61585386 perikoronitis pada impaksi gigi molar ketiga rahang bawah case report
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Masalah yang sering dialami gigi molar 3 adalah kesulitan erupsi. Kondisi
ini disebut impaksi. Gigi terhalang oleh gigi depannya (molar dua) atau jaringan
tulang / jaringan lunak yang padat disekitarnya. Kemungkinannya, gigi bisa
muncul sebagian atau tidak bisa erupsi sama sekali. Kalaupun muncul, erupsinya
salah arah atau posisinya tidak normal.
Posisi impaksi gigi molar ketiga bisa bermacam-macam, ada yang miring
ke depan, vertical dan muncul sebagian, serta terpendam horizontal atau vertical.
Semua itu tergantung letak dan posisi gigi molar ketiga terhadap rahang dan molar
kedua, serta kedalamannya tertanam terhadap molar kedua. Tidak jarang dalam
pertumbuhannya molar ketiga ini menimbulkan infeksi pada jaringan lunak
sekitarnya yang menimbulkan suatu keadaan yang dinamakan perikoronitis.
DEFINISI
Perikoronitis merupakan suatu keradangan pada jaringan lunak
perikoronal (operculum) yang bagian paling besar / utama dari jaringan lunak
tersebut berada diatas / menutupi mahkota gigi. Gigi yang paling sering
mengalami perikoronitis adalah pada gigi molar ketiga mandibula. Infeksi yang
terjadi disebabkan oleh adanya mikroorganisme dan debris yang terperangkap
diantara mahkota gigi dan jaringan lunak diatasnya.
Perikoronitis terjadi dari kontaminasi bakteri dibawah operculum,
mengakibatkan pembengkakan gingiva, kemerahan dan halitosis. Timbulnya sakit
merupakan salah satu variabel, tetapi ketidaknyamanan yang dirasa biasanya
mirip dengan gingivitis, abses periodontal dan tonsilitis. Sering timbul gejala
limphadenopati regional, malaise, dan demam. Jika edema atau selulitis meluas
mengenai otot masseter maka sering disertai trismus. Perikoronitis sering kali
diperparah oleh sakit yang ditimbulkan oleh trauma dari gigi antagonisnya selama
proses menutup mulut.
Perikoronitis merupakan suatu kondisi yang umum terjadi pada molar
impaksi dan cenderung muncul berulang bila molar belum erupsi sempurna.
1
Akibatnya, dapat terjadi destruksi tulang diantara gigi molar dan geraham
depannya.
Council members of The Asian Oral and Maxillofacial Surgery
menyatakan bahwa gigi yang tumbuh sebagian menyebabkan timbunan makanan,
plak dan debris lain pada jaringan sekitar gigi, sehingga menyebabkan inflamasi
dan tenderness pada gingiva dan bau mulut yang tidak enak, disebut perikoronitis.
Dalam keterangannya, perikoronitis merupakan inflamasi (peradangan) di sekitar
mahkota gigi. Perikoronitis terjadi pada tahap erupsi saat folikel gigi terbuka dan
berkontak dengan cairan rongga mulut. Folikel gigi terbentuk dari cementoblas
(yang membentuk sementum gigi)
Penderita perikoronitis biasanya mengeluh kesakitan yang tidak
tertahankan dan seringkali menyebabkan perasaan yang kurang nyaman pada saat
membuka mulutnya, dengan membuka mulut pasien akan merasa semakin terasa
sakit. Pasien mengeluh nafsu makannya menjadi berkurang dikarenakan lebih
terasa sakit bila tersentuh dan mengunyah makanan. Rasa sakit yang idiopatik
merupakan rasa sakit molar yang sedang erupsi atau rasa sakit yang menyebar ke
bagian leher dan kepala. Pasien sering mengeluh sakit meski kadang secara klinis
dan rongent tidak ada yang tidak normal. Kecuali adanya gigi impaksi tertanam.
Perikoronitis dapat bersifat akut dan kronis. Gejala utama pada tahap akut
adalah rasa nyeri sedangkan perikoronitis kronis hanya menunjukkan sedikit
gejala. Eksudat dapat terjadi pada kedua tahap ini. Gejala pada tahap awal
mungkin tidak berbeda dengan gejala pada proses tumbuh gigi. Pertama kali
individu menyadari tumbuhnya gigi atau area di sekitar gigi kemudian timbul rasa
sedikit tidak nyaman yang dirasakan semakin bertambah parah karena area
retromolar tergigit atau tertekan.
Tahap berikutnya timbul nyeri dan terbatasnya gerakan rahang. Hal ini
disebabkan oleh stimulasi reseptor syaraf nyeri, namun bisa juga karena stimulasi
otot terdekat yaitu otot temporalis. Oleh karena itu observasi menggunakan
elektromiograf diperlukan pada kondisi seperti ini.
Daerah yang terinfeksi terlihat ginggiva yang hiperemi, bengkak, dan
mengkilat daripada daerah gingiva yang lain. Kadang sudah timbul pus, disebut
2
perikoronal abses, pus dapat keluar melalui marginal. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tanda-tanda keradangan yaitu:
1. rubor : permukaan kulit atau mukosa kemerahan akibat vasodilatasi dan
proliferasi pembuluh darah.
2. tumor : pembengkakan, terjadi karena akumulasi pus atau keluarnya plasma
ke jaringan.
3. calor : teraba hangat saat palpasi karena terjadi peningkatan aliran darah ke
area infeksi
4. dolor : terasa sakit karena adanya stimulasi ujung syaraf oleh mediator
inflamasi
5. fungsiolasea : terdapat masalah dengan proses mastikasi, trismus, disfagia, dan
gangguan pernafasan.
Pemeriksaan fisik dimulai dari ekstra oral, lalu berlanjut ke intra oral.
Dilakukan pemeriksan itegral (inspeksi, palpasi, perkusi) kulit wajah, kepala,
leher, apakah ada pembengkakan, fluktuasi, eritema, pembentukan fistula dan
krepitasi subkutaneus. Dilihat adakah limfadenopati leher, keterlibatan ruang
fascia, trismus dan derajat dari trismus. Kemudian diperiksa gigi, adakah gigi
yang karies, kedalaman karies, vitalitas gigi, lokasi pembengkakan, fistula dan
mobilitas gigi.
Pemeriksaan penunjang yang bisa membantu menegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan kultur, foto rongent dan CT scan (bila diperlukan). Bila
infeksi odontogen hanya terlokalisir di dalam rongga mulut, tidak memerlukan
3
pemeriksaan CT scan, foto rongent panoramik sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis. CT scan harus dilakukan bila infeksi telah menyebar ke dalam ruang
fascia di daerah mata atau leher.
FAKTOR PENYEBAB
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan gigi mengalami impaksi. Karena
jaringan sekitarnya yang terlalu padat, adanya retensi gigi susu yang berlebihan,
tanggalnya gigi susu terlalu awal. Bisa juga karena tidak adanya tempat untuk
erupsi. Rahang sempit dikarenakan pertumbuhan tulang tulang yang kurang
sempurna.
Teori lain mengatakan pertumbuhan rahang dan gigi mempunyai tendensi
bergerak maju ke arah depan. Apabila pergerakan ini terhambat oleh sesuatu yang
merintangi, bisa terjadi impaksi gigi. Misalnya, karena infeksi, trauma, malposisi
gigi, atau gigi susu tanggal sebelum waktunya.
Menurut teori Mendel, pertumbuhan rahang dan gigi dipengaruhi oleh
faktor keturunan. Jika salah satu orang tua (ibu) mempunyai rahang kecil, dan
bapak bergigi besar-besar, ada kemungkinan salah seorang anaknya berahang
kecil dan bergigi besar-besar. Akibatnya, bisa terjadi kekurangan tempat erupsi
gigi molar ketiga dan terjadilah impaksi. Sempitnya ruang erupsi gigi molar ketiga
biasa terjadi karena pertumbuhan rahang yang kurang sempurna. Hal ini bisa
karena perubahan pola makan. Manusia sekarang cenderung menyantap makanan
lunak, sehingga kurang merangsang pertumbuhan tulang rahang. Makanan lunak
yang mudah ditelan menjadikan rahang tak aktif mengunyah. Sedangkan makanan
banyak serat perlu kekuatan rahang untuk mengunyah lebih lama. Proses
pengunyahan lebih lama justru menjadikan rahang berkembang lebih baik. Seperti
diketahui, sendi-sendi di ujung rahang merupakan titik tumbuh atau
berkembangnya rahang. Kalau proses mengunyah kurang, sendi-sendi itu pun
kurang aktif, sehingga rahang tidak berkembang dengan semestinya. Rahang yang
harusnya cukup untuk menampung 32 gigi menjadi sempit. Akibatnya gigi molar
ketiga yang erupsi terakhir tidak cukup tempat untuk tumbuh.
4
Pada anamnesis, didapatkan pasien merasa sakit gigi, rahang bengkak.
Frekuensi dan lamanya serta riwayat pengobatan perlu ditanyakan untuk
menentukan tatalaksana. Dalam pemeriksaan fisik perlu diperiksa, apakah infeksi
telah mempunyai gejala sistemik dan adakah keterlibatan penyakit sistemik yang
memperburuk keadaan infeksi. Selain itu penggalian tentang fungsi dari organ-
organ kepala-leher perlu dilakukan untuk mengetahui penyebaran dari infeksi.
Jumlah dan virulensi organisme mempunyai peran besar di tingkat dan
luasnya penyebaran melalui ruang fascial. Contohnya Streptococcus
menghasilkan enzim streptokinase dan hyaluronidase, yang memecah fibrin dan
substansi dasar dari jaringan penyambung host, memfasilitasi pemotongan melalui
jaringan sebagai sellulitis. Host yang imunokompromise tidak dapat menjaga
pertahanan efektif melawan masuknya organisme.
Infeksi odontogenik dapat berasal dari dua jalur, yaitu periapikal, sebagai
hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal, dan periodontal
sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal pocket. Dan yang paling
sering terjadi adalah melalui jalur periapikal. Jalur periapikal terjadi dari penyakit
pulpa gigi, yang mengandung elemen neurovaskular gigi. Invasi bakteri di pulpa
gigi ini menghasilkan nekrosis dari jaringan neurovaskular. Infeksi akan
menyebar dari cancellous bone hingga ke lempeng kortikal. Jika lempeng kortikal
ini tipis, maka infeksi akan menembus tulang dan mengenai jaringan lunak.
Pertahanan lokal host, jumlah dan virulensi bakteri, serta anatomi regional
menentukan patogenesis. Sedangkan pada jalur periodontal, proses inflamasi
terjadi ketika virulensi bakteri melebihi pertahanan lokal host atau benda asing
yang tersangkut di sulkus ginggiva. Bakteri dan eksudat inflamasi meluas dari
sulkus ginggiva melalui ligamen periodontal ke periapikal atau area radikular akar
gigi dan menunjukkan reaksi yang sama dengan infeksi gigi periapikal. Produk
inflamasi ini dapat juga memotong bidang supraperiosteal ke dalam vestibula oral
atau memotong bidang subperiosteal ke dalam ruang badan mandibula.
5
LAPORAN KASUS 1
Pasien perempuan berusia 20 tahun datang ke Rumah Sakit Gigi dan
Mulut FKG UNEJ dengan keluhan utama sakit dan bengkak pada gusi belakang
bawah kiri. Pasien memiliki riwayat sakit pada gusi belakang bawah kiri sekitar 1
tahun yang lalu, kemudian sembuh tanpa diobati. Satu minggu yang lalu sakit
yang sama kambuh kembali, semalam pasien merasa sakit yang semakin parah
pada gusi belakang bawah kiri disertai demam, kemudian pasien berobat ke
perawat gigi dan diberi resep amoxicillin, asam mefenamat, dan paracetamol.
Namun karena masih sakit, keesokan harinya pasien datang ke klinik bedah mulut
RSGM UNEJ. Keadaan sekarang sakit dan bengkak pada gusi belakang bawah
kiri serta sakit saat membuka mulut.
6
Pada pemeriksaan objektif, palpasi ekstra oral didapatkan kelenjar
submandibula teraba kenyal dan sakit, tidak ada pembengkakan ekstra oral.
Pemeriksaan intra oral, gigi molar tiga bawah kiri impaksi sebagian, angulasi
vertikal, kedalaman level A, relasi terhadap ramus molar dua kelas II. Pada
pemeriksaan jaringan lunak regio molar tiga bawah kiri, terdapat jaringan lunak
yang menutupi distal dan oklusal mahkota gigi molar tiga bawah kiri (operkulum),
pada jaringan perikoronal bengkak, kemerahan, palpasi lunak, permukaan halus,
nyeri tekan. Pada foto panoramik, terdapat radiolusen pada distal gigi molar tiga
bawah kiri.
Pasien didiagnosa perikoronitis akut pada molar tiga bawah kiri oleh
karena impaksi sebagian. Terapi yang diberikan adalah drainase, irigasi dengan
aquadest steril dan H202 3%, dan melanjutkan obat yang telah diminum. Delapan
hari kemudian pasien kontrol, bengkak dan rasa sakit sudah hilang, jaringan
perikoronal kemerahan, didiagnosa perikoronitis kronis pada gigi molar tiga
bawah kiri oleh karena impaksi sebagian, rencana perawatan berikutnya adalah
odontektomi dengan anastesi lokal. Kontrol post odontektomi, pasien tidak ada
keluhan, jahitan telah dibuka dan luka telah menutup sempurna.
LAPORAN KASUS 2
Pasien laki-laki berusia 22 tahun dirujuk ke tim bedah mulut oleh dokter
giginya. Pasien mengalami riwayat trismus yang semakin parah dan sakit pada
7
daerah preaurikular dalam 2 hari ini. Sakitnya diperparah oleh menelan dan
berbicara hingga tidak dapat menelan benda padat. Berhubungan dengan riwayat
sebelumnya demam, kaku dan berkeringat selama seminggu yang lalu, nyeri sendi
yang hilang-timbul pada tulang leher dan bahu dan menurunnya berat badan
sekitar 6 Kg dalam periode lebih dari 2 bulan.
Rasa sakit menengah saat menelan pada sudut kiri mandibulanya telah
terjadi selama 10 minggu. Pasien sudah diresepkan erythromycin dan
metronidazole oral (karena sensitif terhadap penicillin). Riwayat pengobatannya
tidak mengalami progress yang baik.
Pada pemeriksaan di bagian gawat darurat, pasien pucat dengan
temperatur 36,8°C. Pembengkakan lunak dan halus menetap dengan
diameter 2 cm. kelenjar limfe teraba pada sudut mandibula kiri.
Dia juga mengalami trismus yang parah, dengan maksimal jarak
antar insisal sekitar 1 cm. Pada palpasi tidak ditemukan
lymphadenopathy di tempat lain atau hepatosplenomegaly. Gigi
molar ketiga kiri bawahnya erupsi sebagian, namun tidak
ditemukan tanda yang berhubungan dengan infeksi intraoral.
Sebuah foto panoramic menunjukkan gigi tersebut impaksi
mesioangular. Tes darah menunjukkan protein c reaktif 185,
haemoglobin 13,4, sel darah putih 4,7, platelet 137, tes urea dan
elektrolit dan fungsi liver menunjukkan normal kecuali alanine
aminotransferase 69 (range normal 10 – 41).
8
Molar ketiga bawah kiri pasien telah diodontektomi dengan
general anastesi pada hari berikutnya. Tidak ada bukti infeksi
yang tercatat dan mengingat tentang gejala lainnya, aspirasi
dengan jarum pada pembengkakan kelenjar limfe leher juga
dilakukan. Hasil aspirasi tersebut menunjukkan monomorphic
lymphoid cells dengan inti besar disbanding rasio sitoplasma dan pola kromatin
yang lembut. Oleh karena itu eksisi kelenjar limfe segera dijadwalkan dan bentuk
imunohistologis dan mikroskopik tadi adalah leukemia limfoblastik akut dengan
sel B yang menetap. Pasien tersebut dirujuk ke tim haematology dan akan
menjalani chemotherapy dalam perawatannya.
DAFTAR BACAAN
Collin, Anand & McLennan. 2008. Acute leukaemia masquerading as lower third molar pericoronitis. Oral Surgery ISSN 1752-2471 : UK.
Micni, D & Rosseno, Y. “Gigi Geraham Bungsu, Perlukah Dicabut?” www.dentiadental.com.
9