61115589-kolesistitis-akut

Upload: viona-aprilia

Post on 11-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    1/22

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan

    kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar

    10 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya

    juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia

    tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada

    wanita wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat obat hormonal, insidensi

    kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan

    dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung

    empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk,

    insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah

    dibandingkan dengan negara negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien

    kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi

    menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien pasien di

    negara kita. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

    Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang

    memburuk secara progresif. Sekitar 60 70% pasien melaporkan adanya riwayat

    serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan,

    nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti

    kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula

    kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan

    penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami

    anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat

    mengganggu kualitas hidup pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

    Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai beberapa hal

    berkaitan dengan penyakit peradangan pada dinding kandung empedu ini serta

    terapi yang sesuai.

    -1-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    2/22

    BAB II

    KOLESISTITIS AKUT

    2.1. Definisi

    Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut

    dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan

    dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini

    masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    2.2. Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu

    Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan

    kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang

    lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri

    hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris

    interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar

    yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut

    sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari kandung

    empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang

    kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki

    duodenum melalui ampulla Vater (Price SA, et al, 2006). Anatomi duktus biliaris

    secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.

    Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi

    elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiri

    dari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7%

    kolesterol yang tidak diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin terkonjugasi,

    protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat atau hasil metabolisme lainnya..

    Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu yang memiliki kapasitas 50

    ml. Selama empedu berada di dalam kandung empedu, maka akan terjadi

    peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadinya proses reabsorpsi

    -2-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    3/22

    sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air

    sehingga terjadi penurunan pH intrasistik (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

    Gambar 1 : Anatomi duktus biliaris.

    (Sumber: Netter Atlas of Human Anatomy)

    Asam asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk

    dari kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi

    dan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan

    diekskresi ke dalam empedu. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit

    (sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak sepanjang duktulus

    empedu. Produksi empedu perhari berkisar 500 600 mL (Sudoyo W. Aru, et al,

    2009).

    Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen dalam mengemulsi

    lemak, membantu kerja enzim pankreas dan penyerapan lemak intraluminal.

    Asam empedu primer dapat dialirkan ke duodenum akibat stimulus fisiologis oleh

    hormon kolesistokinin (CCK) (meskipun terdapat juga peranan persarafan

    parasimpatis), dimana kadar hormon ini dapat meningkat sebagai tanggapan

    terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat. Adapun efek

    -3-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    4/22

    kolesistokinin diantaranya (1) kontraksi kandung empedu (2) penurunan resistensi

    sfingster Oddi (3) peningkatan sekresi empedu hati (4) meningkatkan aliran cairan

    empedu ke duodenum (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan

    direabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah portal

    dan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi ulang ke dalam

    empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar 20% empedu intestinal tidak

    direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri kolon menjadi

    asam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan 50% akan

    direabsorpsi kembali (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    2.3. Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis

    Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah

    stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.

    Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan

    sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut

    akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).

    Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan

    empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu

    menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia

    dan nekrosis dinding kandung empedu (Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme

    pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut,

    sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat

    mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan

    empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa

    dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.

    (Donovan JM, 2009).

    Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50

    sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak

    dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,

    Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin

    -4-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    5/22

    yang dihasilkan oleh organisme organisme tersebut dapat menyebabkan

    hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya

    menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu (Cullen

    JJ, et al, 2009)

    Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut

    (Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)

    -5-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    6/22

    Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko

    terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan

    trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang

    menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar

    nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat

    termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi,

    diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu

    (misalnyaLeptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi

    parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama

    dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler,

    sifilis, tuberkulosis, aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang

    mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu

    tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk

    mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu.

    (Sitzmann JV, et al, 2008).

    2.4. Tanda dan Gejala Klinis

    Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik

    perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan

    suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang

    kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung

    sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung

    dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi

    kandung empedu. Sekitar 60 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan

    yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

    Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan

    penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami

    anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan

    gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan

    fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada

    -6-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    7/22

    seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan

    membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan

    atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda

    Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

    Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan

    peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas

    sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus

    paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen

    biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20%

    kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi

    bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.

    Pada pasien pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan

    gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo

    W. Aru, et al, 2009).

    Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan

    dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien

    dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun

    sebelumnya tidak terdapat tanda tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien

    sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda tanda kolesistitis akut

    yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    2.5. Diagnosis Banding

    Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan

    peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien pasien yang

    dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus

    dipertimbangkan bila telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah

    terjadinya perburukan kondisi pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

    Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba tiba, perlu

    dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah

    diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus

    peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil

    -7-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    8/22

    kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan

    lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam

    nyawa ibu dan bayi (Yates MR, et al, 2009).

    2.6. Diagnosis

    Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas

    dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,

    demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang

    berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran

    ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5

    mol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami

    peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).

    Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan

    kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk

    menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada

    kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis.

    Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta

    leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu

    dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat

    memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus

    kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al,

    2009).

    Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis

    akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus

    pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3).

    Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila

    ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut.

    Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain)

    menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu (Towfigh S, et al, 2010)

    -8-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    9/22

    Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin

    dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding

    kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan

    ketepatan USG mencapai 90 95%. Adapun gambaran di USG yang pada

    kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding

    kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu

    empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).

    Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu batu empedu

    berukuran kecil

    (sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

    -9-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    10/22

    Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI

    dilaporkan lebih besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat

    ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4

    mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa

    yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT scan dapat memperlihatkan adanya

    abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada

    pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).

    Gambar 4 : CT scan abdomen, tampak batu batu empedu dan penebalan

    dinding kandung empedu.

    (sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

    Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n

    Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik

    ini tidak mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu, duktus

    biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan

    zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran

    -10-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    11/22

    kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat

    menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

    Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah

    45 menit. Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30

    menit

    (sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)

    Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat

    digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu

    empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani

    laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV, et al, 2009).

    Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda tanda kongesti

    pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran

    kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel sel

    inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang

    disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus kasus lanjut dapat

    ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).

    -11-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    12/22

    2.7. Tatalaksana

    2.7.1. Terapi konservatif

    Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis

    akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit

    sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki

    status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,

    obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian

    antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti

    peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan

    metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman kuman yang umum

    terdapat pada kolesistitis akut sepertiE. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun

    pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram

    negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al,

    2009).

    Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam

    dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole

    dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus kasus

    yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat

    mual dan muntah dapat diberikan anti emetik atau dipasang nasogastrik tube.

    Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan

    kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien pasien

    dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus

    dipastikan tidak demam dengan tanda tanda vital yang stabil, tidak terdapat

    tanda tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit penyakit lain

    yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,

    pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan

    Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Isselbacher,

    K.J, et al, 2009).

    -12-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    13/22

    2.7.2. Terapi bedah

    Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,

    apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 8 minggu

    setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 %

    kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini

    menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat

    dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya

    daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan

    menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih

    sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi

    (Wilson E, et al, 2010).

    Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu

    dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi

    kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada

    kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons

    terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi

    menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).

    Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani

    kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi

    bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis

    keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien

    yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan (Wilson E, et al, 2010).

    Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar

    pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas

    untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk

    kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari

    60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit

    pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau

    jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit

    -13-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    14/22

    berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase

    selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat

    dilakukan pada lain waktu (Mutignani M, et al, 2009)

    Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di

    Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat pusat

    bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari

    seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut

    Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam

    mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan

    dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan

    ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut

    kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif

    mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan

    angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di

    rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et al, 2008). Pada

    wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua

    trimester (Cox MR, et al, 2008)

    Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi

    diantaranya adalah:

    Resiko tinggi terhadap anastesi umum

    Tanda tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan

    peritonitis

    Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan

    Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem

    pembekuan darah (Wilson E, et al, 2010).

    2.8. Komplikasi kolesistitis

    2.8.1.Empiema dan hidrops

    -14-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    15/22

    Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan

    kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi

    empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman kuman pembentuk pus.

    Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga

    menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam

    tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan

    umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis

    gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai

    perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber

    PJ, et al, 2009).

    Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan

    berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam

    keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami

    peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang

    dihasilkan oleh sel sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba

    massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kanan

    atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering tetap

    asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi.

    Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi

    atau gangren (Gruber PJ, et al, 2009).

    2.8.2. Gangren dan perforasi

    Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis

    jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi

    berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi

    yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi

    perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis

    kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu HH, et al, 2009).

    Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang

    ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri

    pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses.

    -15-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    16/22

    Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien

    yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (Chiu

    HH, et al, 2009).

    Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian

    sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri

    kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami

    dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata (Chiu HH, et al,

    2009).

    2.8.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu

    Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung

    empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula

    dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika

    kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula

    enterik biliaris bisu/tenang yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi

    kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani

    kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan

    temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan

    kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin

    memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah

    menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada

    pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus

    koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang

    diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu

    tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada

    tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada

    katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal.

    Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris

    -16-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    17/22

    sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi

    (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi

    kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung

    empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos

    abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris

    dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal

    atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal).

    Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang

    lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu

    lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    2.8.4. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.

    Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu

    dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan

    opasifikasi empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi

    polos abdomen. Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis

    biasanya tidak berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau

    sering timbul pada kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu

    porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu

    yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto polos

    abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu

    porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan

    perkembangan karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    2.9. Komplikasi pascakolesistektomi

    2.9.1. Komplikasi dini

    Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan

    paru lainnya, pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan

    interna, fistula biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin

    -17-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    18/22

    mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat

    kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan

    darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi

    dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu

    kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat

    berhasil yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala

    pada 75 sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala

    pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang

    tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom

    pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian

    kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang

    menyebabkan gejala persisten. Apa yang disebut sebagai sindroma

    pascakolesistektomi mungkin disebabkan oleh (1) striktura biliaris, (2) batu

    empedu yang tertahan (3) sindroma tunggal (stump) duktus sistikus (4) stenosis

    atau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis atau diare akibat garam empedu

    (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    2.9.2. Sindroma tunggal duktus sistikus

    Tanpa batu yang tampak secara kolangiografik, gejala kelainan mirip kolik

    biliaris atau kolestitis pada pasien pascakolesistektomi ini sering diperkirakan

    disebabkan oleh gangguan pada sisa duktus sistikus yang panjang (>1 cm)

    (sindroma tunggal duktus sistikus). Namun, penelitian yang cermat

    memperlihatkan bahwa keluhan pascakolesistektomi pada hampir semua pasien

    yang kompleks gejalanya semula diduga timbul akibat adanya tunggal duktus

    sistikus yang panjang juga dapat disebabkan oleh sebab lain. Dengan demikian,

    perlu dilakukan pemeriksaan cermat mengenai faktor lain yang menyebabkan

    gejala pascakolesistektomi sebelum menyatakannya sebagai sindroma tunggal

    duktus sistikus (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    2.9.3. Katarsis dan gastritis akibat garam empedu

    -18-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    19/22

    Pasien pascakolesistektomi mungkin mempunyai gejala dan tanda

    gastritis, yang dihubungkan dengan refluks empedu duodenogastrik. Namun, data

    kuat yang menghubungkan peningkatan insidensi gastritis empedu dengan

    pembedahan penyingkiran kandung empedu tidak cukup. Demikian pula, kejadian

    diare responsif kolestiramin pada sejumlah kecil pasien yang menyertai

    kolesistektomi dihubungkan dengan perubahan sirkulasi kandung empedu

    enterohepatik (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

    2.10. Prognosis

    Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat

    terlihat dalam 1 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan

    didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal,

    fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi

    kolesistitis rekuren. Kadang kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat

    menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau

    peritonitis umum pada 10 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat

    mencapai 50 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang

    adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki

    angka mortalitas sebesar 10 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun)

    mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul

    komplikasi pasca bedah. (McPhee SJ, et al, 2009).

    -19-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    20/22

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    21/22

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep

    2009;188(3):325-6.

    2. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for acute

    inflammation of the gallbladder. Ann Surg. Nov 2008;218(5):630-4.

    3. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum

    gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug2009;232(2):202-7.

    4. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.

    Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.

    5. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and

    leukocytosis in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7.

    6. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. ClinGastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.

    7. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:

    Prinsip Harrison. Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa

    Indonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009.

    8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku AjarPatologi Edisi 7. Jakarta : EGC.

    2009.

    9. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings

    of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-

    Aug 2009;33(4):274-80.

    10. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis &

    Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.

    11. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for

    acute cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. Jun

    2009;41(6):539-46.

    -21-

  • 7/22/2019 61115589-Kolesistitis-Akut

    22/22

    12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar Dasar Penyakit.

    EGC. Jakarta. 2006.

    13. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute

    cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3.

    14. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic

    cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative

    cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc. Mar 2009;49(3 Pt

    1):334-43.

    15. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed laparoscopiccholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of randomized

    clinical trials.Am J Surg. Jan 2008;195(1):40-7.

    16. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents

    parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet.

    Jan 2008;170(1):25-31.

    17. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan

    Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.

    18. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is not

    associated with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-10.

    19. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of

    information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for

    acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010;97(2):210-9.

    20. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis.

    2009;3:131-147.

    -22-