sastra indonesia periode 1960

25
SASTRA INDONESIA PERIODE 1960 MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Sejarah Sastra Indonesia yang dibina oleh Ibu Ida Lestari oleh : Fara Ayu Maulida (130211601346) Pungky Septiriani (130211601372) Putri Diana (130211601367)

Upload: pungky-septiriani

Post on 24-Oct-2015

273 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sastra Indonesia Periode 1960

SASTRA INDONESIA PERIODE 1960

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH

Sejarah Sastra Indonesia

yang dibina oleh Ibu Ida Lestari

oleh :

Fara Ayu Maulida (130211601346)

Pungky Septiriani (130211601372)

Putri Diana (130211601367)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS SASTRA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH

NOVEMBER 2013

Page 2: Sastra Indonesia Periode 1960

DAFTAR ISI

Halaman

LATAR BELAKANG........................................................................................................ 3

KARAKTERISTIK............................................................................................................ 4

PENGARANG DAN KARYANYA.................................................................................. 5

ANALISIS.......................................................................................................................... 5

PENUTUP.......................................................................................................................... 10

LAMPIRAN KARYA........................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 18

2

Page 3: Sastra Indonesia Periode 1960

A. LATAR BELAKANG

(Sulistyorini, 2010: 70) Periode 60-an diwarnai politik yang kental sehingga

para sastrawan banyak yang terjun pada organisasi politik. Akibatnya, muncul kotak-

kotak politik yang di dominasi oleh kaum komunis dalam kebudayaan Lekra

(Lembaga Kebudayaan Rakyat).

Sejak tahun 1950-an, sudah terjadi berbagai macam polemik yang berpangkal

pada perbedaan pandangan politik di dalam dunia Sastra Indonesia. Polemik-polemik

tersebut dilancarkan oleh orang-orang penganut paham realisme-sosialis (filsafat seni

kaum komunis) yang mempertahankan semboyan “seni untuk rakyat”

Situasi sastra periode ini agak menurun akibat ketidakstabilan sosial budaya,

perkembangan dan pertumbuhannya masih diselimuti adanya konflik politik. Sastra

periode 60-an dapat dikelompokkan menjadi dua bagian berdasar kurun waktu, yaitu:

1960-1965 (orde lama / ORLA) yang terpengaruh oleh Lekra sehingga mengarah

pada paham “seni untuk rakyat” dan 1965-1970 (orde baru / ORBA) yang terpengaruh

adanya manifest kebudayaan. Keberadaan manifest kebudayaan ini dikuatkan dengan

diterbitkannya majalah Horizon (Juli 1966) dan majalah Sastra (Agustus 1968). Pada

tahun 1963 majalah Sastra dilarang terbit oleh Lekra dan berhasil terbit lagi di tahun

1968.

Situasi tahun 60-an ini memengaruhi penerbitan terutama masalah dana. Maka

pada periode ini muncul novel-novel popular dan berkembang sampai dengan tahun

70-an. Di sisi lain juga bermunculan pengarang-pengarang baru.

Pada periode 1960-an muncul angkatan, yakni angkatan ’66 yang kelahirannya

diawali oleh adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan di Indonesia yang

disebabkan adanya teror politik yang dilakukan oleh PKI dan ormas-ormas yang

bernaung di bawahnya. Angkatan ’66 mempunyai cita-cita pemurnian pelaksanaan

Pancasila dan melaksanakan ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan.

Tumbuhnya angkatan ’66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal

angkatan ’66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan tritura.

Munculnya nama angkatan ’66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam

majalah Horizon nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa

angkatan ’66 lahir setelah ditumpasnya penghianatan G30S/PKI. Penamaan angkatan

ini pun mengalami adu pendapat. Istilah angkatan ’66 yang dikemukakan oleh

HB.Jassin melalui antologinya mendapat beberapa tanggapan dari berbagai pihak

pengarang, karena kurang dapat dipertanggungjawabkan. Namun Jassin sendiri

3

Page 4: Sastra Indonesia Periode 1960

berpendapat bahwa nama itu sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi politik di awal

angkatan ’66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI dan diwarnai oleh protes dan

perjuangan menegakkan keadilan berdasarkan kemanusiaan. Jassin berpendapat

bahwa tahun 1966 merupakan tahun lahirnya suatu generasi dan konsep baru dalam

sastra.

Menjelang tahun 1970-an, sastra sudah tidak bergema lagi seperti awal tahun

1960-1966. Awal tahun 1970-an muncul majalah hiburan, majalah wanita, dan

majalah profesi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gema angkatan ’66 justru mulai

berakhir pada tahun 1966. Meskipun keadaan sosial budaya dan politik tidak stabil,

sastra angkatan ini mengalami pertumbuhan yang cukup pesat terutama pada genre

prosa.

Faktor-faktor penyebab pertumbuhan sastra cukup pesat antara lain karena

adanya Taman Ismail Marzuki, didirikannya penerbit Pustaka Jaya, Adanya Maecenas

yang stabik sebagai pelindung seni dan kebudayaan. Pemerintah DKI

menyelenggarakan lomba menulis roman dan naskah drama yang bisa merangsang

kreativitas pengarang.

Makalah ini merujuk pada buku Dwi Sulistyorini dan Ida Lestari yang

berjudul Pertumbuhan dan Perkembangan Sastra Indonesia Modern terbitan tahun

2010 sebagai literatur induk. Makalah ini akan membahas karakteristik, pengarang

dan karyanya, analisis karya sastra dengan kronik-kronik yang menyertainya.

Makalah ini juga melampirkan karya-karya pengarang pada periode tersebut.

B. KARAKTERISTIK (Sulistyorini, 2010: 73)

1. Muncul adanya angkatan

2. Karya yang dihasilkan bermacam-macam ide dan warna.

3. Tema yang diangkat adalah masalah kegelisahan batin dan rumah tangga yang

bersumber dari situasi budaya yang belum stabil

4. Adanya sastra protes

5. Arti penting sastra ’66 merupakan curahan hati khas anak-anak muda.

4

Page 5: Sastra Indonesia Periode 1960

C. PARA PENGARANG DAN KARYANYA (Sulistyorini, 2010: 73)

1. Taufik Ismail : tirani (1966), Benteng (1966), Buku Tamu Museum Perjuangan

(1969)

2. Bus Rasianto : Mereka Telah Bangkit (1966), Bumi yang Berpeluh (1963),

Mereka akan Bangkit (1963), Sang Ayah (1969), Manusia Tanah Air (1969)

3. Mansur Samin : Perlawanan (1966), Kebinasaan Negeri Senja (1968), Tanah Air

(1985)

4. Arifin C. Noer : Lampu Neon (1960), Puisi-Puisi yang Kehilangan Puisi (1967),

Kapal-Kapal (1970)

5. Satyagraha Hoerip : Rahasia Kehidupan Manusian(1964), Ontologi Persoalan-

Persoalan Sastra (1969)

6. Sapardi Djoko Darmono : Dukamu Abadi (1969), Matahari Pagi Tanah Air, Doa

di Tengah-Tengah Masa

7. Slamet Kirmanto : Jaket Kuning (1967), Kidung Putih (1967)

8. H.B. Jassin : Angkatan ’66 Prosa dan Puisi (1968)

9. A. Bastari Asnin : Di Tengah Padang, Laki-Laki Berkuda

10. Isma Sawitri : Terima Kasih, Tiga Serangkai, Pantai Utara

11. Titi Said : Perjuangan dan Hati Perempuan

12. Titis Basimo : Rumah Dara, Laki-Laki dan Cinta

13. Enny Sumargo : Sekeping Hari Perempuan

D. ANALISIS KARAKTERISTIK KARYA SASTRA

(Listyaningrum, 2011) Pada tahun 1960-an, wacana pembicaraan kesusastraan

bergeser dalam perspektif politik dan ideologi yang berpuncak pada perseteruan

kelompok LEKRA dan Manifes Kebudayaan. Pihak pertama mencoba

mendayagunakan kesusastraan sebagai alat perjuangan politik, dan hal kelompok

kedua adalah mencoba mewacanakan seni atau sastra sebagai alat perjuangan

humanisme universal.

Ujung dari perdebatan tersebut sangan ditentukan oleh kondisi makro politik

Indonesia dengan kemenangan Orde Baru sehingga LEKRA yang berafiliasi pada

politik Soekarno (pemimpin Orde Lama) secara relatif terpendam atau terkubur.

Seperti yang kita ketahui, wacana makro politik Indonesia yang dibangun Orde Baru

tidaklah jauh bergeser dari kecenderungan ‘politik adalah panglima’. Sehingga

wacana kritisisme sastra Indonesia seperti memiliki keengganan, atau bahkan

5

Page 6: Sastra Indonesia Periode 1960

semacam trauma untuk merelasikan secara bermakna antara dimensi-dimensi

kesusastraan dengan berbagai persoalan politik.

Berikut adalah kutipan puisi ‘Kami Adalah Pemilik Syah Republik Ini’ karya

Taufik Ismail (Salam, 2012)

kita adalah pemilik syah republik ini

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus

Karena berhenti atau mundur

Berarti hanyut

Apakah akan kita jual keyakinan kita

Dalam pengabdian tanpa harga

Akan maukah kita duduk satu meja

Dengan para pembunuh tahun lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran: “Duli Tuanku”

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus

Kita adalah manusia bermata satu, yang di tepi jalan

Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama

Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka

Kita tak punya kepentingan dengan seribu slogan

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus

Dari sajak tersebut, terlihat bahwa gaya epik (bercerita) mulai muncul. Sangat

kentara dari bait pertama hingga terakhir, penulis mengungkapkan puisi seolah-olah

sedang bercerita.

Kondisi masyarakat Indonesia yang hidup menderita dalam kesengsaraan batin

karena banyaknya bencana alam dan ketidakbebasan dalam hidup, digambarkan

melalui kata-kata ‘Kita adalah manusia bermata satu, yang di tepi jalan;

Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh; Kita adalah berpuluh juta

yang bertahun hidup sengsara; Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama’.

6

Page 7: Sastra Indonesia Periode 1960

Penulisjuga menggambarkan kecintaannya terhadap nusa bangsa melalui puisi

yang lain seperti puisi “Dari Seorang Ibu Demonstran” karya Taufik Ismail berikut.

Ibu telah merelakan kalian

Untuk berangkat demonstrasi

Karena kalian pergi menyempurnakan

Kemerdekaan negeri ini

Karena kalian pergi menyempurnakan

Kemerdekaan negeri ini

Berikut ini adalah kronik Peristiwa Sastra di periode 1960-an.

Tahun 1960

Juli: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) memberikan hadiah

sastra dibidang puisi kepada Ramadhan K.H. dan Hr. Bandaharo; dibidang

cerpen kepada Trisnojuwono, Pramoedya Ananta Toer, dan Ajib Rosidi;

dibidang novel kepada Toha Mohtar; dan dibidang drama kepada Utuy Tatang

Sontani, Nasjah Djamin, dan Rustandi Kartakusuma.

31 Agustus: Sidang Pleno II LEKRA. Sidang pleno ini memantapkan

Mukadimah Lekra dan sikap “Politik adalah panglima.”

Harian Rakjat memberikan hadiah sastra di bidang esai kepada Pramoedya

Ananta Toer dan Mia Bustam; di bidang puisi kepada Hr. Bandaharo, Dodong

Djiwapradja, Chalik Hamid, dan S.W. Kuntjahjo; di bidang cerpen kepada

Bachtiar Siagian; dan di bidang terjemahan kepada Agam Wispi, Muslimin

Jasin, dan Huang Khuen Han.

Tahun 1961

Majalah Sastra terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, M. Balfas.

Pramoedya Ananta Toer dipenjara karena menerbitkan buku Hoakiau di

Indonesia..

Tahun 1962

September: Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck karangan Hamka

dihebohkan sebagai jiplakan. Abdullah Said Patmadji dan Pramoedya Ananta

Toer menuduh Hamka sebagai plagiator. Novel Tenggelamnya Kapal van der

Wijck dituduh sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Mustofa Luthfi Al

Manfalutfi, yang merupakan terjemahan dari Sous les Tilleuls karya Alphonse

Karr. Tuduhan itu dimuat di Harian Rakjat dan Bintang Timur.

7

Page 8: Sastra Indonesia Periode 1960

13-20 November: Konferensi Sastrawan Asia-Afrika II di Mesir. Delegasi

Indonesia diwakili antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin,

Joebaar Ajoeb; Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck karangan Hamka

dihebohkan sebagai jiplakan; Abdullah S.P. dan Pramoedya Ananta Toer

menuduh Hamka sebagai plagiator; Novel Tenggelamnya Kapal van der

Wijck dituduh sebagai plagiat dari novelMajdulin karya Al Manfalutfi, yang

merupakan terjemahan dari Sous les Tilleus karya Alphonse Karr. Tuduhan itu

dimuat di Harian Rakjat dan Bintang Timur.

16 November: Majalah Sastra memberikan penghargaan kepada karya sastra

terbaik. Di bidang puisi diberikan kepada M. Saribi Afn, Piek Ardijanto

Suprijadi, dan M. Poppy Hutagalung; di bidang cerpen kepada Bur Rasuanto,

Motinggo Boesje, dan Virga Belan; di bidang drama dan cerita bersambung

diberikan kepada B. Soelarto, Djamil Suherman, dan Usamah; di bidang kritik

dan esai kepada Goenawan Mohamad, D.A. Peransi, dan Hartojo

Andangdjaja.

Motinggo Busye menerbitkan Malam Jahanam

Tahun 1963

8 Maret: Sitor Situmorang menilai karya Chairil Anwar kontrarevolusioner.

22-25 Maret: Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia (LSI) diadakan

di Medan. Terbentuk Pengurus Pusat LSI yang terdiri dari Bakri Siregar,

Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Agam Wispi, Sobron Aidit,

M.S. Ashar, S. Rukiah, Sugiarti Siswandi, dan Hr.

Bandaharo.

17 Agustus: Wiratmo Soekito menyusun “Manifes Kebudayaan”. Sastrawan-

sastrawan muda menolak seruan “Politik adalah panglima” yang

didengungkan sastrawan Lekra.

September/Oktober: “Manifes Kebudayaan” diumumkan.

H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah. Tenggelamnya Kapal van der Wijck

dalam Polemik. Jakarta: Mega Bookstore. (Berisi tulisan-tulisan mengenai

novel Hamka,Tenggelamnya Kapal van der Wijck.)

Tahun 1964

1-7 Maret: Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) diadakan di

Jakarta. Konferensi ini menghasilkan “Ikrar Pengarang Indonesia”.

8

Page 9: Sastra Indonesia Periode 1960

8 Mei: Presiden Soekarno melarang “Manifes Kebudayaan”.

24-25 Agustus: Konferensi Nasional II Lekra diadakan di Jakarta. Dalam

konfernas ini dihasilkan sebuah resolusi yang antara lain berbunyi teruskan

pengganyangan terhadap Manikebu.

27 Agustus-2 September: Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR)

diadakan di Jakarta. Konferensi ini menghasilkan “Resolusi KSSR”.

Buku Revolusi di Nusa Damai karya Ktut Tantri terbit.

Tahun 1965

30 November: Semua buku pengarang LEKRA dilarang terbit.

Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut

sebagai Dewan Jenderal oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya

Gerakan 30 September yang dipimpin Letkol Untung. Pangkostrad Mayjen

Soeharto, satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam aksi

pembunuhan itu mengambil alih kepemimpinan di Angkatan Darat. PKI

dituduh berada di balik aksi itu. Setelah PKI dilarang, terjadi pembunuhan

massal. Sedikitnya 500.000 orang dibunuh. Lekra dilarang. Banyak sastrawan

Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil di Eropa.

Perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerwani banyak yang menjadi

korban perkosaan.

Tahun 1966

Juli: Majalah Horison terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, Soe Hok

Djin (Arief Budiman), dan lain-lain.

Agustus: Muncul istilah “Angkatan 66”; istilah ini berasal dari H.B. Jassin.

Majalah Budaya Jaya terbit. Redakturnya adalah Ajip Rosidi, Ramadhan

K.H., dan Harijadi S. Hartowardojo.

Taufiq Ismail menerbitkan buku Tirani dan Benteng.

Tahun 1967

Naskah drama Kuntowijoyo, Rumput-Rumput Danau Bento menjadi

pemenang harapan Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater

Nasional Indonesia.

Slamet Sukirnanto menerbitkan buku puisi Jaket Kuning.

Majalah Horison memberikan penghargaan sastra di bidang puisi kepada

Subagio Sastrowardoyo dan Sanento Juliman; di bidang cerpen kepada Umar

Kayam, M. Fudoli, dan M. Abnar Romli.

9

Page 10: Sastra Indonesia Periode 1960

Tahun 1968

2 Januari: Sanusi Pane meninggal dunia di Jakarta.

12 Oktober: Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara menyita majalah Sastra karena

majalah ini memuat cerpen Kipanjikusmin, “Langit Makin Mendung”, dalam

edisi Agustus. Pemimpin Redaksi Sastra H.B. Jassin diadili.

31 Oktober: Diskusi tentang Kritik Sastra diadakan di Jakarta.

H.B. Jassin menerbitkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung

Agung. Berisi prosa dan puisi.

Majalah Horison memberikan penghargaan sastra di bidang puisi kepada

Rendra dan Abdul Hadi W.M.; di bidang cerpen kepada Danarto, Julius J.

Sijaranamual, Satyagraha Hoerip, dan Gerson Poyk.

Tahun 1969

Iwan Simatupang menerbitkan naskah drama Petang di Taman dan

novel Ziarah.

Sapardi Djoko Damono menerbitkan buku puisi Duka-Mu Abadi. Bandung:

Jeihan.

Ajip Rosidi menerbitkan Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:

Binacipta.

E. PENUTUP

Karya sastra lahir bukan hanya untuk dinikmati namun juga untuk dipelajari.

Dalam rentang waktu tahun 1960 hingga tahun 1969 merupakan masa kesuburan

penulis pasca kemerdekaan Indonesia, hal ini dapat dilihat dari banyaknya penulis

maupun karya sastra yang lahir pada rentang tahun tersebut. Selain itu muncul pula

sastrawan wanita dalam berbagai tulisannya.

Melejitnya  jumlah sastrawan maupun jumlah karya sastra ini dapat dipandang

sebagai dampak telah terbebasnya dari masa pergolakan di Indonesia. Para sastrawn

pada tahun itu merasa sudah tidak ada yang dapat menghalanginya untuk berkarya

suara dari hatinya. Meskipun topi pada karya sastra tahun tersebut masih kental

dengan aroma pada saat gencatan senjata seperti contohnya Benteng dan Tirani Karya

Taufik Ismail namun,tidak sedikit pula yang mengangkat topik kebebasan atas

terusirnya penjajah.

Selain ditemukan topik seperti di atas, ditemukan juga topik mengenai wanita

dan kegelisahan rumah tangga yang dikarenakan situasi budaya yang belum mapan.

10

Page 11: Sastra Indonesia Periode 1960

Seperti karya Titi Said yang berjudul “Perjuangan dan Hati Perempuan” (Salam,

2012)

F. LAMPIRAN KARYA

Taufik Ismail

Tirani dan Benteng (1966)

Catatan Tahun 1965

Di lapangan dibakari buku

Mesin tikmu dibelenggu

Piringan hitam dipanggang

Buku-buku dilarang

Kita semua diperanjingkan

Gaya rabies klongsongan

Hamka diludahi Pram

Masuk penjara Sukabumi

Jassin dicaci diserapahi

Terbenam daftar hitam

Usmar dimaki Lentera

Takdir disumpahi Lekra Sudjono dicangkul BTI Nasakom bersatu apa

Umat dibunuhi di desa Kanigoro bagaimana lupa

Kus Bersaudara dipenjara

Mochtar masih diterungku

Osram bungkuk meringkuk Jalan aspal kubangan

Minyak tanah dikemanakan

Rebutan beras antrian

Siapa mati kelaparan

Inflasi saban pagi

Pidato tiap hari

Maki-maki sebagai gizi

Bahasa carut diperluaskan

Beatles gondrong dipersetankan

Pita suara dimatirasakan

Susunan syaraf dianastesi

Genjer-genjer jadi nyanyi

11

Page 12: Sastra Indonesia Periode 1960

Tari perang dipamerkan

Warna merah dikibarkan

Warna hitam dikalbukan

Pawai garang digenderangkan

Kolone kelima disusupkan

Sarung siapa dilekatkan

Matine Gusti-Allah dipentaskan.

(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)

Bukit Kelu, Bukit Biru

Adalah hujan dalam kabut yang ungu

Turun sepanjang gunung dan bukit biru 

Ketika kota cahaya dan di mana bertemu 

Awan putih yang menghinggapi cemaraku

Adalah kemarau dalam sengangar berdebu

Turun sepanjang gunung dan bukit kelu

Ketika kota tak bicara dan terpaku 

Gunung api dan hama di ladang-ladangku

Lereng-lereng senja

Pernah menyinar merah kesumba 

Padang hilalang dan bukit membatu

Tanah airku.

Elegi buat Sebuah Perang Saudara

Dengan mata dingin dia turun ke medan

Di bahunya tegar tersilang hitam senapan

Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan

Mengayun lengan kasar berbulu dendam

Angin pun bagai kampak sepanjang hutan

Bukit-bukit dipacu atas kuda kelabu

12

Page 13: Sastra Indonesia Periode 1960

Dada dan lembah menyenak penuh deram

Di ujung gunung lawannya sudah menunggu

Terurai kendali kuda, merentak ringkiknya

Di kaki langit teja mengantar malam tembaga

Luluhlah senja dalam denyar. 

Api mesiu

Di ujung gunung lawan rebah telungkup bahu

Angin tak lagi menderu tapi desah tertahan

Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu

Ketika senja berayun malam di dahan-dahan

Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji

Telentang kaku di bumi. 

Telah dibunuh adik sendiri.

Bilakah Kau Akan Melintas di Depan Ku

Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku 

Begitu benarkah lamanya 

Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa 

Tingkap angin makin ungu dalam nestapa

Fajar pun yang tak kunjung teraih 

Begitu benarkah sukarnya 

Kemarauku menggigil dalam nyala 

Musim tempat berbagi yang perih

Tanganku inikah tangan dukana 

Menjulur-julur dan kemah berkibar badai

Suara tanah yang hama sepanjang bencana 

Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai

Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku 

Begitu benarkah jarak zamannya 

13

Page 14: Sastra Indonesia Periode 1960

Sangat ingin aku menyapamu dalam tegur 

Dan kau balas dengan senyum menghibur.

Potret di Beranda

Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh 

Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya 

Bersama gambar-gambar sulaman ibuku

Dibuatnya tatkala masih perawan

Di dapur rumah nenekku, nenekku renta

Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit

Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu

Kerbau bajak kesayangan kakekku

Kerupuk kulit telah mengirim ibuku

Sekolah ke kota, jadi guru

Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku

Yang disulap subur dalam hidayat

Dijunjung dan dipikul ke pasar

Dalam dingin dataran tinggi

Karena ibuku yang mau jadi guru

Dan ibuku bertemu ayahku

Yang dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu

Dengan ikan kolam, bawang dan wortel

Di ujung cangkul kakekku kukuh

Yang kembang dan berisi dalam rahmat

Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan

Karena ayahku mau jadi guru

Maka lahirlah kami berenam

Dalam rahman

Dalam kesayangan

Dalam kesukaran

14

Page 15: Sastra Indonesia Periode 1960

Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh

Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya

Bersama gambar-gambar buatan ibuku

Disulamnya tatkala masih perawan.

Pekalongan Lima Sore

Kleneng bel beca

Debu aspal panggang

Sangar jalan pelabuhan

Terik kota pesisir

Tik-tik persneling Raleigh

Bungkus sarung palekat

Sungai kuning coklat

Nyanyi rumah yatim

Pejaja es lilin

Riuh Kampung Arab

Jembatan loji karatan

Genteng rumah pegadaian

Keringat pasar sepi

Kumis Raj Kapoor

Sengangar lilin batik

Deru pabrik tenun

Bal-balan Bong Cina

Harum tauto Tjarlam

Sirup kopyor dingin

Gorengan kuali tahu

Percikan minyak kelapa

Sisa bungkus megono

Panas teh melati

Tik-tok kuda dokar

Dengung DKW Hummel

Peluit sepur bomel

Klakson Debu Revolusi.

15

Page 16: Sastra Indonesia Periode 1960

Dengan Puisi, Aku

Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang

Keabadian Yang Akan Datang

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk

Nafas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya.

Jam Kota

Pada ulang hari jadiku, kukitari kota kelahiranku

Setelah sebelas tahun tak menatap wajahmu

Hutan pinus pada bukit-bukit yang biru

Sekolah lama, gang-gang di pasar, pohon-pohon kenari

Di jauhan jam kota menjulang tinggi

Kotaku yang nanar sehabis perang

Wajah muram dan tubuh luka garang

Detak tapal kuda satu-satu

Wahai, pandanglah mukaku!

Bioskop tua.

Dindingnya pun retak-retak

Tempatku dulu takjub mengimpikan dunia luar

Jalan kecil sepanjang rel kereta-api.

Raung Beruang es di kebun binatang

Pedati kerbau merambati kota pegunungan

Memutar roda kehidupan yang sarat

16

Page 17: Sastra Indonesia Periode 1960

Di depan rumah sakit aku berhenti sebentar

Memandang dari luar dindingnya yang putih

Rahim ibuku, di suatu kamarnya, melepas daku

Ke dunia. Dan jam kota

Berdentang dini hari

Masih kulihat masjid itu, di tengah sawah

Beberapa surau lereng gunung, beratap seng merah

Gang-gang di pasar, amai-amai pedagang berselendang

Bernaung ratusan payung peneduh matahari

Dataran tinggi.

Susunan panci nasi Kapau Kerupuk Sanjai, ikan asin, onggokan lada merah

Toko kopiah sutera, toko-toko emas menutup pintunya

Anak-anak berkejaran di setasiun bus

Wahai, mengapa kalian menundukkan muka?

Kotaku yang nanar sehabis perang

Wajah muram dan tubuh luka garang

Detak tapal kuda satu-satu

Wahai, pandanglah mukaku!

Sapardi Djoko Darmono

Dukamu Abadi (1969)

DukaMu adalah dukaku

Airmatamu adalah airmataku

Kesedihan abadimu

Membuat bahagiamu sirna

Hingga keakhir tirai hidupmu

Dukamu tetap abadi.

Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini

Berbekalkan sejuta dukamu

Mengiringi setiap langkahku

Menguja semangat jituku

Karena dukamu adalah dukaku

Abadi dalam duniaku!

17

Page 18: Sastra Indonesia Periode 1960

Namun dia datang

Meruntuhkan segala penjara rasa

Membebaskan aku dari derita ini

Dukamu menjadi sejarah silam

Dasarnya ku jadikan asas

Membangunkan semangat baru

Biar dukamu itu adalah dukaku

Tidakanku biarkan ia menjadi pemusnahku!

DAFTAR PUSTAKA

Listyaningrum, Ajeng Herlin, dkk. 2011. Menelaah Karya Sastra Indonesia Periode

1960-an. dalam Sandro database, (Online), (http://reus-sandro1.blogspot.com),

diakses 1 Desember 2013

Salam, Aprianus. 2012. Mempertimbangkan Kembali Kajian Sastra Modern

Indonesia. Makalah disajikan pada Memperdebatkan Kritik Sastra, Universitas

Airlangga, Surabaya 12 November 2008. Dalam aprianus, (Online),

(http://studi-sastra.blogspot.com), diakses 1 Desember 2013

Sulistyorini, Dwi dan Ida Lestari. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan Sastra

Indonesia Modern. Malang: Misykat

18