abstrak - instika
TRANSCRIPT
CORAK FIKIH DI MADURA
(Studi atas Manuskrip Berbahasa Madura ‘Miftahul
Jannah’ di Sumenep Jawa Timur)
Ah. Mutam Muchtar
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep [email protected]
Abstrak
Artikel ini mengelaborasi manuskrip berbahasa Madura dengan judul “Miftahul Jannah fi Anwa’i Kaifiyatis Sholah wan Niyah” (Kunci Surga [berisi] tentang Ragam Cara Sholat dan Niat). Manuskrip berbahasa Madura ini ditemukan di Desa Tambaagung Ares, Kecamatan Ambunten, Sumenep, Jawa Timur. Dari manuskrip ini, dapat ditemukan data penting berkaitan dengan corak Fikih yang berkembang di Madura, yaitu Fikih Madzhab Syafi’iyah. Kata Kunci: Fikih, Miftahul Jannah, Manuskrip, Madura
Pendahuluan
Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa, termasuk kaya
dengan cerita-cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan hikmah yang
diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang bangsa
Indonesia. Tidak saja warisan itu berupa tradisi tutur, melainkan
ditulis dalam naskah-naskah kuno; dengan tulisan tangan—bahkan
sesuai daerahnya, ‚kertas‛ yang sangat unik, dalam bahasa daerah,
dan dalam bingkai kebudayaan yang khusus. Naskah-naskah kuno
itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Manuskrip. Fakta
menunjukkan bahwa manuskrip-manuskrip yang sangat kaya dan
menyimpan kebijaksanaan serta bukti dari sejarah Bangsa Indonesia
ini telah diambil oleh bangsa lain—seperti Belanda, Inggris, Italia,
54|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
dan Jerman1—dan menjadi kekayaan mereka. Padahal naskah-naskah
itu sebagai bukti sejarah yang otentik dan orijinal yang menyimpan
pengalaman, pikiran, dan perasaan para leluhur Nusantara.2
Namun demikian, manuskrip-manuskrip yang masih
tersimpan dan terpendam di daerah-daerah di Indonesia dan selamat
dari tangan-tangan penjajah masih sangat banyak. Berdasar laporan
para pengkaji manuskrip disebutkan bahwa naskah-naskah kuno
masih terus didata, dilakukan inventarisasi, dan dilakukan
pengkajian. Di Jawa Timur saja, umpanya, tercatat 242 naskah yang
ditemukan dan diinventarisir.3 Meski demikian, pengumpulan dan
inventarisasi secara sistematis masih belum dilakukan secara
maksimal. Misalnya, mengacu kepada laporan Henri Chambert-Loir
dan Oman Fathurrahman, bahwa naskah asal Madura yang tersimpan
di perpustakaan masih belum sampai 500 buah.4 Hal ini menunjukkan
bahwa penelusuran, inventarisasi, dan pengungkapan isinya sangat
penting dilakukan.
Madura, khususnya Sumenep, juga memiliki kekayaan
manuskrip yang sangat luar biasa. Manuskrip-manuskrip yang
‚selamat‛ dari tangan-tangan penjajah ini adalah manuskrip yang
dimiliki oleh pribadi-pribadi, seperti kiai kampung, sehingga tidak
terlacak oleh penjajah. Sejumlah manuskrip atau naskah-naskah kuno
itu dibawa ke Inggris, ketika Raffles menjabat sebagai Gubernur
1 Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 127. 2 Dwi Laily Sukmawati, Inventarisasi Naskah Lama Madura, Jurnal
Manuskripta, Vol. 1, No. 2, 2011, hlm. 17. 3 Ibid., hlm. 22. 4 Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman, Khazanah Naskah, hlm.
127.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |55
Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1811-1816. Untungnya, yang
disasar oleh para penjajah itu adalah naskah kuno yang dimiliki oleh
kerajaan atau Kraton—dalam kasus Sumenep adalah Katon Sumenep.
Bahkan, Kerajaan Inggris memberikan hadiah berupa Kereta Kencana
(duplikasi ada di Museum Sumenep) kepada Sultan Abdurrahman
(memerintah di Kraton Sumenep pada tahun 1811-1854) karena
Sultan Abdurrahman dinilai berjasa membantu penelitian yang
dilakukan Raffles. Sedangkan manuskrip yang dimiliki oleh para kiai
kampung, masih tersimpan dengan baik dan diwariskan secara turun
temurun kepada anak cucu mereka.5
Sejumlah manuskrip ini berkaitan dengan perkembangan
keagamaan masyarakat Muslim Sumenep Madura. Manusia Madura
adalah manusia yang menghiasi jiwanya tidak saja dengan ilmu
pengetahuan, tetapi yang terpenting adalah menghiasi diri dengan
akhlak, moralitas, kesopanan, saling menghormati, serta kesantunan
pada sesama. Manusia Madura adalah juga manusia yang memiliki
kepatuhan dan ketaatan—bahkan kefanatikan—kepada Agama Islam
yang tinggi. Ketaatan dan kepatuhan ini tidak bisa dilepaskan dari
masuknya Islam ke Madura, yaitu sekitar abad XV dan dengan pelan
tapi pasti dianut secara merata oleh masyarakat Madura.6
Sebelum Islam masuk ke Madura dan dianut secara merata,
masyarakat Madura masih memeluk Hindu dan Budha dan bahkan
sebelumnya animisme. Rifai7 memberikan bukti bahwa di pulau
5 Dengan temuan yang hampir sama, disebutkan dalam oleh Oman
Fathurahman dalam Oman Fathurahman, Filologi dan Penelitian Teks-Teks Keagamaan, Jurnal Al-Turas, Vol. 9, No. 2, Juli 2003, hlm. 110-111.
6 Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura, (Yogayakrta: Pilar Media, 2007),
hlm. 42. 7 Ibid., hlm. 42.
56|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
Sepudi terdapat peninggalan bangunan megalitik berupa Bato
Kennong (batu kenong) dan Bato Egghung (batu gong) dan Menhir.
Setelah Islam masuk sekitar abad XV, pelan-pelan mengubah pola
dan praktik keyakinan masyarakat Madura. Menjelang akhir abad
XIX, di desa Kademangan Bangkalan sudah berdiri sebuah pesantren
besar yang didirikan dan diasuh oleh KH. Muhammad Kholil.
Pesantren ini sangat populer di Nusantara dan, menurut penelitian
Dhofier dan Bruinessen,8 pendiri sejumlah pesantren di Indonesia
adalah murid dan hasil didikan KH. Muhammad Kholil, Bangkalan.
Dalam konteks keberagamaan, masyarakat Madura sangat patuh,
taat, atau bahkan sangat fanatik dan terus diwariskan kepada generasi
penerusnya melalui pendidikan dan pewarisan nilai-nilai, salah
satunya berlangsung di langgar, pesantren, dan madrasah.
Sejumlah manuskrip itu memberikan gambaran kepada kita
akan wajah dari Islam di Madura. Manuskrip yang dimaksud di sini
adalah manuskrip dalam bidang Fikih (Syari’ah). Naskah ini
merupakan kekayaan yang luar biasa sehingga mendesak untuk digali,
diinventarisir, dan dikaji isi dan pengaruhnya berkaitan dengan wajah
Islam di Madura. Melalui para kiai kampung di Sumenep Madura ini,
manuskrip yang sangat berharga ini dikumpulkan dan dilakukan
kajian.
Artikel ini akan fokus kepada (1) Bagaimana isi teks
manuskrip berbahasa Madura bidang Fikih dan Tasawuf di Sumenep
Jawa Timur? (2) Bagaimana corak penulisan manuskrip berbahasa
8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 91-92. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 307.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |57
Madura bidang Fikih dan Tasawuf di Sumenep Jawa Timur dan
pengaruhnya pada Wajah Islam di Madura?
Penelitian sebelumnya telah banyak dilakukan dan
dipublikasikan. Dapat disebut di sini, penelitian Oman Fathurahman
pada Juli 2003 dengan judul Filologi dan Penelitian Teks-Teks
Keagamaan.9 Juga dilakukan oleh Dwi Laily Sukmawati yang
berjudul Inventarisasi Naskah Lama Madura di Jurnal Manuskripta.10
Di tahun yang sama, Tengku Abdullah Sakti memublikasikan
hasil penelitiannya dengan judul Perkembangan dan Pelestarian
Manuskrip Arab Melayu di Aceh pada Jurnal Sejarah Citra Lekha.11
Satu tahun kemudian, 2012, Faizal Amin membuat laporan yang
cukup panjang dengan judul Potensi Naskah Kuno di Kalimantan
Barat: Studi Awal Manuskrip Koleksi H. Abdurrahman Husin
Fallugah Al-Maghfurlahu di Kota Pontianak di Jurnal Thaqafiyyat.
Kerangka Teori
Penelitian pada artikel ini menggunakan Teori Resepsi. Teori
ini akan digunakan untuk menelaah sejumlah naskah atau manuskrip
di Sumenep Madura dalam bidang Fikih. Teori Resepsi dicetuskan
oleh Hans Robert Jauss. Sejatinya, teori ini berasal dari penelitian
dalam bidang sastra. Dalam hal ini, maka manuskrip diposisikan
sebagai sebuah karya sastra. Bagi Jauss, sebagaimana dikutip oleh
Fadlil Munawwar Manshur, bahwa karya sastra bukan objek yang
berdiri sendiri, melainkan mirip dengan orkestrasi yang selalu
9 Oman Fathurahman, Filologi dan Penelitian Teks-Teks Keagamaan,
Jurnal Al-Turas, Vol. 9, No. 2, Juli 2003. 10 Dwi Laily Sukmawati, Inventarisasi Naskah Lama Madura, Jurnal
Manuskripta, Vol. 1, No. 2, 2011, 11 Tengku Abdullah Sakti, Perkembangan dan Pelestarian Manuskrip Arab
Melayu di Aceh, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011.
58|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
memberi nuansa baru kepada pembacanya. Posisi pembaca, di tangan
Jauss, sangatlah penting karena di hadapan pembaca-lah karya sastra
itu dinilai dan diinterprestasi ketika karya itu muncul. Inilah yang
dikenal dengan ‚Horison Harapan‛.12
Maka naskah-naskah yang ada
di Sumenep Madura ini ditempatkan sebagai sebuah karya sastra.
Sebagai sebuah konsep dalam Teori Resepsi ini, Horison
Harapan ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu:
1. Norma-norma umum hasil dari bacaan pembaca atas
teks-teks,
2. Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki pembaca atas
teks-teks yang pernah dibacanya sebelum
‚perjumpannya‛ dengan teks yang sedang dibaca, dan
3. Pertentangan antara fiksi dan kenyataan.13
Kemudian, terdapat sejumlah langkah yang sangat tepat
digunakan dalam penelitian manuskrip yaitu Teori Tekstologi. Teori
ini menjadi bagian dari Filologi. Maka, pendekatan penelitian ini
adalah Filologis. Teori yang akan dipakai adalah Teori Tekstologi.14
Langkah-langkah dari teori ini sebagai berikut:
1. Pilih Topik atau Naskah Kuno Yang Terpinggirkan,
yang belum tersentuh.
12 Fadlil Munawwar Manshur, Resepsi Kasidah Burdah Al-Bushiry dalam
Masyarakat Pesantren, Jurnal Humaniora, Vol 18, No 2, Juni 2006, hlm. 104. 13 Dikutip dari Iffah Fauziah Rahardy, Hikayat Nur Muhammad Suntingan
Teks Dan Analisis Resepsi Sastra, Tesis pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada, (Yogyakarta: UGM, 2017), hlm. 13. 14 Mahrus eL-Mawa, Critical Philology of Islamic Manuscript: Studi Kasus
atas Filologi Pesantren di Indonesia, makalah Workshop Peningkatan Mutu
Penelitian Islam Nusantara, INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep, 6 Januari 2019, hlm.
17.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |59
2. Buat argumen, mengapa topik atau naskah kuno itu
penting dan layak untuk diteliti
3. Kaitkan topik atau naskah kuno tersebut dengan aspek
teori sosial kritis dengan sejarah kehidupan manusia
4. Kaitkan kandungan isi naskah kuno dengan
perkembangan keilmuan kontemporer
Dengan studi naskah kuno tersebut mampu menemukan
pengetahuan baru, yang awalnya terpinggirkan menjadi sesuatu yang
mencerahkan dan mampu munculnya kesadaran untuk social
change.15
Metode Penelitian Naskah
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah
Metode Filologi. Metode yang berangkat dari asumsi dasar mengenai
karakteristik naskah-naskah lama sebagai heritage yang diduga kuat
mengandung buah pikiran, perasaan, tradisi, adat-istiadat, dan budaya
yang pernah ada dan dianggap masih relevan dengan kondisi
kekinian.16
Dalam kerja penelitian Filologi ini, ada beberapa
langkah—dan langkah inilah yang akan dipakai dalam penelitian
ini—dalam penelitian Filologi, yaitu:
1. Pemerian Naskah
2. Kritik Teks
3. Terjemahan (jika perlu), dan
4. Analisis Isi.17
15 Ibid. 16 Oman Fathurahman, Filologi dan Penelitian Teks-Teks Keagamaan,
Jurnal Al-Turas, hlm. 112. 17 Ibid., hlm. 113-119.
60|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
Pemerian Naskah atas naskah-naskah yang telah diperoleh.
Langkah ini dengan cara mengisi data-data penting, meliputi: (a) data
publikasi naskah, (b) kode dan nomor naskah, (c) judul naskah, (d)
pengarang, (e) penyalin, (f) tahun penyalinan, (g) tempat
penyimpanan naskah, (h) asal naskah, (i) pemiliki naskah, (j) jenis
alas naskah, (k) kondisi fisik naskah, (l) penjilidan, (m) ada/tidak
adanya cap kertas (watermark), (n) jumlah kuras dan lembar kertas,
(o) jumlah halaman, (p) jumlah baris pada setiap halaman, dan (q)
huruf dan bahasa yang digunakan.
Kritik Teks adalah menempatkan teks pada tempat yang
sewajarnya, memberikan evaluasi pada teks, dan meneliti atau
menelaah lembaran-lembaran teks tersebut. Kemudian, teks yang
telah selesai dikritik, maka kemudian dilakukan (Pe)Terjemahan atas
naskah tersebut. Dalam hal manuskrip yang berbahasa Madura, maka
dilakukan penerjemahan ke Bahasa Indonesia. Penerjemahan dari
Bahasa Madura ke Bahasa Indonesia ini dilakukan secara bebas tapi
tidak keluar dari substansi dan tetap berpedoman pada Kamus Bahasa
Madura-Indonesia. Kemudian, tahap Analisis Isi dari naskah yang
akan kami teliti.
Manuskrip “Miftahul Jannah” dan Corak Fikih di Madura
Kiai Madura adalah kiai penulis. Laporan Damanhuri
menjadi petunjuk sekaligus justifikasi akan hal tersebut.18
Dalam artikel ini, akan dibahas naskah yang disalin oleh H.
18 Damanhuri, ‚Kitab-Kiai Madura: Kuasa Teks dan Otoritas Keagamaan‛ dalam
Ade Yamin, Damanhuri, dkk., Islam Indonesia: Dialektika Agama, Budaya, dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2020), hlm. 62-67
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |61
Ubaidi (Dusun Candi, Desa Tambaagung Ares, Kecamatan
Ambunten). Naskah ini ditemukan di kediamannya.
Manuskrip ‚Miftahul Jannah‛ ini berada dalam aras
Fikih dan Aurod (sejumlah doa atau wiridan). Walaupun
manuskrip ini adalah naskah salinan kitab, tetapi manuskrip ini
memiliki arti penting dalam aspek-aspek berikut: (1) Berisi
cara-cara penyelesaian ibadah sehari-hari yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. (2) Terdapat sejumlah doa
keseharian. Sangat praktis. Salinan naskah ini juga memiliki
sisi keunikan, yaitu pada: (1) Penyalin naskah masih hidup.
Kemudian, yang ke (2) Terdapat keterangan transmisi
atau jaringan keilmuan dari penyalinnya, selama aktivitas
mencari ilmu di sejumlah pesantren. (3) Penyalinan dilakukan
secara total, hingga daftar isi kitab tersebut. (4) Naskah disalin
oleh seorang kiai kampung yang memimpin pengajian,
kompolan muslimatan, kompolan khotmil Qur’an, dan sebuah
Madrasah Diniyah Takmiliyah yang tidak terlalu besar.
1. Pemerian Naskah
Naskah ini memiliki judul: ‚Miftahul Jannah fi Anwa’i
Kaifiyatis Sholah wan Niyah‛ (Kunci Surga [berisi] tentang
Ragam Cara Sholat dan Niat). Naskah ini adalah salinan atas
kitab dengan judul yang sama, yaitu ‚Miftahul Jannah fi
Anwa’i Kaifiyatis Sholah wan Niyah‛. Dari judul manuskrip
ini, dapat dipahami bahwa isinya di seputar sholat—dengan
62|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
ragamnya, mulai yang maktubah (wajib, sholat 5 waktu),
sunnah (anjuran), sampai masalah jama’-qashar (menggabung-
meringkas). Kemudian berisi tentang doa-doa, bahkan pada
halaman 21, terdapat doa dan azimat untuk keselamatan pada
Hari Rabu terakhir Bulan Shafar (Rebo Bekawasan atau Rebo
Wekawasan).
Penyalin naskah ini adalah H. Ubaidi. Naskah disalin
dari kitab asli dengan judul yang sama. Berdasar tulisan pada
cover manuskrip ini, terlihat jelas bahwa kitab asli yang disalin
oleh H. Ubaidi ini adalah milik Abdus Shomad Al-Bukhori
teman sepondoknya di Pesantren Kademangan, Bangkalan;
pesantren yang didirikan oleh Syaikhona Kholil. Abdus Shomad
Al-Bukhori berasal dari Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo, Asembagus, Situbondo (lihat foto manuskrip).
Sedangkan pengarang kitab asli—yang disalin oleh H. Ubaidi
ini—adalah Baihaqi Ismail. Peneliti tidak menemukan
keterangan sama sekali tentang Baihaqi Ismail ini.
Pada cover (bagian atas), terdapat kalimat yang ditulis
oleh penyalin, sebagai berikut (terjemah). Lebih jelas, lihat
foto:
“(salinan) ini milik yang fakir pada rahmat Tuhanya
Yang Maha Melihat, Ubaidi. (Salinan ini) ditulis di
kertas-kertas yang halus (tulisan Lathifah [yang halus]
dicoret, tapi masih terlihat)”.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |63
Pemilik dan Penyimpan naskah salinan ini adalah H. Ubaidi,
penyalin sendiri. Manuskrip ini disimpan di rak kitab di rumah H.
Ubaidi. Naskah ini berukuran: panjang 21,5 cm. lebar: 16 cm. Jumlah
baris naskah adalah 14 baris (jumlah halaman keseluruhan adalah 48
64|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
halaman). Jenis kertas yang digunakan adalah kertas buku. Kolofon:
naskah ini tidak memiliki kolofon. Sehingga tidak ditemukan tanggal
dan tahun manuskrip ini mulai ditulis dan diselesaikan. Topik dari
naskah ini adalah Fikih dan Doa-Doa. Fikih yang dimaksud adalah di
seputar niat dan sholat; cara pelaksanaan dan penyelesaiannya.
2. Foto dan Terjemah Naskah
Naskah ini menggunakan Bahasa Madura halus yang
ditulis dengan huruf Arab. Jadi, naskah ini menggunakan Arab
Pegon.19
Kecuali pada kalimat-kalimat yang merupakan bacaan
doa dan lain-lain. Namun penjelasan dan pengantarnya, tetap
menggunakan Bahasa Madura. Untuk lafadz niat, misalnya Niat
Sholat Dhuhur, atau Niat Membayar Zakat Fitrah, selain
menggunakan Bahasa Arab (pada lafadz-nya), disertai dengan
makna dalam Bahasa Madura yang ditulis dalam Huruf Arab.
Dalam konteks ini, berikut foto naskah pada halaman 6.
Agar mudah dipahami, setelah peneliti menampilkan foto,
peneliti akan menyalinnya kedalam Bahasa Indonesia:
19 Zainul Milan Bisawi, Masterpiece Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka
Compass, 2016), hlm. 12.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |65
Berikut peneliti terjemahkan pada masing-masing barisnya.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa masing-masing halaman
dari manuskrip ini berisi 14 baris. Terjemahan sebagai berikut:
/Baris 1:
Sholat karena Allah SWT. ط Rukun-rukun
Tayammun ada 5: satu, “memindah” debu (tidak
menepuk debu di satu tempat);
/Baris 2:
dua, niat; tiga, mengusap muka (dengan debu
tipis); empat, mengusap kedua tangan sampai
siku;
/Baris 3:
lima, tartib (sesuai urutan) antara dua usapan,
yakni:
/Baris 4:
Mengusap muka dan tangan ط Lafadz niat
wudlu: Nawaitul Wudlu‟-a li Rof‟il Hadatsil
/Baris 5:
Asghari Fardhan liLlahi Ta‟ala. Saya niat
berwudlu karena ingin menghilangkan hadats
/Baris 6:
66|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
yang kecil, fardlu karena Allah SWT. ط Lafadz
niat mandi janabah (mandi karena junud):
Nawaitu Ghuslan li Rof-„i
/Baris 7:
Hadatsil Akbari Fardan liLlahi Ta-„ala. Saya
niat mandi mandi junub karena ingin
menghilangkan
Baris 8:
hadats yang besar, fardlu karena Allah SWT. ط
Lafadz niat (mandi) haid: Nawaitu
/Baris 9:
Ghuslan li Rof-„i Hadatsil Haidli Fardhan
liLlahi Ta-„ala. Saya niat mandi wajib
/Baris 10:
karena ingin menghilangkan hadats haid, fardlu
karena Allah SWT.
/Baris 11:
Lafadz niat nifas: Nawaitu Ghuslan li Rof-„i
Hadatsin Nifasi
/Baris 12:
Fardhan liLlahi Ta-„ala. Saya niat mandi karena
ingin menghilangkan hadats
/Baris 13:
nifas fardhu karena Allah SWT. ط Lafadz niat
wiladah (melahirkan)
/Baris 14:
Nawaitu Ghuslan li Rof‟-i Hadatsil Wiladati
Fardhan liLlahi Ta-„ala. Saya niat (bersambung
ke halaman 7)
3. Kritik Teks
Membaca naskah “Miftahul Jannah” ini, terdapat
beberapa catatan: pertama, naskah ini adalah salinan atas kitab
aslinya dengan judul yang sama. Jadi, naskah ini bukan
karangan dari H. Ubaidi, melainkan salinan. Maka, H. Ubaidi,
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |67
dalam hal ini, sebagai penyalin, bukan pengarang. Kedua, apa
yang dibahas dalam naskah ini berfokus pada dua hal: sholat
(serta yang berkaitan dengannya) dan doa-doa. Tapi karena tidak
terlalu tebalnya naskah ini, maka di dalamnya tidak
ditemukan—misalnya—perbedaan dan kajian dari sisi Fikih,
antar Ashhabul Madzhab sekalipun. Lebih tepatnya, isi dari
naskah ini berupa petunjuk-petunjuk, bukan “kajian” atas
masalah Fikih di seputar Sholat.
Ketiga, tidak ada pemisah berupa Kitab, Bab, atau
Fashal pada naskah ini ketika akan berpindah pembahasan—
atau lebih tepatnya “petunjuk ibadah” lain. Sehingga naskah ini
tampak lebih ringkas dan tentu ada aspek praktisnya. Namun
bagi yang jeli, sebenarnya ada dua “tanda” yang terdapat pada
setiap halaman yang di dalamnya ada “perpindahan” masalah
yang ditulis, yang bisa dijumpai, yaitu: nomor dengan angka
Arab dan tulisan Huruf ط (Tho‟). Nomor angka Arab—sebagai
indikator perpindahan masalah—ditulis di pinggir garis luar di
samping kanan tulisan (lihat foto naskah).
Sedangkan tulisan Huruf ط (Tho‟) terdapat di dalam
“badan” tulisan naskah ketika ada “perpindahan” masalah yang
ditulis. Misalnya pada halaman 6 yang terdapat di dalam foto di
atas, tulisan Huruf ط (Tho‟) dapat dijumpai pada baris ke-1, ke-
3,20
ke-4, ke-6, ke-8, dan baris ke-13. Di setiap ada tulisan Huruf
20 Sangat kecil, hampir serupa dengan huruf pada umumnya di halaman
tersebut.
68|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
tersebut, menjadi petunjuk kepada pembaca naskah ini (‟Tho) ط
atau manuskrip “Miftahul Jannah” ini kalau “pembahasan” di
dalamnya telah berpindah ke masalah lain.
Misalnya pada baris ke-1, terdapat tulisan Huruf ط
(Tho‟) sebagai pemisah dari pembahasan sebelumnya—terdapat
pada halaman 5—dan dimulainya penyebutan rukun-rukun
Tayammum. Kemudian pada baris ke-4 dari penyebutan rukun-
rukun Tayammum—yang dimulai dari baris ke-1, telah berganti
dengan penyebutan Lafadz Niat Mandi karena Junub. Demikian
seterusnya.
Pada setiap terdapat tulisan Huruf ط (Tho‟) di tengah
tulisan, maka dapat dipastikan di pinggir—luar garis kertas yang
peneliti sangat yakin dibuat oleh penyalin—terdapat nomor.
Pada halaman 6, seperti foto di atas, hal ini terbukti: bahwa
setiap di tengah tulisan ada tulisan Huruf ط (Tho‟), di pinggir
kertas, di luar garis, selalu ada nomor atau angka Arab. Hanya
pada baris ke-11 yang di pinggir (di luar garis) terdapat angka
Arab 13, tidak ada tulisan Huruf ط (Tho‟) di bagian dalamnya.
Peneliti duga bukan karena penyalin lupa, tetapi karena
perpindahan masalah yang disebutkan di dalam—lebih tepatnya
pada baris ke-11 ini—kebetulan sesuai dengan perpindahan
baris pada kertas tersebut. Barangkali—dugaan peneliti—
penyalin yakin kalau pembaca—atau setidaknya penyalin
sendiri—tidak akan salah dalam membaca naskah tersebut.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |69
Kalau kita melihat naskah ini pada halaman 6 yang
gambarnya terdapat di atas, dapat ditemukan bahwa pada baris
ke-1, yang terdapat tulisan Huruf ط (Tho‟) di bagian
kalimatnya, pada bagian pinggir halaman, di luar garis, terdapat
angka huruf Arab 9. Demikian pula pada baris ke-4, yang di
dalamnya terdapat tulisan Huruf ط (Tho‟), pada pinggir
halaman tertulis angka Arab 10.
Salah satu kekuatan dalam naskah ini adalah penggunaan
Bahasa Madura sebagai penjelasan maupun makna atas
sejumlah bacaan dalam niat sholat atau dalam sholat serta
beberapa doa. Ini memberikan kemudahan dan sisi praktis
kepada masyarakat Madura. Aspek lainnya adalah bahwa
penyertaan makna dari sejumlah bacaan dengan makna Bahasa
Madura dapat membantu masyarakat Madura untuk lebih
mengerti bacaan yang dibaca serta membantu tercapainya
penghayatan atas ibadahnya. Penghayatan atas ibadah
merupakan tangga atas tercapainya derajat khusyuk. Inilah di
antara kekuatan yang tersimpan di dalam manuskrip ini.
4. Analisis Teks
Manuskrip ini menberikan beberapa petunjuk kepada
peneliti, yaitu bahwa: (1) Terdapat kepedulian yang berpadu
dengan cinta dan kasih sayang dari para penyebar Islam atau
ulama dan tokoh agama di Madura kepada masyarakat Islam di
Madura yang memiliki pengetahuan agama tidak terlalu tinggi.
Semangat ingin membantu, menyayangi, dan kepedulian yang
70|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
tinggi ini kemudian dipadu dengan keilmuan yang para ulama
itu miliki sehingga mereka membuat kitab yang berbahasa
Madura. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa isi naskah ini
lebih tepat sebagai “penyebutan” bukan “pembahasan” di
seputar masalah sholat, niat sejumlah ibadah, dan beberapa doa.
Jadi di dalamnya tidak terdapat perbedaan pendapat antar
madzhab, minimal antar ulama dalam satu madzhab;21
Madzhab
Syafii, misalnya.
Tentu saja absennya hal ini di dalam manuskrip
“Miftahul Jannah” ini karena peruntukannya kepada orang
Islam yang tidak memiliki pengetahuan agama yang terlalu
tinggi. Mereka pun tidak membutuhkan perbedaan pendapat di
kalangan para ulama. Bagi mereka yang terpenting adalah
mereka mampu melaksanakan sholat dengan lafadz niat yang
benar. Itu saja. Syukur-syukur bisa mengerti maknanya dalam
Bahasa Madura. Itu saja. Sudah cukup. Perdebatan mengenai
seluk-beluk sholat berdasar kajian hadits dan tarikh, serta
aqwalul „ulama (pendapat-pendapat para ulama) biarlah menjadi
urusan para ulama dan intelektual saja. Bagi masyarakat awam,
“Miftahul Jannah” sudah cukup.
Kondisi masyarakat Madura yang demikian menjadi
perhatian dan kegelisahan dari para kiai dan ulama, termasuk
pengarang dan penyalin “Miftahul Jannah” ini. Maka
“Miftahul Jannah” adalah perwujudan dari pola keberagamaan
21 Dalam kajian Fikih, ini dikenal dengan Ash-habul Madzhab.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |71
dan paham keIslaman dan kemasyarakatan yang dianut dan
dikembangkan oleh para tokoh agama di Madura. Tokoh agama
di Madura bukan tipe ulama yang tidak mau mengerti akan
kondisi umat dengan menyatakan kepada semua orang “Jangan
ikut kata ulama’. Jangan taklid! Kita harus kembali ke Al-
Qur’an dan Hadits. Jangan melakukan ajaran agama karena ikut
orang. Pedoman kita jelas: AlQur’an dan Hadits!”. Orang yang
memiliki keterbatasan dalam pengetahuan agama tidak bisa
dibebani dengan beban yang sama dengan mereka yang memang
memiliki pengetahuan yang cukup dalam pengetahuan agama.
Jargon “kembali ke Al-Qur’an dan Hadits” tentu saja
tidak bisa disamarakatan kepada semua lapisan masyarakat.
Ulama dan kiai Madura menyadari hal itu dengan sepenuhnya.22
Maka mereka membuat kitab yang dikhususkan untuk lapisan
masyarakat yang demikian. Naskah “Miftahul Jannah” adalah
salah satu buktinya. Hal ini bisa kita temukan jawabannya dari
tiga hal:
a. Penggunaan Bahasa Madura dalam naskah “Miftahul
Jannah”.
b. Isi kitab “Miftahul Jannah” yang tidak memasukkan
pembahasan dan perdebatan dari para ulama tentang
sholat dan seterusnya.
22 KH. Marzuki Mustamar, Al-Muqtathofat li Ahli Al-Bidayat, (Surabaya:
Muara Progresif, 2016), hlm. 109
72|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
c. Dari pengantar pengarang yang juga disalin oleh
penyalin naskah. Pengantar tersebut dapat dijumpai
pada foto di bawah ini:
Analisis (2) Pada halaman 2-3 manuskrip salinan ini
atau pada awal-awal isi kitab, pengarang lebih dulu memulai isi
kitabnya dengan Rukun Islam dan Rukun Iman. Kemudian
dilanjutkan dengan uraian tentang pembagian Hukum.
Pengarang menyebutkan bahwa Hukum itu ada tiga:
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |73
a. Hukum Syar‟i. Hukum Syar’i ada dua: Taklifi dan
Wadh‟-i.
b. Hukum „Aqliy.
c. Hukum „A-dah (kebiasaan). (terdapat dalam foto
naskah berikut).
Uraian tentang Rukun Iman, Rukun Islam, dan Macam-
Macam Hukum di bagian awal dari manuskrip ini—dan
setelahnya baru diurai tentang wudlu‟, tayammum, mandi, dan
seterusnya—memberi kesan yang kuat bahwa dasar dari ibadah
yang mesti menjadi perhatian dari masyarakat muslim Madura
adalah dua aspek penting pertama, yaitu: Rukun Islam dan
Rukun Iman. Tanpa Islam dan Iman, maka semua ibadah yang
74|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
dikerjakan akan sia-sia. Islam merupakan syarat sah-nya sholat.
Tanpa ber-Islam, sholatnya tidak diterima oleh Allah.23
Jika terdapat seseorang yang tidak beriman dan tidak
muslim, kemudian melaksanakan ibadah, maka tertolak. Ajaran
Islam yang demikian, bahwa Iman dan Islam merupakan dasar
dalam kehidupan seorang muslim, “diwujudkan” oleh
pengarang “Miftahul Jannah” ini dengan meletakkan uraian
tentang keduanga (Islam dan Iman) di bagian awal “Miftahul
Jannah” ini. Dengan demikian, dari sisi komposisi dan “tata
letak” (bukan lay out dalam arti perwajahan), sesuai dengan
doktrin Islam itu sendiri.
Kemudian uraian dilanjutkan dengan pembagian hukum
yang oleh pengarang dibagi menjadi tiga, sebagaimana di atas.
Meletakkan “pembagian hukum” di bagian kedua, setelah uraian
tentang Iman dan Islam, memang tidak ada hubungannya
dengan fondasi dalam Agama Islam. Tidak ada syarat
mengetahui macam-macam hukum tersebut sebelum
melaksanakan suatu ibadah. Tidak ada keterangan bahwa itu
menjadi syarat diterima atau ditolaknya suatu ibadah.
Namun jika dilihat dari sudut penyusunan karya tulis
ilmiah, penempatan macam-macam hukum sebelum
membicarakan mengenai hukum ini-itu secara lebih detail,
merupakan keterampilan yang apik dari seorang pengarang.
23 Syeikhul Islam Zakariya Al-Anshari, Tuhfatu Al-Tullab bi Syarhi
Tanqihi Al-Lubabi, hlm. 20.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |75
Naskah “Miftahul Jannah”, pada halaman 3 dan 4,
menempatkan uraian tentang macam-macam hukum,
memberikan “fondasi” kepada pembaca dalam menelusuri
uraian demi uraian di seputar hukum setelahnya.
Selain berfungsi sebagai “fondasi” bagi pembaca untuk
memudahkan pemahaman, sekaligus memberi legitimasi
“ilmiah” kepada pengarang dalam menulis karangannya
tersebut. Legitimasi “ilmiah” ini sangat penting dalam dunia
kepengarangan. Dan, Baihaqi Ismail berhasil dalam menyusun
“Miftahul Jannah” dari sisi-sisi yang telah peneliti sebutkan.
Analisis (3) Manuskrip “Miftahul Jannah” ini
memberi gambaran yang terang sekali bahwa “wajah” Islam di
Madura adalah wajah Islam moderat. Bukan wajah Islam yang
tidak menghargai tradisi masyarakat setempat. Islam moderat
tidak menempatkan tradisi dan budaya masyarakat setempat
sebagai “musuh” yang harus dibasmi, melainkan sebagai
“media” yang tetap dipertahankan dengan diisi oleh ajaran-
ajaran dan nilai-nilai Islam.
Seperti yang diungkapkan Imam Syafi’i bahwa “dalam
setiap membangun komunitas muslim, di dalamnya selalu
terdapat budaya yang telah mapan, maka hormatilah tradisi yang
telah berjalan tersebut”.24
Bagi kiai dan tokoh agama Madura
yang berpijak pada Islam Moderat, ada prinsip begini: Islam
memang benar. Tapi kesiapan orang untuk menerima kebenaran
24 Al-Imam asy-Syafi’i, al-Umm, Jilid 7, hlm. 246.
76|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
Islam itu, berbeda-beda. Maka ada tiga prinsip dalam
penyebaran Islam dengan menjadikan budaya sebagai media,
ialah: Tadriji (gradual, tidak instan), „Adamul Haraj (tidak
mengancam siapapun), dan Taklilut Taklif (tidak memberatkan
umat).
Islam di Madura adalah Islam moderat, sejak dulu
hingga sekarang. Meski tidak sedikit infiltrasi dan rongrongan.
Salah satu contoh yang ada dalam manuskrip “Miftahul
Jannah” ini adalah terdapatnya doa dan azimat (Madura: Jimat)
untuk keselamatan pada Hari Rabu terakhir Bulan Shafar (Rebo
Bekawasan atau Rebo Wekawasan).25
25 Diyakini pada waktu ini Allah menurunkan 320.000 mara bahaya.
Sehingga dianjurkan untuk berdoa dan melakukan sejumlah langkah agar
diselamatkan oleh Allah dari mara bahaya tersebut.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |77
Analisis (4) Transmisi Keilmuan Pesantren (Penyalin
Manuskrip ‘Miftahul Jannah’). Peneliti menemukan sesuatu yang
menarik dan unik pada manuskrip ini yang jika ditarik para aspek
yang lebih luas, bisa menjelaskan tentang transmisi keilmuan ulama
pesantren. Penyalin menjelaskan jalur transmisi keilmuan dari KH.
Ubaidi pada halaman 41. Tertulis bahwa KH. Ubaidi berguru kepada
Syekh Muhammad Imam bin Ahmad Dahlan, Karay (Ganding,
Sumenep). Syekh Muhammad Imam bin Ahmad Dahlan berguru
kepada ayahnya, Syekh Muhammad Imam bin Mahmud, Karay;
berguru kepada Syekh Kholil, Bangkalan; terus ke atas (lihat foto).
Syaikhona Kholil, Bangkalan, menjadi guru semua ulama Jawa dan
Madura. Syaikhona Kholil mendirikan pesantren di Kademangan
Bangkalan. Pesantren ini sangat populer di Nusantara dan, hasil
penelitian Dhofier dan Bruinessen,26
pendiri sejumlah pesantren di
Indonesia adalah murid dan hasil didikan Syaikhona Kholil ini.
Transmisi keilmuan merupakan salah satu dari tiga fungsi
utama pondok pesantren, yaitu: transmisi ilmu-ilmu Islam
(transmission of Islamic knowledge), pemeliharaan tradisi Islam
(maintenance of Islamic tradition), reproduksi ulama (reproduction of
ulama’).27 Data ini menjadi semacam ‚legitimasi ilmiah‛ penyalin
dari sisi keilmuan yang ia dalami juga berkaitan dengan kitab yang ia
salin. Tentu saja hal ini menjadi bagian dari kekuatan dari manuskrip
26 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 91-92. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 307.
27 Azra Azyumardi, Sejarah Pertumbuhann Pekembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 29. Lihat
juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan, makalah dalam Seminar Nasional ‚Pesantren dan Globalisasi‛ di Institut Ilmu
Keislaman Annuqayah (INSTIKA), pada 20 Desember 2014, hlm. 9.
78|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
ini karena disalin oleh orang yang memiliki jejaring keilmuan yang
terlacak, bukan dari orang yang pernah berguru ‚entah kepada siapa‛.
Maka aspek ini menjadi ciri khas dari wajah keIslaman di
Madura. Keislaman yang dibangun dengan tradisi keilmuan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dari sisi lain, ini
menjadi salah satu kekuatan dari Islam Moderat yang berkembang di
Madura. Di antara cirinya adalah digunakannya Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah sebagai pilihan bermadzhab serta sifatnya yang eklektik dan
akomodatif terhadap budaya dengan mengintegrasikannya kedalam
tradisi Islam.28
Moderasi Islam di Madura tidak lepas dari jejaring keilmuan
yang dikembangkan oleh para ulama yang sejak awal memang
berpegang teguh pada moderasi Islam itu. Sebab ideologi dan sistem
nilai yang selama ini telah dijalankan dan telah memiliki akar kultural
yang kuat adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Madzhab Sunni) sejak
pesantren pertama didirikan.29
Bahkan Nurcholis Madjid menegaskan bahwa aliran Fiqh
yang dianut pesantren adalah Madzhab Syafi’iyah, walaupun
pesantren mengabsahkan empat madzhab, dan dalam aliran Kalam
atau Tauhid berkiblat kepada pemikiran Imam Asy’ari sedang
Tasawufnya kepada Imam Al-Ghazali.30
Inilah Ortodoksi Islam
Indonesia. Jadi apa yang dikembangkan oleh pesantren selama ini
adalah Ortodoksi Islam Indonesia itu sendiri. Maka pesantren-
pesantren yang ada di Madura merupakan ‚keluarga besar‛ atau
28 Rozikin Daman, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca
Khittah, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 31-33. 29 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina, 1997),
hlm. 31. 30 Ibid., hlm. 32.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |79
‚kelanjutan‛ dari mata rantai Islam moderat yang itu semua adalah
bagian dari ortodoksi Islam Indonesia.
Berikut adalah foto cover depan dan belakang, serta bagian
akhir dari isi manuskrip “Miftahul Jannah” ini.:
80|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
Simpulan
Isi manuskrip kiai Madura, dalam Bidang Fikih, berpijak
pada paham Islam Wasathiyah, Islam jalan tengah yang anti
ekstrim. Madzhab Fikih yang mewarnai naskah-naskah tersebut
adalah Syafi’iyah. Corak penulisan manuskrip di Madura, ada
dua: mengarang dan menyalin. Kemudian corak lainnya adalah
penggunaan Bahasa Madura yang halus (level tiga). Tampak
sekali kasih sayang dan kepedulian para kiai dan nyai—yang
mengarang maupun menyalin—kepada masyarakat luas yang
memiliki keterbatasan dalam mengakses pengetahuan agama.
‚Wajah‛ Islam di Madura adalah Islam Moderat; yang terekam
melalui manuskrip tersebut.
Daftar Pustaka
Amin, Faizal. 2012. Potensi Naskah Kuno di Kalimantan Barat: Studi
Awal Manuskrip Koleksi H. Abdurrahman Husin Fallugah
Al-Maghfurlahu di Kota Pontianak. Jurnal Thaqafiyyat, vol.
13, No 1.
Azyumardi, Azra. 2001. Sejarah Pertumbuhann Pekembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta:
Grasindo
Azyumardi, Azra. 2014. Pendidikan Islam di Era Globalisasi: Peluang
dan Tantangan, makalah dalam Seminar Nasional ‚Pesantren
dan Globalisasi‛ di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah
(INSTIKA), pada 20 Desember.
Ah. Mutam Muchtar, Corak Fikih di Madura |81
Bouvier, Hélène. 2002. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam
Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat.
Bandung: Mizan.
Daman, Rozikin. 2001. Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU
Pasca Khittah,. Yogyakarta: Gama Media.
Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Hidayati, Tatik. 2011. Nyai Madura: Studi Hubungan Patron-Klien
Perempuan Madura Setelah Keruntuhan Orde Baru (1998-
2008), Disertasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Jonge, Huub de. 1989. Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang
Perkembangan Ekonomi, Dan Islam, Suatu Studi Antropologi
Ekonomi. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris:
Madura, 1850-1940,. Jogjakarta: Mata Bangsa.
Loir, Henri Chambert dan Oman Fathurrahman. 1999. Khazanah
Naskah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Manshur, Fadlil Munawwar. 2006. Resepsi Kasidah Burdah Al-
Bushiry dalam Masyarakat Pesantren. Jurnal Humaniora, Vol
18, No 2.
Mansurnoor, Iik Arifin. 1990. Islam in an Indonesian World: Ulama
of Madura,. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.
82|JPIK Vol. 3 No. 1, Maret 2020: 53-82
Mustamar, KH. Marzuki. 2016. Al-Muqtathofat li Ahli Al-Bidayat.
Surabaya: Muara Progresif.
Oman Fathurahman. 2003. Filologi dan Penelitian Teks-Teks
Keagamaan. Jurnal Al-Turas, Vol. 9, No. 2, Juli 2003.
Rahardy, Iffah Fauziah. 2017. Hikayat Nur Muhammad Suntingan
Teks Dan Analisis Resepsi Sastra, Tesis pada Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: UGM.
Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura. Yogayakrta: Pilar
Media.
Sakti, Tengku Abdullah. 2011. Perkembangan dan Pelestarian
Manuskrip Arab Melayu di Aceh. Jurnal Sejarah Citra Lekha,
Vol. XVI, No. 2.
Sukmawati, Dwi Laily. , 2011. Inventarisasi Naskah Lama Madura.
Jurnal Manuskripta, Vol. 1, No. 2.
Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa, Hairus Salim HS (penj.).
Yogyakarta: LkiS.