a06swa

61
PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS DAN TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN DI DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG KABUPATEN BOGOR oleh : SRI WAHYUNI A44102050 PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Upload: isnaini-aulianingtias

Post on 14-Feb-2015

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: A06swa

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS DAN TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN DI

DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG KABUPATEN BOGOR

oleh :

SRI WAHYUNI A44102050

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2006

Page 2: A06swa

ABSTRAK

SRI WAHYUNI. Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DADANG dan ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Kubis dan tomat merupakan contoh komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Namun masih banyak kendala-kendala yang membatasi produksi sayuran tersebut, salah satunya adalah serangan hama dan penyakit. Petani mengatasi serangan hama dan penyakit menggunakan pestisida sintetik secara berjadwal yang lebih dikenal dengan sistem pertanian konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan intensitas dan luas serangan hama dan penyakit, pengamatan musuh alami serta kuantitas produksi pada pertanaman kubis dan tomat dalam tiga sistem budidaya pertanian konvensional, input rendah dan organik. Penelitian dilaksanakan di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor, Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Laboratorium Biosistematika Serangga, Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan September sampai bulan Desember 2005.

Metode penelitian meliputi persiapan lahan: konvensional monokultur (KM) dan tumpang sari (KT), input rendah monokultur (LM) dan tumpang sari (LT) serta organik monokultur (OM) dan tumpang sari (OT) dengan dosis pupuk yang berbeda. Penanaman bibit kubis dan tomat. Pengamatan yang dilakukan meliputi luas dan intensitas serangan hama dan penyakit sebanyak sepuluh tanaman contoh untuk setiap lahan perlakuan. Data yang diperoleh merupakan hasil rata-rata setiap minggunya.

Hama utama yang ditemukan pada tanaman kubis adalah Plutella xylostella dengan populasi tertinggi pada lahan OM dan Crocidolomia pavonana populasi tertinggi pada lahan LM, sedangkan penyakitnya adalah busuk hitam Xanthomonas campestris dan bercak daun alternaria Alternaria spp. dengan intensitas tertinggi pada lahan LM. Sedangkan hama pada tomat adalah Bemisia sp teringgi pada lahan LT, dengan penyakit busuk daun Phytophthora infestans dan bercak daun alternaria Alternaria solani dengan intensitas yang bervariasi.

Produksi tanaman kubis maupun tomat tertinggi dihasilkan pada lahan konvensional (tanaman contoh maupun petak). Dengan tingkat serangan hama dan penyakit yang relatif lebih rendah daripada lahan input rendah dan organik sehingga tingkat pertumbuhannya lebih cepat.

Page 3: A06swa

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT KUBIS DAN TOMAT PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN

DI DESA SUKAGALIH KECAMATAN MEGAMENDUNG KABUPATEN BOGOR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh :

SRI WAHYUNI A44102050

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2006

Page 4: A06swa

Judul Skripsi : Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor

Nama : Sri Wahyuni

NRP : A44102050

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Dadang, MSc. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. NIP. 131879337 NIP.131869954

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr. NIP. 130422698

Tanggal lulus : .......................................

Page 5: A06swa

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 30 Januari 1984 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Maman dan Ibu Dedeh. Tahun 2002 penulis lulus dari SMUN 2 Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Proteksi Tanaman melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama perkuliahan penulis pernah magang di Laboratorium Biosistematika Serangga selama satu semester pada tahun 2003. Selain itu penulis pernah menjadi asisten dosen mata ajaran Proteksi Tanaman tahun ajaran 2004/2005 dan mata ajaran Pestisida dan Teknik Aplikasi tahun 2005/2006.

Page 6: A06swa

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas

bantuan dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis (Brassica oleracea Linn) dan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) pada Tiga Sistem Budi Daya Pertanian di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor” yang mulai dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2005.

Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang tiga sistem budi daya pertanian yaitu konvensional, input rendah dan organik.

Selama melakukan penelitian sampai tersusunnya skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih, terutama kepada kedua orang tua yang selalu memberikan doa dan dukungannya demi terselesaikannya penelitian ini dengan baik, kepada Dr. Ir Dadang, MSc. dan Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, kepada Dr. Ir. Kikin H Mutaqin, MSi. selaku dosen penguji atas saran dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini, kepada Pak Mubaraq, Ratna yang selalu memberikan saran dan bantuannya di lapangan, Yuni yang selalu siap membantu di laboratorium (bakteri) dan Pak Agus atas bantuannya, teman seperjuangan Warti atas semua bantuan, dan sarannya. Kepada Ramdan atas bantuan dan dukungannya serta rekan-rekan HPT angkatan 39 Dian, Trias, Arbani, Dewi dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan, saran dan semangat kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini.

Bogor, Mei 2006

Sri Wahyuni

Page 7: A06swa

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ......................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi

PENDAHULUAN ................................................................................ 1

Latar Belakang ................................................................................. 1

Tujuan Penelitian .............................................................................. 3

Manfaat Penelitian ............................................................................. 3

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4

Budidaya Tanaman Kubis .................................................................... 4

Budidaya Tanaman Tomat .................................................................. 4

Hama dan Penyakit Utama Kubis ..................................................... 5

Hama dan Penyakit Utama Tomat ..................................................... 9

Sistem Budidaya Pertanian Konvensional ....................................... 11

Sistem Budidaya Pertanian Input Rendah ....................................... 12

Sistem Budidaya Pertanian Organik ................................................ 13

BAHAN DAN METODE ........................................................................... 14

Tempat dan Waktu ............................................................................ 14

Metode Penelitian ............................................................................. 14

Persiapan lahan ......................................................................... 14 Persemaian benih kubis dan tomat .............................................. 14 Penanaman bibit kubis dan tomat .............................................. 15 Penggunaan pupuk ..................................................................... 15 Aplikasi pestisida/penyemprotan ............................................. 15 Pengamatan hama, penyakit dan musuh alami ........................... 16 Perhitungan intensitas dan luas serangan hama dan penyakit .... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 19

Lokasi Penelitian ................................................................................ 19

Hama dan Tingkat Parasitisasi (Musuh Alami) .................................. 19

Penyakit Tanaman Kubis .................................................................... 24

Hama dan Penyakit Tanaman Tomat .................................................. 27

Produksi Kubis dan Tomat ................................................................. 32

Page 8: A06swa

Arthropoda Tanah .............................................................................. 34

KESIMPULAN ............................................................................................ 37

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 38

LAMPIRAN .................................................................................................. 40

Page 9: A06swa

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1 Populasi P. xylostella (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ........................................ 20

2 Populasi C. pavonana (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ......................................... 21

3 Intensitas serangan Xanthomonas campestris pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ........................................ 24

4 Gejala penyakit busuk hitam di lapangan, isolasi bakteri X. campestris pada media YDC ...................................................... 25

5 Intensitas serangan Alternaria sp. pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ......................... 26

6 (a) Gejala serangan Alternaria spp., pada daun kubis ................... 27 (b) Konidia Alternaria spp.,Gejala penyakit akar gada ................. 27 (c) Gejala penyakit akar gada ................................................... ... 27

7 Populasi Bemisia sp. (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ......................................... 28

8 Intensitas serangan Phytophthora infestans pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ......................................... 29

9 Gejala serangan P. infestans ......................................................... 30

10 Intensitas serangan Alternaria solani pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ......................................... 30

11 Tinggi tanaman tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ...................................................... 31

Page 10: A06swa

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1 Tingkat parasitisasi (%) P. xylostella oleh Diadegma sp. ............. 23

2 Tingkat parasitisasi (%) P. xylostella oleh Apanteles sp. .............. 23

3 Intensitas serangan Plasmodiophora brassicae pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ........................ 27

4 Produksi kubis pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ................................................................................... 32

5 Produksi tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional (kg)............................................................................ 33

6 Keragaman arthropoda tanah pada pertanaman kubis dengan sistem penanaman tumpang sari dan monokultur .......................... 35

7 Keragaman arthropoda tanah dari pertanaman kubis dan tomat pada tiga sistem budidaya (konvensional, input rendah,

dan organik) ................................................................................... 36

Page 11: A06swa

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Teks

1 (a) Lahan percobaan ......................................................................... 41 (b) Lahan persemaian pada tiga sistem budidaya pertanian.............. 41

2 (a) Pertanaman kubis (monokultur) ................................................. 41 (b) Pertanaman kubis-tomat (tumpang sari) ..................................... 41

3 (a) Isolat X. campestris pada YDC ................................................... 41 (b) Reaksi hipersensitif oleh X. campestris pv. campestris pada tembakau .......................................................................................... 41

4 Gejala serangan virus (gemini) oleh vektor Bemisia sp. pada tomat ................................................................................................. 42

5 Populasi Plutella xylostella pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.......................................................... 42

6 Populasi Crocidolomia pavonana pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ....................................................... 42

7 Intensitas serangan Xanthomonas campestris pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional .......................................... 43

8 Intensitas serangan Alternaria sp. pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional .......................................... 43

9 Intensitas serangan Phytopthhora infestans pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional .......................................... 43

10 Intensitas serangan Alternaria solani pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional .......................................... 43

11 Tinggi tanaman tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ........................................................ 44

12 Populasi Bemisia sp. pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional ......................................................... 44

13 Rata-rata curah hujan/minggu selama 10 kali pengamatan............... 44

14 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-1).................................. 45

15 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-2) ................................. 46

16 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-3) ................................. 47

17 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-4) ................................. 48

18 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-5) ................................. 49

Page 12: A06swa

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman sayuran mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, sebab

sayuran sangat berguna bagi pemenuhan gizi manusia dan juga bagi pembangunan

pertanian. Oleh sebab itu peningkatan produksi sayuran merupakan salah satu

syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan umat manusia (Satsijati et al. 1987).

Contoh komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan adalah kubis (Brassica

oleracea Linn.) dan tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). Jenis sayuran ini

banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena banyak mengandung zat-zat

gizi (Sastrosiswojo et al. 2000) seperti, vitamin A dan C, protein, lemak,

karbohidrat dan serat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Sehubungan

dengan semakin meningkatnya permintaan masyarakat terhadap dua komoditas

sayuran ini dan didukung oleh kondisi iklim yang sesuai, maka banyak petani

tertarik untuk membudidayakan kubis dan tomat. Namun demikian dalam

budidaya tanaman ini masalah hama dan penyakit merupakan salah satu masalah

yang sangat berpengaruh terhadap produksi kubis dan tomat baik segi kualitas

maupun kuantitasnya.

Pada umumnya petani sayuran cenderung menggunakan pestisida secara

berlebihan (Walangadi 2000), yang bertujuan untuk mengamankan produksi yang

saat ini dikenal dengan pertanian konvensional. Menurut konsep pertanian

konvensional ini, penggunaan pestisida dilakukan secara berjadwal yang

dilakukan sebelum terjadi serangan hama dan penyakit, sebagai langkah awal

pencegahan. Menurut Waibel (1994) faktor yang menyebabkan tingginya

penggunaan pestisida di negara-negara berkembang adalah keengganan petani

terhadap resiko dan tidak sempurnanya informasi tentang pestisida yang mereka

peroleh.

Dalam sistem budidaya pertanian konvensional ini orientasi petani hanya

pada upaya memaksimalkan produktivitas secara nyata namun kurang diikuti

dengan kesadaran akan kemunduran kualitas lingkungan dan pengurangan

stabilitas produksi oleh timbulnya biotipe atau strain hama baru,

Page 13: A06swa

2

terbentuknya senyawa beracun bagi tanaman dan serangga berguna lainnya,

menurunnya kesuburan tanah, serta terjadinya kerusakan lingkungan yang

disebabkan oleh penggunaan pestisida yang berlebihan tersebut. Tingginya

penggunaan pestisida sintetik untuk mengendalikan hama maupun penyakit ini

sangat tidak bijaksana karena dapat menimbulkan pengaruh negatif, seperti

resistensi hama, timbulnya hama sekunder atau hama baru, terbunuhnya parasit

dan predator serta serangga berguna lainnya. Selain itu, tingginya residu pestisida

yang terkandung dalam produk pertanian dapat menyebabkan keracunan pada

manusia dalam jangka panjang. Tjahjadi & Gayatri (1994) melaporkan bahwa

kadar residu pestisida yang terkandung dalam tanaman sayuran seperti wortel,

kentang, sawi, bawang merah, tomat dan kubis dari berbagai sentra produksi

sayuran cukup memprihatinkan karena melampaui batas rendah maksimum.

Untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik tersebut sistem pertanian input

rendah atau LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) sebagai

alternatif yang layak dilakukan dan dipilih oleh petani yang dapat melengkapi

bentuk-bentuk lain produksi pertanian.

Dalam konsep sistem budidaya ini dilakukan usaha dengan

mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal yang ada dengan

mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani seperti tanaman,

hewan, tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan

efek sinergi yang paling besar; berusaha mencari cara pemanfaatan asupan luar

hanya bisa diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam

ekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi, fisik, dan manusia (Reijntjes et

al. 1999). Penggunaan pestisida dilakukan berdasarkan IPM (Integrated Pest

Management) yang dilakukan apabila tingkat serangan hama dan penyakit sudah

mencapai ambang ekonomi (AE).

Alternatif lain yang saat ini dikembangkan adalah budidaya pertanian

organik. Pertanian organik merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan

bahan kimia (non sintetik), tetapi menggunakan bahan-bahan organik (Pracaya

2003) berdasarkan prinsip daur ulang yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi

setempat (Sutanto 2002). Diharapkan dengan adanya informasi tentang sistem

Page 14: A06swa

3

budi daya pertanian input rendah dan pertanian organik, petani maupun

masyarakat menyadari pentingnya menjaga keseimbangan alam dalam usaha-

usaha produksi pertanian, sehingga dapat diperoleh produk atau hasil tanaman

sayuran yang tidak mengandung residu kimiawi yang berbahaya dan tanpa

menimbulkan pencemaran lingkungan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan intensitas dan

luas serangan hama dan penyakit, perkembangan populasi musuh alami, tingkat

parasitisasi, serta produksi pada pertanaman kubis dan tomat dalam tiga sistem

budidaya pertanian, konvensional, input rendah dan organik.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang

kelayakan sistem budi daya pertanian input rendah dan organik tanaman sayuran.

Page 15: A06swa

TINJAUAN PUSTAKA

Budi Daya Tanaman Kubis Tanaman kubis (Brassica oleracea Linn.) merupakan tanaman semusim

yang di Indonesia banyak ditanam di daerah pegunungan, dengan ketinggian +

800 m dpl dan curah hujan yang cukup setiap tahunnya. Sebagian kubis tumbuh

baik pada ketinggian 100-200 m dpl, tetapi jumlah varietasnya tidak banyak dan

tidak dapat menghasilkan biji. Pada daerah yang ketinggiannya di bawah 100 m,

tanaman kubis kurang baik (Suwandi et al. 1993 ).

Pada umumnya kubis ditanam dengan pola tanam secara monokultur atau

polikultur (tumpang sari), salah satunya dengan tanaman tomat. Waktu tanam

kubis yang paling baik adalah pada awal musim hujan (Oktober) atau awal musim

kemarau (Maret). Meskipun demikian, kubis dapat ditanam sepanjang musim atau

tahun asalkan kebutuhan airnya terpenuhi.

Budi Daya Tanaman Tomat Tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) merupakan tanaman

semusim, berbentuk perdu atau semak dan termasuk kedalam golongan

Angiospermae, kelas Dicotyledone, famili Solanaceae.

Tanaman tomat tergolong warm season crop, dengan suhu optimum 200C-

280C, namun karena menghendaki suhu selalu berubah, siang panas dan malam

dingin, untuk pembungaannya yang terbaik adalah 180C sampai 250C. Cahaya

sebaiknya cukup, cahaya yang terlalu terik dapat meningkatkan laju transpirasi,

hal ini akan mengakibatkan terjadinya gugur buah dan gugur bunga, sehingga

produksi rendah. Bila cahaya kurang akan terjadi etiolasi dan lemah.

Tanaman tomat peka terhadap cekaman air (kekeringan). Tekstur tanah

lempung berdebu dan lempung berpasir sangat ideal untuk tanaman ini terutama

yang strukturnya remah/gembur (Sastrahidayat & Soemarno 1991).

Page 16: A06swa

5

Hama dan Penyakit Utama Kubis

Hama kubis

Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera:Yponomeutidae). P. xylostella adalah

serangga hama dari kelas Lepidoptera yang perkembangan hidupnya memiliki tipe

perkembangan holometabola (metamorfosis sempurna) dengan empat fase hidup

yaitu telur, larva, kepompong dan imago.

Telur P. xylostella berukuran kecil, berwarna putih kekuningan yang pada

umumnya diletakkan pada bagian bawah daun secara tunggal atau kelompok kecil

yang terdiri dari 3-4 butir (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

Larva terdiri dari empat instar. Instar I berukuran sangat kecil (panjangnya

kira-kira 1mm), berwarna putih kekuning-kuningan dengan kulit transparan dan

kepala berwarna kehitam-hitaman. Ulat ini tidak banyak makan dan gerakannya

masih lambat. Instar II berwarna kuning kehijau-hijauan, hidup menyebar di

bawah atau di atas daun tetapi belum banyak makan. Pada instar III warna kulit

bertambah hijau, dan gerakannya bertambah lincah. Pada instar IV atau terakhir

larva sudah tidak banyak makan kembali hingga tidak makan sama sekali.

Umumnya populasi larva P. xylostella tinggi dimusim kemarau (bulan April

sampai bulan Oktober) atau apabila keadaan cuaca kering selama beberapa

minggu (Sastrosiswojo et al. 2000).

Kerusakan oleh hama ini dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun

kuantitas. Gejala kerusakannya berupa jendela-jendela putih pada daun yang

disebabkan aktivitas makan larva terutama larva instar III. Serangan yang berat

dapat mengakibatkan tanaman kubis tidak dapat membentuk krop sehingga

menyebabkan gagal panen (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

Pengendalian P. xylostella pada pertanaman kubis dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Pertama, secara kimiawi dengan menggunakan insektisida selektif

dengan bahan aktif Bacillus thuringiensis seperti Dipel WP, Delfin F, dan

Bactospeine WP. Kedua, cara kultur teknis yaitu dengan pergiliran tanaman atau

tumpang sari, pengaturan waktu tanam serta tanaman perangkap. Ketiga, cara

Page 17: A06swa

6

hayati dengan menggunakan musuh-musuh alami seperti Diadegma semiclausum

dan Apanteles plutellae (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

Crocidolomia pavonana Zell. (Lepidoptera:Pyralidae). Selain kubis, hama

ini juga dapat menyerang tanaman cruciferaceae lain seperti lobak, sawi dan

selada air (Kalshoven 1981).

Imago C. pavonana umumnya meletakkan telur di bagian bawah daun atau

bagian daun yang terlindungi. Telur berbentuk pipih dan diletakkan secara

berkelompok menyerupai genteng rumah, melekat pada permukaan bawah daun.

(Sastrosiswojo et al. 2000).

Larva terdiri dari lima instar dan biasanya berkelompok pada bagian bawah

permukaan daun. Larva instar terakhir memiliki ciri pada bagian dorsal berwarna

hijau (Pracaya 1991). Di lapang larva biasanya menyerang tanaman yang sudah

membentuk krop dan mengarah menuju titik tumbuh.

Pupa terdapat dalam kokon yang terbuat dari butiran tanah dan berbentuk

lonjong dengan stadium + 9 hari. Imago memiliki sayap depan dengan bintik

putih dan sekumpulan sisik berwarna kecoklatan. Imago betina dapat hidup

selama 16-24 hari (Kalshoven 1981). Pengendalian yang dapat dilakukan secara

mekanis dengan mengumpulkan larva dengan tangan, bercocok tanam dengan

sanitasi lapangan, rotasi tanaman, tumpang sari dengan tomat, jagung, dan daun

bawang. Secara kimiawi dengan menggunakan insektisida selektif dengan bahan

aktif Bacillus thuringiensis seperti Dipel WP, Bactospeine WP dan Florbac FC.

Penyakit kubis

Penyakit akar gada. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit penting

pada famili Cruciferae di seluruh dunia. Patogen akar gada dapat menyerang pada

tanaman pertanian maupun tumbuhan liar (Semangun 2000). Kerugian yang

ditimbulkannya sangat besar, bahkan dapat tidak menghasilkan sama sekali

(Djatnika 1993).

Gejala yang umum terlihat atau terjadi pada bagian akar. Akar-akar yang

terinfeksi cendawan ini akan menunjukkan reaksi dengan pembelahan dan

pembesaran sel yang menyebabkan terjadinya bintil atau kelenjar yang tidak

Page 18: A06swa

7

teratur. Selanjutnya bintil-bintil ini bersatu, sehingga menjadi membengkak atau

membesar menyerupai batang (gada) (Semangun 2000).

Penyebab penyakit ini adalah Plasmodiophora brassicae Wor. , Cendawan

ini mempunyai daur hidup yang cukup sulit, dan telah ditemukan oleh Woronin

lebih dari satu abad yang lalu (Semangun 2000). Cendawan ini membentuk spora

tahan, bulat, hialin, dan spora ini dapat berkecambah pada medium yang sesuai,

membengkak sampai mencapai ukuran beberapa kali dari ukuran normal

(Sastrosiswojo et al. 2000).

Penanaman kubis secara terus-menerus akan meningkatkan populasi

Plasmodiophora. Sampai sekarang belum tersedia jenis kubis yang tahan terhadap

penyakit akar gada. Untuk mengendalikan penyakit akar gada ini, dapat dilakukan

dengan pengapuran untuk meningkatkan pH tanah karena cendawan ini tumbuh

dengan baik pada tanah yang masam, atau secara kimiawi dengan menggunakan

pestisida seperti Brassicol (quintozene), Benlate (benomyl), dan sebagainya.

Bercak daun Alternaria. Penyakit ini merupakan penyakit yang menjadi

masalah khususnya pada petsai, dan menyebar luas hampir di seluruh pertanaman

kubis di dunia (Djatnika 1993).

Penyakit bercak daun alternaria ini disebabkan oleh cendawan Alternaria

brassicae atau Alternaria brassicicola. Kedua patogen ini umumnya menyerang

pada daun tua, dengan gejala khas berupa bercak-bercak bulat coklat dan

lingkaran konsentris yang merupakan kumpulan spora. Penyebaran kedua patogen

ini dapat melalui udara atau benih (Semangun 2000).

Miselium A. brassicae bercabang-cabang, bening, halus. Konodiofor dalam

bentuk kelompok 2-10 atau lebih dengan konidianya soliter dan kadang-kadang

membentuk rantai. Miselium A. brassicicola bercabang-cabang, bening dan

kemudian berubah menjadi coklat. Konidifor tunggal atau dalam kelompok 2-12

atau lebih dan bersepta. Konidia relatif lebih pendek dibandingkan dengan konidia

A. brassicae (Djatnika 1993).

Pengendalian dapat dilakukan dengan perlakuan benih yang direndam

dengan air hangat (50 0C) selama 15 menit, jarak tanam yang tidak terlalu rapat

sehingga sirkulasi udara berjalan dengan baik, pergiliran tanaman dengan tanaman

Page 19: A06swa

8

selain kubis-kubisan dan sebagai alternatif terakhir dengan penyemprotan

fungisida yang berbahan aktif benomil.

Busuk hitam. Penyakit ini dikenal dengan nama busuk hitam (black rot),

busuk coklat atau bakteri hawar daun (Djatnika 1993) dan merupakan penyakit

penting di Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia (Semangun 2000).

Gejala diawali dengan serangan pada pori-pori air yang terdapat pada ujung-

ujung tepi daun yang menyebabkan tepi daun berubah menjadi kuning pucat atau

klorosis yang akan meluas kebagian tengah (Endah & Novizan 2002). Gejala khas

penyakit busuk hitam ini adalah adanya bercak kuning yang menyerupai huruf V

di sepanjang pinggir daun yang mengarah ke bagian tengah daun (Djatnika 1993).

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv.

campestris. Bakteri ini berbentuk batang, membentuk rantai, berkapsula, tidak

berspora, dan bergerak dengan satu flagelum polar (Sastrosiswojo et al. 2000).

Patogen dapat bertahan pada biji kubis, dalam tanah atau dalam sisa tanaman sakit

(Semangun 2000).

Pengendalian dapat dilakukan dengan cara mencabut atau memusnahkan

tanaman yang terserang, menjaga kebersihan kebun dari gulma atau sisa-sisa

tanaman sakit dan mengatur sistem drainase dengan baik.

Busuk lunak. Penyakit busuk lunak (soft rot) merupakan penyakit yang

merugikan pada tanaman sayuran termasuk kubis, baik di lapangan maupun di

dalam penyimpanan dan pengangkutan sebagai penyakit pascapanen (Djatnika

1993).

Gejala yang umum terdapat pada tanaman kubis adalah mula-mula pada

bagian yang terinfeksi terjadi bercak kebasahan yang kemudian membesar dan

mengendap dengan bentuk yang tidak teratur berwarna coklat tua kehitaman.

Jaringan yang membusuk pada mulanya tidak berbau tetapi dengan adanya

serangan bakteri sekunder jaringan tersebut menjadi berbau khas yang menyolok

hidung (Sastrosiswojo et al. 2000).

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora pv carotovora

(Jones) Dye. Bakteri berbentuk batang, berukuran 0,7x1,5 µm, tidak membentuk

spora atau kapsula. Bakteri menghasilkan enzim pektinase yang dapat

Page 20: A06swa

9

menguraikan pektin (yang berfungsi untuk merekatkan dinding-dinding sel yang

berdampingan), sehingga dengan terurainya pektin tersebut sel-sel akan terlepas

satu sama lain (Semangun 2000).

Pengendalian dapat dilakukan dengan mengatur jarak tanam yaitu menanam

dengan jarak yang tidak terlalu rapat untuk menghindarkan kelembaban yang

tinggi atau pengendalian pascapanen yang dilakukan dengan mencuci tanaman

dengan air yang mengandung klorin, mengurangi terjadinya luka dalam

penyimpanan dan dan pengangkutan serta menyimpannya dalam ruang yang

cukup kering/kelembaban rendah.

Hama dan Penyakit Utama Tomat

Hama tomat Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera:Noctuidae). Serangga ini

memiliki tipe perkembangan holometabola (sempurna) yaitu telur-larva-pupa-

imago. Telur berbentuk seperti kubah, berwarna kekuningan yang diletakkan

dipermukaan buah. Larva yang sudah dewasa memiliki warna yang beragam

mulai dari hitam, coklat, hijau, kuning atau jingga muda. Pupa berwarna coklat

terang dan berada di dalam tanah (Pracaya 1991).

Gejala kerusakan yang disebabkan oleh larva yang bersifat polifag. H.

armigera merupakan hama penggerek buah tomat yang menyerang buah tomat

muda dan buah yang menjelang masak. Ulat ini melubangi kulit buah dan masuk

ke dalam buah (Endah & Novizan 2002). Pengendalian dapat dilakukan dengan

pengolahan tanah sebelum penanaman sehingga dapat membunuh pupa yang ada

dalam tanah, pengaturan jarak tanam, penggunaan musuh alami, dan pengendalian

secara kimiawi dengan menggunakan insektisida dengan dosis dan waktu yang

tepat.

Page 21: A06swa

10

Penyakit tomat

Busuk daun. Penyakit busuk daun (late leaf blight) merupakan penyakit

yang penting, khususnya pada musim hujan. Biasanya penyakit terjadi pada

pertanaman tomat di dataran tinggi. Penyebab penyakit adalah cendawan

Phytophthora infestans (Mont.) d By. Cendawan ini memiliki sporangiofor yang

secara berturut-turut membentuk sporangium di bagian ujungnya. Sporangium

yang disebarkan oleh angin, biasanya tumbuh dengan membentuk spora kembara

(zoospora) (Semangun 2000).

Gejala terlihat dengan timbulnya bercak hitam kecoklatan atau keunguan

mulai dari bagian anak daun, tangkai atau batang. Perkembangan bercak dapat

meluas dengan cepat sehingga dapat menyebabkan kematian pada tanaman dalam

keadaan kelembapan nisbi yang tinggi. Pada buah penyakit juga dapat timbul

dengan terdapatnya bercak berwarna hijau kelabu kebasah-basahan meluas

menjadi bercak dengan bentuk dan besarnya yang tidak teratur. Kadang-kadang

bercak mempunyai cincin-cincin (Endah & Novizan 2002).

Busuk daun tomat hanya merupakan masalah berat di dataran tinggi pada

musim hujan, karena P. infestans dapat tumbuh dengan baik pada kelembapan

nisbi yang tinggi dengan suhu yang rendah. Pengendalian dapat dilakukan secara

kimiawi dengan menggunakan pestisida Tomafol 80 WP (kaptafol) atau Dithane

M-45 (mankozeb) dengan kadar 0,25% sampai 0,3%. Untuk meningkatkan

efektifitasnya pestisida dapat ditambah dengan bahan perekat terutama pada

musim hujan.

Bercak cokelat. Penyakit bercak cokelat atau bercak kering (early leaf

blight), merupakan penyakit daun yang umum ditemukan di berbagai negara

penanam tomat (Semangun 2000). Selain tomat penyakit ini juga terjadi pada

tanaman kentang.

Gejala berupa munculnya bercak-bercak kecil, bulat atau bersudut, berwarna

cokelat tua sampai hitam. Pada serangan berat, terdapat banyak bercak, daun akan

cepat menjadi tua, layu atau gugur sebelum waktunya.

Penyakit ini disebabkan oleh Alternaria solani Sor. Miselium berwarna

gelap. Konidiofor keluar dari jaringan tanaman sakit, berwarna gelap dan lebih

Page 22: A06swa

11

pendek, konidium berbentuk seperti buah murbei, gelap, tunggal atau membentuk

rantai dua-dua. Konidium mudah lepas dan terutama disebarkan oleh angin. A.

solani dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit atau biji.

Pengendalian dilakukan dengan cara memberikan pupuk yang seimbang

sehingga tanaman dapat tumbuh optimal, memangkas tanaman yang terserang,

serta memusnahkan sisa-sisa tanaman di kebun. Pengendalian secara kimiawi

dapat dilakukan dengan menggunakan fungisida Anvil 50 SC atau Score 250 EC

(Endah & Novizan 2002).

Sistem Budidaya Pertanian Konvensional

Penggunaan pestisida yang dilakukan secara terus-menerus tanpa

memperhitungkan akumulasi residu yang akan diterima manusia dan hewan

(lingkungan), merupakan konsep pemberantasan hama yang telah lama dianut

oleh para petani. Dimulai dengan sejarah perkembangan agribisnis yang berawal

dari revolusi pertanian di Eropa yang terjadi pada tahun 1750-1880 M (Kusnaedi

1999). Dari sinilah sejarah pertanian mulai berkembang menjadi pertanian

komersial yang menerapkan teknologi dan menekan berbagai faktor pembatasnya,

termasuk pengendalian hama.

Selanjutnya terjadi perkembangan pengendalian hama dengan penggunaan

DDT (dikloro difenil tricloroetana), yang hampir digunakan di seluruh dunia.

Bersamaan dengan hal tersebut industri pestisida mengalami kemajuan yang

sangat pesat. Pada saat itu pengendalian hama dengan penggunaan pestisida yang

berbahan kimia dianggap cara yang paling aman dan baik (Ekha 1988).

Pengendalian hama dan penyakit (patogen) yang dilakukan dengan

penggunaan pestisida dan pupuk sintetik, saat ini dikenal sebagai sistem pertanian

konvensional. Umumnya titik berat pengendalian hama dan penyakit (patogen)

yang dilakukan oleh petani tanaman sayuran (khususnya) masih pada penggunaan

pestisida sintetik.

Sistem pertanian di Indonesia hingga saat ini masih bersifat konvensional.

Para petani menggunakan pestisida sintetik untuk mengendalikan OPT yang

Page 23: A06swa

12

sering menyerang pertanamannya. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan

akan hasil pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang baik, para petani

menggunakan pestisida untuk pemeliharaan tanaman dari serangan OPT tanpa

memperhatikan aspek-aspek kesehatan lingkungan sekitar.

Penyemprotan pestisida dilakukan sebelum terjadinya serangan OPT dengan

jadwal tertentu (secara berjadwal). Penggunaan pestisida secara konvensional

yang dilakukan oleh petani selama ini menimbulkan dampak negatif yang sangat

merugikan seperti: terjadinya resistensi hama terhadap insektisida, terjadinya

resurgensi atau peledakan populasi hama, tingkat residu yang tinggi pada produk-

produk pertanian sehingga tidak aman untuk dikonsumsi, selain itu musnahnya

serangga bukan sasaran sehingga mengganggu ekosistem.

Sistem Budidaya Pertanian Input Rendah

Pemahaman ilmiah tentang sistem budidaya input rendah atau LEISA (Low

External Input Sustainable Agriculture) masih sangat dini. Namun, pengetahuan

dan pengalaman yang dicapai sejauh ini dalam studi agroekologi, pertanian asli

setempat di daerah tropis dan pertanian ekologis di seluruh dunia menunjukkan

beberapa prinsip ekologi mendasar yang membimbing proses pengembangan

LEISA.

LEISA memiliki prinsip-prisip dasar yaitu, 1) menjamin kondisi tanah yang

mendukung bagi pertumbuhan tanaman. Proses-proses fisik, kimiawi dan biologis

dalam tanah sangat dipengaruhi oleh iklim kehidupan tanaman dan hewan serta

manusia. Oleh sebab itu petani harus menyadari bagaimana proses-proses ini

dipengaruhi dan dapat dimanipulasi guna membudidayakan tanaman yang sehat

dan produktif. Dengan menciptakan atau mempertahankan kondisi-kondisi tanah

seperti ketersediaan air, udara, dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah seimbang

dan mencukupi, struktur tanah, suhu tanah, dan tidak adanya unsur-unsur toksik.

2) mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur

hara, 3) meminimalkan kerugian, 4) meminimalkan serangan hama dan penyakit

(patogen) pada tanaman, 5) serta saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan

Page 24: A06swa

13

sumber genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu

dengan tingkat keragaman fungsional yang tinggi (Reijntjes et al. 1999).

Dengan prisip-prinsip tersebut pertanian yang dilakukan harus

memperhatikan kesehatan lingkungan dan menjaga keseimbangan alam agar dapat

berjalan dengan baik. Meskipun dalam LEISA ini masih adanya penggunaan

bahan-bahan kimia (pupuk & pestisida), namun dengan frekuensi maupun dosis

seminimal mungkin dari pertanian konvensional. Oleh karena itu LEISA

merupakan alternatif pertanian berkelanjutan, pertanian yang menghasilkan

produk-produk yang relatif lebih baik, aman dan menjaga kesehatan lingkungan

menuju pertanian organik yang bebas dari penggunaan bahan-bahan kimia yang

berbahaya bagi manusia.

Sistem Budidaya Pertanian Organik

Pertanian organik merupakan teknik pertanian yang tidak menggunakan

bahan kimia sintetik, tetapi memakai bahan-bahan organik (Pracaya 2003). Pada

saat ini pertanian organik merupakan alternatif untuk penanggulangan persoalan

lingkungan yang sangat diperlukan.

Persoalan besar yang terjadi disebabkan karena pencemaran tanah, air,

udara, sehingga menyebabkan terjadinya degradasi dan kehilangan sumber daya

alam serta penurunan produktivitas tanah. Pertanian berbasis kimia yang

mempunyai ketergantungan cukup besar pada pupuk dan pestisida telah

mempengaruhi kualitas dan keamanan bahan yang dihasilkan.

Pertanian organik memiliki prinsip ekologi seperti memperbaiki kondisi

tanah, mengoptimalkan ketersediaan dan keseimbangan hara, membatasi

terjadinya kehilangan hasil akibat serangan OPT dengan melaksanakan usaha

preventif, serta penggunaan pestisida botani yang ramah lingkungan.

Page 25: A06swa

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung

Kabupaten Bogor, Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga,

Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Laboratorium Biosistematika Serangga,

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai

dari bulan September sampai bulan Desember 2005.

Metode Penelitian

Persiapan lahan

Petak-petak berukuran 6 m x 7 m dibuat dalam enam bedengan yang

digunakan untuk tanaman kubis dan tomat yang ditanam secara monokultur dan

polikultur (tumpang sari) pada setiap lahan atau petak seperti : organik

monokultur (OM), organik tumpang sari (OT); low input/input rendah monokultur

(LM), low input/input rendah tumpang sari (LT); konvensional monokultur (KM),

dan konvensional tumpang sari (KT). Setiap perlakuan diulang sebanyak empat

kali. Luas lahan yang digunakan 444 m2 untuk lahan organik, 444 m2 untuk lahan

input rendah dan 595 m2 untuk lahan konvensional. Pada setiap lahan diberikan

dolomit (kapur) yang bertujuan untuk meningkatkan pH tanah agar tanaman dapat

tumbuh dengan baik.

Persemaian benih kubis dan tomat

Benih kubis yang digunakan yaitu varietas “Grand 11” dan benih tomat

varietas “Artaloka”. Benih kubis maupun tomat disemai di dekat lahan yang akan

digunakan dalam percobaan yang berukuran + 3 m x 1 m, selama + 4-6 minggu.

Dua minggu setelah semai, dilakukan pembumbungan terhadap bibit-bibit

tersebut yang terbuat dari daun pisang dengan satu bibit per bumbung.

Page 26: A06swa

15

Penanaman bibit kubis dan tomat

Penanaman dilakukan secara polikultur dan monokultur untuk setiap lahan

(konvensional, input rendah, dan organik). Polikultur dilakukan dengan menanam

dua baris tanaman kubis dibagian pinggir bedengan dan satu baris tanaman tomat

dibagian tengah bedengan. Tomat ditanam lebih awal yaitu 2 minggu sebelum

penanaman kubis.

Pada 1 minggu setelah tanam (MST) bibit tomat maupun kubis yang kurang

baik di lapangan, diganti atau disulam dengan bibit yang baru agar diperoleh

tanaman yang baik.

Penggunaan pupuk

Konvensional. Pada lahan konvensional pupuk yang digunakan adalah

pupuk kandang (kotoran kuda) dengan dosis 10 ton/ha, pupuk yang diberikan

hanya satu kali yaitu pada saat 1 minggu sebelum tanam. Pupuk kimia yaitu urea

400 kg/ha, dan NPK 1000 kg/ha diberikan sebanyak dua kali, pada 2 MST dan 4

MST.

Input rendah (LEISA). Pada lahan percobaan untuk perlakuan input

rendah digunakan pupuk kandang (kotoran kuda) dengan dosis 30 ton/ha

diberikan satu kali pada saat 1 minggu sebelum tanam, sedangkan pupuk kimia

dengan dosis ½ dari perlakuan konvensional yaitu Urea 200 kg/ha, dan NPK 500

kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak 2 kali, pada 2 MST dan 4 MST.

Organik. Pada lahan organik pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang

(kotoran kuda) dengan dosis 50 ton/ha, diberikan sebanyak 1 kali pada saat 1

minggu sebelum tanam.

Aplikasi pestisida/penyemprotan

Konvensional. Pestisida yang digunakan adalah pestisida sintetik yang

diaplikasikan secara berjadwal setiap satu minggu sekali dari mulai tanam sampai

satu minggu sebelum panen (+ 11 kali). Pestisida diberikan sesuai hama maupun

patogen penyakit (sasaran) yang menyerang kubis atau tomat. Pestisida yang

digunakan adalah Curacron 500 EC dengan konsentrasi 1 ml/l; Antracol 80 WP

Page 27: A06swa

16

konsentrasi 1 ml/l; Decis 2,5 EC konsentrasi 0,5 cc/l dan Dithane M-45

konsentrasi 1 ml/l.

Input rendah (LEISA). Pada lahan input rendah pestisida yang digunakan

adalah pestisida sintetik dengan frekuensi penyemprotan pestisida dikurangi atau

seminimal mungkin yaitu 1 kali penyemprotan pada saat tanaman berumur 1

MST sebagai langkah pencegahan atau penekanan terhadap serangan hama dan

penyakit. Pestisida yang digunakan adalah Curacron 500 EC dengan konsentrasi 1

ml/l dan Antracol 80 WP dengan konsentrasi 1 ml/l.

Organik. Pada lahan organik dilakukan aplikasi atau penyemprotan

pestisida, berupa pestisida nabati yaitu formulasi FTI-1 yang mengandung ekstrak

Aglaia odorata (pacar cina) dan Swietenia mahogani (mahoni) dengan konsentrasi

0,1% yang diberikan pada saat serangan hama sudah mencapai ambang ekonomi

yaitu 5 larva/10 tanaman contoh (Plutella xylostella) atau tiga kelompok telur/10

tanaman contoh (Crocidolomia pavonana) (Sastrosiswojo et al. 2000). Teknik

pengendalian lain yang digunakan adalah pengendalian secara mekanis, yang

dilakukan pada saat serangan hama masih dibawah ambang ekonomi (AE).

Pengamatan hama, penyakit dan musuh alami

Pengamatan hama, penyakit dan musuh alami dilakukan setiap satu minggu

sekali mulai dari 2 MST sampai panen. Pada petak contoh dilakukan pemilihan

tanaman contoh secara diagonal. Jumlah tanaman contoh yang diamati adalah 10

tanaman/petak secara acak. Bagian tanaman yang diamati adalah keseluruhan

bagian tanaman yang dapat diserang hama dan penyakit.

Hama. Pengamatan hama pada tanaman kubis dan tomat dilakukan dengan

menghitung populasi hama tersebut pada tanaman contoh yang telah ditentukan

sebelumnya dari awal penanaman hingga panen.

Penyakit. Pengamatan penyakit pada kubis dan tomat dilakukan dengan

melihat gejala yang telah muncul atau terlihat secara langsung dari awal

penanaman hingga panen.

Arthropoda tanah. Pengamatan arthropoda tanah dilakukan dengan

menggunakan perangkap pit fall selama 5 minggu berturut-turut sejak tanaman

Page 28: A06swa

17

P = luas serangan penyakit/hama (%) n = jumlah tanaman yang terserang N = jumlah seluruh tanaman contoh yang diamati

berumur 3 MST. Pemasangan perangkap pit fall dilakukan 3 hari sebelum

pengamatan dilakukan, dengan lokasi yang telah ditentukan secara acak sebanyak

4 perangkap setiap petak perlakuan.

Perangkap pit fall ini dilakukan dengan menggunakan gelas plastik yang berisi

cairan formalin 70 % yang diencerkan dengan perbandingan 1:2 (v/v). Cairan

formalin berfungsi sebagai bahan pengawet sementara, agar arthropoda yang

terperangkap tidak cepat membusuk. Gelas tersebut dipendam dalam tanah

sehingga arthropoda yang merayap di permukaan tanah akan terperangkap jatuh

ke dalam gelas. Untuk mencegah masuknya air hujan ke dalam gelas, dipasang

naungan terbuat dari seng yang disangga dengan bambu berukuran + 18 cm dan

ujungnya ditempelkan dengan paku agar tidak terbawa angin. Arthropoda tanah

yang diperoleh diidentifikasi di Laboratorium Biosistematika Serangga IPB.

Parasitisasi serangga (musuh alami). Pengamatan dilakukan pada

tanaman kubis dengan mengambil sampel larva serangga hama yang terdapat di

lapangan sebanyak + 20 larva/petak ulangan pada setiap lahan (konvensional,

input rendah, organik), selama 5 minggu berturut-turut mulai tanaman berumur 3

MST. Larva yang diperoleh dimasukkan ke dalam kotak plastik dan dipelihara di

Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga selama + 2-3 minggu atau

sampai imago baik parasitoid maupun serangga hama tersebut muncul. Kemudian

dihitung persen parasitisasinya dengan menggunakan rumus:

Σ Larva inang terparasit

% Parasitisasi = x 100 % Σ Larva inang contoh yang dikoleksi Perhitungan intensitas dan luas serangan hama dan penyakit

Luas serangan hama dan penyakit dihitung dengan rumus :

n P = N

x 100%

Page 29: A06swa

18

Intensitas serangan hama dan penyakit dihitung dengan rumus Townsend & Hauberger (1943 dalam Unterstenhofer 1976) :

Nilai kategori serangan untuk penyakit adalah sebagai berikut

(Sastrosiswojo et al. 2000):

0 = tidak ada serangan sama sekali (sehat) 1 = luas kerusakan 0 < x < 10 % 2 = luas kerusakan 10 < x < 20 % 3 = luas kerusakan 20 < x < 40 % 4 = luas kerusakan 40 < x < 60 % 5 = luas kerusakan 60 < x < 100 %

∑(ni.vi) I =

N.Z x 100%

I = Intensitas serangan penyakit/hama (%) ni = jumlah contoh pada kategori ke-i vi = nilai numerik masing-masing kategori Z = nilai skala tertinggi N = jumlah tanaman contoh yang diamati

Page 30: A06swa

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Penelitian

Desa Sukagalih merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di

Kecamatan Megamendung, yang berada pada ketinggian + 1000-1500 m dpl.

Ketinggian daerah ini sangat sesuai untuk pertanaman sayuran seperti kubis dan

tomat. Jenis tanaman yang banyak diusahakan sebagian besar adalah sayuran

seperti kubis, tomat, wortel, bawang daun, caisin, kacang panjang, buncis dan

lain-lain. Hasil pertanian tersebut umumnya dijual kepada tengkulak dan sebagian

dijual langsung ke pasar.

Petani umumnya mengusahakan tanamannya secara monokultur sepanjang

musim, namun saat ini para petani sudah melakukan pertanian dengan sistem

tumpang sari atau polikultur. Sistem tumpang sari ini merupakan pengendalian

hama secara bercocok tanam yang telah lama dikenal dan dipraktekkan di

Indonesia dan belakangan ini semakin digalakkan pelaksanaannya. Selain itu

dapat dipadukan dengan sistem budidaya yang merupakan alternatif pilihan

terbaik yaitu pertanian input rendah dengan pengurangan penggunaan bahan-

bahan kimia baik pupuk maupun pestisida yang digunakan, atau pertanian organik

yang merupakan pilihan terbaik saat ini, karena tanpa penggunaan bahan-bahan

kimia sehingga relatif lebih aman terhadap lingkungan dan aman bagi manusia.

Hama dan Tingkat Parasitisasi (Musuh Alami) pada kubis

Hama yang ditemukan pada tanaman kubis yaitu Plutella xylostella

(Lepidoptera:Yponomeutidae) dan Crocidolomia pavonana (Lepidoptera:

Pyralidae) sebagai hama utama, hama lainnya adalah Phyllotreta sp.

(Coleoptera:Chrysomelidae), Hellula undalis (Lepidoptera:Pyralidae), Spodoptera

spp. (Lepidoptera:Noctuidae) dan Agrotis ipsilon (Lepidoptera:Noctuidae).

P. xylostella (Lepidoptera:Yponomeutidae). Serangan hama ini dijumpai

pada semua tanaman contoh, dengan rata-rata populasi larva yang ditemukan

bervariasi pada setiap petaknya. Rata-rata populasi tertinggi terdapat pada lahan

organik monokultur (Gambar 1) pada 5 MST (1,17 ekor/tanaman). Selain itu pada

lahan input rendah dan konvensional terlihat bahwa rata-rata populasi hama P.

Page 31: A06swa

20

xylostella lebih tinggi pada lahan monokultur dibandingkan pada lahan tumpang

sari. Hal ini menunjukan bahwa penanaman secara monokultur atau kubis saja

dapat membuat populasi hama semakin stabil artinya fluktuasi populasi melonjak

tinggi dalam periode pendek (Sastrosiswojo et al. 2000). Hal tersebut karena

makanan tersedia secara berkesinambungan. Pada lahan organik tumpang sari

rata-rata populasi hama P. xylostella pada 5 MST jauh lebih rendah (0,45

ekor/tanaman) dibandingkan organik monokultur, hal ini menunjukan adanya

pengaruh tanaman tomat yang berperan sebagai repellent (penolak) dengan

menghasilkan bahan kimia yang dapat menghambat imago P. xylostella betina

meletakkan telur pada tanaman kubis (Sastrosiswojo et al. 2000).

Gambar 1 Populasi Plutella xylostella (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Pada lahan konvensional penyebaran populasi yang terjadi tidak terlalu

tinggi karena adanya penyemprotan insektisida secara berjadwal sehingga

populasi P. xylostella dapat dikendalikan. Sementara itu pada lahan input rendah

rata-rata populasi P. xylostella setiap minggu meningkat namun masih lebih

rendah dari lahan organik maupun konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa

meskipun penggunaan bahan-bahan kimia sintetik (pupuk&pestisida) dikurangi

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

I 2 3 4 5 6 7 8 9

Minggu Setelah Tanam (MST)

Popu

lasi

(eko

r/ ta

nam

an)

OMOTLMLTKMKT

Page 32: A06swa

21

populasi hama dan dampak negatif yang dapat mengganggu keseimbangan alam

dapat ditekan.

C. pavonana (Lepidoptera: Pyralidae). Hasil pengamatan menunjukkan

bahwa serangan C. pavonana hampir selalu ditemukan pada setiap petak yang

diamati. Populasi tertinggi terjadi pada lahan input rendah monokultur (6,42

ekor/tanaman) pada saat tanaman berumur 8 MST, karena C. pavonana ini lebih

suka menyerang tanaman yang telah membentuk krop. Sementara itu pada lahan

input rendah tumpang sari populasi C. pavonana yang ditemukan selalu lebih

rendah dari lahan input rendah monokultur.

Gambar 2 Populasi Crocidolomia pavonana (ekor/tanaman) pada sistem

pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Pada lahan organik rata-rata populasi C. pavonana yang ditemukan pada

pertanaman kubis tumpang sari berbeda nyata pada 5 MST (2,15 ekor/tanaman)

dibandingkan dengan pertanaman monokultur (0,05 ekor/tanaman). Hal ini

kemungkinan dikarenakan pada pertanaman tumpang sari, tanaman tomat yang

ditanam sebagai tanaman repellent (penolak) terserang oleh penyakit sehingga

fungsinya sangat berkurang, akibatnya tanaman kubis rentan terhadap serangan

hama tersebut. Pada lahan konvensional tumpang sari rata-rata populasi C.

0

1

2

3

4

5

6

7

I 2 3 4 5 6 7 8 9

Minggu Setelah Tanam (MST)

Popu

lasi

(eko

r/tan

aman

)

OMOTLMLTKMKT

Page 33: A06swa

22

pavonana setiap minggunya mengalami kenaikan, sedangkan pada pertanaman

monokultur mengalami penurunan pada saat tanaman menjelang panen.

Tingkat Parasitisasi (Musuh Alami). Salah satu pengendalian hama yang

penting adalah pengendalian hayati dengan pemanfaatan musuh alami hama

tersebut. Musuh alami yang dimaksud adalah parasitoid, predator dan patogen

penyakit. Dalam penelitian ini, musuh alami yang ditemukan adalah parasitoid.

Parasitoid yang ditemukan pada larva P. xylostella, sedangkan pada larva C.

pavonana tidak ditemukan.

Parasitoid yang ditemukan adalah Diadegma sp. yang merupakan musuh

alami/parasitoid larva paling penting bagi hama P. xylostella di Indonesia

(Sastrosiswojo et al. 2000). Tingkat parasitisasi Diadegma sp. relatif sangat tinggi

hingga mencapai lebih dari 80%. Pada lahan organik tumpang sari (OT) tingkat

parasitisasi mencapai 100% pada sampel minggu ke-2 dan ke-4 (Tabel 1), hal ini

menunjukkan Diadegma sp. dapat berkembang dengan baik karena tidak adanya

penggunaan bahan-bahan kimia (pestisida sintetik) yang dapat membunuh

parasitoid tersebut. Dengan demikian keseimbangan alam dapat terjaga dan relatif

lebih aman terhadap lingkungan. Sedangkan pada sampel lahan organik

monokultur (OM) tingkat parasitisasi tidak mencapai 100%, hal ini menunjukkan

adanya pengaruh dari sistem penanaman.

Pada sampel lahan input rendah maupun lahan konvensional tingkat

parasitisasi bervariasi. Tingkat parasitisasi pada lahan input rendah monokultur

(LM) dan konvensional tumpang sari (KT) semakin meningkat setiap minggunya,

sedangkan pada lahan input rendah tumpang sari (LT) dan konvensional

monokultur (KM) semakin menurun.

Page 34: A06swa

23

Tabel 1 Tingkat parasitisasi (%) P. xylostella oleh Diadegma sp.

Minggu ke- Perlakuan I II III IV V

OM*) 24,4 77,8 84,6 91,7 83,3 OT*) 50 100 84,8 100 0 LM*) 33,3 59,7 68,5 61,9 100 LT*) 55,5 75,5 69,9 44,2 0 KM*) 100 58,33 75,96 56,25 52,38 KT*) 0 56,11 81,04 63,24 100

*) OM = organik monokultur; OT = organik tumpang sari; LM = low monokultur; LT = low tumpang sari; KM = konvensional monokultur; KT = konvensional tumpang sari

Pada lahan konvensional monokultur (KM) tingkat parasitisasi semakin

menurun setiap minggunya dikarenakan adanya penggunaan bahan-bahan kimia

atau penyemprotan pestisida secara berjadwal yang kemungkinan dapat

membunuh parasitoid Diadegma sp.

Tabel 2 Tingkat parasitisasi P. xylostella (%) oleh Apanteles sp.

Minggu ke- Perlakuan I II III IV V

OM*) 39.9 0 3.7 0 0 OT*) 25 0 7.5 0 0 LM*) 44.4 0 3.7 0 0 LT*) 0 6.7 13.3 0 0 KM*) 0 0 9.8 0 0 KT*) 100 8.3 5.6 0 0

*) OM = organik monokultur; OT = organik tumpang sari; LM = low monokultur; LT = low tumpang sari; KM = konvensional monokultur; KT = konvensional tumpang sari

Parasitoid lainnya yang ditemukan adalah Apanteles sp. dengan tingkat

parasitisasi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan Diadegma sp. (Tabel

2). Kemampuan mencari larva P. xylostella lebih rendah jika dibandingkan

dengan Diadegma sp. Di Indonesia keberadaan parasitoid Apanteles sp. kalah

bersaing dengan Diadegma sp. (Sastrosiswojo et al. 2000).

Meskipun demikian, Apanteles sp. merupakan musuh alami yang berperan

penting dalam pengendalian hama P. xylostella. Tingkat parasitisasi tertinggi

terjadi pada sampel dari lahan konvensional tumpang sari (KT). Pada pengamatan

minggu ke-1 tingkat parasitisasi pada lahan konvensional tumpang sari mencapai

100%, pada lahan input rendah monokultur (LM) 44,4% dan organik monokultur

Page 35: A06swa

24

(OM) 39,9%. Namun dari 5 kali pengambilan sampel dilapang, tingkat parasitisasi

oleh Apanteles sp. hanya terjadi sampai minggu ke-3, hal ini diduga oleh karena

kemampuannya menemukan larva P. xylostella lebih rendah dibandingkan dengan

Diadegma sp.

Penyakit Tanaman Kubis

Penyakit yang ditemukan pada kubis adalah penyakit busuk hitam yang

disebabkan oleh X. Campestris pv. campestris, bercak daun oleh Alternaria sp.

dan akar gada oleh Plasmodiophora brassicae.

Penyakit busuk hitam. Penyakit ini disebabkan oleh X. campestris pv.

campestris (Pamm.) Dows. Intensitas serangan X. campestris pv. campestris

sangat bervariasi dari waktu ke waktu (Gambar 3). Intensitas serangan tertinggi

terjadi pada lahan input rendah monokultur (19,6 %) pada saat tanaman berumur 8

MST (2 bulan).

Gambar 3 Intensitas serangan Xanthomonas campestris pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Kubis yang ditanam secara tumpang sari, intensitas serangan penyakit busuk

hitam lebih rendah dibandingkan dengan kubis yang ditanam secara monokultur.

0

5

10

15

20

25

I 2 3 4 5 6 7 8 9

Minggu Setelah Tanam (MST)

Inte

nsita

s se

rang

an (%

)

OMOTLMLTKMKT

Page 36: A06swa

25

Hal ini diduga karena sistem penanaman dengan tomat (tanaman bukan anggota

cruciferae) memberikan jarak yang lebih besar antar tanaman sehingga tidak

terjadi kontak antar daun dan iklim mikro mejadi kurang lengkap.

Gambar 4 Gejala penyakit busuk hitam di lapangan (kiri), koloni bakteri X.

campestris pada media YDC (kanan).

Bercak Daun Alternaria. Serangan Alternaria sp. ditemukan pada setiap

petak yang diamati dengan intensitas serangan yang bervariasi setiap minggunya.

Namun pada umumnya luas dan intensitas serangan Alternaria sp. lebih rendah

pada kubis yang berumur lebih tua (Gambar 5). Luas dan intensitas serangan

tertinggi terjadi pada lahan input rendah monokultur (16%) pada tanaman kubis

yang berumur 5 MST. Pada umur tersebut tanaman rentan terhadap serangan

Alternaria sp., sehingga terjadi peningkatan infeksi yang diikuti oleh akumulasi

inokulum di lapangan.

Pada tanaman kubis yang ditanam secara tumpang sari (organik, input

rendah dan konvensional) dengan tanaman tomat, luas dan intensitas serangan

Alternaria sp. lebih rendah dibanding pada sistem monokulutur. Dari hasil

tersebut terlihat bahwa tanaman tomat mampu menekan penyebaran dari

Alternaria sp. Hal ini diduga karena pada sistem polikultur dengan adanya

tanaman tomat di barisan tengah bedengan maka penyebaran dan infeksi patogen

menjadi terhambat atau terhalang.

Page 37: A06swa

26

Gambar 5 Intensitas serangan Alternaria sp. pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Akar gada. Penyakit akar gada ditemukan pada setiap petak dengan

intensitas serangan bervariasi disetiap petaknya. Intensitas serangan tertinggi

terjadi pada lahan organik (OT) yaitu sebesar 19,4% (Tabel 3). Tingginya

intensitas serangan diduga karena penggunaan pupuk kandang (kotoran kuda)

pada lahan organik paling banyak, dan tingkat kematangan pupuk tersebut belum

cukup sehingga tingkat kemasamannya tinggi. Hal ini tampak dengan semakin

tinggi dosis pupuk (pupuk kandang) yang digunakan, intensitas serangan semakin

tinggi (Tabel 3). Alat-alat pertanian dan faktor lingkungan seperti angin atau air

juga dapat memperluas penyebaran Plasmodiophora brassicae (Permadi &

Sastrosiswojo 1993). Selama penelitian ini curah hujan cukup tinggi (Tabel

Lampiran 9)

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

I 2 3 4 5 6 7 8 9

Minggu Setelah Tanam (MST)

Inte

nsita

s se

rang

an (%

)

OMOTLMLTKMKT

Page 38: A06swa

27

Tabel 3 Intensitas serangan Plasmodiophora brassicae pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Perlakuan Intensitas serangan (%) OM*) 18,24 OT*) 19,4 LM*) 7,60 LT*) 6,25 KM*) 3,07 KT*) 3,22

*) OM = organik monokultur; OT = organik tumpang sari; LM = low monokultur; LT = low tumpang sari; KM = konvensional monokultur; KT = konvensional tumpang sari

Pada tabel 3 terlihat bahwa intensitas serangan pada lahan input rendah

monokultur (LM) sebesar 7,6 %, sedangkan pada lahan input rendah tumpang sari

(LT) sebesar 6,2 % (LT). Intensitas serangan paling rendah terjadi pada lahan

konvensional monokultur (KM) dan konvensional tumpangsari (KT) yaitu

berturut-turut 3,1 % dan 3,2 %. Penyemprotan fungisida yang dilakukan pada

kedua lahan tersebut kemungkinan berpengaruh dalam menekan populasi patogen.

(a) (b) (c)

Gambar 6 (a) Gejala serangan Alternaria spp. pada daun kubis, (b) Konidia Alternaria spp. (c) Gejala penyakit akar gada.

Hama dan Penyakit Tanaman Tomat

Hama pada tanaman tomat yang ditemukan yaitu Bemisia sp., sedangkan

penyakit yang ditemukan adalah penyakit busuk daun yang disebabkan oleh

Phytophthora infestans, penyakit bercak coklat oleh Alternaria solani.

Bemisia sp. Hama yang ditemukan pada tanaman tomat yaitu Bemisia sp.

yang telah diketahui sebelumnya sebagai vektor virus (gemini) pada tanaman

tomat. Rata-rata populasi Bemisia sp. yang ditemukan cukup tinggi dari awal

hingga akhir pengamatan (Gambar 7). Populasi hama ini mengalami peningkatan

Page 39: A06swa

28

yang cukup tinggi hingga akhir pengamatan (10 MST) pada setiap lahannya

(organik, input rendah dan konvensional), dan pada 7 MST tomat menunjukan

adanya gejala daun yang mulai mengkerut dan mengeriting yang diduga

disebabkan oleh virus yang dibawa oleh Bemisia sp. tersebut. Rata-rata populasi

tertinggi pada lahan input rendah (21,92 ekor/tanaman) dan pada lahan

konvensional (17,27 ekor/tanaman), sedangkan pada lahan organik (5

ekor/tanaman) umumnya mengalami penurunan rata-rata populasi Bemisia sp. dan

selalu lebih rendah dari dua lahan budidaya lainnya (konvensional dan input

rendah). Penggunaan bahan-bahan kimia khususnya pestisida (sintetik) yang

digunakan diduga menyebabkan terjadinya resurjensi dan resistensi terhadap

hama tersebut

Gambar 7 Populasi Bemisia sp. (ekor/tanaman) pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Penyakit busuk daun. Penyakit busuk daun ini disebabkan oleh

Phytophthora infestans yang dapat timbul pada semua tingkat perkembangan

tanaman (daun maupun buah). P. infestans mulai menyerang pada saat tanaman

berumur 1,5 bulan (6 MST) pada semua petak lahan (organik, input rendah dan

konvensional) yang diamati.

0

5

10

15

20

25

3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu Setelah Tanam (MST)

Popu

lasi

(eko

r/tan

aman

)

OTLTKT

Page 40: A06swa

29

Luas dan intensitas serangan P. infestans setiap minggunya meningkat

hingga akhir pengamatan (panen). Luas dan intensitas serangan tertinggi terjadi

pada lahan organik sebesar 97,9%, sedangkan pada lahan konvensional sebesar

80,1% dan lahan input rendah sebesar 72,3% (Gambar 8). Adanya aplikasi

fungisida Dithane M-45 yang dilakukan pada lahan konvensional dan input

rendah dapat menekan infeksi akibat P. infestans ini. Secara umum serangan P.

infestans pada ketiga lahan sangat tinggi, hal ini dikarenakan oleh faktor

lingkungan yaitu kelembaban yang tinggi dengan curah hujan yang cukup tinggi

sehingga mendukung perkembangan patogen.

Gambar 8 Intensitas serangan Phytophthora infestans pada sistem pertanian

organik, input rendah dan konvensional.

Pada lahan organik, intensitas serangannya paling tinggi dibandingkan pada

lahan konvensional dan input rendah karena di sekitarnya banyak terdapat pohon-

pohon besar (seperti: pohon bambu) sehingga sinar matahari yang masuk atau

diterima oleh tanaman lebih sedikit daripada pada lahan input rendah maupun

organik.

0

20

40

60

80

100

120

3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu Setelah Tanam (MST)

Inte

nsita

s se

rang

an (%

)

OTLTKT

Page 41: A06swa

30

Gambar 9 Gejala serangan P. infestans

Bercak Daun. Serangan Alternaria solani ditemukan pada setiap petak

lahan yang diamati. Pada lahan organik serangan A. solani pada 10 MST jauh

lebih rendah ( 6,7%) dibandingkan pada lahan input rendah (38,4 %) dan lahan

konvensional (45,6%) (Gambar 10).

Gambar 10 Intensitas serangan Alternaria solani pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

Serangan A. solani mengalami peningkatan yang cukup tinggi disetiap lahan

(organik, input rendah dan konvensional) pada saat tanaman berumur 3 MST

sampai 7 MST yang kemudian sempat mengalami penurunan pada pengamatan

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu Setelah Tanam (MST)

Inte

nsita

s se

rang

an (%

)

OTLTKT

Page 42: A06swa

31

berikutnya. Namun di akhir pengamatan, pada lahan input rendah dan

konvensional serangan A. solani mengalami peningkatan yang cukup besar

sedangkan pada lahan organik terus mengalami penurunan.

Penyakit yang disebabkan oleh P. infestans dan A. solani di lapangan selalu

ditemukan secara bersamaan. Umumnya serangan A. solani yang semakin tinggi

akan memudahkan tanaman tersebut terinfeksi oleh P. infestans.

Tinggi tanaman dari ketiga lahan (organik, input rendah dan konvensional)

mengalami peningkatan setiap minggunya. Tinggi tanaman pada lahan organik

lebih rendah dibandingkan dengan tanaman pada lahan input rendah dan

konvensional. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat serangan hama dan penyakit

yang pada umumnya lebih tinggi pada lahan organik dan pupuk kompos yang

lama terurai di dalam tanah sehingga tingkat kebutuhan unsur hara/nutrisinya

kurang tersedia yang menyebabkan tingkat pertumbuhan tanaman terhambat.

Pemupukan yang diberikan secara berimbang (Urea, TSP dan KCl) pada lahan

konvensional dan input rendah dapat memacu pertumbuhan tanaman dengan baik

dan optimal.

Gambar 11 Tinggi tanaman tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional.

0

20

40

60

80

100

120

3 4 5 6 7 8 9 10

Minggu Setelah Tanam (MST)

Ting

gi ta

nam

an (c

m)

OTLTKT

Page 43: A06swa

32

Produksi Kubis dan Tomat

Tanaman Kubis (Brassica oleracea Linn.) dan tomat (Lycopersicon

esculentum Mill.) merupakan komoditas sayuran yang mudah rusak, sehingga

perlu penanganan hasil produksi yang baik sehingga tidak menurunkan kualitas

maupun kuantitas yang dapat menurunkan nilai ekonomisnya.

Pemanenan adalah kegiatan akhir dari pertanaman dan merupakan faktor

penentu untuk proses selanjutnya. Untuk memperoleh krop kubis yang baik, maka

kubis dipanen tepat pada waktunya. Pemanenan dan penanganan pasca panen

perlu dilakukan dengan hati-hati untuk dapat mempertahankan mutu kubis.

Pemanenan yang keliru dan penanganan yang kasar di kebun dapat mempengaruhi

mutu pemasaran secara langsung.

Produksi atau hasil panen tanaman kubis yang diperoleh pada tanaman

contoh maupun bukan tanaman contoh sangat berbeda (Tabel 4). Produksi

tertinggi pada tanaman contoh diperoleh dari lahan KM sebesar 26,6 kg dengan

rata-rata bobot per krop paling besar yaitu 0,9 kg. Produksi pada lahan LM

sebesar 21,4 kg dengan rata-rata bobot per krop 0,7 kg dan lahan OM sebesar 5,7

kg dengan rata-rata bobot per krop 0,5 kg.

Tabel 4 Hasil panen kubis pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Tanaman contoh Petak Perlakuan

kg Σ Krop

bobot/krop (kg) kg Σ

Krop bobot/krop

(kg)

Jumlah (kg/Σ krop)

OM 5,7 11 0,5 53,8 83 0,6 59,5/94 OT 0,0 0,0 0,0 8,7 21 0,4 8,7/21 LM 21,4 29 0,7 200,7 235 0,9 222,2/264 LT 12,4 18 0,7 126,8 179 0,7 139,2/197 KM 26,6 31 0,9 245,9 283 0,9 272,5/314 KT 4,9 12 0,4 86,4 160 0,5 91,3/172

Hasil panen yang diperoleh dari tanaman yang bukan tanaman contoh pada

lahan KM sebesar 245,9 kg (0,9 kg), lahan LM sebesar 200,7 (0,9 kg) dan lahan

OM 53,8 kg (0,6 kg). Perbandingan poduksi antara tanaman contoh dan bukan

tanaman contoh pada lahan KM : LM : OM yaitu 4,6 : 3,7 : 1. Umumnya produksi

Page 44: A06swa

33

dari ketiga lahan tersebut (organik, input rendah dan konvensional) lebih tinggi

pada lahan dengan sistem monokultur daripada lahan tumpang sari (Tabel 4).

Pada lahan tumpang sari hasil produksi cukup bervariasi pada tanaman

contoh maupun bukan tanaman contoh. Hasil produksi tertinggi diperoleh dari

tanaman contoh pada lahan input rendah (LT) sebesar 12,4 kg, dan lahan

konvensional (KT) sebesar 4,9 kg. Sedangkan pada lahan organik (OT)

produksinya 0 kg. Hal ini mungkin disebabkan oleh serangan penyakit akar gada

(Plasmodiophora brassicae) yang sangat tinggi terjadi pada lahan organik,

sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat.

Tabel 5 Produksi tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Rata-rata produksi tomat pada panen ke- (kg) I II III IV V Perlakuan

C* P** C* P** C* P** C* P** C* P** Jumlah

OT 1,2 5,3 0 0 0 0 0 0 0 0 6,5 LT 2,3 5,3 1,2 5,7 6,2 67,9 3,6 25,7 16 33,5 194,4 KT 4,6 42 3,9 25 3,7 24,3 5,8 64,1 14,7 39 227,1

C* : tanaman contoh, P** : tanaman bukan contoh.

Produksi buah tomat yang diperoleh dari lahan organik sangat rendah,

karena panen dapat dilakukan hanya pada minggu pertama sebesar 1,2 kg pada

tanaman contoh dan 5,3 kg pada tanaman bukan contoh. Hal tersebut dikarenakan

serangan penyakit busuk daun P. infestan mencapai 100%, dan menyebabkan

kematian pada tanaman sehingga tanaman tidak dapat menghasilkan sama sekali.

Produksi tomat tertinggi diperoleh dari lahan konvensional setiap

minggunya dan jelas terlihat perbedaan produksi antara ketiga lahan (organik,

input rendah dan konvensional) tersebut (Tabel 5). Produksi tertinggi terjadi pada

lahan konvensional karena adanya penyemprotan pestisida (sintetik) secara

berjadwal yang dapat menekan serangan penyakit busuk daun, sedangkan pada

lahan input rendah dan organik tidak dilakukan penyemprotan sama sekali. Curah

hujan pada musim tanam cukup tinggi yang mempermudah penyebaran penyakit

ini, dan tanaman menjadi sangat rentan terhadap penyakit busuk daun ini.

Page 45: A06swa

34

Arthropoda Tanah

Arthropoda yang diperoleh pada pertanaman kubis dapat dilihat pada Tabel

6. Dari 5 kali pengambilan sampel diperoleh 19 ordo, 45 famili dengan populasi

138902 ekor serangga. Setiap jenis arthropoda yang ditemukan memiliki peranan

yang berbeda dalam suatu ekosistem seperti peranannya sebagai saprofag, fitopag,

musuh alami atau arthropoda yang tidak teridentifikasi dan arthropoda yang

belum diketahui peranannya.

Komposisi arthropoda yang berperan sebagai saprofag yang mendominasi

pada pertanaman kubis berasal dari ordo Colembola, Blattaria, Isopoda, Isoptera,

sebagian Coleoptera dan Diptera. Perangkap pit fall digunakan untuk

memerangkap arthropoda yang merayap di atas permukaan tanah.

Terperangkapnya arthropoda yang terbang seperti ordo lepidoptera diduga terjadi

secara tidak sengaja.

Mayoritas serangga dari ordo Colembola merupakan penghuni tanah yang

berukuran sangat kecil dengan bentuk yang beragam. Peranannya sebagai

saprofag atau makan bahan tumbuhan yang membusuk, jamur, bakteri, tinja

arthropoda dan bahan lainnya. Populasi colembola sangat besar, bisa mencapai

100.000 tiap m3 tanah permukaan (Borror et al. 1992).

Secara umum pada lahan konvensional arthropoda yang ditemukan

jumlahnya lebih banyak dari lahan input rendah maupun organik (Tabel 7).

Persentase jumlah serangga dari ordo Colembola yang mendominasi pun paling

tinggi pada lahan konvensional tumpang sari (23,62%). Namun tidak berbeda jauh

dengan lahan input rendah khususnya tumpang sari (23,47%). Sedangkan pada

lahan organik tumpang sari, persentase jumlahnya lebih kecil atau paling sedikit

(14%). Hal ini dikarenakan oleh faktor lingkungan sekitar. Lahan konvensional

berdekatan dengan lahan tanaman wortel, buncis, rumput-rumput atau ilalang

yang sangat lebat dan pohon-pohon lain (bambu, pepaya dll). Sedangkan, lahan

input rendah berada ditengah-tengah lahan lainnya dan lahan organik berbatasan

dengan pohon bambu.

Pada dasarnya terlihat jelas dari semua ordo arthropoda yang ditemukan

memiliki peranan tersendiri sebagai suatu kesatuan dalam agroekosistem di daerah

Page 46: A06swa

35

tersebut. Pada umumnya arthropoda yang ditemukan di lahan pertanaman

tumpang sari lebih banyak dan beragam dibandingkan di lahan pertanaman

monokultur dari ketiga sistem pertanian tersebut (organik, input rendah dan

konvensional). Hal ini menunjukan dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman

(polikultur) dapat meningkatkan keberadaan dan keragaman arthropoda di

lingkungan pertanaman tersebut yang dapat membantu menjaga kesuburan tanah.

Tabel 6 Keragaman arthropoda tanah pada pertanaman kubis dengan sistem penanaman tumpang sari dan monokultur

Total No. Ordo

Σ famili Σ Populasi Keterangan

1 Colembola 6 131977 - 2 Hymenoptera 4 4874 1 famili tidak teridentifikasi 3 Coleoptera 13 577 1 famili tidak teridentifikasi 4 Orthoptera 4 520 - 5 Hemiptera 5 97 1 famili tidak teridentifikasi 6 Diptera 3 43 1 famili tidak teridentifikasi 7 Arachnida - 565 famili tidak teridentifikasi 8 Acarina - 191 famili tidak teridentifikasi 9 Lepidoptera - 22 famili tidak teridentifikasi 10 Isopoda 1 12 - 11 Blattaria 1 1 - 12 Isoptera 2 2 - 13 Dermaptera 1 2 - 14 Chilopoda 0 3 - 15 Geophilomorpha 0 1 - 16 Lithobiomorpha 1 1 - 17 Scolopendromorpha 1 1 - 18 Psocoptera 1 2 - 19 Homoptera 1 11 -

jumlah 44 138902

Serangga lain yang banyak ditemukan yaitu dari ordo Hymenoptera sebesar

3,5 persen (4874 serangga). Sebagian besar serangga ordo Hymenoptera yang

teridentifikasi adalah famili Formicidae. Formicidae yang lebih dikenal dengan

semut dan merupakan satu kelompok yang umum, menyebar luas dan banyak

dikenal orang karena semut hidup pada habitat yang tidak tergenang air (darat)

(Borror, et al. 1992). Semut banyak ditemukan pada pertanaman kubis, karena

lahan kubis tidak tergenangi air.

Page 47: A06swa

36

Tabel 7 Keragaman Arthropoda tanah dari pertanaman kubis dan tomat pada tiga sistem budidaya ( konvensional, input rendah dan organik)

KM KT LM LT OM OT No. Ordo Σ

famili Σ

populasiΣ

famili Σ

populasiΣ

famili Σ

populasiΣ

famili Σ

populasiΣ

famili Σ

populasiΣ

famili Σ

populasi1 Colembola 4 20.279 4 31.179 4 14.517 5 30.973 5 15.726 4 19.303 2 Hymenoptera 2 860 3 1.054 3 958 2 652 4 566 3 784 3 Coleoptera 7 111 9 115 7 60 11 76 9 101 10 113 4 Orthoptera 4 86 3 90 4 78 4 71 4 85 4 112 5 Hemiptera 5 10 4 35 5 12 3 18 2 15 3 7 6 Diptera 3 15 2 11 1 2 2 10 1 1 1 4 7 Arachnida - 55 - 48 - 83 - 45 - 45 - 219 8 Acarina - 25 - 64 - 39 - 28 - 20 - 15 9 Lepidoptera - 0 - 3 - 3 - 5 - 8 - 3 10 Isopoda 0 1 0 0 0 1 0 2 0 3 0 5 11 Blattaria 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 12 Isoptera 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 13 Dermaptera 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 14 Chilopoda 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 15 Geophilomorpha 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 16 Lithobiomorpha 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 17 Scolopendromorpha 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 18 Psocoptera 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 19 Homoptera 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 jumlah 25 21.442 26 32.601 25 15.756 28 31.883 27 16.572 27 20.563

Keterangan : - » famili tidak teridentifikasi

0 » famili teridentifikasi

36

Page 48: A06swa

KESIMPULAN

Hama utama yang ditemukan pada kubis adalah Plutella xylostella dengan

rata-rata tingkat populasi tertinggi terjadi pada lahan organik monokultur dan

Crocidolomia pavonana dengan rata-rata tingkat populasi tertinggi terjadi pada

lahan input rendah monokultur. Penyakit utama pada kubis adalah penyakit busuk

hitam (Xanthomonas campestris pv. campestris) dengan intensitas serangan

tertinggi pada lahan input rendah monokultur, bercak daun alternaria (Alternaria

spp) pada lahan input rendah monokultur, dan akar gada (Plasmodiophora

brassicae) pada lahan organik tumpang sari.

Hama yang ditemukan pada tomat adalah Bemisia spp dengan rata-rata

populasi tertinggi terjadi pada lahan input rendah dan diduga peranannya sebagai

vektor virus. Penyakit yang ditemukan adalah penyakit busuk daun (Phytophthora

infestans) dengan intensitas tertinggi pada lahan organik, bercak daun (Alternaria

solani) pada lahan konvensional.

Produksi tertinggi tanaman kubis maupun tomat dihasilkan pada lahan

konvensional (tanaman contoh maupun petak) dikarenakan oleh tingkat serangan

hama dan penyakit (patogen) yang relatif lebih rendah daripada lahan input rendah

dan organik. Namun pada tingkat parasitisasi Plutella xylostella oleh Diadegma

sp. dan Apanteles sp. lebih tinggi pada lahan organik maupun lahan input rendah

dibandingkan pada lahan konvensional.

Arthropoda yang mendominasi ekosistem berasal dari ordo Colembola

(95%) yang berperan sebagai saprofag. Kemudian ordo Hymenoptera (3,5%) yang

sebagian besar adalah anggota famili Formicidae.

Page 49: A06swa

DAFTAR PUSTAKA

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga (Terjemahan). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Djatnika I. 1993. Penyakit-Penyakit Tanaman Kubis dan Cara Pengendaliaannya. Di dalam AH. Permadi & Sastrosiswojo, editor. Kubis. Ed ke-1. Bandung: Kerjasama Balithort Lembang dengan Program Nasional PHT, BAPPENAS. hlm 51-61.

Ekha I. 1988. Dilema Pestisida. Yogyakarta: Kanisius.

Endah HJ, Novizan. 2002. Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Headley JC, Lewis JN. 1967. The Peticide Problem: An Economic Approach to Public Policy. New York: Massachusetts Avenue.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan van der, penerjemah. Jakarta: IchtiarBaru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Kusnaedi. 1999. Pengendalian Hama tanpa Pestisida. Jakarta: Penebar Swadaya.

Olson A. 2001. Sistem pertanian berkelanjutan. http://www.lablink.or.id/Agro/agr-sust.htm [29 Juni 2001]

Permadi AH, Sastrosiswojo S. 1993. Kubis. Bandung: Balai Penelitian Hortikultura.

Pracaya. 1991. Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pracaya. 2003. Bertanam Sayuran Organik di Kebun, Pot, dan Polibag. Jakarta: Penebar Swadaya.

Reijntjes C, Haverkort B, Water-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Yogyakarta: Kanisius.

Tjahjadi RV, Gayatri. 1992. Ingatlah Bahaya Pestisida. Jakarta: Pesticide Action Network.

Sastrahidayat IR, Soemarno. 1991. Budidaya Berbagai Jenis Tanaman Tropika. Malang: Fakultas Pertanian Brawijaya.

Satrosiswojo S, Setiawati N. 1993. Hama-hama Tanaman Kubis dan Cara Pengendaliannya. Di dalam AH. Permadi & Sastrosiswojo, editor. Kubis. Ed ke-1. Bandung: Kerjasama Balithort Lembang dengan Program Nasional PHT, BAPPENAS. hlm 39-50.

, Uhan ST, Sutarya R. 2000. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Kubis. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

Satsijati, Suprijadi, N. Makka dan T. Sutater. 1987. Pengaruh Tumpang Sari Terhadap Produksi dan Serangan Hama pada Tanaman Kubis, Jagung dan Bawang Daun. Bull. Penel. Hort.VI (5):73-83.

Page 50: A06swa

39

Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sutanto. 2002. Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan Pengembangannya). Jakarta: Kanisius.

Suwandi, Hilman Y, Nurtika N. 1993. Budidaya Tanaman Kubis. Di dalam A.H. Permadi & Sastrosiswojo, editor. Kubis. Ed ke-1. Bandung: Kerjasama Balithort Lembang dengan Program Nasional PHT, BAPPENAS. hlm 23-38.

Unterstenhofer G. 1976. The Basic Principles of crop Protection field trial. Bayer Plflanttensshutz.

Waibel H. 1994. Towards an Economic Framework of Pesticide Policy Studies. Proceeding of The Gottingen Workshop on Pesticide Policy. Gottingen.

Walangadi D. 2000. Kebijaksanaan pengaturan residu pestisida: implentasinya pada komoditi hortikultura [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Page 51: A06swa

LAMPIRAN

Page 52: A06swa

41

(a) (b) Gambar lampiran 1 (a) Lahan percobaan, (b) Lahan persemaian pada tiga sistem

budidaya pertanian.

(a) (b)

Gambar lampiran 2 (a) Pertanaman kubis (monokultur), (b) Pertanaman kubis-tomat (tumpang sari).

(a) (b)

Gambar lampiran 3 (a) Isolat X. campestris pada YDC, (b) Reaksi hipersensitif oleh X. campestris pv. campestris pada tembakau.

Page 53: A06swa

42

Gambar lampiran 4 Gejala serangan virus (gemini) oleh vektor Bemisia sp. pada tomat.

Tabel lampiran 1 Populasi Plutella xylostella pada sistem pertanian organik, input

rendah dan konvensional

Rata-rata populasi (ekor/tanaman) pada minggu ke- Perlakuan I 2 3 4 5 6 7 8 9 OM 0,22 0,25 0,12 0 1,17 0,25 0,05 0,27 0,17 OT 0,01 0,02 0,02 0,05 0,45 0,25 0 0,17 0,65 LM 0,07 0,15 0,25 0,3 0,25 0,17 0,27 0,37 0,42 LT 0,05 0,07 0,1 0,05 0,37 0,1 0,05 0,17 0,42 KM 0,05 0,05 0,1 0,22 0,17 0,45 0,35 0,47 0,72 KT 0,02 0 0,2 0,12 0,8 0,37 0,17 0,32 0,02

Tabel lampiran 2 Populasi Crocidolomia pavonana pada sistem pertanian

organik, input rendah dan konvensional

Rata-rata populasi (ekor/tanaman) pada minggu ke- Perlakuan I 2 3 4 5 6 7 8 9 OM 0 0 0 0 0,05 1,22 0,05 3,1 0,37 OT 0 0 0 0 2,15 0,22 0 3,05 0,2 LM 0 0 0,02 0 0,87 0,12 2,65 6,42 2,97 LT 0 0 0 0 0,17 0 0,55 0,92 3,22 KM 0 0 0 0 0,02 0,77 3,82 1,25 0,92 KT 0 0 0 0 0 0,2 1,17 1,22 1,42

Page 54: A06swa

43

Tabel lampiran 3 Intensitas serangan Xanthomonas campestris pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Rata-rata intensitas (%) pada minggu ke- Perlakuan I 2 3 4 5 6 7 8 9

OM 0 2 4,1 10,4 15,4 11,6 5,1 17,1 7,9 OT 3 3,5 5,2 7,7 8,85 5 3 7,1 3,5 LM 3 3,5 3,2 4 9 5,5 12 19,6 11,9LT 2,5 0,5 2,1 2 9,5 6 4,5 7,7 6,8 KM 2 1 1,5 4,1 5 5,1 5,8 10,9 16,9KT 0,5 0,5 3,5 6,1 7,1 6,2 2,7 10,1 4,7

Tabel lampiran 4 Intensitas serangan Alternaria sp. pada sistem pertanian

organik, input rendah dan konvensional

Rata-rata intensitas (%) pada minggu ke- Perlakuan I 2 3 4 5 6 7 8 9

OM 2,5 2 3,5 13,2 11,3 7,2 5,4 0 0,3 OT 3,5 0,5 4,2 8,5 10,1 3,5 1,7 0 0,6 LM 3,5 3,5 11,7 5 16 1,5 0 0 0 LT 3,5 5 11,8 0 9,5 0,5 0 0 0 KM 1,5 0,5 6,2 0 4,2 1 1 0 0 KT 5,5 5 4,2 1 6,7 0 0 0 0

Tabel lampiran 5 Intensitas serangan Phytopthhora infestans pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Rata-rata intensitas (%) pada minggu ke- Perlakuan 3 4 5 6 7 8 9 10

OT 0 0 0 6,7 9,3 38,9 60,2 97,9 LT 0 0 0 0,4 1,2 7,5 9 72,3 KT 0 0 0 0,4 0,4 1,7 5,4 80,1 pada pengamatan minggu IX (11 MST) tanaman sudah mati

Tabel lampiran 6 Intensitas serangan Alternaria solani pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Rata-rata intensitas (%) pada minggu ke- Perlakuan 3 4 5 6 7 8 9 10

OT 4,6 4,6 12,9 26,7 27,9 17.2 19.9 6,6 LT 9,6 11,2 15,4 27,2 27,2 24.9 36 38,4 KT 5,8 8,7 18,7 31,2 34,2 23.3 40.6 45,6

Page 55: A06swa

44

Tabel lampiran 7 Tinggi tanaman tomat pada sistem pertanian organik, input rendah dan konvensional

Rata-rata tinggi (cm) pada minggu ke- Perlakuan 3 4 5 6 7 8 9 10 OT 14,47 22,8 38,3 51,02 67,85 80,27 92,72 98,15 LT 10,5 14,1 26,77 37,5 54,35 75,52 93,31 102,85KT 13,57 20,37 37,55 50,07 71,75 89,45 104,62 109,37

Tabel lampiran 8 Populasi Bemisia sp. pada sistem pertanian organik, input

rendah dan konvensional

Rata-rata populasi (ekor/tanaman) pada minggu ke- Perlakuan 3 4 5 6 7 8 9 10 OT 4 0,5 2 1,8 2,3 1,1 3,2 5 LT 5,4 0,6 1,6 1,1 1,7 5,1 4,9 21,9KT 0,9 0,6 2,8 2,1 2,3 5,7 7,2 17,3

Tabel lampiran 9 Rata-rata curah hujan/minggu selama 10 kali pengamatan

Sumber data: Badan Meteorologi dan Geofisika Darmaga, Bogor.

Waktu pengamatan Curah hujan (mm) Kelembaban (%)

08-10-2006 (1) 23,3 67,3

15-10-2006 (2) 20,7 83,3

22-10-2006 (3) 21,2 83,3

29-10-2006 (4) 21,1 83,5

05-11-2006 (5) 21,9 82

12-11-2006 (6) 21,6 82

19-11-2006 (7) 20,8 88

26-11-2006 (8) 19,7 89

01-12-2006 (9) 22,9 88

08-12-2006 (10) 26,7 84

Page 56: A06swa

45

Tabel lampiran 10 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-1)

Perlakuan Total serangga

∑ Imago P.xylostella

∑ Imago Diadegma % parasitisasi ∑ Imago

Apanteles % parasitisasi Total parasitisasi (%)

OM1 3 0 1 33,33 2 66,67 100 OM2 2 1 1 50 0 0 50 OM3 7 3 1 42,29 3 42,86 57,14 OM4 2 1 0 0 1 50 50 OT1 2 1 0 0 1 50 50 OT2 0 0 0 0 0 0 0 OT3 2 1 1 50 0 0 50 OT4 0 0 0 0 0 0 0 LM1 0 0 0 0 0 0 0 LM2 3 1 0 66,67 0 0 66,67 LM3 3 1 1 33,33 1 33,33 66,67 LM4 1 0 1 0 1 100 100 LT1 2 1 0 50 0 0 50 LT2 0 0 0 0 0 0 0 LT3 3 1 0 66,67 0 0 66,67 LT4 4 2 0 50 0 0 50 KM1 0 0 0 0 0 0 0 KM2 0 0 0 0 0 0 0 KM3 2 0 0 100 0 0 100 KM4 1 0 0 100 0 0 100 KT1 0 0 0 0 0 0 0 KT2 0 0 0 0 0 0 0 KT3 1 0 0 100 0 0 100 KT4 0 0 0 0 0 0 0 45

Page 57: A06swa

46

Tabel lampiran 11 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-2)

Perlakuan Total serangga

∑ Imago P.xylostella

∑ Imago Diadegma % parasitisasi ∑ Imago

Apanteles % parasitisasi Total parasitisasi (%)

OM1 1 0 1 100 0 0 100 OM2 2 0 2 100 0 0 100 OM3 3 2 1 33,33 0 0 33,33 OM4 0 0 0 0 0 0 0 OT1 0 0 0 0 0 0 0 OT2 1 0 1 100 0 0 100 OT3 0 0 0 0 0 0 0 OT4 1 0 1 100 0 0 100 LM1 6 1 5 83,33 0 0 83,33 LM2 6 3 3 50 0 0 50 LM3 11 6 5 45,45 0 0 45,45 LM4 10 4 6 60 0 0 60 LT1 3 0 3 100 0 0 100 LT2 0 0 0 0 0 0 0 LT3 3 1 2 66,67 0 0 66,67 LT4 5 1 3 60 1 20 80 KM1 6 3 3 50 0 0 50 KM2 4 2 2 50 0 0 50 KM3 2 0 2 100 0 0 100 KM4 3 2 1 33,33 0 33,33 33,33 KT1 3 1 1 33,33 1 0 66,67 KT2 18 10 8 44,44 0 0 44,44 KT3 6 2 4 66,67 0 0 66,67 KT4 5 1 4 80 0 0 80

46

Page 58: A06swa

47

Tabel lampiran 12 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-3)

Perlakuan Total serangga

∑ Imago P.xylostella

∑ Imago Diadegma % parasitisasi ∑ Imago

Apanteles % parasitisasi Total Parasitisasi (%)

OM1 20 0 20 100 0 0 100 OM2 20 4 13 65 3 15 80 OM3 12 0 12 100 0 0 100 OM4 15 4 11 73 0 0 33,33 OT1 6 0 5 33,33 1 16,67 100 OT2 13 4 8 83,33 1 7,69 69,23 OT3 5 0 5 61,51 0 0 100 OT4 18 0 17 100 1 5,56 100 LM1 8 0 8 94,44 0 0 100 LM2 0 0 0 100 0 0 0 LM3 9 3 5 0,55,56 1 11,11 66,67 LM4 6 3 3 50 0 0 50 LT1 5 1 3 60 1 20 80 LT2 4 0 4 100 0 0 100 LT3 9 2 4 44,44 3 33,33 77,78 LT4 4 1 3 75 0 0 75 KM1 3 1 2 66,67 0 0 66,67 KM2 4 0 3 75 1 25 100 KM3 17 4 13 76,47 0 0 76,47 KM4 7 0 6 85,71 1 14,29 100 KT1 7 0 7 87,50 1 12,50 100 KT2 20 4 14 70 2 10 80 KT3 9 2 7 77,78 0 0 77,78 KT4 9 1 8 88,89 0 0 88,89 36

Page 59: A06swa

48

Tabel lampiran 13 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-4)

Perlakuan Total serangga

∑ Imago P.xylostella

∑ Imago Diadegma % parasitisasi ∑ Imago

Apanteles % parasitisasi Total parasitisasi (%)

OM1 2 0 2 100 0 0 100 OM2 6 2 4 66,67 0 0 66,67 OM3 3 0 3 100 0 0 100 OM4 2 0 2 100 0 0 100 OT1 2 0 2 100 0 0 100 OT2 6 0 6 100 0 0 100 OT3 1 0 1 100 0 0 100 OT4 5 0 5 100 0 0 100 LM1 7 4 3 42,86 0 0 42,86 LM2 3 1 2 66,67 0 0 66,67 LM3 7 2 5 71,43 0 0 71,43 LM4 3 1 2 66,67 0 0 66,67 LT1 5 4 1 20 0 0 20 LT2 3 1 2 66,67 0 0 66,67 LT3 5 3 2 40 0 0 40 LT4 4 2 2 50 0 0 50 KM1 3 2 1 33,33 0 0 33,33 KM2 4 1 3 75 0 0 75 KM3 3 1 2 66,67 0 0 66,67 KM4 4 2 2 50 0 0 50 KT1 4 2 2 50 0 0 50 KT2 6 1 5 83,33 0 0 83,33 KT3 8 3 5 62,50 0 0 62,50 KT4 14 6 8 57,14 0 0 57,14 36

Page 60: A06swa

49

Tabel lampiran 14 Parasitisasi Plutella xylostella (minggu ke-5)

Perlakuan Total serangga

∑ Imago P.xylostella

∑ Imago Diadegma % parasitisasi ∑ Imago

Apanteles % parasitisasi Total parasitisasi (%)

OM1 2 1 1 50 0 0 50 OM2 1 0 1 100 0 0 100 OM3 4 0 4 100 0 0 100 OM4 0 0 0 0 0 0 0 OT1 0 0 0 0 0 0 0 OT2 0 0 0 0 0 0 0 OT3 0 0 0 0 0 0 0 OT4 0 0 0 0 0 0 0 LM1 1 0 1 100 0 0 100 LM2 0 0 0 0 0 0 0 LM3 0 0 0 0 0 0 0 LM4 0 0 0 0 0 0 0 LT1 0 0 0 0 0 0 0 LT2 0 0 0 0 0 0 0 LT3 0 0 0 0 0 0 0 LT4 0 0 0 0 0 0 0 KM1 7 3 4 57,14 0 0 57,14 KM2 1 0 1 100 0 0 100 KM3 0 0 0 0 0 0 0 KM4 1 1 0 0 0 0 0 KT1 0 0 0 0 0 0 0 KT2 5 0 5 100 0 0 100 KT3 0 0 0 0 0 0 0 KT4 0 0 0 0 0 0 0 36

Page 61: A06swa

50