abstrak pemberian ekstrak etanol tempe selama masa
TRANSCRIPT
iv
ABSTRAK
PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL TEMPE SELAMA MASA
PERIKONSEPSI MENINGKATKAN KADAR ESTRADIOL INDUK
TIKUS SERTA MENGHAMBAT PEMBENTUKAN SEL SERTOLI, SEL
LEYDIG, RESEPTOR ANDROGEN, DAN SPERMATOGONIA
ANAK TIKUS WISTAR
Testis merupakan gonad laki-laki yang berperan penting dalam fungsi
reproduksi. Organ tersebut di antaranya tersusun atas sel-sel germinal, sel Sertoli,
dan sel Leydig yang dibentuk sejak masa janin. Sel-sel tersebut, masing-masing
memiliki fungsi utama yang berbeda, namun bersinergi satu dengan yang lainnya.
Pembentukan dan fungsinya dapat diganggu oleh endocrine disrupting chemical.
Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan mekanisme hambatan
pembentukan spermatogonia anak tikus melalui peningkatan estradiol induk,
hambatan pembentukan Sel Sertoli, Sel Leydig, dan Reseptor Androgen setelah
induknya mendapatkan ekstrak etanol tempe selama masa perikonsepsi.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Post-test Only
Control Group Design. Penelitian dilakukan di Laboratorium terpadu Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana selama 8 minggu, menggunakan 32
ekor tikus Wistar betina usia 12-13 minggu, dibagi menjadi 2 kelompok. Kontrol
diberi aquadest; Perlakuan diberi ekstrak etanol tempe 1 g/kg BB/hari yang
mengandung genistein 1,04 mg. Perlakuan diberikan 2 minggu sebelum
dikawinkan, selama bunting, dan menyusui. Data yang diamati, meliputi kadar
estradiol induk, jumlah Sel Leydig, Sel Sertoli, reseptor androgen, dan
spermatogonia anak tikus.
Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar estradiol induk Kontrol vs
Perlakuan (49,17 ±19,83 vs 181,19 ± 58,62), Sel Sertoli (67,69 ± 3,72 vs 27,19 ±
7,89), Sel Leydig (69,56 ± 3,12 vs 31,50 ± 7,60), reseptor androgen (67,06 ± 4,54
vs 27,75 ± 7,94), dan spermatogonia (314,25 ± 16,58 vs 234,06 ± 29,97). Terdapat
perbedaan bermakna (p<0,05) rerata seluruh variabel antara Kelompok Kontrol
dengan Perlakuan. Jumlah Sel Sertoli berpengaruh paling besar terhadap jumlah
spermatogonia (1,780).
Simpulan: ekstrak etanol tempe kedelai Wilis yang diberikan kepada tikus
Wistar betina selama masa perikonsepsi sebanyak 1 g/kg BB/hari, mampu
menghambat pembentukan spermatogonia secara langsung maupun tidak
langsung, dengan cara meningkatkan kadar estradiol induk, serta menghambat
pembentukan Sel Leydig, Sel Sertoli, dan reseptor androgen.
Kata Kunci: ekstrak etanol tempe, masa perikonsepsi, kadar Estradiol, Sel
Sertoli, Sel Leydig, reseptor androgen, spermatogonia.
v
ABSTRACT
ADMINISTRATION OF ETHANOL EXTRACT OF TEMPEH
DURING PERICONCEPTION PERIOD INCREASED DAM RATS
ESTRADIOL LEVEL AND INHIBITED THE FORMATION OF
SERTOLI CELLS, LEYDIG CELLS, ANDROGEN RECEPTORS
AND SPERMATOGONIA OF LITTLE WISTAR RATS
Testes are male gonads which play an important role in reproductive function.
These organs are composed of germ cells, Sertoli cells, and Leydig cells that have
been formed since the fetus. Each of these cells has different main function.
However each cell synergize with one another. The formation and function can be
disturbed by endocrine disrupting chemicals. The objective of this research was to
reveal inhibition mechanism of spermatogonia formation of little rats by
increasing dam rats estradiol level, inhibiting the formation of Sertoli cells, Leydig
cells, and Androgen Receptors after the dam rats given the ethanol extract of
tempeh during periconception period.
The research design used was Randomized Post-test Only Control Group
Design. The research was carried out at the Udayana University’s Biomedical
Integrated Laboratory for 8 weeks, using 32 Wistar dam rats aged 12-13 weeks,
and divided into 2 groups. The control was given aquadest; meanwhile the
treatment was given ethanol extract of tempeh in 1 g / kg BW / day, contained
genistein of 1.04 mg. The treatment was given 2 weeks before mating, during
pregnancy, and breastfeeding. The observed data, including estradiol level of dam
rats, number of Leydig Cells, Sertoli Cells, androgen receptors, and
spermatogonia of little rats.
The results showed that the average of Control vs Treatment Group for
estradiol levels of dam rats are (49.17 ± 19.83 vs 181.19 ± 58.62), Sertoli cells are
(67.69 ± 3.72 vs. 27.19 ± 7.89), Leydig Cells are (69.56 ± 3.12 vs. 31.50 ± 7.60),
androgen receptors are (67.06 ± 4.54 vs. 27.75 ± 7.94), and spermatogonia are
(314.25 ± 16.58 vs 234.06 ± 29.97). The data showed significant difference (p
<0,05) of all variables between Control and Treatment Group. The number of
Sertoli cells has the greatest effect on the number of spermatogonia (1.780).
Conclusions: the ethanol extract of Wilis soybean tempeh in 1 g / kg BW/
day, given to the Wistar dam rats during periconception period was able to inhibit
the formation of spermatogonia, directly or indirectly, by increasing estradiol level
of dam rats, and inhibited the formation of Leydig cells, Sertoli cells, and
androgen receptors.
Keywords:ethanol extract of tempeh, periconception period, Estradiol level,
Sertoli cells, Leydig cells, androgen receptors, spermatogonia.
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ………………………………………… i
PRASYARAT GELAR ……………………………………………… ii
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………………… iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………… iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ……………………………… v
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………… vi
ABSTRAK …………………………………………… viii
ABSTRACT …………………………………………… ix
DAFTAR ISI …………………………………………… x
DAFTAR GAMBAR …………………………………………… xiii
DAFTAR TABEL …………………………………………… xiv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………… xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG …………………………… xvi
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ……..………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah …..…..………………………………. 10
1.3 Tujuan Penelitian …..……………..……………………. 11
1.3.1 Tujuan Umum …….…..……….…………………. 11
1.3.2 Tujuan Khusus ………….………………………… 11
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………….. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 14
2.1 Pembentukan dan Perkembangan Testis Anak ……………. 14
2.1.1 Sel Sertoli .................................................................. 17
2.1.2 Sel Leydig .................................................................. 21
2.1.3 Reseptor Androgen ...................................................... 29
2.1.4 Spermatogonia ........................................................... 32
2.2 Tempe ……………….……………………. 38
2.3 Isoflavon …………….………………………… 40
vii
2.3.1 Penyerapan, distribusi, metabolisme, dan eliminasi
isoflavon …................................................................... 42
2.3.2 Paparan isoflavon dari ibu ke anak melalui plasenta
dan air susu ibu ............................................................ 48
2.4 Tinjauan tentang Tikus Percobaan ………………………. 52
2.3.1 Tinjauan umum …………………………………… 52
2.3.2 Reproduksi tikus …………………………………… 53
2.5 Mekanisme Endocrine Disrupting Chemical (EDC)
Isoflavon pada Masa Perikonsepsi........……...……….......... 56
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN
HIPOTESIS PENELITIAN …………………………………… 63
3.1 Kerangka Berpikir ..…………………………………….. 63
3.2 Konsep Penelitian ……………………………………….. 65
3.3 Hipotesis …………………………………………….. 66
BAB IV METODE PENELITIAN …..……………………………………. 67
4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………… 67
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………… 69
4.2.1 Lokasi Penelitian…………………………………….. 69
4.2.2 Waktu Penelitian…………………………………….. 70
4.3 Ruang Lingkup Penelitian………………………………….. 70
4.4 Penentuan Sumber Data ………………………………….. 70
4.4.1 Populasi ………………………………………… 70
4.4.2 Kriteria sampel………………………………………… 70
4.4.3 Pengulangan sampel…………………………………….. 71
4.4.4 Teknik penentuan sampel………………….…………. 71
4.4.5 Unit analisis ………………………………………… 72
4.5 Variabel Penelitian ………………………………………. 72
4.5.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel ……………….. 72
4.5.2 Hubungan antar variabel …………………………….. 73
4.5.2 Definisi operasional variabel ……………………….. 73
4.6 Bahan Penelitian ………………………………………….. 76
viii
4.7 Instrumen Penelitian ……………………………………. 77
4.8 Prosedur Penelitian ……………………………………… 78
4.9 Analisis Data ……………………………………………. 86
BAB V HASIL PENELITIAN ……………………………………….. 88
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ……………………………. 88
5.2 Perbandingan Kadar Estradiol Induk, Sel Sertoli, Sel Leydig,
Reseptor Androgen, dan Spermatogonia …………………. 90
BAB VI PEMBAHASAN ………………………………………… 101
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian …………………………….. 101
6.2 Perbandingan kadar estradiol induk, Sel Sertoli, Sel Leydig,
reseptor androgen, dan Spermatogonia antara kelompok kontrol
dengan Perlakuan. ………………………………………… 103
6.2.1 Kadar Estradiol Induk…………………………………. 103
6.2.2 Jumlah Sel Sertoli……………………………………… 105
6.2,3 Jumlah Sel Leydig …………………………………… 108
6.2.4 Jumlah Reseptor Androgen……………………………. 111
6.2.5 Jumlah Spermatogonia…………………………………. 113
6.3 Keterbatasan Penelitian ……………………………………… 117
6.4 Kebaharuan Penelitian ……………………………………… 117
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……………………………………… 119
7.1 Simpulan ……………………………………………… 119
7.2 Saran ……………………………………………… 120
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 121
LAMPIRAN - LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Testis merupakan gonad laki-laki yang berperan penting dalam fungsi
reproduksi. Organ tersebut di antaranya tersusun atas sel-sel germinal, sel Sertoli,
dan sel Leydig yang dibentuk sejak masa janin. Sel-Sel tersebut, masing-masing
memiliki fungsi utama yang berbeda, namun bersinergi satu dengan yang lainnya.
Sel Sertoli berperan dalam memelihara sel-sel geminal yang sedang berkembang.
Untuk melaksanakan peran tersebut, sel Sertoli membutuhkan hormon
Testosteron yang disintesis oleh sel Leydig. Dengan demikian, selama kehidupan
intrauterine testis memiliki dua fungsi utama, yaitu menyekresi hormon steroid
(steroidogenesis) serta mengatur perkembangan sel-sel germinal (gametogenesis).
Sel-Sel germinal primordial mengalami diferensiasi selama periode
gametogenesis. Diferensiasi pertama dari sel-sel germinal primordial, membentuk
gonosit yang selanjutnya berkembang menjadi spermatogonia. Perkembangan
tersebut dipengaruhi oleh hormon androgen. Spermatogonia kemudian mengalami
proses spermatogenesis ketika memasuki pubertas hingga menjadi spermatozoa
matang. Gangguan perkembangan pada sel-sel germinal tersebut dapat
menyebabkan infertilitas (Fritz dan Speroff, 2011).
Pasangan suami istri di dunia yang mengalami infertil diperkirakan oleh
World Health Organization (WHO) sebanyak 10-15%. Infertil yang disebabkan
oleh gangguan ovulasi sebesar 27%, dan kelainan spermatozoa sebesar 25%
2
(Barbieri 2014). Data tersebut didukung oleh hasil Riset kesehatan dasar
(Riskesdas) tahun 2013 yang menemukan 43,2% pasangan suami istri tidak
menggunakan kontrasepsi karena menginginkan anak. Di antara pasangan
tersebut, 15,5% tidak pernah menggunakan kontrasepsi.
Masalah spermatozoa sebagai penyebab infertil dapat berupa kelainan
morfologi, kelainan motilitas, dan konsentrasi spermatozoa yang kurang.
Kerusakan pada gonad, khususnya pada sel Sertoli maupun sel Leydig
menyebabkan spermatozoa yang dihasilkan tidak mampu melakukan fertilisasi.
Masalah tersebut mulai terjadi segera setelah konsepsi, melalui gangguan
mekanisme epigenetik (Barbieri, 2014).
Mekanisme epigenetik utama ada tiga, yaitu metilasi deoxyribose nucleic
acid (DNA), modifikasi histon dan non-koding ribonucleic acid (RNA) yang
secara kolektif membentuk komponen utama dari epigenome. Ketiga mekanisme
tersebut bekerja secara kooperatif dalam berbagai proses, termasuk inaktivasi X-
kromosom dan imprinting genom. Selama pembentukan ciri epigenetik,
modifikasi histon menyebabkan metilasi DNA yang memainkan peran utama
dalam pemeliharaan ciri pewarisan. Pemrograman ulang epigenetik utama terjadi
pada dua tahap perkembangan, yaitu (1) praimplantasi (membentuk ciri-ciri
epigenetik, kecuali gen yang tidak tercetak); dan (2) gonad bipotensial
(penghapusan gen yang tercetak dan penyusunan kembali jenis kelamin spesifik).
Ke dua tahap perkembangan tersebut sangat rentan terhadap paparan endocrine
disrupting chemical (EDC). Gangguan metilasi DNA oleh EDC dapat
memengaruhi ketiga lapisan germinal embrio, jika terjadi selama masa
3
praimplantasi dan memengaruhi ke dua jenis kelamin bila terjadi pada tahap
perkembangan gonad bipotensial (Uzumcu, dkk. 2012).
Sel germinal primordial pada manusia bergerak perlahan seperti amuba
dan tiba di gonad untuk membentuk gonad indifferent yang identik pada laki-laki
maupun perempuan ketika masa gestasi 4-6 minggu. Beberapa gen yang terlibat,
seperti Wilm’tumor supresor 1 (WT1), Steroidogenic factor 1 (SF1). Selanjutnya
terjadi diferensiasi seks sebagai proses kompleks yang melibatkan banyak gen. Di
bawah pengaruh protein Sex Region Y (SRY) dan lokus gen Y-linked tunggal atau
testis determining factor (TDF), terjadi perkembangan testis (Sadler, 2014).
Perkembangan testis selanjutnya membutuhkan Antimullerian hormone (AMH)
yang disekresikan oleh sel Sertoli serta hormon testosteron yang disekresikan oleh
sel Leydig. Diferensiasi sel ini dapat dihambat oleh hormon estrogen (Fritz dan
Speroff, 2011).
Diferensiasi sel germinal terjadi pada minggu ke-14 sampai minggu ke-15
kehidupan janin manusia, terjadi transformasi gonosit menjadi spermatogonia
janin yang dipicu oleh sekresi hormon testosteron yang semakin tinggi. Apoptosis
dapat terjadi sejak diferensiasi sel germinal primordial menjadi gonosit, dan akan
terus berlanjut sepanjang proses spermatogenesis. Apoptosis sel germinal
dimediasi oleh sinyal yang berasal dari sel Sertoli dan sinyal dari luar testis,
seperti kekurangan follicle stimulating hormone (FSH), Luteinizing hormone
(LH), dan/atau testosteron (Print dan Loveland, 2000). EDC dapat mengganggu
proses metilasi DNA pada masa perkembangan ini, sehingga memengaruhi
4
diferensiasi ke dua jenis kelamin. Bahkan, efek selama remetilasi dapat menjadi
jenis kelamin tertentu (Uzumcu, dkk. 2012).
Paparan EDC pada masa embriogenesis menurut Erb (2006), dapat
menyebabkan terjadinya proses teratogenesis, di antaranya berupa mutasi gen,
gangguan mitosis, perubahan integritas asam nukleat maupun fungsinya,
kurangnya prekursor dan substrat yang dibutuhkan untuk biosintesis, hambatan
enzim. Hal ini dapat mengganggu pembentukan dan perkembangan testis.
Diferensiasi sel germinal didahului oleh pembentukan dan diferensiasi Sel Sertoli
dan Sel Leydig yang menunjang perkembangan sel germinal tersebut.
Sel Sertoli terbentuk pada minggu ke-6 sampai ke-7 kehamilan yang
bergabung untuk membentuk korda testis, tempat tertanamnya sel-sel germinal
primordial. Sel Sertoli berkembang seiring dengan perkembangan Tubulus
seminiferus janin. Sel Sertoli pada kehidupan janin berfungsi untuk memberikan
nutrisi kepada sel-sel germinal, diferensiasi sel germinal, mencegah sel germinal
memasuki meiosis. Fungsi sel ini dipengaruhi oleh hormon testosteron yang
dihasilkan oleh Sel Leydig janin (Huff, 2011).
Diferensiasi Sel Leydig dimulai pada minggu ke-7 hingga ke-8 yang
diinduksi oleh hormon human Chorionic Gonadotropin (hCG). Sel ini berasal dari
sel-sel mesenkim yang mengelilingi korda testis. Proliferasi dan pematangan sel
Leydig janin selanjutnya dipengaruhi oleh LH. Sel Leydig berfungsi untuk
menyintesis testosteron yang dibutuhkan untuk maskulinisasi. Pada usia
kehamilan 17 minggu, sel Leydig janin mulai mengalami regresi dan
dediferensiasi (Huff, 2011). Kerusakan pada sel Leydig dapat mengganggu
5
diferensiasi sel germinal primordial dan perkembangan organ seks laki-laki
(Weinbauer, dkk. 2010; Clementi, dkk. 2014).
Proses perkembangan yang sama juga terjadi pada hewan mamalia, seperti
tikus yang diasumsikan memiliki kesamaan fisiologi tubuh dengan manusia
(Iannaccone dan Jacob, 2009). Diferensiasi seksual embrio tikus dari indifferent
gonad menjadi jantan atau betina dimulai ketika masa gestasi memasuki hari ke-
13. Diferensiasi sel Sertoli terjadi pada hari ke-13,5 pascakoitus. Sel Leydig fetus
mulai muncul dan berkembang saat usia kehamilan sekitar 14,5 hari. Sel ini mulai
menyekresi testosteron pada hari ke-15. Pada hari ke-16, korda testis memanjang
dan berliku-liku (Haider, 2004; Erb, 2006).
Pertumbuhan maupun perkembangan gonad janin laki-laki antara lain
dipengaruhi oleh hormon androgen yang dihasilkan oleh Sel Leydig. Hormon
tersebut bisa bekerja atau beraksi bila ada reseptor pada sel targetnya. Reseptor
androgen dikenal sebagai NR3C4 (nuclear receptor subfamily 3, group C,
member 4), di antaranya ditemukan pada nucleus Sel Leydig testis, maupun
gonosit (Gao, dkk. 2005).
Hormon estrogen dapat memengaruhi pertumbuhan dan fungsi gonad janin
laki-laki. Estrogen endogen menghambat perkembangan testis dan fungsi selama
masa janin dan neonatus. Reseptor estrogen β konsisten berada dalam korda
seminiferus mengendalikan gametogenesis, sedangkan REα hadir dalam Sel
Leydig janin yang mengatur steroidogenesis (Delbe, dkk. 2006). Estrogen
mengatur ekspresi gen StAR protein dan CYP11A1 yang dibutuhkan untuk
menyintesis hormon seks (Craig, dkk. 2011).
6
Isoflavon merupakan salah satu senyawa pengganggu endokrin atau EDC
karena memiliki efek estrogenik. Efek tersebut disebabkan oleh Isoflavon
memiliki rumus kimia mirip estrogen yang mampu berikatan kuat dengan reseptor
estrogen, serta bisa beraksi pada sel target estrogen. Senyawa ini di antaranya
terdiri-dari daidzein, genistein, dan glycitein. Isoflavan paling kuat adalah equol
(metabolit dari daidzein) (Patisaul dan Whitten, 2005; Bucar, 2013). Isoflavon
berikatan dengan reseptor REβ lebih kuat dari pada REα. Ketika kadar estrogen
rendah, isoflavon dapat bersifat agonis. Sebaliknya, bila kadar estrogen tinggi,
isoflavon bersifat antagonis / antiestrogenik (Kim dan Park, 2012).
Isoflavon banyak ditemukan pada kacang-kacangan maupan produk
olahannya, seperti tempe. Tempe dipertimbangkan sebagai pangan fungsional
karena kandungan gizi dan substansi aktif dengan komposisi zat gizi yang lebih
baik daripada kedelai. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang diuraikan bahwa tempe
merupakan salah satu jenis pangan yang baik untuk ibu hamil dan menyusui. Ibu
hamil dan menyusui dianjurkan mengonsumsi tempe empat porsi sehari yang
setara dengan 200 gram.
Penjelasan Retana-Marquez, dkk. (2012) bahwa, selain berinteraksi
dengan reseptor estrogen, isoflavon juga dapat mengatur konsentrasi estrogen
endogen dengan mengikat atau menonaktifkan beberapa enzim, seperti P450
aromatase, 5α-reductase, 17β-hydroxysteroid dehydrogenase (17β-OHDH),
topoisomerase, dan tyrosin kinase. Isoflavon dapat memengaruhi bioavailabilitas
hormon seks dengan mengikat atau merangsang sintesis sex hormone binding
7
globulin (SHBG). Pada Sel Leydig, isoflavon dapat menurunkan regulasi ekspresi
P450c17 (17α-hydroksilase) / C17-20 lyase (CYP17A1) (Svechnikov, dkk. 2010).
Diet tinggi fitoestrogen pada tikus jantan juga dapat menghambat
spermatogenesis, menginduksi apoptosis sel germinal, menurunkan ekspresi REα
dan reseptor androgen (RA) dalam kauda epididimis serta meningkatkan
lipoperoxidasi dalam spermatozoa di epididimis (Assinder, dkk. 2007).
Kim dan Park (2012) memaparkan, pemberian genistein dosis rendah pada
masa neonatal meningkatkan pelepasan LH yang diinduksi Gonadotropin
Realeasing Hormone (GnRH), sedangkan dosis tinggi menurunkan pelepasan LH.
Wang, dkk. (2014) menemukan pemberian isoflavon 100 mg/kg BB/hari dan 200
mg/kg BB/hari pada tikus betina sejak penyapihan hingga seksual matur
meningkatkan ekspresi mRNA dari gen yang berhubungan dengan apoptosis, yaitu
caspase-3.
Penemuan Adachi, dkk. (2004), bahwa pemberian injeksi genistein 1
mg/ekor/hari selama lima hari pada mencit yang berusia satu hari, menurunkan
ekspresi REα dan mRNA RA. Diuraikan dalam laporan Kim dan Park (2012),
bahwa suplementasi genistein dalam diet sebanyak 0,02% dan 0,1% sejak mulai
hamil (prenatal) hingga postnatal 21 hari tidak memengaruhi berat testis anak.
Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Sherrill, dkk. (2010), bahwa paparan
isoflavon kedelai pada masa perinatal tikus (12 hari pascakonsepsi hingga 21 hari
pascanatal) menginduksi aktivitas proliferatif sel Leydig dan meningkatkan
ekspresi reseptor LH, reseptor Androgen, dan reseptor estrogen pada sel Leydig
progenitor.
8
Isoflavon tempe merupakan antioksidan non-enzimatik yang mampu
menangkap radikal bebas (free radical scavenger). Genistein dapat menghambat
pertumbuhan sel kanker dengan menghambat aktivitas 5α-reductase (Winarsi,
2007). Suplementasi tepung tempe sebanyak 1 gram dan 2 gram per hari pada
tikus Wistar selama hamil dapat meningkatkan kadar glutation peroksidase dan
menurunkan kadar malondialdehid (MDA) anak tikus yang dilahirkannya
(Wibowo, 2013).
Tikus betina usia 2 bulan yang diberikan tepung tempe tanpa lemak selama
dua bulan, memiliki rata-rata kadar estrogen yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Kelompok Kontrol (Suarsana, dkk.2012). Penelitian pendahuluan yang
dilakukan oleh Budiani, dkk. (2016) pada 20 ekor tikus Wistar putih betina usia
12-13 minggu yang dibagi 5 kelompok, yaitu kontrol; genistein 10 mg/kg BB
(Genistein formula C15H10O5, memiliki kemurnian mendekati 99% diproduksi
Indofine Chemical Company, Inc., Hillsborough, New Jersey, USA); ekstrak
etanol tempe 0,5 g/kg BB; 1 g/kg BB; dan 5 g/kg BB. Perlakuan diberikan setiap
hari selama masa perikonsepsi (satu minggu sebelum dikawinkan, selama hamil
hingga penyapihan). Hasil yang diperoleh, kadar estradiol serum sebelum
perlakuan, sama pada seluruh kelompok. Setelah diberi perlakuan selama satu
minggu, kadar estradiol pada kelompok genistein dan ekstrak etanol tempe
cenderung meningkat dibandingkan sebelum perlakuan, dan lebih tinggi
dibandingkan dengan Kelompok Kontrol.
Anak tikus yang dilahirkan induk pada penelitian pendahuluan Budiani,
dkk. (2016), dibedah saat berusia 21 hari dan dilakukan pemeriksaan
9
histopatologi. Ditemukan bahwa, jumlah Sel Leydig pada anak tikus yang lahir
dari kelompok induk yang mendapat Genistein paling rendah dibandingkan
dengan anak yang lahir dari induk yang mendapat ekstrak tempe dan kontrol.
Namun, jumlah Sel Sertoli dan spermatogonia paling rendah pada anak tikus yang
induknya diberi ekstrak tempe 1 g/kg BB/hari.
Lofamia, dkk (2014) melaporkan, bahwa suplementasi isoflavon dosis
tinggi pada mencit betina (150 mg/kg berat badan per hari) selama masa
perikonsepsi, melahirkan anak mencit jantan yang memiliki tubulus seminiferi
yang rusak/tidak utuh dan sel spermatogenik tampak tidak berkembang dengan
gambaran yang tidak jelas. Musameh, dkk (2014) melaporkan hasil yang berbeda,
bahwa tikus jantan usia 50 hari yang mendapat paparan genistein dosis 10 mg
maupun 100 mg per kg berat badan per hari pada masa prenatal (induk diberikan
genistein per oral sejak kehamilan 10 hari hingga melahirkan) dilanjutkan
postnatal, anak jantan yang dilahirkan diberikan genistein, melalui injeksi
subkutan dosis yang sama, saat berusia satu hari hingga 21 hari, menunjukkan
aktivitas overstimulasi sel spermatogenik.
Temuan di atas menunjukkan bahwa pembentukan spermatogonia anak
yang mendapat paparan isoflavon sejak kehidupan janin, hingga saat ini belum
konsisten. Bahan penelitian yang digunakan juga tidak sama. Belum ada
penelitian pada hewan coba selama masa perikonsepsi menggunakan ekstrak
tempe kedelai varietas Wilis. Berdasarkan hal tersebut, perlu pembuktian lebih
lanjut tentang efek pemberian ekstrak etanol tempe kedelai Wilis yang
mengandung Genistein pada masa perikonsepsi terhadap pembentukan
10
spermatogonium anak tikus melalui peningkatan kadar estradiol induk serta
hambatan pembentukan Sel Sertoli, Sel Leydig, dan reseptor Androgen.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.2.1 Apakah kadar estradiol serum tikus betina (induk) yang mendapat ekstrak
etanol tempe per oral sebanyak 1g/kg BB/hari lebih tinggi dibandingkan
dengan tikus betina Kelompok Kontrol ?
1.2.2 Apakah jumlah sel Sertoli anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan oleh
induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari secara
oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
sel Sertoli anak tikus dari induk Kelompok Kontrol?
1.2.3 Apakah jumlah sel Leydig anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan oleh
induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari secara
oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
sel Leydig anak tikus dari induk Kelompok Kontrol?
1.2.4 Apakah jumlah reseptor androgen anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan
oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari
secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah reseptor androgen anak tikus dari induk Kelompok Kontrol?
1.2.5 Apakah jumlah spermatogonia anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan oleh
induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari secara
oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
spermatogonia anak tikus dari induk Kelompok Kontrol?
11
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengungkapkan mekanisme
hambatan pembentukan spermatogonia anak tikus melalui peningkatan estradiol
induk, hambatan pembentukan sel Sertoli, sel Leydig, dan reseptor androgen
setelah induknya mendapatkan ekstrak etanol tempe selama masa perikonsepsi.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.3.2.1 Membuktikan kadar estradiol serum induk tikus usia 21 hari yang
mendapat ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari secara oral lebih
tinggi dibandingkan dengan tikus betina Kelompok Kontrol.
1.3.2.2 Membuktikan jumlah sel Sertoli anak tikus tikus usia 21 hari yang
dilahirkan oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg
BB/hari secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah sel Sertoli anak tikus dari induk Kelompok Kontrol.
1.3.2.3 Membuktikan jumlah sel Leydig anak tikus usia 21 hari yang dilahirkan
oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg BB/hari
secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan dengan
jumlah sel Leydig anak tikus dari induk Kelompok Kontrol.
1.3.2.4 Membuktikan jumlah reseptor androgen anak tikus usia 21 hari yang
dilahirkan oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg
BB/hari secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan
12
dengan jumlah reseptor androgen anak tikus dari induk Kelompok
Kontrol.
1.3.2.5 Membuktikan jumlah spermatogonia anak tikus usia 21 hari yang
dilahirkan oleh induk yang diberikan ekstrak etanol tempe sebanyak 1g/kg
BB/hari secara oral selama masa perikonsepsi lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah reseptor androgen anak tikus dari induk Kelompok
Kontrol.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini menemukan mekanisme hambatan pembentukan
spermatogonia karena paparan ekstrak etanol tempe yang mengandung Genistein
yang diberikan per oral selama masa perikonsepsi (sejak prakonsepsi hingga
penyapihan). Pemberian ekstrak etanol tempe mampu meningkatkan kadar
estradiol serum induk, yang dapat mengganggu diferensiasi dan proliferasi sel
Sertoli dan sel Leydig janin. Ke dua sel memiliki jumlah yang tidak memadai. Sel
Leydig tidak mampu menyintesis androgen sesuai kebutuhan, sehingga tidak
cukup untuk mendukung fungsi dan keberlangsungan hidup sel Sertoli maupun sel
Leydig. Gangguan perkembangan pada ke dua sel tersebut menyebabkan jumlah
Reseptor Androgen yang terbentuk pada ke dua sel tersebut lebih rendah. Hal ini
menyebabkan hormon Androgen tidak mampu bekerja pada sel Sertoli dan sel
Leydig, sehingga terjadi gangguan diferensiasi sel germinal primordial menjadi
13
gonosit, dan dari gonosit menjadi spermatogonium. Dengan demikian, jumlah
spermatogonium menjadi lebih rendah.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini membuktikan, bahwa ekstrak etanol tempe kedelai Wilis
yang mengandung genistein dapat menghambat pembentukan spermatogonia pada
anak tikus. Temuan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk upaya
menghindari atau mencegah terjadinya gangguan pembentukan spermatogonia,
setidaknya pada hewan sejenis. Kemungkinan dapat diterapkan pada manusia,
setelah dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini dapat dilanjutkan untuk
menemukan penanda lain yang menunjukkan gangguan / hambatan pembentukan
sel Leydig, sel Sertoli, reseptor androgen, dan spermatogonia karena pemberian
ekstrak etanol tempe, seperti konsentrasi testosteron, konsentrasi AMH, ekspresi
reseptor AMH.