a08nat

144
ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) Oleh : Natalia A14304070 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: shandy-alviano

Post on 24-Oct-2015

123 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

dfs

TRANSCRIPT

Page 1: A08nat

ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup,

Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)

Oleh : Natalia

A14304070

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 2: A08nat

RINGKASAN

NATALIA. Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor). Dibawah bimbingan EVA ANGGRAINI. Struktur industri di Indonesia masih didominasi oleh industri kecil dan rumah tangga. Salah satu industri kecil dan rumah tangga yang mengalami peningkatan di Kabupaten Bogor adalah industri pengolahan tempe. Sentra industri tempe terbesar di Kabupaten Bogor adalah Desa Citeureup yang berjumlah 100 rumah tangga pengrajin tempe. Industri tempe menghasilkan produk utama, produk sampingan dan limbah. Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter setiap 1 ton tempe yang diproduksi. Besarnya volume limbah berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan yaitu pencemaran sungai yang terletak di Desa Citeureup. Hal ini menyebabkan air sungai/kali tidak dapat digunakan oleh masyarakat sekitar karena keruh dan bau akibat limbah tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan limbah, salah satunya dengan menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan teknik biogas.

Tujuan penelitian ini adalah menghitung besarnya biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL; menganalisis perubahan kelayakan usaha dengan adanya internalisasi biaya eksternal; mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah; dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif.

Biaya pembangunan IPAL per rumah tangga pengrajin adalah Rp 27.558.333 dan biaya operasional per tahun per rumah tangga pengrajin adalah Rp 3.900.000. Setelah internalisasi biaya pengolahan limbah dengan IPAL, skenario yang paling baik untuk dijalankan adalah usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 dengan biaya pembangunan IPAL ditanggung oleh pemerintah karena surplus produsen tidak berkurang terlalu besar jika dibandingkan dengan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL. Pengrajin tempe umumnya tidak bersedia melakukan pengolahan limbah. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap kesediaan pengrajin untuk mengolah limbah dengan IPAL adalah jarak ke sungai, luas tempat usaha dan jumlah tanggungan.

Guna menanggulangi masalah tersebut, perlu dukungan pemerintah dalam peningkatan kualitas sungai dengan membangun IPAL teknik biogas dan mengadakan penyuluhan di Desa Citeureup. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai seberapa besar nilai kerugian yang ditimbulkan akibat limbah cair tempe dan willingness to accept masyarakat hilir sungai terhadap limbah cair tempe yang dibuang ke sungai.

Page 3: A08nat

ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup,

Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)

Oleh : Natalia

A14304070

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pertanian pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 4: A08nat

Judul Skripsi : Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)

Nama : Natalia NRP : A14304070

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Eva Anggraini, S. Pi, M. Si. NIP. 132 321 428

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

Tanggal Kelulusan : 22 Agustus 2008

Page 5: A08nat

PERNYATAAN

DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi

Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup,

Kabupaten Bogor)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN

TINGGI MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK

TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK

MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU

DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN

RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Agustus 2008

Natalia A14304070

Page 6: A08nat

RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Natalia Darmawan dan lahir di Bogor,

Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, pada tanggal 07 Januari 1987. Penulis

adalah anak pertama dari dua bersaudara keluarga Alm. Bapak Darmawan dan Ibu

Ninawati Tjandradireja.

Penulis mengawali pendidikan formal di Taman Kanak-kanak Pertiwi

pada tahun 1990. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri

Citeureup 2 pada tahun 1992 dan diselesaikan pada tahun 1998. Kemudian

jenjang pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP

Puspanegara. Pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2004 di

SMUN 3 Bogor.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa tingkat

sarjana Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi

Pertanian dan Sumberdaya melalui jalur USMI pada tahun 2004. Selama kuliah

penulis pernah aktif dalam Komisi Pelayanan Khusus di UKM PMK-IPB.

Page 7: A08nat

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang diberikan

kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “

Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi kasus Sentra Industri

Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)” ini dengan

baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana

pada Fakultas Pertanian dan dapat digunakan sebagai bahan rujukan lain bagi

masyarakat ilmiah yang ingin menyusun penelitian yang sejenis.

Skripsi ini bertujuan menghitung biaya pengolahan limbah tempe,

menganalisis kelayakan usaha dengan dan tanpa internalisasi biaya eksternal dan

menganalisis persepsi dan tingkat kesediaan pengrajin dalam melakukan

pengolahan limbah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eva Anggraini, S.Pi, M.Si. sebagai dosen

pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan dan dorongan selama

penyusunan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Page 8: A08nat

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang diberikan

kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan baik mulai dari proses

penyusunan sampai selesainya skripsi ini. Skripsi ini tidak akan terbentuk tanpa

dukungan dan bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak yang membantu proses penyusunan skripsi yaitu :

1. Kedua orangtua penulis, Alm. Bapak Darmawan dan Ibu Ninawati

Tjandradireja dan adik penulis Hari Budi Darmawan atas bantuan, doa,

dukungan, bimbingan dan motivasi yang selalu diberikan.

2. Ibu Eva Anggraini, S.Pi, M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi atas

bimbingan, arahan, kesabaran, pengertian dan semangat yang telah diberikan

kepada penulis.

3. Bapak Ir. Nindyantoro, M. SP sebagai dosen penguji utama atas saran dan

kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini.

4. Ibu Ir. Meti Ekayani, S. Hut, M. Sc sebagai dosen penguji wakil departemen

atas saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini.

5. Bapak Bimo dan Bapak Rizal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kabupaten Bogor, pihak BPS Kabupaten Bogor, pihak Kementerian

Lingkungan Hidup Jakarta, serta aparat Kecamatan Citeureup dan Desa

Citeureup atas informasi yang telah diberikan kepada penulis.

6. Para pengrajin tempe di Desa Citeureup yang bersedia menjadi responden

dalam penelitian.

7. Sahabat-sahabat penulis antara lain Morintara, Rolas, Marlina, Merika, Yanti,

Lenny, Jimmy, Farida, Ismail, Estrellita, Prawinarah dan teman-teman EPS’41

Page 9: A08nat

yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan, doa dan dukungan

yang diberikan.

8. Teman-teman sebimbingan Emilea dan Lingga atas kerjasama, bantuan,

semangat dan doa yang diberikan. Kalian harus semangat ya.

9. Teman-teman satu KKP yaitu Yunita, Siti Puspitasari, Sari Harum Melaty,

Anita, Hadim dan Prianto atas suka dan duka yang diberikan kepada Penulis.

10. Staf-staf administrasi departemen yang telah membantu penulis serta semua

pihak yang telah membantu penulis atas bantuan, doa dan dukungannya.

Tuhan Memberkati.

Page 10: A08nat

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................xiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang...................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 4 1.3. Tujuan penelitian.................................................................................. 6 1.4. Manfaat penelitian................................................................................ 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian.................................................................... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik industri kecil................................................................... 8

2.2 Eksternalitas ......................................................................................... 9 2.3 Internalisasi Biaya Eksternal.............................................................. 13 2.4 Metode Penilaian Lingkungan (Measures of Value Method) ............ 15 2.5 Studi Kelayakan Usaha ...................................................................... 17 2.5.1 Indikator Kelayakan Usaha ...................................................... 17 2.5.2 Kriteria Kelayakan Usaha ........................................................ 19 2.6 Studi-studi Terdahulu......................................................................... 19 2.6.1 Studi Mengenai Limbah Cair Tempe....................................... 19 2.6.2 Studi Mengenai Pengolahan Limbah Cair ............................... 20 2.6.3 Studi Mengenai Valuasi Ekonomi ........................................... 21 2.6.4 Studi Mengenai Biaya Eksternal.............................................. 22 2.6.5 Studi Mengenai Kelayakan Usaha ........................................... 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................. 24 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 28 4.2 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 28 4.3 Metode Pengambilan Data ................................................................. 29 4.4 Metode Analisis Data......................................................................... 30

4.4.1 Analisis Biaya Eksternal .......................................................... 30 4.4.2 Analisis Perubahan Kelayakan Usaha Sebelum dan

Setelah Internalisasi Biaya eksternal........................................ 31 4.4.3 Model Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Kesediaan Pengrajin Tempe Melakukan Pengolahan Limbah. 33 4.5 Asumsi-asumsi ................................................................................... 38

4.6 Definisi Operasional........................................................................... 39 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Desa Citeureup ...................................................... 40 5.1.1 Kondisi Geografis ...................................................................... 40 5.1.2 Kondisi Kependudukan ............................................................. 40 5.1.3 Mata Pencaharian ....................................................................... 42

Page 11: A08nat

5.2 Gambaran Umum Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup ............. 43 5.3 Pemanfaatan Sungai Di Desa Citeureup ............................................. 44 5.4 Dampak Limbah Cair Tempe Terhadap Lingkungan dan Masyarakat Desa Citeureup ................................................................................... 46 VI. KARAKTERISTIK SOSIAL DAN EKONOMI PENGRAJIN TEMPE

DESA CITEUREUP 6.1 Karakteristik Sosial Pengrajin Tempe Desa Citeureup ..................... 47 6.1.1 Tingkat Umur ........................................................................... 47 6.1.2 Pengalaman Usaha ................................................................... 49 6.1.3 Tingkat Pendidikan .................................................................. 49 6.1.4 Jumlah Tanggungan ................................................................. 50 6.2 Karakteristik Ekonomi Pengrajin Tempe Desa Citeureup ................. 51 6.2.1 Luas Tempat Usaha .................................................................. 51 6.2.2 Skala Usaha .............................................................................. 52 6.2.3 Proses Produksi ........................................................................ 53 6.2.4 Kapasitas Produksi ................................................................... 55 6.2.5 Tingkat Pendapatan .................................................................. 55 6.2.6 Tenaga Kerja ........................................................................... 56 6.2.7 Saluran Pemasaran ................................................................... 57 6.2.8 Jarak Ke Sungai ....................................................................... 58 VII. KERAGAAN EKONOMI USAHA PEMBUATAN TEMPE 7.1 Arus Penerimaan ............................................................................... 60 7.2 Arus Pengeluaran ............................................................................... 62 7.2.1 Biaya Investasi .......................................................................... 62 7.2.2 Biaya Operasional ..................................................................... 63 VIII. BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN TEKNIK BIOGAS PER RUMAH TANGGA PENGRAJIN TEMPE 8.1 Mekanisme Sistem Pengolahan Limbah Cair dengan IPAL .............. 65

8.2 Biaya Pembangunan IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Tempe .... 66 VIII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PEMBUATAN

TEMPE TANPA DAN DENGAN IPAL 9.1 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL70

9.2 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Dan Operasional Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2).... 71

9.3 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Ditanggung Oleh Pemerintah Dan Operasional Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 3) .......................................................... 73 9.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario Dalam Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup................................................. 75 X. PERSEPSI DAN TINGKAT KESEDIAAN MELAKUKAN PENGOLAHAN LIMBAH 10.1 Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah............... 78 10.2 Tingkat Kesediaan Pengrajin Dalam Melakukan Pengolahan

Page 12: A08nat

Limbah ................................................................................................ 80 10.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Melakukan Pengolahan Limbah.......................................................... 83 10.4 Kebijakan Pengelolaan Limbah Industri Tempe Desa Citeureup ...... 89 XI. PENUTUP 11.1 Kesimpulan ......................................................................................... 92 11.2 Saran.................................................................................................... 93 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 94 LAMPIRAN........................................................................................................97

Page 13: A08nat

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kombinasi antara hak kepemilikan dan akses ................................................ 9

2. Tarif Pajak Untuk Berbagai Lapisan Penghasilan Kena Pajak ..................... 39

3. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Tahun 2006 ............................................ 42

4. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Menurut Tingkat Pendidikan

Tahun 2006.....................................................................................................43

5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2006..............................44

6. Sifat Fisika Kimia Limbah Cair Tempe Dibandingkan dengan Standar Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Industri Menurut KEP.51/MENLH/10/1995 ............................................................................ 45

7. Umur Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008................................... 48

8. Pengalaman Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008.............. 49

9. Tingkat Pendidikan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008............. 49

10. Jumlah Tanggungan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008............ 51

11. Luas Tempat Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ............ 52

12. Skala Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ........................ 52

13. Kapasitas Produksi Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ............. 55

14. Tingkat Pendapatan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ............ 56

15. Saluran Pemasaran Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup..................... 58

16. Jarak Rumah Ke Sungai ................................................................................ 59

17. Penerimaan Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup ............................ 62

18. Investasi Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup................................. 63

19. Biaya Operasional Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup ................. 64

Page 14: A08nat

20. Rincian Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas ...................................... 67

21. Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas Per Rumah Tangga Pengrajin ... 68

22. Rincian Biaya Operasional IPAL Teknik Biogas ......................................... 69

23. Biaya Operasional IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Per Tahun ............. 70

24. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL .......... 72

25. Biaya Investasi IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)........72

26. Biaya Operasional IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)...72

27. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2).................................74

28. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL Ditanggung Oleh Pemerintah (Skenario 3)................................76

29. Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario yang Dapat Dijalankan Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup.....................................................77 30. Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah Tahun 2008........78

31. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Dampak Limbah Cair Tempe Tahun 2008.....................................................................................................81

32. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Solusi Alternatif untuk Menangani Masalah Limbah Tahun 2008......................................................82

33. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tidak Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah........................................................................................83 34. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah........................................................................................84 35. Hasil Logit Kesediaan Pengrajin untuk Melakukan Pengolahan Limbah

dengan IPAL ................................................................................................. 87

36. Frekuensi Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL.................................................................. 88

37. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL.................................................................. 90

Page 15: A08nat

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Alur Kerangka Pemikiran .............................................................................. 27 2. Skema Sistem Pengolahan Limbah Cair. ........................................................ 65 3. Tingkat Kesediaan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Terhadap Pengolahan Limbah......................................................................................... 82

Page 16: A08nat

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Batasan/Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Menurut Beberapa Organisasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup.................................98

2. Jumlah Industri Kecil Tempe di Kabupaten Bogor per

Kecamatan tahun 2008.............................................................................. 99

3. Hasil Logit Kesediaan Pengrajin Melakukan Pengolahan Limbah....................................................................................100

4. Kuisioner ................................................................................................... 101

5. Peta Lokasi Penelitian............................................................................... 106

6. Perhitungan Penyusutan Per Tahun Dari Investasi ................................... 107

7. Cashflow Usaha Pembuatan Tempe Di Desa Citeureup Tanpa IPAL .............................................................................. 108 8. Cashflow Usaha Pembuatan Tempe Di Desa

Citeureup Dengan IPAL Skenario 2 ......................................................... 109

9. Cashflow Usaha Pembuatan Tempe Di Desa Citeureup Dengan IPAL Skenario 3 ......................................................... 110

10. Alasan Pengrajin Tempe Bersedia atau Tidak Bersedia Mengolah Limbah Dengan IPAL ............................................................................................ 111

11. Dampak Negatif Limbah Cair dan Solusi Alternatif untuk Menanggulagi Limbah .............................................................................. 112

12. Rincian Penerimaan Harian Pengrajin Tempe di Desa Citeureup ............ 113 13. Rincian Biaya-biaya harian pembuatan tempe.......................................... 115 14. Biaya-Biaya Peralatan Pengrajin Tempe di Desa Citeureup..................... 117 15. Karakteristik Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 ............... 119

Page 17: A08nat

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Struktur industri di Indonesia masih didominasi oleh industri kecil dan

rumah tangga. Menurut BPS (2006), jumlah industri kecil dan rumah tangga

mencapai sekitar 90,08 persen lebih banyak dibandingkan dengan industri sedang

dan besar. Seiring dengan hal tersebut, jumlah industri kecil dan rumah tangga di

Indonesia juga mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan industri

sedang dan besar. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan jumlah industri kecil dan

rumah tangga pada tahun 2004 sebesar 5,75 persen sedangkan jumlah industri

sedang dan besar bertambah 1,78 persen. Pada tahun 2005 jumlah industri kecil

dan rumah tangga naik sebesar 7,16 persen, sedangkan peningkatan industri

sedang dan besar tahun 2005 hanya sebesar 0,30 persen (BPS, 2006).

Industri kecil dan rumah tangga di Kabupaten Bogor juga meningkat pada

tahun 2004, 2005 dan 2006 masing-masing sebesar 8,21 persen, 4,97 persen dan

4,90 persen (Diperindag Kabupaten Bogor, 2007). Faktor-faktor yang

menyebabkan industri kecil dan rumah tangga mengalami peningkatan dari tahun

ke tahun adalah modal yang dibutuhkan untuk melakukan produksi tidak besar,

tidak memerlukan teknologi yang tinggi, tingkat pendidikan pekerja umumnya

rendah, menggunakan bahan baku yang tersedia dalam negeri dan tidak

memerlukan biaya yang besar.

Salah satu industri kecil dan rumah tangga yang mengalami peningkatan di

Kabupaten Bogor adalah industri pengolahan tempe. Menurut Diperindag

Kabupaten Bogor (2007), usaha pengolahan tempe di Kabupaten Bogor pada

umumnya merupakan industri skala kecil karena jumlah modal (di luar tanah dan

Page 18: A08nat

bangunan) yang digunakan kurang dari 5 juta rupiah. Jumlah industri kecil tempe

di Kabupaten Bogor cukup banyak yaitu 186 industri. Faktor yang

mempengaruhinya adalah permintaan tempe yang cukup tinggi di masyarakat

yaitu 1,7 persen per tahun,1 sehingga mempengaruhi pengrajin untuk menambah

jumlah usaha pengolahan tempe. Faktor lain yang juga mempengaruhinya adalah

: (1) Modal (investasi/kerja) di luar tanah dan bangunan tidak besar membutuhkan

sekitar 2-10 juta rupiah per orang,2 (2) Tempe merupakan salah satu sumber

protein yang tidak mahal dan (3) Tingkat pendidikan dan keterampilan yang

dibutuhkan tidak tinggi (Disperindag Kabupaten Bogor, 2008). Salah satu sentra

industri tempe terbesar di Kabupaten Bogor adalah Desa Citeureup yaitu 100

rumah tangga pengrajin tempe.3

Industri tempe menghasilkan produk utama, produk sampingan dan

limbah. Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter

setiap 1 ton tempe yang diproduksi.4 Besarnya volume limbah berpotensi

menimbulkan dampak terhadap lingkungan yaitu pencemaran sungai karena letak

industri tempe yang berada di pinggir sungai dan sebagian besar pengusaha

tempe membuang limbah tempe langsung ke sungai.

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri tempe berasal dari limbah

cair tempe. Limbah cair tempe mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein,

lemak, garam-garam, mineral dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam

1 PPUK Bank Indonesia. 2006. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil. Dalam http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=50110&idrb=44301. diakses tanggal 20 Februari 2008. 2Hasil wawancara dengan seksi Agro dan hasil hutan bidang Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan (IKAH) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor tanggal 4 Maret 2008. 3 Loc.cit. 4Dirjen IKM. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Dalam http://www.depperin.go.id/asp/pelatihan_ikm/cleanerprod/cleaner-production. Diakses Tanggal 20 Februari 2008.

Page 19: A08nat

pengolahan dan pembersihan. Setiap kuintal kedelai akan menghasilkan limbah

1,5 - 2 m3 air limbah. Limbah cair ini mengandung padatan tersuspensi maupun

terlarut, dan akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan

menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman

penyakit. Bila dibiarkan dalam air limbah akan berubah warnanya menjadi coklat

kehitaman dan berbau busuk.5 Air limbah yang dibuang ke sungai akan

menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di sekitar sungai. Limbah cair

industri tempe yang langsung dibuang tanpa mengalami proses pengolahan

limbah akan mencemari lingkungan di sekitar sungai, yang akan berdampak

negatif terhadap kesehatan masyarakat di sekitar sungai. Agar limbah yang

dibuang tidak membahayakan masyarakat, seharusnya industri melakukan

pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai.

Dalam KepMen No.3 Tahun 1998 diputuskan industri harus menggunakan

teknologi pengolahan limbah yang best practicable agar memenuhi standar

konsentrasi dan kandungan polutan (BOD, COD, polutan logam berat dan

sebagainya). Industri tempe merupakan salah satu industri yang dijadikan prioritas

pengawasan sesuai KepMen No.3 Tahun 1998. Hal ini karena industri tempe

merupakan salah satu industri yang produk industrinya berbasis kedelai dan belum

memperhatikan standar buangan limbah sesuai dengan standar lingkungan yang

diterapkan (Raka, 2001).

5 Nurhasan & Bb. Pramudyanto. 1991. Informasi Praktis Pengelolaan dan Pemanfaatan Limbah Tahu Tempe. Dalam http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=9. Diakses tanggal 20 Februari 2008.

Page 20: A08nat

1.2 Perumusan masalah

Proses produksi tempe menghasilkan tempe sebagai produk utama dan

ampas kedelai sebagai produk sampingan. Tempe yang dihasilkan langsung dijual

ke pasar sedangkan ampas kedelai digunakan sebagai bahan baku industri

makanan lain menjadi makanan ternak, tempe gembus, Nata de Soya, castangell

dan makanan lain. Namun proses produksi tersebut juga menghasilkan limbah cair

yang mengandung padatan tersuspensi dan terlarut. Setiap 1 ton tempe yang

diproduksi menghasilkan limbah sebesar 3000-5000 liter. Limbah cair tempe

memberikan dampak negatif terhadap lingkungan seperti mengakibatkan bau

busuk dan bila dibuang langsung ke sungai akan menyebabkan tercemarnya

sungai tersebut.

Limbah cair tempe bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan Nata

de Soya tapi kenyataannya di Desa Citeureup belum dilakukan oleh industri

tempe. Hal ini dikarenakan biaya pengolahan limbah tempe menjadi Nata de Soya

membutuhkan investasi yang cukup besar sehingga tidak mampu dilakukan

sendiri oleh pengrajin tempe. Sementara permintaan terhadap limbah tempe untuk

industri pembuatan Nata de Soya pun sangat rendah. Di sisi lain, lokasi industri

tempe di Desa Citeureup berada di sekitar DAS Kali Bekasi dan pada umumnya

mereka membuang limbah cair ke sungai. Hal ini menyebabkan kualitas

lingkungan di sekitar sungai menurun dan dapat menurunkan kualitas hidup

masyarakat sekitar.

Selain itu dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tersebut dirasakan

oleh masyarakat di hilir sungai yang menggunakan air tersebut untuk mencuci

pakaian, tambak ikan dan udang, minum dan sebagainya. Masyarakat hilir sungai

Page 21: A08nat

dirugikan akibat limbah tersebut seperti air tidak bisa dikonsumsi, pakaian yang

dicuci menjadi kotor karena air sudah bercampur minyak dan banyak tambak yang

rusak. Untuk menjaga sustainability lingkungan sungai pengrajin harus

melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai.

Beberapa hal yang menyebabkan pengrajin tempe tidak melakukannya

adalah: (1) Pengrajin umumnya tidak memiliki dana untuk melakukan

pengelolaan limbah karena modal yang dimiliki terbatas, (2) Keterbatasan

pengetahuan mengenai teknologi pengolahan limbah dan standar baku buangan

limbah dan (3) Mereka mempunyai anggapan bahwa limbah yang dihasilkan

tidak berbahaya dan umumnya langsung dibuang ke badan air terdekat.

Air sungai/kali yang telah tercemar tidak dapat digunakan oleh masyarakat

sekitar karena menjadi keruh dan bau akibat limbah tersebut. Jika masyarakat

tetap menggunakan air tersebut maka akan timbul penyakit seperti gatal, diare,

sakit pernapasan dan penyakit lainnya.6 Sehingga pengrajin/pengusaha tempe

harus melakukan pengelolaan limbah. Salah satu teknologi pengelolaan limbah

cair industri tempe adalah dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah

(IPAL).

Pembangunan IPAL memerlukan biaya-biaya seperti biaya investasi dan

biaya operasional. Biaya investasi berupa biaya pembangunan IPAL sedangkan

biaya operasional terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya perawatan

dan biaya angkutan. Biaya pengolahan limbah dengan membangun IPAL

merupakan biaya eksternal yang harus ditanggung oleh pencemar yaitu pengrajin

tempe. Sehingga pengrajin tempe harus menginternalisasi biaya eksternal ke

6 Loc.cit.

Page 22: A08nat

dalam struktur biaya usahanya agar pengelolaan limbah dapat dilakukan. Saat ini,

pengrajin tempe di Desa Citeureup belum menggunakan IPAL untuk mengolah

limbah. Hal ini dikarenakan belum ada pembangunan IPAL di Desa Citeureup.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Berapa biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di

Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan

IPAL?

2. Bagaimana perubahan kelayakan usaha pengolahan tempe dengan adanya

internalisasi biaya eksternal?

3. Bagaimana tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan

pengolahan limbah dan apa faktor-faktor yang mempengaruhinya?

1.3 Tujuan penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang ingin diteliti, maka tujuan penelitian

adalah sebagai berikut:

1. Menghitung besarnya biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri

tempe di Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan

menggunakan IPAL;

2. Menganalisis perubahan kelayakan usaha dengan adanya internalisasi

biaya eksternal;

3. Mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan

pengolahan limbah dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhinya.

Page 23: A08nat

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Masyarakat akademik, khususnya dalam mengembangkan studi kelayakan

usaha dengan menginternalisasi biaya ekternalitas ke dalam struktur biaya

usaha.

2. Pengrajin/pengusaha tempe agar lebih memberikan perhatian terhadap

kelestarian lingkungan dan menjaganya sehingga tercipta keberlanjutan

(sustainability).

3. Pemerintah Kabupaten Bogor agar lebih memperhatikan pencemaran

lingkungan yang dilakukan oleh industri-industri di wilayahnya sehingga

penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk

melakukan kebijakan pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan pada limbah industri kecil tempe dibatasi hanya

pada limbah cair, karena limbah cair memberikan dampak yang negatif terhadap

lingkungan sekitar industri. Penelitian hanya difokuskan untuk mengkaji

karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe, mengidentifikasi dampak yang

ditimbulkan oleh limbah cair tempe, menghitung biaya pengolahan limbah yang

harus ditanggung oleh pencemar, menginternalisasikan biaya eksternal ke dalam

analisis usaha, mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan

pengolahan limbah dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Sehingga hal teknis seperti pengelolaan fisik limbah cair tempe tidak diteliti.

Penelitian ini juga tidak menganalisis manfaat pengolahan limbah cair tempe

menjadi Nata de Soya.

Page 24: A08nat

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik industri kecil

Industri kecil memiliki beberapa batasan/kriteria yang ditetapkan oleh

berbagai organisasi. Salah satunya menurut BPS, batasan skala usaha ditentukan

oleh kriteria jumlah tenaga kerja yaitu : (1) Industri dan Dagang Mikro (ID Mikro)

: 1-4 orang, (2) Industri dan Dagang Kecil (ID Kecil) : 5-19 orang, (3) Industri

dan Dagang Menengah (ID Menengah) : 20-99 orang dan (4) Industri dan Dagang

Besar (ID Besar) : 100 orang ke atas. Berdasarkan hal tersebut, maka industri

yang dikatakan skala kecil apabila memiliki tenaga kerja sebanyak 5-19 orang.

Selain tenaga kerja, kriteria lain industri kecil adalah modal. Berdasarkan modal

Diperindag Kabupaten Bogor (2007) menggolongkan industri menjadi tiga yaitu :

(1) Industri kecil dengan modal kurang dari lima juta rupiah, (2) Industri

menengah (sedang) dengan modal antara lima juta rupiah sampai dengan dua ratus

juta rupiah dan (3) Industri besar dengan modal lebih dari dua ratus juta rupiah.

Dengan demikian dapat dinyatakan industri kecil memiliki modal yang tidak besar

karena modalnya kurang dari lima juta rupiah.

Menurut Undang-undang No.9 tahun 1995 tentang usaha kecil,

didefinisikan sebagai berikut : industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang

dilakukan oleh perseorangan atau rumah-tangga maupun suatu badan, bertujuan

untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial,

yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak dua ratus juta rupiah, dan

mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar satu milyar rupiah atau kurang

(Lampiran 1).

Page 25: A08nat

Dalam Kementerian Lingkungan Hidup (2004) menyatakan bahwa

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

254/MPP/Kep/7/1997 tentang kriteria industri kecil di Lingkungan Departemen

Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut : (1)

Nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan dua ratus juta rupiah tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan (2) pemilik Warga Negara

Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan karakteristik industri kecil adalah modal

yang digunakan untuk produksi tidak besar, tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit,

kegiatan yang dilakukan oleh perseorangan, rumah tangga atau badan yang

bertujuan untuk memproduksi suatu barang atau jasa yang diperjualbelikan secara

komersial, investasi untuk modal dan tenaga kerja kecil serta nilai penjualan satu

milyar rupiah atau kurang.

2.2 Eksternalitas

Menurut Fauzi (2004), eksternalitas merupakan kegiatan produksi atau

konsumsi yang mempengaruhi kegunaan pihak lain dan pembuatnya tidak

memberi kompensasi. Eksternalitas disebabkan oleh barang publik yang

kepemilikannya untuk masyarakat dengan akses yang terbuka sehingga

menimbulkan tragedy of common. Berikut adalah kombinasi hubungan antara hak

kepemilikan dan akses :

Tabel 1. Kombinasi antara hak kepemilikan dan akses

Terbuka Tertutup Komunal The Tragedy of common Pengelolaan lestari Negara The Tragedy of common Pengelolaan lestari Privat Rentan terhadap pemanfaatan tidak

sah Pemanfaatan berlebihan dapat dihindari

Sumber : Fauzi, 2004.

Page 26: A08nat

Berdasarkan Tabel 1, ada empat tipe kombinasi hubungan antara hak

kepemilikan dan akses. Tipe pertama adalah tipe dimana hak kepemilikan berada

pada komunal (negara dengan akses yang terbatas) yang dapat menimbulkan

pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tipe kedua adalah sumberdaya dimiliki

oleh individu (privat) dengan akses yang terbatas, hal ini akan menyebabkan

pemanfaatan berlebihan dapat dihindari. Tipe ketiga merupakan kombinasi antara

hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka, yang menimbulkan “the

tragedy of the common”. Terakhir, tipe keempat yaitu kombinasi yang sebenarnya

jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan

terbuka. Sebaliknya, jika barang publik yang digunakan memiliki akses tertutup

maka pengelolaan dapat lestari dan tidak terjadi eksternalitas. Sehingga hubungan

antara eksternalitas dengan kepemilikan sangat erat kaitannya.

Hufschmidt (1987) mengemukakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh

industri terhadap lingkungan disebut dengan “dampak eksternal”. Dampak

eksternal timbul bila fungsi kegunaan (manfaat) atau produksi seseorang

tergantung pada kegiatan orang lain. Contoh eksternalitas adalah limbah yang

dibuang oleh industri makanan yang merugikan kesehatan masyarakat.

Eksternalitas muncul bila dampak terhadap lingkungan yang mengakibatkan biaya

dan manfaat sosial tidak dipertimbangkan oleh orang atau sekelompok orang yang

mengakibatkan dampak tersebut. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kegagalan

pasar (market failure). Kegagalan pasar terjadi karena pasar tidak

mengkomunikasikan keinginan secara tepat dan keputusan individual yang

berdasarkan informasi harga tidak menimbulkan alokasi sumberdaya yang efisien

(Fauzi, 2004). Peranan pemerintah dalam mengatasi market failure adalah dengan

Page 27: A08nat

melakukan command and control yaitu dengan mengadakan regulasi dan

menetapkan ambang batas pencemaran limbah yang diperbolehkan. Jika

pemerintah tidak dapat mengatasi market failure dengan beberapa kebijakan dan

regulasi yang diterapkan maka akan terjadi kegagalan pemerintah (government

failure). Kegagalan pemerintah terjadi karena pemerintah tidak dapat mengatasi

market failure setelah melakukan kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Market

failure dapat menyebabkan sistem pasar/harga menjadi tidak efisien.

Menurut Pearson (2000), ada empat situasi yang dapat menyebabkan

sistem harga/pasar menjadi tidak efisien yaitu barang publik, eksternalitas,

sumberdaya milik bersama dengan akses terbuka dan kekuatan pasar. Barang

publik, eksternalitas dan sumberdaya milik bersama dengan akses terbuka

merupakan jawaban dari penyebab degradasi lingkungan. Eksternalitas

merupakan kegiatan yang memberikan efek terhadap kesejahteraan suatu agen

ekonomi terhadap agen ekonomi lain yang tidak dapat diantisipasi. Agen ekonomi

tersebut yaitu produsen, konsumen dan pemerintah. Efek dari kegiatan tersebut

dapat positif (external economics) atau negatif (external diseconomics atau

external cost).

Sementara itu Mangkoesoebroto (1993), membagi eksternalitas atas

dampaknya menjadi dua, yaitu eksternalitas negatif dan eksternalitas positif.

Eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan

yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi

dari pihak yang diuntungkan, sedangkan eksternalitas negatif apabila dampaknya

bagi oranglain yang tidak menerima kompensasi sifatnya merugikan. Timbulnya

eksternalitas dalam suatu aktivitas akan menyebabkan inefisiensi. Inefisiensi

Page 28: A08nat

timbul akibat tindakan seseorang yang mempengaruhi orang lain dan tidak

tercermin dalam sistem harga. Adanya eksternalitas tidak akan mengganggu

tercapainya efisiensi masyarakat apabila semua dampak yang merugikan maupun

yang menguntungkan dimasukkan ke dalam penghitungan produsen dalam

menetapkan jumlah barang yang diproduksi (Mangkoesubroto, 1993). Telah

disebutkan diatas bahwa contoh eksternalitas negatif adalah limbah industri

makanan yang dibuang ke sungai dan mempengaruhi kesehatan masyarakat.

Industri tempe di Desa Citeureup merupakan salah satu industri yang membuang

limbahnya langsung ke sungai sehingga dapat menyebabkan eksternalitas negatif

terhadap masyarakat sekitar sungai.

Limbah cair tempe adalah limbah yang dihasilkan dalam proses

pengolahan tempe maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah cair akan

mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai akan

menyebabkan tercemarnya sungai tersebut. Setiap kuintal kedelai akan

menghasilkan limbah 1,5 - 2 m3 air limbah.7 Limbah cair tempe memiliki kadar

BOD dan COD yang cukup tinggi karena berasal dari bahan organik. Menurut

Linsley dan Franzini (1986), batas ambang aliran limbah industri yang biasa

dipakai adalah sebesar 5000 gal/acre/hari (50 m3/hektar/hari). Pada industri tempe

di Desa Citeureup rata-rata membutuhkan 109 kg kedelai/orang/hari untuk

memproduksi tempe. Di Desa Citeureup terdapat 100 orang pengrajin berarti

setiap harinya mereka menghasilkan 163-218 m3 air limbah. Limbah yang

7 Nurhasan & Bb. Pramudyanto. 1991. Informasi Praktis Pengelolaan dan Pemanfaatan Limbah Tahu Tempe. Dalam http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=9. Diakses tanggal 20 Februari 2008.

Page 29: A08nat

dihasilkan sudah melebihi ambang batas yang ditentukan sehingga memerlukan

pengolahan agar limbah yang dibuang tidak melebihi ambang batas yang

ditentukan.

2.3 Internalisasi Biaya Eksternal

Menurut Fauzi (2004), market failure yang disebabkan oleh adanya

eksternalitas dapat dikurangi dengan beberapa kebijakan diantaranya adalah : (1)

Pengaturan property right dengan cara pemerintah memberikan hak tersebut

kepada suatu pihak yang menggunakan barang publik, (2) Internalisasi biaya

eksternal, (3) Distribusi Rights, (4) Aturan insentif dan kompensasi, (5)

Kerjasama antara daerah, (6) Optimalisasi produksi dan konsumsi, (7) Penilaian

lingkungan, (8) Penyusunan neraca sumberdaya alam serta (9) Penetapan otoritas

pengelolaan sumberdaya. Kebijakan tersebut akan menghasilkan alokasi

sumberdaya yang efisien sehingga eksternalitas dapat dikurangi.

Menurut Hufschmidt (1987), teori eksternalitas memberikan alternatif

penjelasan tentang penyebab kerusakan lingkungan. Industri umumnya tidak

memperhatikan kerusakan lingkungan atau dampak dari kegiatan produksi mereka

seperti limbah yang dibuang ke sungai, erosi tanah, pencemaran udara dan

sebagainya. Oleh karena itu, untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial

yang berkelanjutan, kualitas lingkungan harus dipelihara dengan baik. Untuk

memelihara kualitas lingkungan yang baik maka dibutuhkan peran dari berbagai

pihak salah satunya pemerintah. Peran pemerintah adalah melakukan secara aktif

kebijakan pengelolaan kualitas lingkungan. Bukan hanya pemerintah yang harus

melakukan pengelolaan lingkungan tetapi juga industri yang mencemari

Page 30: A08nat

lingkungan. Industri harus melakukan peningkatan lingkungan yang telah

dicemari.

Peningkatan lingkungan tersebut dapat dicapai dengan melakukan

pengelolaan limbah. Salah satu kebijakan untuk pengelolaan limbah adalah

dengan internalisasi biaya eksternal. Menurut Fauzi (2004), internalisasi biaya

eksternal merupakan upaya untuk “menginternalkan” dampak yang ditimbulkan

dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha.

Dampak kerusakan eksternal haruslah di”internalisasi”kan dalam keputusan

ekonomi sehingga melalui kebijakan tersebut diharapkan lingkungan dapat terjaga

kelestarian dan keberlanjutannya (Hufschmidt, 1987). Untuk kasus limbah

industri kecil tempe di Desa Citeureup, biaya eksternal untuk diinternalisasikan ke

dalam struktur biaya usahanya adalah biaya pengolahan limbah dengan

menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL merupakan

alternatif pengelolaan limbah yang dapat dilakukan di Desa Citeureup.

Menurut Soemantojo (1994) dalam Purnamasari (2001), cara-cara

pengelolaan limbah yang dapat dilakukan dewasa ini terdiri dari reduksi limbah

pada sumbernya (Source Reduction), pemanfaatan limbah yang terbagi atas dua

cara yaitu pengunaan kembali (Reuse) dan daur ulang (Recycle) serta pengolahan

limbah. Salah satu cara pengelolaan limbah yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pengolahan limbah. Pengolahan limbah yang dilakukan adalah dengan

menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dapat mengurangi

kadar pencemar dalam sungai melalui jalan pengolahan fisik, kimiawi hayati atau

gabungan antara tiga cara tersebut.

Page 31: A08nat

2.4 Metode Penilaian Lingkungan (Measures of Value Method)

Menurut Garrod dan Willis (1999) ada dua teknik penilaian lingkungan

yaitu penilaian lingkungan yang berdasarkan biaya dan harga pasar (Market Price

and Cost Measures of Value) serta penilaian lingkungan yang tidak berdasarkan

harga pasar (Non-Market Measures of Value). Salah satu tolok ukur untuk menilai

manfaat dari lingkungan adalah biaya yang dikeluarkan tersebut. Beberapa

metode yang sering digunakan untuk valuasi yang berdasarkan biaya dan harga

pasar adalah sebagai berikut (Garrod dan Willis, 1999):

1. Pendekatan Efek dalam Produksi (Effect on Production Approach) atau

Pengukuran Opportunity Cost (Opportunity Cost of Measures)

Effect on Production Approach adalah pendekatan nilai manfaat

dari menjaga lingkungan yang berbasiskan pembayaran kompensasi untuk

pembelian barang publik. Contohnya membangun jembatan, airport,

instalasi dan barang publik lainnya. Bisa juga pembayaran kompensasi

untuk biaya petani yang hilang akibat produksi pertanian yang ramah

lingkungan. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa pemilik lahan atau

barang publik mempunyai property rights. Ilustrasi mengenai metode ini

di Indonesia adalah pemberian kompensasi kepada masyarakat sekitar

daerah Pantura yang terkena dampak program perluasan lahan wilayah

Pantura dengan mereklamasi pantai tempat hidup hutan mangrove yaitu

banjir.

2. Human Capital Approach and Dose Response Function

Human Capital Approach and Dose Response Function merupakan

pendekatan yang mengukur efek perubahan dalam kandungan kimia atau

Page 32: A08nat

polutan dalam suatu aktivitas ekonomi dan kesejahteraan konsumen.

Contohnya polusi air yang menyebabkan terganggunya kesehatan

manusia.

3. Replacement Cost

Replacement cost adalah penilaian barang lingkungan yang

berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk memelihara lingkungan

setelah terjadi kerusakan. Pendekatan ini memiliki kelebihan yaitu dapat

digunakan untuk menilai manfaat kegunaan tidak langsung (indirect use

benefit) pada kondisi dimana data bio-fisik sulit diperoleh.

4. Preventife Expenditure

Preventife Expenditure adalah penilaian dari lingkungan yang

menggunakan pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk melakukan

pencegahan degradasi lingkungan. Pendekatan ini menggunakan teknik

secara tidak langsung dimana teknologi pencegah degradasi lingkungan

sudah tersedia. Contohnya dengan menghitung biaya pengolahan limbah

dengan menggunakan teknologi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

IPAL digunakan sebagai alat teknologi pencegah kerusakan lingkungan.

Menurut Garrod dan Willis (1999), metode yang lain adalah teknik

penilaian lingkungan yang tidak berdasarkan harga pasar. Teknik tersebut terbagi

atas tiga metode diantaranya sebagai berikut :

1. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)

Menurut Fauzi (2004), Travel Cost Method merupakan metode

tertua dibanding dengan beberapa metode valuasi lainnya. Metode ini

diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling pada tahun

Page 33: A08nat

1931, yang kemudian secara formal dikenalkan oleh Wood dan Trice

(1958) dan Clawson dan Knetsch (1966). Metode ini merupakan metode

yang paling mudah digunakan dalam penilaian lingkungan. Nilai TCM

diperoleh dari penjumlahan dari biaya perjalanan mencakup opportunity

cost waktu dan tiket masuk. Nilai tersebut digunakan untuk mengestimasi

permintaan untuk rekreasi (Garrod dan Willis, 1999).

2. Hedonic Pricing Method

Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit dari

karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji

hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan

barang dan jasa (Fauzi, 2004). Contohnya menentukan permintaan rumah

yang dibangun di tepi danau.

3. Contingent Valuation Method (CVM)

CVM merupakan suatu metode yang memungkinkan untuk

memperkirakan nilai ekonomi dari suatu komoditi yang tidak

diperdagangkan dalam pasar. CVM menggunakan pendekatan secara

langsung yang pada dasarnya menanyakan pada masyarakat mengenai

berapa besar nilai maksimum dari WTP untuk manfaat tambahan atau

berapa besar nilai maksimum dari WTA sebagai kompensasi dari

kerusakan barang lingkungan (Fauzi, 2004). Misalnya menanyakan kepada

masyarakat seberapa besar kompensasi yang bersedia diterima dari

kerusakan lingkungan.

2.5 Studi Kelayakan usaha

2.5.1 Indikator Kelayakan Usaha

Page 34: A08nat

Menurut Gittinger (1986), ada beberapa indikator usaha yang

mempengaruhi kelayakan usaha. Indikator-indikator tersebut adalah :

a. Manfaat sekarang neto (Net Present Value)

Manfaat sekarang neto dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari

arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Manfaat

sekarang neto dihitung dengan mencari selisih antara nilai sekarang dari

arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya.

b. Perbandingan manfaat dan biaya (Benefit-Cost Ratio/B/C Ratio)

Perbandingan manfaat dan biaya diperoleh bila nilai sekarang arus

manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. B/C ratio merupakan

ukuran berdiskonto yang pertama dikenal.

c. Tingkat pengembalian internal (Internal Rate of Return)

IRR adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek

untuk sumberdaya yang digunakan karena proyek membutuhkan dana lagi

untuk biaya-biaya operasional dan investasi dan proyek baru sampai pada

tingkat pulang modal. Hal tersebut merupakan “tingkat pengembalian atas

kapital yang belum selesai tiap periode sementara kapital tersebut masih

diinvestasikan pada proyek”.

d. Payback Period (PP)

Payback period adalah jangka waktu/periode yang diperlukan untuk

membayar kembali (mengembalikan) semua biaya-biaya yang telah

dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback period merupakan

perbandingan antara biaya investasi yang diperlukan dengan benefit bersih

yang dapat diperoleh pada setiap tahun.

Page 35: A08nat

2.5.2 Kriteria Kelayakan Usaha

Usaha dikatakan layak apabila nilai manfaat sekarang neto lebih dari nol,

tingkat pengembalian internal lebih dari tingkat suku bunga yang berlaku,

perbandingan manfaat dan biaya lebih dari satu serta payback period lebih kecil

daripada umur proyek. Jika nilai manfaat sekarang neto mempunyai nilai kurang

dari nol, tingkat pengembalian internal kurang dari tingkat suku bunga yang

berlaku, Payback period lebih besar daripada umur proyek, maka usaha tersebut

tidak dapat menghasilkan apa-apa dan juga tidak dapat mengembalikan biaya-

biaya yang dikeluarkan (Gittinger, 1986).

2.6 Studi-studi Terdahulu

2.6.1 Studi Mengenai Limbah Cair Tempe

Penelitian Wiryani (1991) menyatakan bahwa kandungan limbah cair

tempe mempunyai kadar bahan organik yang tinggi dan tidak memenuhi syarat

Baku Mutu Air Limbah. Kandungan limbah cair yang dihasilkan pada proses

perendaman kedelai lebih berpotensi besar dalam mencemari lingkungan perairan

daripada limbah cair yang dihasilkan pada proses perebusan kedelai. Kualitas air

sumur yang digunakan dalam proses pengolahan kedelai menjadi tempe, untuk

beberapa parameter kualitas air sumur yang diukur masih memenuhi persyaratan

sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga.

Proses anaerobik untuk mengolah limbah cair ini, setelah dua puluh hari mampu

menurunkan kadar TSS, TDS, BOD dan COD. Hasil akhir yang diperoleh masih

melampaui batas persyaratan dalam Baku Mutu Air Limbah.

Kelebihan penelitian ini adalah dapat mengetahui kandungan limbah cair

tempe dan melakukan upaya pengolahannya dengan proses anaerobik. Tetapi

Page 36: A08nat

limbah yang telah diolah dengan proses anaerobik memiliki kandungan bahan

organik yang masih diatas batas standar baku mutu limbah cair dan belum

meneliti mengenai persoalan ekonomi dari limbah cair tersebut.

2.6.2 Studi Mengenai Pengolahan Limbah Cair

Dari hasil analisis Purnamasari (2001) diketahui bahwa perubahan jumlah

limbah dipengaruhi secara nyata dengan arah positif oleh produksi tekstil,

penggunaan air untuk produksi dan pemakaian bahan baku polyester. Penggunaan

serat kapas mempengaruhi secara negatif karena perusahaan semakin mengurangi

pemakaian serat kapas, sedangkan perubahan debit limbah nyata dipengaruhi

secara positif oleh pemakaian air dan serat polyester serta secara negatif oleh

produksi tekstil dan pemakaian serat kapas. Pemakaian bahan kimia, baik untuk

persamaan jumlah maupun debit limbah tidak berpengaruh secara nyata. Biaya

pengolahan limbah terdiri dari biaya investasi dan operasional. Pendirian dan

pengembangan IPAL dari tahun 1994-1998 menghabiskan dana Rp 5.302,95 juta.

Nilai manfaat bersih tambahan sejak tahun pertama pendirian IPAL berturut-turut

adalah Rp 2.086,53, Rp- 5.526,88, Rp- 12.946,06, Rp- 3.754,10 dan Rp

15.386,28. Nilai proporsi biaya pengolahan limbah yang ditanggung konsumen

adalah 102,49 persen.

Penelitian ini memiliki kelebihan yaitu menganalisis manfaat dan biaya

pengolahan limbah dengan IPAL, proporsi biaya pengolahan limbah yang harus

ditanggung konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

perusahaan untuk melakukan pengolahan limbah. Tetapi belum menghitung

kelayakan usaha dari perusahaan setelah dilakukan pengolahan limbah.

Page 37: A08nat

2.6.3 Studi Mengenai Valuasi Ekonomi

Hasil penelitian Santoso (2005) mengenai valuasi ekonomi ekosistem

hutan mangrove di Kawasan Pondok Bali, Desa Legonwetan yaitu kondisi

ekosistem hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan sudah tidak sesuai

dengan rencana strategis Perum Perhutani. Hal ini disebabkan 30 persen dari area

hutan mangrove yang dijadikan area pertambakan (64,65 Ha) sudah dipergunakan

untuk tambak pola tradisional dan menebang habis kawasan hutan yang ada di

tengah-tengah area tambak. Pada hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan,

bentuk pengelolaan yang diperbolehkan oleh Perum Perhutani adalah dengan

menjadikan wilayah hutan mangrove sebagai area pertambakan dengan proporsi

tiap hektarnya harus memenuhi 80 persen untuk hutan dan 20 persen untuk kolam

perairan.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai manfaat total dari ekosistem hutan

mangrove yang ada di Desa Legonwetan, diperoleh nilai manfaat total sebesar Rp

3.700.228.818,74 per tahun atau Rp 17.088.518,76 per Ha per tahun. Nilai

tersebut didominasi oleh nilai manfaat langsung sebesar Rp 2.258.268.032,74 dan

nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp 424.464.130,00. Nilai manfaat pilihan

sebesar Rp 36.789.156,00 dan nilai manfaat keberadaan sebesar Rp

980.707.500,00. Alternatif skenario pengelolaan dan pemanfaatan yang terbaik

untuk pengelolaan hutan mangrove adalah skenario pemanfaatan dengan

mengembalikan luasan hutan mangrove seperti pada kondisi awal (290,01 ha).

Berdasarkan perhitungan, skenario tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang

paling efisien dengan nilai rasio manfaat dan biaya sebesar 3,69. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah menggunakan valuasi

Page 38: A08nat

yang berdasarkan manfaat (Benefit Based Valuation). Sehingga mengukur

kerusakan lingkungan dengan berdasarkan pada manfaat dari kualitas lingkungan

yang baik.

2.6.4 Studi Mengenai Biaya Eksternal

Nasrullah (2003) melakukan penelitian mengenai estimasi biaya

eksternalitas dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tambak Lorok-

Semarang. Semakin besar kapasitas pembangkit listrik dan semakin baru operasi

pembangkit listrik maka akan semakin kecil biaya eksternalitasnya. Hasil

perhitungan biaya eksternalitas studi kasus kesehatan yang diteliti menunjukkan

nilainya berkisar antara 0,00425 cents$/kWh sampai 0,10481 cents$/kWh, nilai

ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan studi ExternE yang menunjukkan

nilai sebesar 0,124 cents$/kWh sampai 0,843 cents$/kWh. Kelebihan penelitian

ini adalah menghitung dampak pencemaran udara dari PLTU. Tetapi belum

menginternalisasikan biaya eksternalitas tersebut ke dalam struktur biaya PLTU.

2.6.5 Studi Mengenai Kelayakan Usaha

Gumelar (2002) menganalisis kelayakan usaha proyek pengelolaan

sampah kota dengan pendekatan Nir Limbah (zero waste) di Kelurahan

Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penelitiannya

menyimpulkan bahwa proyek pengelolaan sampah kota dengan pendekatan Nir

Limbah tetap layak diusahakan pada peningkatan kapasitas produksi batako dan

serpihan plastik secara optimal, pada penurunan penjualan sebesar 26,3 persen

dan kenaikan biaya upah tenaga kerja sebesar 28,6 persen. Namun pada kombinasi

antara penjualan sebesar 26,3 persen dan kenaikan biaya upah tenaga kerja

Page 39: A08nat

sebesar 28,6 persen, proyek ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan. Penelitian

ini belum memasukkan biaya eksternal ke dalam analisis kelayakan usahanya.

Berdasarkan studi penelitian terdahulu, ternyata penelitian yang

menghitung biaya eksternal dan menginternalisasikan biaya tersebut ke dalam

struktur biaya serta menganalisis perubahan kelayakan usaha industri kecil tempe

masih jarang dilakukan. Sehingga Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan

Limbah (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan

Citeureup) sangat penting untuk dilakukan.

Page 40: A08nat

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Industri tempe menghasilkan tempe sebagai produk utama, ampas kedelai

sebagai produk sampingan dan limbah. Tempe langsung dijual kepada konsumen

dan ampas kedelai digunakan sebagai bahan baku industri makanan lain serta

limbah. Limbah dapat dijadikan Nata de Soya atau langsung dibuang ke sungai.

Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter setiap 1 ton

tempe yang diproduksi.8 Limbah yang dihasilkan berupa limbah cair yang

mengandung padatan tersuspensi dan terlarut yang tinggi kadar BOD dan

CODnya. Limbah cair tempe berpotensi memberikan dampak negatif terhadap

lingkungan seperti mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai

akan menyebabkan tercemarnya sungai tersebut.

Para pengrajin tempe umumnya membuang limbah cair langsung ke

sungai karena lokasi industri tempe di Desa Citeureup berada di sekitar sungai.

Hal ini menyebabkan kualitas lingkungan di sekitar sungai menurun dan dapat

menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar sehingga menghambat aktivitas

ekonomi mereka. Belum adanya kesadaran pengrajin tempe di Desa Citeureup

untuk melakukan pengolahan limbah. Padahal untuk menjaga sustainability

lingkungan sungai pengrajin harus melakukan pengolahan limbah sebelum

dibuang ke sungai. Salah satu pengolahan limbah yang dapat dilakukan adalah

dengan melakukan pembangunan IPAL. Menurut Sugiharto (1987) IPAL juga

merupakan bangunan air limbah yang dipergunakan untuk mengolah/memproses

air limbah menjadi bahan-bahan yang berguna lainnya serta tidak berbahaya bagi

sekelilingnya. Bangunan ini dibuat untuk melayani wilayah tertentu sesuai dengan 8 Dirjen IKM. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Dalam http://www.depperin.go.id/asp/pelatihan_ikm/cleanerprod/cleaner-production. Diakses Tanggal 20 Februari 2008.

Page 41: A08nat

kapasitas bangunan tersebut. Tujuan pembangunan Instalasi Pengolahan Air

Limbah adalah untuk mengendalikan mutu air nasional dan mutu buangan limbah

dapat dicapai (Linsley dan Franzini, 1986).

Tetapi pengrajin tempe di Desa Citeureup belum membangun IPAL

tersebut karena beberapa faktor yaitu (1) Pengrajin umumnya tidak memiliki dana

untuk melakukan pengelolaan limbah karena modal yang dimiliki terbatas, (2)

Keterbatasan pengetahuan mengenai teknologi pengolahan limbah dan standar

baku buangan limbah dan (3) Mereka mempunyai anggapan bahwa limbah yang

dihasilkan tidak berbahaya dan umumnya langsung dibuang ke badan air terdekat.

Pengrajin harus melakukan pengolahan limbah dengan membangun IPAL

untuk meminimalkan dampak negatif dari limbah cair tempe. Untuk membangun

IPAL diperlukan biaya-biaya seperti biaya investasi dan biaya operasional. Biaya

investasi berupa biaya peralatan sedangkan biaya operasional terdiri dari biaya

bahan baku, upah tenaga kerja, listrik, biaya pemeliharaan dan penyusutan. Biaya

pengolahan limbah dengan membangun IPAL merupakan biaya eksternal yang

harus ditanggung oleh pencemar yaitu pengrajin tempe. Sehingga pengrajin tempe

harus menginternalisasi biaya eksternal ke dalam struktur biaya usahanya agar

pengelolaan limbah dapat dilakukan.

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, salah satunya adalah menghitung

biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup untuk

melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL. Perhitungan biaya

tersebut dengan menggunakan pendekatan preventive expenditure. Setelah biaya

eksternal diperoleh, maka biaya tersebut diinternalisasikan ke dalam struktur

biaya dan melakukan analisis finansial untuk mengetahui kelayakan usaha

Page 42: A08nat

tersebut. Kemudian menganalisis perubahan kelayakan akibat internalisasi biaya

eksternal menggunakan analisis manfaat dan biaya (Benefit Cost Analysis).

Kelayakan usaha setelah internalisasi biaya eksternal akan mempengaruhi

penelitian lain yang bertujuan untuk mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe

untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL dan faktor-

faktor yang mempengaruhinya. Penelitian tersebut menggunakan analisis

deskriptif untuk tingkat kesediaan pengrajin dan analisis regresi logit untuk

faktor-faktor yang mempengaruhi pengrajin melakukan pengolahan limbah.

Diduga kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, pendapatan, lama usaha, luas tempat

usaha, jarak ke sungai dan jumlah tanggungan, sehingga perlu dilakukan

penelitian yang mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa

Citeureup dan mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe.

Kajian dan identifikasi yang akan dilakukan menggunakan analisis

deskriptif. Setelah diketahui kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan

limbah maka dapat dilakukan pengelolaan limbah cair industri tempe. Agar

limbah cair tidak membahayakan masyarakat dan pengrajin tempe dapat

melakukan pengolahan limbah.

Page 43: A08nat

-------- = tidak diteliti

Ampas kedelai Limbah cair Tempe

Dibuang ke sungai Bahan baku industri

makanan lain

Dijual ke konsumen

Pencemaran sungai

Pengolahan limbah dengan IPAL

Menganalisis kelayakan usaha sebelum ada IPAL (analisis kelayakaan finansial)

Usaha layak/tidak

Menganalisis perubahan kelayakan setelah internalisasi biaya eksternal

(analisis manfaat dan biaya)

Menghitung biaya eksternal (preventive expenditure)

Internalisasi Biaya Eksternal

Proses Produksi Tempe

Mengkaji karakteristik

pengrajin tempe dan dampak limbah cair

(analisis deskriptif)

Kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya (analisis deskriptif dan regresi logit)

Belum adanya kesadaran menjaga lingkungan dan pembangunan IPAL

Rekomendasi pengelolaan limbah industri tempe di Desa Citeureup

Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran

Page 44: A08nat

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup,

Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive)

karena Desa Citeureup merupakan salah satu sentra industri tempe di Kabupaten

Bogor dan letak industri tempe yang berada di sekitar sungai. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2008.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer

yang dikumpulkan mencakup : (1) Karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe

di Desa Citeureup yang menjadi responden, (2) Persepsi pengrajin tempe

mengenai dampak akibat limbah cair industri tempe (3) Aspek-aspek finansial

industri tempe dan (4) Persepsi responden tentang kesediaan melakukan

pengolahan limbah dengan IPAL. Data tersebut diperoleh melalui kuisioner

maupun wawancara langsung dengan responden. Data ini akan dimanfaatkan

sebagai pendukung dari penggunaan analisis deskriptif dan analisis perubahan

kelayakan akibat internalisasi biaya eksternal.

Data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan Dinas Tata Ruang

dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor dan Jakarta,

Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta, aparat Kecamatan dan Desa Citeureup,

LSI Institut Pertanian Bogor dan literatur-literatur yang relevan. Data yang

diperoleh berupa data mengenai cara dan pengelolaan limbah, jenis dan jumlah

limbah yang dihasilkan, tingkat pencemaran sungai, kerusakan lingkungan di

Page 45: A08nat

lokasi penelitian, biaya pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL, dampak

limbah cair tempe, jumlah industri tempe di Kecamatan dan Desa Citeureup,

perkembangan industri di Kabupaten Bogor, statistik Indonesia tahun 2005, teori

eksternalitas dan sebagainya.

4.3 Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data dilakukan dengan mengambil secara acak 31

orang dari 100 pengrajin yang ada di Desa Citeureup sebagai responden. Jumlah

responden diperoleh dari rumus Slovin (Umar, 2005) yaitu :

n = 21 NeN

+

dimana :

n = ukuran sampel

N = ukuran populasi

e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel

yang masih dapat ditolerir atau diinginkan.

Dalam penelitian ini jumlah populasi sebesar 100 orang dan persen

kelonggaran ketidaktelitian yang dipakai adalah 15 persen dengan pertimbangan

karena penelitian termasuk sosial ekonomi sehingga persen error maksimum yaitu

20 persen. Sehingga jumlah sampel adalah 31 orang dengan perhitungan sebagai

berikut :

n = ( )215,01001100

+

= 30,77 ≈ 31 orang

Pengrajin yang menjadi responden adalah pengrajin yang membuang limbah

cair tempe langsung ke sungai. Pengambilan responden sebagai sampel dilakukan

Page 46: A08nat

secara purposive sampling. Hal ini dikarenakan tidak ada sampling frame dan

keterbatasan waktu.

4.4 Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif

digunakan untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa

Citeureup dan mengidentifikasi dampak limbah cair tempe. Analisis kualitatif

dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif untuk mengkaji karakteristik

sosial ekonomi pengusaha/pengrajin tempe di Desa Citeureup, mengidentifikasi

dampak apa saja yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe dan mengukur tingkat

kesediaan pengrajin melakukan pengolahan limbah. Analisis kuantitatif dilakukan

dengan menggunakan analisis biaya, analisis kelayakan usaha, analisis manfaat

dan biaya dan analisis regresi logit. Analisis tersebut dilakukan untuk menghitung

biaya eksternal, menganalisis kelayakan usaha dan perubahannya setelah

internalisasi biaya eksternal dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan

pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah. Pengolahan data

menggunakan software Minitab 14 for Release dan Microsoft Excel 2003.

4.4.1 Analisis Biaya Eksternal

Menurut Gittinger (1986), biaya adalah pengeluaran atau pengorbanan

yang dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang kita terima. Biaya

yang digunakan dalam proyek terdiri dari biaya investasi, biaya operasional dan

biaya lainnya. Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada awal

dimulainya proyek, biasanya memerlukan biaya yang besar. Biaya investasi yang

digunakan dalam pembangunan IPAL adalah biaya untuk pembangunan IPAL

sedangkan biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan pada setiap

Page 47: A08nat

proses produksi dilakukan. Biaya operasional untuk IPAL adalah upah tenaga

kerja, biaya overhead, biaya perawatan dan biaya angkutan. Biaya pengolahan

dengan IPAL tersebut akan dibandingkan dengan jumlah limbah yang dihasilkan

oleh industri tempe. Sehingga diperoleh biaya pengolahan dengan IPAL untuk

setiap industri tempe.

Biaya pengolahan limbah dihitung dengan cara menjumlah semua biaya-

biaya pembangunan IPAL dan jumlah tersebut akan dibagi dengan jumlah industri

yang menggunakan IPAL. Sehingga didapat biaya pengolahan limbah per rumah

tangga pengrajin tempe. Perhitungan biaya eksternal dengan IPAL adalah sebagai

berikut :

B = A / C

Keterangan :

B : Biaya pengolahan limbah per rumah tangga pengrajin (Rp/tahun/RTP)

A : Biaya keseluruhan pembangunan IPAL (Rp/tahun)

C : Jumlah industri tempe yang menggunakan IPAL (RTP)

4.4.2 Analisis Perubahan Kelayakan Usaha Sebelum dan Setelah Internalisasi Biaya Eksternal

Biaya eksternal yang diperoleh dari perhitungan akan dimasukkan ke

dalam struktur biaya industri tempe kemudian dilakukan analisis finansial dan

perubahan kelayakan setelah internalisasi biaya eksternal. Analisis tersebut

dilakukan dengan menganalisis data yang diperoleh dengan kriteria kelayakan

investasi. Menurut Gittinger (1986), beberapa kriteria kelayakan investasi yang

digunakan adalah sebagai berikut :

Page 48: A08nat

1) Nilai Sekarang Neto (Net Present Value)

( )∑=

= +

−nt

tttt

iCB

1 1

2) Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate Return)

)( '' ii

NPVNPVNPViIRR −−

+=

3) Rasio Manfaat dan Biaya (B/C Ratio)

( )

( )∑

∑=

=

=

=

+

+nt

tt

t

nt

tt

t

iC

iB

1

1

1

1

4) Payback Period

AbIPP =

Keterangan :

Bt = Manfaat yang diperoleh tiap tahun

Ct = Biaya yang dikeluarkan tiap tahun

I = Besarnya biaya investasi yang diperlukan

Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya

t = 1, 2, ……, n

n = Jumlah tahun

i = Tingkat bunga (diskonto) yang digunakan atau menghasilkan NPV

positif

i’ = Tingkat bunga (diskonto) yang menghasilkan NPV negatif

NPV = Net Present Value Positif

NPV’ = Net Present Value Negatif

Page 49: A08nat

Jika nilai sekarang neto bernilai lebih dari nol, tingkat pengembalian

internal lebih dari tingkat suku bunga yang berlaku, rasio manfaat dan biaya lebih

dari satu dan semakin pendek periode yang diperlukan maka usaha dapat

dikatakan layak. Apabila nilai sekarang neto bernilai kurang dari nol, tingkat

pengembalian internal kurang dari tingkat suku bunga yang berlaku, rasio manfaat

dan biaya kurang dari satu dan periode yang diperlukan dalam usaha panjang

maka dapat dikatakan proyek dengan internalisasi biaya eksternal tidak dapat

menghasilkan apa-apa dan tidak dapat mengembalikan biaya-biaya yang

dikeluarkan.

4.4.3 Model Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Pengrajin Tempe Melakukan Pengolahan Limbah

Analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin

tempe untuk melakukan pengolahan dengan IPAL dilakukan dengan mengunakan

model regresi logistik atau model logit. Hal yang membedakan model regresi logit

dengan regresi biasa adalah peubah terikat dalam model tersebut bersifat dikotomi

(Hosmer dan Lameshow, 1989).

Bentuk fungsi dari model logit adalah sebagai berikut :

ppppLn Χ++Χ+Χ+=

⎭⎬⎫

⎩⎨⎧−

βββα …22111

Model dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin

tempe untuk melakukan pengolahan dengan IPAL adalah sebagai berikut :

Yi = β0 + β1TK. PENDi + β2UMURi + β3JARAKi + β4LTUi + β5LUi + β6JUML

TANGi + β7PDPTNi + ei

Keterangan : Yi = Kesediaan pengrajin melakukan pengolahan

limbah

Page 50: A08nat

Y = 1, bersedia melakukan pengolahan limbah

Y = 0, tidak bersedia melakukan pengolahan limbah

0β = Intersep

1β ,..., 7β = Koefisien regresi

TK. PEND = Tingkat pendidikan (1=Tamat SD/Sederajat,

2=Tamat SLTP/Sederajat dan 3=Tamat

SLTA/Sederajat)

UMUR = Umur (1=umur 23-29 tahun, 2=umur 30-36

tahun, 3=umur 37-43 tahun, 4=umur 44-50

tahun, 5=umur 51-57 tahun dan 6=umur 58-64

tahun)

JARAK = Jarak ke sungai (1=0-50,00 m2, 2=50,01-100,00

m2, 3=100,01-200,00 m2, 4=200,01-300,00 m2

dan 5=300,01-500,00 m2)

LTU = Luas tempat usaha (1=0-50,00 m2, 2=50,01-

100,00 m2, 3=100,01-150,00 m2 dan 4=>150,00

m2)

LU = Pengalaman usaha (1=3-9 tahun, 2=10-16 tahun,

3=17-23 tahun, 4=24-30 tahun, 5=31-37 tahun

dan 6=38-44 tahun)

JUML TANG = Jumlah tanggungan (1=0-1 orang, 2=2-3 orang,

3=4-5 orang, 4=6-7 orang, 5=8-9 orang dan

6=10-11 orang)

Page 51: A08nat

PDPTN = Pendapatan usaha (1=Rp 0-Rp 150.000, 2=Rp

150.001-Rp 300.000, 3=Rp 300.001-Rp 450.000,

4=Rp 450.001-Rp 600.000, 5=Rp 600.001-Rp

750.000 dan 6=Rp 750.001-Rp 900.000

i = Responden ke-i yang bersedia atau tidak

melakukan pengolahan limbah (i= 1, 2, 3, ....,n)

ei = Error terms

β1, β2, β3, β4, β5 , β7 > 0 dan β6 < 0

Persamaan diatas disebut dengan persamaan logit/logistik. Dimana Z

dikenal dengan logit yang merupakan logaritma dari rasio sebelumnya dan linier

dalam variable independent dan parameter metode estimasinya adalah Maximum

Likelihood Estimator (MLE) dan koefisien yang didapatkan konsisten.

Pemilihan variabel berdasarkan teori-teori, penelitian terdahulu dan

observasi di lapangan. Variabel tingkat pendidikan, luas tempat usaha, umur,

pendapatan, pengalaman usaha, dan jarak ke sungai diduga berbanding lurus

dengan tingkat kesediaan pengrajin tempe melakukan pengolahan limbah

sedangkan variabel jumlah tanggungan diduga berbanding terbalik dengan tingkat

kesediaan pengrajin tempe melakukan pengolahan limbah. Hubungan tersebut

mengandung makna semakin tinggi tingkat pendidikan maka diduga akan

semakin besar kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Dilihat

dari luas tempat usaha terdapat hubungan positif yaitu semakin luas tempat usaha

maka diduga akan semakin besar kesediaan melakukan pengolahan limbah.

Variabel umur menunjukkan dugaan bahwa semakin bertambahnya umur maka

tingkat kesediaan melakukan pengolahan limbah akan meningkat, sementara

Page 52: A08nat

hubungan dengan variabel pendapatan adalah semakin besar pendapatan maka

diduga pengrajin semakin bersedia melakukan pengolahan limbah.

Semakin berpengalaman dalam melakukan usaha tempe maka pengrajin

semakin bersedia melakukan pengolahan limbah dan semakin jauh jarak rumah

terhadap sungai akan semakin besar tingkat kesediaan pengrajin. Selain itu,

semakin banyak jumlah tanggungan maka pengrajin akan semakin tidak bersedia

melakukan pengolahan limbah.

Pengujian Parameter

Uji G

Statistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum (likelihood ratio

test) yang digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak.

Rumus umum untuk uji G (Hosmer dan Lameshow, 1989) adalah :

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

1

0ln2ll

G

Dimana:

lo = nilai likelihood tanpa variabel penjelas

l1 = nilai likelihood model penuh

Pengujian terhadap hipotesis pada uji G responden adalah sebagai berikut :

Ho = 1β = β2 = ... = βk = 0

H1 = minimal ada satu βi tidak sama dengan nol, dimana i = 1, 2, .....5

Statistik G akan mengikuti sebaran χ2 dengan derajat bebas α. Kriteria

keputusan yang diambil adalah jika G > χ2p(α), maka hipotesis nol (H0) ditolak.

Uji G dapat digunakan untuk memeriksa apakah nilai yang diduga dengan peubah

Page 53: A08nat

di dalam model lebih baik jika dibandingkan dengan model tereduksi (Hosmer

dan Lameshow, 1989).

Uji Wald

Uji wald digunakan untuk menguji perbedaan pengaruh antara taraf atribut

yang peubah bonekanya bernilai 1 dengan taraf lain dari atribut tersebut yang

semua peubahnya bernilai 0.

( )i

i

SEW

ββ

=

H0: βi = 0

H1 : βi ≠ 0

Dimana :

βi = Vektor koefisien dihubungkan dengan penduga (koefisien X)

SE (βi) = Galat kesalahan dari βi

Odd ratio

Odd ratio merupakan kemunculan dari peubah respon (Y=1) sebesar exp

(β) kali jika taraf atribut yang peubah bonekanya bernilai 1 muncul, dibandingkan

dengn taraf atribut tersebut yang semua peubah bonekanya bernilai 0 muncul,

dengan kata lain, odd ratio merupakan interpretasi dari sebuah peluang.

Kebaikan Model

Berbeda dengan regresi linier, dalam regresi logit, tingkat kebaikan model

dapat dilihat secara langsung dari Percentage Correct dalam Classification Table.

Semakin persentase nilai yang muncul, semakin bagus model yang digunakan.

Omnimbus Test Of Model Coefficient

Omnimbus test of model coefficient digunakan untuk melihat apakah

model yang digunakan nyata atau tidak. Dalam metode pengujian ini terdapat

Page 54: A08nat

nilai chi-square yang merupakan rasio likelihood antara ‘model dengan variabel’

dengan ‘model tanpa variabel’.

Interpretasi Koefisien

Jika koefisien bertanda (+) maka odd ratio akan lebih dari 1. jika

variabelnya merupakan skala nominal (dummy) maka dummy = 1 memiliki

kecenderungan untuk Y=1 sebesar exp (β) kali dibandingkan dengan dummy = 0.

jika variabelnya bukan dummy maka semakin besar X maka exp (β) ≥ 1, sehingga

semakin besar nilai X semakin besar pula kecenderungan untuk = 1.

4.5 Asumsi-asumsi

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial adalah

sebagai berikut :

1. Umur proyek didasarkan pada umur proyek IPAL yaitu selama

sepuluh tahun.

2. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 13 persen per tahun

berdasarkan tingkat suku bunga kredit Bank Umum rata-rata untuk

konsumsi dan investasi tahun 2008.

3. Manfaat yang diterima dalam proyek adalah manfaat yang tidak dapat

dihitung.

4. Pajak dihitung berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor

17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Perhitungan mengenai pajak

penghasilan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Page 55: A08nat

Tabel 2. Tarif Pajak Untuk Berbagai Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Rp 0 s.d Rp 50.000.000,00 10% (sepuluh persen) Rp 50.000.000,01- Rp 100.000.000,00 15% (lima belas persen) di atas Rp 100.000.000,00 30% (tiga puluh lima persen)

Sumber : UU RI no.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU RI no.17 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Sidauruk (2005).

4.6 Definisi Operasional

1. Responden adalah unit industri rumah tangga yang membuang limbah cair

langsung ke sungai.

2. Limbah cair tempe adalah zat sisa (buangan) yang dihasilkan dari proses

pencucian kedelai dalam produksi tempe dan tidak termasuk ampas kedelai.

3. Harga produk adalah harga jual dari pengrajin tempe.

4. Harga input adalah harga yang diterima oleh pengrajin untuk mendapatkan

bahan baku untuk memproduksi tempe.

5. Biaya investasi IPAL adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk

membangun IPAL.

6. Biaya operasional IPAL adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk

pemeliharaan dan perawatan IPAL.

7. Biaya eksternal adalah biaya yang untuk mengolah limbah menggunakan

IPAL.

8. Internalisasi biaya eksternal adalah biaya eksternal yang ditanggung oleh

pengrajin.

Page 56: A08nat

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Desa Citeureup

5.1.1 Kondisi Geografis

Desa Citeureup terletak di wilayah Pembangunan Bogor Timur dengan

luas wilayah seluas 311 Ha. Desa Citeureup berbatasan dengan Desa Gunung

Putri Kecamatan Gunung Putri dan Desa Bantar Jati Kecamatan Klapanunggal di

sebelah utara. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Karang Asem Timur dan

Desa Tarikolot. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Karang Asem Barat

dan Puspanegara sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Desa Gunung Sari

dan Desa Lulut. Desa Citeureup terletak pada ketinggian 99.80-125 meter di atas

permukaan laut. Curah hujan rata-rata 3.000-3.500 mm/tahun. Kelembaban

dengan suhu rata-rata 24-330C. Bentuk wilayah Desa Citeureup berupa dataran

rendah/berbukit/bergunung-gunung dengan kemiringan 99,80-1250.

Desa Citeureup merupakan lokasi yang strategis karena jarak dari pusat

pemerintahan cukup dekat. Jarak dari Kecamatan Citeureup yaitu 0,5 Kilometer.

Jarak antara Desa Citeureup dengan Pemerintah Kabupaten Bogor yaitu 11

Kilometer. Jarak antara Desa Citeureup dengan Ibukota Propinsi Jawa Barat dan

Ibukota Negara Republik Indonesia masing-masing yaitu 150 Kilometer dan 50

Kilometer.

5.1.2 Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Citeureup pada tahun 2006 adalah 17.014 orang

dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 4.351 orang. Penduduk Desa ini terdiri

dari penduduk produktif sebesar 9.469 orang, penduduk bekerja 7.156 orang dan

Page 57: A08nat

pengangguran 2.339 orang. Jumlah penduduk produktif di Desa Citeureup cukup

banyak karena umumnya penduduk tersebut bekerja sebagai pekerja industri.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Tahun 2006

Lingkungan RW

Penduduk(orang)

Kepala Keluarga(orang)

Penduduk Produktif (orang)

Penduduk Bekerja (orang)

Pengangguran(orang)

I 5.405 1.301 2.134 1.962 675II 3.765 981 2.156 1.756 562III 3.588 1.064 2.560 1.852 521IV 4.256 1.005 2.619 1.586 581

Jumlah 17.014 4.351 9.469 7.156 2.339Sumber : Potensi Desa , 2006.

Penduduk di Desa Citeureup sebagian besar tingkat pendidikannya rendah

yaitu 45,06 persen penduduk lulusan Sekolah Dasar. Hal ini disebabkan

kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di Desa Citeureup dan rendahnya

pendapatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Penduduk yang lain

yang lulus SLTP berjumlah 1.013 orang (23,71 persen), lulus SLTA sebanyak 918

orang (21,49 orang), dan lulus Perguruan Tinggi berjumlah 238 orang (5,57

orang). Penduduk yang tidak lulus Sekolah Dasar berjumlah 178 orang atau

sebesar 4,17 persen.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006

Tingkat Pendidikan Penduduk (orang) Persentase (persen)

Tidak Lulus SD 178 4,17Lulusan SD 1.925 45,06Lulusan SLTP 1.013 23,71Lulusan SLTA 918 21,49Lulusan PT 238 5,57Total 4.272 100,00

Sumber : Potensi Desa, 2006.

Page 58: A08nat

5.1.3 Mata Pencaharian

Penduduk Desa Citeureup yang bekerja di bidang pertanian hanya sebesar

1,97 persen sangat kecil bila dibandingkan dengan bidang non pertanian yaitu

98,03 persen. Hal ini diakibatkan tingginya tingkat konversi lahan untuk kegiatan

non pertanian, sehingga luas lahan yang digunakan untuk pertanian hanya 5 hektar

sedangkan untuk non pertanian antara lain untuk pemukiman, industri rumah

tangga dan kegiatan perdagangan sebesar 307,35 hektar (Potensi Desa, 2006).

Penduduk yang bekerja di bidang pertanian yaitu petani hanya berjumlah 138

orang. Pada bidang non pertanian terdiri dari beberapa jenis pekerjaan yaitu

pengusaha kecil, pegawai swasta, pegawai negeri sipil, pekerja di bidang jasa,

pekerja kontraktor, TNI/POLRI, pedagang, pensiunan dan pengemudi. Penduduk

yang bekerja di bidang non pertanian yang jumlahnya paling besar adalah pegawai

swasta berjumlah 3.756 orang atau sebesar 53,68 persen, terutama bekerja sebagai

buruh industri yang sebagian besar letaknya di Kota Cibinong.

Selain itu, pekerja kontraktor dengan jumlah 1.227 orang (17,54 persen),

pedagang berjumlah 987 orang (14,11 persen), pekerja di bidang jasa berjumlah

365 orang (5,22 persen) dan pengemudi dengan jumlah 236 orang (3,37 persen).

Penduduk yang bekerja di bidang non pertanian yang lain adalah pengusaha kecil

berjumlah 142 orang yang didalamnya termasuk pengrajin tempe (2,03 persen),

PNS berjumlah 93 orang, pensiunan dengan jumlah 39 orang (0,56 persen) serta

TNI/POLRI sebanyak 14 orang (0,20 persen).

Umumnya penduduk yang bekerja di bidang non pertanian jumlahnya

lebih besar daripada penduduk yang bekerja di bidang pertanian. Hal ini

dikarenakan Desa Citeureup sebagian besar lahannya digunakan untuk

Page 59: A08nat

pemukiman, industri dan bangunan-bangunan untuk berdagang, sehingga lahan

untuk pertanian sangat kecil.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2006

Jenis Pekerjaan Jumlah Penduduk (orang)

Persentase (persen)

Petani 138 1,97Pengusaha Kecil 142 2,03Pegawai Swasta 3.756 53,68Pegawai Negeri Sipil 93 1,33Pekerja Kontraktor 1.227 17,54Jasa 365 5,22TNI/POLRI 14 0,20Pedagang 987 14,11Pensiunan 39 0,56Pengemudi 236 3,37Total 6.997 100,00

Sumber : Potensi Desa, 2006.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penduduk di

Desa Citeureup umumnya produktif karena jumlah penduduk produktif yang lebih

besar daripada penduduk yang tidak produktif, tingkat pendidikannya rendah

karena 45,06 persen penduduk lulusan Sekolah Dasar serta bermata pencaharian

sebagai pegawai swasta sebesar 3.756 orang (53,68 persen). Hal ini dikarenakan

sebagian penduduk lulusan Sekolah Dasar dan terdapat industri di daerah tersebut

yang menyerap banyak tenaga kerja dari penduduk di Desa Citeureup.

5.2 Gambaran Umum Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup

Jumlah industri tempe di Desa Citeureup berjumlah 100 pengrajin tempe

(Lampiran 2). Jumlah industri tempe di Desa Citeureup mengalami penurunan

pada awal tahun 2008 karena banyaknya pengrajin tempe skala kecil yang gulung

tikar akibat kenaikan harga kedelai padahal tahun sebelumnya jumlah pengrajin

tempe cukup banyak. Ada sekitar 96 orang pengrajin yang menjadi anggota

Page 60: A08nat

Koperasi Produsen Tahu-Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten Bogor. Peran

KOPTI Kabupaten Bogor sebagai supply input dari proses produksi tempe yaitu

kedelai. KOPTI Kabupaten Bogor memasok kedelai kepada pengrajin tempe yang

menjadi anggotanya. Pengrajin tempe melakukan kegiatan produksi di rumah

masing-masing. Letak industri tempe sangat dekat dengan sungai dan letak antara

satu industri tempe dengan industri tempe lainnya berdekatan. Industri tempe

mengumpul pada suatu tempat yaitu seluruhnya berada di pinggir sungai. Hal ini

menyebabkan pengrajin langsung membuang limbah sisa produksi ke sungai.

Pengrajin umumnya langsung memasarkan hasil produksinya ke pasar-pasar

terdekat di wilayah Kabupaten Bogor sehingga tempe yang dihasilkan memenuhi

permintaan tempe di daerah tersebut. Hasil produksi tempe dapat memenuhi

sebagian dari total permintaan tempe. Hal ini dikarenakan jumlah industri tempe

di Desa Citeureup paling banyak diantara industri tempe di Desa lain yang berada

di Kabupaten Bogor.

5.3 Pemanfaatan Sungai Di Desa Citeureup

Masyarakat di sekitar sungai Desa Citeureup menggunakan air tersebut

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Umumnya masyarakat sekitar sungai

menggunakan air tersebut untuk mencuci, mandi dan sebagainya. Hal ini

dikarenakan lahan di sekitar sungai tersebut digunakan untuk pemukiman, tempat

kost, tempat usaha seperti tempat cuci mobil atau motor sedangkan di hilir sungai

DAS Kali Bekasi digunakan untuk memelihara ikan dalam tambak terapung.

Tetapi saat ini sungai di Desa Citeureup dan hilirnya sudah tidak dapat digunakan

lagi untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.

Page 61: A08nat

Limbah cair tempe yang berpotensi mencemari sungai berasal dari proses

perebusan kedelai dan yang berasal dari proses perendaman kedelai. Limbah cair

tempe mengandung kadar BOD dan COD yang cukup tinggi dan dapat

menyebabkan tercemarnya air sungai. Sungai yang tercemar akan mengurangi

kualitas sungai dan menimbulkan kerugian kepada masyarakat yang

menggunakan sungai tersebut. Data sifat kimia limbah cair industri tempe tersaji

dalam Tabel 6.

Tabel 6. Sifat Fisika Kimia Limbah Cair Tempe Dibandingkan dengan Standar Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Industri Menurut KEP.51/MENLH/10/1995

No. Parameter Satuan Standar

Baku Mutu Limbah Cair

Rebusan Limbah Cair Rendaman

Fisika 1. Suhu (0C) 40 75* 322. TDS (mg/l) 4.000 25.060* 25.254*3. TSS (mg/l) 400 4.012* 4.551*Kimia 1. pH (mg/l) 6-9 6 4,16*2. Fe (mg/l) 10 0,89 2,03. Cu (mg/l) 3 0,62 0,634. Zn (mg/l) 10 2,37 2,585. NH3-N (mg/l) 5 16,5* 26,7*6. NO3-N (mg/l) 30 12,52 14,087. NO2-N (mg/l) 3 ttd ttd8. BOD (mg/l) 150 1.302,03* 31.380,87*9. COD (mg/l) 300 4.188,27* 35.398,87*

Sumber : Wiryani, 1991. Keterangan : * Melampaui standar baku mutu limbah cair bagi industri menurut

KEP.51/MENLH/10/1995 ttd : tidak terdeteksi

Berdasarkan Tabel 6, limbah cair tempe dari proses rendaman dan proses

rebusan tidak memenuhi standar baku mutu limbah cair untuk industri. Hal ini

akan menyebabkan tercemarnya air sungai jika limbah cair tempe langsung

dibuang ke sungai tanpa mengalami proses pengolahan limbah terlebih dahulu.

Page 62: A08nat

Tanpa proses pengolahan limbah terlebih dahulu, kandungan limbah cair tempe

dapat membahayakan masyarakat yang menggunakan air tersebut untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Sungai di Desa Citeureup yang menjadi lokasi

penelitian merupakan salah satu dari Daerah Aliran Sungai Kali Bekasi yang

kualitasnya semakin memburuk akibat tingginya kadar BOD dan COD yang

berasal dari limbah industri salah satunya industri tempe.

5.4. Dampak Limbah Cair Tempe Terhadap Lingkungan dan Masyarakat

Desa Citeureup

Limbah cair tempe dapat menyebabkan kualitas lingkungan sekitar sungai

menurun karena tercemarnya air tersebut oleh kandungan bahan organik yang

terdapat didalamnya. Bahan organik tersebut akan mengalami perubahan menjadi

zat beracun bila dibiarkan dan digunakan oleh masyarakat. Beberapa dampak

yang dirasakan oleh masyarakat sekitar sungai dan hilirnya akibat limbah industri

tempe adalah badan terasa gatal-gatal ketika mandi menggunakan air tersebut,

pakaian yang dicuci menjadi kotor dan berminyak, binatang air seperti ikan dan

udang pun mengambang di permukaan karena mabuk, air yang digunakan

mencuci sangat kotor dan berbau busuk serta air dapat menyebabkan penyakit

pada tubuh manusia yang meminumnya dan menggunakannya seperti penyakit

diare dan kulit seperti gatal. Di hilir sungai Desa Citeureup ada warga yang

menggunakan air tersebut untuk tempat pemancingan ikan, memenuhi kebutuhan

hidupnya seperti mandi, mencuci pakaian dan sebagainya. Hal ini karena sebagian

besar masyarakat sekitar sungai merupakan pemukiman penduduk dan tempat

kost. Jika limbah cair tempe dibiarkan tanpa diolah terlebih dahulu maka akan

banyak sekali kerugian yang ditimbulkan akibat limbah cair industri yang

Page 63: A08nat

langsung dibuang ke sungai, sehingga diperlukan proses pengolahan air limbah

sebelum dibuang ke sungai.

Page 64: A08nat

VI. KARAKTERISTIK SOSIAL DAN EKONOMI PENGRAJIN TEMPE

DESA CITEUREUP

6.1 Karakteristik Sosial Pengrajin Tempe Desa Citeureup

Dalam penelitian ini terdapat 31 orang pengrajin tempe yang menjadi

responden. Responden diambil dari total populasi yang berjumlah 100 orang.

Responden diidentifikasi berdasarkan tingkat umur, pengalaman usaha, tingkat

pendidikan, jumlah tanggungan.

6.1.1 Tingkat Umur

Umur pengrajin tempe di Desa Citeureup berkisar antara 23 tahun sampai

60 tahun. Dilihat dari kelompok umur, jumlah responden terbesar ada pada

kelompok umur 30-43 tahun yaitu 21 orang atau 67,74 persen. Kelompok umur

tersebut tergolong kelompok umur produktif yang menyatakan bahwa pengrajin

umumnya produktif dalam menjalankan usahanya. Usaha ini dijalankan secara

turun-temurun sehingga banyak anak-anaknya yang meneruskan usaha tersebut.

Hal ini terlihat jelas pada Tabel 7.

Tabel 7. Umur Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008

Tingkat Umur (tahun)

Pengrajin tempe (orang)

Persentase (persen)

23-29 3 9,6830-36 12 38,7137-43 9 29,0344-50 4 12,9051-57 1 3,2358-64 2 6,45Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

Page 65: A08nat

6.1.2 Pengalaman Usaha

Pengalaman usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup yaitu minimal 3

tahun dan maksimal 40 tahun. Dilihat dari pengalaman usaha, jumlah pengrajin

yang paling besar berada pada kelompok pengalaman usaha 10-23 tahun yaitu 19

orang (61,29 persen). Hal ini berkaitan dengan kelompok umur yang tergolong

usia produktif sehingga pengalaman usaha yang dimiliki cukup lama. Umumnya

pengrajin memiliki pengalaman usaha yang cukup lama karena keterampilan

dalam membuat tempe merupakan warisan turun-temurun, sehingga menunjukkan

pengrajin sangat berpengalaman dalam usaha tempe yang dijalankan. Lebih rinci

terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengalaman Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008

Pengalaman Usaha (tahun)

Pengrajin Tempe (orang)

Persentase (persen)

3-9 7 22,5810-16 14 45,1617-23 5 16,1324-30 4 12,9031-37 0 0,0038-44 1 3,23Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

6.1.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan pengrajin tempe di Desa Citeureup beragam dari

tamatan Sekolah Dasar/Sederajat hingga tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat

Atas/Sederajat. Pengrajin tempe yang tamat Sekolah Dasar berjumlah 25 orang

(80,65 persen. Umumnya tingkat pendidikan pengrajin tempe adalah tamat

Sekolah Dasar (SD). Hal ini dikarenakan kurangnya sarana dan prasarana

pendidikan di Desa Citeureup dan tingginya biaya pendidikan, sehingga pengrajin

Page 66: A08nat

tempe hanya bisa mengenyam pendidikan hingga tamat SD. Tingkat pendidikan

yang rendah menyebabkan adopsi teknologi dalam pembuatan tempe oleh

masyarakat pun rendah. Teknologi yang digunakan pengrajin dalam membuat

tempe yaitu teknologi yang sifatnya tradisional dan tidak memerlukan tingkat

pendidikan yang tinggi untuk menggunakan alat-alat untuk membuat tempe.

Penggunaan alat-alat umumnya dilakukan secara manual. Tingkat pendidikan

yang rendah juga menyebabkan kesadaran pengrajin untuk memelihara

lingkungan sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Tingkat Pendidikan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008

Tingkat Pendidikan Pengrajin Tempe (orang)

Persentase (persen)

Tamat SD/Sederajat 25 80,65Tamat SLTP/Sederajat 4 12,90Tamat SLTA/Sederajat 2 6,45Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

6.1.4 Jumlah Tanggungan

Jumlah tanggungan merupakan jumlah anggota keluarga pengrajin tempe

yang terdiri dari istri, anak, menantu dan cucu dan beberapa dari anggota keluarga

tersebut dijadikan tenaga kerja dalam keluarga. Jumlah tanggungan berarti jumlah

anggota keluarga yang menempati satu tempat dan satu manajemen keuangan.

Pengrajin tempe memiliki jumlah tanggungan yang berkisar antara 0-11 orang.

Dominan pengrajin memiliki jumlah tanggungan 0-3 orang yaitu 17 orang (54,84

persen). Jumlah tanggungan yang banyak akan meningkatkan biaya hidup

sehingga dapat mempengaruhi kesediaan pengrajin dalam melakukan pengolahan

limbah. Hal ini terlihat pada Tabel 10.

Page 67: A08nat

Tabel 10. Jumlah Tanggungan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008

Jumlah Tanggungan (orang)

Pengrajin Tempe (orang)

Persentase (persen)

0-1 3 9,682-3 14 45,164-5 9 29,036-7 2 6,458-9 2 6,4510-11 1 3,23Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

6.2 Karakteristik Ekonomi Pengrajin Tempe Desa Citeureup

Karakteristik ekonomi pengrajin tempe diidentifikasi berdasarkan luas

tempat usaha, skala usaha, proses produksi, kapasitas produksi, tingkat

pendapatan, jumlah tenaga kerja, saluran pemasaran dan jarak ke sungai. Berikut

beberapa karakteristik ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup yaitu :

6.2.1 Luas Tempat Usaha

Luas tempat usaha yang digunakan untuk melakukan produksi umumnya

relatif kecil. Berdasarkan luas tempat usaha, jumlah pengrajin terbesar memiliki

luas tempat usaha 0-100 m2 yaitu sebesar 23 orang (74,19 persen). Pengrajin

umumnya luas tempat usahanya tidak luas karena kemampuan produksi mereka

yang relatif kecil yaitu mayoritas kurang dari 100 kilogram kedelai sekali

produksi sehingga tidak memerlukan tempat yang luas. Luas tempat usaha yang

relatif kecil akan mempengaruhi kesediaan pengrajin untuk melakukan

pengolahan limbah. Hal ini lebih terlihat jelas pada Tabel 11.

Page 68: A08nat

Tabel 11. Luas Tempat Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008

Luas Tempat Usaha (m2)

Pengrajin tempe (orang)

Persentase (persen)

0-50,00 2 6,4550,01-100,00 21 67,74100,01-150,00 7 22,58>150,00 1 3,23Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

6.2.2 Skala Usaha

Skala usaha yang dilakukan oleh pengrajin tempe beragam yaitu mulai

dari kurang dari 100 kilogram kedelai sampai lebih dari 300 kilogram kedelai.

Jika dilihat dari skalanya, usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup tergolong

skala usaha kecil karena jumlah pengrajin yang skala usahanya kurang dari 100

kilogram berjumlah 25 orang (80,65 persen). Pengrajin yang skala usahanya

antara 100,01-200,00 kilogram berjumlah 3 orang (9,68 persen), pengrajin yang

skala usahanya berkisar 200,01-300,00 kilogram berjumlah 2 orang (6,45 persen)

dan hanya 1 orang yang skala usahanya lebih besar daripada 300 kilogram kedelai

setiap kali produksi. Skala usaha tersebut menyebabkan pula kapasitas produksi

yang dihasilkan rendah. Lebih rinci mengenai skala usaha pengrajin tempe dapat

dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Skala Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008

Skala usaha (kg kedelai/sekali

produksi) Pengrajin Tempe

(orang) Persentase

(persen) ≤ 100 25 80,65100,01-200,00 3 9,68200,01-300,00 2 6,45>300 1 3,23Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

Page 69: A08nat

6.2.3 Proses Produksi

Usaha pengolahan tempe di Desa Citeureup dilakukan setiap hari.

Kegiatan produksi tidak pernah berhenti karena pengrajin tempe umumnya

menjual tempe setiap hari. Pengrajin membuat tempe dengan menggunakan

beberapa peralatan dan bahan baku seperti penggilingan, drum untuk merebus dan

merendam, tungku, rak(kerai) dari bambu, saringan, pisau, tusukan, kedelai, ragi,

pewarna, daun, plastik, dan serbuk kayu/kayu bakar. Dilihat dari peralatan yang

digunakan teknologi pembuatan tempe masih tergolong sederhana. Kedelai yang

digunakan sebagai bahan baku merupakan kedelai impor dengan kisaran harga Rp

6.850-Rp 7.500 per kilogram kedelai. Semua pengrajin tempe menggunakan

kedelai impor karena harganya yang lebih murah daripada kedelai lokal dan

kualitas dari kedelai impor yang dinilai lebih baik. Kedelai impor didapatkan dari

KOPTI atau pedagang pengecer.

Bahan baku lain yang digunakan untuk membuat tempe adalah ragi. Rata-

rata untuk 109 kilogram kedelai diperlukan ragi 0,52 kilogram (5,2 ons) dengan

harga rata-rata per kilogram Rp 11.629. Selain itu, untuk kegiatan produksi tempe

digunakan pewarna sebanyak empat bungkus dengan harga Rp 500 per bungkus.

Untuk bahan bakar, pengrajin tempe ada yang menggunakan serbuk kayu sisa

furniture atau kayu bakar yang berasal dari toko furniture. Rata-rata volume

serbuk kayu atau kayu bakar yang digunakan untuk satu kali produksi adalah satu

karung dengan harga rata-rata Rp 9.161 per karung.

Pengrajin menggunakan bahan pemgemas dari daun dan plastik. Daun

yang digunakan rata-rata Rp 13.855 setiap kali produksi. Plastik yang digunakan

untuk 109 kilogram kedelai adalah satu kilogram dengan harga rata-rata per

Page 70: A08nat

kilogram Rp 20.597. Skala usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sangat

beragam dan terdiri dari pengrajin yang skala usahanya 0-50 kilogram kedelai per

hari, 50-100 kilogram kedelai per hari dan diatas 100 kilogram per hari. Skala

usaha yang berada pada kisaran 0-100 kilogram kedelai per hari tergolong kecil

sedangkan skala usaha yang berada pada kisaran lebih dari 100 kilogram per hari

tergolong usaha yang berskala besar.

Proses pembuatan tempe di Desa Citeureup terdiri dari beberapa tahapan.

Hal yang pertama kali dilakukan adalah proses perebusan kedelai selama kurang

lebih dua jam. Perebusan ini bertujuan untuk melunakkan kedelai sehingga

mempermudah proses fermentasi. Selanjutnya kedelai rebus direndam dalam air

dingin kurang lebih 12 jam dimana selama perendaman telah berlangsung proses

pengasaman. Keesokan harinya kedelai dicuci dan dibilas kemudian digiling agar

terpisah dari kulitnya. Kemudian kedelai tersebut disaring agar benar-benar bersih

dari kulitnya. Setelah bersih kedelai diberi ragi lalu dibungkus dan dibentuk

kemudian diperam sampai matang. Proses pemeraman ini biasanya memerlukan

waktu kurang lebih 36 jam.

Tempe yang telah matang dapat dipasarkan ke konsumen. Pembuatan

tempe dari awal hingga dapat dipasarkan memerlukan waktu sekitar tiga hari.

Tempe dipasarkan oleh pengrajin tempe itu sendiri biasanya pengrajin berdagang

di pasar, selain itu tempe juga dipasarkan oleh pedagang pengecer yang membeli

tempe dari pengrajin. Ada juga pengrajin yang memasarkan tempenya kepada

rumah makan (katering).

Page 71: A08nat

6.2.4 Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi tempe merupakan jumlah tempe yang dihasilkan dalam

setiap kali produksi. Jumlah tempe yang dihasilkan cukup beragam mulai dari 48

kilogram setiap kali produksi sampai dengan 720 kilogram tempe sekali produksi.

Kapasitas produksi tergantung dari skala usaha yang dijalankan oleh pengrajin

tempe. Jumlah pengrajin terbesar berada pada kapasitas produksi dibawah 200

kilogram sekali produksi yaitu 22 orang (70,97 persen). Kapasitas produksi yang

cukup rendah menyebabkan tingkat pendapatan juga rendah. Sisa hasil produksi

yang berupa ampas kedelai dijual oleh pengrajin untuk makanan ternak dengan

harga satu karung ampas dijual Rp 5.000. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Kapasitas Produksi Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008

Kapasitas Produksi (kg tempe/sekali

produksi) Pengrajin Tempe

(orang) Persentase

(persen) ≤ 100,00 7 22,58100,01-200,00 15 48,39200,01-300,00 4 12,90300,01-400,00 2 6,45400,01-500,00 2 6,45> 500,00 1 3,23Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

6.2.5 Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan pengrajin tempe di Desa Citeureup sangat beragam.

Hal ini disebabkan oleh perbedaan skala usahanya. Umumnya pengrajin memiliki

pendapatan kurang dari Rp 150.000 sekali produksi yaitu 24 orang (77,42 persen).

Sebagian besar pengrajin memiliki pendapatan yang rendah yaitu kurang dari Rp

150.000 sekali produksi, hal ini disebabkan skala usaha yang relatif kecil (kurang

dari 100 kilogram kedelai) sehingga pendapatan yang diterima juga rendah.

Page 72: A08nat

Pengrajin yang skala usahanya relatif besar (lebih besar dari 100 kilogram

kedelai) memiliki pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan pengrajin

yang skala usahanya kecil. Lebih rinci mengenai pendapatan pengrajin tempe

Desa Citeureup dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Tingkat Pendapatan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008

Tingkat Pendapatan (Rp/sekali produksi)

Tingkat Pendapatan (Rp/tahun)

Pengrajin Tempe (orang)

Persentase (persen)

0-150.000 0-48.900.000 24 77,42150.001-300.000 48.900.001-97.800.000 1 3,23300.001-450.000 97.800.001-146.700.000 2 6,45450.001-600.000 146.700.001-195.600.000 3 9,68600.001-750.000 195.600.001-244.500.000 0 0,00750.001-900.000 244.500.001-293.400.000 1 3,23Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

6.2.6 Tenaga Kerja

Berdasarkan hal tersebut, jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk

produksi tidaklah banyak hal ini dikarenakan pengrajin umumnya memiliki

anggota keluarga yang dapat menjadi tenaga kerja dalam keluarga. Penggunaan

tenaga kerja dalam keluarga dilakukan untuk menekan biaya produksi. Tenaga

kerja dari luar keluarga yang digunakan untuk setiap rumah tangga pengrajin

adalah 1-4 orang. Rata-rata upah yang diberikan kepada tenaga kerja berkisar

antara Rp 25.000 sampai Rp 50.000. Jam kerja umumnya 8 jam sehari dengan

kisaran waktu yaitu 5-10 jam per hari.

Sebagian besar pengrajin menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang

hubungannya sangat erat dengan pengrajin yaitu istri atau anak. Umumnya

Page 73: A08nat

pengrajin menggunakan seorang anggota keluarganya yaitu istri. Tenaga kerja

dalam keluarga umumnya tidak diberi upah.

6.2.7 Saluran Pemasaran

Ada tiga saluran pemasaran yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu :

a. Pengrajin Konsumen

Pengrajin yang langsung menjual ke konsumen umumnya menjualnya

langsung ke pasar dengan jumlah 20 orang (64,52 persen). Pengrajin bertindak

langsung sebagai pedagang yang menjual tempe. Biasanya pengrajin berjualan di

pasar-pasar terdekat seperti pasar Citeureup, Cileungsi, Cibinong, Jonggol dan

Wanaherang. Konsumen yang dihadapi oleh penjual adalah konsumen akhir yang

berasal dari rumah tangga. Pengrajin umumnya langsung menjual ke pasar

terdekat dengan alasan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar daripada

menjual ke perantara. Hal ini dikarenakan jika pengrajin menjual ke perantara

dengan harga yang lebih murah maka keuntungan yang diterima semakin kecil.

b. Pengrajin Pedagang di Pasar Konsumen

Saluran pemasaran yang lain adalah pengrajin menjual tempe kepada

pedagang di pasar. Dari pedagang di pasar, konsumen dapat membeli tempe yang

dibuat oleh pengrajin. Sehingga pengrajin tidak langsung menjual tempe kepada

konsumen. Jumlah pengrajin yang menjual tempe kepada pedagang di pasar ada 6

orang (19,35 persen).

c. Pengrajin Rumah Makan (katering) Konsumen

Saluran pemasaran tempe yang terakhir yaitu tempe dijual kepada

rumah makan (katering) lalu dibeli oleh konsumen setelah diberi proses

pengolahan yang lain dari rumah makan seperti dicampur dengan makanan lain,

Page 74: A08nat

digoreng, dibakar dan sebagainya. Jumlah pengrajin yang menjual tempe kepada

rumah makan berjumlah 5 orang (16,13 persen). Di samping itu, apabila ada

permintaan dari rumah makan (katering) maka pengrajin akan berproduksi

melebihi kapasitas biasa per hari untuk memenuhi permintaan tersebut. Hal ini

dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 15.

Tabel 15. Saluran Pemasaran Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup

Saluran Pemasaran Jumlah Pengrajin

(orang)

Persentase(persen)

a. Pengrajin Konsumen 20 64,52b. Pengrajin Pedagang di Pasar Konsumen 6 19,35c. Pengrajin RumahMakan (katering) Konsumen 5 16,13Total 31 100,00

Sumber : data primer (diolah)

Berdasarkan Tabel 16, dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran yang

paling menguntungkan untuk pengrajin tempe adalah saluran pemasaran dari

pengrajin langsung dijual kepada konsumen. Hal ini karena pengrajin tempe dapat

memperoleh keuntungan yang lebih besar apabila langsung menjual ke pasar

daripada menjualnya kepada pedagang perantara terlebih dahulu.

6.2.8 Jarak Rumah Ke Sungai

Jarak antara rumah pengrajin ke sungai sangat beragam, mulai dari 10 m2

sampai dengan 500 m2. Dominan pengrajin memiliki rumah yang berjarak kurang

dari 50,00 m2 ke sungai berjumlah 22 orang (70,97 persen). Sebagian besar

pengrajin memiliki jarak yang dekat ke sungai sehingga memudahkan pengrajin

untuk membuang langsung ke sungai dan menyebabkan pencemaran sungai. Jarak

antara rumah ke sungai yang dekat akan mempengaruhi kesediaan pengrajin untuk

melakukan pengolahan limbah. Lebih rinci mengenai jarak rumah pengrajin ke

sungai dapat dilihat pada Tabel 16.

Page 75: A08nat

Tabel 16. Jarak Rumah ke Sungai

Jarak (m2)

Pengrajin Tempe (orang)

Persentase (persen)

0-50,00 22 70,9750,01-100,00 2 6,45100,01-200,00 3 9,68200,01-300,00 2 6,45300,01-500,00 2 6,45Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

Page 76: A08nat

VII. KERAGAAN EKONOMI USAHA PEMBUATAN TEMPE

Arus tunai usaha pengolahan tempe di Desa Citeureup terdiri dari arus

manfaat atau arus penerimaan dan arus biaya atau arus pengeluaran. Manfaat dan

biaya dalam analisis ini dibatasi pada manfaat dan biaya yang dapat

diperhitungkan (tangible). Umur proyek sepuluh tahun yang didasarkan pada

umur teknis IPAL yang merupakan komponen investasi yang paling utama dalam

analisis ini. Sehingga arus tunai yang diperhitungkan dalam analisis ini dimulai

pada tahun kenol hingga tahun kesepuluh. Pada tahun kenol merupakan tahun

awal memulai investasi sehingga hanya mengeluarkan biaya investasi dan biaya

operasional dimulai pada tahun pertama karena proses produksi dimulai pada

tahun pertama. Angka-angka dalam arus tunai tahun pertama diasumsikan sama

dengan hingga tahun kesepuluh.

7.1 Arus Penerimaan

Arus penerimaan usaha tempe di Desa Citeureup terdiri dari: (1) Nilai

produksi total yang mencakup penerimaan dari produk utama (tempe) dan

penerimaan dari produk sampingan (ampas kedelai) serta (2) Nilai sisa.

Perhitungan nilai sisa (salvage value) pada akhir proyek dimasukkan kedalam

arus penerimaan. Jumlah penerimaan dipengaruhi oleh satu faktor yaitu

pendapatan kotor rata-rata.

Nilai produksi total diperoleh dari pendapatan kotor dari penjualan tempe

dan penjualan ampas kedelai. Nilai produksi total pada tahun pertama

diasumsikan sama dengan tahun berikutnya yaitu pertambahan antara pendapatan

yang diperoleh dari penjualan tempe dan penjualan ampas kedelai. Nilai produksi

total tidak dihitung dari perkalian antara jumlah produk yang dihasilkan dengan

Page 77: A08nat

harga jualnya karena jumlah produk yang dihasilkan setiap harinya tidak menentu

dan tidak dihitung oleh pengrajin.

Penerimaan dari produk utama diperoleh dari pendapatan kotor dari

penjualan. Harga jual rata-rata tempe bervariasi dari yang dibungkus dengan daun

dan dengan plastik. Harga jual tempe untuk produk yang dibungkus dengan daun

adalah Rp 1.500 per buah dan Rp 2.500 per buah untuk produk yang dibungkus

dengan plastik. Dalam sebulan terdapat 27 kali produksi (30 hari). Jumlah tersebut

dikalikan dengan 12 bulan kemudian hasilnya ditambah dengan jumlah produksi 5

hari yang tersisa (2 kali produksi) sehingga diperoleh dalam setahun rata-rata

pengrajin tempe melakukan 326 kali produksi. Pendapatan rata-rata yang

diperoleh per sekali produksi adalah Rp 1.045.161 atau sama dengan Rp

340,722,486 per tahun (99,65 persen). Sehingga diperoleh total penerimaan

sebesar Rp 340,722,486 per tahun pada tahun pertama sampai dengan tahun

kesembilan. Pada tahun kesepuluh penerimaan ditambah dengan nilai sisa menjadi

Rp 341,919,923 per tahun.

Dalam satu kali produksi rata-rata ampas kedelai yang dihasilkan sebesar

0,4 karung. Harga jual rata-rata 1 karung ampas kedelai adalah Rp 1.548. Jumlah

tersebut sama dengan Rp 201.468 per tahun (0,06 persen).

Nilai sisa merupakan nilai akhir dari nilai barang yang belum habis

terpakai yaitu nilai drum rendam dan cuci, penggilingan dan rak (kerai) dari

bambu. Jumlah seluruh nilai sisa adalah sebesar Rp 995.969 pada akhir tahun

proyek yaitu pada tahun kesepuluh atau sebesar 0,29 persen. Lebih rinci

mengenai penerimaan usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup terlihat pada

Tabel 17.

Page 78: A08nat

Tabel 17. Penerimaan Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup

No.

Arus Penerimaan Jumlah (Rupiah/tahun)

Persentase (persen)

1. Nilai Produksi : Utama 340.722.486 99,652. Sampingan 201.468 0,063. Nilai sisa 995.969 0,29Total Penerimaan 341.919.923 100,00

Sumber : Data Primer (diolah)

7.2 Arus Pengeluaran

Arus pengeluaran dalam analisis ini dibagi atas dua bagian yaitu biaya

investasi dan biaya operasional. Keduanya merupakan perhitungan sebelum ada

IPAL. Berikut disajikan rincian biaya-biaya tersebut :

7.2.1 Biaya Investasi

Biaya investasi pada tahun awal sebelum ada IPAL terdiri dari biaya-biaya

yaitu lahan dan bangunan, drum rebus, drum rendam dan cuci, penggilingan, rak

kerai dari bambu, dan tungku. Lahan dan bangunan merupakan komponen

investasi yang paling besar dengan luas rata-rata 110 m2 dengan harga per meter

kubik Rp 380.645 (93,53 persen). Selain lahan dan bangunan, yang termasuk ke

dalam investasi adalah peralatan seperti drum rebus dengan harga rata-rata per

satuan Rp 81.290 (0,18 persen), 3 drum rendam dan cuci dengan harga per satuan

Rp 95.000 (0,64 persen) dan penggilingan seharga Rp 1.358.065 (3,03 persen).

Jenis investasi yang lain adalah rak kerai dari bambu seharga Rp 1.024.119 per 53

kerai (2,28 persen) dan tungku Rp 150.000 (0,34 persen). Total biaya investasi

usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sebesar Rp 44.769.328. Rincian biaya

investasi pada usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sebelum ada IPAL

terlihat pada Tabel 18.

Page 79: A08nat

Tabel 18. Investasi Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup

No. Biaya-biaya investasi Jumlah (Rupiah/tahun)

Umur Teknis (tahun)

Persentase (persen)

1. 110 m2 Lahan (Rp 380.645/m2) 41.870.950 10,0 93,53

2. 1 Drum Rebus 81.290 1,0 0,183. 3 Drum Rendam dan

cuci 285.000 3,6 0,644. Penggilingan 1.358.065 2,0 3,035. Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 6,4 2,286. Tungku 150.000 2,0 0,34Total Biaya Investasi 44.769.328 15,0 100,00

Sumber : Data Primer (diolah)

7.2.2 Biaya Operasional

Biaya operasional sebelum ada IPAL terdiri dari biaya tetap dan variabel.

Biaya tetap terdiri dari upah tenaga kerja, biaya transportasi, listrik dan biaya

sewa sedangkan biaya variabel terdiri dari kedelai, ragi, pewarna, daun, plastik,

bahan bakar dan biaya perlengkapan. Rata-rata tenaga kerja per rumah tangga

pengrajin adalah dua orang dengan upah sekali produksi Rp 37.258 atau sama

dengan Rp 24.292.216 per tahun. Komponen biaya tetap terbesar adalah tenaga

kerja dengan persentase sebesar 8,15 persen. Biaya tetap lain adalah biaya

transportasi yang jumlahnya sebesar Rp 10.000 per hari atau sama dengan Rp

3.260.000 per tahun (1,09 persen). Kedelai merupakan komponen biaya variabel

yang terbesar yaitu sebesar 83,25 persen dengan kapasitas produksi 109 kilogram

sekali produksi dengan harga rata-rata per kilogram Rp 6.985 maka diperoleh Rp

248.204.990 per tahun. Rata-rata volume ragi yang digunakan untuk sekali

produksi adalah 0,52 kilogram (harga per kilogram Rp 11.887) atau sama dengan

Rp 2.015.006 per tahun (0,68 persen).

Page 80: A08nat

Selain kedelai dan ragi, bahan yang digunakan untuk produksi tempe

adalah pewarna dengan harga per bungkus Rp 500 dan yang digunakan sekali

produksi empat bungkus. Penggunaan pewarna per tahun menjadi Rp 652.000

atau sebesar 0,22 persen. Untuk bahan pembungkus kedelai digunakan daun

sebesar Rp 4.516.730 per tahun (1,52 persen) dan plastik sebesar Rp 6.714.622

per tahun (2,25 persen). Bahan bakar yang digunakan dalam usaha tersebut adalah

serbuk kayu atau kayu bakar dengan pemakaian sebesar Rp 2.986.486 per tahun

(1,00 persen). Biaya variabel yang lain adalah biaya listrik dengan pemakaian

sebesar Rp 1.200.000 per tahun atau sebesar 0,40 persen. Biaya yang terakhir

yaitu biaya perlengkapan yang terdiri dari saringan Rp 92.904 per tahun, pisau Rp

1.000 dan alat penusuk Rp 10.000. Total biaya operasional usaha pembuatan

tempe di Desa Citeureup adalah sebesar Rp 298.145.954 per tahun. Lebih lengkap

terlihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Biaya Operasional Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup

No. Biaya-biaya Operasional Jumlah (Rupiah/tahun)

Persentase (persen)

1. Biaya Tetap : Transportasi 3.260.000 1,092. Upah Tenaga Kerja 24.292.216 8,153. Listrik 1.200.000 0,404. Sewa kios 4.200.000 1,415. Biaya Variabel : Kedelai 248.204.990 83,256. Ragi 2.015.006 0,687. Daun 4.516.730 1,528. Plastik 6.714.622 2,259. Pewarna 652.000 0,2210. Bahan Bakar 2.986.486 1,0011. Saringan 92.904 0,0312. Pisau 10.000 0,0013. Alat Penusuk 1.000 0,00Total Biaya Operasional 298.145.954 100,00

Sumber : Data Primer (diolah)

Page 81: A08nat

VIII. BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN TEKNIK BIOGAS PER

RUMAH TANGGA PENGRAJIN TEMPE

8.1 Mekanisme Sistem Pengolahan Limbah Cair dengan IPAL

Teknik pengolahan limbah dengan IPAL ada dua yaitu IPAL terpadu dan

IPAL teknik biogas. Teknik pengolahan limbah cair yang dapat bermanfaat bagi

pengrajin tempe adalah teknik biogas dengan biodigester karena (1) Biaya

investasi untuk membangun IPAL biogas lebih rendah dan (2) Gas methan yang

dihasilkan dari pengolahan limbah tersebut dapat digunakan sebagai sumber

energi alternatif yang menghasilkan gas-bio. Gas-bio tersebut dapat digunakan

untuk produksi dan kebutuhan rumah tangga pengrajin tempe seperti memasak,

lampu dan sebagainya.IPAL dengan teknik biogas terdiri dari bak inlet,

biodigester, bak peluapan, Aerobic Baffled Reactor (ABR), Anaerobic Filter (AF),

dan bak outlet. Selain itu, keuntungan menggunakan IPAL teknik biogas adalah

dapat menurunkan kadar BOD dan COD hingga 90 persen (Kementerian

Lingkungan Hidup, 2006).

Sumber : Fokus, 2005

Gambar 2. Skema Sistem Pengolahan Limbah Cair

Inlet Limbah Cair Industri

Tempe

Anaerobic Baffled Reactor

(ABR) dan Anaerobic Filter (AF)

Outlet DIGESTER

Gas Methan

Page 82: A08nat

Limbah cair dimasukkan/disalurkan ke dalam bak in-let yang berfungsi

untuk menampung air limbah sebelum diolah. Setelah air limbah masuk ke dalam

inlet, air tersebut dialirkan ke dalam digester. Didalam digester, air limbah diolah

dan menghasilkan gas methan (gas bio) yang dapat digunakan sebagai sumber

energi alternatif bagi pengrajin. Setelah diolah dengan biodigester, air limbah

yang telah diolah dimasukkan ke dalam Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dan

Anaerobic Filter (AF), untuk diendapkan dan difiltrasi agar kadar BOD dan COD

turun hingga 90 persen. Fungsi ABR (reaktor lumpur aktif) adalah untuk

menghilangkan bahan organik dalam air limbah, sedangkan AF berfungsi untuk

menyaring air limbah agar kandungan bahan pencemar berkurang. Air limbah

yang sudah diolah langsung dialirkan menuju bak outlet yang berfungsi untuk

menampung air limbah yang telah diolah sebelum dibuang ke sungai. Setelah

ditampung dalam bak outlet, air limbah yang telah diolah dapat dibuang ke

sungai.

8.2 Biaya Pengolahan Limbah Dengan IPAL Per Rumah Tangga

Pengrajin Tempe

Biaya untuk membangun IPAL terdiri dari biaya pembelian dan

pemasangan biodigester, biaya pembelian dan pemasangan ABR (Anaerobic

Baffled Reactor) dan AF(Anaerobic Filter) dan biaya pembelian dan pemasangan

pemipaan serta biaya supervisi konstruksi dan garansi 1 tahun sebanyak 15 persen

dari total biaya konstruksi. Berikut rincian dari biaya pembangunan IPAL dengan

teknik biogas. Umur ekonomis IPAL diasumsikan selama 10 tahun.

Page 83: A08nat

Tabel 20. Rincian Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas

No. Jenis Pekerjaan Biaya 1. Pembelian dan pemasangan biodigester Rp 60.460.706,062. Pembelian dan pemasangan ABR dan AF Rp 51.990251,933 Pembelian dan pemasangan Pemipaan Rp 31.328.958,93Jumlah Biaya Konstruksi Rp 143.779.917,92Supervisi konstruksi dan garansi 1 tahun (15%) Rp 21.566.987,57Total Rp 165.346.904,49Dibulatkan Rp 165.350.000

Sumber : Bali Fokus, 2006.

Biaya pembangunan IPAL untuk kapasitas 11 m3 per hari adalah Rp

165.350.000. Kapasitas yang dapat ditampung oleh IPAL teknik biogas tersebut

adalah 11 m3 per hari sedangkan rata-rata satu orang pengrajin mengeluarkan

limbah sekitar 1,90 m3 per hari (Lampiran 15). Sehingga IPAL tersebut dapat

digunakan oleh sekitar 6 orang pengrajin. Maka diasumsikan IPAL tersebut dapat

digunakan untuk enam orang pengrajin. Sehingga biaya pembangunan untuk satu

rumah tangga pengrajin adalah sebagai berikut :

C= A/B

C = 6

000.350.165Rp

C = Rp 27.558.333

Dari hasil tersebut, didapatkan bahwa biaya pembangunan IPAL teknik

biogas adalah sebesar Rp 27.558.333 per rumah tangga pengrajin. Rincian

mengenai biaya pembangunan IPAL teknik biogas per rumah tangga pengrajin

dapat dilihat pada tabel 21.

Page 84: A08nat

Tabel 21. Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas Per Rumah Tangga Pengrajin

No. Pembangunan IPAL teknik biogas Jumlah A Biaya pembangunan IPAL kap. 11 m3/hari Rp 165.350.000B Jumlah unit industri yang memenuhi kapasitas

11 m3/hari 6 unit

C Biaya pembangunan IPAL per RTP Rp 27.558.333Sumber : Fokus, 2005 (diolah).

Selain biaya pembangunan, perlu juga dilakukan perhitungan untuk

perawatan dan pemeliharaan IPAL. Sehingga perlu dilakukan juga perhitungan

biaya operasional per unit industri per tahun. Data mengenai biaya operasional

IPAL teknik diperoleh dari penelitian Hudayanti (2007). Berikut data mengenai

biaya-biaya operasional pengolahan limbah dengan IPAL teknik biogas.

Tabel 22. Rincian Biaya Operasional IPAL Teknik Biogas

No. Jenis Biaya Jumlah (Rupiah/tahun)

1. Upah Tenaga Kerja IPAL Rp 750.000 per bln Rp 9.000.0002. Biaya Overhead Rp 4.200.0003. Biaya Perawatan Rp 4.200.0004. Biaya Angkutan Rp 6.000.000Total Biaya Operasional Rp 23.400.000

Sumber : Hudayanti , 2007. Biaya operasional terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya

perawatan dan biaya angkutan. Upah tenaga kerja diestimasikan Rp 750.000 per

bulan menjadi Rp 9.000.000 per tahun. Biaya overhead sebesar Rp 4.200.000 per

tahun atau Rp 350.000 per bulan. Biaya perawatan sebesar Rp 4.200.000 per

tahun atau sebesar Rp 350.000 per bulan. Biaya angkutan sebesar Rp 500.000 per

bulan atau Rp 6.000.000 per tahun. Sehingga total keseluruhan biaya operasional

IPAL teknik biogas adalah Rp 23.400.000 per tahun.

IPAL tersebut digunakan untuk enam rumah tangga pengrajin tempe.

Untuk itu diperlukan perhitungan mengenai biaya operasional IPAL per rumah

Page 85: A08nat

tangga pengrajin per tahun. Berikut ini perhitungan biaya operasional per rumah

tangga pengrajin tempe per tahun.

C=A/B

C=6

000.400.23Rp

C= Rp 3.900.000

Sehingga diperoleh bahwa keseluruhan biaya operasional per rumah

tangga pengrajin per tahun adalah sebesar Rp 3.900.000. Lebih rinci mengenai

perhitungan biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per tahun pada

tabel 23.

Tabel 23. Biaya Operasional IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Per Tahun

No. Jenis Biaya Jumlah (Rupiah/tahun) 1. Upah Tenaga Kerja IPAL Rp 1.500.0002. Biaya Overhead Rp 700.0003. Biaya Perawatan Rp 700.0004 Biaya Angkutan Rp 1.000.000Total Biaya operasional per rumah tangga pengrajin

Rp 3.900.000

Sumber : Hudayanti, 2007 (diolah).

Biaya operasional per unit industri terdiri dari upah tenaga kerja, biaya

overhead, biaya perawatan dan biaya angkutan. Upah tenaga kerja diestimasikan

Rp 1.500.000 per tahun. Biaya overhead sebesar Rp 700.000 per tahun dan biaya

perawatan sebesar Rp 700.000 per tahun. Biaya angkutan sebesar Rp 1.000.000

per tahun. Sehingga total keseluruhan biaya operasional IPAL teknik biogas

adalah Rp 3.900.000 per tahun.

Page 86: A08nat

IX. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PEMBUATAN

TEMPE TANPA DAN DENGAN IPAL

Analisis manfaat dan biaya untuk industri tempe dilakukan dengan

menggunakan analisis kelayakan finansial selama 10 tahun sebelum dan sesudah

ada IPAL. Kriteria yang digunakan dalam perhitungan meliputi Net Present

Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio dan Payback Period.

Perhitungan diasumsikan 1 pengrajin yang memproduksi rata-rata 109 kilogram

kedelai per hari. Pendapatan, harga, jumlah input, upah tenaga kerja, biaya yang

digunakan dalam analisis ini merupakan nilai rata-rata dari total responden

sebanyak 31 orang.

Analisis kelayakan usaha ini menggunakan tiga skenario yang dapat

dijalankan yaitu: (1) Tanpa IPAL, (2) Dengan IPAL melalui pembiayaan investasi

dan operasional ditanggung oleh pengrajin tempe (swadaya) dan (3) Dengan IPAL

melalui pembiayaan investasi ditanggung oleh pemerintah dan pembiayaan

operasional oleh pengrajin tempe (swadaya). Umur proyek yang dijalankan yaitu

selama 10 tahun dengan tingkat suku bunga yang digunakan adalah 13 persen.

9.1 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL

Dari hasil analisis kelayakan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL

diperoleh bahwa Net Present Value sebesar Rp Rp 141.464.542 yang bernilai

lebih dari nol. Artinya manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe

di Desa Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp

141.464.542. IRR yang diperoleh dari hasil analisis adalah 84 persen yang berarti

tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 84

persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13 persen.

Page 87: A08nat

Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai

4,57 lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan

untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.570.000.

Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan

dalam investasi suatu proyek adalah satu tahun empat bulan. Berdasarkan hasil

tersebut, maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sebelum ada IPAL

layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel

24. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 24. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL

No. Kriteria Kelayakan Hasil r = 13 persen 1. Net Present Value Rp 141.464.5422. Internal Rate of Return 84%3. Net Benefit-Cost Ratio 4,574. Payback Period 1 tahun 4 bulan

Sumber : Data Primer (diolah)

9.2 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan

Investasi Dan Operasional Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe

(Skenario 2)

Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan IPAL yang ditanggung oleh

pengrajin tempe sama seperti usaha pembuatan tempe sebelum ada IPAL jika

dilihat dari sisi arus penerimaan. Perubahan terjadi pada biaya investasi dan biaya

operasional dimana biaya pembangunan IPAL dimasukkan ke dalam biaya

investasi dan biaya overhead, biaya perawatan, biaya angkutan dan upah tenaga

kerja IPAL dimasukkan ke dalam struktur biaya operasional.

Tabel 25. Biaya Investasi IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)

Page 88: A08nat

No. Biaya investasi IPAL Jumlah (Rupiah/tahun)

Umur Teknis

1. Pembangunan IPAL 27.558.333 10,0Total Biaya Investasi 27.558.333 10,0

Sumber : Fokus, 2005 (diolah)

Biaya pembangunan IPAL yang dimasukkan yaitu sebesar Rp 27.558.333

dengan umur teknis 10 tahun. Komponen dari arus pengeluaran yang lain adalah

biaya operasional yang telah ditambah dengan biaya-biaya pemeliharaan IPAL.

Biaya pemeliharaan IPAL terdiri dari upah tenaga kerja IPAL berjumlah Rp

1.500.000 (38,46 persen), biaya overhead dan biaya perawatan masing-masing Rp

700.000 (17,95 persen) serta biaya angkutan sebesar Rp 1.000.000 (25,64 persen).

Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Biaya Operasional IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)

No. Biaya-biaya Operasional Jumlah

(Rupiah/tahun) Persentase (Persen)

1. Upah TK IPAL 1.500.000 38,462. B. Overhead 700.000 17,953. B. Perawatan 700.000 17,954. B. Angkutan 1.000.000 25,64Total Biaya Operasional 3.900.000 100,00

Sumber : Hudayanti, 2007 (diolah)

Dari hasil analisis diperoleh bahwa Net Present Value sebesar Rp

100.221.668 yang bernilai lebih dari nol. Artinya manfaat bersih yang diterima

dari usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku

bunga 13 persen sebesar Rp 100.221.668. IRR yang diperoleh dari hasil analisis

adalah 46 persen yang berarti tingkat pengembalian internal usaha pembuatan

tempe tersebut adalah sebesar 46 persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13

persen.

Page 89: A08nat

Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai

2,57 lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan

untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000.

Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan

dalam investasi suatu proyek adalah dua tahun dua bulan. Berdasarkan hasil

tersebut, maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan Biaya IPAL

yang ditanggung oleh pengrajin tempe layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis

kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 27. Hasil analisis kelayakan usaha dapat

dilihat pada Tabel 24. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8.

Tabel 27. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)

No. Kriteria Kelayakan Hasil r = 13 persen 1. Net Present Value Rp 100.221.6682. Internal Rate of Return 46%3. Net Benefit-Cost Ratio 2,574. Payback Period 2 tahun 2 bulan

Sumber : Data Primer (diolah)

9.3 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan

Investasi Ditanggung Oleh Pemerintah Dan Operasional Oleh

Pengrajin Tempe (Skenario 3)

Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan biaya IPAL yang ditanggung

oleh pemerintah sama dengan arus tunai usaha pembuatan tempe sebelum ada

IPAL dalam hal arus penerimaan dan biaya investasi. Perbedaannya terletak pada

biaya operasional karena pada biaya operasional ditambahkan biaya-biaya

pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena biaya pembangunan IPAL menjadi

tanggung jawab pemerintah. Sehingga pengrajin tempe hanya mengeluarkan biaya

untuk pemeliharaan IPAL saja.

Page 90: A08nat

Biaya operasional usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan biaya

IPAL ditanggung oleh pemerintah sama dengan biaya operasional usaha

pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2. Hasil analisis kelayakan usaha

pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan skenario biaya IPAL ditanggung oleh

pemerintah adalah NPV sebesar Rp 124.609.573 yang bernilai lebih dari nol. Hal

tersebut berarti manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe di Desa

Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp

124.609.573. IRR yang diperoleh dari hasil analisis adalah 77 persen yang berarti

tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 77

persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13 persen.

Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai

4,15 lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan

untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.150.000.

Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan

dalam investasi suatu proyek adalah satu tahun enam bulan. Berdasarkan hasil

tersebut, maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan biaya IPAL

yang ditanggung oleh pemerintah layak untuk dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat

pada Tabel 28. Hasil analisis kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 24.

Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9.

Tabel 28. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe dengan Biaya IPAL ditanggung Oleh Pemerintah (Skenario 3)

No. Kriteria Kelayakan Hasil r = 13 persen 1. Net Present Value Rp 124.609.5732. Internal Rate of Return 77%3. Net Benefit-Cost Ratio 4,154. Payback Period 1 tahun 6 bulan

Sumber : Data Primer (diolah)

Page 91: A08nat

9.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Usaha Ketiga Skenario

Terdapat perbedaan yang cukup jauh dari hasil kelayakan usaha tanpa

IPAL dibandingkan dengan IPAL skenario 2. Dampak pembangunan IPAL yang

ditanggung oleh pengrajin atau secara swadaya sangat mempengaruhi keuntungan

yang diperoleh pengrajin tempe. Hal ini terlihat pada Tabel 29 bahwa Net Present

Value berkurang menjadi Rp 100.221.668 dari nilai sebelumnya sebesar Rp

141.464.542. Penurunan nilai Net Present Value sebesar Rp 41.242.874 atau

sebesar 29,15 persen dari total Net Present Value mengindikasikan penurunan

keuntungan atau manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe yang

dijalankan akibat pembangunan IPAL secara swadaya. Perubahan juga terjadi

dalam kriteria kelayakan yang lain seperti Internal Rate of Return (IRR), Net

Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Payback Period (PP). Perbedaan IRR antara

usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dengan usaha pembuatan tempe dengan

IPAL skenario 2 adalah 38 persen yang artinya tingkat pengembalian internal

usaha pembuatan tempe berkurang sebesar 38 persen.

Kriteria lain yang mengalami perubahan adalah Net B/C Ratio. Net B/C

Ratio berkurang sebesar 2,00 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan

untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000

dan usaha tersebut akan mengalami pengurangan manfaat bersih Rp 2.000.000

dari manfaat bersih yang diperoleh sebelumnya. Selain itu jangka waktu

pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu

proyek berubah menjadi dua tahun dua bulan. Walaupun hasil kelayakan usaha

pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 masih layak untuk diusahakan tetapi

pembangunan IPAL tersebut telah mengubah tingkat keuntungan menjadi

Page 92: A08nat

semakin kecil dari sebelumnya. Hal ini disebabkan biaya pembangunan IPAL

yang besar sehingga menyebabkan biaya investasi semakin besar.

Tabel 29. Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario yang Dapat Dijalankan Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup

Dengan IPAL No. Kriteria

Kelayakan Tanpa IPAL Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3

1. Net Present Value Rp 141.464.542 Rp 100.221.668 Rp 124.609.573

2. Internal Rate of Return 84% 46% 77%

3. Net Benefit-Cost Ratio 4,57 2,57 4,15

4. Payback Period 1 tahun 4 bulan 2 tahun 2 bulan 1 tahun 6 bulan Berdasarkan Tabel 29, hasil kelayakan usaha pembuatan tempe tanpa

IPAL dibandingkan dengan usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 3

tidak mengalami perubahan yang drastis. Hal ini terlihat dari perubahan NPV

tanpa IPAL dan NPV dengan IPAL skenario 3 sebesar Rp 16.854.969 atau sebesar

11,92 persen. Hal ini berarti terdapat penurunan manfaat bersih yang diterima

selama 10 tahun usaha pembuatan tempe sebesar Rp 16.854.969 atau sebesar

11,92 persen dari manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe tanpa

IPAL.

IRR usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dan dengan IPAL skenario 3

juga mengalami penurunan yang kecil yaitu sebesar 7 persen. Hal ini artinya

tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe berkurang sebesar 7

persen. Selain itu, kriteria kelayakan yang lain adalah Net B/C Ratio yang

mengalami penurunan sebesar 0,42 yang menyebabkan usaha tersebut akan

mengalami pengurangan manfaat bersih Rp 420.000 dari manfaat bersih yang

diperoleh sebelumnya dari setiap Rp 1.000.000 biaya yang dikeluarkan. Kriteria

yang lain adalah jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah

Page 93: A08nat

dikeluarkan dalam investasi suatu proyek berubah menjadi 1 tahun 6 bulan.

Penurunan tingkat keuntungan usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 3

tidak terlalu besar karena biaya pembangunan IPAL ditanggung oleh pemerintah

sehingga biaya investasi usaha tersebut tidak berubah.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan

IPAL skenario 3 yang paling baik untuk dijalankan karena tidak menyebabkan

keuntungan pengrajin tempe turun apabila dibandingkan dengan usaha pembuatan

tempe tanpa IPAL. Walaupun melakukan pengolahan limbah akan menurunkan

keuntungan sebesar 11,92 persen (Skenario 3) keuntungan usaha. Tetapi secara

sosial akan mengurangi dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan akibat limbah

cair tempe yang langsung dibuang ke sungai. Sungai yang tercemar akan

menurunkan pendapatan bagi masyarakat yang menggunakan air tersebut sebagai

mata pencaharian seperti tambak dan akan menimbulkan penyakit bagi

masyarakat yang menggunakan air tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Page 94: A08nat

X. PERSEPSI DAN TINGKAT KESEDIAAN MELAKUKAN

PENGOLAHAN LIMBAH

10.1 Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah

Pengrajin tempe yang mengetahui mengenai pengolahan limbah berjumlah

4 orang (12,90 persen) dan pengrajin yang tidak mengetahui mengenai

pengolahan limbah berjumlah 27 orang (87,10 persen). Tetapi keseluruhan

pengrajin yang menjadi responden belum melakukan pengolahan limbah

dikarenakan belum adanya pembangunan IPAL. Umumnya pengrajin tidak

mengetahui pengolahan limbah hal ini dikarenakan rata-rata tingkat

pendidikannya rendah sehingga kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan

masih kurang. Sebagian pengrajin menganggap bahwa limbah yang dihasilkan

dari proses pembuatan tempe tidak bermasalah dan tidak menimbulkan kerusakan

lingkungan. Lebih rinci mengenai persepsi pengrajin tentang pengolahan limbah

pada Tabel 30.

Tabel 30. Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah Tahun 2008

Persepsi Pengolahan Limbah

Pengrajin Tempe (orang)

Persentase (persen)

Mengetahui 4 12,90Tidak Mengetahui 27 87,10Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

Ada beberapa dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe apabila

dibuang ke sungai yaitu membuat air sungai keruh dan bau, menimbulkan

penyakit seperti gatal dan diare, mengganggu estetika sungai, membuat mati

organisme dalam air sungai dan lainnya. Dampak yang ditimbulkan oleh limbah

cair tempe didapatkan dari pengrajin tempe yang menjadi responden. Sebagian

Page 95: A08nat

besar pengrajin tempe mengemukakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh

limbah cair tempe yaitu membuat air sungai keruh dan bau (25 orang atau 80,65

persen). Hal ini karena limbah cair tempe bila dibiarkan akan berwarna hitam dan

berbau busuk. Selain itu, pengrajin yang menganggap bahwa dampak limbah cair

tempe adalah air sungai tidak dapat dikonsumsi berjumlah 6 orang (19,35 persen).

Hal ini disebabkan air sungai umumnya tidak digunakan oleh pengrajin tempe

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut terlihat pada Tabel 31.

Tabel 31. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Dampak Limbah Cair Tempe Tahun 2008

Dampak Limbah Cair Pengrajin Tempe

(Orang) Persentase (Persen)

Membuat air sungai keruh dan bau

25 80,65

Air sungai tidak dapat dikonsumsi

6 19,35

Total 31 100,00Sumber : Data primer (diolah).

Jika pengrajin tempe tidak mau menggunakan IPAL untuk pengolahan

limbah maka ada solusi alternatif yang diberikan oleh pengrajin tempe untuk

menangani masalah limbah yaitu menggunakan teknologi pengolahan limbah

yang lebih murah dan limbah cair dijual untuk industri lain yang menggunakan

limbah cair tempe sebagai bahan baku. Pengrajin yang memberi solusi untuk

menggunakan teknologi pengolahan limbah yang lebih murah berjumlah 2 orang

(6,45 persen) dan pengrajin yang solusinya menjual limbah cair berjumlah 29

orang (93,55 persen). Umumnya pengrajin memberikan solusi untuk menangani

limbah cair yaitu dengan menjualnya. Hal ini dikarenakan dengan menjualnya

kepada industri lain, pengrajin akan mendapatkan penghasilan tambahan yang

dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Tetapi pengrajin tempe di Desa

Page 96: A08nat

Citeureup belum mengetahui bahwa limbah cair tersebut dapat dijadikan bahan

baku Nata de Soya dan mereka juga tidak mengetahui cara pembuatan Nata de

Soya. Hal ini terlihat pada Tabel 32.

Tabel 32. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Solusi Alternatif untuk Menangani Masalah Limbah Tahun 2008

Solusi Alternatif untuk Limbah Pengrajin Tempe

(Orang) Persentase

(persen) Teknologi Pengolahan Limbah yang Murah

2 6,45

Limbah Cair Dijual 29 93,55Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah).

10.2 Tingkat Kesediaan Pengrajin Dalam Melakukan Pengolahan Limbah

Berdasarkan Gambar 3, pengrajin tempe di Desa Citeureup yang bersedia

melakukan pengolahan limbah berjumlah 4 orang (13 persen) dan pengrajin yang

tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL berjumlah 27 orang

(87 persen). Alasan pengrajin tempe tidak mau melakukan pengolahan limbah

adalah pengrajin beranggapan limbah yang mereka buang ke sungai tidak

bermasalah bagi masyarakat di sekitar sungai dan mereka tidak menggunakan air

sungai tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengrajin tempe yang

bersedia untuk melakukan pengolahan limbah beranggapan jika ada pengolahan

limbah yang dapat menghasilkan buangan yang lebih baik sangat baik untuk

dilakukan. Apabila ada teknologi pengolahan limbah mereka bersedia untuk

menerapkan teknologi tersebut.

Page 97: A08nat

Gambar 3. Tingkat Kesediaan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Terhadap

Pengolahan Limbah

Alasan pengrajin tempe tidak bersedia untuk melakukan pengolahan

limbah beragam. Pengrajin tempe yang tidak bersedia dengan alasan tidak

mempunyai waktu dan modal terbatas ada 10 orang (37 persen) dan karena limbah

tidak bermasalah dan tidak dapat dikonsumsi ada 13 orang (48 persen). Pengrajin

yang alasannya IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah berjumlah 3 orang

(11 persen) dan menambah biaya produksi hanya 1 orang ( 4 persen). Banyaknya

pengrajin yang tidak bersedia dengan alasan limbah yang dihasilkan tidak

bermasalah karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga kesadaran terhadap

lingkungan juga rendah. Hal lain yang menyebabkan adalah kurangnya

pengetahuan mengenai standar baku mutu limbah untuk industri. Oleh karena itu,

mereka menganggap limbah yang dihasilkan tidak bermasalah. Hal ini dapat

dilihat pada Tabel 33.

Bersedia 13%

Tidak Bersedia87%

Page 98: A08nat

Tabel 33. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tidak Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah

Alasan

Pengrajin Tempe (Orang)

Persentase (Persen)

Tidak punya waktu dan modal terbatas 10 37Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi 13 48IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah 3 11Menambah biaya produksi 1 4Total 27 100

Sumber : Data Primer (diolah) Selain itu, alasan pengrajin tempe yang bersedia melakukan pengolahan

limbah adalah ada saluran untuk membuang limbah berjumlah 1 orang atau

sebesar 25 persen. Pengrajin dengan alasan dengan adanya pengolahan limbah

maka hasil buangan limbah akan lebih baik sebesar 2 orang (50 persen) dan agar

limbah tidak berbau busuk berjumlah 1 orang (25 persen). Sebagian dari pengrajin

yang bersedia melakukan pengolahan limbah memilih alasan hasil buangan

limbah akan lebih baik. Hal ini dikarenakan mereka sudah melakukan pengolahan

limbah yang sederhana yaitu pengendapan mekanis agar limbah yang dihasilkan

tidak terlalu berbahaya. Selain itu, mereka mempunyai saluran pembuangan air

limbah yang akan memudahkan penyaluran limbah ke alat biodigester bila ada

IPAL. Jika ada teknologi pengolahan limbah yang menguntungkan seperti IPAL

teknik biogas maka mereka bersedia menggunakan teknologi tersebut. Hal ini

lebih jelas pada Tabel 34.

Page 99: A08nat

Tabel 34. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah

Alasan

Pengrajin Tempe (Orang)

Persentase (Persen)

Ada saluran untuk membuang limbah 1 25Hasil buangan limbah lebih baik 2 50Agar limbah tidak menimbulkan bau busuk 1 25Total 4 100

Sumber : Data Primer (diolah) 10.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Melakukan

Pengolahan Limbah

Dari hasil penelitian didapat hanya 4 orang pengrajin tempe yang bersedia

melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Setelah memperhatikan bahwa data

yang didapat melalui penelitian terlihat bahwa pendapatan tidak memiliki

kecenderungan terhadap pilihan responden untuk bersedia melakukan pengolahan

limbah. Sehingga variabel tersebut dihilangkan dari model.

Hal ini ditandai dengan nilai P-value masing-masing peubah tidak ada

yang lebih kecil dari α baik pada tingkat kepercayaan 80 persen hingga 99 persen.

Ketika diuji secara bersama-sama peubah tersebut tidak mempengaruhi secara

nyata terhadap kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah

dengan IPAL ditunjukkan dengan nilai P-value yang lebih besar dari α baik pada

tingkat kepercayaan 80 persen hingga 99 persen pada goodness of fitnya. Untuk

itu model tersebut tidak dapat digunakan untuk menganalisis dengan baik.

Setelah variabel pendapatan dihilangkan dari model, diperoleh model baru

dengan 6 variabel endogen. Variabel eksogen merupakan bentuk pilihan apakah

seorang pengrajin tempe bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL

Page 100: A08nat

atau tidak. Hasil pengolahan data dengan menggunakan 6 variabel endogen dapat

dilihat pada Tabel 35.

Tabel 35. Hasil Logit Kesediaan Pengrajin untuk Melakukan Pengolahan Limbah dengan IPAL

Parameter Koefisien P Odds Ratio Keterangan Constant -4,66266 0,190 - - TK. PEND 1,21818 0,307 3,38 Tidak berpengaruh UMUR 0,956780 0,556 2,60 Tidak berpengaruh JARAK 1,00731 0,125 2,74 Berpengaruh nyata LTU 2,60621 0,084 13,55 Berpengaruh nyata*

LU -0,79149 0,574 0,45 Tidak berpengaruh JML TANG -2,62239 0,147 0,07 Berpengaruh nyata α = 15 % Log-likelihood = -5,775 Test that all slopes are zero : G = 12,291 , DF = 6, P-value = 0,056

Goodness-of-Fit test Method Chi-

square DF P Keterangan

Pearson 13,6744 21 0,883 Model baik Deviance 11,5506 21 0,951 Model baik Hosmer-Lemeshow

2,8071 8 0,946 Model baik

* tingkat kepercayaan 90 persen

Variabel yang berpengaruh nyata pada hasil logit kesediaan pengrajin

untuk melakukan pengolahan limbah dengan IPAL pada tingkat kepercayaan 85

persen adalah variabel jarak dan variabel jumlah tanggungan. Variabel jarak

berpengaruh nyata terhadap kesediaan pengrajin melakukan pengolahan limbah

karena nilai P kurang dari α (15 persen). Nilai koefisien bernilai positif hal ini

berarti rumah responden yang jaraknya semakin jauh dari sungai akan semakin

besar pilihan untuk melakukan pengolahan limbah. Hal ini karena umumnya

industri yang jaraknya jauh terhadap sungai memiliki saluran-saluran pembuangan

limbah sehingga akan memudahkan penyaluran limbah bila ada IPAL. Nilai odds

ratio sebesar 2,74 dapat diartikan jika jarak ke sungai lebih jauh 1 m2 dari sungai

maka kecenderungan kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah

Page 101: A08nat

akan 2,74 kali lebih besar daripada pengrajin yang jarak rumahnya ke sungai lebih

dekat.

Variabel jumlah tanggungan berpengaruh nyata karena P kurang dari α (15

persen) yaitu 0,147. Nilai koefisien bernilai negatif yang berarti semakin banyak

jumlah tanggungan maka semakin kecil pilihan pengrajin tempe untuk bersedia

melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Hal ini dikarenakan jumlah

tanggungan yang semakin banyak akan menyebabkan biaya hidup semakin besar.

Sehingga pengrajin tidak memiliki dana untuk melakukan pengolahan limbah.

Nilai odds ratio sebesar 0,07 dapat diartikan jika jumlah tanggungan bertambah

sebesar 1 orang maka kecenderungan kesediaan pengrajin untuk melakukan

pengolahan limbah akan 0,07 kali lebih kecil daripada pengrajin yang memiliki

jumlah tanggungan yang lebih sedikit.

Pada tingkat kepercayaan 90 persen, variabel yang berpengaruh nyata

adalah variabel luas tempat usaha karena nilai P kurang dari α (10 persen) yaitu

0,084. Nilai koefisien bernilai positif hal ini berarti semakin luas tempat usaha

maka akan semakin besar pilihan pengrajin tempe untuk bersedia melakukan

pengolahan limbah dengan IPAL. Hal ini dikarenakan luas tempat usaha yang

semakin luas maka diasumsikan bahwa kapital yang dimiliki pengrajin semakin

besar dan dengan demikian terdapat dana untuk dialokasikan untuk melakukan

pengolahan limbah dengan IPAL. Nilai odds ratio sebesar 13,55 dapat diartikan

jika luas tempat usaha bertambah 1 m2 maka kecenderungan kesediaan pengrajin

untuk melakukan pengolahan limbah akan 13,55 kali lebih besar daripada

pengrajin yang luas tempat usahanya kecil.

Page 102: A08nat

Variabel tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata karena nilai P lebih

besar dari α (10 persen) yaitu 0,307. Hal ini disebabkan sebagian besar pengrajin

tingkat pendidikannya rendah sehingga seberapapun tingkat pendidikannya tidak

mempengaruhi kesediaan untuk melakukan pengolahan limbah. Umur tidak

mempengaruhi kesediaan pengrajin dalam mengolah limbah karena nilai P lebih

besar dari α (10 persen) yaitu 0,556. Hal ini disebabkan pengrajin sebagian besar

termasuk golongan umur produktif sehingga masih produktif melakukan usahanya

tanpa pertimbangan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Variabel lama usaha juga tidak berpengaruh nyata karena nilai P lebih

besar dari α (10 persen) yaitu 0,574. Hal ini disebabkan walaupun pengrajin telah

lama melakukan usaha pembuatan tempe tapi tidak mempengaruhi kesediaan

untuk melakukan pengolahan limbah. Pengujian ketika semua slope model sama

dengan nol menghasilkan nilai statistik G sebesar 12,291 dengan nilai P-value

sama dengan 0,056. Hal ini berarti bahwa terdapat minimal satu slope model yang

tidak sama dengan nol atau peubah endogennya secara serentak berpengaruh

nyata terhadap Yi. Selain itu, berdasarkan uji kebaikan model melalui metode

Pearson, Deviance dan Hosmer-Lemeshow diperoleh nilai P lebih besar dari α (15

persen) yang berarti model tersebut baik. Dengan demikian diperoleh model

persamaan logit sebagai berikut :

21818,1466266 +−=Υi TK. PENDi + 0,956780UMURi + 1,00731JARAKi +

2,60621LTUi -0,79149LUi – 2,62239JUML TANGi + ei

Berdasarkan analisis logit dapat diketahui nilai/kondisi potensial dan

aktual dari jumlah responden yang bersedia melakukan pengolahan limbah dengan

IPAL ataupun yang tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL.

Page 103: A08nat

Kondisi frekuensi potensial dan aktual dapat dilihat pada tabel dan koreksi nilai

potensial dan aktual dapat dilihat pada Tabel 36. Kondisi potensial ditunjukkan

dengan nilai harapan (expectation) dan kondisi aktual kesediaan pengrajin

melakukan pengolahan limbah ditunjukkan dengan nilai observasi (observation).

Tabel 36. Frekuensi Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL

Group

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total

Value 1 Obs 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,0 2,0 4,0 Exp 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,1 0,2 0,3 0,9 2,4 4,0 Value 0 Obs 3,0 3,0 3,0 3,0 4,0 3,0 3,0 3,0 1,0 1,0 27,0 Exp 3,0 3,0 3,0 3,0 3,9 2,9 2,8 2,7 2,1 0,6 27,0 Total 3,0 3,0 3,0 3,0 4,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 31,0

Sumber : Data Primer (diolah)

Pada grup satu, kedua, ketiga dan keempat tidak ada perbedaan antara

kondisi aktual dan kondisi potensial dari responden yang bersedia melakukan

pengolahan limbah dengan IPAL ataupun yang tidak bersedia melakukan

pengolahan limbah dengan IPAL. Pada grup kelima hingga grup kesepuluh

terdapat perbedaan antara kondisi aktual dan kondisi potensial baik pada

responden yang bersedia melakukan pengolahan limbah ataupun yang tidak

bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL.

Pada grup kelima terlihat dalam kondisi aktual tidak ada responden yang

bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL tetapi pada kondisi

potensial terlihat bahwa 0,1 dari 4 responden bersedia melakukan pengolahan

limbah. Demikian halnya dengan keadaan responden yang tidak bersedia

melakukan pengolahan limbah dengan IPAL, pada kondisi aktual berjumlah 4

Page 104: A08nat

orang tetapi pada kondisi potensial 3,9 dari 4 orang responden tidak bersedia

melakukan pengolahan limbah.

Selisih nilai 0,1 (0,1-0,0 = 0,1) pada grup kelima dapat dikarenakan ada 0,1

responden yang secara potensial bersedia melakukan pengolahan limbah dengan

IPAL. Namun dana yang terbatas menyebabkan responden tersebut tidak bersedia

melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Pemahaman yang sama dapat

dilakukan untuk grup keenam sampai grup kesepuluh. Tetapi secara keseluruhan

dapat diperoleh bahwa secara potensial jumlah responden yang bersedia

melakukan pengolahan limbah dengan IPAL dan yang tidak bersedia melakukan

pengolahan limbah dengan IPAL akan sama dengan jumlah aktualnya. Hal ini

dapat terlihat lebih jelas pada Tabel 36.

Tabel 37. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL

Harapan

Bersedia Tidak Bersedia

Total Koreksi

(%)

Bersedia 4,0 0,0 4,0 100 Tidak Bersedia

0,0 27,0 27,0 100

Observasi

Total 4,0 27,0 31,0 Nilai Keseluruhan Koreksi 100

Sumber : Data Primer (diolah)

Pada Tabel 37, terlihat bahwa antara nilai observasi dan nilai harapan

responden tidak dapat perbedaan (bias). Sehingga nilai kebenaran observasi (nilai

keseluruhan koreksi) bernilai 100 persen dan menunjukkan bahwa model yang

sudah dihasilkan sudah baik.

Page 105: A08nat

10.4 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Limbah Industri Tempe Desa

Citeureup

Kebijakan pengelolaan limbah industri tempe Desa Citeureup adalah

tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh pemerintah (Pemerintah Daerah

Kabupaten Bogor) untuk memelihara kualitas lingkungan sungai menjadi lebih

baik. Kebijakan ini harus dilaksanakan agar nilai kerusakan ekonomi di sekitar

sungai tidak menjadi lebih besar. Hasil penelitian ini bisa dijadikan pertimbangan

untuk memberikan pengelolaan limbah yang sebaiknya dipilih. Berdasarkan hasil

penelitian didapat bahwa pengolahan limbah tempe yang tepat untuk digunakan

adalah dengan menggunakan IPAL teknik biogas karena limbah yang dibuang

akan berkurang kadar BOD dan CODnya sebesar 90 persen. Selain itu, pengrajin

tempe dapat menghemat biaya untuk bahan bakar karena dengan menggunakan

IPAL biogas, limbah yang dihasilkan dari pengolahan akan menghasilkan bahan

bakar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan industri maupun kebutuhan rumah

tangganya.

Hasil dari analisis internalisasi biaya pengolahan limbah didapat bahwa

skenario yang paling baik dijalankan dalam melakukan pembangunan IPAL

teknik biogas adalah skenario 3 dengan biaya pembangunan ditanggung oleh

pemerintah. Hal ini tidak akan memberatkan pengrajin tempe karena tidak banyak

mengurangi keuntungan usaha dan tidak lebih besar jumlahnya apabila

dibandingkan dengan membayar nilai kerusakan yang ditimbulkan akibat limbah

cair yang dibuang lebih banyak. Idealnya penghasil polutan yaitu pengrajin tempe

harus bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu,

seharusnya skenario yang dijalankan adalah skenario 2. Tetapi hal ini akan sulit

Page 106: A08nat

dilakukan karena pendapatan pengrajin yang umumnya rendah yaitu dibawah Rp

150.000 setiap kali produksi. Selain itu, skenario tersebut akan menyebabkan

penurunan keuntungan yang diperoleh pengrajin cukup drastis sehingga

diperlukan dukungan pemerintah untuk membantu dalam hal pendanaan untuk

membangun IPAL tersebut. Walaupun pemerintah akan menghadapi masalah

yaitu membutuhkan dana untuk membangun IPAL yang cukup besar tetapi jumlah

biaya pembangunan lebih kecil apabila dibandingkan dengan membayar kerugian

yang ditimbulkan akibat pencemaran sungai/memperbaiki kualitas lingkungan

sungai yang rusak. Pelaksanaan skenario 3 yaitu dengan cara pemerintah

memberikan bantuan dana dalam pengadaan IPAL untuk 100 pengrajin tempe di

Desa Citeureup. Biaya operasional dibiayai secara swadaya dengan cara pengrajin

memperkerjakan tenaga kerja untuk melakukan perawatan dan pemeliharaan

IPAL.

Kebijakan lain yang bisa diterapkan adalah dengan mengadakan

penyuluhan mengenai pentingnya pengolahan limbah, pemanfaatan limbah cair

menjadi Nata de Soya dan pengetahuan mengenai teknik pengolahan limbah yang

paling efektif. Kebijakan ini direkomendasikan melihat bahwa pengetahuan dan

kesadaran pengrajin tempe mengenai pengolahan limbah sangat rendah. Selain itu,

pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan insentif dan disinsentif. Pemerintah

juga perlu mengadakan agen-agen penyaluran limbah cair industri tempe kepada

industri pembuatan Nata de Soya. Agar pengrajin memperoleh tambahan

pendapatan dan pencemaran lingkungan dapat dikurangi karena limbahnya dijual

untuk bahan baku industri Nata de Soya.

Page 107: A08nat

Jika dilihat dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan

pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah, maka variabel bebas yang

berpengaruh nyata dan memiliki pengaruh positif yang paling besar (nilai

koefisien paling besar) adalah variabel luas tempat usaha. Perluasan usaha dapat

dilakukan dengan menambah luas tempat usaha sehingga semakin besar

kecenderungan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Pemerintah dan

swasta dapat membantu perluasan usaha dengan memberikan bantuan modal

kepada pengrajin agar peningkatan kualitas lingkungan dapat dilaksanakan.

Hal terpenting dari semuanya adalah perlunya kerjasama yang lebih erat

antara pengrajin tempe, pemerintah, swasta dan masyarakat untuk memelihara

lingkungan sekitar agar tercipta pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Pembangunan ekonomi tersebut tidak akan tercipta tanpa dukungan dari semua

pihak yang berkaitan.

Page 108: A08nat

XI. PENUTUP

11.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut :

1. Biaya investasi pembangunan IPAL per rumah tangga pengrajin adalah Rp

27.558.333 dan biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per

tahun adalah Rp 3.900.000.

2. Setelah dilakukan internalisasi biaya pengolahan limbah dengan IPAL,

skenario yang paling baik untuk dijalankan adalah usaha pembuatan tempe

dengan IPAL skenario 2 dengan biaya IPAL ditanggung oleh pemerintah.

Hal ini karena surplus produsen tidak berkurang terlalu besar jika dilihat dari

kriteria kelayakan usahanya yang tidak jauh berbeda dengan usaha

pembuatan tempe tanpa IPAL. Skenario tersebut dapat dijalankan jika

pemerintah membangun IPAL dengan teknik biogas di Citeureup dan

pengrajin memberikan dana untuk kegiatan operasional IPAL setiap tahun.

3. Pengrajin tempe umumnya tidak bersedia melakukan pengolahan limbah.

Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap kesediaan pengrajin untuk

mengolah limbah dengan IPAL adalah jarak ke sungai, luas tempat usaha

dan jumlah tanggungan.

Page 109: A08nat

11.2 Saran

Adapun saran yang dikemukakan dalam penelitian ini :

1. Pengrajin dapat melakukan pengolahan limbah dengan IPAL biogas karena

selain masih menguntungkan, pengrajin tidak perlu membayar biaya

kerusakan lingkungan yang terjadi akibat limbah tersebut.

2. Pemerintah turut serta dalam peningkatan kualitas sungai dengan

membangun IPAL teknik biogas dan mengadakan penyuluhan mengenai

pengolahan limbah cair.

3. Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan mengenai insentif dan disinsentif.

4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai seberapa besar nilai kerugian

akibat dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe bagi lingkungan

dan sosial.

Page 110: A08nat

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat statistik. 2006. Statistik Indonesia tahun 2005/2006. BPS. Jakarta.

Desa Citeureup. 2006. Potensi Desa Citeureup Tahun 2006. Desa Citeureup. Bogor.

Diperindag Kabupaten Bogor. 2007. Perkembangan Industri di Kabupaten Bogor

tahun 2003-2006. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor. Bogor.

Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta.

Fokus, Bali. 2005. Proposal Teknik Proyek Demonstrasi Pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu-Tempe di Gang Bakti II Karanganyar-Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Garrod, Guy dan Kenneth G. Willis. 1999. Economic Valuation of the Environment : Methods and Case Studies. Edward Elgar. UK.

Gittinger, James Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Penerjemah Komet Mangiri dan Slamet Sutomo. UI-Press. Jakarta.

Gumelar, R. 2002. Analisis Kelayakan Usaha Proyek Pengelolaan Sampah Kota dengan Pendekatan Nir Limbah (Zero Waste) di Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Skripsi. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.Yogyakarta.

Hosmer, David W. dan Stanley Lemeshow. 1989. Applied Logistics Regression.

John Willey & Sons. New York.

Hudayanti, Eka Putri. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Pengusaha Tahu dalam Pembangunan dan Operasional IPAL Biogas (Kasus Kelurahan Pasir Jaya, Kecamatan Bogor Barat). Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hufscmidt, MM et.al. 1987. Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan : Pedoman Penilaian Ekonomis. Alih Bahasa : Reksohadiprojo, S. Gajahmada University Press. Yogyakarta.

Page 111: A08nat

Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Pedoman Teknis Pengelolaan Limbah Industri Kecil. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

-------------. 2006. Pedoman Pengolahan Dan Pemanfaatan Limbah Tahu Tempe. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

-------------. 2006. Batasan/Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Menurut

Beberapa Organisasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Linsley, R. K dan J. B. Franzini. 1986. Teknik Sumberdaya Air. Penerjemah Ir. Djoko Sasongko, M.Sc. Erlangga. Jakarta.

Mangkoesubroto,Guritno. 1993. Ekonomi Publik. Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta.

Nasrullah, Mochamad. 2003. Estimasi Biaya Eksternalitas dari Pembangkit Tenaga Listrik Uap (PLTU) Studi Kasus Di Tambak Lorok-Semarang. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Novianti, et al. 2000. Metode Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Jasa Lingkungan. Program Studi Ekonomi Pertanian. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pearson, Charles S. 2000. The Economics of Natural Resource Use. Harper & Row Publishers. New York.

Purnamasari, Rachma Septiany. 2001. Pengaruh Penggunaan Faktor-faktor Produksi terhadap Jumlah dan Debit serta Aspek Finansial Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Raka, ID Gede et al. 2001. Paradigma Produksi Bersih: Mendamaikan Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan. Nuansa. Bandung.

Santoso, Djoko. 2005. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Pondok Bali, Desa Legonwetan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 112: A08nat

Sidauruk, Rimpun Nesrain Surya. 2005. Perbandingan Efektivitas Biaya dan Kelayakan Finansial Industri Kecil Tahu (Studi Kasus Tahu Bandung “Sulaeman” dan Tahu Sumedang “Kelana Jaya” di Kota Bogor). Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. UI-Press. Jakarta.

Umar, Husein. 2005. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Wiryani, Erry. 1991. Analisis Kandungan Limbah Cair Pabrik Tempe Kedelai dan Upaya Pengolahannya dengan Proses Anaerobik. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 113: A08nat

Lampiran 1

Batasan/Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Menurut Beberapa Organisasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup

Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria

Undang-Undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil

Usaha Kecil Aset < Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan

• Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar • Dimiliki oleh orang Indonesia • Independen, tidak terafiliasi

dengan usaha menengah-besar • Boleh berbadan hukum, boleh

tidak

Usaha Mikro Pekerja < 5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar

Usaha Kecil Pekerja 5-19 orang

Badan Pusat Statistik(BPS)

Usaha menengah Pekerja 20-99 orang

Usaha Kecil (UU No. 9/1995)

• Aset < Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan

• Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar

Menneg Koperasi & PKM

Usaha Menengah (Inpres 10/1999)

Aset Rp. 200 - Rp. 10 Milyar

Usaha Mikro (SK Dir BI No. 31/24/KEP/DIR tgl 5 Mei 1998)

Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin.

• Dimiliki oleh keluarga Sumberdaya lokal dan Teknologi sederhana

• Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry

Usaha Kecil (UU No. 9/1995)

• Aset < Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan

• Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar

Bank Indonesia

Menengah (SK Dir BI No. 30/45/Dir/UK tgl 5 Januari 1997)

Aset < Rp. 5 Milyar untuk sektor industri • Aset < Rp. 600 Juta diluar tanah

dan bangunan. untuk sektor non industri manufacturing

• Omzet tahunan < Rp. 3 Milyar

Bank Dunia Usaha Mikro Kecil-Menengah

Pekerja < 20 Orang • Pekerja 20-150 orang • Aset < US$. 500 Ribu diluar

tanah dan bangunan

Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup, 2006.

Page 114: A08nat

Lampiran 2. Jumlah Industri Kecil Tempe di Kabupaten Bogor per

Kecamatan tahun 2008.

No. Kecamatan Jumlah Industri 1 Cibungbulang 21 2 Cisarua 6 3 Citeureup 100 4 Leuwiliang 16 5 Ciampea 7 6 Ciseeng 8 7 Cibinong 4 8 Cileungsi 16 9 Parung 8

Total 186 Sumber: Diperindag Kabupaten Bogor, 2008 (hasil wawancara).

Page 115: A08nat

Lampiran 3 Hasil Logit Kesediaan Pengrajin Melakukan Pengolahan Limbah

Binary Logistic Regression: Y versus TK. PEND, UMUR, ... Link Function: Logit Response Information Variable Value Count Y 1 4 (Event) 0 27 Total 31 Logistic Regression Table Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant -4.66266 3.55534 -1.31 0.190 TK. PEND 1.21818 1.19349 1.02 0.307 3.38 0.33 35.07 UMUR 0.956780 1.62573 0.59 0.556 2.60 0.11 63.00 JARAK 1.00731 0.656055 1.54 0.125 2.74 0.76 9.91 LU -0.791494 1.40828 -0.56 0.574 0.45 0.03 7.16 LTU 2.60621 1.50959 1.73 0.084 13.55 0.70 261.13 JML TANG -2.62239 1.80827 -1.45 0.147 0.07 0.00 2.51 Log-Likelihood = -5.775 Test that all slopes are zero: G = 12.291, DF = 6, P-Value = 0.056 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square DF P Pearson 13.6744 21 0.883 Deviance 11.5506 21 0.951 Hosmer-Lemeshow 2.8071 8 0.946 Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic) Group Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total 1 Obs 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 4 Exp 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.2 0.3 0.9 2.4 0 Obs 3 3 3 3 4 3 3 3 1 1 27 Exp 3.0 3.0 3.0 3.0 3.9 2.9 2.8 2.7 2.1 0.6 Total 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 31 Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Number Percent Summary Measures Concordant 103 95.4 Somers' D 0.91 Discordant 5 4.6 Goodman-Kruskal Gamma 0.91 Ties 0 0.0 Kendall's Tau-a 0.21 Total 108 100.0

Page 116: A08nat

Lampiran 4. KUISIONER

No. Responden :

RESPONDEN :

1. Nama Responden :

2. Alamat :

3. Tanggal Wawancara :

A. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RESPONDEN

1. Jenis Kelamin : …. (L/P)

2. Umur : …. Tahun

3. Pendidikan formal terakhir :

a. Tidak tamat SD

b. SD/sederajat

c. SLTP/sederajat

d. SLTA/sederajat

e. Perguruan Tinggi

4. Status pernikahan : Belum/Sudah

5. Berapa jumlah tanggungan keluarga ? …. Orang

6. sudah berapa lama Bapak/ibu melakukan usaha pengolahan tempe ? …. Tahun

7. Apakah usaha ini milik Bapak/Ibu sendiri? (Ya/Tidak)

8. Berapa jumlah modal yang digunakan dalam membuat tempe ?

…………………………………………………………………………………..

B. PERSEPSI RESPONDEN MENGENAI LIMBAH DAN PENGOLAHAN

LIMBAH

1. Menurut Bapak/Ibu dari proses produksi tempe ini, adakah limbah yang

dihasilkan?

a. Ada (lanjut ke no. 2) b. tidak (lanjut ke no. 3)

2. Limbah apa saja yang dihasilkan dari proses produksi tempe?

a. Limbah padat d. dua dari jawaban diatas benar

b. Limbah cair e. semuanya benar

c. Limbah gas

Page 117: A08nat

3. Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan dari limbah tempe ini ?

a. tidak bermasalah d. bermasalah

b. sedikit bermasalah e. sangat bermasalah

c. cukup bermasalah

4. Mengapa Bapak/Ibu memilih jawaban tersebut?

………………………………………………………………………………….

5. Apakah Bapak/Ibu mengetahui dampak negatif dari limbah cair tempe?

a. Ya b. tidak

6. Dampak negatif apa saja yang ditimbulkan oleh limbah cair yang Bapak/Ibu

ketahui?

a. mengganggu kesehatan (penyakit gatal-gatal, diare dan lain-lain)

b. membuat air sungai keruh dan bau

c. membuat mati organisme dalam air sungai

d. mengganggu estetika air sungai

e. lainnya ……………………….

7. Apakah ada dampak positif dari limbah cair tempe?

a. ada, sebutkan ………………… b. tidak ada

8.Bapak/Ibu membuang limbah yang dihasilkan kemana?

a. ke sungai

b. ke tanah

c. lainnya, ………….

9. Apakah di sini sudah ada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ?

a. Belum

b. Sudah, tahun …..

10. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang standar baku mutu limbah?

a. Mengetahui , berapa …………..

b. Tidak

11. Apakah Bapak/Ibu sudah melakukan pengolahan limbah cair tempe?

a. sudah (lanjut ke no. 12) b. belum (lanjut ke no. 13)

12. Teknologi pengolahan limbah apa yang sudah dilakukan?

a. Pengendapan mekanis d. Penggunaan kembali

b. Penggunaan IPAL e. lainnya, ……………….

Page 118: A08nat

c. Daur ulang

13. Berapa jarak tempat usaha ini terhadap sungai? …. m2

14. Menurut Bapak/Ibu, seharusnya apa yang dilakukan terhadap limbah yang

dihasilkan oleh industri tempe di Citeureup ini ?

……………………………………………………………………………….

C. ASPEK FINANSIAL INDUSTRI TEMPE

1. Apa saja bahan baku yang digunakan untuk memproduksi tempe beserta

jumlahnya ?

………………………………………………………………………………….

2. Apa saja peralatan yang dibutuhkan dalam usaha ini dan ada berapa

jumlahnya?

…………………………………………………………………………………..

3. Berapa harga bahan baku yang digunakan?

…………………………………………………………………………………..

4. Berapa harga peralatan yang dibutuhkan dalam usaha ini ?

…………………………………………………………………………………..

5. Apakah dalam usaha ini membutuhkan tenaga kerja ? (jika ya, berapakah jumlah tenaga kerja yang digunakan?)

………………………………………………………………………………….. 6. Berapa upah yang diberikan kepada tenaga kerja ? Rp …./orang/hari

7. Berapa jumlah kedelai yang digunakan untuk membuat tempe setiap hari ?

…………………………………………………………………………………..

8. Berapa harga kedelai saat ini ?Rp …../ kilogram

9. Berapa jumlah tempe yang dihasilkan setiap satu kali produksi? …………………………………………………………………………………. 10. Berapa harga tempe yang dijual? ………………………………………………………………………………….. 11. Bagaimana proses produksi tempe dan berapa lama produksi tersebut? …………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………

Page 119: A08nat

12. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan pinjaman untuk modal usaha?

a. Ya (lanjut ke no. 13) b. tidak (lanjut ke no. 18)

13. Berapa jumlah pinjaman yang dilakukan Bapak/Ibu?Rp……………………….

14. Kepada siapa Bapak/Ibu melakukan pinjaman?

………………………………………………………………………………......

15. Berapa tingkat bunga yang diajukan pemberi pinjaman? …..persen

16. Berapa jangka waktu peminjaman dana?.............................................................

17. Bagaimana cara pengembalian pinjaman?

a. dibayar tunai setelah jangka waktu yang ditetapkan

b. diangsur (berapa kali angsuran dilakukan?)

18. Berapa biaya pemeliharaan atau perawatan alat-alat? Rp………………………

19. Kapan Bapak/Ibu membeli peralatan yang baru?................................................

20. Berapa nilai sisa dari peralatan yang lama jika dijual?........................................

21. Apa saja modal yang digunakan dalam usaha Bapak/Ibu?

..............................................................................................................................

22. Berapa nilai modal yang Bapak/Ibu gunakan?

..............................................................................................................................

23. Berapa jangka waktu penyusutan peralatan yang dipakai?.... tahun 24. Berapa luas usaha yang Bapak/Ibu lakukan? ………………………………………………………………………………….. 25. Berapa luas tanah dan bangunan yang digunakan dalam usaha ini? ………………………………………………………………………………….. 26. Adakah pekerjaan lain selain usaha pembuatan tempe?

a. Ya , sebagai…………………………………….. (lanjut ke no.27)

b. Tidak (lanjut ke no. 28)

27. Jika memiliki pekerjaan sampingan, berapakah pendapatan yang dihasilkan

per bulan dari pekerjaan tersebut? Rp ……….

28. Dalam sehari, berapa jam yang diperlukan untuk kegiatan produksi? ….. jam

29. Dalam seminggu berapa hari yang digunakan untuk berproduksi? …….hari

30. Apakah permasalahan yang Bapak/Ibu temui dalam menjalankan usaha ini?

………………………………………………………………………………….

Page 120: A08nat

D. INFORMASI MENGENAI KESEDIAAN MELAKUKAN PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN IPAL

1. Apakah Bapak/Ibu bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL?

a. Bersedia (lanjut ke no. 2)

b. Tidak (lanjut ke no. 3)

2. Mengapa Bapak/Ibu bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL?

………………………………………………………………………………..

3. Apa alasan Bapak/Ibu tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan

IPAL?

………………………………………………………………………………..

4. Menurut Bapak/Ibu apakah solusi alternatif untuk menanggulangi masalah

limbah di daerah ini?

…………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………

Jika usaha masih layak setelah internalisasi biaya eksternal, maka akan

dilakukan pembangunan IPAL. Namun biaya pembangunan sepenuhnya diserahkan dan menjadi tanggung jawab industri tempe yang menggunakannya.

Page 121: A08nat

Lampiran 5. Peta Lokasi Penelitian

Page 122: A08nat

Lampiran 6. Perhitungan Penyusutan Per Tahun Dari Investasi

Jenis Investasi Nilai beli (Rupiah)

Umur Pakai (Tahun)

Penyusutan/tahun (Rupiah)

Nilai Sisa (Rupiah)

Drum Rebus 81.290 1,0 81.290 0Drum Rendam & Cuci 285.000 3,6 71.250 71.250Penggilingan 1.358.065 2,0 679.032 679.032Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 6,4 170.687 170.687Tungku 150.000 2,0 75.000 75.000IPAL 27.558.333 10,0 2.755.833 0Total 30.456.807 25,0 3.833.093 995.969

Page 123: A08nat

Lampiran 7. CASHFLOW USAHA PEMBUATAN TEMPE DI DESA CITEUREUP TANPA IPAL (Rp/109kg/tahun)

Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A. INFLOW

1. Nilai Produksi : Utama 0 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86

Sampingan 0 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468

2. Pinjaman 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3. Nilai sisa 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 995.969

TOTAL INFLOW 0 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 341.919.9

23 B. OUTFLOW

1. B. Investasi :

110 m2 Lahan (Rp 380,645/m2) 41.870.950 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

1 Drum Rebus 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290

3 Drum Rendam dan cuci 285.000 0 0 0 285.000 0 0 0 285.000 0 0

Penggilingan 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065

Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 0 0 0 0 0 1024119 0 0 0 0

Tungku 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000

TOTAL B. INVESTASI 44.769.424 81.290 1.589.355 81.290 1.874.355 81.290 2.613.474 81.290 1.874.355 81.290 1.589.355

2. B. Operasional

Biaya Tetap : Transportasi 0 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000

Listrik 0 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000

Upah Tenaga Kerja 0

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

Page 124: A08nat

Sewa kios 0 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000

Biaya Variabel : Kedelai 0 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90

Ragi 0 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006

Daun 0 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730

Plastik 0 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622

Pewarna 0 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000

Bahan Bakar 0 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486

Pelengkap:

Saringan 0 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904

Pisau 0 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000

Alat Penusuk 0 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

TOTAL B. OPERASIONAL 0

298.145.954

298.145.954

298.145.954

298.145.954

298.145.954

298.145.954

298.145.954

298.145.954

298.145.954

298.145.954

TOTAL OUTFLOW 44.769.424 298.227.2

44 299.735.3

09 298.227.2

44 300.020.3

09 298.227.2

44 300.759.4

28 298.227.2

44 300.020.3

09 298.227.2

44 299.735.3

09

C Net Benefit Before Tax (A-B)

-44.769.424

42.696.710

41.188.645

42.696.710

40.903.645

42.696.710

40.164.526

42.696.710

40.903.645

42.696.710

42.184.614

D Pajak 0 4.269.671 4.118.865 4.269.671 4.090.365 4.269.671 4.016.453 4.269.671 4.090.365 4.269.671 4.218.461

Net Benefit After Tax (C-D)

-44.769.424

38.427.039

37.069.781

38.427.039

36.813.281

38.427.039

36.148.073

38.427.039

36.813.281

38.427.039

37.966.153

Df 13% 1 0,8849557

52 0,783146

68 0,693050

16 0,6133187

28 0,542759

94 0,480318

53 0,425060

64 0,376159

86 0,332884

83 0,2945883

48

NPV 141.464.54

2

IRR 84%

Net B/C 4,57

PV 13% -

44.769.424 34.006.22

9 29.031.07

6 26.631.86

6 22.578.27

4 20.856.65

7 17.362.58

9 16.333.82

2 13.847.67

9 12.791.77

8 11.184.38

6

Page 125: A08nat

PV Positif 204.624.35

7

PV Negatif -

44.769.424

PP 1 tahun 4 bulan

Lampiran 8. CASHFLOW USAHA PEMBUATAN TEMPE DI DESA CITEUREUP DENGAN IPAL Skenario 1 (Rp/109kg/tahun)

Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A. INFLOW

1. Nilai Produksi : utama 0 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86

Sampingan 0 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468

2. Pinjaman 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3. Nilai sisa 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 995.969

TOTAL INFLOW 0 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 341.919.9

23 B. OUTFLOW

1. B. Investasi Produksi:

110 m2 Lahan (Rp 380,645/m2) 41.870.950 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

1 Drum Rebus 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290

3 Drum Rendam dan cuci 285.000 0 0 0 285.000 0 0 0 285.000 0 0

Penggilingan 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065

Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 0 0 0 0 0 1.024.119 0 0 0 0

Tungku 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000

2. Biaya Pembangunan 27.558.333 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Page 126: A08nat

IPAL

TOTAL B. INVESTASI 72.327.757 81.290 1.589.355 81.290 1.874.355 81.290 2.613.474 81.290 1.874.355 81.290 1.589.355

3. B. Operasional Produksi

Biaya Tetap : Transportasi 0 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000

Listrik 0 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000

Upah Tenaga Kerja 0

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

Sewa Kios 0 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000

Biaya Variabel : Kedelai 0 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90

Ragi 0 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006

Daun 0 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730

Plastik 0 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622

Pewarna 0 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000

Bahan Bakar 0 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486

4. B. Operasional IPAL:

Upah TK IPAL 0 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000

B. Overhead 0 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000

B. Perawatan 0 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000

B. Angkutan 0 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000

Perlengkapan :

Saringan 0 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904

Pisau 0 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000

Alat Penusuk 0 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Page 127: A08nat

TOTAL B. OPERASIONAL 0

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

TOTAL OUTFLOW 72.327.757 302.127.2

44 303.635.3

09 302.127.2

44 303.920.3

09 302.127.2

44 304.659.4

28 302.127.2

44 303.920.3

09 302.127.2

44 303.635.3

09

C Net Benefit Before Tax (A-B) -72.327.757

38.796.710

37.288.645

38.796.710

37.003.645

38.796.710

36.264.526

38.796.710

37.003.645

38.796.710

38.284.614

D Pajak 0 3.879.671 3.728.865 3.879.671 3.700.365 3.879.671 3.626.453 3.879.671 3.700.365 3.879.671 3.828.461

Net Benefit After Tax (C-D) -72.327.757

34.917.039

33.559.781

34.917.039

33.303.281

34.917.039

32.638.073

34.917.039

33.303.281

34.917.039

34.456.153

Df 13% 1 0,884955

75 0,783146

68 0,693050

16 0,613318

73 0,542759

94 0,480318

53 0,4250606

44 0,376159

86 0,3328848

33 0,2945883

48

NPV 100.221.668

IRR 46%

Net B/C 2,57

PV 13% -72.327.757 30.900.03

5 26.282.23

1 24.199.26

0 20.425.52

6 18.951.57

0 15.676.67

1 14.841.85

9 12.527.35

7 11.623.35

3 10.150.38

1

PV Positif 185.578.242

PV Negatif -72.327.757

PP 2 tahun 2 bulan

Page 128: A08nat

Lampiran 9. CASHFLOW USAHA PEMBUATAN TEMPE DI DESA CITEUREUP DENGAN IPAL Skenario 2(Rp/109kg/tahun)

Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A. INFLOW

1. Nilai Produksi : utama 0 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86 340.722.4

86

Sampingan 0 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468

2. Pinjaman 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3. Nilai sisa 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 995.969

TOTAL INFLOW 0 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 340.923.9

54 341.919.9

23 B. OUTFLOW

1. B. Investasi Produksi:

110 m2 Lahan (Rp 380,645/m2) 41.870.950 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

1 Drum Rebus 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290

3 Drum Rendam dan cuci 285.000 0 0 0 285.000 0 0 0 285.000 0 0

Penggilingan 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065

Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 0 0 0 0 0 1.024.119 0 0 0 0

Tungku 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000

TOTAL B. INVESTASI 44.769.424 81.290 1.589.355 81.290 1.874.355 81.290 2.613.474 81.290 1.874.355 81.290 1.589.355

2. B. Operasional Produksi:

Biaya Tetap : Transportasi 0 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000

Listrik 0 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000

Upah Tenaga Kerja 0

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

24.292.216

Page 129: A08nat

Sewa kios 0 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000

Biaya Variabel : Kedelai 0 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90 248.204.9

90

Ragi 0 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006

Daun 0 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730

Plastik 0 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622

Pewarna 0 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000

Bahan Bakar 0 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486

3. B. Operasional IPAL:

Upah TK IPAL 0 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000

B. Overhead 0 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000

B. Perawatan 0 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000

B. Angkutan 0 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000

Perlengkapan :

Saringan 0 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904

Pisau 0 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000

Alat Penusuk 0 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

TOTAL B. OPERASIONAL 0

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

302.045.954

TOTAL OUTFLOW 44.769.424 302.127.2

44 303.635.3

09 302.127.2

44 303.920.3

09 302.127.2

44 304.659.4

28 302.127.2

44 303.920.3

09 302.127.2

44 303.635.3

09

C Net Benefit Before Tax (A-B) -44.769.424

38.796.710

37.288.645

38.796.710

37.003.645

38.796.710

36.264.526

38.796.710

37.003.645

38.796.710

38.284.614

D Pajak 0 3.879.671 3.728.865 3.879.671 3.700.365 3.879.671 3.626.453 3.879.671 3.700.365 3.879.671 3.828.461

Net Benefit After Tax (C-D) -44.769.424

34.917.039

33.559.781

34.917.039

33.303.281

34.917.039

32.638.073

34.917.039

33.303.281

34.917.039

34.456.153

Page 130: A08nat

Df13 % 1 0,8849557

5 0,7831466

83 0,6930501

6 0,6133187

3 0,5427599

4 0,480318

53 0,425060

64 0,376159

86 0,332884

83 0,294588

35

NPV 124.609.573

IRR 77%

Net B/C 4,15

PV 13% -44.769.424 30.900.03

5 26.282.23

1 24.199.26

0 20.425.52

6 18.951.57

0 15.676.67

1 14.841.85

9 12.527.35

7 11.623.35

3 10.150.38

1

PV Negatif -44.769.424

PV Positif 185.578.242

PP 1 tahun 6 bulan

Page 131: A08nat

Lampiran 10. Alasan Pengrajin Tempe Bersedia atau Tidak Bersedia Mengolah Limbah

Dengan IPAL

Nama Kesediaan Alasan

Raska Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Kaspari Bersedia Ada saluran untuk pengolahan limbah

Zainal Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Sudarno Bersedia Hasil buangan limbah lebih baik

Teguh Bersedia Agar Limbah tidak menimbulkan bau busuk

Sutrio Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Tarno Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Kabari Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Achmad Sunarto Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Damurin Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Khudori Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Waridi Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Karmadi Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Darno Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Taryubi Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Karyono Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Bisri Bersedia Hasil buangan limbah lebih baik

Kasadi Tidak IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah

Daris Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Marzuki Tidak IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah

Abdul Rohman Tidak IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah

Tarpin Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

H. Sunardi Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Kardani Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi

Tasmin Tidak Menambah Biaya Produksi

Ramadi Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Aryo Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Warjo Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Sutoro Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Musli Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Wardiono Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas

Page 132: A08nat

Lampiran 11. Dampak Negatif Limbah Cair dan Solusi Alternatif untuk Menanggulagi Limbah

Nama Solusi Alternatif Dampak negatif limbah

Raska Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Kaspari Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Zainal Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Sudarno Pengolahan limbah yang murah Membuat air sungai keruh dan bau

Teguh Pengolahan limbah yang murah Air sungai tidak dapat dikonsumsi

Sutrio Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi

Tarno Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi

Kabari Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi

Achmad Sunarto Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi

Damurin Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Khudori Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Waridi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Karmadi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Darno Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Taryubi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Karyono Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Bisri Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi

Kasadi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Daris Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Marzuki Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Abdul Rohman Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Tarpin Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

H. Sunardi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Kardani Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Tasmin Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Ramadi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Aryo Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Warjo Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Sutoro Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Musli Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Wardiono Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau

Page 133: A08nat

Lampiran 12. Rincian Penerimaan Harian Pengrajin Tempe di Desa Citeureup

Nama Responden Kedelai (kg) Harga (Rp/kg) Nilai Ampas (krg) Harga (Rp/krg) Nilai Pendapatan (Rp) Pendapatan Bersih (Rp)

Raska 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 850.000 850.000

Kaspari 100 6.900 690.000 0,00 0 0 900.000 900.000

Zainal 125 6.800 850.000 0,00 0 0 1.800.000 1.800.000

Sudarno 400 7.000 2.800.000 1,50 3.000 4.500 3.500.000 3.500.000

Teguh 100 7.000 700.000 0,38 3.000 1.140 900.000 900.000

Sutrio 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 900.000 900.000

Tarno 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 900.000 900.000

Kabari 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 900.000 900.000

Achmad Sunarto 100 6.900 690.000 1,00 5.000 5.000 850.000 850.000

Damurin 200 7.000 1.400.000 1,00 5.000 5.000 2.000.000 2.000.000

Khudori 100 6.850 685.000 1,00 5.000 5.000 900.000 900.000

Waridi 100 6.800 680.000 0,00 0 0 900.000 900.000

Karmadi 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 900.000 900.000

Darno 100 7.000 700.000 0,00 0 0 900.000 900.000

Taryubi 95 6.900 655.500 0,00 0 0 920.000 920.000

Karyono 60 6.900 414.000 0,50 5.000 2.500 500.000 500.000

Bisri 50 6.850 342.500 0,00 0 0 450.000 450.000

Kasadi 75 6.850 513.750 0,00 0 0 1.000.000 1.000.000

Daris 25 7.000 175.000 1,00 5.000 5.000 300.000 300.000

Marzuki 250 7.000 1.750.000 1,00 4.500 4.500 2.500.000 2.500.000

Abdul Rohman 30 7.000 210.000 0,00 0 0 350.000 350.000

Tarpin 70 7.000 490.000 0,00 0 0 700.000 700.000

Page 134: A08nat

H. Sunardi 100 7.200 720.000 0,00 0 0 850.000 850.000

Kardani 250 7.000 1.750.000 0,00 0 0 2.500.000 2.500.000

Tasmin 40 7.500 300.000 0,00 0 0 400.000 400.000

Ramadi 35 7.000 245.000 0,00 0 0 380.000 380.000

Aryo 200 7.200 1.440.000 0,00 0 0 2.000.000 2.000.000

Warjo 75 7.000 525.000 0,00 0 0 750.000 750.000

Sutoro 40 7.000 280.000 0,00 0 0 350.000 350.000

Musli 100 7.000 700.000 0,00 0 0 850.000 850.000

Wardiono 50 6.900 345.000 0,00 0 0 500.000 500.000

Rata-rata 109 6.985 761.365 0,40 1.548 619,2 1.045.161 1.045.161

Nilai Output (Kg) Harga Tempe Daun (Rp/kg) Harga Tempe Plastik (Rp/kg) Saluran Pemasaran Sewa Kios (Rp/hari)

800 1.500 2.000 1 13.333

500 1.500 2.500 1 10.000

2.000 2.000 2.500 1 10.000

500 2.000 2.000 1 13.333

2.000 2.500 2.000 1 13.333

400 2.500 2.000 1 13.333

400 2.500 2.000 1 13.333

400 2.500 2.000 1 13.333

400 2.500 2.500 1 13.333

400 1.000 4.000 1 13.333

400 2.000 4.000 1 10.000

2.000 2.000 4.000 1 10.000

Page 135: A08nat

720 2.500 4.500 1 13.333

200 0 3.000 1 10.000

800 2.000 3.000 2 0

200 2.000 2.500 2 0

600 1.000 3.000 3 0

360 2.500 2.500 2 0

120 1.000 2.500 3 0

1.000 1.000 2.500 2 0

800 0 2.500 2 0

1.000 1.000 2.500 1 10.000

1.000 1.000 2.500 1 10.000

8.000 1.000 2.500 1 13.333

500 0 2.500 1 10.000

600 1.000 2.500 2 0

2.800 1.000 2.500 3 0

960 1.000 2.500 3 0

800 1.000 2.500 3 0

1.400 1.000 2.500 1 10.000

800 1.000 2.500 1 10.000

1.060 1.468 2.661 11.667 Lampiran 13. Rincian Biaya-biaya harian pembuatan tempe

Nama Responden Kedelai (kg) Harga (Rp/kg) Nilai Ragi (kg) Harga (Rp/kg) Nilai Pewarna Harga (Rp/bks) Nilai Serbuk Kayu (krg)

Raska 100 7.000 700.000 0,20 10.000 2.000 7 500 3.500 1,00

Kaspari 100 6.900 690.000 0,14 10.000 1.428 0 500 0 1,00

Page 136: A08nat

Zainal 125 6.800 850.000 1,00 12.000 12.000 0 500 0 1,00

Sudarno 400 7.000 2.800.000 4,00 5.000 20.000 40 500 20.000 0,75

Teguh 100 7.000 700.000 1,00 5.000 5.000 10 500 5.000 0,25

Sutrio 100 7.000 700.000 1,00 10.000 10.000 0 500 0 1,00

Tarno 100 7.000 700.000 1,00 10.000 10.000 0 500 0 1,00

Kabari 100 7.000 700.000 1,00 10.000 10.000 0 500 0 1,00

Achmad Sunarto 100 6.900 690.000 0,20 16.000 3.200 0 500 0 1,00

Damurin 200 7.000 1.400.000 0,13 10.000 1.250 0 500 0 1,00

Khudori 100 6.850 685.000 1,40 10.000 14.000 0 500 0 1,00

Waridi 100 6.800 680.000 0,20 10.000 2.000 0 500 0 1,00

Karmadi 100 7.000 700.000 0,20 10.000 2.000 0 500 0 1,00

Darno 100 7.000 700.000 0,33 8.000 2.640 0 500 0 1,00

Taryubi 95 6.900 655.500 0,50 16.000 8.000 14 500 7.000 1,00

Karyono 60 6.900 414.000 0,20 9.000 1.800 0 500 0 1,00

Bisri 50 6.850 342.500 0,02 10.000 200 4 500 2.000 1,00

Kasadi 75 6.850 513.750 0,02 10.000 200 0 500 0 2,00

Daris 25 7.000 175.000 0,20 10.000 2.000 2 500 1.000 1,00

Marzuki 250 7.000 1.750.000 0,60 14.500 8.700 17 500 8.500 1,00

Abdul Rohman 30 7.000 210.000 0,10 15.000 1.500 1 500 500 0,30

Tarpin 70 7.000 490.000 0,20 15.000 3.000 3 500 1.500 0,50

H. Sunardi 100 7.200 720.000 0,25 13.500 3.375 5 500 2.500 1,00

Kardani 250 7.000 1.750.000 0,70 15.000 10.500 12 500 6.000 2,00

Tasmin 40 7.500 300.000 0,10 15.000 1.500 1 500 500 0,30

Ramadi 35 7.000 245.000 0,10 15.000 1.500 1 500 500 0,30

Page 137: A08nat

Aryo 200 7.200 1.440.000 0,50 13.500 6.750 10 500 5.000 1,50

Warjo 75 7.000 525.000 0,20 15.000 3.000 3 500 1.500 0,50

Sutoro 40 7.000 280.000 0,10 15.000 1.500 2 500 1.000 0,30

Musli 100 7.000 700.000 0,30 15.000 4.500 5 500 2.500 1,00

Wardiono 50 6.900 345.000 0,15 16.000 2.400 1 500 500 0,40

Rata-rata 109 6.985 761.365 0,52 11.887 6.181 4 500 2.000 1

Harga (Rp/krg) Nilai Plastik (kg) Harga (Rp/kg) Nilai Daun (Rp) Tenaga Kerja Upah/hari (Rp) Jam Kerja Nilai Total Biaya

4.000 4.000 1,00 22.000 22.000 15.000 2 40.000 10,0 80.000 826.500

4.000 4.000 1,00 22.000 22.000 15.000 2 30.000 8,0 60.000 792.428

6.000 6.000 1,50 21.000 31.500 5.000 3 30.000 8,0 90.000 994.500

30.000 22.500 0,10 20.000 2.000 20.000 5 50.000 8,0 250.000 3.134.500

30.000 7.500 0,10 20.000 2.000 5.000 1 50.000 8,0 50.000 774.500

10.000 10.000 0,18 20.000 3.600 5.000 1 30.000 8,0 30.000 758.600

10.000 10.000 0,10 22.000 2.200 10.000 1 30.000 8,0 30.000 762.200

10.000 10.000 0,10 22.000 2.200 10.000 1 30.000 8,0 30.000 762.200

10.000 10.000 0,10 22.000 2.200 10.000 2 35.000 5,0 70.000 785.400

10.000 10.000 0,75 20.000 15.000 10.000 3 30.000 5,0 90.000 1.526.250

8.000 8.000 2,50 20.000 50.000 20.000 2 40.000 7,0 80.000 857.000

10.000 10.000 0,50 22.000 11.000 10.000 3 60.000 8,0 180.000 893.000

10.000 10.000 0,10 22.000 2.200 10.000 1 30.000 8,0 30.000 754.200

6.000 6.000 1,00 20.500 20.500 0 1 40.000 8,0 40.000 769.140

15.000 15.000 1,50 21.000 31.500 10.000 1 40.000 6,0 40.000 767.000

6.000 6.000 0,75 20.000 15.000 3.000 1 25.000 8,0 25.000 464.800

Page 138: A08nat

10.000 10.000 1,00 20.000 20.000 5.000 1 20.000 6,0 20.000 399.700

6.000 12.000 0,50 20.000 10.000 15.000 1 25.000 8,0 25.000 575.950

6.000 6.000 0,30 20.000 6.000 2.000 1 25.000 6,0 25.000 217.000

6.000 6.000 2,00 22.000 44.000 14.000 4 35.000 8,5 140.000 1.971.200

7.000 2.100 0,30 20.000 6.000 0 1 40.000 8,0 40.000 260.100

7.000 3.500 0,60 20.000 12.000 6.600 2 40.000 8,0 80.000 596.600

8.000 8.000 1,00 20.000 20.000 10.000 2 40.000 8,0 80.000 843.875

5.000 10.000 2,00 20.000 40.000 50.000 4 40.000 8,0 160.000 2.026.500

7.000 2.100 0,25 22.000 5.500 0 2 40.000 8,0 80.000 389.600

7.500 2.250 0,50 20.000 10.000 2.500 2 50.000 8,0 100.000 361.750

6.000 9.000 2,50 20.000 50.000 140.000 4 50.000 8,0 200.000 1.850.750

7.500 3.750 1,00 18.000 18.000 8.000 2 40.000 8,0 80.000 639.250

8.000 2.400 0,75 20.000 15.000 4.000 1 40.000 8,0 40.000 343.900

7.000 7.000 1,28 20.000 25.600 10.000 2 40.000 8,0 80.000 829.600

7.000 2.800 0,50 20.000 10.000 4.400 2 40.000 8,0 80.000 445.100

9.161 9.161 1 20.597 20.597 13.855 2 37.258 7,7 74.516 883.003

Umur Pakai Gilingan Harga (Rp)

12 1 350.000

60 1 4.000.000

12 1 500.000

Page 139: A08nat

4 2 2.500.000

12 2 2.500.000

12 1 500.000

12 1 500.000

12 1 500.000

36 1 500.000

60 1 1.500.000

60 1 900.000

60 1 400.000

60 1 400.000

12 2 4.500.000

6 1 1.500.000

12 1 350.000

60 1 350.000

60 1 350.000

60 1 350.000

60 1 2.000.000

60 1 4.000.000

60 1 4.000.000

60 1 1.000.000

60 1 1.500.000

60 1 350.000

60 1 350.000

60 1 300.000

Page 140: A08nat

60 1 1.250.000

60 1 4.000.000

60 1 500.000

60 1 400.000

43 1 1.358.065

Umur Pakai Saringan Harga (Rp) Nilai Umur Pakai (bulan) Kerai Harga (Rp/kerai) Nilai Umur Pakai

12 1 10.000 10.000 0,25 40 25.000 1.000.000 60

36 1 10.000 10.000 0,25 25 25.000 625.000 60

12 1 10.000 10.000 0,25 100 15.000 1.500.000 60

36 1 10.000 10.000 0,25 25 15.000 375.000 60

36 1 10.000 10.000 0,25 100 25.000 2.500.000 120

12 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 120

12 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 60

12 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 60

12 3 5.000 15.000 0,25 20 25.000 500.000 60

36 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 60

12 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 60

12 1 10.000 10.000 0,25 100 20.000 2.000.000 60

12 1 10.000 10.000 0,25 36 15.000 540.000 60

36 2 10.000 20.000 0,25 10 15.000 150.000 60

36 2 10.000 20.000 0,25 40 20.000 800.000 60

12 1 10.000 10.000 0,25 10 15.000 150.000 60

24 2 5.000 10.000 0,25 30 25.000 750.000 60

Page 141: A08nat

24 2 10.000 20.000 2,00 18 25.000 450.000 60

24 1 10.000 10.000 0,25 6 25.000 150.000 60

36 4 5.000 20.000 0,25 50 20.000 1.000.000 60

24 1 5.000 5.000 0,25 40 15.000 600.000 96

24 1 5.000 5.000 0,50 50 15.000 750.000 96

30 1 5.000 5.000 12,00 50 15.000 750.000 96

36 3 5.000 15.000 0,25 400 15.000 6.000.000 96

24 1 5.000 5.000 0,50 25 15.000 375.000 96

24 1 5.000 5.000 0,50 30 15.000 450.000 96

24 1 5.000 5.000 0,25 140 15.000 2.100.000 96

30 1 5.000 5.000 0,50 48 14.000 672.000 96

24 1 5.000 5.000 0,50 40 15.000 600.000 96

24 1 5.000 5.000 0,50 70 15.000 1.050.000 96

24 1 5.000 5.000 0,50 40 15.000 600.000 96

24 1 7.742 7.742 1 53 19.323 1.024.119 77

Lampiran 15. Karakteristik Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008

Nama Responden Umur Jenis Kelamin Pendidikan Status Jumlah tanggungan Lama Usaha Luas Tempat Usaha Harga Lahan (Rp/m2)

Raska 35 Laki-laki SD Nikah 2 9 100 1.000.000

Kaspari 42 Laki-laki SD Nikah 2 20 68 350.000

Page 142: A08nat

Zainal 34 Laki-laki SD Nikah 2 11 121 350.000

Sudarno 50 Laki-laki SD Nikah 8 16 350 500.000

Teguh 28 Laki-laki SMA Nikah 1 6 100 350.000

Sutrio 58 Laki-laki SD Nikah 3 26 100 350.000

Tarno 50 Laki-laki SD Nikah 4 30 100 350.000

Kabari 38 Laki-laki SD Nikah 2 10 100 350.000

Achmad Sunarto 37 Laki-laki SLTP Nikah 4 17 150 600.000

Damurin 52 Laki-laki SD Nikah 3 40 105 350.000

Khudori 37 Laki-laki SD Nikah 3 13 100 350.000

Waridi 32 Laki-laki SD Nikah 2 12 100 350.000

Karmadi 35 Laki-laki SD Nikah 2 11 110 350.000

Darno 40 Laki-laki SD Nikah 5 3 125 350.000

Taryubi 33 Laki-laki SD Nikah 2 14 50 350.000

Karyono 30 Laki-laki SD Nikah 2 19 100 350.000

Bisri 28 Perempuan SD Nikah 1 6 150 600.000

Kasadi 23 Laki-laki SD Belum 0 3 100 350.000

Daris 50 Laki-laki SD Nikah 11 25 96 350.000

Marzuki 60 Laki-laki SD Nikah 7 23 100 350.000

Abdul Rohman 38 Laki-laki SLTP Nikah 4 9 100 350.000

Tarpin 40 Laki-laki SLTP Nikah 5 10 100 350.000

H. Sunardi 47 Laki-laki SD Nikah 9 25 100 350.000

Kardani 42 Laki-laki SD Nikah 6 21 100 350.000

Tasmin 35 Laki-laki SD Nikah 4 10 100 350.000

Ramadi 35 Laki-laki SD Nikah 4 15 150 350.000

Page 143: A08nat

Aryo 32 Laki-laki SLTP Nikah 3 15 100 350.000

Warjo 35 Laki-laki SD Nikah 4 11 50 350.000

Sutoro 35 Laki-laki SMK Nikah 3 7 100 350.000

Musli 38 Laki-laki SLTP Nikah 4 11 100 350.000

Wardiono 34 Laki-laki SD Nikah 2 12 100 350.000

Rata-rata 39 Laki-laki SD Nikah 4 15 110 380.645

Nilai Kap. Prod (kg) jumlah limbah (m3) biaya (Rp/m3) Biaya IPAL (Rp)

100.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682

23.800.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682

42.350.000 200 2,19 15.031.818 32.919.682

175.000.000 720 7,00 15.031.818 105.222.727

35.000.000 180 1,75 15.031.818 26.305.682

35.000.000 200 1,75 15.031.818 26.305.682

35.000.000 200 1,75 15.031.818 26.305.682

35.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682

90.000.000 180 1,75 15.031.818 26.305.682

36.750.000 400 3,50 15.031.818 52.611.364

35.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682

35.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682

38.500.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682

43.750.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682

17.500.000 152 1,66 15.031.818 24.952.818

35.000.000 120 1,05 15.031.818 15.783.409

Page 144: A08nat

90.000.000 80 0,88 15.031.818 13.228.000

35.000.000 120 1,31 15.031.818 19.691.682

33.600.000 50 0,44 15.031.818 6.614.000

35.000.000 500 4,38 15.031.818 65.839.364

35.000.000 48 0,53 15.031.818 7.966.864

35.000.000 112 1,22 15.031.818 18.338.818

35.000.000 200 1,75 15.031.818 26.305.682

35.000.000 500 4,38 15.031.818 65.839.364

35.000.000 64 0,70 15.031.818 10.522.273

52.500.000 63 0,61 15.031.818 9.169.409

35.000.000 360 3,50 15.031.818 52.611.364

17.500.000 120 1,31 15.031.818 19.691.682

35.000.000 64 0,70 15.031.818 10.522.273

35.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682

35.000.000 80 0,88 15.031.818 13.228.000

41.870.950 193 1,90 15.031.818 28.604.095