87360428 filba

16
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy) Setelah kurang lebih tiga dasawarsa kaum Atomisme Logik dan juga Positivisme Logik menanamkan pengaruhnya dalam sejarah perkembangan filsafat analitik, secara perlahan namun pasti, gaung ajaran mereka mulai agak reda. Sebab para filsuf analitik yang muncul kemudian menyadari bahwa teknik analisa bahasa yang melulu diarahkan pada pencarian makna bahasa-penonjolan aspek semantik semata- dapat menggiring mereka sendiri pada pernyataan yang tidak bermakna. Filsuf analitik yang muncul belakangan mulai meragukan keampuhan bahasa logika dalam penentuan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan. Sekarang mereka mulai mengalihkan perhatian pada titik-tolak penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu faham yang demikian itu dikenal dengan nama Filsafat Bahasa Biasa. Bagi penganut faham Filsafat Bahasa Biasa, permasalahan utama yang lebih penting daripada masalah makna, yaitu bagaimana penggunaan suatu istilah atau ungkapan dapat mengandung arti demikian. Oleh karena itu perlu terlebih dahulu diselidiki atau diteliti aspek pragmatiknya ketimbang aspek semantiknya. Filsuf analitik yang dapat dianggap sebagai perintis aliran filsafat bahasa biasa adalah Wittgenstein. Dalam periode kedua filsafat ini, Wittgenstein.lebih dekat kepada pemikiran Moore daripada pemikiran Russel. Filsuf analitik lainnya yang menaruh perhatian terhadap penggunaan bahasa biasa ini bagi maksud- maksud filsafat antara lain Ryle, dan Austin. Kedua filsuf analitik yang disebut belakangan ini adalah tokoh terkemuka dari universitas Oxford, berbeda halnya dengan Wittgenstein, Moore, dan Russel yang merupakan tokoh dari universitas Cambridge. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kami akan menampilkan dua tokoh dari Oxford yaitu, Gilbert Ryle dan J.L. Austin, di samping pandangan Wittgenstein sendiri yang merupakan perintis aliran Filsafat Bahasa Biasa.

Upload: fitra-noah

Post on 04-Aug-2015

7 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 87360428 filba

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy)

Setelah kurang lebih tiga dasawarsa kaum Atomisme Logik dan juga

Positivisme Logik menanamkan pengaruhnya dalam sejarah perkembangan

filsafat analitik, secara perlahan namun pasti, gaung ajaran mereka mulai agak

reda. Sebab para filsuf analitik yang muncul kemudian menyadari bahwa teknik

analisa bahasa yang melulu diarahkan pada pencarian makna bahasa-penonjolan

aspek semantik semata- dapat menggiring mereka sendiri pada pernyataan yang

tidak bermakna. Filsuf analitik yang muncul belakangan mulai meragukan

keampuhan bahasa logika dalam penentuan bermakna atau tidaknya suatu

ungkapan. Sekarang mereka mulai mengalihkan perhatian pada titik-tolak

penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu faham yang demikian itu dikenal

dengan nama Filsafat Bahasa Biasa.

Bagi penganut faham Filsafat Bahasa Biasa, permasalahan utama yang

lebih penting daripada masalah makna, yaitu bagaimana penggunaan suatu istilah

atau ungkapan dapat mengandung arti demikian. Oleh karena itu perlu terlebih

dahulu diselidiki atau diteliti aspek pragmatiknya ketimbang aspek semantiknya.

Filsuf analitik yang dapat dianggap sebagai perintis aliran filsafat bahasa

biasa adalah Wittgenstein. Dalam periode kedua filsafat ini, Wittgenstein.lebih

dekat kepada pemikiran Moore daripada pemikiran Russel. Filsuf analitik lainnya

yang menaruh perhatian terhadap penggunaan bahasa biasa ini bagi maksud-

maksud filsafat antara lain Ryle, dan Austin. Kedua filsuf analitik yang disebut

belakangan ini adalah tokoh terkemuka dari universitas Oxford, berbeda halnya

dengan Wittgenstein, Moore, dan Russel yang merupakan tokoh dari universitas

Cambridge. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kami akan menampilkan dua tokoh

dari Oxford yaitu, Gilbert Ryle dan J.L. Austin, di samping pandangan

Wittgenstein sendiri yang merupakan perintis aliran Filsafat Bahasa Biasa.

Page 2: 87360428 filba

BAB II

PEMBAHASAN

Ludwig Wittgenstein

Wittgenstein dalam periode filsafatnya yang kedua ini- lazim dikenal

dengan sebutan Wittgenstein II. Periode filsafatnya yang kedua ini terungkap

melalui karyanya yang berjudul Philosophical Investigations (PI). Buku ini

diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1953. PI ini disusun dalam bentuk

section yang terdiri dari banyak contoh yang mudah dijumpai dalam

kehidupan sehari-hari. Ada kesan tersendiri yang tampak dalam PI ini yaitu,

upaya menghindari penggunaan bahasa logika dalam merumusan konsepsi

filsafatnya. Dalam periode kedua ini, Wittgenstein mengubah alur

pemikirannya yang semula bertitik-tolak dari bahasa logika ke arah

penggunaan bahasa biasa dengan pelbagai aspek yang terkandung di

dalamnya. Ada pertalian yang cukup erat di antara kedua karyanya itu,

kendatipun ada perubahan arah yang cukup mendalam. PI merupakan

pengembangan dari gagasan yang sebelumnya sudah terkandung dalam

Tractatus menjadi sebuah kunci pemahaman baru, gagasan itu ditampilkan ke

dalam ruang lingkup yang baru, diterapkan dalamsuatu cara yang berbeda.

Batas bahasa pada Tractatus diubah menjadi batas dari bagian “tata permainan

bahasa”, “apa yang tidak dapat diungkapkan” diubah menjadi aturan atau

“paradigma” permainan bahasa”.

Perbedaan yang hakiki di antara ke dua karya Wittgenstein itu tercermin

dalam penolakannya terhadap tiga hal yang dulu diadaikan begitu saja pada

periodenya yang pertama, yaitu:

a) Bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan States

of Affairs (keadaan faktual),

b) Kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni

menggambarkan satu keadaan faktual, dan

Page 3: 87360428 filba

c) Setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang

sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk

dilihat.

Pokok-pokok pemikiran Wittgenstein II sebagai berikut:

1.1 Tata Permainan Bahasa (Language-games)

Sebagian besar isi kandungan PI diarahkan untuk menjelaskan

konsep mengenai Tata Permainan Bahasa (Language-games) ini. Tata

Permainan Bahasa adalah proses menyeluruh penggunaan kata, termasuk

juga pemakaian bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan.

Konon istilah “Tata Permainan Bahasa” timbul sebagai suatu gagasan

filsafat ketika suatu hari Wittgenstein melihat sebuah pertandingan sepak

bola. Tiba-tiba melintas dalam benaknya bahwa sesungguhnya dalam

bahasa, kita pun terlibat dalam suatu bentuk permainan kata.

Gagasan mengenai penggunaan istilah “Tata Permainan Bahasa”

itu tidak akan dapat terwujud dengan baik apabila Wittgenstein tidak

menghubungkannya dengan kenyataan di hadapannya, yaitu adanya

keanekaragaman bahasa yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari

keanekaragaman “Tata Permainan Bahasa” itu meliputi :

“ memberi perintah, menggambarkan penampakn sesuatu objek,

menyusun sesuatu objek, melaporkan jalannya suatu peristiwa,

menyusun dan menguji hipotesa, mengarang suatu cerita dan

menceritakannya kepada orang lain, bermain komedi, menghayati

syair lagu, menjawab teka-teki, bersenda-gurau, membuat lelucon,

memecahkab persoalan hitungan, bertanya, mengalihbahasakan

satu bahasa ke bahasa yang lain, berterimakasaih, mengucapkan

salam, berdoa, dan sebagainya”.

Sebagaimana lazimnya dalam sebuah permainan, orang yang

terlibat dalam permainan tertentu-misalnya permainan catur-haruslah

terlebih dahulu mengetahui aturan yang digariskan dalam permainan

tersebut. Aturan ini dibutuhkan sebagai pedoman bagi penyelenggara

Page 4: 87360428 filba

permainan itu secara baik, jelas, dan bertanggung jawab.Begitu pula

halnya yang terjadi dalam “Tata Permainan Bahasa”, setiap bentuk

permainan bahasa itu memiliki aturan sendiri yang tidak dapat

dicampuradukkan begitu saja.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai kata atau

ungkapan yang sama yang dipergunakan dalam pelbagai bentuk

permainan bahasa. Menurut pendapat Wittgenstein, bisa saja bahasa itu

menghasilkan sesuatu yang bersifat umum. Sesungguhnya kata atau

ungkapan itu dihubungkan satu sama lain dalam banyak cara yang

berbeda. Untuk menjelaskan pandangan itu, Wittgenstein mengajukan

contoh tentang “aneka kemiripan keluarga” sebagai analogi dari bentuk

permainan bahasa. Aneka kemiripan di antara anggota keluarga itu terlihat

pada: bentuk, sifat, warna, mata, sikap, temperamennya dan lain-lain.

Dengan demikian penerapan kata atau ungkapan yang sama dalam

pelbagai cara yang berbeda, bukan mengandung makna yang sama,

melainkan dasar-dasar kemiripan yang sifatnya umum. Dua saudara

kembar sekalipun tidak akan memiliki kesamaan yang bersifat mutlak,

pasti ada perbedaan antara keduanya. Hal yang sama berlaku pula bagi

penggunaan kata atau kalimat yang sama dalam banyak cara yang

berbeda, meskipun mengandung sesuatu yang bersifat umum

(kemiripannya), naming maknanya tergantung pada cara penggunaannya.

Contoh: pemakaian kata “aku” dalam bahasa Indonesia. Kata

“aku” mengandung sesuatu yang bersifat umum yaitu, mengacu pada diri

si penutur pada situasi penggunaan yang manapun juga. Akan tetapi

penggunaan kata “aku” dalam lingkup pembicaraan dengan orang yang

lebih tua umurnya mempunyai pengertian yang berbeda (menimbulkan

kesan kurang sopan pada diri si penutur atau kurang hormat terhadap

pendengar yang lebih tua). Sedangkan penggunaan kata “aku” dalam

lingkup pembicaraan dengan teman sebaya mungkin tidak mendatangkan

kesan sopan, bahkan justru lebih akrab.

Page 5: 87360428 filba

Jadi pembicara dengan orang yang lebih tua merupakan bentuk permainan

bahasa yang berbeda dngan pembicaraan dengan teman sebaya. Inilah

yang dimaksudkan dengan pengertian “serupa tapi tak sama” dalam

analogi “aneka kemiripan keluarga” itu tadi. Artinya, kata “aku”

mempunyai sifat umum yang serupa yaitu, mengacu pada diri si penutur,

tetapi makna kata “aku” tidak sama, tergantung pada lingkup

penggunaannya.

1.2 Kelemahan Bahasa Filsafat

Melalui konsep tentang “Tata Permainan Bahasa” itu tadi,

Wittgenstein bermaksud menunjukkan kekacauan penggunaan bahasa

dalam filsafat. Artinya, penggunaan istilah atau ungkapan yang telah

membingungkan dan memusingkan begitu banyak orang, sesungguhnya

disebabkan para filsuf tidak mengikuti aturan permainan bahasa.

Ada beberapa kelemahan penggunaan bahasa dalam filsafat, yang baik

secara langsung maupun tidak, ditunjukkan oleh Wittgenstein dalam

periodenya yang kedua ini:

1. Penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak

sesuai dengan aturan permainan bahasa.

2. Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat

umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan

mencerminkan sifat keumumannya. Penyakit filsafat yang

demikian itu disebut Wittgenstein dengan istilah “Craving for

Generality” yaitu, “kecenderungan untuk mencari sesuatu yang

umum pada semua satuan-satuan konkrit yang diletakkan atau

dihimpun di bawah suatu istilah umum.

3. Penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung melalui

pengajuan istilah yang tidak dapat dipahami, seperti:

“keperiadaan”, “ketiadaan” dan sebagainya. Oleh karena itu

Wittgenstein menganjurkan agar kita “melewati atau menghindari

Page 6: 87360428 filba

penyamaran dari sesuatu yang tidak terpahami itu dengan

menunjukkan bahwa itu sebenarnya omong kosong saja.

1.3 Tugas Filsafat

Ada dua aspek yang terkandung dalam analisa bahasa menurut

Wittgenstein II, yaitu aspek penyembuhan yaitu menghilangkan

kekacauan yang terjadi dalam bahasa filsafat.dan aspek metodis.

Aspek metodis yang diperlihatkan Wittgenstein II ini dalam kaitannya

dengan tugas filsafat, yaitu :

a) Bertitik tolak pada penggunaan bahasa sehari-hari, dengan meneliti

dan membedakan aturan-aturan dalam permainan bahasa. Dalam

periode pertama Wittgenstein lebih bertitik-tolak pada bahasa

logika dalam upaya membentuk bahasa ideal bagi filsafat.

b) “Menunjukkan kepada lalat jalan keluar dari sebuah botol lalat”.

Analogi ini dikenakan bagi para filsuf yang mencoba menjelaskan

realitas melalui penggunaan istilah atau ungkapan yang

membingungkan sehingga mereka terjebak ke dalam pesona

bahasa yang mengikat pemikiran mereka sendiri. Jalan keluar yang

ditawarkan Wittgenstein adalah melalui penampakkan jalannya

bahasa, yang bagaimanapun juga membuat kita mengakui jalan itu

walaupun timbul dorongan kearah kesalahfahaman.

c) Analisa bahasa harus berfungsi sebagai metode netral, dan tidak

ikut “latah” memberikan penafsiran tentang realitas. “Filsafat itu

tidak ikut campur tangan dalam penggunaan bahasa yang actual.

Pada akhirnya filsafat itu hanya memerikan atau memaparkan apa

adanya. Menetapkan filsafat sebagai metode netral, ini berarti

pandangan yang bersifat metafisik-upaya memperoleh pemahaman

tentang realitas-seperti yang tercermin dalam teori gambar

(Wittgenstein I), tidak lagi mendapat tempat dalam periode kedua

ini. Atau dengan kata lain, Wittgenstein II tidak melibatkan diri

dalam corak pandangan yang bersifat metafisik. Situasi inilah yang

Page 7: 87360428 filba

sesungguhnya membedakan konsep filsafat Wittgenstein I dengan

konsep filsafat Wittgenstein II.

Gilbert Ryle (1900-1976)

Berbeda dengan tokoh filsafat analitik yang telah banyak dibicarakan, ryle

adalh tokoh kenamaan dari universitas Oxford, sebagaimana yang telah

disinggung bahwa sebelum perang dunia kedua, perkembangan filsafat

didominasi oleh Cambridge, terutama moore, russel dan wittgenstein, tetapi

setelah perang dunia kedua, peranan itu diambil alih oleh tokoh dari Oxford,

diantaranya ryle dan Austin. Ryle sedikit bayak dipengaruhi oleh pemikiran

moore terhadap konsep filsafatnya, terutama titik-tolak pada penggunaan bahasa

biasa bagi maksud-maksud filsafat. Bahkan secara umum dapat dikatakan -

kendati Ryle sendiri mungkin tidak mengakuinya – bahwa konsep filsafat bahasa

biasa dari Ryle ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari apa yang telah

dirintis oleh Wittgenstein II.

Pemikiran filsafatnya mendasarkan pada filsfafat bahasa biasa. Filsafatnya

dipengaruhi oleh Widgenstein dalam hal titik tolak dan Moore dalam prinsip

analisisnya. Pemikiran filsafatnya memadukan prinsip atomisme logis dengan

filsafat bahasa biasa melalui suatu analisis bahasa. Meskipun unsur logika bahasa

mempengaruhi pemikirannya, namun pada filsafatnya Ryle tidak mendasarkan

struktur logika bahasanya melainkan ia memperhatikan dan menganalisis

penggunaan bahasa sehari-hari berdasarkan prinsip-prinsip logika, sehingga dapat

dipahami bahwa akan sering ditemukan penggunaan bahasa sehari-hari yang

menyalahi prinsip logika.

Meskipun ia tidak mengungkapkan secara jelas mengenai language

games, tetapi ada satu dari teorinya yang dapat dipakai sebagai bentuk penjelasan

mengenai language games karena kemiripan teori Ryle dan language games yang

dikemukakan Widgenstein.

Dalam teorinya dibedakan antara “penggunaan dari bahasa biasa” (the use

of ordinary language), “penggunaan bahasa yang biasa” (the ordinary linguistic

Page 8: 87360428 filba

usage), “penggunaan bahasa biasa” (the use of ordinary language), dengan

penggunaan bahasa yang didasarkan atsa ungkapan ( the ordinary use of the

expression). Dengan adanya pembedaan ini, dimaksudkan untuk memberi suatu

penekanan bahwa tujuan diadakannya analisis bahasa ialah untuk mendapatkan

suatu kejelasan yang memadai bagi penggunaan bahasa-bahasa baku. Dengan kata

lain Ryle menginginkan suatu penganalisisan bahasa yang bersifat teknis dengan

membandingkannya dengan bahasa biasa. Proses analisis ungkapan dalam filsafat

bahasa biasa harus memperhatikan aturan-aturan yang ada dalam penggunaan

ungkapan. Dalam penggunaan aturan logika perlu diperhatikan mengenai aturan-

aturan logika. Penggunaan (use) ungkapan itu dapat sah atau tidak sah secara

logis (yaitu harus sesuai dengan hukum logika).

Jadi teori yang dikemukakan oleh Ryle ini maka akan mencapai suatu

pernyataan yang hamper mirip dengan Witgenstein, tetapi Ryle memiliki

kekhasan dengan menggabungkan prinsip-prinsip analitis istilah-istilah dengan

mendasarkannya pada prinsip-prinsip logika, sehingga akan terbentuklah suatu

tatanan permainan bahasa yang mampu mencakup analisis terhadap bahasa

sehari-hari.

Penggunaan Bahasa Biasa (ordinary language)

Pada pandangan Ryle kita akan menjumpai perbedaan yang cukup

tajam diantarra kedua hal tersebut yaitu terhadap penggunaan bahasa sehari-hari

dan penggunaan bahasa biasa yang baku atau standar. Menurut Ryle, “kesalahan

filsafat yang paling menggelikan adalah saat “penggunaan bahasa biasa/yang

baku” (ordinary use) dianggap tumbuh dengan “penggunaan bahasa yang

biasa/menurut kebiasaan sehari-hari” (ordinary usage)”. Alasannya ialah bahwa

bahasa yang kita pergunakan menurut kebiasaan sehari-hari belum tentu

mencerminkan penggunaan bahasa yang baku. Contohnya ialah ketika kita

menggunakan bahasa Indonesia baku yang sesuai dengan kaidah yang ditentukan

– memenuhi tuntunan tatabahasa yang baik dan benar serta pemakaian istilah

yang baku, inilah yang dimaksudkan dengan “penggunaan bahasa biasa/yang

baku”. Sedangkan “penggunaan bahasa yang biasa/ menurut kebiasaan sehari-

Page 9: 87360428 filba

hari” lebih banyak dijumpai dalam pergaulan, seperti pemakaian bahasa daerah

ataupun pemakaian bahasa Indonesia yang tidak didasarkan pada tuntunan

tatabahasa yang baik dan benar, penggunaan istilah asing yang belum dibakukan,

dan semacamnya.

Menurut pendapat Ryle, filsafat bahasa seharusnya diarahkan pada

penggunaan bahasa yang baku, bukan penggunaan bahasa menurut kebiasaan

sehari-hari. Pandangan yang demikan ini jelas bertentang dengan pendapat

Wittgenstein II yang lebih banyak atau memang secara khusus mengarahkan

perhatiannya pada penggunaan bahasa menurut kebiasaan sehari-hari, dalam

keberagaman tata permainan bahasa. Menurut Ryle, tujuan mengarahkan teknik

analisa bahasa itu pada penggunaan bahasa yang baku, yaitu agar kita dapat

memberikan penjelasan yang memadai bagi penggunaan yang biasa/standar dari

ungkapan.

Penggunaan ungkapan yang standar (ordinarily use expressions) ini

artinya penggunaan istilah atau ungkapan teknis dalam bidang ilmu pengetahuan

yang mempunyai arti yang tepat. Untuk memeriksa apakah istilah teknis itu

dipergunakan sesuai pada tempatnya, diperlukan penjelasan (clarification) yang

memadai. Ryle berpendapat bahwa penjelasan yang memadai itu dapat ditempuh

melalui penggunaan bahasa yang baku, bukan penggunaan bahasa sehari-hari.

Misalnya; untuk menjelaskan bidang Ekonomi seperti “permintaan” dan

“Penawaran” (demand and supply). Dan kita harus menjelaskan dengan

penggunaan bahasa yang baku pula. Dengan demikian kita dapat

membatasipengertian istilah “permintaan” dan “penawaran” itu tadi sesuai dengan

lingkup penggunaannya dalam ilmu ekonomi. Menjadi sebab ialah apabila

menjelaskan ke dua istilah tersebut melalui penggunaan bahasa sehari-hari, akan

menimbulkan kesalahpahaman terhadap arti istilah itu yang sesungguhnya.

Barangkali kita lalu mengira bahwa manakala seorang tetangga menunjukan

ermintaan agar kita menghadiri kenduri dirumahnya, sama dengan hokum “

permintaan” yang berlaku dalam ilmu ekonomi. Kesalahfahaman ini disebabkan

kita tidak menjelaskan arti istilah itu dengan bahasa yangbaku, tetapi dengan

Page 10: 87360428 filba

menggunakan bahasa sehari-hari yang bermakna ganda. Oleh karena itu, Ryle

menyarankan agar para filusuf mencari penggunaan ungkapan yang standar

sebagaimana menemukan penggunaan yang pasti dan tepat. Yaitu dengan cara

memanipulasi alat yang dipergunakanitu sendiri”.

Para filsuf Oxford termasuk pula Ryle menganggap istilah filsafat, seperti “tahu”,

“fikir”, “sebab”, “discaya”, “kebenaran”, dan lain-lain, sebagai istilah yang

dipakai dalam kehidupan sehari-sehari. Seperti seorang anak kecil, kita

mempelajari istilah itu melalui uji coba (trial and error), cara menggunakan setiap

istilah itu agar mengandung makna, untuk tugas apa, dan ruang lingkup yang

mana istilah itu dipakai, dan adalah mustahil jika kita mengajukan alas an bahwa

kita membutuhkan seorang filsuf untuk mengatakan cara menggunakan istilah

tersebut. Oleh karena itu, Ryle menyimpulkan tentang penggunaan bahasa biasa

itu dengan mengatakan bahwa kita semua mengetahui cara menerapkan setiap

kata, dan kita pun mengerti manakala orang lain menerapkannya. Di sini tampak

jelas bahwa sinyalemen para filsuf Oxford tentang penggunaan bahasa biasa

sebagai ungkapan yang bermakna, serupa halnya dengan sinyalemen Moore

tentang “akal sehat” sebagai sarana yang dapat dipercaya untuk menjelaskan arti

suatu ungkapan. Penyalahgunaan ataupun penyimpangan dari bahasa biasa timbul

lantaran adanya pertentangan diantara kelas-kelas dari ungkapan yang kita

pergunakan dalam bahasa biasa.

Kegalatan Kategori (Category Mistake)

Salah-satu teori Ryle adalah Kegalatan Teori, yang artinya adalah kekeliruan atau

kegalatan yang terjadi manakala seorang menggambarkan fakta yang sebenarnya

termasuk kategori yang satu dengan menggunakan cirri-ciri logis yang menandai

kategori lainnya. Contohnya, seorang anak kecil sedang menyaksikan pawai atau

parade barisan Angkatan Bersenjata (ABRI). Di situ ia melihat ada parade

Ankatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Kemudian anak

itu bertanya kapan barisan ABRI akan melewati tempat itu. Ia mengira ABRI

Page 11: 87360428 filba

termasuk, kelas yang sama dengan angkatan dara, laut, udara, dan kepolisian yang

telah dilihatnya tadi. Itu merupakan suatu kegalatan teori, sebab parade angkatan

itu semuanya termasuk ABRI.

Melalui konsep Kegalatan Teori, Ryle mengeritik konsep dualisme Descrates.

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Descrates menampilkan dua

sebstansi yang berfikir (Res Cogitans) dan substansi yang meluas (Res Extansa).

Corak logis yang diajukan Descrates bagi substansi yang berfikir yaitu, “manusia

mengenal dirinya sendiri sebagai makhluk yang berfikir, . . .yang tidak bersifat

kebendaan, jadi suatu substansi yang kekal, dan juga mengenal dirinya sebagai

suatu kesadaran”. Di pihak lain, subsatansi yang meluas dianggap sebagai “suatu

substansi yang kedua, yang tidak berfikir tetapi hanya bersifat lapang dan luas.

Perubahan yang terjadi pada dunia jasmaniah itu dapat diterangkan atas dasar-

dasar yang murni kausal-mekanis. Dunia keluasan ini dipandang sebagai dunia

mesin yang murni mekanis, didalamnya termasuk juga binatang yang tidak

mempunyai kesadaran dan berupa otomat belaka yang tidak berjiwa”.

Menurut Ryle, sangatlah aneh dua substansi yang begitu beda corak logis atau

kategorinya dapat bergabung secara harmonis dalam diri manusia, ini tak ubahnya

“sebagai dogma tentang hantu dalam sebuah mesin”. Dengan demikian Ryle

menganggap aspek jiwa dan badan sebenarnya merupakan dua istilah yang

termasuk pada kategori yang sama yaitu, manusia. Ryle menganalogikan sebagai

berikut: “jadi seorang pembeli boleh saja mengataka ia telah membeli sebuah

sarung tangan kiri dan sebuah sarung tangan kanan, tetapi ia tidak dapat

mengatakan telah membeli sebuah sarung tangan kiri dan sebuah sarung tangan

kanan, dan sepasan sarung tangan”.

Kelemahan Bahasa Filsafat

Setelah memperlihatkan kegalatan teori seperti yang telah diuraikan di atas, Ryle

juga menguraikan beberapa kelemahan bahasa filsafat lainnya. Hal ini terutama

mencakup penggunaan pelbagai jenis kata yang tidak pernah ditunjukan secara

jelas oleh para filsuf. Apa arti atau maksud yang sebenarnya dari kata atau istilah

Page 12: 87360428 filba

yang mereka pergunakan, bahkan acapkali mereka mencampuradukan arti jenis

kata yang satu ke jenis kata yang lain, sehingga menimbulkan kekaburan

pengertian terhadap arti atau maksud jenis kata yang bersangkutan. Kelemahan itu

meliputi antara lain:

1) Penggunaan „ dispositional statements”, yaitu pernyataan yang menunjuk

pada sifat atau kebiasaan tertentu. Menurut Ryle, pernyataan yang

menunjuk pada sifat atau kebiasaan ini haruslah dibedakan dari pernyataan

yang menunjuk pada suatu peristiwa, sebab keduanya secara logis

mempunyai pengertian yang berbeda. Ryle mengajukan contoh sebagai

berikut: “bilamana seekor lembu sikatakan sebagai binatang “pemamah

yang baik”, atau seorang pria disebut sebagai perokok, itu tidak berarti

lembu pemamah yang baik sekarang, atau pria itu sedang merokok

sekarang. Kata “pemamah yang baik” atau “perokok” menunjuk pada sifat

atau suatu kebiasaan. Dengan demikian delaslah ada perbedaan logis

antara penggambaran suatu sifat atau kebiasaan (dispositions) dengan

penggambaran suatu peristiwa (occurrences).

2) Penggunaan jenis kata kerja mengacu tugas (Task Verbs) dan kata kerja

mengacu kepada tujuan(achievement Verbs). Menurut Ryle, kendatipun

kedua jenis kata kerja inicenderung menunjukan aktivitas yang sama (satu

kerja tertentu), namun kekuatan logis yang terkandung antara kedua jenis

kata kerja itu berbeda. Ryle mengajukan contoh sebagai berikut: “satu

perbedaan yang besar antara kekuatan logis yang terkandung dalam jenis

“kata kerja mengacu tugas” dengan jenis “kata kerja yang mengacu

kepada tujuan” yaitu bahwasanya dalam penerapan “kata kerja mengacu

tujuan” kita menjelaskan beberapa bentuk peristiwa yang meliputidan

mengatasi hal-hal yang terkandung di dalam tindakan yang dilakukan,

melebihi pelaksanaan suatu tugas.

Page 13: 87360428 filba

John Langshaw Austin (1911-1960)

Sebagaimana halnya Ryle, Austin juga termasuk salah seorang tokoh

kenamaan Oxford. Dalam usianya yang begitu singkat (49 tahun), Austin tidak

banyak meninggalkan tulisan. Namun pengaruhnya besar, terutama dalam diskusi

rutin yang diselenggarakan kalangan itu sendiri. Di sana Austin banyak

menampilakn gagasan baru yang belum pernah dibicarakan oleh para filsuf

analitik sebelumnya, terutama yang berkenaan dengan jenis ucapan (utterances)

dan tindakan bahasa (speech acts) dalam pergaulan sehari-hari. Jika dalam

pandangan Ryle kita melihat suatu upaya untuk membedakan secara rinci

penggunaan bahasa baku/standar, maka Austin tidak terlalu mempermasalahkan

hal itu. Baginya, jauh lebih penting diselidiki penggunaan bahasa pergaulan

yangan perbagai corak dan perbedaannya, sehingga kita dapat menemukan

sumber kekacauan filosofis yang sesungguhnya.

Ucapan-ucapan yang diantaranya termasuk kedalam pemikiran Austin

pada filsafat bahasa biasa ialah:

1. Jenis Ucapan (Utterances)

2. Ucapan Konstantif (Constantive Utterance)

3. Ucapan Performatif (Per formative Utterance)

Tindakan Bahasa

Tesis utamanya tentang tindakan bahasa “dalam mengatakan sesuatu,

berarti kita melakukan sesuatu pula”. Ini berarti apa yang kita katakan

mencerminkan apa yang akan kita lakukan pula.

Tindakan Lokusi

Dalam tindakan Lokusi, si penutur melakukan tindakan bahasa dengan

mengatakan sesuatu yang pasti. Artinya, gaya bicara si penutur dihubungkan

dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturannya. “perhatian kita dalam

tindakan Lokusi pada prinsipnya membuat jelas tindakan lokusi itu sendiri dengan

Page 14: 87360428 filba

membedakannya dari tindakan bahasa yang lain, dan menghubungkannya pada

sesuatu yang kita utamakan.

Tindakan Illokusi

Tindakan Illokusi yang merupakan salah satu jenis tindakan bahasa ini

dapat ditafsirkan sebagai dasar dari teori arti dan merupakan dasar dari ilmu

semantic. Austin berpendapat “tinadakan dalam mengatakan sesuatu merupakan

lawan terhadap tindakan mengatakan sesuatu”

Petunjuk penting dari tyindakan illokusi adalah “apa yang dikehendaki

bagi pengucapan suatu kalimat yang laik /wajar bagi suatu tindakan illokusi,

bukan lantaran keadaan lingkungan itu secara actual menimbulkan pengaruh yang

pasti atau sipenutur benar-benar mempercayai pengaruh yang ditimbulkan oleh

keadaan itu bagi tindakan bahasa yang dilakukannya, melainkan sipenutur

semata-mata memiliki tangggung jawab terhadap tindakan bahasa yang

dilakukannya. Atau dengan kata lain, si penutur benar-benar mengakui bahwa apa

yang diperbuatnya itu tyelah diarahkan sesuai dengan aturan yang

dikehendakinya.

Tindakan Perlokusi

Adalah akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturan, baik nyata

ataupun tidak. Dalam tindakan perlokusi, pengaruh atau akibat yang timbul

memang dirancang atau diarahkan sedemikian rupa, sehingga ada upaya untuk

mempengaruhi pendengar secara maksimal.

Page 15: 87360428 filba

KESIMPULAN

Kendati sebuah makalah ini berakhir, akan tatapi filsafat analitik tidak aka

pernah berhenti. Tokoh yang dibicarakan, dengan perbagai taknik analisa bahasa

yang menjadi cirri filsafat mereka itu, tepat jika dijuluki sebagai Founding Father

metode analisa bahasa. Mereka lah yang cukup kokoh bagi filsafat yang bercorak

logosentris ini. Namun rangkaian perkembangan filsafat analitik itu masih terus

berlangsung hingga sekarang. Dan konsep para filusuf diatas merupakan untaian

berharga bagi siapa saja yang ingin menerapkan metoda analisa bahsa kedalam

filsafat. Terutama dalam rangka menentukan atau pemcari tolok-ukur yang tepat

dan memadai bagi masalah arti atau makna bahasa filsafat.

Peranan sebuah bahasa tidak akan dapat terlepas dari apapun begitu juga

halnya kedalam filsafat sehingga begitu santernya filusuf-filusuf yang

berdatangan untuk mengungkapkan apresiasinya terhadap bahasa dan akhirnya

timbul filsafat analitik. Dan dari situ pula banyak berdatangan para pengikut atau

ada juga pemikir sebuah aliran terhadap filsafat analitik tersebut.

Page 16: 87360428 filba

Daftar Pustaka

Mustansyir, Rizal. 1987. Filsafat Analtik: sejarah, perkembangan dan peranan

para tokohnya. Jakarta: rajawali pers.

Titus, H Harold. Smith, S Marilyn. Nolan, T Richard. 1984. Persoalan-persoalan

Filsafat. Jakarta: PT. bulan Bintang.