a08nat
DESCRIPTION
dfsTRANSCRIPT
ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)
Oleh : Natalia
A14304070
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
NATALIA. Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor). Dibawah bimbingan EVA ANGGRAINI. Struktur industri di Indonesia masih didominasi oleh industri kecil dan rumah tangga. Salah satu industri kecil dan rumah tangga yang mengalami peningkatan di Kabupaten Bogor adalah industri pengolahan tempe. Sentra industri tempe terbesar di Kabupaten Bogor adalah Desa Citeureup yang berjumlah 100 rumah tangga pengrajin tempe. Industri tempe menghasilkan produk utama, produk sampingan dan limbah. Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter setiap 1 ton tempe yang diproduksi. Besarnya volume limbah berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan yaitu pencemaran sungai yang terletak di Desa Citeureup. Hal ini menyebabkan air sungai/kali tidak dapat digunakan oleh masyarakat sekitar karena keruh dan bau akibat limbah tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan limbah, salah satunya dengan menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan teknik biogas.
Tujuan penelitian ini adalah menghitung besarnya biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL; menganalisis perubahan kelayakan usaha dengan adanya internalisasi biaya eksternal; mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah; dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif.
Biaya pembangunan IPAL per rumah tangga pengrajin adalah Rp 27.558.333 dan biaya operasional per tahun per rumah tangga pengrajin adalah Rp 3.900.000. Setelah internalisasi biaya pengolahan limbah dengan IPAL, skenario yang paling baik untuk dijalankan adalah usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 dengan biaya pembangunan IPAL ditanggung oleh pemerintah karena surplus produsen tidak berkurang terlalu besar jika dibandingkan dengan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL. Pengrajin tempe umumnya tidak bersedia melakukan pengolahan limbah. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap kesediaan pengrajin untuk mengolah limbah dengan IPAL adalah jarak ke sungai, luas tempat usaha dan jumlah tanggungan.
Guna menanggulangi masalah tersebut, perlu dukungan pemerintah dalam peningkatan kualitas sungai dengan membangun IPAL teknik biogas dan mengadakan penyuluhan di Desa Citeureup. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai seberapa besar nilai kerugian yang ditimbulkan akibat limbah cair tempe dan willingness to accept masyarakat hilir sungai terhadap limbah cair tempe yang dibuang ke sungai.
ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)
Oleh : Natalia
A14304070
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi : Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)
Nama : Natalia NRP : A14304070
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Eva Anggraini, S. Pi, M. Si. NIP. 132 321 428
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan : 22 Agustus 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi
Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup,
Kabupaten Bogor)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN
TINGGI MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK
TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2008
Natalia A14304070
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Natalia Darmawan dan lahir di Bogor,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, pada tanggal 07 Januari 1987. Penulis
adalah anak pertama dari dua bersaudara keluarga Alm. Bapak Darmawan dan Ibu
Ninawati Tjandradireja.
Penulis mengawali pendidikan formal di Taman Kanak-kanak Pertiwi
pada tahun 1990. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri
Citeureup 2 pada tahun 1992 dan diselesaikan pada tahun 1998. Kemudian
jenjang pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP
Puspanegara. Pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2004 di
SMUN 3 Bogor.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa tingkat
sarjana Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi
Pertanian dan Sumberdaya melalui jalur USMI pada tahun 2004. Selama kuliah
penulis pernah aktif dalam Komisi Pelayanan Khusus di UKM PMK-IPB.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang diberikan
kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “
Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi kasus Sentra Industri
Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)” ini dengan
baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pada Fakultas Pertanian dan dapat digunakan sebagai bahan rujukan lain bagi
masyarakat ilmiah yang ingin menyusun penelitian yang sejenis.
Skripsi ini bertujuan menghitung biaya pengolahan limbah tempe,
menganalisis kelayakan usaha dengan dan tanpa internalisasi biaya eksternal dan
menganalisis persepsi dan tingkat kesediaan pengrajin dalam melakukan
pengolahan limbah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eva Anggraini, S.Pi, M.Si. sebagai dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan dan dorongan selama
penyusunan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang diberikan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan baik mulai dari proses
penyusunan sampai selesainya skripsi ini. Skripsi ini tidak akan terbentuk tanpa
dukungan dan bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu proses penyusunan skripsi yaitu :
1. Kedua orangtua penulis, Alm. Bapak Darmawan dan Ibu Ninawati
Tjandradireja dan adik penulis Hari Budi Darmawan atas bantuan, doa,
dukungan, bimbingan dan motivasi yang selalu diberikan.
2. Ibu Eva Anggraini, S.Pi, M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan, arahan, kesabaran, pengertian dan semangat yang telah diberikan
kepada penulis.
3. Bapak Ir. Nindyantoro, M. SP sebagai dosen penguji utama atas saran dan
kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini.
4. Ibu Ir. Meti Ekayani, S. Hut, M. Sc sebagai dosen penguji wakil departemen
atas saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini.
5. Bapak Bimo dan Bapak Rizal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Bogor, pihak BPS Kabupaten Bogor, pihak Kementerian
Lingkungan Hidup Jakarta, serta aparat Kecamatan Citeureup dan Desa
Citeureup atas informasi yang telah diberikan kepada penulis.
6. Para pengrajin tempe di Desa Citeureup yang bersedia menjadi responden
dalam penelitian.
7. Sahabat-sahabat penulis antara lain Morintara, Rolas, Marlina, Merika, Yanti,
Lenny, Jimmy, Farida, Ismail, Estrellita, Prawinarah dan teman-teman EPS’41
yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan, doa dan dukungan
yang diberikan.
8. Teman-teman sebimbingan Emilea dan Lingga atas kerjasama, bantuan,
semangat dan doa yang diberikan. Kalian harus semangat ya.
9. Teman-teman satu KKP yaitu Yunita, Siti Puspitasari, Sari Harum Melaty,
Anita, Hadim dan Prianto atas suka dan duka yang diberikan kepada Penulis.
10. Staf-staf administrasi departemen yang telah membantu penulis serta semua
pihak yang telah membantu penulis atas bantuan, doa dan dukungannya.
Tuhan Memberkati.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................xiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang...................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 4 1.3. Tujuan penelitian.................................................................................. 6 1.4. Manfaat penelitian................................................................................ 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian.................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik industri kecil................................................................... 8
2.2 Eksternalitas ......................................................................................... 9 2.3 Internalisasi Biaya Eksternal.............................................................. 13 2.4 Metode Penilaian Lingkungan (Measures of Value Method) ............ 15 2.5 Studi Kelayakan Usaha ...................................................................... 17 2.5.1 Indikator Kelayakan Usaha ...................................................... 17 2.5.2 Kriteria Kelayakan Usaha ........................................................ 19 2.6 Studi-studi Terdahulu......................................................................... 19 2.6.1 Studi Mengenai Limbah Cair Tempe....................................... 19 2.6.2 Studi Mengenai Pengolahan Limbah Cair ............................... 20 2.6.3 Studi Mengenai Valuasi Ekonomi ........................................... 21 2.6.4 Studi Mengenai Biaya Eksternal.............................................. 22 2.6.5 Studi Mengenai Kelayakan Usaha ........................................... 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................. 24 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 28 4.2 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 28 4.3 Metode Pengambilan Data ................................................................. 29 4.4 Metode Analisis Data......................................................................... 30
4.4.1 Analisis Biaya Eksternal .......................................................... 30 4.4.2 Analisis Perubahan Kelayakan Usaha Sebelum dan
Setelah Internalisasi Biaya eksternal........................................ 31 4.4.3 Model Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kesediaan Pengrajin Tempe Melakukan Pengolahan Limbah. 33 4.5 Asumsi-asumsi ................................................................................... 38
4.6 Definisi Operasional........................................................................... 39 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Desa Citeureup ...................................................... 40 5.1.1 Kondisi Geografis ...................................................................... 40 5.1.2 Kondisi Kependudukan ............................................................. 40 5.1.3 Mata Pencaharian ....................................................................... 42
5.2 Gambaran Umum Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup ............. 43 5.3 Pemanfaatan Sungai Di Desa Citeureup ............................................. 44 5.4 Dampak Limbah Cair Tempe Terhadap Lingkungan dan Masyarakat Desa Citeureup ................................................................................... 46 VI. KARAKTERISTIK SOSIAL DAN EKONOMI PENGRAJIN TEMPE
DESA CITEUREUP 6.1 Karakteristik Sosial Pengrajin Tempe Desa Citeureup ..................... 47 6.1.1 Tingkat Umur ........................................................................... 47 6.1.2 Pengalaman Usaha ................................................................... 49 6.1.3 Tingkat Pendidikan .................................................................. 49 6.1.4 Jumlah Tanggungan ................................................................. 50 6.2 Karakteristik Ekonomi Pengrajin Tempe Desa Citeureup ................. 51 6.2.1 Luas Tempat Usaha .................................................................. 51 6.2.2 Skala Usaha .............................................................................. 52 6.2.3 Proses Produksi ........................................................................ 53 6.2.4 Kapasitas Produksi ................................................................... 55 6.2.5 Tingkat Pendapatan .................................................................. 55 6.2.6 Tenaga Kerja ........................................................................... 56 6.2.7 Saluran Pemasaran ................................................................... 57 6.2.8 Jarak Ke Sungai ....................................................................... 58 VII. KERAGAAN EKONOMI USAHA PEMBUATAN TEMPE 7.1 Arus Penerimaan ............................................................................... 60 7.2 Arus Pengeluaran ............................................................................... 62 7.2.1 Biaya Investasi .......................................................................... 62 7.2.2 Biaya Operasional ..................................................................... 63 VIII. BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN TEKNIK BIOGAS PER RUMAH TANGGA PENGRAJIN TEMPE 8.1 Mekanisme Sistem Pengolahan Limbah Cair dengan IPAL .............. 65
8.2 Biaya Pembangunan IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Tempe .... 66 VIII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PEMBUATAN
TEMPE TANPA DAN DENGAN IPAL 9.1 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL70
9.2 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Dan Operasional Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2).... 71
9.3 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Ditanggung Oleh Pemerintah Dan Operasional Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 3) .......................................................... 73 9.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario Dalam Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup................................................. 75 X. PERSEPSI DAN TINGKAT KESEDIAAN MELAKUKAN PENGOLAHAN LIMBAH 10.1 Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah............... 78 10.2 Tingkat Kesediaan Pengrajin Dalam Melakukan Pengolahan
Limbah ................................................................................................ 80 10.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Melakukan Pengolahan Limbah.......................................................... 83 10.4 Kebijakan Pengelolaan Limbah Industri Tempe Desa Citeureup ...... 89 XI. PENUTUP 11.1 Kesimpulan ......................................................................................... 92 11.2 Saran.................................................................................................... 93 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 94 LAMPIRAN........................................................................................................97
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kombinasi antara hak kepemilikan dan akses ................................................ 9
2. Tarif Pajak Untuk Berbagai Lapisan Penghasilan Kena Pajak ..................... 39
3. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Tahun 2006 ............................................ 42
4. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Menurut Tingkat Pendidikan
Tahun 2006.....................................................................................................43
5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2006..............................44
6. Sifat Fisika Kimia Limbah Cair Tempe Dibandingkan dengan Standar Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Industri Menurut KEP.51/MENLH/10/1995 ............................................................................ 45
7. Umur Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008................................... 48
8. Pengalaman Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008.............. 49
9. Tingkat Pendidikan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008............. 49
10. Jumlah Tanggungan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008............ 51
11. Luas Tempat Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ............ 52
12. Skala Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ........................ 52
13. Kapasitas Produksi Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ............. 55
14. Tingkat Pendapatan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 ............ 56
15. Saluran Pemasaran Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup..................... 58
16. Jarak Rumah Ke Sungai ................................................................................ 59
17. Penerimaan Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup ............................ 62
18. Investasi Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup................................. 63
19. Biaya Operasional Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup ................. 64
20. Rincian Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas ...................................... 67
21. Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas Per Rumah Tangga Pengrajin ... 68
22. Rincian Biaya Operasional IPAL Teknik Biogas ......................................... 69
23. Biaya Operasional IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Per Tahun ............. 70
24. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL .......... 72
25. Biaya Investasi IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)........72
26. Biaya Operasional IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)...72
27. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2).................................74
28. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL Ditanggung Oleh Pemerintah (Skenario 3)................................76
29. Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario yang Dapat Dijalankan Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup.....................................................77 30. Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah Tahun 2008........78
31. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Dampak Limbah Cair Tempe Tahun 2008.....................................................................................................81
32. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Solusi Alternatif untuk Menangani Masalah Limbah Tahun 2008......................................................82
33. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tidak Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah........................................................................................83 34. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah........................................................................................84 35. Hasil Logit Kesediaan Pengrajin untuk Melakukan Pengolahan Limbah
dengan IPAL ................................................................................................. 87
36. Frekuensi Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL.................................................................. 88
37. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL.................................................................. 90
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Alur Kerangka Pemikiran .............................................................................. 27 2. Skema Sistem Pengolahan Limbah Cair. ........................................................ 65 3. Tingkat Kesediaan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Terhadap Pengolahan Limbah......................................................................................... 82
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Batasan/Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Menurut Beberapa Organisasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup.................................98
2. Jumlah Industri Kecil Tempe di Kabupaten Bogor per
Kecamatan tahun 2008.............................................................................. 99
3. Hasil Logit Kesediaan Pengrajin Melakukan Pengolahan Limbah....................................................................................100
4. Kuisioner ................................................................................................... 101
5. Peta Lokasi Penelitian............................................................................... 106
6. Perhitungan Penyusutan Per Tahun Dari Investasi ................................... 107
7. Cashflow Usaha Pembuatan Tempe Di Desa Citeureup Tanpa IPAL .............................................................................. 108 8. Cashflow Usaha Pembuatan Tempe Di Desa
Citeureup Dengan IPAL Skenario 2 ......................................................... 109
9. Cashflow Usaha Pembuatan Tempe Di Desa Citeureup Dengan IPAL Skenario 3 ......................................................... 110
10. Alasan Pengrajin Tempe Bersedia atau Tidak Bersedia Mengolah Limbah Dengan IPAL ............................................................................................ 111
11. Dampak Negatif Limbah Cair dan Solusi Alternatif untuk Menanggulagi Limbah .............................................................................. 112
12. Rincian Penerimaan Harian Pengrajin Tempe di Desa Citeureup ............ 113 13. Rincian Biaya-biaya harian pembuatan tempe.......................................... 115 14. Biaya-Biaya Peralatan Pengrajin Tempe di Desa Citeureup..................... 117 15. Karakteristik Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008 ............... 119
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Struktur industri di Indonesia masih didominasi oleh industri kecil dan
rumah tangga. Menurut BPS (2006), jumlah industri kecil dan rumah tangga
mencapai sekitar 90,08 persen lebih banyak dibandingkan dengan industri sedang
dan besar. Seiring dengan hal tersebut, jumlah industri kecil dan rumah tangga di
Indonesia juga mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan industri
sedang dan besar. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan jumlah industri kecil dan
rumah tangga pada tahun 2004 sebesar 5,75 persen sedangkan jumlah industri
sedang dan besar bertambah 1,78 persen. Pada tahun 2005 jumlah industri kecil
dan rumah tangga naik sebesar 7,16 persen, sedangkan peningkatan industri
sedang dan besar tahun 2005 hanya sebesar 0,30 persen (BPS, 2006).
Industri kecil dan rumah tangga di Kabupaten Bogor juga meningkat pada
tahun 2004, 2005 dan 2006 masing-masing sebesar 8,21 persen, 4,97 persen dan
4,90 persen (Diperindag Kabupaten Bogor, 2007). Faktor-faktor yang
menyebabkan industri kecil dan rumah tangga mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun adalah modal yang dibutuhkan untuk melakukan produksi tidak besar,
tidak memerlukan teknologi yang tinggi, tingkat pendidikan pekerja umumnya
rendah, menggunakan bahan baku yang tersedia dalam negeri dan tidak
memerlukan biaya yang besar.
Salah satu industri kecil dan rumah tangga yang mengalami peningkatan di
Kabupaten Bogor adalah industri pengolahan tempe. Menurut Diperindag
Kabupaten Bogor (2007), usaha pengolahan tempe di Kabupaten Bogor pada
umumnya merupakan industri skala kecil karena jumlah modal (di luar tanah dan
bangunan) yang digunakan kurang dari 5 juta rupiah. Jumlah industri kecil tempe
di Kabupaten Bogor cukup banyak yaitu 186 industri. Faktor yang
mempengaruhinya adalah permintaan tempe yang cukup tinggi di masyarakat
yaitu 1,7 persen per tahun,1 sehingga mempengaruhi pengrajin untuk menambah
jumlah usaha pengolahan tempe. Faktor lain yang juga mempengaruhinya adalah
: (1) Modal (investasi/kerja) di luar tanah dan bangunan tidak besar membutuhkan
sekitar 2-10 juta rupiah per orang,2 (2) Tempe merupakan salah satu sumber
protein yang tidak mahal dan (3) Tingkat pendidikan dan keterampilan yang
dibutuhkan tidak tinggi (Disperindag Kabupaten Bogor, 2008). Salah satu sentra
industri tempe terbesar di Kabupaten Bogor adalah Desa Citeureup yaitu 100
rumah tangga pengrajin tempe.3
Industri tempe menghasilkan produk utama, produk sampingan dan
limbah. Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter
setiap 1 ton tempe yang diproduksi.4 Besarnya volume limbah berpotensi
menimbulkan dampak terhadap lingkungan yaitu pencemaran sungai karena letak
industri tempe yang berada di pinggir sungai dan sebagian besar pengusaha
tempe membuang limbah tempe langsung ke sungai.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri tempe berasal dari limbah
cair tempe. Limbah cair tempe mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein,
lemak, garam-garam, mineral dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam
1 PPUK Bank Indonesia. 2006. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil. Dalam http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=50110&idrb=44301. diakses tanggal 20 Februari 2008. 2Hasil wawancara dengan seksi Agro dan hasil hutan bidang Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan (IKAH) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor tanggal 4 Maret 2008. 3 Loc.cit. 4Dirjen IKM. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Dalam http://www.depperin.go.id/asp/pelatihan_ikm/cleanerprod/cleaner-production. Diakses Tanggal 20 Februari 2008.
pengolahan dan pembersihan. Setiap kuintal kedelai akan menghasilkan limbah
1,5 - 2 m3 air limbah. Limbah cair ini mengandung padatan tersuspensi maupun
terlarut, dan akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan
menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman
penyakit. Bila dibiarkan dalam air limbah akan berubah warnanya menjadi coklat
kehitaman dan berbau busuk.5 Air limbah yang dibuang ke sungai akan
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di sekitar sungai. Limbah cair
industri tempe yang langsung dibuang tanpa mengalami proses pengolahan
limbah akan mencemari lingkungan di sekitar sungai, yang akan berdampak
negatif terhadap kesehatan masyarakat di sekitar sungai. Agar limbah yang
dibuang tidak membahayakan masyarakat, seharusnya industri melakukan
pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai.
Dalam KepMen No.3 Tahun 1998 diputuskan industri harus menggunakan
teknologi pengolahan limbah yang best practicable agar memenuhi standar
konsentrasi dan kandungan polutan (BOD, COD, polutan logam berat dan
sebagainya). Industri tempe merupakan salah satu industri yang dijadikan prioritas
pengawasan sesuai KepMen No.3 Tahun 1998. Hal ini karena industri tempe
merupakan salah satu industri yang produk industrinya berbasis kedelai dan belum
memperhatikan standar buangan limbah sesuai dengan standar lingkungan yang
diterapkan (Raka, 2001).
5 Nurhasan & Bb. Pramudyanto. 1991. Informasi Praktis Pengelolaan dan Pemanfaatan Limbah Tahu Tempe. Dalam http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=9. Diakses tanggal 20 Februari 2008.
1.2 Perumusan masalah
Proses produksi tempe menghasilkan tempe sebagai produk utama dan
ampas kedelai sebagai produk sampingan. Tempe yang dihasilkan langsung dijual
ke pasar sedangkan ampas kedelai digunakan sebagai bahan baku industri
makanan lain menjadi makanan ternak, tempe gembus, Nata de Soya, castangell
dan makanan lain. Namun proses produksi tersebut juga menghasilkan limbah cair
yang mengandung padatan tersuspensi dan terlarut. Setiap 1 ton tempe yang
diproduksi menghasilkan limbah sebesar 3000-5000 liter. Limbah cair tempe
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan seperti mengakibatkan bau
busuk dan bila dibuang langsung ke sungai akan menyebabkan tercemarnya
sungai tersebut.
Limbah cair tempe bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan Nata
de Soya tapi kenyataannya di Desa Citeureup belum dilakukan oleh industri
tempe. Hal ini dikarenakan biaya pengolahan limbah tempe menjadi Nata de Soya
membutuhkan investasi yang cukup besar sehingga tidak mampu dilakukan
sendiri oleh pengrajin tempe. Sementara permintaan terhadap limbah tempe untuk
industri pembuatan Nata de Soya pun sangat rendah. Di sisi lain, lokasi industri
tempe di Desa Citeureup berada di sekitar DAS Kali Bekasi dan pada umumnya
mereka membuang limbah cair ke sungai. Hal ini menyebabkan kualitas
lingkungan di sekitar sungai menurun dan dapat menurunkan kualitas hidup
masyarakat sekitar.
Selain itu dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tersebut dirasakan
oleh masyarakat di hilir sungai yang menggunakan air tersebut untuk mencuci
pakaian, tambak ikan dan udang, minum dan sebagainya. Masyarakat hilir sungai
dirugikan akibat limbah tersebut seperti air tidak bisa dikonsumsi, pakaian yang
dicuci menjadi kotor karena air sudah bercampur minyak dan banyak tambak yang
rusak. Untuk menjaga sustainability lingkungan sungai pengrajin harus
melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai.
Beberapa hal yang menyebabkan pengrajin tempe tidak melakukannya
adalah: (1) Pengrajin umumnya tidak memiliki dana untuk melakukan
pengelolaan limbah karena modal yang dimiliki terbatas, (2) Keterbatasan
pengetahuan mengenai teknologi pengolahan limbah dan standar baku buangan
limbah dan (3) Mereka mempunyai anggapan bahwa limbah yang dihasilkan
tidak berbahaya dan umumnya langsung dibuang ke badan air terdekat.
Air sungai/kali yang telah tercemar tidak dapat digunakan oleh masyarakat
sekitar karena menjadi keruh dan bau akibat limbah tersebut. Jika masyarakat
tetap menggunakan air tersebut maka akan timbul penyakit seperti gatal, diare,
sakit pernapasan dan penyakit lainnya.6 Sehingga pengrajin/pengusaha tempe
harus melakukan pengelolaan limbah. Salah satu teknologi pengelolaan limbah
cair industri tempe adalah dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL).
Pembangunan IPAL memerlukan biaya-biaya seperti biaya investasi dan
biaya operasional. Biaya investasi berupa biaya pembangunan IPAL sedangkan
biaya operasional terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya perawatan
dan biaya angkutan. Biaya pengolahan limbah dengan membangun IPAL
merupakan biaya eksternal yang harus ditanggung oleh pencemar yaitu pengrajin
tempe. Sehingga pengrajin tempe harus menginternalisasi biaya eksternal ke
6 Loc.cit.
dalam struktur biaya usahanya agar pengelolaan limbah dapat dilakukan. Saat ini,
pengrajin tempe di Desa Citeureup belum menggunakan IPAL untuk mengolah
limbah. Hal ini dikarenakan belum ada pembangunan IPAL di Desa Citeureup.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Berapa biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di
Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan
IPAL?
2. Bagaimana perubahan kelayakan usaha pengolahan tempe dengan adanya
internalisasi biaya eksternal?
3. Bagaimana tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan
pengolahan limbah dan apa faktor-faktor yang mempengaruhinya?
1.3 Tujuan penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang ingin diteliti, maka tujuan penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Menghitung besarnya biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri
tempe di Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan
menggunakan IPAL;
2. Menganalisis perubahan kelayakan usaha dengan adanya internalisasi
biaya eksternal;
3. Mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan
pengolahan limbah dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhinya.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Masyarakat akademik, khususnya dalam mengembangkan studi kelayakan
usaha dengan menginternalisasi biaya ekternalitas ke dalam struktur biaya
usaha.
2. Pengrajin/pengusaha tempe agar lebih memberikan perhatian terhadap
kelestarian lingkungan dan menjaganya sehingga tercipta keberlanjutan
(sustainability).
3. Pemerintah Kabupaten Bogor agar lebih memperhatikan pencemaran
lingkungan yang dilakukan oleh industri-industri di wilayahnya sehingga
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
melakukan kebijakan pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan pada limbah industri kecil tempe dibatasi hanya
pada limbah cair, karena limbah cair memberikan dampak yang negatif terhadap
lingkungan sekitar industri. Penelitian hanya difokuskan untuk mengkaji
karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe, mengidentifikasi dampak yang
ditimbulkan oleh limbah cair tempe, menghitung biaya pengolahan limbah yang
harus ditanggung oleh pencemar, menginternalisasikan biaya eksternal ke dalam
analisis usaha, mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan
pengolahan limbah dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sehingga hal teknis seperti pengelolaan fisik limbah cair tempe tidak diteliti.
Penelitian ini juga tidak menganalisis manfaat pengolahan limbah cair tempe
menjadi Nata de Soya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik industri kecil
Industri kecil memiliki beberapa batasan/kriteria yang ditetapkan oleh
berbagai organisasi. Salah satunya menurut BPS, batasan skala usaha ditentukan
oleh kriteria jumlah tenaga kerja yaitu : (1) Industri dan Dagang Mikro (ID Mikro)
: 1-4 orang, (2) Industri dan Dagang Kecil (ID Kecil) : 5-19 orang, (3) Industri
dan Dagang Menengah (ID Menengah) : 20-99 orang dan (4) Industri dan Dagang
Besar (ID Besar) : 100 orang ke atas. Berdasarkan hal tersebut, maka industri
yang dikatakan skala kecil apabila memiliki tenaga kerja sebanyak 5-19 orang.
Selain tenaga kerja, kriteria lain industri kecil adalah modal. Berdasarkan modal
Diperindag Kabupaten Bogor (2007) menggolongkan industri menjadi tiga yaitu :
(1) Industri kecil dengan modal kurang dari lima juta rupiah, (2) Industri
menengah (sedang) dengan modal antara lima juta rupiah sampai dengan dua ratus
juta rupiah dan (3) Industri besar dengan modal lebih dari dua ratus juta rupiah.
Dengan demikian dapat dinyatakan industri kecil memiliki modal yang tidak besar
karena modalnya kurang dari lima juta rupiah.
Menurut Undang-undang No.9 tahun 1995 tentang usaha kecil,
didefinisikan sebagai berikut : industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh perseorangan atau rumah-tangga maupun suatu badan, bertujuan
untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial,
yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak dua ratus juta rupiah, dan
mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar satu milyar rupiah atau kurang
(Lampiran 1).
Dalam Kementerian Lingkungan Hidup (2004) menyatakan bahwa
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
254/MPP/Kep/7/1997 tentang kriteria industri kecil di Lingkungan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut : (1)
Nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan dua ratus juta rupiah tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan (2) pemilik Warga Negara
Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan karakteristik industri kecil adalah modal
yang digunakan untuk produksi tidak besar, tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit,
kegiatan yang dilakukan oleh perseorangan, rumah tangga atau badan yang
bertujuan untuk memproduksi suatu barang atau jasa yang diperjualbelikan secara
komersial, investasi untuk modal dan tenaga kerja kecil serta nilai penjualan satu
milyar rupiah atau kurang.
2.2 Eksternalitas
Menurut Fauzi (2004), eksternalitas merupakan kegiatan produksi atau
konsumsi yang mempengaruhi kegunaan pihak lain dan pembuatnya tidak
memberi kompensasi. Eksternalitas disebabkan oleh barang publik yang
kepemilikannya untuk masyarakat dengan akses yang terbuka sehingga
menimbulkan tragedy of common. Berikut adalah kombinasi hubungan antara hak
kepemilikan dan akses :
Tabel 1. Kombinasi antara hak kepemilikan dan akses
Terbuka Tertutup Komunal The Tragedy of common Pengelolaan lestari Negara The Tragedy of common Pengelolaan lestari Privat Rentan terhadap pemanfaatan tidak
sah Pemanfaatan berlebihan dapat dihindari
Sumber : Fauzi, 2004.
Berdasarkan Tabel 1, ada empat tipe kombinasi hubungan antara hak
kepemilikan dan akses. Tipe pertama adalah tipe dimana hak kepemilikan berada
pada komunal (negara dengan akses yang terbatas) yang dapat menimbulkan
pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tipe kedua adalah sumberdaya dimiliki
oleh individu (privat) dengan akses yang terbatas, hal ini akan menyebabkan
pemanfaatan berlebihan dapat dihindari. Tipe ketiga merupakan kombinasi antara
hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka, yang menimbulkan “the
tragedy of the common”. Terakhir, tipe keempat yaitu kombinasi yang sebenarnya
jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan
terbuka. Sebaliknya, jika barang publik yang digunakan memiliki akses tertutup
maka pengelolaan dapat lestari dan tidak terjadi eksternalitas. Sehingga hubungan
antara eksternalitas dengan kepemilikan sangat erat kaitannya.
Hufschmidt (1987) mengemukakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh
industri terhadap lingkungan disebut dengan “dampak eksternal”. Dampak
eksternal timbul bila fungsi kegunaan (manfaat) atau produksi seseorang
tergantung pada kegiatan orang lain. Contoh eksternalitas adalah limbah yang
dibuang oleh industri makanan yang merugikan kesehatan masyarakat.
Eksternalitas muncul bila dampak terhadap lingkungan yang mengakibatkan biaya
dan manfaat sosial tidak dipertimbangkan oleh orang atau sekelompok orang yang
mengakibatkan dampak tersebut. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kegagalan
pasar (market failure). Kegagalan pasar terjadi karena pasar tidak
mengkomunikasikan keinginan secara tepat dan keputusan individual yang
berdasarkan informasi harga tidak menimbulkan alokasi sumberdaya yang efisien
(Fauzi, 2004). Peranan pemerintah dalam mengatasi market failure adalah dengan
melakukan command and control yaitu dengan mengadakan regulasi dan
menetapkan ambang batas pencemaran limbah yang diperbolehkan. Jika
pemerintah tidak dapat mengatasi market failure dengan beberapa kebijakan dan
regulasi yang diterapkan maka akan terjadi kegagalan pemerintah (government
failure). Kegagalan pemerintah terjadi karena pemerintah tidak dapat mengatasi
market failure setelah melakukan kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Market
failure dapat menyebabkan sistem pasar/harga menjadi tidak efisien.
Menurut Pearson (2000), ada empat situasi yang dapat menyebabkan
sistem harga/pasar menjadi tidak efisien yaitu barang publik, eksternalitas,
sumberdaya milik bersama dengan akses terbuka dan kekuatan pasar. Barang
publik, eksternalitas dan sumberdaya milik bersama dengan akses terbuka
merupakan jawaban dari penyebab degradasi lingkungan. Eksternalitas
merupakan kegiatan yang memberikan efek terhadap kesejahteraan suatu agen
ekonomi terhadap agen ekonomi lain yang tidak dapat diantisipasi. Agen ekonomi
tersebut yaitu produsen, konsumen dan pemerintah. Efek dari kegiatan tersebut
dapat positif (external economics) atau negatif (external diseconomics atau
external cost).
Sementara itu Mangkoesoebroto (1993), membagi eksternalitas atas
dampaknya menjadi dua, yaitu eksternalitas negatif dan eksternalitas positif.
Eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan
yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi
dari pihak yang diuntungkan, sedangkan eksternalitas negatif apabila dampaknya
bagi oranglain yang tidak menerima kompensasi sifatnya merugikan. Timbulnya
eksternalitas dalam suatu aktivitas akan menyebabkan inefisiensi. Inefisiensi
timbul akibat tindakan seseorang yang mempengaruhi orang lain dan tidak
tercermin dalam sistem harga. Adanya eksternalitas tidak akan mengganggu
tercapainya efisiensi masyarakat apabila semua dampak yang merugikan maupun
yang menguntungkan dimasukkan ke dalam penghitungan produsen dalam
menetapkan jumlah barang yang diproduksi (Mangkoesubroto, 1993). Telah
disebutkan diatas bahwa contoh eksternalitas negatif adalah limbah industri
makanan yang dibuang ke sungai dan mempengaruhi kesehatan masyarakat.
Industri tempe di Desa Citeureup merupakan salah satu industri yang membuang
limbahnya langsung ke sungai sehingga dapat menyebabkan eksternalitas negatif
terhadap masyarakat sekitar sungai.
Limbah cair tempe adalah limbah yang dihasilkan dalam proses
pengolahan tempe maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah cair akan
mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai akan
menyebabkan tercemarnya sungai tersebut. Setiap kuintal kedelai akan
menghasilkan limbah 1,5 - 2 m3 air limbah.7 Limbah cair tempe memiliki kadar
BOD dan COD yang cukup tinggi karena berasal dari bahan organik. Menurut
Linsley dan Franzini (1986), batas ambang aliran limbah industri yang biasa
dipakai adalah sebesar 5000 gal/acre/hari (50 m3/hektar/hari). Pada industri tempe
di Desa Citeureup rata-rata membutuhkan 109 kg kedelai/orang/hari untuk
memproduksi tempe. Di Desa Citeureup terdapat 100 orang pengrajin berarti
setiap harinya mereka menghasilkan 163-218 m3 air limbah. Limbah yang
7 Nurhasan & Bb. Pramudyanto. 1991. Informasi Praktis Pengelolaan dan Pemanfaatan Limbah Tahu Tempe. Dalam http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=9. Diakses tanggal 20 Februari 2008.
dihasilkan sudah melebihi ambang batas yang ditentukan sehingga memerlukan
pengolahan agar limbah yang dibuang tidak melebihi ambang batas yang
ditentukan.
2.3 Internalisasi Biaya Eksternal
Menurut Fauzi (2004), market failure yang disebabkan oleh adanya
eksternalitas dapat dikurangi dengan beberapa kebijakan diantaranya adalah : (1)
Pengaturan property right dengan cara pemerintah memberikan hak tersebut
kepada suatu pihak yang menggunakan barang publik, (2) Internalisasi biaya
eksternal, (3) Distribusi Rights, (4) Aturan insentif dan kompensasi, (5)
Kerjasama antara daerah, (6) Optimalisasi produksi dan konsumsi, (7) Penilaian
lingkungan, (8) Penyusunan neraca sumberdaya alam serta (9) Penetapan otoritas
pengelolaan sumberdaya. Kebijakan tersebut akan menghasilkan alokasi
sumberdaya yang efisien sehingga eksternalitas dapat dikurangi.
Menurut Hufschmidt (1987), teori eksternalitas memberikan alternatif
penjelasan tentang penyebab kerusakan lingkungan. Industri umumnya tidak
memperhatikan kerusakan lingkungan atau dampak dari kegiatan produksi mereka
seperti limbah yang dibuang ke sungai, erosi tanah, pencemaran udara dan
sebagainya. Oleh karena itu, untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial
yang berkelanjutan, kualitas lingkungan harus dipelihara dengan baik. Untuk
memelihara kualitas lingkungan yang baik maka dibutuhkan peran dari berbagai
pihak salah satunya pemerintah. Peran pemerintah adalah melakukan secara aktif
kebijakan pengelolaan kualitas lingkungan. Bukan hanya pemerintah yang harus
melakukan pengelolaan lingkungan tetapi juga industri yang mencemari
lingkungan. Industri harus melakukan peningkatan lingkungan yang telah
dicemari.
Peningkatan lingkungan tersebut dapat dicapai dengan melakukan
pengelolaan limbah. Salah satu kebijakan untuk pengelolaan limbah adalah
dengan internalisasi biaya eksternal. Menurut Fauzi (2004), internalisasi biaya
eksternal merupakan upaya untuk “menginternalkan” dampak yang ditimbulkan
dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha.
Dampak kerusakan eksternal haruslah di”internalisasi”kan dalam keputusan
ekonomi sehingga melalui kebijakan tersebut diharapkan lingkungan dapat terjaga
kelestarian dan keberlanjutannya (Hufschmidt, 1987). Untuk kasus limbah
industri kecil tempe di Desa Citeureup, biaya eksternal untuk diinternalisasikan ke
dalam struktur biaya usahanya adalah biaya pengolahan limbah dengan
menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL merupakan
alternatif pengelolaan limbah yang dapat dilakukan di Desa Citeureup.
Menurut Soemantojo (1994) dalam Purnamasari (2001), cara-cara
pengelolaan limbah yang dapat dilakukan dewasa ini terdiri dari reduksi limbah
pada sumbernya (Source Reduction), pemanfaatan limbah yang terbagi atas dua
cara yaitu pengunaan kembali (Reuse) dan daur ulang (Recycle) serta pengolahan
limbah. Salah satu cara pengelolaan limbah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pengolahan limbah. Pengolahan limbah yang dilakukan adalah dengan
menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dapat mengurangi
kadar pencemar dalam sungai melalui jalan pengolahan fisik, kimiawi hayati atau
gabungan antara tiga cara tersebut.
2.4 Metode Penilaian Lingkungan (Measures of Value Method)
Menurut Garrod dan Willis (1999) ada dua teknik penilaian lingkungan
yaitu penilaian lingkungan yang berdasarkan biaya dan harga pasar (Market Price
and Cost Measures of Value) serta penilaian lingkungan yang tidak berdasarkan
harga pasar (Non-Market Measures of Value). Salah satu tolok ukur untuk menilai
manfaat dari lingkungan adalah biaya yang dikeluarkan tersebut. Beberapa
metode yang sering digunakan untuk valuasi yang berdasarkan biaya dan harga
pasar adalah sebagai berikut (Garrod dan Willis, 1999):
1. Pendekatan Efek dalam Produksi (Effect on Production Approach) atau
Pengukuran Opportunity Cost (Opportunity Cost of Measures)
Effect on Production Approach adalah pendekatan nilai manfaat
dari menjaga lingkungan yang berbasiskan pembayaran kompensasi untuk
pembelian barang publik. Contohnya membangun jembatan, airport,
instalasi dan barang publik lainnya. Bisa juga pembayaran kompensasi
untuk biaya petani yang hilang akibat produksi pertanian yang ramah
lingkungan. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa pemilik lahan atau
barang publik mempunyai property rights. Ilustrasi mengenai metode ini
di Indonesia adalah pemberian kompensasi kepada masyarakat sekitar
daerah Pantura yang terkena dampak program perluasan lahan wilayah
Pantura dengan mereklamasi pantai tempat hidup hutan mangrove yaitu
banjir.
2. Human Capital Approach and Dose Response Function
Human Capital Approach and Dose Response Function merupakan
pendekatan yang mengukur efek perubahan dalam kandungan kimia atau
polutan dalam suatu aktivitas ekonomi dan kesejahteraan konsumen.
Contohnya polusi air yang menyebabkan terganggunya kesehatan
manusia.
3. Replacement Cost
Replacement cost adalah penilaian barang lingkungan yang
berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk memelihara lingkungan
setelah terjadi kerusakan. Pendekatan ini memiliki kelebihan yaitu dapat
digunakan untuk menilai manfaat kegunaan tidak langsung (indirect use
benefit) pada kondisi dimana data bio-fisik sulit diperoleh.
4. Preventife Expenditure
Preventife Expenditure adalah penilaian dari lingkungan yang
menggunakan pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk melakukan
pencegahan degradasi lingkungan. Pendekatan ini menggunakan teknik
secara tidak langsung dimana teknologi pencegah degradasi lingkungan
sudah tersedia. Contohnya dengan menghitung biaya pengolahan limbah
dengan menggunakan teknologi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
IPAL digunakan sebagai alat teknologi pencegah kerusakan lingkungan.
Menurut Garrod dan Willis (1999), metode yang lain adalah teknik
penilaian lingkungan yang tidak berdasarkan harga pasar. Teknik tersebut terbagi
atas tiga metode diantaranya sebagai berikut :
1. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)
Menurut Fauzi (2004), Travel Cost Method merupakan metode
tertua dibanding dengan beberapa metode valuasi lainnya. Metode ini
diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling pada tahun
1931, yang kemudian secara formal dikenalkan oleh Wood dan Trice
(1958) dan Clawson dan Knetsch (1966). Metode ini merupakan metode
yang paling mudah digunakan dalam penilaian lingkungan. Nilai TCM
diperoleh dari penjumlahan dari biaya perjalanan mencakup opportunity
cost waktu dan tiket masuk. Nilai tersebut digunakan untuk mengestimasi
permintaan untuk rekreasi (Garrod dan Willis, 1999).
2. Hedonic Pricing Method
Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit dari
karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji
hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan
barang dan jasa (Fauzi, 2004). Contohnya menentukan permintaan rumah
yang dibangun di tepi danau.
3. Contingent Valuation Method (CVM)
CVM merupakan suatu metode yang memungkinkan untuk
memperkirakan nilai ekonomi dari suatu komoditi yang tidak
diperdagangkan dalam pasar. CVM menggunakan pendekatan secara
langsung yang pada dasarnya menanyakan pada masyarakat mengenai
berapa besar nilai maksimum dari WTP untuk manfaat tambahan atau
berapa besar nilai maksimum dari WTA sebagai kompensasi dari
kerusakan barang lingkungan (Fauzi, 2004). Misalnya menanyakan kepada
masyarakat seberapa besar kompensasi yang bersedia diterima dari
kerusakan lingkungan.
2.5 Studi Kelayakan usaha
2.5.1 Indikator Kelayakan Usaha
Menurut Gittinger (1986), ada beberapa indikator usaha yang
mempengaruhi kelayakan usaha. Indikator-indikator tersebut adalah :
a. Manfaat sekarang neto (Net Present Value)
Manfaat sekarang neto dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari
arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Manfaat
sekarang neto dihitung dengan mencari selisih antara nilai sekarang dari
arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya.
b. Perbandingan manfaat dan biaya (Benefit-Cost Ratio/B/C Ratio)
Perbandingan manfaat dan biaya diperoleh bila nilai sekarang arus
manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. B/C ratio merupakan
ukuran berdiskonto yang pertama dikenal.
c. Tingkat pengembalian internal (Internal Rate of Return)
IRR adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek
untuk sumberdaya yang digunakan karena proyek membutuhkan dana lagi
untuk biaya-biaya operasional dan investasi dan proyek baru sampai pada
tingkat pulang modal. Hal tersebut merupakan “tingkat pengembalian atas
kapital yang belum selesai tiap periode sementara kapital tersebut masih
diinvestasikan pada proyek”.
d. Payback Period (PP)
Payback period adalah jangka waktu/periode yang diperlukan untuk
membayar kembali (mengembalikan) semua biaya-biaya yang telah
dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Payback period merupakan
perbandingan antara biaya investasi yang diperlukan dengan benefit bersih
yang dapat diperoleh pada setiap tahun.
2.5.2 Kriteria Kelayakan Usaha
Usaha dikatakan layak apabila nilai manfaat sekarang neto lebih dari nol,
tingkat pengembalian internal lebih dari tingkat suku bunga yang berlaku,
perbandingan manfaat dan biaya lebih dari satu serta payback period lebih kecil
daripada umur proyek. Jika nilai manfaat sekarang neto mempunyai nilai kurang
dari nol, tingkat pengembalian internal kurang dari tingkat suku bunga yang
berlaku, Payback period lebih besar daripada umur proyek, maka usaha tersebut
tidak dapat menghasilkan apa-apa dan juga tidak dapat mengembalikan biaya-
biaya yang dikeluarkan (Gittinger, 1986).
2.6 Studi-studi Terdahulu
2.6.1 Studi Mengenai Limbah Cair Tempe
Penelitian Wiryani (1991) menyatakan bahwa kandungan limbah cair
tempe mempunyai kadar bahan organik yang tinggi dan tidak memenuhi syarat
Baku Mutu Air Limbah. Kandungan limbah cair yang dihasilkan pada proses
perendaman kedelai lebih berpotensi besar dalam mencemari lingkungan perairan
daripada limbah cair yang dihasilkan pada proses perebusan kedelai. Kualitas air
sumur yang digunakan dalam proses pengolahan kedelai menjadi tempe, untuk
beberapa parameter kualitas air sumur yang diukur masih memenuhi persyaratan
sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga.
Proses anaerobik untuk mengolah limbah cair ini, setelah dua puluh hari mampu
menurunkan kadar TSS, TDS, BOD dan COD. Hasil akhir yang diperoleh masih
melampaui batas persyaratan dalam Baku Mutu Air Limbah.
Kelebihan penelitian ini adalah dapat mengetahui kandungan limbah cair
tempe dan melakukan upaya pengolahannya dengan proses anaerobik. Tetapi
limbah yang telah diolah dengan proses anaerobik memiliki kandungan bahan
organik yang masih diatas batas standar baku mutu limbah cair dan belum
meneliti mengenai persoalan ekonomi dari limbah cair tersebut.
2.6.2 Studi Mengenai Pengolahan Limbah Cair
Dari hasil analisis Purnamasari (2001) diketahui bahwa perubahan jumlah
limbah dipengaruhi secara nyata dengan arah positif oleh produksi tekstil,
penggunaan air untuk produksi dan pemakaian bahan baku polyester. Penggunaan
serat kapas mempengaruhi secara negatif karena perusahaan semakin mengurangi
pemakaian serat kapas, sedangkan perubahan debit limbah nyata dipengaruhi
secara positif oleh pemakaian air dan serat polyester serta secara negatif oleh
produksi tekstil dan pemakaian serat kapas. Pemakaian bahan kimia, baik untuk
persamaan jumlah maupun debit limbah tidak berpengaruh secara nyata. Biaya
pengolahan limbah terdiri dari biaya investasi dan operasional. Pendirian dan
pengembangan IPAL dari tahun 1994-1998 menghabiskan dana Rp 5.302,95 juta.
Nilai manfaat bersih tambahan sejak tahun pertama pendirian IPAL berturut-turut
adalah Rp 2.086,53, Rp- 5.526,88, Rp- 12.946,06, Rp- 3.754,10 dan Rp
15.386,28. Nilai proporsi biaya pengolahan limbah yang ditanggung konsumen
adalah 102,49 persen.
Penelitian ini memiliki kelebihan yaitu menganalisis manfaat dan biaya
pengolahan limbah dengan IPAL, proporsi biaya pengolahan limbah yang harus
ditanggung konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
perusahaan untuk melakukan pengolahan limbah. Tetapi belum menghitung
kelayakan usaha dari perusahaan setelah dilakukan pengolahan limbah.
2.6.3 Studi Mengenai Valuasi Ekonomi
Hasil penelitian Santoso (2005) mengenai valuasi ekonomi ekosistem
hutan mangrove di Kawasan Pondok Bali, Desa Legonwetan yaitu kondisi
ekosistem hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan sudah tidak sesuai
dengan rencana strategis Perum Perhutani. Hal ini disebabkan 30 persen dari area
hutan mangrove yang dijadikan area pertambakan (64,65 Ha) sudah dipergunakan
untuk tambak pola tradisional dan menebang habis kawasan hutan yang ada di
tengah-tengah area tambak. Pada hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan,
bentuk pengelolaan yang diperbolehkan oleh Perum Perhutani adalah dengan
menjadikan wilayah hutan mangrove sebagai area pertambakan dengan proporsi
tiap hektarnya harus memenuhi 80 persen untuk hutan dan 20 persen untuk kolam
perairan.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai manfaat total dari ekosistem hutan
mangrove yang ada di Desa Legonwetan, diperoleh nilai manfaat total sebesar Rp
3.700.228.818,74 per tahun atau Rp 17.088.518,76 per Ha per tahun. Nilai
tersebut didominasi oleh nilai manfaat langsung sebesar Rp 2.258.268.032,74 dan
nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp 424.464.130,00. Nilai manfaat pilihan
sebesar Rp 36.789.156,00 dan nilai manfaat keberadaan sebesar Rp
980.707.500,00. Alternatif skenario pengelolaan dan pemanfaatan yang terbaik
untuk pengelolaan hutan mangrove adalah skenario pemanfaatan dengan
mengembalikan luasan hutan mangrove seperti pada kondisi awal (290,01 ha).
Berdasarkan perhitungan, skenario tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang
paling efisien dengan nilai rasio manfaat dan biaya sebesar 3,69. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah menggunakan valuasi
yang berdasarkan manfaat (Benefit Based Valuation). Sehingga mengukur
kerusakan lingkungan dengan berdasarkan pada manfaat dari kualitas lingkungan
yang baik.
2.6.4 Studi Mengenai Biaya Eksternal
Nasrullah (2003) melakukan penelitian mengenai estimasi biaya
eksternalitas dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tambak Lorok-
Semarang. Semakin besar kapasitas pembangkit listrik dan semakin baru operasi
pembangkit listrik maka akan semakin kecil biaya eksternalitasnya. Hasil
perhitungan biaya eksternalitas studi kasus kesehatan yang diteliti menunjukkan
nilainya berkisar antara 0,00425 cents$/kWh sampai 0,10481 cents$/kWh, nilai
ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan studi ExternE yang menunjukkan
nilai sebesar 0,124 cents$/kWh sampai 0,843 cents$/kWh. Kelebihan penelitian
ini adalah menghitung dampak pencemaran udara dari PLTU. Tetapi belum
menginternalisasikan biaya eksternalitas tersebut ke dalam struktur biaya PLTU.
2.6.5 Studi Mengenai Kelayakan Usaha
Gumelar (2002) menganalisis kelayakan usaha proyek pengelolaan
sampah kota dengan pendekatan Nir Limbah (zero waste) di Kelurahan
Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penelitiannya
menyimpulkan bahwa proyek pengelolaan sampah kota dengan pendekatan Nir
Limbah tetap layak diusahakan pada peningkatan kapasitas produksi batako dan
serpihan plastik secara optimal, pada penurunan penjualan sebesar 26,3 persen
dan kenaikan biaya upah tenaga kerja sebesar 28,6 persen. Namun pada kombinasi
antara penjualan sebesar 26,3 persen dan kenaikan biaya upah tenaga kerja
sebesar 28,6 persen, proyek ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan. Penelitian
ini belum memasukkan biaya eksternal ke dalam analisis kelayakan usahanya.
Berdasarkan studi penelitian terdahulu, ternyata penelitian yang
menghitung biaya eksternal dan menginternalisasikan biaya tersebut ke dalam
struktur biaya serta menganalisis perubahan kelayakan usaha industri kecil tempe
masih jarang dilakukan. Sehingga Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan
Limbah (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan
Citeureup) sangat penting untuk dilakukan.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Industri tempe menghasilkan tempe sebagai produk utama, ampas kedelai
sebagai produk sampingan dan limbah. Tempe langsung dijual kepada konsumen
dan ampas kedelai digunakan sebagai bahan baku industri makanan lain serta
limbah. Limbah dapat dijadikan Nata de Soya atau langsung dibuang ke sungai.
Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter setiap 1 ton
tempe yang diproduksi.8 Limbah yang dihasilkan berupa limbah cair yang
mengandung padatan tersuspensi dan terlarut yang tinggi kadar BOD dan
CODnya. Limbah cair tempe berpotensi memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan seperti mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai
akan menyebabkan tercemarnya sungai tersebut.
Para pengrajin tempe umumnya membuang limbah cair langsung ke
sungai karena lokasi industri tempe di Desa Citeureup berada di sekitar sungai.
Hal ini menyebabkan kualitas lingkungan di sekitar sungai menurun dan dapat
menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar sehingga menghambat aktivitas
ekonomi mereka. Belum adanya kesadaran pengrajin tempe di Desa Citeureup
untuk melakukan pengolahan limbah. Padahal untuk menjaga sustainability
lingkungan sungai pengrajin harus melakukan pengolahan limbah sebelum
dibuang ke sungai. Salah satu pengolahan limbah yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan pembangunan IPAL. Menurut Sugiharto (1987) IPAL juga
merupakan bangunan air limbah yang dipergunakan untuk mengolah/memproses
air limbah menjadi bahan-bahan yang berguna lainnya serta tidak berbahaya bagi
sekelilingnya. Bangunan ini dibuat untuk melayani wilayah tertentu sesuai dengan 8 Dirjen IKM. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Dalam http://www.depperin.go.id/asp/pelatihan_ikm/cleanerprod/cleaner-production. Diakses Tanggal 20 Februari 2008.
kapasitas bangunan tersebut. Tujuan pembangunan Instalasi Pengolahan Air
Limbah adalah untuk mengendalikan mutu air nasional dan mutu buangan limbah
dapat dicapai (Linsley dan Franzini, 1986).
Tetapi pengrajin tempe di Desa Citeureup belum membangun IPAL
tersebut karena beberapa faktor yaitu (1) Pengrajin umumnya tidak memiliki dana
untuk melakukan pengelolaan limbah karena modal yang dimiliki terbatas, (2)
Keterbatasan pengetahuan mengenai teknologi pengolahan limbah dan standar
baku buangan limbah dan (3) Mereka mempunyai anggapan bahwa limbah yang
dihasilkan tidak berbahaya dan umumnya langsung dibuang ke badan air terdekat.
Pengrajin harus melakukan pengolahan limbah dengan membangun IPAL
untuk meminimalkan dampak negatif dari limbah cair tempe. Untuk membangun
IPAL diperlukan biaya-biaya seperti biaya investasi dan biaya operasional. Biaya
investasi berupa biaya peralatan sedangkan biaya operasional terdiri dari biaya
bahan baku, upah tenaga kerja, listrik, biaya pemeliharaan dan penyusutan. Biaya
pengolahan limbah dengan membangun IPAL merupakan biaya eksternal yang
harus ditanggung oleh pencemar yaitu pengrajin tempe. Sehingga pengrajin tempe
harus menginternalisasi biaya eksternal ke dalam struktur biaya usahanya agar
pengelolaan limbah dapat dilakukan.
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, salah satunya adalah menghitung
biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup untuk
melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL. Perhitungan biaya
tersebut dengan menggunakan pendekatan preventive expenditure. Setelah biaya
eksternal diperoleh, maka biaya tersebut diinternalisasikan ke dalam struktur
biaya dan melakukan analisis finansial untuk mengetahui kelayakan usaha
tersebut. Kemudian menganalisis perubahan kelayakan akibat internalisasi biaya
eksternal menggunakan analisis manfaat dan biaya (Benefit Cost Analysis).
Kelayakan usaha setelah internalisasi biaya eksternal akan mempengaruhi
penelitian lain yang bertujuan untuk mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe
untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Penelitian tersebut menggunakan analisis
deskriptif untuk tingkat kesediaan pengrajin dan analisis regresi logit untuk
faktor-faktor yang mempengaruhi pengrajin melakukan pengolahan limbah.
Diduga kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, pendapatan, lama usaha, luas tempat
usaha, jarak ke sungai dan jumlah tanggungan, sehingga perlu dilakukan
penelitian yang mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa
Citeureup dan mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe.
Kajian dan identifikasi yang akan dilakukan menggunakan analisis
deskriptif. Setelah diketahui kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan
limbah maka dapat dilakukan pengelolaan limbah cair industri tempe. Agar
limbah cair tidak membahayakan masyarakat dan pengrajin tempe dapat
melakukan pengolahan limbah.
-------- = tidak diteliti
Ampas kedelai Limbah cair Tempe
Dibuang ke sungai Bahan baku industri
makanan lain
Dijual ke konsumen
Pencemaran sungai
Pengolahan limbah dengan IPAL
Menganalisis kelayakan usaha sebelum ada IPAL (analisis kelayakaan finansial)
Usaha layak/tidak
Menganalisis perubahan kelayakan setelah internalisasi biaya eksternal
(analisis manfaat dan biaya)
Menghitung biaya eksternal (preventive expenditure)
Internalisasi Biaya Eksternal
Proses Produksi Tempe
Mengkaji karakteristik
pengrajin tempe dan dampak limbah cair
(analisis deskriptif)
Kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya (analisis deskriptif dan regresi logit)
Belum adanya kesadaran menjaga lingkungan dan pembangunan IPAL
Rekomendasi pengelolaan limbah industri tempe di Desa Citeureup
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup,
Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive)
karena Desa Citeureup merupakan salah satu sentra industri tempe di Kabupaten
Bogor dan letak industri tempe yang berada di sekitar sungai. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2008.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
yang dikumpulkan mencakup : (1) Karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe
di Desa Citeureup yang menjadi responden, (2) Persepsi pengrajin tempe
mengenai dampak akibat limbah cair industri tempe (3) Aspek-aspek finansial
industri tempe dan (4) Persepsi responden tentang kesediaan melakukan
pengolahan limbah dengan IPAL. Data tersebut diperoleh melalui kuisioner
maupun wawancara langsung dengan responden. Data ini akan dimanfaatkan
sebagai pendukung dari penggunaan analisis deskriptif dan analisis perubahan
kelayakan akibat internalisasi biaya eksternal.
Data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan Dinas Tata Ruang
dan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor dan Jakarta,
Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta, aparat Kecamatan dan Desa Citeureup,
LSI Institut Pertanian Bogor dan literatur-literatur yang relevan. Data yang
diperoleh berupa data mengenai cara dan pengelolaan limbah, jenis dan jumlah
limbah yang dihasilkan, tingkat pencemaran sungai, kerusakan lingkungan di
lokasi penelitian, biaya pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL, dampak
limbah cair tempe, jumlah industri tempe di Kecamatan dan Desa Citeureup,
perkembangan industri di Kabupaten Bogor, statistik Indonesia tahun 2005, teori
eksternalitas dan sebagainya.
4.3 Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data dilakukan dengan mengambil secara acak 31
orang dari 100 pengrajin yang ada di Desa Citeureup sebagai responden. Jumlah
responden diperoleh dari rumus Slovin (Umar, 2005) yaitu :
n = 21 NeN
+
dimana :
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel
yang masih dapat ditolerir atau diinginkan.
Dalam penelitian ini jumlah populasi sebesar 100 orang dan persen
kelonggaran ketidaktelitian yang dipakai adalah 15 persen dengan pertimbangan
karena penelitian termasuk sosial ekonomi sehingga persen error maksimum yaitu
20 persen. Sehingga jumlah sampel adalah 31 orang dengan perhitungan sebagai
berikut :
n = ( )215,01001100
+
= 30,77 ≈ 31 orang
Pengrajin yang menjadi responden adalah pengrajin yang membuang limbah
cair tempe langsung ke sungai. Pengambilan responden sebagai sampel dilakukan
secara purposive sampling. Hal ini dikarenakan tidak ada sampling frame dan
keterbatasan waktu.
4.4 Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif
digunakan untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa
Citeureup dan mengidentifikasi dampak limbah cair tempe. Analisis kualitatif
dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif untuk mengkaji karakteristik
sosial ekonomi pengusaha/pengrajin tempe di Desa Citeureup, mengidentifikasi
dampak apa saja yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe dan mengukur tingkat
kesediaan pengrajin melakukan pengolahan limbah. Analisis kuantitatif dilakukan
dengan menggunakan analisis biaya, analisis kelayakan usaha, analisis manfaat
dan biaya dan analisis regresi logit. Analisis tersebut dilakukan untuk menghitung
biaya eksternal, menganalisis kelayakan usaha dan perubahannya setelah
internalisasi biaya eksternal dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan
pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah. Pengolahan data
menggunakan software Minitab 14 for Release dan Microsoft Excel 2003.
4.4.1 Analisis Biaya Eksternal
Menurut Gittinger (1986), biaya adalah pengeluaran atau pengorbanan
yang dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang kita terima. Biaya
yang digunakan dalam proyek terdiri dari biaya investasi, biaya operasional dan
biaya lainnya. Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada awal
dimulainya proyek, biasanya memerlukan biaya yang besar. Biaya investasi yang
digunakan dalam pembangunan IPAL adalah biaya untuk pembangunan IPAL
sedangkan biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan pada setiap
proses produksi dilakukan. Biaya operasional untuk IPAL adalah upah tenaga
kerja, biaya overhead, biaya perawatan dan biaya angkutan. Biaya pengolahan
dengan IPAL tersebut akan dibandingkan dengan jumlah limbah yang dihasilkan
oleh industri tempe. Sehingga diperoleh biaya pengolahan dengan IPAL untuk
setiap industri tempe.
Biaya pengolahan limbah dihitung dengan cara menjumlah semua biaya-
biaya pembangunan IPAL dan jumlah tersebut akan dibagi dengan jumlah industri
yang menggunakan IPAL. Sehingga didapat biaya pengolahan limbah per rumah
tangga pengrajin tempe. Perhitungan biaya eksternal dengan IPAL adalah sebagai
berikut :
B = A / C
Keterangan :
B : Biaya pengolahan limbah per rumah tangga pengrajin (Rp/tahun/RTP)
A : Biaya keseluruhan pembangunan IPAL (Rp/tahun)
C : Jumlah industri tempe yang menggunakan IPAL (RTP)
4.4.2 Analisis Perubahan Kelayakan Usaha Sebelum dan Setelah Internalisasi Biaya Eksternal
Biaya eksternal yang diperoleh dari perhitungan akan dimasukkan ke
dalam struktur biaya industri tempe kemudian dilakukan analisis finansial dan
perubahan kelayakan setelah internalisasi biaya eksternal. Analisis tersebut
dilakukan dengan menganalisis data yang diperoleh dengan kriteria kelayakan
investasi. Menurut Gittinger (1986), beberapa kriteria kelayakan investasi yang
digunakan adalah sebagai berikut :
1) Nilai Sekarang Neto (Net Present Value)
( )∑=
= +
−nt
tttt
iCB
1 1
2) Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate Return)
)( '' ii
NPVNPVNPViIRR −−
+=
3) Rasio Manfaat dan Biaya (B/C Ratio)
( )
( )∑
∑=
=
=
=
+
+nt
tt
t
nt
tt
t
iC
iB
1
1
1
1
4) Payback Period
AbIPP =
Keterangan :
Bt = Manfaat yang diperoleh tiap tahun
Ct = Biaya yang dikeluarkan tiap tahun
I = Besarnya biaya investasi yang diperlukan
Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya
t = 1, 2, ……, n
n = Jumlah tahun
i = Tingkat bunga (diskonto) yang digunakan atau menghasilkan NPV
positif
i’ = Tingkat bunga (diskonto) yang menghasilkan NPV negatif
NPV = Net Present Value Positif
NPV’ = Net Present Value Negatif
Jika nilai sekarang neto bernilai lebih dari nol, tingkat pengembalian
internal lebih dari tingkat suku bunga yang berlaku, rasio manfaat dan biaya lebih
dari satu dan semakin pendek periode yang diperlukan maka usaha dapat
dikatakan layak. Apabila nilai sekarang neto bernilai kurang dari nol, tingkat
pengembalian internal kurang dari tingkat suku bunga yang berlaku, rasio manfaat
dan biaya kurang dari satu dan periode yang diperlukan dalam usaha panjang
maka dapat dikatakan proyek dengan internalisasi biaya eksternal tidak dapat
menghasilkan apa-apa dan tidak dapat mengembalikan biaya-biaya yang
dikeluarkan.
4.4.3 Model Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Pengrajin Tempe Melakukan Pengolahan Limbah
Analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin
tempe untuk melakukan pengolahan dengan IPAL dilakukan dengan mengunakan
model regresi logistik atau model logit. Hal yang membedakan model regresi logit
dengan regresi biasa adalah peubah terikat dalam model tersebut bersifat dikotomi
(Hosmer dan Lameshow, 1989).
Bentuk fungsi dari model logit adalah sebagai berikut :
ppppLn Χ++Χ+Χ+=
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧−
βββα …22111
Model dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin
tempe untuk melakukan pengolahan dengan IPAL adalah sebagai berikut :
Yi = β0 + β1TK. PENDi + β2UMURi + β3JARAKi + β4LTUi + β5LUi + β6JUML
TANGi + β7PDPTNi + ei
Keterangan : Yi = Kesediaan pengrajin melakukan pengolahan
limbah
Y = 1, bersedia melakukan pengolahan limbah
Y = 0, tidak bersedia melakukan pengolahan limbah
0β = Intersep
1β ,..., 7β = Koefisien regresi
TK. PEND = Tingkat pendidikan (1=Tamat SD/Sederajat,
2=Tamat SLTP/Sederajat dan 3=Tamat
SLTA/Sederajat)
UMUR = Umur (1=umur 23-29 tahun, 2=umur 30-36
tahun, 3=umur 37-43 tahun, 4=umur 44-50
tahun, 5=umur 51-57 tahun dan 6=umur 58-64
tahun)
JARAK = Jarak ke sungai (1=0-50,00 m2, 2=50,01-100,00
m2, 3=100,01-200,00 m2, 4=200,01-300,00 m2
dan 5=300,01-500,00 m2)
LTU = Luas tempat usaha (1=0-50,00 m2, 2=50,01-
100,00 m2, 3=100,01-150,00 m2 dan 4=>150,00
m2)
LU = Pengalaman usaha (1=3-9 tahun, 2=10-16 tahun,
3=17-23 tahun, 4=24-30 tahun, 5=31-37 tahun
dan 6=38-44 tahun)
JUML TANG = Jumlah tanggungan (1=0-1 orang, 2=2-3 orang,
3=4-5 orang, 4=6-7 orang, 5=8-9 orang dan
6=10-11 orang)
PDPTN = Pendapatan usaha (1=Rp 0-Rp 150.000, 2=Rp
150.001-Rp 300.000, 3=Rp 300.001-Rp 450.000,
4=Rp 450.001-Rp 600.000, 5=Rp 600.001-Rp
750.000 dan 6=Rp 750.001-Rp 900.000
i = Responden ke-i yang bersedia atau tidak
melakukan pengolahan limbah (i= 1, 2, 3, ....,n)
ei = Error terms
β1, β2, β3, β4, β5 , β7 > 0 dan β6 < 0
Persamaan diatas disebut dengan persamaan logit/logistik. Dimana Z
dikenal dengan logit yang merupakan logaritma dari rasio sebelumnya dan linier
dalam variable independent dan parameter metode estimasinya adalah Maximum
Likelihood Estimator (MLE) dan koefisien yang didapatkan konsisten.
Pemilihan variabel berdasarkan teori-teori, penelitian terdahulu dan
observasi di lapangan. Variabel tingkat pendidikan, luas tempat usaha, umur,
pendapatan, pengalaman usaha, dan jarak ke sungai diduga berbanding lurus
dengan tingkat kesediaan pengrajin tempe melakukan pengolahan limbah
sedangkan variabel jumlah tanggungan diduga berbanding terbalik dengan tingkat
kesediaan pengrajin tempe melakukan pengolahan limbah. Hubungan tersebut
mengandung makna semakin tinggi tingkat pendidikan maka diduga akan
semakin besar kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Dilihat
dari luas tempat usaha terdapat hubungan positif yaitu semakin luas tempat usaha
maka diduga akan semakin besar kesediaan melakukan pengolahan limbah.
Variabel umur menunjukkan dugaan bahwa semakin bertambahnya umur maka
tingkat kesediaan melakukan pengolahan limbah akan meningkat, sementara
hubungan dengan variabel pendapatan adalah semakin besar pendapatan maka
diduga pengrajin semakin bersedia melakukan pengolahan limbah.
Semakin berpengalaman dalam melakukan usaha tempe maka pengrajin
semakin bersedia melakukan pengolahan limbah dan semakin jauh jarak rumah
terhadap sungai akan semakin besar tingkat kesediaan pengrajin. Selain itu,
semakin banyak jumlah tanggungan maka pengrajin akan semakin tidak bersedia
melakukan pengolahan limbah.
Pengujian Parameter
Uji G
Statistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum (likelihood ratio
test) yang digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak.
Rumus umum untuk uji G (Hosmer dan Lameshow, 1989) adalah :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−=
1
0ln2ll
G
Dimana:
lo = nilai likelihood tanpa variabel penjelas
l1 = nilai likelihood model penuh
Pengujian terhadap hipotesis pada uji G responden adalah sebagai berikut :
Ho = 1β = β2 = ... = βk = 0
H1 = minimal ada satu βi tidak sama dengan nol, dimana i = 1, 2, .....5
Statistik G akan mengikuti sebaran χ2 dengan derajat bebas α. Kriteria
keputusan yang diambil adalah jika G > χ2p(α), maka hipotesis nol (H0) ditolak.
Uji G dapat digunakan untuk memeriksa apakah nilai yang diduga dengan peubah
di dalam model lebih baik jika dibandingkan dengan model tereduksi (Hosmer
dan Lameshow, 1989).
Uji Wald
Uji wald digunakan untuk menguji perbedaan pengaruh antara taraf atribut
yang peubah bonekanya bernilai 1 dengan taraf lain dari atribut tersebut yang
semua peubahnya bernilai 0.
( )i
i
SEW
ββ
=
H0: βi = 0
H1 : βi ≠ 0
Dimana :
βi = Vektor koefisien dihubungkan dengan penduga (koefisien X)
SE (βi) = Galat kesalahan dari βi
Odd ratio
Odd ratio merupakan kemunculan dari peubah respon (Y=1) sebesar exp
(β) kali jika taraf atribut yang peubah bonekanya bernilai 1 muncul, dibandingkan
dengn taraf atribut tersebut yang semua peubah bonekanya bernilai 0 muncul,
dengan kata lain, odd ratio merupakan interpretasi dari sebuah peluang.
Kebaikan Model
Berbeda dengan regresi linier, dalam regresi logit, tingkat kebaikan model
dapat dilihat secara langsung dari Percentage Correct dalam Classification Table.
Semakin persentase nilai yang muncul, semakin bagus model yang digunakan.
Omnimbus Test Of Model Coefficient
Omnimbus test of model coefficient digunakan untuk melihat apakah
model yang digunakan nyata atau tidak. Dalam metode pengujian ini terdapat
nilai chi-square yang merupakan rasio likelihood antara ‘model dengan variabel’
dengan ‘model tanpa variabel’.
Interpretasi Koefisien
Jika koefisien bertanda (+) maka odd ratio akan lebih dari 1. jika
variabelnya merupakan skala nominal (dummy) maka dummy = 1 memiliki
kecenderungan untuk Y=1 sebesar exp (β) kali dibandingkan dengan dummy = 0.
jika variabelnya bukan dummy maka semakin besar X maka exp (β) ≥ 1, sehingga
semakin besar nilai X semakin besar pula kecenderungan untuk = 1.
4.5 Asumsi-asumsi
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial adalah
sebagai berikut :
1. Umur proyek didasarkan pada umur proyek IPAL yaitu selama
sepuluh tahun.
2. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 13 persen per tahun
berdasarkan tingkat suku bunga kredit Bank Umum rata-rata untuk
konsumsi dan investasi tahun 2008.
3. Manfaat yang diterima dalam proyek adalah manfaat yang tidak dapat
dihitung.
4. Pajak dihitung berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor
17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Perhitungan mengenai pajak
penghasilan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 2. Tarif Pajak Untuk Berbagai Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Rp 0 s.d Rp 50.000.000,00 10% (sepuluh persen) Rp 50.000.000,01- Rp 100.000.000,00 15% (lima belas persen) di atas Rp 100.000.000,00 30% (tiga puluh lima persen)
Sumber : UU RI no.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU RI no.17 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Sidauruk (2005).
4.6 Definisi Operasional
1. Responden adalah unit industri rumah tangga yang membuang limbah cair
langsung ke sungai.
2. Limbah cair tempe adalah zat sisa (buangan) yang dihasilkan dari proses
pencucian kedelai dalam produksi tempe dan tidak termasuk ampas kedelai.
3. Harga produk adalah harga jual dari pengrajin tempe.
4. Harga input adalah harga yang diterima oleh pengrajin untuk mendapatkan
bahan baku untuk memproduksi tempe.
5. Biaya investasi IPAL adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk
membangun IPAL.
6. Biaya operasional IPAL adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk
pemeliharaan dan perawatan IPAL.
7. Biaya eksternal adalah biaya yang untuk mengolah limbah menggunakan
IPAL.
8. Internalisasi biaya eksternal adalah biaya eksternal yang ditanggung oleh
pengrajin.
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Desa Citeureup
5.1.1 Kondisi Geografis
Desa Citeureup terletak di wilayah Pembangunan Bogor Timur dengan
luas wilayah seluas 311 Ha. Desa Citeureup berbatasan dengan Desa Gunung
Putri Kecamatan Gunung Putri dan Desa Bantar Jati Kecamatan Klapanunggal di
sebelah utara. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Karang Asem Timur dan
Desa Tarikolot. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Karang Asem Barat
dan Puspanegara sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Desa Gunung Sari
dan Desa Lulut. Desa Citeureup terletak pada ketinggian 99.80-125 meter di atas
permukaan laut. Curah hujan rata-rata 3.000-3.500 mm/tahun. Kelembaban
dengan suhu rata-rata 24-330C. Bentuk wilayah Desa Citeureup berupa dataran
rendah/berbukit/bergunung-gunung dengan kemiringan 99,80-1250.
Desa Citeureup merupakan lokasi yang strategis karena jarak dari pusat
pemerintahan cukup dekat. Jarak dari Kecamatan Citeureup yaitu 0,5 Kilometer.
Jarak antara Desa Citeureup dengan Pemerintah Kabupaten Bogor yaitu 11
Kilometer. Jarak antara Desa Citeureup dengan Ibukota Propinsi Jawa Barat dan
Ibukota Negara Republik Indonesia masing-masing yaitu 150 Kilometer dan 50
Kilometer.
5.1.2 Kependudukan
Jumlah penduduk Desa Citeureup pada tahun 2006 adalah 17.014 orang
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 4.351 orang. Penduduk Desa ini terdiri
dari penduduk produktif sebesar 9.469 orang, penduduk bekerja 7.156 orang dan
pengangguran 2.339 orang. Jumlah penduduk produktif di Desa Citeureup cukup
banyak karena umumnya penduduk tersebut bekerja sebagai pekerja industri.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Tahun 2006
Lingkungan RW
Penduduk(orang)
Kepala Keluarga(orang)
Penduduk Produktif (orang)
Penduduk Bekerja (orang)
Pengangguran(orang)
I 5.405 1.301 2.134 1.962 675II 3.765 981 2.156 1.756 562III 3.588 1.064 2.560 1.852 521IV 4.256 1.005 2.619 1.586 581
Jumlah 17.014 4.351 9.469 7.156 2.339Sumber : Potensi Desa , 2006.
Penduduk di Desa Citeureup sebagian besar tingkat pendidikannya rendah
yaitu 45,06 persen penduduk lulusan Sekolah Dasar. Hal ini disebabkan
kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di Desa Citeureup dan rendahnya
pendapatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Penduduk yang lain
yang lulus SLTP berjumlah 1.013 orang (23,71 persen), lulus SLTA sebanyak 918
orang (21,49 orang), dan lulus Perguruan Tinggi berjumlah 238 orang (5,57
orang). Penduduk yang tidak lulus Sekolah Dasar berjumlah 178 orang atau
sebesar 4,17 persen.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Citeureup Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006
Tingkat Pendidikan Penduduk (orang) Persentase (persen)
Tidak Lulus SD 178 4,17Lulusan SD 1.925 45,06Lulusan SLTP 1.013 23,71Lulusan SLTA 918 21,49Lulusan PT 238 5,57Total 4.272 100,00
Sumber : Potensi Desa, 2006.
5.1.3 Mata Pencaharian
Penduduk Desa Citeureup yang bekerja di bidang pertanian hanya sebesar
1,97 persen sangat kecil bila dibandingkan dengan bidang non pertanian yaitu
98,03 persen. Hal ini diakibatkan tingginya tingkat konversi lahan untuk kegiatan
non pertanian, sehingga luas lahan yang digunakan untuk pertanian hanya 5 hektar
sedangkan untuk non pertanian antara lain untuk pemukiman, industri rumah
tangga dan kegiatan perdagangan sebesar 307,35 hektar (Potensi Desa, 2006).
Penduduk yang bekerja di bidang pertanian yaitu petani hanya berjumlah 138
orang. Pada bidang non pertanian terdiri dari beberapa jenis pekerjaan yaitu
pengusaha kecil, pegawai swasta, pegawai negeri sipil, pekerja di bidang jasa,
pekerja kontraktor, TNI/POLRI, pedagang, pensiunan dan pengemudi. Penduduk
yang bekerja di bidang non pertanian yang jumlahnya paling besar adalah pegawai
swasta berjumlah 3.756 orang atau sebesar 53,68 persen, terutama bekerja sebagai
buruh industri yang sebagian besar letaknya di Kota Cibinong.
Selain itu, pekerja kontraktor dengan jumlah 1.227 orang (17,54 persen),
pedagang berjumlah 987 orang (14,11 persen), pekerja di bidang jasa berjumlah
365 orang (5,22 persen) dan pengemudi dengan jumlah 236 orang (3,37 persen).
Penduduk yang bekerja di bidang non pertanian yang lain adalah pengusaha kecil
berjumlah 142 orang yang didalamnya termasuk pengrajin tempe (2,03 persen),
PNS berjumlah 93 orang, pensiunan dengan jumlah 39 orang (0,56 persen) serta
TNI/POLRI sebanyak 14 orang (0,20 persen).
Umumnya penduduk yang bekerja di bidang non pertanian jumlahnya
lebih besar daripada penduduk yang bekerja di bidang pertanian. Hal ini
dikarenakan Desa Citeureup sebagian besar lahannya digunakan untuk
pemukiman, industri dan bangunan-bangunan untuk berdagang, sehingga lahan
untuk pertanian sangat kecil.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2006
Jenis Pekerjaan Jumlah Penduduk (orang)
Persentase (persen)
Petani 138 1,97Pengusaha Kecil 142 2,03Pegawai Swasta 3.756 53,68Pegawai Negeri Sipil 93 1,33Pekerja Kontraktor 1.227 17,54Jasa 365 5,22TNI/POLRI 14 0,20Pedagang 987 14,11Pensiunan 39 0,56Pengemudi 236 3,37Total 6.997 100,00
Sumber : Potensi Desa, 2006.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penduduk di
Desa Citeureup umumnya produktif karena jumlah penduduk produktif yang lebih
besar daripada penduduk yang tidak produktif, tingkat pendidikannya rendah
karena 45,06 persen penduduk lulusan Sekolah Dasar serta bermata pencaharian
sebagai pegawai swasta sebesar 3.756 orang (53,68 persen). Hal ini dikarenakan
sebagian penduduk lulusan Sekolah Dasar dan terdapat industri di daerah tersebut
yang menyerap banyak tenaga kerja dari penduduk di Desa Citeureup.
5.2 Gambaran Umum Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup
Jumlah industri tempe di Desa Citeureup berjumlah 100 pengrajin tempe
(Lampiran 2). Jumlah industri tempe di Desa Citeureup mengalami penurunan
pada awal tahun 2008 karena banyaknya pengrajin tempe skala kecil yang gulung
tikar akibat kenaikan harga kedelai padahal tahun sebelumnya jumlah pengrajin
tempe cukup banyak. Ada sekitar 96 orang pengrajin yang menjadi anggota
Koperasi Produsen Tahu-Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten Bogor. Peran
KOPTI Kabupaten Bogor sebagai supply input dari proses produksi tempe yaitu
kedelai. KOPTI Kabupaten Bogor memasok kedelai kepada pengrajin tempe yang
menjadi anggotanya. Pengrajin tempe melakukan kegiatan produksi di rumah
masing-masing. Letak industri tempe sangat dekat dengan sungai dan letak antara
satu industri tempe dengan industri tempe lainnya berdekatan. Industri tempe
mengumpul pada suatu tempat yaitu seluruhnya berada di pinggir sungai. Hal ini
menyebabkan pengrajin langsung membuang limbah sisa produksi ke sungai.
Pengrajin umumnya langsung memasarkan hasil produksinya ke pasar-pasar
terdekat di wilayah Kabupaten Bogor sehingga tempe yang dihasilkan memenuhi
permintaan tempe di daerah tersebut. Hasil produksi tempe dapat memenuhi
sebagian dari total permintaan tempe. Hal ini dikarenakan jumlah industri tempe
di Desa Citeureup paling banyak diantara industri tempe di Desa lain yang berada
di Kabupaten Bogor.
5.3 Pemanfaatan Sungai Di Desa Citeureup
Masyarakat di sekitar sungai Desa Citeureup menggunakan air tersebut
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Umumnya masyarakat sekitar sungai
menggunakan air tersebut untuk mencuci, mandi dan sebagainya. Hal ini
dikarenakan lahan di sekitar sungai tersebut digunakan untuk pemukiman, tempat
kost, tempat usaha seperti tempat cuci mobil atau motor sedangkan di hilir sungai
DAS Kali Bekasi digunakan untuk memelihara ikan dalam tambak terapung.
Tetapi saat ini sungai di Desa Citeureup dan hilirnya sudah tidak dapat digunakan
lagi untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.
Limbah cair tempe yang berpotensi mencemari sungai berasal dari proses
perebusan kedelai dan yang berasal dari proses perendaman kedelai. Limbah cair
tempe mengandung kadar BOD dan COD yang cukup tinggi dan dapat
menyebabkan tercemarnya air sungai. Sungai yang tercemar akan mengurangi
kualitas sungai dan menimbulkan kerugian kepada masyarakat yang
menggunakan sungai tersebut. Data sifat kimia limbah cair industri tempe tersaji
dalam Tabel 6.
Tabel 6. Sifat Fisika Kimia Limbah Cair Tempe Dibandingkan dengan Standar Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Industri Menurut KEP.51/MENLH/10/1995
No. Parameter Satuan Standar
Baku Mutu Limbah Cair
Rebusan Limbah Cair Rendaman
Fisika 1. Suhu (0C) 40 75* 322. TDS (mg/l) 4.000 25.060* 25.254*3. TSS (mg/l) 400 4.012* 4.551*Kimia 1. pH (mg/l) 6-9 6 4,16*2. Fe (mg/l) 10 0,89 2,03. Cu (mg/l) 3 0,62 0,634. Zn (mg/l) 10 2,37 2,585. NH3-N (mg/l) 5 16,5* 26,7*6. NO3-N (mg/l) 30 12,52 14,087. NO2-N (mg/l) 3 ttd ttd8. BOD (mg/l) 150 1.302,03* 31.380,87*9. COD (mg/l) 300 4.188,27* 35.398,87*
Sumber : Wiryani, 1991. Keterangan : * Melampaui standar baku mutu limbah cair bagi industri menurut
KEP.51/MENLH/10/1995 ttd : tidak terdeteksi
Berdasarkan Tabel 6, limbah cair tempe dari proses rendaman dan proses
rebusan tidak memenuhi standar baku mutu limbah cair untuk industri. Hal ini
akan menyebabkan tercemarnya air sungai jika limbah cair tempe langsung
dibuang ke sungai tanpa mengalami proses pengolahan limbah terlebih dahulu.
Tanpa proses pengolahan limbah terlebih dahulu, kandungan limbah cair tempe
dapat membahayakan masyarakat yang menggunakan air tersebut untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sungai di Desa Citeureup yang menjadi lokasi
penelitian merupakan salah satu dari Daerah Aliran Sungai Kali Bekasi yang
kualitasnya semakin memburuk akibat tingginya kadar BOD dan COD yang
berasal dari limbah industri salah satunya industri tempe.
5.4. Dampak Limbah Cair Tempe Terhadap Lingkungan dan Masyarakat
Desa Citeureup
Limbah cair tempe dapat menyebabkan kualitas lingkungan sekitar sungai
menurun karena tercemarnya air tersebut oleh kandungan bahan organik yang
terdapat didalamnya. Bahan organik tersebut akan mengalami perubahan menjadi
zat beracun bila dibiarkan dan digunakan oleh masyarakat. Beberapa dampak
yang dirasakan oleh masyarakat sekitar sungai dan hilirnya akibat limbah industri
tempe adalah badan terasa gatal-gatal ketika mandi menggunakan air tersebut,
pakaian yang dicuci menjadi kotor dan berminyak, binatang air seperti ikan dan
udang pun mengambang di permukaan karena mabuk, air yang digunakan
mencuci sangat kotor dan berbau busuk serta air dapat menyebabkan penyakit
pada tubuh manusia yang meminumnya dan menggunakannya seperti penyakit
diare dan kulit seperti gatal. Di hilir sungai Desa Citeureup ada warga yang
menggunakan air tersebut untuk tempat pemancingan ikan, memenuhi kebutuhan
hidupnya seperti mandi, mencuci pakaian dan sebagainya. Hal ini karena sebagian
besar masyarakat sekitar sungai merupakan pemukiman penduduk dan tempat
kost. Jika limbah cair tempe dibiarkan tanpa diolah terlebih dahulu maka akan
banyak sekali kerugian yang ditimbulkan akibat limbah cair industri yang
langsung dibuang ke sungai, sehingga diperlukan proses pengolahan air limbah
sebelum dibuang ke sungai.
VI. KARAKTERISTIK SOSIAL DAN EKONOMI PENGRAJIN TEMPE
DESA CITEUREUP
6.1 Karakteristik Sosial Pengrajin Tempe Desa Citeureup
Dalam penelitian ini terdapat 31 orang pengrajin tempe yang menjadi
responden. Responden diambil dari total populasi yang berjumlah 100 orang.
Responden diidentifikasi berdasarkan tingkat umur, pengalaman usaha, tingkat
pendidikan, jumlah tanggungan.
6.1.1 Tingkat Umur
Umur pengrajin tempe di Desa Citeureup berkisar antara 23 tahun sampai
60 tahun. Dilihat dari kelompok umur, jumlah responden terbesar ada pada
kelompok umur 30-43 tahun yaitu 21 orang atau 67,74 persen. Kelompok umur
tersebut tergolong kelompok umur produktif yang menyatakan bahwa pengrajin
umumnya produktif dalam menjalankan usahanya. Usaha ini dijalankan secara
turun-temurun sehingga banyak anak-anaknya yang meneruskan usaha tersebut.
Hal ini terlihat jelas pada Tabel 7.
Tabel 7. Umur Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008
Tingkat Umur (tahun)
Pengrajin tempe (orang)
Persentase (persen)
23-29 3 9,6830-36 12 38,7137-43 9 29,0344-50 4 12,9051-57 1 3,2358-64 2 6,45Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.1.2 Pengalaman Usaha
Pengalaman usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup yaitu minimal 3
tahun dan maksimal 40 tahun. Dilihat dari pengalaman usaha, jumlah pengrajin
yang paling besar berada pada kelompok pengalaman usaha 10-23 tahun yaitu 19
orang (61,29 persen). Hal ini berkaitan dengan kelompok umur yang tergolong
usia produktif sehingga pengalaman usaha yang dimiliki cukup lama. Umumnya
pengrajin memiliki pengalaman usaha yang cukup lama karena keterampilan
dalam membuat tempe merupakan warisan turun-temurun, sehingga menunjukkan
pengrajin sangat berpengalaman dalam usaha tempe yang dijalankan. Lebih rinci
terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengalaman Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008
Pengalaman Usaha (tahun)
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
3-9 7 22,5810-16 14 45,1617-23 5 16,1324-30 4 12,9031-37 0 0,0038-44 1 3,23Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.1.3 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan pengrajin tempe di Desa Citeureup beragam dari
tamatan Sekolah Dasar/Sederajat hingga tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas/Sederajat. Pengrajin tempe yang tamat Sekolah Dasar berjumlah 25 orang
(80,65 persen. Umumnya tingkat pendidikan pengrajin tempe adalah tamat
Sekolah Dasar (SD). Hal ini dikarenakan kurangnya sarana dan prasarana
pendidikan di Desa Citeureup dan tingginya biaya pendidikan, sehingga pengrajin
tempe hanya bisa mengenyam pendidikan hingga tamat SD. Tingkat pendidikan
yang rendah menyebabkan adopsi teknologi dalam pembuatan tempe oleh
masyarakat pun rendah. Teknologi yang digunakan pengrajin dalam membuat
tempe yaitu teknologi yang sifatnya tradisional dan tidak memerlukan tingkat
pendidikan yang tinggi untuk menggunakan alat-alat untuk membuat tempe.
Penggunaan alat-alat umumnya dilakukan secara manual. Tingkat pendidikan
yang rendah juga menyebabkan kesadaran pengrajin untuk memelihara
lingkungan sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Tingkat Pendidikan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008
Tingkat Pendidikan Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
Tamat SD/Sederajat 25 80,65Tamat SLTP/Sederajat 4 12,90Tamat SLTA/Sederajat 2 6,45Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.1.4 Jumlah Tanggungan
Jumlah tanggungan merupakan jumlah anggota keluarga pengrajin tempe
yang terdiri dari istri, anak, menantu dan cucu dan beberapa dari anggota keluarga
tersebut dijadikan tenaga kerja dalam keluarga. Jumlah tanggungan berarti jumlah
anggota keluarga yang menempati satu tempat dan satu manajemen keuangan.
Pengrajin tempe memiliki jumlah tanggungan yang berkisar antara 0-11 orang.
Dominan pengrajin memiliki jumlah tanggungan 0-3 orang yaitu 17 orang (54,84
persen). Jumlah tanggungan yang banyak akan meningkatkan biaya hidup
sehingga dapat mempengaruhi kesediaan pengrajin dalam melakukan pengolahan
limbah. Hal ini terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah Tanggungan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008
Jumlah Tanggungan (orang)
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
0-1 3 9,682-3 14 45,164-5 9 29,036-7 2 6,458-9 2 6,4510-11 1 3,23Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.2 Karakteristik Ekonomi Pengrajin Tempe Desa Citeureup
Karakteristik ekonomi pengrajin tempe diidentifikasi berdasarkan luas
tempat usaha, skala usaha, proses produksi, kapasitas produksi, tingkat
pendapatan, jumlah tenaga kerja, saluran pemasaran dan jarak ke sungai. Berikut
beberapa karakteristik ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup yaitu :
6.2.1 Luas Tempat Usaha
Luas tempat usaha yang digunakan untuk melakukan produksi umumnya
relatif kecil. Berdasarkan luas tempat usaha, jumlah pengrajin terbesar memiliki
luas tempat usaha 0-100 m2 yaitu sebesar 23 orang (74,19 persen). Pengrajin
umumnya luas tempat usahanya tidak luas karena kemampuan produksi mereka
yang relatif kecil yaitu mayoritas kurang dari 100 kilogram kedelai sekali
produksi sehingga tidak memerlukan tempat yang luas. Luas tempat usaha yang
relatif kecil akan mempengaruhi kesediaan pengrajin untuk melakukan
pengolahan limbah. Hal ini lebih terlihat jelas pada Tabel 11.
Tabel 11. Luas Tempat Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008
Luas Tempat Usaha (m2)
Pengrajin tempe (orang)
Persentase (persen)
0-50,00 2 6,4550,01-100,00 21 67,74100,01-150,00 7 22,58>150,00 1 3,23Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.2.2 Skala Usaha
Skala usaha yang dilakukan oleh pengrajin tempe beragam yaitu mulai
dari kurang dari 100 kilogram kedelai sampai lebih dari 300 kilogram kedelai.
Jika dilihat dari skalanya, usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup tergolong
skala usaha kecil karena jumlah pengrajin yang skala usahanya kurang dari 100
kilogram berjumlah 25 orang (80,65 persen). Pengrajin yang skala usahanya
antara 100,01-200,00 kilogram berjumlah 3 orang (9,68 persen), pengrajin yang
skala usahanya berkisar 200,01-300,00 kilogram berjumlah 2 orang (6,45 persen)
dan hanya 1 orang yang skala usahanya lebih besar daripada 300 kilogram kedelai
setiap kali produksi. Skala usaha tersebut menyebabkan pula kapasitas produksi
yang dihasilkan rendah. Lebih rinci mengenai skala usaha pengrajin tempe dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Skala Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008
Skala usaha (kg kedelai/sekali
produksi) Pengrajin Tempe
(orang) Persentase
(persen) ≤ 100 25 80,65100,01-200,00 3 9,68200,01-300,00 2 6,45>300 1 3,23Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.2.3 Proses Produksi
Usaha pengolahan tempe di Desa Citeureup dilakukan setiap hari.
Kegiatan produksi tidak pernah berhenti karena pengrajin tempe umumnya
menjual tempe setiap hari. Pengrajin membuat tempe dengan menggunakan
beberapa peralatan dan bahan baku seperti penggilingan, drum untuk merebus dan
merendam, tungku, rak(kerai) dari bambu, saringan, pisau, tusukan, kedelai, ragi,
pewarna, daun, plastik, dan serbuk kayu/kayu bakar. Dilihat dari peralatan yang
digunakan teknologi pembuatan tempe masih tergolong sederhana. Kedelai yang
digunakan sebagai bahan baku merupakan kedelai impor dengan kisaran harga Rp
6.850-Rp 7.500 per kilogram kedelai. Semua pengrajin tempe menggunakan
kedelai impor karena harganya yang lebih murah daripada kedelai lokal dan
kualitas dari kedelai impor yang dinilai lebih baik. Kedelai impor didapatkan dari
KOPTI atau pedagang pengecer.
Bahan baku lain yang digunakan untuk membuat tempe adalah ragi. Rata-
rata untuk 109 kilogram kedelai diperlukan ragi 0,52 kilogram (5,2 ons) dengan
harga rata-rata per kilogram Rp 11.629. Selain itu, untuk kegiatan produksi tempe
digunakan pewarna sebanyak empat bungkus dengan harga Rp 500 per bungkus.
Untuk bahan bakar, pengrajin tempe ada yang menggunakan serbuk kayu sisa
furniture atau kayu bakar yang berasal dari toko furniture. Rata-rata volume
serbuk kayu atau kayu bakar yang digunakan untuk satu kali produksi adalah satu
karung dengan harga rata-rata Rp 9.161 per karung.
Pengrajin menggunakan bahan pemgemas dari daun dan plastik. Daun
yang digunakan rata-rata Rp 13.855 setiap kali produksi. Plastik yang digunakan
untuk 109 kilogram kedelai adalah satu kilogram dengan harga rata-rata per
kilogram Rp 20.597. Skala usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sangat
beragam dan terdiri dari pengrajin yang skala usahanya 0-50 kilogram kedelai per
hari, 50-100 kilogram kedelai per hari dan diatas 100 kilogram per hari. Skala
usaha yang berada pada kisaran 0-100 kilogram kedelai per hari tergolong kecil
sedangkan skala usaha yang berada pada kisaran lebih dari 100 kilogram per hari
tergolong usaha yang berskala besar.
Proses pembuatan tempe di Desa Citeureup terdiri dari beberapa tahapan.
Hal yang pertama kali dilakukan adalah proses perebusan kedelai selama kurang
lebih dua jam. Perebusan ini bertujuan untuk melunakkan kedelai sehingga
mempermudah proses fermentasi. Selanjutnya kedelai rebus direndam dalam air
dingin kurang lebih 12 jam dimana selama perendaman telah berlangsung proses
pengasaman. Keesokan harinya kedelai dicuci dan dibilas kemudian digiling agar
terpisah dari kulitnya. Kemudian kedelai tersebut disaring agar benar-benar bersih
dari kulitnya. Setelah bersih kedelai diberi ragi lalu dibungkus dan dibentuk
kemudian diperam sampai matang. Proses pemeraman ini biasanya memerlukan
waktu kurang lebih 36 jam.
Tempe yang telah matang dapat dipasarkan ke konsumen. Pembuatan
tempe dari awal hingga dapat dipasarkan memerlukan waktu sekitar tiga hari.
Tempe dipasarkan oleh pengrajin tempe itu sendiri biasanya pengrajin berdagang
di pasar, selain itu tempe juga dipasarkan oleh pedagang pengecer yang membeli
tempe dari pengrajin. Ada juga pengrajin yang memasarkan tempenya kepada
rumah makan (katering).
6.2.4 Kapasitas Produksi
Kapasitas produksi tempe merupakan jumlah tempe yang dihasilkan dalam
setiap kali produksi. Jumlah tempe yang dihasilkan cukup beragam mulai dari 48
kilogram setiap kali produksi sampai dengan 720 kilogram tempe sekali produksi.
Kapasitas produksi tergantung dari skala usaha yang dijalankan oleh pengrajin
tempe. Jumlah pengrajin terbesar berada pada kapasitas produksi dibawah 200
kilogram sekali produksi yaitu 22 orang (70,97 persen). Kapasitas produksi yang
cukup rendah menyebabkan tingkat pendapatan juga rendah. Sisa hasil produksi
yang berupa ampas kedelai dijual oleh pengrajin untuk makanan ternak dengan
harga satu karung ampas dijual Rp 5.000. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Kapasitas Produksi Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008
Kapasitas Produksi (kg tempe/sekali
produksi) Pengrajin Tempe
(orang) Persentase
(persen) ≤ 100,00 7 22,58100,01-200,00 15 48,39200,01-300,00 4 12,90300,01-400,00 2 6,45400,01-500,00 2 6,45> 500,00 1 3,23Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.2.5 Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan pengrajin tempe di Desa Citeureup sangat beragam.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan skala usahanya. Umumnya pengrajin memiliki
pendapatan kurang dari Rp 150.000 sekali produksi yaitu 24 orang (77,42 persen).
Sebagian besar pengrajin memiliki pendapatan yang rendah yaitu kurang dari Rp
150.000 sekali produksi, hal ini disebabkan skala usaha yang relatif kecil (kurang
dari 100 kilogram kedelai) sehingga pendapatan yang diterima juga rendah.
Pengrajin yang skala usahanya relatif besar (lebih besar dari 100 kilogram
kedelai) memiliki pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan pengrajin
yang skala usahanya kecil. Lebih rinci mengenai pendapatan pengrajin tempe
Desa Citeureup dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Tingkat Pendapatan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008
Tingkat Pendapatan (Rp/sekali produksi)
Tingkat Pendapatan (Rp/tahun)
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
0-150.000 0-48.900.000 24 77,42150.001-300.000 48.900.001-97.800.000 1 3,23300.001-450.000 97.800.001-146.700.000 2 6,45450.001-600.000 146.700.001-195.600.000 3 9,68600.001-750.000 195.600.001-244.500.000 0 0,00750.001-900.000 244.500.001-293.400.000 1 3,23Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
6.2.6 Tenaga Kerja
Berdasarkan hal tersebut, jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk
produksi tidaklah banyak hal ini dikarenakan pengrajin umumnya memiliki
anggota keluarga yang dapat menjadi tenaga kerja dalam keluarga. Penggunaan
tenaga kerja dalam keluarga dilakukan untuk menekan biaya produksi. Tenaga
kerja dari luar keluarga yang digunakan untuk setiap rumah tangga pengrajin
adalah 1-4 orang. Rata-rata upah yang diberikan kepada tenaga kerja berkisar
antara Rp 25.000 sampai Rp 50.000. Jam kerja umumnya 8 jam sehari dengan
kisaran waktu yaitu 5-10 jam per hari.
Sebagian besar pengrajin menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang
hubungannya sangat erat dengan pengrajin yaitu istri atau anak. Umumnya
pengrajin menggunakan seorang anggota keluarganya yaitu istri. Tenaga kerja
dalam keluarga umumnya tidak diberi upah.
6.2.7 Saluran Pemasaran
Ada tiga saluran pemasaran yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu :
a. Pengrajin Konsumen
Pengrajin yang langsung menjual ke konsumen umumnya menjualnya
langsung ke pasar dengan jumlah 20 orang (64,52 persen). Pengrajin bertindak
langsung sebagai pedagang yang menjual tempe. Biasanya pengrajin berjualan di
pasar-pasar terdekat seperti pasar Citeureup, Cileungsi, Cibinong, Jonggol dan
Wanaherang. Konsumen yang dihadapi oleh penjual adalah konsumen akhir yang
berasal dari rumah tangga. Pengrajin umumnya langsung menjual ke pasar
terdekat dengan alasan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar daripada
menjual ke perantara. Hal ini dikarenakan jika pengrajin menjual ke perantara
dengan harga yang lebih murah maka keuntungan yang diterima semakin kecil.
b. Pengrajin Pedagang di Pasar Konsumen
Saluran pemasaran yang lain adalah pengrajin menjual tempe kepada
pedagang di pasar. Dari pedagang di pasar, konsumen dapat membeli tempe yang
dibuat oleh pengrajin. Sehingga pengrajin tidak langsung menjual tempe kepada
konsumen. Jumlah pengrajin yang menjual tempe kepada pedagang di pasar ada 6
orang (19,35 persen).
c. Pengrajin Rumah Makan (katering) Konsumen
Saluran pemasaran tempe yang terakhir yaitu tempe dijual kepada
rumah makan (katering) lalu dibeli oleh konsumen setelah diberi proses
pengolahan yang lain dari rumah makan seperti dicampur dengan makanan lain,
digoreng, dibakar dan sebagainya. Jumlah pengrajin yang menjual tempe kepada
rumah makan berjumlah 5 orang (16,13 persen). Di samping itu, apabila ada
permintaan dari rumah makan (katering) maka pengrajin akan berproduksi
melebihi kapasitas biasa per hari untuk memenuhi permintaan tersebut. Hal ini
dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 15.
Tabel 15. Saluran Pemasaran Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup
Saluran Pemasaran Jumlah Pengrajin
(orang)
Persentase(persen)
a. Pengrajin Konsumen 20 64,52b. Pengrajin Pedagang di Pasar Konsumen 6 19,35c. Pengrajin RumahMakan (katering) Konsumen 5 16,13Total 31 100,00
Sumber : data primer (diolah)
Berdasarkan Tabel 16, dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran yang
paling menguntungkan untuk pengrajin tempe adalah saluran pemasaran dari
pengrajin langsung dijual kepada konsumen. Hal ini karena pengrajin tempe dapat
memperoleh keuntungan yang lebih besar apabila langsung menjual ke pasar
daripada menjualnya kepada pedagang perantara terlebih dahulu.
6.2.8 Jarak Rumah Ke Sungai
Jarak antara rumah pengrajin ke sungai sangat beragam, mulai dari 10 m2
sampai dengan 500 m2. Dominan pengrajin memiliki rumah yang berjarak kurang
dari 50,00 m2 ke sungai berjumlah 22 orang (70,97 persen). Sebagian besar
pengrajin memiliki jarak yang dekat ke sungai sehingga memudahkan pengrajin
untuk membuang langsung ke sungai dan menyebabkan pencemaran sungai. Jarak
antara rumah ke sungai yang dekat akan mempengaruhi kesediaan pengrajin untuk
melakukan pengolahan limbah. Lebih rinci mengenai jarak rumah pengrajin ke
sungai dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Jarak Rumah ke Sungai
Jarak (m2)
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
0-50,00 22 70,9750,01-100,00 2 6,45100,01-200,00 3 9,68200,01-300,00 2 6,45300,01-500,00 2 6,45Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
VII. KERAGAAN EKONOMI USAHA PEMBUATAN TEMPE
Arus tunai usaha pengolahan tempe di Desa Citeureup terdiri dari arus
manfaat atau arus penerimaan dan arus biaya atau arus pengeluaran. Manfaat dan
biaya dalam analisis ini dibatasi pada manfaat dan biaya yang dapat
diperhitungkan (tangible). Umur proyek sepuluh tahun yang didasarkan pada
umur teknis IPAL yang merupakan komponen investasi yang paling utama dalam
analisis ini. Sehingga arus tunai yang diperhitungkan dalam analisis ini dimulai
pada tahun kenol hingga tahun kesepuluh. Pada tahun kenol merupakan tahun
awal memulai investasi sehingga hanya mengeluarkan biaya investasi dan biaya
operasional dimulai pada tahun pertama karena proses produksi dimulai pada
tahun pertama. Angka-angka dalam arus tunai tahun pertama diasumsikan sama
dengan hingga tahun kesepuluh.
7.1 Arus Penerimaan
Arus penerimaan usaha tempe di Desa Citeureup terdiri dari: (1) Nilai
produksi total yang mencakup penerimaan dari produk utama (tempe) dan
penerimaan dari produk sampingan (ampas kedelai) serta (2) Nilai sisa.
Perhitungan nilai sisa (salvage value) pada akhir proyek dimasukkan kedalam
arus penerimaan. Jumlah penerimaan dipengaruhi oleh satu faktor yaitu
pendapatan kotor rata-rata.
Nilai produksi total diperoleh dari pendapatan kotor dari penjualan tempe
dan penjualan ampas kedelai. Nilai produksi total pada tahun pertama
diasumsikan sama dengan tahun berikutnya yaitu pertambahan antara pendapatan
yang diperoleh dari penjualan tempe dan penjualan ampas kedelai. Nilai produksi
total tidak dihitung dari perkalian antara jumlah produk yang dihasilkan dengan
harga jualnya karena jumlah produk yang dihasilkan setiap harinya tidak menentu
dan tidak dihitung oleh pengrajin.
Penerimaan dari produk utama diperoleh dari pendapatan kotor dari
penjualan. Harga jual rata-rata tempe bervariasi dari yang dibungkus dengan daun
dan dengan plastik. Harga jual tempe untuk produk yang dibungkus dengan daun
adalah Rp 1.500 per buah dan Rp 2.500 per buah untuk produk yang dibungkus
dengan plastik. Dalam sebulan terdapat 27 kali produksi (30 hari). Jumlah tersebut
dikalikan dengan 12 bulan kemudian hasilnya ditambah dengan jumlah produksi 5
hari yang tersisa (2 kali produksi) sehingga diperoleh dalam setahun rata-rata
pengrajin tempe melakukan 326 kali produksi. Pendapatan rata-rata yang
diperoleh per sekali produksi adalah Rp 1.045.161 atau sama dengan Rp
340,722,486 per tahun (99,65 persen). Sehingga diperoleh total penerimaan
sebesar Rp 340,722,486 per tahun pada tahun pertama sampai dengan tahun
kesembilan. Pada tahun kesepuluh penerimaan ditambah dengan nilai sisa menjadi
Rp 341,919,923 per tahun.
Dalam satu kali produksi rata-rata ampas kedelai yang dihasilkan sebesar
0,4 karung. Harga jual rata-rata 1 karung ampas kedelai adalah Rp 1.548. Jumlah
tersebut sama dengan Rp 201.468 per tahun (0,06 persen).
Nilai sisa merupakan nilai akhir dari nilai barang yang belum habis
terpakai yaitu nilai drum rendam dan cuci, penggilingan dan rak (kerai) dari
bambu. Jumlah seluruh nilai sisa adalah sebesar Rp 995.969 pada akhir tahun
proyek yaitu pada tahun kesepuluh atau sebesar 0,29 persen. Lebih rinci
mengenai penerimaan usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup terlihat pada
Tabel 17.
Tabel 17. Penerimaan Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup
No.
Arus Penerimaan Jumlah (Rupiah/tahun)
Persentase (persen)
1. Nilai Produksi : Utama 340.722.486 99,652. Sampingan 201.468 0,063. Nilai sisa 995.969 0,29Total Penerimaan 341.919.923 100,00
Sumber : Data Primer (diolah)
7.2 Arus Pengeluaran
Arus pengeluaran dalam analisis ini dibagi atas dua bagian yaitu biaya
investasi dan biaya operasional. Keduanya merupakan perhitungan sebelum ada
IPAL. Berikut disajikan rincian biaya-biaya tersebut :
7.2.1 Biaya Investasi
Biaya investasi pada tahun awal sebelum ada IPAL terdiri dari biaya-biaya
yaitu lahan dan bangunan, drum rebus, drum rendam dan cuci, penggilingan, rak
kerai dari bambu, dan tungku. Lahan dan bangunan merupakan komponen
investasi yang paling besar dengan luas rata-rata 110 m2 dengan harga per meter
kubik Rp 380.645 (93,53 persen). Selain lahan dan bangunan, yang termasuk ke
dalam investasi adalah peralatan seperti drum rebus dengan harga rata-rata per
satuan Rp 81.290 (0,18 persen), 3 drum rendam dan cuci dengan harga per satuan
Rp 95.000 (0,64 persen) dan penggilingan seharga Rp 1.358.065 (3,03 persen).
Jenis investasi yang lain adalah rak kerai dari bambu seharga Rp 1.024.119 per 53
kerai (2,28 persen) dan tungku Rp 150.000 (0,34 persen). Total biaya investasi
usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sebesar Rp 44.769.328. Rincian biaya
investasi pada usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sebelum ada IPAL
terlihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Investasi Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup
No. Biaya-biaya investasi Jumlah (Rupiah/tahun)
Umur Teknis (tahun)
Persentase (persen)
1. 110 m2 Lahan (Rp 380.645/m2) 41.870.950 10,0 93,53
2. 1 Drum Rebus 81.290 1,0 0,183. 3 Drum Rendam dan
cuci 285.000 3,6 0,644. Penggilingan 1.358.065 2,0 3,035. Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 6,4 2,286. Tungku 150.000 2,0 0,34Total Biaya Investasi 44.769.328 15,0 100,00
Sumber : Data Primer (diolah)
7.2.2 Biaya Operasional
Biaya operasional sebelum ada IPAL terdiri dari biaya tetap dan variabel.
Biaya tetap terdiri dari upah tenaga kerja, biaya transportasi, listrik dan biaya
sewa sedangkan biaya variabel terdiri dari kedelai, ragi, pewarna, daun, plastik,
bahan bakar dan biaya perlengkapan. Rata-rata tenaga kerja per rumah tangga
pengrajin adalah dua orang dengan upah sekali produksi Rp 37.258 atau sama
dengan Rp 24.292.216 per tahun. Komponen biaya tetap terbesar adalah tenaga
kerja dengan persentase sebesar 8,15 persen. Biaya tetap lain adalah biaya
transportasi yang jumlahnya sebesar Rp 10.000 per hari atau sama dengan Rp
3.260.000 per tahun (1,09 persen). Kedelai merupakan komponen biaya variabel
yang terbesar yaitu sebesar 83,25 persen dengan kapasitas produksi 109 kilogram
sekali produksi dengan harga rata-rata per kilogram Rp 6.985 maka diperoleh Rp
248.204.990 per tahun. Rata-rata volume ragi yang digunakan untuk sekali
produksi adalah 0,52 kilogram (harga per kilogram Rp 11.887) atau sama dengan
Rp 2.015.006 per tahun (0,68 persen).
Selain kedelai dan ragi, bahan yang digunakan untuk produksi tempe
adalah pewarna dengan harga per bungkus Rp 500 dan yang digunakan sekali
produksi empat bungkus. Penggunaan pewarna per tahun menjadi Rp 652.000
atau sebesar 0,22 persen. Untuk bahan pembungkus kedelai digunakan daun
sebesar Rp 4.516.730 per tahun (1,52 persen) dan plastik sebesar Rp 6.714.622
per tahun (2,25 persen). Bahan bakar yang digunakan dalam usaha tersebut adalah
serbuk kayu atau kayu bakar dengan pemakaian sebesar Rp 2.986.486 per tahun
(1,00 persen). Biaya variabel yang lain adalah biaya listrik dengan pemakaian
sebesar Rp 1.200.000 per tahun atau sebesar 0,40 persen. Biaya yang terakhir
yaitu biaya perlengkapan yang terdiri dari saringan Rp 92.904 per tahun, pisau Rp
1.000 dan alat penusuk Rp 10.000. Total biaya operasional usaha pembuatan
tempe di Desa Citeureup adalah sebesar Rp 298.145.954 per tahun. Lebih lengkap
terlihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Biaya Operasional Usaha Pembuatan Tempe di Desa Citeureup
No. Biaya-biaya Operasional Jumlah (Rupiah/tahun)
Persentase (persen)
1. Biaya Tetap : Transportasi 3.260.000 1,092. Upah Tenaga Kerja 24.292.216 8,153. Listrik 1.200.000 0,404. Sewa kios 4.200.000 1,415. Biaya Variabel : Kedelai 248.204.990 83,256. Ragi 2.015.006 0,687. Daun 4.516.730 1,528. Plastik 6.714.622 2,259. Pewarna 652.000 0,2210. Bahan Bakar 2.986.486 1,0011. Saringan 92.904 0,0312. Pisau 10.000 0,0013. Alat Penusuk 1.000 0,00Total Biaya Operasional 298.145.954 100,00
Sumber : Data Primer (diolah)
VIII. BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN TEKNIK BIOGAS PER
RUMAH TANGGA PENGRAJIN TEMPE
8.1 Mekanisme Sistem Pengolahan Limbah Cair dengan IPAL
Teknik pengolahan limbah dengan IPAL ada dua yaitu IPAL terpadu dan
IPAL teknik biogas. Teknik pengolahan limbah cair yang dapat bermanfaat bagi
pengrajin tempe adalah teknik biogas dengan biodigester karena (1) Biaya
investasi untuk membangun IPAL biogas lebih rendah dan (2) Gas methan yang
dihasilkan dari pengolahan limbah tersebut dapat digunakan sebagai sumber
energi alternatif yang menghasilkan gas-bio. Gas-bio tersebut dapat digunakan
untuk produksi dan kebutuhan rumah tangga pengrajin tempe seperti memasak,
lampu dan sebagainya.IPAL dengan teknik biogas terdiri dari bak inlet,
biodigester, bak peluapan, Aerobic Baffled Reactor (ABR), Anaerobic Filter (AF),
dan bak outlet. Selain itu, keuntungan menggunakan IPAL teknik biogas adalah
dapat menurunkan kadar BOD dan COD hingga 90 persen (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2006).
Sumber : Fokus, 2005
Gambar 2. Skema Sistem Pengolahan Limbah Cair
Inlet Limbah Cair Industri
Tempe
Anaerobic Baffled Reactor
(ABR) dan Anaerobic Filter (AF)
Outlet DIGESTER
Gas Methan
Limbah cair dimasukkan/disalurkan ke dalam bak in-let yang berfungsi
untuk menampung air limbah sebelum diolah. Setelah air limbah masuk ke dalam
inlet, air tersebut dialirkan ke dalam digester. Didalam digester, air limbah diolah
dan menghasilkan gas methan (gas bio) yang dapat digunakan sebagai sumber
energi alternatif bagi pengrajin. Setelah diolah dengan biodigester, air limbah
yang telah diolah dimasukkan ke dalam Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dan
Anaerobic Filter (AF), untuk diendapkan dan difiltrasi agar kadar BOD dan COD
turun hingga 90 persen. Fungsi ABR (reaktor lumpur aktif) adalah untuk
menghilangkan bahan organik dalam air limbah, sedangkan AF berfungsi untuk
menyaring air limbah agar kandungan bahan pencemar berkurang. Air limbah
yang sudah diolah langsung dialirkan menuju bak outlet yang berfungsi untuk
menampung air limbah yang telah diolah sebelum dibuang ke sungai. Setelah
ditampung dalam bak outlet, air limbah yang telah diolah dapat dibuang ke
sungai.
8.2 Biaya Pengolahan Limbah Dengan IPAL Per Rumah Tangga
Pengrajin Tempe
Biaya untuk membangun IPAL terdiri dari biaya pembelian dan
pemasangan biodigester, biaya pembelian dan pemasangan ABR (Anaerobic
Baffled Reactor) dan AF(Anaerobic Filter) dan biaya pembelian dan pemasangan
pemipaan serta biaya supervisi konstruksi dan garansi 1 tahun sebanyak 15 persen
dari total biaya konstruksi. Berikut rincian dari biaya pembangunan IPAL dengan
teknik biogas. Umur ekonomis IPAL diasumsikan selama 10 tahun.
Tabel 20. Rincian Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas
No. Jenis Pekerjaan Biaya 1. Pembelian dan pemasangan biodigester Rp 60.460.706,062. Pembelian dan pemasangan ABR dan AF Rp 51.990251,933 Pembelian dan pemasangan Pemipaan Rp 31.328.958,93Jumlah Biaya Konstruksi Rp 143.779.917,92Supervisi konstruksi dan garansi 1 tahun (15%) Rp 21.566.987,57Total Rp 165.346.904,49Dibulatkan Rp 165.350.000
Sumber : Bali Fokus, 2006.
Biaya pembangunan IPAL untuk kapasitas 11 m3 per hari adalah Rp
165.350.000. Kapasitas yang dapat ditampung oleh IPAL teknik biogas tersebut
adalah 11 m3 per hari sedangkan rata-rata satu orang pengrajin mengeluarkan
limbah sekitar 1,90 m3 per hari (Lampiran 15). Sehingga IPAL tersebut dapat
digunakan oleh sekitar 6 orang pengrajin. Maka diasumsikan IPAL tersebut dapat
digunakan untuk enam orang pengrajin. Sehingga biaya pembangunan untuk satu
rumah tangga pengrajin adalah sebagai berikut :
C= A/B
C = 6
000.350.165Rp
C = Rp 27.558.333
Dari hasil tersebut, didapatkan bahwa biaya pembangunan IPAL teknik
biogas adalah sebesar Rp 27.558.333 per rumah tangga pengrajin. Rincian
mengenai biaya pembangunan IPAL teknik biogas per rumah tangga pengrajin
dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21. Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas Per Rumah Tangga Pengrajin
No. Pembangunan IPAL teknik biogas Jumlah A Biaya pembangunan IPAL kap. 11 m3/hari Rp 165.350.000B Jumlah unit industri yang memenuhi kapasitas
11 m3/hari 6 unit
C Biaya pembangunan IPAL per RTP Rp 27.558.333Sumber : Fokus, 2005 (diolah).
Selain biaya pembangunan, perlu juga dilakukan perhitungan untuk
perawatan dan pemeliharaan IPAL. Sehingga perlu dilakukan juga perhitungan
biaya operasional per unit industri per tahun. Data mengenai biaya operasional
IPAL teknik diperoleh dari penelitian Hudayanti (2007). Berikut data mengenai
biaya-biaya operasional pengolahan limbah dengan IPAL teknik biogas.
Tabel 22. Rincian Biaya Operasional IPAL Teknik Biogas
No. Jenis Biaya Jumlah (Rupiah/tahun)
1. Upah Tenaga Kerja IPAL Rp 750.000 per bln Rp 9.000.0002. Biaya Overhead Rp 4.200.0003. Biaya Perawatan Rp 4.200.0004. Biaya Angkutan Rp 6.000.000Total Biaya Operasional Rp 23.400.000
Sumber : Hudayanti , 2007. Biaya operasional terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya
perawatan dan biaya angkutan. Upah tenaga kerja diestimasikan Rp 750.000 per
bulan menjadi Rp 9.000.000 per tahun. Biaya overhead sebesar Rp 4.200.000 per
tahun atau Rp 350.000 per bulan. Biaya perawatan sebesar Rp 4.200.000 per
tahun atau sebesar Rp 350.000 per bulan. Biaya angkutan sebesar Rp 500.000 per
bulan atau Rp 6.000.000 per tahun. Sehingga total keseluruhan biaya operasional
IPAL teknik biogas adalah Rp 23.400.000 per tahun.
IPAL tersebut digunakan untuk enam rumah tangga pengrajin tempe.
Untuk itu diperlukan perhitungan mengenai biaya operasional IPAL per rumah
tangga pengrajin per tahun. Berikut ini perhitungan biaya operasional per rumah
tangga pengrajin tempe per tahun.
C=A/B
C=6
000.400.23Rp
C= Rp 3.900.000
Sehingga diperoleh bahwa keseluruhan biaya operasional per rumah
tangga pengrajin per tahun adalah sebesar Rp 3.900.000. Lebih rinci mengenai
perhitungan biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per tahun pada
tabel 23.
Tabel 23. Biaya Operasional IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Per Tahun
No. Jenis Biaya Jumlah (Rupiah/tahun) 1. Upah Tenaga Kerja IPAL Rp 1.500.0002. Biaya Overhead Rp 700.0003. Biaya Perawatan Rp 700.0004 Biaya Angkutan Rp 1.000.000Total Biaya operasional per rumah tangga pengrajin
Rp 3.900.000
Sumber : Hudayanti, 2007 (diolah).
Biaya operasional per unit industri terdiri dari upah tenaga kerja, biaya
overhead, biaya perawatan dan biaya angkutan. Upah tenaga kerja diestimasikan
Rp 1.500.000 per tahun. Biaya overhead sebesar Rp 700.000 per tahun dan biaya
perawatan sebesar Rp 700.000 per tahun. Biaya angkutan sebesar Rp 1.000.000
per tahun. Sehingga total keseluruhan biaya operasional IPAL teknik biogas
adalah Rp 3.900.000 per tahun.
IX. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PEMBUATAN
TEMPE TANPA DAN DENGAN IPAL
Analisis manfaat dan biaya untuk industri tempe dilakukan dengan
menggunakan analisis kelayakan finansial selama 10 tahun sebelum dan sesudah
ada IPAL. Kriteria yang digunakan dalam perhitungan meliputi Net Present
Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio dan Payback Period.
Perhitungan diasumsikan 1 pengrajin yang memproduksi rata-rata 109 kilogram
kedelai per hari. Pendapatan, harga, jumlah input, upah tenaga kerja, biaya yang
digunakan dalam analisis ini merupakan nilai rata-rata dari total responden
sebanyak 31 orang.
Analisis kelayakan usaha ini menggunakan tiga skenario yang dapat
dijalankan yaitu: (1) Tanpa IPAL, (2) Dengan IPAL melalui pembiayaan investasi
dan operasional ditanggung oleh pengrajin tempe (swadaya) dan (3) Dengan IPAL
melalui pembiayaan investasi ditanggung oleh pemerintah dan pembiayaan
operasional oleh pengrajin tempe (swadaya). Umur proyek yang dijalankan yaitu
selama 10 tahun dengan tingkat suku bunga yang digunakan adalah 13 persen.
9.1 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL
Dari hasil analisis kelayakan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL
diperoleh bahwa Net Present Value sebesar Rp Rp 141.464.542 yang bernilai
lebih dari nol. Artinya manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe
di Desa Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp
141.464.542. IRR yang diperoleh dari hasil analisis adalah 84 persen yang berarti
tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 84
persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13 persen.
Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai
4,57 lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan
untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.570.000.
Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan
dalam investasi suatu proyek adalah satu tahun empat bulan. Berdasarkan hasil
tersebut, maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sebelum ada IPAL
layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel
24. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 24. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL
No. Kriteria Kelayakan Hasil r = 13 persen 1. Net Present Value Rp 141.464.5422. Internal Rate of Return 84%3. Net Benefit-Cost Ratio 4,574. Payback Period 1 tahun 4 bulan
Sumber : Data Primer (diolah)
9.2 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan
Investasi Dan Operasional Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe
(Skenario 2)
Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan IPAL yang ditanggung oleh
pengrajin tempe sama seperti usaha pembuatan tempe sebelum ada IPAL jika
dilihat dari sisi arus penerimaan. Perubahan terjadi pada biaya investasi dan biaya
operasional dimana biaya pembangunan IPAL dimasukkan ke dalam biaya
investasi dan biaya overhead, biaya perawatan, biaya angkutan dan upah tenaga
kerja IPAL dimasukkan ke dalam struktur biaya operasional.
Tabel 25. Biaya Investasi IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)
No. Biaya investasi IPAL Jumlah (Rupiah/tahun)
Umur Teknis
1. Pembangunan IPAL 27.558.333 10,0Total Biaya Investasi 27.558.333 10,0
Sumber : Fokus, 2005 (diolah)
Biaya pembangunan IPAL yang dimasukkan yaitu sebesar Rp 27.558.333
dengan umur teknis 10 tahun. Komponen dari arus pengeluaran yang lain adalah
biaya operasional yang telah ditambah dengan biaya-biaya pemeliharaan IPAL.
Biaya pemeliharaan IPAL terdiri dari upah tenaga kerja IPAL berjumlah Rp
1.500.000 (38,46 persen), biaya overhead dan biaya perawatan masing-masing Rp
700.000 (17,95 persen) serta biaya angkutan sebesar Rp 1.000.000 (25,64 persen).
Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Biaya Operasional IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)
No. Biaya-biaya Operasional Jumlah
(Rupiah/tahun) Persentase (Persen)
1. Upah TK IPAL 1.500.000 38,462. B. Overhead 700.000 17,953. B. Perawatan 700.000 17,954. B. Angkutan 1.000.000 25,64Total Biaya Operasional 3.900.000 100,00
Sumber : Hudayanti, 2007 (diolah)
Dari hasil analisis diperoleh bahwa Net Present Value sebesar Rp
100.221.668 yang bernilai lebih dari nol. Artinya manfaat bersih yang diterima
dari usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku
bunga 13 persen sebesar Rp 100.221.668. IRR yang diperoleh dari hasil analisis
adalah 46 persen yang berarti tingkat pengembalian internal usaha pembuatan
tempe tersebut adalah sebesar 46 persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13
persen.
Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai
2,57 lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan
untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000.
Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan
dalam investasi suatu proyek adalah dua tahun dua bulan. Berdasarkan hasil
tersebut, maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan Biaya IPAL
yang ditanggung oleh pengrajin tempe layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis
kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 27. Hasil analisis kelayakan usaha dapat
dilihat pada Tabel 24. Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8.
Tabel 27. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)
No. Kriteria Kelayakan Hasil r = 13 persen 1. Net Present Value Rp 100.221.6682. Internal Rate of Return 46%3. Net Benefit-Cost Ratio 2,574. Payback Period 2 tahun 2 bulan
Sumber : Data Primer (diolah)
9.3 Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan
Investasi Ditanggung Oleh Pemerintah Dan Operasional Oleh
Pengrajin Tempe (Skenario 3)
Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan biaya IPAL yang ditanggung
oleh pemerintah sama dengan arus tunai usaha pembuatan tempe sebelum ada
IPAL dalam hal arus penerimaan dan biaya investasi. Perbedaannya terletak pada
biaya operasional karena pada biaya operasional ditambahkan biaya-biaya
pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena biaya pembangunan IPAL menjadi
tanggung jawab pemerintah. Sehingga pengrajin tempe hanya mengeluarkan biaya
untuk pemeliharaan IPAL saja.
Biaya operasional usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan biaya
IPAL ditanggung oleh pemerintah sama dengan biaya operasional usaha
pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2. Hasil analisis kelayakan usaha
pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan skenario biaya IPAL ditanggung oleh
pemerintah adalah NPV sebesar Rp 124.609.573 yang bernilai lebih dari nol. Hal
tersebut berarti manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe di Desa
Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp
124.609.573. IRR yang diperoleh dari hasil analisis adalah 77 persen yang berarti
tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 77
persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13 persen.
Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai
4,15 lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan
untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.150.000.
Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan
dalam investasi suatu proyek adalah satu tahun enam bulan. Berdasarkan hasil
tersebut, maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan biaya IPAL
yang ditanggung oleh pemerintah layak untuk dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 28. Hasil analisis kelayakan usaha dapat dilihat pada Tabel 24.
Perhitungan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9.
Tabel 28. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe dengan Biaya IPAL ditanggung Oleh Pemerintah (Skenario 3)
No. Kriteria Kelayakan Hasil r = 13 persen 1. Net Present Value Rp 124.609.5732. Internal Rate of Return 77%3. Net Benefit-Cost Ratio 4,154. Payback Period 1 tahun 6 bulan
Sumber : Data Primer (diolah)
9.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Usaha Ketiga Skenario
Terdapat perbedaan yang cukup jauh dari hasil kelayakan usaha tanpa
IPAL dibandingkan dengan IPAL skenario 2. Dampak pembangunan IPAL yang
ditanggung oleh pengrajin atau secara swadaya sangat mempengaruhi keuntungan
yang diperoleh pengrajin tempe. Hal ini terlihat pada Tabel 29 bahwa Net Present
Value berkurang menjadi Rp 100.221.668 dari nilai sebelumnya sebesar Rp
141.464.542. Penurunan nilai Net Present Value sebesar Rp 41.242.874 atau
sebesar 29,15 persen dari total Net Present Value mengindikasikan penurunan
keuntungan atau manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe yang
dijalankan akibat pembangunan IPAL secara swadaya. Perubahan juga terjadi
dalam kriteria kelayakan yang lain seperti Internal Rate of Return (IRR), Net
Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Payback Period (PP). Perbedaan IRR antara
usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dengan usaha pembuatan tempe dengan
IPAL skenario 2 adalah 38 persen yang artinya tingkat pengembalian internal
usaha pembuatan tempe berkurang sebesar 38 persen.
Kriteria lain yang mengalami perubahan adalah Net B/C Ratio. Net B/C
Ratio berkurang sebesar 2,00 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan
untuk usaha tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000
dan usaha tersebut akan mengalami pengurangan manfaat bersih Rp 2.000.000
dari manfaat bersih yang diperoleh sebelumnya. Selain itu jangka waktu
pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu
proyek berubah menjadi dua tahun dua bulan. Walaupun hasil kelayakan usaha
pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 masih layak untuk diusahakan tetapi
pembangunan IPAL tersebut telah mengubah tingkat keuntungan menjadi
semakin kecil dari sebelumnya. Hal ini disebabkan biaya pembangunan IPAL
yang besar sehingga menyebabkan biaya investasi semakin besar.
Tabel 29. Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario yang Dapat Dijalankan Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup
Dengan IPAL No. Kriteria
Kelayakan Tanpa IPAL Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3
1. Net Present Value Rp 141.464.542 Rp 100.221.668 Rp 124.609.573
2. Internal Rate of Return 84% 46% 77%
3. Net Benefit-Cost Ratio 4,57 2,57 4,15
4. Payback Period 1 tahun 4 bulan 2 tahun 2 bulan 1 tahun 6 bulan Berdasarkan Tabel 29, hasil kelayakan usaha pembuatan tempe tanpa
IPAL dibandingkan dengan usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 3
tidak mengalami perubahan yang drastis. Hal ini terlihat dari perubahan NPV
tanpa IPAL dan NPV dengan IPAL skenario 3 sebesar Rp 16.854.969 atau sebesar
11,92 persen. Hal ini berarti terdapat penurunan manfaat bersih yang diterima
selama 10 tahun usaha pembuatan tempe sebesar Rp 16.854.969 atau sebesar
11,92 persen dari manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe tanpa
IPAL.
IRR usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dan dengan IPAL skenario 3
juga mengalami penurunan yang kecil yaitu sebesar 7 persen. Hal ini artinya
tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe berkurang sebesar 7
persen. Selain itu, kriteria kelayakan yang lain adalah Net B/C Ratio yang
mengalami penurunan sebesar 0,42 yang menyebabkan usaha tersebut akan
mengalami pengurangan manfaat bersih Rp 420.000 dari manfaat bersih yang
diperoleh sebelumnya dari setiap Rp 1.000.000 biaya yang dikeluarkan. Kriteria
yang lain adalah jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah
dikeluarkan dalam investasi suatu proyek berubah menjadi 1 tahun 6 bulan.
Penurunan tingkat keuntungan usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 3
tidak terlalu besar karena biaya pembangunan IPAL ditanggung oleh pemerintah
sehingga biaya investasi usaha tersebut tidak berubah.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan
IPAL skenario 3 yang paling baik untuk dijalankan karena tidak menyebabkan
keuntungan pengrajin tempe turun apabila dibandingkan dengan usaha pembuatan
tempe tanpa IPAL. Walaupun melakukan pengolahan limbah akan menurunkan
keuntungan sebesar 11,92 persen (Skenario 3) keuntungan usaha. Tetapi secara
sosial akan mengurangi dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan akibat limbah
cair tempe yang langsung dibuang ke sungai. Sungai yang tercemar akan
menurunkan pendapatan bagi masyarakat yang menggunakan air tersebut sebagai
mata pencaharian seperti tambak dan akan menimbulkan penyakit bagi
masyarakat yang menggunakan air tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup.
X. PERSEPSI DAN TINGKAT KESEDIAAN MELAKUKAN
PENGOLAHAN LIMBAH
10.1 Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah
Pengrajin tempe yang mengetahui mengenai pengolahan limbah berjumlah
4 orang (12,90 persen) dan pengrajin yang tidak mengetahui mengenai
pengolahan limbah berjumlah 27 orang (87,10 persen). Tetapi keseluruhan
pengrajin yang menjadi responden belum melakukan pengolahan limbah
dikarenakan belum adanya pembangunan IPAL. Umumnya pengrajin tidak
mengetahui pengolahan limbah hal ini dikarenakan rata-rata tingkat
pendidikannya rendah sehingga kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan
masih kurang. Sebagian pengrajin menganggap bahwa limbah yang dihasilkan
dari proses pembuatan tempe tidak bermasalah dan tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan. Lebih rinci mengenai persepsi pengrajin tentang pengolahan limbah
pada Tabel 30.
Tabel 30. Persepsi Pengrajin Tempe Mengenai Pengolahan Limbah Tahun 2008
Persepsi Pengolahan Limbah
Pengrajin Tempe (orang)
Persentase (persen)
Mengetahui 4 12,90Tidak Mengetahui 27 87,10Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
Ada beberapa dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe apabila
dibuang ke sungai yaitu membuat air sungai keruh dan bau, menimbulkan
penyakit seperti gatal dan diare, mengganggu estetika sungai, membuat mati
organisme dalam air sungai dan lainnya. Dampak yang ditimbulkan oleh limbah
cair tempe didapatkan dari pengrajin tempe yang menjadi responden. Sebagian
besar pengrajin tempe mengemukakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh
limbah cair tempe yaitu membuat air sungai keruh dan bau (25 orang atau 80,65
persen). Hal ini karena limbah cair tempe bila dibiarkan akan berwarna hitam dan
berbau busuk. Selain itu, pengrajin yang menganggap bahwa dampak limbah cair
tempe adalah air sungai tidak dapat dikonsumsi berjumlah 6 orang (19,35 persen).
Hal ini disebabkan air sungai umumnya tidak digunakan oleh pengrajin tempe
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut terlihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Dampak Limbah Cair Tempe Tahun 2008
Dampak Limbah Cair Pengrajin Tempe
(Orang) Persentase (Persen)
Membuat air sungai keruh dan bau
25 80,65
Air sungai tidak dapat dikonsumsi
6 19,35
Total 31 100,00Sumber : Data primer (diolah).
Jika pengrajin tempe tidak mau menggunakan IPAL untuk pengolahan
limbah maka ada solusi alternatif yang diberikan oleh pengrajin tempe untuk
menangani masalah limbah yaitu menggunakan teknologi pengolahan limbah
yang lebih murah dan limbah cair dijual untuk industri lain yang menggunakan
limbah cair tempe sebagai bahan baku. Pengrajin yang memberi solusi untuk
menggunakan teknologi pengolahan limbah yang lebih murah berjumlah 2 orang
(6,45 persen) dan pengrajin yang solusinya menjual limbah cair berjumlah 29
orang (93,55 persen). Umumnya pengrajin memberikan solusi untuk menangani
limbah cair yaitu dengan menjualnya. Hal ini dikarenakan dengan menjualnya
kepada industri lain, pengrajin akan mendapatkan penghasilan tambahan yang
dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Tetapi pengrajin tempe di Desa
Citeureup belum mengetahui bahwa limbah cair tersebut dapat dijadikan bahan
baku Nata de Soya dan mereka juga tidak mengetahui cara pembuatan Nata de
Soya. Hal ini terlihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Pengetahuan Pengrajin Tempe Mengenai Solusi Alternatif untuk Menangani Masalah Limbah Tahun 2008
Solusi Alternatif untuk Limbah Pengrajin Tempe
(Orang) Persentase
(persen) Teknologi Pengolahan Limbah yang Murah
2 6,45
Limbah Cair Dijual 29 93,55Total 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah).
10.2 Tingkat Kesediaan Pengrajin Dalam Melakukan Pengolahan Limbah
Berdasarkan Gambar 3, pengrajin tempe di Desa Citeureup yang bersedia
melakukan pengolahan limbah berjumlah 4 orang (13 persen) dan pengrajin yang
tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL berjumlah 27 orang
(87 persen). Alasan pengrajin tempe tidak mau melakukan pengolahan limbah
adalah pengrajin beranggapan limbah yang mereka buang ke sungai tidak
bermasalah bagi masyarakat di sekitar sungai dan mereka tidak menggunakan air
sungai tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengrajin tempe yang
bersedia untuk melakukan pengolahan limbah beranggapan jika ada pengolahan
limbah yang dapat menghasilkan buangan yang lebih baik sangat baik untuk
dilakukan. Apabila ada teknologi pengolahan limbah mereka bersedia untuk
menerapkan teknologi tersebut.
Gambar 3. Tingkat Kesediaan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Terhadap
Pengolahan Limbah
Alasan pengrajin tempe tidak bersedia untuk melakukan pengolahan
limbah beragam. Pengrajin tempe yang tidak bersedia dengan alasan tidak
mempunyai waktu dan modal terbatas ada 10 orang (37 persen) dan karena limbah
tidak bermasalah dan tidak dapat dikonsumsi ada 13 orang (48 persen). Pengrajin
yang alasannya IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah berjumlah 3 orang
(11 persen) dan menambah biaya produksi hanya 1 orang ( 4 persen). Banyaknya
pengrajin yang tidak bersedia dengan alasan limbah yang dihasilkan tidak
bermasalah karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga kesadaran terhadap
lingkungan juga rendah. Hal lain yang menyebabkan adalah kurangnya
pengetahuan mengenai standar baku mutu limbah untuk industri. Oleh karena itu,
mereka menganggap limbah yang dihasilkan tidak bermasalah. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 33.
Bersedia 13%
Tidak Bersedia87%
Tabel 33. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tidak Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah
Alasan
Pengrajin Tempe (Orang)
Persentase (Persen)
Tidak punya waktu dan modal terbatas 10 37Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi 13 48IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah 3 11Menambah biaya produksi 1 4Total 27 100
Sumber : Data Primer (diolah) Selain itu, alasan pengrajin tempe yang bersedia melakukan pengolahan
limbah adalah ada saluran untuk membuang limbah berjumlah 1 orang atau
sebesar 25 persen. Pengrajin dengan alasan dengan adanya pengolahan limbah
maka hasil buangan limbah akan lebih baik sebesar 2 orang (50 persen) dan agar
limbah tidak berbau busuk berjumlah 1 orang (25 persen). Sebagian dari pengrajin
yang bersedia melakukan pengolahan limbah memilih alasan hasil buangan
limbah akan lebih baik. Hal ini dikarenakan mereka sudah melakukan pengolahan
limbah yang sederhana yaitu pengendapan mekanis agar limbah yang dihasilkan
tidak terlalu berbahaya. Selain itu, mereka mempunyai saluran pembuangan air
limbah yang akan memudahkan penyaluran limbah ke alat biodigester bila ada
IPAL. Jika ada teknologi pengolahan limbah yang menguntungkan seperti IPAL
teknik biogas maka mereka bersedia menggunakan teknologi tersebut. Hal ini
lebih jelas pada Tabel 34.
Tabel 34. Alasan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Bersedia Melakukan Pengolahan Limbah
Alasan
Pengrajin Tempe (Orang)
Persentase (Persen)
Ada saluran untuk membuang limbah 1 25Hasil buangan limbah lebih baik 2 50Agar limbah tidak menimbulkan bau busuk 1 25Total 4 100
Sumber : Data Primer (diolah) 10.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Melakukan
Pengolahan Limbah
Dari hasil penelitian didapat hanya 4 orang pengrajin tempe yang bersedia
melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Setelah memperhatikan bahwa data
yang didapat melalui penelitian terlihat bahwa pendapatan tidak memiliki
kecenderungan terhadap pilihan responden untuk bersedia melakukan pengolahan
limbah. Sehingga variabel tersebut dihilangkan dari model.
Hal ini ditandai dengan nilai P-value masing-masing peubah tidak ada
yang lebih kecil dari α baik pada tingkat kepercayaan 80 persen hingga 99 persen.
Ketika diuji secara bersama-sama peubah tersebut tidak mempengaruhi secara
nyata terhadap kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah
dengan IPAL ditunjukkan dengan nilai P-value yang lebih besar dari α baik pada
tingkat kepercayaan 80 persen hingga 99 persen pada goodness of fitnya. Untuk
itu model tersebut tidak dapat digunakan untuk menganalisis dengan baik.
Setelah variabel pendapatan dihilangkan dari model, diperoleh model baru
dengan 6 variabel endogen. Variabel eksogen merupakan bentuk pilihan apakah
seorang pengrajin tempe bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL
atau tidak. Hasil pengolahan data dengan menggunakan 6 variabel endogen dapat
dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35. Hasil Logit Kesediaan Pengrajin untuk Melakukan Pengolahan Limbah dengan IPAL
Parameter Koefisien P Odds Ratio Keterangan Constant -4,66266 0,190 - - TK. PEND 1,21818 0,307 3,38 Tidak berpengaruh UMUR 0,956780 0,556 2,60 Tidak berpengaruh JARAK 1,00731 0,125 2,74 Berpengaruh nyata LTU 2,60621 0,084 13,55 Berpengaruh nyata*
LU -0,79149 0,574 0,45 Tidak berpengaruh JML TANG -2,62239 0,147 0,07 Berpengaruh nyata α = 15 % Log-likelihood = -5,775 Test that all slopes are zero : G = 12,291 , DF = 6, P-value = 0,056
Goodness-of-Fit test Method Chi-
square DF P Keterangan
Pearson 13,6744 21 0,883 Model baik Deviance 11,5506 21 0,951 Model baik Hosmer-Lemeshow
2,8071 8 0,946 Model baik
* tingkat kepercayaan 90 persen
Variabel yang berpengaruh nyata pada hasil logit kesediaan pengrajin
untuk melakukan pengolahan limbah dengan IPAL pada tingkat kepercayaan 85
persen adalah variabel jarak dan variabel jumlah tanggungan. Variabel jarak
berpengaruh nyata terhadap kesediaan pengrajin melakukan pengolahan limbah
karena nilai P kurang dari α (15 persen). Nilai koefisien bernilai positif hal ini
berarti rumah responden yang jaraknya semakin jauh dari sungai akan semakin
besar pilihan untuk melakukan pengolahan limbah. Hal ini karena umumnya
industri yang jaraknya jauh terhadap sungai memiliki saluran-saluran pembuangan
limbah sehingga akan memudahkan penyaluran limbah bila ada IPAL. Nilai odds
ratio sebesar 2,74 dapat diartikan jika jarak ke sungai lebih jauh 1 m2 dari sungai
maka kecenderungan kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah
akan 2,74 kali lebih besar daripada pengrajin yang jarak rumahnya ke sungai lebih
dekat.
Variabel jumlah tanggungan berpengaruh nyata karena P kurang dari α (15
persen) yaitu 0,147. Nilai koefisien bernilai negatif yang berarti semakin banyak
jumlah tanggungan maka semakin kecil pilihan pengrajin tempe untuk bersedia
melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Hal ini dikarenakan jumlah
tanggungan yang semakin banyak akan menyebabkan biaya hidup semakin besar.
Sehingga pengrajin tidak memiliki dana untuk melakukan pengolahan limbah.
Nilai odds ratio sebesar 0,07 dapat diartikan jika jumlah tanggungan bertambah
sebesar 1 orang maka kecenderungan kesediaan pengrajin untuk melakukan
pengolahan limbah akan 0,07 kali lebih kecil daripada pengrajin yang memiliki
jumlah tanggungan yang lebih sedikit.
Pada tingkat kepercayaan 90 persen, variabel yang berpengaruh nyata
adalah variabel luas tempat usaha karena nilai P kurang dari α (10 persen) yaitu
0,084. Nilai koefisien bernilai positif hal ini berarti semakin luas tempat usaha
maka akan semakin besar pilihan pengrajin tempe untuk bersedia melakukan
pengolahan limbah dengan IPAL. Hal ini dikarenakan luas tempat usaha yang
semakin luas maka diasumsikan bahwa kapital yang dimiliki pengrajin semakin
besar dan dengan demikian terdapat dana untuk dialokasikan untuk melakukan
pengolahan limbah dengan IPAL. Nilai odds ratio sebesar 13,55 dapat diartikan
jika luas tempat usaha bertambah 1 m2 maka kecenderungan kesediaan pengrajin
untuk melakukan pengolahan limbah akan 13,55 kali lebih besar daripada
pengrajin yang luas tempat usahanya kecil.
Variabel tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata karena nilai P lebih
besar dari α (10 persen) yaitu 0,307. Hal ini disebabkan sebagian besar pengrajin
tingkat pendidikannya rendah sehingga seberapapun tingkat pendidikannya tidak
mempengaruhi kesediaan untuk melakukan pengolahan limbah. Umur tidak
mempengaruhi kesediaan pengrajin dalam mengolah limbah karena nilai P lebih
besar dari α (10 persen) yaitu 0,556. Hal ini disebabkan pengrajin sebagian besar
termasuk golongan umur produktif sehingga masih produktif melakukan usahanya
tanpa pertimbangan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Variabel lama usaha juga tidak berpengaruh nyata karena nilai P lebih
besar dari α (10 persen) yaitu 0,574. Hal ini disebabkan walaupun pengrajin telah
lama melakukan usaha pembuatan tempe tapi tidak mempengaruhi kesediaan
untuk melakukan pengolahan limbah. Pengujian ketika semua slope model sama
dengan nol menghasilkan nilai statistik G sebesar 12,291 dengan nilai P-value
sama dengan 0,056. Hal ini berarti bahwa terdapat minimal satu slope model yang
tidak sama dengan nol atau peubah endogennya secara serentak berpengaruh
nyata terhadap Yi. Selain itu, berdasarkan uji kebaikan model melalui metode
Pearson, Deviance dan Hosmer-Lemeshow diperoleh nilai P lebih besar dari α (15
persen) yang berarti model tersebut baik. Dengan demikian diperoleh model
persamaan logit sebagai berikut :
21818,1466266 +−=Υi TK. PENDi + 0,956780UMURi + 1,00731JARAKi +
2,60621LTUi -0,79149LUi – 2,62239JUML TANGi + ei
Berdasarkan analisis logit dapat diketahui nilai/kondisi potensial dan
aktual dari jumlah responden yang bersedia melakukan pengolahan limbah dengan
IPAL ataupun yang tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL.
Kondisi frekuensi potensial dan aktual dapat dilihat pada tabel dan koreksi nilai
potensial dan aktual dapat dilihat pada Tabel 36. Kondisi potensial ditunjukkan
dengan nilai harapan (expectation) dan kondisi aktual kesediaan pengrajin
melakukan pengolahan limbah ditunjukkan dengan nilai observasi (observation).
Tabel 36. Frekuensi Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL
Group
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
Value 1 Obs 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,0 2,0 4,0 Exp 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,1 0,2 0,3 0,9 2,4 4,0 Value 0 Obs 3,0 3,0 3,0 3,0 4,0 3,0 3,0 3,0 1,0 1,0 27,0 Exp 3,0 3,0 3,0 3,0 3,9 2,9 2,8 2,7 2,1 0,6 27,0 Total 3,0 3,0 3,0 3,0 4,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 31,0
Sumber : Data Primer (diolah)
Pada grup satu, kedua, ketiga dan keempat tidak ada perbedaan antara
kondisi aktual dan kondisi potensial dari responden yang bersedia melakukan
pengolahan limbah dengan IPAL ataupun yang tidak bersedia melakukan
pengolahan limbah dengan IPAL. Pada grup kelima hingga grup kesepuluh
terdapat perbedaan antara kondisi aktual dan kondisi potensial baik pada
responden yang bersedia melakukan pengolahan limbah ataupun yang tidak
bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL.
Pada grup kelima terlihat dalam kondisi aktual tidak ada responden yang
bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL tetapi pada kondisi
potensial terlihat bahwa 0,1 dari 4 responden bersedia melakukan pengolahan
limbah. Demikian halnya dengan keadaan responden yang tidak bersedia
melakukan pengolahan limbah dengan IPAL, pada kondisi aktual berjumlah 4
orang tetapi pada kondisi potensial 3,9 dari 4 orang responden tidak bersedia
melakukan pengolahan limbah.
Selisih nilai 0,1 (0,1-0,0 = 0,1) pada grup kelima dapat dikarenakan ada 0,1
responden yang secara potensial bersedia melakukan pengolahan limbah dengan
IPAL. Namun dana yang terbatas menyebabkan responden tersebut tidak bersedia
melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Pemahaman yang sama dapat
dilakukan untuk grup keenam sampai grup kesepuluh. Tetapi secara keseluruhan
dapat diperoleh bahwa secara potensial jumlah responden yang bersedia
melakukan pengolahan limbah dengan IPAL dan yang tidak bersedia melakukan
pengolahan limbah dengan IPAL akan sama dengan jumlah aktualnya. Hal ini
dapat terlihat lebih jelas pada Tabel 36.
Tabel 37. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Kesediaan Pengrajin terhadap Pengolahan limbah dengan IPAL
Harapan
Bersedia Tidak Bersedia
Total Koreksi
(%)
Bersedia 4,0 0,0 4,0 100 Tidak Bersedia
0,0 27,0 27,0 100
Observasi
Total 4,0 27,0 31,0 Nilai Keseluruhan Koreksi 100
Sumber : Data Primer (diolah)
Pada Tabel 37, terlihat bahwa antara nilai observasi dan nilai harapan
responden tidak dapat perbedaan (bias). Sehingga nilai kebenaran observasi (nilai
keseluruhan koreksi) bernilai 100 persen dan menunjukkan bahwa model yang
sudah dihasilkan sudah baik.
10.4 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Limbah Industri Tempe Desa
Citeureup
Kebijakan pengelolaan limbah industri tempe Desa Citeureup adalah
tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh pemerintah (Pemerintah Daerah
Kabupaten Bogor) untuk memelihara kualitas lingkungan sungai menjadi lebih
baik. Kebijakan ini harus dilaksanakan agar nilai kerusakan ekonomi di sekitar
sungai tidak menjadi lebih besar. Hasil penelitian ini bisa dijadikan pertimbangan
untuk memberikan pengelolaan limbah yang sebaiknya dipilih. Berdasarkan hasil
penelitian didapat bahwa pengolahan limbah tempe yang tepat untuk digunakan
adalah dengan menggunakan IPAL teknik biogas karena limbah yang dibuang
akan berkurang kadar BOD dan CODnya sebesar 90 persen. Selain itu, pengrajin
tempe dapat menghemat biaya untuk bahan bakar karena dengan menggunakan
IPAL biogas, limbah yang dihasilkan dari pengolahan akan menghasilkan bahan
bakar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan industri maupun kebutuhan rumah
tangganya.
Hasil dari analisis internalisasi biaya pengolahan limbah didapat bahwa
skenario yang paling baik dijalankan dalam melakukan pembangunan IPAL
teknik biogas adalah skenario 3 dengan biaya pembangunan ditanggung oleh
pemerintah. Hal ini tidak akan memberatkan pengrajin tempe karena tidak banyak
mengurangi keuntungan usaha dan tidak lebih besar jumlahnya apabila
dibandingkan dengan membayar nilai kerusakan yang ditimbulkan akibat limbah
cair yang dibuang lebih banyak. Idealnya penghasil polutan yaitu pengrajin tempe
harus bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu,
seharusnya skenario yang dijalankan adalah skenario 2. Tetapi hal ini akan sulit
dilakukan karena pendapatan pengrajin yang umumnya rendah yaitu dibawah Rp
150.000 setiap kali produksi. Selain itu, skenario tersebut akan menyebabkan
penurunan keuntungan yang diperoleh pengrajin cukup drastis sehingga
diperlukan dukungan pemerintah untuk membantu dalam hal pendanaan untuk
membangun IPAL tersebut. Walaupun pemerintah akan menghadapi masalah
yaitu membutuhkan dana untuk membangun IPAL yang cukup besar tetapi jumlah
biaya pembangunan lebih kecil apabila dibandingkan dengan membayar kerugian
yang ditimbulkan akibat pencemaran sungai/memperbaiki kualitas lingkungan
sungai yang rusak. Pelaksanaan skenario 3 yaitu dengan cara pemerintah
memberikan bantuan dana dalam pengadaan IPAL untuk 100 pengrajin tempe di
Desa Citeureup. Biaya operasional dibiayai secara swadaya dengan cara pengrajin
memperkerjakan tenaga kerja untuk melakukan perawatan dan pemeliharaan
IPAL.
Kebijakan lain yang bisa diterapkan adalah dengan mengadakan
penyuluhan mengenai pentingnya pengolahan limbah, pemanfaatan limbah cair
menjadi Nata de Soya dan pengetahuan mengenai teknik pengolahan limbah yang
paling efektif. Kebijakan ini direkomendasikan melihat bahwa pengetahuan dan
kesadaran pengrajin tempe mengenai pengolahan limbah sangat rendah. Selain itu,
pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan insentif dan disinsentif. Pemerintah
juga perlu mengadakan agen-agen penyaluran limbah cair industri tempe kepada
industri pembuatan Nata de Soya. Agar pengrajin memperoleh tambahan
pendapatan dan pencemaran lingkungan dapat dikurangi karena limbahnya dijual
untuk bahan baku industri Nata de Soya.
Jika dilihat dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan
pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah, maka variabel bebas yang
berpengaruh nyata dan memiliki pengaruh positif yang paling besar (nilai
koefisien paling besar) adalah variabel luas tempat usaha. Perluasan usaha dapat
dilakukan dengan menambah luas tempat usaha sehingga semakin besar
kecenderungan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Pemerintah dan
swasta dapat membantu perluasan usaha dengan memberikan bantuan modal
kepada pengrajin agar peningkatan kualitas lingkungan dapat dilaksanakan.
Hal terpenting dari semuanya adalah perlunya kerjasama yang lebih erat
antara pengrajin tempe, pemerintah, swasta dan masyarakat untuk memelihara
lingkungan sekitar agar tercipta pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Pembangunan ekonomi tersebut tidak akan tercipta tanpa dukungan dari semua
pihak yang berkaitan.
XI. PENUTUP
11.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut :
1. Biaya investasi pembangunan IPAL per rumah tangga pengrajin adalah Rp
27.558.333 dan biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per
tahun adalah Rp 3.900.000.
2. Setelah dilakukan internalisasi biaya pengolahan limbah dengan IPAL,
skenario yang paling baik untuk dijalankan adalah usaha pembuatan tempe
dengan IPAL skenario 2 dengan biaya IPAL ditanggung oleh pemerintah.
Hal ini karena surplus produsen tidak berkurang terlalu besar jika dilihat dari
kriteria kelayakan usahanya yang tidak jauh berbeda dengan usaha
pembuatan tempe tanpa IPAL. Skenario tersebut dapat dijalankan jika
pemerintah membangun IPAL dengan teknik biogas di Citeureup dan
pengrajin memberikan dana untuk kegiatan operasional IPAL setiap tahun.
3. Pengrajin tempe umumnya tidak bersedia melakukan pengolahan limbah.
Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap kesediaan pengrajin untuk
mengolah limbah dengan IPAL adalah jarak ke sungai, luas tempat usaha
dan jumlah tanggungan.
11.2 Saran
Adapun saran yang dikemukakan dalam penelitian ini :
1. Pengrajin dapat melakukan pengolahan limbah dengan IPAL biogas karena
selain masih menguntungkan, pengrajin tidak perlu membayar biaya
kerusakan lingkungan yang terjadi akibat limbah tersebut.
2. Pemerintah turut serta dalam peningkatan kualitas sungai dengan
membangun IPAL teknik biogas dan mengadakan penyuluhan mengenai
pengolahan limbah cair.
3. Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan mengenai insentif dan disinsentif.
4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai seberapa besar nilai kerugian
akibat dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe bagi lingkungan
dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat statistik. 2006. Statistik Indonesia tahun 2005/2006. BPS. Jakarta.
Desa Citeureup. 2006. Potensi Desa Citeureup Tahun 2006. Desa Citeureup. Bogor.
Diperindag Kabupaten Bogor. 2007. Perkembangan Industri di Kabupaten Bogor
tahun 2003-2006. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor. Bogor.
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Fokus, Bali. 2005. Proposal Teknik Proyek Demonstrasi Pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu-Tempe di Gang Bakti II Karanganyar-Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Garrod, Guy dan Kenneth G. Willis. 1999. Economic Valuation of the Environment : Methods and Case Studies. Edward Elgar. UK.
Gittinger, James Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Penerjemah Komet Mangiri dan Slamet Sutomo. UI-Press. Jakarta.
Gumelar, R. 2002. Analisis Kelayakan Usaha Proyek Pengelolaan Sampah Kota dengan Pendekatan Nir Limbah (Zero Waste) di Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Skripsi. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.Yogyakarta.
Hosmer, David W. dan Stanley Lemeshow. 1989. Applied Logistics Regression.
John Willey & Sons. New York.
Hudayanti, Eka Putri. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Pengusaha Tahu dalam Pembangunan dan Operasional IPAL Biogas (Kasus Kelurahan Pasir Jaya, Kecamatan Bogor Barat). Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hufscmidt, MM et.al. 1987. Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan : Pedoman Penilaian Ekonomis. Alih Bahasa : Reksohadiprojo, S. Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Pedoman Teknis Pengelolaan Limbah Industri Kecil. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.
-------------. 2006. Pedoman Pengolahan Dan Pemanfaatan Limbah Tahu Tempe. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.
-------------. 2006. Batasan/Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Menurut
Beberapa Organisasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Linsley, R. K dan J. B. Franzini. 1986. Teknik Sumberdaya Air. Penerjemah Ir. Djoko Sasongko, M.Sc. Erlangga. Jakarta.
Mangkoesubroto,Guritno. 1993. Ekonomi Publik. Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta.
Nasrullah, Mochamad. 2003. Estimasi Biaya Eksternalitas dari Pembangkit Tenaga Listrik Uap (PLTU) Studi Kasus Di Tambak Lorok-Semarang. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Novianti, et al. 2000. Metode Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Jasa Lingkungan. Program Studi Ekonomi Pertanian. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pearson, Charles S. 2000. The Economics of Natural Resource Use. Harper & Row Publishers. New York.
Purnamasari, Rachma Septiany. 2001. Pengaruh Penggunaan Faktor-faktor Produksi terhadap Jumlah dan Debit serta Aspek Finansial Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Raka, ID Gede et al. 2001. Paradigma Produksi Bersih: Mendamaikan Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan. Nuansa. Bandung.
Santoso, Djoko. 2005. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Pondok Bali, Desa Legonwetan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sidauruk, Rimpun Nesrain Surya. 2005. Perbandingan Efektivitas Biaya dan Kelayakan Finansial Industri Kecil Tahu (Studi Kasus Tahu Bandung “Sulaeman” dan Tahu Sumedang “Kelana Jaya” di Kota Bogor). Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. UI-Press. Jakarta.
Umar, Husein. 2005. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Wiryani, Erry. 1991. Analisis Kandungan Limbah Cair Pabrik Tempe Kedelai dan Upaya Pengolahannya dengan Proses Anaerobik. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1
Batasan/Kriteria Usaha Kecil dan Menengah Menurut Beberapa Organisasi menurut Kementerian Lingkungan Hidup
Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria
Undang-Undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil
Usaha Kecil Aset < Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan
• Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar • Dimiliki oleh orang Indonesia • Independen, tidak terafiliasi
dengan usaha menengah-besar • Boleh berbadan hukum, boleh
tidak
Usaha Mikro Pekerja < 5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar
Usaha Kecil Pekerja 5-19 orang
Badan Pusat Statistik(BPS)
Usaha menengah Pekerja 20-99 orang
Usaha Kecil (UU No. 9/1995)
• Aset < Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan
• Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar
Menneg Koperasi & PKM
Usaha Menengah (Inpres 10/1999)
Aset Rp. 200 - Rp. 10 Milyar
Usaha Mikro (SK Dir BI No. 31/24/KEP/DIR tgl 5 Mei 1998)
Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin.
• Dimiliki oleh keluarga Sumberdaya lokal dan Teknologi sederhana
• Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry
Usaha Kecil (UU No. 9/1995)
• Aset < Rp. 200 Juta diluar tanah dan bangunan
• Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar
Bank Indonesia
Menengah (SK Dir BI No. 30/45/Dir/UK tgl 5 Januari 1997)
Aset < Rp. 5 Milyar untuk sektor industri • Aset < Rp. 600 Juta diluar tanah
dan bangunan. untuk sektor non industri manufacturing
• Omzet tahunan < Rp. 3 Milyar
Bank Dunia Usaha Mikro Kecil-Menengah
Pekerja < 20 Orang • Pekerja 20-150 orang • Aset < US$. 500 Ribu diluar
tanah dan bangunan
Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup, 2006.
Lampiran 2. Jumlah Industri Kecil Tempe di Kabupaten Bogor per
Kecamatan tahun 2008.
No. Kecamatan Jumlah Industri 1 Cibungbulang 21 2 Cisarua 6 3 Citeureup 100 4 Leuwiliang 16 5 Ciampea 7 6 Ciseeng 8 7 Cibinong 4 8 Cileungsi 16 9 Parung 8
Total 186 Sumber: Diperindag Kabupaten Bogor, 2008 (hasil wawancara).
Lampiran 3 Hasil Logit Kesediaan Pengrajin Melakukan Pengolahan Limbah
Binary Logistic Regression: Y versus TK. PEND, UMUR, ... Link Function: Logit Response Information Variable Value Count Y 1 4 (Event) 0 27 Total 31 Logistic Regression Table Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant -4.66266 3.55534 -1.31 0.190 TK. PEND 1.21818 1.19349 1.02 0.307 3.38 0.33 35.07 UMUR 0.956780 1.62573 0.59 0.556 2.60 0.11 63.00 JARAK 1.00731 0.656055 1.54 0.125 2.74 0.76 9.91 LU -0.791494 1.40828 -0.56 0.574 0.45 0.03 7.16 LTU 2.60621 1.50959 1.73 0.084 13.55 0.70 261.13 JML TANG -2.62239 1.80827 -1.45 0.147 0.07 0.00 2.51 Log-Likelihood = -5.775 Test that all slopes are zero: G = 12.291, DF = 6, P-Value = 0.056 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square DF P Pearson 13.6744 21 0.883 Deviance 11.5506 21 0.951 Hosmer-Lemeshow 2.8071 8 0.946 Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic) Group Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total 1 Obs 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 4 Exp 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.2 0.3 0.9 2.4 0 Obs 3 3 3 3 4 3 3 3 1 1 27 Exp 3.0 3.0 3.0 3.0 3.9 2.9 2.8 2.7 2.1 0.6 Total 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 31 Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Number Percent Summary Measures Concordant 103 95.4 Somers' D 0.91 Discordant 5 4.6 Goodman-Kruskal Gamma 0.91 Ties 0 0.0 Kendall's Tau-a 0.21 Total 108 100.0
Lampiran 4. KUISIONER
No. Responden :
RESPONDEN :
1. Nama Responden :
2. Alamat :
3. Tanggal Wawancara :
A. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RESPONDEN
1. Jenis Kelamin : …. (L/P)
2. Umur : …. Tahun
3. Pendidikan formal terakhir :
a. Tidak tamat SD
b. SD/sederajat
c. SLTP/sederajat
d. SLTA/sederajat
e. Perguruan Tinggi
4. Status pernikahan : Belum/Sudah
5. Berapa jumlah tanggungan keluarga ? …. Orang
6. sudah berapa lama Bapak/ibu melakukan usaha pengolahan tempe ? …. Tahun
7. Apakah usaha ini milik Bapak/Ibu sendiri? (Ya/Tidak)
8. Berapa jumlah modal yang digunakan dalam membuat tempe ?
…………………………………………………………………………………..
B. PERSEPSI RESPONDEN MENGENAI LIMBAH DAN PENGOLAHAN
LIMBAH
1. Menurut Bapak/Ibu dari proses produksi tempe ini, adakah limbah yang
dihasilkan?
a. Ada (lanjut ke no. 2) b. tidak (lanjut ke no. 3)
2. Limbah apa saja yang dihasilkan dari proses produksi tempe?
a. Limbah padat d. dua dari jawaban diatas benar
b. Limbah cair e. semuanya benar
c. Limbah gas
3. Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan dari limbah tempe ini ?
a. tidak bermasalah d. bermasalah
b. sedikit bermasalah e. sangat bermasalah
c. cukup bermasalah
4. Mengapa Bapak/Ibu memilih jawaban tersebut?
………………………………………………………………………………….
5. Apakah Bapak/Ibu mengetahui dampak negatif dari limbah cair tempe?
a. Ya b. tidak
6. Dampak negatif apa saja yang ditimbulkan oleh limbah cair yang Bapak/Ibu
ketahui?
a. mengganggu kesehatan (penyakit gatal-gatal, diare dan lain-lain)
b. membuat air sungai keruh dan bau
c. membuat mati organisme dalam air sungai
d. mengganggu estetika air sungai
e. lainnya ……………………….
7. Apakah ada dampak positif dari limbah cair tempe?
a. ada, sebutkan ………………… b. tidak ada
8.Bapak/Ibu membuang limbah yang dihasilkan kemana?
a. ke sungai
b. ke tanah
c. lainnya, ………….
9. Apakah di sini sudah ada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ?
a. Belum
b. Sudah, tahun …..
10. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang standar baku mutu limbah?
a. Mengetahui , berapa …………..
b. Tidak
11. Apakah Bapak/Ibu sudah melakukan pengolahan limbah cair tempe?
a. sudah (lanjut ke no. 12) b. belum (lanjut ke no. 13)
12. Teknologi pengolahan limbah apa yang sudah dilakukan?
a. Pengendapan mekanis d. Penggunaan kembali
b. Penggunaan IPAL e. lainnya, ……………….
c. Daur ulang
13. Berapa jarak tempat usaha ini terhadap sungai? …. m2
14. Menurut Bapak/Ibu, seharusnya apa yang dilakukan terhadap limbah yang
dihasilkan oleh industri tempe di Citeureup ini ?
……………………………………………………………………………….
C. ASPEK FINANSIAL INDUSTRI TEMPE
1. Apa saja bahan baku yang digunakan untuk memproduksi tempe beserta
jumlahnya ?
………………………………………………………………………………….
2. Apa saja peralatan yang dibutuhkan dalam usaha ini dan ada berapa
jumlahnya?
…………………………………………………………………………………..
3. Berapa harga bahan baku yang digunakan?
…………………………………………………………………………………..
4. Berapa harga peralatan yang dibutuhkan dalam usaha ini ?
…………………………………………………………………………………..
5. Apakah dalam usaha ini membutuhkan tenaga kerja ? (jika ya, berapakah jumlah tenaga kerja yang digunakan?)
………………………………………………………………………………….. 6. Berapa upah yang diberikan kepada tenaga kerja ? Rp …./orang/hari
7. Berapa jumlah kedelai yang digunakan untuk membuat tempe setiap hari ?
…………………………………………………………………………………..
8. Berapa harga kedelai saat ini ?Rp …../ kilogram
9. Berapa jumlah tempe yang dihasilkan setiap satu kali produksi? …………………………………………………………………………………. 10. Berapa harga tempe yang dijual? ………………………………………………………………………………….. 11. Bagaimana proses produksi tempe dan berapa lama produksi tersebut? …………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
12. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan pinjaman untuk modal usaha?
a. Ya (lanjut ke no. 13) b. tidak (lanjut ke no. 18)
13. Berapa jumlah pinjaman yang dilakukan Bapak/Ibu?Rp……………………….
14. Kepada siapa Bapak/Ibu melakukan pinjaman?
………………………………………………………………………………......
15. Berapa tingkat bunga yang diajukan pemberi pinjaman? …..persen
16. Berapa jangka waktu peminjaman dana?.............................................................
17. Bagaimana cara pengembalian pinjaman?
a. dibayar tunai setelah jangka waktu yang ditetapkan
b. diangsur (berapa kali angsuran dilakukan?)
18. Berapa biaya pemeliharaan atau perawatan alat-alat? Rp………………………
19. Kapan Bapak/Ibu membeli peralatan yang baru?................................................
20. Berapa nilai sisa dari peralatan yang lama jika dijual?........................................
21. Apa saja modal yang digunakan dalam usaha Bapak/Ibu?
..............................................................................................................................
22. Berapa nilai modal yang Bapak/Ibu gunakan?
..............................................................................................................................
23. Berapa jangka waktu penyusutan peralatan yang dipakai?.... tahun 24. Berapa luas usaha yang Bapak/Ibu lakukan? ………………………………………………………………………………….. 25. Berapa luas tanah dan bangunan yang digunakan dalam usaha ini? ………………………………………………………………………………….. 26. Adakah pekerjaan lain selain usaha pembuatan tempe?
a. Ya , sebagai…………………………………….. (lanjut ke no.27)
b. Tidak (lanjut ke no. 28)
27. Jika memiliki pekerjaan sampingan, berapakah pendapatan yang dihasilkan
per bulan dari pekerjaan tersebut? Rp ……….
28. Dalam sehari, berapa jam yang diperlukan untuk kegiatan produksi? ….. jam
29. Dalam seminggu berapa hari yang digunakan untuk berproduksi? …….hari
30. Apakah permasalahan yang Bapak/Ibu temui dalam menjalankan usaha ini?
………………………………………………………………………………….
D. INFORMASI MENGENAI KESEDIAAN MELAKUKAN PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN IPAL
1. Apakah Bapak/Ibu bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL?
a. Bersedia (lanjut ke no. 2)
b. Tidak (lanjut ke no. 3)
2. Mengapa Bapak/Ibu bersedia melakukan pengolahan limbah dengan IPAL?
………………………………………………………………………………..
3. Apa alasan Bapak/Ibu tidak bersedia melakukan pengolahan limbah dengan
IPAL?
………………………………………………………………………………..
4. Menurut Bapak/Ibu apakah solusi alternatif untuk menanggulangi masalah
limbah di daerah ini?
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
Jika usaha masih layak setelah internalisasi biaya eksternal, maka akan
dilakukan pembangunan IPAL. Namun biaya pembangunan sepenuhnya diserahkan dan menjadi tanggung jawab industri tempe yang menggunakannya.
Lampiran 5. Peta Lokasi Penelitian
Lampiran 6. Perhitungan Penyusutan Per Tahun Dari Investasi
Jenis Investasi Nilai beli (Rupiah)
Umur Pakai (Tahun)
Penyusutan/tahun (Rupiah)
Nilai Sisa (Rupiah)
Drum Rebus 81.290 1,0 81.290 0Drum Rendam & Cuci 285.000 3,6 71.250 71.250Penggilingan 1.358.065 2,0 679.032 679.032Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 6,4 170.687 170.687Tungku 150.000 2,0 75.000 75.000IPAL 27.558.333 10,0 2.755.833 0Total 30.456.807 25,0 3.833.093 995.969
Lampiran 7. CASHFLOW USAHA PEMBUATAN TEMPE DI DESA CITEUREUP TANPA IPAL (Rp/109kg/tahun)
Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A. INFLOW
1. Nilai Produksi : Utama 0 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86
Sampingan 0 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468
2. Pinjaman 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Nilai sisa 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 995.969
TOTAL INFLOW 0 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 341.919.9
23 B. OUTFLOW
1. B. Investasi :
110 m2 Lahan (Rp 380,645/m2) 41.870.950 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 Drum Rebus 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290
3 Drum Rendam dan cuci 285.000 0 0 0 285.000 0 0 0 285.000 0 0
Penggilingan 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065
Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 0 0 0 0 0 1024119 0 0 0 0
Tungku 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000
TOTAL B. INVESTASI 44.769.424 81.290 1.589.355 81.290 1.874.355 81.290 2.613.474 81.290 1.874.355 81.290 1.589.355
2. B. Operasional
Biaya Tetap : Transportasi 0 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000
Listrik 0 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000
Upah Tenaga Kerja 0
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
Sewa kios 0 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000
Biaya Variabel : Kedelai 0 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90
Ragi 0 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006
Daun 0 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730
Plastik 0 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622
Pewarna 0 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000
Bahan Bakar 0 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486
Pelengkap:
Saringan 0 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904
Pisau 0 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000
Alat Penusuk 0 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
TOTAL B. OPERASIONAL 0
298.145.954
298.145.954
298.145.954
298.145.954
298.145.954
298.145.954
298.145.954
298.145.954
298.145.954
298.145.954
TOTAL OUTFLOW 44.769.424 298.227.2
44 299.735.3
09 298.227.2
44 300.020.3
09 298.227.2
44 300.759.4
28 298.227.2
44 300.020.3
09 298.227.2
44 299.735.3
09
C Net Benefit Before Tax (A-B)
-44.769.424
42.696.710
41.188.645
42.696.710
40.903.645
42.696.710
40.164.526
42.696.710
40.903.645
42.696.710
42.184.614
D Pajak 0 4.269.671 4.118.865 4.269.671 4.090.365 4.269.671 4.016.453 4.269.671 4.090.365 4.269.671 4.218.461
Net Benefit After Tax (C-D)
-44.769.424
38.427.039
37.069.781
38.427.039
36.813.281
38.427.039
36.148.073
38.427.039
36.813.281
38.427.039
37.966.153
Df 13% 1 0,8849557
52 0,783146
68 0,693050
16 0,6133187
28 0,542759
94 0,480318
53 0,425060
64 0,376159
86 0,332884
83 0,2945883
48
NPV 141.464.54
2
IRR 84%
Net B/C 4,57
PV 13% -
44.769.424 34.006.22
9 29.031.07
6 26.631.86
6 22.578.27
4 20.856.65
7 17.362.58
9 16.333.82
2 13.847.67
9 12.791.77
8 11.184.38
6
PV Positif 204.624.35
7
PV Negatif -
44.769.424
PP 1 tahun 4 bulan
Lampiran 8. CASHFLOW USAHA PEMBUATAN TEMPE DI DESA CITEUREUP DENGAN IPAL Skenario 1 (Rp/109kg/tahun)
Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A. INFLOW
1. Nilai Produksi : utama 0 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86
Sampingan 0 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468
2. Pinjaman 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Nilai sisa 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 995.969
TOTAL INFLOW 0 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 341.919.9
23 B. OUTFLOW
1. B. Investasi Produksi:
110 m2 Lahan (Rp 380,645/m2) 41.870.950 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 Drum Rebus 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290
3 Drum Rendam dan cuci 285.000 0 0 0 285.000 0 0 0 285.000 0 0
Penggilingan 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065
Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 0 0 0 0 0 1.024.119 0 0 0 0
Tungku 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000
2. Biaya Pembangunan 27.558.333 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
IPAL
TOTAL B. INVESTASI 72.327.757 81.290 1.589.355 81.290 1.874.355 81.290 2.613.474 81.290 1.874.355 81.290 1.589.355
3. B. Operasional Produksi
Biaya Tetap : Transportasi 0 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000
Listrik 0 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000
Upah Tenaga Kerja 0
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
Sewa Kios 0 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000
Biaya Variabel : Kedelai 0 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90
Ragi 0 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006
Daun 0 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730
Plastik 0 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622
Pewarna 0 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000
Bahan Bakar 0 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486
4. B. Operasional IPAL:
Upah TK IPAL 0 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
B. Overhead 0 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000
B. Perawatan 0 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000
B. Angkutan 0 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Perlengkapan :
Saringan 0 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904
Pisau 0 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000
Alat Penusuk 0 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
TOTAL B. OPERASIONAL 0
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
TOTAL OUTFLOW 72.327.757 302.127.2
44 303.635.3
09 302.127.2
44 303.920.3
09 302.127.2
44 304.659.4
28 302.127.2
44 303.920.3
09 302.127.2
44 303.635.3
09
C Net Benefit Before Tax (A-B) -72.327.757
38.796.710
37.288.645
38.796.710
37.003.645
38.796.710
36.264.526
38.796.710
37.003.645
38.796.710
38.284.614
D Pajak 0 3.879.671 3.728.865 3.879.671 3.700.365 3.879.671 3.626.453 3.879.671 3.700.365 3.879.671 3.828.461
Net Benefit After Tax (C-D) -72.327.757
34.917.039
33.559.781
34.917.039
33.303.281
34.917.039
32.638.073
34.917.039
33.303.281
34.917.039
34.456.153
Df 13% 1 0,884955
75 0,783146
68 0,693050
16 0,613318
73 0,542759
94 0,480318
53 0,4250606
44 0,376159
86 0,3328848
33 0,2945883
48
NPV 100.221.668
IRR 46%
Net B/C 2,57
PV 13% -72.327.757 30.900.03
5 26.282.23
1 24.199.26
0 20.425.52
6 18.951.57
0 15.676.67
1 14.841.85
9 12.527.35
7 11.623.35
3 10.150.38
1
PV Positif 185.578.242
PV Negatif -72.327.757
PP 2 tahun 2 bulan
Lampiran 9. CASHFLOW USAHA PEMBUATAN TEMPE DI DESA CITEUREUP DENGAN IPAL Skenario 2(Rp/109kg/tahun)
Uraian 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A. INFLOW
1. Nilai Produksi : utama 0 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86 340.722.4
86
Sampingan 0 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468 201.468
2. Pinjaman 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3. Nilai sisa 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 995.969
TOTAL INFLOW 0 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 340.923.9
54 341.919.9
23 B. OUTFLOW
1. B. Investasi Produksi:
110 m2 Lahan (Rp 380,645/m2) 41.870.950 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 Drum Rebus 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290 81.290
3 Drum Rendam dan cuci 285.000 0 0 0 285.000 0 0 0 285.000 0 0
Penggilingan 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065 0 1.358.065
Rak(kerai) dari Bambu 1.024.119 0 0 0 0 0 1.024.119 0 0 0 0
Tungku 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000 0 150.000
TOTAL B. INVESTASI 44.769.424 81.290 1.589.355 81.290 1.874.355 81.290 2.613.474 81.290 1.874.355 81.290 1.589.355
2. B. Operasional Produksi:
Biaya Tetap : Transportasi 0 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000 3.260.000
Listrik 0 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000
Upah Tenaga Kerja 0
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
24.292.216
Sewa kios 0 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000 4.200.000
Biaya Variabel : Kedelai 0 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90 248.204.9
90
Ragi 0 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006 2.015.006
Daun 0 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730 4.516.730
Plastik 0 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622 6.714.622
Pewarna 0 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000 652.000
Bahan Bakar 0 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486 2.986.486
3. B. Operasional IPAL:
Upah TK IPAL 0 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
B. Overhead 0 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000
B. Perawatan 0 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000 700.000
B. Angkutan 0 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Perlengkapan :
Saringan 0 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904 92.904
Pisau 0 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000
Alat Penusuk 0 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
TOTAL B. OPERASIONAL 0
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
302.045.954
TOTAL OUTFLOW 44.769.424 302.127.2
44 303.635.3
09 302.127.2
44 303.920.3
09 302.127.2
44 304.659.4
28 302.127.2
44 303.920.3
09 302.127.2
44 303.635.3
09
C Net Benefit Before Tax (A-B) -44.769.424
38.796.710
37.288.645
38.796.710
37.003.645
38.796.710
36.264.526
38.796.710
37.003.645
38.796.710
38.284.614
D Pajak 0 3.879.671 3.728.865 3.879.671 3.700.365 3.879.671 3.626.453 3.879.671 3.700.365 3.879.671 3.828.461
Net Benefit After Tax (C-D) -44.769.424
34.917.039
33.559.781
34.917.039
33.303.281
34.917.039
32.638.073
34.917.039
33.303.281
34.917.039
34.456.153
Df13 % 1 0,8849557
5 0,7831466
83 0,6930501
6 0,6133187
3 0,5427599
4 0,480318
53 0,425060
64 0,376159
86 0,332884
83 0,294588
35
NPV 124.609.573
IRR 77%
Net B/C 4,15
PV 13% -44.769.424 30.900.03
5 26.282.23
1 24.199.26
0 20.425.52
6 18.951.57
0 15.676.67
1 14.841.85
9 12.527.35
7 11.623.35
3 10.150.38
1
PV Negatif -44.769.424
PV Positif 185.578.242
PP 1 tahun 6 bulan
Lampiran 10. Alasan Pengrajin Tempe Bersedia atau Tidak Bersedia Mengolah Limbah
Dengan IPAL
Nama Kesediaan Alasan
Raska Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Kaspari Bersedia Ada saluran untuk pengolahan limbah
Zainal Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Sudarno Bersedia Hasil buangan limbah lebih baik
Teguh Bersedia Agar Limbah tidak menimbulkan bau busuk
Sutrio Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Tarno Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Kabari Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Achmad Sunarto Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Damurin Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Khudori Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Waridi Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Karmadi Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Darno Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Taryubi Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Karyono Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Bisri Bersedia Hasil buangan limbah lebih baik
Kasadi Tidak IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah
Daris Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Marzuki Tidak IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah
Abdul Rohman Tidak IPAL merupakan tanggung jawab pemerintah
Tarpin Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
H. Sunardi Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Kardani Tidak Limbah tidak bermasalah dan tidak dikonsumsi
Tasmin Tidak Menambah Biaya Produksi
Ramadi Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Aryo Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Warjo Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Sutoro Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Musli Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Wardiono Tidak Tidak Punya waktu dan modal terbatas
Lampiran 11. Dampak Negatif Limbah Cair dan Solusi Alternatif untuk Menanggulagi Limbah
Nama Solusi Alternatif Dampak negatif limbah
Raska Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Kaspari Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Zainal Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Sudarno Pengolahan limbah yang murah Membuat air sungai keruh dan bau
Teguh Pengolahan limbah yang murah Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Sutrio Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Tarno Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Kabari Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Achmad Sunarto Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Damurin Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Khudori Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Waridi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Karmadi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Darno Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Taryubi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Karyono Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Bisri Limbah cair dijual Air sungai tidak dapat dikonsumsi
Kasadi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Daris Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Marzuki Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Abdul Rohman Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Tarpin Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
H. Sunardi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Kardani Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Tasmin Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Ramadi Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Aryo Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Warjo Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Sutoro Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Musli Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Wardiono Limbah cair dijual Membuat air sungai keruh dan bau
Lampiran 12. Rincian Penerimaan Harian Pengrajin Tempe di Desa Citeureup
Nama Responden Kedelai (kg) Harga (Rp/kg) Nilai Ampas (krg) Harga (Rp/krg) Nilai Pendapatan (Rp) Pendapatan Bersih (Rp)
Raska 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 850.000 850.000
Kaspari 100 6.900 690.000 0,00 0 0 900.000 900.000
Zainal 125 6.800 850.000 0,00 0 0 1.800.000 1.800.000
Sudarno 400 7.000 2.800.000 1,50 3.000 4.500 3.500.000 3.500.000
Teguh 100 7.000 700.000 0,38 3.000 1.140 900.000 900.000
Sutrio 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 900.000 900.000
Tarno 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 900.000 900.000
Kabari 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 900.000 900.000
Achmad Sunarto 100 6.900 690.000 1,00 5.000 5.000 850.000 850.000
Damurin 200 7.000 1.400.000 1,00 5.000 5.000 2.000.000 2.000.000
Khudori 100 6.850 685.000 1,00 5.000 5.000 900.000 900.000
Waridi 100 6.800 680.000 0,00 0 0 900.000 900.000
Karmadi 100 7.000 700.000 1,00 2.500 2.500 900.000 900.000
Darno 100 7.000 700.000 0,00 0 0 900.000 900.000
Taryubi 95 6.900 655.500 0,00 0 0 920.000 920.000
Karyono 60 6.900 414.000 0,50 5.000 2.500 500.000 500.000
Bisri 50 6.850 342.500 0,00 0 0 450.000 450.000
Kasadi 75 6.850 513.750 0,00 0 0 1.000.000 1.000.000
Daris 25 7.000 175.000 1,00 5.000 5.000 300.000 300.000
Marzuki 250 7.000 1.750.000 1,00 4.500 4.500 2.500.000 2.500.000
Abdul Rohman 30 7.000 210.000 0,00 0 0 350.000 350.000
Tarpin 70 7.000 490.000 0,00 0 0 700.000 700.000
H. Sunardi 100 7.200 720.000 0,00 0 0 850.000 850.000
Kardani 250 7.000 1.750.000 0,00 0 0 2.500.000 2.500.000
Tasmin 40 7.500 300.000 0,00 0 0 400.000 400.000
Ramadi 35 7.000 245.000 0,00 0 0 380.000 380.000
Aryo 200 7.200 1.440.000 0,00 0 0 2.000.000 2.000.000
Warjo 75 7.000 525.000 0,00 0 0 750.000 750.000
Sutoro 40 7.000 280.000 0,00 0 0 350.000 350.000
Musli 100 7.000 700.000 0,00 0 0 850.000 850.000
Wardiono 50 6.900 345.000 0,00 0 0 500.000 500.000
Rata-rata 109 6.985 761.365 0,40 1.548 619,2 1.045.161 1.045.161
Nilai Output (Kg) Harga Tempe Daun (Rp/kg) Harga Tempe Plastik (Rp/kg) Saluran Pemasaran Sewa Kios (Rp/hari)
800 1.500 2.000 1 13.333
500 1.500 2.500 1 10.000
2.000 2.000 2.500 1 10.000
500 2.000 2.000 1 13.333
2.000 2.500 2.000 1 13.333
400 2.500 2.000 1 13.333
400 2.500 2.000 1 13.333
400 2.500 2.000 1 13.333
400 2.500 2.500 1 13.333
400 1.000 4.000 1 13.333
400 2.000 4.000 1 10.000
2.000 2.000 4.000 1 10.000
720 2.500 4.500 1 13.333
200 0 3.000 1 10.000
800 2.000 3.000 2 0
200 2.000 2.500 2 0
600 1.000 3.000 3 0
360 2.500 2.500 2 0
120 1.000 2.500 3 0
1.000 1.000 2.500 2 0
800 0 2.500 2 0
1.000 1.000 2.500 1 10.000
1.000 1.000 2.500 1 10.000
8.000 1.000 2.500 1 13.333
500 0 2.500 1 10.000
600 1.000 2.500 2 0
2.800 1.000 2.500 3 0
960 1.000 2.500 3 0
800 1.000 2.500 3 0
1.400 1.000 2.500 1 10.000
800 1.000 2.500 1 10.000
1.060 1.468 2.661 11.667 Lampiran 13. Rincian Biaya-biaya harian pembuatan tempe
Nama Responden Kedelai (kg) Harga (Rp/kg) Nilai Ragi (kg) Harga (Rp/kg) Nilai Pewarna Harga (Rp/bks) Nilai Serbuk Kayu (krg)
Raska 100 7.000 700.000 0,20 10.000 2.000 7 500 3.500 1,00
Kaspari 100 6.900 690.000 0,14 10.000 1.428 0 500 0 1,00
Zainal 125 6.800 850.000 1,00 12.000 12.000 0 500 0 1,00
Sudarno 400 7.000 2.800.000 4,00 5.000 20.000 40 500 20.000 0,75
Teguh 100 7.000 700.000 1,00 5.000 5.000 10 500 5.000 0,25
Sutrio 100 7.000 700.000 1,00 10.000 10.000 0 500 0 1,00
Tarno 100 7.000 700.000 1,00 10.000 10.000 0 500 0 1,00
Kabari 100 7.000 700.000 1,00 10.000 10.000 0 500 0 1,00
Achmad Sunarto 100 6.900 690.000 0,20 16.000 3.200 0 500 0 1,00
Damurin 200 7.000 1.400.000 0,13 10.000 1.250 0 500 0 1,00
Khudori 100 6.850 685.000 1,40 10.000 14.000 0 500 0 1,00
Waridi 100 6.800 680.000 0,20 10.000 2.000 0 500 0 1,00
Karmadi 100 7.000 700.000 0,20 10.000 2.000 0 500 0 1,00
Darno 100 7.000 700.000 0,33 8.000 2.640 0 500 0 1,00
Taryubi 95 6.900 655.500 0,50 16.000 8.000 14 500 7.000 1,00
Karyono 60 6.900 414.000 0,20 9.000 1.800 0 500 0 1,00
Bisri 50 6.850 342.500 0,02 10.000 200 4 500 2.000 1,00
Kasadi 75 6.850 513.750 0,02 10.000 200 0 500 0 2,00
Daris 25 7.000 175.000 0,20 10.000 2.000 2 500 1.000 1,00
Marzuki 250 7.000 1.750.000 0,60 14.500 8.700 17 500 8.500 1,00
Abdul Rohman 30 7.000 210.000 0,10 15.000 1.500 1 500 500 0,30
Tarpin 70 7.000 490.000 0,20 15.000 3.000 3 500 1.500 0,50
H. Sunardi 100 7.200 720.000 0,25 13.500 3.375 5 500 2.500 1,00
Kardani 250 7.000 1.750.000 0,70 15.000 10.500 12 500 6.000 2,00
Tasmin 40 7.500 300.000 0,10 15.000 1.500 1 500 500 0,30
Ramadi 35 7.000 245.000 0,10 15.000 1.500 1 500 500 0,30
Aryo 200 7.200 1.440.000 0,50 13.500 6.750 10 500 5.000 1,50
Warjo 75 7.000 525.000 0,20 15.000 3.000 3 500 1.500 0,50
Sutoro 40 7.000 280.000 0,10 15.000 1.500 2 500 1.000 0,30
Musli 100 7.000 700.000 0,30 15.000 4.500 5 500 2.500 1,00
Wardiono 50 6.900 345.000 0,15 16.000 2.400 1 500 500 0,40
Rata-rata 109 6.985 761.365 0,52 11.887 6.181 4 500 2.000 1
Harga (Rp/krg) Nilai Plastik (kg) Harga (Rp/kg) Nilai Daun (Rp) Tenaga Kerja Upah/hari (Rp) Jam Kerja Nilai Total Biaya
4.000 4.000 1,00 22.000 22.000 15.000 2 40.000 10,0 80.000 826.500
4.000 4.000 1,00 22.000 22.000 15.000 2 30.000 8,0 60.000 792.428
6.000 6.000 1,50 21.000 31.500 5.000 3 30.000 8,0 90.000 994.500
30.000 22.500 0,10 20.000 2.000 20.000 5 50.000 8,0 250.000 3.134.500
30.000 7.500 0,10 20.000 2.000 5.000 1 50.000 8,0 50.000 774.500
10.000 10.000 0,18 20.000 3.600 5.000 1 30.000 8,0 30.000 758.600
10.000 10.000 0,10 22.000 2.200 10.000 1 30.000 8,0 30.000 762.200
10.000 10.000 0,10 22.000 2.200 10.000 1 30.000 8,0 30.000 762.200
10.000 10.000 0,10 22.000 2.200 10.000 2 35.000 5,0 70.000 785.400
10.000 10.000 0,75 20.000 15.000 10.000 3 30.000 5,0 90.000 1.526.250
8.000 8.000 2,50 20.000 50.000 20.000 2 40.000 7,0 80.000 857.000
10.000 10.000 0,50 22.000 11.000 10.000 3 60.000 8,0 180.000 893.000
10.000 10.000 0,10 22.000 2.200 10.000 1 30.000 8,0 30.000 754.200
6.000 6.000 1,00 20.500 20.500 0 1 40.000 8,0 40.000 769.140
15.000 15.000 1,50 21.000 31.500 10.000 1 40.000 6,0 40.000 767.000
6.000 6.000 0,75 20.000 15.000 3.000 1 25.000 8,0 25.000 464.800
10.000 10.000 1,00 20.000 20.000 5.000 1 20.000 6,0 20.000 399.700
6.000 12.000 0,50 20.000 10.000 15.000 1 25.000 8,0 25.000 575.950
6.000 6.000 0,30 20.000 6.000 2.000 1 25.000 6,0 25.000 217.000
6.000 6.000 2,00 22.000 44.000 14.000 4 35.000 8,5 140.000 1.971.200
7.000 2.100 0,30 20.000 6.000 0 1 40.000 8,0 40.000 260.100
7.000 3.500 0,60 20.000 12.000 6.600 2 40.000 8,0 80.000 596.600
8.000 8.000 1,00 20.000 20.000 10.000 2 40.000 8,0 80.000 843.875
5.000 10.000 2,00 20.000 40.000 50.000 4 40.000 8,0 160.000 2.026.500
7.000 2.100 0,25 22.000 5.500 0 2 40.000 8,0 80.000 389.600
7.500 2.250 0,50 20.000 10.000 2.500 2 50.000 8,0 100.000 361.750
6.000 9.000 2,50 20.000 50.000 140.000 4 50.000 8,0 200.000 1.850.750
7.500 3.750 1,00 18.000 18.000 8.000 2 40.000 8,0 80.000 639.250
8.000 2.400 0,75 20.000 15.000 4.000 1 40.000 8,0 40.000 343.900
7.000 7.000 1,28 20.000 25.600 10.000 2 40.000 8,0 80.000 829.600
7.000 2.800 0,50 20.000 10.000 4.400 2 40.000 8,0 80.000 445.100
9.161 9.161 1 20.597 20.597 13.855 2 37.258 7,7 74.516 883.003
Umur Pakai Gilingan Harga (Rp)
12 1 350.000
60 1 4.000.000
12 1 500.000
4 2 2.500.000
12 2 2.500.000
12 1 500.000
12 1 500.000
12 1 500.000
36 1 500.000
60 1 1.500.000
60 1 900.000
60 1 400.000
60 1 400.000
12 2 4.500.000
6 1 1.500.000
12 1 350.000
60 1 350.000
60 1 350.000
60 1 350.000
60 1 2.000.000
60 1 4.000.000
60 1 4.000.000
60 1 1.000.000
60 1 1.500.000
60 1 350.000
60 1 350.000
60 1 300.000
60 1 1.250.000
60 1 4.000.000
60 1 500.000
60 1 400.000
43 1 1.358.065
Umur Pakai Saringan Harga (Rp) Nilai Umur Pakai (bulan) Kerai Harga (Rp/kerai) Nilai Umur Pakai
12 1 10.000 10.000 0,25 40 25.000 1.000.000 60
36 1 10.000 10.000 0,25 25 25.000 625.000 60
12 1 10.000 10.000 0,25 100 15.000 1.500.000 60
36 1 10.000 10.000 0,25 25 15.000 375.000 60
36 1 10.000 10.000 0,25 100 25.000 2.500.000 120
12 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 120
12 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 60
12 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 60
12 3 5.000 15.000 0,25 20 25.000 500.000 60
36 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 60
12 1 10.000 10.000 0,25 20 25.000 500.000 60
12 1 10.000 10.000 0,25 100 20.000 2.000.000 60
12 1 10.000 10.000 0,25 36 15.000 540.000 60
36 2 10.000 20.000 0,25 10 15.000 150.000 60
36 2 10.000 20.000 0,25 40 20.000 800.000 60
12 1 10.000 10.000 0,25 10 15.000 150.000 60
24 2 5.000 10.000 0,25 30 25.000 750.000 60
24 2 10.000 20.000 2,00 18 25.000 450.000 60
24 1 10.000 10.000 0,25 6 25.000 150.000 60
36 4 5.000 20.000 0,25 50 20.000 1.000.000 60
24 1 5.000 5.000 0,25 40 15.000 600.000 96
24 1 5.000 5.000 0,50 50 15.000 750.000 96
30 1 5.000 5.000 12,00 50 15.000 750.000 96
36 3 5.000 15.000 0,25 400 15.000 6.000.000 96
24 1 5.000 5.000 0,50 25 15.000 375.000 96
24 1 5.000 5.000 0,50 30 15.000 450.000 96
24 1 5.000 5.000 0,25 140 15.000 2.100.000 96
30 1 5.000 5.000 0,50 48 14.000 672.000 96
24 1 5.000 5.000 0,50 40 15.000 600.000 96
24 1 5.000 5.000 0,50 70 15.000 1.050.000 96
24 1 5.000 5.000 0,50 40 15.000 600.000 96
24 1 7.742 7.742 1 53 19.323 1.024.119 77
Lampiran 15. Karakteristik Pengrajin Tempe di Desa Citeureup Tahun 2008
Nama Responden Umur Jenis Kelamin Pendidikan Status Jumlah tanggungan Lama Usaha Luas Tempat Usaha Harga Lahan (Rp/m2)
Raska 35 Laki-laki SD Nikah 2 9 100 1.000.000
Kaspari 42 Laki-laki SD Nikah 2 20 68 350.000
Zainal 34 Laki-laki SD Nikah 2 11 121 350.000
Sudarno 50 Laki-laki SD Nikah 8 16 350 500.000
Teguh 28 Laki-laki SMA Nikah 1 6 100 350.000
Sutrio 58 Laki-laki SD Nikah 3 26 100 350.000
Tarno 50 Laki-laki SD Nikah 4 30 100 350.000
Kabari 38 Laki-laki SD Nikah 2 10 100 350.000
Achmad Sunarto 37 Laki-laki SLTP Nikah 4 17 150 600.000
Damurin 52 Laki-laki SD Nikah 3 40 105 350.000
Khudori 37 Laki-laki SD Nikah 3 13 100 350.000
Waridi 32 Laki-laki SD Nikah 2 12 100 350.000
Karmadi 35 Laki-laki SD Nikah 2 11 110 350.000
Darno 40 Laki-laki SD Nikah 5 3 125 350.000
Taryubi 33 Laki-laki SD Nikah 2 14 50 350.000
Karyono 30 Laki-laki SD Nikah 2 19 100 350.000
Bisri 28 Perempuan SD Nikah 1 6 150 600.000
Kasadi 23 Laki-laki SD Belum 0 3 100 350.000
Daris 50 Laki-laki SD Nikah 11 25 96 350.000
Marzuki 60 Laki-laki SD Nikah 7 23 100 350.000
Abdul Rohman 38 Laki-laki SLTP Nikah 4 9 100 350.000
Tarpin 40 Laki-laki SLTP Nikah 5 10 100 350.000
H. Sunardi 47 Laki-laki SD Nikah 9 25 100 350.000
Kardani 42 Laki-laki SD Nikah 6 21 100 350.000
Tasmin 35 Laki-laki SD Nikah 4 10 100 350.000
Ramadi 35 Laki-laki SD Nikah 4 15 150 350.000
Aryo 32 Laki-laki SLTP Nikah 3 15 100 350.000
Warjo 35 Laki-laki SD Nikah 4 11 50 350.000
Sutoro 35 Laki-laki SMK Nikah 3 7 100 350.000
Musli 38 Laki-laki SLTP Nikah 4 11 100 350.000
Wardiono 34 Laki-laki SD Nikah 2 12 100 350.000
Rata-rata 39 Laki-laki SD Nikah 4 15 110 380.645
Nilai Kap. Prod (kg) jumlah limbah (m3) biaya (Rp/m3) Biaya IPAL (Rp)
100.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682
23.800.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682
42.350.000 200 2,19 15.031.818 32.919.682
175.000.000 720 7,00 15.031.818 105.222.727
35.000.000 180 1,75 15.031.818 26.305.682
35.000.000 200 1,75 15.031.818 26.305.682
35.000.000 200 1,75 15.031.818 26.305.682
35.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682
90.000.000 180 1,75 15.031.818 26.305.682
36.750.000 400 3,50 15.031.818 52.611.364
35.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682
35.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682
38.500.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682
43.750.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682
17.500.000 152 1,66 15.031.818 24.952.818
35.000.000 120 1,05 15.031.818 15.783.409
90.000.000 80 0,88 15.031.818 13.228.000
35.000.000 120 1,31 15.031.818 19.691.682
33.600.000 50 0,44 15.031.818 6.614.000
35.000.000 500 4,38 15.031.818 65.839.364
35.000.000 48 0,53 15.031.818 7.966.864
35.000.000 112 1,22 15.031.818 18.338.818
35.000.000 200 1,75 15.031.818 26.305.682
35.000.000 500 4,38 15.031.818 65.839.364
35.000.000 64 0,70 15.031.818 10.522.273
52.500.000 63 0,61 15.031.818 9.169.409
35.000.000 360 3,50 15.031.818 52.611.364
17.500.000 120 1,31 15.031.818 19.691.682
35.000.000 64 0,70 15.031.818 10.522.273
35.000.000 160 1,75 15.031.818 26.305.682
35.000.000 80 0,88 15.031.818 13.228.000
41.870.950 193 1,90 15.031.818 28.604.095