66800741-efek-obat-ototoksik
TRANSCRIPT
Efek-efek Obat Ototoksik
Golongan Obat Yang Memiliki Efek Ototoksik :`
1. Golongan Aminoglikosida
a. Streptomisin
Obat ini utamanya berefek vestibulotoksik sehingga menyebabkan vertigo
sebelum tedadinya tinnitus dan gangguan pendengaran. Efek ototoksik dan nefrotoksik
terjadi bila diberikan dalam dosis besar dan lama. Penggunan 1 gram perhari obat ini
selama 10 hari tidak menyebabkan sindrom vestibular. Penggunaan 2 gram perhari
selama 14 hari dilaporkan menyebabkan sindrom vestibules pada 60 – 70 % pasien atau
pada pasien yang mendapatkan dosis total 10-12 gr dapat mengalami hal diatas. Hingga
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan audiometri basal dan berkala pada meraka
yang mendapatkan obat ini.
Ototoksik sangat tinggi terjadi pada kelompok usia 65 tahun dan pada orang
hamil tidak boleh melebihi dosis total 20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilan untuk
mencegah ketulian pada bayi (tuli congenital).
Temuan histologik efek ototoksik streptomisin adalah sebagai berikut :
o Kehilangan sel rambut bagian luar secara terpencar di lengkung basal atas
koklea.
o Kerusakan berat pada epitel sensoris Krista semua saluran
o Stereosilia di dalam ampula saluran mengalami pembengkakan clan
diameternya menjadi dua kali lebih besar.
b. Dihidrostreptomisin
Dihidrostreptomisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang berat dan
tidak menentu bahkan sampai setelah 2 bulan setelah dihentikan. Ketulian tidak bisa,
diramalkan serta tidak bergantung pada dosis obat yang diberikan. Karena efek
ototoksiknya yang besar serta kegunaannya yang tidak lebih bagus daripada
streptomisin, obat ini telah ditarik dari peredaran di Amerika Serikat.
c. Neomisin
Penyerapan neomisin tidak terlalu bagus bila diberikan secara oral maupun
topikal. Walaupun demikian obat ini tetap diberikan secara tetes telinga karena efek
ototoksik yang rendah. Tetapi penggunaan berulang pada jaringan yang meradang dapat
menyebabkan tuli yang irreversibel. Dosis parenteral 5 - 8 gram neomisin lebih dari 4 - 6
hari dapat menyebabkan tinnitus dan tuli ireversibel. Gangguan pendengaran
dihubungkan dengan nilai diskriminasi percakapan rendah. Neomisin, streptomisin dan
kanamisin dibersihkan lebih lambat dari perilimfe dari bagian tubuh lainnya,
menyebabkan efek ototoksik yang tertunda dan terjadi 1-2 minggu setelah obat
dihentikan.
Penemuan histologik pada efek ototoksik neomisin AMA :
o Kerusakan sel rambut bagian luar dan bagian dalam
o Kerusakan parsial sel pilar
o Atropi parsial stria vaskularis
o Kehilangan sedikit sel Deiter dan sel Hensen
o Makula dan Krista biasanya normal.
d. Gentamisin
Gentamisin, seperti juga streptomisin lebih mengenai vestibuler dari pada
auditorik. Kadar efektif untuk infeksi sedang dan berat adalah 6-8 ug/ml, untuk
infeksi gawat 8-10 ug/m dan kadar toksik potensial lebih dari 10-12 ug/ml. Dosisnya
disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal, lanjut usia, kegemukkan, sepsis, gagal
jantung, luka bakar, dialisis dan neonatus.. Pada sebuah penelitian diketahui bahwa
gentamisin menyebabkan efek ototoksik sebesar 10 -15 %.
e. Kanamisin
Efek ototoksik kanamisin tidak seberat neomisin, tetapi seperti halnya neomisin,
efeknya terutama pada koklea. Kanamisin menyebabkan gangguan pendengaran
sensorineural. Diantara obat-obat aminoglikosida, kanamisin paling sering menyebabkan
kerusakan koklea unilateral.
Penemuan histologik efek ototoksik kanamisin adalah :
o Kerusakan sel-sel rambut bagian dalam dan luar
o Sering tidak menyebabkan perubahan sel penyokong
o Krista saluran semisirkuler normal, oleh karena itu degenerasi neural tidak
signifikan.
f. Aminoglikosida Lainnya
Efek ototoksik tobramisin sama dengan kanamisin. Tobramisin tersedia sebagai
larutan 80 mg/2 ml untuk suntikkan IM. Untuk infus dilarutkan dengan dekstrose 5 %
atau larutan NaCL yang diberikan dalam 30-60 menit. Tidak boleh diberikan dalam 10
hari dengan dosis untuk orang dewasa dan anak-anak dengan dehidrasi 0,75-1,5
mg/KgBB, normal 1-2 mg/kgBB dan neonatus 2-2,5 mg/kgBB. Dosis penunjang
tobramisin dewasa degang fungsi ginjal normal 1-2 mg/kgBB setiap 6-12 jam, gangguan
fungsi ginjal 1-1,5 mg/kgBB setiap 12-48 jam, anak-anak fungsi ginjal normal 1-2
mg/kgBB setiap 4-8 jam, gangguan fungsi ginjal 1-1,5 mg/kgBB setiap 8-48 jam dan
neonatus 2-2,5 mg/kgBB setiap 8-24 jam. Kadar efekti untuk infeksi sedang dan berat
adalah 6-8 ug/ml, untuk infeksi gawat 8-10 ug/m dan kadar toksik potensial lebih
dari 10-12 ug/ml. Dosisnya disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal, lanjut usia,
kegemukkan, sepsis, gagal jantung, luka bakar, dialisis dan neonatus.
Amikasin memiliki efek toksik yang ringan terhadap vestibular dan lebih
rendah efek ototoksiknya daripada gentamisin. Obat ini tersedia untuk suntikan IM
dan IV dalam vial berisi 100,250, 500, 1.000 dan 2.000mg. Dosis awal lazim yang
digunakan pada dewasa dan anak dengan dehidrasi 5-7,5 mg/kgBB, normal 7,5
mg/kgBB dan neonatus 10 mg/kgBB. Kadar efektif dalam serum untuk infeksi sedang
berat 20-25 ug/ml, infeksi berat 25-30 mg/ml dan kadar dalam plasma yang berpotensi
menimbulkan toksik lebih dari 32 ug/ml. Adanya gangguan pada fungsi ginjal
memerlukan pengurangan dosis dan perpanjangan interval waktu antara dosis dengan
berpedoman pada kadar efektif didalam darah yang berkisar antara 5-10 ug/ml sampai
20-25 ug/ml.
2. Antibiotik Lain
a. Eritromisin
Dosis lebih dari 4 gram/hari meningkatkan efek ototoksik, gejalanya umurnnya
terlihat dalam 4 hari dan biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah pengobatan
dihentikan.
Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga tengah adalah kurang
pendengaran subjektif, tinnitus yang meniup dan kadang-kadang vertigo. Tuli
sensorineural pernah dilaporkan terjadi pada anak-anak maupun dewasa, terjadi tuli
sensorineural nada tinggi dan tinnitus setelah pemberian intra verna dosis tinggi atau
secara oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah obat dihentikan.
b. Vankomisin
Beberapa gejala yang sering muncul pada ototoksik pada umumnya adalah tinitus
dimana ini terjadi pada pasien dengan konsentrasi serum vankomisin yang tinggi pada
gagal ginjal atau pada pasien yang mendapatkan terapi aminoglikosida secara bersamaan,
digunakan dalam waktu yang lama, dan dalam dosis yang besar.
Karena sangat toksik, obat ini hanya digunakan bila penderita alergi terhadap obat
yang lain lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang fatal karena itu perlu
pemeriksaan audiogram dan faal ginjal secara teratur, lebih lebih bila berlangsung dalam
1 minggu. Obat ini tersedia dalam bubuk 500 mg untuk pemberian IV. Dosis untuk
dewasa 2-4 gr/hari yang dibagi dalam beberapa pemberian dan untuk anak 40
mg/kgBB/hari. Dosis ini diberikan dengan dilarutkan dalam 100-200 ml NaCL atau
dekstrose 5 % yang diberikan IV secara perlahan-lahan, kadar puncak terapeutik
vankomisin 25-40 mg/mL, kadar normal 5-12 mg/mL dan efek toksik terjadi saat kadar
vankomisin mencapai > 80 mg/mL (SI: > 54mmol/L).
3. Golongan Diuretika
a. Furosemid
Efek ototoksik tampak pada sistem dari penghambatan sodium-pomsium ATPase
koklear, menyebabkan perubahan komposisi elektrolit endolimfe. Gangguan pendengaran
pada asam etakrinat dan furosemid umumnya sementara tapi dapat juga bersifat
permanen. Efek ototoksik bumetanide lebih rendah dari diuretik lainnya.
Furosemid pada dosis tinggi seharusnya diberikan selama beberapa menit
untuk meminimalisir efek ototoksiknya. Perubahan komposisi elektrolit endolimfe yang
disebabkan oleh obat sangat unik untuk jenis obat ini.
b. Asam Etakrinat
Asam etakrinat menyebabkan kerusakan lapisan pertengahan stria vaskuler
dan sel rambut bagian luar dari organ Corti, lebih parah pada lengkung basal. Gangguan
pendengaran dapat sementara maupun permanen. Ototoksik berhubungan dengan
pemberian cepat secara IV, kerusakan ginjal, dosis besar, dan penggunaan dengan obat
ototoksik lain. Insidensi lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaa loop diuretik.
Pemberian secara IV harus diencerkan dengan D5W or NS (1 mg/mL) dan dilakukan
melalui infus selama beberapa menit. Efek sementara dapat merupakan sekunder dari efek
pada enzim-enzim respirasi (succinate dehidrogenase dan ATPase) dalam organ Corti dan
stria vaskuler. Kandungan Sodium endolimfe berkurang. Gejala yang timbal berupa
tuli, tinnitus dan vertigo.
4. Golongan Salisilat
Salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensori neural frekuensi tinggi,
bilateral dan tinnitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih dan
tinnitus akan hilang. Keracunan salisilat yang berat dapat menimbulkan kematian, tetapi
umumnya keracunan salisilat bersifat ringan. Gejalanya adalah nyeri kepala, pusing,
tinnitus, gangguan pendengaran, penglihatan kabur, rasa bingung, cemas, rasa kantuk,
banyak keringat, haus, mual dan muntah.
5. Anti-Malaria
Efek ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran sensorineural dan
tinitus. Kuinin dapat menyebabkan sindroma berupa gangguan pendengaran
sensorineural, tinnitus dan vertigo. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya
pendengaran akan pulih dan tinitusnya akan hilang. Studi terbaru menyatakan bahwa
kuinin mengganggu motilitas sel-sel rambut. Pada pemakaian klorokuin pada dosis tinggi
(lebih dari 250 mg sehari) atau penggunaan lama (diatas 1 tahun), efek sampingnya lebih
hebat, yaitu rambut rontok, tuli menetap, dan kerusakan menetap.
Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada
laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karana pengobatan malaria
waktu ibu sedang hamil.
6. Anti-Kanker
Walaupun obat anti kanker pernah dilaporkan bersifat ototoksik, obat-obatan
tersebut sangat jarang ditemukan sebagai satu-satunya penyebab gangguan vestibuler.
Cisplatin adalah anti kanker yang paling luas penggunaannya, namun sayangnya bersifat
kokleotoksik dan nefrotoksik. Toksisitas cisplatin sinergis dengan gentamisin dan pada
dosis tinggi cisplatin telah dilaporkan dapat menyebabkan tuli total. Pada binatang
percobaan, ototoksisitas cisplatin berhubungan dengan peroksidasi lipid. Carpolatin dan
cisplatin diklasifikasikan sebagai ankylating agents, keduanya merusak sel-sel kanker
(dan beberapa sel tubuh yang sehat juga ikut rusak) dengan cara merusak DNA dari sel
tersebut.
Gejala yang ditimbulkan cisplatin sebagai ototoksisitas adalah tuli subjektif,
tinnitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan. Tuli
biasanya bersifat bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz dan 8 KHz, kemudian
pada frekuensi yang lebih rendah. Tinnitus biasanya samar-samar, bila tuli ringan
maka akan pulih pada penghentian pengobatan, tetapi bila tulinya berat biasanya
menetap.
7. Obat Topikal Telinga
Banyak obat tetes tel inga mengandung antibiotika golongan
aminoglikosida seperti neomisin dan polimiksin B, keduanya memiliki efek neurotoksik
dan nefrotoksik. Obat-obatan tersebut menjadi ototoksik bila diberikan pada pasien
dengan perforasi membran timpani. Neomisin tetes telinga pernah dilaporkan
mengakibatkan hilangnya pendengaran yang relatif. Seharusnya obat tetes telinga
golongan aminoglikosida digunakan terhadap infeksi telinga luar.
Terjadinya ketulian oleh karena obat Nomisin dan polimiksin B terjadi
karena obat tersebut dapat menembus tingkap bundar. Walaupun membran tersebut pada
manusia lebih tebal 3 kali dibandingkan pada Baboon (yaitu sekitar +/- > 65 mikron,
tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obatan tersebut.
Derivat-derivat Penisilin seperti ticarsilin memiliki efek antibakterial yang kuat
tetapi juga ototoksik. Florokuinolon, siprofloksasin dan ofloksasin aktif dalam membasmi
bakteri yang mengakibatkan OMSK. Uji klinik dan uji pada hewan
menyebutkan bahwa siprofloksasin dan ofloksasin tidak memiliki bukti yang
signifikan menyebabkan ototoksik. Ofloksasin topikal biasanya dikombinasikan dengan
Cortisporin Otic Suspension (COS) dan obat tetes mata gentamisin. Sel rambut utama
dapat rusak yang disebabkan oleh COS dengan kehilangan sekitar 65%. Ofloksasin
meskipun diberikan tiga kali sehari tidak menghasilkan kerusakan koklear yang berarti.
8. Obat Lainnya
Obat anti impotensi dicurigai menyebabkan efek ototoksik. Badan
Pengawas Obat di Amerika Serikat (FDA) bulan Oktober 2007 telah
mengeluarkan peringatan adanya efek samping obat -obatan tersebut, yakni
bisa menyebabkan gangguan pendengaran.
Kendati belum ditemukan kaitan pasti antara obat anti impotensi
dengan gangguan pendengaran, namun FDA tetap memutuskan mengeluarkan
peringatan tersebut. Pasalnya, sejak tahun 1996 telah ada 29 laporan yang
masuk dari para pasien. Selain obat anti impotensi, obat darah tinggi,
Revatio, juga dilaporkan memiliki efek samping sama, mengingat obat,
tersebut memiliki bahan aktif yang sama dengan viagra.
Sejauh ini laporan yang masuk menyebutkan gangguan pendengaran terjadi
pada satu telinga dan sepertiga kasus hanya bersifat sementara. FDA juga
meminta agar mereka yang mengalami gejala gangguan pendengaran segera
memeriksakan diri ke dokter.