repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 35210 › chapter...

19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Panggul 2.1.1. Tulang Panggul Pelvis (panggul) tersusun atas empat tulang: sakrum, koksigis, dan dua tulang inominata yang terbentuk oleh fusi ilium, iskium, dan pubis. Tulang-tulang inominata bersendi dengan sakrum pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan tulang inominata sebelahnya di simfisis pubis (Cunningham, et al, 2010). Panggul dibagi menjadi dua regio oleh bidang imajiner yang ditarik dari promontorium sakrum ke pinggir atas simfisis pubis, yaitu: a. Panggul palsu Terletak di atas bidang, berfungsi untuk menyokong intestinum. b. Panggul sejati Terletak di bawah bidang, memiliki dua bukaan yaitu: arpertura pelvis superior (pintu atas panggul) dan arpetura pelvis inferior (pintu bawah panggul) (Baun, 2005). Selama proses kelahiran pervaginam, bayi harus dapat melewati kedua pembukaan panggul sejati ini (Amatsu Therapy Association and Amatsu Association of Ireland, 2006). Gambar 2.1. Gambaran anteroposterior panggul normal wanita dewasa. Digambarkan diameter anteroposterior (AP) dan Transversal (T) pintu atas panggul. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23 rd ed. Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 27-Feb-2020

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Panggul

2.1.1. Tulang Panggul

Pelvis (panggul) tersusun atas empat tulang: sakrum, koksigis, dan

dua tulang inominata yang terbentuk oleh fusi ilium, iskium, dan pubis.

Tulang-tulang inominata bersendi dengan sakrum pada sinkondrosis

sakroiliaka dan bersendi dengan tulang inominata sebelahnya di simfisis

pubis (Cunningham, et al, 2010).

Panggul dibagi menjadi dua regio oleh bidang imajiner yang ditarik

dari promontorium sakrum ke pinggir atas simfisis pubis, yaitu:

a. Panggul palsu

Terletak di atas bidang, berfungsi untuk menyokong intestinum.

b. Panggul sejati

Terletak di bawah bidang, memiliki dua bukaan yaitu: arpertura pelvis

superior (pintu atas panggul) dan arpetura pelvis inferior (pintu bawah

panggul) (Baun, 2005).

Selama proses kelahiran pervaginam, bayi harus dapat melewati

kedua pembukaan panggul sejati ini (Amatsu Therapy Association and

Amatsu Association of Ireland, 2006).

Gambar 2.1. Gambaran anteroposterior panggul normal wanita dewasa. Digambarkan diameter anteroposterior (AP) dan Transversal (T) pintu atas panggul. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Bidang Diameter Panggul

Panggul memiliki empat bidang imajiner:

a. Bidang pintu atas panggul (apertura pelvis superior).

Bentuk pintu atas panggul wanita, dibandingkan dengan pria,

cenderung lebih bulat daripada lonjong. Terdapat empat diameter pintu

atas panggul yang biasa digunakan: diameter anteroposterior, diameter

transversal, dan diameter oblik. Diameter anteroposterior yang penting

dalam obstetrik adalah jarak terpendek antara promontorium sakrum dan

simfisis pubis, disebut sebagai konjugata obtetris. Normalnya, konjugata

obstertis berukuran 10 cm atau lebih, tetapi diameter ini dapat sangat

pendek pada panggul abnormal. Konjugata obsteris dibedakan dengan

diameter anteroposterior lain yang dikenal sebagai konjugata vera.

Konjugata vera tidak menggambarkan jarak terpendek antara

promontorium sakrum dan simfisis pubis. Konjugata obstetris tidak dapat

diukur secara langsung dengan pemeriksaan jari. Untuk tujuan klinis,

konjugata obstetris diperkirakan secara tidak langsung dengan mengukur

jarak tepi bawah simfisis ke promontorium sakrum, yaitu konjugata

diagonalis, dan hasilnya dikurangi 1,5-2 cm.

Gambar 2.2. Gambaran tiga diameter anteroposterior pintu atas panggul: konjugata vera, konjugata obstetris dan konjugata diagonalis yang dapat diukur secara klinis. Diameter anteroposterior panggul tengah juga diperlihatkan. (P = promontorium sakrum; Sim = simfisis pubis). Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

Universitas Sumatera Utara

b. Bidang panggul tengah (dimensi panggul terkecil).

Panggul tengah diukur setinggi spina iskiadika, atau bidang

dimensi panggul terkecil. Memiliki makna khusus setelah engagement

kepala janin pada partus macet. Diameter interspinosus, berukuran 10 cm

atau sedikit lebih besar, biasanya merupakan diameter pelvis terkecil.

Diameter anteroposterior setinggi spina iskiadika normal berukuran

paling kecil 11, 5cm.

Gambar 2.3. Panggul wanita dewasa yang memperlihatkan diameter anteroposterior dan transversal pintu atas panggul serta diameter transversal (interspinosus) panggul tengah. Konjugata obstetris normalnya lebih dari 10 cm. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

c. Bidang pintu bawah panggul (apertura pelvis inferior).

Pintu bawah panggul terdiri dari dua daerah yang menyerupai

segitiga. Area-area ini memiliki dasar yang sama yaitu garis yang ditarik

antara dua tuberositas iskium. Apeks dari segitiga posteriornya berada di

ujung sakrum dan batas lateralnya adalah ligamentum sakroiskiadika dan

tuberositas iskium. Segitiga anterior dibentuk oleh area di bawah arkus

pubis. Tiga diameter pintu bawah panggul yang biasa digunakan yaitu:

anteroposterior, transversal, dan sagital posterior.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4. Pintu bawah panggul dengan diameter-diameter yang penting. Perhatikan bahwa diameter anteroposterior dapat dibagi menjadi diameter sagital anterior dan posterior. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

d. Bidang dengan dimensi panggul terbesar (tidak memiliki arti klinis).

(Cunningham, et al., 2010)

2.1.3. Bentuk-bentuk Panggul

Caldwell dan Moloy mengembangkan suatu klasifikasi panggul yang

masih digunakan hingga saat ini. Klasifikasi Caldwell-Molloy didasarkan

pada pengukuran diameter transversal terbesar di pintu atas panggul dan

pembagiannya menjadi segmen anterior dan posterior. Bentuk segmen-

segmen ini menentukan klasifikasi panggul menjadi: panggul ginekoid,

anthropoid, android, ataupun platipeloid. Karakter segmen posterior

menentukan tipe panggulnya, dan karakter segmen anterior menetukan

kecenderungannya. Kedua hal ini ditentukan karena kebanyakan panggul

bukan merupakan tipe murni, melainkan campuran, misalnya, panggul

ginekoid dengan kecenderungan android berarti panggul posteriornya

berbentuk ginekoid dan panggul anteriornya berbentuk android.

(Cunningham, et al., 2010)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. Empat tipe panggul dengan klasifikasi Caldwell-Moloy. Garis yang melintasi diameter transversal terlebar membagi pintu atas menjadi segmen posterior dan anterior. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

Panggul ginekoid dianggap sebagai panggul normal wanita,

sementara panggul android merupakan varian dari panggul pria. Panggul

android lebih sering ditemukan pada wanita dengan akitvitas fisik yang

berat selama masa remaja. Panggul android juga ditemukan pada wanita

yang mengalami keterlambatan dalam posisi tegak, yaitu setelah usia 14

bulan, sementara panggul platipeloid lebih sering ditemukan pada wanita

yang memiliki kemampuan posisi tegak sebelum umur 14 bulan (Leong,

2006).

2.2. Morfologi Pertumbuhan Janin Normal

2.2.1. Periode Ovum, Zigot, dan Blastokista

Selama 2 minggu pertama setelah ovulasi, fase perkembangan yang

terjadi berturut-turut yaitu: (1) fertilisasi, (2) pembentukan blastokista, dan

(3) inplantasi blsastokista. Vili korionik primitif dibentuk segera setelah

Universitas Sumatera Utara

implantasi. Dengan pembentukan vili korionik, produk konsepsi tidak lagi

disebut zigot, melainkan disebut sebagai embrio.

2.2.2. Periode Embrionik

Periode embrionik dimulai sejak minggu ketiga setelah fertilisasi,

atau bersamaan dengan waktu perkiraan menstruasi berikutnya. Uji

kehamilan yang mengukur kadar hCG (Human Chorionic Gonadotropin)

memberikan hasil positif saat ini. Pada akhir minggu keenam, embrio

memiliki panjang 22-24 mm, di mana kepala relatif lebih besar

dibandingkan badan.

2.2.3. Periode Fetus (Janin)

Akhir periode embrio dan awal periode janin ditetapkan secara tegas

oleh ahli embriologi terjadi 8 minggu setelah fertilisasi, atau 10 minggu

setelah waktu menstruasi terakhir. Saat ini embrio memiliki panjang hanpir

4 cm. Perkembangan selama periode janin terdiri dari pertumbuhan dan

pematangan organ-organ yang telah terbentuk pada masa embrio. Aterm

dicapai pada minggu ke-40 dari awitan menstruasi terakhir. Saat ini janin

sudah berkembang sempurna, dengan rata-rata panjang ubun-ubun-bokong

janin 36 cm, dan berat sekitar 3400 gram.

2.2.4. Kepala Janin

Pada usia kehamilan aterm, wajah hanya merupakan sebagian kecil

dari kepala, sisanya merupakan tengkorak padat yang terdiri dari dua tulang

frontalis, dua tulang parietalis, dan dua tulang temporalis, ditambah bagian

atas tulang oksipitalis dan sayap sfenoid.

Tulang-tulang tengkorak dipisahkan oleh ruangan membranosa yang

disebut sutura. Sutura yang paling penting adalah sutura frontalis, sutura

sagitalis, dua sutura koronaria, dan dua sutura lambdoidea.

Pada tempat pertemuan beberapa sutura terbentuk ruang ireguler,

yang ditutupi oleh suatu membran yang disebut sebagai ubun-ubun. Ubun-

ubun besar atau anterior berbentuk belah ketupat, terletak di pertemuan

antara sutura sagitalis dan sutura koronaria. Ubun-ubun kecil atau posterior

berbentuk segitiga, terletak di perpotongan antara sutura sagitalis dan sutura

Universitas Sumatera Utara

lambdoidea. Lokalisasi ubun-ubun memberikan informasi penting

mengenai presentasi dan posisi janin.

Gambar 2.6. Kepala janin pada kehamilan aterm yang memperlihatkan ubun-ubun, sutura, dan diameter biparietal. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

Biasanya dilakukan pengukuran beberapa diameter dan lingkar

tertentu pada kepala neonatus. Diameter-diameter yang penting antara lain:

a. Diameter oksipitofrontalis (11,5 cm), mengikuti garis dari titik tepat di

atas pangkal hidung ke bagian yang paling menonjol dari tulang

oksipitalis.

b. Diameter biparietalis (9,5 cm), garis tengah transversal terpanjang pada

kepala, memanjang dari satu tulang parietalis ke tulang parietalis

lainnya.

c. Diameter bitemporalis (8,0 cm), jarak terjauh antara dua sutura

temporalis.

d. Diameter oksipitomentalis (12,5 cm), dari dagu ke bagian yang paling

menonjol dari oksiput.

e. Diameter suboksipitobregmatikus (9,5 cm), mengikuti garis yang ditarik

dari bagian tengah ubun-ubun besar ke permukaan bawah tulang

oksipitalis tepat di pertemuan tulang ini dengan leher.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7. Diameter-diameter kepala janin cukup bulan. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

Lingkar tebesar kepala, berdasarkan bidang diameter

oksipitofrontalis berukuran rata-rata 34,5 cm. Lingkar terkecil kepala,

berdasarkan bidang suboksipitobregmatikus, berukuran 32 cm. Tulang-

tulang kranium dalam keadaan normal dihubungkan hanya oleh sebuah

lapisan tipis jaringan fibrosa yang memungkinkan masing-masing tulang

bergeser untuk menyesuaikan dengan ukuran dan bentuk panggul ibu.

Proses ini disebut sebagai molding. Pada persalinan lewat bulan, osifikasi

tengkorak telah terjadi sehingga kemampuan tulang-tulang tengkorak untuk

bergerak menjadi berkuramg. Bayi prematur memiliki tengkorak yang lebih

lunak dan sutura yang lebih lebar sehingga molding yang terjadi dapat

berlebihan (Bennett & Brown, 2009).

Posisi kepala dan derajat osifikasi menghasilkan spektrum plastisitas

kranium yang bervariasi, dari minimal hingga maksimal. Pada beberapa

kasus, hal ini menimbulkan disproporsi fetopelvik yang menjadi indikasi

utama seksio sesarea.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Kondisi Janin dalam Persalinan

Terdapat 6 variabel penting pada janin yang mempengaruhi proses

melahirkan:

a. Ukuran janin

Ukuran janin dapat ditentukan secara klinis melalui palpasi

abdomen atau melalui pemeriksaan ultrasonografi, namun kedua

pemeriksaan memiliki derajat kesalahan yang tinggi. Makrosomia fetus

berkaitan dengan kegagalan trial of labor.

b. Letak janin

Letak janin menyatakan aksis janin relatif terhadap aksis

longitudinal uterus. Letak janin dapat bervariasi yaitu: longitudinal,

transversal, atau oblik. Pada kehamilan tunggal, hanya janin dengan

letak longitudinal yang dapat selamat melalui persalinan pervaginam.

c. Presentasi janin

Presentasi merupakan bagian terbawah janin yang paling dekat

dengan jalan lahir. Janin dengan letak longitudinal memiliki presentasi

wajah atau bokong. Presentasi campuran menyatakan bahwa terdapat

lebih dari satu bagian tubuh janin pada pintu atas panggul. Presentasi

funik menyatakan presentasi tali pusat, jarang terjadi. Fetus dengan

presentasi kepala diklasifikasikan berdasarkan bagian dari tulang

tengkorak yang tampak yaitu oksiput (veteks), sinsiput, wajah, atau

dahi (Cunningham, et al, 2010). Malpresentasi menunjuk pada

presentasi selain verteks, dan hal ini terjadi pada sekitar 5% persalinan.

Gambar 2.8. Letak memanjang, presentasi kepala. Perbedaan sikap tubuh janin pada presentasi (A) verteks, (B) sinsiput, (C) wajah, (D) dahi. Sumber: Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

Universitas Sumatera Utara

d. Sikap atau postur janin

Sikap menyatakan posisi kepala dalam hubungan dengan tulang

belakang janin (derajat fleksi/ ekstensi kepala janin). Fleksi kepala

penting dalam engagement kepala fetus pada panggul ibu. Jika dagu

fetus mengalami fleksi optimal hingga mencapai dada, diameter

suboksipitobregmatikus tampil pada pintu atas panggul. Hal ini

merupakan diameter terkecil yang dapat muncul pada presentasi kepala.

Diameter yang muncul pada pintu atas panggul meningkat sejalan

dengan derajat ekstensi (defleksi) kepala. Hal ini dapat menyebabkan

kegagalan kemajuan persalinan. Arsitektur dinding pelvis bersama

dengan peningkatan aktivitas uterus dapat memperbaiki derajat defleksi

pada tahap awal persalinan.

e. Posisi janin

Posisi janin menyatakan hubungan antara titik acuan pada bagian

terbawah janin dengan sisi kanan atau kiri jalan lahir. Hal ini dapat

ditentukan melalui pemeriksaan vagina. Pada presentasi kepala, oksiput

menjadi acuan penilaian. Jika oksiput mengarah secara langsung ke

anterior, posisi menjadi oksiput anterior (OA). Jika oksiput mengarah

ke sisi kanan ibu, posisi menjadi oksiput anterior kanan (ROA). Pada

presentasi oksiput, variasi posisi janin dapat disingkat dengan

membentuk arah jarum jam sebagai berikut (Cunningham, et al, 2010):

Pada persalinan sungsang, sakrum menjadi acuan penilaian. Pada

presentasi verteks posisi dapat ditentukan dengan palpasi sutura janin.

Sutura sagitalis merupakan sutura yang paling mudah dipalpasi.

Biasanya kepala janin memasuki pintu atas panggul dalam posisi

Universitas Sumatera Utara

transversal, dan pada persalinan normal, kepala mengalami rotasi

menjadi posisi OA. Kebanyakan bayi dilahirkan dengan posisi OA,

ROA, ataupun LOA. Malposisi menunjukkan persalinan dengan posisi

selain OA, ROA, ataupun LOA.

f. Station

Station merupakan pengukuran turunnya bagian janin melalui jalan

lahir. Standar klasifikasi dinyatakan dalam derajat -5 sampai dengan +5.

Penentuan ini didasarkan pada pengukuran kuantitatif dalam sentimeter

pada tepi awal tulang dari spina iskiadia. Titik tengah (station 0)

didefinisikan sebagai bidang spina iskiadika ibu. Spina iskiadika ibu

dapat dipalpasi pada pemeriksaan vagina, kira-kira searah jam 8

ataupun jam 4.

(Cunningham, et al, 2010; Kilpatrick & Garrison, 2007)

2.4. Distosia

2.4.1. Definisi

Secara harafiah, distosia berarti persalinan sulit yang ditandai oleh

terlalu lambatnya kemajuan persalinan (Cunningham, et al., 2010). Suatu

persalinan juga dianggap mengalami hambatan jika bagian presentasi janin

tidak mengalami kemajuan melewati jalan lahir, walaupun dengan kontraksi

uterus yang adekuat (Dolea & AbouZahr, 2003).

2.4.2. Etiologi

Menurut American College of Obstericians and Gynecologists

(ACOG) distosia dapat terjadi akibat abnormalitas dari 3 faktor:

a. Power (kekuatan) – kontraktilitas uterus dan daya ekspulsif ibu.

b. Passanger – melibatkan janin.

c. Passage (jalan lahir) – melibatkan panggul.

(Cunningham, et al., 2010)

2.4.3. Faktor Risiko

Ada beberapa faktor risiko seorang wanita mengalami distosia:

a. Ukuran tubuh kecil

Universitas Sumatera Utara

b. Seksio sesarea sebelumnya

c. Nulipara

Tapi faktor-faktor tersebut tidak memiliki nilai yang cukup prediktif

untuk dijadikan sebagai skrining awal terjadinya distosia (Ould El Joud &

Bouvier-Colle, 2001).

2.4.4. Diagnosis

Menurut ACOG Practice Bulletin: Dystocia and Augmentation of

Labour tahun 2003 diagnosis distosia tidak dapat ditegakkan sebelum

persalinan percobaan (trial of labor) yang adekuat tercapai.

Tabel 2.1. Pola Kelainan Persalinan, Kriteria, dan Metode Penanganan

Pola Persalinan Kriteria Diagnostik Anjuran

Penanganan Penanganan

Khusus Nulipara Multipara

Prolongation Disorder > 20 jam > 14 jam Tirah baring Oksitosin/

seksio sesarea

Protraction Disorder

1. Perlambatan dilatasi

pada fase aktif

2. Perlambatan waktu

penurunan kepala

<1,2 cm/jam

<1,0 cm/jam

< 1,4cm/jam

<2,0 cm/jam

Menunggu

dan suportif

Seksio sesarea

untuk CPD

Arrest Disorder

1. Memanjangnya fase

deselerasi

2. Kemacetan pembukaan

sekunder

3. Kemacetan penurunan

4. Kegagalan penurunan

> 3 jam

> 2 jam

> 1 jam (-) penurunan

> 1 jam

> 2 jam

> 1jam (-) penurunan

Evaluasi CPD:

- CPD: seksio

sesarea

- Non CPD:

oksitosin

Istirahat bila

kelelahan

Seksio sesarea

CPD: disproporsi sefalopelvik. Sumber: : Cunningham, et al. Williams Obstetrics, 23rd ed.

2.5. Disproporsi Fetopelvik

2.5.1. Etiologi

Disproporsi fetopelvik timbul akibat kurangnya kapasitas panggul

ibu, ukuran janin yang terlalu besar, atau yang lebih sering, akibat

kombinasi keduanya.

Universitas Sumatera Utara

a. Kapasitas panggul

Setiap penyempitan pada diameter panggul yang mengurangi

kapasitas panggul dapt menyebabkan distosia pada persalinan. Dapat

terjadi penyempitan pintu atas panggul, pintu tengah panggul, pintu

bawah panggul, atau penyempitan panggul secara keseluruhan akibat

kombinasi hal-hal tersebut.

b. Dimensi janin terhadap panggul

Ukuran janin tunggal jarang dapat menjelaskan kegagalan

persalinan. Ambang ukuran janin untuk memprediksi terjadinya

disproporsi fetopelvik masih sulit ditentukan. Didapati 2/3 bayi yang

memerlukan seksio sesarea setelah gagalnya persalinan dengan

menggunakan forsep memiliki berat kurang dari 3700 gram. Jadi faktor-

faktor lain seperti malposisi kepala menyebabkan obstruksi keluarnya

janin melalui jalan lahir. Hal ini termasuk ansinklintismus, posisi oksiput

posterior, serta presentasi kepala dan bahu.

(Cunningham, et al., 2010).

2.5.2. Prevalensi

Dalam suatu penelitian didapati prevalensi disproporsi fetopelvik di

Asia Tenggara sebanyak 6,3% dari kelahiran total. Hal ini menjadi indikasi

kedua tersering dilakukannya tindakan seksio sesarea setelah riwayat seksio

sesarea (7%). Dalam penelitian yang sama didapati bahwa prevalensi

disproporsi fetopelvik di Indonesia berjumlah 3,8% dari kelahiran total, dan

disproporsi fetopelvik menjadi indikasi ketiga tindakan seksio sesarea

(12,8%) setelah malpresentasi (18,6%) dan seksio sesarea sebelumnya

(15,2%) (Festin, et al, 2009). Namun, jika definisi disproporsi fetopelvik

mengikutsertakan malpresentasi seperti yang dikemukakan oleh Craig (pada

penjelasan berikutnya), maka disproporsi fetopelvik menjadi indikasi

tersering dilakukannya tindakan seksio sesarea di Indonesia. Menurut

laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2005, disproporsi

fetopelvik menyumbang sebanyak 8% dari seluruh penyebab kematian ibu

di seluruh dunia.

Universitas Sumatera Utara

2.5.3. Klasifikasi

Klasifikasi klinis disproporsi fetopelvik dibagi menjadi disproporsi

absolut dan relatif.

a. Disproporsi fetopelfik absolut

• Permanen (maternal)

- penyempitan panggul

- eksotosis panggul

- spondilolistesis

- tumor sakrokoksigeal anterior

• Temporer (fetal)

- hidrosefalus

- makrosomia

b. Disproporsi fetopelvik relatif

• presentasi bahu

• presentasi wajah

• posisi oksipitoposterior

• defleksi kepala

2.5.4. Diagnosis

Pengukuran terhadap ibu dan janin telah diupayakan untuk

mendeteksi disproporsi fetopelvik sebelum onset persalinan. Penaksiran

ukuran panggul internal dapat dilakukan dengan menggunakan X-ray

pelvimetry, ultrasound, dan magnetic resonance imaging (MRI).

Stewart, Cowan, dan Philpott mencoba melakukan konfirmasi diagnosis

disproporsi fetopelvik mayor dengan mengadakan pemeriksaan X-ray

pelvimetry setelah persalinan. Dari pemeriksaan mereka, wanita-wanita

Zimbabwe dan Afrika Selatan dengan jenis panggul platipeloid cenderung

mengalami disproporsi fetopelvik. Namun, disimpulkan bahwa X-ray

pelvimetry tidak banyak bermanfaat dalam memprediksi dan mendiagnosis

terjadinya disproporsi fetopelvik.

Pada awal tahun 1990, X-ray pelvimetry digantikan oleh CT

pelvimetry. CT pelvimetry dinilai memberikan keuntungan dalam

Universitas Sumatera Utara

mengurangi paparan radiasi terhadap janin, tapi tidak memiliki nilai

prediktif tambahan terhadap terjadinya disproporsi fetopelvik.

Uji diagnosis dengan menggunakan MRI mulai mendapat perhatian

beberapa tahun terakhir. MRI memberikan gambaran berkualitas tinggi

tanpa paparan radiasi serta memberikan perhitungan volumetrik terhadap

panggul dan kepala janin. Dilaporkan terdapat hubungan yang signifikan

antara gambaran ukuran panggul dengan risiko terjadinya distosia yang

membutuhkan seksio sesarea pada wanita-wanita yang menjalani MRI

pelvimetry di Amerika Serikat. Namun, ternyata MRI dinilai tidak memiliki

kelebihan akurasi dibandingkan metode-metode sebelumnya dalam

memprediksi terjadinya distosia (Zaretsky, et al, 2005).

Akhirnya disimpulkan bahwa tidak ada satu pun dari metode-metode

ini yang reliabel dalam mendiagnosis terjadinya disproporsi fetopelvik.

Metode-metode tersebut meningkatkan nilai prediktif, tapi kebanyakan

wanita dapat melahirkan secara normal walaupun hasil pengukuran

memberi kesan hubungan sefalo-pelvik yang kurang memadai.

Disproporsi fetopelvik biasanya ditentukan secara retrospektif

setelah dilakukan persalinan percobaan (trial of labor) (Arulkumaran,

2007). Diagnosis terbaik terjadinya disproporsi fetopelvik pada nulipara

dilakukan melalui trial of labor dengan pemberian oksitosin, jika

diperlukan, untuk memastikan adanya kontraksi uterus adekuat.

2.6. Persalinan Percobaan (Trial of Labor)

Definisi tepat untuk persalinan percobaan adalah percobaan

persalinan hingga mencapai dilatasi penuh serviks dan dilanjutkan ke kala

dua persalinan dalam 2 jam. Persalinan percobaan dimulai pada permulaan

persalinan dan berakhir setelah kita mendapatkan keyakinan bahwa

persalinan tidak dapat berlangsung pervaginam atau setelah anak lahir

pervaginam. Persalinan percobaan dikatakan berhasil kalau anak lahir

pervaginam secara spontan atau dibantu dengan ekstraksi (forsep atau

vakum) dan anak serta ibu dalam keadaan baik (Kaufmann, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.7. Seksio sesarea

2.7.1. Definisi

Seksio sesarea merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan

uterus untuk mengeluarkan janin (Kamus Kedokteran Dorlan, 2002).

2.7.2. Prevalensi

Dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2007, frekuensi sekio sesarea

di Amerika Serikat meningkat dari 4,5% per kelahiran total menjadi 31,8%

per kelahiran total (Hamilton, et al, 2009; MacDorman, 2008). Peningkatan

ini berlangsung terus menerus, kecuali dari tahun 1989 sampai dengan tahun

1996, frekuensi seksio sesarea di Amerika Serikat mengalami penurunan.

Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya angka

persalinan pervaginam setelah seksio sesarea sebelumnya dan sebagian kecil

oleh berkurangnya angka kejadian seksio sesarea primer. Pada tahun 2007

didapati 30% wanita yang melahirkan di Amerika Serikat menjalani seksio

sesarea (Cunningham et al, 2010). Sebaliknya, frekuensi seksio sesarea

dengan indikasi seksio sesarea sebelumnya mengalami penurunan. Hal ini

menunjukkan adanya peningkatan signifikan kejadian seksio sesarea primer

(Hamilton, et al, 2009).

Dari penelitian yang dilakukan di dua rumah sakit di Yogyakarta

sepanjang tahun 2005, didapati sebanyak 29,6% dari total persalinan

dilakukan secara seksio sesarea. Hasil tersebut hampir mendekati prevalensi

seksio sesarea di Amerika Serikat pada tahun 2007 (Festin, et al, 2009).

2.7.3. Indikasi

Stanton (2008) membagi indikasi seksio sesarea menjadi 2 kelompok

besar yaitu indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi absolut

dilakukannya tindakan seksio sesarea adalah disproporsi fetopelvik yang

nyata atau penyempitan panggul yang nyata. Indikasi relatif dilakukannya

tindakan seksio sesarea antara lain: riwayat seksio sesarea, prematuritas, dan

berat janin kurang dari 3500 gram.

Universitas Sumatera Utara

2.7.4. Teknik

Menurut Berghella (2005), ada beberapa teknik seksio sesarea yaitu:

a. Insisi abdomen

Biasanya dengan melakukan insisi vertikal pada bagian tengah atau

insisi transversal.

• Insisi vertikal

Insisi vertikal garis tengah infraumbilikus merupakan insisi yang

paling cepat dibuat. Insisi ini harus cukup panjang agar janin dapat

lahir tanpa kesulitan. Oleh karena ini, panjang insisi harus sesuai

dengan taksiran ukuran janin. Pembebasan secara tajam dilakukan

sampai batas vagina m.rektus abdominis lamina anterior, yang

dibebaskan dari lemak subkutis untuk memperlihatkan sepotong fasia

di garis tengah dengan lebar sekitar 2 cm. otot rektus dan piramidalis

dipisahkan di garis tengah secara tajam dan tumpul untuk

memperlihatkan fasia transversalis dan peritoneum.

• Insisi transversal

Melalui insisi Pfannenstiel, kulit dan jaringan subkutan disayat

dengan menggunakan insisi transversal rendah sedikit melengkung.

Insisi dibuat setinggi garis rambut pubis dan diperluas sedikit melebihi

batas lateral otot rektus. Insisi jenis ini memiliki keunggulan

kosmetik. Namun, insisi jenis ini juga memiliki kekurangan. Pada

sebagian wanita, pemajanan uterus yang hamil dan apendiksnya tidak

sebaik pada insisi vertikal. Apabila diperlukan ruang lebih banyak,

insisi vertikal dapat dengan cepat diperluas melingkari dan ke atas

pusar, sementara pada insisi Pfannenstiel hal ini tidak dapat dilakukan.

Apabila diinginkan insisi transversal, namun diperlukan ruang yang

lebih lega, insisi Maylard merupakan pilihan yang aman. Pada insisi

ini, otot rektus dipisahkan dengan menggunakan gunting dan skapel.

b. Insisi uterus

Sebagian besar insisi dibuat di segmen bawah uterus secara

transversal, atau yang lebih jarang, secara vertikal. Insisi transversal

Universitas Sumatera Utara

memiliki keunggulan yaitu hanya memerlukan sedikit pemisahan

kandung kemih dari miometrium di bawahnya. Apabila insisi diperluas

ke arah lateral, dapat terjadi laserasi pada salah satu atau kedua

pembuluh uterus.

(Cunningham, et al., 2010).

2.7.5. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi akibat seksio sesarea antara lain:

a. Mortalitas ibu

Angka mortalitas ibu yang melahirkan secara seksio sesarea didapati

25 kali lebih besar dibandingkan angka mortalitas ibu yang melahirkan

secara pervaginam. Komplikasi yang paling sering menyebabkan

mortalitas ibu adalah perdarahan, komplikasi akibat tindakan anestesi,

dan infeksi (Arulkumaran, 2007 & Pernoll, 2001).

b. Morbiditas intraoperatif

Komplikasi bedah intraoperatif diperkirakan lebih dari 11% seluruh

tindakan seksio sesarea (80% minor, 20% mayor). Kompilikasi mayor

berupa: cedera kandung kemih, laserasi hingga serviks atau vagina,

laserasi korpus uterus, laserasi isthmus yang meluas ke ligamen, laserasi

kedua arteri uterus, cedera janin beserta sekuelnya, dan cedera intestinal.

Komplikasi minor meliputi: transfusi darah, cedera janin tanpa sekuel,

dan laserasi minor pada isthmus.

c. Morbiditas pascaoperasi

Morbiditas pascaoperasi diperkirakan sekitar 15% dari seluruh

tindakan seksio sesarea, di mana sebagian besarnya (90%) diakibatkan

oleh infeksi (endometritis, infeksi saluran kemih, dan sepsis).

Komplikasi lain yang tidak begitu sering (10%) disebabkan oleh ileus

paralitik, perdarahan intraabdominal, paresis kandung kemih, trombosis,

dan penyakit paru.

d. Morbiditas dan mortalitas perinatal

Persalinan melalui seksio sesarea memiliki risiko yang lebih kecil

bagi janin dibandingkan persalinan pervaginam, jadi mortalitas dan

Universitas Sumatera Utara

morbiditas bayi menurun. Morbiditas yang menjadi perhatian utama

adalah prematuritas iatrogenik pada seksio sesarea elektif berulang

(Pernoll, 2001).

Universitas Sumatera Utara