abstrak pemberian ekstrak etanol tempe selama masa

18
iv ABSTRAK PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL TEMPE SELAMA MASA PERIKONSEPSI MENINGKATKAN KADAR ESTRADIOL INDUK TIKUS SERTA MENGHAMBAT PEMBENTUKAN SEL SERTOLI, SEL LEYDIG, RESEPTOR ANDROGEN, DAN SPERMATOGONIA ANAK TIKUS WISTAR Testis merupakan gonad laki-laki yang berperan penting dalam fungsi reproduksi. Organ tersebut di antaranya tersusun atas sel-sel germinal, sel Sertoli, dan sel Leydig yang dibentuk sejak masa janin. Sel-sel tersebut, masing-masing memiliki fungsi utama yang berbeda, namun bersinergi satu dengan yang lainnya. Pembentukan dan fungsinya dapat diganggu oleh endocrine disrupting chemical. Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan mekanisme hambatan pembentukan spermatogonia anak tikus melalui peningkatan estradiol induk, hambatan pembentukan Sel Sertoli, Sel Leydig, dan Reseptor Androgen setelah induknya mendapatkan ekstrak etanol tempe selama masa perikonsepsi. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Post-test Only Control Group Design. Penelitian dilakukan di Laboratorium terpadu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana selama 8 minggu, menggunakan 32 ekor tikus Wistar betina usia 12-13 minggu, dibagi menjadi 2 kelompok. Kontrol diberi aquadest; Perlakuan diberi ekstrak etanol tempe 1 g/kg BB/hari yang mengandung genistein 1,04 mg. Perlakuan diberikan 2 minggu sebelum dikawinkan, selama bunting, dan menyusui. Data yang diamati, meliputi kadar estradiol induk, jumlah Sel Leydig, Sel Sertoli, reseptor androgen, dan spermatogonia anak tikus. Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar estradiol induk Kontrol vs Perlakuan (49,17 ±19,83 vs 181,19 ± 58,62), Sel Sertoli (67,69 ± 3,72 vs 27,19 ± 7,89), Sel Leydig (69,56 ± 3,12 vs 31,50 ± 7,60), reseptor androgen (67,06 ± 4,54 vs 27,75 ± 7,94), dan spermatogonia (314,25 ± 16,58 vs 234,06 ± 29,97). Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) rerata seluruh variabel antara Kelompok Kontrol dengan Perlakuan. Jumlah Sel Sertoli berpengaruh paling besar terhadap jumlah spermatogonia (1,780). Simpulan: ekstrak etanol tempe kedelai Wilis yang diberikan kepada tikus Wistar betina selama masa perikonsepsi sebanyak 1 g/kg BB/hari, mampu menghambat pembentukan spermatogonia secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara meningkatkan kadar estradiol induk, serta menghambat pembentukan Sel Leydig, Sel Sertoli, dan reseptor androgen. Kata Kunci: ekstrak etanol tempe, masa perikonsepsi, kadar Estradiol, Sel Sertoli, Sel Leydig, reseptor androgen, spermatogonia.

Upload: others

Post on 02-Apr-2022

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

iv

ABSTRAK

PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL TEMPE SELAMA MASA

PERIKONSEPSI MENINGKATKAN KADAR ESTRADIOL INDUK

TIKUS SERTA MENGHAMBAT PEMBENTUKAN SEL SERTOLI, SEL

LEYDIG, RESEPTOR ANDROGEN, DAN SPERMATOGONIA

ANAK TIKUS WISTAR

Testis merupakan gonad laki-laki yang berperan penting dalam fungsi

reproduksi. Organ tersebut di antaranya tersusun atas sel-sel germinal, sel Sertoli,

dan sel Leydig yang dibentuk sejak masa janin. Sel-sel tersebut, masing-masing

memiliki fungsi utama yang berbeda, namun bersinergi satu dengan yang lainnya.

Pembentukan dan fungsinya dapat diganggu oleh endocrine disrupting chemical.

Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan mekanisme hambatan

pembentukan spermatogonia anak tikus melalui peningkatan estradiol induk,

hambatan pembentukan Sel Sertoli, Sel Leydig, dan Reseptor Androgen setelah

induknya mendapatkan ekstrak etanol tempe selama masa perikonsepsi.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Post-test Only

Control Group Design. Penelitian dilakukan di Laboratorium terpadu Biomedik

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana selama 8 minggu, menggunakan 32

ekor tikus Wistar betina usia 12-13 minggu, dibagi menjadi 2 kelompok. Kontrol

diberi aquadest; Perlakuan diberi ekstrak etanol tempe 1 g/kg BB/hari yang

mengandung genistein 1,04 mg. Perlakuan diberikan 2 minggu sebelum

dikawinkan, selama bunting, dan menyusui. Data yang diamati, meliputi kadar

estradiol induk, jumlah Sel Leydig, Sel Sertoli, reseptor androgen, dan

spermatogonia anak tikus.

Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar estradiol induk Kontrol vs

Perlakuan (49,17 ±19,83 vs 181,19 ± 58,62), Sel Sertoli (67,69 ± 3,72 vs 27,19 ±

7,89), Sel Leydig (69,56 ± 3,12 vs 31,50 ± 7,60), reseptor androgen (67,06 ± 4,54

vs 27,75 ± 7,94), dan spermatogonia (314,25 ± 16,58 vs 234,06 ± 29,97). Terdapat

perbedaan bermakna (p<0,05) rerata seluruh variabel antara Kelompok Kontrol

dengan Perlakuan. Jumlah Sel Sertoli berpengaruh paling besar terhadap jumlah

spermatogonia (1,780).

Simpulan: ekstrak etanol tempe kedelai Wilis yang diberikan kepada tikus

Wistar betina selama masa perikonsepsi sebanyak 1 g/kg BB/hari, mampu

menghambat pembentukan spermatogonia secara langsung maupun tidak

langsung, dengan cara meningkatkan kadar estradiol induk, serta menghambat

pembentukan Sel Leydig, Sel Sertoli, dan reseptor androgen.

Kata Kunci: ekstrak etanol tempe, masa perikonsepsi, kadar Estradiol, Sel

Sertoli, Sel Leydig, reseptor androgen, spermatogonia.

v

ABSTRACT

ADMINISTRATION OF ETHANOL EXTRACT OF TEMPEH

DURING PERICONCEPTION PERIOD INCREASED DAM RATS

ESTRADIOL LEVEL AND INHIBITED THE FORMATION OF

SERTOLI CELLS, LEYDIG CELLS, ANDROGEN RECEPTORS

AND SPERMATOGONIA OF LITTLE WISTAR RATS

Testes are male gonads which play an important role in reproductive function.

These organs are composed of germ cells, Sertoli cells, and Leydig cells that have

been formed since the fetus. Each of these cells has different main function.

However each cell synergize with one another. The formation and function can be

disturbed by endocrine disrupting chemicals. The objective of this research was to

reveal inhibition mechanism of spermatogonia formation of little rats by

increasing dam rats estradiol level, inhibiting the formation of Sertoli cells, Leydig

cells, and Androgen Receptors after the dam rats given the ethanol extract of

tempeh during periconception period.

The research design used was Randomized Post-test Only Control Group

Design. The research was carried out at the Udayana University’s Biomedical

Integrated Laboratory for 8 weeks, using 32 Wistar dam rats aged 12-13 weeks,

and divided into 2 groups. The control was given aquadest; meanwhile the

treatment was given ethanol extract of tempeh in 1 g / kg BW / day, contained

genistein of 1.04 mg. The treatment was given 2 weeks before mating, during

pregnancy, and breastfeeding. The observed data, including estradiol level of dam

rats, number of Leydig Cells, Sertoli Cells, androgen receptors, and

spermatogonia of little rats.

The results showed that the average of Control vs Treatment Group for

estradiol levels of dam rats are (49.17 ± 19.83 vs 181.19 ± 58.62), Sertoli cells are

(67.69 ± 3.72 vs. 27.19 ± 7.89), Leydig Cells are (69.56 ± 3.12 vs. 31.50 ± 7.60),

androgen receptors are (67.06 ± 4.54 vs. 27.75 ± 7.94), and spermatogonia are

(314.25 ± 16.58 vs 234.06 ± 29.97). The data showed significant difference (p

<0,05) of all variables between Control and Treatment Group. The number of

Sertoli cells has the greatest effect on the number of spermatogonia (1.780).

Conclusions: the ethanol extract of Wilis soybean tempeh in 1 g / kg BW/

day, given to the Wistar dam rats during periconception period was able to inhibit

the formation of spermatogonia, directly or indirectly, by increasing estradiol level

of dam rats, and inhibited the formation of Leydig cells, Sertoli cells, and

androgen receptors.

Keywords:ethanol extract of tempeh, periconception period, Estradiol level,

Sertoli cells, Leydig cells, androgen receptors, spermatogonia.

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ………………………………………… i

PRASYARAT GELAR ……………………………………………… ii

LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………………… iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………… iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ……………………………… v

UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………… vi

ABSTRAK …………………………………………… viii

ABSTRACT …………………………………………… ix

DAFTAR ISI …………………………………………… x

DAFTAR GAMBAR …………………………………………… xiii

DAFTAR TABEL …………………………………………… xiv

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………… xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG …………………………… xvi

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 1

1.1 Latar Belakang ……..………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah …..…..………………………………. 10

1.3 Tujuan Penelitian …..……………..……………………. 11

1.3.1 Tujuan Umum …….…..……….…………………. 11

1.3.2 Tujuan Khusus ………….………………………… 11

1.4 Manfaat Penelitian …………………………………….. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 14

2.1 Pembentukan dan Perkembangan Testis Anak ……………. 14

2.1.1 Sel Sertoli .................................................................. 17

2.1.2 Sel Leydig .................................................................. 21

2.1.3 Reseptor Androgen ...................................................... 29

2.1.4 Spermatogonia ........................................................... 32

2.2 Tempe ……………….……………………. 38

2.3 Isoflavon …………….………………………… 40

vii

2.3.1 Penyerapan, distribusi, metabolisme, dan eliminasi

isoflavon …................................................................... 42

2.3.2 Paparan isoflavon dari ibu ke anak melalui plasenta

dan air susu ibu ............................................................ 48

2.4 Tinjauan tentang Tikus Percobaan ………………………. 52

2.3.1 Tinjauan umum …………………………………… 52

2.3.2 Reproduksi tikus …………………………………… 53

2.5 Mekanisme Endocrine Disrupting Chemical (EDC)

Isoflavon pada Masa Perikonsepsi........……...……….......... 56

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN

HIPOTESIS PENELITIAN …………………………………… 63

3.1 Kerangka Berpikir ..…………………………………….. 63

3.2 Konsep Penelitian ……………………………………….. 65

3.3 Hipotesis …………………………………………….. 66

BAB IV METODE PENELITIAN …..……………………………………. 67

4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………… 67

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………… 69

4.2.1 Lokasi Penelitian…………………………………….. 69

4.2.2 Waktu Penelitian…………………………………….. 70

4.3 Ruang Lingkup Penelitian………………………………….. 70

4.4 Penentuan Sumber Data ………………………………….. 70

4.4.1 Populasi ………………………………………… 70

4.4.2 Kriteria sampel………………………………………… 70

4.4.3 Pengulangan sampel…………………………………….. 71

4.4.4 Teknik penentuan sampel………………….…………. 71

4.4.5 Unit analisis ………………………………………… 72

4.5 Variabel Penelitian ………………………………………. 72

4.5.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel ……………….. 72

4.5.2 Hubungan antar variabel …………………………….. 73

4.5.2 Definisi operasional variabel ……………………….. 73

4.6 Bahan Penelitian ………………………………………….. 76

viii

4.7 Instrumen Penelitian ……………………………………. 77

4.8 Prosedur Penelitian ……………………………………… 78

4.9 Analisis Data ……………………………………………. 86

BAB V HASIL PENELITIAN ……………………………………….. 88

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ……………………………. 88

5.2 Perbandingan Kadar Estradiol Induk, Sel Sertoli, Sel Leydig,

Reseptor Androgen, dan Spermatogonia …………………. 90

BAB VI PEMBAHASAN ………………………………………… 101

6.1 Karakteristik Subyek Penelitian …………………………….. 101

6.2 Perbandingan kadar estradiol induk, Sel Sertoli, Sel Leydig,

reseptor androgen, dan Spermatogonia antara kelompok kontrol

dengan Perlakuan. ………………………………………… 103

6.2.1 Kadar Estradiol Induk…………………………………. 103

6.2.2 Jumlah Sel Sertoli……………………………………… 105

6.2,3 Jumlah Sel Leydig …………………………………… 108

6.2.4 Jumlah Reseptor Androgen……………………………. 111

6.2.5 Jumlah Spermatogonia…………………………………. 113

6.3 Keterbatasan Penelitian ……………………………………… 117

6.4 Kebaharuan Penelitian ……………………………………… 117

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……………………………………… 119

7.1 Simpulan ……………………………………………… 119

7.2 Saran ……………………………………………… 120

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 121

LAMPIRAN - LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Testis merupakan gonad laki-laki yang berperan penting dalam fungsi

reproduksi. Organ tersebut di antaranya tersusun atas sel-sel germinal, sel Sertoli,

dan sel Leydig yang dibentuk sejak masa janin. Sel-Sel tersebut, masing-masing

memiliki fungsi utama yang berbeda, namun bersinergi satu dengan yang lainnya.

Sel Sertoli berperan dalam memelihara sel-sel geminal yang sedang berkembang.

Untuk melaksanakan peran tersebut, sel Sertoli membutuhkan hormon

Testosteron yang disintesis oleh sel Leydig. Dengan demikian, selama kehidupan

intrauterine testis memiliki dua fungsi utama, yaitu menyekresi hormon steroid

(steroidogenesis) serta mengatur perkembangan sel-sel germinal (gametogenesis).

Sel-Sel germinal primordial mengalami diferensiasi selama periode

gametogenesis. Diferensiasi pertama dari sel-sel germinal primordial, membentuk

gonosit yang selanjutnya berkembang menjadi spermatogonia. Perkembangan

tersebut dipengaruhi oleh hormon androgen. Spermatogonia kemudian mengalami

proses spermatogenesis ketika memasuki pubertas hingga menjadi spermatozoa

matang. Gangguan perkembangan pada sel-sel germinal tersebut dapat

menyebabkan infertilitas (Fritz dan Speroff, 2011).

Pasangan suami istri di dunia yang mengalami infertil diperkirakan oleh

World Health Organization (WHO) sebanyak 10-15%. Infertil yang disebabkan

oleh gangguan ovulasi sebesar 27%, dan kelainan spermatozoa sebesar 25%

2

(Barbieri 2014). Data tersebut didukung oleh hasil Riset kesehatan dasar

(Riskesdas) tahun 2013 yang menemukan 43,2% pasangan suami istri tidak

menggunakan kontrasepsi karena menginginkan anak. Di antara pasangan

tersebut, 15,5% tidak pernah menggunakan kontrasepsi.

Masalah spermatozoa sebagai penyebab infertil dapat berupa kelainan

morfologi, kelainan motilitas, dan konsentrasi spermatozoa yang kurang.

Kerusakan pada gonad, khususnya pada sel Sertoli maupun sel Leydig

menyebabkan spermatozoa yang dihasilkan tidak mampu melakukan fertilisasi.

Masalah tersebut mulai terjadi segera setelah konsepsi, melalui gangguan

mekanisme epigenetik (Barbieri, 2014).

Mekanisme epigenetik utama ada tiga, yaitu metilasi deoxyribose nucleic

acid (DNA), modifikasi histon dan non-koding ribonucleic acid (RNA) yang

secara kolektif membentuk komponen utama dari epigenome. Ketiga mekanisme

tersebut bekerja secara kooperatif dalam berbagai proses, termasuk inaktivasi X-

kromosom dan imprinting genom. Selama pembentukan ciri epigenetik,

modifikasi histon menyebabkan metilasi DNA yang memainkan peran utama

dalam pemeliharaan ciri pewarisan. Pemrograman ulang epigenetik utama terjadi

pada dua tahap perkembangan, yaitu (1) praimplantasi (membentuk ciri-ciri

epigenetik, kecuali gen yang tidak tercetak); dan (2) gonad bipotensial

(penghapusan gen yang tercetak dan penyusunan kembali jenis kelamin spesifik).

Ke dua tahap perkembangan tersebut sangat rentan terhadap paparan endocrine

disrupting chemical (EDC). Gangguan metilasi DNA oleh EDC dapat

memengaruhi ketiga lapisan germinal embrio, jika terjadi selama masa

3

praimplantasi dan memengaruhi ke dua jenis kelamin bila terjadi pada tahap

perkembangan gonad bipotensial (Uzumcu, dkk. 2012).

Sel germinal primordial pada manusia bergerak perlahan seperti amuba

dan tiba di gonad untuk membentuk gonad indifferent yang identik pada laki-laki

maupun perempuan ketika masa gestasi 4-6 minggu. Beberapa gen yang terlibat,

seperti Wilm’tumor supresor 1 (WT1), Steroidogenic factor 1 (SF1). Selanjutnya

terjadi diferensiasi seks sebagai proses kompleks yang melibatkan banyak gen. Di

bawah pengaruh protein Sex Region Y (SRY) dan lokus gen Y-linked tunggal atau

testis determining factor (TDF), terjadi perkembangan testis (Sadler, 2014).

Perkembangan testis selanjutnya membutuhkan Antimullerian hormone (AMH)

yang disekresikan oleh sel Sertoli serta hormon testosteron yang disekresikan oleh

sel Leydig. Diferensiasi sel ini dapat dihambat oleh hormon estrogen (Fritz dan

Speroff, 2011).

Diferensiasi sel germinal terjadi pada minggu ke-14 sampai minggu ke-15

kehidupan janin manusia, terjadi transformasi gonosit menjadi spermatogonia

janin yang dipicu oleh sekresi hormon testosteron yang semakin tinggi. Apoptosis

dapat terjadi sejak diferensiasi sel germinal primordial menjadi gonosit, dan akan

terus berlanjut sepanjang proses spermatogenesis. Apoptosis sel germinal

dimediasi oleh sinyal yang berasal dari sel Sertoli dan sinyal dari luar testis,

seperti kekurangan follicle stimulating hormone (FSH), Luteinizing hormone

(LH), dan/atau testosteron (Print dan Loveland, 2000). EDC dapat mengganggu

proses metilasi DNA pada masa perkembangan ini, sehingga memengaruhi

4

diferensiasi ke dua jenis kelamin. Bahkan, efek selama remetilasi dapat menjadi

jenis kelamin tertentu (Uzumcu, dkk. 2012).

Paparan EDC pada masa embriogenesis menurut Erb (2006), dapat

menyebabkan terjadinya proses teratogenesis, di antaranya berupa mutasi gen,

gangguan mitosis, perubahan integritas asam nukleat maupun fungsinya,

kurangnya prekursor dan substrat yang dibutuhkan untuk biosintesis, hambatan

enzim. Hal ini dapat mengganggu pembentukan dan perkembangan testis.

Diferensiasi sel germinal didahului oleh pembentukan dan diferensiasi Sel Sertoli

dan Sel Leydig yang menunjang perkembangan sel germinal tersebut.

Sel Sertoli terbentuk pada minggu ke-6 sampai ke-7 kehamilan yang

bergabung untuk membentuk korda testis, tempat tertanamnya sel-sel germinal

primordial. Sel Sertoli berkembang seiring dengan perkembangan Tubulus

seminiferus janin. Sel Sertoli pada kehidupan janin berfungsi untuk memberikan

nutrisi kepada sel-sel germinal, diferensiasi sel germinal, mencegah sel germinal

memasuki meiosis. Fungsi sel ini dipengaruhi oleh hormon testosteron yang

dihasilkan oleh Sel Leydig janin (Huff, 2011).

Diferensiasi Sel Leydig dimulai pada minggu ke-7 hingga ke-8 yang

diinduksi oleh hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG). Sel ini berasal dari

sel-sel mesenkim yang mengelilingi korda testis. Proliferasi dan pematangan sel

Leydig janin selanjutnya dipengaruhi oleh LH. Sel Leydig berfungsi untuk

menyintesis testosteron yang dibutuhkan untuk maskulinisasi. Pada usia

kehamilan 17 minggu, sel Leydig janin mulai mengalami regresi dan

dediferensiasi (Huff, 2011). Kerusakan pada sel Leydig dapat mengganggu

5

diferensiasi sel germinal primordial dan perkembangan organ seks laki-laki

(Weinbauer, dkk. 2010; Clementi, dkk. 2014).

Proses perkembangan yang sama juga terjadi pada hewan mamalia, seperti

tikus yang diasumsikan memiliki kesamaan fisiologi tubuh dengan manusia

(Iannaccone dan Jacob, 2009). Diferensiasi seksual embrio tikus dari indifferent

gonad menjadi jantan atau betina dimulai ketika masa gestasi memasuki hari ke-

13. Diferensiasi sel Sertoli terjadi pada hari ke-13,5 pascakoitus. Sel Leydig fetus

mulai muncul dan berkembang saat usia kehamilan sekitar 14,5 hari. Sel ini mulai

menyekresi testosteron pada hari ke-15. Pada hari ke-16, korda testis memanjang

dan berliku-liku (Haider, 2004; Erb, 2006).

Pertumbuhan maupun perkembangan gonad janin laki-laki antara lain

dipengaruhi oleh hormon androgen yang dihasilkan oleh Sel Leydig. Hormon

tersebut bisa bekerja atau beraksi bila ada reseptor pada sel targetnya. Reseptor

androgen dikenal sebagai NR3C4 (nuclear receptor subfamily 3, group C,

member 4), di antaranya ditemukan pada nucleus Sel Leydig testis, maupun

gonosit (Gao, dkk. 2005).

Hormon estrogen dapat memengaruhi pertumbuhan dan fungsi gonad janin

laki-laki. Estrogen endogen menghambat perkembangan testis dan fungsi selama

masa janin dan neonatus. Reseptor estrogen β konsisten berada dalam korda

seminiferus mengendalikan gametogenesis, sedangkan REα hadir dalam Sel

Leydig janin yang mengatur steroidogenesis (Delbe, dkk. 2006). Estrogen

mengatur ekspresi gen StAR protein dan CYP11A1 yang dibutuhkan untuk

menyintesis hormon seks (Craig, dkk. 2011).

6

Isoflavon merupakan salah satu senyawa pengganggu endokrin atau EDC

karena memiliki efek estrogenik. Efek tersebut disebabkan oleh Isoflavon

memiliki rumus kimia mirip estrogen yang mampu berikatan kuat dengan reseptor

estrogen, serta bisa beraksi pada sel target estrogen. Senyawa ini di antaranya

terdiri-dari daidzein, genistein, dan glycitein. Isoflavan paling kuat adalah equol

(metabolit dari daidzein) (Patisaul dan Whitten, 2005; Bucar, 2013). Isoflavon

berikatan dengan reseptor REβ lebih kuat dari pada REα. Ketika kadar estrogen

rendah, isoflavon dapat bersifat agonis. Sebaliknya, bila kadar estrogen tinggi,

isoflavon bersifat antagonis / antiestrogenik (Kim dan Park, 2012).

Isoflavon banyak ditemukan pada kacang-kacangan maupan produk

olahannya, seperti tempe. Tempe dipertimbangkan sebagai pangan fungsional

karena kandungan gizi dan substansi aktif dengan komposisi zat gizi yang lebih

baik daripada kedelai. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

nomor 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang diuraikan bahwa tempe

merupakan salah satu jenis pangan yang baik untuk ibu hamil dan menyusui. Ibu

hamil dan menyusui dianjurkan mengonsumsi tempe empat porsi sehari yang

setara dengan 200 gram.

Penjelasan Retana-Marquez, dkk. (2012) bahwa, selain berinteraksi

dengan reseptor estrogen, isoflavon juga dapat mengatur konsentrasi estrogen

endogen dengan mengikat atau menonaktifkan beberapa enzim, seperti P450

aromatase, 5α-reductase, 17β-hydroxysteroid dehydrogenase (17β-OHDH),

topoisomerase, dan tyrosin kinase. Isoflavon dapat memengaruhi bioavailabilitas

hormon seks dengan mengikat atau merangsang sintesis sex hormone binding

7

globulin (SHBG). Pada Sel Leydig, isoflavon dapat menurunkan regulasi ekspresi

P450c17 (17α-hydroksilase) / C17-20 lyase (CYP17A1) (Svechnikov, dkk. 2010).

Diet tinggi fitoestrogen pada tikus jantan juga dapat menghambat

spermatogenesis, menginduksi apoptosis sel germinal, menurunkan ekspresi REα

dan reseptor androgen (RA) dalam kauda epididimis serta meningkatkan

lipoperoxidasi dalam spermatozoa di epididimis (Assinder, dkk. 2007).

Kim dan Park (2012) memaparkan, pemberian genistein dosis rendah pada

masa neonatal meningkatkan pelepasan LH yang diinduksi Gonadotropin

Realeasing Hormone (GnRH), sedangkan dosis tinggi menurunkan pelepasan LH.

Wang, dkk. (2014) menemukan pemberian isoflavon 100 mg/kg BB/hari dan 200

mg/kg BB/hari pada tikus betina sejak penyapihan hingga seksual matur

meningkatkan ekspresi mRNA dari gen yang berhubungan dengan apoptosis, yaitu

caspase-3.

Penemuan Adachi, dkk. (2004), bahwa pemberian injeksi genistein 1

mg/ekor/hari selama lima hari pada mencit yang berusia satu hari, menurunkan

ekspresi REα dan mRNA RA. Diuraikan dalam laporan Kim dan Park (2012),

bahwa suplementasi genistein dalam diet sebanyak 0,02% dan 0,1% sejak mulai

hamil (prenatal) hingga postnatal 21 hari tidak memengaruhi berat testis anak.

Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Sherrill, dkk. (2010), bahwa paparan

isoflavon kedelai pada masa perinatal tikus (12 hari pascakonsepsi hingga 21 hari

pascanatal) menginduksi aktivitas proliferatif sel Leydig dan meningkatkan

ekspresi reseptor LH, reseptor Androgen, dan reseptor estrogen pada sel Leydig

progenitor.

8

Isoflavon tempe merupakan antioksidan non-enzimatik yang mampu

menangkap radikal bebas (free radical scavenger). Genistein dapat menghambat

pertumbuhan sel kanker dengan menghambat aktivitas 5α-reductase (Winarsi,

2007). Suplementasi tepung tempe sebanyak 1 gram dan 2 gram per hari pada

tikus Wistar selama hamil dapat meningkatkan kadar glutation peroksidase dan

menurunkan kadar malondialdehid (MDA) anak tikus yang dilahirkannya

(Wibowo, 2013).

Tikus betina usia 2 bulan yang diberikan tepung tempe tanpa lemak selama

dua bulan, memiliki rata-rata kadar estrogen yang lebih tinggi dibandingkan

dengan Kelompok Kontrol (Suarsana, dkk.2012). Penelitian pendahuluan yang

dilakukan oleh Budiani, dkk. (2016) pada 20 ekor tikus Wistar putih betina usia

12-13 minggu yang dibagi 5 kelompok, yaitu kontrol; genistein 10 mg/kg BB

(Genistein formula C15H10O5, memiliki kemurnian mendekati 99% diproduksi

Indofine Chemical Company, Inc., Hillsborough, New Jersey, USA); ekstrak

etanol tempe 0,5 g/kg BB; 1 g/kg BB; dan 5 g/kg BB. Perlakuan diberikan setiap

hari selama masa perikonsepsi (satu minggu sebelum dikawinkan, selama hamil

hingga penyapihan). Hasil yang diperoleh, kadar estradiol serum sebelum

perlakuan, sama pada seluruh kelompok. Setelah diberi perlakuan selama satu

minggu, kadar estradiol pada kelompok genistein dan ekstrak etanol tempe

cenderung meningkat dibandingkan sebelum perlakuan, dan lebih tinggi

dibandingkan dengan Kelompok Kontrol.

Anak tikus yang dilahirkan induk pada penelitian pendahuluan Budiani,

dkk. (2016), dibedah saat berusia 21 hari dan dilakukan pemeriksaan

9

histopatologi. Ditemukan bahwa, jumlah Sel Leydig pada anak tikus yang lahir

dari kelompok induk yang mendapat Genistein paling rendah dibandingkan

dengan anak yang lahir dari induk yang mendapat ekstrak tempe dan kontrol.

Namun, jumlah Sel Sertoli dan spermatogonia paling rendah pada anak tikus yang

induknya diberi ekstrak tempe 1 g/kg BB/hari.

Lofamia, dkk (2014) melaporkan, bahwa suplementasi isoflavon dosis

tinggi pada mencit betina (150 mg/kg berat badan per hari) selama masa

perikonsepsi, melahirkan anak mencit jantan yang memiliki tubulus seminiferi

yang rusak/tidak utuh dan sel spermatogenik tampak tidak berkembang dengan

gambaran yang tidak jelas. Musameh, dkk (2014) melaporkan hasil yang berbeda,

bahwa tikus jantan usia 50 hari yang mendapat paparan genistein dosis 10 mg

maupun 100 mg per kg berat badan per hari pada masa prenatal (induk diberikan

genistein per oral sejak kehamilan 10 hari hingga melahirkan) dilanjutkan

postnatal, anak jantan yang dilahirkan diberikan genistein, melalui injeksi

subkutan dosis yang sama, saat berusia satu hari hingga 21 hari, menunjukkan

aktivitas overstimulasi sel spermatogenik.

Temuan di atas menunjukkan bahwa pembentukan spermatogonia anak

yang mendapat paparan isoflavon sejak kehidupan janin, hingga saat ini belum

konsisten. Bahan penelitian yang digunakan juga tidak sama. Belum ada

penelitian pada hewan coba selama masa perikonsepsi menggunakan ekstrak

tempe kedelai varietas Wilis. Berdasarkan hal tersebut, perlu pembuktian lebih

lanjut tentang efek pemberian ekstrak etanol tempe kedelai Wilis yang

mengandung Genistein pada masa perikonsepsi terhadap pembentukan

10

spermatogonium anak tikus melalui peningkatan kadar estradiol induk serta

hambatan pembentukan Sel Sertoli, Sel Leydig, dan reseptor Androgen.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.

1.2.1 Apakah kadar estradiol serum tikus betina (induk) yang mendapat ekstrak

etanol tempe per oral sebanyak 1g/kg BB/hari lebih tinggi dibandingkan

dengan tikus betina Kelompok Kontrol ?

1.2.2 Apakah jumlah sel Sertoli anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan oleh

induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari secara

oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah

sel Sertoli anak tikus dari induk Kelompok Kontrol?

1.2.3 Apakah jumlah sel Leydig anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan oleh

induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari secara

oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah

sel Leydig anak tikus dari induk Kelompok Kontrol?

1.2.4 Apakah jumlah reseptor androgen anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan

oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari

secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan

jumlah reseptor androgen anak tikus dari induk Kelompok Kontrol?

1.2.5 Apakah jumlah spermatogonia anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan oleh

induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari secara

oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah

spermatogonia anak tikus dari induk Kelompok Kontrol?

11

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengungkapkan mekanisme

hambatan pembentukan spermatogonia anak tikus melalui peningkatan estradiol

induk, hambatan pembentukan sel Sertoli, sel Leydig, dan reseptor androgen

setelah induknya mendapatkan ekstrak etanol tempe selama masa perikonsepsi.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.2.1 Membuktikan kadar estradiol serum induk tikus usia 21 hari yang

mendapat ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari secara oral lebih

tinggi dibandingkan dengan tikus betina Kelompok Kontrol.

1.3.2.2 Membuktikan jumlah sel Sertoli anak tikus tikus usia 21 hari yang

dilahirkan oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg

BB/hari secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan

dengan jumlah sel Sertoli anak tikus dari induk Kelompok Kontrol.

1.3.2.3 Membuktikan jumlah sel Leydig anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan

oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari

secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan

jumlah sel Leydig anak tikus dari induk Kelompok Kontrol.

1.3.2.4 Membuktikan jumlah reseptor androgen anak tikus usia 21 hari yang

dilahirkan oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg

BB/hari secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan

12

dengan jumlah reseptor androgen anak tikus dari induk Kelompok

Kontrol.

1.3.2.5 Membuktikan jumlah spermatogonia anak tikus usia 21 hari yang

dilahirkan oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg

BB/hari secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan

dengan jumlah reseptor androgen anak tikus dari induk Kelompok

Kontrol.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Hasil penelitian ini menemukan mekanisme hambatan pembentukan

spermatogonia karena paparan ekstrak etanol tempe yang mengandung Genistein

yang diberikan per oral selama masa perikonsepsi (sejak prakonsepsi hingga

penyapihan). Pemberian ekstrak etanol tempe mampu meningkatkan kadar

estradiol serum induk, yang dapat mengganggu diferensiasi dan proliferasi sel

Sertoli dan sel Leydig janin. Ke dua sel memiliki jumlah yang tidak memadai. Sel

Leydig tidak mampu menyintesis androgen sesuai kebutuhan, sehingga tidak

cukup untuk mendukung fungsi dan keberlangsungan hidup sel Sertoli maupun sel

Leydig. Gangguan perkembangan pada ke dua sel tersebut menyebabkan jumlah

Reseptor Androgen yang terbentuk pada ke dua sel tersebut lebih rendah. Hal ini

menyebabkan hormon Androgen tidak mampu bekerja pada sel Sertoli dan sel

Leydig, sehingga terjadi gangguan diferensiasi sel germinal primordial menjadi

13

gonosit, dan dari gonosit menjadi spermatogonium. Dengan demikian, jumlah

spermatogonium menjadi lebih rendah.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini membuktikan, bahwa ekstrak etanol tempe kedelai Wilis

yang mengandung genistein dapat menghambat pembentukan spermatogonia pada

anak tikus. Temuan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk upaya

menghindari atau mencegah terjadinya gangguan pembentukan spermatogonia,

setidaknya pada hewan sejenis. Kemungkinan dapat diterapkan pada manusia,

setelah dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini dapat dilanjutkan untuk

menemukan penanda lain yang menunjukkan gangguan / hambatan pembentukan

sel Leydig, sel Sertoli, reseptor androgen, dan spermatogonia karena pemberian

ekstrak etanol tempe, seperti konsentrasi testosteron, konsentrasi AMH, ekspresi

reseptor AMH.