7.1 31-42 munawar. pemanfaatan sumberdaya biologis

Upload: fen-di-sisimu

Post on 14-Jul-2015

313 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.1 (2007) p: 31-42

PEMANFAATAN SUMBERDAYA BIOLOGIS LOKAL UNTUK PENGENDALIAN PASIF AIR ASAM TAMBANG:

LAHAN BASAH BUATANAli Munawar

Laboratorium Ilmu Tanah, Universitas Bengkulu, Jalan Raya Kandanglimun, Bengkulu 38371A. e-mail: [email protected] asam tambang (AAT, acid mine drainage=AMD) merupakan salah satu persoalan lingkungan penting yang dihadapi oleh industri batubara. Karena tingkat kemasaman dan konsentrasi logam larutnya yang tinggi, AAT dapat mencemari lingkungan, terutama ekosistem akuatik. Banyak teknik pengendalian AAT yang dikembangkan, namun dalam tiga dekade terakhir pengendalian pasif semakin berkembang dibandingkan dengan pengendalain aktif. Salah satu teknik pengendalian pasif adalah lahan basah buatan.. Sebuah penelitian telah dilaksanakn untuk mendapatkan substrat organik, tumbuhan air, dan bakteri pereduksi sulfat (BPS) untuk pembangunan lahan basah dan penerapan di lapang. Beberapa jenis bahan organik, yakni kulit kayu (bark), gambut, pupuk kandang, dan lumpur kayu (sludge), secara individual dan campurannya dikaji karakteristik dan responnya terhadap AAT. Bakteri pereduksi sulfat (BPS) diisolasi dari lumpur-AAT dan dikembangbiakkan untuk diinokulasikan ke dalam substrat. Beberapa jenis tumbuhan air yang tumbuh di lingkungan lokasi penambangan diseleksi untuk mendapatkan jenis-jenis yang toleran terhadap tingkat kemasaman tinggi. Hasilnya diterapkan dalam sebuah lahan basah buatan skala kecil. Data menunjukkan bahwa bahan/substrat organik, secara individual maupun campurannya, mempunyai sifat-sifat berbeda dan respon beragam terhadap pemberian AAT. Secara keseluruhan pupuk kandang dan bahan campurannya potensial sebagai substrat pada lahan basah buatan, yang ditandai dengan pH dan Ec tinggi, dan aktivitas jasad renik yang lebih tinggi (Eh rendah). Isolasi dari lumpur-AAT mendapatkan beberapa marga BPS, yakni Desulfovibrio, Desulfotomaculum, Desulfarculus, Desulfofacirum, dan Sulforospirillum.. Namun, inokulasi jenis-jenis BPS tersebut ke dalam substrat organik kurang memberikan pengaruh yang signifikan. Tampaknya di dalam bahanbahan tersebut sudah terdapat jenis-jenis BPS, yang cukup memadai untuk terjadinya proses reduksi sulfat. Tiga jenis tumbuhan air, yakni Fimbristylis hispidula, Mariscus compactus, dan Typha angustifolia tumbuh paling baik dalam media tercekam AAT. Lahan basah skala kecil dengan substrat campuran kulit kayu, ampas kayu, dan pupuk kandang dengan perbandingan (%) 50:25:25, dan tiga jenis tumbuhan air tersebut mampu memperbaiki AAT, meningkatkan pH dari 3,7 menjadi pH > 6 dan menurunkan kadar Mn larut.

Kata-kata kunci: air asam tambang, bakteri pereduksi sulfat, lahan basah buatan,

substrat organik, tumbuhan air.

PENDAHULUAN Salah satu persoalan penting yang dihadapi oleh industri batubara adalah terjadinya pencemaran oleh air asam tambang (AAT, acid mine drainage=AMD). Air asam tambang merupakan cairan yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida, terutama pirit (FeS2) yang menghasilkan asam sulfat (Sexstone et al., 1999; Skousen et al., 1999). Dengan tingkat kemasamannya yang tinggi, AAT dapat melarutkan mineral-mineral lain dan melepaskan kation-kation, seperi Fe, Mn, Al, Cu, Zn, Cd, Ni, dan Hg. Apabila terbawa ke sumber air, AAT dapat mendegradasi produktivitas biologis sistem akuatik tersebut. Pada kondisi parah, maka air menjadi tidak aman konsumsi dan penggunaanpenggunaan yang lain, seperti irigasi, industi,

dan rekreasi (Widdowson, 1990). Oleh karena itu, AAT harus menjadi perhatian serius. Sejumlah teknik pengendalian AAT telah lama dikembangkan dan diterapkan di banyak negara (Skousen et al., 1998). Secara garis besar teknik-teknik tersebut dibedakan menjadi dua, yakni perlakukan aktif (active treatment) dan perlakukan pasif (passive treatment). Perlakuan aktif dilakukan dengan pemberian kemikalia alkalin untuk meningkatkan pH dan menurunkan kelarutan logam (Skousen et al., 1990). Di Amerika Serikat (USA) industri pertambangan menghabiskan $1 juta dolar per hari untuk perlakukan aktif ini (Kleinman, 1990; Evangelou, 1995). Prinsip perlakukan pasif adalah membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami. Skousen dan Ziemkiewicz (1996) menyatakan bahwa

32

Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.1 (2007)

perlakuan pasif lebih murah dan tidak memerlukan perawatan intensif. Oleh karenanya, dalam dalam lebih dari dua dekade terakhir penggunaan metode pasif (passive treatment) terus meningkat. Pengendalian pasif AAT juga sangat beragam, di antaranya adalah lahan basah buatan (constructed wetland) (Faulkner dan Skousen, 1994). Pada teknik ini bahan/substrat, tumbuhan air, dan mikrobia memegang peranan penting. Substrat, dari berbagai jenis bahan organik dapat menghambat oksidasi pirit melalui mekanisme, antara lain (1) konsumsi oksigen oleh bakteri selain Thiobacillus ferrooxidans dan T. thiookxidans, (2) pengambilan FeIII dari larutan melalui kompleksasi, dan (3) pembentukan kompleks pirit-FeII-humat (Evangelou, 1995; Ditch dan Karathanasis, 1994). Selain itu, substrat organik berfungsi sebagai sumber enerji bakteri pereduksi sulfat (BPS) yang menghasilkan sulfida, yang kemudian menyebabkan terjadinya pengendapan logamsulfida. Tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat penting, seperti (1) Konsolidasi substrat - akar tanaman memegang substrat bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland; (2) Stimulasi proses jasad renik-tanaman menyediakan tapak (site) untuk menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya, dan menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof; (3) Habitat satwa liar tanaman memasok pakan dan perlindungan bagi hewan; (4) Estetika - lahan basah dengan pertanamannya lebih enak dipandang mata; dan (5) akumulasi logam (Skousen et al. 1996). Surface et al. (1993) mengatakan bahwa akar tanaman dapat bertindak sebagai permukaan jerapan Fe dan logam-logam lain, dan penyaring logam (Surface et al., 1993; Demchik dan Garbutt, 1999). Selain itu, tanaman mempunyai fungsi ekologis, yakni penyimpan karbon (C) dan nitrogen (N), sehingga lahan basah mengurangi emisi C ke atmosfer menurut (Wetzel, 1993) Penerapan teknik pengendalaian pasif di Indonesia pada saat ini masih sangat terbatas, antara lain karena belum cukup tersedia informasi mengenai teknik-teknik pengendalian AAT. Oleh karena itu, kajian mendasar mengenai pengendalian AAT sangat diperlukan, sehingga didapatkan teknik pengendalian yang tepat pada industri batubara atau industri pertambangan yang lain di Indonesia. Untuk itulah, melalui kerjasama dengan PT Batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk UPT Tanjung Enim, Sumatera Selatan, penulis melakukan penelitian untuk merintis pengembangan lahan basah buatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dasar tentang sifat-sifat beberapa bahan/susbstrat organik, jenis-jenis tumbuhan air, dan bakteri pereduksi sulfat untuk pembangunan lahan basah buatan; dan mengetahui kemampuan sumberdaya tersebut mengurangi tingkat kemasaman AAT dan menurunkan konsentrasi logam larut. Pembangunan lahan basah buatan skala kecil dengan bahan yang sudah diperoleh diharapkan dapat mendemonstrasikan kinerja sistem lahan basah dalam pengendalian AAT. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri dari beberapa kelompok percobaan, yakni (1) Isolasi, identifikasi, dan perbanyakan bakteri pereduski sulfat (BPS), (2) Inkubasi anaerobik substrat organik, dengan AAT (pH 3,80 dan Ec 1090 uS/cm), (3) Seleksi jenis tumbuhan air yang tahan terhadap cekaman kemasaman tinggi, dan (4) Pembangunan lahan basah skala kecil. Penelitian dilaksanakan tahun selama dua tahun, mulai Juni 2004. Isolasi, identifikasi, dan perbanyakan bakteri pereduksi sulfat (BPS). Bakteri diisolasi dari sampel Lumpur-AAT, yang diambil dari kolam pengendapan di KP Banko Barat Pit 3, PT Bukit Asam, Tanjung Enim pada media Baars. Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop, yang dibantu dengan mikrometer dan reaksi gram. Perbanyakan inokulum BPS dilakukan dengan medium Baars cair dan agar pemadat. BPS yang mempunyai populasi > 108 cpv/g AAT digunakan untuk inokulasi pada percobaan Inkubasi Anaerobik. Semua tahap kegiatan ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Inkubasi Anaerobik Percobaan ini dimaksudkan untuk (1) mengetahui sifat-sifat remediatif beberapa jenis limbah organik, yakni kulit kayu, ampas kayu, pupuk kandang, dan gambut maupun campurannya, dan (2) mengetahui pengaruh substrat organik dan inokulasi BPS terhadap kualitas AAT. Kulit kayu dan ampas kayu diperoleh dari pabrik pembuatan bahan kertas (pulp) PT Tanjung Enim Lestari, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Pupuk kandang masak didapatkan dari petani peternak ayam potong di Muara Enim, sedangkan gambut jenis saprik didapatkan dari Kotamadia Bengkulu. Agar didapatkan ukuran bahan yang seragam, ke empat bahan tersebut

Munawar. Pemanfaatan Sumberdaya Biologis

33

disaring melalui 5 mm mata-saring. Sabagai perlakukan bahan disusun secara individual dan campurannya sebagai berikut: 100% kulit kayu, 100% pupuk kandang, 100% ampas kayu, 100% gambut, 75% ampas kayu + 25% kulit kayu, 75% ampas kayu + 25% gambut, 75% pupuk kandang + 25% kulit kayu, 75% pupuk kandang +25% gambut, 50% ampas kayu + 50% kulit kayu, 50% ampas kayu + 50% gambut, 50% pupuk kandang + 50% kulit kayu, dan 50% pupuk kandang + 50% gambut. Untuk mengetahui sifat-sifat masingmasing substrat dan campurannya, sebanyak 250 g substrat individual dimasukkan ke dalam wadah platik (toples) bervolume 1 L, kemudian ditambahkan 750 mL akuades, kecuali bark. Karena volume per satuan bobotnya tinggi, khusus kulit kayu ditempatkan dalam wadah bervolume 2 L dan ditambahkan 1.250 mL akuades. Bahan dan akuades dicampur dengan baik, ditutup dan diinkubasi dalam suhu kamar. Untuk mengetahui pengaruh substrat organik dan inokulasi BPS terhadap kualitas AAT, bahan dikelompokkan menjadi dua, masingmasing berbobot 250 g dalam wadah plastik (toples) dengan tiga ulangan. Kepada kelompok pertama ditambahkan 750 mL AAT saja dan kepada satu kelompok yang lain ditambahkan 750 mL AAT dan 20 mL inokulan BPS. Bahan tersebut dicampur dengan baik dan wadah plastik ditutup rapat. Bahan ditempatkan di atas meja dalam suhu ruangan. Pengukuran tingkat kemasaman tanah (pH), potensial redoks (Eh), dan konduktivitas listrik (Ec) dilakukan setelah dibiarkan selama 30 menit, 18 jam, 3 hari, dan satu minggu. Setelah itu, pengukuran dianjutkan setiap 2 (dua) minggu sampai selama sekitar 3 bulan. Pada akhir percobaan dilakukan pengambilan sekitar 200 ml sampel AAT dari setiap satuan percobaan untuk analisis logam Fe dan Mn larut dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer. . Seleksi Tumbuhan Air Tahan Cekaman Kemasaman Percobaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan jenis-jenis tumbuhan yang tahan atau beradaptasi terhadap cekaman kemasaman tanah tinggi AAT. Kegiatan didahului dengan survai lapangan untuk mendapatkan tumbuhan apa saja yang tumbuh bagus di wilayah kuasa penambangan (KP) perusahaan. Selanjutnya, dilakukan pengambilan sebanyak 15 jenis tumbuhan untuk dideterminasi dan digunakan sebagai sumber bibit.

Dari 15 jenis tumbuhan air yang didapatkan dipilih tumbuhan yang sehat dan dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok tumbuhan masing-masing satu anakan, ditanam pada 10 kg media Lumpur dalam ember plastik dan digenangi sedalam 2-4 cm terus menerus dengan AAT, sedangkan satu kelompok lainnya ditanam pada 10 kg media Lumpur dan digenangi dengan air hujan pada ketinggian yang sama. Lumpur diambil dari kolam pengendapan Cik Ayip, Air Laya, dan AAT berasal dari dari mainsump KP Banko Barat Pit 3, yang mempunyai pH 3,8. Untuk menghindari pengaruh air hujan ke dalam media tumbuh, dibuatkan atap plastik transparan. Pengukuran tinggi dilakukan setiap dua minggu sekali, sampai tumbuhan berumur sekitar 3 (tiga) bulan. Di akhir percobaan, semua bagian tanaman (bagian atas dan akar) dipanen untuk diketahui bobot kering brangkasannya pada suhu 70 0C. Tanaman yang tumbuh bagus dengan biomasa tinggi dan perakaan intensif dipilih untuk percobaan lahan basah. Percobaan Lahan Basah Buatan Skala Kecil Tiga buah lahan basah buatan dengan ukuran panjang 4 m, lebar 1 m, dan kedalaman 1,5 m dibuat dengan menggali tanah di dekat Kolam Penampungan AAT Muara Tiga Besar Selatan (MTBS). Batu kapur dengan kadar 60% CaCO3 dari Baturaja, Sumater Selatan yang berdiamter rata-rata 10 cm dimasukkan ke dalam kolam sehingga ketebalan 50 cm. Di atas permukaan lapisan kapur tutup dengan paranet plastik, kemudian ditambahkan substrat organik campuran dari kulit kayu, pupuk kandang, dan lumpur kayu, dengan perbandingan masingmasing 50% : 25% : 25% bobot kering. Setiap kolam dilengkapi dengan instalasi air dengan pipa PVC 4 untuk mengalirkan AAT masuk kolam (INFLOW) dan mengeluarkan AAT dari kolam (OUTFLOW). Bagian pangkal pipa pengeluaran dibuat cabang dua dan ditanam di dalam lapisan kapur, dan tinggi bagian ujungnya diatur sedemikian rupa, sehingga debit AAT keluar = debit masuk kolam. Agar AAT masuk pipa keluar lancar dan bersih, pada pangkal pipa dibuat beberapa lobang dengan diameter sekitar 1 cm dan dibungkus sabut sebagai penyaring. Kolam percobaan diairi sampai kapasitas lapang dengan AAT selama 30 hari, kemudian ditanami dengan 3 jenis tumbuhan air: Typha angustifolia, Marsicus compactus (Retz) Druce, dan Fimbristylis hispidula (Vahl) Konth, masingmasing sebanyak 8 anakan atau stek yang telah disemaikan terlebih dahulu. Setelah tumbuhan tumbuh baik (umur 2 minggu), AAT dialirkan dari

34

Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.1 (2007)

sumbernya dengan debit tetap, yakni 1,5 L per menit secara terus menerus. Setiap dua minggu diukur pH AAT pada pintu masuk (IN) dan AAT keluar (OUT), dan setiap bulan diambil sampel AAT pada lokasi yang sama untuk analisis logam Mn. HASIL DAN DISKUSI Isolasi, identifikasi, dan perbanyakan bakteri pereduksi sulfat (BPS). Isolasi menemukan 21 jenis bakteri yang tumbuh bagus pada Lumur-AMD. Dari 21 jenis tersebut ditemukan 8 jenis (spesies) yang mempunyai kemampuan mereduksi sulfat, dengan kemampuan barvariasi antara 0,6 3,9 mm. Jenis bakteri pereduksi sulfat tersebut Desulfovibrio (3 spesies), adalah: Desulfotomaculum (1 spesies), Desulfarculus (1 spesies), Desulfofacirum, dan Sulforosprillum (2 spesies). Jenis-jenis BPS tersebut dengan mudah dikembangbiakkan di laboratorium dan dapat digunakan untuk membantu kinerja lahan basah buatan. Inkubasi Anaerobik.

Gambar 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa ke empat jenis bahan organik (lumpur kayu, pupuk kandang, kulit kayu, dan gambut) mempunyai sifat yang berbeda-beda. Bahan yang mempunyai C/N rasio tinggi mempunyai pH rendah, yang ditunjukkan oleh gambut (12) dan

Sifat-sifat Remediatif Bahan

kulit kayu (15). Namun, perbedaan pH antara bahan-bahan tersebut mengecil setelah 2 minggu mengalami inkubasi anaerobik (pengamatan ke 5). Setelah 2 minggu, semua bahan mempunyai pH sekitar netral (pH 7). Konduktivitas listrik (Ec) paling tinggi dimiliki oleh pupuk kandang, yang diikuti oleh lumpur kayu. Gambut dan kulit kayu mempunyai Ec jauh lebih rendah dari dua bahan yang lain. Ini merupakan indikasi bahwa pupuk kandang maupun lumpur kayu mempunyai tapak (permukaan) jerapan dan kandungan garamgaram larut yang lebih tinggi. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa kandungan Ca, Mg, K, dan Na pupuk kandang dan lumpur kayu lebih tinggi daripada gambut dan kulit kayu. Ini juga berarti bahwa ke dua bahan yang disebut pertama mempunyai nilai nutrisi yang lebih baik. Data potensial redoks (Eh) pada dua minggu pertama memperkuat kenyataan tersebut. Potensial redoks (Eh) pupuk kandang paling rendah di antara bahan-bahan yang lain, diikuti oleh lumpur kayu, sedangkan Eh gambut paling tinggi. Pada pupuk kandang, perubahan menjadi suasana reduktif (nilai Eh semakin negatif) terjadi paling awal dan drastis. Sebaliknya pada gambut suasana reduktif baru dicapai setelah dua minggu. Ini membuktikan bahwa konsumsi oksigen (O2) tertinggi pada pupuk kandang, dan sebagai indikator adanya aktivitas organisme yang tinggi.

9 pH 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11

Waktu pengamatanGambar 1. pH (H2O) bahan/substrat organik individual

Munawar. Pemanfaatan Sumberdaya BiologisEc (uS/cm)12000 SLUDGE P KANDANG 10000 BARK GAMBUT 8000

35

6000

4000

2000

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Waktu pengamatan Gambar 2. Ec bahan/substrat organik individual

Eh (mV)400 SLUDGE P KANDANG 300 BARK GAMBUT 200

100

Waktu pengamatan1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

0

-100

-200

-300

-400

Gambar 3. Eh bahan/substrat organik individual

Data pH, Ec, dan Eh dari inkubasi bahan individual dan campurannya dengan akuades masing-masing ditunjukkan oleh Gambar 4, 5, dan 6. Gambar-gambar tersebut menunjukkan bahwa sifat-sifat bahan individual substrat menentukan sifat-sifat bahan campurannya. Secara konsisten data menunjukkan pengaruh ke empat jenis bahan organik tersebut, dan bervariasi antara bahan-bahan tersebut, terutama pada dua minggu pertama (sebelum pengamatan ke 5). Pengaruh pemberian berbagai jenis bahan organik/campurannya dan inokulasi bakteri pereduksi sulfat (BPS) terhadap perubahan pH, Eh, dan Ec dari AAT masingmasing dapat dilihat pada Gambar 7 s/d 9. Data menunjukkan bahwa semua jenis bahan organik maupun campurannya meningkatkan pH AAT secara signifikan (3,8). Kenaikan pH AAT

Pengaruh Substrat dan Inokulasi BPS

tertinggi terjadi dengan pemberian 100% lumpur kayu, diikuti pupuk kandang, kulit kayu, dan gambut. Pemberian lumpur kayu secara sendirisendiri maupun campurannya meningkatkan pH >7, kemudian diikuti oleh pupuk kandang. Meskipun sama-sama meningkatkan pH, penambahan kulit kayu dan gambut hanya mampu meningkatkan pH 6 dan menurunkan konsentrasi Mn larut di dalam AAT. Menurut pengalaman dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (Skousen and Ziemkiewicz, 2004) untuk menilai kinerja lahan basah buatan diperlukan rentang waktu panjang. Hal ini terkait dengan variasi iklim atau musim, dan efektifitas dari komponenkomponen lahan basahnya sendiri. Oleh karena itu, masih diperlukan pengamatan dan pencatatan, terutama pH dan kandungan logam secara kontinyu. KESIMPULAN 1. Dalam Lumpur-AAT yang sangat masam ditemukan beberapa jenis bakteri pereduksi sulfat (BPS) dari marga Desulfovibrio, diisolasi dan dikembangkan dalam pembuatan lahan basah. Bahan/substrat organik mempunyai sifatsifat dan kemampuan remediatif beragam terhadap AAT berbeda. Namun, secara umum disimpulkan bahwa pemberian bahan organik dapat memperbaiki kualitas AAT, dengan meningkatkan pH dan menurunkan kadar Fe dan Mn larut. Meskipun pada secara umum bahan organik yang digunakan dalam penelitian berpotensi menjadi substrat lahan basah, pupuk kandang atau bahan campurannya memiliki sifat remediasi yang lebih baik. Jenis-jenis tumbuhan air yang mudah diperoleh dari sekitar wilayah pertambangan, Mariscus compactus, Typha seperti angustifolia, Fimbristylis hispidula berpotensi untuk digunakan dalam lahan basah buatan. Untuk sementara dapat dikatakan bahwa lahan basah buatan skala kecil dengan menggunakan bahan organik campuran kulit kayu, pupuk kandang, lumpur kayu dengan perbandingan (50%:25%:25%), dan 3 tumbuhan air {Mariscus compactus (Retz) Druce, Typha angustifolia, Fimbristylis (Vahl) Konth} mampu hispidula meningkatkan pH AAT dan menurunkan konsentrasi Mn larut di dalam AAT. Dengan perjalanan waktu jenis Typha angustifolia mendominasi permukaan lahan basah.

menyediakan dana penelitian lewat RUT XI, kepada Pimpinan dan staf PT Tambang Batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk, Tanjung Enim, yang telah memberikan dukungan fasilitas yang sangat baik bagi terselenggaranya penelitian. DAFTAR PUSTAKA Brix, H. 1993. Waste treatment in constructed wetlands: System Design, Removal Process, and Treatment Performance. In G. A. Moshiri. 1993. Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers. Boca Raton. p:9-22. Demchik, M. dand K. Garbutt. 1999. Growth of woolgrass in acid mine drainage. J.Environ. Qual. 28:243-249. Ditch, D.C., and A.D. Karathanasis. 1994. Wetlands: Mechanisms for Treating Acid Mine Drainage, Agronomy Notes. University of Kentucky, Kentucky State University, U.S. Departementof Agriculture, and Kentucky Counties Cooperating.

Desulfomaculum, Desulfofarculus, Desulfacirum, Sulfospirillum, yang dapat

2.

Evangelou, V.P. (Bill). 1995. Pyrite oxidation and control. CRC Press, Boca Raton. 285p+. Faulkner, B.B. and J.G. Skousen. 1994. Treatment of acid mine drainage by passive treatment systems. In: Proceedings, International Land Reclamation and Mine Drainage Conference, April 24-29. USDI, Bureau of Mine SP 064A-94, Pittsburgh, PA. Kleinmann, R.L.P. 1990. Acid mine drainage in the United States. In: Proceedings, First Midwestern Region Rclamation Conference, Southern Illinois University, Carbondale, IL. Reclamation (ASSMR) 16th Annual Meeting In Conjunction with Wetern Region Ash Group 2nd Annual Forum: Mining and Reclamation for the Next Millennium, Scottsdale, Arizona, August 13-19, 1999. Volume 2:609-620. Sexstone, J., J.G. Skousen, J. Calabrese, D.K. Bhumbla, J. Cliff, J.C. Sencindiver, and G.K. Bissonnette. 1999. Iron removal from acid mine drainage by wetland. In 1999 Proceedings of American Society for Surface Mining and Skousen, J. and P. Ziemkiewicz. 2004. Long-term Performance of Eight Passive Treatment

3.

4.

5.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan ke Sekretariat Riset Unggulan Terpadu (RUT) Kantor Menristek, Jakarta, yang telah

38

Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.1 (2007)

Types for Acid Mine (Komunikasi personal).

Drainage.

Skousen, J., A. Sexstone, J. Cliff, P. Sterner, J. Calabrese, and P. Ziemkiewicz. 1999. Acid mine drainage treatment with a combined wetland/anoxic limestone drain: Greenhouse and Field Systems. In 1999 Proceedings of American Society for Surface Mining and Reclamation (ASSMR) 16th Annual Meeting in Conjunction with Wetern Region Ash Group 2nd Annual Forum: Mining and Reclamation for the Next Millennium, Scottsdale, Arizona, August 13-19, 1999. Volume 2:621- 633. Skousen, J., A. Sexstone, K. Garbutt, and J. Sencinder. 1996. Passive treatment of acid mine drainage. In J. G. Skousen and P. F. Ziemkiewicz. (Comp.). Acid mine drainage control and treatment. 2nd ed. West Virginia University and the National Mine Land Reclamation Ceenter, Morgantown, WV. p: 249-260. Skousen, J.G., and P. Ziemkiewicz. 1996. Acid mine drainage control and treatment. 2nd

ed. West Virginia and National Mine Land Reclamation Center, Morgantown, West Virginia. 362p+ Surface, J.M., J.H. Peverly, T.S. Steenhuis, W.E. Sanford. 1993. Effect of season, substrat composition, and plant growth on landfill leachate treatment in a constructed wetland. In G. A. Moshiri. 1993. Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers. Boca Raton. p:461-472 Wetzel, R.G. 1993. Constructed wetlands: Scientific Foundations Are Critical. In G. A. Moshiri. 1993. Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers. Boca Raton. p:3-7.

Widdowson, J.P. 1990. The impacts of surface mining activities on soil and water. In T. F. Rijnberg (Ed.). Proceedings of the Joint Seminar on Environmental Impacts of Mining in Watersheed Management. Bogor and Tanjung Enim, November 514th., 1990. hal: 34-58

Munawar. Pemanfaatan Sumberdaya Biologis

39

Tabel 1. Perubahan pH, Eh, dan Ec substrat organik individual di dalam air dan AATSubstrat Organik Individual Bark + H2O 1 6,66 pH *) 2 3 6,12 6,71 4 6,82 1 225 Eh (mV) 2 3 75 DTT 4 37 1 284 Ec (uS/cm) 2 3 DTT 491 4 494

Bark + AAT 5,65 6,17 6,66 6,28 296 96 -14 - 74 1610 1540 1650 1380 Gambut + H2O 4,61 4,58 5,14 5,07 279 221 232 190 230 287 168 240 Gambut + AAT 4,04 4,25 5,46 5,16 378 300 31 55 1463 1290 1021 1520 Pupuk Kandang + H2O 6,57 6,92 7,13 7,01 154 - 38 - 239 - 289 7880 8597 7340 9600 Pupuk Kandang + AAT 6,62 6,83 7,13 6,90 155 38 - 255 -299 7543 9643 8820 7235 Sludge + H2O 7,19 7,51 7,50 7,43 81 77 - 188 - 221 387 773 1687 1973 Sludge + AAT 6,95 7,32 7,46 7,38 138 99 - 85 - 165 2093 2593 2356 3603 Catatan: *) Angka 1, 2. 3. dan 4 masing-masing menunjukkan pengamatan setelah 30 menit, 18 jam, 3 hari, dan 1 minggu inkubasi. DTT = Data Tidak Tersedia

Tabel 2. Perubahan pH, Eh, dan Ec substrat organik campuran dalam AAT.Subastrat Organik Campuran pH *) Eh (mV) Ec (uS/cm)

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 75% Sludge + 25% Bark + 6,70 7,12 7,39 7,43 144 77 - 32 - 53 2760 3313 2200 3113 AAT 75% Sludge + 25% Bark + 6,78 7,16 7,39 7,41 110 60 - 2373 2813 1939 3237 AAT + BPS 114 110 75% Sludge + 25% Gambut 6,62 7,02 7,33 7,32 133 96 - 56 - 2270 2565 2163 3023 + AAT 102 75% Sludge + 25%Gambut 6,65 6,99 7,19 7,23 102 26 - 2230 2413 2277 3177 + AAT + BPS 128 151 75% Pupuk Kandang + 25% 6,41 6,78 6,84 6,76 167 116 - 7213 84933 6437 7960 Bark + AAT 173 237 75% Pupuk Kandang + 25% 6,61 6,90 6,83 6,87 109 89,67 - 4940 9357 5850 8387 Bark + AAT + BPS 208 249 75% Pupuk Kandang + 25% 6,14 6,56 5,78 6,51 185 117 - 5327 6893 8247 8013 Gambut + AAT 243 235 75% Pupuk Kandang, 6,19 6,55 6,91 6,80 235 73 - 6523 7767 6230 8310 25%Gambut + AAT + BPS 196 266 50% Sludge + 50% Bark + 5,97 6,98 7,07 7,40 278 152 - 96 - 2203 2673 2052 2870 AAT 164 50% Sludge + 50% Bark + 6,23 6,89 6,98 7,37 258 143 - 84 - 2480 2587 1861 2740 AAT + BPS 197 50% Sludge + 50% Gambut 6,17 6,49 7,09 7,05 203 144 - 50 - 88 2133 2403 1796 2623 + AAT 50% Sludge + 50%Gambut 6,28 6,59 6,77 6,88 171 74 - 2010 2390 2243 2377 + AAT + BPS 114 122 50% Pupuk Kandang + 50% 6,13 6,56 6,64 6,59 220 50 - 3727 4617 5896 5413 Bark + AAT 174 231 50% Pupuk Kandang + 50% 6,32 6,71 6,48 6,86 164 65 - 4913 6000 4927 6380 Bark + AAT + BPS 154 231 50% Pupuk Kandang + 50% 5,98 6,24 6,98 6,98 221 141 - 3740 5733 4253 5670 Gambut + AAT 166 189 50% Pupuk 5,98 6,36 6,87 6,99 185 108 - 4260 5367 4280 5027 Kandang+50%Gambut + 189 216 AAT + BPS 50% Sludge + 25% Bark 6,47 7,08 DTT DTT 173 - 9 DTT DTT 4850 5250 DTT DTT +25% Pupuk Kandang + AAT 50% Sludge + 25% Bark 6,59 7,15 DTT DTT 168 - 21 DTT DTT 5130 5050 DTT DTT +25%Pupuk Kandang + AAT + BPS 75% Sludge + 25% Pupuk 6,70 7,35 DTT DTT 197 - 36 DTT DTT 5450 5770 DTT DTT Kandang + AAT 75% Sludge + 25% Pupuk 6,71 7,45 DTT DTT 182 - 65 DTT DTT 5830 6020 DTT DTT Kandang + AAT + BPS Catatan: *) Angka 1, 2. 3. dan 4 masing-masing menunjukkan pengamatan setelah 30 menit, 18 jam, 3 hari, dan 1 minggu inkubasi. DTT = Data Tidak Tersedia

40

Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.1 (2007)

pH

9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11

100% SL 100% PK 100% BK 100% GB 75% SL + 25% BK 75% SL + 25% GB 75% PK + 25% BK 75% PK + 25% GB 50% SL + 50% BK 50% SL + 50% GB 50% PK + 50% BK 50% PK + 50% GBWaktu pengam atan

Gambar 4. pH (H2O) bahan/substrat individual dan campurannya12000Ec ( uS/ cm)

10000

8000

6000

4000

2000

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11

Waktu Pengamatan

Gambar 5. Ec bahan/substrat individual dan campurannya

Eh (mV) 400 300 200 100 Waktu pengamatan 0 1 -100 -200 -300 -400 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

100% SL 100% PK 100% BK 100% GB 75% SL + 25% BK 75% SL + 25% GB 75% PK + 25% BK 75% PK + 25% GB 50% SL + 50% BK 50% SL + 50% GB 50% PK + 50% BK 50% PK + 50% GB Gambar 6. Eh bahan/substrat individual dan campurannya10

Munawar. Pemanfaatan Sumberdaya Biologis

41

pH

8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 AMD AMD+IN 9 10 11

pH

8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 Waktu pengam atan 8 9 AMD AMD+IN 10 11

100% SLUDGE

pH

8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 AMD AMD+IN 10 11

pH 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 Waktu pengam atan 8 9 AMD AMD+IN 10 11

100% BARK

100% GAMBUT

Gambar 7. Perubahan pH AMD akibat pemberian substrat organik, dengan dan tanpa inokulasi BPSpH 98

pH

9 8 7 6 5 4 3 2

7

6

5

4

3

2 AMD AMD+IN 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11

1

1 0 1 2 3 4 5 6 7 8

AMD AMD+IN 9 10 11

Waktu pengam atan

75% SLUDGE + 25% BARK

75% SLUDGE + 25% GAMBUT

Gambar 8. Perubahan pH AMD akibat pemberian campuran sludge-bark/gambut (3:1), dengan dan tanpa inokulasi BPS.

42

Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.1 (2007)

pH

8

pH

8

7

7

6

6

5

5

4

4

3

3

2

2

1

AMD AMD+IN

1

AM D AM D+IN

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11

Waktu pengam atan 75% P KANDANG + 25% BARK75% P KANDANG + 25% GAMBUT

Gambar 9. Perubahan pH AMD akibat pemberian campuran pupuk kandang-bark/gambut (3:1), dengan dan tanpa inokulasi BPS