49774548-lingkungan-belajar-martini-1960.pdf

95
LINGKUNGAN BELAJAR BERKUALITAS A. Pengertian Lingkungan Belajar Belajar adalah kegiatan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Tempat dan lingkungan belajar yang nyaman memudahkan peserta didik untuk berkonsentrasi. Dengan mempersiapkan lingkungan yang tepat, peserta didik akan mendapatkan hasil yang lebih baik dan dapat menikmati proses belajar yang peserta didik lakukan. Hutabarat (1986) lingkungan belajar ialah segala sesuatu yang terdapat di tempat belajar. Sedang Nasution (1993), lingkungan belajar yaitu lingkungan alami dan lingkungan sosial. Lingkungan alami seperti keadaan suhu, kelembaban udara, sedangkan lingkungan sosial dapat berwujud manusia dan representatifnya maupun berwujud hal-hal lain. Prestasi belajar itu salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Menurut Dunn dan Dunn (dalam Mudhofir, 1999) kondisi belajar dapat mempengaruhi konsentrasi, pencerapan, dan penerimaan informasi. Senada dengan hal di atas Rachman (1998/1999) menyatakan lingkungan fisik tembat belajar mempunyai pengaruh penting terhadap hasil pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa lingkungan belajar berpengaruh terhadap hasil belajar. Menata lingkungan belajar pada hakekatnya melakukan pengelolaan lingkungan belajar. Aktivitas pembelajar dalam menata lingkungan belajar lebih terkonsentrasi pada pengelolaan lingkungan belajar di dalam kelas. Oleh karena itu pembelajar/guru dalam melakukan penataan lingkungan belajar di kelas tiada lain melakukan aktivitas pengelolaan kelas atau manajemen kelas (classroom management). Menurut Rianto (2007:1), pengelolaan kelas merupakan upaya pendidik untuk menciptakan dan mengendalikan kondisi belajar serta memulihkannya apabila terjadi gangguan dan/atau penyimpangan, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara optimal. Optimalisasi proses pembelajaran menunjukan bahwa keterlaksanaan serangkaian kegiatan pembelajaran (instructional activities) yang sengaja direkayasa oleh pendidik dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam memfasilitasi peserta didik sampai dapat meraih hasil belajar sesuai harapan. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai macam bentuk interaksi yang terbangun memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar (learning experiences) dalam rangka menumbuh- kembangkan kemampuannya (kompetensi), yaitu spiritual, mental: intelektual, emosional, sosial, dan fisik (indera) atau kognitif, afektif, dan psikomotorik. Indra Djati Sidi (2005:148–150), menegaskan dalam menata lingkungan belajar di kelas yang menarik minat dan menunjang peserta didik dalam pembelajaran erat kaitannya dengan keadaan lingkungan fisik kelas, pengaturan ruangan, pengelolaan peserta didik dan pemanfaatan sumber belajar, pajangan kelas, dan lain sebagainya.” Oleh karena itu dapat ditegaskan lebih lanjut bahwa secara fisik lingkungan belajar harus menarik dan mampu membangkitkan gairah belajar serta menghadirkan suasana yang nyaman untuk belajar. Kelas belajar harus bersih, tempat duduk ditata sedemikian rupa agar anak bisa melakukan aktivitas belajar dengan bebas. Dinding kelas dicat berwarna sejuk, terpampang gambar-gambar atau foto yang mendukung kegiatan belajar seperti gambar pahlawan, lambang negara, presiden dan wakil presiden, kebersihan lingkungan, famlet narkoba, dan sebagainya. Salah satu aspek penting keberhasilan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh pembelajar/guru menurut Muhammad Saroni (2006:81-82), adalah penciptaan kondisi

Upload: savemydays

Post on 02-Feb-2016

230 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

LINGKUNGAN BELAJAR BERKUALITAS

A. Pengertian Lingkungan BelajarBelajar adalah kegiatan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Tempat dan lingkungan belajar yang nyaman memudahkan peserta didik untuk berkonsentrasi. Dengan mempersiapkan lingkungan yang tepat, peserta didik akan mendapatkan hasil yang lebih baik dan dapat menikmati proses belajar yang peserta didik lakukan.Hutabarat (1986) lingkungan belajar ialah segala sesuatu yang terdapat di tempat belajar. Sedang Nasution (1993), lingkungan belajar yaitu lingkungan alami dan lingkungan sosial. Lingkungan alami seperti keadaan suhu, kelembaban udara, sedangkan lingkungan sosial dapat berwujud manusia dan representatifnya maupun berwujud hal-hal lain. Prestasi belajar itu salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Menurut Dunn dan Dunn (dalam Mudhofir, 1999) kondisi belajar dapat mempengaruhi konsentrasi, pencerapan, dan penerimaan informasi. Senada dengan hal di atas Rachman (1998/1999) menyatakan lingkungan fisik tembat belajar mempunyai pengaruh penting terhadap hasil pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa lingkungan belajar berpengaruh terhadap hasil belajar.Menata lingkungan belajar pada hakekatnya melakukan pengelolaan lingkungan belajar. Aktivitas pembelajar dalam menata lingkungan belajar lebih terkonsentrasi pada pengelolaan lingkungan belajar di dalam kelas. Oleh karena itu pembelajar/guru dalam melakukan penataan lingkungan belajar di kelas tiada lain melakukan aktivitas pengelolaan kelas atau manajemen kelas (classroom management). Menurut Rianto (2007:1), pengelolaan kelas merupakan upaya pendidik untuk menciptakan dan mengendalikan kondisi belajar serta memulihkannya apabila terjadi gangguan dan/atau penyimpangan, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara optimal. Optimalisasi proses pembelajaran menunjukan bahwa keterlaksanaan serangkaian kegiatan pembelajaran (instructional activities) yang sengaja direkayasa oleh pendidik dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam memfasilitasi peserta didik sampai dapat meraih hasil belajar sesuai harapan. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai macam bentuk interaksi yang terbangun memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar (learning experiences) dalam rangka menumbuh-kembangkan kemampuannya (kompetensi), yaitu spiritual, mental: intelektual, emosional, sosial, dan fisik (indera) atau kognitif, afektif, dan psikomotorik.Indra Djati Sidi (2005:148–150), menegaskan dalam menata lingkungan belajar di kelas yang menarik minat dan menunjang peserta didik dalam pembelajaran erat kaitannya dengan keadaan lingkungan fisik kelas, pengaturan ruangan, pengelolaan peserta didik dan pemanfaatan sumber belajar, pajangan kelas, dan lain sebagainya.” Oleh karena itu dapat ditegaskan lebih lanjut bahwa secara fisik lingkungan belajar harus menarik dan mampu membangkitkan gairah belajar serta menghadirkan suasana yang nyaman untuk belajar. Kelas belajar harus bersih, tempat duduk ditata sedemikian rupa agar anak bisa melakukan aktivitas belajar dengan bebas. Dinding kelas dicat berwarna sejuk, terpampang gambar-gambar atau foto yang mendukung kegiatan belajar seperti gambar pahlawan, lambang negara, presiden dan wakil presiden, kebersihan lingkungan, famlet narkoba, dan sebagainya.Salah satu aspek penting keberhasilan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh pembelajar/guru menurut Muhammad Saroni (2006:81-82), adalah penciptaan kondisi

Page 2: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

pembelajaran yang efektif. Kondisi pembelajaran efektif adalah kondisi yang benar-benar kondusif, kondisi yang benar-benar sesuai dan mendukung kelancaran serta kelangsungan proses pembelajaran. Indra Djati Sidi (1996) dalam Cope (No. 02 tahun VI Desember 2002 : 36), menegaskan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, setiap pembelajar harus dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, suasana interaksi pembelajaran yang hidup, mengembangkan media yang sesuai, memanfaatkan sumber belajar yang sesuai, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran, dan lingkungan belajar di kelas yang kondusif. Agar pembelajaran benar-benar kondusif maka pembelajar mempunyai peranan yang sangat penting dalam menciptakan kondisi pembelajaran tersebut. Di antara yang dapat diciptakan pembelajar untuk kondisi tersebut adalah penciptaan lingkungan belajar. Lingkungan belajar menurut Muhammad Saroni (2006:82-84), adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Lingkungan ini mencakup dua hal utama, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial, kedua aspek lingkungan tersebut dalam proses pembelajaran haruslah saling mendukung, sehingga peserta didik merasa kerasan di sekolah dan mau mengikuti proses pembelajaran secara sadar dan bukan karena tekanan ataupun keterpaksaan.Berbagai penelitian lingkungan belajar di atas dapat bahwa lingkungan belajar merupakan situasi buatan yang menyangkut lingkungan fisik maupun yang menyangkut lingungan sosial. Dengan demikian lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikain rupa, sehingga mampu memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kegiatan belajar. Selanjutanya lingkungan belajar dapat dilihat dari interaksi pembelajaran yang merupakan konteks terjadinya pengalaman belajar, dan dapat berupa lingkungan fisik dan lingkungan non fisik. Menurut I Made Alit Mariana (2005:13), lingkungan belajar dapat merefleksikan ekspektasi yang tinggi untuk kesuksesan seluruh peserta didik. Lingkungan tersebut mengacu pada ruang secara fisik tempat belajar, lingkungan sosial dan psikologi peserta didik yang mendorong belajar, perlakuan dan etika dalam menggunakan makhluk hidup, dan keamanan (dalam area belajar yang berhubungan dengan pembelajaran sains).Berdasarkan uraian pendapat tentang lingkungan belajar tersebut di atas maka dapat disarikan bahwa lingkungan belajar yang dikelola adalah terutama bagaimana mengemas suasana kelas belajar, kelas belajarnya, dan sumber-sumber belajar yang ada di sekolah ataupun yang dapat diadakan dari dibuat/alam lingkungan sekolah. Lingkungan belajar dalam hal terutama di kelas adalah sesuatu yang diupayakan atau diciptakan oleh guru agar proses pembelajaran kondusif dapat mencapai tujuan pembelajaran yang semestinya. Lingkungan belajar di kelas sebagai situasi buatan yang berhubungan dengan proses pembelajaran atau konteks terjadinya pengalaman belajar, dapat diklasifikasikan yang menyangkut : 1) lingkungan (keadaan) fisik, dan 2) lingkungan sosial.Dengan demikian lingkungan belajar merupakan situasi buatan yang menyangkut lingkungan fisik maupun yang menyangkut lingungan sosial. Lingkungan belajar dapat diciptakan sedemikain rupa, sehingga mampu memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kegiatan belajar. Selanjutanya lingkungan belajar dapat dilihat dari interaksi dalam proses pembelajaran yang merupakan konteks terjadinya pengalaman belajar, dan dapat berupa lingkungan fisik dan lingkungan non fisik.Lingkungan fisik. Menurut Muhammad Saroni (2006:82-83), yang intinya bahwa lingkungan fisik adalah lingkungan yang memberi peluang gerak dan segala aspek yang

Page 3: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

berhubungan dengan upaya penyegaran pikiran bagi peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran yang sangat membosankan. Lingkungan fisik ini meliputi saran prasarana pembelajaran yang dimiliki sekolah seperti lampu, ventilasi, bangku, dan tempat duduk yang sesuai untuk peserta didik, dan lain sebagainya. Hal yang senada Suprayekti (2003:18), juga menegaskan bahwa “lingkungan fisik yaitu lingkungan yang ada di sekitar peserta didik baik itu di kelas, sekolah, atau di luar sekolah yang perlu di optimalkan pegelolaannya agar interaksi belajar mengajar lebih efektif dan efisien. Artinya lingkungan fisik dapat difungsikan sebagai sumber atau tempat belajar yang direncanakan atau dimanfaatkan. Yang termasuk lingkungan fisik tersebut di antanya adalah kelas, laboratorium, tata ruang, situasi fisik yang ada di sekitar kelas, dan sebagainya.”Lingkungan sosial, Muhammad Saroni (2006:83), menjelaskan bahwa: ”lingkungan sosial berhubungan dengan pola interaksi antarpersonil yang ada di lingkungan sekolah secara umum. Lingkungan sosial yang baik memungkinkan para peserta didik untuk berinteraksi secara baik, peserta didik dengan peserta didik, guru dengan peserta didik, guru dengan guru, atau guru dengan karyawan, dan peserta didik dengan karyawan, serta secara umum interaksi antar personil. Dan kondisi pembelajaran yang kondusif hanya dapat dicapai jika interaksi sosial ini berlangsung secara baik. Lingkungan sosial yang kondusif dalam hal ini, misalnya adanya keakraban yang proporsional antara guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran.” Oleh karena itu dalam lingkungan sosial kelas hendaknya juga diciptakan sekondusif mungkin, agar suasana kelas dapat digunakan sebagai ajang dialog mendalam dan berpikir kritis yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip manusiawi, empati, dan lain-lain, demokratis serta religius. Selanjutnya lingkungan non fisik/lingkungan sosial dapat dikembangkan fungsinya yaitu untuk menciptakan suasana belajar yang nyaman dan kondusif seperti adanya musik yang digunakan sebagai latar pada saat interaksi proses pembelajaran berlangsung. Musik tersebut digunakan menjadikan suasana belajar terasa santai, peserta didik dapat belajar dan siap terkonsentrasi.Beberapa uraian di atas maka dapat dipertegas bahwa lingkungan sosial kelas adalah upaya penciptaan suasana belajar atau suasana kelas belajar sehingga interaksi di dalam kelas kondusif. Di mana suasana kelas belajar berlangsung santai bermakna, demokratis, adil, religius, dan peserta didik dapat belajar dan siap untuk berkonsentrasi. Di samping itu ketika peserta didik sedang bekerja /mengerjakan suatu masalah dapat diputarkan musik belajar.Dalam hal ini tugas guru menurut Mulyasa (2006:210&218), adalah ”memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai, juga selain menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan tetapi juga menciptakan dan mengatur lingkungan belajar terutama di kelas, dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.” Oleh karena itu peran pembelajar harus bisa membiasakan pengaturan peran serta/ tanggung jawab tiap peserta didik terhadap terciptanya lingkungan fisik kelas yang diharapkan dan suasana lingkungan sosial kelas yang menjadikan proses pembelajaran bagi tiap peserta didik menjadi bermakna. Dengan terciptanya tanggung jawab bersama antara peserta didik dan pembelajar maka kebersaman akan terbentuk sehingga hal (lingkungan belajar) untuk menjadikan pembelajaran berenergi menjadi tuntutan tiap peserta didik. Hal yang menjadikan pembelajaran berenergi adalah tanggung jawab bersama tiap peserta didik.

Page 4: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

B. Lingngkungan Belajar1. Lingkungan rumahLingkungan rumah terutama orang tua, memegang peranan penting serta menjadi guru bagi anak dalam mengenal dunianya. Orang tua adalah pengasuh, pendidik dan membantu proses sosialisasi anak. Utami Munandar (1999) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka semakin baik prestasi anak. Termasuk juga sejauh mana keluarga mampu menyediakan fasilitas tertentu untuk anak (televisi, internet, dan buku bacaan).Lingkungan belajar di rumah mempunyai pengaruh besar terhadap kegiatan belajar anak di rumah, yang pada akhirnya mempengaruhi prestasi belajar anak di sekolah. Lingkungan belajar menurut Pidarta (1995) adalah benda-benda disekitar tempat belajar itu yang teratur rapi dan sedap dipandang serta lengkap peralatan belajarnya.Dengan demikian lingkungan belajar yang perlu diperhatikan itu adalah ruangan belajar, cahaya penerangan, ventilasi, suhu udara, perabotan belajar, kebisingan, kursi, meja, perabotan, musik, tanaman, gambar. Karena lingkungan belajar mempunyai dampak terhadap prestasi belajar, maka De Porter (2001) menyarankan ciptakan lingkungan belajar yang optimal.1) Ruang belajarPada umumnya anak-anak tidak mempunyai ruangan belajar khusus, yaitu suatu ruangan belajar milik pribadi anak, sehingga kegiatan belajar biasanya dilaksanakan di ruang keluarga atau di ruang tidur anak. The Liang Gie (1994) “kalau ruang studi khusus tidak dapat disediakan, maka ruang tidur dapat juga dipakai untuk keperluan studi sekaligus”.Sebaiknya anak-anak mempunyai ruang belajar khusus walaupun tidak bagus, karena dengan memiliki ruang belajar pribadi peralatan belajar anak akan lebih aman dan tidak diganggu orang lain. Dengan memiliki ruang belajar pribadi anak akan merasa bangga, sebagaimana dinyatakan oleh Semiawan (2002) ” suatu ruang atau pojok yang nyaman dan strategis, meskipun dengan meja dan kursi yang sederhana yang khusus kepunyaan anak, akan sangat menjadikannya merasa memilikinya” Di samping anak merasa memiliki dengan ruang belajarnya, di ruang ini anak dapat belajar lebih leluasa untuk menambah pengetahuan lain yang disukai. Semiawan (2002) mengungkapkan “di tempat ini ia dapat melepaskan dirinya secara bebas dalam menjelajahi khazanah ilmu pengetahuan, apalagi kalau diserta rak buku yang rapi”Agar anak dapat belajar lebih baik Slameto (1995) mempertegas bahwa (1) rungan belajar harus bersih, tak ada bau-bauan yang mengganggu konsentrasi pikiran, (2) ruangan cukup terang, tidak gelap yang dapat mengganggu mata, (3) cukup sarana yang diperlukan untuk belajar, misalnya alat pelajaran, buku-buku, dan sebagainya.2) PeneranganRuang belajar harus mendapat cahaya baik cahaya mata hari mupun cahaya dari lampu listrik. Cahaya sangat penting bagi kegiatan belajar, dengan cahaya kita dapat membaca dan menulis dengan jelas. De Porter (2001) menyatakan, ruangan anda harus mendapatkan cukup cahaya supaya mata anda tidak cepat lelah.Cahaya mata hari hendaknya datang dari sebelah kiri agak kebelakang maksudnya agar apa yang kita tulis dan kita baca tidak gelap karena terhalang oleh tangan kita dan agak kebelakang agar tidak menyilaukan. Sebagaimana yang disarankan The Liang Gie (1994) cahaya yang berasal dari mata hari hendaknya diusahakan agar datang dari arah kiri agak

Page 5: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

ke belakang. Pendapat senada dikemukakan oleh Rachman (1999) dalam mengatur cahaya penerangan mestinya harus datang dari sebelah kiri agar tidak menyilaukan.Sedang pendapat lain tidak mempersoalkan dari mana arah cahaya penerangan yang penting tidak langsung berhadapan dengan mata, hal ini dikemukakan Sudarmanto (1995) “arah sinar tidak langsung bernadapan dengan mata akan lebih nyaman dari pada langsung”.Bagi orang tua yang menggunakan penerangan dari listrik ada bermacam-macam model lampu untuk pencahayaan. The Liang Gie (1994) memberi alternatif model pencahayaan lampu dari listrik. Penerangan taklangsung, penerangan ini terjadi dari cahaya yang dipantulkan dari langit-langit dan dinding kamar studi, sedang sumber cahaya itu sendiri tidak terlihat. Penerangan setengah taklangsung, penerangan ini untuk sebagian datang dari pemantulan cahaya seperti pada penerangan taklangsung tersebut di atas dan untuk sebagian dengan melewati selubung kaca yang berwarna putih susu. Penerangan setengah langsung, penerangan ini terjadi dari cahaya lampu yang memancar ke segenap jurusan dengan melewati selubung kaca yang berwarna putih susu. Penerangan langsung, penerangan ini memancar langsung dari lampu ke permukaan buku tanpa melewati apa-apa.Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa ruangan belajar harus terang, hal ini berhubungan dengan besarnya watt lampu yang digunakan. Mengenai besarnya watt The Liang Gie (1994) memberi alternatif yang dapat digunakan sebagai pertimbangan sebagai yaitu lampu meja 40 watt sampai 60 watt sudah sangat terang. Lampu di atas yang memancarkan penerangan tak langsung dapat kiranya memakai 75 watt sampai 100 watt.Pencahayaan yang baik di ruangan belajar akan membuat anak lebih bersemangat dalam belajar. Menurut Stainback (1999) yang dimaksud pencahayaan yang baik ialah mengurangi sinar yang menyilaukan, hal ini akibat dari penyinaran langsung sehingga ada bagian ruangan yang terang dan sebagian lagi redupKarena penerangan atau pencahayaan ini memerlukan dana yang tidak sedikit, tentu harus disesuaikan dengan kemampuan kita masing-masing. De Porter (2001) menyarankan karena pencahayaan ini termasuk biaya yang mahal, mungkin anda memperhatikan pelbagai pilihan.3) Ventilasi dan suhu udaraVentilasi atau pertukaran udara merupakan hal penting dalam ruang belajar. Ventilasi dapat menjadikan udara di ruangan menjadi bersih dan segar. Ruangan belajar dengan udara yang bersih dan segar akan menjadi pendukung kegiatan belajar yang nyaman. Sebagaimana Rachman(1998/1999) mengatakan “suhu, ventilasi dan penerangan adalah aset penting untuk teriptanya belajar yang nyaman”. Pertukaran udara dapat melalui jendela maupun lubang ventilasi.Suhu udara di ruangan belajar yang ber AC akan mudah disesuaikan dengan yang kita kehendaki, namun bagi kebanyakan orang suhu dapat diatur melalui jendela, yaitu bila panas jendela dibuka dan bila dingin jendela ditutup. Mengenai suhu yang nyaman dan sejuk untuk belajar Sudarmanto (1995) menyatakan.Suhu kamar yang enak adalah 24/25 Celcius (70 Fahrenheit). Jika udara terlampau panas akan membuat badan lekas capai dan mengantuk, tetapi bila terlampau dingin menimbulkan rasa malas dan gangguan kesehatan. Akibat gangguan-gangguan itu, pikiran tidak dapat berkonsentrasi karena gangguan-gangguan itu.

Page 6: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Mengenai dampak dari udara yang segar, nyaman dan sejuk terhadap prestasi belajar, Nasution (1993) menyatakan keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya dari pada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap.4) KebisinganTempat belajar sebaiknya tenang tidak banyak gangguan suara bising dan gaduh. Suara bising dan gaduh dapat mengganggu konsentrasi belajar. Slameto (1995) “Rumah yang bising dengan suara radio, tape recorder atau TV pada waktu belajar, juga mengganggu belajar anak, terutama untuk konsentrasi. Hal senada dikemukakan Sudarmanto (1995) suara-suara gaduh-radio, TV- membuat perhatian tidak sepenuhnya pada bahan yang dipelajari.Reaksi seseorang berbeda-beda terhadap pengaruh lingkungan, ada yang terganggu dengan suara-suara bising di sekitarnya, ada yang tidak menurut Dunn dan Dunn (dalam Mudhofir, (1999) seperti pengaruh kondisi lingkungan tempat belajar terhadap seseorang dapat mengakibatkan reaksi yang berbeda-beda. Ada anak – anak lebih suka (comfortable) belajar sambil mendengarkan musik dari radio atau tape corder di sampingnya, dengan volume yang besar.Walaupun reaksi setiap individu berbeda-beda Sudarmanto (1995) mengingatkan bahwa energi yang dikeluarkan akan lebih banyak karena perhatian terbagi dua.5) Perabotan belajarPerabotan yang disediakan dan ditata dengan baik sangat mendukung terhadap hasil belajar. Mengenai jumlah dan jenis perabotan belajar beberapa ahli mengemukakan berbeda-beda, namun pada intinya sama yaitu peralatan yang menunjang belajar. The Liang Gie (1994) perabotan belajar yaitu meja studi, kursi belajar, dan lemari buku serta kemungkinan perabot mebel lainnya yang diperlukan untuk studi khusus, misalnya meja gambar. Sedangkan Djamarah (2002) Fasilitas dan perabot belajar yang dimaksud tentu saja berhubungan dengan masalah materil berupa kertas buku catatan, meja dan kursi belajar, mesin ketik, kertas karbon, dan sebagainya. Sedang menurut Stainback (1999) perabotan pada lingkup belajar meliputi kursi dan bangku.Adapun perabotan belajar yang umunya ada dan diperlukan dalam ruang belajar untuk usia anak sekolah dasar seperti, kursi, meja belajar, almari dan rak buku.6) Kursi dan meja belajarAgar kegiatan belajar berlangsung dengan penuh konsentrasi, di ruang belajar harus ada kursi dan meja belajar untuk anak-anak. Banyak model kursi dan meja belajar yang sering kita jumpai. Karena usia anak sekolah dasar masih dalam pertumbuhan dan perkembangan seyogyanya kalau orang tua menyediakan kursi belajar dengan memperhatikan faktor pertumbuhan dan kesehatan. Dalam hal ini Sudarmanto (1995) memberi saran agar kursi untuk belajar harus dapat menampung punggung tegak. Tempat duduk yang nyaman membuat anak kerasan dan memiliki mood untuk belajar” Lebih lanjut De Porter (2001) menambahkan kursi-kursi diberi bantalan (jok) supaya lebih nyaman. Mengenai ketinggian kursi Stainback (1999) menyarankan, ketinggian kursi harus memungkinkan kaki anak anda menginjak lantai.Sedang mengenai meja belajar The Liang Gie (1994) lebih menyoroti dari sisi bentuk meja yang digunakan untuk belajar hendaknya meja memenuhi persyaratan sebagai berikut:• Meja itu tidak tertutup seluruhnya dari permukaan sampai lantai.• Permukaan meja hendaknya rata dan tidak berwarna gelap atau berkilat-kilat.

Page 7: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

• Luas meja tidak terlalu berlebih-lebihan. Meja berukuran 100 kali 70 cm kiranya sudah cukup.• Tinggi meja hendaknya disesuaikan dengan tinggi badan. Untuk lebih meningkatkan konsentrasi dan menghindari belajar yang terputus-putus akibat mencari alat tulis maka meja belajar seharusnya bersih.Lebih lanjut Slameto (1995) menambahkan “meja tulis harus bersih dan jangan penuh dengan barang-barang yang tak diperlukan. Sedang mengenai meja belajar Stainback (1999) menyarankan meja atau bangku harus cukup untuk meletakkan semua perlengkapan belajar yang dibutuhkan.7) Almari dan rak bukuAlmari dan rak buku merupakan perabotan yang dapat menunjang kegiatan belajar. Fungsi dari almari dan rak buku adalah untuk menyimpan buku-buku sebagaimana The Liang Gie (1994) semua bacaan hendaknya disimpan dalam rak buku kecil di sisi meja studinya atau di atasnya dengan menempel pada tembok. Kalau jumlah bacaan itu sudah cukup banyak, sebaiknya disimpan dalam almari buku yang memakai pintu kaca. Dengan demikian pintu kaca semua bahan bacaan itu dapat terlihat dan sewaktu diperlukan dapat diambil.8) Perlengkapan belajarDengan tersedianya perlengkapan belajar seseorang dalam belajar tidak begitu mengalami kesulitan bila memerlukan peralatan. Menurut The Liang Gie (1995) perlengkapan studi merupakan faktor kebendaan. Kalau perlengkapan studi tidak ada manfaatnya, sebaiknya perlengkapan itu tidak dipakai saja.Perlengkapan belajar banyak ragamnya seperti balpoint, karet penghapus, buku tulis, buku notes, pensil, pengaris, dan sebagainya. Orang tua dalam menyediakan perlengkapan belajar untuk anak-anaknya hendaknya menyesuaikan dengan kepentingan dan fungsi dari perlengkapan itu, artinya tidak selalu mengabulkan apa yang diminta, dan ada hubungannya dengan pelajaran. Sebab ada kalanya perlengkapan yang kurang bermanfaat justru mengganggu konsentrasi belajar.9) Tanaman dan pohon pelindungTanaman dan pohon pelindung bila kita pelihara dengan baik akan bermanfaat bagi manusia terutama dapat membuat lingkungan belajar menjadi sejuk dan nyaman. Oleh karena itu pohon pelindung harus ditanam dan diatur agar memenuhi fungsinya yaitu untuk keindahan, penyejuk, menghasilkan oksigen, melindungi sengatan mata hari. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Pidarta di Australia (1995) tentang manfaat pohon-pohon pelindung, yang sengaja diatur agar memenuhi fungsinya.Sedangkan De Porter (2001) mengatakan untuk mengubah situasi belajar yang nyaman, temperatur yang sejuk, dan memperbaiki pencahayaan, maka perlu memasukkan tanaman pada lingkungan belajar peserta didik.Dari dua pendapat tersebut di atas, memperlihatkan bahwa penekanan yang sama pada fungsi tanaman dan pohon pelindung yaitu bahwa tanaman dan pohon pelindng dalam lingkungan belajar akan membuat lingkungan belajar sejuk dan nyaman.2. Lingkungan sekolahDalam proses pembelajaran, pengajar tidak lagi hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi peserta didik sendiri yang harus membangun pengetahuannya (knowledge is constructed by human). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap diterima dan diingat oleh peserta didik. Peserta didik harus mengonstruksi

Page 8: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

pengetahuannya sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Peserta didik perlu dibiasakan untuk memunculkan ide-ide baru, memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya serta menciptakan dirinya menjadi diri sendiri (learning to be).Belajar adalah merupakan proses aktif untuk membangunkan pengetahuan, dalam ide-ide konstruktif, biarkan peserta didik mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan esensi konstruktivisme bahwa peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Melihat konsep dasar tersebut, pembelajaran saat ini setidaknya menggeser paradigma dari pembelajaran yang berdasar kacamata pengajar menjadi pembelajaran yang berdasarkan kacamata peserta didik. Pengajaran merupakan suatu proses membangunkan pengetahuan dan mengkomunikasikan pengetahuan. Artinya, saat ini bukan bagaimana pengajar mengajar, tetapi bagaimana agar peserta didik dapat belajar. Pengertian belajar, menurut konstruktivisme, adalah perubahan proses mengonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata yang dialami peserta didik sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka peroleh sebagai hasil interpretasi pengalaman yang disusun dalam pikirannya. Berpikir reflektif ini menjadi dasar proses konseptualisasi di dalam memahami dan mengaplikasikan pengalaman yang didapat pada situasi dan kontek yang lain. Secara psikologis, tugas dan wewenang pembelajar adalah mengetahui karakteristik peserta didik, memotivasi belajar, menyajikan bahan ajar, memilih metode belajar, dan mengatur kelas.Menurut Ormrod (2006) untuk menciptakan peserta didik belajar maka perlu diciptakan lingkungan sekolah yang baik adalah lingkungan yang nyaman sehingga anak terdorong untuk belajar peserta didik berprestasi serta membangun pengetahuannya sendiri. Ada beberapa karakteristik lingkungan sekolah yang nyaman sebagai tempat belajar (Burstyn & Stevens dalam Ormrod, 2006) , yaitu:1) Sekolah mempunyai komitmen untuk mendukung semua usaha peserta didik agar sukses baik dalam bidang akademik maupun sosial.2) Adanya kurikulum yang menantang dan terarah.3) Adanya perhatian dan kepercayaan peserta didik serta orang tua terhadap sekolah.4) Adanya ketulusan dan keadilan bagi semua peserta didik, baik untuk peserta didik dengan latar belakang keluarga yang berbeda, beda ras maupun etnik.5) Adanya kebijakan dan peraturan sekolah yang jelas. Misalnya panduan perilaku yang baik, konsekuensi yang konsisten, penjelasan yang jelas, kesempatan menjalin interaksi sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah.6) Adanya partisipasi peserta didik dalam pembuatan kebijakan sekolah.7) Adanya mekanisme tertentu sehingga peserta didik dapat menyampaikan pendapatnya secara terbuka tanpa rasa takut.8) Mempunyai tujuan untuk meningkatkan perilaku prososial seperti berbagi informasi, membantu dan bekerja sama.9) Membangun kerja sama dengan komunitas keluarga dan masyarakat.10) Mengadakan kegiatan untuk mendiskusikan isu-isu menarik dan spesial yang berkaitan dengan peserta didik.Sedangkan di kelas, sebaiknya kelas cukup besar dengan jumlah peserta didik yang tidak terlalu banyak sehingga guru dapat memonitor setiap peserta didik. Kelas yang baik dan

Page 9: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

produktif adalah kelas yang nyaman secara tata ruang, memunculkan motivasi internal peserta didik untuk belajar, kegiatan guru yang terarah serta kegiatan monitor terhadap peserta didik (Gage & Berliner, 1992).

C. Ciri-Ciri Sekolah Berkualitas

Lima kriteria sekolah berkualitas

Dalam dunia industri pada abad ke-19, sistem pendidikan yang dirancang dalam satu ukuran untuk semua (one-size-fits-all) cukup membantu mengurangi pelecehan terhadap tenaga kerja anak dan membawa kesempatan bagi dunia luas. Pada tahun 1950-an, banyak orang mampu mendapatkan pekerjaan layak dengan kemampuan yang terbatas. Tapi keadaan berubah dengan dramatis. Pekerjaan menuntut latar belakang pendidikan yang tinggi. Dalam waktu yang bersamaan, sekolah untuk mengikuti perkembangan semacam itu dan juga perubahan-perubahan yang terjadi seperti perubahan dalam struktur keluarga, perubahan trend dalam kebudayaan populer dan pertelevisian, konsumerisme, kemiskinan, kekerasan, pelecehan anak, kehamilan pada masa remaja, dan perubahan sosial yang terus-menerus. Dilain pihak, sekolah juga mengalami tekanan terus-menerus untuk menekan laju perubahan, untuk lebih konservatif, untuk tetap menjalankan kebiasaan-kebiasaan tradisional, dan tidak meninggalkannya.

Belakangan ini, sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus dihadapi lembaga pendidikan, muncul sejumlah usaha untuk memperbarui konsep atau gagasan tentang apa yang disebut sebagai sekolah berkualitas. Salah satu konsep terkemuka dalam hal ini adalah lima prinsip pendidikan yang ditawarkan Peter Senge dalam The School That’s Learn (2003; 59-93). Dirumuskan dalam rangka mengimbangi arus globalisasi yang meluas di bidang pendidikan, lima prinsip pendidikan ini menekankan pentingnya melihat sekolah dan atau proses pembelajaran sebagai suatu institusi pendidikan semacam perusahaan yang memerlukan kerja kelompok dan menuntut keahlian tertentu. Seperti kita ketahui bersama, ada beberapa keahlian yang dapat dimiliki seseorang dalam mengelola pendidikan seperti, bertindak dengan otonomi yang lebih luas, berani mengambil kesimpulan, memimpin juga dipimpin, mempertanyakan masalah yang sulit dengan sikap yang baik, dan menerima kekalahan sehingga mampu membangun kemampuan untuk keberhasilan di masa mendatang. Semua itu adalah sikap yang dibutuhkan dalam organisasi pembelajaran dan masyarakat. Kemampuan menyinergikan lima prinsip disiplin kolektif menurut Peter Senge ini dimaksudkan untuk meraih keahlian-keahlian yang akan dapat membantu setiap sekolah di Indonesia menghadapi tekanan dan dilema dalam mengelola pendidikannya.

Secara ringkas kelima disiplin kolektif tersebut sebagai berikut. Pertama, penguasaan diri (personal mastery), merupakan praktik mengartikulasikan gambaran koheren dari pandangan para pribadi yang terlibat dalam setiap sekolah, hasil yang paling ingin kita dapatkan dalam hidup, di samping pengamatan nyata dari kehidupan sehari-hari. Ketika terakumulasi, ini bisa menghasilkan keinginan alami yang dapat meningkatkan kapasitas dalam membuat pilihan-pilihan yang lebih baik dan menerima hasil lebih dari yang dipilih secara berkelompok. Setiap pengelola sekolah harus berlaku jujur dalam

Page 10: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

mengemukakan kelemahan dan kelebihan situasi terkini sekolahnya dan mendukung setiap aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari anak didik. Kedua, keberanian setiap pengelola sekolah untuk berbagi pandangan (shared vision), sebuah disiplin kolektif yang menekankan perhatian pada tujuan bersama. Sekelompok orang dengan tujuan yang sama dapat belajar untuk mempertahankan komitmen dalam suatu kelompok atau organisasi dengan mengembangkan pandangan yang sama tentang masa depan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip serta guiding practices yang mereka ciptakan bersama.

Disiplin kolektif ketiga yang menjadi perhatian Peter Senge adalah pembentukan mental (mental models), sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengembangan kepekaan dan persepsi, baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya. Bekerja dengan membentuk mental ini dapat membantu kita untuk lebih jelas dan jujur dalam memandang kenyataan terkini. Karena pembentukan mental dalam pendidikan sering kali tidak dapat didiskusikan, dan tersembunyi, makakritik yang harus diperhatikan oleh sekolah yang belajar adalah bagaimana kita mampu mengembangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan aman tentang hal-hal yang berbahaya dan tidak nyaman. Selain itu, pengelola sekolah juga harus senantiasa aktif memikirkan asumsi-asumsi tentang apa yang terjadi dalam kelas, tingkat perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa.

Keempat, bentuklah kelompok belajar (team learning), sebuah disiplin dalam interaksi kelompok. Melalui teknik-teknik seperti dialog dan skillful discussion, sekelompok kecil orang dapat mentransformasikan pikiran kolektif mereka, belajar memobilisasi energi dan kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan mengembangkan kepandaian dan kemampuan mereka lebih besar ketimbang jika bakat anggota kelompok digabungkan. Kelompok belajar dapat dikembangkan dalam kelas, antara pembelajar/guru dan orang tua peserta didik, antaranggota komunitas, dan dalam kelompok utama yang mengejar perubahan sukses dalam sekolah. Adapun yang terakhir adalah disiplin kolektif tentang sistem berpikir (systems thinking). Dalam disiplin ini kita belajar memahami kebergantungan dan perubahan, sehingga kita dapat menghadapi dengan lebih aktif tekanan yang membentuk konsekuensi dari sebuah tindakan. Peralatan dan teknik yang digunakan dalam melatih sistem berpikir ini seperti diagram stock and flow, dan berbagai simulasi yang membantu peserta didik untuk memahami lebih dalam dari apa yang dipelajari. Dengan dasar kelima disiplin kolektif di atas, setiap sekolah berkesempatan melakukan sebuah ‘uji-coba’ terapan terhadap lima prinsip dasar di atas bagi sebuah pengembangan institusi pendidikan (sekolah) yang mengutamakan pengembangan dan penjaminan mutu (quality assurance).Merujuk pada pemikiran Edward Sallis dalam Sudarwan Danim (2006) mengidentifikasi 13 ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu:1. Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.2. Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul , dengan komitmen untuk bekerja secara benar dari awal.3. Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya, sehingga terhindar dari berbagai “kerusakan psikologis” yang sangat sulit memperbaikinya.4. Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif.

Page 11: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

5. sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada masa berikutnya6. Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.7. Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.8. Sekolah mendorong orang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.9. Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horozontal.10. Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas.11. Sekolah memnadang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.12. Sekolah memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja.13. Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai suatu keharusan.Secara umum kerangka kerja penjaminan mutu pendidikan di sekolah mempunya ciri-ciri (Ali, 2007:634) sebagai berikut:1. Penjaminan mutu didasarkan atas indikator-indikator kinerja yang bersifat umum, terbuka dan objektif, yang dirumuskan berdasarkan pernyataan-pernyataan tujuan, yang dijadikan sebagai alat penilaian mutu pendidikan di sekolah.2. Penjaminan mutu dilakukan melalui proses yang transparan dan interaktif melalui penilaian diri dan inspeksi penjaminan mutu.3. Penjaminan mutu dilaksanakan dengan mempraktikan kekuatan-kekuatan berbagai aktivitas dalam proses penjaminan mutu dan manajemen berbasis sekolah, serta nilai-nilai tradisional dan kebutuhan-kebutuhan sekolah untuk berubah.4. Penjaminan mutu dilaksanakan dengan menjaga keseimbangan antara dukungan kepada sekolah melaui kemitraan dan tekanan kepada sekolah melalui monitoring.5. Tujuan penjaminan mutu adalah untuk mencapai mutu pendidikan sekolah melalui pengembangan dan akuntabilitas.D. Akreditasi Sekolah/MadrasahAkreditasi merupakan bagian dari penjaminan mutu lembaga pendidikan (perguruan tinggi atau sekolah). Akreditasi yang dilaksanakan saat ini didasarkan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 29 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M).Ada tiga maksud dilaksanakannya akreditasi sekolah, yaitu:1. Untuk kepentingan pengetahuan yaitu sebagai informasi bagi semua pihak tentang kelayakan dan kinerja sekolah dilihat dari berbagai unsur yang terkait dengan mengacu kepada standar yang ditetapkan secara nasional.2. Untuk kepentingan akuntabilitas, yaitu sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah kepada masyarakat, apakah layanan yang diberikan telah memenuhi harapan atau keinginan mereka.

Page 12: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

3. Untuk kepentingan pembinaan dan peningkatan mutu yaitu sebagai dasar bagi pihak terkait, baik sekolah, pemerintah, maupun masyarakat dalam melakukan pembinaan dan peningkatan mutu sekolah.Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pelaksanaan akreditasi dilakukan terhadap seluruh sekolah/madrasah, baik negeri maupun swasta, pada seluruh jenjang mulai TK/RA, SD/MI,SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MA Kejuruan, dan SLB pada semua tingkatan. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrument dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan. Akuntabilitas merupakan proses akreditasi yang harus dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan pendidikan.Akreditasi sekolah/madrasah adalah suatu kegiatan penilaian kelayakan suatu sekolah/madrasah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh BAN-S/M yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan. Untuk melaksanakan akreditasi sekolah/madrasah pemerintah membentuk badan itu yang merupakan badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Perannya dalam penjaminan mutu adalah memberikan rekomendasi penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi, dan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.BAN-S/M ini merupakan badan nonstruktural yang bersifat nirlaba dan mandiri yang bertanggung jawab kepada Menteri Pendidikan Nasional. Tugasnya, adalah merumuskan kebijakan operasional, melakukan sosialisasi kebijakan, dan melaksanakan akreditasi sekolah/madrasah. Sedangkan, fungsinya untuk:1. Merumuskan kebijakan dan menetapkan akreditasi sekolah/madrasah.2. Merumuskan kriteria dan perangkat akreditasi sekolah/madrasah untuk diusulkan kepada Menteri.3. Melaksanakan sosialisasi kebijakan, kriteria, dan perangkat akreditasi sekolah/madrasah.4. Melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah5. Memberikan rekomendasi tentang tindak lanjut hasil akreditasi.6. Mengumumkan hasil akreditasi sekolah/madrasah secara nasional.7. Melaporkan hasil akreditasi sekolah/madrasah kepada Menteri.8. Melaksanakan ketatausahaan BAN-S/M.Dalam melaksanakan akreditasi, BAN-S/M dibantu oleh Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) yang dibentuk oleh Gubernur. Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah ini adalah badan evaluasi mandiri di provinsi yang membantu BAN-S/M dalam melaksanakan akreditasi.Penjaminan mutu pendidikan dalam sistem pendidikan nasional meliputi dua pendekatan, yaitu pertama, penjaminan mutu eksternal yang dilakukan oleh berbagai pihak/institusi di luar satuan pendidikan yang secara formal memiliki tugas dan fungsi berkaitan dengan penjaminan mutu pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kedua, penjaminan mutu internal dilakukan oleh masing-masing satuan pendidikan. Kedua

Page 13: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

model pendekatan tersebut, sungguh pun dapat dibedakan, tetapi memiliki keterkaitan satu sama lain, termasuk keterkaitan antar institusi eksternal yang dimaksud.Ada empat pilar pokok dalam penjaminan mutu eksternal sekolah/madrasah, yaitu:1. Penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang penetapannya oleh Menteri, sedangkan pengembangan, pemantauan, dan pengendalian SNP oleh BSNP.2. Pemenuhan SNP pada setiap satuan pendidikan oleh pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten/kotamadya, LPMP, dan institusi pembina pendidikan pusat.3. Penentuan kelayakan satuan/program (pengecekan derajat pemenuhan SNP yang dicapai satuan/program pendidikan) melalui penilaian kelayakan satuan/program pendidikan mengacu pada kriteria SNP sebagai bentuk akuntabilitas publik.4. Penilaian hasil belajar (PHB) dan evaluasi pendidikan, yaitu Ujian Nasional, USBN, sertifikasi lulusan, berbagai bentuk ujian lainnya, dan evaluasi kinerja pendidikan oleh pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kotamadya serta lembaga evaluasi mandiri.Penjaminan mutu internal oleh satuan pendidikan meliputi:1. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah, yaitu kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.2. Satuan pendidikan mengembangkan visi dan misi, menyusun KTSP, melakukan penilaian hasilbelajar termasuk ujian nasioanl, dan evaluasi kinerja masing-masing.3. Satuan pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan untuk memenuhi atau melampaui SNP.Penjaminan mutu pendidikan dalam kerangka sistem pendidikan nasional merupakan rangkaian mata rantai tugas fungsional antar institusi yang selalu berhubungan dengan fokus peningkatan mutu secara berkelanjutan pada level satuan pendidikan. Pemahaman akan peran masing-masing institusi, termasuk satuan pendidikan, dan sinkronisasi peran-peran tersebut secara fungsional diharapkan dapat mempercepat tercapainya mutu pendidikan seperti yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional.E. Konsep Sekolah UnggulanSekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi peserta didik yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berati tenaga administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim sekolah yang mempu membentuk keunggulan sekolah.Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada peserta didik dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut Suyanto, program kelas unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki

Page 14: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan peserta didik menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan peserta didik ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen.Bila boleh mengkritisi, pelaksanaan sekolah unggulan di Indonesia memiliki banyak kelemahan selain yang dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta di atas. Pertama, sekolah unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan sekolah unggulan cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya. Apabila sekolah unggulan didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu.Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik. Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi berupa NEM, input peserta didik yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses di tempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga keluarannya bagus.Oleh karena itu penyelenggaraan sekolah unggulan harus segera direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat (Daniel P. Hallahan dan James M. Kauffman, Exceptional Children: Introduction To Special Education, New Jersey: Prentice-Hall international, Inc., 1991), h. 6-7). Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI (1991) penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat (baca: unggul) sebanyak 1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.

SOAL I

1. Proses pembelajaran melibatkan beberapa sub-sistem, apa saja sub-sistem yang dimaksud?

Page 15: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

2. Belajar adalah memanfaatkan beberapa sumber belajar sehingga peserta didik dapat menggalikan informasi, apa saja sumber-sumber belajar yang anda ketahui?

3. Bagaimana upaya guru dalam mengatasi peserta didik yang mengalami kelambanan berpikir?

4. Tujuan pembelajaran merupakan sasaran yang harus dicapai oleh peserta didik, buatkan sasaran apa saja yang harus dicapai oleh peserta didik?

5. Pembelajaran adalah sebuah rancangan yang dibuat oleh perancang pembelajaran, apa saja komponen yang harus dijadikan pertimbangan dalam merancang sebuat pembelajaran?

6. Strategi merupakan langkah-langkah yang dilaksanakan oleh guru untuk menerapkan materi pelajaran sehingga tercapai tujuan pembelajaran, pertimbangan apa saja yang dilaksanakan guru dalam menerapkan materi pelajaran di kelas?

7. Peran guru di kelas adalah sebagai mediator, fasilitator, dan mentor, bagaimana cara dalam melaksanakan proses pembelajaran yang dimaksud?

8. Apa saja yang harus direncanakan guru bila dia akan melaksanakan proses pembelajaran?

PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

A. Perkembangan Fisik Pada Anak Usia Dini

Implementasi pembimbingan dan pengasuhan terhadap anak usia dini, diantaranya dapat diketahui melalui fakta/ data perubahan-perubahan yang terjadi antara lain dari perubahan ukuran tubuh, bentuk badan, otot, tulang, kemampuan motorik kasar, pengaruh hormon, pertumbuhan fisik yang tak seimbang, perkembangan motorik, dan kordinasi tangan dan mata.

Perkembangan fisik adalah dasar bagi setiap individu untuk mencapai kematangan dalam aspek perkembangan lainnya. Oleh karena itu, perkembangan fisik pada anak usia dini dapat dijadikan indikator yang sangat berguna bagi para pendidik. Adapun indikator perkembangan fisik yang biasa digunakan dalam melihat perkembangan dan pertumbuhan fisik seorang anak adalah sebagai berikut :

1. Perubahan Ukuran Badan

Page 16: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Tanda-tanda yang paling terlihat pada pertumbuhan fisik adalah perubahan bentuk tubuh anak. Sewaktu bayi perubahan terjadi sangat cepat dibandingkan dengan waktu lain setelah kelahiran. Diakhir tahun pertama, tinggi bayi meningkat 50% dibanding saat baru lahir, sedangkan diusia 2 tahun peningkatanya mencapai 75%. Dari segi beratnya menunjukan peningkatan yang serupa. Saat usia 5 bulan, beratnya mencapai dua kali lipat, diusia 1 tahun mencapai tiga kali lipat dan usia 2 tahun mencapai 4 kali lipat. Semakin bertambahnya usia, pertumbuhan tersebut akan semakin lambat kecepatannya.

2. Perubahan Bentuk Badan

Sesuai dengan peningkatan ukuran tubuh anak secara keseluruhan, tiap bagian tubuh juga tumbuh dengan ukuran yang berbeda. Pada saat dalam kandungan, kepala janin berkembang lebih dahulu kemudian baru diikuti bagian tubuh. Setelah lahir, kepala dan dada terus bertumbuh tetapi badan dan kaki menyusul kemudian.

Pada masa pubertas, proses pertumbuhan fisik bayi tidak berurutan (ex. Pertama tangan kemudian kaki). Itulah sebabnya bentuk fisik bayi tidak proposional-kaki dan tangannya terlihat lebih panjang atau besar.

3. Perubahan Otot

Berat tubuh/lemak tubuh meningkat pada 2 minggu terakhir dalam tahap kehidupan janin dalam kandungan dan berlanjut setelah kelahiran hingga mencapai puncaknya diusia 9 bulan. Lemak tubuh pada bayi akan membantu menjaga suhu badan bayi tersebut. Pada tahun kedua tubuh anak lebih kelihatan kurus, kecendrungan tersebut berlanjut sampai pada masa pertengahan usia dini (Fomon & Nelson, 2002).

Pada saat lahir, bayi perempuan memiliki badan yang lebih gemuk daripada bayi laki-laki. Perubahan ini terus bertahan sampai usia sekolah. Pada usia anak sekitar 8 tahun, anak perempuan mulai bertambah lemak pada bagian lengan, kaki, badan dan keadaan ini berlanjut hingga masa pubertas. Namun sebaliknya pada anak laki-laki, jumlah lemak ditempat-tempat tersebut akan berkurang (Siervogel et al; 2000). Lambat laun otot akan bertambah pada masa bayi dan kanak-kanak kemudian meningkat secara tajam pada saat remaja. Pada masa pubertas, otot anak laki-laki berkembang lebih cepat 150% dibanding anak perempuan. Demikian juga dengan jumlah sel darah merah dan kemampuan oksigen dari paru-paru ke oksigen lebih banyak jumlahnya pada anak laki-laki. Bersamaan dengan itu, anak laki-laki akan memperoleh otot yang lebih kuat daripada anak perempuan. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi bahwa penampilan anak laki-laki lebih atletis diwaktu usia remaja.

4. Pertumbuhan Tulang

Anak-anak pada usia yang sama akan berbeda dalam pertumbuhan fisiknya. Cara terbaik untuk memperkirakan kematangan fisik anak adalah dengan menggunakan umur tulang, dengan mengukur perkembangan dari tulang badan. Seiring penambahan usia, bentuk badan akan kelihatan lebih kurus sampai usia remaja. Dalam usia pertumbuhan, anak

Page 17: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

perempuan lebih cepat perkembangannya daripada anak laki-laki, serta kematangan fisiknya lebih cepat dari anak laki-laki dan itu mempengaruhi keberadaan mereka dilingkungan.

5. Penambahan Kemampuan Motorik Kasar

Perubahan ukuran, bentuk dan kekuatan otot mendukung perubahan besar pada kemampuan motorik kasarnya. Ketika tubuh bergerak maka akan tertumpu pada tubuh bagian bawah. Sebagai hasilnya, keseimbangan meningkat secara drastis yang membuka jalan untuk perkembangan otot.

Di usia 2 tahun, cara berjalan anak menjadi lancar dan sudah memiliki irama langkah. Keadaan tersebut membuat anak lebih aman untuk bermain diluar. Diusia ini anak sudah dapat mulai berlari dan melompat. Pada usia antara 3 – 6 tahun, anak sudah mulai meloncat dan berlari kencang serta melompat-lompat dengan berirama. Pada akhirnya anak akan dapat mengkombinasikan kemampuan gerakan diatas dan bawah dengan lebih efektif. Sebagai contoh: anak usia 3 tahun sudah dapat melempar sebuah bola dengan tegas. Diusia 4-5 tahun, anak dalam bermain sudah melibatkan bahu, hanya menggunakan badan saja tanpa ikut menggerakan tangan dan kaki dengan lancar dan fleksibel.

Selama usia sekolah, peningkatan keseimbangan, kekuatan dan kelincahan dalam hal berlari, meloncat, melompat dan kemapuan memainkan bola akan lebih meningkat dan matang.

6. Pengaruh Hormon dalam Perkembangan Fisik

Hormon yang sangat penting bagi pertumbuhan manusia ada dalam Pituitary Gland (Kelenjar pituitari) yang letaknya sangat dekat sekali dengan Hypothalamus dalam otak. Pertumbuhan hormon adalah satu-satunya kelenjar lendir yang diproduksi secara terus menerus seumur hidup. Ini berpengaruh pada perkembangan semua sel didalam tubuh, kecuali sistem susunan syaraf pusat dan kelamin.

Bersamaan dengan hypothalamus dan kelenjar pituitari mendorong kelenjar tyroid (di leher) untuk melepas Thyroxine yang penting bagi perkembangan otak dan perkembangan hormon dalam mempengaruhi ukuran badan.

7. Pertumbuhan Fisik yang Tidak Seimbang

Sistem dalam tubuh berbeda sesuai dengan keunikannya, secara perlahan akan membuat suatu sistem dalam pertumbuhannya. Pertumbuhan fisik sangat dipengaruhi oleh penyerapan gizi yang baik, sedangkan penyerapan gizi didalam tubuh sangat dipengaruhi oleh sistem kelenjar getah bening yang diproduksi oleh tubuh. Seperti kita ketahui bahwa kelenjar getah bening ini tumbuh dengan sangat pesat pada masa bayi dan masa usia dini, kemudian jumlah pertumbuhannya berkurang diusia remaja. Sistem kelenjar getah bening

Page 18: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

ini juga membantu melawan infeksi, dengan demikian juga akan membantu menjaga daya tahan tubuh.

Perkembangan Motorik Kasar

Motorik kasar anak akan berkembang sesuai dengan usianya (age appropriateness). Orang dewasa tidak perlu melakukan bantuan terhadap kekuatan otot besar anak. Jika anak telah matang, maka dengan sendirinya anak akan melakukan gerakan yang sudah waktunya untuk dilakukan. Misalnya : seorang anak usia 6 bulan belum siap duduk sendiri, maka orang dewasa tidak perlu memaksakan dia duduk di sebuah kursi.

Gerakan motorik kasar untuk anak :

1. Merayap2. Merangkak3. Berdiri4. Memanjat5. Berjalan6. Berlari7. Menendang8. Menangkap9. Melompat10. Meluncur11. Lompat tali

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk mendukung motorik kasar anak misalnya :

1. Berjalan dengan berbagai gerakan2. Mencari jejak3. Berjalan seperti binatang4. Berjalan naik turun tangga5. Berbaris, melangkah, berjinjit, berjalan seperti gerakan kuda lari6. Berlari seperti pecutan kuda7. Berjalan di tempat8. Lompatan kanguru9. Melompat dengan trampoline kecil10. Melompat seperti katak11. Berjalan dengan papan titian maju, mundur, ke samping, membawa benda.12. Mengambil dan meletakkan kepingan dari dan ke mangkuk13. Membungkuk/mengumpulkan makanan14. Bermain terowongan15. Bermain kursi ditutup selimut16. Menginjak alas dengan berbagai bahan seperti kartun /plastic bekas telur, kain perca, potongan gelas aqua, sabut kelapa. dsb)17. Melemparkan barang-barang ke mulut harimau18. Kursi bermusik

Page 19: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

19. Bermain dengan aturan. Untuk 3 tahun ke atas.Berdiri di lingkaran dan berputar dengan musik. Kursi diambil 1, jika music berhenti, masing-masing harus mendapatkan 1 kursi.Untuk anak toodler, boleh digunakan asal kursinya tidak diambil. Semua anak dapat kursi.20. Hula hop, senam dan lagu.21. Bermain outdoor22. Menggulung/menendang/melempar / menangkap

Perkembangan Motorik Halus.

Motorik halus mengembangkan kemampuan anak dalam menggunakan jari-jarinya, khususnya ibu jari dan jari telunjuk. Kemampuan motorik halus ada bermacam- macam, antara lain ;

1. Menggenggam (grasping)

a). Palmer grasping

Anak menggenggam sesuatu benda dengan menggunakan telapak tangannya. Biasanya usia anak di bawah 1.5 tahun lebih cenderung menggunakan genggaman ini. Anak merasa lebih mudah dan sederhana dengan memegang benda menggunakan telapak tangan. Kadang kita bisa mengamati anak memungut kismis , tetapi kemudian sering diacak-acak memakai telapak tangan. Karena motorik halus yang belum berkembang dengan baik, maka anak perlu mendapatkan alat-alat yang lebih besar untuk melatih motorik halusnya. Jangan memberi crayon / kuas yang kecil pada anak usia 1,5-2 tahun, tetapi gunakan yang lebih besar. Demikian pula jika memberikan piring, gunakan piring yang lebih cekung dan sendok yang lebih panjang dan kecil, sehingga ketika anak mengambil sesuatu dari piringnya, ada penahan pada dinding piring.

b). Menjimpit (Pincer grasping)

Perkembangan motorik halus yang semakin baik akan menolong anak untuk dapat memegang tidak dengan telapak tangan, tetapi dapat menggunakan jari-jarinya. Ketika anak sedang makan, maka cara memegang sendoknya pun akan lebih baik, menyerupai cara orang dewasa memegang.

Salah satu contoh adalah saat anak mencoret Anak senang mencoret-coret (mark-makings) menggunakan beberapa alat tulis seperti crayon, spidol kecil, spidol besar, pensil warna, kuas, dsb. Coretan ini akan makin bermakna seiring dengan perkembangan kemampuan motorik halus dan kognisi anak.

2. Memegang

Page 20: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Anak dapat memegang benda-benda besar maupun benda-benda kecil. Semakin tinggi kemampuan motorik halus anak, maka ia makin mampu memegang benda-benda yang lebih kecil.

3. Merobek

Keterampilan merobek dapat dilakukan dengan menggunakan kedua tangan sepenuhnya, ataupun menggunakan dua jari (ibu jari dan telunjuk).

4. Menggunting

Motorik halus anak akan makin kuat dengan banyak berlatih menggunting. Gerakan menggunting dari yang paling sederhana akan terus diikuti dengan guntingan yang makin kompleks ketika motorik halus anak makin kuat.

J. Koordinasi Tangan Mata

Koordinasi mata tangan memiliki 2 aspek yaitu;

1. Kemampuan menolong diri sendiri (self help skill)Kemampuan untuk menolong diri sendiri misalnya :• mencuci tangan• menyisir rambut• menggosok gigi• memakai pakaian• makan dan minum sendiri, dsb.

2. Kemampuan untuk pembelajaran

Koordinasi tangan dan mata anak dapat dilatih dengan banyak melakukan aktivitas misalnya :• membuka bungkus permen• membawa gelas berisi air tanpa tumpah• membawa bola di atas piring tanpa jatuh• mengupas buah• bermain playdough• meronce, menganyam, menjahit• melipat• menggunting• mewarna, menggambar dan menulis• menumpuk mainan,

Setiap gerakan yang dilakukan anak akan melibatkan koordinasi tangan dan mata juga gerakan motorik kasar dan halus. Makin banyak gerakan yang dilakukan anak, maka makin banyak pula koordinasi yang diperlukannya. Karena itu, anak perlu mendapatkan

Page 21: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

banyak kegiatan yang menunjang motorik kasar dan halus anak, yang tentunya dirancang dengan baik seduai dengan usia perkembangan anak.

B. Perkembangan Bahasa Pada Anak Usia Dini

Pada aspek pengembangan bahasa, kompetensi dan hasil yang diharapkan adalah anak mampu menggunakan bahasa sebagai pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi secara efektif yang bermanfaat untuk berfikir dan belajar dengan baik.

Perkembangan bahasa anak tidak saja dipengaruhi oleh perkembangan neurologis tetapi juga oleh perkembangan biologisnya. Lenneberg ( 1967: 128-129 ) mengatakan bahwa perkembangan bahasa seorang anak itu mengikuti dan sesuai dengan jadwal perkembangan biologisnya yang tidak dapat ditawar-tawar. Seorang anak tidak dapat dipaksa ataupun dipicu sekuat apapun untuk dapat mengujarkan/mengucapkan sesuatu, bila saja kemampuan biologisnya belum memungkinkan untuk mengujarkan suatu kata. Sebaliknya, bila saja seorang anak secara biologis telah dapat mengucapkan/mengujarkan sesuatu, maka dia tidak akan dapat dicegah/ditahan untuk tidak mengujarkan/mengucapkannya.Lenneberg juga menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara perkembangan biologi dengan kemampuan berbahasa, karena pada saat seorang anak dapat mengangkat lehernya, sekitar umur 12 minggu, seorang anak sudah dapat tersenyum jika digendong/ditimang, serta sudah mampu mengeluarkan bunyi dekutan ( Cooing ). Ketika seorang anak mulai bisa duduk yaitu kira-kira umur 20 minggu bagi aanak yang normal, maka akan muncul semacam vokal bersama dengan bunyi semacam konsonan. Pada umur eman bulan, dekukan akan mulai menjadi suatu celotehan ( babbling ), dan setelah dua bulan kemudian akan mulai banyak muncul bentuk reduplikasi.

Pertumbuhan biologi ini akan tampak pula dalam konstruksi fisik mulut seorang anak. Pada saat seorang anak dilahirkan, fisiologi mulutnya masih sangat terbatas dimana laringnya( larynx) masih tinggi, lidahnya relatif besar, daerah gerak di mulut sangat sempit, dan lidahnya masih bersandar pada belakang bibirnya.

Stark (1981) membagi perkembangan fitur segmental pra ujaran (prespeech segmental feature development) menjadi lima tahapan;

1. bunyi tangis refleksif dan bunyi-bunyi vegetatif(0-8 minggu ), dimana pada umur 0-8 minggu, anak hanya mampu mengeluarkan bunyi-bunyi reflektif dan vegetatif yang berkaitan dengan tangis, antog, telanan, batuk, bersin, dsb yang pada umumnya bunyi itu seperti bunyi vokal dengan suara yang agak serak.

2. dekutan dan tawa( 8-20 minggu), dimana pada umur 2-5 bulan, seorang anak mulai mendekut dan mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip seperti vokal tetapi ada campuran dengan seperti konsonan yang pada umumnya berupa konsonan belakang saja sepert : (c), (g), (y) dan (k) yang biasanya muncul ketika anak menanggapi/merespon terhadap senyum ataupun ujaran/ucapan dari ibunya.

Page 22: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

3. permainan vokal ( 16-30 minggu ). Pada umur 4-7 bulan, seorang anak akan mulai mengeluarkan bunyi yang agak utuh dengan durasi yang agak lebih lama ( 700-1500 msec, dibandingkan dengan 50 msec, dimana pada tahap pertama. Bunyi mirip konsonannya ( consonant-like ) juga lebih kedepan karena pada saat ini rongga mulut telah bertambah lebar. Bunyi konsonan silabik nasal (m) dan (n) juga sudah mulai muncul dan sudah ada juga variasi vokalnya walaupun hanya sedikit.

4. celotehan reduplikatif ( 25-50 minggu ). Pada umur 6-12 bulan, celotehan reduplikatif mulai sering terdengar. Adapun bentuk reduplikasi ini sering didahului oleh bunyi vokal sehingga bentuknya menjadi seprti (anana) dengan konsonan hambat yang labial, alveolar, ataupun anasal.5. celotehan reduplikatif dan jargon ekspresif. Pada umur 9-18 bulan, celotehan reduplicatif akan berubah menjadi celotehan reduplikatif yang bentuknya lain, yakni, bentuknnya adalah V, CVC, dan vokalnya pun bisa juga berbeda. Bunyi frikatif seperti (s) sudah mulai muncul; demikian pula vokalnya sudah mulai menuju vokal muka-tinggi (i) dan belakang-tinggi (u).

Slobin pernah mengemukakan dengan baik sekali bahwa “ setiap pendekatan modern terhadap pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahasa dibangun sejak semula oleh setiap anak, memanfaatkan aneka kapasitas bawaan sejak ahir yang beraneka ragam dalam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia fisk dan sosial.”. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kebanyakan pendekatan moenr terhadap pemerolehan bahasa dititik beratkan pada salah satu aspek proses pemerolehan. Beberapa diantaranya sangat menaruh perhatian pada ciri-ciri struktural pengembangan sistem linguistik ; yang lain pada hubungan ucapan-ucapan dini dengan perkembangan kognitif anak, sedangkan yang lainnya menaruh perhatian besar pada penggunaan sosial bahasa pertama, bahasa dini ( Cairn, 1986). Pemerolehan bahasa pada anak-anak memang merupakan salah satu prestasi manusia yang paling hebat dan sangat menakjubkan, dimana kita bisa mengetahui bagaimana anak-anak berbicara, mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi sangat sedikit sekali yang kita ketahui adalah bahwa pemerolehan bahasa sangat banyak ditentukan oleh interaksi rumit aspek-aspek kematangan biologis, kognitif, dan sosial.

Pemerolehan bahasa anak dapat dikatakan mempunyai ciri khas kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata lebih rumit ( sintaksis ).Jika kita beranggapan bahwa kegunaan fungsional tangisan sebagai awal dari kompetensi komukatif, maka ucapan-ucapan kata tunggal yang seperti “ mama” buat makan adalah menandai tahap pertama perkembangan bahasa formal. Bergerak kearah yang lebih, maka anak harus berhadapan dengan fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik ( Garcia; 1983 ).

Adapun para ahli telah mengemukakan tentang teori pemerolehan bahasa pada anak sebagai berikut ;

1. Teori Kontinuitas (Mower, dalam Clark: 1977 :398)Teori Kontinuitas menyatakan bahwa dekutan dan celotehan merupakan bunyi-bunyi

Page 23: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

prekursif yang kemudian menjadi bunyi bahasa yang sebenarnya.2. Teori Diskontinuits (Jokobson dalam Clark, 1977:390)

Menyatakan bahwa anak mengeluarkan celotehan dengan bermacam-macam bunyi tanpa urutan yang khusus dan banyak bunyi-bunyi ini yang kemudian hilang selamanya atau terpendam untuk beberapa saat, kemudian muncullah fase pemerolehan yang urutannya konstan. Karena itu Jokobson menyimpulkan bahwa celotehan tidak berlanjut menjadi ujaran.

3. Teori Nativisme (Chomsky; 1972 dan 1957)

Teori ini dilandaskan pada kenyataan bahwa seorang anak dapat memperoleh bahasa manapun kalau saja dia diberi peluang, seorang anak sejak lahir telah membawa bekal kodrati yang memungkinkan dia dapat memperoleh bahasa apa pun yang disuguhkan padanya.

Chomsky mengatakan bahasa hanya dapat diperoleh manusia, karena pemerolehan bahasa adalah species-specific human capacity, ini berarti bahwa dalam benak manusia ( mind) ada prinsipel-prinsipel restriktif yang menentukan natur bahasa manusia.

Chomsky juga mengatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat kodrati dan merupakan suatu proses Instingtif yang berlanjut(Continuous) dan berjalan secara konstan dari waktu ke waktu dengan mengikuti jadwal genetik sesuai dengan prinsipel-prinsipel serta parameter yang terdapat pada tata bahasa Universal.

J. okobson (dalam Dardjowidjojo) mengatakan bahwa penguasaan bunyi bahasa pada anak-anak berjalan selaras denga kodrat bunyi itu sendiri dan diperoleh anak melalui suatu cara yang konsisten. Bunyi pertama yang dikuasai anak adalah kontras bunyi vokal dan konsonan. Dalam hal bunyi vokal terdapat tiga vokal yang utama yang muncul lebih dahulu, yaitu (i), (u), (a). Sistem kontras seperti itu disebut sistem vokal minimal ( minimal vocalic system) dan terdapat dalam semua bahasa. Artinya, dalam bahasa manapun ketiga bunyi vokal tersebut pasti ada.

Dalam hal bunyi konsonan kontras pertama yang muncul adalah antara bunyi oral dengan bunyi nasal (p-b),(m-n) dan kemudian disususl oleh kontras antara bunyi bilabial dengan bunyi dental (p,t). Sistem kontras seperti ini dinamakan sistem konsonantal minimal (Minimal consonantal system).(Sunyono,2005:283). Lebih jauh Jokobson juga mengatakan bahwa hubungan antara bunyi yang satu dengan yang lain bersifat Universal.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak akan dapat menguasai bunyi-bunyi bahasa dan berlansung secara berurutan Vokal Minimal akan diperoleh lebih awal daripada konsonan vokal lainnya, sedangkan konsonan hambat akan diperoleh lebig awal daripada konsonan frikatif, dan konsonan frikatif akan diperoleh lebih awal daripada efrikatif. Anak tidak mungkin dapat menguasai friketif ataupun afrikatif sebelum mereka menguasai konsonan hambat. Kontras antara bilabial(b) dengan dental(d) dengan velar(g) atau dengan denta (d) dengan velar(g). Kontras antara bilabial-dental(b-d) dikuasai

Page 24: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

sebelum frikatif (v-s); bunyi hambat dan frikatif (b-d-v-s) dikuasai sebelum alveo-falatal(ts-d3). Hal itu sejalan dengan apa yang disampaikan Ingram yang menyatakan bahwa konsonan pertama yang dikuasai anak adalah(p),(t),(m),(n).( ingram,73).Penguasaan bunyi bahasa pada anak-anak berlansung secara berurutan, yakni dari bunyi yang mudah ke bunyi yang sukar. Dalam penguasaan bunyi-bunyi tersebut anak-anak mengikuti kaidah usaha minimal ( The law of least efforts). Untuk mengetahui mudah tau sukarnya suatu bunyi, dasar yang digunakan adalah cara artikulasinya dan jumlah fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi, jika makin sukar artikulasi dan makin banyak fitur distingtifnya, makin belakangan bunyi itu dikuasai.

Setiap kebudayaan manusia memiliki bahasa. Bahasa manusia berjumlah ribuan, yang begitu bervariasi di atas permukaan bumi. Tetapi semua bahasa manusia memiliki beberapa karakteristik yang umum. Bahasa adalah suatu sistem symbol yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Pada manusia bahasa ditandai oleh adanya daya cipta yang tidak pernah habis dan adanya sebuah aturan. Daya cipta yang tidak pernah habis ialah suatu kemampuan individu untuk menciptakan sejumlah kalimat bermakna yang tidak pernah berhenti dengan menggunakan seperangkat kata dan aturan yang terbatas, yang menjadikan bahasa sebagai upaya yang sangat kreatif.

Jelas bahwa bahasa adalah suatu alat komunikasi yang digunakan melalui suatu sistem suara, kata, pola yang digunakan manusia untuk menyampaikan pertukaran pikiran dan perasaan. Dengan demikian, bahasa termasuk hal esensial di dalam perkembangan anak untuk mengoptimalkan potensi dan beradaptasi dengan dunia sekitar.Prinsip Perkembangan Bahasa pada Anak

Prinsip yang mempengaruhi penyatuan pemikiran dan bahasa yaitu;

1) Semua fungsi mental memiliki asal usul eksternal atau soaial. Anak-anak harus menggunakan bahasa dan mengkomunikasikannya kepada orang lain sebelum mereka berfokus ke dalam proses-proses mental mereka sendiri.

Anak-anak harus berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa selama periode waktu yang lama sebelum transisi dari kemampuan berbicara secara eksternal ke internal berlangsung. Priode transisi ini terjadi antara usia 3 -7 tahun dan meliputi berbicara kepada diri sendiri. Setelah beberapa saat berbicara sendirinitu menjadi hakekat kedua anak-anak dan mereka dapat bertindak tanpa memverbalisasikannya. Bila ini terjadi anak-anak telah meninternalisasikan pembicaraan mereka yang egosentris dalam bentuk berbicara sendiri yang menjadi pemikiran anak (Diknas, 2010).

Faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak

Bahasa anak dapat berkembang cepat jika anak memiliki kemampuan dan didukung oleh lingkungan yang baik. Berikut ini ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan bahasa pasa anak usia dini ;

Page 25: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

1) Anak berada di dalam lingkungan yang positif dan bebas dari tekanan.Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa lingkungan yang kaya bahasa akan menstimulasi perkembangan bahasa anak. Stimulasi tersebut akan optimal jika anak tidak merasa tertekan. Anak yang tertekan dapat menghambat kemampuan bicaranya. Dapat ditemukan anak gagap yang disebabkan karena tekanan dari lingkungannya.

2) Menunjukkan sikap dan minat yang tulus pada anak.Anak usia dini emosinya masih kuat. Karena itu guru harus menunjukkan minat dan perhatian tinggi kepada anak. Orang dewasa perlu merespon anak dengan tulus.

3) Menyampaikan pesan verbal diikuti dengan pesan non verbal.

4) Dalam bercakap-cakap dengan anak, orang dewasa perlu menunjukkan ekspresi yang sesuai dengan ucapannya. Perlu diikuti gerakan, mimik muka, dan intonasi yang sesuai.Misalnya : orang dewasa berkata,”saya senang” maka perlu dikatakan dengan ekspresi muka senang, sehingga anak mengetahui seperti apa kata senang itu sesungguhnya.

5) Melibatkan anak dalam komunikasi.Orang dewasa perlu melibatkan anak untuk ikut membangun komunikasi. Kita menghargai ide-idenya dan memberikan respon yang baik terhadap bahasa anak.

Tahap-Tahap Perkembangan Bahasa

Menurut Vygosky, bahwa ada 3 (tiga) tahap perkembangan bahasa anak yang menentukan tingkat perkembangan berfikir, yaitu tahap eksternal, egosentris, dan internal yaitu sebagai berikut :Pertama, tahap Eksternal yaitu : tahap berfikir dengan sumber berfikir anak berasal dari luar dirinya. Sumber eksternal tersebut terutama berasal dari orang dewasa yang memberi pengarahan kepada anak .dengan cara tertentu. Misalnya orang dewasa bertanya kepada seorang anak, ” Apa yang sedang kamu lakukan?” Kemudian anak tersebut meniru pertanyaan, ”Apa?” Orang dewasa memberikan jawabannya, ”Melompat”.Kedua, tahap egosentris yaitu suatu tahap ketika pembicaraan orang dewasa tidak lagi menjadi persyaratan. Dengan suara khas, anak berbicara seperti jalan pikirannya, misalnya ”saya melompat”, ”ini kaki”, ”ini tangan, ”ini mata”.Ketiga, tahap internal yaitu suatu tahap ketika anak dapat menghayati proses berfikir, misalnya, seorang anak sedang menggambar kucing. Pada tahap ini, anak memproses pikirannya dengan pikirannya sendiri, ”Apa yang harus saya gambar? Saya tahu saya sedang menggambar kaki sedang berjalan”

Kemampuan berbahasa merupakan hasil kombinasi seluruh system perkembangan anak, karena kemampuan bahasa sensitive terhadap keterlambatan atau kerusakan pada system yang lain. Kemampuan berbahasa melibatkan kemampuan motorik, psikologis, emosional dan social. Seperti kemampuan motorik, kemampuan bayi untuk berbahasa terjadi secara bertahap, sesuai dengan perkembangan usianya.

Page 26: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

- Pada usia 0-2 bulan, bayi sudah memiliki kemampuan menggunakan bahasa tubuhnya untuk mengungkapkan atau menerima hubungan dengan orang lain. Sentuhan lembut penuh kasih saying dari ibu (orang tua) akan dirasakan nyaman oleh bayi. Sebaliknya , sentuhan kasar akan dirasakan tidak nyaman oleh bayi.

- Pada usia 3 bulan, bayi sudah menunjukkan kemampuan vokalnya. Bayi mulai tersenyum dan mampu mengeluarkan suara. Pada usia ini , biasanya bunyi yang keluar dari mulut bayi adalah “eeeeee”.

- Pada usia 4 bulan, bayi dapat berbicara menggunakan suara tenggorokan yang berbunyi “rrrr”.

- Pada usia 5 bulan, bayi sudah bias tertawa dan bergumam “wwwww” . Bahkan diusia 4-5 bulan bayi sudah dapat diajak untuk berjenaka yang mengundang tawa.

- Pada usia 6 bulan, bayi sudah dapat merangkai kata, berupa suara yang bersambungan dengan ocehan seperti suara “ge-ge-ge atau “da-da-da”.

- Pada usia 7-8 bulan, bayi dapat mengeluarkan kata-kata sederhana, seperti mama, papa, mem-mem , dan he-he. Selain itu bayi sudah gemar mengoceh.

- Pada usia 9 bulan, bayi sudah mengenal kata dan pengetahuan bahasa yang dimilikinya mulai beraneka ragam. Bayi mulai mengerti kata-kata sederhana dan perintah. Makna bahasa yang diungkapkan anak akan dimengerti oleh ibu dan orang-orang terdekatnya.

- Pada usia 10 bulan, bayi dapat menghubungkan kata-kata dengan gerakan dan mampu mengulangi kata-kata atau suara yang sama.

- Pada usia 11-12 bulan, ocehan bayi mulai berisi kata-kata yang berarti dan mulai dapat berkomunikasi menggunakan bahasa yang sesungguhnya.

Berikut ini ada perkembangan kemampuan bahasa reseptif dan bahasa ekspresif yaitu;

Perkembangan Kemampuan Bicara dan Bahasa yang Normal

Tahapan Proses Perkembangan Bahasa Anak Usia Lahir – 6 tahun

No. Usia Proses Mendengar/ MemahamiProses Berbicara

1. Lahir-3 bulan - bayi terbangun ketika mendengar suara yang keras (biasanya reaksinya adalah menangis)- bayi mendengar orang lain berbicara dengan cara memperhatikan orang yang berbicara- bayi tersenyum ketika diajak bicara- bayi mengenali suara pengasuhnya dan menjadi berhenti menangis ketika diajak ngobrol - anak membuat suara yang menyenangkan

Page 27: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

- anak akan mengulangi suara yang sama secara berulang-ulang (seperti ocehan)- anak akan menanagis dengan cara berbeda untuk menunjukkan kebutuhannya yang berbeda-beda pula (misal : menangis dengan melengking tinggi jika kesakitan)2. 4-6 bulan - anak sudah dapat merespon nada suara (lembut ataupun keras)- anak akan melihat sekeliling untuk mencari sumber bunyi (contoh : bunyi bel, telepon atau benda jatuh)- anak akan memperhatikan bunyi yang dihasilkan dari mainannya (misal : memukul-mukul mainan ke lantai) - anak akan berceloteh ketika sendirian- anak akan melakukan sesuatu (dengan bunyi atau gerakan tubuh) secara berulang ketika bermain- anak akan berbicara secara sederhana (tanpa tangisan) untuk menarik perhatian orang dewasa di sekitarnya3. 7-12 bulan - anak menyukai permainan ‘ciluk-ba’- anak akan mendengarkan ketika diajak berbicara- anak mengenali kata-kata yang sering ia dengar, misal : susu, mama, dll. - anak akan berbicara secara sederhana (tanpa tangisan) untuk menarik perhatian orang dewasa di sekitarnya- anak akan melakukan imitasi untuk berbagai jenis bunyi/ suara- anak akan berceloteh dengan kata-kata sederhana : “ma-mam”, “da-da”’ tapi masih belum jelas pengucapannya4. 12-24 bulan - anak sudah dapat memahami perintah dan pertanyaan sederhana, contoh : “mana bolanya?”, “ambil bonekanya”- anak akan menunjuk benda yang dimaksud ketika ditanyai- anak dapat menunjuk beberapa gambar dalam buku ketika ditanyai - anak telah dapat menggunakan berbagai bunyi huruf konsonan pada awal kata- anak sudah bisa menyusun dua kata. Contoh : mau minum, mama ma’em, dll.- Anak dapat bertanya dengan 2 kata sederhana, misal : “mana kucing?”, “itu apa?”5. 24-36 bulan - Anak bisa memahami dua perintah sekaligus (contoh : “ambil bolanya dan ditaruh di kursi”)- Anak sudah dapat memperhatikan dan memahami berbagai sumber bunyi (misal : suara TV, pintu ditutup, dll)- Anak telah memahami perbedaan makna dari berbagai konsep, misal : “jalan-berhenti”, “di dalam-di luar”, “besar-kecil”, dll) - Anak bisa bertanya dan mengarahkan perhatian orang dewasa dengan mengatakan nama benda yang dimaksud.- Cara anak berbicara sudah dapat dipahami secara keseluruhan- Anak sudah dapat menghafal kata-kata untuk keseharian- Anak memahami tata bahasa secara sederhana, misal “aku mau naik sepeda”6. 4-6 tahun - Anak sudah bisa menggunakan kata secara lebih rumitMisal : “Ibu, aku lebih suka baju yang berwarna merah. Yang hijau tidak bagus.”

C. Perkembangan Kognitif Pada Anak Usia DiniPada aspek pengembangan lognitif, kompetensi dan hasil belajar yang diharapkan pada anak adalah anak mampu dan memiliki kemampuan berfikir secara logis, berfikir kritis, dapat memberi alasan, mampu memecahkan masalah dan menemukan hubungan sebab akibat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan individu

Page 28: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

dalam memahami dunia, yaitu; pengorganisasian dan penyesuaian. Untuk membuat dunia kita masuk akal, kita mengorganisasikan pengalaman-pengalaman kita. Misalnya, kita memisahkan gagasan penting dari gagasan-gagasan yang kurang penting. Kita mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Namun, kita tidak hanya mengorganisasikan pengamatan-pengamatan dan pengalaman-pengalaman kita, kita juga menyesuaikan pemikiran kita untuk meliput gagasan-gagasan baru. Piaget (1954) yakin bahwa penyesuaikan diri (adaptasi) dilakukan dalam dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi.Asimilasi (assimilation) terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada. Akomodasi (accomodation) terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru. Akomodasi dan asimilasi ini kemudian membentuk struktur berpikir, yang oleh Piaget disebut skema (“Schema/Schemata”). Skema mengacu kepada unit (atau unit-unit) dasar atau suatu pola pemfungsian sensori-motorik yang terorganisasi.

Piaget berpikir bahwa asimilasi dan akomodasi berlangsung sejak kehidupan bayi yang masih sangat kecil. Bayi yang baru lahir secara refleks mengisap segala sesuatu yang menyentuh bibirnya (asimilasi), tetapi setelah beberapa bulan pengalaman, mereka membangun pemahaman mereka tentang dunia secara berbeda. Beberapa objek, seperti jari dan susu ibu, dapat diisap, dan objek lain, seperti selimut yang berbulu halus sebaiknya tidak diisap (akomodasi). Tahapan-tahapan pemikiran ini secara kualitatif berbeda dari setiap individu. Cara anak berpikir pada satu tahap tertentu sangat berbeda dari cara mereka berpikir pada tahap lain.1. Perkembangan KognitifPiaget meyakini bahwa bahwa manusia dalam hidupnya melalui empat tahap perkembangan kognitif. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berfikir khas/ berbeda. Empat tahap perkembangan kognitif itu adalah; tahap sensori motor, tahap praoperasional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal. Pada bagian ini tahapan perkembangan kognitif yang dijelaskan khusus perkembangan kognitif untuk dua tahapan saja, yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun) dan tahap praoperasional (2-7 tahun).1). Tahap Sensorimotor (Sensorimotor Stage)Disebut sensorimotor karena pembelajaran anak hanya melibatkan panca indra. Anak belajar untuk mengetahui dunianya hanya mengandalkan indera yaitu melalui meraba, membau, melihat, mendengar, dan merasakan.Pada permulaan tahap ini, bayi memiliki lebih dari sekedar refleks yang digunakan untuk bekerja. Anak berusia 2 tahun memiliki pola sensori-motorik yang kompleks dan mulai berkomunikasi dengan suatu simbol yang primitif. Tidak seperti pada tahap lainnya, tahap sensori motorik dibagi lagi ke dalam enam subtahap, yang masing-masing meliputi perubahan-perubahan kualitatif tahapan organisasi sensori-motorik. Keenam subtahap perkembangan sensori-motorik adalah; (1) refleks sederhana; (2) kebiasaan-kebiasaan pertama dan reaksi sirkuler primer; (3) reaksi sirkuler sekunder; (4) koordinasi reaksi sirkuler sekunder; (5) reaksi sirkuler tersier, pencarian, dan keingintahuan, dan (6) internalisasi skema.a) Refleks sederhana (lahir sampai 1 bulan). Pada tahap ini anak Kemampuan berpikir anak sangat sederhana, sekedar gerakan-gerakan refleks saja. Bayi dalam tahap ini dapat

Page 29: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

langsung menghisap bila botol atau puting didekatkan.b) Kebiasaan-kebiasaan pertama dan reaksi sirkuler primer (1-4 bulan). Pada usia ini Anak mulai belajar menggunakan anggota tubuhnya sendiri. Dia belajar menggunakan anggota tubuhnya sendiri. Disebut sebagai reaksi awal karena gerakannya berulang-ulang mengikuti pola berikut : aksi – berulang – aksi. Kegiatan yang berulang-ulang tersebut menjadi perkembangan kognisi awal. Misalnya seorang bayi akan menghisap bila secara oral atau bila secara visual diperlihatkan botol.c) Reaksi sirkuler sekunder (Usia : 4-8 bulan). Pada tahap ini bayi semakin berorientasi atau berfokus pada benda-benda di dunia, yang bergerak di dalam keasyikan dengan diri sendiri dalam interaksi sensori-motorik. Pada bayi mulai menirukan tindakan senderhana, seperti berbicara atau menarik orang dewasa, dan beberapa gerakan fisik.d) Koordinasi reaksi sirkuler sekunder (Usia : 8-12 bulan). Pada tahap ini terjadi perubahan yang signifikan dibandingkan dengan usia sebelumnya. Bayi pada tahap ini dapat mengkombinasikan dan mengkombinasikan ulang skema yang telah dipelajari sebelumnya dengan cara yang terkoordinasi. Bayi dapat melihat sesuatu benda dan menggenggamnya secara serentak, atau secara visual memeriksa suatu mainan.e) Reaksi sirkuler tersier, pencarian, dan keingintahuan (Usia 12-18 bulan). Pada tahap ini bayi semakin tergugah minatnya oleh berbagai hal yang ada pada benda-benda dan oleh banyaknya hal yang dapat mereka lakukan pada benda-benda itu. Anak memperhatikan balok yang dijatuhkan, berputar, menabrak benda lain, berputar di tanah, dan lain-lain. Piaget menganggap bahwa subtahap ini menandai titik awal perkembangan keingintahuan dan minat manusia pada sesuatu yang baruf) Internalisasi skema (Usia 18-24 bulan). Pada subtahap ini fungsi mental bayi berubah dari suatu taraf sensori-motork murni menjadi suatu taraf simbolis, dan bayi mulai mengembangkan kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol primitif. Bagi Piaget, simbol ialah representasi peristiwa yang dialami bayi melalui sensoris gambar atau kata yang terinternalisasi dalam dirinya. Dengan simbol primitif memungkinkan bayi memanipulasi dan mentransformasikan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dengan cara yang sederhana. Beberapa contoh, misalnya;1). Anak mau mengambil sesuatu, lalu pakai alat lain2). Ibu berpura-pura tidur, anak memperhatikan, lalu suatu saat anak pura-pura tidur3). Anak mau mengambil sesuatu di meja besar. Dia tidak bisa. Dia akan memukul-mukul meja dengan kedua tangannya dengan harapan barang itu bergerak mendekati dia. Ternyata tidak bisa, lalu ia tarik taplak, sedikit demi sedikit, akhirnya ditariknya seluruh taplak itu dan dia mendapatkan bendanya, sementara benda lain di taplak itu ikut terjatuh.Mengacu pada deskripsi di atas, di bawah ini disajikan suatu model kurikulum yang sesuai dengan perkembangan kognitif bayi yang dianjurkan oleh pendidik dan para peneliti pertumbuhan bayi di lembaga La Visa Wilson (1990), seperti terlihat pada matriks di halaman berikut.

Sub Tahap Piaget Alat Bantu Strategi PengasuhRefleks sederhana (lahir sampai 1 bulan) Tempat tidur yang secara visual menarik dan adanya dinding yang dekat dengan tempat tidur, benda-benda yang dekat dengan tempat tidur, sekali-kali musik, nyanyian, pembicaraan, dan bunyi lonceng. Kenakan pakaian yang tidak ketat, tempat tidur yang tidak kusut, untukmemungkinkan kebebasan gerakan;

Page 30: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

bentuk lingkungan yang meningkatkan perhatian bayi selama periode bayi terjaga.Kebiasaan-kebiasaan pertama dan reaksi sirkuler primer (1-4 bulan)

Wajah dan suara, mainan yang ada musiknya, mainan bergerak yang ada musiknya, mainan yang kalau digoyang-goyangkan berbunyi; benda-benda yang dapat digenggam bayi dan aman kalau masuk ke dalam mulut bayi; benda-benda yang dapat digenggam dan diangkat oleh bayi. Buat perubahan dalam lingkungan bayi; bawa bayi berjalan-jalan, pegang bayi, tempatkan bayi di dalam tempat tidur; amati, diskusikan, catat perubahan-perubahan pada bayi; bunyikan mainan yang ada musiknya dan tempatkan di mana bayi dapat melihatnya; tempatkan benda-benda di tangan bayi atau di dalam jangkauan bayi; beri pakaian yang memungkinkan bebas bergerak; beri waktu dan ruang yang mendkung pengulangan perilaku.Reaksi sirkuler sekunder (Usia : 4-8 bulan) Benda-benda menarik perhatian (berwarna kontras, yang berubah suaranya, yang memiliki variasi tekstur atau rancangan); mainan; bola. Perhatikan gerakan yang diulang-ulang oleh bayi, seperti ketika tangan yang sedang mengayun memukul tepi tempat tidur dan tindakan ini terus diulangi; sediakan alat bantu yang memudahkan pengulangan semacam itu (item baru pada olahraga tempat tidur); tempatkan balok, boneka, dan mainan lain dekat bayi sehingga benda-benda itu dapat diraih; prakarsai tindakan lalu tunggu bayi menirunya, kemudian ulangi tindakan (tersenyum dan membuka mulut, misalnya).Koordinasi reaksi sirkuler sekunder (Usia : 8-12 bulan) Mainan, benda-benda yang menarik secara visual Tempatkan benda dihadapan anak. Selanjutnya pengasuh memainkan benda dengan cara menyembunyikan beberapa benda di bawah, belakang, atau tempat lain yang tidak terlihat oleh anak. Katakan kepada anak; ”Saya menaruh benda di atas/depan/bawah ………”. Berikan kesempatan kepada anak untuk memainkan benda-benda seperti yang dilakukan oleh pengasuh.

Reaksi sirkuler tersier, pencarian, dan keingintahuan (Usia 12-18 bulan) Selimut, kertas, mainan, boneka, sendok, benda-benda yang menarik; mainan air, ember air; benda dengan ukuran berbeda yang aman dan dapat digenggam. Mainkan permainan petak umpet benda di dekat bayi, sembunyikan benda sementara bayi melihatnya, biarkan bayi melihat anda memindahkan benda itu ke suatu tempat yang berbeda di bawah selimut, lalu tanya; ”mana benda itu?, kau tahu di mana?”; amati anak dan biarkan si anak berusaha menemukannya. Pujilah anak atas penglihatan dan pemikirannya. Amati dan perbolehkan bayi bermain dengan air dan mainan untuk menemukan reaksinya terhadap air dan benda yang berada di dalam air; beri waktu dan alat bantu lainnya untuk merangsang bayi berpikir dan mencoba gagasan-gagasan baru; tanyakan pertanyaan tetapi jangan memberitahu jawabannya atau memperlihatkan kepada bayi; beri semangat pada bayi untuk berpura-pura minum dengan menggunakan mainan yang ada.Internalisasi skema (Usia 18-24 bulan) Benda-benda yang menarik perhatian (berwarna kontras, yang berubah suaranya, yang memiliki variasi tekstur atau rancangan); mainan; bola. Beri anak yang baru belajar berjalan waktu mencari pemecahan; beri anak waktu untuk berpikir dan mencari benda-benda; amati tingkah laku anak dan identifikasi gagasan-gagasan yang tampaknya penting bagi anak itu; izinkan anak melakukan permainan yang berbeda dengan mainan dan benda itu; amati permainan anak dan

Page 31: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

identifikasi tema-tema yang konsisten; beri pakaian dan bahan-bahan yang menolong anak untuk berpura-pura sebagai orang lain.

2). Tahap Praoperasional (Preoperational Stage)Tahap pra-operasional merupakan tahap awal pembentukan konsep secara stabil. Penalaran mental mulai muncul, egosentrisme mulai kuat dan kemudian lemah, serta keyakinan terhadap hal yang magis terbentuk. Pemikiran praoperasional tidak lain dari masa tunggu yang longgar bagi pemikiran operasional konkret, walaupun label praoperasional menekankan bahwa anak pada tahap ini belum berpikir secara operasional.Piaget membagi tahapan praoperasional ini menjadi 2 bagian, yaitu subtahap Fungsi Simbolis (2 sampai 4 tahun) dan subtahap Pemikiran Intuitif (5 sampai 7 tahun).

D. Perkembangan Sosio Emosional Pada Anak Usia Dini

Aspek perkembangan sosial emosional pada anak usia dini diharapkan memiliki kemampuan dan kompetensi serta hasil belajar yang ingin dicapai adalah kemampuan mengenal lingkungan sekitar, mengenal alam, mengenal lingkungan sosial, peranan masyarakat, dan menghargai keberagaman sosial serta budaya yang ada disekitar anak tersebut dan mampu mengembangkan konsep diri, sikap positif terhadap belajar, memiliki kontrol diri yang baik dan memiliki rasa empati pada masalah orang lain.

Sesuai dengan teori Doyle, bahwa anak selain butuh kasih sayang juga membutuhkan rasa aman. Rasa aman tersebut dicari oleh anak dari figure ayah dan ibu. Kedekatan hubungan emosi antara anak dan orangtua sangat penting sehingga anak dapat memenuhi kebutuhan rasa amannya. Anak yang tumbuh menjadi penakut karena anak tersebut tidak mendapatkan rasa aman baik dari ayah, ibu atau orang dewasa lainnya. Kurangnya kasih sayang dan perhatian juga membuat anak menjadi penakut. Menurut R.A. Thompson (1998) anak akan dapat berinteraksi dengan baik jika ia memiliki hubungan emosi yang baik dengan keluarga dan ia diajarkan oleh keluarganya bagaimana harus bersikap di masyarakat kelak. Pada dasarnya, hubungan emosi dari segi keamanan yang telah dibahas sebelumnya adalah seperti multivitamin. Dengan fungsi dapat meningkatkan kehidupan menjadi lebih baik. Anak yang diberikan hubungan emosi yang baik akan dengan sendirinya atau secara jaminan akan bahagia dan ketika dewasa menjadi pribadi yang produktif.

• Emosi seringkali dikaitkan sebagai dampak dari apa yang dirasakan, gap antara kebutuhan dengan apa yang didapatkan seringkali menimbulkan emosi dan amarah. Emosi merupakan aplikasi energi dari berpikir dan bertindak (Goleman, 1995). Kebahagiaan, marah, takut, cemas, dan respon emosi lainnya merupakan perbuatan yang dilakukan anak akibat ketidakpuasan atau kepuasan terhadap hidupnya. Emosi-emosi tersebut dapat membantu anak dalam menentukan dan menjalankan tujuan hidupnya.

• Secara emosi anak satu dengan anak yang lain memiliki perbedaan, hal ini tergantung dari bagaimana orang dewasa memberikan hubungan emosi kepada mereka (J. Kagan, 1998). Semakin bertambah usia anak mereka juga berkembang dari segi pikiran, sikap

Page 32: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

dan perasaan. Sifat temperamen pada diri anak biasanya diakibatkan karena ia dibeda-bedakan oleh orang dewasa. Sehingga anak akan merasa tidak diperlakukan adil, ada yang menunjukkannya dengan amarah, ada juga yang hanya diam dan menangis.

Baik temperamen maupun kepribadian mengantarkan kita pada pemahaman mengenai bagaimana anak merespon setiap rasa yang ada dalam dirinya. Temperamen biasanya membantu sekali jika anak masih dalam usia bayi dan merangkak; kepribadian akan mulai terbentuk begitu anak sudah banyak mengalami pengalaman dengan lingkungan, dalam usia sekolah misalnya. Faktor-faktor yang Membedakan Emosi: Perbedaan jenis kelamin, Perbedaan latar belakang keluarga dan buday, Perbedaan sosial-ekonomiEmosi merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Menurut Goleman (1995) emosi manusia dapat dikontrol secara efektif, dan mereka yang dapat mengontrol emosi merupakan orang yang cerdas. Emosi merupakan suatu kecerdasan, dengan adanya emosi kita dapat berperilaku sesuai dengan apa yang kita rasakan sehingga tujuan dan kebutuhan saling berhubungan

Penelitian menemukan bahwa ikatan batin berperan bagi anak untuk mempertahankan hidupnya . Dalam tahapan perkembangan selanjutnya, anak akan menjalin kepercayaan baik dengan diri sendiri ataupun orang lain. Landasan yang kuat akan memudahkan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan.

1. Ethological Explanation (John Bowlby – 1969)

Teori ini percaya pada peranan pengasuh (ibu, nenek, bibi, dll), konsistensi, dan lingkungan. Pengasuh yang sering bersama anak dapat membaca tanda-tanda / respon anak. Demikian juga lingkungan yang konsisten akan membuat anak lebih dekat dengan orang-orang dan situasi yang selalu bersama anak.

Anak merasa lekat pada seseorang, melalui perasaannya. Kadang-kadang di lembaga anak usia dini seorang anak lekat pada guru yang satu, tetapi tidak pada guru yang lain. Atau mungkin pada pembantu yang satu bukan yang lain. Mungkin saja seorang anak tidak mau sama sekali pada orang lain. Jika seseorang dekat pada seorang anak, maka orang tersebut akan bisa membaca segala tanda dari anak. Baik saat bayi tersenyum ataupun menangis. Misalnya : seorang bayi menangis, maka orang yang terdekat akan mengetahui apakah tangis bayi itu tangis kelaparan, kedinginan, ketakutan, tidak nyaman, dsb. Orang tersebut akan mudah mengenali tangis anak yang terdengar berbeda-beda, sehingga diapun merespon dengan cara yang berbeda-beda. Dia sangat mengetahui bahwa jika tangisnya menunjukkan rasa lapar, maka bayi tersebut langsung diam begitu mendengar sang ibu yang sedang membuatkan air minum dan ia mendengar suara air termos dituang ke dalam botol. Ibu mungkin merespon tangis bayi anak yang menunjukkan rasa tidak nyaman dengan menggendongnya, atau tangis karena mengompol dengan segera mengganti popok si bayi, dll.

2. Psychoanalytic Explanation (Sigmund Freud)

Page 33: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Teori ini mengatakan bahwa kelekatan anak bukan pada sesuatu yang psikis, tetapi lebih pada makanan..Anak terikat pada pengasuh karena makanan, karena kebutuhan rasa lapar terpenuhi Saat lahir kebutuhan dasar yang hrs dipenuhi adalah rasa lapar. Jadi dia tidak perduli siapa yang memberikan makanan pada bayi, dia hanya perlu kebutuhan rasa lapar dan haus terpenuhi. Teori Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan yang mendasar adalah makanan. Lihat di panti asuhan, mereka merasa dekat dengan pengasuh yang sering memberi makanan kepada mereka. Bayi jika tidak diberi makanan, dia akan mati. Bayi masih bisa merasa bertahan tanpa kasih sayang asal ada makanan.

Dengan adanya attachment anak dapat membangun hubungan dari yang sederhana sampai rumit. Anak sudah tahu cara bagiamana agar ia dapat didekati oleh orangtuanya. Jadi antara yang psychoanality dan ethological bisa saling memahami. Freud memang hanya pada instink. Bowlby tidak hanya pada makanan, tetapi lebih keseluruhan, termasuk attachment. Attachment pada seorang anak yang dirasakan sejak lahir akan turut mempengaruhi temperamen anak ketika dia dewasa. Temperamen merupakan karakteristik bawaan yang mempengaruhi cara anak dalam bereaksi terhadap situasi tertentu dan bereaksi terhadap lingkungannya. Adapun temperamen anak dapat dilihat berikut in :1. Anak mudah (Easy Child)

- memiliki mood (suasana hati) yang cenderung stabil dan positif.- memiliki respon yang baik terhadap hal-hal baru dan perubahan yang ada.- cepat mengembangkan pola makan dan tidur yang teratur.- mudah menerima jenis makanan baru.- mudah tersenyum pada orang asing.- adaptif terhadap situasi yang baru.- dapat menerima rasa frustrasi tanpa terlalu gusar.- beradaptasi dengan cepat terhadap rutinitas baru dan aturan permainan yang baru.

2. Anak sulit (Difficult Child)

- mood yang mudah berubah-ubah serta cenderung negatif, misal : sering menangis dengan keras, namun di lain waktu bisa tertawa dengan terbahak-bahak.- kurang mampu merespon adanya hal baru dan perubahan yang ada.- pola makan dan tidur yang kurang teratur.- merasa curiga pada orang asing.- bereaksi dengan rasa frustrasi melalui temper tantrum.- adaptasi yang lama pada perubahan dan rutinitas yang baru.

3. Anak perlu penyesuaian (Slow-to-warm-up child)

- jarang bereaksi dalam emosi, baik positif maupun negatif.- memiliki respon yang lama terhadap perubahan dan hal-hal yang baru.- pola makan dan tidur lebih teratur dibandingkan difficult child, namun masih di bawah easy child.- menunjukkan respon awal yang negatif (masih tahap ringan) terhadap stimulus baru.

Page 34: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

- secara berangsur-angsur akan menyukai stimulus baru apabila dimunculkan secara berulang-ulang dan tanpa tekanan.

E. Perkembangan Anak Dengan Kebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-anak secara umum seusianya. Anak tersebut membutuhkan metode, material, pelayanan dan peralatan yang khusus agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Karena anak-anak tersebut mungkin akan belajar dengan kecepatan yang berbeda dan juga dengan cara yang berbeda. Walaupun mereka memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak secara umum, mereka harus mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama. Hal ini dapat dimulai dengan cara penyebutan terhadap anak dengan kebutuhan khusus.

Anak-anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang karena suatu kondisi, membutuhkan layanan pendidikan yang khusus, supaya dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Salah satu penyebab munculnya kebutuhan akan layanan pendidikan khusus adalah adanya kelainan atau gangguan pada diri individu baik secara fisik, inderawi, mental, sosial, dan atau emosi.

Exceptional Child menurut Kirk child who deviates from the average or normal child (1) in mental characteristics (2) in sensory abilities (3) in neuromuscular or physical characteristics, (4) in social or emotional behavior (5) in communication abilities or (6) in multiple handicaps to such an extent that he requires a modification of school practices, or special education services, in order to develop to his maximum capacity. (dalam Cullata dkk. 2003). Exceptiona Child adalah mereka yang mengalami kelainan atau penyimpangan secara signifikan dari keadaan rata-rata atau normal, baik pada aspek fisik, inderawi, mental, sosial, dan atau emosi sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus, untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal supaya dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan penyesuaian terhadap lingkungan, sesuai kemampuan atau mereka yang secara signifikan berada di luar rerata normal, pada aspek fisik, motorik, inderawi, mental, sosial, atau emosi, sehingga memerlukan pelayanan khusus.

UU No 20 Tahun 2003 menjelaskan tentang anak berkebutuhan khusus sebagai berikut;:• Pasal 5 Ayat (1) : Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, ayat (2) : warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus, ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan.

• Khusus, ayat (3) : Warga negara di daerah terpencil atauterbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikanlayanan khusus

Ragam dan jenis anak berkebutuhan khusus yang dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

Page 35: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Ilmu pendidikan berpendirian bahwa semua anak memiliki perbedaan dalam perkembangan yang dialami, kemampuan yang dimiliki, dan hambatan yang dihadapi. Akan tetapi ilmu pendidikan juga berpendirian bahwa meskipun setiap anak mempunyai perbedaan-perbedaan, mereka tetap sama yaitu sebagai seorang anak. Olen karena itu jika berhadapan dengan seorang anak, yang pertama harus dilihat, ia adalah seorang anak, bukan label kesulitannya, semata -mata yang dilihat dengan kata lain pendidikan melihat anak dari sudut pandang yang positif, dan selalu melihat adanya harapan bahwa anak akan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Sudut pandang seperti inilah yang mendorong para pendidik untuk bersikap optimis dan tidak pernah menyerah.

Pendidikan memposisikan anak sebagai pusat aktifitas dalam pembelajaran. Ketika pembelajaran dilakukan, maka pertimbangan pertama yang diperhitungkan adalah apa yang menjadi hambatan belajar dan kebutuhan anak. Apabila hal itu dapat diketahui maka aktifitas pendidikan akan dipusatkan kepada apa yang dibutuhkan oleh seorang anak. Bukan pada apa yang didinginkan oleh orang lain. Pendiriran seperti itu menganggap bahwa fungsi pendidikan antara lain untuk memfasilitasi agar anak berkembang menjadi dirinya sendiri secara optimal sejalan dengan potensi yang dimilikinya. Setiap anak yang mengalami kesulitan belajar, akan menunjukkan fenomena yang beragam (heterogen), akan tetapi untuk memudahkan dalam memahami keragaman dalam fenomena itu, kesulitan belajar dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu kesulitan belajar yang bersifat internal yang disebut learning disability dan kesulitan belajar yang bersifat eksternal berkaitan dengan faktor lingkungan yang disebut dengan learning problem.

Definisi dari Ketidak Mampuan Belajar

1. Definisi Federal :

Yang dimaksud dengan istilah-istilah “ketidakmampuan belajar tertentu” adalah suatu ketidakberaturan pada satu atau lebih proses psychologikal dasar yang melibatkan pengertian atau penggunaan bahasa, lisan atau tulisan, yang dapat menunujukkan ketidaksempurnaan kemampuan untuk mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau membuat perhitungan matematik. Termasuk didalamnya adalah kondisi-kondisi seperti kemampuan persepsi, kerusakan otak, ketidakberfungsian otak secara minimal, dyslexia, dan perkembangan aphasia. Tidak termasuk didalamnya adalah permasalahan belajar yang disebabkan oleh penglihatan, pendengaran, gerak, atau keterbelakangan mental, atau gangguan emosi, atau yang disebabkan oleh ketidakberuntungan secara lingkungan, kultur, atau ekonomi (Amandement IDEA 1997 P.L. 105-17, Juni 4, 1997, 11 star 37 [ 20 U.S.0 s 1401 (26).

2. Definisi National. Joint Commute on Learning Disabilities (NJCLD)

Ketidakmampuan belajar adalah istilah umum yang merujuk kepada kelompok heterogen dari kekacauan yang ditunjukkan dengan kesulitan nyata pada penguasaan dan

Page 36: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

penggunaan kemampuan mendengarkan , berbicara, membaca, menulis, menalarkan dan matematik.

Kekacauan ini merupakan bagian dari individu, dan disimpulkan disebabkan oleh tidak berfungsinya sistem nery pusat, dan dapat terjadi seumur hidup. Permasalahan dalam perilaku pribadi, persepsi sosial, dan interaksi sosial dapat terjadi pada ketidakmampuan belajar namun tidak dengan sendirinya menjadi-ketidakmampuan belajar. Walaupun ketidakmampuan belajar dapat terjadi berdampingan dengan kondisi-kondisi cacat lainnya (misalnya, kerusakan sensori, keterbelakangan mental, gangguan emosi yang serius) atau dengan pengaruh luar (seperti pembedaan kultur, petunjuk yang tidak cukup atau tidak benar), mereka bukanlah akibat dari kondisi-kondisi atau pengaruh-pengaruh tersebut (NJCLD, 1990).3. Kesulitan belajar adalah : Suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut berupa kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Masalah utamanya akibat adanya gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia dan afasia perkembangan, namun tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang berasal dari hambatan penglihatan, pendengaran, motorik, tuna grahita, gangguan emosional, kemiskinan lingkungan, budaya atau ekonomi. (The United States Office of Education, 1977 dalam Hallahan, Kauffman, LIoyd, 1985).

Sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam biding studi matematika. Gangguan tersebut bersipat instrinsik dan disebabkan oleh adanya disfungsi sistim syaraf pusat. Meskipun kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan emosional) atau berbagai pengaruh lain (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat ataupun faktoran emosi .

Lain(misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat ataupun faktor psikologis), namun berbagai hambatan tersebut. bukan penyebab atau pengaruh langsung (Hamill et al, 1981). Suatu kondisi kronis yang diduga bersumber pada kondisi disfungsi neurologis, yang secara khusus mengganggu perkembangan, integrasi dan atau kemarnpuan verbal dan atau non verbal. Kesulitan belajar ini tampil sebagai suatu kondisi ketidak mampuan yang nyata pada orang-orang superior, yang memiliki yang taraf inteligensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensorik dan kesempatan belajar yang cukup. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi dan atau aktifitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan (Association for Children and Adult with Learning Disabilities dalam Lovitt, 1989, dari Dr. Mulyono Abdurrahman, 1995).

Karakteristik Kesulitan Belajar Khusus Adalah:

Page 37: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

1. Disebabkan disfungsi neurologis2. Mengalami kesulitan bidang akademik : gangguan kernampuan verbal dan non verbal : mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis dan berhitung.3. Kesenjangan potensi dengan prestasi.4. Dapat diperburuk oleh faktor lingkungan

Keempat kesulitan belajar tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

Penyebab disfungsi Neurologis :a. Motorik- kasar : misalnya keseimbangan dan koordinasi kurang baik, tonus otot kurang memadai, gangguan koordinasi / “clumsy”, mengalami “hemisyndrome”, gangguan “motor planning”.

b. Motorik halus : kesulitan melakukan gerak lingkar, cara memegan alat tulis yang kurang baik, tekanan dan tarikan garis yang tidak tepat (kurang atau berlebihan), gangguan mototorik mulut, keterlambatan berbicara, artikulasi berbicara kurang baik, terlambat mengkonsumsi makanan padat.

c. Gangguan pemusatan perhatiand. Kesulitan memahami sisi kiri dan kanan tubuh/lateralisasie. Kesadaran tubuh atau “body image” terganggu.f. Disfungsi “sensory Integration” (SI), terutama input sensorik “taktil”/ permukaan kulit, “vestibular”/ketinggian ayunan dan “proprioseptif/ tekanan ke otot dan sendi-sendi.

Disfungsi neurologis harus diperiksa secara khusus olch dokter syaraf anak dan diperkuat oleh hasiI pemeriksaan psikologi, hasil psikotes secara, menyeluruh (1Q, Grafis, melengkapi kalimat, dsb) dan observasi selama pemeriksaan psikologis.

Keslitan bidang akademik :

a) Lambat membacab) Tulisan kurang baik

c) Lambat menulisd) Secara umum “Ielet” / lamban kalau belajar, padahal gesit melakukan aktifitas Fisike) Tidak telitif) kurang konsentrasig) Sulit memahami simbol hitunganh) Di rumah mampu mengerjakan, disekolah tidak bisa,i) Salah melafalkan kata (berbicara /menuliskan)j) tanggung jawab belajar sangat kurangk) ”jorok” dan bekerja “gerasak-gerusuk”Kesenjangan potensi dan prestasi meliputi :• Semua orang di lingkungan mengakui anak memiliki sistim sensorik / fungsi indra yang cukup dan tergolong cerdas banyak bertanya, kritis, pengetahuanan umum luas dsb, namun prestasi dibawah rata-rata, atau sangat fluktuatif / tidak stabil.

Page 38: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

• Jika dilakukan psikotes : IQ tinggi, namun ada kesenjangan “Verbal IQ” dan “Performance IQ” yang besar, profil tidak merata, sehingga sangat berpotensi prestasi tidak optimal.

Faktor lingkungan yang memperburuk kesulitan belajar pada anak :• Pola asuh : otoriter (sangat “keras” / kaku), permisif (serba membolehkan) atau “over protective” (melindungi secara berlebihan).

• Kurang dilatih mandiri, sehingga kemampuan “problem solving” tidak sebaik anakseusianya• Menolak anak berkesulitan belajar, diberi label negatif: bodoh, jorok, malas, nakal, bandel, dsb.• Salah memberikan stimulasi (tidak seimbang antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.• Dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa pengarahan (khas lingkungan yang miskin status sosial ekonomi).

Memahami Kesulitan Belajar Seorang Anak

1. Kesulitan belajar internal (learning disability)

Kesulitan belajar yang bersifat internal berkaitan dengan kelainan sentral pada fungsi otak. Disiplin ilmu pendidikan tidak mempunyai kompetensi untuk menjelaskan bagaimana kelainan fungsi otak terjadi. Hal yang penting untuk dipahami adalah fenomena – fenomena apa yang muncul dan berhubungan langsung dengan aktifitas belajar seorang anak. Ketika seorang anak belajar memerlukan kemampuan dalam persepsi (Perception), baik pendengaran, penglihatan, taktual dan kinestetik, Kemampuan mengingat (memory),proses kognitif (cognitive process) dan perhatian (attention). Kemampuan – kemampuan tersebut bersifat internal didalam otak. Proses belajar akan mengalami hambatan atau kesulitan apabila kemampuan – kemampuan tersebut mengalami gangguan. Apabila ada seorang anak mengalami kesulitan pada keempat aspek seperti itu, ada kemungkinan anak tersebut memgalami kesulitan internal (Learning disability).

a. Persepsi

Prersepsi diperlukan dalam belajar untuk menganalisis informasi yang diterima. Misalnya seorang anak diperlihatkan bentuk /h/ dan /n/ atau angka /6/ dengan /9/ anak yang persepsi penglihatannya baik akan dapat membedakannya, sedangkan anak yang mengalami gangguan persepsi akan sangat sulit untuk menemukan karakter yang membedakan kedua bentuk tersebut. Dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi seorang anak yang mengalami hambatan seperti ini untuk belajar membaca.

Dalam hal persepsi pendengaran, misalnya seorang anak diminta untuk mendengarkan kata /paku/ /palu/ /batu/ /bola/ kemudian ditanyakan kepada anak tersebut, kata mana yang bunyi akhirannya tidak sama, anak yang kemampuan persepsinya baik dapat

Page 39: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

menemukan perbedaan itu, tetapi anak yang mengalami gangguan persepsi sangat sulit untuk membedakannya. Kesulitan dalam persepsi pendengaran berpengaruh langsung kepada kemampuan berbahasa (khususunya membaca).

b. mengingat (memory)

Mengingat (memory) adalah kemampuan untuk menyimpan informasi dan pengalaman yang pernah dipelajari pada masa lalu, dan dapat dimunculkan kembali jika diperlukan. Kemampuan mengingat ini mempunyai dua tingkatan yaitu ingatan jangka pendek (short term memory) dan ingatan jangka panjang (long term memory). Jika seorang guru memperlihatkan gambar – gambar pada seorang anak seperti gambar buku, gambar baju, roti, bola, dan topi, dalam beberapa detik, setelah itu anak ditanya gambar apa saja yang dilihat, anak yang ingatannya baik akan dapat menyebutkan gambar- garibar itu kembali dengan mudah. Akan tetapi anak – anak yang mengalami kesulitan dalam mengingat tidak dapat menyebutkannya kembali.

Mengingat sesuatu, baik yang dilihat maupun yang didengar, dalam tempo yang sangat singkat disebut dengan ingatan jangka pendek (short term memory). Belajar sangat erat hubungannya dengan ingatan jangka pendek. Anak yang mengalami kesulitan dalam jangka pendek akan sangat sulit untuk menyimpan informasi atau pengalaman belajar dalam ingatan jangka panjang. Apabila seorang anak ditanya oleh gurunya “pada libur semester lalu kamu pergi kemana?” anak yang kemampuan mengingatnya baik akan dapat menjelaskan segala sesuatu yang dialaminya ketika libur dengan tepat. Tetapi anak yang mengalami hambatan dalam mengingat akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan kembali apa yang dialaminya. Kemampuan mengingat sesuatu yang sudah ada jarak waktu (lama). Dan dapat mengungkapkan kembali pada saat yang diperlukan disebut dengan kemampuan ingatan jangka panjang (long term memory). Orang dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari – hari antara lain karena dapat menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang pernah dipelajarinya yang disimpan dalam ingatan jangka panjang.Proses belajar dan tidak efektif apabila seorang anak mengalami hambatan dalam kemampuan mengingat baik pada ingatan jangka pendek maupun pada ingatan jangka panjang.

proses kognitif (cognitive process)

Ketika seorang anak sedang belajar, misalnya belajar konsep bilangan maka diperlukan kemampuan untuk menghubungkan pengertian antara lambang (simbol) bilangan dengan kuantitas objek. Misalnya lima rumah mempunyai hubungan dengan symbol bilangan /5/. Dua buah rumah mempunyai hubungan dengan symbol /2/. Apabila dua rumah dikelompokkan dengan lima rumah, anak dapat memahami bahwa akan menjadi lebih banyak rumah, yaitu /7/ rumah.

Contoh lain, katika seorang ibu memperlihatkan kepada anaknya empat buah lingkaran yang ukurannyaberbeda – beda (besar, sedang, kecil, kecil sekali). Kemudian anak diminta untuk mengurutkan lingkaran itu secara sistematis dari yang kecil ke yang besar

Page 40: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

atau sebaliknya. Untuk dapat melakukan tugas itu diperlukan kemampuan untuk menghubungkan karakteristik antara lingkaran yang satu dengan yang lain dan dapat membedakan ukurannya.

Dua contoh diatas belajar itu, pertama, memerlukan kemampuan untuk mengubah sesuatu yang konkret ke dalam simbol yang abstrak. Seperti misalnya dua rumah (konkret) dapat diubah dan diwakili oleh symbol /2/ dalam bentuk yang abstrak. Bunyi diubah menjadi simbol grafem (alphabet). Aktifitas seperti ini dinamakan proses representasi mental (mewakilkan objek ke dalam simbol). Proses seperti ini membuat belajar menjadi sangat efektif. Kedua, belajar memerlukan kemampuan untuk menganalisis seperti misalnya rnembedakan objek, menemukan atribut yang sama dari objek, sehingga dapat mengelompokkannya, melihat hubungan antara objek yang satu dengan yang lain (logika dan penalaran). Proses seperti dinamakan proses kognitif (terbentuknya pengertian dalam pikiran). Anak yang mengalami kesulitan dalam proses kognitif akan sangat sulit untuk memahami sesuatu dan tidak akan terbentuk sebuah pengertian.

Perhatian (attention)Perhatian (attention) adalah kemampuan seorang anak dalam memilih stimulus (ransangan) tertentu, mana yang menurutnya penting dan mana yang tidak penting. Apabila seorang anak berhadapan dengan beberapa stimulus secara bersamaan, ia memilih salah satu diantaranya, sehingga ia memusatkan perhatian hanya kepada stimulus yang dipilihnya.

Perhatian (attention) sangat penting bagi seorang anak untuk dapat belajar. Hampir tidak mungkin proses belajar akan terjadi pada seorang anak apabila memiliki kesulitan untuk memperhatikan objek atau kegiatan yang sedang dipelajarinya. Anak yang tidak dapat memilih stimulus mana yang penting, akan memberikan respon kepada semua stimulus dengan intensitas yang sama. Oleh karena itu anak seperti ini tidak bisa fokus hanya pada satu objek atau kegiatan, tetapi perhatiannya tertuju kepada semua objek yang sedang dihadapi (inattention).

2. Kesulitan Belajar Berkenaan Dengan Faktor Lingkungan (Eksternal)Kesulitan belajar yang bersifat eksternal (learning problem), sangat terkait dengan situasi. Pertama, situasi diluar dan sebelum sekolah. Kedua, terkait dengan situasi di sekelolah.

a. Situasi di luar dan sebelum sekolah

Aktifitas anak dirumah berpengaruh terhadap perkembangannya. Apabila lingkungan belajar memberikan peluang yang cukup bagi seorang anak untuk mendapatkan pengalaman belajar seperti mendengar orang tuanya membacakan dongeng, terbiasa menjawab pertanyaan dari cerita yang telah didengarnya, mulai mengenal buku dibiasakan untuk mengemukakan secara lisan apa yang diinginkan kepada orang tuanya, dan ada kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan, sehingga memungkinkan seorang anak memiliki keterampilan pra akademik. Keterampilan akademik merupakan prasyarat untuk belajar secara kademik. Keterampilan anak dalam mendengarkan misalnya merupaka prasyarat untuk belajar membaca. Anak yang memiliki keterampilan

Page 41: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

mendengar dengan baik, tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Sebaliknya anak yang tidak memiliki keterampilan mendengar dengan baik, akan mengalami hambatan ketika belajar membaca. Anak yang meiliki keterampilan pra akademik akan lebih cepat dalam belajar secara akademik di Sekolah Dasar, dan cenderung memiliki rasa percaya diri dan motivasi yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak (solyster,. 2004).

Sering ditemukan anak yang mengalami masalah dalam belajar (learning problem) di sekolah dasar terkait dengan tidak dikuasainya keterampilan pra akademik. Tidak jarang anak seperti ini memiliki penghargaan diri yang rendah, dan meimiliki perasaan bahwa sekolah bukan tempat yang menyenangkan. Akaibat yang mungkin muncul adalah anak mengalami kesulitan dalam perilaku.

b. Situasi Di Sekolah

Proses belajar di sekolah terkait dengan elemen kurikulum, dan metode pembelajaran. Sekolah – sekolah kita pada umumnya sangat kuat berpatokan pada pencapaian target kurikulum dengan muatan yarg sangat banyak. Oleh karena itu ada kecenderungan bagi guru untuk selalu mengukur keberhasiian program pembelajaran dilihat dari tercapainya target kurikulum. Namun ada kenyataan lain, yang hampir luput dari perhatian guru yaitu kurangnya kesempatan untuk mengecek apakah setiap anak sudah sampai pada tingkat pemahaman konsep? Dan inilah yang tidak banyak diketahui oleh guru, sehingga jika ada anak yang ternyata belum tuntas dalam memahami satu konsep pada topik tertentu, sementara pembelajarar terus melangkah ke topik berikutnya yang lebih tinggi, maka sudah dapat dipastikan anak akan mengalami kesulitan untuk memahami topik yang baru tersebut.

Apabila situasi seperti ini berlangsung terus – menerus, maka akan ada anak yang mengalami kesulitan yang bersifat kumulatif. Hal seperti ini sering terjadi pada pelajaran matematika dan bahasa. Sebagai contoh, seorang anak kelas satu Sekolah Dasar belum tuntas dalam memahami konsep bilangan, pada saat itu guru sudah melangkah ke topik tentang penjumlahan, maka sudah dapat dipastikan akan mengalami kesulitan dalam penjumlahan. Jika konsep penjumlahan belum dikuasai tetapi pembelajaran sudah melangkah ke topik tentang pengurangan, demikian seterusnya. Anak tidak pernah mengalami konsep dengan tuntas. Masalah belajar seperti Ini sangat banyak ditemukan di sekolah – sekolah kita.

Menggali Kesulitan Belajar bagi Anak

Kesulitan belajar yang bersifat internal (learning disability) dan kesulitan belajar yang bersifat eksternal (/earning oroblem) menunjukkan gejala yang hampir sama yaitu adanya kesulitan dalam belajar membaca/menulis, kesulitan dalam belajar matematika dan adanya kesulitan dalam perilaku. Oleh karena itu untuk mengenal adanya kesulitan belajar dapat dilakukan dengan mencari kaitan antara keterampilan akademik (membaca/menulis dan matematika) dengan keterampilan pra akademik (kesadaran linguistik dan keterampilan proses kognitif dasar) melalui proses asessment.

Page 42: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Adapun jenis kesulitan belajar adalah sebagai berikut :• Kesulitan belajar umum:• Tidak mampu belajar pada semua aspek perkembangan : fisik, kognisi, sosial, emosional, kemandirian dan spiritual.

• Kesulitan belajar akibat tidak berfungsinya salah satu indra:• tuna rungu, tuna. netra, tuna daksa.• Kesulitan belajar akibat salah perlakuan atau kemiskinan lingkungan : kurang stimulasi, salah pola asuh,kemiskinanekonomi atau budaya.• Kesulitan belajar khusus.

Pembelajaran Pada Anak Yang Mengalami Kesulitan Belajar.

Dalam melakukan intervensi pada anak yang mengalami kesulitan belajar harus selalu dimulai dengan melakukan asessment, Asessment dilakukan untuk mengetahui pada aspek apa anak itu mengalami kesulitan, apa saja yang sudah dikuasai pada saat ini, apakah kesulitan itu terkait dengan keperampilan pra akademik.

Apabila proses asessment sudah dilakukan dan diperoleh data yang akurat tentang kesulitan belajar anak langkah berikutnya adalah menyusun program intervensi dan melakukan proses pembelajaran. Terdapat empat langkah pembelajaran yang bersifat hirarkis yaitu : (1) pembelajaran pada tahap konkret, (2) pembelajaran pada tahap semi konkret, (3) pembelajaran pada tahap semi abstrak dan (4) pembelajaran pada tahap abstrak.

Melalui keempat tahapan belajar yang sangat sistematis seperti itu diharapkan anak yang mengalami kesulitan belajar dapat menguasai konsep dan prinsip secara tuntas dari yang dipelajarinya. Melalui proses pembelajaran seperti ini secara kognitif anak belajar secara universal yaitu memahami konsep abstrak melalui proses yang konkret dan mengkonkretkan konsep yang abstrak. Apabila anak sudah biasa berfikir bolak balik dari konkret ke abstrak dan dari abstrak ke konkret, berarti konsep sudah dapat dikuasai dengan tuntas, dan anak sudah biasa dibawa ke topik lain yang lebih tinggi (ada di atasnya).

Kesalahan yang sangat fatal jika melakukan pembelajaran pada anak yang mengalami kesulitan belajar langsung pada tahap abstrak. Hal seperti ini sering dijumpai di sekolah – sekolah kita, dimana guru mengajar tanpa menggunakan media/alat peraga untuk mengkonkretkan konsep yang abstrak. Guru lebih banyak berbicara ketimbang mengajak anak untuk melakukan tindakan secara konkret. Kenyataannya anak lebih banyak diajarkan untuk menghafal fakta bukan untuk memahami konsep dan prinsip.

Penyebab Anak Berkesulitan Belajar :

• Saat janin masih dalam kandungan, ibu mengalami peningkatan tekanan darah mengalami infeksi akut atau kronik, mempunyai kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol atau mernyalah gunakan obat-obatan maupun kekurangan gizi.

Page 43: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

• Saat bayi dilahirkan : spontan tapi tidak segera menangis, mengalami kesulitan hingga perlu pertolongan, misalnya lahir alat atau dengan operasi.

• Setelah dilahirkan selama 4 minggu pertama, anak mengalami peningkatan kadar bilirubin / kuning dalam darah, mengalami demam tingg ataupun kejang atau berbagai kejadian lain yang rnengganggu fungsi otak.

• Faktor keturunan atau genetik.Disamping penyebab diatas, masih ada pendapat lain yang menyatakan bahwa penyebab kesulitan belajar juga bisa disebabkan oleh :1. Ketidakberfungsian Minimal Otak(minimal brain dysfunction)Ketidakberfungsian minimal otak digunakan untuk merujuk suatu kondisi gangguan syaraf minimal pada anak. Ketidakberfungsian ini bisa termanifestasi dalam berbagai kombinasi kesulitan seperti: persepsi konseptualisasi, bahasa, memori, pengendalian perhatian. inpulse (dorongan), atau fungsi motorik.Sekalipun simtom seperti itu bisa mulai tampak pada usia taman kanak- kanak, tetapi untuk anak tertentu mungkin belum tampak pada saat anak memasuki sekolah dasar. Anak-anak yang mengalami ketidakberfungsian otak minimal mungkin menampakkan berbagai simptom. Mereka menghadapi kesulitan untuk mengikuti kegiatan kelas seperti membaca, mengeja, dan berhitung; kesulitan dalam memahami konsep konkrit maupun abstrak; performanya cenderung kacau atau tak beraturan-tinggi dalam bidang tertentu dan rendah dalam bidang lainnya. Mereka sering menunjukkan gejala kurang mampu memusatkan perhatian, ketidakstabilan emosi dan sikap permusuhan.

Beberapa simptom spesifik dari ketidakberfungsian otak minimal ialah ;

a. Kelemahan dalam persepsi dan pembentukan konsep§ Kelemahan dalam membedakan ukuran.§ Kelemahan dalam membedakan kiri-kanan dan atas-bawah§ Kelemahan tilikan ruang.§ Kelemahan orientasi waktu.§ Kelemahan dalam memperkirakan jarak.§ Kelemahan membedakan bagian-keseluruhan.§ Kelemahan memahami keutuhan.

b. Gangguan bicara dan komunikasi§ kelemahan membedakan stimulus auditif§ perkembangan bahasa yang lamban§ Seringkali Kehilangan pendengaran§ Seringkali berbicara tak teratur.

c. Gangguan fungsi motorik§ Seringkali gemetar atau menunjukkan kekakuan gerak.§ Hiperaktivitas.§ Hipoaktivitas.

Page 44: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

d. Kemunduran prestasi dan penyesuaian akademik§ Ketidakcakapan membaca.§ Ketidakcakapan berhitung.§ Ketidakcakapan mengeja.§ Ketidakcakapan menulis dan menggambar.§ Kelambanan menyelesaikan pekerjaan.§ Kebimbangan memahami instruksi.

Karakteristik emosional• Impulsif.• Eksplosif.• Kelemahan kendali ernosi dan dorongan.• Toleransi rendah terhadap frustrasi.

Gangguan proses berpikir• Ketidakcakapan berpikir abstrak.• Umumnya berpikir konkret.• Kesulitan membentuk konsep.• Seringkali berpikirnya tak terorganisasi.• Keterbatasan rentang memori.• Seringkali berpikir autistik.2. AphasiaAphasia merujuk kepada suatu kondisi dimana anak gagal menguasai ucapan-ucapan bahasa yang bermakna pada usia sekitar 3;0 tahunan, Ketidakcakapan bicara ini tidak dapat dijelaskan karena faktor ketulian, ¬keterbelakangan mental, gangguan organ bicara, atau faktor lingkungan. Aphasia tampak dalam berbagai bentuk dengan simptom yang cukup kompleks. Secara garis besar simptom aphasia dapat digolongkan kedalam tiga karakteristik utama berikut ini.

a. Receptive aphasia• Tidak dapat mengidentifikasi apa yang didengar.• Tidak dapat melacak arah.• Kerniskinan kosakata.• Tidak dapat memahami apa yang terjadi dalam gambar.• Tidak dapat memahami apa yang dia baca.

b. Expressive aphasia• jarang bicara di kelas.• Kesulitan dalam melakukan peniruan.• Banyak pembicaraan yang tidak sejalan dengan ide.• jarang menampilkan gesture (gerak tangan). Ketidakcakapan menggambar dan menulis.

c. Inner aphasia• Tidak mampu melakukan asosiasi; oleh karena itu sulit berpikir abstrak.• Memberikan respon yang tak layak atas panggilan/sahutan• Lamban merespon.

Page 45: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

3. Dyslexia

Disleksia (dyslexia) atau ketidakcakapan membaca, adalah jenis lain gangguan belajar. Semula istilah disleksia ini digunakan di dalam dunia medis tetapi saat ini digunakan pada dunia pendidikan dalam mengidentifikasi -anak berkecerdasan normal yang mengalami kesulitan berkompetisi dengan temannya di sekolah. Simptom umum yang sering ditampilkan anak disleksia ialah:

• Kelemahan orientasi kanan-kiri.• Kecenderungan membaca kata bergerak mundur; seperti “dia” dibaca “aid”.• Kelemahan keterampilan jari.• Kesulitan dalam berhitung, kesalahan hitung.• Kelemahan memori.• Kesulitan auditif.• Kelemahan memori-visual, tidak mampu memvisualkan kembali objek, kata, atau huruf.• Dalam membaca keras tidak mampu menkonversikan simbol visual kedalam simbol auditif yang sejalan dengan bunyi kata secara benar. Kata yang diucapkan tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya.4. Kelemahan Perseptual atau Perseptual-MotorikKelemahan perseptual dan perseptual-motorik sebenarnya merujuk kepada masalah yang sama. Sebenarnya persepsi dapat diidentifikasi tanpa mengaitkan dengan aspek motorik. Persepsi itu sendiri berfungsi membedakan stimulus sensoris, yang pada gilirannya harus diorganisasikan ke dalam pola-pola yang bermakna. Seorang anak membedakan dan menafsirkan cpek sebagai suatu kesatuan. Akan tetapi jika kelemahan perseptual-motorik itu terjadi, integrasi antara persepsi clan gerak motorik akan terganggu. Kondisi ini menjadikan anak tidak dapat melakukan pengamatan secara tepat dan tidak mampu menterjemahkan pengamatan itu ke dalam alur gerak motorik, dan bahkan anak tidak dapat mendengar dan melihat secara normal. Biasanya anak yang mengalami gangguan perseptual motorik ini mengalami kesulitan dalam memahami dan menyatakan ide.

Gangguan yang Umum Diderita Penyandang Kesulitan Belajar:

1. Gangguan aktifitas motorik.

Empat gangguan motorik yang khas : hiperaktifitas, hipoaktifitas, inkoordinasi dan perseverasi.

• Gangguan motorik hiperaktif : secara konstan sibuk bergerak, tidak mampu duduk dalam jangka waktu pendek tanpa menggerakkan kaki, memainkan pencil atau memutar-mutarkan kursinya, cenderung untuk berbicara atau mengobrol terus dan sering kurang memperhatikan.• Gangguan motorik hipoaktif : cenderung terlihat lamban, kurang memberikan reaksi, malas dan lesu.• Gangguan motorik Inkoordinasi : ditandai dengan gejala kejanggalan atau kekakuan fisik dan atau kemiskinan integrasi motorik.

Page 46: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

• Gangguan motorik perseverasi : kecenderungan untuk berperilaku secara otomatis dan sering tanpa sengaja dan dapat diobservasi dalam hampir keseluruhan perilaku ekspresif, seperti bicara, menulis, membaca, dan menunjuk.

2. Gangguan persepsi

Yaitu gangguan dalam persepsi pendengaran dan penglihatan, Mereka memiliki indra yang normal, namun otaknya tidak mampu menginterpretasikan secara tepat apa yang ia dengar dan atau dilihat, sehingga berbagai problem dalam pengurutan dan diskriminasi.Gangguan visual motor : kurang memiliki kemampuan koordinasi antara sistem visual dan sistem motorik.Gangguan persepsi visual: kurang memperkirakan antara ukuran dan jarak, karena kurang mampu mengkombinasikan beberapa sumber informasi untuk membuat perkiraan.

3. Gangguan perhatian

Ada dua dangguan perhatian yaitu : ketidak cukupan perhatian seperti distraktibilitas atau rentang perhatian pendek dan perhatian yang berlebihan.Gangguan perhatian disebabkan karena mereka tidak mampu membuat dan memelihara penyesuaian positif terhadap stimulus yang relevan dan penyesuaian negatit’ terhadap stimulus yang tidak relevan serta ketidak mampuan otak untuk mengintegrasikan masukan dari satu atau lebih modalitas sensorik.4. Gangguan Emosional

• Meski cerdas, tenang dan patuh, tetapi “pemimpi siang”.• Lekas gugup dan nervous.

• tidak dapat berkonsentrasi untuk beberapa menit, lompat dari satu hal ke hal lain, kurang memiliki kontrol diri, sulit bekerja sama dengan anak lain dan cenderung mengganggu di kelas.

5. Gangguan simbolisasi.Simbolisasi adalah kemampuan tertinggi dari bentuk aktifitas mental, termasuk penalaran kongkrit maupun abstrak yang sangat mendasari anak dalam perolehan ketrampilan-ketrampilan dasar belajar.Proses simbolisasi dapat dibedakan menjadi reseptif simbolik dan ekspresif simbolik.Aktifitas reseptif simbolik terbagi atas reseptif auditori dan reseptif visual, sedangkan ekspresif simbolik dibagi dalam ekspresif vokal dan ekspresif motorik.

6. Gangguan Mengingat.Gangguan mengingat disebabkan ketidak mampuan anak untuk mendiskriminasikan secara baik perbedaan¬-perbedaan antara bentuk “orthographic” (terutama yang homonim / sebunyi) yang digunakan dalam membaca dan menulis serta bunyi yang digunakan dalam berbicara. Akibatnya mereka mengalami kesulitan yang berkepanjangan.

Page 47: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Gangguan mengingat terjadi baik pada tahap “assimilation” (pemasukan pecan / informasi dalam ingatan), ‘storage” (penyimpanan informasi) atau “retrieval” (pengingatan kembali) dan berhubungan erat dengan proses penglihatan, pendengaran dan proses belajar lainnya. Semua karakteristik gangguan di atas tidak harus muncul dan menyertai anak berkesulitan belajar Kebanyakan penyandang kesulitan belajar mengalami kegagalan yang nyata dalam belajar akademik dalam satu atau dua bidang akademik, tetapi jarang dalam keseluruhan bidang akademik. Segera kuiljijngi klinik penazganan terpadu, semua aspek yang bcn-nasalah ditangard secara, komprehensif dan terkoordinasi. Bagi orang tua yang memiliki anak berkesulitan belajar, apalagi yang disebabkan oleh neurologist yang akibatnya sangat kompleks, maka segera kunjungi klinik penanganann terpadu semua aspek yang bermasalah agar ditangani secara komprehensif dan terkoordinasi serta mencari sekolah yang dapat memberikan metode pengaiaran secara fleksibel dan memiliki strategi untuk membantu menangani anak berkesulitan belajar.

Perlu memaharni dan menstimulasi semua aspek perkembangan (pendekatan holistik), yaitu :• Motorik/gerakan kasar dan motorik/gerakan halus• Kognisi• Bahasa• Sosial• Emosional• Spiritual.

Dan hal di atas terkait erat dengan faktor yang mempengaruhi belajar :• Demonstration (dicontohkan)• Engagement (dialami)• Encouragement (didukung)Bagi orang tua jika mencurigai bahwa adanya tanda kesulitan belajar/disfungsi neurologis pada anaknya untuk segera :1. Kunjungi klinik pengembangan dan perilaku anak secara terpadu :

• Ikuti semua prosedur dan bersabar jika periksaan memakan waktu cukup lama : kehati-hatian dalam menentukan diagnosis sangat berperan dalam ketepatan memberikan penanganan.• Tanyakan secara rinci pada saat ditentukan diagnosis dan merancang terapi• Jika harus dilakukan terapi : rutin serta lakukan saran-saran di rumah.• Pahami jika jenis terapi “tidak sesuai” dengan keluhan (misalnya kesulitan berbicara, ditangani dengan terapi okupasi, ADHD dengan terapis sensori motor, sebab yang diperbaiki fondasi neurologisnya dulu).• Evaluasi psikologis penting rutin dilakukan, sehingga dapat terpantau semua kegiatan terapi yang dilakukan (termasuk kerjasama dengan dokter, terapis, sekolah).

2. Mencari sekolah.dengan metoda pembelajaran yang fleksibel / “strategic” :• memiliki sarana bantuan tenaga paedagog,• Memiliki ruang belajar khusus

Page 48: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

• Guru dapat diajak kerjasama : bersedia melakukan saran-saran dari orang tua, psikolog maupun para terapi

Evaluasi Psikologis bagi Anak Penderita Berkesulitan Belajar

1. Pengambilan Anamnesa• Riwayat kehamilan• Riwayat kelahiran• Riwayat pasca kelahiran• Riwayat Perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa, social emosi,dan dorongan• Riwayat Pengasuhan• Riwayat Pendidikan• Riwayat Kesehatan• Kebiasaan sehari-hari• Keadaan keluarga• Penelusuran kemungkinan adanya gangguan sensori motorik dan disfungsi integrasi sensorik.

2. Pengambilan data• Usia 0-3 tahun : Test Perkembangan : mengukur motorik kasar, motorik halus, persepsi, bicara, pengertian bahasa• Usia 3-4 tahun : Test Kecerdasan Stanford Binet.• uUsia 4-6 tahun : Test kecerdasan Wechsler Primary Preschool Scale of Intelligence (WPPSI), serta Test Frostig : mengukur persepsi visual (bentuk, ruang) dan koordinasi visual motorik-, serta tes grafis.• Usia 6-12 talimi : Test kecerdasan weshler Intelligence Scale for Children (WISC) serta Test Frostig dan atauTest Visual Motor Inlegration (VMI) mengukur persepsi visual (bentuk, ruang) dan koordinasi visual motorik, tes grafis atau melengkapi kalimat bila diperlukan.

3. Observasi :• Status Praesens : kondisi fisik, ciri khas fisik yang ditampilkan, sikap tubuh.• Tingkah laku : Kemampuan bekerja sama, kecepatan dalam memahami instruksi, kemampuan berbicara, artikulasi pengucapan, pengendalian diri, atensi dan konsentrasi, sistimatika bekerja, kecepatan dalam bekerja, posisi tubuh saat bekerja, kontrol gerakan tangan serta kualitas motorik.

Pada penderita berkesulitan belajar penampilannya terkesan kurang rapi. Kemampuan kerjasamanya kurang baik, pengambilan data kadang dilakukan dalam waktu lebih dari satu kali pertemuan. Sikapnya kurang tenang, perhatiannya mudah dialihkan, posisi tubuh seringkali kurang tegak, dan sering bergerak-gerak. Cara kerjanya kurang sistimatis, terburu-buru, sering ditemui gangguan dalam mengerjakan tugas. Mereka juga banyak yang memiliki cara memegang alat tulis yang kurang baik, kontrol gerakan tangannya kurang memadai, tekanan garis kadang terlalu lemah atau terlalu kuat, garis bergelombang atau putus-putus, secara umum kualitas pekerjaannya tampak kurang rapi.

Page 49: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Pada anak-anak yang mengalami gangguan persepsi seringkali kertas yang di tulis turut diputar-putar atau dimiringkan.

Merujuk ke ahli lain , baik dokter (spesialis syaraf, spesialis anak, spesialis jiwa, atau dokter umum yang telah terampil dalam memeriksa kasus kesulitan beiajar) serta tim terapis (Remedial, Setisory Motor dan Occupational).

Usaha yang Dapat Dilakukan oleh Orang Tua

Penderita kesulitan belajar membutuhkan penanganan yang terintegrasi, baik darI penanganan secara neurologis, maupun psikologis. Semakin dini penanganan ini dilakukan, maka semakin besar kemungkinan berkembang kearah yang lebih baik mengingat pada masa-masa awal kehidupan, otak anak senang berkembang dengan sangat pesat.Adapun usaha yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah .Pengaturan dalam jadwal kegiatan : Prisip 3 R (Routine, Regular, Repetition)

Hal yang sangat menonjol dari penderita berkesulitan belajar adalah kesulitannya dalam mengorganisasikan / mengatur sesuatu. Mereka umumnya tumbuh menjadi anak yang kurang dapat mengatur diri, sehingga tergantung pada lingkungan untuk membentuk struktur dalam dirinya. Mereka membutuhkan rutinitas dalam kegiatan sehari-harinya yang sangat ketat. Ia membutuhkan pengerjaan aktifitas yang teratur (regular), yang membentuk rangkaian kegiatan yang sama dan berulang dari hari ke hari. Dengan perkataan lain, apa yang dilakukan jam 7 pagi pada hari ini, maka kegiatan sama pula yang harus dilakukan keesokan, harinya pada jam yang sama. Setiap hari kegiatannya harus dibagi kedalam kegiatan yang lain, seperti : bangun tidur, mandi, makan, bermain, mengerjakan pekerjaan rumah (PR), menonton televisi, belajar, bersantai tidur lagi. Ia harus didukung untuk sedapat mungkin melakukan aktifitasnya dengan mengikuti jadwal yang berlaku.

Pengaturan dalam membantu pemusatan perhatian

Mengatasi mudahnya teralihkan perhatian anak (distractible), maka syarat utama adalah hindarkan anak dari hal ¬yang dapat mengganggunya. Bila ia mengerjakan pekerjaan rumah (PR), usahakan mengerjakan di ruang tersendiri yang terbebas dari gangguan (misalnya gambar-gambar, acara televisi, dering telepon ataupun suara radio). Di meja belajarnya usahakan tidak ada benda, selain yang akan ia gunakan untuk belajar. Lingkungan rumah juga usahakan rapi dan teratur.

Pengaturan dalam waktu bekerja

Sebetulnya jika belajar tanpa teralihkan perhatiannya, maka ia dapat belajar dalam waktu 45 menit. jika la belajar dalam waktu yang lebih lama, maka kurva belajarnya akan melemah dan kemampuan untuk mempertahankan materi pelajaran akan menurun drastis. Dengan, demikian usahakan waktu belajarnya dilakukan secara singkat, berilah waktu untuk beristirahat, kemudian dilanjutkan dengan belajar lagi. belajar dengan periode-

Page 50: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

periode waktu yang singkat akan lebih efekif dari pada harus belajar terus menerus dalam waktu yang lama.

Pengaturan dalam cara bekerja

Anak berkesulitan belajar, umumnya belajar dengan cara yang lain dibanding anak-anak pada umumnya. Banyak anak yang lebih mampu berpikir dengan cara melihat gambar, sehingga ia harus memvisualisasikan materi yang akan dipelajarinya. Saat pertarna kali ia membaca pelajarannya, seakan-akan ia hanya melihat sebuah gambar yang besar. Dengan membaca 3 atau 4 kai , baru la akan mampu untuk memahami secara rinci tiap bagian pelajaran dengan baik¬. Selanjutnya mintalah la untuk menuliskan atau menggunakan tanda pada bagian-bagian yang penting.

Tehnik visualisasi anak dapat dibantu dengan pembuatan kolom, grafik dan tabel, sehingga materi pelajaran yang sulit dapat lebih cepat difahami, karena disajikan dengan lebih sederhana. Bila seorang anak penderita kesulitan dapat menggunakan kekuatan visualnya dengan baik, maka la akan dapat menyerap sejumlah informasi dalam waktu yang sangat singkat.

Pengaturan dalam pengelolaan emosi

• Sebaiknya orang tua menyadari bahwa kesulitan yang dialami anak bukan sesuatu yang diinginkannya, melainkan akibat kurang berfungsinya perkembangan syaraf anak. Anak akan merasa lebih diterima bila ia merasa dimengerti.• Carilah informasi mengenai kelebihan dan kekurangan anak. Dengarkan baik-baik keterangan dari para ahli yang menanganinya, termasuk dari gurunya. Pemahaman yang lebih baik akan kondisi anak akan mengurangi terjadinya konflik antara orang tua dengan anak• Bersikap empati terhadap perasaan anak, terhadap apa yang ia takuti dan ia khawatirkan, sehingga akan memudahkan anak untuk mengntasi perasaan-perasaannya.• Katakan berulang kali bahwa orang tua memahami kesulitannya. Anak-anak biasanya memerlukan pernyataan ini untuk menciptakan rasa aman dalam dirinya.

o Berilah kesempatan untuk mengekspresikan emosinya dengan tepat. Penderita kesulitan belajar dengan fluktuasi emosinya , akan memerlukan katarsis untuk meredakan gejolak perasaannya. Beri tahu tempat dan cara yang tepat untuk berteriak atau memukul. Ajarilah bahwa mengekspresikan kekecewaan itu adalah hal yang lazim, asalkan dilakukan dengan cara yang tepat.o Berilah pujian dan pernyataan persetujuan bila anak melakukan sesuatu yang baik. Pernyataan-pernyataan positif akan membantu mengembangkan konsep diri yang baik.oPengaturan dalam pernbentukan/perubahan perilaku (Metode ABC Analysis )• Merupakan suatu pendekatan perubahan perilaku untuk mengurangi perilaku yang tidak diiginkan dari anak penderita berkesulitan belajar. Konsep pendekatan ini adalah : kebanyakan perilaku dipengaruhi oleh kejadian yang mendahului /Antecendent (A), yang terjadi sebelum terjadinya perilaku / Behaviour (B) dan akan mengakibatkan suatu

Page 51: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

konsekuensi/Consequent (C)., Terapis akan menanyakan pada orang tua dan mencatat kejadian-kejadian yang terjadi terutama pada perilaku yang tidak diinginkan. Kemudian terapis dan orang tua mempelajari bentuk dari pola perilaku, yang dapat menampilkan perilaku yang tidak diinginkan dalam situasi tertentu.• Perilaku yang tidak diinginkan itu dapat terjadi dalam tempat spesifik tertentu; kapan terjadinya, dan sebagainya.• Gambaran yang jelas dari apa yang anak lakukan akan menolong terapis untuk mengerti apa yang dialami anak dan orang tuanya.• Orang tua juga akan ditanyakan dan mencatat kejadian-kejadian yang terjadi mengikuti perilaku anak.• Hal ini akan mendorong orang tua untuk memikirkan akibat dari perilaku itu dan anakpun memahami akibat dari setiap peril akunya.• Terapis dan orang tua akan bersama-sama mencoba merubah kejadian sebelum dan sesudah perilaku yang tidakdiinginkan terjadi. Perubahan ini akan menghasilkan suatu perilaku yang baik menggantikan perilaku yang buruk.

Metode penguat tingkah laku yang positif Reaksi terhadap suatu rangsangan akan lebih kuat jika terdapat penguat pada tingkah lakunya. Metode ini disebut sebagai tehnik Positive Reinforcement.

Pada metode ini orang tua perlu menjelaskan secara spesifik perilaku anak yang diharapkan dan tidak diharapkan. Hindari konsep anak yang baik dan anak nakal, tetapi gambarbarkanlah seperti contoh di bawah ini:

• Ayah senang kamu mau membagi permen pada adikimu.• Ibu suka kamu mau membereskan mainanmu sebelum ayahmu datang.• Saya tidak suka kamu teriak-teriak pada waktu antri di supermarket tadi siang.

Dengan demikian orang tua perlu memberikan komentar pada perilaku anak, sehingga anak mengerti apa yang diharapkan dari mereka. Teragkanlah pada anak konsekuensi dari perilaku yang baik, sehingga anak akan menyadari apa yang akan ia dapatkan bila la berperilaku baik.Dalam hal ini orang tua perlu memberi penguat atau hadiah pada perilaku anak yang diinginkan, sehingga anak percaya bahwa ia dapat mencapai suatu keberhasilan. Pada kasus-kasus tertentu jangan perdulikan tingkah laku anak yang tidak diinginkan, sehingga akan lebih mendorong anak untuk berlaku dengan cara yang akan mendapatkan penguat.

Penguat atau hadiah sebaiknya diberikan dengan segera setelah perilaku yang diinginkan terjadi. Anak-anak penderita kesulitan belajar cenderung tidak sabar dan impulsif, sehingga menunggu terlalu lama akan menyulitkannya dan akan menguranngi kesempatan untuk membentuk perilaku yang diinginkan.

Metode Penurunan perilaku yang tidak diinginkan.Metode pertama adalah dengan pemberian hukuman. pemberian hukuman (terutama dalam bentuk hukuman fisik), hanya akan mengurangi perilaku untuk semantara. Adapun

Page 52: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

hukuman yang keras, menyakitkan dan berulang-ulang akan membuat situasi jadi tegang dan penuh kebencian, sehingga sangat membahayakan kepribadian anak. Untuk alasan ini metode dengan pemberian hukuman sangat jarang digunakan dalam program terapi penderita berkesulitan belajar.

Metode kedua adalah Time Out. Metode ini dilakukan dengan cara memindahkan anak dari tempat dimana perilaku yang anak inginkan terjadi dan membuat anak melewatkan waktu di tempat yang tidak menarik baginya, tetapi aman. Waktu yang dilewatkan harus diperhitungkan secara adil (sesuai usia anak) sehingga tidak berlebihan, agar anak juga merasa diperlakukan dengan baik. Biasanya kemudian anak menghitungkan perilaku yang tidak diinginkan dengan metode ini. Bila perilaku tersebut diulang lagi, maka time out harus diberIakukan lagi.

Strategi Sekolah Bagi Penderita Berkesulitan Belajar

Sesuai kemampuan

Kelas yang dimasuki harus benar-benar sesuai dengan kemampuannya, sehingga memungkinkan anak untuk dapat mencapai keberhasilan yang sama dengan teman-temannya.Struktur yang baik

Dengan disiplin yang tegas dan aturan-aturan yang jelas, anak akan benar-benar mngetahui apa yang diharapkan sekolah darinya. Anak mengetahui bahwa ada aturan. yang selalu memantaunya, sehingga bila ia lalai akan ada teguran / konsekuensi.

Guru yang simpatik dan hangat

Dalam mengajar guru sebaiknya tegas tetapi tidak otoriter, sehingga tetap dapat menampilkan sikap yang simpatik. Hal ini akan membuat anak merasa segan, tetapi memiliki hubungan yang dekat. Konsep diri yang kurang balk membuat penderita berkesulitan belajar sangat menyukai pengakuan dan perhatian dari seseorangJumlah murid yang sedikit.

Kelas yang kecil akan sangat dibutuhkan bagi penderita berkesulitan belajar, mengingat mereka membutuhkan perhatian murid dikelas bersifat individual. Banyaknya murid dikelas sebaiknya berkisar antara 10 s/d 20 orang.

Menyediakan sarana pemenuhan kebutuhan “Sensory Integration”/ si anak.

Jika anak tidak mau bekerja sama “off”, maka atas saran terapis okupasinya ia dapat diberi stimulasi SI tertentu agar anak mau bekerja sama dengan lebih baik, baik dengan pekerjaan maupun dengan lingkungannya.Menyediakan sarana remedial

Page 53: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Cara yang paling baik adalah “mengambil” anak dari kelas untuk mengerjakan tugas-tugas yang sulit dilakukan di tempat tersendiri kemudian kembali bergabung dengan teman-temannya dan melanjutkan pelajaran lain. Banyak sekali anak penderita berkesulitan belajar yang tergolong cerdas bahkan berbakat, sehingga sangat menguntungkan bila di sekolah terdapat sarana remedial yang terintegrasi dengan sistem sekolah.Fleksibel

Banyak penderita berkesulitan belajar yang mengalami kesulitan pada saat melaksanakan ulangan, mengingat la mengalami kesulitan dalam mengatur, merencanakan dan menentukan dengan cepat mana hal yang penting dan yang tidak penting.

Di samping itu kesulitannya dalam menulis dan lambatnya dalam memproses informasi seringkali menghasilkan prestasi di bawah kemampuannya. Dengan demikiaan ulangan secara lisan akan sangat membantu untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Nilai-nilai lain diluar ulangan juga harus dievaluasi oleh guru, agar, lebih dapat mewakili kemampuan anak yang sebenarnya. Untuk anak-anak dengan keluhan tulisannya buruk, harap guru tidak mengutamakan penilaian pada kualitas tulisan anak, tetapi lebih pada benar atau tidaknya hasil pekerjaan anak.

Melibatkan anak dalam aktifitas organisasi yang sederhana. Guru dapat memberi kesempatan pada anak untuk menghapus papan tulis, mengumpulkan tugas atau memimpin barisan, sehingga anak belajar untuk bertanggung jawab dan dapat meningkatkan rasa percaya dirinya.

Memahami pentingnya menjalin kerjasama dengan fihak lain. Guru turut mendukung orang tua untuk melakukan terapi-terapi yang dibutugkan oleh anak, baik terapi remedial, terapi okupasi, terapi pengobatan maupun terapi lainnya bila diperlukan.

Pembelajaran Pada Anak Yang Mengalami Kesulitan BelajarDalam melakukan intervensi pada anak yang mengalami kesulitan belajar harus selalu dimulai dengan melakukan assessment, Assessment dilakukan untuk mengetahui pada aspek apa anak itu mengalami kesulitan, apa saja yang sudah dikuasai pada saat ini, apakah kesulitan itu terkait dengan keperampilan pra akademik.

Apabila proses assessment sudah dilakukan dan diperoleh data yang akurat tentang kesulitan belajar anak langkah berikutnya adalah menyusun program intervensi dan melakukan proses pembelajaran. Terdapat empat langkah pembelajaran yang bersifat hirarkis yaitu : (1) pembelajaran pada tahap konkret, (2) pembelajaran pada tahap semi konkret, (3) pembelajaran pada tahap semi abstrak dan (4) pembelajaran pada tahap abstrak.

Melalui keempat tahapan belajar yang sangat sistematis seperti itu diharapkan anak yang mengalami kesulitan belajar dapat menguasai konsep dan prinsip secara tuntas dari yang dipelajarinya. Melalui proses pembelajaran seperti ini secara kognitif anak belajar secara universal yaitu memahami konsep abstrak melalui proses yang konkret dan

Page 54: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

mengkonkretkan konsep yang abstrak. Apabila anak sudah biasa berfikir bolak balik dari konkret ke abstrak dan dari abstrak ke konkret, berarti konsep sudah dapat dikuasai dengan tuntas, dan anak sudah biasa dibawa ke topik lain yang lebih tinggi (ada di atasnya).

Kesalahan yang sangat fatal jika melakukan pembelajaran pada anak yang mengalami kesulitan belajar langsung pada tahap abstrak. Hal seperti ini sering dijumpai di sekolah-sekolah kita, dimana guru nengajar tanpa menggunakan media/alat peraga untuk mengkonkretkan konsep yang abstrak. Guru lebih banyak berbicara ketimbang mengajak anak untuk melakukan tindakan secara konkret. Kenyataannya anak lebih banyak diajarkan untuk menghafal fakta bukan untuk memahami konsep dan prinsip.

Apabila anak yang mengalami kesulitran belajar dapat berhasil dalam memahami konsep dan prinsip dengan tuntas, anak merasakan sebuah pengalaman sukses dalam belajar, yang sebelumnya mengalami kegagalan demi kegagalan, Pengalaman sukses ini diharapkan akan berdampak langsung kepada timbulnya rasa penghargaan diri, kepercayaan diri dan motivasi untuk belajar. Pengalaman sukses bagi seorang anak apabila anak yang mengalami kesulitan belajar sangat penting, oleh karena itu situasi belajar harus diciptakan sedemikian rupa agar setiap keberhasilan dalam belajar betatapun kecilnya harus dapat diketahui dan dirasakan oleh anak termasuk anak yang mengalami kesulitan belajar.

Cara Mengidentifikasi Ketidakmampuan Belajar

1. Assessmen Formala. Norm – Referenced Test, yaituSiswa yang mengikuti test akan dibandingkan hasilnya dengan basil yang didapat siswa-siswa lainnya secara umuni (norma kelompok).Contoh:a) Intelligence testb) Actievement testc) Learning Disabilities Diagnotic Inventory (LDDI) (Hammil & Bryant, 1998).

b. Criterion — Referenced Test, yaitu :Test yang dibuat untuk menentukan apakah seorang siswa memahami pokok informasi tertentu dengan suatu standard tetap.Contohnya, test mengemudi.

2. Assessment Informal /I Assessmen didalam kelas Terdiri atas tiga jenis, yaitua) Pengukuran berdasarkan kurikulum (Currriculum – based Measurement)b) Assessmet Portofolio.c) Observasi.

Telah diungkapkan di atas bahwa perilaku bermasalah yang muncul sebagai akibat dari kesulitan belajar sangat bervariasi sesuai dengan spesifikasi kesulitan itu. Namun demikian, secara umum perilaku bermasalah yang muncul dari kesulitan belajar terutama

Page 55: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

akan terkait dengan masalah penyesuaian diri maupun akademik anak, hubungan sosial, dan stabilitas emosi. Bagi anak sendiri kondisi seperti ini dapat menimbulkan frustrasi atau cemas yang berlebihan karena dia selalu mengalami kegagalan dalam memenuhi tuntutan dan tugas belajar. Dengan kata lain dalam banyak hal anak tidak mampu menguasai tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya. Bagi keluarga, kondisi anak seperti itu dapat menimbulkan kekhawatiran orang tua, apalagi jika orang tua tidak memahami masalah yang dialami anaknya. Kekecewaan, perasaan, dan pikiran aneh bisa muncul pada orang tua dan tadak mustahil menimbulkan frustrasi orang tua atau keluarga.Bagi penyelenggara pendidikan, perilaku bermasalah karena kesulitan belajar menimbulkan dampak terhadap perlunya penempatan dan pelayanan khusus. Kendati pun demikian penempatan dan pelayanan khusus ini tidak berarti perlu penyelenggaraan kelas khusus bagi anak berkesulitan belajar. Penyelenggaraan kelas khusus akan membawa dampak kurang baik karena anak tidak bisa berkomunikasi atau berinteraksi dengan teman sebayanya yang normal. Penempatan dan layanan khusus tersebut akan lebih baik jika diwujudkan dalam layanan semacam resourcecroom, dimana anak memperoleh layanan tanpa harus dipisahkan dari kelompoknya. Dalam layanan semacam ini, perlu tersedia guru khusus yang dapat memberikan layanan dan konsultasi bagi guru kelas dimana anak berkesulitan belajar ada. Melalui kegiatan bersama antara guru kelas dan guru khusus tadi, rancangan layanan pendidikan clan psikologis dikembangkan.Mengingat harapan tersebut di Indonesia masih sulit diwujudkan, maka hal yang paling mungkin ialah membekali para guru dan calon guru sekolah dasar dengan pengetahuan/keterampiIan memahami dan membantu anak berkesulitan belajarKetika menyebutkan seorang anak dengan kesulitan belajar, itu memberikan pemaknaan bahwa kata anak di depan memperlihatkan pentingnya penerimaan kita akan anak itu sendiri bukan sebagai sosok yang lain tetapi anak secara utuh. Kata dengan kesulitan belajar menunjukkan bahwa kesulitan belajar yang dialaminya adalah persoalan kedua yang harus menjadi perhatian kita. Dengan demikian penyebutan anak dengan kesulitan belajar adalah untuk memperlihatkan bahwa anak itu lebih penting daripada ketidakmampuan yang dialaminya. Kesulitan belajar adalah : Suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut berupa kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Masalah utamanya akibat adanya gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia dan afasia perkembangan. Adapun karakteristik kesulitan belajar khusus adalah : disebabkan disfungsi neurologis mengalami kesulitan bidang akademik : gangguan kernampuan verbal dan non verbal : mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis dan berhitung, Kesenjangan potensi dengan prestasi.Dapat diperburuk oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang memperburuk kesulitan belajar adalah;

► Pola asuh : otoriter (sangat “keras” / kaku), permisif (serba membolehkan) atau “over protective” (melindungi secara berlebihan)► Kurang dilatih mandiri, sehingga kemampuan “problem solving” tidak sebaik anakseusianya► Menolak anak berkesulitan belajar, diberi label negatif: bodoh, jorok, malas, nakal, bandel, dsb.► Salah memberikan stimulasi (tidak seimbang antara kecerdasan intelektual,

Page 56: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.► Dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa pengarahan (khas lingkungan yang miskin status sosial ekonomi).

Bagi anak yang berkesulitan belajar juga perlu terapi yang harus dilakukan agar mereka mampu menyesuaikan diri dengan permasalahan yang mereka hadapi. Terapi Permainan bagi Anak Berkesulitan Belajar terdapat berbagai macam jenis terapi di antaranya yaitu:• Permainan huruf, kata, kalimat• Permainan bahasa• Permainan mendengarkan• Permainan drama• Permainan motorik/fisik• Permainan matematika (berhitung)• Permainan aktif• Permainan puzzle• Dan lain sebagainya.

Gangguan yang Umum Diderita Penyandang Kesulitan Belajar:

► Gangguan aktifitas motorik.► Gangguan persepsi► Gangguan perhatian► Gangguan Emosional► Gangguan simbolisasi► Gangguan Mengingat

Usaha yang Dapat Dilakukan oleh Orang tua

► Pengaturan dalam jadwal kegiatan : Prinsip 3 R (Routine, Regular, Repetition)► Pengaturan dalam membantu pemusatan perhatian► Pengaturan dalam waktu bekerja► Pengaturan dalam cara bekerja► Pengaturan dalam pengelolaan emosi► Pengaturan dalam pernbentukan/perubahan perilaku (Metode ABC Analysis)► Metode penguat tingkah laku yang positif

Strategi Sekolah Bagi Penderita Berkesulitan Belajar► Sesuai kemampuan► Struktur yang baik► Guru yang simpatik dan hangat► Jumlah murid yang sedikit► Menyediakan sarana pemenuhan kebutuhan “Sensory Integration”/ SI anak► Menyediakan sarana remedial► Fleksibel► Melibatkan anak dalam aktifitas organisasi yang sederhana► Memahami pentingnya menjalin kerjasama dengan pihak lain.

Page 57: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Pembelajaran Pada Anak Yang Mengalami Kesulitan Belajar adalah : pembelajaran pada tahap konkret, (2) pembelajaran pada tahap semi konkret, (3) pembelajaran pada tahap semi abstrak dan (4) pembelajaran pada tahap abstrak.

Adapun anak-anak yang dikategorikan dengan berkebutuhan khusus adalah:

- Anak dengan keterlambatan perkembangan- Anak dengan keterbelakangan mental- Anak dengan gangguan emosional- Anak dengan gangguan spektrum autis- Anak dengan kesulitan belajar- Anak berbakata. Anak dengan Keterlambatan Perkembangan

1. Beresiko untuk menjadi terlambat berkembang, terjadi karena adanya faktor-faktor lingkungan yang bermakna dan besar kemungkinannya untuk menimbulkan keterlambatan tersebut. Faktor lingkungan tersebut antara lain kemiskinan atau lahir dengan berat badan rendah. Namun dengan pertolongan dan bantuan yang layak, anak dengan keterlambatan perkembangan ini akan dapat mencapai perkembangan yang normal.

2. Anak yang kehilangan kemampuan, diindikasikan dengan perkembangan yang berbeda dengan anak lain. Anak dengan kehilangan kemampuan pendengaran atau penglihatan, keterbelakangan mental atau ketidakmampuan motorik termasuk dalam kategori ini.

1 Kehilangan Kemampuan Pendengaran1) Ketulian adalah kehilangan kemampuan pendengaran yang sifatnya sangat berat. Kondisi ini mempengaruhi unjuk hasil belajar.2) Kesulitan mendengar adalah ketidak mampuan mendengar yang sifatnya berat tetapi belum termasuk dalam kategori tuli

a. Kehilangan kemampuan pendengaran dibagi menjadi 2 macam yaitu:

1) Kehilangan pendengaran yang sudah terjadi pada saat lahir disebut sebagai kehilangan pendengaran bawaan (congenital hearing loss)2) Apabila kehilangan kemampuan ini terjadi sesudah anak lahir disebut kehilangan pendengaran…(adventitious hearing loss)

b. Penyebab terjadinya kehilangan kemampuan pendengaran antara lain:1) Infeksi intrauterus yang berasal dari campak jerman, cytomegalovirus, herpes simplex virus2)3) Lahir prematur4) Diabetes karena kehamilan5) Toxemia selama kehamilan6) Kekurangan oksigen sebelum, saat dan sesudah lahir

Page 58: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

7) Salah pembentukan struktur alat pendengaran

Bakteri meningitis9) Otitis media10) Salah minum obat11) Campak12) Enchepalitis13) Cacar air14) Luka di kepala15) Terpajan oleh suara keras yang berulang kali.

c. Karakteristik anak-anak yang tuli atau kesulitan mendengar adalah:

1) Kesulitan dalam berkomunikasi.2) Pembelajaran eksperiensial menjadi terbatas. Mengingat kemampuan mendengarnya terganggu maka sumber-sumber pembelajaran yang diterimanya melalui pendengaran menjadi terbatas.

3) Secara kognitif tidak terlalu banyak berbeda dengan anak normal.

4) Secara akademik biasanya agak menonjol dibidang matematika, namun untuk bahasa dan membaca masih terus harus mendapat dukungan dari lingkungan sekitar agar terus berkembang.

5) Secara sosial emosional karena mereka terbatas dalam berinteraksi secara langsung di dalam kehidupan sehari-harinya seringkali hal ini membuat mereka mendapat pajanan untuk bahasa sosial emosional yang terbatas juga, akibatnya keterampilan sosialnya menjadi kurang berkembang.

6) Perilaku. Anak-anak tersebut seringkali tidak diajak bermain oleh teman-teman yang bisa mendengar karena mereka sulit untuk menerima dan memahami perilaku sosial teman-temannya tersebut. Karena sulit memahaminya maka mereka pun jadi sangat terbatas perbendaharaan bahasa emosi padahal bahasa ini dapat membantu mereka untuk memahami perasaannya sendiri dan orang lain.2 Kehilangan Kemampuan Penglihatan

a. Ada dua kategori besar yang tergolong dengan kehilangan kemampuan penglihatan yaitu:

1) Low vision yaitu, orang yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang berkaitan dengan penglihatan namun dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan menggunakan strategi pendukung penglihatan, melihat dari dekat, penggunaan alat-alat bantu dan juga modifikasi lingkungan sekitar.

2) Kebutaan yaitu, orang yang kehilangan kemampuan penglihatan atau hanya memiliki kemampuan untuk mengetahui adanya cahaya atau tidak.

Page 59: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

b. Penyebab terjadinya kehilangan kemampuan penglihatan adalah karena adanya permasalahan pada struktur atau fungsi dari mata.

c. Karakteristik dari anak dengan kehilangan kemampuan penglihatan:

1) Secara kognitif mengalami gangguan karena memiliki keterbatasan dalam variasi dan rentang pengalaman yang didapatkan, mobilitas dan interaksi dengan lingkungan yang terhambat. Kehilangan pengalaman-pengalaman yang berharga melalui hal-hal yang telah disebutkan di atas dan juga kurangnya kesempatan untuk mengamati dan menirukan anak-anak dan orang dewasa lainnya memberikan dampak yang sangat bermakna bagi perkembangan kognitifnya. Namun pada beberapa orang dengan kehilangan kemampuan penglihatannya memiliki kemampuan kognitif yang baik bahkan berbakat.

2) Secara akademis apabila ia tidak mengalami keterbatasan secara kognitif maka ia dapat memperlihatkan hasil belajar yang baik asalkan lingkungan sekitar memberikan dukungan yang penuh dengan alat-alat bantu yang memadai.

3) Secara sosial dan emosional anak dengan kehilangan kemampuan penglihatan dapat mengalami kesulitan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial karena ia sulit untuk dapat mengamati, menirukan dan menunjukkan tingkah laku sosial yang tepat. Agar ketrampilan sosial ini dapat berkembang maka anak-anak tersebut harus mendapatkan instruksi yang sifatnya sistematis dan langsung yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial emosional yang harus dilakukan.

4) Dalam berperilaku seringkali terlihat kurang matang, merasa terisolasi dan kurang asertif terutama sekali jika lingkungan kurang kondusif. Selain itu ada perilaku stereotip yang dimunculkan seperti mengerjapkan mata, menjentikan jari, menggoyangkan badan atau kepala, atau menggeliatkan badan. Hal ini sering muncul dikarenakan mereka kehilangan stimulasi sensori, terbatasnya gerakan dan aktivitas mereka dilingkungan, kurangnya interaksi sosial.

3 Gangguan Berbicara dan Berbahasa

Menurut IDEA (Individuals with Disabilities Education Act) tahun 1997, gangguan ini mengacu pada gangguan komunikasi seperti gagap, gangguan artikulasi, gangguan bahasa, atau gangguan suara yang berdampak pada hasil pembelajaran seorang anak.

a. Berbahasa dapat diaplikasikan dalam dua hal yaitu:

1) Bahasa ekspresif mengacu pada kemampuan individu di dalam menghasilkan suatu bahasa. Misalkan: menyampaikan isi pikiran atau pendapat secara verbal.

2) Bahasa reseptif mengacu pada kemampuan individu memahami suatu bahasa. Misalkan: orang yang mengerti bahasa asing tetapi ia tidak dapat berbicara dalam bahasa asing tersebut.

Page 60: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

b. Penyebab terjadinya gangguan bicara dan berbahasa pada anak dapat dilihat dari berbagai faktor yaitu:

1) Secara biologis, dimana masalah itu berkaitan dengan susunan saraf pusat atau struktur dan fungsi dari sistem lain di dalam tubuh. Misalkan: langit-langit mulut yang tidak sempurna, lidah yang tebal dan pendek.

2) Lingkungan, dimana anak yang mengalami gangguan ini dikarena mendapat infeksi telinga yang berulang yang berakibat mengganggu pendengarannya atau sampai membuat ketulian. Hal lain yang juga berkontribusi adalah penelantaran dan perlakuan salah pada anak.

c. Karakteristik dari anak dengan gangguan bicara dan berbahasa;

1) Secara kognitif mereka dapat berada dalam rentang tingkat kemampuan kognisi yang tinggi hingga yang terbelakang.

2) Secara akademik, pada anak usia dini yang dituntut untuk dapat mengekspresikan hasil pikirannya secara verbal maka anak akan mengalami kesulitan. Di samping itu anak harus memahami bahasa tersebut yang kemudian digunakan untuk belajar membaca dan menulis. Diketahui bahwa keterampilan berbicara dan berbahasa itu akan dipergunakan dalam setiap aspek kegiatan sekolah, misalnya untuk mempelajari subyek matematika, seni, dan kesadaran lingkungan bahkan saat istirahatpun akan memerlukan bahasa.

3) Secara sosial emosional, biasanya anak akan memiliki masalah juga. Terutama berkaitan dengan konsep diri yang dimilikinya. Apabila lingkungan banyak yang mencemoohkan dirinya maka anak cenderung akan memiliki konsep diri yang negatif. Ketika anak mengalami kesulitan dalam menyampaikan isi pikirannya karena penggunaan artikulasi yang salah, menyebabkan orang lain tidak dapat memahaminya. Keadaan ini membuat anak merasa terisolasi oleh lingkungannya.

4) Tingkah lakunya seringkali tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Misalnya anak batita yang kesulitan bicara ketika keinginannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain maka batita tersebut akan berperilaku agresif dan tingkah laku ini tidak dapat diterima oleh lingkungannya. Dengan bertambahnya usia dari anak dengan gangguan bicara dan berbahasa ini apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat maka ia akan cenderung untuk menjadi lebih bermasalah dalam berperilaku.

4 Gangguan pada Fisik

Gangguan ini biasanya berpengaruh pada gerakan kasar dan gerakan halus dari seseorang. Gangguan ini bisa bersifat ringan hingga yang berat.

a. Penyebab dari gangguan fisik ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

Page 61: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

1) Kelainan bawaan yang menyebabkan terjadinya telapak kaki rata, jumlah anggota tubuh yang tidak lengkap atau berlebih.2) Penyakit seperti poliomyelitis, TBC tulang dll.3) Penyebab lain seperti gangguan neurologis dan lingkungan, yang menyebabkan cerebral palsy, spina bifida, amputasi, retak atau terbakar.

Cerebral palsy merupakan gangguan pada fisik yang cukup banyak dikenal orang.

Jenis-jenis dari Cerebral Palsy adalah:

¬ Spastic cerebral palsy, dimana kondisi dari otot-otot anak tersebut adalah sangat kaku sehingga gerakan menjadi tidak wajar.

¬ Athetoid cerebral palsy, dimana anak tidak mampu untuk mengendalikan gerakan dari otot-ototnya sehingga seringkali ia akan melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu tanpa mampu mengendalikannya.

¬ Ataxic cerebral palsy, merupakan gangguan yang jarang dimana keseimbangan dan koordinasi motoriknya menjadi terganggu.

¬ Gabungan dari macam-macam cerebral palsy ini disebut mixed cerebral palsy.

b. Karakteristik anak dengan gangguan fisik.

1) Secara kognitif dan akademik, anak dengan gangguan fisik akan memiliki fungsi kognitif dengan rentang dari yang rendah hingga yang tinggi. Sehingga anak-anak yang mengalami gangguan fisik namun memiliki kemampuan kognitif yang baik maka ia akan dapat berkembang dengan baik, asalkan gangguan fisiknya dapat ditangani dengan baik. Misalkan anak yang tidak memiliki kaki yang lengkap namun pintar ia dapat masuk sekolah dimana sekolah itu memberikan fasilitas yang cukup sehingga anak tersebut tidak memperoleh kesulitan mengakses kelas dan ruang-ruang lainnya.

2) Secara perilaku, anak dapat terganggu apabila gangguan yang dimilikinya itu menghambat gerakan, interaksi dengan orang lain. Sehingga anak perlu mendapat keterampilan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan diperlukannya.

3) Secara emosional, pada umumnya anak dengan gangguan fisik ini akan memiliki konsep diri yang rendah. Oleh karena itu harus terus didukung dan dikembangkan konsep diri yang positif pada anak tersebut.

4) Secara sosial, anak dengan gangguan fisik sangat memerlukan bantuan orang lain untuk dapat berinteraksi dengan teman sebayanya. Mereka memerlukan akses yang sesuai sehingga gangguan fisik yang dimilikinya tidak terhambat.

5) Secara fisik dan medis, anak dengan gangguan ini akan memiliki kondisi fisik dan medis yang berbeda dengan anak secara umum dan memerlukan perhatian yang khusus.

Page 62: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

c. Cara mengidentifikasi anak dengan gangguan fisik adalah dengan melakukan asesmen terhadap kondisi medis dan fungsi fisiknya. Selain itu perlu juga dilakukan asesment terhadap fungsi intelektual, prestasi akademik, bahasa dan area-area lain yang terkait. Semua asesmen ini dilakukan oleh ahlinya.

Apabila telah diketahui kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh anak dengan gangguan fisik ini maka penanganan harus segera dilakukan sejak dini dan menyeluruh, agar anak dapat berkembang secara optimal.

b. Anak dengan Keterbelakangan Mental

American Association on Mental Retardation mendefinisikan anak dengan keterbelakang mental adalah anak-anak yang memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata secara bermakan, terlihat memiliki kesulitan dalam perilaku adaptif yang dimunculkan melalui kesulitan membuat konsep, keterampilan sosial dan praktik perilaku adaptif dan terjadi pada rentang usia perkembangannya yaitu di bawah 18 tahun.

1. Penyebab terjadinya keterbelakangan mental ini terbagi atas:

a. Saat prenatal, biasanya dikarenakan adanya abnormalitas dari kromosom. Contohnya adalah Down Syndrome, Fragile X Syndrome, Prader-Willi syndrome, Fetal alcohol syndrome, Phenylketonuria,Toxoplasmosis.

b. Saat Perinatal, biasanya terjadi selama atau seketika setelah anak lahir. Anak yang lahir prematur dengan berat badan sangat kecil, kekurangan oksigen pada waktu lahir, penggunaan alat bantu seperti forcep yang kurang tepat.

c. Post natal, bisa saja ketika selama kehamilan dan saat kelahiran anak tidak mengalami gangguan apa-apa namun setelah itu anak terjangkit encephalitis, keracunan timbal dan kerusakan otak maka kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya keterbelakangan mental pada anak.

2. Karakteristik dari anak dengan keterbelakang mental:a. Secara kognitif anak tersebut sangat berbeda dengan anak normal, dari penggolongan IQ nya saja mereka dapat dikategorikan sebagai:

¬ Keterbelakangan mental ringan (IQ= 55 – 69)¬ Keterbelakangan mental sedang (IQ = 40 -54)¬ Keterbelakangan mental berat (IQ = 25 – 39)¬ Keterbelakangan mental sangat berat (IQ = di bawah 25).

Dengan derajat keterbelakang mental yang berbeda itu maka tingkatan dari layanan dukungan buat merekapun menjadi berbeda pula (tabel terlampir). Kemampuan memori, menggeneralisasi, motivasi, bahasa dan keterampilan akademisnya menjadi terbatas.

Page 63: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

b. Secara sosial, banyak anak dengan keterbelakangan mental mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

c. Tingkah laku adaptifnyapun ada mengalami gangguan terutama dalam hal komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kehidupan sehari-hari, menikmati waktu senggang, kesehatan dan keselamatan, kemampuan mengarahkan diri, fungsi akademis, dan keterlibatan dimasyarakat.

d. Secara emosional, mereka seringkali terperosok dalam kondisi kesepian, depresi.

e. Secara fisik dan medis, biasanya tidak ada kondisi fisik dan medis yang sangat berbeda dengan anak kebanyakan.

3. Proses identifikasi anak dengan keterbelakangan mental dilakukan dengan asesmen dari fungsi intelektualnya, tingkah laku adaptif, faktor medis semua ini dilakukan oleh ahlinya dan kemudian diberikan penanganan yang sesuai.

c. Anak dengan Gangguan Emosional

• Emosi dapat memberikan pengalaman bagi anak. Apa yang dipelajari anak dari orangtua atau pengasuh memberikannya kesempatan untuk belajar berpikir dalam membedakan yang mana yang baik dan yang salah. Hubungan yang baik antara anak dengan orangtua ditunjukkan dengan cara pemberian kasih sayang dan kehangatan pada anak. Anak akan percaya bahwa ada ikatan emosi antara ia dengan orangtuanya, mereka pun akan tumbuh dengan baik. Hubungan emosi dimulai semenjak anak bayi dan mengalami puncak ketika anak berusia 7 bulan. Kali ini bayi dapat membedakan siapa yang ibu, ayah, kakak, kakek, bibi dan lainnya. Bayi akan menangis jika ia tidak merasa nyaman dengan orang lain selain yang dekat dengannya. Namun ada juga yang tidak demikian, hal ini tergantung bagaimana orangtua atau pengasuhnya membiasakan anak untuk berhubungan juga dengan lingkungan. Dengan demikian dapat dikatakan jika hubungan emosi juga dibutuhkan ketika anak merasakan bahaya, sakit, dan ketidakpahaman (Bowlby, 1988).

Menurut Morelli (2000) salah satu yang menyebabkan hubungan emosi adalah latar belakang budaya. Budaya menjadikan anak dan orangtua menjadi dekat. Faktor lain yang mempengaruhi hubungan emosi anak adalah kontribusi anak itu sendiri. Anak tahu apa yang dibutuhkannya dari ibu dan pengasuh.Hal-hal yang perlu diketahu pada anak yang mengalami gangguan emosional adalah :

1. Terjadi dalam situasi yang diikuti oleh beberapa karakteristik yang muncul dalam periode tertentu dan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari seorang anak seperti:

a. Ketidak mampuan untuk belajar yang tidak dapat dijelaskan dari faktor intelektual, sensori maupun kesehatan.

Page 64: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

b. Ketidakmampuan untuk mempertahankan atau membangun hubungan yang menyenangkan dengan teman sebaya atau dengan guruc. Berperilaku tipikal atau memiliki perasaan yang tidak sesuai walau dalam situasi yang normal.

d. Secara umum terlihat depresi atau tidak bahagia.

e. Kecenderungan untuk memunculkan simtom fisik atau ketakutan-ketakutan yang dikaitkan dengan seseorang atau sekolah.

2. Penyebab terjadinya gangguan emosional ini berupa:

a. Faktor biologisb. Faktor psikososial, seperti stres yang berkepanjangan, kejadian hidup yang menekan, perlakuan salah pada masa kecil, fakator keluarga.

3. Karakteristik dari anak dengan gangguan emosional adalah:

a. Secara tingkah laku biasanya mereka tidak berbeda dengan anak kebanyakan. Namun bisa dilihat dari tingkah laku yang terinternalisasikan dan tingkah laku yang dieksternalisasikan.

b. Secara emosional, biasanya mereka memiliki pengalaman kecemasan yang bersumber dari rasa ketakutan yang berlebihan. Ada depresi yang muncul.

c. Secara sosial, ada hambatan dalam mempertahankan sebuah hubungan dengan orang lain.

d. Secara kognitif akan memiliki rentang kemampuan dari yang rendah hingga yang tinggi. Namun seringkali gangguan emosinya tersebut menghambat hasil pembelajarannya.

4. Proses identifikasi anak dengan gangguan emosi dilakukan dengan asesmen formal dan asesmen di dalam kelas apabila anak tersebut sudah masuk sekolah. Penanganan dilakukan oleh ahlinya.

d. Anak dengan Gangguan Spektrum Autis

Seseorang baru dapat dikatakan sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) bila ia memiliki sebagian dan uraian gejala-gejala berikut ini:

1. Gangguan komunikasi

Cenderung mengalami hambatan mengekspresikan diri, sulit bertanya jawab sesuai konteks, sering membeo ucapan orang lain, atau bahkan mengalami hambatan bicara secara total dan berbagai bentuk masalah gangguan komunikasi lainnya.

Page 65: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

2. Gangguan perilaku

Adanya perilaku stereotipi / khas seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan benda, mengketuk-ketukkan benda ke benda lain, obsesi pada bagian benda atau benda yang tidak wajar dan berbagai bentuk masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak seusianya.

3. Gangguan interaksi

Secara umum terdapat keengganan untuk berinteraksi secara aktif dengan orang lain, sering terganggu dengan keberadaan orang lain di sekitarnya, tidak dapat bermain bersama anak lain, lebih senang menyendiri dan sebagainya. Beberapa individu yang termasuk dalam spektrum autisme juga melaporkan bahwa mereka memiliki berbagai ciri khas dalam mempersepsi dunia, seperti misalnya (Siegel, 1996):

a. visual thinking

Di mana mereka lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak.

b. Processing problems

Sebagian anak ASD mengalam kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami menggunakan akal sehat/nalar. Hal-hal tersebut di atas tampak konsisten dengan kecenderungan individu ASD yang lebih mudah berpikir secara visual.

c. Sensory sensitivities

Perkembangan yang kurang optimal pada sistim neurobiologis individu ASD juga sedikit banyak mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga terjadi salah satu atau semua pada sebagian anak ASD:

¬ Sound sensitivity:Di mana anak jadi takut berlebihan pada suara keras/bising. Ketakutan yang berlebihan ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk perilaku buruk.

¬ Touch sensitivity:Anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan dalam. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah perilaku (termasuk masalah makan & pakaian).

¬ Rhytm difficulties:

Page 66: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Individu sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan saat untuk masuk dalam percakapan, itu sebabnya banyak individu ASD terus menerus berbicara, atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang seringkali dianggap lingkungan sebagai ‘tidak sopan’.

¬ Communications frustrations

Gangguan perkembangan bicara bahasa yang terjadi pada individu ASD membuat mereka sering frustrasi karena masalah komunikasi. Mereka bisa mengerti orang lain, tapi terutama bila orang lain bicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya mereka seolah tidak mendengar bila orang lain bercakap-cakap sesamanya.

¬ Social & emotional issues

Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang membuat individu ASD cenderung berpikir kaku.

¬ Problems of control

Berbagai gangguan perkembangan neurologi di otak menjadikan masalah individu ASD menjadi makin kompleks. Mereka mengalami kesulitan mengontrol diri sendiri, yang terwujud dalam berbagai bentuk masalah perilaku.

Problems of tolerance

Kepekaan yang berlebihan akan rangsang stimuli tertentu, membuat individu ASD menarik diri dari lingkungannya. Mereka kurang dapat mentolerir rangsang-rangsang tersebut, dan ini merupakan manifestasi masalah sensori di tubuhnya.

Problems of connection:

Berbagai masalah yang berkaitan dengan ‘kemampuan individu menalar’ adalah;

• Attention problems: masalah pemusatan perhatian, terus menerus terdistraksi• Perceptual problems: masalah proses persepsi, bingung sehingga menghindari orang lain.• Systems integration problems: proses informasi di otak bekerja secara ‘mono’ (tunggal) sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus• Left-right hemisphere-integration problems: otak kiri tidak secara konsisten tahu apa yang terjadi pada otak kanan (dan sebaliknya), sehingga tidak sepenuhnya sadar pada apa yang sedang terjadi.

Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut, menjadikan setiap individu sangat unik. Tidak ada dua individu autisme yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun. Itu sebabnya, penanganan juga tidak dapat disamaratakan. Paharn “individual

Page 67: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

differences” (Greenspan, 1998) sangat ditekankan, sehingga orang tua dan guru tidak memberikan penanganan seragam bagi sekelompok anak.

Dalam menghadapi variasi jenis kelebihan dan kekurangan masing-masing anak, kemampuan untuk mengobservasi menjadi sangat penting. Orang tua adalah pengamat di rumah, guru adalah pengamat handal di sekolah. Apa yang harus diamati? Banyak sekali: kebiasaan anak dalam menghabiskan waktu di rumah, perilaku yang sering ia tampilkan, bagaimana ia mencerna informasi, bagaimana respons anak terhadap usaha orang tua mengajarkan kebiasaan baru clan sebagainya.

Karena itu, penting bagi pendidik dan orang tua anak ASD untuk bekerja sama berusaha mencari penanganan terbaik bagi anak-anak ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, para orang dewasa di sekitar anak ASD-lah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak ASD. Berikan mereka kesempatan dan target yang realistik di tempat belajar “umum”, serta ajarkan ketrampilan-ketrampilan baru melalui cara yang khusus (bila perlu) sesuai kemampuan dan gaya belajar mereka.

Akhir-akhir ini jumlah anak yang mengalami gangguan spektrum autis mengalami peningkatan. Perlu diketahui beberapa hal tentang gangguan ini yaitu :

1. Anak dengan gangguan spektrum autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang dimanifestasikan dalam hambatan komunikasi verbal dan non verbal, masalah pada interaksi sosial, gerakan yang berulang dan stereotip, sangat terganggu dengan perubahan dari suatu rutinitas, memberikan respon yang yang tidak sesuai terhadap rangsangan sensoris.

2. Penyebab terjadinya gangguan spektrum autis dapat dibagi menjadi:

a. Faktor biologis, seperti DNA, multi genetik.

b. Faktor otak, adanya abnormalitas di otak kecil yang mengendalikan koordinasi motorik, kognisi dan keseimbangan. Bersamaan dengan itu juga ada ditemukan abnormalitas di lobus frontal (yang mengendalikan fungsi sosial dan kognitif) dan lobus temporal (untuk memahami ekspresi muka, tanda-tanda sosial dan memori).

c. Faktor lingkungan, seperti penelantaran dari keluarga ternyata dapat memperburuk kondisi dari anak dengan gangguan spektrum autis.

d. Faktor imunisasi, dikatakan bahwa ada beberapa kejadian dimana anak mendapatkan imunisasi MMR menjadi autis.

3. Karakteristik dari anak dengan gangguan spektrum autistik adalah:

a. Secara kognitif, mereka dapat memiliki kecerdasan dari tingkat yang rendah hingga di atas rata-rata.Mereka memiliki ”rote memory” dimana ia akan dapat dengan mudah mengingat segala

Page 68: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

sesuatu tanpa memaknainya, sehingga ia akan dapat mengeluarkan kembali ingatan tersebut dalam konteks yang tidak tepat.

Di dalam memecahkan suatu masalah mereka cenderung hanya menggunakan satu strategi saja, sehingga tingkat keberhasilannya sangat rendah terutama untuk hal-hal yang kompleks dan abstrak.Sangat sulit untuk memotivasi seorang anak dengan gangguan spektrum autistik hal ini dikarenakan mereka terfokus pada satu hal saja.

b. Secara sosial emosional, mereka mengalami kesulitan karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, intonasi bicara yang sangat datar, mengulang kata-kata yang tidak bermakna, dan berkomunikasi tanpa mengindahkan konteks sosial.

c. Secara perilaku, anak cenderung hanya memperhatikan atau merespon pada satu stimulus saja yang bermakna bagi dirinya sendiri dan tidak mengindahkan hal lain di sekitarnya.Mereka sering memunculkan tingkahlaku yang sama dan dilakukan berulang-ulang seperti mengepakkan tangan, bertepuk tangan, menggoyangkan badan. Sangat sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru atau berubah-ubah.Mengalami kesulitan pada aspek sensoris seperti auditory dan visual.

4. Proses identifikasi, apabila ditemukan anak dengan ciri-ciri seperti yang telah diuraikan di atas, maka orangtua atau guru harus segera membawa ke ahlinya agar mendapat penanganan yang lebih tepat. Semakin dini penanganannya maka semakin besar kemungkinan anak untuk tumbuh dan bekembang seperti anak normal pada umumnya.

e. Anak dengan Kesulitan Belajar

Menurut IDEA dikatakan anak dengan kesulitan belajar adalah anak yang mengalami gangguan di satu atau lebih proses dasar psikologi termasuk, memahami dan menggunakan bahasa (verbal dan tulisan), yang berdampak pada kemampuan mendengar, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan kalkulasi matematika. Termasuk juga gangguan persepsi, kerusakan otak, fungsi minimal otak, disleksia, dan aphasia. Gangguan-gangguan seperti kehilangan penglihatan, pendengaran, motorik, keterbelakangan mental, gangguan emosi atau hambatan secara sosial, ekonomi, dan budaya tidaklah termasuk dalam kategori kesulitan belajar.Penyebab terjadinya kesulitan belajar pada seorang anak adalah:a. Faktor fisiologis, seperti kerusakan otak, keturunan, dan ketidak seimbangan proses kimia dalam tubuhb. Faktor lingkungan, gizi yang buruk, keracunan, kemiskinanc. Karakteristik dari anak dengan kesulitan belajar mencakup:1) Secara kognitif, berkaitan dengan atensi, persepsi, gangguan memori, proses informasinya;2) Secara akademik, bermasalah pada kegiatan membaca, menulis, matematika dan berbahasa verbal;

Page 69: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

3) Secara sosial dan emosional, umumnya memiliki harga diri yang rendah karena dianggap sebagai anak yang tidak mampu. Dengan kesulitannya ini anak menjadi mengganggap dirinya tidak mampu untuk melakukan sesuatu;

4) Secara perilaku, mereka menjadi sulit untuk mengendalikan gerak tubuhnya, tidak mau duduk diam, berbicara terus, melakukan agresi fisik dan verbal.

d. Proses identifikasi, apabila ditemukan anak dengan ciri-ciri seperti yang telah diuraikan di atas, maka orangtua atau guru harus segera membawa ke ahlinya agar mendapat penanganan yang lebih tepat. Semakin dini penanganannya maka semakin besar kemungkinan anak untuk tumbuh dan bekembang seperti anak normal pada umumnya.

f. Anak Berbakat.

Definisi menurut IDEA adalah anak yang memiliki kemampuan yang melebihi dari kemampuan orang lain pada umumnya dan mampu untuk menunjukkan hasil kerja yang sangat tinggi. Keberbakatan ini dapat dilihat dari berbagai area seperti: kemampuan intelektual secara umum, akademis yang khusus, berfikir kreatif, kepemimpinan, seni, dan psikomotor. Seorang anak dapat dikatakan berbakat apabila ia memiliki kemampuan yang diatas rata-rata, memiliki komitment terhadap tugas yang tinggi dan juga kreatif.

Karakteristik yang dimiliki oleh anak berbakat adalah:a. Secara kognitif. Secara umum, anak-anak berbakat memiliki kemampuan dalam memanipulasi dan memahami simbol abstrak, konsentrasi dan ingatan yang baik, perkembangan bahasa yang lebih awal dari pada anak-anak seusianya, rasa ingin tahu yang tinggi, minat yang beragam, lebih suka belajar dan bekerja secara mandiri, serta memunculkan ide-ide yang originalb. Secara akademis, mereka sangat termotivasi untuk belajar di area-area dimana menjadi minat mereka. Namun mereka bisa kehilangan motivasinya apabila dihadapkan pada area yang tidak mereka minati;

b. Secara sosial emosional, mereka terlihat sebagai anak yang idealis, perfeksionis dan kepekaan terhadap rasa keadilan, peka. Selalu terlihat bersemangat, memiliki komitmen yang tinggi, dan peka terhadap seni.

Untuk mengetahui keberbakatan seorang anak maka ia harus mengikuti serangkaian asesmen yang dilakukan oleh psikolog, dan apabila anak tersebut memang dikategorikan sebagai anak berbakat maka ia harus memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya agar dapat berkembang dengan optimal.

a. Memahami pendidikan inklusi bagi anak dengan kebutuhan khusus

Dengan memahami bahwa semakin banyak anak berkebutuhan khusus yang memerlukan penanganan yang tepat dan menyeluruh maka program inklusi di sekolah-sekolah untuk perlu ditingkatkan.

Page 70: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Program inklusi di sekolah umum, bukanlah sekedar program dimana sekolah memberikan kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah bersama namun lebih jauh lagi.

Ketika suatu sekolah menerapkan program inklusi maka sekolah tersebut haruslah mempersiapkan beberapa hal seperti: lingkungan yang sangat mendukung, materi-materi untuk beradaptasi, aktifitas-aktifitas yang disederhanakan, peralatan untuk mempermudah mereka beradaptasi, dukungan dan kesiapan untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus dari teman sebayanya, dukungan tidak langsung (pemberian waktu yang lebih lama, pemberian kesempatan yang lebih banyak dll).

Selain itu sekolah dan orangtua juga mempersiapkan layanan-layanan yang dapat membantu perkembangan potensi anak seperti penyediaan terapis okupasi, terapis wicara, fisioterapis. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah mempersiapkan orangtua dan anak-anak yang normal di sekolah tersebut untuk dapat menerima kehadiran anak-anak berkebutuhan khusus.

Program inklusi ini selain memberikan keuntungan bagi anak berkebutuhan khusus juga memberikan keuntungan bagi teman-teman sebayanya (mereka lebih menghargai keragaman orang, dapat memberikan bantuan, menumbuhkan hubungan yang saling mengasihi), bagi guru (lebih memahami keragaman dari anak didiknya, memperdalam pengetahuan mengenai anak berkebutuhan khusus secara profesional, dan ada kepuasan batin), bagi keluarga (mereka merasa bahwa anaknya diterima dan menjadi bagian dari masyarakat). Dari berbagai macam jenis dan ragam kasus anak berkebutuhan khusus, maka perlu mendidik anak berkebutuhan khusus dengan medel layanan pendidikan yang khusus juga sebagaimana yang terdapat pada gambar dibawah ini :

Pelaksanaan pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus dapat dilakukan terpisah (eksklusif) atau menyatu (inklusif) dengan anak pada kelas reguler. Sistem layanan Pendidikan Khusus yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.(Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994). Kenapa harus inklusif? Karena Anak Luar Biasa adalah makhluk sosial yang inklusif dimana peluang kesempatan belajar menjadi sangat luas, mereka wajib belajar karena pendidikan adalah untuk semua(Education for all),pendidikan efisien serta adanya embelajaran sosial. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama dimana sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid serta harus didukung oleh sistem yang menyesuaikan dengan anak membutuhkan dan memerlukan dukungan dari pemerintah, Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus juga sangat penting didukung oleh masyarakat, orang tua. Disamping hal tersebut di atas, juga tidak terlepas dari dukungan kurikulum, sumber daya manusia, sarana prasarana, alat dan sumber belajar, serta birokrasi yang baik dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Pusat sumber belajar yang dimaksudkan adalah suatu unit atau institusi yang berfungsi memberikan layanan pendukung bagi sekolah-sekolah reguler yang menyelenggarakan

Page 71: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

pendidikan inklusi, baik secara teknis (operasional) maupun konsultatif. Hal ini kita lihat pada gambar berikut :

PENILAIAN PORTOFOLIO

Pengertian

Portofolio berasal dari bahasa Inggeris “portofolio” yang artinya dokumen atau surat-surat. Pendapat lain, portofolio berasal dari kata kerja “potare” berarti membawa dan kata benda bahasa latin “foglio”, yang berarti lembaran atau “kertas kerja”. Portofolio tempat berisikan benda pekerjaan, lembaran, nilai dan profesional. Dalam konteks penelitian ini Portofolio adalah koleksi berharga dan berguna berisikan pekerjaan peserta didik yang menceritakan atau menerangkan sejarah prestasi atau pertumbuhan peserta didik.

Portofolio umumnya suatu fakta bahwa peserta didik mengumpulkan, menseleksi dan merefleksi penilaiannya (Sharp, 2006:1). Porotofolio berisikan beragam tugas; disebut juga artifak, antara lain : draft mentah, nilai, makalah, benda kerja, kritik dan ringkasan, lembaran refleksi diri, pekerjaan rumah, jurnal, respon kelompok, grafik, lembaran catatan dan catatan diskusi. Beberapa cara baru seperti: note book, multi media, disket, flashdisk, map lipat, dan file internet (Sharp, 2006:1). Dapat juga diartikan sebagai kumpulan kertas-kertas berharga dari suatu pekerjaan tertentu. Pengertian portofolio di sini adalah suatu kumpulan pekerjaan peserta didik dengan maksud tertentu dan terpadu yang diseleksi menurut panduan-panduan yang ditentukan. Panduan-panduan ini beragam tergantung pada mata pelajaran dan tujuan portofolio. Penilaian portofolio juga merupakan penilaian berbasis kelas terhadap sekumpulan karya peserta didik yang tersusun secara sistematis dan terorganisir yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu, penilaian portofolio tidak saja dapat dilakukan oleh guru di sekolah akan tetapi juga dapat dilakukan oleh orang tua di rumah dalam memantau perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik dalam mata pelajaran tertentu.

Penilaian memegang peranan penting dalam proses pembelajaran (worten, Baline, R, dan James R, Sanders, 1987 dalam Tayipnafis, 2000; 2-3) menjelaskan bahwa penilaian sebagai dasar untuk:1. Membuat kebijakan dan keputusan2. Menilai hasil yang dicapai para peserta didik.3. menilai kurikulum.4. Memberi kepercayaan kepada sekolah.5. Memonitor dana yang telah diberikan.6. Memperbaiki materi dan program pendidikan.

Kemudian Ralph Tyler (1950; 69) penilaian yang dilaksanakan seorang pembelajar/guru berguna untuk menentukan sampai sejauh mana tujuan pembelajaran telah dicapai.

Djemari Mardapi dkk, (2001) menyebutkan bahwa penilaian portofolio harus memperhatikan beberapa hal, sebagai berikut:

Page 72: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

1. Karya dikumpulkan adalah benar-benar karya yang bersangkutan.2. Menentukan contoh pekerjaan mana yang harus dikerjakan.3. Mengumpulkan dan menyimpan sampel karya.4. Menentukan kriteria untuk menilai portofolio.5. Meminta peserta didik untuk menilai secara terus-menerus hasil portofolionya.6. Merencanakan pertemuan dengan peserta didik yang dinilai.7. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam menilai portofolio.

Barton & Collins (dalam Sumarna Surapranata, dkk., 2006; 25 -26) objek potofolio atau evidence dibedakan menjadi empat macam:

1. Hasil karya peserta didik (artifacts), yaitu hasil karya peserta didik yang dihasilkan di kelas.2. Reproduksi (reproductions) yaitu hasil kerja peserta didik yang dikerjakan di luar kelas.3. Pengesahan (attestations) yaitu pernyataan dan hasil pengamatan yang dilakukan oleh guru atau pihak lainnya tentang peserta didik.4. Produksi (productions) yaitu hasil kerja peserta didik yang dipersiapkan khusus untuk portofolio.

Menurut Sumarna secara umum portofolio merupakan kumpulan dokumen berupa objek penilaian yang dipakai seseorang, kelompok, lembaga, organisasi, perusahaan, atau sejenisnya yang bertujuan untuk mendokumentasikan dan mengevaluasi perkembangan suatu proses dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam perusahaan. Di samping itu evidence peserta didik dapat didemonstrasikan terhadap orang lain sebagai manifestasi yang mereka miliki tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan tujuan pembelajaran.

B. Bahan-Bahan Portofolio

Menurut Sumarna (2006; 39) bahan-bahan yang dapat dijadikan portofolio di sekolah, adalah sebagai berikut:

1. Penghargaan tertulis, misalnya sertifikat mengikuti lomba matematika tingkat kelas, sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi maupun nasional;2. Penghargaan lisan, guru mencatat penghargaan lisan yang diberikan peserta didik dalam kurun waktu tertentu;3. Hasil kerja biasa dan hasil pelaksanaan tugas-tugas oleh peserta didik dalam kurun waktu tertentu;4. Daftar ringkasan hasil pekerjaan, berupa buku catatan peserta didik;5. Catatan sebagai peserta dalam suatu kerja kelompok;6. Contoh terbaik hasil pekerjaan, menurut pendapat guru dan peserta didik;7. Catatan/laporan dari pihak lain yang relevan, antara lain dari teman atau orang lain;8. Hasil rekapitulasi daftar kehadiran;9. Hasil ulangan harian atau semester;10. Prosentase dari tugas-tugas yang selesai dikerjakan; dan

Page 73: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

11. Catatan pribadi;12. Daftar kehadiran;13. Persentase tugas yang telah selesai dikerjakan;14. Catatan tentang peringatan yang diberikan guru manakala peserta didik melakukan kesalahan;15. Audio visual;16. Video;17. Disket.

Kemudian dalam proses penyusunan bahan-bahan portofolio mempertimbangkan beberapa faktor, masing-masing;

1. Koleksi: mengumpulkan hasil kerja peserta didik yang menunjukkan pertumbuhan, kemajuan, dan hasil belajar.2. Organisasi: mengorganisasikan berbagai hasil kerja peserta didik.3. Refleksi: merenungkan/memikirkan kembali apa yang telah dikoleksi dan diorganisasi.4. Penyajian: mempresentasikan hasil kerja peserta didik.

Portofolio disusun sedemikian rupa dari hasil kerja peserta didik dengan mempergunakan beberapa pertimbangan dan struktur kerja, karena portofolio tersebut akan membangun daya kreativitas dan struktur berpikir peserta didik, dimulai dari mendiskripsikan informasi primer dan kemudian informasi sekunder serta dipaparkan secara asal-asalan dan tumpang tindih, kemudian mempertimbangkan;

1. Apa-apa saja yang harus dimuatkan ke dalam portofolio?.2. Hasil karya yang mana yang bersifat wajib dan yang bersifat pilihan?.3. Siapa yang akan menyeleksi?.4. Kapan, berapa sering, siapa yang akan mengkaji ulang portofolio?.

http://www.google.co.id/search?q=Pengertian+portofolio&hl=id&client=firefox-a&hs=vW6&rls=org.mozilla: diakses tanggal 6 September 2010.

Bahan-bahan yang dikumpulkan adalah bahan yang dapat memberi informasi tentang perkembangan yang dialami oleh peserta didik, atau bahan itu berguna olah guru sebagai informasi dalam pengambilan keputusan, bahan-bahan di atas dipilih dan ditentukan yang relevan dengan materi pelajaran atau dapat ditambah dengan bebagai bahan lain.

C. Jenis-Jenis Portofolio

Portofolio dilihat dalam jenis dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk portofolio, yaitu:

1. Portofolio perkembangan: berisikan koleksi artefak peserta didik yang menunjukkan pertumbuhan seorang peserta didik.2. Portofolio pamer/showcase: berisikan koleksi artefak peserta didik yang menunjukkan hasil karya terbaiknya.3. Portofolio komprehensif: berisikan koleksi artefak seluruh hasil karya peserta didik.

Page 74: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Secara kontinum portofolio bertujuan sebagai berikut;

1. Untuk penilaian formatif dan diagnostik, untuk memonitor perkembangan peserta didik dari hari ke hari, dan berfokus pada proses perkembangan peserta didik.2. Untuk memeberi eviden (bukti) penilaian formal.3. Untuk mengikuti perkembangan pekerjaan peserta didik, berfokus pada proses dan hasil.4. Untuk mengoleksi hasil pekerjaan yang telah selesai, berfokus pada penilaian sumatif.

Selanjutnya, portofolio merupakan tugas yang dilaksanakan peserta didik dengan ketentuan berisikan;

1. Rancangan isi dan sleksi dipengaruhi oleh tujuan portofolio.2. Ada portofolio yang berisikan segala sesuatu yang dilakukan peserta didik.3. Ada portofolio hanya berisikan beberapa item saja dari yang dilakukan peserta didik.

D. Tujuan Menggunakan Penilaian Portofolio

Tujuan menggunakan penilaian portofolio menurut Suderadjat (2004, 128), Sumarna Surapranata, Muahmmad Hatta (2006; 76) adalah:

1. Dapat menghargai perkembangan hasil belajar peserta didik (prestasi);2. Mendokumentasikan proses pembelajaran yang berlangsung;3. Memberi perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik;4. Bertukar informasi dengan orang tua/wali peserta didik dan guru lain;5. Meningkatkan efektivitas proses pengajaran;6. Dapat merefleksikan kesanggupan mengambil resiko dan melakukan eksperimen;7. Dapat membina dan mempercepat pertumbuhan konsep diri pada peserta didik;8. Peserta didik memandang lebih objektif dan terbuka dibandingkan dengan tes tradisional karena peserta didik sendiri ikut menilai hasil kinerja dirinya;9. Membantu peserta didik dalam merumuskan tujuan.

Di samping itu portofolio akan dapat menimbulkan beberapa efek positif pada diri peserta didik dan pada diri guru itu sendiri, sehingga proses pembelajaran yang laksanakan guru bersama peserta didik menjadi proses yang menyenang, menarik, kreatif, integratif, dan reflektif. Efek tersebut pada;

Peserta didik• Peserta didik merasa bangga terhadap hasil karya yang telah dilaksanakan• Merefleksi strategi kerja• Menentukan tujuan• Termotivasi• Mengontrol pekerjaannya• Mendapat penguatan• Terbangun harga diri• Bekerja sesuai dengan kemampuan

Page 75: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Guru• Berkesempatan memikirkan kembali pekerjaan peserta didiknya• Termotivasi mengembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan peserta didik• Memperbaharui komitmennya

Tujuan penggunaan portofolio juga akan menciptakan peserta didik merefleksi karyanya, apa, kenapa, dan bagaimana dengan dokumen yang telah dimilikinya. Peserta didik memulai dengan bertanya pada dirinya dan membuatkan mereka merenungkan hasil karyanya dan mampu menilai dirinya. Keuntungan refleksi tersebut, adalah sebagai berikut;

• Mendorong peserta didik merasa memiliki• Mengarah peserta didik pada pencapaian kompetensi tertentu• Melatih bekerja dengan data autentik• Melatih peserta didik untuk mematuhi kriteria• Peserta didik merefleksikan hipotesis, asumsi, hambatan• Melatih peserta didik untuk mengecek, apakah pekerjaannya dapat diterima orang lain• Mendorong peserta didik untuk menyelidiki lebih lanjut• Memberi peluang peserta untuk menentukan jenis portofolio• Memberi peluang kepada peserta didik untuk melakukan proses internalisasi dan berpikir secara holistik.

E. Perbedaan Penilaian Portofolio dengan Tes Tradisional

Penilaian portofolio memiliki perbedaan dengan tes tradisonal, penilaian portofolio merupakan ciri khas penilaian pembelajaran berbasis kompetensi, berikut ini akan dapat dilihat perbedaan penilaian portofolio dengan tes tradisional dalam gambar 1 di bawah ini:

Gambar 1Perbedaan Penilaian Portofolio dan Tes Tradisional

NO PENILAIAN DENGAN PORTOFOLIO PENILAIAN DENGAN TES TRADISIONAL1 Menilai peserta didik berdasarkan hasil kerja yang berkaitan dengan kinerja yang dinilai. Menilai peserta didik berdasarkan pencapaian tujuan tertentu.2 Peserta didik ikut serta dalam menilai kemajuan yang dicapai dalam penyelesaian berbagai tugas yang dinilai. Penilaian hanya dilakukan oleh guru beradasarkan masukan yang terbatas.3 Mewujudkan proses penilaian kolaboratif. Proses penilaian tidak ada kerjasama antara guru, peserta didik, dan orang tua.4 Bertujuan agar peserta didik mampu menilai diri sendiri. Kemampuan peserta didik dalam menilai diri sendiri bukan merupakan tujuan pembelajaran.5 Menilai kemajuan, proses, dan pencapaian akhir. Yang dinilai hanyalah hasil akhir.6 Dapat mengevaluasi kebutuhan, minat, kemampuan akademik, dan karakteristik peserta didik secara individual. Hanya mengevaluasi peserta didik dalam kemampuan kognitif

Page 76: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

tingkat rendah.7 Mengembangkan potensi peserta didik dalam melakukan self assessment (keterampilan menemukan kelebihan dan kekurangannya sendiri, serta kemampuan untuk menggunakan kelebihan tersebut dalam mengatasi kelemahannya, yang merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki peserta didik). Memberikan informasi kepada peserta didik mengenai kemampuan akademiknya, melalui nilai yang diperolehnya setelah mengikuti tes tertentu (formatif, sumatif, EBTANAS).

(Hari Suderadjat, 2004: 129)

Portofolio dan Penilaian

• Jika diberikan kepada guru kelas berikutnya, prioritas artefak yang mengambarkan profil kemampuan peserta didik pada kelas sebelumnya.• Jika diberikan kepada jenjang sekolah berikutnya, prioritaskan artefak yang mengambarkan profil kemampuan peserta didik pada sekolah sebelumnya.• Jika digunakan untuk refleksi, prioritaskan artefak yang mendukung penilaian diri dan pertumbuhan.• Jika digunakan untuk evaluasi program, prioritaskan artefak yang mendukung pengembangan kompetensi.• Jika digunakan untuk tujuan penilaian, prioritaskan artefak yang memenuhi kriteria kelulusan dan kenaikan kelas.• Jika digunakan untuk memilih wakil sekolah mengikuti lomba-lomba antar sekolah, prioritaskan artefak yang mengambarkan kemampuan peserta didik pada cabang lomba tersebut.

Portofolio untuk Tujuan Penilaian

Bertujuan:• Mendapatkan informasi tentang pertumbuhan/kemajuan belajar peserta didik atau potensi pertumbuhan/kemajuan belajarnya.• Mendapatkan data kemajuan belajar peserta didik yang dapat diproses menjadi nilai rapor atau deskripsi kompetensi peserta didik pada mata pelajaran tertentu.

Contoh

Nilai/angka Misalnya nilai rapor Bahasa Indonesia Nabil pada semester II = 7

Deskripsi singkat Kompetensi yang telah dicapai Nabil:• Menulis: sudah dapat menulis dengan kata-kata sendiri tetapi gagasannya belum lengkap• Penggunaan tanda baca sudah mulai tepat• Membaca: mampu membaca wacana yang sederhana dan tulisannya sendiri• Berbicara: gagasan dalam diskusi mudah dimengerti kawan-kawannyaArtefak dalam Portofolio • Contoh dua karangan berdasarkan pengalaman nyata

Page 77: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

• Contoh surat pada keluarga• Catatan dari diskusi kelompok

Beberapa hal yang harus disepakati ketika menetapkan portofolio sebagai alat penilaian, orang yang terlibat dengan penilaian portofolio harus menyepakati;

• Apa yang harus diperiksa?• Siapa yang mengamati portofolio, apakah rekan sebaya, guru, panitia, atauy kepala sekolah?• Jenis bahan apa yang memiliki manfaat terbesar untuk penilaian?

Gambar 2Perbandingan Portofolio dan Testing

ASPEK PORTOFOLIO TESTINGRentang Kompetensi Mampu mengembangkan tentang kompetensi yang lebih luasMengambarkan kompetensi yang terbatasJangka Waktu Memungkinkan peserta didik membuktikan kemampuan pada priode yang cukup panjangPeserta didik membuktikan kemampuan dalam situasi test dan dalam waktu yang amat singkat

Suasana Penilaian Dalam suasana alamiah dan wajarDalam suasana tes yang dirancang dengan waktu terbatas, di ruang tertentu

Peluang Menilai Diri Memungkinkan peserta didik membahaskan kriteria dan menilai diri sendiriPeserta didik jarang dilibatkan membahas kriteria dan tidak diberi peluang menilai diriPerbedaan Individual Memungkinkan peserta didik menunjukkan hasil kerja yang unikKurang memberi peluang perbedaan individualSiapa Penilai Guru dapat melibatkan peserta didik, guru lain, orang tuaGuru sebagai penilai tunggalFokus Penilaian Penilaian pada hasil belajar, kesulitan belajar (diagnostik), dan perbaikanLebih pada hasil belajarKaitan dengan Proses Pembelajaran Berkaitan erat/satu kesatuan dengan proses pembelajaranTerpisah dari proses pembelajaranBukti Produk Menghasilkan produk sebagai eviden (bukti) yang diberi pernyataan tentang pencapaian kompetensiMenghasilkan skor atau pernyataan tentang pencapaian kompetensi tanpa disertai bukti produkWaktu Pembuatan Karya Waktu pembuatan dalam waktu yang cukup panjang, sehingga mampu menghasilkan karangan, laporan eksperimen, naskah drama, teks lagu. Waktu terbatas, sehingga tidak memungkinkan hasil-hasil karya yang memadai

Page 78: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Dengan portofolio ini akan menghasilkan produk sebuah mata pelajaran dalam bentuk hasil karya peserta didik yang bermakna dan bermanfaat, sebagaimana contoh-contoh di bawah ini;

Bentuk Hasil Karya Peserta Didik

Agama• Doa• Sinopsis bacaan• Gambar• Kaligrafi• Kamus• Renungan tertulis• Hikmah• Puisi• Dll Kewarganegaraan• Laporan observasi• Laporan penyelidikan/penelitian sederhana• Puisi• Karangan (prosa)• Teks lagu• Naskah sosio drama• Poster• DdllBahasa• Karangan/prosa• Puisi• Naskah drama• Naskah pidato• Poster• Sinopsis• Laporan kunjungan• Iklan• Naskah ADT/ART• Surat• Catatan dari bacaan• Abstrak isi buku• Dll Metematika• Proyek masalah matematika• Model teknologi• Mmaket bangunan• DdllSains• Laporan eksperimen• Gambar model• Alat teknologi

Page 79: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

• Laporan penyelidikan• Laporan observasi• Gambar alat yang dibuat• Tulisan suatu topik sains• Laporan kunjungan• Dll Ilmu-Ilmu Sosial• Laporan observasi• Laporan penyeldikan/penelitian sedarhana• Kliping disertai komentar• Peta• Model lokasi/bentang alam• Skala sikap• Hasil suvei• Poster• Skala rating partisipasi dalam diskusi• Laporan studi wisata• DllMusik• Program audio (kaset)• Teks lagu• Komposisi musik• Alat musik buatan sendiri• Dll Keterampilan• Karya kerajinan tangan• Tanaman pot• Tanaman keras• Jahitan• Keramik• Hasil ternak• Dll

Hasil-hasil karya tersebut dilengkapi langkah-langkah pembuatan, ilustrasi, foto.Tulisan, ilustrasi, foto tersebut masuk ke dalam maf/folder.

Kegiatan ekstrakurikuler• Laporan kegiatan Pramuka• Laporan kegiatan PMR• Laporan tentang kemping• Laporan program live-in di desa• Artikel pada majalah sekolah• Puisi yang dipentaskan• Catatan memberikan donasi pada musibah• Album studi wisata• Rancangan alat musik buatan sendiri• Rancangan permainan tradisional• Ungkapan kesan-kesan mengikuti kegiatan keagamaan

Page 80: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

• Lukisan yang dibuat waktu liburan• Dll

Metematika

Kompetensi• Berpikir matematis• Pemecahan masalah• Hubungan matematis• Kerja sebagai matematikawanCatatan jawaban soal yang kreatif

Jawaban dari buku yang tidak terduga

Hasil kerja mata pelajaran lain yang berhubungan dengan matematika

Jawaban soal divergen dari ulangan

Catatan hasil permainan matematika

Rumus yang ditemukan peserta didik

Maket/model bangunan dengan skala

Sejarah

Kompetensi• Menemukan informsai• Menginterpretasikan• Membuatkan hipotesis• Membuatkan sintesis• Menilai eviden Garis waktu pribadi

Deskripsi gambar berdasarkan pertanyaan

Laporan wawancara dengan narasumber

Sinopsis topik sejarah

Catatan jawaban pertanyaan dari buku

Catatan singkat observasi

Komentar pada kliping, foto, teks

Kisah sejarah dari aneka peristiwa setempat

Page 81: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Laporan kunjungan ke situs sejarah

http://www.google.co.id/search?q=Pengertian+portofolio&hl=id&client=firefox-a&hs=vW6&rls=org.mozilla: diakses tanggal 6 September 2010.

F. Perbandingan Lembaran Portofolio dengan Lembaran Kliping

Lembaran portofolio merupakan hasil karya peserta didik berupa draft mentah, nilai, makalah, benda kerja, kritik dan ringkasan, lembaran refleksi diri, pekerjaan rumah, jurnal, respon kelompok, grafik, lembaran catatan dan catatan diskusi. Beberapa cara baru seperti: note book, multi media, disket, flashdisk, map lipat, dan file internet. Karya ini direfleksi apa, kenapa, dan bagaimana ditampilkan, berikut ini dapat dilihat perbedaannya;

Gambar 3Perbandingan antara Potofolio dan Buku Kliping

ASPEK PORTOFOLIO BUKU KLIPING1. Penampilan Mirip buku kliping Mirip portofolio2. Isi Hasil karya peserta didi yang diseleksi & dikoleksi dengan bentuk dan tujuan tertentuKoleksi hasil karya tanpa bentuk & tujuan tertentu3. Refleksi Isi portofolio direfleksi misalnya mengapa suatu karya dimasukkanIsi buku kliping tidak direfleksi4. Penilaian Disajikan dengan maksud diamati pengamat yang dapat membuat penilaian hasil karya yang dikoleksiDisajikan tanpa maksud diamati dan dinilai

http://www.google.co.id/search?q=Pengertian+portofolio&hl=id&client=firefox-a&hs=vW6&rls=org.mozilla: diakses tanggal 6 September 2010.

G. Langkah-langkah Penilaian Portofolio dan Sumber Belajar

Menurut Fajar (2002: 48) langkah-langkah penilaian dengan portofolio, adalah:

1. Mengidentifikasi masalah yang ada di masyarakat.2. Memilih suatu masalah untuk dikaji di kelas.3. Mengumpulkan informasi yang terkait dengan masalah yang dikaji.4. Membuat portofolio kelas.5. Menyajikan potofolio/dengar pendapat (showcase).6. Melakukan refleksi pengalaman belajar.Di dalam setiap langkah, peserta didik belajar mandiri dalam kelompok kecil dengan fasilitasi dari guru dan menggunakan ragam sumber belajar di sekolah maupun di luar sekolah (masyarakat).

Sumber berlajar atau informasi dapat diperoleh dari :

Page 82: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

1. Manusia (pakar, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lain-lain).2. Kantor penerbitan surat kabar, bahan tertulis.3. Bahan terekam.4. Bahan tersiar (tv, radio).5. Alam sekitar.6. Situs sejarah, artifak dan lain-lain.

Pada sumber berlajar ini para peserta didik dapat mengembangkan keterampilan, seperti mendengar pendapat orang lain, membaca, bertanya, mencatat, menjelaskan, memilih, menimbang, mengkaji, merancang, menyepakati, merumuskan, memilih pimpinan, membagi tugas, beragumentasi, dan lain sebagainya.

G. Contoh Format Penilaian Portofolio

Format penilaian dapat mempergunakan beragam alat penilaian, bergantung pada bentuk hasil kerja, tujuan penilaian, prinsip keterlaksanaannya. Penilaian itu juga dapat mempergunakan daftar cek list, skala likert, skala rating, komentar lisan – tulisan seperti di bawah ini, butir nilai, presentase, tingkatan huruf untuk tiap kriteria.

Contoh 1. Penilaian Portofolio Pendidikan Agama Islam Kelas 6 SDKompetensi DasarMengerjakan Puasa Wajib Nama : AlfaisTanggal : 9 Agustus 2010Indikator Penilaian

• Menjelaskan pengertian puasa wajib• Menyebutkan macam-macam puasa wajib• Melaksanakan puasa wajib

Dicapai Melalui:• Pertolongan guru• Seluruh kelas• Kelompok kecil• SendiriKomentar orang tua

Unsur penilaian dapat dikembangkan dalam bentuk pernyataan lain seperti; jelek sekali, jelek, sedang, baik, baik sekali atau mempergunakan angka 1 s.d. 10 serta dapat juga dilihat penskoran portofolio pada buku saya Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi (2006; 163 – 164).

Pola penilaian di atas lebih mengacu pada penilaian berbasis kelas yang bermanfaat bagi guru, peserta didik, dan orang tua. Manfaat penilaian berbasis kelas bagi guru, adalah;

1. Memberi umpan balik pada program jangka pendek yang dilakukan oleh peserta didik dan guru dalam kegiatan proses belajar sehingga memungkinkan pembuatan koreksi hasil

Page 83: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

penilaian;2. Memberi kegunaan hasil pembelajaran peserta didik dengan melibatkan peserta didik secara maksimal;3. Membantu pembuatan laporan labih bagus dan menaikkan efisiensi pembelajaran; dan4. Mendorong pembelajaran sebagai proses penilaian formatif yang melibatkan banyak waktu untuk melakukan umpan balik dan perbaikan hasil peserta didik.

Penilaian berbasis kelas sangat bermanfaat bagi peserta didik untuk:

1. Memantau pembelajaran dirinya secara lebih baik;2. Menitik beratkan pada kebutuhan perubahan kemampuan, keterampilan dan nilai.

Penilaian berbasis kelas sangat bermanfaat bagi orang tua untuk:

1. Mengetahui kelemahan dan peringkat anaknya;2. Mendorong orang tua peserta didik untuk melakukan bimbingan kepada anaknya;3. Melibatkan orang tua peserta didik untuk melakukan diskusi dengan guru/sekolah dalam hal perbaikan kelemahan peserta didik.(Sumarna Surapranata, 2006; 5 – 6)

Contoh 2. Penilaian Portofolio Hasil Penyelidikan

1. Bukti terjadinya proses berpikir.• Apakah peserta didik telah menyusun dengan rapi satuan-satuan isi portofolio dan data dalam setiap satuan itu?• Apakah peserta didik telah berusaha membuat dugaan, menjelajah, menganalisis, mencari pola, dsb?• Apakah peserta didik telah menggunakan materi konkret atau gambar untuk menafsirkan dan memecahkan masalah, atau untuk memperoleh hasil penyelidikannya?• Apakah peserta didik telah menggunakan alat bantu lain dalampemecahan masalah atau penyelidikannya?(Besarnya skor sama dengan banyaknya indikator yang dipenuhi. Jadi, skor yang mungkin: 0, 1, 2, 3, 4)2. Mutu kegiatan atau penyelidikan• Apakah kegiatan atau penyelidikan oleh peserta didik yang dilaporkan dalam portofolio meningkatkan pengetahuan atau pemahaman peserta didik tentang konsep aatau kaidah tertentu?• Apakah kegiatan membuat portofolio meningkatkan keterampilan peserta didik dalam menggunakan konsep, cara, atau kaidah tertentu?• Apakah kegiatan membuat portofolio meningkatkan sikap peserta didik terhadap pelajaran yang bersangkutan?• Apakah kegiatan atau penyelidikan itu melibatkan beberapa subpokok bahasan?

(Besarnya skor sama dengan banyaknya indikator yang dipenuhi. Jadi, skor yang mungkin: 0, 1, 2, 3, 4)3. Keragaman pendekatan

Page 84: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

• Apakah ada petunjuk yang kuat atau bukti bahwa peserta didik menggunakan berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah?• Apakah ada petunjuk yang kuat atau bukti bahwa peserta didik melakukan berbagai macam kegiatan atau penyelidikan?

(Besarnya skor sama dengan dua kali banyaknya indikator yang dipenuhi. Jadi, skor yang mungkin: 0, 2, 4)Contoh 3. Penilaian Portofolio MatematikaAspek Indikator SkorPengetahuanMatematika Menunjukkan pemahaman tentang semua konsep dan prinsip matematis yang terkandung di dalam masalah yang harus dipecahkannya.4Menggunakan istilah dan notasi matematis yang sesuai. 3Melaksanakan algoritma yang relevan dengan lengkap dan benar 3Menggunakan istilah dan notasi matematis yang betul. 4Menunjukkan bahwa peserta didik memahami hampir semua konsep dan prinsip matematis yang terkandung di dalam masalah yang harus dipecahkannya. 2Tidak berbuat kesalahan yang agak serius dalam hitungan. 3Mempunyai pemahamannnya luas tentang konsep dan prinsip matematika yang terkandung di dalam masalah yang harus dipecahkannya 3Ketelitian dalam hitungan dan pejumlahan 4StrategiMenggunakan informasi yang relevan dari luar rumusan masalah yang harus dipecahkannya.0Berhasil mengidentifikasi semua unsur penting di dalam masalah, dan menunjukkan hubungan yang ada antara unsur-unsur itu. 3Mencerminkan penggunaan strategi yang cocok dan sistematik dalam memecahkan masalah. 3Penyelesaian masalah yang digunakan jelas dan lengkap. 3Mencerminkan penggunaan strategi yang cocok dan pemecahan masalah yang sistematis . 4Menggunakan informasi yang relevan. 3Mampu mengidentifikasi unsur-unsur penting dalam masalah yang harus dipecahkannya. 2Menggunakan strategi berpikir lateral 3Komunikasi Memberikan tanggapan yang lengkap, serta uraian yang jelas dan tidak meragukan. 4Membuat gambar atau diagram yang cocok dan lengkap. 2Menyampaikan gagasannya dengan jelas 3Menggunakan argumen yang logis dan lengkap. 3Memberikan contoh atau contoh-kontra. 4Menyampaikan gagasannya dengan jelas. 4Uraian yang dibuatnya jelas, atau mudah dipahami. 4Membuat gambar yang memiliki kaitan dengan masalah yang harus dipecahkannya. 4

Page 85: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Membuat langkah yang benar dalam memecahkan masalah. 3Jumlah 75

Keterangan Penilaian4 : Sangat Baik3 : Baik2 : Sedang1 : Kurang0 : Kurang Sekali

Pengertian dan Hakekat PAUD

A. Pengertian PAUD

Pendidikan anak usia dini adalah merupakan upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian stimulus pendidikan agar membantu perkembangan, pertumbuhan baik jasmani maupun rohani sehingga anak memiliki kesiapan memasuki penddikan yang lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang paling mendasar dan menempati kedudukan sebagai golden age dan sangat strategis dalam pengembangan sumber daya manausia (Direktorat PAUD, 2005). Rentang anak usia dini dari lahir sampai usia enam tahun adalah usia kritis sekaligus strategis dalam proses pendidikan dan dapat mempengaruhi proses serta hasil pendidikan seseorang selanjutnya artinya pada periode ini merupakan periode kondusif untuk menumbuh kembangakan berbagai kemampuan, kecerdasan, bakat, kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosio-emosional dan spiritual.

Sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia adalah sebait ungkapan yang sarat makna dan merupakan semboyan dalam pengasuhan, pendidikan dan pengembangan anak usia dini di Indonesia (Jalal, 2005).

Pendidikan anak usia dini dianggap sebagai cermin dari suatu tatanan masyarakat, tetapi juga ada pandangan yang mengemukakan bahwa sikap dan perilaku suatu masyarakat dipandang sebagai suatu keberhasilan ataupun sebagai suatu kegagalan dalam pendidikan dan keberhasilan pendidikan tergantung kepada pendididkan anak usia dini karena jika pelaksanaan pendidikan pada usia dini baik, maka proses pendidikan pada usia remaja, usia dewasa akan naik pula.

B. Hakekat PAUD

Secara alamiah, perkembangan anak berbeda-beda, baik intelegensi, bakat, minat, kreativitas, kematangan emosi, kepribadian, kemandirian,

Page 86: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

jasmani dan sosialnya. Namun penelitian tentang otak menunjukkan bahwa jika anak dirangsang sejak dini, akan ditemukan potensi-potensi yang unggul dalam dirinya. Setiap anak unik, berbeda dan memiliki kemampuan tak terbatas dalam belajar (limitless capacity to learn) yang telah ada dalam dirinya untuk dapat berpikir kreatif dan produktif, mandiri . Oleh karena itu, anak memerlukan program pendidikan yang mampu membuka kapasitas tersembunyi tersebut melalui pembelajaran yang bermakna sedini mungkin. Jika potensi pada diri anak tidak pernah direalisasikan, berarti anak telah kehilangan kesempatan dan momentum penting dalam hidupnya.

Abraham Maslow telah menjelaskan tentang hirarki dari kebutuhan dasar manusia karna setiap individu itu berbeda, baik dilihat dari jenis kelamin, temperamen, ketertarikan, gaya belajar, pengalaman hidup, budaya, kebutuhannya (Diane Trister Dodge, Laura J. Colker, Cate, 2008). Maka setiap individu juga berbeda dalam hal kemandirian, konsep diri, dan tingkat kemampuannya.

Usia 4-6 tahun (TK) merupakan masa peka bagi anak, di mana anak mulai sensitif untuk menerima barbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Di mana pada masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama (Depdikna ,2004). Oleh sebab itu dibutuhkan suasana belajar, strategi dan stimulus yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal.

Hahekat pendidikan anak usia dini adalah periode pendidikan yang sangat menentukan perkembangan dan arah masa depan seorang anak sebab pendidikan yang dimulai dari usia dini akan membekas dengan baik jika pada masa perkembangannya dilalui dengan suasana yang baik, harmonis, serasi, dan menyenangkan.

Pendidikan anak usia dini merupakan dasar dari pendidikan anak selanjutnya yang penuh dengan tantangan dan berbagai permasalahan yang dihadapi anak. Sengan demikian maka pandidikan usia dini adalah jendela pembuka dunia (window of opportunity) bagi anak

Secara singkat Bredekamp dan Regrant menyimpulkan bahwa anak akan belajar dengan baik dan bermakna bila anak merasa nyaman secara psikologis serta kebutuhannya fisiknya terpenuhi, anak mengkonstruksi pengetahuannya, anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak lainnya, eksplorasi, pencarian, penggunaaan, belajar melalui bermain, unsur perbedaan anak diperhatikan(Bredekamp,1997).

Page 87: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Developmentally Appropriate Practice includes activities that are based on childrens interests, their cognitive lavel of functioning, and their social and emotional maturity. Such activities appeal to young childrens natural curiosity, enjoyment of sensory experiences, and desire to explore their own ideas (Eleanor stokes Szanton,2008)

Komitmen Jomtien Thailand tentang Pendidikan Untuk Semua (Education For All) menyatakan bahwa semua orang mempunyai hak mendapatkan pendidikan dasar untuk mengem-bangkan bakat, meningkatkan kehidupannya, dan mentransfor-masikan masyarakatnya (Unesco,2001) .

Komitmen memberikan kesempatan pendidikan yang lebih luas kepada setiap orang mulai dari usia dini sampai dewasa ditegaskan kembali dalam tujuan-tujuan Pendidikan Untuk Semua dengan Deklarasi Dakar yaitu: (i) memperluas & memperbaiki keseluruhan perawatan & pendidikan anak usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan & terlantar; (ii) kesetaraan jender di bidang pendidikan; (iii) program life skill bagi pemuda & orang dewasa; (iv) pemberantasan buta aksara;(v) wajib belajar pendidikan dasar; dan (vi) peningkatan mutu pendidikan (Unesco,2001). Hak-hak mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara telah diakui di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Kesamaan hak mendapatkan pendidikan tersebut diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa salah satu dari tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk mencerdaskan bangsa.

Hakekat Pembelajaran Kontekstual dan Perbedaannya dengan Pembelajaran Konvensional

Berikut ini enam strategi pembelajaran kontekstual sebagai panduan guru untuk merancang satuan pembelajaran, yaitu:

1. Pembelajaran kontektual membicarakan sebuah permasalahan yang memiliki hubungan dalam kehidupan peserta didik.

2. Rencana pembelajaran melahirkan beragam konteks.3. Memanfaatkan berbagai keterampilan peserta didik, minat, pengalaman, dan

budaya.4. Membangun strategi yang mendukung peserta didik untuk mampu belajar

mandiri.5. Rencana strategi merangsang saling ketergantungan di antara peserta didik dan

kelompok belajar mereka.6. Hasil belajar peserta didik dengan menggabungkan strategi penilaian otentik.

Page 88: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu pembelajar mengaitkan antara materi yang akan dibelajarkan dengan dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu sebagai berikut;

1). Konstruktivistik (constructivistism)

Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak sekoyong-konyong. Dalam konstruktivistik, strategi lebih diutamakan dibanding seberapa banyak peserta didik memperoleh dan mengingat pengetahuan.

2). Menemukan (inquiry)

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri, siklus inquiry adalah observasi (observation), bertanya (questising), mengajukan dugaan (hipotesis), pengumpulan data (data gathering).

3). Bertanya (questioning)

Bertanya dipandang sebagai kegiatan pembelajar mendorong, membimbing, dan memiliki kemampuan berpikir peserta didik, sedangkan peserta didik kegiatan bertanya untuk mengenali informasi, mengkomfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan antara peserta didik dengan peserta didik, antara pembelajar dengan peserta didik, antara peserta didik dengan pembelajar, atau antara peserta didik dengan orang yang didatangkan di kelas.

4). Masyarakat belajar (learning community)

Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain, untuk itu pembelajar disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar.

5). Pemodelan (modeling)

Model dalam pembelajaran suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk ditiru. Pembelajar (dosen/guru) memberi model tentang bagaimana cara belajar, namun demikian pembelajar bukan satu-satu model. Model dapat dirancang dengan melibatkan peserta didik atau dapat mendatangkan dari luar.

Page 89: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

6). Refleksi (reflection)

Cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan yang kemudian kuncinya adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak peserta didik.

7). Penilaian yang sebenarnya (authentic assessement)

Prosedur penilaian otentik adalah menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) peserta didik secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; penilain yang tidak hanya mengacu pada hasil akan tetapi penilaian pada proses, bagimana peserta didik memperoleh dan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta didik agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan dari hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya merupakan salah satu cara penilaian. Itulah hakekat penilaian yang sebenarnya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003; 10-20).

Pembelajaran kontekstual merupakan konsepsi dari pengajaran dan pembelajaran yang membantu pembelajar menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi sebenarnya dan memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan penerapannya di dalam kehidupan mereka, sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta mengikatnya dalam belajar mata pelajaran dengan situasi sebenarnya dan memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka secara individu, sosial, dan dunia kerja. Strategi pembelajaran kontekstual disebut antara lain (1) didasarkan pada masalah (problem based). Kontekstual dapat dimulai dengan simulasi atau masalah nyata. Para peserta didik menggunakan keterampilan berpikir kritis dan suatu pendekatan sistemik untuk pertanyaan yang berhubungan masalah atau isu yang patut diberi perhatian masalah-masalah yang ada hubungannya dengan anggota keluarga, peserta didik, pengalaman sekolah, tempat kerja, dan masyarakat; (2) Menggunakan beraneka ragam hubungan (using multiple contexts). Pengalaman kontekstual diperkaya ketika para peserta didik belajar keterampilan di dalam berbagai konteks yaitu sekolah, masyarakat, tempat kerja, dan keluarga; (3) Menggambarkan pada keanekaragaman peserta didik (drawing upon student diversity). Perbedaan-perbedaan ini menjadi daya dorong belajar dan dapat memperbanyak kompleksitas kepada pengalaman kontekstual; (4) Membantu perkembangan pembelajaran mandiri (supporting self regulated learning). Pengalaman kontekstual memberi cukup dukungan untuk membantu peserta didik berubah dari ketergantungan ke pembelajaran mandiri; (5) Menggunakan kelompok-kelompok belajar yang salaing bergantungan (using interdependent learning groups). Para peserta didik akan dipengaruhi oleh dan akan berperan untuk pengetahuan dan kepercayaan dari yang lain. Belajar grup dan belajar bermasyarakat merupakan suatu usaha untuk berbagi pengetahuan, berorientasi pada tujuan, dan semua menginginkan mengajar dan belajar dari satu dengan yang lain. Pendidik bertindak sebagai pelatih, fasilitator dan penasehat; (6) Memanfaatkan penilaian yang sesungguhnya (employing authentic assessment).

Page 90: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Penilaian yang sesungguhnya menunjukkan bahwa pembelajaran telah terjadi, dicampur ke dalam proses pembelajaran, dan menyiapkan para peserta didik dengan peluang dan arah untuk peningkatan. Penilaian sesungguhnya digunakan untuk memonitor kemajuan peserta didik dan menginformasikan pelaksanaan pembelajaran (Sears dalam Direktorat Pendidikan Umum, 2002; 15-16).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakekat pembelajaran kontekstual (1) pembelajaran didasarkan pada masalah; (2) pembelajaran terjadi dalam konteks yang beragam, seperti rumah, sekolah, masayarakat, dan tempat kerja; (3) membantu perkembangan pembelajaran mandiri; (4) mengambarkan keanekaragaman peserta didik; (5) menggunakan kelompok-kelompok belajar yang saling bergantungan; (6) menggunakan penilaian yang sesunggunya; (7) memerlukan pemikiran yang lebih tinggi (kritis dan kreatif).

Tabel I. Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional

No Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran Konvensional1 Mengutamakan pada pemahaman

peserta didik.Mengutamakan daya ingat dan hafalan.

2 Pembelajaran dikembangkan berdasarkan kebutuhan peserta didik.

Pembelajaran dikembangkan oleh guru.

3 Peserta didik secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran

Peserta didik penerima informasi secara pasif.

4 Mendorong pembelajaran aktif dan pembelajaran berpusat pada peserta didik (students centered).

Mengupayakan peserta didik menerima materi yang disampaikan oleh pembelajar (teacher centered).

5 Penyajian pembelajaran berkaitan dengan kehidupan nyata dan masalah yang disimulasikan.

Penyajian disajikan berdasarkan teoretis, abstarak, kaku dan berpegang pada buku teks

6 Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.

Memberikan berupa informasi kepada peserta didik sampai saatnya diperlukan.

7 Materi pelajaran selalu diintegrasikan dengan materi lain.

Materi pelajaran disajikan secara terfokus berdasarkan subjek materi.

8 Peserta didik menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, mengenal, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok).

Cara belajar peserta didik di kelas lebih banyak mendengar ceramah pembelajar, mengerjakan latihan yang diberikan pembelajar (bekerja secara individual) dan belajar di rumah adalah mengerjakan tugas terstruktur dari pembelajar.

Page 91: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

9 Pengetahuan dibangun berdasarkan kemampuan peserta didik dan atas kemauan sendiri.

Pengetahuan dibangun berdasarkan kebiasaan (behavioristik) dan terikat dengan “kata dosen/guru”.

10 Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.

Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.

11 Pembelajaran menciptakan peserta didik menjadi dirinya sendiri, berbuat, untuk tahu, dan hidup dengan masyarakat lain

Pembelajaran adalah menciptakan peserta didik berprestasi di sekolah dan mendapat nilai yang tinggi di lapor.

12 Mengajak peserta didik belajar mandiri, berpikir kritis, dan kreatif dalam mengembangkan kemampuan diri.

Peserta didik diberi pengetahuan agar dapat menjadi bekal hidupnya.

13 Pengetahuan peserta didik akan dapat dibangun melalui interaksi sosial dan lingkungan.

Pengetahuan peserta didik berkembang melalui proses interaksi peserta dengan pembelajar.

14 Peserta didik tidak melakukan sesuatu yang buruk karena sadar hal tersebut dapat merugikan dirinya

Peserta didik tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman.

15 Bahasa yang dipergunakan dalam proses pembelajaran adalah bahasa komunikatif, peserta didik diajak mengguakan bahasa konteks nyata

Bahasa yang dipergunakan dalam proses pembelajaran adalah struktural; rumus diterangkan sampai paham, kemudian dilatih (drill).

16 Mendorong munculnya motivasi instrinsik

Mendorong munculnya motivasi ekstrinsik.

17 Pembelajaran tidak terikat pada tempat, waktu, dan sarana.

Pembelajaran hanya terjadi di kelas

18 Pembelajar (dosen/guru) menguatkan dan meneguhkan kesimpulan yang telah dibuat oleh peserta didik.

Pembelajar (dosen/guru) membuatkan kesimpulan materi pelajaran yang telah disajikan sebelumnya.

19 Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap).

Hasil belajar diukr melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.

Filosofi Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional

a. Pembelajaran Kontekstual

Filosofi pembelajaran kontekstual adalah konstruktivistik, yaitu belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Peserta didik mengkonstruksikan

Page 92: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta. Fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan (direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003; 26). Menurut pandangan konstruktivistik, perolehan pengalaman seseorang itu dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan yang tertanam dalam benak sesuai dengan skemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu tersusun dengan upaya dari individu peserta didik yang telah bergantung kepada skemata yang telah dimiliki seseorang (Handoyo, 1998; 4-5).

Pembelajaran kontekstual bertujuan untuk membantu peserta didik memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti berikut ini. Pertama, membuat hubungan yang bermakna (making meaningful conections), yaitu membuat hubungan antara subjek dengan pengalaman atau antara pembelajaran dengan kehidupan nyata peserta didik sehingga hasilnya akan bermakna dan makna ini akan memberi alasan untuk belajar. Kedua, Melakukan pekerjaan yang berarti (doing significant work), yaitu dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang sesuai. Ketiga, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri (self regulated learning), yaitu: (1) siswa belajar melalui tatanan atau cara yang berbeda-beda bukan hanya satu, mereka mempunyai ketertarikan dan talenta (bakat) yang berbeda; (2) membebaskan peserta didik menggunakan gaya belajar mereka sendiri, memproses dalam cara mereka menekspolrasi ketertarikan masing-masing dan mengembangkan bakat dengan intelegensi yang beragam sesuai dengan selera mereka; (3) proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam aksi yang bebas mencakup kadang satu orang, biasanya satu kelompok. Aksi bebas ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik dengan kontek kehidupan sehari-hari peserta didik dalam mencapai tujuan yang bermakna. Tujuan ini dapat berupa hasil yang terlihat maupun yang tidak. Keempat, bekerjasama (collaborating), yaitu proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam satu kelompok. Kelima, berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), yaitu pemikiran krits adalah: (1) proses yang jelas dan terorganisir yang digunakan dalam kegiatan mental, seperti penyelesaian masalah, pengembilan keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah; (2) kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis, sedangkan pemikiran kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman baru. Keenam, membantu individu untk tumbuh dan berkembang (nurturing the individual), yaitu menjaga dan mempertahankan kemaujaun individu. Hal ini menyangkut pembelajaran yang dapat memotivasi, mendukung, menyamangati, dan memunculkan gairah belajar peserta didik. Pembelajar harus memberi stimuli yang baik terhadap motivasi belajar peserta didik dalam lingkungan sekolah. Pembelajar diharapkan mampu memberi pengaruh baik terhadap lingkungan belajar peserta didik. Antara pembelajar dan orang tua mempunyai peran yang sama dalam mempengaruhi kemampuan peserta didik. Pencapaian perkembangan peserta didik tergantung pada lingfkungan sekolah, juga pada kepedulian

Page 93: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

perhatian yang diterima peserta didik terhadap pembelajaran (termasuk orang tua). Hubungan ini penting dan memberi makna pada pengalaman peserta didik nantinya di dalam kelompok dan dunia kerja. Ketujuh, mencapai standar yang tinggi (reaching high standars), yaitu menyiapkan peserta didik mandiri, produktif dan cepat merespon atau mengikuti perkembangan teknologi dan zaman. Dengan demikian dibutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk menjadi orang yang bertanggung jawab, pengambil keputusan. Kedelapan, menggunakan penilaian yang sesungguhnya (using authentic assessement), yaitu ditujukan pada motivasi peserta didik menjadi unggul di era teknologi, penilaian sesungguhnya ini berpusat pada tujuan, melibatkan keterampilan tangan, penerapan, dan kerjasama serta pemikiran tingkat tinggi yang berulang-ulang. Penilaian itu bertujuan agar para peserta didik dapat menunjukkan penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir dari pengertian, pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan (Johnson, 2002; 24-25).

Praktik pembelajaran kontekstual meliputi; (1) peserta didik aktif belajar; (2) peserta didik bel;ajar dari satu peserta didik ke peserta didik lain melalui kersama, tim kerja, dan refleksi diri; (3) pembelajaran hubungan dengan dunia nyata dan atau isu-isu simulasi dan masalah-masalah yang bermakna; (4) peserta didik bertanggung jawab untuk memantau dan mengembangkan pembelajaran mereka sendiri; (5) menghargai pendekatan konteks kehidupan peserta didik dan pengalaman-pengalaman peserta didik sebelumnya merupakan dasar dari pembelajaran; (6) peserta didik merupakan partisipasi yang aktif di dalam peningkatan masyarakat; (7) pembelajaran peserta didik dinilai dengan berbagai cara; (8) perspektif dan pendapat peserta didik memiliki nilai dan dihargai; (9) pembelajar bertindak sebagai fasilitator dalam pembelajaran peserta didik; (10) pembelajar menggunakan berbagai teknik pembelajaran yang tepat; (11) lingkungan pembelajaran dinamis dan menyenangkan; (12) menekankan pada berpikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah; (13) peserta didik dan pembelajar disiapkan untuk bereksperimen dengan pendekatan-pendekatan kreativitas seseorang; (14) proses pembelajaran sama pentingnya dengan konteks yang dipelajari; (15) pembelajaran terjadi dalam seting dan konteks ganda; (16) pengetahuan merupakan antar disiplin dan diperluas tidak hanya sebatas di dalam kelas; (17) dosen/guru menerima perannya sebagai pembelajar juga; (18) peserta didik mengidentifikasi dan memecahkan masalah dalam konteks baru (Schell dalam Direktorat Pendidikan Umum, 2002; 21-22).

Berdasarkan uraian di atas bahwa filosofi pembelajaran kontekstual, yaitu; (1) peserta didik sebagai subjek belajar; (2) peserta didik memperoleh kesempatan lebih untuk meningkatkan hubungan kerjasama antar teman; (3) peserta didik memperoleh kesempatan lebih untk mengembangkan aktivitas, kreativitas, sikap kritis, kemandirian, dan mampu mengkomunikasikan dengan orang lain; (4) peserta didik lebih memiliki peluang-peluang untuk menggunakan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan baru yang diperlukan dalam kehidupan yang sebenarnya; (5) tugas pembelajar adalah sebagai fasilitator.

Secara sederhana proses pembelajaran dengan strategi pembelajaran kontekstual dapat divisualisasikan dengan gambar berikut ini:

Page 94: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

Gambar 1. Proses Pembelajaran dengan Strategi Pembelajaran Kontekstual

b. Pembelajaran Konvensional

Menurut Brandes et al bahwa dalam kelas konvensional adalah pendidik merupakan orang yang (1) mempunyai banyak informasi, (2) bekerja untuk memindahkan pengetahuan, (3) bertanggung jawab untuk mengajar pemelajar, (4) membuat pemelajar bekerja, (5) dewasa, dan profesional, mempunyai keahlian untuk membuat keputusan yang benar tentang belajar pemelajar (Donna Brandes, Paul Ginnis, 1986; 201). Selanjutnya Edward berpendapat bahwa dalam kelas konvensional dalam pembelajaran, pembelajar menggunakan buku teks untuk setiap mata pelajaran yang mereka ajarkan. Pendidik mendengarkan dan membaca bagian-bagian yang sama dari buku tersebut dan melakukan tugas yang sama setiap hari atau sebagai yang dimuat oleh pembelajar dari sebuah buku teks (Edward Wish, tt; 210). Edward mengemukan bahwa kebanyakan kelas-kelas yang konvensional menggunakan metode-metode mengajar yang paling tradisional (Edward Wish, tt; 2). Agar tercipta metode belajar verbal yang bermakna, maka pemelajar harus berperan aktif, secara terlihat ataupun tidak selama proses pembelajaran. Proses pembelajarannyapun disesuaikan untuk dapat memfasilitasi operasi mental aktif yang disebut pembelajaran searah-aktif (Bruce Joyce and Marsha Wail, 1996; 18).

Demikian juga strategi pembelajaran yang digunakan oleh pembelajar (dosen, guru) untuk menyajikan bahan pelajaran secara utuh atau menyeluruh, lengkap dan sistematis, dengan menyampaikan secara verbal. Pembelajaran ini tidak lebih dari metode ceramah yang dimodifikasikan sedemikian rupa, sehingga para mahasiswa tidak hanya tinggal diam secara pasif seperti dalam pembelajaran ceramah yang tradisional (Muhibbin Syah, 1997; 245). Demikian juga menurut pandangan tokoh pembelajaran contextual teaching and learning, bahwa tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003; 22-23).

Menurut Cox, dalam kelas tradisional, peserta didik (1) menerima pelajaran secara pasif, (2) meniru apa yang dimodelkan pembelajar, (3) mengikuti pengarahan dari pembelajar atau buku-buku teks, (4) dinilai pada penguasaan keterampilan dalam urutan hierarki, (5) dikelompokkan menurut kemampuan, (6) mengerjakan tugas yang sama seperti peserta didik yang lain, (7) dinilai dengan membandingkan kerja dengan peserta didik lain, dan (8) berkompetisi dengan peserta didik lain (Carolle. Cox, 1999; 19). Burns mengemukakan bahwa dalam kelas tradisional, sebagian besar penekanan kurikulum matematika adalah untuk Mengajarkan aritmatika (berhitung) meliputi bagaimana: operasi (menambah, mengurangi, mengali, Membagi) terhadap (1) pecahan, (2) pecahan decimal, (3) persen. Peserta didik umumnya menghabiskan sebagian besar waktu dalam

Page 95: 49774548-LINGKUNGAN-BELAJAR-martini-1960.pdf

proses berhitung dan latihan dengan kertas dan pensil. Pemecahan masalah biasanya muncul pada perkembangan perhitungan, dengan Aplikasi masalah kata yang mengikuti pengajaran dan pelatihan setiap keterampilan berhitung (Marilyn Burn, 1992; 3).

Menurut Kellough, dalam pembelajaran konvensional, pembelajar bersifat otoriter, berpusat pada kurikulum, terarah, formal, informative, dan diktator, yang mengakibatkan situasi kelas berpusat pada pembelajar; dan tempat duduk peserta didik menghadap ke depan: peserta didik belajar abstrak, diskusi berpusat pada pembelajar, ceramah, peserta didik secara bersaing, sedikit pemecahan masalah, demonstrasi-demonstrasi dari peserta didik, pembelajaran dari yang sederhana kepada yang kompleks, dan pemindahan informasi dari pembelajar ke peserta didik (Richard D. Kellough, 1994; 82). Hal yang serupa dikemukakan oleh Bennet (1976) bahwa dalam kelas konvensional pendekatan progressif dalam belajar sebagai berikut: (1) materi diajarkan terpisah-pisah, (2) guru sebagai penyalur ilmu pengetahuan, (3) tidak ada kata pemelajar dalam perencanaan kurikulum, (4) penekanan pada ingatan, (5) penguatan secara ekternal, (6) terpusat pada standar akademis, (7) ujian secara regular, (8) penekanan pada kompetensi, (9) mengajar klasikal, dan (10) sedikit penekanan pada pernyataan kreatif (Donna Brandes, Paul Ginnis, 1986; 11).

Strategi yang digunakan peserta didik mencoba memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan menangkap apa yang diajarkan pembelajar, berkata dalam hati mereka masing-masing, mengerjakan latihan dengan langkah-langkah seperti yang diajarkan pembelajar. Kennedy dan Tipps berpendapat bahwa pembelajar yang otoriter akan mengakibatkan kurangnya variasi, penekanan pada ingatan dan kecepatan, mendesak untuk bekerja sendiri-sendiri, yang semuanya itu mengakibatkan peserta didik menderita kecemasan dalam pembelajaran matematika. Mereka juga menjelaskan bahwa pemelajar yang menderita kecemasan dalam pembelajaran matematika menemukan hanya ada satu jawaban yang benar dalam memecahkan masalah karena gurunya mengajarkan prosedur dalam menyesaikan masalah serta daftar aturan-aturan untuk mengerjakan hitungan. Selama itu, semua perlakuan yang seperti itu akan mengakibatkan tidak fleksibel dan tidak menjadi kreatif (Leonard M. Kennedy, 1994; 16).

Berikut ini digambarkan kelas-kelas konvensional dosen mengajar dengan menggunakan buku-teks, dan menjadi model. Mahasiswa secara pasif mendengarkan, mencatat, dan membaca bagian yang sama dari buku-buku, dan mencoba meniru apa yang dimodelkan dosen. Materi perkuliahan disampaikan dengan metode ceramah, sekali-kali dilakukan tanya jawab antara mahasiswa dan dosen, dan pemberian contoh materi oleh dosen. Pada gambar di bawah ini digambarkan perlakuan dalam perkuliahan.

Gambar 2. Proses Pembelajaran dengan Strategi Pembelajaran Konvensional