7 bab ii tinjauan pustaka yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/bab ii.pdf ·...

26
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Tanaman Kakao Tanaman kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu anggota familia Sterculiaceae yang berasal dari daerah beriklim tropis di Amerika Tengah dan Selatan, namun negara asal yang tepat masih belum dapat diketahui (Roesmanto, 1991). Pada awal abad 19, produsen kakao utama dunia banyak berasal dari negara di Amerika Selatan seperti Equador dan Brazil, sedangkan saat ini negara produsen kakao mulai tersebar di seluruh wilayah tropis di dunia mulai dari Afrika sampai Amerika Selatan (Baon dan Wardani, 2010). Di Indonesia, kakao mulai dibawa masuk ke daerah Sulawesi Utara oleh bangsa Spanyol pada awal abad 16. Dari daerah tersebut, kakao kemudian menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia dan mulai dibudidayakan secara serius pada tahun 1970an (Sugiharti, 2006). Saat ini, Indonesia menjadi negara penghasil kakao terbesar kedua di dunia dibawah Pantai Gading dengan total produksi per tahun mencapai 717 ribu ton pada tahun 2008 atau berkontribusi sebesar 17,25 % dari total produksi kakao dunia (Taufik et al., 2010). Beberapa negara penghasil kakao utama di dunia antara lain Ghana, Nigeria, Kamerun, Brazil dan Equador (FAO, 2013). Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Upload: vuongdan

Post on 25-Aug-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Tanaman Kakao

Tanaman kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu anggota

familia Sterculiaceae yang berasal dari daerah beriklim tropis di Amerika Tengah

dan Selatan, namun negara asal yang tepat masih belum dapat diketahui

(Roesmanto, 1991). Pada awal abad 19, produsen kakao utama dunia banyak

berasal dari negara di Amerika Selatan seperti Equador dan Brazil, sedangkan saat

ini negara produsen kakao mulai tersebar di seluruh wilayah tropis di dunia mulai

dari Afrika sampai Amerika Selatan (Baon dan Wardani, 2010).

Di Indonesia, kakao mulai dibawa masuk ke daerah Sulawesi Utara oleh

bangsa Spanyol pada awal abad 16. Dari daerah tersebut, kakao kemudian

menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia dan mulai dibudidayakan secara serius

pada tahun 1970an (Sugiharti, 2006). Saat ini, Indonesia menjadi negara penghasil

kakao terbesar kedua di dunia dibawah Pantai Gading dengan total produksi per

tahun mencapai 717 ribu ton pada tahun 2008 atau berkontribusi sebesar 17,25 %

dari total produksi kakao dunia (Taufik et al., 2010). Beberapa negara penghasil

kakao utama di dunia antara lain Ghana, Nigeria, Kamerun, Brazil dan Equador

(FAO, 2013).

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 2: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

8

2.1.1 Morfologi Kakao

Tanaman kakao berbentuk pohon dengan tinggi dapat mencapai 4,5 - 7

meter setelah berumur 12 tahun (Prawoto & Winarsih, 2010). Tanaman kakao

memiliki sistem perakaran tunggang yang merupakan salah satu ciri umum dari

tanaman dikotil. Akar utamanya tumbuh lurus ke bawah dan bercabang banyak

sehingga batang menjadi kokoh, sedangkan akar lateral (mendatar) tumbuh dan

berkembang di dekat permukaan tanah dan memiliki jangkauan yang luas

sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih,

2010).

Tanaman kakao bersifat dimorfisme, yaitu memiliki 2 pola percabangan.

Cabang yang arah pertumbuhannya ke atas disebut cabang ortotrop, sedangkan

cabang yang arah pertumbuhannya ke samping disebut cabang plagiotrop.

Tanaman kakao yang masih muda memiliki batang yang lurus, namun pada umur

sekitar 10 bulan akan membentuk cabang plagiotrop (Prawoto & Winarsih, 2010;

Karmawati et al., 2010).

Tanaman kakao termasuk tanaman tahunan (parennial) yang mulai

berbunga setelah tanaman berumur 3 tahun (Rahardjo, 2011). Puncak produksi

bunga terjadi setelah tanaman berumur 4 - 5 tahun. Tanaman kakao dapat bertahan

sampai berumur 20 tahun atau lebih jika pengelolaannya baik (Konam et al.,

2009). Tanaman kakao yang berumur lebih dari 20 tahun akan menurun

produktivitasnya sehingga perlu dilakukan peremajaan (Firdaus & Ariyoso, 2010).

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 3: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

9

Tanaman kakao mampu berbunga sepanjang tahun dengan masa

pembungaan maksimum pada bulan Februari - April dan masa pembungaan

minimun pada bulan Agustus - September (Rahardjo, 2011). Bunga kakao tumbuh

dan berkembang di bekas ketiak daun pada bagian batang atau cabang sehingga

kakao biasa disebut pula sebagai tanaman caulifloris (Prawoto, 2008; Gambar

2.1). Tempat tumbuh bunga kakao semakin lama semakin menebal dan membesar

disebut bantalan bunga (cushion). Dari setiap bantalan bunga akan muncul satu

bunga majemuk dengan tangkai yang pendek sehingga nampak seperti bunga

tunggal (Prawoto & Winarsih, 2010). Bantalan bunga akan tetap aktif

menghasilkan kuntum bunga selama beberapa tahun dan akan berhenti

menghasilkan kuntum bunga jika terganggu fisiologisnya karena gangguan

mekanis seperti terpotong saat pemanenan atau terserang penyakit (Prawoto,

2008).

Gambar 2.1 Bunga kakao muncul dari bekas ketiak daun pada batang ataucabang (Caulifloris). Tampak kuntum bunga kakao yang masihkuncup (panah warna merah) dan beberapa telah mekar (panahwarna kuning) yang berasal dari satu bantalan bunga.

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 4: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

10

Setiap kuntum bunga tersusun atas 5 daun kelopak (sepala) dan 5 daun

mahkota (petala) yang bebas satu sama lain serta organ kelamin (Gambar 2.2).

Bunga kakao merupakan bunga hermaprodit dengan organ betina (gynaecium)

terdiri atas bakal buah (ovary), tangkai putik (stylus), dan kepala putik (stigma).

Organ kelamin jantan (androecium) yang terdiri dari 5 benang sari (stamen) dan

staminodia. Stamen merupakan organ kelamin jantan fertil karena mampu

menghasilkan tepung sari (pollen) dengan diameter 2 - 3 mikron, sedangkan

staminodia merupakan organ kelamin jantan palsu yang steril (Prawoto &

Winarsih, 2010; Rahardjo, 2011).

Gambar 2.2 Diagram bunga kakao (A) yang menunjukkan bagian sepala danpetala; sedangkan (B) adalah diagram organ kelamin pada bungakakao yang menunjukkan adanya stamen dan staminodia(Rahardjo, 2011).

Proses pembungaan kakao diawali dengan terbentuknya kuncup (primordia)

bunga (Gambar 2.3 a). Setelah 30 hari, kuncup bunga akan mekar (Gambar 2.3

b) yang menandakan bahwa putik dan kepala sari telah masak dan siap melakukan

penyerbukan dan pembuahan. Setelah mengalami penyerbukan, bakal biji (ovule)

1. Kelopak bunga(kalyx); daunkelopak (sepala)

2. Mahkota bunga(corolla); daunmahkota (petala)

3. Tangkai sari(filament)

4. Kelamin jantanpalsu (staminodia)

5. Tangkai putik(stylus)

1. Bakal buah(ovarium)

2. Tangkai putik(stylus)

3. Kepala putik(stigma)

4. Kelamin jantanpalsu (staminodia)

5. Tangkai sari(filament)

6. Kepala sari(anthera)

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 5: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

11

akan tumbuh menjadi biji dan bakal buah (ovarium) akan tumbuh menjadi buah

(Gambar 2.3 c dan d; Rahardjo, 2011).

Gambar 2.3 Tahap perkembangan bunga kakao; (a) kuncup bunga kakao; (b)bunga kakao yang mekar; (c) buah kakao; (d) biji kakao terbungkusoleh pulpa (Karmawati et al., 2010)

Setiap tahunnya, tanaman kakao dapat menghasilkan kuntum bunga antara

5.000 – 12.000 kuntum per pohon. Namun, hanya sekitar 1 % dari seluruh bunga

yang dihasilkan mengalami penyerbukan dan menjadi buah, sedangkan sisanya

akan gugur dalam waktu 24 jam (Prawoto, 2008). Setelah terjadi pembuahan,

buah kakao mulai tumbuh dan berkembang secara perlahan sampai hari ke 40.

Setelah melewati fase tersebut, pertumbuhan buah mulai cepat dan mencapai

puncaknya saat buah berumur 75 hari. Pembesaran buah akan berlangsung sampai

buah berumur 120 hari serta siap panen pada hari ke 143 - 170. Pemanenan

dilakukan apabila telah terjadi perubahan warna pada kulit buah (Prawoto &

Winarsih, 2010; Karmawati et al., 2010).

Kulit buah kakao memiliki alur dalam dan dangkal tergantung pada varietas

kakao. Bijinya tersusun dalam lima baris mengelilingi poros buah dan berjumlah

antara 20 - 50 butir per buah. Biji terbungkus oleh pulpa yang berwarna putih

a b c d

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 6: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

12

(Gambar 2.3), rasanya asam manis dan diduga mengandung zat penghambat

perkecambahan. Di bagian dalamnya terdapat kulit biji (testa) yang membungkus

2 kotiledon. Biji kakao tidak memiliki masa dorman sehingga terkadang

ditemukan biji yang telah berkecambah di dalam buah yang terlambat dipanen

(Prawoto & Winarsih, 2010).

Untuk dapat menghasilkan biji dengan baik, tanaman kakao memerlukan

naungan atau pohon pelindung untuk mengurangi intensitas cahaya matahari dan

suhu udara (Prawoto & Winarsih, 2010). Tanaman kakao akan tumbuh dengan

baik jika mendapat penyinaran dari matahari secara langsung selama kurang lebih

2 jam dalam sehari. Intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan penurunan

produksi dan mempengaruhi morfologi tanaman (Roesmanto, 1991).

Temperatur udara juga memegang peran yang sangat penting dalam

pertumbuhan dan perkembangan bunga dan buah. Temperatur lingkungan yang

optimum untuk pertumbuhan bunga kakao berkisar 25° C. Pada temperatur di

bawah 10° C, bunga akan mengering, sedangkan temperatur di atas 32° C akan

menyebabkan bunga kakao gugur (Roesmanto, 1991; Karmawati et al, 2010).

2.1.2 Varietas Kakao

Berdasarkan morfologinya, kakao dibagi menjadi 3 varietas, yaitu criollo,

forastero, dan trinitario. Kakao criollo (Gambar 2.4 A) memiliki ciri-ciri berupa

kulit buah berwarna merah atau kuning dengan permukaan yang kasar dan alur

yang jelas (dalam). Daging buah kakao varietas ini cukup tebal tetapi lunak

(mudah pecah) dengan biji yang besar dan bulat tersusun atas dua kotiledon

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 7: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

13

berwarna putih. Criollo memiliki mutu biji yang sangat baik karena memberikan

cita rasa khas sehingga disebut juga sebagai kakao mulia. Namun,

pertumbuhannya kurang kuat (mudah terserang penyakit), produktivitas yang

rendah serta kadar lemak yang rendah menyebabkan varietas ini jarang

dibudidayakan di Indonesia (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Kakao forastero disebut juga kakao lindak (bulk; Gambar 2.4 B) yang

memiliki ciri-ciri kulit buah berwarna hijau dengan permukaan halus dan alur

yang dangkal. Daging buahnya tipis tetapi keras, bentuk biji gepeng dan

berukuran lebih kecil dari biji kakao criollo, serta kotiledon berwarna ungu gelap.

Namun, kakao forastero memiliki pertumbuhan yang cepat dan tahan terhadap

beberapa jenis hama dan penyakit, serta memiliki produktivitas tinggi. Kakao

forastero sering juga disebut sebagai kakao industri (Pusat Penelitian Kopi dan

Kakao Indonesia, 2004).

Kakao trinitario (Gambar 2.4 C) merupakan hibrida criollo dan forastero

sehingga sifat morfologi dan fisiologisnya sangat bervariasi, begitu juga dengan

daya dan mutu hasilnya (Prawoto & Winarsih, 2010).

Gambar 2.4 Morfologi buah kakao dari tiga varietas, criollo (A), forastero (B)dan trinitario (C; Karmawati et al., 2010)

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 8: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

14

2.1.3 Manfaat kakao

Kakao merupakan tanaman yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan

buahnya. Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak hewan

ruminansia (Tuty, 2009). Kulit buah kakao juga dapat dimanfaatkan sebagai

bahan baku dalam pembuatan pulp. Pulp merupakan bahan yang dapat diolah

menjadi kertas dan rayon (Harsini dan Susilowati, 2010). Manfaat lain dari kulit

buah kakao adalah dapat dibuat briket sebagai pengganti arang atau batubara,

bahan baku pembuatan bioetanol, pigmen β-karoten serta bahan baku pembuatan

pektin yang memiliki peran penting dalam industri pangan, kosmetika, maupun

obat-obatan (Patabang, 2011; Sari et al., 2012; Pratiwi et al., 2010; Wulan, 2001).

Bagian buah kakao yang paling penting adalah biji (Gambar 2.5 a). Biji

kakao mengandung kadar lemak yang tinggi dan dijadikan sebagai bahan utama

pembuatan bubuk coklat (Gambar 2.5 b; Martede & Basri, 2011). Bubuk ini

dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan dan minuman yang

banyak disukai masyarakat karena memiliki cita rasa yang enak, manis, dan

memiliki aroma yang khas (Gambar 2.5 c, d, e; Roesmanto, 1991).

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 9: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

15

Gambar 2.5 Biji kakao (a); cokelat bubuk (b); makanan dan minuman berbahanbaku coklat (c,d,e,f; http://www.digstar.com/images/cocoa)

2.2 Budidaya Kakao dan Permasalahannya

2.2.1 Produksi Kakao Dunia dan Indonesia

Kakao merupakan komoditas perkebunan terbesar ke tiga di Indonesia

setelah kelapa sawit dan karet (FAO, 2013). Total produksi kakao di Indonesia

mencapai lebih dari 700 ribu ton per tahun (Taufik et al., 2010) dan mampu

menjadi sumber pendapatan negara yang cukup tinggi yaitu lebih dari US$ 1,8

milyar pada tahun 2009 (Ariati et al., 2012). Selain itu, perkebunan kakao juga

mampu menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi, yaitu mencapai 1,5 juta kepala

keluarga pada tahun 2009 (Limbongan, 2011).

Total produksi kakao di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun. Pada tahun 2003, produksi kakao di Indonesia hanya sekitar 690 ribu ton.

a

ed f

b

c

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 10: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

16

Angka ini naik menjadi sekitar 760 ribu ton pada tahun 2006. Sedangkan pada

tahun 2010, total produksi kakao di Indonesia sudah mencapai lebih dari 840 ribu

ton (FAO, 2013). Jika dibandingkan dengan produksi kakao di negara lain, maka

Indonesia merupakan negara dengan total produksi kakao terbesar kedua di dunia

setelah Pantai Gading (Gambar 2.6). Pada tahun 2010, produksi kakao di Pantai

gading mencapai hampir 1,4 juta ton dan Ghana sekitar 700 ribu ton, sedangkan

Nigeria sebagai negara produsen kakao terbesar ke empat dunia hanya sekitar 400

ribu ton (Gambar 2.6; FAO, 2013).

Gambar 2.6 Sepuluh negara produsen kakao terbesar di dunia tahun 2010.Indonesia (panah hitam) menempati posisi kedua sebagai produsenkakao terbesar dunia (FAO, 2013).

Total produksi kakao di Indonesia yang meningkat selama 10 tahun terakhir

tersebut terjadi karena adanya peningkatan luas area perkebunan kakao yang

signifikan. Pada tahun 2003, luas area perkebunan kakao Indonesia hanya sekitar

900 ribu ha yang tersebar di hampir seluruh provinsi kecuali DKI Jakarta (Avivi

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 11: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

17

et al., 2010). Luas area perkebunan tersebut meningkat menjadi hampir 1,7 juta

ha pada tahun 2011 (FAO, 2013). Berdasarkan rata-rata luas area perkebunan

kakao pada tahun 2011, Indonesia menempati urutan ke-2 sebagai negara dengan

luas area perkebunan kakao terbesar dunia di bawah negara Pantai Gading

(Gambar 2.7). Pantai Gading memiliki luas area perkebunan terbesar dunia

dengan total luas hampir 2,5 juta ha atau berkontribusi sebesar 25,28 % dari total

luas area kakao dunia (FAO, 2013).

Gambar 2.7 Negara dengan rata-rata luas area kakao terbesar dunia tahun 2011.Indonesia berada diperingkat kedua setelah negara Pantai Gading(FAO, 2013).

2.2.2 Permasalahan Budidaya Kakao di Indonesia

Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar kedua di dunia karena

memiliki luas area perkebunan kakao terluas kedua di dunia (Gambar 2.6).

Namun dalam hal produktivitas, perkebunan kakao di Indonesia hanya mampu

menghasilkan biji kakao dengan jumlah yang sangat rendah untuk setiap hektar

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 12: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

18

lahannya. Produktivitas kakao tersebut juga menurun selama lima tahun terakhir

(Gambar 1.1). Pada tahun 2007, produktivitas perkebunan kakao di Indonesia

mencapai 800 kg per hektar lahan, sedangkan pada tahun 2011 produktivitas

tersebut menurun hampir setengahnya menjadi sekitar 400 kg per hektar. Angka

tersebut hampir sepertujuh produktivitas perkebunan kakao di Guatemala dan

Thailand (lebih dari 2,6 ton biji kering per hektar; Gambar 1.1).

Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas

kakao di Indonesia, diantaranya adalah adanya serangan hama dan penyakit

seperti layu pentil (cherelle wilt) yaitu kematian pada buah kakao yang masih

muda (pentil) dengan persentase kematian mencapai 60 – 90 % (Oktaviani, 2008;

Widiancas, 2010). Tanaman kakao juga sering terkena penyakit Vascular-streak

Dieback (VSD) yang menyerang pembuluh kayu kakao sehingga merusak

tanaman kakao. Hama penggerek buah kakao (PBK) juga dapat mengurangi

produksi kakao hingga 90 % karena larva hama ini memakan plasenta buah

sehingga mengakibatkan menurunnya produksi dan mutu biji kakao (Susilo &

Sari, 2011; Limbongan, 2011).

Faktor lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivtias kakao di

Indonesia adalah penerapan teknologi budidaya seperti pemupukan dan

pemangkasan yang belum optimal dan umur tanaman yang telah tua (Basri, 2009;

Limbongan, 2011). Pemupukan bertujuan menambah unsur hara tertentu yang

dibutuhkan tanaman. Namun, petani cenderung memberikan dosis pupuk yang

berlebihan sehingga menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan merusak

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 13: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

19

sifat fisik tanah yang dapat mengurangi produktivitas kakao (Prawoto &

Soedarsono, 2010). Pemangkasan juga harus dilakukan secara tepat sehingga

tidak menyebabkan kematian pada cabang dan meningkatkan kepekaan tanaman

terhadap serangan penyakit. Pemangkasan yang terlalu kurang dapat

mengakibatkan jumlah buah yang dihasilkan sedikit (Prawoto & Soedarsono,

2010).

Kondisi tanaman yang telah tua (lebih dari 20 tahun) mulai menurun

produktivitasnya sekitar 0,2 – 0,3 kg per pohon (Firdaus dan Ariyoso, 2010;

Soedarto & Bulu, 2013). Kondisi demikian tidak dapat dipertahankan sehingga

memerlukan adanya rehabilitasi atau peremajaan tanaman untuk kembali

meningkatkan produktivitas kakao.

Salah satu faktor utama yang diduga menjadi penyebab rendahnya

produktivtias kakao di Indonesia adalah rendahnya kualitas bibit yang ditanam

(Martede & Basri, 2011; Sugiharti, 2006). Oleh karena itu, penyediaan bibit

unggul dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat sangat dibutuhkan

untuk meningkatkan produktivitas kakao di Indonesia.

2.3 Pembibitan Kakao di Indonesia

Penyediaan bibit kakao yang banyak dilakukan di Indonesia adalah secara

generatif atau melalui biji. Biji kakao yang berkualitas direndam dalam air kapur

2,5 % selama kurang lebih 30 detik kemudian dicuci guna mengupas kulit biji

(testa). Selanjutnya biji dikering anginkan sampai kadar air 40 % kemudian

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 14: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

20

disemai selama 12 hari. Benih yang telah berkecambah kemudian dipelihara

selama 4 - 5 bulan sampai siap ditanam di lahan (Gambar 2.8; Rahardjo, 2011).

Gambar 2.8 Bibit hasil semaian biji kakao berumur 2 bulan yang dipeliharasampai siap untuk ditanam di lahan (Prihastanti, 2012).

Pembibitan secara generatif tersebut relatif mudah dilakukan dan sederhana

(Winarsih et al., 2003). Namun, kendala yang dihadapi adalah bibit yang

dihasilkan memiliki variasi genetik yang tinggi dan tidak sama dengan induknya

(Li et al., 1998; Traore et al., 2002). Hal ini karena bunga kakao bersifat protogini

yang artinya putik masak lebih awal daripada kepala sari (Prawoto, 2008)

sehingga penyerbukan yang terjadi pada bungakakao termasuk penyerbukan

silang (cross-polination; Issali et al., 2011).

Cara lain yang mulai banyak diupayakan untuk mengatasi kekurangan

pembibitan kakao melalui biji adalah dengan pembibitan secara vegataif melalui

stek (cuttings) dan okulasi (budding, Rahardjo, 2010). Stek dilakukan dengan

memotong batang atau pucuk tanaman kakao yang masih muda kemudian ditanam

ke dalam pot yang telah berisi medium lalu disungkup. Akar akan mulai tumbuh

pada cabang setelah berumur tiga minggu dan siap untuk ditanam ke lahan setelah

berumur enam bulan. Teknik ini mudah dilakukan dan tanaman hasil stek

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 15: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

21

biasanya akan cepat berbunga dan berbuah (Rahardjo, 2010). Namun, pada

tanaman kakao penerapan teknik ini memiliki tingkat keberhasilan yang rendah,

merusak tanaman induk yang dijadikan sumber stek, serta jumlah bibit yang

dihasilkan terbatas (Hendrata dan Sutardi, 2009; Rahardjo, 2010).

Cara vegetatif lain yang dikembangkan untuk menghasilkan bibit kakao

adalah melalui okulasi. Mata tunas yang berwarna hijau dari pohon kakao

berkualitas ditempelkan ke batang bawah bibit kakao berumur satu tahun yang

diperoleh dari perkecambahan biji. Mata tunas kemudian diikat dengan tali plastik

dan dibiarkan tumbuh sampai berdaun sekitar 8 lembar. Bibit hasil okulasi

kemudian dipelihara selama 12 bulan sebelum ditanam ke lahan. Kelebihan teknik

ini adalah pertumbuhannya cepat dibandingkan bibit asal setek dan tingkat

keberhasilannya tinggi yaitu lebih dari 90%. Namun, teknik okulasi membutuhkan

mata tunas yang banyak sehingga merusak tanaman induknya. Disamping itu,

jumlah mata tunas yang terbatas menyebabkan jumlah bibit yang dihasilkan juga

terbatas (Rahardjo, 2010).

Salah satu upaya untuk mengatasi kelemahan pembibitan kakao secara

konvensional adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan tumbuhan (in

vitro). Kultur Jaringan tumbuhan merupakan teknik perbanyakan dengan

mengisolasi jaringan tanaman dan ditumbuhkan dalam medium dan lingkungan

tumbuh yang sesuai secara aseptis (Marlina, 2004). Teknik ini dapat

menghasilkan bibit yang seragam dan sama dengan induknya. Teknik ini juga

dapat memperbanyak tanaman dalam jumlah yang besar dengan waktu yang

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 16: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

22

singkat (Avivi et al., 2010). Namun, tingkat keberhasilan penggunaan teknik

kultur jaringan untuk menghasilkan bibit masih sangat terbatas. Disamping itu

teknik ini memerlukan keahlian khusus, dan harus dilakukan di laboratorium

sehingga biaya yang dibutuhkan relatif mahal (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Ada beberapa macam teknik kultur jaringan yang telah dikembangkan untuk

menghasilkan bibit suatu tumbuhan seperti teknik kultur meristem, kultur pucuk,

tunas aksiler maupun organogenesis (Zulkarnain, 2009). Kultur meristem

merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman dengan menggunakan eksplan

meristem dengan beberapa primordia daun. Teknik ini biasanya digunakan untuk

mendapatkan tanaman yang bebas virus. Teknik ini telah diterapkan pada berbagai

jenis tanaman seperti, kentang (Solanum tuberosum), pisang (Musa), dan anyelir

(Dianthus caryophyllus) tetapi belum berhasil diaplikasikan pada tanaman kakao

(Zulkarnain, 2009).

Teknik lainnya yaitu kultur tunas aksiler dan kultur pucuk merupakan teknik

perbanyakan tanaman dengan menggunakan tunas aksiler maupun pucuk

tanaman. Kedua teknik tersebut memiliki kelebihan yaitu pertumbuhannya lebih

cepat karena hanya memerlukan tahap pemanjangan tunas dan diferensiasi akar

untuk mendapatkan tanaman lengkap (plantlet) sehingga tidak membutuhkan

waktu yang lama. Teknik tersebut banyak diaplikasikan untuk perbanyakan bibit

berbagai tanaman, namun kedua teknik tersebut belum berhasil diaplikasikan pada

tanaman kakao (Figuera et al., 1991).

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 17: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

23

Organogenesis merupakan proses pembentukan organ yang berlangsung

setelah periode pertumbuhan kalus. Teknik ini dapat menghasilkan tanaman

dalam jumlah yang banyak, tetapi belum berhasil diaplikasikan pada tanaman

kakao (Zulkarnain, 2009).

Salah satu teknik yang mulai dikembangkan untuk memperbanyak kakao

secara in vitro adalah melalui teknik embryogenesis somatik.

2.4 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik Kakao

Embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio suatu tumbuhan

yang berasal dari sel-sel somatik (Purnamaningsih, 2002). Teknik ini telah banyak

diterapkan pada beberapa tumbuhan diantaranya, jati (Tectona grandis L.

Armaniar, 2002); kopi arabika (Coffea arabica, Oktavia et al., 2003; Riyadi &

Tirtoboma, 2004); kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq., Sumaryono, 2007),

meranti (Shorea pinanga; Yelnititis, 2008), dan lamtoro (Leucaena leucocephala;

Sapsuha et al., 2011).

Pada teknik embriogenesis somatik ada beberapa tahap, yaitu (1) induksi

kalus embrionik, (2) induksi embryo somatik, (3) perkecambahan, dan (4)

hardening (aklimatisasi; Purnamaningsih, 2002). Pada tahap induksi kalus

embrionik, eksplan yang telah diisolasi ditumbuhkan dalam medium tanam

dengan penambahan zat pengatur tumbuh tertentu. Umumnya, zat pengatur

tumbuh yang digunakan adalah golongan auksin yang memiliki daya aktivitas

kuat atau dengan konsentrasi tinggi (Purnamaningsih, 2002).

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 18: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

24

\Tahap induksi embryo somatik yaitu tahap perkembangan kalus embrionik

menjadi embryo. Secara spesifik tahap perkembangan embrio somatik kakao

dimulai dari fase globular, fase hati (heart), fase torpedo, kotiledon, dan planlet

(Gambar 2.9; Li,et al.,1998). Pada tahap ini biasanya digunakan auksin dengan

konsentrasi rendah. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa tahap ini merupakan tahap yang paling sulit (Purnamaningsih, 2002).

Gambar 2.9 Tahap perkembangan morfologi embrio somatik kakao; (a) embriosomatik pada tahap globular; (b) embrio tahap heart; (c)pembentukan embrio sekunder; (d) embrio tahap torpedo; (e) tahapkotiledon; (f dan g) plantlet; (h) aklimatisasi plantlet (Li et al.,1998)

Tahap selanjutnya adalah perkecambahan yaitu fase pembentukan tunas dan

akar. Medium yang digunakan untuk perkecambahan yaitu dengan penambahan

zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi yang sangat rendah atau samasekali tidak

ditambahkan zat pengatur tumbuh (Purnamaningsih, 2002).

Tahap akhir dalam embriogenesis somatik yaitu hardening. Pada tahap ini

dilakukan aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in vitro ke lingkungan

baru di rumah kaca (ex vitro) dengan cara menurunkan kelembaban dan

meningkatkan intensitas cahaya (Purnamaningsih, 2002).

a

f g h

b dc

e

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 19: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

25

Melalui teknik embryogenesis somatik, bibit kakao dapat dihasilkan secara

cepat dan dapat diproduksi secara masal serta tidak merusak tanaman induk

(Purnamaningsih, 2002). Namun, untuk mengaplikasikan teknik ini dalam skala

besar untuk penyediaan bibit kakao measih mengalami kendala berupa tingkat

keberhasilan yang masih sangat rendah yaitu kurang dari 50 % (Winarsih et al.,

2003).

Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan teknik

embriogenesis somatik kakao, diantaranya dengan menggunakan berbagai jenis

eksplan dari tanaman kakao, beberapa medium dasar maupun penambahan zat

aditif ke dalam medium tanam.

Beberapa eksplan telah dujikan untuk menari jenis eksplan terbaik dalam

menginduksi embryogenesis somatik kakao. Ekplan embryo buah muda dari

beberapa genotipe kakao telah dicobakan dan hasilnya menunjukkan bahwa

persentase keberhasilannya masih rendah yaitu kurang dari 28 % (Dinarti, 1991).

Selain itu, eksplan kotiledon pernah digunakan Chantrapradist & Kanchanapoom

(1995), namun tidak terbentuk embrio dari kalus yang terbentuk.

Eksplan petala dan staminodia juga telah dicobakan untuk menginduksi

embryo somatik kakao dengan hasil yang lebih baik dari jenis eksplan yang lain

(Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010). Persentase keberhasilan embriogenesis

somatik kakao dengan menggunakan kedua jenis eksplan tersebut sangat

bervariasi tergantung genotipe yang digunakan yaitu 0 – 52 % (petala) dan 0 – 8,5

% (staminodia; Avivi et al., 2010). Hasil yang lebih baik dilaporkan oleh

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 20: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

26

Winarsih et al., (2003) dengan persentase keberhasilan 46,67 % (petala) dan 32,3

% (staminodia).

Upaya peningkatan keberhasilan induksi embryo somatik kakao juga telah

dilakukan dengan menggunakanbeberapa medium dasar seperti medium

Murashige & Skoog (MS; Alemanno et al., 1996) dan Driver Kuniyuki (DKW;

Maximova et al., 2002; Tan dan Furtek, 2004). Medium MS telah dicobakan

untuk meningkatkan keberhasilan embriogenesis somatik kakao. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa persentase keberhasilannya hanya sekitar 0 – 11,6 %

(Alemanno et al., 1996).

Medium lain yang juga pernah dicobakan dalam embriogenesis somatik

kakao yaitu DKW. Persentase keberhasilannya sekitar 4 – 70 % tergantung

genotipe yang digunakan sebagai eksplan (Maximova et al., 2002). Hasil ini lebih

baik jika dibandingkan dengan Tan & Furtek (2004) yang hanya mampu

menginduksi embrio dengan persentase keberhasilan berkisar 0 – 16,7 % (Tan &

Furtek, 2004).

Penambahan zat aditif ke dalam medium juga pernah dilakukan, diantaranya

yaitu penambahan 10 % air kelapa ke dalam medium hanya mampu menginduksi

embrio somatik denga persentase 0 – 11,67 % (Siregar, 1991) sedangkan

penambahan sulfat (K2S04 dan MgSO4) ke dalam medium mampu menginduksi

embrio dengan keberhasilan antara 0 – 55,6 % (Emile et al.,2008). Hasil ini lebih

kecil jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Minyaka et al., (2008)

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 21: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

27

dengan tingkat keberhasilan yang lebih baik, yaitu 5,77 % - 64,91 % tergantung

konsentrasi sulfat yang ditambahkan dan genotipe eksplan yang digunakan.

Salah satu faktor utama yang berperan dalam meningkatkan keberhasilan

embryogenesis somatik adalah pemilihan zat pengatur tumbuh dengan jenis dan

konsentrasi yang tepat (Lengkong, 2009).

2.5 Zat Pengatur Tumbuhan

Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik baik yang

disintesis oleh tumbuhan itu sendiri (hormon) maupun senyawa sintetik yang

dalam konsentrasi sangat rendah mampu mendukung, menghambat, atau

menimbulkan suatu respons fisiologis (Salisburry & Ross, 1995). Ada lima

kelompok ZPT yaitu sitokinin, auksin, giberelin, etilen, dan asam absisat. Setiap

ZPT mempunyai ciri khas dan pengaruh yang berbeda terhadap proses fisiologis

tanaman (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Salisburry & Ross, 1995).

Sitokinin merupakan senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel

pada jaringan tumbuhan, merangsang pembentukan pucuk, dan mengontrol

perkecambahan biji. Penambahan sitokinin ke dalam medium kultur jaringan

sangat penting karena mampu menginduksi pertumbuhan eksplan dan proliferasi

pucuk, tetapi aktivitas sitokinin juga dapat menghambat pembentukan dan

pertumbuhan akar sehingga sitokinin tidak digunakan untuk tahap perakaran pada

kultur jaringan tumbuhan. Sitokinin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan

yaitu kinetin, benziladenin, dan zeatin (Zulkarnain, 2009).

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 22: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

28

Auksin berfungsi meningkatkan pembelahan sel, pemanjangan sel, dan

pembentukan akar adventif. Penambahan auksin dengan konsentrasi tinggi ke

dalam medium kultur akan merangsang pembentukan kalus, sedangkan

penambahan auksin konsentrasi rendah akan meningkatkan pembentukan akar

adventif. Auksin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan diantaranya, 2,4-

dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), indole-3-acetic acid (IAA), dan α-

naftalenacetic acid (α-NAA; Zulkarnain, 2009).

Dalam kultur jaringan, giberelin berperan meningkatkan perkecambahan biji

dan pemanjangan pucuk. Sedangkan etilen menyebabkan penuaan pucuk-pucuk

muda tanaman sehingga akan menghambat pertumbuhan tanaman. Etilen jarang

digunakan dalam kultur jaringan karena tidak tahan panas sehingga tidak dapat

diautoklaf (Zulkarnain, 2009). Asam absisat jarang sekali digunakan dalam kultur

jaringan, namun menurut George dan Sherringtone (1984) dalam Zulkarnain

(2009), asam absisat dapat merangsang pembentukan embrioid dari kalus.

Salah satu ZPT yang biasa digunakan dalam kultur jaringan dari golongan

auksin adalah 2,4-Dichlorocfenoxyacetat acid (2,4-D) dan 6-furfuryl amino purine

(Kinetin) dari golongan sitokinin (Lestari, 2011).

2.5.1 2,4- Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D)

2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D; Gambar 2.9) merupakan zat

pengatur tumbuh golongan auksin sintetis dengan rumus kimia C8H6Cl2O3 dengan

berat molekul 221,04 g mol-1 (Kartikasari, 2013). ZPT ini bersifat stabil dan tidak

mudah mengalami kerusakan oleh cahaya maupun pemanasan saat sterilisasi

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 23: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

29

(Hendaryono dan Wijayani, 1994; Rahayu et al., 2002). 2,4-D dapat

meningkatkan sintesis protein, memacu pembelahan dan pembesaran sel serta

memacu pembentukan kalus (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Rahayu et al.,

2002; Lestari, 2011). 2,4-D merupakan auksin yang paling efektif untuk

menginduksi kalus embriogenik (Purnamaningsih, 2002).

Gambar 2.10 Rumus bangun 2,4 – D (Salisburry & Ross, 1995)

Penelitian tentang penggunaan 2,4-D dalam menginduksi embriogenesis

somatik tanaman telah banyak dilaporkan, diantaranya adalah pengaruh

pemberian 2,4-D pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq; Sumaryono

et al., 2007), jati (Tectona grandis, L; Armaniar, 2002), dan kopi arabika (Coffea

arabica; Oktavia et al., 2003).

Penggunaan 2,4-D terhadap embriogenesis somatik kakao juga sudah

banyak dilakukan. Avivi et al., (2010) melaporkan penambahan 2,4-D dengan

konsentrasi 9 x 10-6 M dapat menginduksi embrio dengan persentase keberhasilan

berkisar 0,9 – 52 % pada eksplan petala dan 0 – 8,5 % pada eksplan staminodia.

Pada penelitian tersebut Avivi et al., (2010) menggunakan medium dasar MS

untuk menginduksi pembentukan embryo somatik. Penelitian serupa juga

dilakukan oleh Winarsih et al., (2003) dengan menggunakan medium dasar

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 24: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

30

maupun konsentrasi 2,4 - D yang sama pula. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa persentase keberhasilan induksi embryo masih cukup rendah, yaitu 46,67

% pada eksplan petala serta 32,33 % pada eksplan staminodia. Namun, penelitian

yang lain menunjukkan bahwa penambahan 2,4-D sebesar 4 x 10-7 M ke dalam

medium tanam tidak mampu menginduksi pembentukan embryo somatik kakao

dari eksplan petala dan staminodia. Pada penelitian tersebut digunakan medium

dasar DKW (Tan & Furtek, 2004).

Keberhasilan yang rendah pada penggunaan 2,4-D dalam menginduksi

embrio somatik kakao tersebut terjadi karena belum ditemukannya konsentrasi

2,4-D yang tepat untuk ditambahkan ke dalam medium tanam, sehingga dalam

penelitian ini diujikan beberapa konsentrasi 2,4-D yang tepat untuk menginduksi

kalus dan embrio somatik kakao.

2.5.2 6-Furfuryl amino purine (Kinetin)

Kinetin adalah zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin sintetik yang

mengandung karbon dan hidrogen tinggi dengan rumus kimia C10H9N5O dengan

berat molekul 215,2 g mol-1 (Gambar 2.10; Amasino, 2005). Kinetin merupakan

ZPT yang berfungsi memacu pembelahan sel, menunda penuaan pada tanaman,

dan memacu perkembangan kloroplas dan sintesis klorofil (Salisburry & Ross,

1995) serta merangsang pertumbuhan tunas (Lestari, 2011).

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 25: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

31

Gambar 2.11 Rumus bangun kinetin (Salisburry & Ross, 1995).

Penelitian tentang pengaruh kinetin terhadap embriogenesis somatik

berbagai tanaman telah banyak dilaporkan, diantaranya adalah pengaruh

pemberian kinetin terhadap embriogenesis pada bawang merah (Allium cepa;

Hellyanto, 2008); jati (Tectona grandis; Armaniar, 2002); dan kelapa sawit

(Elaeis guineensis Jacq.; Sumaryono et al., 2007).

Kemampuan kinetin dalam meningkatkan keberhasilan induksi embrio

somatik tersebut diduga karena kinetin memiliki cincin adenin yang merupakan

suatu basa purin yang terdapat pada asam nukleat sehingga kinetin diduga

berperan penting dalam metabolisme asam nukleat maupun sintesis protein. Selain

itu, kinetin juga mampu merangsang pembelahan sel, pembesaran sel, dan

meningkatkan volume sel (Wattimena, 1987).

Penelitian tentang pengaruh kinetin terhadap keberhasilan induksi embrio

somatik pada tanaman kakao secara in vitro sudah banyak dilakukan, di antaranya

yaitu penambahan 1 x 10-6 M kinetin ke dalam medium MS telah dicobakan oleh

Alemanno et al., (1996). Hasil penelitian menunjukkan persentase

keberhasilannya masih sangat rendah yaitu 0 – 11,6 %, sedangkan penambahan

4,6 x 10-7 M kinetin ke dalam medium DKW yang ditambah dengan vitamin MS

(Murashige Skoog’s vitamin) menginduksi embrio somatik dengan persentase

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013

Page 26: 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA yang berasal dari daerah ...repository.ump.ac.id/6941/3/BAB II.pdf · sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010)

32

yang juga masih sangat rendah (4,4%). Selain itu juga dilaporkan bahwa

penambahan kinetin yang dikombinasikan dengan ZPT lain seperti 2,4-D dan

NAA (Naftalen acetat acid) justru menginduksi embrio dengan tingkat

keberhasilan kurang dari 4% (Tan & Furtek, 2004). Oleh karena itu, dalam

penelitian ini akan digunakan kinetin untuk meningkatkan keberhasilan induksi

embriogenesis somatik kakao.

Pengaruh Kinetin Terhadap..., Puji Rahayu, FKIP, UMP, 2013