Suyanto, 2003: 66)

d. Dhodhogan/Keprakan

Dhodhogan adalah bunyi atau suara dua instrumen antara kotak dan

cempala. Sedangkan keprakan adalah bunyi atau suara dua instrumen kothak dan

keprak (kepingan logam perunggu yang digantung pada kothak). Fungsi dari

keprakan dan dhodhogan adalah untuk memberi isyarat kepada niyaga terutama

untuk mempercepat, melambatkan atau menghentikan gendhing. Yang membedakan

antara keprakan dan dhodhogan adalah cara memainkannya. Untuk keprakan

dimainkan dengan kaki sedangkan dhodhogan menggunakan tangan (Pandam

Guritno 1988: 72-73, Suyanto 2003: 67).

Untuk bentuk dari dhodhogan/keprakan menurut Suyanto (2003: 67) ada 8

bentuk, yaitu:

1) Lamba adalah suara dhodhogan-keprakan tunggal yang berbunyi dog atau creg.

Dhodhogan atau keprakan ini digunakan untuk isyarat dalang saat akan

melagukan suluk pathetan ataupun sendhon, tanda akan ulat-ulatan sirepan

gendhing, dan isyarat janturan selesai atau sirepan gendhing udhar.

Page 80: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

2) Geter/ganter adalah dhodhogan-keprakan dengan suara mengalir

dogdogdog…… atau cegcegceg…… dan seterusnya. Dhodhogan ini biasanya

digunakan untuk sesegan gendhing menjelang sirep dan mengiringi suluk ada-

ada.

3) Minjal adalah dhodhogan-keprakan dengan suara ganda de-dog atau ceg-ceg.

Dhodhogan-keprakan ini digunakan untuk sasmita srepeg pinjalan (tempo

lambat) dan sasmita srepeg nem, sanga, menyura (tempo cepat).

4) Rangkep adalah dhodhogan-keprakan dengan bunyi rangkep derodog atau

crecegceg. Dhodhogan-keprakan ini digunakan untuk tanda jeda antara wacana

tokoh satu dengan lainnya dalam dialog, tanda akhir sasmita gendhing, tanda

sirep gendhing, dan isyarat akhir dari sulukan.

5) Banyutumetes adalah dhodhogan yang berupa suara ganda dengan tempo stabil

(ajeg), bunyinya dog-dog-dog dan sebagainya. Dhodhogan ini digunakan untuk

mengiringi pocapan dalam suasana sereng, dan isyarat kepada pengrawit untuk

bersiap-siap menabuh gendhing srepegan atau sampak.

6) Manyar ngloloh adalah bunyi keprak yang lagunya seperti anak burung manyar

yang sedang disuapi oleh induknya. Suaranya kurang lebih: cer-

crecegcegcegceg-cer…… dan seterusnya. Keprakan ini biasanya digunakan

untuk mengiringi gerak-gerak penampilan wayang (solah) dan entas-entasan.

7) Nyisir adalah suara keprakan ganda dengan tempo stabil (ajeg). Bunyinya cer-

cer-cer-cer dan seterusnya. Keprakan ini biasanya digunakan untuk mengisi

kekosongan di sela-sela gerak wayang dalam iringan gendhing srepeg atau

sampak.

8) Gejogan adalah suara keprakan tunggal yang sangat keras. Keprakan ini

biasanya digunakan untuk mengiringi adegan perang atau jatuhnya gerakan-

gerakan tertentu dalam penampilan adegan perang.

Dalam aturan dodogan/keprakan pakeliran bentuk semalam dikenal adanya

vokabuler-vokabuler dhodhogan seperti dhodhogan singget yang antara lain

digunakan sebagai sekat pembicaraan antara tokoh satu dengan yang lain;

dhodhogan sirep dan suwuk untuk bentuk-bentuk gendhing kethuk loro arang,

gendhing kethuk loro kerep, ketawang gendhing, ladrang, ketawang, ayak-ayakan,

Page 81: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

srepeg, dan sampak. Selain itu untuk vokabuler dhodhogan suwuk sedikitnya ada dua

jenis yakni suwuk gropak (cepat) dan suwuk alus (Sudarko, 2003: 21-22).

e. Sindenan

Pemakaian sinden pada sejarah kemunculannya merupakan sebuah unsur

tambahan dalam partunjukan wayang kulit purwa. Adanya pesinden difungsikan

untuk menciptakan suasana indah yang diperlukan melalui nyanyiannya, baik dalam

bentuk solo maupun dalam koor. Akan tetapi pada perkembangannya pesinden mulai

dipakai dan seakan tidak lengkap jika suatu pertunjukan wayang kulit tidak memakai

pesinden. Sebagai contoh pada era Nartasabda, jumlah pesinden yang digunakan

dalam setiap pertunjukan wayang kulit purwa sebanyak 5 pesinden dengan harapan

suasana dalam pertunjukan wayang sajian Ki Nartasabda terasa lebih hidup.

Gebrakan inilah yang menjadi panutan dalang-dalang lain (Soetarno, Sarwanto,

Sudarko 2007: 51). Selain itu Ki Nartasabda juga merubah konvensi posisi penataan

gamelan serta tempat duduk pesinden. Sebelum era Ki Nartasabda, para pesinden

jumlahnya maksimal tiga orang dan biasanya duduk di sebelah pengrebab atau

pengendang menghadap ke arah dalang, setelah itu jumlah pesinden lebih dari tiga

orang serta duduk di samping kanan dalang dan tetap menghadap ke arah dalang

(Bambang Murtiyoso, dkk, 1998: 29-32).

Untuk isi dari sindenan sendiri biasanya diambil dari syair-syair karya sastra

Jawa baru, bukan berasal dari Kakawin. Dalam perkembangannya musik yang

digunakan lebih disesuaikan dengan perkembangan yang ada.

Pada pakeliran bentuk semalam, banyak terjadi pengulangan pada tiap

adegan. Pengulangan ini sering ditemukan dalam catur, sabet, dan iringan.

Pengulangan yang terjadi saling silang yaitu: sudah dikemukakan melalui catur

diulangi melalui sabet ataupun sebaliknya; telah dikemukakan melalui sabet diulangi

melalui iringan atau sebaliknya; serta telah dikemukakan melaui catur diulangi

melalui iringan dan sebaliknya. Pengulangan-pengulangan dalam pakeliaran bentuk

semalam tidak menjadi masalah, karena hal ini justru memberi kesempatan penonton

yang datang kemudian dapat mengetahui secara utuh keseluruhan lakon. Misalnya

orang yang ingin melihat pakeliran bentuk semalam datang tepat pada adegan

paseban jawi, berarti ia tidak mengetahui penyajian adegan-adegan sebelumnya. Ia

Page 82: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

tetap akan mengetahui lakon ini secara lengkap karena isi penbicaraan pada adegan

sebelumnya biasanya diulangi lagi pada adegan paseban jawi (Sudarko 2003: 108-

109).

Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan dapat diambil sebuah

kesimpulan bahwa pemilihan-pemilihan lakon dalam pementasan pertunjukan

wayang kulit semalam suntuk bukan berasal dari cerita pakem akan tetapi berasal

dari cerita carangan. Pakem merupakan sebuah cerita wayang atau lakon yang

bersumber dari epos Ramayana dan Baratayuda. Tetapi yang berkembang di

Surakarta adalah sebuah lakon pewayangan yang berpedoman dari Kitab Pustaka

Raja, baik itu Pustaka Raja Purwa maupun Pustaka Raja Puwara. Walaupun begitu

beberapa dalang menyebutkan Kitab Pustaka Raja merupakan cerita lakon pakem.

Pemilihan cerita dalam pertunjukan wayang semalam suntuk kebanyakan

bersumber dari kitab Mahabarata karena masyarakat pada umumnya tinggal di desa

dan membenci keangkaramurkaan. Untuk pemilihan cerita dalam lakon sendiri

masyarakat lebih menyukai cerita wahyu, lahir, dan krama. Dikarenakan cerita-cerita

ini lebih cocok untuk masyarakat. Untuk cerita wahyu kebanyakan dimainkan dalam

acara khitanan. Hal ini dikarenakan dalam cerita wahyu menceritakan tentang

pembelokan wahyu yang dilakukan oleh Pandhawa kepada keluarganya. Untuk cerita

lahir dan krama kebanyakan dimainkan dalam acara pernikahan (wawancara dengan

Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010)

D. Pertunjukan Wayang Kulit Modern

Dalam perkembangannya pertunjukan wayang kulit purwa mengalami

banyak perkembangan dan perubahan. Terdapat beberapa bentuk baru dalam

pementasannya seperti pertunjukan Wayang Sandosa, pakeliran layar panjang,

pakeliran Pantap, pakeliran bentuk ringkas dan pakeliran padat.

Penelitian ini mengambil bentuk pakeliran padat dikarenakan pakeliran

bentuk ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dibandingkan dengan beberapa

bentuk pertunjukan wayang purwa yang lain. Hal ini dapat dilihat pada waktu

pementasan, cerita yang dibawakan, iringan yang digunakan, dan pola

pertunjukannya.

Page 83: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

Kehadiran pakeliran padat tidak dapat lepas dengan keberadaan Humardani

selaku pencetus ide timbulnya pakeliran padat. Timbulnya ide ini bukan tanpa sebab,

tetapi dimungkinkan adanya berbagai faktor yang mempengaruhi. Sedikitnya ada

faktor intern dan ekstern. Faktor intern berupa ide tentang pakeliran padat

merupakan sebuah hasil kreatif dari Humardani, namun demikian sekali tidak

terlepas dari vokabuler-vokabuler pakeliran tradisi yang telah ada. Faktor ekstern

dapat dijelaskan dengan menelusuri latar belakang kehidupan Humardani dalam

keluarga, pendidikan, dan berkesenian (Sudarko 2003: 10).

Pakeliran Padat adalah bentuk pakeliran wayang kulit purwa yang

mengIndonesia, yang memiliki arti pengungkapan di dalamnya bukan hanya nilai-

nilai budaya Jawa saja tetapi juga nilai-nilai manusia Indonesia pada masa sekarang.

Nilai-nilai isi yang menjadi sasaran penggarapan pakeliran padat dapat dilihat

melalui unsur-unsur pakeliran seperti: sabet, antawacana, pocapan, karawitan, dan

sulukan. Dalam pakeliran padat diusahakan tidak ada wadah yang kosong dan tidak

ada isi yang melebihi dari daya tampung wadahnya sehingga antara wadah (narasi

dalang, sabet, sulukan, karawitan, cerita) dan isi (nilai yang disampaikan) seimbang

(Soetarno 2004: 163; Sudarko 2003: 52).

Padat dalam pakeliran tidak berarti bentuk dan isinya tetap akan tetapi

sebagai sebuah karya seni pakeliran padat memberi arahan pada kebebasan bentuk

serta kebebasan menuangkan isi ke dalam bentuk yang dipilih. Dengan pengertian

seperti ini tentu saja membawa konsekuensi yang mendasar. Konsekuensi ini

terutama berkaitan dengan konsep pakeliarannya. Dilihat dari bentuknya, pakeliran

padat memiliki perbedaan dengan pakeliran semalam. Pakeliran semalam bentuknya

telah dibatasi dengan waktu, yaitu semalam antara pukul 21.00 sampai dengan pukul

05.00 pagi. Selain itu juga dibatasi dengan kerangka-kerangka tertentu, seperti

kerangka adegan, pathet, dan kerangka iringan yang telah mengkristal sehingga

berubah menjadi semacam aturan dasar. Keterikatan terhadap kerangka-kerangka itu

membuat kreativitas dalam pakeliran bentuk semalam menjadi tidak leluasa.

Keterbatasan keleluasaan kreatif ini dalam pakeliran padat diusahakan untuk

dihindari. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mencoba

membebaskan diri dari ikatan-ikatan itu antara lain dengan jalan sebagai berikut ini.

Page 84: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

Pakeliran padat tidak berorientasi pada waktu, tetapi pada persoalan yang

diungkapkan melalui lakon (cerita). Untuk lama waktu penyajian, pakeliran padat

tidak dapat ditentukan secara pasti karena bergantung pada permasalahan-

permasalahan yang ada dalam lakon. Namun demikian berdasarkan pengalaman

pementasan pakeliran padat biasanya memakan waktu antara satu setengah sampai

dua jam. Singkatnya waktu yang diperlukan merupakan akibat dari penggarapan

secara padat. Dengan kata lain tidak ada sedikit pun waktu kosong yang tidak relevan

(Sudarko 2003: 43-44).

Penyusunan pakeliran padat berorientasi pada permasalahan lakon sehingga

dalam penyusunan kerangka adegan sesuai dengan kemampuan dan kreativitas

pribadi penyusun naskah. Hal ini tidak berarti bahwa pakeliran padat tidak

menggunakan kerangka adegan yang telah ada. Seandainya dalam pakeliran padat

masih menggunakan sebagian kerangka adegan yang ada, bukan berarti terikat pada

struktur yang telah ada tetapi kerangka yang digunakan itu memang relevan untuk

ditampilkan (Sudarko 2003: 44).

Pakeliran padat tidak harus mempertimbangkan masalah pathet. Hal ini

berarti dalam pakeliran padat dapat tidak mengikuti urutan pathet serta tidak harus

menggunakan ketiga pathet seluruhnya. Dengan demikian dapat terjadi pakeliran

padat menggunakan dua pathet, atau menggunakan tiga pathet dengan tidak

berurutan. Seandainya menggunakan tiga pathet serta dengan urutan seperti pada

pakeliran bentuk semalam, bukan berarti pakeliran padat mengikuti kerangka yang

telah ada, malainkan dalam rangka lakon tertentu urutan pathet itu masih dirasa

relevan (Sudarko 2003: 46).

Pakeliran Padat lebih mementingkan cerita dan iringan karena dalam

pementasannya tidak baku seperti pakeliran bentuk semalam (wawancara dengan

Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010). Dalam iringan pakeliran

padat tidak harus terikat dengan gendhing yang telah dibakukan. Penyusunan

pakeliran padat bebas memilih gendhing agar rasa gendhing yang dipilih sesuai

dengan suasana adegan yang didukungnya. Pemilihan gendhing tidak harus terbatas

pada gendhing-gendhing satu gaya tertentu. Sulukan yang digunakan dalam

pakeliran padat tidak harus terikat oleh aturan sulukan yang terdapat dalam

Page 85: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

pakeliran benntuk semalam telah ada seperti sulukan Pathet Nem Ageng untuj jejer

pertama, Pathet Menyura Ageng untuk adegan Kedhatonan Astina, Sendhon

Kloloran untuk bedhol kedhatonan, Sendhon Pananggalan untuk suasana ragu-ragu,

Sanga Wantah untuk peralihan pathet, dan sebagainya. Hal ini dengan pertimbangan

bahwa yang dipentingkan adalah keksuaian rasa sulukan dengan suasana adegan

yang didukungnya. Dengan demikian tidak selalu setiap jejer pertama harus

menggunakan sulukan Pathet Nem Ageng, demikian juga untuk adegan-adegan yang

lain. Di samping itu yang dipentingkan adalah tercapainya rasa (suasana yang

dibutuhkan), sehingga seandainya menggunakan salah satu bentuk sulukan untuk

mengiringi suatu adegan tertentu, tidak selalu harus digunakan seluruhnya, tetapi

dapat digunakan sebagian asalkan rasa yang dikehendaki sudah tercapai. Sebagai

contoh suluk Pathet Nem Jugag yang digunakan sebagian sebagai berikut.

6 6 6 6 6 6 6 6 ` ` ` ` ` ` ` `

han- jrah ing - kang pus - pi - ta rum, 6.12 2 2 2 2 2 2 2 12 ` Ka- si - lir - ing sa - mi - ra - na mrik, 1 2 . 16 . 53 ` ` ̀ O . . . , O . . .

Seperti halnya dalam gendhing dan sulukan, penggunaan dhodhogan dan

keprakan juga tidak harus mengikuti pola-pola tradisi yang sudah ada. Semua

bergantung pada kebutuhan suasana yang akan dihadirkan. Selain itu pengunaan

gaya dhodhogan juga tidak terbatas pada salah satu gaya, bergantung kemantapan

masing-masing seniman dalang (Sudarko 2003: 49).

Salah satu lakon wayang pakeliran padat yang digarap oleh Tim ASKI

Surakarta adalah lakon “Rama”. Lakon ini dipersiapkan untuk misi pertunjukan

wayang kulit ke Eropa tahun 1977. Penggarapan pakeliran padat pertama ini

memakan waktu hampir satu tahun dengan kerja secara intensif dan kontinu yang

dilaksanakan dua kali seminggu, setiap latihan memakan waktu dua jam. Dalam

penggarapan lakon “Rama”, kematian Kumbakarna dalam tradisi pakeliran semalam,

dibunuh dengan cara tubuhnya dipotong-potong oleh panah sakti Rama.

Pembunuhan yang demikian itu tidak dilakukan dalam pakeliran padat dengan

Page 86: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

alasan bahwa garap yang keji itu justru melemahkan karakter kejiwaan tokoh Rama

sebagai titisan Wisnu. Di samping juga ada kesan bahwa orang yang menang dapat

berbuat sewenang-wenang sehingga tidak manusiawi. Contoh lain lakon “Alap-

alapan Sukeksi”, dalam pakeliran semalam percintaan Wisrawa dan Sukeksi adalah

pengaruh dari Guru dan Uma. Dalam garap pakeliran padat, percintaan kedua tokoh

ini adalah kemauan pribadi bukan kehendak dewa. Jika semua peristiwa atas

kehendak dewa, maka manusia berbuat jahat bukan karena kesadaran pribadinya, ia

akan bersandar kepada dewa sehingga manusia dituntut pertanggungjawaban moral

(Soetarno, 2004: 164; Sudarko 2003: 53).

Kerja keras Humardani membuahkan hasil, terbukti setelah ia meninggal

tahun 1983 cantrik-cantriknya telah berhasil menyusun naskah-naskah pakeliran

padat sebagai berukut: (1) lakon “Rama” susunan Bambang Suwarno tahun 1979; (2)

lakon “Sutasoma” susunan Bambang Suwarno tahun 1979; (3) lakon “Wibisana

Tundhung” susunan Bambang Suwarno tahun 1980; (4) lakon “Anoman Obong”

susunan Bambang Suwarno tahun 1978; (5) lakon “Ciptaning” susunan Bambang

Suwarno tahun 1979; (6) lakon “Jayengrana Racun” susunan Bambang Suwarno

tahun 1976; (7) lakon “Bedhah Glagahero” susunan Bambang Suwarno tahun 1980;

(8) lakon “Majapahit” atau “Menakjingga Lena” susunan Bambang Suwarno tahun

1976; (9) lakon “Srikandhi Maguru Manah” susunan Bambang Suwarno tahun 1980;

(10) lakon “Dewaruci” susunan Bambang Suwarno tahun 1982; (11) lakon “Alap-

alapan Sukeksi” susunan Sumanto tahun 1980; (12) lakon “Bisma Gugur” susunan

Sumanto tahun 1980; (13) lakon “Sutasoma” susunan Sumanto tahun 1981; (14)

lakon “Wibisana Suwita” susunan Suratno tahun 1980; (15) lakon “Dewaruci”

susunan Sudarko tahun 1980; (16) lakon “Anoman Obong” susunan B. Subono tahun

1980; (17) lakon “Palguna-Palgunadi” susunan Bambang Murtiyoso tahun 1980. Dan

dari lakon-lakon yang telah dihasilkan dapat diketahui bahwa penggarapan pakeliran

padat pada dasarnya berpangkal pada tema dasar, garap lakon, garap adegan, garap

catur (wacana), garap sabet (gerak wayang), dan garap iringan (Sudarko, 2003: 67-

69).

Tema dasar merupakan gagasan atau cita-cita si seniman mengenai sesuatu

yang ingin disampaikan kepada penonton melalui perwujudan pakeliran padat.

Page 87: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

Sebagai pusat garapan unsur-unsur menunjukkan bahwa unsur-unsur garapan

pakeliran padat yaitu garap lakon, garap adegan, garap tokoh, garap catur, garap

sabet, dan garap iringan harus berorientasi pada tema dasar. Dengan demikian tema

dasar dapat dikatakan lebih bersifat ide pokokbukan sebagai pokok persoalan

(Sudarko 2003: 69).

Penyusunan pakeliran padat dalam menentukan tema bebas memilih dan

bebas menentukan sesuai keinginan masing-masing dalang. Mengingat tujuan

pakeliran padat ingin mengembalikan fungsi pakeliran pada fungsi utama yakni

menggarap masalah rohani yang wigati (wawancara dengan Anom Sukatno pada

tanggal 17 Desember 2010). Karena tema dasar adalah sebagai pusat garapan unsur-

unsur pakeliran, sudah selayaknya sebelum menyusun suatu bentuk pakeliran padat,

tema dasar harus ditentukan terlebih dahulu. Setelah itu dijabarkan ke dalam unsur-

unsurnya, sehingga berbentuk menjadi pakeliran padat (Sudarko 2003: 69-70)

Menurut Humardani (1983) tema dasar dapat dijabarkan lebih luas dalam

bentuk gagasan pokok. Dari gagasan pokok ini diharapkan dapat ditangkap apa yang

menjadi tema dasar sebuah lakon pakeliran padat. Gagasan pokok merupakan

peleburan dari tema dasar. Dengan kata lain melalui gagasan pokok sudah dapat

terungkap tema dasarnya. Contoh dari tema dasar lakon-lakon pakeliran padat

susunan para cantrik diantaranya yaitu: gagasan pokok lakon “Duryudana Gugur”

adalah salah satu cirri manusia adalah bercita-cita baik untuk diri sendiri maupun

keluarga. Jalan mencapai cita-cita sangat beragam. Jika cita-cita itu diperjuangkan

melalui licik penuh tipu muslihat serta bengan mengorbankan seluruh harta dan

keluarganya, namun pada akhirnya ia justru terkubur dengan cita-citanya itu; gagasan

pokok lakon “Gathutkaca Gugur” adalah bagaimana kuat jiwa seorang pejuang

penegak keadilan dan kebenaran ia tetap manusia, sehingga pada suatu saat akan

mengalami goncangan yang dapat melemahkan semangat juangnya. Untuk

mengembalikan api semangatnya diperlukan cara yang bijaksana. Namun demikian

ketika semangatnya telah pulih kembali dia dihadapkan dengan permasalahan baru

yang muncul dari pihak keluarga, baik dari istri maupun orang ua yang

mengkhawatirkan keselamatannya. Dengan tetap setia kepada janji serta kewajiban

ia rela gugur demi tegaknya keadilan dan kebenaran (Sudarko 2003: 70-71).

Page 88: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

Garap lakon dalam pakeliran padat adalah gambaran secara garis besar dari

perwujudan keseluruhan lakon yang akan ditampilkan. Untuk mendapatkan

gambaran garis besar lakon, terlebih dahulu harus ditentukan sanggit lakon yaitu

kerangka dasar lakon. Kerangka ini berisi berbagai tokoh dan peristiwa dalam lakon

serta berbagai jalinannya antara masing-masing peristiwa dan tokohnya. Dalam

penentuan tokoh, peristiwa dan jalinannya harus berorientasi pada tema dasar dan

harus mempertimbangkan konsep kepadatan. Contoh garap lakon pakeliran padat

sebagai berikut: Garap lakon “Bisma Gugur” yang meliputi didalamnya (1)

Bagaimana menggarap persidangan Astina, sehingga akhirnya Bisma tampil sebagai

senapati; (2) Bagaimana menggarap Bisma, sehingga tanpa disadari mau memberi

gambaran kepada Salya tentang keinginan menjadi senapati; (3) Bagaimana

menggarap Seta dan adik-adiknya dalam tugas sebagai senapati Pandhawa sehingga

ketika terjadi peperangan melawan Bisma dapat mendukung penampilan tokoh

Bisma; (4) Bagaimana menggarap tokoh Bisma ketika menghadapi Kresna yang

sedang triwikrama; dan (5) Bagaimana menggarap tokoh Bisma ketika berperang

melawan Srikandhi sampai dengan dudurnya (Sudarko 2003:79-80).

Adapun jalinan peristiwa yang tampak dari garap lakon “Bisma Gugur”

antara lain: (1) persidangan Astina sampai diputuskannya Bisma sebagai senapati;

(2) peristiwa Bisma membeberkan latar belakang keinginannya menjadi senapati

kepada Salya; (3) peristiwa Seta dengan adik-adiknya maju ke medan perang

melawan Bisma; (4) peristiwa Bisma menghadapi kemarahan Kresna; dan (5)

peristiwa Bisma berperang melawan Srikandhi sampai Gugur (Sudarko 2003: 82).

Penentuan garap adegan untuk pakeliran padat memiliki hubungan erat

dengan garap lakon karena saat penyusunan garap lakon sudah dapat ditentukan pula

adegan yang akan ditampilkan. Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah dengan

mempertanyakan perlu tidaknya adegan itu ditampilkan. Jika adegan tersebut masih

relevan untuk ditampilkan dan tidak mengganggu kesatuan lakon, penggarapan

tokoh, atau dalam mengungkapkan tema dasar maka tetap digunakan. Dan apabila

dirasa mengganggu maka adegan tersebut tidak digunakan. Contoh dari penggunaan

adegan dalam pakeliran padat pada lakon “Ciptoning” karya Bambang Suwarno

tahun 1979 dengan tema dasar ‘keseimbangan antara kesempurnaan lahiriah dan

Page 89: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

kesempurnaan batiniah, duniawi dan ukhrawi’. Lakon ini dapat diawali dengan jejer

Dwarawati, membicarakan kepergian Arjuna. Pembicaraannya berkisar tentang

kegelisahan Kresna serta tindak lanjutnya mencari Arjuna. Meskipun pembicaraan

ini baik, tetapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan tema dasar yang telah

ditentukan, sehingga tidak ditampilkan (Bambang Suwarno 1984: 3-6)

Garap tokoh dalam pakeliran padat diusahakan untuk menampilkan

perkembangan sikap batin tokoh agar terwujud melalui tindakan lahir. Tindakan lahir

ini terungkap di dalam peristiwa-peristiwa lakon yang mengandung permasalahan

tokoh. Penokohan dalam pakeliran padat tidak harus mengikuti penokohan tradisi.

Seniman mempunyai kebebasan sesuai dengan kedalaman menyelami masalah-

masalah kemanusiaan. Penokohan dalam pakeliran padat memberlakukan tokoh

sebagai manusia biasa, ini menyebabkan tidak selalu menempatkan tokoh pada posisi

merah dan putih atau baik dan buruk atau salah dan benar. Setiap tokoh selalu dilihat

dalam konteks permasalahan dan kedudukannya dalam permasalahan itu. Berpangkal

dari situasi itu penokohan dalam pakeliran padat berusah menampilkan tokoh sebagai

manusia secara utuh dengan berbagai liku-liku serta renik-renik kejiwaannya.

Penentuan alur cerita dalam pakeliran padat tidak harus dengan ditampilkan dengan

penokohan wayang secara utuh akan tetapi dapat dibentuk melalui pocapan gendhing

(wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010).

Garap catur dalam pakeliran padat menekanka isi secara padat melalui

ungkap bahasa untuk mencapai kaliamt yang padat penggarap menempuh dengan

berbagai jalan antara lain menyingkiri catur klise, menghindari pengulangan,

memadatkan kalimat (Sudarko 2003: 101). Dalam setiap perpindahan adegan ke

adegan yang lain tidak menggunakan suluk maupun iringan karena dalam pakeliran

padat terdapat penekanan dalam menggunakan narasi cerita pakeliran bukan

berdasarkan naskah lakon seperti pada pakeliran bentuk semalan (wawancara dengan

Sabini Setyo Dipuro pada tanggal 28 November 2010).

Garap sabet padat yang dipentingkan adalah tercapainya kesan atau isi yang

dimaksud melalui ungkapan gerak-gerak wayang. Penyusunan sabet pakeliran padat

harus selalu mempertimbangkan konsep yang melandasinya, yang diantaranya adalah

menyampaikan sesuatu secara padat. Dalam pakeliran padat diharapkan dapat

Page 90: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

menggarap gerak-gerak wayang seperti berbicara menyampaikan kesan-kesan

tertentu. Kemantapan sabet tidak bergantung pada ruwetnya gerak tetapi

terungkapnya rasa gerak sebagai misal gambaran api berkobar, peristiwanya dalah

kebakaran. Dalang harus mampu melukiskan suasana itu dengan kedua kayon

(gunungan) supaya tampak api berkobar sehingga terasa hidup dan terkesan

kebakaran. Contoh lain ‘menghantam’ bagaimana cara dan sikap yang saling

memukul itu sehinggga pukulannya terasa mantap serta yamg dipukul tampak

merasakan beratnya pukulan. Gerak karakter satu dengan yang lain berbeda

meskipun dalam kelompok jenis yang sama, misalnya sama-sama dalam suasana

gembira volume gerak tokoh Gathutkaca tidak sama dengan tokoh Boma meskipun

keduanya termasuk tokoh gagah (Sudarko 2003: 114-119).

Garap iringan dalam pakeliran padat menyatu dengan unsur-unsur lainnya,

seperti catur dan sabet. Dalam pengambilan iringan tidak harus menggunakan sekar

ageng akan tetapi gendhing disesuaikan dengan adegan tokoh yang dimainkan.

Sebagai contoh dalam adegan kasar menggunakan sekar dirada metha dan moncer

sedangkan untuk adegan halus menggunakan sekar peksi kuwung dan gendhing-

gendhing ladrang (wawancara dengan Sarbini Setyo Dipuro pada tanggal 28

November 2010). Penyusunan iringan pakeliran padat meliputi pemilihan vokabuler

iringan dan penentuan perangkat gamelan atau ricikan yang digunakan. Dalam

pemilihan vokabuler iringan seniman tidak hanya dibatasi pada satu gaya saja

mereka bebas memilih vokabuler yang mereka inginkan. Contoh penggunaan unsur

gaya lain adalah sebagai berikut:

a. Suluk Plencung Jugag gaya Yogyakarta digunakan untuk mengiringi

keberangkatan Begawan Wisrowo ke alengka melamar Dewi Sukeksi.

b. Sampak Kebumen untuk mengiringi perang Bisma melawan Srikandhi

dengan mengunakan senjata panah.

c. Ayak-Ayak Songo Mataram untuk mengiringi Salya menjelang naik

kereta.

d. Sampak Jek Dong (Jawa Timuran) digunakan untuk mengiringi

perkelahian prajurit Astina melawan Pandhawa yang menggambarkan

rampangan perang dengan rampongan.

Page 91: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

e. Pancer Lima (Yogyakarta) untuk mengiringi larinya Puntadewa ketika

melihat kedua adiknya yakni Nakula dan Sadewa dikejar Candhabirawa.

f. Galong (Yogyakarta) untuk mengiringi Candhabirawa melawan

Puntadewa.

g. Ada-ada Sanga Klatenan untuk mengiringi kedatangan Gagarmayang

dan Leng-lengmandanu ketika akan menggoda Ciptaning.

Berdasarkan pengamatan peniliti dilapangan dengan didukung melalui video

pakeliran padat, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa pakeliran

padat ini muncul dan berkembang dari institusi pendidikan pedalangan yang

dimotori oleh Humardani selaku katua ASKI Surakarta kala itu. Sebagai sebuah

model pakeliran bentuk baru, pakeliran padat sering ditampilkan untuk acara

tertentu seperti fastival, penyambutan tamu, peringatan hari besar maupun untuk

menarik turis atau wisatawan. Tetapi pakeliran ini lebih sering dipentaskan oleh

mahasiswa dan dosen ISI jurusan pedalangan daripada dalang pada umumnya. Hal

ini dikarenakan kesulitan dalam penyajian yang memerlukan proses yang cukup lama

dan juga pemilihan-pemilihan unsur-unsur garap didalamnya. Untuk pemilihan lakon

dalam pakeliran padat kurang lebih sama dengan pakeliran bentuk semalam, lebih

banyak memakai cerita atau lakon yang ada dalam Serat Pedhalangan Ringgit Purwa

susunan Mangkunegara VII.

Page 92: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam struktur pakeliran gaya Surakarta terdapat aturan-aturan baku dalam

pementasan wayang yang harus diikuti. Aturan tersebut mengenai pembagian

adegan dalam pathet, pemakaian gendhing tiap adegan, sulukan, dan

dhodhogan/keprakan. Aturan tersebut telah disusun dan dibakukan dalam Serat

Tuntunan Pedalangan jilid I-IV yang disusun oleh Nojowirongko Als.

Atmotjendono yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta.

2. Di dalam pertunjukan wayang kulit mengandung gambaran tata kehidupan

nenek moyang yang patut di ambil suri tauladan. Selain itu, juga terkandung

makna proses pendidikan dari lahir hingga mati. Hal ini dapat dilihat dalam

pembagian periode pertunjukan (pathet) bentuk semalam, yang dimulai dari

pathet nem, pathet songo, dan pathet menyura. Selain terkandung proses

pendidikan dari lahir hingga mati dalam periode pertunjukan yang ditampilkan

oleh dalang, terkandung pula secara simbolis di dalamnya mengenai ajaran,

petuah, keteladanan, dan juga makna tentang hubungan manusia dengan tuhan.

3. Bentuk pertunjukan wayang kulit yang sesuai dengan pakem sebagai salah satu

bentuk kesenian yang multi lapis, merupakan jalinan dari berbagai perabot atau

unsur, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Perabot fisik merupakan

berbagai unsur nir kasat mata yang berperan dalam sajian pakeliran sebagai

sarana ekspresi, misalnya: gamelan, wayang, gawang, kelir, kothak. Sedangkan

perabot non fisik adalah unsur-unsur yang tidak kasat mata yang berupa ide atau

gagasan yang diekspresikan melalui pengolahan medium yang sesuai dengan

kebutuhan, misalnya: ekspresi berupa suara lagu, wacana, gerak. Dan

kesemuanya itu telah diatur dalam sebuah naskah lakon maupun cerita

pewayangan.

4. Pakeliran padat merupakan bentuk pembaharuan dalam pakeliran. Pakeliran

padat dikenalkan oleh Humardani. Meskipun berbeda dengan pakeliran bentuk

77

Page 93: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

semalam, pakeliran padat tidak secara penuh melepaskan unsur tradisi dari

pakeliran bentuk semalam.

B. IMPLIKASI

1. Implikasi Metodologis

Penelitian ini lebih ditekankan untuk mengamati perubahan-perubahan yang

terjadi dalam pakeliran gaya Surakarta.

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan melalui tiga

cara yaitu wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Pada awalnya wawancara

yang dilakukan menyangkut hal-hal umum, namun tetap berkisar pada permasalahan

yang diteliti, kemudian wawancara difokuskan pada masalah-masalah khusus lebih

mendalam. Peneliti juga mengadakan observasi yaitu melihat pertunjukan wayang

secara langsung di Taman Budaya Surakarta (TBS) maupun di pendopo ISI

Surakarta. Selain itu peneliti juga mengadakan analisis dokumen yang berupa video

pertunjukan. Metode ini digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal dengan

meneliti dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Secara metodologis hasil penelitian ini ada bagian yang dapat berlaku di

daerah lain dan ada bagian yang hanya berlaku pada lokasi penelitian saja. Dalam

penelitian ini, peneliti terjebak dalam subyektivitas sehingga emosi, perasaan, dan

pemikiran peneliti ikut masuk dalam analisis atau hasil penelitiannya. Selain itu juga

adanya kesulitan untuk memilih informan yang tepat sehingga mempengaruhi

peneliti untuk menganalisis permasalahan, konsekuensinya analisa peneliti kurang

tajam dan kurang obyektif.

2. Implikasi Teoritis

Menambah referensi materi yang berkaitan dengan budaya lokal khususnya

mengenai pertunjukan wayang kulit purwa Jawa, sehingga dapat digunakan untuk

meneliti lebih detail terkait perkembangan dan perubahan mengenai seni budaya

Jawa sebagai bahan pelengkap materi pelajaran. Dengan demikian akan memberi

dorongan untuk meneliti bagian yang lebih rinci tentang wayang kulit yang berkaitan

dengan pendidikan.

Page 94: PERUBAHAN PAGELARAN WAYANG KULIT DI SURAKARTA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

3. Implikasi Praktis

Dalam dunia pendidikan, khususnya di Program Studi Pendidikan Sejarah

FKIP UNS dengan mengetahui lebih banyak tentang pertunjukan wayang kulit

purwa Jawa yang mempunyai banyak nilai dan tuntunan bagi kehidupan, mahasiswa

akan lebih aktif terhadap berbagai event yang menampilkan wayang kulit sehingga

dapat diaplikasikan dalam diri pribadi masing-masing.

C. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut:

1. Bagi dosen agar dapat menambahkan materi wayang kulit dalam kajian budaya

lokal.

2. Bagi mahasiswa Prodi Sejarah mau membaca referensi terkait wayang kulit purwa

Jawa, agar bisa mengetahui nilai-nilai yang terdapat di dalam wayang kulit

sehingga mahasiswa Prodi Sejarah dapat mengambil hal-hal baik yang terdapat di

dalamnya.

3. Bagi pemerintah daerah Surakarta agar dapat memberdayakan masyarakat kota

Surakarta untuk dapat ikut melestarikan dan menjaga kebudayaan lokal khususnya

pertunjukan wayang kulit purwa Jawa.