repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 19923 › 6... · bab ii tinjauan...
TRANSCRIPT
II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertambangan Batubara
Batubara adalah barang tambang yang berasal dari sedimen bahan organik
dari berbagai macam tumbuhan yang telah membusuk dalam waktu yang sangat
lama dan di area dengan karakteristik kandungan air cukup tinggi. Pembentukan
batubara dimulai dengan proses pembusukan timbunan tanaman dalam tanah dan
membentuk lapisan gambut kadar karbon tinggi. Pembentukan batubara dari
gambut (coalification) dipengaruhi oleh faktor; material pembentuk, temperatur,
tekanan, waktu proses, dan berbagai kondisi lokal seperti kandungan O2, tingkat
keasaman dan kehadiran mikroba. Proses coalification pada gambut terbagi
menjadi 3 tahapan yaitu: pembusukan aerobik, pembusukan anaerobik, dan
bituminisasi (perubahan lignit menjadi bituminus) (Sudibyo, 2008).
Menurut KepMen LH No 113 Tahun 2003, usaha dan atau kegiatan
pertambangan batubara adalah serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan
pengolahan/pencucian batubara. Kegiatan penambangan batubara adalah
pengambilan batubara yang meliputi penggalian, pengangkutan dan penimbunan
baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. Kegiatan
pengolahan/pencucian batubara adalah proses peremukan, pencucian, pemekatan
dan atau penghilangan batuan/mineral pengotor dan atau senyawa belerang dari
batubara tanpa mengubah sifat kimianya.
II-2
Menurut Marganingrum (2010) usaha tambang batubara di Indonesia
umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka (open mining), walaupun ada
beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground mining). PT.
Berau Coal sendiri sebagai perusahan batubara dengan open mining yang berdiri
sebagai perusahaan berbadan hukum dan pemegang izin Perjanjian Karya
Pengusaha Penambangan Batubara (PKP2B), dengan mengawali kegiatan
eksplorasinya sejak tahuk 1983 dan memulai produksi pada tahun 1994. Sampai
sekarang telah berproduksi lebih dari 21 juta MT/tahun dengan wilayah konsesi
kurang lebih sebesar 118.400 hektar yang juga terdiri dari 3 lokasi penambangan
dan produksi, yaitu site Lati, Binungan, dan Sambarata.
Luas wilayah lokasi penambangan secara terbuka mengakibatkan dampak
negatif terhadap lingkungan diantaranya adalah sebagai berikut (Raden, 2010):
1. Terjadinya kerusakan pada bentang alam, karena terbentuknya lubang-lubang
besar akibat dari aktivitas penggalian tambang batubara,
2. Penurunan kesuburan tanah, dan Penurunan muka tanah atau terbentuknya
cekungan pada sisa bahan galian yang dikembalikan ke dalam lubang galian,
3. Rusaknya flora dan fauna endemik,
4. Penurunan kualitas udara akibat meningkatnya kandungan debu di udara,
5. Terjadinya erosi dan sedimen yang memicu timbulnya banjir,
6. Meningkatnya kebisingan,
7. Dan adanya limbah (air asam tambang) yang dapat masuk ke lahan pertanian
dan sungai sehingga merusak biota perairan dan mencemari sumber air dari
masyarakat sekitar.
II-3
8. Mengganggu proses penanaman kembali reklamasi pada galian tambang yang
ditutupi kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun,
kurang bahan organik humus atau unsur hara telah tercuci.
B. Air Asam Tambang
Menurut Kepmen LH No. 113 Tahun 2003, air limbah yang dihasilkan dari
kegiatan penambangan batubara berasal dari kegiatan penambangan batubara dan
air buangan yang berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian batubara. Air
limbah pertambangan batubara ini sering disebut dengan air asam tambang.
Air asam tambang adalah air yang mempunyai sifat asam yang terbentuk di
lokasi penambangan dengan pH yang rendah (pH=3-4) sebagai akibat dari
dibukanya suatu potensi keasaman batuan di lokasi tambang sehingga
menimbulkan permasalahan terhadap kualitas air dan tanah, dimana pembentukan
air asam tambang ini dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu air, oksigen, dan
batuan yang mengandung mineral-mineral sulfida seperti pirit, kalkopirit,
markasit, dll. air asam tambang (AAT) terbentuk sebagai hasil oksidasi mineral
sulfida tertentu yang terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara pada
lingkungan berair (Gautama, 2012).
Menurut Raden (2010), Air asam tambang berpotensi mencemari air
permukaan dan air tanah. Ketika air asam tambang telah menimbulkan
kontaminasi terhadap air maka, akan sulit melakukan tindakan penanganannya.
Air asam tambang atau acid mine drainage (AMD) merupakan cairan (air
limpasan) yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida yang
menghasilkan asam sulfat. Mineral sulfida tersebut di antaranya pirit dan markasit
(FeS2), kalkopirit (CuFeS2), dan arsenopirit (FeAsS) (Skousen et al., 1998). Di
II-4
lokasi pertambangan batubara mineral sulfida yang umum dijumpai adalah pirit
dan markasit (FeS2). Mineral ini ketersediaannya cukup signifikan di dalam
lapisan batubara, overburden, dan interburden. Sehingga, pirit merupakan
penghasil air asam tambang utama di lokasi pertambangan batubara (Salomons,
1995, ICARD, 1997, dalam Nguyen, 2008).
Watzlaf et al. (2004) menyatakan bahwa oksidasi pirit (FeS2) akan
membentuk ion ferro (Fe2+), sulfat, dan beberapa proton pembentuk keasaman,
sehingga kondisi lingkungan menjadi asam. Stumm dan Morgan (1981)
menguraikan reaksi oksidasi pirit (FeS2) dalam reaksi berikut:
Persamaan 1: FeS2 + 7/2 O2 + H2O Fe+2 + 2 SO4-2 + 2 H+
(Besi sulfida teroksidasi melepaskan besi ferro, sulfat dan asam.)
Persamaan 2: Fe+2 + 1/4 O2 + H+ Fe+3 + 1/2 H2O
(Besi ferro akan teroksidasi menjadi besi ferri.)
Persamaan 3: Fe+3 + 3 H2O Fe(OH) + 3H+
(Besi ferri dapat terhidrolisis membentuk ferri hidrosida & asam.)
Persamaan 4: FeS2 + 14 Fe+3 + 8 H2O 15 Fe+2 + 2 SO4-2 + 16 H+
(Besi ferri secara langsung bereaksi dengan pirit dan berlaku
sebagai katalis yang menyebabkan besi ferro yang sangat besar,
sulfat dan asam.)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa ion-ion H+ bisa dibebaskan dari
oksidasi pirit pada reaksi pertama, hidrolisis Fe3+ (pada reaksi ketiga) atau melalui
reaksi Fe3+ dengan pirit (pada reaksi keempat). Bakteri pengoksidasi Fe, yaitu
Thiobacillus, mempercepat reaksi oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ pada reaksi kedua.
Logam besi (Fe) akan terakumulasi baik pada tanah maupun air. Selain logam Fe,
II-5
pada air asam tambang juga dijumpai logam-logam berat lain seperti Mn, Zn, Cu,
Ni, Pb, Cd, dan lain-lain karena mineral umum yang terdapat pada lahan bekas
tambang batubara selain Pyrite (FeS) antara lain Marcasite (FeS2), Galena (PbS),
Chalcocite (Cu2S), Chalcopyrite (CuFeS), Covellit (CuS), Sphalerite (ZnS), dan
lain-lain. Faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya air asam tambang di
suatu tempat adalah:
1. Konsentrasi, distribusi, mineralogi dan bentuk fisik dari mineral sulfida yang
ada.
2. Keberadaan oksigen di udara, termasuk dalam hal ini adalah asupan dari
atmosfir melalui mekanisme adveksi dan difusi.
3. Komposisi dan jumlah kimia air yang ada.
4. Temperatur dan mikrobiologi.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
pembentukan air asam tambang (AAT) sangat tergantung pada kondisi tempat
pembentukannya. Perbedaan salah satu faktor tersebut diatas menyebabkan proses
pembentukan dan hasil yang berbeda. Oleh karena itu, terkait dengan hal-hal
tersebut maka, karakteristik air asam tambang (AAT) di satu daerah pertambangan
akan berbeda dengan pertambangan di daerah lainnya (Saputra et.al, 2014).
1. pH
pH adalah istilah yang digunakan secara universal untuk menunjukkan
intensitas asam atau basa dari suatu larutan. Nilai pH merupakan nilai yang
menunjukkan konsentrasi ion hidrogen atau aktivitas ion hidrogen. Parameter ini
sangat penting bagi bidang teknik lingkungan (Sawyer, 1994).
II-6
Secara definisi pH adalah ukuran aktivitas hidrogen bebas dalam air dan
dapat dinyatakan sebagai:
pH = -log [H+]
Dalam istilah yang lebih praktis (meskipun tidak secara teknis benar dalam
semua kasus) pH adalah ukuran keasaman atau kebasaan bebas dari air (asiditas
dan alkalinitas air). Diukur pada skala 0-14, larutan dengan pH kurang dari 7,0
adalah asam sementara larutan dengan pH lebih besar dari 7,0 adalah basa Di
berbagai unit proses dan operasi pengolahan air limbah, seringkali dibutuhkan pH
adjustment. Berbagai bahan kimia dapat digunakan, pemilihannya tergantung
pada kesesuaian aplikasinya dan dari segi ekonomi.
Air limbah dengan pH rendah dapat dinetralkan dengan berbagai jenis bahan
kimia misalnya sodium hidroksida atau sodium karbonat, yang walaupun cukup
mahal, banyak digunakan untuk pengolahan yang skalanya tidak begitu besar.
Kapur adalah bahan yang cukup murah sehingga banyak digunakan. Kapur dapat
ditemukan dalam berbagai bentuk misalnya limestone atau batu gamping dan
dolomitic lime (kapur dengan kadar kalsium tinggi). Kapur mudah didapat
seringkali membentuk lapisan sehingga penggunaannya dibatasi untuk proses
tertentu. Senyawa kimia dengan kalsium dan magnesium sebagai pembentuk
utamanya kerap menghasilkan lumpur atau endapan yang membutuhkan
pengerukan dan pembuangan.
2. Logam Berat
Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan densitas lebih besar dari 5
g/cm, mempunyai afinitas yang tinggi dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92,
dari periode 4 sampai 7 (Miettinen, 1977 dalam Ernawati, 2010).
II-7
Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang
sama dengan logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan
bila logam berat ini berikatan dan atau masuk ke dalam organisme hidup. Berbeda
dengan logam biasa, logam berat menimbulkan efek-efek khusus pada makluk
hidup (Palar, 2008 dalam Rosmiati, 2015).
Dapat dikatakan semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan
dapat meracuni tubuh makhluk hidup. Sebagai contoh adalah logam air raksa
(Hg), cadmium (Cd), timah hitam (Pb), mangan (Mn), besi (Fe). Meskipun semua
logam berat dapat mengakibatkan keracunan atas makluk hidup, sebagian dari
logam berat tesebut tetap dibutuhkan oleh makluk hidup. Karena dibutuhkan
dalam tubuh maka disebut logam esensial, logam beresensial ini adalah tembaga
(Cu), seng (Zn), besi (Fe), magnesium (Mg) (Palar,2008 dalam Rosmiati, 2015).
Adapun penjelasan mengenai besi (Fe) dan mangan (Mn) sebagai berikut :
a. Besi (Fe)
Logam Besi (Fe+) merupakan logam transisi dan memiliki nomor atom 26.
Fe memiliki berat atom 55,845 g/mol, titik leleh 1.5380 C, dan titik didih 2.8610
C menempati urutan sepuluh besar sebagai unsur di bumi. Logam Besi (Fe+)
ditemukan berupa hematit di dalam inti bumi. Logam besi (Fe+) hampir tidak
dapat ditemukan sebagai unsur bebas. Diperkirakan didalam kerak bumi
kandungan (Fe+) adalah sebesar 5,63 x 104 mg/kg sedangkan kandungan di laut
sebesar 2 x 10-3 mg/L.
Didalam air, mineral yang sering berada dalam jumlah besar adalah
kandungan besi (Fe+). Apabila besi berada dalam jumlah yang banyak maka, akan
mengakibatkan berbagai gangguan pada lingkungan. Besi dalam air tanah bisa
II-8
berbentuk (Fe2+) dan (Fe3+) terlarut. Ferro (Fe2+) terlarut dapat bergabung dengan
zat organik dan membentuk senyawa kompleks yang sulit dihilangkan dengan
aerasi biasa (Widowati et.al, 2008). Adapun ciri-ciri tingginya kadar besi dalam
tanah (Saputra et al, 2014) :
1. Ada lapisan seperti minyak di permukaan air
2. Ada lapisan merah di pinggiran saluran
3. Tampak gejala keracunan besi pada tanaman
Menurut Widowati et al (2008), didalam tubuh manusia Fe memiliki
berbagai fungsi esensial dalam konsentrasi tertentu, diantaranya:
1. Sebagai alat angkut elektron dalam sel.
2. Sebagai bagian terpadu dari berbagai reaksi enzim.
3. Sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Didalam tubuh manusia kadar Fe kira-kira sebesar 3-5 gr. Sebanyak 2/3
bagian terikat oleh Hb, 10% diikat mioglobin dan enzim mengandung logam besi
(Fe+) dan sisanya terikat dalam hemosiderin dan protein feritin (Widowati dkk,
2008). Asupan Fe dalam dosis besar dapat bersifat toksik bagi manusia karena
besi ferro (Fe2+) bisa bereaksi dengan peroksida dan menghasilkan radikal bebas.
Kerusakan-kerusakan jaringan karena akumulasi (Fe+) disebut hemokromatosis.
Penderita hemokromatosis berisiko terserang kanker hati, penyakit
jantung, serosis, dan berbagai penyakit lain. Konsumsi (Fe+) dosis besar akan
merusak sel alat pencernaan secara langsung, kemudian akan mengikuti peredaran
darah. Toksisitas kronis Fe dapat menyebabkan gangguan fungsi kardiovaskuler,
gangguan fungsi hati, dan gangguan fungsi endokrin. Perlakuan toksisitas akut
besi per oral bisa mengakibatkan muntah, gangguan alat pencernaan, dan shock.
II-9
Dalam mengurangi pencemaran logam besi dapat digunakan teknologi
fitoremediasi, menaikkan pH larutan, saringan pasir aktif, mikroorganisme
bioremoval, dan oksidasi menggunakan H2O2 sebagai oksidator (Widowati et al,
2008).
b. Mangan (Mn)
Logam mangan (Mn+) adalah logam berwarna abu-abu keputihan yang
mempunyai sifat yang mirip besi (Fe+), merupakan logam yang mudah retak,
mudah teroksidasi, dan merupakan logam keras. Logam mangan (Mn+) termasuk
unsur terbesar yang ada dikerak bumi. Logam mangan (Mn+) bereaksi dengan air
dan larut dalam larutan asam (Widowati et al., 2008).
Secara alami mangan ditemukan di air, tanah, dan udara. Logam Mangan
(Mn+) termasuk ke dalam unsur logam golongan VII. Mangan memiliki berat
atom sebesar 54,93, titik lebur 12470 C, dan titik didih 20320 C. Mangan jarang
ditemukan dalam keadaan unsur di alam tetapi berada dalam bentuk senyawa
dengan berbagai macam valensi. Didalam sistem air alami konsentrasi mangan
umumnya kurang dari 0,1 mg/l. Oleh karena itulah air dengan konsentrasi mangan
yang melebihi 1 mg/l maka, pengolahan air dengan cara biasa akan sangat sulit
untuk menurunkan konsentrasi mangan sampai dengan batas yang diizinkan
sebagai air minum (Said, 2008 dalam Puspita, 2015).
Kadar mangan yang berlebihan akan berpengaruh terhadap kesehatan.
Berdasarkan penelitian Ashar (2007), mengkonsumsi air minum yang secara
alami mengandung konsentrasi mangan yang cukup tinggi seumur hidup dapat
mengakibatkan gangguan pada sistem saraf dan menimbulkan peningkatan retensi
mangan.
II-10
Sedangkan menurut Said (2008), di dalam tubuh manusia mangan tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bila dalam jumlah yang kecil tetapi dalam
jumlah yang besar dapat mengakibatkan tertimbunnya mangan di dalam hati dan
ginjal. Pada umumnya dalam keadaan kronis, mangan dapat menimbulkan
gangguan pada sistem saraf dan menampakkan gejala seperti penyakit parkinson.
3. Baku Mutu Lingkungan
Berdasarkan Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 02 Tahun 2011
tentang Baku Mutu Air dari Industri Batubara, parameter logam yang diatur dalam
baku mutu limbah cair untuk kegiatan penambangan batubara adalah baku mutu
untuk pH, TSS, logam besi (Fe) dan logam mangan (Mn). Tabel 1 di bawah
menunjukkan nilai baku mutu pada air asam tambang berdasarkan Perda
Kalimantan Timur No.2 Tahun 2011.
Tabel 1. Tabel Baku Mutu pada Air Asam Tambang
No Parameter Satuan Baku Mutu
1 pH - 6-9
2 Besi (Fe) Total mg/l 7
3 Mangan (Mn) Total mg/l 4
4 TSS Mg/l 300
Sumber: Perda Kalimantan Timur No.2 Tahun 2011
4. Sumber Air Asam Tambang
Secara umum air asam tambang yang dihasilkan berasal dari beberapa
sumber diantaranya (Puspita, 2015):
a. Air asam tambang yang bersumber dari lokasi penambangan (mine sump).
Pit atau bukaan tambang adalah area yang telah dikupas lapisan tanah
penutupnya untuk dilakukan pengambilan lapisan batubara. Pit dibuat
berjenjang dan terbuka sehingga apabila hujan, air akan melimpas dan
II-11
terkumpul di pit membentuk pit lake. Air limpasan ini bersifat asam karena
berkontak dengan lapisan batuan penutup yang mengandung mineral sulfida
pembentuk air asam tambang. Air limpasan yang terkumpul ini kemudian
dipompa dan dialirkan untuk diolah lebih lanjut.
b. Air asam tambang yang berasal dari lokasi timbunan batuan/disposal
Area disposal juga merupakan area yang berpotensi menghasilkan air asam
tambang. Material yang ditimbun adalah lapisan batuan penutup atau
overburden rocks dan dilapisi oleh tanah. Berdasarkan analisis percontohan
batuan yaitu clay stone, sand stone, mudstone, dan silk stone, berdasarkan hasil
uji sampel pemboran eksplorasi NAG dan blasting, batuan di Site Lati PT.
berau Coal memiliki NAG pH < 4,5 pada overburden rocks atau interburden
yang berarti memiliki potensi pembentukan asam yang signifikan.
c. Air asam tambang dari stockpile batubara
Kandungan sulfida pada tumpukan batubara memberikan potensi
terbentuknya air asam tambang akibat unsur sulfida bercampur dengan air
sehingga teroksidasi dan akan membentuk senyawa asam. Sumber air asam
tambang di Stockpile bersumber dari limpasan air pencucian batubara dan air
hujan.
d. Air asam tambang dari pencucian coal processing plant (CPP)
CPP merupakan fasilitas yang digunakan untuk penanganan batubara. Air
asam terbentuk akibat penggunaan air yang dimanfaatkan untuk pencucian
batubara dan berasal dari air yang bercampur dengan debu pada belt conveyor.
Air limbah pencucian batubara dari CPP sebenarnya tidak terlalu memiliki
masalah dalam hal pH. Masalah yang ditemukan pada air limbah ini adalah
II-12
kadar TSS yang tinggi karena air tersebut dihasilkan dari proses pencucian
batubara sebelum batubara tersebut siap dipasarkan. Oleh karena itu, perlakuan
terhadap air limbah dari Coal Processing Plant (CPP) berbeda, pengolahan
lebih difokuskan untuk menyisihkan TSS.
C. Pengelolaan dan pengolahan Air Asam Tambang
Air asam tambang dari kegiatan penambangan batubara dan mineral
merupakan masalah yang pelik dan memakan banyak biaya dalam penanganannya
(US-EPA, 1994). Penambangan batubara menyebabkan terjadinya oksidasi pirit
dan mineral sulfida lainnya menghasilkan air asam tambang dengan kandungan
besi, mangan, dan alumunium dalam konsentrasi tinggi (Watzlaf et al., 2004).
Pengelolaan air asam tambang pada intinya bertujuan untuk meningkatkan
pH dan menghilangkan logam terlarut (Skousen et al., 1998). Pada sistem aktif
dan pasif. Dasar pertimbangan penggunaan metode ini adalah jenis air asam
tambang (AAT) yang akan dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005).
Metode yang paling banyak digunakan dalam pengelolaan AAT adalah
dengan abiotik sistem aktif atau banyak dikenal dengan ‘active treatment’ yang
dilakukan dengan penambahan bahan kimia penetral. Metode ini sangat efektif
untuk pengelolaan AAT dengan kandungan logam berat tinggi (Coulton et al.,
2003). Namun, kelemahan pengelolaan secara aktif ini adalah memerlukan biaya
yang tinggi dan menghasilkan sludge sebagai hasil sampingannya. Sludge ini akan
mengandung polutan-polutan termasuk logam berat sesuai dengan komposisi yang
ada pada air asam tambang (AAT) yang dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005).
Pengelolaan air asam tambang dapat dilakukan sejak sebelum terbentuknya
air asam tambang tersebut, yaitu dengan melakukan upaya pencegahan. Namun
II-13
ketika reaksi pembentukan air asam tambang telah dimulai, reaksi akan terus-
menerus terjadi hingga salah satu pereaksi habis. Jika hal tersebut sudah terjadi,
yang dapat dilakukan adalah upaya kuratif dengan pengolahan.
Pembentukan air asam tambang merupakan proses yang jika sekalinya
terjadi, akan sulit dihentikan kecuali material yang bereaksinya habis. Upaya
pengelolaan air asam tambang dapat dilakukan dengan pencegahan atau
melakukan sesuatu sebelum terbentuknya air asam tambang tersebut.
1. Pengelolaan Air Asam Tambang
a. Geosyntetic Clay Liner (GCL)
Salah satu upaya pencegahan pembentukan air asam tambang adalah dengan
pembangunan lapisan penutup material reaktif, umumnya dikenal sebagai
Potentially Acid Forming (PAF), dengan material yang tidak reaktif atau material
Non Potential Acid Forming (NAF), tanah, atau material alternatif seperti
Geosyntetic Clay Liner (GCL).
Lapisan ini dikenal juga dengan sebutan dry cover system. Tujuan dari Air
asam tambang di Lati Mine Operation dikelola mulai dari terbentuknya air asam
tambang hingga dilepaskan ke badan air. Pembangunan lapisan ini adalah untuk
mengurangi difusi oksigen dan infiltrasi air, sebagai faktor penting dalam proses
oksidasi mineral sulfida. Selain itu, sistem pelapisan ini juga diharapkan dapat
mengendalikan risiko erosi dan mendukung upaya revegetasi lahan penimbunan
material.
b. Overburden Management Plan
Upaya pencegahan pembentukan air asam tambang dapat dilakukan sejak
tahapan eksplorasi dimana sampel dari lubang bor eksplorasi (drilling core)
II-14
diperiksa di laboratorium untuk mengetahui karakteristik batuan penutup
(overburden) yang akan digunakan sebagai data dalam pembuatan model
geokimia. Dalam hal perencanaan penambangan yang terintegrasi, model
geokimia menjadi tahapan awal yang penting guna mendapatkan berbagai
informasi sebagai landasan dalam merencanakan tiap tahapan penambangan.
Selain dari model cadangan batubara, model yang dapat dikembangkan yakni
model persebaran batuan berpotensi pembentuk asam atau PAF dan yang tidak
perpotensi atau NAF. Model persebaran ini bermanfaat untuk mengetahui
karakteristik dan volume batuan penutup sehingga dapat dilakukan perencanaan
terhadap desain daerah penimbunan yang ditujukan untuk pencegahan air asam
tambang.
Pengelolaan batuan penutup dilakukan dengan melakukan pemisahan antara
material PAF dan material NAF (selective dumping method). Pemisahan ini
dilakukan untuk melakukan proses enkapsulasi sebagai salah satu metode
pencegahan air asam tambang (AAT).
Pada prinsipnya enkapsulasi merupakan sebuah cara untuk memutus salah
satu komponen dari proses pembentukan air asam tambang yakni menghindarikan
material sulfida untuk kontak secara langsung dengan udara dan/atau air dengan
memanfaatkan material NAF untuk mengisolasi material PAF. Metode ini sering
disebut dengan dry cover. Material PAF ditimbun terlebih dahulu kemudian
ditutup dengan lapisan NAF dengan ketebalan tertentu untuk memutus kontak
udara dan/atau air dengan material sulfida. Dengan mengetahui volume masing-
masing material, maka akan mudah untuk mendesain geometri daerah
II-15
penimbunan. Selanjutnya seluruh area akan kembali dilapisi oleh tanah sebagai
media untuk melakukan reklamasi.
c. Water Management
Proses penambangan batubara pada umumnya menggunakan metode
penambangan terbuka (open pit) dimana lapisan penutup akan digali kemudian
dipindahkan ke lokasi penimbunan menggunakan dump truck. Material tersebut
akan di timbun di daerah waste dump yang sudah ditentukan baik di lokasi outside
dump maupun lokasi backfilling.
Penambangan dengan metode tambang terbuka ini akan memberikan
dampak terhadap perubahan topografi di lokasi penambangan akibat adanya
proses penggalian dan penimbunan. Hal ini tentu akan mempengaruhi kondisi
hidrologi melalui perubahan catchment area. Pola aliran air permukaan akan
mengalami perubahan yang akan mempengaruhi debit aliran pada sungai di
catchment tersebut. Selain itu, terdapatnya material sulfida pada daerah timbunan
akan berpotensi terhadap pembentukan air asam tambang yang akan berdampak
pada kualitas aliran sungai.
Oleh karena itu, water management menjadi bagian yang penting dalam
upaya pencegahan terhadap pembentukan air asam tambang. Prinsip dari water
management ini adalah bagaimana mengendalikan air dengan memisahkan air
yang tercemar dengan air asam tambang terhadap air yang masih berkualitas baik.
Selain dari mengurangi beban pengolahan dari aliran air yang tercemar, upaya ini
dapat mengisolasi daerah yang terganggu dengan daerah yang tidak terganggu.
II-16
Didalam pengelolan air asam tambang terdapat pengolahan, yaitu mengolah
air asam tambang menjadi air yang sesuai dengan baku mutu. Adapun beberapa
pengolahan air asam tambang secara umum sebagai berikut :
2. Pengolahan Air Asam Tambang
a. Secara Aktif
Metode abiotik dengan sistem aktif lebih dikenal dengan istilah “active
treatment”. Metode ini umumnya dilakukan dengan penambahan bahan kimia
penetral untuk mengolah air asam tambang dengan kandungan logam berat yang
tinggi. Misalnya penambahan alkali pada air asam tambang akan menaikkan pH
dan mempercepat laju kimia oksidasi besi ferrous dengan aerasi aktif atau
penambahan agen pengoksidasi kimia seperti hidrogen peroksida.
Secara biotik pengolahan air asam tambang yaitu dengan bioreaktor “Off-
Line Sulfidogenic‟ dibangun dan dioperasikan untuk mengoptimalkan produksi
hidrogen sulfid. Bioreaktor Sulfidogenic memanfaatkan produksi biogenik
hidrogen sulfida untuk menghasilkan alkalinitas dan untuk menghilangkan logam
sebagai sulfida terlarut, yang merupakan salah satu proses yang terjadi pada
bioreaktor kompos dan PRBs.
Penggunaan bioreaktor Off-Line Sulfidogenic’ memiliki tiga keunggulan
dibandingkan remediasi biologi pasif diantaranya adalah kinerja dapat diprediksi
dan mudah dikontrol, dapat secara selektif memperbaiki dan menggunakan
kembali kemungkinan logam berat seperti tembaga dan seng yang terdapat dalam
air asam tambang dan kemungkinan dapat menurunkan konsentrasi sulfat dalam
air olahan secara signifikan.
II-17
Namun metode ini membutuhkan biaya operasi yang tinggi dan
menghasilkan sludge yang mengandung polutan-polutan logam berat sebagai
produk sampingannya (Puspitasari,2015)
b. Secara Pasif
Sistem pasif pada pengolahan air asam tambang secara abiotik dapat
dilakukan dengan menambahkan batu gamping ke saluran air asam tambang yang
lebih dikenal dengan anoxic limestone drains (ALD). Metode ini akan
meningkatkan alkalinitas pada air asam tambang. Walaupun pengolahan air asam
tambang untuk meningkatkan ALD lebih murah dibandingkan dengan constructed
wetland namun ALD tidak cocok untuk pengolahan air asam tambang yang
mengandung logam besi atau alumunium dalam konsentrasi yang tinggi. Untuk
program jangka pendek, kinerja dari ALD cukup baik, (Sandrawati,2012)
Pengolahan air asam tambang secara biotik dengan sistem pasif yaitu
aerobic wetland, wetlands/compost bioreactors, iron-oxidising bioreactors.
Metode-metode ini merupakan sistem pengolahan untuk mengolah air asam
tambang agar menghasilkan alkalinitas dan mereduksi kandungan logam secara
alami baik dengan memanfaatkan mikroorganisme, beberapa jenis tanaman
maupun material alam lainnya.
D. Metode Wetland (Lahan Basah)
Menurut Hammer (1986) dalam Hadiwidodo dkk (2012) pengolahan limbah
dengan sistem wetlands didefinisikan sebagai sistem pengolahan yang
memasukkan faktor-faktor utama diantaranya area yang tergenangi air dan
mendukung kehidupan tumbuhan air sejenis hydrophyta, media tempat tumbuh
II-18
berupa tanah yang selalu digenangi air (basah), dan media ini bisa juga bukan
tanah tetapi media yang jenuh dengan air seperti kerikil, dan pasir.
1. Tipe Metode Wetland
Secara umum ada dua tipe lahan basah diantaranya lahan basah alamiah
(natural wetland) yaitu suatu sistem pengolahan limbah dalam area yang sudah
ada secara alami, misalnya daerah rawa dimana kehidupan biota dalam natural
wetland ini sangatlah beragam serta jenis tanaman, jarak tumbuh tanaman, dan
debit air limbah yang masuk tidak direncanakan dan terjadi secara alamiah. Lahan
basah alami atau natural wetland adalah wilayah di mana tanahnya jenuh dengan
air, baik bersifat permanen atau musiman, area lahan basah alami meliputi rawa-
rawa, paya, hutan bakau, dan gambut dengan air tergolong air tawar,payau atau
asin (Puspita, et al., 2005). Kedua adalah lahan basah buatan (constructed
wetland).
Construted wetland adalah suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk
akibat intervensi manusia. Lahan basah buatan biasanya dibuat untuk
meningkatkan produksi lahan pertanian dan perikanan, pembangkit tenaga listrik,
sumber air, atau untuk meningkatkan keindahan bentang alam bagi keperluan
pariwisata, dan pengelolaan limbah (Puspita, et al., 2005). Constructed wetland
merupakan sistem pengolahan limbah cair yang direncanakan, misalnya debit
limbah, kedalaman media, beban organik, jenis tanaman, jumlah tanaman, dan
lainnya juga diatur, sehingga kualitas air limbah yang keluar dari sistem tersebut
dapat dikontrol sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembuatnya (Supradata,
2005).
II-19
2. Constructed Wetland
Rawa buatan atau constructed wetland adalah suatu sistem yang dibangun
dan dirancang menyerupai rawa alami untuk keperluan pengolahan air tercemar.
Proses pengolahan air tercemar pada rawa buatan merupakan suatu proses alamiah
yang melibatkan tumbuhan air, sedimen, dan mikroorganisme, dengan matahari
sebagai sumber energi (Vymazal , 2008 dalam Gunawan, 2012).
Pembangunan rawa buatan di sekitar tambang bertujuan untuk menampung
limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah-tanah galian beserta senyawa
logam-belerang (seperti pirit) yang dapat berpotensi menjadi asam tambang. Bila
tanah dan batuan di sekitarnya tidak dapat menetralisir asam, maka asam-asam
beserta dengan toksistas logam (bila ada) dapat dinetralisir di rawa buatan tersebut
(Khiatuddin, 2003 dalam Sandrawati, 2012 ).
Novotny dan Olem (1994) menguraikan proses-proses yang terjadi di dalam
rawa buatan secara lengkap yang meliputi proses fisik, fisika-kimia, dan biokimia.
Proses-proses fisik terdiri dari sedimentasi, filtrasi padatan tersuspensi oleh
sedimen dan tumbuhan air, serta pemanasan dan volatilisasi. Proses fisika kimia
terdiri dari proses adsorpsi bahan pencemar oleh tumbuhan air, sedimen, dan
substrat organik. Proses biokimia terdiri dari proses penguraian zat tercemar oleh
bakteri yang menempel pada permukaan substrat/sedimen, perakaran tumbuhan,
dan serasah (bahan organik).
Keberhasilan rawa buatan dalam menghasilkan kualitas air yang bagus
tergantung dari sifat kimia air yang dikelola, kapasitas mengalirkan air, dan desain
dari rawa buatan (Hedin et al., 1994). Sistem pengelolaan limbah dipengaruhi
oleh konstruksi rawa buatan. Secara umum, konstruksi rawa buatan untuk
II-20
pengelolaan air asam tambang (AAT) dapat dikelompokkan menjadi rawa buatan
aerobik dan anaerobik.
Pembangunan rawa buatan di sekitar tambang bertujuan untuk menampung
limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah-tanah galian beserta senyawa
logam-belerang (seperti pirit) yang dapat berpotensi menjadi asam tambang. Bila
tanah dan batuan di sekitarnya tidak dapat menetralisir asam, maka asam-asam
beserta dengan toksistas logam (bila ada) dapat dinetralisir di rawa buatan tersebut
(Khiatuddin, 2003 dalam Sandrawati, 2012 ).
Menurut Novotny dan Olem (1984), proses-proses yang terjadi di dalam
rawa buatan secara lengkap meliputi proses-proses fisik, fisik-kimia, dan
biokimia. Proses-proses fisik terdiri dari proses sedimentasi, filtrasi, pemangsaan,
dan pemanasan. Proses-proses fisik-kimia terdiri dari proses adsorbsi bahan
pencemar oleh tanaman air, sedimen, dan subtrat organik. Sedangkan proses-
proses biokimia terdiri dari proses penguraian zat pencemar oleh bakteri yang
menempel pada permukaan subtrat/media, perakaran tanaman, dan serasah serta
penyerapan nutrien dan zat-zat pencemar lainnya oleh tanaman. Pada proses
penguraian oleh bakteri; proses penguraian secara aerobik (misalnya nitrifikasi)
terjadi di zona aerobic dekat perakaran, proses anoksik (misalnya denitrifikasi)
terjadi di daerah yang agak jauh dari perakaran, dan proses anaerobik terjadi di
zona anaerobik dimana tidak terdapat oksigen. Sistem pengelolaan limbah
dipengaruhi oleh konstruksi rawa buatan. Secara umum, konstruksi rawa buatan
untu pengelolaan air asam tambang (AAT) dapat dikelompokkan menjadi rawa
buatan aerobik dan anaerobik.
II-21
Rawa buatan aerobik merupakan rawa yang ditanami dengan Typha
angustifolia atau jenis tanaman lain pada kedalaman kurang 30 cm. Sedangkan
pada rawa buatan anaerobik, tanaman-tanaman tersebut ditanam pada kedalaman
lebih dari 30 cm. Selain itu, pada rawa buatan aerobik sedimen (substrat) terdiri
dari tanah dan liat, sementara pada rawa buatan anaerobik, substrat terdiri dari
campuran tanah dan berbagai macam bahan organik seperti gambut, kompos,
serbuk gergaji, kotoran ternak, jerami dan sebagainya yang dicampur dengan batu
gamping (Skousen et al., 1998 dalam Sandrawati, 2012). Sistem lahan basah
anaerobik menggunakan komposisi reaktif material berupa kompos, serasah daun,
dan serbuk gergaji, yang ditambahkan lumpur aktif yang akan menstimulasi
pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat untuk meningkatkan alkalinitas dan
menyisihkan logam dalam bentuk endapan sulfid (Benner et al., 1997 dalam
Henny, 2009).
a. Fungsi Rawa Buatan pada Pengolahan Limbah
Tujuan utama pembangunan rawa buatan (seperti telah disinggung
sebelumnya) adalah untuk mengolah air limbah. Rawa buatan dapat mengolah
berbagai jenis air limbah, baik air limbah domestik, pertanian, perkotaan, industri,
pertambangan, maupun air tercemar yang berasal dari run-off. Selain itu rawa
buatan juga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas air dari suatu sungai
atau danau; untuk keperluan ini air dari sungai atau danau yang tercemar
dibelokkan ke dalam rawa buatan dan didiamkan beberapa waktu dalam rawa
buatan tersebut agar terjadi proses purifikasi air secara alami sebelum akhirnya
dialirkan kembali ke dalam badan sungai atau danau. Rawa buatan yang berfungsi
II-22
seperti ini banyak ditemukan di Amerika (USA), Australia, dan Eropa (Meutia,
2001c; Sim, 2003; National Small Flows Clearing House, 2004).
Pengolahan air limbah/air tercemar dengan rawa buatan adalah sistem
pengolahan air limbah yang memanfaatkan tumbuhan air dan mikrorganisme
sebagai mesin pengolah limbah serta matahari sebagai sumber energinya. Oleh
sebab itu sistem rawa buata adalah sistem lingkungan (ekosistem) yang
berkelanjutan (environmental sustainable). Pada prinsipnya sistem ini
memanfaatkan aktifitas mikroorganisme yang menempel pada akar tumbuhan air
dalam menguraikan zat pencemar dimana akar tumbuhan air menghasilkan
oksigen sehingga tercipta kondisi aerobik yang mendukung proses penguraian
tersebut. Pada akhirnya di dalam rawa buatan terjadi siklus biogeokimia dan rantai
makanan, sehingga sistem ini merupakan sistem yang berkelanjutan.
b. Proses Pembuatan Constructed Wetland
Sistem rawa buatan dibangun berdasarkan kebutuhan dengan cara yang
sangat sederhana dan biaya yang relatif murah. Untuk membuat rawa buatan perlu
dilakukan studi awal mengenai karakteristik air limbah yang akan diolah, debit air
limbah, dan hasil akhir yang diinginkan. Setelah ketiga hal tersebut diketahui
maka dilakukanlah perhitungan untuk menentukan luas rawa buatan yang
dibangun, waktu detensi, dan kedalaman kolam. Waktu detensi umumnya berkisar
1-7 hari, namun ada juga penelitian yang menggunakan waktu detensi lebih cepat
(sekitar 8 jam). Pada kenyataannya rawa buatan berskala besar mempunyai waktu
detensi yang lebih lama (biasanya sampai 20 hari).
Kedalaman kolam rawa buatan biasanya berkisar antara 60-80 cm,
sedangkan untuk kolam sedimentasi lebih dalam (sekitar 150 cm). Selain
II-23
karakteristik air limbah, debit air limbah, dan hasil akhir yang diinginkan – ada
faktor-faktor lain juga yang harus diperhatikan dalam mendesain rawa buatan.
Faktor-faktor tersebut adalah (Puspita, et al. 2005):
(a) Beban limbah. Di dalam air limbah yang akan diolah, harus ditentukan
parameter apa yang diharapkan paling tereduksi. Beban limbah berdasarkan
parameter tersebut dijadikan dasar dalam mendesain luasan rawa buatan.
(b) Substrat/media. Porositas subtrat/media merupakan faktor yang menentukan
dalam proses desain rawa buatan, oleh karena itu pemilihan subtrat/media
yang tepat harus dilakukan.
(c) Tanaman air. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilihan
tanaman yang tepat sangat menentukan keberhasilan proses purifikasi di
dalam rawa buatan.
(d) Fungsi masing-masing kolam. Biasanya rawa buatan terdiri dari beberapa
kolam yang memiliki fungsi masing-masing. Kolam pertama berfungsi untuk
mengendapkan sedimen. Di dalam badan air kolam pertama ini tidak banyak
tumbuh tanaman air, tanaman air hanya tumbuh di pinggir kolam. Kolam ke-
dua berfungsi untuk mereduksi BOD; untuk itu kolam ini biasanya berisi
tanaman air yang cukup padat (seperti halnya marsh wetlands). Kolam ke-tiga
berfungsi untuk mereduksi nitrogen; untuk itu kolam ini berisi tanaman air
mencuat (emergent) dan mengapung (floating) yang tidak terlalu padat; pada
kondisi kolom air seperti ini proses nitrifikasi dan denitrifikasi dapat berjalan
dengan baik. Selain ketiga jenis kolam tersebut, tergantung dari tujuannya
dapat pula diadakan kolam yang berisi tanaman air mengapung seperti eceng
gondok yang sangat rapat sehingga kolom air di bawahnya berkondisi
II-24
anaerob. Kolam terakhir dari unit rawa buatan merupakan kolam yang
berfungsi untuk me-recovery (memulihkan) oksigen terlarut; untuk itu kolam
ini memiliki sedikit tanaman tenggelam (submergent) agar dapat diperoleh
konsentrasi oksigen terlarut yang cukup tinggi.
(e) Kemiringan kolam. Penentuan kemiringan kolam diperlukan agar aliran air
dapat terkontrol dan sesuai dengan arah aliran yang diinginkan. Kondisi
kolam yang menghambat aliran air akan menyebabkan kolam tergenang dan
alga tumbuh subur. Selain itu kemiringan kolam juga diperlukan agar sistem
rawa buatan ini tetap menggunakan gaya gravitasi dalam pengaliran airnya
sehingga tidak diperlukan pompa, dengan demikian biaya operasional rawa
buatan dapat ditekan.
(f) Unsur estetika. Agar rawa buatan terlihat menarik, sebaiknya dipilih tanaman
air yang memiliki nilai estetika tinggi namun tetap memiliki daya pemurnian
air yang baik.
E. Tipe-tipe Constructed Wetland
Constructed wetland adalah sistem pengolahan yang terencana dan
terkontrol yang didesain dan dibangun dengan memanfaatkan proses alami yang
melibatkan media, vegetasi dan mikroorganisme untuk mengolah air limbah.
Selain untuk menyediakan oksigen di zona akar, tujuan constructed wetland
memanfaatkan sejumlah tanaman adalah untuk menambah luas permukaan bagi
pertumbuhan mikroorganisme yang tumbuh di zona akar. Selain itu, tanaman juga
dimanfaatkan agar dapat menyerap logam yang terkandung didalam air limbah
yang diolah (Risnawati, 2009).
II-25
a). Berdasarkan Rancangan Aliran
- Rawa buatan beraliran permukaan (surface flow/SF)
Rawa buatan dengan sistem aliran permukaan terdiri dari kolam atau saluran
dengan media alami (tanah) atau buatan (pasir/kerikil) untuk menyokong
pertumbuhan tanaman air. Tanaman air mencuat (emergent aquatic plant) tumbuh
di atas media dan air limbah diolah pada saat air mengalir di atas permukaan
media melalui rumpun tanaman dan serasah (Meutia, 2001). Rawa tipe ini mirip
dengan rawa alami – dimana air limbah mengalir di sela-sela tumbuhan air, di atas
permukaan media yang tergenang (Khiatuddin, 2003).
Pada rawa buatan tipe ini, air limbah terutama diolah oleh bakteri yang
menempel di batang, daun, dan rhizoma tanaman air. Ketinggian paras air pada
rawa buatan tipe ini biasanya kurang dari 0,4 m (Fujita Research, 2004). Rawa
buatan beraliran permukaan Gambar 1 biasanya panjang dan sempit untuk
mengurangi aliran air singkat (hydraulic short circuiting) (Meutia, 2001 dalam
Puspita et,al., 2005).
Sumber: Puspita.2010. Lahan Basah Buatan di Indonesia
Gambar 1. Rawa buatan beraliran permukaan (surface flow/SF)
- Rawa buatan beraliran permukaan secara vertikal
Rawa buatan beraliran vertikal sering digunakan pada tahap awal sistem
pengolahan air limbah setelah proses pra pengendapan air limbah dilakukan. Pada
rawa buatan tipe ini air limbah dialirkan di atas permukaan kolam secara
II-26
berselang-seling sehingga terjadi percikan air yang merembes/mengalir ke bawah
melalui media kerikil dan sistem perakaran tanaman dimana proses-proses
penjernihan alami secara aerobik berlangsung. Pengontrolan debit air perlu
dilakukan agar tidak terbentuk genangan air di bagian dasar sistem rawa buatan
sehingga kondisi aerobik dapat tercipta di seluruh bagian kolam (Meutia, 2001
dalam Puspita et,al., 2005). Menurut Khiatuddin (2003), rawa buatan beraliran
vertikal ini dapat dibagi lagi menjadi dua tipe, yaitu:
Rawa buatan dengan tipe aliran vertikal menurun
Pada rawa buatan dengan tipe aliran vertikal menurun ini, air dialirkan di
permukaan sistem lalu merembes melalui substrat yang dipenuhi oleh akar
tanaman hingga kemudian mencapai dasar rawa untuk keluar dari sistem. Rawa
buatan dengan sistem aliran ini mudah Gambar 2. mengalami penyumbatan
(clogging).
Sumber: Puspita.2010. Lahan Basah Buatan di Indonesia
Gambar 2. Rawa buatan beraliran vertikal menurun (surface flow/SF)
Rawa buatan dengan tipe aliran vertikal menanjak
Pada rawa buatan tipe ini Gambar 3. air disalurkan melalui pipa ke dasar
sistem lalu naik pelan-pelan melalui substrat hingga kemudian keluar melalui
saluran yang terletak di permukaan subtrat/media.
II-27
Sumber:Puspita.2010. Lahan Basah Buatan di Indonesia
Gambar 3. Rawa buatan beraliran vertikal menurun (surface flow/SF)
- Rawa buatan beraliran bawah permukaan (sub surface flow/ SSF) secara
horizontal
Rawa buatan dengan sistem aliran bawah permukaan ini terdiri dari
saluran-saluran atau kolam-kolam dangkal yang berisi tanah, pasir, atau media
porous (batu atau kerikil) yang akan membantu proses penyaringan air. Air
limbah mengalir di bawah permukaan media secara horizontal melalui zona
perakaran tanaman rawa di antara kerikil/pasir (Meutia, 2001 dalam Puspita et,al.,
2005). Dalam sistem pengaliran air di bawah permukaan ini, mikroorganisme
sangat berperan dalam menghilangkan bahan pencemar. Mikroorganisme yang
menempel di dekat akar menguraikan bahan pencemar secara aerob; kondisi
subtrat yang aerob di dekat perakaran tumbuhan ini disebabkan oleh adanya
pasokan oksigen dari akar tanaman (Khiatuddin, 2003 dalam Sandrawati, 2012).
Sumber: Puspita.2010. Lahan Basah Buatan di Indonesia
Gambar 4. Rawa buatan beraliran bawah permukaan secara Horizontal
(sub-surface flow/SF)
II-28
b). Berdasarkan Material Penyusun
Menurut Sandrawati (2012), mengklasifikasikan constructed wetland untuk
pengolahan air asam tambang dibagi menjadi:
1. Aerobic wetland (Rawa Buatan aerobik)
Wetland ini merupakan rawa yang ditanami dengan tanaman Thypa
angustifolia. atau jenis tanaman lain dengan kedalaman kurang dari 30 cm.
Substrat (sedimen) pada rawa buatan aerobik biasanya terdiri dari tanah dan liat.
Sumber: Sandrawati,2012
Gambar 5. Rawa buatan Aerobik(surface flow/SF)
2. Anaerobic wetland (Rawa Buatan Anaerobic/Aliran Permukaan)
Pada rawa buatan anaerobik tanaman-tanamannya ditanam pada kedalaman
lebih dari 30 cm dan substratnya terdiri dari campuran tanah dan berbagai bahan
organik seperti kompos, serbuk gergaji,gambut, jerami, kotoran ternak, dan
lainnya yang kemudian dicampur dengan batu gamping, kerikil atau pasir
(Skousen et al, 1998 dalam Puspita,2010). Gambar 6. di bawah menunjukkan
Sumber: Sandrawati,2012
Gambar 6. Rawa buatan Anaerobik (surface flow/SF)
II-29
c). Berdasarkan Jenis Tanaman
Lahan basah buatan (constructed wetlands) diklasifikasikan berdasarkan
jenis tanaman yang digunakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu (Suriawiria,
2003 dalam Muhajir, 2013) :
1. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta mengambang atau sering
disebut dengan lahan basah sistem tanaman air mengambang (floating
aquatic plant system).
2. Sistem Rawa buatan dengan tanaman air mencuat atu menajuk ke atas
(submerged aquatic plant) biasanya ditempatkan di tengah-tengah unit
sistem rawa buatan yang disusun seri, tepatnya setelah perlakuan air limbah
dengan tanaman air mencuat dan sebelum perlakuan air limbah dengan
tanaman air terapung. Fungsinya rawa buatan tipe ini sama dengan rawa
yang menggunakan tanaman air mencuat tapi biasanya untuk air limbah
yang kadar pencemarnya relatif rendah. Gambar 7. Di bawah menunjukkan
rawa buatan dengan tanmaman terendam dan mencuat.
Sumber: Sandrawati,2012
Gambar 7. Rawa buatan Tanaman Terendam (submerged)
II-30
3. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta yang akarnya tenggelam
atau sering disebut juga amphibiuos plants dan biasanya digunakan untuk
lahan basah buatan tipe aliran bawah permukaan (subsurface flow
wetlands) SSF-Wetlands.
Constructed wetlands memiliki karakteristik performa yang baik, biaya
pengoperasian dan investasi yang minimum, sangat ekonomis dan bermanfaat
bagi masyarakat dalam menangani air limbah dan mekanisme penyisihan polutan
merupakan dasar yang penting pada desain teknik constructed wetlands, dan dapat
memberikan keandalan dalam desain rekayasa dan operasi (Mengzhi et al, 2009).
F. Keanekaragaman Hayati Wetland (Lahan Basah)
Rawa buatan memiliki keanekaragaman hayati yang cukup beragam, baik
flora maupun fauna, baik yang berukuran makro maupun mikro (renik). Pada rawa
buatan yang ditujukan bagi keperluan pengolahan air limbah/ air tercemar,
makrohidrofita dan mikroorganisme merupakan komponen flora-fauna utama
yang menjalankan fungsi pengolahan air limbah/air tercemar. Berkaitan dengan
fungsi itulah maka pemilihan jenis-jenis flora yang akan ditanam di rawa buatan
harus didasari pada kemampuannya dalam melakukan pengolahan air limbah.
Selain kemampuan dalam pengolahan air limbah, faktor estetika dan manfaat
ekonomi juga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih jenisjenis
tumbuhan yang akan ditanam di dalam rawa buatan. Selain mengatur jenis-jenis
flora, jenis-jenis fauna yang hidup di rawa buatan pengolah air limbah/air
tercemar juga perlu diatur (Sim, 2003).
II-31
1. Flora
Tanaman air yang biasa digunakan di dalam rawa buatan dikelompokkan
menjadi:
(i) Tanaman air terapung (floating plant), yaitu tanaman yang mempunyai akar di
dalam air dengan daun diatas air. Tanaman air terapung ini terdiri dari dua jenis,
yaitu: (1) Floating attached plant yang berdaun di permukaan air namun akarnya
tertanam di dasar, contohnya Water poppy (Hydrocleys nymphoides) dan Teratai
(Nympheae); serta (2) Floating unattached plant yang daun dan akarnya
melayang-layang di air, contohnya: Duckweed (Lemna minor), Eceng gondok
(Eichornia crassipes), dan Ki-apu (Pistia statiotes).
(ii) Tanaman air tenggelam (submergent aquatic macrophyte), yaitu tanaman air
yang keseluruhannya berada di dalam air. Jenisjenis tanaman air ini antara lain:
Hydrilla, Potamogeton, dan Chara.
(iii) Tanaman air mencuat (emergent aquatic macrophyte), yaitu tanaman air
timbul yang berakar di bawah air dan berdaun di atas air. Jenis-jenis tanaman air
ini antara lain: Tifa/Lembang (Typha), sejenis rumput/Reed (Phragmites), Mata
panah/Arrowhead (Sagitaria japonica), Pisang air/Giant arum (Typhonodorum),
Papirus/Papyrus (Cyperus papyrus), Payung-payungan/Umbrella plant (Cyperus
alternafolius), Melati air/Water dop (Echinodorus paleafolius), Anggrek air (Iris),
Kana (Canna edulis.) dan Futoi (Hippochaetes lymenalis).
2. Fauna
Fauna yang biasa ditemukan di rawa buatan adalah berbagai jenis burung air
yang membuat sangkar di antara tanaman, reptil yang berkembang biak dan hidup
II-32
di rawa seperti ular dan katak, serta berbagai jenis ikan yang hidup di kolom air.
(Sonobe and Usui,1993).
Ikan-ikan yang hidup di rawa buatan biasanya merupakan ikan yang
sengaja ditebarkan untuk menambah daya guna rawa buatan. Jenis-jenis ikan yang
biasa ditebarkan di rawa buatan antara lain adalah Karper rumput
(Ctenopharyngodon idella), Wuchang (Megalobrama amblyocephala), Karper
perak (Hypophthalmicthys molitirix), Mas (Cyprinus carpio), Mujair
(Oreochromis mossambicus), dan Nila (O. niloticus) (Khiatuddin, 2003). Berbagai
jenis serangga (seperti capung dan nyamuk) dapat dijumpai di permukaan air atau
beterbangan di sekitar rawa buatan. Berbagai jenis benthos (seperti siput, keong,
dan cacing) juga dapat ditemukan di substrat rawa buatan. Cacing di rawa buatan
mempunyai fungsi yang unik karena berperan dalam mencerna gumpalan padatan
(sludge/biofilm) yang terbentuk di antara media, kemudian membawanya ke atas
permukaan media. Hasil pencernaan cacing ini dikenal sebagai “kascing” yang
juga merupakan pupuk bagi tanaman. Keanekaragaman mikroorganisme di dalam
rawa buatan juga sangat besar karena rawa buatan mempunyai zona aerobik,
anoksik, dan anaerobik, yang masing-masing memiliki jenis mikroorganisme yang
berbeda.
G. Tanaman Tifa (Typha angustifolia)
1. Typha angustifolia
Tumbuhan Typha angustifolia termasuk kedalam famili Typhaceae
(Lembangs) yang merupakan tumbuhan rhizomatous tegak, tumbuhan menahun.
Rimpang yang bercabang luas, menghasilkan tunas udara pada dan tumbuh
dikedalaman yang dangkal kearah horisontal. Daun berbentuk basal tipis, tegak,
II-33
linier, datar dan panjang dengan lebar 4-12 mm ketika segar dan 3-8 mm ketika
kering dan dapat mencapai ketinggian sampai 3 meter. Bunga seperti paku besar
(spike) berwarna coklat gelap berbentuk padat silinder, 15-50 cm yang menyatu
dengan tanamannya dan dapat memproduksi hingga 200.000 bibit dengan
persentase yang tinggi dari viabilitas (Prunster, 1940, Yeo, 1964). Gambar 8.
Berikut menunjukkan morfologi dan bentuk fisik tumbuhan Lembang (Typha
angustifolia). Gambar 8. di bawah menunjukkan bentuk fisik tanaman
cattail/tifa/lembang (Typha angustifolia) yang di tanamn sebagai pengolahan pasif
limbah cair domestik, dan bentuk morfologi cattail/tifa/lembang (Typha
angustifolia).
Sumber: Google
(a) (b)
Gambar 8. Bentuk fisik Tumbuhan Lembang (Typha Angustifolia) (a), Morfologi
Tumbuhan Lembang (Typha Angustifolia) (b)
Bunga seperti paku besar tersebut berjumlah 2 bagian, yaitu bagian atas dan
bawah yang dihubungkan oleh sumbu telanjang. Sumbu telanjang ini sebagai
pemisah antara bunga jantan dan betina.Bunga jantan berada di bagian atas
sedangkan bunga betina berada di bagian bawah. Sumbu telanjang antara bunga
jantan dan betina umumnya mempunyai panjang 1-8 cm. (USDA, NRCS, 2006)
Klasifikasi tanaman Lembang (Typha angustifolia) adalah sebagai berikut:
II-34
Kerajaan : Plantae
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Famili : Typhaceae
Genus : Typha
Spesies : Typha angustifolia
Berdasarkan morfologi dari tumbuhan Lembang (Typha angustifolia) sangat
cocok untuk pengolahan dengan sistem constructed wetland. Tumbuhan Lembang
memiliki sistem perakaran yang banyak yang dapat menyerap zat organik di
bagan air. Sedangkan tumbuhan Lembang sangat banyak dan tumbuh subur di
sekitar Surabaya. Tanaman Lembang (Thypa angustifolia) mempunyai daya tahan
yang cukup kuat dan tidak mudah mati serta mempunyai akar serabut yang sangat
lebat sehingga penyerapan terhadap bahan pencemar terhadap unsur hara yang
dibutuhkan relatif besar.
Tanaman lembang banyak ditemui di Bawean, Madura, dan Karimunjawa,
namun sayang tanaman ini tak begitu dikenali. Umumnya lembang tumbuh di
paya-paya dataran rendah dan di perairan payau; namun didapati pula di rawa-
rawa pegunungan hingga ketinggian 1.725 mdpl. Di belakang pantai, lembang
kerap berasosiasi dengan vegetasi mangrove. Umum dijumpai, namun sering
melimpah secara lokal saja. Tanaman ini acapkali suka menggerombol (Giesen.et
al, 2006).
Marga Typha, tidak terkecuali lembang, menyebar di kawasan tropika, ke
utara hingga lingkar kutub dan ke selatan sehingga sekitar 35°LS. Di Asia
II-35
Tenggara, Embet tercatat dari Burma, Tahiland, dan Papua Nugini. Di Indonesia
didapati di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Karimunjawa, Bawean, Madua dan papua
(Giesen.et al, 2006).
2. Peranan Tifa (Typha angustifolia) sebagai Fitoremediator pada Sistem
Constructed Wetland
Fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremedtiation kata ini sendiri
tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton
yaitu tumbuhan dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium yang
berarti menyembuhkan, atau dapat juga diartikan sebagai penggunaan tnaman atau
pohon untuk pemulihan tanah atau badan perairan yang telah tercemar. Tanaman
bisa berperan aktif maupun pasif dalam proses penyisihan polutan yang dilakukan
pada permukaan akar. Bahan pencemar tersebut reaksi oksidasi, reduksi, dan
hidrolisa enzimatis (Khan et al., 2000 dalam Thaariq, 2015).
Tanaman yang mempunyai kemampuan menyerap logam berat melalui akar
dan mengakumulasinya dalam berbagai organnya, dikenal sebagai tanaman
hiperakumulator (Hyperacumulator), jenis tanaman hipertoleransi yang
mempunyai tinggi bisa juga digunakan sebagai tanaman alternatif dalam
fitoremediasi (Ebbs, 1998 dalam Thaariq, 2015).
Mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tanaman dapat
dibagi menjadi tiga proses yang siambung (Hardiani, 2009 dalam Thaariq, 2015),
sebagai berikut:
i. Penyerapan oleh akar. Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam
harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara
bergantung pada spesies tanaman. Senyawa-senyawa yang larut dalam air
II-36
biasanya diambil oleh akar bersama air, sedangkan sneyawa-senyawa
hidrofobik diserap oleh permukaan akar.
ii. Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain. Setelah logam
menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain mengikuti aliran
transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringn pengangkut (xylem dan
floem) ke bagian tanaman lainnya.
iii. Lokalisasi logam pada sel dan jaringan. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar
logam tidak menghambat metabolism tanaman. Sebagai upaya untuk
mencegah peracunan logam terhadap sel, tanaman mempunyai mekanisme
detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu
seperti akar.
Beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kemampuan
tanaman remediator untuk mengurangi polutan dipengaruhi oleh sistem
penanaman dan keragamannya, terutama yang berkaitan dengan anatomis
morphologis tanaman, pertumbuhan (kedalaman, struktur, sistem perakaran dan
biomassa yang dihasilkan, pertumbuhan cepat) dan proses-proses fisiologis dalam
tanaman, mampu mengekstrak dan menghasilkan bahan pencemar dari beracun
menjadi tidak dan kurang beracun (Environmental Protection Agency,2011).
Hasil penelitian Masayu, (2009) dimana Tanaman air jenis Lembang (Typha
angustifolia) memiliki kinerja yang cukup baik dalam pengolahan air limbah
domestik dengan sistem lahan basah buatan (constructed wetland) dengan didapat
penyisihan bahan organik seperti COD terbaik sebesar 91.8% pada jarak tanaman
10cm dan waktu tinggal 15 hari. didapat penyisihan BOD terbaik sebesar 91.6%
II-37
pada jarak tanaman 15cm dan waktu tinggal 15 hari. didapat penyisihan TSS
terbaik sebesar 83.3% pada saat waktu tinggal 15 hari.
Adapun hasil penelitian Puspita, (2015) Typha angustifolia mampu
menyerap logam besi (Fe) dan Mangan (Mn), dimana pada akar menyerap Fe =
15116 ppm dan Mn = 936 ppm dengan bobot biomassa 4.85 gr, juga pada batang
menyerap Fe = 1432 ppm dan 1484 ppm dengan bobot biomassa 36,31 gr.
Sehingga pada lokasi inlet constructed wetland PT. Bukit Asam dimana rata-rata
kadar logam besi (Fe) adalah 3,31 mg/L sedangkan pada lokasi outlet sebesar 0,70
mg/L. Kadar rata-rata Mn pada lokasi inlet sebesar 3,36 mg/L sedangkan pada
outlet wetland sebesar 0,63 mg/L.
Hal yang sama sejalan dengan penelitian Imas (2009) dimana penelitian ini
menggunakan constructed wetland sistem aliran horisontal dan vertikal bawah
permukaan dengan waktu detensi 9 hari. Tujuannya adalah untuk membandingkan
sistem mana yang lebih baik.Logam yang akan dianalisis pada penelitian ini
adalah Fe, Cu dan Zn. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Cyperus papyrus yang termasuk kelompok sedges. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa efisiensi penyisihan logam Fe, Cu dan Zn menggunakan constructed
wetland
pada reaktor horisontal masing-masing 91,38%, 98,15% dan 97,71%,
sementara untuk reaktor vertikal masing-masing 95,44%, 97,28% dan 97,54%.
Reaktor dengan aliran vertikal bawah permukaan memberikan efisiensi yang
sedikit lebih baik dibandingkan reaktor horisontal bawah permukaan.
II-38
H. Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-
bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagi macam
mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dana aerobik atau
anaerobik (Modifikasi dari J.H Crawford, 2003 dalam Mujab, 2011). Kompos
mengandung berbagai hara mineral yang berfungsi sebagai pupuk. Kompos juga
dapat memperbaiki sifat fisik tanah sehingga tanah menjadi remah, dan pada
gilirannya mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat dapat hidup lebih subur.
Kompos juga berguna untuk bioremediasi (Notodarmojo, 2005 dalam Thaariq,
2015).
Kompos bersifat hidrofilik sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanah
dalam memegang air dan mengandung unsur karbon yang relatif tinggi sehingga
dapat menjadi sumber energi mikroba. Kompos akan meningkatkan kesuburan
tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah
dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan meningkatkan
kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah.
Tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia. (Samekto, 2006 dalam
Thaariq, 2015) menyatakan bahwa kompos mampu mengurangi kepadatan tanah
sehingga memudahkan perkembangan akar dan kemampuannya dalam
penyerapan hara. Peranan bahan organik dalam pertumbuhan tanaman dapat
mempengaruhi tanaman melalui perubahan sifat dan ciri tanah.
Kadar unsur makro yang terdapat di dalam pupuk kompos sperti N, P dan K
tidak setinggi pada pupuk anorganik, sehingga membuat pupuk kompos jarang
digunakan sebagai pupuk utama dalam bercocok tanam, tetapi pupuk kompos
II-39
memiliki unsure mikro cukup tinggi yang dibuthkan oleh tanaman tertentu untuk
pertumbuhannya. Kandungan hara kompos secara umum dapat dilihat pada Tabel
2. di bawah.
Tabel 2. Kandungan Hara Kompos Sisa Tanaman Secara Umum
Komponen Kandungan (%)
Kadar Air
C-Organik
N
P2O5
K2O
Ca
Mg
Fe
Al
Mn
41-43
4.83 – 8.00
0.10 – 0.51
0.35 – 1.12
0.32 – 0.80
1.00 – 2.09
0.10 – 0.19
0.50 – 0.64
0.50 – 0.92
0.02 – 0.04
Sumber: Center for Policy and Implementation Studies, 1994)
Proses pengomposan adalah proses dekomposisi materi organik menjadi
pupuk kompos melalui reaksi biologis mikrroorganisme secara aerobik dalam
kondisi terkendali. Pengomposan merupakan proses pneguraian senyawa-senyawa
yang terkandung dalam sisa-sisa bahan organic (seperti jerami, daun-daun,
sampah rumah tangga, dan sebagainya) dengan suatu perlakuan khusus. Hampir
semua bahan yang pernah hidup, tanaman atau hewan akan membusuk dalam
tumpukkan kompos (Outterbridge, 1991 dalam Thaariq, 2015).
I. Perhitungan Kadar Logam Berat Besi dan Mangan
Pada penelitin ini, perhitungan kadar logam besi (Fe) dan mangan (Mn)
menggunakan spektrofotometri untuk menentukan kadar logam dalam suatu
sampel. Dari data pengujian laboratorium, yang berikutnya dihitung adalah
II-40
efesiensi penyisihan logam pada air dan dalam tanah. (Kristianingrum S dan
Sulastri S, 2011 dalam Thaariq, 2015) menggunakan rumus:
(2.1)
Efesiensi penyerapan oleh tanaman merupakan informasi selanjutnya yang
menggambarkan kemampuan tanaman dalam menyerap logam. Perhitungan
efesiensi penyerapan dalam penenlitian ini didasarkan pada konsentrasi logam
dalam tanaman serta konsentrasi logam yang ditambahkan ke dalam tanah.
(Haryanti dkk, 2013 dalam Thaariq, 2015) menggunakan rumus sebagai berikut :
(2.2)
Dari perhitungan persentase penyerapan logam pada tanah dan tanaman,
dapat diketahui besarnya kadar logam yang hilang atau tidak terserap pada
tanaman. Sehingga dapat diketahui kestimbangan massa logam, Perhitungan kadar
logam yang hilang dapat dihitung menggunakan rumusberikut ini :
(2.3)
Dimana : a = Selisih konsentrasi logam pada tanah
b = Selisih konsentrasi logam pada tanaman
Selanjutnya pengamatan morfologi tanaman dapat dilihat dari penambahan
berat tanaman sebelum dan setelah perlakuan serta perhitungan kadar air. Menurut
Respyan dkk (2011) kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut
ini: (2.4)
Untuk perhitungan laju penyerapan logam pada tanaman dapat dihiutng
dengan menggunakan rumus berikut :
(2.5)
RE (%) =Konsentrasi awal−konsentrasi akihir
konsentrasi awal x 100
Efesiensi Penyerapan = Logam pada tanaman
logam pada tanah awal x 100
Kadar Air (%) =Berat basah – Berat kering
Berat basah x 100
Kadar logam yang tidak terdeteksi = (a) – (b)
Penyerapan =Berat kering tanaman x Kadar logam pada tanamn
Berat kering tanaman x waktu
II-41
Adapun untuk menghitung kesetimbangan masdari tiap reaktor berdasrkan
penelitian Risnawati (2009) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
(2.6)
K. Penelitian Terkait
Tabel 3. Penelitian terkait dengan penelitian penulis
Penelitian,
Institusi, dan
Tahun
Judul
Penelitian
Metode
penelitian Hasil Penelitian
Persamaan dan
Perbedaan
Penelitian
Abdulgani,
Hamdani, et al.
Pasca Serjana
Universitas
Diponegoro.
2013
Pengolahan
Limbah
Cairindustri
Kerupuk dengan
Sistem
Subsurface Flow
Constructed
Wetland
menggunakan
Tanaman Typha
Angustifolia
Experimental
Designs,
Efisiensi
penurunan
tertinggi pada
semua parameter
uji tersebut terjadi
pada waktu tinggal
terlama dalam
penelitian ini, yaitu
3 hari, dengan
efisiensi
penurunan TSS
(76,5%), Amoniak
(26,6%) dan
Sulfida (52,9%)
serta kondisi pH
6,4.
Persamaan :
1.Menganalisis
penurunan
logam dengan
constructed
wetland
2.Meneliti logam
Fe dan Mn
pada Air Asam
Tambang
Perbedaan :
1.Desain
Penelitian
2.Rancangan dan
variabel
penelitian.
3.Tipe dan
pemanfaatan
media (jenis
tanaman dan
material)
constructed
wetland.
Puspitasari, Ria.
Universitas
Sriwijaya.
Tahun 2015
Analisis
Penurunan
Kadar Logam
berat (Fe dan
Mn) pada Air
Asam Tambang
mengguakan
Metode
Metode
percobaan
pengambilan
sampel,
pengukuran, dan
analisis data.
Penelitian
deskriptif
Kadar logam besi
(Fe) rata-rata inlet
: 3,31 mg/L
sedangkan pada
lokasi outlet
sebesar 0,70 mg/L
dan Mangan (Mn)
inlet sebesar 3,36
Persamaan :
1.Menganalisis
penurunan
logam dengan
constructed
wetland
2.Meneliti logam
Fe dan Mn
Kesetimbangan = Influen ± Tanah − Tanaman − efluen
II-42
Constructed
Wetland di PT.
Bukit Asam
(PERSERO)
TBKUPTE
dengan cara
membandingkan
kandungan
limbah sebelum
dan sesudah
memalui sistem
wetland.
mg/L sedangkan
pada outlet rata-
rata sebesar 0,63
mg/L. Hasil p
value untuk kadar
logam besi adalah
0,0135 dan untuk
kadar logam
mangan adalah
0,0085 (p value <
α) artinya terdapat
penurunan yang
signifikan untuk
kadar logam besi
dan mangan pada
air asam tambang
setelah memasuki
constructed
wetland di IUP
TAL PT Bukit
Asam (Persero)
Tbk UPTE.
pada Air Asam
Tambang
Perbedaan :
1.Desain
Penelitian
2.Rancangan dan
variabel
penelitian.
3.Tipe dan
pemanfaatan
media (jenis
tanaman dan
material)
constructed
wetland.
Sandrawati,
Apong. Pasca
Serjana IPB.
2012.
Pengelolaan Air
Asam Tambang
Melalui Rawa
Buatan Berbasis
Bahan In Situ Di
Pertambangan
Batubara ( Studi
Kasus di Site
Pertambangan
Sambrata, PT.
Berau Coal,
Kabupaten
Berau, Provinsi
Kalimantan
Timur),
Experimental
Designs,
Rawa buatan
dengan konstruksi
organic wall dan
kolam
pertumbuhan yang
terdiri dari bahan-
bahan in situ yang
dikondisikan
reduktif dapat
memperbaiki
kualitas air,
sehingga kualitas
air pada outlet
berada di bawah
ambang batas baku
mutu yang telah
ditetapkan.
2. Reduksi sulfat
berlangsung pada
kondisi reduktif
dengan Eh < 100
mV yang
mengakibatkan
kenaikan pH dan
selanjutnya terjadi
reduksi dan
Persamaan :
1.Mendesain
Constructed
Wetland
penurunan
2.Meneliti logam
Fe dan Mn
pada Air Asam
Tambang
Perbedaan :
1.Rancangan dan
variabel
penelitian.
2.Tipe dan
pemanfaatan
media (jenis
tanaman dan
material)
constructed
wetland.
3.Lokasi Site
penelitian.
II-43
pengendapan
besi dan mangan.
Imas, dan
Damanhuri.
Intitut
Teknologi
Bandung. 2009
Penyisihan
Logam pada
Lindi
menggunakan
Constructed
Wetland
Experimental
Designs,
Efisiensi
penyisihan logam
Fe, Cu dan Zn
menggunakan
constructed
wetland pada
reaktor horisontal
masing-masing
91,38%, 98,15%
dan 97,71%,
sementara untuk
reaktor vertikal
masing-masing
95,44%, 97,28%
dan 97,54%.
Reaktor dengan
aliran vertikal
bawah permukaan
memberikan
efisiensi yang
sedikit lebih baik
dibandingkan
reaktor horisontal
bawah permukaan
Persamaan :
1.Menganalisis
penurunan
logam dengan
constructed
wetland.
Perbedaan :
1.Desain
Penelitian
2.Rancangan dan
variabel
penelitian.
3.Tipe dan
pemanfaatan
media (jenis
tanaman dan
material)
constructed
wetland.
4.Parameter yang
digunkan.
Puspita, Lani.
Sekolah Pasca
Sarjana IPB.
2007
Reduksi
senyawa
Nitrogen,
Fosfor,
konstituen
organik, dan
TSS pada air
Lindi limpasan
dengan rawa
buatan
Percobaan,
Pengambilan
sampel dan
pengukuran,
serta analisis
data
Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa
nilai Efisiensi
Reduksi
(ER) menunjukkan
bahwa sistem
Vertical Up-Flow
Constructed
Wetland memiliki
kemampuan sangat
baik dalam
mereduksi beban
senyawa N dan P
(umumnya nilai
ER>80%) serta
cukup baik dalam
mereduksi beban
konstituen organic
dan TSS
(umumnya nilai
ER > 50%).
Persamaan:
1.Melihat
penurunan
kandungan air
limbah dengan
constructed
wetland
Perbedaan:
1. Sumber air
Limbah.
2. Parameter air
limbah yang
diteliti.
II-44
Bila dilihat dari penelitian-penelitian terkait yang telah dilakukan
sebelumnya, keterbaruan dari penelitian ini dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya adalah adanya perlakuan komposisi material dan bahwa pada
umumnya metode constructed wetland digunakan untuk mengolah air limbah
domestik atau air limbah yang berasal dari rumah tangga. Sedangkan dalam
penelitian ini constructed wetland digunakan untuk mengolah air asam tambang.
Perbedaan dengan penelitian metode constructed wetland dalam mengolah air
asam tambang yang ada adalah pada penelitian sebelumnya constructed wetland
yang digunakan hanya dalam skala yang lebih kecil bahkan dalam skala
laboratorium. Perbedaan lainnya adalah tipe constructed wetland yang digunakan,
bahan pencemar yang akan direduksi dan perbedaan pada vegetasi yang
dimanfaatkan dalam constructed wetland.