78223223-hiposmia

32
I. PENDAHULUAN Hidung mempunyai berbagai macam fungsi salah satu fungsinya adalah sebagai indera penghidu. Penelitian terhadap gangguan fungsi penghidu kurang mendapat perhatian bila dibandingkan dengan gangguan fungsi pendengaran dan penglihatan. Manusia lebih menggantungkan nasibnya pada indra pendengaran dan penglihatan oleh karena gangguan pada indra ini akan menimbulkan gangguan sosial ekonomi yang lebih berat 3 . Padahal penderita gangguan fungsi penghidu cukup banyak bahkan di Amerika yang telah dilakukan penelitian sekitar 2,7 juta dewasa mempunyai gangguan pada indra penghidu. Gangguan fungsi penghidu meningkat seiring dengan bertambahnya umur 1 . Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Fungsi penghidu memegang peranan yang penting dalam mendeteksi aroma, merasakan makanan serta membaui bau yang ada disekitar kita misalnya jika ada kebakaran atau kebocoran gas 15 . Gangguan fungsi penghidu dapat membuat seseorang mengalami depresi, orang tidak akan lagi mencari makanan atau minuman diluar dan dapat mengganggu fungsi sosial seperti menolak ajakan teman untuk makan malam diluar 13 . Gangguan penghidu umumnya sukar didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada

Upload: fahrurrozi-syarif

Post on 11-Aug-2015

87 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: 78223223-hiposmia

I. PENDAHULUAN

Hidung mempunyai berbagai macam fungsi salah satu fungsinya adalah sebagai

indera penghidu. Penelitian terhadap gangguan fungsi penghidu kurang mendapat perhatian

bila dibandingkan dengan gangguan fungsi pendengaran dan penglihatan. Manusia lebih

menggantungkan nasibnya pada indra pendengaran dan penglihatan oleh karena gangguan

pada indra ini akan menimbulkan gangguan sosial ekonomi yang lebih berat3. Padahal

penderita gangguan fungsi penghidu cukup banyak bahkan di Amerika yang telah dilakukan

penelitian sekitar 2,7 juta dewasa mempunyai gangguan pada indra penghidu. Gangguan

fungsi penghidu meningkat seiring dengan bertambahnya umur1.

Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan

penting untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Fungsi penghidu memegang peranan

yang penting dalam mendeteksi aroma, merasakan makanan serta membaui bau yang ada

disekitar kita misalnya jika ada kebakaran atau kebocoran gas15. Gangguan fungsi penghidu

dapat membuat seseorang mengalami depresi, orang tidak akan lagi mencari makanan atau

minuman diluar dan dapat mengganggu fungsi sosial seperti menolak ajakan teman untuk

makan malam diluar13.

Gangguan penghidu umumnya sukar didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya

karena kurangnya pengetahuan pada individu15. Gangguan penghidu bisa sekunder akibat

proses perjalanan penyakit atau bisa juga sebagai keluhan primer. Daya menghidu yang

hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun

dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari 60tahun 1,2

Penderita dengan gangguan fungsi penghidu dapat terjadi gangguan pada beberapa

lokasi antara lain mukosa, kelainan saraf olfaktorius dan saraf sentral, untuk itu perlu

dilakukan pelacakan hingga nantinya dapat mengidentifikasi kelainan yang ada.

Pada pemahaman fungsi penghidu sering dihadapkan pada pertanyaan bagaimana

jalur rangsang penghidu sampai disadari, bagaimana proses penghidu dapat terjadi sehingga

dapat membau dan apakah penghidu itu bisa diterangkan mekanismenya berdasarkan proses

dan jalur rangsang penghidu. Pada penulisan ini terutama membahas tentang

fisiologi,etiologi,diagnosis dan pengobatan gangguan penghidu.

Page 2: 78223223-hiposmia

II. Pembahasan

A. Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah

pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang hidung

(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (Os nasalis),

prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang

rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu

sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang

disebut juga sebagai kartilago alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi

anterior kartilago septum3,7,8.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu

atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang

disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring3,7,8

.Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut

meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan

superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding

lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus

nasolakrimalis3,7,8. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os

rnaksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh

lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung3,7.

Page 3: 78223223-hiposmia

B. Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).

Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius

dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah

sepertiga atas hidung. 2,3,5,6,7,8,9

Page 4: 78223223-hiposmia

C. Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi

atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).

Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi

oleh epitel toraks berlapis semu (pseudostratitied columnar epitelium) yang mempunyai silia

dan di antaranya terdapat sel-sel goblet3.

Gambar 1.Mukosa pernafasan Hidung8

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada

atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila nafas

dengan kuat. Mukosa olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan

sepertiga bagian atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak

bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga

macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu

berwarna coklat kekuningan. Di antara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar

Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida, enzim, antibodi, garam-garam dan protein

pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman terdapat dalam lamina propria pada region

olfaktorius. Sel-sel reseptor bau merupakan satu-satunya sistem saraf pusat yang dapat

berganti secara regular (4-8 minggu)3,7,8. Sel reseptor bau adalah sel saraf bipolar yang

terdapat di daerah yang terbentang di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah

Page 5: 78223223-hiposmia

septum yang berhadapan. Pada mukosa olfaktoria terdapat seratus juta sel olfaktoria dan sel-

sel ini dikelilingi oleh sel penyokong yang mensekresi lapisan mucus yang terus menerus

melapisi epitel dan mengirimkan banyak mikrovili rambut silia ke dalam mucus ini. Akson

dari sel saraf bipolar akan dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui

lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk traktus

olfaktorius yang menuju ke otak2,5,6.

D. Sistem Olfaktorius

Sistem olfaktorius terdiri dari 1). reseptor penghidu, 2). Saraf perifer (fila olfaktoria), 3).

saraf sentral.

1. Reseptor penghidu : reseptor penghidu ini terletak pada atap kavum nasi, sebagian atas konka

superior dan bagian atas septum nasi daerah ini disebut mukosa pars olfaktoria. Tiap sel

reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama. Dalam rongga hidung rata-

rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus

menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru

dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang

serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area kribriformis

dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini, traktus olfaktorius

berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang sama. 3,7,9

2. Fila olfaktoria : saraf ini merupakan saraf penghubung sel reseptor dengan bulbus olfaktoria

saraf ini ke atas menembus lamina kribrosa menuju bulbus olfaktorius yang terletak di atas

lamina kribrosa6.

3. Saraf sentral : saraf ini dimulai dari bulbus olfaktorius hingga bagian korteks serebri. Bulbus

olfaktoria merupakan bangunan saraf yang lonjong yang dimasuki fila olfaktoria , bangunan

ini terletak di lamina kribrosa dari tulang etmoid. Neuron olfaktorius mempunyai akson yang

tidak bermielin, akson-akson dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang

melalui lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di basal

Page 6: 78223223-hiposmia

lobus frontalis. Bulbus olfaktorius terdiri atas beberapa lapisan ( dari luar ke dalam bulbus),

yaitu lapisan gromerular, lapisan pleksiformis eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan

pleksiformis internal dan lapisan sel granula. Di dalam bulbus olfaktorius terjadi sinaps

dengan dendritik neuron kedua. Akson-akson neuron kedua membentuk traktus olfaktorius,

yang berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus

lainnya6,9.

Gambar 2. Area Olfaktorius7

Gambar 3. Reseptor olfaktori9

Page 7: 78223223-hiposmia

E. Fisiologi Penciuman

Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat – zat

kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang

terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup

turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas

stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup.

Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama5,7,8.

Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius

bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak

dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari5,6. Pada inspirasi

dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius sehingga sensasi bau bisa

tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu

yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah masuk ke dalam kavum nasi, zat-zat harus

sedikit larut dalam air supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus mudah larut dalam

lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari zat

lemak7,8.

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada

pada permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh protein

spesifik (G-PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim Adenyl Siklase.

Aktivasi enzim Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan

membuka saluran ion Ca++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam silia menyebabkan

membran semakin positif, terjadi depolarisasi hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi

potensial pada akson-akson sel reseptor menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus

olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral.

Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar sinyal ke korteks piriformis (area untuk

Page 8: 78223223-hiposmia

mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks enthoris(berhubungandenganmemori)5.

F. Definisi

Gangguan penghidu adalah gangguan dari saraf olfaktorius, yang merupakan saraf untuk

menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan pembauan dapat

bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau

sejumlah kecil bau).1

G. Etiologi Gangguan Penghidu

Gangguan penghidu dapat terbagi atas :2,3

Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat

mendeteksi bau.

Page 9: 78223223-hiposmia

Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah

frontal atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses degenerasi

pada orang tua.

Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau

Hiperosmia : peningkatan sensistivitas mendeteksi bau

Disosmia : distorsi identifikasi bau

Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau

tidak enak, biasanya disebabkan oleh trauma.

Kakosmia : timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, kelainan psikologik ata

kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosis

Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau

Presbiosmia : penurunan atau kehilangan persepsi pembauan yang terjadi pada orang tua

2.1.1. Patogenesis

Pada gangguan penghidu yang perlu diperhatikan adalah kerja dari sistem olfaktori yang

merupakan ujung saraf, ditemukan pada membran mukosa atap hidung. Bagian ini disebut area

olfaktori yang berada di bawah lobus frontal otak.

Pada area olfaktori terdapat jutaan sel-sel olfaktori yang kecil. Masing-masing sel terdiri

dari 12 silia, mukus mempermudah gerak silia. Mukus juga menangkap molekul bau-bau, lalu

reseptor di silia menstimulasi molekul dan mengirim impuls saraf ke otak.

Serat-serat saraf olfaktorius membawa impuls kedua bulbus olfaktori di otak. Informasi

diproses di bulbi, kemudian dikirim ke korteks serebri. Setiap transmisi masuk ke pusat

pembauan di otak, sehingga manusia bisa mencium bau.

Page 10: 78223223-hiposmia

Seseorang yang memiliki penciuman yang baik dapat mengenali 10.000 bau-bauan.

Sensasi rasa ini merangsang kelenjar ludah. Oleh karena itu, gangguan penghidu sering

mempengaruhi sensasi rasa.1

1. Defek konduktif

a. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya

meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika,

akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinusitis kronik seringkali

diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi medis,

alergis dan pembedahan secara agresif.

b. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran

odorant ke epitel  olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting

papilloma, dan keganasan.

c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat

menyebabkan obstruksi.

d. Pasien pasca laringektomi atau trakeotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang

atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakeotomi dan

dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang

tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi. Hal ini terjadi

karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.

2. Defek sentral/sensorineural

a. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi

sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis

(mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.

Page 11: 78223223-hiposmia

b. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome

ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan

hipogonadisme hipogonadotropik.

c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi

pembauan.

d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan

regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan

anosmia.

e. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik

atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang

dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan

pengolesan garam zink secara langsung.

f. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.

g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.

Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya

sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan

saraf pusat.

h. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease,

proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease,

hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya.

Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada

fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade

ketujuh.2

Page 12: 78223223-hiposmia

H. Diagnosis

a) Anamnesis

Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Pada anamnesis perlu ditanyakan lama keluhan,

apakah dirasakan terus-menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral. Selain itu perlu

diketahui apakah ada riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang

diminum 1,3,5,8.

b) Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan menyeluruh yang meliputi

pemeriksaan telinga, hidung, kepala dan leher. Pemeriksaan tersebut berguna untuk

mengidentifikasi jenis dan asal kelainan.

a. Konduktif

Pemeriksaan ini untuk menilai ada atau tidaknya massa atau polip, perdarahan dan

bekuan darah, deviasi septum atau adanya fraktur pada tulang kribriformis yang biasa

dijumpai pada trauma kepala yang menghalangi aliran udara ke sel epitel olfaktori.

Adanya inflamasi atau iritasi mukosa hidung yang bisa disebabkan oleh allergen,

bakteri, virus ataupun bahan iritan juga bisa mengakibatkan gangguan konduktif

Selain pemeriksaan hidung, pemeriksaan telinga juga bisa dilakukan untuk

memastikan otitis media serosa yang menandakan adanya massa atau inflamasi pada

nasofaring

Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring

dapat ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa

atau pembesaran tiroid

Page 13: 78223223-hiposmia

b. Sensorineural

Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan keluhan

pasien, (2) mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat gangguan

permanen. 2

1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif. Langkah pertama dalam

pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi

kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman

diantaranya :

a) Tes Odor stix – Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol

yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci

dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.

b) Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau,

tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka

dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.

c) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff card

yang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.

The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes yang

jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk

pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item

pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff berkapsul mikro. Sebagai

contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling mirip seperti bau (a) coklat,

(b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,” dan pasien diharuskan

menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel

(reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan

usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat

untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh

Page 14: 78223223-hiposmia

fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40.

Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding

yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-

bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal.

2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi. Setelah dokter menentukan derajat

sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan

sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang

ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-

masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil

karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk

masing-masing sisi hidung.

Sebenarnya pemeriksaan olfaktorius dapat juga terbagi menjadi 2 macam yaitu

pemeriksaan olfaktorius subjektif dan objektif. Pada pemeriksaan olfaktorius subjektif,

pelbagai bahan diletakkkan di depan hidung penderita secara terpisah antara kedua

lubang hidung sebelum dan setelah dekongesti dari mukosa hidung. Beberapa jenis

substansi digunakan, yaitu yang mempunyai bau yang akan menstimulasi hanya nervus

olfaktorius (kopi, coklat, vanilla, lavender), substansi yang menstimulasi komponen

trigeminal (menthol, asam asetat), serta substansi yang turut mempunyai komponen

pengecapan (kloroform piridine) 8.

Pemeriksaan olfaktorius subjektif juga bisa dilakukan menggunakan alat test yang

siap pakai, misalnya Sniffin’ Sticks. Sniffin’ Sticks menggunakan sejumlah stik n-butanol

yang berbentuk seperti pen dan mengandung bau dengan konsentrasi yang berbeda.

Melalui penggunaan alat ini, kemampuan mendeteksi bau, membedakan bau-bau yang

berlainan serta kemampuan mengidentifikasi bau dapat dinilai. Pasien yang dites akan

ditutup matanya, kemudian pemeriksa akan meminta pasien menghidu tiga stik, dimana

antara ketiga-tiga stik tersebut hanya satu stik yang mempunyai bau. Jika pasien tidak

bias mendeteksi sebarang bau atau mengidentifikasi stik yang salah, maka digunakan stik

dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi stik yang diberikan akan terus

meningkat sehingga pasien dapat mengidentifikasi dengan benar paling kurang dua kali.

Page 15: 78223223-hiposmia

Setelah itu dinilai pada konsentrasi yang mana pasien bisa mendeteksi bau tersebut

dengan benar. Tes ini hanya memerlukan waktu 10 menit dan mudah dilakukan 8,10,11

Pemeriksaan olfaktorius objektif jauh lebih mahal dibanding pemeriksaan

subjektif dan biasanya dilakukan di pusat-pusat yang lebih besar. Bau murni serta

stimulan nervus trigeminus diberikan kepada pasien secara terpisah, kemudian respon

yang terjadi diukur dan dianalisis menggunakan komputer. Pemeriksaan laboratorium

yang biasa dilakukan adalah tes gula darah, tes reduksi urin dan lain- lain1,3,8

c) Pencitraan

CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa

kranii anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis

paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan

tulang paling bagus dilihat melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk

mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di

otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng

kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus. 1,4,8

Page 16: 78223223-hiposmia

I. Tata laksana

Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan oleh rhinitis

vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis. Keluhan ini dapat hilang bila penyebabnya diobati.

Pada polip nasi, tumor hidung rhinitis kronis spesifik (rhinitis atrofi, sifilis, lepra, skleroma,

tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari sumbatan, yang akan hilang bila penyakitnya

diobati3.

Rinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat tetes hidung menyebabkan

hiposmia atau anosmia yang akan sembuh bila pemakaian obat-obatan penyebabnya

dihentikan3

Tumor n.olfaktorius bentuknya mirip polip nasi. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaaan

histologi dan diterapi dengan pembedahan.3

Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya daya penghidu,

terutamanya tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat

diobati.3

Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia. Trauma dapat

mengenai daerah oksipital atau frontal. Pada pascatrauma, dapat terjadi parosmia, yaitu

penciuman bau sangat berbeda dengan yang seharusnya dan biasanya tercium bau yang tidak

enak dan kadang-kadang sensasi bau ini timbul secara spontan. Kelainan penghidu ini

mungkin dapat sembuh, yang akan terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma. Bila

setelah tiga bulan tidak membaik, berarti prognosisnya buruk 3

Tumor intrakranial yang menekan n.olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang

penghidu dan mungkin akan menimbulkan masa kelelahan penghidu yang makin lama makin

memanjang. Osteomata atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat

menimbulkan anosmia unilateral. Tumor lobus frontal selain menyebabkan gangguan

Page 17: 78223223-hiposmia

penghidu sering juga disertai dengan gejala lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit kepala

dan kadang-kadang kejang lokal.3

Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi bau

yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi. Gejala

ini tidak menetap.3

Kelainan psikologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan

atau bau napas sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu

diyakinkan dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi,

skizofrenia atau demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus demikian perlu

dirujuk ke seorang psikiater.3,6 Kadang-kadang ada keluhan hilangnya penghidu pada pasien

hysteria atau berpura-pura (malingering) pascaoperasi hidung atau trauma. Bila diperiksa

biasanya pasien mengatakan tidak dapat mendeteksi ammonia.3

J. Terapi

1. Hiposmia Konduktif

Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi,

rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada

rongga hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang

tinggi. Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau yaitu

pengelolaan alergi, terapi antibiotik, terapi glukokortikoid sistemik dan topikal dan

operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.1

2. Hiposmia Sensorineural

Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman

sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter

menganjurkan terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang mencolok tidak diragukan

lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan

Page 18: 78223223-hiposmia

masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi

vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi

vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah

klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-

bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.

Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya,

konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini. 1

K. Prognosis

Prognosis hiposmia sebagian besar bergantung pada etiologinya. Hiposmia akibat

obstruksi yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi

septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman

semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama

menderita infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan

penciumannya; namun, sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala

ISPA lainnya membaik.1 Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan

hiposmia, meskipun anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap

oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10%

dan kualitas kemampuan penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap

racun-racun seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.

Penyembuhan dapat terjadi dengan menghilangkan bahan penyebabnya.1

Page 19: 78223223-hiposmia

III. DAFTAR PUSTAKA

1. Lalwani AK, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head & Neck

Surgery, 2004, McGraw Hill Inc : United States of America

2. Leopold DA, Holbrook EN, Disorder of Taste and Smell, 2006,

www.emedicine/disorderoftasteandsmell.html

3. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga – Hidung –

Tenggorok – Kepala leher, 2001, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :

Jakarta.

4. Clinical Policy Bulletin : Smell and Taste Disorder,Diagnosis, 2007,

Available from : http://www.aetna.com/cpb/medical/data

5. James BS, Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery,

2002, BC Decker : Hamilton

6. Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT, Head and Neck Surgery – Otolaryngology, 3rd

Edition, 2001, Lippincott Williams & Wilkins Publisher

7. Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi ke – 6, 1997,

Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

8. Probst R, Grevers G, Iro H, Basic Otorhinolaryngology, 2006, Thieme : New

York

9. Vokshoor A, McGregor J, Anatomy of Olfactory System, 2008,

http://www.emedicine.netscape.com

Page 20: 78223223-hiposmia

10. Lay AM, McGinley CM, A Nasal Chemosensory Performance Test for Odor

Inspectors, 2003, http://www.nasalchemosensory.pdf

11. Benedetto MD, Chemosensory Evaluation Tests, 2007,

http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/pmr

12. Bhatnagar, KP, Kennedy RC, Baron, G, Greenberg, RA. Number of mitral cells and the

bulb volume in the ageing human olfactory bulb: a quantitative morphological study.

ANAT 1987; 73.

13. Mattes, RD, Cowart, BJ. Dietary assessment of patients with chemosensory disorders. J

Am Diet Assoc 1994; 94:50.

14. Smith, DV, Duncan, HJ. Primary Olfactory Disorders: Anosmia, Hyposmia and

Dysosmia. In: Science of Olfaction, Serby, MJ, Chobor, KL (Eds), Springer-Verlag, New

York 1992. p.439.

15. Kimmelman, CP. Clinical review of olfaction. Am J Otolaryngol 1993; 14:227.

16. Doty, RL, Deems, DA, Stellar, S. Olfactory dysfunction in Parkinsonism: A general

deficit unrelated to neurolo   

17. Kimmelman, CP. The risk to olfaction from nasal surgery. Laryngoscope 1994; 104:981

gic signs, disease stage or disease duration. Neurology 1988; 38:1237

18. Daniel, SE, Hawkes, CH. Preliminary diagnosis of Parkinson's disease by olfactory bulb

pathology. Lancet 1992; 340:186.

19. Williams, SS, Williams, J, Combrinck, M, et al. Olfactory impairment is more marked in

patients with mild dementia with Lewy bodies than those with mild Alzheimer disease. J

Neurol Neurosurg Psychiatry 2009; 80:667.

Page 21: 78223223-hiposmia

20. Costanzo, RM, Becker, DP. Smell and taste disorders in head injury and neurosurgery

patients. In: Clinical Measurement of Taste and Smell, Meiselman, HL, Rivlin, RS (Eds),

Macmillan, New York 1986. p.565.  

21. Graziadei, PP, Monti Graziadei, AG. Regeneration in the olfactory system of vertebrates.

Am J Otolaryngol 1983; 4:228.

22. Nguyen-Khoa, BA, Goehring, EL Jr, Vendiola, RM, et al. Epidemiologic study of smell

disturbance in 2 medical insurance claims populations. Arch Otolaryngol Head Neck

Surg 2007; 133:748.

23. Alexander, TH, Davidson, TM. Intranasal zinc and anosmia: the zinc-induced anosmia

syndrome. Laryngoscope 2006; 116:217.   

24. Mott, AE, Leopold, DA. Disorders in taste and smell. Med Clin North Am 1991; 75:1321

25. Murphy, C, Schubert, CR, Cruickshanks, KJ, et al. Prevalence of olfactory impairment in

older adults. JAMA 2002; 288:2307