4. hasil dan pembahasan 4.1. hasil 4.1.1. kondisi umum ... · yang ada di kawasan ini terkenal...

21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49’45’’- 06 o 02’00’’LS dan 106 o 03’20’’- 106 o 16’00’’BT. Teluk Banten berbentuk setengah lingkaran (Suadela, 2004). Teluk Banten terletak di Pantai Utara Jawa pada jarak 60km di sebelah barat kota Jakarta, termasuk wilayah administrasi Kabupaten Serang di Provinsi Banten yang sebelumnya mejadi bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dengaan variasi kedalaman 0,2 - 9 meter. Sebagian besar kawasan teluk bagian barat dimanfaatkan untuk kawasan industri dan pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan dimanfaatkan untuk industri, perumahan nelayan, pertambakan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Bagian timur meliputi kawasan pertambakan serta bagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi, 2004). Pasang surut perairan Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh kondisi peraian Selat Sunda, dengan tinggi air pasangnya mencapai 90 cm. Berg (1999) in Pasisingi (2011) juga menyatakan bahwa endapan yang membentuk dasar perairan Teluk Banten berasal dari berbagai proses alam. Sebagian kecil endapan berasal dari Sungai Cibanten, dimana endapan inilah yang menyebabkan proses pendangkalan di Pulau Dua mulai tahun 1970. Lapisan di bawahnya berupa endapan yang berasal dari tsunami sebagai akibat dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (Tiwi, 2004). Teluk Banten mempunyai kawasan perairan seluas sekitar 150 km 2 yang termasuk perairan dangkal dengan turbiditas tinggi. Terdapat beberapa pulau di kawasan ini yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Dadapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua. Kawasan perairan terutama di sekitar pulau kecil mempunyai kekayaan ekosistem dan biodiversitas yang bernilai tinggi. Padang lamun, terumbu karang, hutan bakau dan kawasan konservasi burung Pulau Dua yang ada di kawasan ini terkenal sampai tingkat internasional. Kawasan padang lamun mempunyai luasan 365 hektar, 100 hektar diantaranya berada di kawasan barat Teluk Banten yang merupakan kawasan padang lamun terbesar di Indonesia.

Upload: vuongkhuong

Post on 10-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten

Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05o49’45’’- 06

o

02’00’’LS dan 106o03’20’’- 106

o16’00’’BT. Teluk Banten berbentuk setengah

lingkaran (Suadela, 2004). Teluk Banten terletak di Pantai Utara Jawa pada jarak

60km di sebelah barat kota Jakarta, termasuk wilayah administrasi Kabupaten

Serang di Provinsi Banten yang sebelumnya mejadi bagian barat dari provinsi Jawa

Barat. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dengaan variasi

kedalaman 0,2 - 9 meter. Sebagian besar kawasan teluk bagian barat dimanfaatkan

untuk kawasan industri dan pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan

dimanfaatkan untuk industri, perumahan nelayan, pertambakan dan Pelabuhan

Perikanan Nusantara Karangantu. Bagian timur meliputi kawasan pertambakan serta

bagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi, 2004).

Pasang surut perairan Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh kondisi peraian

Selat Sunda, dengan tinggi air pasangnya mencapai 90 cm. Berg (1999) in Pasisingi

(2011) juga menyatakan bahwa endapan yang membentuk dasar perairan Teluk

Banten berasal dari berbagai proses alam. Sebagian kecil endapan berasal dari

Sungai Cibanten, dimana endapan inilah yang menyebabkan proses pendangkalan di

Pulau Dua mulai tahun 1970. Lapisan di bawahnya berupa endapan yang berasal

dari tsunami sebagai akibat dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (Tiwi, 2004).

Teluk Banten mempunyai kawasan perairan seluas sekitar 150 km2 yang termasuk

perairan dangkal dengan turbiditas tinggi. Terdapat beberapa pulau di kawasan ini

yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut,

Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Dadapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung

Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua. Kawasan perairan terutama di sekitar pulau

kecil mempunyai kekayaan ekosistem dan biodiversitas yang bernilai tinggi. Padang

lamun, terumbu karang, hutan bakau dan kawasan konservasi burung Pulau Dua

yang ada di kawasan ini terkenal sampai tingkat internasional. Kawasan padang

lamun mempunyai luasan 365 hektar, 100 hektar diantaranya berada di kawasan

barat Teluk Banten yang merupakan kawasan padang lamun terbesar di Indonesia.

32

Kawasan terumbu karang diperkirakan meliputi luasan 2,5 km2, 22%nya merupakan

karang hidup. Ekosistem bakau lebih mendominasi kawasan teluk bagian timur

selatan terutama di sekitar Pulau Dua. Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk

Banten secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Salinitas menurun

pada musim hujan, kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya. Pengamatan

pada tahun 1998-1999 menunjukkan bahwa suhu air berkisar 28-31,50C. Salinitas di

daerah penangkapan ikan sekitar 28 – 33,8 ppm. Salinitas rendah (< 20 ppm) di

perairan dekat muara sungai. Kecerahan di sekitar pulau-pulau karang di tengah

Teluk Banten hingga utara Pulau Panjang bervariasi berkisar 2-10 meter. Kecerahan

pada musim hujan di kawasan pantai dapat mencapai 10 cm (Nuraini 2004).

4.1.2. Perikanan di Teluk Banten

Teluk Banten merupakan bagian dari perairan Laut Jawa. Sumberdaya ikan

yang berada di Teluk Banten sangat bervariasi, mulai dari ikan demersal, pelagis

sampai ikan karang. Jenis-jenis ikan yang ditangkap di perairan Teluk Banten

disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di PPN

Karangantu

(laporan Statistik PPN Karangantu 2012)

Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa hasil tangkapan rajungan yang

didaratkan di PPN Karangantu masih tergolong rendah yaitu sebesar 3% dari jumlah

keseluruhan. Hal ini didasari karena secara umum alat tangkap yang digunakan

untuk menangkap rajungan tergolong alat tangkap yang bersifat tradisional yaitu

jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu.

7%6%

15%

10%

3%2%

14%

3%

3%

7%

10%

6%

11% 1% 2%

Teri TembangKembung PeperekSelar KuweCumi-cumi BelosoRajungan KurisiSotong GulamahKuniran Udang

33

Pada Tabel 2 menunjukkan hasil tangkapan dengan satuan ton yang diperoleh

oleh nelayan di Teluk Banten yang mendaratkan rajungannya di PPN Karangantu

selama tahun 2005-2011. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan rajungan

tersebut yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan

bagan perahu. Hasil tangkapan yang diperoleh per tahun masing-masing alat

tangkap sangat berfluktuasi.

Tabel 2. Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten kurun

waktu 2005-2011

Tahun Jaring Insang

Tetap

Jaring

Dogol

Jaring

Payang

Jaring

Tiga Lapis

Bagan

Perahu

2005 17,126 23,498 22,494 8,824 1,025

2006 4,141 4,060 3,522 1,100 2,037

2007 13,159 9,887 4,127 1,508 9,638

2008 11,586 7,450 1,491 3,920 1,141

2009 12,890 8,475 1,567 1,426 3,032

2010 11,720 5,693 0,852 0,382 3,774

2011 9,483 1,217 0,193 0,387 3,259

(laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012)

Tabel 3 menunjukkan upaya tangkapan tahunan dalam satuan trip rajungan

oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten yang menggunakan lima jenis alat

tangkap yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan

bagan perahu.

Tabel 3 Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu

2005-2011

Tahun Jaring

Insang Tetap

Jaring

Dogol

Jaring

Payang

Jaring Tiga

Lapis

Bagan

Perahu

2005 820 1.162 822 1.562 705

2006 601 569 502 543 510

2007 1.100 882 668 336 678

2008 1.864 1.351 270 567 854

2009 1.899 1.804 186 167 508

2010 4.390 2.449 258 129 449

2011 1.478 183 102 139 808

(laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012)

34

Berdasarkan hasil perhitungan standarisasi upaya pada Lampiran 2 maka

diperoleh data runut waktu total tangkapan rajungan serta jumlah upaya

penangkapan dalam satuan trip dari lima jenis alat tangkap, dimana yang menjadi

upaya standar adalah trip menggunakan alat tangkap dogol sebagaimana terlihat

pada Tabel 4. Fluktuasi tangkapan dari tahun 2005 sampai tahun 2011 dapat dilihat

pada Gambar 9, secara visual.

Tabel 4. Jumlah tangkapan (c) dan jumlah upaya penangkapan (f) rajungan di Teluk

Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu 2005-2011

Tahun c (kg) f (trip)

2005 122.967 3.228

2006 14.860 1.754

2007 38.319 2.459

2008 25.588 3.102

2009 27.390 3.200

2010 22.421 5.124

2011 14.539 1.400

(Laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012)

Pada Tabel 4, terlihat bahwa hasil tangkapan dari standarisasi kurun waktu

2005-2011, hasil tangkapan tertinggi diperoleh di tahun 2005 sebesar 122.967 kg

dan upaya tertinggi diperoleh pada tahun 2010 yaitu sebesar 5.124 trip. Hasil ini

tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian terdahulu oleh Pasisingi (2011) dengan

standarisasi kurun waktu 2005-2010 bahwa hasil tangkapan tertinggi diperoleh

tahun 2005 sebesar 112.328 kg dan upaya tertinggi pun diperoleh pada tahun 2010

sebesar 7.349 trip.

Gambar 9. Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk

Banten kurun waktu 2005-2011

96,227

19,225

50,358

87,50179,203

70,998

63,554

0

20

40

60

80

100

120

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ha

sil

Ta

ng

ka

pa

n (

To

n)

Tahun

35

Produksi rajungan di Teluk Banten selama tujuh tahun ditunjukan oleh

Gambar 9. Selama tujuh tahun kurun waktu tersebut, terlihat bahwa hasil tangkapan

tertinggi pada tahun 2005, sedangkan tangkapan terendah pada tahun 2006.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala PPN Karangantu, hasil tangkapan 2006

yang menurun secara drastis diduga karena kenaikan bahan bakar minyak (BBM)

khususnya solar yang digunakan oleh nelayan untuk melaut. Hal ini berakibat

nelayan menurunkan effort sehingga hasil tangkapan yang didapatkan menurun pada

tahun tersebut. Namun, secara keseluruhan, hasil tangkapan rajungan di Teluk

Banten cukup fluktuatif.

Pada Gambar 10 menunjukkan fluktuasi tahunan upaya penangkapan rajungan

dalam satuan trip di Teluk Banten oleh nelayan PPN Karangantu. Upaya tangkapan

tertinggi pada tahun 2010, sedangkan upaya tangkapan terendah pada tahun 2006.

Upaya tangkapan mulai menurun lagi pada tahun 2011 namun secara keseluruhan

terlihat adanya peningkatan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu

dari tahun 2006 sampai tahun 2010.

Gambar 10. Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk

Banten kurun waktu 2005-2011

Gambar 11 menunjukkan tangkapan per satuan upaya (Catch per unit

Effort/CPUE) rajungan di Teluk Banten. Selama tujuh tahun CPUE cukup

berfluktuasi. CPUE tertinggi pada tahun 2011, sedangkan terendah pada tahun 2006.

Pada tahun 2008 hingga 2010, CPUE di Teluk Banten menurun namun meningkat

kembali pada tahun 2011.

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Up

ay

a (

trip

)

Tahun

36

Gambar 11. Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan

Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011

4.1.3. Daerah dan Musim Penangkapan

Daerah penangkapan atau fishing ground nelayan rajungan di Teluk Banten

berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan rajungan berada di Pulau Tunda,

Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, dan Pulau Panjang. Hasil tangkapannya

didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Lama waktu tempuh

nelayan untuk mencapai fishing ground Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan

Besar, dan Pulau Panjang adalah sekitar 30 menit dengan jarak tempuh 1,5 mil

sedangkan untuk Pulau Tunda adalah sekitar 1 jam hingga 1 jam 30 menit dengan

jarak tempuh sekitar 4 mil. Usaha penangkapan rajungan dengan skala kecil operasi

penangkapannya adalah one day fishing. Spesies rajungan yang umumnya ditangkap

oleh nelayan adalah Portunus pelagicus. Penentuan fishing ground dilakukan hanya

dari pengalaman nelayan dan perkiraan cuaca. Perkiraan cuaca diperoleh dengan

pengamatan sendiri berdasarkan berbagai gejala alam, seperti angin besar dan

gelombang tinggi.

Musim penangkapan rajungan di perairan Teluk Banten berdasarkan hasil

wawancara terdiri atas tiga musim yaitu musim puncak, sedang, dan musim

paceklik. Musim puncak terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. Musim

sedang terjadi pada bulan September – November. Musim paceklik terjadi pada

bulan Maret – Agustus. Hasil wawancara tersebut didukung oleh data produksi

rajungan per bulan oleh nelayan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN

Karangantu dengan kurun waktu 2005-2011 pada Tabel 5.

0

0,005

0,01

0,015

0,02

0,025

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

CP

UE

(to

n/t

rip

)

Tahun

37

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa produksi terbanyak diperoleh di bulan

Desember, Januari dan Februari, hal ini membuktikan bahwa musim puncak

diperoleh pada bulan tersebut. Musim sedang penangkapan rajungan terlihat pada

data tersebut di bulan September – November. Pada bulan Maret – Agustus produksi

rajungan berjumlah sedikit dan hal ini dapat membuktikan pada bulan tersebut

merupakan musim paceklik.

Tabel 5. Produksi rajungan per bulan di PPN Karangantu tahun 2005-2011

BULAN HASIL TANGKAPAN (KG) TAHUN KE-

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Januari 26.070 2.765 668 19.761 8.211 22.536 3.456

Februari 29.300 1.950 427 13.403 23.408 4.523 4.385

Maret 16.200 3.700 88 4.703 2.573 4.577 3.095

April 9.321 2.220 488 5.325 2.511 683 4.812

Mei 1.810 2.890 595 3.928 2.739 14.724 4.530

Juni 803 2.225 351 1.624 942 300 4.518

Juli 845 700 393 3.328 3.368 2.562 2.867

Agustus 786 532 67 4.144 1.312 4.566 5.093

September 12.400 363 40 4.710 3.516 3.200 3.328

Oktober 10.600 560 183 3.359 8.287 4.512 10.031

November 5.000 440 16.615 15.519 12.141 4.840 12.783

Desember 218 880 30.443 7.669 10.195 3.975 4.656

4.1.4. Model Surplus Produksi

A. Model Schaefer (1954)

Model Schaefer mengikuti model pertumbuhan logistik. Penurunan hasil

tangkapan per satuan upaya CPUE terhadap upaya penangkapan F mengikuti pola

regresi linear. Hasil tangkapan rajungan C dalam satuan ton, upaya penangkapan F

dalam satuan trip serta tangkapan per satuan upaya CPUE dalam satuan ton/trip

disajikan pada Tabel 6. Kolom 2 menunjukkan hasil tangkapan, sedangkan kolom 3

menunjukkan upaya trip yang dilakukan oleh nelayan. Hubungan parabolik antara

hasil keseimbangan dan upaya penangkapan optimum akan memberikan informasi

mengenai hasil tangkapan maksimum lestari MSY dan tingkat penangkapan

optimum FMSY yang akan menghasilkan MSY. Adapun tangkapan per satuan

upaya CPUE (kolom 4) diperoleh dari hasil bagi antara tangkapan C (kolom 2)

dengan upaya tangkapan F (kolom 3) setiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2011.

38

Tabel 6. Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F) dan jumlah

tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten

Tahun C (kg) F (trip) CPUE(kg/trip)

2005 122967 3228 38,0915

2006 14860 1754 8,4735

2007 38319 2459 15,5837

2008 25588 3102 8,2475

2009 27390 3200 8,5590

2010 22421 5124 4,3755

2011 14539 1400 10,3857

(Laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012)

Regresi antara CPUE (kolom 4) dan upaya penangkapan (kolom 3) pada Tabel

6, menghasilkan persamaan regresi linear sebagai berikut:

Upaya optimum model Schaefer dapat diperoleh dari hasil perhitungan pada

Lampiran 3 dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a= 1,5090 dan b = -

0,0006, sehingga diperoleh hasil sebesar 1.283 trip/tahun dan R2 sebesar 0,0397.

Berdasarkan model Schaefer, selama satu tahun jumlah trip upaya tangkapan

tidak boleh melebihi 1.283 trip. Adapun hasil tangkapan maksmum lestari MSY

dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a dan b sehingga

diperoleh hasil sebesar 968 kg/tahun. Artinya, untuk dapat memanfaatkan

sumberdaya rajungan secara lestari di Teluk Banten, maka potensi ikan yang boleh

ditangkap selama satu tahun maksimal 968 kg. Artinya hasil tangkapan maksimum

lestari atau MSY rajungan di Teluk Banten sebesar 968 kg/tahun, dengan dugaan

upaya penangkapan optimum 1.283 trip selama satu tahun.

Gambar 12 menunjukkan grafik hubungan antara jumlah tangkapan

maksimum lestari dengan upaya penangkapan rajungan di Teluk Banten. MSY yang

dihasilkan pada model Schaefer sebesar 968 kg diperoleh dengan upaya optimum

1.283 trip selama setahun.

39

Gambar 12. Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan

(F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer

Hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan dengan model Schaefer dari tahun

2005 sampai tahun 2011 diperlihatkan pada Gambar 13. Pola perubahan hasil

tahunan aktual cenderung berbeda dengan perubahan produksi tahunan model

Schaefer. Hasil tangkapan dengan model Schaefer pada tahun 2005 jauh lebih tinggi

dibandingkan hasil tangkapan aktual nelayan Karangantu sedangkan di tahun 2006-

2010 hasil tangkapan dengan model Schaefer jauh lebih rendah kemudian naik lagi

pada tahun 2011.

Gambar 13. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

0 500 1000 1500 2000 2500

Ha

sil

Ta

ng

ka

pa

n (

kg

)

Upaya (trip)

0

50

100

150

200

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ha

sil

Ta

ng

ka

pa

n (

ton

)

Tahun

Produksi Aktual

Schaefer

40

B. Model Fox (1970)

Berdasarkan model Fox upaya optimum yang diperlukan dalam pemanfaatan

sumberdaya rajungan di Teluk Banten dari hasil perhitungan pada Lampiran 4

sebesar 5.787 trip. Adapun hasil tangkapan maksimum lestari sebesar 37.595,59

kg/tahun dan R2 sebesar 0,6796.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat upaya optimum untuk sumberdaya

rajungan di Teluk Banten tidak boleh melebihi 5.787 trip selama satu tahun

sedangkan jumlah tangkap maksimal yang diperbolehkan tidak melebihi 37.595,59

kg per tahun. Jumlah tangkapan lestari per tahun pada model Fox disajikan pada

Gambar 14 hasil tersebut dibandingkan dengan jumlah tangkapan aktual oleh

nelayan rajungan di Teluk Banten.

Gambar 14. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Fox perikanan rajungan di Teluk Banten

Pola tangkapan tahunan perikanan rajungan di Teluk Banten antara tangkapan

aktual dan pada model Fox secara visual terlihat hampir mirip untuk tangkapan

tahun 2006 sampai tahun 2010. Namun sangat berbeda untuk tahun 2005 dan 2011.

C. Model Walter Hilborn (1976)

Pada model Walter dHilborn, regresi dilakukan dengan memasukkan data

CPUEt+1/CPUEt sebagai variabel bebas. Sedangkan variabel tidak bebas X1 dan X2

masing-masing CPUE dan F. Sehingga, hasil yang diperoleh dari persamaan regresi

tersebut sebagai berikut:

0

100

200

300

400

500

600

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ha

sil

Ta

ng

ka

pa

n (

ton

)

Tahun

Produksi Aktual

Fox

41

Berdasarkan persamaan tersebut maka nilai parameter biologi dapat diduga

dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi tersebut (Lampiran 5) sehingga

diperoleh R2 sebesar 0,5130 dan hasil tingkat pertumbuhan alami (r) sebesar 1,0121.

Sedangkan koefisien kemampuan tangkapan (q) pada model Walter Hilborn sebesar

0,00021. Hasil tersebut kemudian dapat menduga parameter dari daya dukung

lingkungan (K) sebesar 113.121,6 kg/tahun.

Pada model Walter Hilborn nilai MSY yang didapatkan sebesar 28.621,4

kg/tahun, artinya untuk dapat menjamin kelestariaan sumberdaya rajungan di Teluk

Banten maka potensi rajungan yang dapat ditangkap dan akan menjamin keslestarian

stok adalah sebesar 28.621,4 kg selama satu tahun. Adapun upaya optimum untuk

memperoleh tangkapan maksimum lestari dapat diperoleh dengan mensubtitusikan

parameter yang diperoleh melalui persamaan r dan q, sehingga hasil yang

didapatkan sebesar 2.400 trip.

Jumlah tangkapan lestari untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten yang

diperoleh oleh model Walter Hilborn tiap tahunnya dapat ditunjukan pada Gambar

15 berikut dengan perbandingan antara jumlah tangkapan aktual.

Gambar 15. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Walter Hiborn perikanan rajungan di Teluk Banten

Pada gambar tersebut terlihat bahwa hasil tangkapan lestari pada model Walter

Hilborn dari tahun 2005-2011 sangat berfluktuasi. Secara visual tidak

menggambarkan kemiripan dengan hasil tangkapan aktual perikanan rajungan di

Teluk Banten.

0

20

40

60

80

100

120

140

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ha

sil

Ta

ng

ka

pa

n (

ton

)

Tahun

Produksi Aktual

WH

42

D. Model Schnute (1977)

Model Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk

diskrit (Roff 1983 in Pasisingi 2011). Pada model ini diperoleh persamaan:

Semua perhitungan menggunakan data yang tertera pada Lampiran 6. Nilai R2

yang diperoleh sebesar 0,8632 dan nilai parameter biologi seperti tingkat

pertumbuhan alami (r) pada model Schnute sebesar 4,0073. Sedangkan untuk

koefisien kemampuan penangkapan (q) sebesar 0,5477 serta daya dukung

lingkungan (K) sebesar 1,4683 kg.

Hasil tangkapan maksimum lestari dengan menggunakan model Schnute

diperoleh dengan mensubstitusikan koefisien dan parameter yang diperoleh dari

hubungan linear (Lampiran 6) sehingga hasil yang didapat sebesar 1,4710 kg/tahun,

artinya dalam waktu satu tahun jumlah tangkapan yang diperbolehkan tidak boleh

melebihi dari nilai 1,4710 kg. Sedangkan upaya optimum untuk model ini sebesar

3,5679 trip.

Pada Gambar 16 menunjukkan perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan

jumlah tangkapan lestari model Schnute. Berdasarkan gambar apabila terlihat secara

visual, kemiripan kurva terlihat dari tahun 2006-2008, namun selebihnya kurva

model Schnute cenderung berfluktuasi dibanding produksi aktual yang cenderung

menurun dari tahun 2007-2011.

Gambar 16. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Schnute perikanan rajungan di Teluk Banten

0

20

40

60

80

100

120

140

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ha

sil

Ta

ng

ka

pa

n (

ton

)

Tahun

Produksi Aktual

Schnute

43

E. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992)

Metode Clarke Yoshimoto Pooley atau disingkat CYP menggunakan

persamaan regresi linear berganda dengan konsep least square. Perhitungan model

CYP menggunakan data yang disajikan pada Lampiran 7.

Hasil persamaan yang dihasilkan berdasarkan model CYP yaitu:

Nilai R2 yang diperoleh pada model CYP sebesar 0,9826, adapun nilai

parameter-parameter pertumbuhan yaitu nilai r sebesar 3,7875, sedangkan nilai

koefisien penangkapan (q) sebesar 0,0001 dan daya dukung lingkungan (K) sebesar

40.170,46 kg.

Hasil tangkapan maksimum lestari dengan menggunakan model CYP

diperoleh dengan mensubtitusikan koefisien dan parameter yang diperoleh dari

hubungan linear (Lampiran 7) sehingga hasil yang didapatkan sebesar 38.036,41

kg/tahun, artinya dalam waktu satu tahun jumlah tangkapan yang diperbolehkan

tidak boleh melebihi dari nilai 38.036,41 kg. Sedangkan untuk upaya optimum pada

model ini yaitu sebesar 70.867 trip.

Gambar 17 menunjukkan perbandingan antara tangkapan aktual dengan

tangkapan lestari menggunakan model CYP sumberdaya rajungan di Teluk Banten

dari tahun 2005 sampai 2011. Melalui grafik tersebut maka terlihat bahwa pola

perubahan jumlah tangkapan tahunan antara produksi aktual dengan model lestari

CYP hampir mirip.

Gambar 17. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

model Clarke Yoshimoto Pooley perikanan rajungan di Teluk Banten

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Ha

sil

Ta

ng

ka

pa

n(t

on

)

Tahun

Produksi Aktual

CYP

44

Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari

masing-masing model dapat dilihat secara visual pada Lampiran 8. Pada Tabel 7,

menunjukkan perbandingan koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan

(K), serta parameter pertumbuhan intriksik (r) sumberdaya rajungan di Teluk Banten

antara model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute, serta model Clarke Yoshimoto

Pooley.

Tabel 7. Perbandingan parameter koefisien penangkapan (q), daya dukung

lingkungan (K), pertumbuhan intrinsik (r), nilai koefisien determinasi

(R2), dan Standar error (SE) antara lima model produksi surplus

rajungan di Teluk Banten

Model q K r R2 SE

Schaefer 0,00060 2.566,49 27,23 0,0397 1,2459

Fox 0,00017 1.767,23 0,31 0,6796 0,0980

WH 0,00021 113.121,58 1,01 0,5130 0,7659

Schnute 0,54775 1,47 4,01 0,8632 1,7510

CYP 0,00005 40.170,46 3,79 0,9826 0,0701

Ketiga paramteter pada masing-masing model disajikan dengan nilai yang

berbeda-beda. Parameter q, K dan r model Schaefer dan Fox diperoleh melalui

perhitungan algoritma. Sedangkan untuk model Walter Hilborn, Schnute dan Clarke

Yoshimoto Pooley parameter-parameter tersebut diperoleh melalui subtitusi dan

perhitungan menggunakan koefisien regresi liniear berganda. Indikator statistik yang

digunakan adalah koefisien determinasi (R2) Nilai koefisien determinasi masing-

masing-masing model juga berbeda-beda. Nilai koefisien determinasi terbesar

ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto Pooley yaitu 0,9826. Sedangkan nilai

koefisien determinasi terendah adalah model Schaefer yaitu 0,0397. Indikator

statistik lain yang dapat mendukung hal ini adalah nilai standar error. Standar error

model CYP juga relatif rendah dibandingkan model lainnya.

4.1.5. Analisis Bioekonomi

Berdasarkan lima model surplus produksi yang telah diperoleh ternyata yang

memiliki kemiripan kurva dengan produksi aktual yaitu model Clarke Yoshimoto

Pooley dengan nilai R2 atau koefisien determinasi sebesar 0,9826. Berdasarkan

45

model Clarke Yoshimoto Pooley, analisis bioekonomi untuk sumberdaya rajungan

diperoleh melalui nilai dari parameter pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai parameter biologi dan ekonomi dalam penentuan MEY, MSY, dan

Open Access

Parameter Satuan Nilai

Koefisien kemampuan alat tangkap (q) (kg/trip) 0,0001

Daya dukung perairan (K) (kg/tahun) 40.170,46

Laju intrinsik populasi (r) (%/tahun) 3,79

Harga (p) (Rp/kg) 29.000

Biaya (c) (Rp/trip) 3.773

Pada Tabel 8, harga rajungan (p) dan biaya operasional (c) diperoleh dari hasil

wawancara oleh 30 orang nelayan di Karangantu, hasil tersebut dapat terlihat pada

Lampiran 9. Berdasarkan nilai dari parameter biologi dan ekonomi yang disajikan

pada Tabel 8, maka dapat ditentukan jumlah tangkapan lestari dari rezim

pengelolaan diantaranya rezim MEY, MSY, dan Open Access. Pada Tabel 9,

diperoleh hasil perhitungan dari ketiga rezim yang dilakukan selengkapnya pada

Lampiran 10.

Tabel 9. Hasil Perhitungan bioekonomi sumberdaya rajungan di Teluk Banten

Variabel MEY MSY Aktual OA

Yield (kg) 37.927,21 38.036,41 14.539 7.715,22

Effort (trip) 33.535,00 35.434,00 1.400 67.070

TR (Rp) 1.099.889.224,00 1.103.055.930,00 42.1631.000 223.741.400

TC (Rp) 111.870.700,00 118.204.110,00 4.669.983 223.741.400

Rente ekonomi (π) 988.018.525,00 984.851.819,00 416.961.017 0

Berdasarkan Tabel 9 terlihat perbedaan dari masing-masing nilai rezim

pengelolaan. Pada kondisi aktual yang merupakan data terakhir yaitu data tahun

2011 cenderung lebih rendah dibanding nilai dari ketiga rezim. Nilai yang paling

tertinggi dari variabel yield, effort, TR, serta TC diperoleh oleh rezim MSY,

sedangkan untuk rente ekonomi tertinggi diperoleh oleh rezim MEY.

46

A. Rezim Pengelolaan MEY

Pada Tabel 9, hasil perhitungan menunjukkan bahwa hasil tangkapan

maksimum berdasarkan rezim ini senilai 37.927,21 kg dengan upaya sebesar 33.535

trip sedangkan rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp 988.018.525,00, hasil rente

ekonomi tersebut merupakan rente ekonomi terbesar. Upaya yang dihasilkan sebesar

33.535 trip dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari nilai rezim lainnya

sehingga jumlah alat tangkap yang digunakan jauh lebih efisien dan menghasilkan

banyak keuntungan.

Apabila dibandingkan dengan jumlah aktual dengan rezim MEY, kondisi

aktual pada tahun terakhir memiliki upaya sebesar 1.400 trip/tahun menghasilkan

rente ekonomi sebesar Rp 416.961.017,00 yang jauh lebih rendah dari nilai rezim

MEY sebesar 33.535 trip/tahun dan menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp

988.018.525,00. Hal ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk

Banten belum mengalami economic overfishing.

B. Rezim Pengelolaan MSY

Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu

populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini dikembangkan dari

kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu

nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Scaefer yang

paling sederhana (Widodo & Suadi 2008). Berdasarkan hasil perhitungan analisis

untuk rezim MSY didapatkan nilai upaya untuk sumberdaya rajungan di Teluk

Banten sebesar 35.434 trip/tahun. Pada rezim ini didapatkan nilai rente ekonomi

sebesar Rp 984.851.819,00, hasil ini lebih rendah daripada hasil rente ekonomi yang

diperoleh dari rezim pengelolaan MEY yaitu sebesar Rp 988.018.525,00.

Meskipun pada rezim MSY hasil tangkapan dan upaya penangkapan lebih

besar, namun rezim yang dapat dikatakan paling efisien yaitu rezim pengelolaan

MEY, sebab dengan effort yang lebih rendah, rezim MEY dapat menghasilkan

keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan rezim ini serta tidak memberi

dampak adanya eksploitasi yang berlebih bagi sumberdaya rajungan di Teluk

Banten. Berdasarkan kondisi MSY yang telah diperoleh, apabila dibandingkan

dengan kondisi aktual, maka dapat dikatakan sumberdaya rajungan di Teluk Banten

47

belum mengalami biologic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan

aktual sebesar 14.539 kg/tahun dengan upaya 1.400 trip/tahun yang tidak melebihi

dari nilai rezim pengelolaan MSY.

C. Rezim Pengelolaan Open Access

Rezim pengelolaan yang bersifat open access merupakan sistem perikanan

yang tidak asing lagi bagi sumberdaya perikanan, hal tersebut terlihat di Teluk

Banten dimana para pelaku perikanan yang mendapatkan izin menangkap ikan dapat

melakukan operasi penangkapan. Pada rezim open access bagi sumberdaya rajungan

di Teluk Banten memiliki nilai effort atau upaya yang jauh lebih besar dibandingkan

dengan nilai MEY maupun MSY. Pada kondisi rezim pengelolaan MEY hasil

tangkapan maksimum yang didapat sebesar 37.927,21 kg dengan upaya sebesar

33.535 sedangkan pada kondisi MSY hasil tangkapan maksimum yang didapat

sebesar 38.036,41 kg dengan upaya sebesar 35.434 trip/tahun. Akan tetapi hasil

tersebut berkebalikan dengan kondisi pada rezim pengeloaan Open Access yaitu

dengan upaya yang jauh lebih tinggi sebesar 67.070 trip/tahun menghasilkan hasil

tangkapan sebesar 7.715,22 kg/tahun serta rente ekonomi yang berkebalikan yakni

bernilai nol. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access

tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Oleh karena itu

untuk memperoleh keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian

sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik

MEY.

4.2. Pembahasan

Model surplus produksi yang didasarkan pada keseimbangan biomassa

homogen ikan di suatu perairan yang digunakan pada penelitian ini terdapat lima

model yaitu model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan model Clarke

Yoshimoto Pooley. Konsep surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu

perikanan. Schaefer (1954) in Widodo dan Suadi (2008) menyebutkan bahwa salah

satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model surplus produksi logistik.

Artinya dalam suatu perairan tidak dilakukan analisis secara rinci mengenai

kematian, kelahiran serta migrasi ikan yang terjadi di suatu wilayah perairan.

48

Namun, kondisi ini tidak perlu diragukan karena dalam satu tahun, dinamika yang

terjadi secara alami di suatu perairan khususnya Teluk Banten adalah seimbang atau

dengan kata lain kondisi perairam secara alami berada pada keseimbangan dinamis.

Oleh karena itu dibutuhkan data runut waktu tahunan untuk dapat mengaplikasikan

model ini.

Hasil wawancara oleh tiga puluh orang nelayan di Karangantu yang

menangkap rajungan di Teluk Banten menunjukkan bahwa musim penangkapan

rajungan di perairan Teluk Banten terdiri atas tiga musim yaitu musim puncak,

sedang, dan musim paceklik. Musim puncak terjadi pada bulan Desember, Januari

dan Februari. Musim sedang terjadi pada bulan September – November. Musim

paceklik terjadi pada bulan Maret – Agustus. Hasil wawancara tersebut didukung

oleh data produksi rajungan per bulan oleh nelayan di Teluk Banten yang didaratkan

di PPN Karangantu dengan kurun waktu 2005-2011

Berdasarkan perbandingan grafik tangkapan aktual dan tangkapan masing-

masing model surplus produksi maka dapat dilihat bahwa grafik aktual yang mirip

dengan grafik tangkapan masing-masing model ditunjukkan oleh model Clarke

Yoshimoto Pooley. Jika dilihat dari indikator statistik yaitu koefisien determinasi

maka nilai R2 paling besar terdapat pada model Clarke Yoshimoto Pooley yaitu

sebesar 0,9826. Hasil tersebut hampir mendekati dengan penelitian terdahulu yaitu

oleh Pasisingi (2011) dengan nilai R2 pada model CYP untuk rajungan di Teluk

Banten sebesar 0,9897. Menurut pendapat Pindyck dan Rubnfield (1998) in Aminah

(2010) bahwa nilai determinasi atau R2 lazim digunakan untuk mengukur goodness

of fit dari variabel tidak bebas dalam model, dimana semakin besar nilai R2

menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Hal ini menunjukkan bahwa

model CYP merupakan model yang paling sesuai dan cocok untuk diterapkan pada

perikanan rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Teluk Banten. Sedangkan untuk

nilai tangkapan maksimum lestari pada model CYP diperoleh sebesar 38.036,41 kg

dengan upaya optimum sebesar 70.867 trip.

Analisis bioekonomi yang digunakan pada sumberdaya rajungan di Teluk

Banten diperoleh dari hasil perhitungan pada model Clarke Yoshimoto Pooley.

Rezim pengelolaan yang dipakai yaitu MEY, MSY, dan Open Access. Menurut

Anderson dan Seijo (2010) bahwa maximum economic yield (MEY) dapat dicapai

49

apabila kurva penerimaan marginal memotong kurva biaya marginal, sedangkan

produksi open access terjadi bila penerimaan total seimbang dengan biaya total

sehingga laba upaya penangkapan sama dengan nol.

Analisis bioekonomi yang telah dilakukan, ditunjukkan dengan nilai yang

paling tertinggi dari variabel yield, effort, TR, serta TC diperoleh oleh rezim MSY,

sedangkan untuk rente ekonomi tertinggi diperoleh oleh rezim MEY. Analisis MEY

lebih menekankan pada keuntungan maksimum namun tetap terjaga kelestarian

sumberdaya ikan tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan analisis untuk rezim MSY

didapatkan nilai upaya untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten sebesar 35.434

trip/tahun. Pada rezim ini didapatkan nilai rente ekonomi sebesar Rp 984.851.819,00

hasil ini lebih rendah daripada hasil rente ekonomi yang diperoleh dari rezim

pengelolaan MEY yaitu sebesar Rp 988.018.525,00.

Analisis bioekonomi pada kondisi MSY yang telah diperoleh, apabila

dibandingkan dengan kondisi aktual dapat dikatakan bahwa sumberdaya rajungan di

Teluk Banten belum mengalami biologic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai

hasil tangkapan aktual sebesar 14.539 kg/tahun dengan upaya 1.400 trip/tahun tidak

melebihi dari nilai MSY sebesar 38036,41 kg/tahun. Sedangkan apabila

dibandingkan dengan jumlah aktual dengan rezim MEY, kondisi aktual pada tahun

terakhir memiliki upaya sebesar 1400 trip/tahun menghasilkan rente ekonomi

sebesar Rp 416.961.017,00 yang jauh lebih rendah dari nilai rezim MEY sebesar

33.535 trip/tahun dan menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 988.018.525,00 , hal

ini berarti bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami economic

overfishing. Pengelolaan yang optimal dan efisien secara sosial ada pada rezim

MEY. Rezim MEY ini bisa diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan

kepemilikan yang jelas atau disebut “sole owner” (Fauzi 2010). Oleh karena itu

untuk memperoleh keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian

sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik

MEY (Anderson & Seijo 2010). Pada rezim open access bagi sumberdaya rajungan

di Teluk Banten memiliki nilai effort atau upaya yang jauh lebih besar dibandingkan

dengan nilai MEY maupun MSY yaitu sebesar 66.573 trip/tahun. Akan tetapi

dengan upaya yang jauh lebih besar menghasilkan rente ekonomi yang berkebalikan

yakni bernilai nol.

50

Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Gordon in Fauzi 2010 bahwa effort

yang dibutuhkan pada kondisi open access dengan rente ekonomi nol, jauh lebih

besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan maksimum yaitu pada kondisi

rezim MEY. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access

tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Hasil

tangkapan rajungan pada kondisi rezim open access jauh lebih rendah dibandingkan

dengan kondisi aktual maupun pada rezim MSY dan MEY yaitu sebesar 7.715,22

kg/tahun.

Menurut pernyataan Widodo dan Suadi (2008) bahwa pengelolaan perikanan

membutuhkan bukti-bukti ilmiah terbaik, proses diskusi melalui konsultasi dengan

berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), dan penetapan berbagai tujuan dan

strategi pengelolaan melalui pembuat keputusan, alokasi sumber daya dan

implementasi aturan mainnya. Berdasarkan hasil penelitian, pemanfaatan

sumberdaya rajungan di Teluk Banten melalui analisis bioekonomi menunjukkan

bahwa saat ini belum mengalami biologic overfishing maupun economic overfishing.

Hal tersebut didukung dengan penelitian terdahulu mengenai studi pertumbuhan

rajungan di perairan Teluk Banten oleh Diskibiony (2012). Hasil yang didapatkan

oleh penelitian tersebut menunjukkan bahwa laju eksploitasi rajungan di Teluk

Banten sebesar 0,4847 atau 48,47%. Nilai laju eksploitasi ini dibawah nilai

eksploitasi optimum sebesar 0,5 artinya tidak adanya indikasi tekanan penangkapan

yang tinggi terhadap stok rajungan di Teluk Banten.

Untuk menanggulangi terjadinya kondisi overfishing yang melewati daya

dukung lingkungan maka dibutuhkan monitoring berupa upaya pengelolaan atau

kebijakan melalui total allowable catch (TAC) atau dikenal dengan istilah jumlah

tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dapat diterapkan. JTB atau TAC yaitu 80%

dari tangkapan maksimum lestari berdasarkan hasil perhitungan pada model Clark

Yoshimoto Pooley dan rezim pengelolaan MSY. Maka JTB untuk perikanan

rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten adalah sebesar 30.429,13

kg/tahun. Nilai JTB ini apabila dibandingkan dengan nilai hasil tangkapan

maksimum berdasarkan rezim yang paling efisien yaitu rezim MEY senilai

37.927,21 kg lebih rendah dikarenakan untuk menghindari kesalahan perhitungan

pada rezim MEY. Melalui JTB ini maka akan cukup untuk mencegah estimasi yang

51

berlebihan (over estimate) dan diharapkan dapat menjamin kelestarian dan

ketersediaan sumberdaya rajungan sepanjang tahun. Selain itu, upaya pengelolaan

lain berupa pengaturan effort (alat tangkap) pada ukuran mata jaring berdasarkan

umur rajungan dan lebar karapas. Pengaturan effort ini diharapkan dapat mencapai

keuntungan maksimum berdasarkan rezim pengelolaan MEY. Menurut Kumar et al.

(2000) in Firman (2008) rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Perkiraan

umur rata-rata rajungan dari lebar karapas tertentu dapat bervariasi. Pada umur 12

bulan, lebar karapas rata-rata rajungan adalah 90 mm. Rajungan jantan dan betina

umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7 hingga 9 cm.

Rajungan pada ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. Berdasarkan kondisi

tersebut, rajungan yang boleh ditangkap oleh nelayan di Teluk Banten adalah

rajungan yang telah melewati masa matang gonad yaitu yang berukuran melebihi

90mm. Hal ini berarti bahwa para nelayan harus mengatur ukuran mata jaring agar

dapat menangkap rajungan yang berukuran menebihi 90mm. Menurut Rounsenfell

(1975) in Setriana (2011) rajungan yang mempunyai nilai ekonomis setelah

mempunyai lebar karapas antara 95-228 mm.