78223223-hiposmia
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Hidung mempunyai berbagai macam fungsi salah satu fungsinya adalah sebagai
indera penghidu. Penelitian terhadap gangguan fungsi penghidu kurang mendapat perhatian
bila dibandingkan dengan gangguan fungsi pendengaran dan penglihatan. Manusia lebih
menggantungkan nasibnya pada indra pendengaran dan penglihatan oleh karena gangguan
pada indra ini akan menimbulkan gangguan sosial ekonomi yang lebih berat3. Padahal
penderita gangguan fungsi penghidu cukup banyak bahkan di Amerika yang telah dilakukan
penelitian sekitar 2,7 juta dewasa mempunyai gangguan pada indra penghidu. Gangguan
fungsi penghidu meningkat seiring dengan bertambahnya umur1.
Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan
penting untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Fungsi penghidu memegang peranan
yang penting dalam mendeteksi aroma, merasakan makanan serta membaui bau yang ada
disekitar kita misalnya jika ada kebakaran atau kebocoran gas15. Gangguan fungsi penghidu
dapat membuat seseorang mengalami depresi, orang tidak akan lagi mencari makanan atau
minuman diluar dan dapat mengganggu fungsi sosial seperti menolak ajakan teman untuk
makan malam diluar13.
Gangguan penghidu umumnya sukar didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya
karena kurangnya pengetahuan pada individu15. Gangguan penghidu bisa sekunder akibat
proses perjalanan penyakit atau bisa juga sebagai keluhan primer. Daya menghidu yang
hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun
dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari 60tahun 1,2
Penderita dengan gangguan fungsi penghidu dapat terjadi gangguan pada beberapa
lokasi antara lain mukosa, kelainan saraf olfaktorius dan saraf sentral, untuk itu perlu
dilakukan pelacakan hingga nantinya dapat mengidentifikasi kelainan yang ada.
Pada pemahaman fungsi penghidu sering dihadapkan pada pertanyaan bagaimana
jalur rangsang penghidu sampai disadari, bagaimana proses penghidu dapat terjadi sehingga
dapat membau dan apakah penghidu itu bisa diterangkan mekanismenya berdasarkan proses
dan jalur rangsang penghidu. Pada penulisan ini terutama membahas tentang
fisiologi,etiologi,diagnosis dan pengobatan gangguan penghidu.
II. Pembahasan
A. Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah
pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (Os nasalis),
prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi
anterior kartilago septum3,7,8.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring3,7,8
.Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis3,7,8. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
rnaksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung3,7.
B. Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung. 2,3,5,6,7,8,9
C. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi
oleh epitel toraks berlapis semu (pseudostratitied columnar epitelium) yang mempunyai silia
dan di antaranya terdapat sel-sel goblet3.
Gambar 1.Mukosa pernafasan Hidung8
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila nafas
dengan kuat. Mukosa olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak
bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga
macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan. Di antara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar
Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida, enzim, antibodi, garam-garam dan protein
pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman terdapat dalam lamina propria pada region
olfaktorius. Sel-sel reseptor bau merupakan satu-satunya sistem saraf pusat yang dapat
berganti secara regular (4-8 minggu)3,7,8. Sel reseptor bau adalah sel saraf bipolar yang
terdapat di daerah yang terbentang di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah
septum yang berhadapan. Pada mukosa olfaktoria terdapat seratus juta sel olfaktoria dan sel-
sel ini dikelilingi oleh sel penyokong yang mensekresi lapisan mucus yang terus menerus
melapisi epitel dan mengirimkan banyak mikrovili rambut silia ke dalam mucus ini. Akson
dari sel saraf bipolar akan dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui
lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk traktus
olfaktorius yang menuju ke otak2,5,6.
D. Sistem Olfaktorius
Sistem olfaktorius terdiri dari 1). reseptor penghidu, 2). Saraf perifer (fila olfaktoria), 3).
saraf sentral.
1. Reseptor penghidu : reseptor penghidu ini terletak pada atap kavum nasi, sebagian atas konka
superior dan bagian atas septum nasi daerah ini disebut mukosa pars olfaktoria. Tiap sel
reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama. Dalam rongga hidung rata-
rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus
menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru
dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang
serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area kribriformis
dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini, traktus olfaktorius
berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang sama. 3,7,9
2. Fila olfaktoria : saraf ini merupakan saraf penghubung sel reseptor dengan bulbus olfaktoria
saraf ini ke atas menembus lamina kribrosa menuju bulbus olfaktorius yang terletak di atas
lamina kribrosa6.
3. Saraf sentral : saraf ini dimulai dari bulbus olfaktorius hingga bagian korteks serebri. Bulbus
olfaktoria merupakan bangunan saraf yang lonjong yang dimasuki fila olfaktoria , bangunan
ini terletak di lamina kribrosa dari tulang etmoid. Neuron olfaktorius mempunyai akson yang
tidak bermielin, akson-akson dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang
melalui lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di basal
lobus frontalis. Bulbus olfaktorius terdiri atas beberapa lapisan ( dari luar ke dalam bulbus),
yaitu lapisan gromerular, lapisan pleksiformis eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan
pleksiformis internal dan lapisan sel granula. Di dalam bulbus olfaktorius terjadi sinaps
dengan dendritik neuron kedua. Akson-akson neuron kedua membentuk traktus olfaktorius,
yang berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus
lainnya6,9.
Gambar 2. Area Olfaktorius7
Gambar 3. Reseptor olfaktori9
E. Fisiologi Penciuman
Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat – zat
kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang
terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup
turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas
stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup.
Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama5,7,8.
Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius
bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak
dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari5,6. Pada inspirasi
dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius sehingga sensasi bau bisa
tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu
yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah masuk ke dalam kavum nasi, zat-zat harus
sedikit larut dalam air supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus mudah larut dalam
lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari zat
lemak7,8.
Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada
pada permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh protein
spesifik (G-PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim Adenyl Siklase.
Aktivasi enzim Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan
membuka saluran ion Ca++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam silia menyebabkan
membran semakin positif, terjadi depolarisasi hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi
potensial pada akson-akson sel reseptor menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus
olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral.
Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar sinyal ke korteks piriformis (area untuk
mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks enthoris(berhubungandenganmemori)5.
F. Definisi
Gangguan penghidu adalah gangguan dari saraf olfaktorius, yang merupakan saraf untuk
menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan pembauan dapat
bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau
sejumlah kecil bau).1
G. Etiologi Gangguan Penghidu
Gangguan penghidu dapat terbagi atas :2,3
Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.
Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah
frontal atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses degenerasi
pada orang tua.
Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau
Hiperosmia : peningkatan sensistivitas mendeteksi bau
Disosmia : distorsi identifikasi bau
Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau
tidak enak, biasanya disebabkan oleh trauma.
Kakosmia : timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, kelainan psikologik ata
kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosis
Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau
Presbiosmia : penurunan atau kehilangan persepsi pembauan yang terjadi pada orang tua
2.1.1. Patogenesis
Pada gangguan penghidu yang perlu diperhatikan adalah kerja dari sistem olfaktori yang
merupakan ujung saraf, ditemukan pada membran mukosa atap hidung. Bagian ini disebut area
olfaktori yang berada di bawah lobus frontal otak.
Pada area olfaktori terdapat jutaan sel-sel olfaktori yang kecil. Masing-masing sel terdiri
dari 12 silia, mukus mempermudah gerak silia. Mukus juga menangkap molekul bau-bau, lalu
reseptor di silia menstimulasi molekul dan mengirim impuls saraf ke otak.
Serat-serat saraf olfaktorius membawa impuls kedua bulbus olfaktori di otak. Informasi
diproses di bulbi, kemudian dikirim ke korteks serebri. Setiap transmisi masuk ke pusat
pembauan di otak, sehingga manusia bisa mencium bau.
Seseorang yang memiliki penciuman yang baik dapat mengenali 10.000 bau-bauan.
Sensasi rasa ini merangsang kelenjar ludah. Oleh karena itu, gangguan penghidu sering
mempengaruhi sensasi rasa.1
1. Defek konduktif
a. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya
meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika,
akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinusitis kronik seringkali
diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi medis,
alergis dan pembedahan secara agresif.
b. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran
odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting
papilloma, dan keganasan.
c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat
menyebabkan obstruksi.
d. Pasien pasca laringektomi atau trakeotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang
atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakeotomi dan
dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang
tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi. Hal ini terjadi
karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
2. Defek sentral/sensorineural
a. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi
sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis
(mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.
b. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome
ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan
hipogonadisme hipogonadotropik.
c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi
pembauan.
d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan
regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan
anosmia.
e. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik
atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang
dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan
pengolesan garam zink secara langsung.
f. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.
Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya
sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan
saraf pusat.
h. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease,
proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease,
hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya.
Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada
fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade
ketujuh.2
H. Diagnosis
a) Anamnesis
Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh. Pada anamnesis perlu ditanyakan lama keluhan,
apakah dirasakan terus-menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral. Selain itu perlu
diketahui apakah ada riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang
diminum 1,3,5,8.
b) Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan menyeluruh yang meliputi
pemeriksaan telinga, hidung, kepala dan leher. Pemeriksaan tersebut berguna untuk
mengidentifikasi jenis dan asal kelainan.
a. Konduktif
Pemeriksaan ini untuk menilai ada atau tidaknya massa atau polip, perdarahan dan
bekuan darah, deviasi septum atau adanya fraktur pada tulang kribriformis yang biasa
dijumpai pada trauma kepala yang menghalangi aliran udara ke sel epitel olfaktori.
Adanya inflamasi atau iritasi mukosa hidung yang bisa disebabkan oleh allergen,
bakteri, virus ataupun bahan iritan juga bisa mengakibatkan gangguan konduktif
Selain pemeriksaan hidung, pemeriksaan telinga juga bisa dilakukan untuk
memastikan otitis media serosa yang menandakan adanya massa atau inflamasi pada
nasofaring
Massa nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring
dapat ditemukan pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa
atau pembesaran tiroid
b. Sensorineural
Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan keluhan
pasien, (2) mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat gangguan
permanen. 2
1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif. Langkah pertama dalam
pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi
kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman
diantaranya :
a) Tes Odor stix – Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol
yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci
dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.
b) Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau,
tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka
dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.
c) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff card
yang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.
The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes yang
jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk
pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item
pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff berkapsul mikro. Sebagai
contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling mirip seperti bau (a) coklat,
(b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,” dan pasien diharuskan
menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel
(reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan
usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat
untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh
fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40.
Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding
yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-
bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal.
2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi. Setelah dokter menentukan derajat
sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan
sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang
ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-
masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil
karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk
masing-masing sisi hidung.
Sebenarnya pemeriksaan olfaktorius dapat juga terbagi menjadi 2 macam yaitu
pemeriksaan olfaktorius subjektif dan objektif. Pada pemeriksaan olfaktorius subjektif,
pelbagai bahan diletakkkan di depan hidung penderita secara terpisah antara kedua
lubang hidung sebelum dan setelah dekongesti dari mukosa hidung. Beberapa jenis
substansi digunakan, yaitu yang mempunyai bau yang akan menstimulasi hanya nervus
olfaktorius (kopi, coklat, vanilla, lavender), substansi yang menstimulasi komponen
trigeminal (menthol, asam asetat), serta substansi yang turut mempunyai komponen
pengecapan (kloroform piridine) 8.
Pemeriksaan olfaktorius subjektif juga bisa dilakukan menggunakan alat test yang
siap pakai, misalnya Sniffin’ Sticks. Sniffin’ Sticks menggunakan sejumlah stik n-butanol
yang berbentuk seperti pen dan mengandung bau dengan konsentrasi yang berbeda.
Melalui penggunaan alat ini, kemampuan mendeteksi bau, membedakan bau-bau yang
berlainan serta kemampuan mengidentifikasi bau dapat dinilai. Pasien yang dites akan
ditutup matanya, kemudian pemeriksa akan meminta pasien menghidu tiga stik, dimana
antara ketiga-tiga stik tersebut hanya satu stik yang mempunyai bau. Jika pasien tidak
bias mendeteksi sebarang bau atau mengidentifikasi stik yang salah, maka digunakan stik
dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi stik yang diberikan akan terus
meningkat sehingga pasien dapat mengidentifikasi dengan benar paling kurang dua kali.
Setelah itu dinilai pada konsentrasi yang mana pasien bisa mendeteksi bau tersebut
dengan benar. Tes ini hanya memerlukan waktu 10 menit dan mudah dilakukan 8,10,11
Pemeriksaan olfaktorius objektif jauh lebih mahal dibanding pemeriksaan
subjektif dan biasanya dilakukan di pusat-pusat yang lebih besar. Bau murni serta
stimulan nervus trigeminus diberikan kepada pasien secara terpisah, kemudian respon
yang terjadi diukur dan dianalisis menggunakan komputer. Pemeriksaan laboratorium
yang biasa dilakukan adalah tes gula darah, tes reduksi urin dan lain- lain1,3,8
c) Pencitraan
CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa
kranii anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis
paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan
tulang paling bagus dilihat melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk
mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di
otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng
kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus. 1,4,8
I. Tata laksana
Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan oleh rhinitis
vasomotor, rhinitis alergi atau sinusitis. Keluhan ini dapat hilang bila penyebabnya diobati.
Pada polip nasi, tumor hidung rhinitis kronis spesifik (rhinitis atrofi, sifilis, lepra, skleroma,
tuberkulosis) terjadi hiposmia akibat dari sumbatan, yang akan hilang bila penyakitnya
diobati3.
Rinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat tetes hidung menyebabkan
hiposmia atau anosmia yang akan sembuh bila pemakaian obat-obatan penyebabnya
dihentikan3
Tumor n.olfaktorius bentuknya mirip polip nasi. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaaan
histologi dan diterapi dengan pembedahan.3
Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya daya penghidu,
terutamanya tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat
diobati.3
Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia. Trauma dapat
mengenai daerah oksipital atau frontal. Pada pascatrauma, dapat terjadi parosmia, yaitu
penciuman bau sangat berbeda dengan yang seharusnya dan biasanya tercium bau yang tidak
enak dan kadang-kadang sensasi bau ini timbul secara spontan. Kelainan penghidu ini
mungkin dapat sembuh, yang akan terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma. Bila
setelah tiga bulan tidak membaik, berarti prognosisnya buruk 3
Tumor intrakranial yang menekan n.olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang
penghidu dan mungkin akan menimbulkan masa kelelahan penghidu yang makin lama makin
memanjang. Osteomata atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat
menimbulkan anosmia unilateral. Tumor lobus frontal selain menyebabkan gangguan
penghidu sering juga disertai dengan gejala lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit kepala
dan kadang-kadang kejang lokal.3
Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi bau
yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi. Gejala
ini tidak menetap.3
Kelainan psikologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan
atau bau napas sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu
diyakinkan dan dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi,
skizofrenia atau demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus demikian perlu
dirujuk ke seorang psikiater.3,6 Kadang-kadang ada keluhan hilangnya penghidu pada pasien
hysteria atau berpura-pura (malingering) pascaoperasi hidung atau trauma. Bila diperiksa
biasanya pasien mengatakan tidak dapat mendeteksi ammonia.3
J. Terapi
1. Hiposmia Konduktif
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi,
rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada
rongga hidung dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang
tinggi. Terapi berikut ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau yaitu
pengelolaan alergi, terapi antibiotik, terapi glukokortikoid sistemik dan topikal dan
operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.1
2. Hiposmia Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman
sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter
menganjurkan terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang mencolok tidak diragukan
lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan
masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi
vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi
vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah
klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-
bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.
Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya,
konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini. 1
K. Prognosis
Prognosis hiposmia sebagian besar bergantung pada etiologinya. Hiposmia akibat
obstruksi yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi
septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman
semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama
menderita infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan
penciumannya; namun, sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala
ISPA lainnya membaik.1 Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan
hiposmia, meskipun anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap
oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10%
dan kualitas kemampuan penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap
racun-racun seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.
Penyembuhan dapat terjadi dengan menghilangkan bahan penyebabnya.1
III. DAFTAR PUSTAKA
1. Lalwani AK, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head & Neck
Surgery, 2004, McGraw Hill Inc : United States of America
2. Leopold DA, Holbrook EN, Disorder of Taste and Smell, 2006,
www.emedicine/disorderoftasteandsmell.html
3. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga – Hidung –
Tenggorok – Kepala leher, 2001, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta.
4. Clinical Policy Bulletin : Smell and Taste Disorder,Diagnosis, 2007,
Available from : http://www.aetna.com/cpb/medical/data
5. James BS, Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery,
2002, BC Decker : Hamilton
6. Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT, Head and Neck Surgery – Otolaryngology, 3rd
Edition, 2001, Lippincott Williams & Wilkins Publisher
7. Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi ke – 6, 1997,
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
8. Probst R, Grevers G, Iro H, Basic Otorhinolaryngology, 2006, Thieme : New
York
9. Vokshoor A, McGregor J, Anatomy of Olfactory System, 2008,
http://www.emedicine.netscape.com
10. Lay AM, McGinley CM, A Nasal Chemosensory Performance Test for Odor
Inspectors, 2003, http://www.nasalchemosensory.pdf
11. Benedetto MD, Chemosensory Evaluation Tests, 2007,
http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/pmr
12. Bhatnagar, KP, Kennedy RC, Baron, G, Greenberg, RA. Number of mitral cells and the
bulb volume in the ageing human olfactory bulb: a quantitative morphological study.
ANAT 1987; 73.
13. Mattes, RD, Cowart, BJ. Dietary assessment of patients with chemosensory disorders. J
Am Diet Assoc 1994; 94:50.
14. Smith, DV, Duncan, HJ. Primary Olfactory Disorders: Anosmia, Hyposmia and
Dysosmia. In: Science of Olfaction, Serby, MJ, Chobor, KL (Eds), Springer-Verlag, New
York 1992. p.439.
15. Kimmelman, CP. Clinical review of olfaction. Am J Otolaryngol 1993; 14:227.
16. Doty, RL, Deems, DA, Stellar, S. Olfactory dysfunction in Parkinsonism: A general
deficit unrelated to neurolo
17. Kimmelman, CP. The risk to olfaction from nasal surgery. Laryngoscope 1994; 104:981
gic signs, disease stage or disease duration. Neurology 1988; 38:1237
18. Daniel, SE, Hawkes, CH. Preliminary diagnosis of Parkinson's disease by olfactory bulb
pathology. Lancet 1992; 340:186.
19. Williams, SS, Williams, J, Combrinck, M, et al. Olfactory impairment is more marked in
patients with mild dementia with Lewy bodies than those with mild Alzheimer disease. J
Neurol Neurosurg Psychiatry 2009; 80:667.
20. Costanzo, RM, Becker, DP. Smell and taste disorders in head injury and neurosurgery
patients. In: Clinical Measurement of Taste and Smell, Meiselman, HL, Rivlin, RS (Eds),
Macmillan, New York 1986. p.565.
21. Graziadei, PP, Monti Graziadei, AG. Regeneration in the olfactory system of vertebrates.
Am J Otolaryngol 1983; 4:228.
22. Nguyen-Khoa, BA, Goehring, EL Jr, Vendiola, RM, et al. Epidemiologic study of smell
disturbance in 2 medical insurance claims populations. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg 2007; 133:748.
23. Alexander, TH, Davidson, TM. Intranasal zinc and anosmia: the zinc-induced anosmia
syndrome. Laryngoscope 2006; 116:217.
24. Mott, AE, Leopold, DA. Disorders in taste and smell. Med Clin North Am 1991; 75:1321
25. Murphy, C, Schubert, CR, Cruickshanks, KJ, et al. Prevalence of olfactory impairment in
older adults. JAMA 2002; 288:2307