repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 38928... bab 2 tinjauan pustaka 2.1....
TRANSCRIPT
5
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tarian
Menurut Ross (2007), tarian ialah suatu fenomena yang kompleks dan
indah. Bagian yang indah dari tarian ialah ketika menari, sang penari tidak terlalu
memperhatikan elemen dan detail dari tarian tetapi lebih merasakan
“kesempurnaan diri” di dalam tarian tersebut sehingga dia mampu memahami dan
menginterpretasikan apa yang dialaminya dari tarian tersebut (Blasing, 2010).
Sedangkan Landsdale (1994) menyatakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa
manusia yang diubah oleh imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak
sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan sebagai ungkapan kepada Sang
Pencipta. Menurut Wardhana (1990), seni tari memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Seni tari sebagai sarana upacara.
Tari dapat digunakan sebagai sarana upacara. Jenis tari ini banyak
jenisnya, seperti tari untuk upacara keagamaan dan upacara penting
dalam kehidupan manusia.
2. Seni tari sebagai hiburan.
Tari sebagai hiburan harus bervariasi. Oleh karena itu, jenis ini
menggunakan tema-tema yang sederhana, diiringi lagu yang enak dan
mengasyikkan. Kostum dan tata panggungnya juga dipersiapkan dengan
cara yang menarik.
3. Seni tari sebagai penyaluran terapi.
Jenis tari ini biasanya ditujukan untuk penyandang cacat fisik atau cacat
mental. Penyalurannya dapat dilakukan secara langsung bagi penderita
cacat tubuh, penderita tuna wicara, tuna rungu, dan secara tidak langsung
bagi penderita cacat mental.
Universitas Sumatera Utara
6
Universitas Sumatera Utara
4. Seni tari sebagai media pendidikan.
Kegiatan tari dapat dijadikan media pendidikan, seperti mendidik anak
untuk bersikap dewasa dan menghindari tingkah laku yang menyimpang.
Nilai-nilai keindahan dan keluhuran pada seni tari dapat mengasah
perasaan seseorang.
5. Seni tari sebagai media pergaulan.
Seni tari adalah kolektif, artinya penggarapan tari melibatkan beberapa
orang. Oleh karena itu, kegiatan tari dapat berfungsi sebagai sarana
pergaulan.
6. Seni tari sebagai media pertunjukkan.
Tari bukan hanya menjadi sarana upacara atau hiburan, tetapi tari juga
bisa berfungsi sebagai pertunjukkan yang sengaja dipertontonkan. Tari
yang dipentaskan lebih menitikberatkan pada segi artistiknya dan
penggarapan koreografi yang mengandung ide, interprestasi konsepsional
yang memiliki tema dan tujuan.
7. Seni tari sebagai media katarsis.
Katarsis berarti pembersihan jiwa. Seni tari sebagai media media katarsis
lebih mudah dilaksanakan oleh orang yang telah mencapai taraf atas
dalam penghayatan seni.
2.2. Dance Movement Therapy
2.2.1. Definisi Dance Movement Therapy
Dance Movement Therapy (DMT) secara resmi didefinisikan sebagai
psikoterapi yang menggunakan gerakan sebagai proses yang lebih lanjut dari
emosional, kognitif, integrasi sosial dan fisik individu (American Dance Therapy
Association) dalam Goodill (2005). DMT adalah disiplin khusus di bidang
kesehatan mental, bersama dengan terapi seni kreatif lain (seni, musik, drama,
puisi dan psikodrama terapi).
Universitas Sumatera Utara
7
Universitas Sumatera Utara
Menurut Chaiklin (2009), tujuan umum dari DMT ini adalah, antara lain:
1. Meningkatkan integrasi dari kognitif, afektif dan pengalaman fisik
2. Meningkatkan kemampuan ekspresif
3. Meningkatkan kesadaran diri.
Penilaian dan teknik klinis keduanya canggih dan fleksibel, sehingga
terapi disesuaikan dengan kebutuhan dari berbagai populasi. Dance Movement
Therapy menekankan keselarasan dan koneksi antara verbal dan
nonverbal dari cara berekspresi. Namun, penilaian dan terapi dapat dilanjutkan
sepenuhnya di bidang nonverbal gerakan, sentuh, irama, dan interaksi spasial,
sehingga pendekatan cocok dengan kebutuhan orang yang tidak dapat
berpartisipasi dalam psikoterapi yang berorientasi dalam bentuk lisan (Chaiklin,
2009).
Menurut Payne (2006) definisi dari Dance Movement Therapy (DMT)
yang diadopsi oleh The Association for Dance Movement Therapy (ADMT) dan
Standing Committee for Arts Therapies Professions (SCATP) mewujudkan dua
prinsip mendasar:
Dance Movement Therapy adalah penggunaan gerakan ekspresif dan menari
sebagai alat dimana seorang individu dapat terlibat dalam proses integrasi pribadi
dan pertumbuhan. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa ada hubungan antara
gerak dan emosi serta dengan mengeksplorasi kosakata yang lebih bervariasi dari
gerakan, seseorang yang akan menjadi lebih seimbang dan mudah beradaptasi.
Melalui gerakan dan menari, batin setiap orang menjadi nyata, individu berbagi
banyak simbolisme pribadi mereka dan hubungan kebersamaan sewaktu menari
menjadi terlihat. Dance Movement terapis menciptakan sebuah lingkungan dimana
perasaan dapat dengan aman dinyatakan, diakui dan dikomunikasikan.
Universitas Sumatera Utara
8
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Mekanisme Dance Movement Therapy
Menurut Chaiklin (2009), DMT dibagi atas dua model yang berfokus
pada kapasitas kreativitas yang tiada akhir dan kualitas estetik dari tubuh yang
bergerak sebagai suatu fundamental yang unik dan spesifik untuk proses terapi,
yaitu :
1. The Intra-Actional System
Sistem ini berhubungan dengan individu dan persepsi tubuh dan dirinya
(spesifiknya, sikap tubuh dan konsep diri sendiri).
2. Interactional System
Sistem ini lebih mengarah pada individu dan kapasitas mereka yang
berhubungan dengan dunia sebagai mahluk sosial (spesifiknya,
komunikasi dan dinamika interpersonal).
Sumber : Chaiklin (2009)
Gambar 2.1. Model Dance Movement Therapy
Universitas Sumatera Utara
9
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Program Dance Movement Therapy
Adapun program DMT ini terdiri dari 12 sesi, yaitu 6 sesi asosiasi bebas
dan 6 sesi tari terstruktur. Remaja berpartisipasi 6 kali seminggu satu sesi per hari.
Empat puluh lima menit pertama setiap sesi adalah sesi tari terstruktur berupa pop
dance yang dikoreograferi oleh instruktur tari yang profesional. Peneliti, yang
juga fasilitator gerakan tari dan program intervensi, dapat menerima pelatihan dari
instruktur tari untuk memfasilitasi sesi tari terstruktur.
Kaban (2003) menyatakan bahwa kebutuhan anak-anak atau remaja yang
akan berpartisipasi dalam tarian dan gerakan intervensi program akan terus-
menerus berubah sehingga program intervensi tiap sesi DMT harus fleksibel.
Oleh karena itu, walaupun setiap sesi memiliki tema tertentu dan setiap sesi terdiri
dari aspek-aspek tertentu, peneliti/fasilitator harus fleksibel dan siap untuk
menyesuaikan sesi untuk kebutuhan remaja. Untuk meningkatkan partisipasi
kelompok dan eksplorasi tema tertentu, beberapa aspek tertentu dari setiap sesi
harus terstruktur dan sebagian lagi lebih fleksibel.
Aspek yang terstruktur dari setiap sesi ditujukan untuk menciptakan
rutinitas selama periode dua minggu, yang mana memberikan rasa stabilitas,
kontrol dan konsistensi pada para peserta. Peneliti/fasilitator memilih untuk
mengimplementasikan program intervensi dalam format grup untuk meningkatkan
hubungan interpersonal serta keterampilan sosial peserta dan memberikan
kesempatan pada para peserta untuk mendukung satu sama lain. (Kaban, 2003).
1. Sesi Asosiasi Bebas
Gerakan kreatif atau sesi asosiasi bebas dan sesi tari terstruktur memiliki
sesi pemanasan dan pendinginan. Sesi ini memungkinkan para peserta untuk
meregangkan otot-otot mereka, dengan demikian mencegah cedera, dan
memungkinkan mereka untuk rileks dan menenangkan diri sebelum dan sesudah
setiap gerakan kreatif atau tari terstruktur.
Universitas Sumatera Utara
10
Universitas Sumatera Utara
Sesi pemanasan dan pendinginan ini dilakukan karena penelitian sebelumnya telah
membuktikan hal tersebut sangat efektif dalam mendukung program DMT
(Carter, 2004; Kaban 2003 ; Jeppe, 2006).
Sesi pertama setiap hari ialah ekspresi emosional yang kreatif dan sesi
kedua, gerakan tari terstruktur. Pada sesi pertama setiap harinya, sesi pemanasan
dan pendinginan masing-masing dilakukan selama 7 menit yang terdiri dari
peregangan dan latihan untuk meningkatkan relaksasi serta pernafasan peserta .
Relaksasi tidak hanya menyebabkan pengurangan tingkat stres tetapi juga
mempengaruhi respon endokrin seseorang sehingga sistem saraf otonomnya lebih
stabil. (Choi et al., 2008).
Pada sesi kedua, sesi pemanasan dilakukan selama sepuluh menit dan
pendinginan lima menit lama. Bagian ini termasuk peregangan dan latihan
pernapasan.
Tabel 2.1 : Sesi Free Association Dance and Movement (Merwe, 2010)
Sesi Tema Aktivitas
1 Attachment Introduction
Mirroring exercise
2 Relationships Mirroring exercise
3 Feelings Exploration of emotion
Jumping exercise
4 Control and Helplessness Personal space activity
Body control activity
Improvisation exercise
5 Grief, loss and rejection Exploration of negative emotion
6 Fears, hopes and dreams Exploration of positive emotion
Urutan di mana tema-tema ini disajikan, dipilih berdasarkan yang tebaik
untuk proses terapi (Egan, 2007).
Universitas Sumatera Utara
11
Universitas Sumatera Utara
Tema dalam dua sesi awal, attachment and relationships, ditujukan untuk
membangun hubungan dan rasa nyaman dalam kelompok. Dua sesi ini berfokus
pada pembangunan hubungan, kepercayaan dan rapor.(Gibson et al. 2002).
Tema pada sesi ketiga adalah feeling. Ini adalah tema yang relatif luas di
mana emosi positif dan negatif dieksplorasi. Hal ini memungkinkan para peserta
lebih banyak waktu untuk merasa nyaman ketika membahas tema ini. (Gibson et
al. 2002)
Sesi keempat dan kelima adalah dua tema secara emosional paling sulit,
control and helplessness, dieksplorasi. Sesi terakhir memiliki tema lebih positif
yaitu, fears, hopes and dreams. (Gibson et al. 2002)
Latihan khusus yang terkait dengan setiap tema sekarang akan dibahas:
Sesi pertama, dengan tema attachment, adalah sesi pendahuluan dan
selama sesi ini dihabiskan peserta dan peneliti/fasilitator untuk mengenal satu
sama lain. Selama sesi ini, peneliti/fasilitator menjelaskan prosedur yang akan
dijalani para peserta dan memberikan kesempatan pada peserta untuk bertanya.
Latihan mirroring dilakukan pada tema awal ini. Mirroring adalah tari
konstruktif dengan gerakan yang mengikuti gerakan kelompok lain (Kaban,
2003). Mirroring meningkatkan pengembangan attachment dan pembangunan
kepercayaan (Kaban, 2003).
Sumber : Static news (2010)
Gambar 2.2. Gerakan Mirroring
Universitas Sumatera Utara
12
Universitas Sumatera Utara
Pada awal pelaksanaan, peneliti/fasilitator melakukan gerakan-gerakan
tubuh tertentu dan mendorong seluruh kelompok untuk mengikutinya. Lalu
kelompok dibagi menjadi pasangan dan melakukan mirroring bergiliran untuk
melaksanakan gerakan. Selama latihan ini, peserta didorong untuk tidak berbicara
agar fokus pada gerakan pasangannya. Untuk memotivasi remaja untuk terus
bergerak, peneliti/fasilitator terus mengubah musik, irama dan gerakannya
sehingga para peserta mengikutinya. (Kaban, 2003).
Tema sesi kedua ialah relationship, latihan mirroring ini sekali lagi
dilakukan. Peserta saling berpasangan di mana salah satu peserta diminta untuk
bergerak dan peserta pasangannya mengikuti pergerakan tersebut sambil diiringi
musik. Pada saat musik berhenti secara acak, peserta harus berhenti dan bertukar
posisi. Pada saat musik mulai lagi, peserta melakukan mirroring kembali. (Payne,
2006).
Tema sesi berikutnya adalah feeling. Pertama, seorang peserta
mengambil kertas yang berisi tulisan emosi yang berbeda dari topi secara acak
dan peserta tersebut menggambarkan emosi yang tertulis ke grupnya
menggunakan gerakan dan tari. Teman sekelompoknya harus menebak emosi apa
yang digambarkan. Setelah sesi ini selesai, peserta ditanya mengenai emosi apa
yang mereka sulit gambarkan pada teman sekelompoknya. (Payne, 2006)
Pada sesi keempat dengan tema, control and helplessness. Para peserta
harus mengulurkan tangan dan kakinya dan bergerak di sekitar kamar
khayalannya, menjelajahi ruang pribadi mereka dan ruang pribadi orang lain
(Kaban, 2003).
Tema sesi akhir yang akan dieksplorasi adalah hopes and dreams. Peserta
diminta mengeksplorasi apa yang membuat mereka merasa takut, mendengarkan
musik yang dapat menyebabkan seseorang merasa takut, dan bergerak secara
bebas sesuai musik. Mereka diberitahu bahwa mereka bisa menggambarkan suatu
peristiwa dan bergerak sesuai emosi mereka.
Universitas Sumatera Utara
13
Universitas Sumatera Utara
Pada akhir sesi mereka diizinkan untuk menggunakan musik, menyanyi, berbicara
untuk menggambarkan harapan mereka. (Kaban, 2003)
2. Sesi Gerakan terstuktur
Sesi gerakan terstruktur ini bermanfaat untuk pemahaman para peserta
mengenai tema dari tarian setiap sesi. Waktu yang dibutuhkan untuk tiap sesi
tarian yang terstruktur ini adalah tiga puluh menit. Berdasarkan pertimbangan usia
peserta maka sesi tari terstruktur ini adalah pop dance. (Kaban, 2003)
Waktu untuk rutinitas pop dance adalah satu setengah menit.
Peneliti/fasilitator menekankan bahwa tidak penting bagi para peserta untuk
melakukan gerakan dengan sempurna melainkan meminta mereka menikmati
setiap gerakan yang mereka lakukan. (Kaban, 2003)
2.3. Stres
2.3.1. Definisi Stres
Menurut American Institute of Stress (2010), tidak ada definisi yang pasti
untuk stres karena setiap individu akan memiliki reaksi yang berbeda terhadap
stres yang sama. Stres bagi seorang individu belum tentu stres bagi individu yang
lain. Adapun pendapat beberapa ahli dan institusi mengenai stres, seperti :
1. Menurut Hans Seyle (1978) menyatakan bahwa stres bukanlah perubahan
kondisi fisiologis yang sama dan spesifik akibat pengalaman dari stres,
tetapi stres ialah intensitas yang dibutuhkan oleh seseorang untuk
menyesuaikan diri dengan relevan dan tidak memperdulikan apakah stres
itu bersifat menyenangkan (eustress) atau tidak menyenangkan (distress).
2. Menurut National Association of School Psychologist (1998), stres
adalah perasaan yang tidak menyenangkan dan diinterpretasikan secara
berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya.
Universitas Sumatera Utara
14
Universitas Sumatera Utara
3. Menurut Menurut Lazarus (1999) bahwa stres adalah keadaan internal
yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi
lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak
terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.
4. Menurut Feldman (2007), stres adalah suatu proses yang menilai suatu
peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun
membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada tingkat
fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku.
5. Menurut Taylor (2009) bahwa stres merupakan suatu pengalaman
emosional negatif yang disertai dengan perubahan biokimia, fisiologi,
kognitif dan perilaku yang dapat diramalkan di mana diarahkan baik
terhadap usaha untuk mengubah kejadian stres ataupun
mengakomodasikan efek dari stres tersebut.
6. Menurut Sarafino (2011), stres merupakan keadaan psikologis yang
timbul jika ada ketidakseimbangan antara persepsi individu mengenai
tuntutan yang harus dihadapi dibandingkan dengan kemampuan mereka
untuk mengatasi tuntutan tersebut.
2.3.2. Penggolongan Stres
Menurut Selye (1978) dalam Rice (1998), stres dibagi menjadi dua
golongan. Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang
dialaminya :
a) Distress (Stres Negatif)
Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat
tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana
individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah
sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif,
menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.
Universitas Sumatera Utara
15
Universitas Sumatera Utara
b) Eustress (Stres Positif)
Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan
merupakan pengalaman yang memuaskan. Eustress dapat meningkatkan
kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan performansi individu.
Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan
sesuatu.
2.3.3. Klasifikasi Stres
Berdasarkan etiologinya, Rice (1998) mengklasifikasikan stres atas
beberapa bagian, yaitu :
1. Stres Kepribadian (Personality Stress).
Stres kepribadian adalah stres yang dipicu oleh masalah dari dalam diri
seseorang. Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan
kepercayaan atas dirinya. Orang yang selalu bersikap positif akan
memiliki risiko yang kecil terkena stres keperibadian.
2. Stres Psikososial (Psychosocial Stress).
Stres psikososial adalah stres yang dipicu oleh hubungan dengan orang
lain di sekitarnya ataupun akibat situasi sosialnya. Contohnya stres ketika
mengadaptasi lingkungan baru, masalah keluarga, stres macet di jalan
raya dan lain-lain.
3. Stres Bio-ekologi (Bio-Ecological Stress).
Stres bio-ekologi adalah stres yang dipicu oleh dua hal. Hal yang pertama
adalah ekologi atau lingkungan seperti polusi serta cuaca. Sedangkan hal
yang kedua adalah kondisi biologis seperti menstruasi, demam, asma,
jerawatan, dan lain-lain.
4. Stres Pekerjaan (Job Stress).
Stres pekerjaan adalah stres yang dipicu oleh pekerjaan seseorang.
Persaingan di kantor, tekanan pekerjaan, terlalu banyak kerjaan, target
yang terlalu tinggi, usaha yang diberikan tidak berhasil, persaingan bisnis
adalah beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stres akibat
karir pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
16
Universitas Sumatera Utara
5. Stres mahasiswa (Student stress).
Stres mahasiswa itu dipicu oleh dunia perkuliahan. Sewaktu perkuliahan
terdapat tiga kelompok stresor yaitu stresor dari segi personal dan sosial,
gaya hidup dan budaya, serta stresor yang dicetuskan oleh faktor
akademis kuliah itu sendiri.
2.3.4. Stresor
Menurut Lazarus & Folkman (Lazarus, 1999), kondisi fisik, lingkungan
dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor.
Istilah stresor diperkenalkan pertama kali oleh Seyle (Rice, 1998). Stresor dapat
berwujud, seperti polusi udara dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial,
seperti interaksi sosial. Pikiran ataupun perasaan individu sendiri yang dianggap
sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi
stressor (Rice, 1998).
Lazarus & Cohen (Lazarus, 1999) mengklasifikasikan stresor ke dalam tiga
kategori, yaitu :
1. Peristiwa Dahsyat (Cataclysmic events)
Fenomena besar atau tiba-tiba terjadi, kejadian-kejadian penting yang
mempengaruhi banyak orang, seperti bencana alam.
2. Stresor Pribadi (Personal stressors)
Kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi sedikit orang atau
sejumlah orang tertentu, seperti krisis keluarga.
3. Stresor Dasar (Background stressors)
Pertikaian atau permasalahan yang biasa terjadi setiap hari, seperti
masalah dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan.
Ada beberapa jenis-jenis stresor psikologis (Rice, 1998), yaitu :
1. Tekanan
Tekanan terjadi karena adanya suatu tuntutan untuk mencapai sasaran
atau tujuan tertentu maupun tuntutan tingkah laku tertentu. Secara umum,
tekanan mendorong individu untuk meningkatkan performa,
mengintensifkan usaha atau mengubah sasaran tingkah laku.
Universitas Sumatera Utara
17
Universitas Sumatera Utara
Tekanan sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki
bentuk yang berbeda-beda pada tiap individu. Tekanan dalam kasus
tertentu dapat menghabiskan sumber-sumber daya yang dimiliki dalam
proses pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat mengarah
pada perilaku maladaptive serta menimbulkan stres (Sarafino, 2011).
Tekanan dapat berasal dari dua sumber, yaitu:
a. Sumber internal
Sumber tekanan yang berasal dari dalam diri seseorang, antara lain
adalah konsep diri dan komitmen personal.
b. Sumber eksternal
Sumber tekanan eksternal banyak berkaitan dengan tekanan waktu,
peran yang dijalani, juga berkaitan dengan tuntutan-tuntutan orang
lain, misalnya, seorang siswa yang mengejar target agar lulus
dalam ujian masuk perguruan tinggi favorit atau dapat berupa
tuntutan orang tua.
2. Frustrasi
Frustrasi adalah situasi apa pun di mana individu tidak dapat mencapai
tujuan yang diinginkan. Frustrasi dapat terjadi apabila usaha individu
untuk mencapai sasaran tertentu mendapat hambatan atau hilangnya
kesempatan dalam mendapatkan hasil yang diinginkan. Frustrasi dapat
juga diartikan sebagai efek psikologis terhadap situasi yang mengancam,
seperti misalnya timbul reaksi marah, penolakan maupun depresi
(Santrock, 2010).
3. Konflik
Konflik merupakan munculnya dua kecenderungan yang bertentangan
secara simultan. Konflik dapat muncul karena adanya kebutuhan internal
atau motif yang bertentangan, karena tuntutan eksternal yang
bertentangan, atau karena motif internal yang berlawanan dengan
tuntutan eksternal. Keadaan dimana terdapat dua atau lebih motif yang
Universitas Sumatera Utara
18
Universitas Sumatera Utara
tidak terpuaskan karena motif-motif itu saling berkaitan satu sama lain
(Rice, 1998). Konflik berkaitan erat dengan konsep frustrasi. Psikologi
menggunakan ‘pendekatan’ dan ‘penghindaran’ dalam usaha menghadapi
konflik. Dalam hal ini, kita akan ‘mendekati’ sesuatu yang kita harapkan
dan ‘menghindari’ sesuatu yang tidak kita harapkan. Menurut Miller
(1959) dalam Sarafino (2011), ada empat jenis utama dari konflik yang
meliputi ‘pendekatan’ dan ‘penghindaran’, yakni :
a. Konflik mendekat-mendekat (Approach-approach conflict)
Konflik ini terjadi pada saat seseorang diharuskan memilih dua
alternatif yang sama-sama menarik tapi saling bertentangan serta
ingin dipenuhi pada saat yang bersamaan. Misalnya, seseorang
harus memilih diantara dua tawaran pekerjaan yang diberikan
kepadanya, dimana kedua pekerjaan ini sama-sama baik, bergengsi
dan dengan gaji yang cukup layak.
b. Konflik menghindar-menghindar (Avoidance-avoidance conflict)
Konflik ini muncul pada saat seseorang terjebak dalam dua pilihan
yang tidak diinginkan, namun pilihan harus tetap ditentukan.
Misalnya, seorang remaja yang harus memilih presentasi di depan
kelas atau tidak datang dan mendapat nilai nol.
c. Konflik mendekat-menghindar (Approach-avoidance conflict)
Konflik ini terjadi apabila seseorang menerima suatu tujuan yang
positif yang juga akan menghasilkan satu akibat yang negatif.
Misalnya, seorang siswa SMA yang akan melanjut ke perguruan
tinggi yang terletak di luar kota, tapi harus meninggalkan
keluarganya.
d. Berbagai konflik mendekat-menghindar (Multiple approach-
avoidance conflict)
Konflik yang menginginkan individu untuk memilih diantara dua
pilihan, di mana masing-masing memiliki dampak yang positif dan
konsekuensi yang negatif. Misalnya, pilihan antara masuk ke tim
basket yang terkenal, menjadi langganan juara, tetapi pelatih dan
Universitas Sumatera Utara
19
Universitas Sumatera Utara
beberapa pemain dalam tim itu tidak kamu sukai. Atau masuk ke
tim basket yang tidak terkenal, sering melakukan permainan yang
memalukan, tetapi pelatih dan pemain timnya kamu sukai.
2.3.5. Fisiologi Stres
Sistem stres manusia terdiri dari hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA)
axis dan sistem saraf simpatik (Tsatsoulis et al. 2006). Kedua sistem ini bekerja
secara koordinasi untuk memberi respon "fight or flight" terhadap anggapan
ancaman. Respon tersebut dapat mengajukan peningkatan tekanan arteri,
perpindahan darah dari viseral ke otot aktif dan otak, peningkatan kadar
metabolisme selular, peningkatan glikolisis, peningkatan kekuatan otot,
peningkatan aktivasi mental dan peningkatan kadar koagulasi darah (Guyton,
2006). Tubuh manusia memberi respon-respon tersebut karena terjadinya
pembebasan neurotransmiter dan hormon-hormon yang khusus. HPA axis
bertanggung jawab untuk mengaktivasi pelepasan glukokortikoid, di mana 95%
dalam bentuk kortisol (juga dikenali sebagai hidrokortison) dari korteks adrenal
(Guyton, 2006). Efek dari kortisol adalah mobilisasi protein dari otot dan asam
lemak yang berasal dari sel adipose, peningkatan lemak di hepar, dan juga sebagai
suatu respon anti-inflamasi (Guyton, 2006).
Sistem saraf simpatis bertanggung jawab untuk menstimulasi simpatis
baik secara langsung ataupun tidak langsung yaitu dengan aktivasi pelepasan
katekolamin dari medula adrenal (Guyton, 2006). Seperti epinefrin dan non-
epinefrin, hormon ini juga memberi efek kepada target organ dengan cara yang
sama yaitu peningkatan nadi jantung, inhibisi fungsi sistem pencernaan, dilatasi
pupil dan respon lain yang berkaitan dengan aktivasi simpatis (Guyton, 2006).
Kedua cabang simpatis dan parasimpatis sistem saraf otonom diaktivasi secara
terus-berterusan dan kronis akan menyebabkan terjadinya degenerasi dan
disfungsi. Jika stres tersebut bersifat kronis, bahan kimia termasuk
neurotransmiter dan hormon akan menetap di aliran darah. Stres yang
berkepanjangan boleh menyebabkan nyeri kepala, penurunan fungsi sistem imun,
Universitas Sumatera Utara
20
Universitas Sumatera Utara
lelah, kelainan jantung, depresi dan gangguan mental emosional yang lain
(Carruthers, 2006).
Sumber : Guyton et al. 2006
Gambar 2.3. Fisiologi Stres
2.3.6. Reaksi terhadap Stres
Menurut Sarafino (2011), reaksi seseorang terhadap stres yang
dihadapinya dipengaruhi dua aspek, yaitu :
1. Aspek Biologis
Walter Canon (Sarafino, 2011) memberikan deskripsi mengenai
bagaimana reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam. Ia
menyebut reaksi tersebut sebagai fight-or-flight response karena respon
fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari
situasi yang mengancam tersebut.
Fight-or-flight response menyebabkan individu dengan cepat dapat
merespon terhadap situasi yang mengancam. Namun arousal stres yang
terus menerus tinggi dapat membahayakan kesehatan individu. Seyle
(Sarafino, 2011) mempelajari akibat yang diperoleh jika stresor terus
Universitas Sumatera Utara
21
Universitas Sumatera Utara
menerus muncul. Lalu ia mengemukakan istilah General Adaptation
Syndrome (GAS), yang terdiri dari rangkaian tahapan reaksi fisiologis
terhadap stresor, yakni :
a. Alarm Reaction
Tahapan pertama ini mirip dengan fight-or-flight response. Pada
tahap ini arousal yang terjadi pada tubuh organisasi berada di bawah
normal yang untuk selanjutnya meningkat di atas normal. Pada akhir
tahapan ini, tubuh melindungi organisme terhadap stresor. Tetapi
tubuh tidak dapat mempertahankan intensitas arousal dari alarm
reaction dalam waktu yang sangat lama.
b. Stage of Resistance
Arousal masih tinggi, tubuh masih terus bertahan untuk melawan
dan beradaptasi dengan stresor. Respoon fisiologis menurun, tetapi
masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normal.
c. Stage of Exhaustion
Respon fisiologis masih terus berlangsung. Hal ini dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh dan menguras energi tubuh
sehingga terjadi kelelahan pada tubuh. Stresor yang terus terjadi
akan mengakibatkan penyakit dan kerusakan fisiologis dan dapat
menyebabkan kematian.
2. Aspek Psikologis
Reaksi psikologis terhadap stres dapat meliputi :
a. Kognisi
Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas
kognitif (Sarafino, 2011). Stresor berupa kebisingan dapat
menyebabkan defisit kognitif pada anak-anak (Sarafino,2011).
b. Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunaka
keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian
kognitif dapat mempengaruhi stres dan pengalaman emosional
(Sarafino, 2011). Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut,
Universitas Sumatera Utara
22
Universitas Sumatera Utara
phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih dan rasa marah (Lazarus,
1999).
c. Perilaku sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain
(Sarafino, 2011). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun
negatif.
2.3.7. Penanggulangan Stres
Setiap individu memberi respon yang berbeda terhadap stres.
Penanggulangan stres merupakan pikiran dan perilaku yang dibutuhkan untuk
mengelola permintaan secara internal dan eksternal yang ditafsirkan sebagai stres
(Folkman & Moskowitz, 2004).
Hubungan antara penanggulangan stres dengan kejadian stres adalah
suatu proses dinamik (Folkman & Moskovitz, 2004). Jadi, penanggulangan stres
bukan aksi yang berlaku sekali saja tetapi merupakan peristiwa yang berlangsung
dari waktu ke waktu di mana individu dengan lingkungan saling mempengaruhi.
Kepribadian seseorang dapat berpengaruh terhadap cara bagaimana individu
tersebut menanggulangi peristiwa yang stres. Karakteristik ini disebabkan oleh
faktor genetik dan faktor lingkungan. Terdapat empat tipe metode
penanggulangan stres yaitu kognitif, emosional, perilaku dan fisik.
Tabel 2.2. Metode Penanggulangan Stres (Bernstein & Nash, 2006)
Tipe metode Penjelasan
Kognitif Menganggap stresor sebagai tantangan dan mengelakkan
dirinya dari perfeksionisme.
Emosional Mencari dukungan sosial dan mendapat nasehat dari yang lain.
Perilaku Melaksanakan rencana manajemen waktu dan berusaha untuk
mengubah pola hidup untuk eliminasi stresor.
Fisik Pelatihan relaksasi yang progresif, berolahraga dan meditasi.
Universitas Sumatera Utara
23
Universitas Sumatera Utara
2.4. Remaja
2.4.1. Definisi Remaja
Masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah orang-orang
yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya
dalam masalah hak. (Sadock & Sadock, 2007)
Sadock & Sadock (2007) membagi remaja menjadi tiga tahap, yaitu:
1. Remaja awal
Dari usia 12-14 tahun. Pada tahap ini, remaja mulai mengkritik
kebiasaan-kebiasaan di keluarga, mempunyai kesadaran yang lebih tinggi
terhadap penampilan, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan
teman sebaya.
2. Remaja pertengahan
Dari usia 14-16 tahun. Pada tahap ini, remaja berusaha untuk mencapai
tujuan-tujuan mereka secara mandiri, perilaku seksual meningkat,
bergaul dengan teman yang memiliki ketertarikan yang sama, sering
terjadi konflik dengan orang tua menyangkut otonomi remaja.
3. Remaja lanjut
Dari usia 17-19 tahun. Pada tahap ini, minat remaja meningkat pada
fungsi intelektual, prestasi akademik, berpartisipasi dalam aktivitas
olahraga dan mengambil tanggung jawab dalam suatu kelompok sosial.
2.4.2. Karakteristik Masa Remaja
Menurut Sadock & Sadock (2007), ciri-ciri masa remaja antara lain :
1. Masa remaja sebagai periode penting
Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan
penting dimana semua perkembangan itu memerlukan penyesuaian
mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.
2. Masa remaja sebagai perode peralihan
Peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap
perkembangan berikutnya, yang juga dapat diartikan bahwa apa yang
Universitas Sumatera Utara
24
Universitas Sumatera Utara
telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi
sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan
sikap yang baru pada tahap berikutnya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar
dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan
pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung
pesat. Perubahan fisik menurun sehingga perubahan sikap dan perilaku
juga menurun.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya masing-masing, namun masalah
remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki
maupun anak perempuan.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian
diri dengan standard kelompok lebih penting daripada bersikap
individualistis. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal
masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat
laun mereka mulai mendambakan identitas diri yang berbeda dengan
orang lain.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak
rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku
merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan
mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan
bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-
cita. Semakin tidak realistik cita-citanya, ia akan semakin menjadi marah.
Universitas Sumatera Utara
25
Universitas Sumatera Utara
Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya
atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah
untuk meninggalkan stereotype belasan tahun dan untuk memberikan
kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan
diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu
merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat
dalam perbuatan seks. Mereka beranggapan bahwa perilaku ini akan
memberi citra yang mereka inginkan.
2.4.3. Penyebab stres pada remaja
Menurut Sadock & Sadock (2007) ada empat faktor yang dapat membuat
remaja menjadi stres, yaitu penggunaan obat-obat terlarang, kenakalan remaja,
pengaruh negatif, dan masalah akademis.
Menurut Walker (2002), ada tiga faktor yang dapat menyebabkan remaja menjadi
stres, yaitu:
1. Faktor biologis, seperti sejarah depresi dan bunuh diri di dalam keluarga,
penggunaaan alkohol dan obat-obatan di dalam keluarga, siksaan secara
seksual dan fisik di dalam keluarga, penyakit yang serius yang diderita
remaja atau anggota keluarga, sejarah keluarga atau individu dari
kelainan psikiatri seperti skizofrenia, maniak depresif, gangguan perilaku
dan kejahatan, kematian salah satu anggota keluarga, ketidakmampuan
belajar atau ketidakmampuan mental atau fisik, perceraian orang tua, dan
konflik dalam keluarga.
2. Faktor kepribadian, seperti tingkah laku impulsif, obsesif, dan ketakutan
yang tidak nyata, tingkah laku agresif dan antisosial, penggunaan dan
ketergantungan obat terlarang, hubungan sosial yang buruk dengan orang
lain, menyalahkan diri sendiri dan merasa bersalah, dan masalah tidur
atau makan.
Universitas Sumatera Utara
26
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor psikologis dan sosial, seperti kehilangan orang yang dicintai,
seperti kematian teman atau anggota keluarga, putus cinta, kepindahan
teman dekat atau keluarga, tidak dapat memenuhi harapan orang tua,
seperti kegagalan dalam mencapai tujuan, tinggal kelas, dan penolakan
sosial, tidak dapat menyelesaikan konflik dengan anggota keluarga,
teman sebaya, guru, pelatih, yang dapat mengakibatkan kemarahan,
frustrasi, dan penolakan, pengalaman yang dapat membuatnya merasa
rendah diri dapat mengakibatkan remaja kehilangan harga diri atau
penolakan, dan pengalaman buruk seperti hamil atau masalah keuangan.
Sedangkan menurut Needlmen (2004), beberapa sumber stres yang
dialami remaja, yaitu :
1. Stres Biologis (Biological Stress)
Tubuh remaja berubah secara cepat, remaja merasa bahwa semua orang
melihat dirinya. Jerawat juga dapat membuat remaja stres, terutama bagi
mereka yang mempunyai pikiran sempit tentang kecantikan yang ideal.
Saat yang sama, remaja menjadi sibuk di sekolah sehingga dapat
membuat remaja kekurangan tidur.
2. Stres Keluarga (Family Stress)
Salah satu sumber stres utama pada remaja adalah hubungannya dengan
orang tua, karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas,
tetapi di lain pihak mereka juga ingin diperhatikan.
3. Stres di sekolah (School Stress)
Tekanan dalam masalah akademis cenderung tinggi pada dua tahun
terakhir di sekolah, keinginan untuk mendapat nilai tinggi, atau
keberhasilan dalam bidang olahraga, di mana remaja selalu berusaha
untuk tidak gagal, ini semua dapat menyebabkan stres.
4. Stres pada teman sebaya (Peer Stress)
Stres pada teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun
sekolah. Remaja yang tidak diterima oleh teman-temannya biasanya akan
tertutup dan mempunyai harga diri yang rendah. Pada beberapa remaja,
Universitas Sumatera Utara
27
Universitas Sumatera Utara
agar dapat diterima oleh teman-temannya, mereka melakukan hal-hal
negatif, seperti merokok, minum alkohol, dan menggunakan obat
terlarang.
5. Stres Sosial (Social Stress)
Remaja tidak mendapat tempat pada pergaulan orang dewasa, karena
mereka tidak diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka,
tidak boleh membeli alkohol secara legal.
Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1995), mahasiswa yang berada di masa
remaja lanjut menghadapi berbagai kesulitan penyesuaian dan tidak semua
mampu mengatasinya sendiri sehingga cenderung untuk mengalami stres.
Kesulitan penyesuaian tersebut berkisar pada:
1. Perbedaan sifat pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
dengan Perguruan Tinggi (PT)
a. Kurikulum
Isi kurikulum PT biasanya lebih sedikit tetapi lebih mendalam. Jika
kebetulan senang dengan bidang yang dipilih, kelanjutan dan
kegairahan belajar akan lebih lancar. Sebaliknya jika tidak sesuai,
kegairahan akan menurun, bahkan bisa menimbulkan gangguan pada
kepribadian.
b. Disiplin
Di PT biasanya tidak sedisiplin di SLTA karena dianggap sudah
lebih dewasa dan tanggung jawab diserahkan kepada mahasiswa
yang bersangkutan. Hal ini mengubah cara belajar dan bisa
menyebabkan kesulitan tersendiri.
c. Hubungan dosen mahasiswa
Pola hubungan sangat berbeda dibandingkan ketika di SLTA. Dialog
langsung pada tingkat awal yang jumlah mahasiswanya besar,
cenderung jarang dilakukan di ruangan. Karena itu mahasiswa harus
menyesuaikan cara dosen memberi kuliah yang masih banyak
mempergunakan cara tradisional yakni dosen menerangkan tanpa
memperdulikan apakah mahasiswa mengerti atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
28
Universitas Sumatera Utara
2. Hubungan sosial
Pada remaja lanjut, pola pergaulan sudah bergeser dari pola pergaulan
yang homoseksual ke arah heteroseksual sehingga masalah pergaulan
bisa menjadi masalah yang penting, baik mengenai percintaan, kesulitan
penyesuaian diri, dan keterlibatan terhadap pengaruh kelompok
pergaulan yang bisa bersifat negatif.
3. Masalah ekonomi
Sekalipun mahasiswa sudah bisa melepaskan diri dari ketergantungan
psikis, ketergantungan ekonomi masih ada karena pada umumnya belum
berpenghasilan. Kelonggaran untuk mempergunakan uang tidak sebebas
menetukan tingkah laku dan sikap.
4. Pemilihan jurusan
Antara bakat dan minat dengan kesempatan sering tidak sejalan sehingga
merasa salah pilih jurusan. Tahap mencoba-coba dan memilih jurusan
sesuai dengan keinginan orang tua sering dialami mahasiswa tahun
pertama.
Universitas Sumatera Utara
29
Universitas Sumatera Utara
2.5. Hassles Assessment Scale for Student in College (HASS/Col)
Stres merupakan suatu konsep yang sulit diartikan bahkan lebih sulit
untuk menilainya. Meskipun demikian, berdasarkan bukti yang ada, stres
memiliki hubungan yang moderat dengan kesehatan dan merupakan salah satu
dari banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit (Sarafino, 2011).
HASS/Col adalah suatu skala yang terdiri dari kejadian umum yang tidak
menyenangkan bagi para mahasiswa (Sarafino, 2011).
Setiap kejadian tersebut diukur berdasarkan frekuensi terjadinya dalam
satu bulan, dalam bentuk skala sebagai berikut:
1. Tidak pernah diberi skor 0
2. Sangat jarang diberi skor 1
3. Beberapa kali diberi skor 2
4. Sering diberi skor 3
5. Sangat sering diberi skor 4
6. Hampir setiap saat diberi skor 5
Semua penilaian diakumulasikan, kemudian disesuaikan dengan
tingkatan stres. Skor kurang dari 75 menunjukkan seseorang mengalami stres
lebih rendah, skor 75-135 menunjukkan seseorang mengalami stres menengah,
skor lebih dari 135 menunjukkan seseorang mengalamin stres lebih tinggi.
(Sarafino, 2011)
Universitas Sumatera Utara