3.kolelitiasis_kolesistitis

6
1 PENGELOLAAN MUTAKHIR KOLELITIASIS DAN KOLESISTITIS Irsan Hasan Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RS Ciptomangunkusumo – Jakarta Abstrak Kolelitiasis masih merupakan masalah gastrointestinal yang sering dijumpai. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi terjadinya kolelitiasis. Batu empedu merupakan endapan dari salah satu atau beberapa komponen empedu, dimana batu empedu tersebut dapat digolongkan menjadi batu kolesterol, pigmen coklat, dan pigmen hitam. Terdapat 3 spektrum tahapan kolelitiasis, yakni asimtomatik, simtomatik, dan kolesistitis dengan komplikasi. Gejala klinis spesifik untuk mendiagnosis kolesistitis adalah kolik bilier. Metode pencitraan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kolelitiasis adalah USG, ERCP, CT-scan, MRI, maupun MRCP. Telah menjadi kesepakatan bahwa kolelitiasis asimtomatik tidak memerlukan terapi, meskipun untuk tujuan profilaksis. Pilihan utama terapi kolelitiasis simtomatik adalah kolesistektomi, tetapi penentuan waktu operasi masih menjadi perdebatan. Untuk terapi batu saluran empedu dapat berupa laparotomi, sfingterotomi endoskopik atau pemasangan stent bilier perendoskopik. Komplikasi yang dapat terjadi akibat kolelitiasis meliputi kolesistitis akut dan kronik, kolangitis, pankreatitis akut, serta koledokolitiasis. Pendahuluan Sampai saat ini kolelitiasis masih merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang sering ditemui. Di beberapa negara Barat dilaporkan bahwa keluhan yang berkaitan dengan penyakit batu empedu dan komplikasinya merupakan penyebab terbanyak perawatan untuk kelompok kelainan gastrointestinal. Meskipun sebagian besar pengidap batu tanpa gejala, manakala simtom muncul tidak jarang berlanjut dengan masalah dan penyulit yang penatalaksanaannya membutuhkan biaya tinggi. Epidemiologi Diperkirakan sedikitnya sekitar 10% populasi di negara Barat mengidap penyakit batu empedu. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lebih dari 20 juta penduduk memiliki batu empedu, dan tercatat sebanyak 700.000 tindakan operasi kolesistektomi dilakukan setiap tahun. Prevalensi ini tampaknya juga berkaitan dengan ras, karena didapatkan angka sangat fantastis pada suku Indian, yaitu sekitar 20%. Di Indonesia belum diketahui angka pasti pengidap batu empedu, tetapi sebuah studi populasi di sebuah area sub-urban ( Depok, Jawa Barat ) yang dilakukan tahun 2000 mendapatkan angka 3,6%. Patogenesis Cairan empedu dihasilkan oleh hati, terdiri dari air, bilirubin, asam empedu, fosfolipid, kolesterol, elektrolit dan sedikit protein. Pada hakekatnya batu empedu merupakan endapan dari salah satu atau beberapa komponen empedu. Komposisi dan sifat fitokimia empedu merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pembentukan batu empedu. Komponen yang dominan dalam pembentukan batu empedu adalah kalsium, bilirubin dan kolesterol.

Upload: hutomorezky

Post on 23-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ipd

TRANSCRIPT

Page 1: 3.Kolelitiasis_Kolesistitis

1

PENGELOLAAN MUTAKHIR KOLELITIASIS DAN KOLESISTITIS

Irsan Hasan

Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RS Ciptomangunkusumo – Jakarta

Abstrak

Kolelitiasis masih merupakan masalah gastrointestinal yang sering dijumpai. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi terjadinya kolelitiasis. Batu empedu merupakan endapan dari salah satu atau beberapa komponen empedu, dimana batu empedu tersebut dapat digolongkan menjadi batu kolesterol, pigmen coklat, dan pigmen hitam. Terdapat 3 spektrum tahapan kolelitiasis, yakni asimtomatik, simtomatik, dan kolesistitis dengan komplikasi. Gejala klinis spesifik untuk mendiagnosis kolesistitis adalah kolik bilier. Metode pencitraan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kolelitiasis adalah USG, ERCP, CT-scan, MRI, maupun MRCP. Telah menjadi kesepakatan bahwa kolelitiasis asimtomatik tidak memerlukan terapi, meskipun untuk tujuan profilaksis. Pilihan utama terapi kolelitiasis simtomatik adalah kolesistektomi, tetapi penentuan waktu operasi masih menjadi perdebatan. Untuk terapi batu saluran empedu dapat berupa laparotomi, sfingterotomi endoskopik atau pemasangan stent bilier perendoskopik. Komplikasi yang dapat terjadi akibat kolelitiasis meliputi kolesistitis akut dan kronik, kolangitis, pankreatitis akut, serta koledokolitiasis. Pendahuluan Sampai saat ini kolelitiasis masih merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang sering ditemui. Di beberapa negara Barat dilaporkan bahwa keluhan yang berkaitan dengan penyakit batu empedu dan komplikasinya merupakan penyebab terbanyak perawatan untuk kelompok kelainan gastrointestinal. Meskipun sebagian besar pengidap batu tanpa gejala, manakala simtom muncul tidak jarang berlanjut dengan masalah dan penyulit yang penatalaksanaannya membutuhkan biaya tinggi. Epidemiologi Diperkirakan sedikitnya sekitar 10% populasi di negara Barat mengidap penyakit batu empedu. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lebih dari 20 juta penduduk memiliki batu empedu, dan tercatat sebanyak 700.000 tindakan operasi kolesistektomi dilakukan setiap tahun. Prevalensi ini tampaknya juga berkaitan dengan ras, karena didapatkan angka sangat fantastis pada suku Indian, yaitu sekitar 20%. Di Indonesia belum diketahui angka pasti pengidap batu empedu, tetapi sebuah studi populasi di sebuah area sub-urban ( Depok, Jawa Barat ) yang dilakukan tahun 2000 mendapatkan angka 3,6%. Patogenesis Cairan empedu dihasilkan oleh hati, terdiri dari air, bilirubin, asam empedu, fosfolipid, kolesterol, elektrolit dan sedikit protein. Pada hakekatnya batu empedu merupakan endapan dari salah satu atau beberapa komponen empedu. Komposisi dan sifat fitokimia empedu merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pembentukan batu empedu. Komponen yang dominan dalam pembentukan batu empedu adalah kalsium, bilirubin dan kolesterol.

Page 2: 3.Kolelitiasis_Kolesistitis

2

Berdasarkan gambaran makroskopik dan komposisi kimianya batu empedu dapat digolongkan dalam tiga kategori besar, yaitu batu kolesterol, batu pigmen coklat dan batu pigmen hitam. Di masyarakat Barat komposisi utama batu empedu adalah kolesterol, sedangkan data di negara kita berdasarkan penelitian di Jakarta terhadap 51 pasien mendapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol hanya 27%. Batu kolesterol umumnya berbentuk oval, multi fokal dan mengandung kolesterol melebihi 70%. Batu kolesterol terbentuk dari lapisan kristal kolesterol berseling dengan mucin glycoproteins. Kristal kolesterol murni bersifat sangat lunak, oleh karenanya protein sangat penting untuk membuat batu kolesterol menjadi lebih keras. Pembentukan batu kolesterol merupakan hasil interaksi antara derajat supersaturasi kolesterol, kandungan lipid dalam empedu dan keseimbangan antara aktifitas zat yang merangsang dan zat yang menghambat pembentukan inti kolesterol. Maka untuk terjadinya kristalisasi kolesterol monohidrat ada tiga defek primer yang terjadi bersamaan, yaitu hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu, percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol dan gangguan motilitas kandung empedu. Tabel 1. Faktor risiko pembentukan batu kolesterol Pemakaian kontrasepsi oral Terapi hormon estrogen atau progesteron Obesitas Hipertrigliseridemia Usia lanjut Diet rendah serat Nutrisi parenteral

Batu pigmen hitam memiliki kandungan utama garam kalsium dari bilirubin tak terkonyugasi ditambah sedikit kalsium fosfat. Kondisi dimana degradasi heme meningkat merupakan predisposisi terbentuknya batu pigmen hitam. Terbukti ditemukan prevalensi yang tinggi pada anemia hemolitik kronik seperti anemia sel sabit dan thalasemia. Batu pigmen hitam juga banyak ditemukan pada pasien sirosis hati. Selain karena terjadi peningkatan hemolisis akibat hipertensi portal dan splenomegali, juga terdapat peran penurunan kemampuan melarutkan bilirubin tak terkonyugasi akibat sekresi garam empedu yang berkurang. Faktor penting terbentuknya batu pigmen coklat adalah β-glukoronidase produksi dari bakteri, stasis empedu dan penurunan kadar glucaro-1,4 lacton. Infeksi pada saluran empedu, sebagian besar oleh E.coli, akan menghasilkan β-glukoronidase yang dapat memecah konyugasi garam empedu sehingga empedu bersifat lebih asam dan kurang mampu mempertahankan kolesterol dalam bentuk larut. Selain itu infeksi menyebabkan deskuamasi epitel kandung empedu, dimana epitel yang terlepas menjadi inti terbentuknya batu empedu jenis pigmen coklat. Selain karena infeksi bakteri, batu jenis ini dapat pula disebabkan oleh parasit seperti Ascaris lumbricoides atau Clonorchis sinensis. Perjalanan penyakit Spektrum klinis kolelitiasis dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu asimtomatik, simtomatik dan penyakit dengan komplikasi. Sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala baik waktu diagnosis ditegakkan maupun selama pemantauan sepanjang hidupnya. Lamanya proses pembentukan batu sendiri sangat bervariasi. Umumnya proses tersebut berlangsung lambat, tetapi dalam beberapa kondisi bisa lebih cepat, seperti pasien yang mendapat nutrisi parenteral

Page 3: 3.Kolelitiasis_Kolesistitis

3

total atau penurunan berat badan yang drastis pada obesitas, dimana batu dapat terbentuk dalam hitungan minggu. Sebuah penelitian terhadap orang Indian Pima yang dikenal memiliki prevalensi batu empedu tinggi melaporkan progresi dari supersaturasi kolesterol sampai terbentuknya batu empedu memerlukan waktu 5 sampai 10 tahun. Studi oleh Wenckert dan kawan-kawan yang mengamati 1307 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun menyimpulkan bahwa 50% pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier dan 20% mengalami komplikasi. Penelitian lain dikerjakan oleh Gracie terhadap kohort 123 pasien batu empedu asimtomatik. Ternyata onset kolik bilier baru terjadi sebanyak 2% per tahun dalam 5 tahun pertama, 15% selama 10 tahun dan 18% selama 15 tahun. Tiga pasien ( 2% ) mengalami komplikasi yang sebelumnya diawali kolik bilier. Sejauh mana kaitan batu empedu dengan keganasan sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Suatu survei populasi selama 20 tahun mendapatkan kematian akibat penyakit keganasan memang 6,6 kali lebih tinggi pada pengidap batu dibanding mereka yang tidak punya batu empedu. Dari 20 kanker fatal yang dialami pasien-pasien tersebut, 11 adalah kanker sistem gastrointestinal dimana 6 diantaranya kanker kandung empedu atau salurannya. Sebaliknya studi lain yang mengaitkan kanker kolon dengan batu empedu dipertanyakan kesahihannya. Diduga kebetulan saja batu empedu ditemukan karena investigasi pencitraan abdominal dilakukan secara lengkap.

Gambar 1. Perjalanan penyakit batu empedu Manifestasi klinis Gejala klinis batu empedu yang dianggap spesifik adalah serangan kolik bilier. Kolik bilier yang tipikal berupa episode nyeri terutama di epigastrium atau hipokondrium kanan yang sering menjalar ke punggung, bahu sekitar skapula. Terjadinya kolik bilier dikaitkan dengan impaksi batu di duktus sistikus atau leher kandung empedu. Tipe nyeri sendiri lebih banyak menetap sehingga sebetulnya istilah kolik bilier sebetulnya kurang tepat. Nyeri bisa berlangsung 30 menit sampai 6 jam, muncul dan menghilang secara perlahan serta dapat disertai mual

Batu empedu asimtomatik 80%

Kolik bilier 2% /tahun

Kolik bilier berulang 20-40%/th

Komplikasi 1-2 % / tahun

Komplikasi berulang 30% / 3 bln

Kanker kandung empedu < 0,02% / th

Page 4: 3.Kolelitiasis_Kolesistitis

4

maupun muntah. Kaitan nyeri dengan diet makanan berlemak ternyata tidak banyak ditemukan. Walaupun begitu serangan kolik bilier memang banyak muncul 15 menit sampai 2 jam setelah makan. Nyeri yang timbul pada malam hari tak jarang membangunkan pasien dari tidurnya dan membuatnya segera mencari pengobatan. Dan sekali serangan kolik bilier terjadi, maka pasien berada dalam risiko tinggi untuk mengalami serangan berulang. Diagnosis Ultrasonografi ( US ) abdomen merupakan metode pencitraan non invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan terlihatnya bayangan akustik ( acoustic shadowing ) dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Sayangnya manfaat US untuk mendiagnosis batu saluran empedu relatif rendah. Pada penelitian Lesmana yang mencakup 119 penderita dengan batu saluran empedu sensitivitas US didapatkan 40%, sedangkan spesifisitasnya 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi batu di saluran empedu disebabkan beberapa hal, antara lain bagian distal saluran empedu dimana umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon. Endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP) adalah modalitas pemeriksaan lain yang sangat bermanfaat untuk mendeteksi batu saluran empedu. Dilaporkan sensitivitasnya 90%, spesifisitas 98% dengan akurasi 96%. Kelemahannya prosedur ini bersifat invasif dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis. Foto polos maupun computed tomography (CT) abdomen bukan merupakan pemeriksaan yang menjadi pilihan untuk medeteksi batu empedu. Salah satu penyebabnya adalah karena kebanyakan batu bersifat radiolusen. Magnetic resonance imaging (MRI) dalam bentuk konvensional juga tidak banyak bermanfaat dalam proses diagnostik. Tetapi magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) akhir-akhir ini berkembang pesat dan semakin banyak digunakan sebagai metode alternatif kolangiografi. MRCP adalah teknik pencitraan non invasif dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen atau radiasi ion. Dengan teknologi baru yang makin canggih proses pemeriksaan dapat dilakukan hanya dalam beberapa menit. Pada MRCP saluran akan terlihat sebagai struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah. Resolusi yang didapatkan terbukti sebanding dengan kolangiografi direk. Studi terbaru MRCP menunjukkan nilai sensitivitas antara 91-100% dengan spesifisitas hampir 100% pada pasien dengan batu saluran empedu. Nilai diagnostik yang tinggi membuat teknik ini makin sering dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu di saluran empedu. Penatalaksanaan Telah menjadi kesepakatan bahwa batu empedu asimtomatik tidak memerlukan terapi, meskipun terapi itu bertujuan profilaksis. Alasannya sebagian besar pasien dengan batu asimtomatik tidak akan mengalami keluhan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan dapat dilakukan secara elektif. Adanya episode berulang dari nyeri abdomen atas yang berkaitan dengan batu empedu merupakan indikasi untuk mendapatkan pengobatan. Pilihan utama pengobatan adalah kolesistektomi, baik berupa operasi terbuka maupun per laparoskopik. Beberapa tahun terakhir ini terlihat bahwa teknik kolesistektomi laparoskopik semakin banyak dipilih, sehingga operasi kolesistektomi terbukapun makin sedikit dilakukan. Kolesistektomi terbuka akhirnya akan menjadi pilihan jika kolesistektomi laparoskopik gagal atau tidak memungkinkan untuk

Page 5: 3.Kolelitiasis_Kolesistitis

5

dikerjakan. Kolesistektomi laparoskopik tergolong dalam teknik pembedahan invasif minimal untuk organ dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, endokamera dan layar monitor tanpa menyentuh langsung kandung empedu. Keunggulan teknik ini adalah rasa nyeri minimal, masa pulih lebih cepat, masa rawat yang lebih pendek dan luka parut yang sangat minimal. Penentuan waktu operasi pada kasus komplikasi kolesistitis masih saja jadi bahan perdebatan. Dianggap operasi pada fase akut akan meningkatkan mortalitas sehingga harus ditunda 6 sampai 8 minggu sesudah infeksi reda. Tetapi beberapa studi prospektif membuktikan bahwa kolesistektomi dini justru berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah, apalagi saat ini tersedia tindakan laparoskopi yang lebih aman. Pilihan terapi untuk batu saluran empedu dapat berupa laparotomi, sfingterotomi endoskopik atau pemasangan stent bilier perendoskopik. ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik untuk mengeluarkan batu saluran empedu pertama kali dilakukan tahun 1974. Sejak itu teknik sfingterotomi endoskopik berkembang pesat dan menjadi standar baku terapi non operatif untuk batu saluran empedu. Komplikasi Komplikasi penyakit batu empedu meliputi kolesistitis akut dan kronik, kolangitis, pankreatitis akut serta migrasi batu yang kemudian terjepit di saluran empedu ( koledokolitiasis ). Kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan persisten di duktus sistikus yang mencetuskan proses inflamasi. Pada awalnya terjadi peradangan steril dan baru pada tahap selanjutnya terjadi superinfeksi bakteri. Komplikasi ini dialami oleh sekitar 15% pasien dengan batu simtomatik. Gejala klinisnya bisa mirip kolik bilier, tetapi biasanya dengan durasi lebih lama dan lebih berat, disertai demam, lekositosis, tak jarang juga ada mual maupun muntah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan perut kanan atas, sering teraba kandung empedu yang membesar disertai tanda-tanda peritonitis. Karakteristiknya adalah nyeri subkostal kanan manakala palpasi dilakukan ketika inspirasi dalam, ini disebut sebagai tanda Murphy. Koledokolitiasis (batu di saluran empedu) bisa asimtomatik, tetapi kemungkinan untuk munculnya gejala lebih tinggi secara bermakna dibanding batu di kandung empedu. Gejala yang paling sering timbul adalah obstruksi saluran empedu ekstra hepatik dengan atau serta kolangitis. Sumbatan yang berlangsung lama akan berlanjut dengan dilatasi saluran empedu ekstra dan intra hepatik. Bahkan bila lebih lama lagi akan menimbulkan komplikasi striktura saluran empedu dan sirosis bilier sekunder. Kesimpulan Penatalaksanaan penyakit batu empedu terus berkembang dan mengalami kemajuan, baik itu tindakan operatif maupun non operatif. Penelitian yang terus menerus dilakukan makin mempertegas keputusan memilih saat melakukan tindakan berikut pilihan terapinya. Referensi

1. Lee SP, Ko CW. Gallstones. Dalam : Yamada T, Alpers D, Owyang C. Gastroenterology, 4th ed. Philadelphia : Lippincott William and Wilkins 2003; 2177-2200.

2. Lesmana LA. Penyakit batu empedu. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI 2006; 481-484.

Page 6: 3.Kolelitiasis_Kolesistitis

6

3. Konikoff FM, Donovan JM. Gallstone disease : Pathogenesis and treatment. Dalam : Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC. Schiff’s Diseases of the Liver, ,9th ed. Philadelphia : Lippincott William and Wilkins 2003; 651-673.

4. Gurusamy KS, Samraj K. Early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis. The Cochrane Collaboration 2007, Issue 4.