3624-6848-1-sm

10

Click here to load reader

Upload: mugy

Post on 09-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

fengshui

TRANSCRIPT

Page 1: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

403

Abstrak- Klenteng adalah tempat ibadah bagi umat Tri

dharma dan sebagai apresiasi bentuk budaya leluhur masyarakat

Tionghoa memiliki keunikan dan seni arsitektur yang tinggi.

Objek penelitian dipilih klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan

klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta. Keduanya adalah

klenteng yang berdiri di pusat kebudayaan dan merupakan

tempat ibadah masyarakat Tionghoa yang berdiri dengan

dukungan dari pihak kraton. Penelitian dilakukan dengan tujuan

untuk mengungkap studi komparasi pada interior Klenteng Tien

Kok Sie Di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miao Di

Yogyakarta ditinjau dari aspek fengshui dan budaya Jawa.

Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif komparatif.

Data-data dikumpulkan dengan metode studi literatur, observasi

langsung, dan wawancara. Berdasarkan analisis data ditemukan

bahwa adanya akulturasi dari nilai-nilai feng shui dengan budaya

Jawa pada klenteng Tien Kok Sie dan klenteng Fuk Ling Miau

dari aspek lokasi ruang suci utama, jumlah pintu dan makna

bentuk pintu, ragam hias, dan bentuk pemasangan konstruksi

plafon. Namun akulturasi budaya Jawa dominan pada klenteng

Fuk Ling Miau dari kesamaan lokasi, arah hadap, dan

peninggian lantai. Ini membuktikan klenteng Fuk Ling Miau di

Yogyakarta lebih mengikuti nilai-nilai budaya Jawa.

Kata Kunci : Klenteng, Fengshui, Budaya Jawa, Komparasi

Abstrac— Temple is a place of worship for the people of Tri

dharma and as appreciation form the ancestral culture of Chinese

community has a unique and high architectural art. The object of

research selected Tien Sie Kok temple in Surakarta and Fuk Ling

Miau temple in Yogyakarta. Both are temple stands at the

cultural center and a place of worship of the Chinese community

are standing with the support of the palace. The study was

conducted with the aim to reveal comparative study of interior

Tien Sie Kok temple in Surakarta and Fuk Ling Miau temple in

Yogyakarta terms of aspects of feng shui and Javanese culture.

Research using the comparative method of qualitative research.

The data collected by literature study, direct observation, and

interviews. Analysis found that acculturation of values feng shui

with Javanese culture in Tien Sie Kok temple and Fuk Ling Miau

temple of the sacred space location, number and shapes meaning

of doors, decorative, construction and installation of ceiling

forms. However acculturation dominant in Fuk Ling Miau temple

of similarity location, direction toward, and the elevation of the

floor. This proves Fuk Ling Miau temple in Yogyakarta more

follow the values of javanese culture.

Keywords: Temple, Fengshui, Javanese Traditional, Comparison

I. PENDAHULUAN

tnis Cina mulai merantau dan berdagang di Surakarta dan

Yogyakarta sebelum kota tersebut dibentuk. Para

pedagang tersebut melakukan hubungan dagang dengan

melakukan kontak sosial ekonomi dengan penduduk setempat.

Barang dagangan yang dibawa adalah barang kelontong

kebutuhan sehari-hari yang diangkut dari Tiongkok dengan

mempergunakan kapal.

Cina pedagang yang merantau ke Surakarta membawa

berbagai kebudayaan nenek moyang. Salah satu bentuk

kebudayaan itu adalah kepercayaan tradisional yang berupa

agama. Etnis Cina membangun pula tempat ibadah yang

disebut kelenteng yang dipergunakan pula sebagai tempat

berkumpul.

Perjanjian Giyanti memutuskan Mataram terbelah menjadi

dua yaitu Kasunanan Surakarta Adinigrat dan Kasultanan

Ngayogyakarta Adiningrat. Separoh bagian dengan pusat kota

Surakarta berada di bawah pemerintahan Sunan Paku Buwana

III, sedangkan separoh bagian lainnya yakni Yogyakarta

berada dibawah pemerintahan pamannya, Sultan Hamengku

Buwana I. Pada waktu itu, kekuasaan politik kedua kerajaan

kembar tersebut telah berada di bawah kontrol pemerintahan

Belanda. Kedua pemerintahan kerajaan itu menjadi pusat

kebudayaan dengan mengetengahkan ciri khas masing-masing.

(Gustami 43).

Keraton Jawa sebagai pusat kekuasaan merupakan pusat

dimana perkembangan permukiman urban di Jawa bermula.

Dari sekian banyak keraton yang ada di Jawa, terdapat dua

buah kota dengan embrio keraton yang masih memiliki

elemen-elemen kota yang lengkap baik dari segi artefak

maupun aktivitasnya, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan

Kasultanan Yogyakarta. Kedua kota ini secara khusus

memiliki banyak kemiripan latar belakanh dan konsep

pembentukannya, sehingga secara umum akan terlihat sebagai

dua kota yang kembar (the royal twin cities). Dengan nilai

artefak yang cukup banyak serta kegiatan budaya Jawa yang

hidup pada kedua kota, menjanjikan kedua kota ini sangat

spesifik dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. (Wibawa

2002:23)

Di Surakarta, terdapat dua buah bangunan klenteng yang

telah berdiri ratusan tahun yang lalu dan memiliki banyak nilai

sejarah. Kelenteng Tien Kok Sie merupakah salah satu

kelenteng tertua di Kota Surakarta yang dibangun pada 1745.

Studi Komparasi Pada Interior Klenteng Tien Kok Sie

Di Surakarta Dan Klenteng Fuk Ling Miao Di Yogyakarta

Ditinjau Dari Aspek Fengshui Dan Budaya Jawa

Stephanie Clorinda Santosa; Martino Dwi Nugroho, S.Sn, M.A , Grace Mulyono, S.Sn, M.T

Program Studi Desain Interior, Universitas Kristen Petra

Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya

E-mail: [email protected]; [email protected], [email protected]

E

Page 2: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

404

Berdirinya kelenteng ini mengikuti berdirinya Keraton

Surakarta Hadiningrat, dan letaknya pun di dekat keraton.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki Klenteng tua

yang hingga saat ini masih hidup harmonis dengan kebudayaan

Jawa. Kelenteng Fuk Ling Miau merupakan hadiah dari Sultan

Hamengku Buwono II kepada permaisurinya yang berasal dari

negeri tiongkok. Usia bangunan Kelenteng Gondomanan sudah

mencapai 200-an tahun.

Berdasarkan latar belakang, dipilih dua buah klenteng

tersebut karena memiliki banyak nilai sejarah yang

melambangkan keharmonisan antara etnis Jawa dan Tionghoa

dan dapat menjawab beberapa pertanyaan yaitu bagaimana

aplikasi nilai-nilai Feng Shui pada Klenteng Tien Kok Sie di

Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta dan

bagaimana perbandingan aplikasi Jawa dan Cina dari Klenteng

Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miau di

Yogyakarta.

Rumusan masalah yang dihadapi dalam penelitian ini adalah

bagaimana aplikasi nilai-nilai Fengshui pada Klenteng Tien

Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miao di

Yogyakarta serta perbandingan aplikasi Jawa dan Cina dari

Klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling

Miao di Yogyakarta

Studi komparasi pada interior klenteng Tien Kok Sie di

Surakarta dan klenteng Fuk Ling Miao di Yogyakarta ditinjau

dari aspek fengshui dan budaya Jawa, dibatasi pada aspek;

organisasi dan fungsi ruangan, nilai-nilai simbolis yang

dimiliki klenteng, elemen interior ruang (pintu, jendela,

plafon), dan posisi arah hadap klenteng.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan komparatif. Metode penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang

apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,

persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik dan dengan

cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan

berbagai metode ilmiah. (Moleong 6). Penyusunan teori

dimulai dengan teori substantif melalui usaha menemukan

kategori dengan kawasannya, mencari hubungan-hubungan

yang logis sehingga dapat dirumuskan ke dalam hipotesis kerja

dengan memanfaatkan metode analisis komparatif. (Moleong

89).

Pengumpulan data sebagai penunjang penelitian dilakukan

dengan 4 cara, yaitu:

a. Studi Literatur

Dilihat dari segi sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku

dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan

dokumen resmi. Buku disertai dan karya ilmiah lainnya, dan

majalah ilmiah sangat berharga bagi peneliti guna menjajaki

keadaan perseorangan atau masyarakat di tempat penelitian

dilakukan. (Moleong 159)

b. Observasi Langsung

Observasi lapangan secara langsung pada kedua objek yaitu

Klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling

Miau di Yogyakarta. Dalam hal ini dilakukan pengukuran dan

pemotretan untuk mengetahui suasana ruang pada objek

tersebut. pengambilan data dan bentuk perolehan pemahaman

yang dianggap paling tepat. Hasil kegiatan observasi bisa

berupa catatan, rekaman, atau vignette atas suatu peristiwa.

(Maryaeni 68). c. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

(Moleong 186).

Wawancara ini akan dilakukan dengan orang-orang yang

memiliki keterkaitan secara langsung pada Klenteng Tien Kok

Sie dan Klenteng Fuk Ling Miau agar dapat memberikan data

yang berguna bagi penyusunan penelitian.

Narasumber:

1. Pengurus Klenteng Fuk Ling Miau: Ibu Bing Mei

2. Sekretaris Klenteng Tien Kok Sie : Bapak Lian Hong

Siang

Metode analisis data yang digunakan dengan metodologi

kualitatif ini adalah metode analisis induktif. Pendekatan

induktif dimaksudkan untuk membantu pemahaman tentang

pemaknaan dalam data yang rumit melalui pengembangan

tema-tema yang diikhtisarkan dari data kasar. (Moleong 298).

III. ANALISA DATA

Analisa klenteng berdasarkan fengshui

a. Lokasi

Klenteng Tien Kok Sie berada di simpang empat jalan atau

disebut “tusuk sate” yang arah hadapnya frontal terhadap jalan

raya. Dalam kepercayaan masyarakat Cina letak ”tusuk sate”

merupakan letak yang kurang baik untuk dihuni, sehingga

perlu sarana untuk membersihkan energi (chi) buruk tersebut

dengan cara mendirikan klenteng. Klenteng Fuk Ling Miao

terletak di ujung jalan didekat perempatan jalan Brigjend

Katamso Yogyakarta. Penempatan klenteng tusuk sate dan di

ujung jalan bertujuan untuk membersihkan energi negatif dari

rumah-rumah yang ada di sekitarnya.

Gambar 3.1 Peta klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk

Ling Miao di Yogyakarta

b. Arah Hadap

Klenteng Tien Kok Sie memiliki arah hadap ke arah Utara.

Wilayah Utara dianggap sebagai wilayah yang kurang

menguntungkan karena darerah gurun yang gelap dan

menghembuskan angin dingin (feng). Klenteng Fuk Ling

Miao memiliki arah hadap ke arah barat. Menurut fengshui

arah yang baik adalah arah yang menghadap ke laut, yang di

negeri Cina terletak di Selatan. Di kota Surakarta, letak laut

juga menghadap ke arah Selatan yaitu adalah pantai Baron.

Page 3: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

405

Oleh karena itu letak Klenteng tidak mengikuti nilai

fengshui.

c. Bentuk Lahan

Lahan tempat kedua klenteng berdiri berbentuk trapesium,

bagian belakang klenteng melebar ke samping kanan. Bentuk

lahan ini menurut fengshui baik karena melebar pada bagian

belakang (ngantong) dipercaya melambangkan kemakmuran

jangka panjang.

d. Ruang Suci Utama

Altar dewa utama ditempatkan pada bagian tengah ruangan

di ruang suci utama. Altar pemujaan untuk Dewa/ Dewi yang

lain ditempatkan pada sisi kiri. Posisi tengah dalam fengshui

(posisi ular/tanah) adalah unsur yang mengandung yang-yin

yang seimbang (netral). Maka penempatan altar dewa utama

sudah sesuai dengan nilai fengshui.

Gambar 3.2 Denah klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao

e. Warna

Warna merah sangat mendominasi di dalam maupun di luar

klenteng Tien Kok Sie dan klenteng Fuk Ling Miao, karena

warna ini melambangkan yang-besar (kekuatan, kejayaan,

kemenangan, kemakmuran, kebahagiaan). Kemudian warna

tambahan pada klenteng Tien Kok Sie adalah hijau dan

kuning. Sedangkan warna tambahan klenteng Fuk Ling Miao

adalah hitam dan putih.

f. Pilar

Pada kedua ruang suci utama klenteng terdapat pilar-pilar

yang menopang berjumlah 8 buah. 8 buah pilar utama ini

memiliki arti sebagai simbol kebangsawanan. Berjumlah 8

karena angka 8 dipercaya orang tionghoa sebagai angka

keberuntungan. Penggunaan pilar tersebut pada bangunan

klenteng ini adalah sebagai penopang kehidupan dengan

kekuasaan yang mulia. (Marcella 135). Bentuk formasi

penyusunan pilar yang terbagi menjadi 4 dikanan dan 4 dikiri

untuk menyangga bangunan utama agar kuat.

Gambar 3.3 Pilar utama klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao

Sumber: dokumentasi pribadi

g. Peninggian Lantai

Menurut nilai fengshui, bangunan di tanah yang tinggi

memperesentasikan gunung atau ch’i naga dan melambangkan

kesehatan yang baik. Makna dari area yang paling tinggi

adalah sebagai tempat yang paling sakral. (Marcella 135).

Nilai fengshui ini sudah diterapkan pada Klenteng Fuk Ling

Miao karena pada klenteng terdapat peninggian yang sudah

dimulai dari teras depan klenteng melambangkan bahwa saat

semua bagian bangunannya adalah area yang sudah sakral,

namun area yang paling sakral adalah ruang suci utama. Pada

klenteng Tien Kok Sie peninggian lantai hanya terletak pada

bagian tengah ruang Thia saja untuk melambangkan bahwa

ruangan yang paling sakral.

Gambar 3.4. Peninggian lantai pada klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng

Fuk Ling Miao

h. Pintu

Pintu kedua klenteng terdiri dari 3 buah pintu. Pintu tengah

untuk masuk Dewa, pintu kanan untuk masuk dan pintu kiri

untuk keluar umat. Pintu terdiri dari satu panil yang berdaun

ganda agar chi bisa masuk dan bersirkulasi secara leluasa.

Pintu ini melambangkan keseimbangan. Kusen pintu bagian

bawah dibuat menonjol dan menyebabkan orang mengangkat

kakinya agak tinggi ketika masuk ke dalam klenteng. Hal ini

sesuai dengan nilai fengshui.

Gambar 3.5. Pintu keluar pada klenteng Tien Kok Sie

Gambar 3.6. Pintu pada Klenteng Fuk Ling Miao

i. Ragam Hias

Ragam hias yang dimiliki klenteng Tien Kok Sie adalah

naga, kilin, bambu, teratai, burung Phoenix, burung Bangau,

kuda, rusa, kelelawar, kepiting, kupu-kupu, dan macan.

Sedangkan pada klenteng Fuk Ling Miao yaitu naga, kilin,

Ruang

Suci

Utama

Ruang

Suci

Utama

Altar

utama

Altar

utama

Pilar

merah

Pilar

kuning

Pilar

merah

Pilar

hitam

Anak

tangga

Pintu masuk

dan keluar

klenteng

berdaun

ganda

pintu berdaun

ganda

Page 4: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

406

ikan, teratai, burung Phoenix, burung Bangau, kuda, kepiting.

Makna dari ragam hias di klenteng yaitu:

Naga pada pilar: naga yang memutari pilar penyangga

bangunan mengandung makna menjauhkan bangunan dari

bahaya kebakaran. Naga sebagai simbol kekuatan mampu

menjaga dan melindungi maka ditempatkan pada pilar

sebagai salah satu penopang. (Mulyono, Thamrin)

Kilin : lambang kebajikan yang sempurna, umur panjang,

kebesaran, kepatuhan, rasa hormat pada yang tua, keturunan

cemerlang dan pemerintahan bijak mendatangkan

kebahagiaan, keberuntungan dan berkat. Ki-lin juga lambang

spiritualitas, hidup kesendirian dan kebiaraan.

Bambu : melambangkan Dewi Kwan Se Im Po Sat.

Lukisan teratai pada meja altar melambangkan kesucian dan

kemurnian dari Mak Co untuk para umatnya yang

bersembahyang kepada-Nya.

Burung Phoenix : Dipercaya dapat membawa nasib baik dan

keberuntungan. (Mulyono, Thamrin)

Burung Bangau : Melambangkan kesejahteraan dan panjang

umur. Simbol dari ajaran Taoisme

Kelelawar : Melambangkan keberuntungan, kebahagiaan,

nasib baik dan panjang umur di aplikasikan di sebelah pintu

masuk agar umat mendapatkan kebahagiaan, nasib baik dan

keberuntungan.

Ukiran Rusa: Tanduk rusa memiliki kemampuan untuk

menyembuhkan berbagai penyakit. Oleh karena itu

melambangkan keabadian dan kesucian dari dunia tercemar.

(Mulyono, Thamrin).

Kuda : Melambangkan kekuatan dan keberanian dan

perjalanan dari suatu hidup lama ke suatu hidup yang baru

Kepiting : lambang dewi pelindung laut. (Ronnie Gunawan)

dan sebagai simbol kecerdikan dan kelihaian.

Kupu-kupu : Lambang dari kasih yang tak sampai

Macan dipercaya sebagai pelindung untuk menahan angin

dan pengaruh jahat.

Ikan : Ikan Mas terutama yang berwarna merah sering

dianggap sebagai lambang Rejeki

j. Atap

Bubungan pada atap melengkung ke atas mempunyai makna

untuk menghindarkan hal-hal buruk, atap menjadi pelindung

hal-hal dibawahnya. Sistem konstruksi penggabungan plafon

kedua klenteng menggunakan balok vertikal dan horizontal,

mempunyai makna perlambangan kedekatan hubungan

manusia dengan Tuhan dan sesama. (Liu, p.30)

Gambar 3.7. Bentuk atap klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 3.8. Konstruksi plafon klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling

Miao

Sumber: dokumentasi pribadi

Analisa Perbandingan Klenteng Dengan Arsitektur Budaya

Jawa

1. Klenteng Tien Kok Sie di Surakarta

a. Lokasi

Lokasi bangunan mempengaruhi baik atau buruk terdapat

pada nilai fengshui di Klenteng namun lokasi tusuk sate pada

klenteng tidak ada pada arsitektur budaya Jawa

Arsitektur budaya Jawa tidak melihat dari lokasi bangunan,

namun melihat kepada tanah yang dipercaya baik untuk

penghuninya.

Arsitektur budaya Jawa memiliki syarat-syarat tanah yang

baik dan yang buruk untuk mendirikan bangunan.

Syarat-syarat tanah yang baik untuk bangunan tidak sesuai

antara arsitektur budaya Jawa dan fengshui klenteng

Gambar 3.9. Contoh syarat tanah menurut arsitektur budaya Jawa.

Sumber : Heinz Frick, hal 97

b. Arah Hadap

Arah hadap Utara kurang baik namun mengandung arti yang

dapat menetralkan energi negatif bagi klenteng Tien Kok Sie

dan tidak sesuai dengan arah hadap yang baik bagi arsitektur

budaya Jawa untuk bangunan ibadah yang baik adalah ke arah

barat

Orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah barat-timur

untuk rakyat biasa adalah tidak mungkin karena arah timur

digunakan sebagai unsur bagian dari keraton. Arah timur juga

merupakan tempat tinggal Dewa Yamadipati, yang dalam

cerita pewayangan mempunyai tugas mencabut nyawa orang di

tangan Yamadipati. (Frick, Heinz 84).

c. Bentuk Lahan

Bentuk lahan suatu bangunan hanya dipercaya pada nilai-

nilai fengshui dan diterapkan pada klenteng. Bangunan

arsitektur Jawa tidak terpacu pada nilai-nilai tertentu yang

harus diyakini.

Dalam membangun atau mendirikan rumah, masyarakat

Jawa selalu mempertimbangkan tiga masalah, yaitu masalah

tempat dimana bangunan itu akan di dirikan, bahan atau

material yang digunakan dan waktu mendirikannya (Dakung,

1982: 76)

d. Ruang Suci Utama

Dalem agung dan ruang Thia adalah ruang utama dalam

bangunan. Letak dalem agung dan ruang Thia sama-sama

ditengah. Letak Dewi Kwan SeIm Po Sat dan Dewi Sri sama

yaitu di tengah ruang utama bagian belakang.

Penghayatan adanya suatu “pusat dunia”, atau poros

sentrum merupakan penghayatan manusia berjiwa religius

Atap

melengkung

Konstruksi

plafon

Page 5: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

407

yang sangat dalam, lagi sangat wajar. Manusia tidak dapat

hidup dalam angkasa kosong atau ruang homogen, seolah-olah

segala titik dan arah itu sama saja.

Namun bila ada timur dan barat, ada juga Utara dan

Selatan, demikianlah spontan dirasakan setiap manusia. Tetapi

langsung juga terasa, bahwa keempat arah kiblat itu

menimbulkan suatu titik atau imajinasi tugu poros, pusat yang

terjadi oleh persilangan garis-garis timur-barat dan Utara-

Selatan. Dan titik atau tugu tengah itu “Pusering Jagat” poros

pusat cakrawala. (Mangunwijaya 90)

Gambar 3.10. Moncapat yang bersemangat

Sumber : Heinz Frick, hal 91

e. Warna

Di dalam arsitektur budaya Jawa terdapat warna-warna yang

digunakan pula untuk membuat sebuah bangunan. Makna

warna merah, hijau, dan kuning antara fengshui klenteng dan

budaya Jawa tidak saling berhubungan. Masing-masing

memiliki makna yang berbeda bagi.

Makna Warna dalam arsitektur Jawa:

Merah: penolak rasa amarah

Hijau : penolak rasa angkara murka

Kuning: penolak rasa mengantuk

(Frick, Heinz 184-185)

f. Pilar

Penempatan pilar utama berada di ruang utama bangunan.

Pilar utama untuk klenteng berjumlah 8, sedangkan arsitektur

budaya Jawa berjumlah 4 buah.

Saka guru merupakan tiang-tiang yang menyediakan dirinya

untuk menjadi tempat bagi balandar-pengeret/ pemidhangan.

Sebutan saka-guru menunjukan bahwa dia adalah gelagar saka

(=tiang struktural) yang letaknya di sektor guru, serta menjadi

penopang dari balandar-pengeret/ pemidhangan. (Prijotomo,

Josef 217)

Pilar-pilar memiliki fungsi yang sama namun makna yang

berbeda. Makna 4 saka guru adalah memberikan perlindungan

bagi penghuninya, rasa aman dan nyaman (Sudarwanto)

g. Peninggian Lantai

Peninggian lantai pada kedua bangunan memiliki makna

yang sama yaitu lantai yang lebih tinggi adalah ruang yang

lebih sakral.

Pusat sakral dalam konsepsi keruangan di zaman Jawa

pertengahan (abad ke 8-12), tetapi bahkan merupakan

keruangan di zaman Jawa pertengahan ditentukan dengan

membangun „piramida bertingkat‟. (Santoso, Jo 113).

Gambar 3.11. Keraton Surakarta Hadiningrat

Sumber :https://farm3.staticflickr.com/2525/4063815450_395e307176_m.jpg

h. Pintu

Fengshui dan arsitektur Jawa sama-sama menggunakan daun

pintu berdaun ganda dan memiliki pintu berjumlah 3 dengan

makna yang berbeda.

Pintu arsitektur Jawa pintu dibuat rendah sehingga orang

harus menunduk ketika melewati pintu, sedangkan pintu

klenteng memiliki kusen bawah sehingga orang harus

mengangkat kaki ketika masuk. Kedua hal ini membuat orang

yang memasuki ruang terhenti karena memasuki ruang yang

lebih sakral.

Pada arsitektur Jawa dalam bentuk yang besar dan luas

tetapi pintu selalu dalam bentuk yang relatif rendah, sehingga

menuntut manusia yang melewati dalam posisi menunduk.

Sikap tubuh menunduk dalam keadaan tertentu menunjukan

sikap hormat bagi manusia Jawa (Sunarmi 83).

i. Ragam hias

Memiliki beragam jenis ragam hias. Ada yang memiliki

makna dan bentuk yang sama seperti teratai dan naga. Ada

ragam hias dengan makna yang sama namun bentuk berbeda

seperti kilin dengan garuda, bangau dengan kluwih, naga

dengan kemamang, macan dengan anak panak dan makara,

kuda dengan jado. Masih banyak lagi ragam hias yang tidak

memiliki makna yang sama maupun bentuk yang sama.

Gambar 4.53. Macam-macam ragam hias

( 1.Naga 2.Kemamang 3.Pesik Garuda 4.Anak Panah 5.Jago 6.Padma)

Sumber : Ragam Hias, Herry Setiawan

j. Atap

Bentuk atap pada klenteng Tien Kok Sie tidak sama dengan

arsitektur budaya Jawa, makna nya juga berbeda. Konstruksi

plafon dan maknanya pada Klenteng dan arsitektur budaya

Jawa sama.

Atap mengambil stilasi bentuk sebuah gunung. gunung

merupakan sesuatu yang tinggi dan disakralkan. gunung atau

tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan

tempat tinggal para Dewa. Semakin banyak lapisan pada

bentuk atapnya, semakin lengkap dan sempurna bentuk rumah

Joglo. (Sunarmi 92)

Gambar 3.12. Bentuk atap dan konstruksi plafon arsitektur Jawa

Sumber : http://arsitekarchira.com/wp-content/uploads/2012/12/JOglo-

Kepuhan-Limolasan1.jpg

Peninggian

lantai

Page 6: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

408

2. Klenteng Fuk Ling Miao di Yogyakarta

a. Lokasi

Lokasi buruk dipojok perempatan jalan pada kepercayaan

fengshui memiliki makna yang baik bagi arsitektur budaya

Jawa.

Bila kita membagi sebuah tempat menjadi empat (mrapat),

maka pada titik tengahnya akan dapatkan sebuah perempatan.

Dengan sendirinya perempatan ini sehari-harinya menjadi

semacam orientasi arah (patokan) dalam bergerak bagi mereka

yang bermukim di situ. Kemungkinan besar diperempatan

inilah dahulu dilakukan rapat-rapat penting (rapat). (Santosa,

Jo 51)

Arsitektur budaya Jawa memiliki syarat-syarat tanah yang

baik dan yang buruk untuk mendirikan bangunan.

Syarat-syarat tanah yang baik untuk bangunan tidak sesuai

antara arsitektur budaya Jawa dan fengshui klenteng

Gambar 3.13. Contoh syarat tanah menurut arsitektur budaya Jawa.

Sumber : Heinz Frick, hal 97

b. Arah Hadap

Arah hadap barat tidak sesuai dengan nilai fengshui. Namun

sesuai dengan nilai-nilai arsitektur budaya Jawa dimana rumah

ibadah menghadap ke arah barat.

Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya

Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah

barat kompleks Alun-alun Utara. Kompleks yang juga disebut

dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding

yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur.

Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup

dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat

pintu utama di sisi timur dan Utara. Di sisi dalam bagian barat

terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari

kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah

bangunan mirip sangkar yang disebut maksura.

(wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat)

c. Bentuk Lahan

Bentuk lahan suatu bangunan hanya dipercaya pada nilai-

nilai fengshui dan diterapkan pada klenteng. Bangunan

arsitektur Jawa tidak terpacu pada nilai-nilai tertentu yang

harus diyakini.

Dalam membangun atau mendirikan rumah, masyarakat

Jawa selalu mempertimbangkan tiga masalah, yaitu masalah

tempat dimana bangunan itu akan di dirikan, bahan atau

material yang digunakan dan waktu mendirikannya (Dakung,

1982: 76)

d. Ruang Suci Utama

Dalem agung dan ruang Thia adalah ruang utama dalam

bangunan. Letak dalem agung dan ruang Thia sama-sama

ditengah. Letak Dewa Amurwa Bhumi dan Dewi Sri sama

yaitu di tengah ruang utama bagian belakang.

Penghayatan adanya suatu “pusat dunia”, atau poros

sentrum merupakan penghayatan manusia berjiwa religius

yang sangat dalam, lagi sangat wajar. Manusia tidak dapat

hidup dalam angkasa kosong atau ruang homogen, seolah-olah

segala titik dan arah itu sama saja.

Namun bila ada timur dan barat, ada juga Utara dan Selatan,

demikianlah spontan dirasakan setiap manusia. Tetapi

langsung juga terasa, bahwa keempat arah kiblat itu

menimbulkan suatu titik atau imajinasi tugu poros, pusat yang

terjadi oleh persilangan garis-garis timur-barat dan Utara-

Selatan. Dan titik atau tugu tengah itu “Pusering Jagat” poros

pusat cakrawala. (Mangunwijaya 90)

Gambar 3.14. Moncapat yang bersemangat

Sumber : Heinz Frick, hal 91

e. Warna

Di dalam arsitektur budaya Jawa terdapat warna-warna yang

digunakan pula untuk membuat sebuah bangunan. Makna

warna merah, putih, dan hitam antara fengshui klenteng dan

budaya Jawa tidak saling berhubungan. Masing-masing

memiliki makna yang berbeda bagi.

Makna Warna dalam arsitektur Jawa:

Merah: penolak rasa amarah

Putih : penolak rasa birahi

Hitam : penolak rasa lapar

(Frick, Heinz 184-185)

f. Pilar

Penempatan pilar utama berada di ruang utama bangunan.

Pilar utama untuk klenteng berjumlah 8, sedangkan arsitektur

budaya Jawa berjumlah 4 buah.

Saka guru merupakan tiang-tiang yang menyediakan dirinya

untuk menjadi tempat bagi balandar-pengeret/ pemidhangan.

Sebutan saka-guru menunjukan bahwa dia adalah gelagar saka

(=tiang struktural) yang letaknya di sektor guru, serta menjadi

penopang dari balandar-pengeret/ pemidhangan. (Prijotomo,

Josef 217)

Pilar-pilar memiliki fungsi yang sama namun makna yang

berbeda. Makna 4 saka guru adalah memberikan perlindungan

bagi penghuninya, rasa aman dan nyaman (Sudarwanto)

g. Peninggian Lantai

Peninggian lantai pada bangunan Klenteng sama dengan

arsitektur Jawa karena dimulai bertahap dari memasuki

bangunan dan memiliki makna yang sama yaitu lantai yang

lebih tinggi adalah ruang yang lebih sakral.

Pusat sakral dalam konsepsi keruangan di zaman Jawa

pertengahan (abad ke 8-12), tetapi bahkan merupakan

keruangan di zaman Jawa pertengahan ditentukan dengan

membangun „piramida bertingkat‟. (Santoso, Jo 113).

Page 7: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

409

Gambar 3.15. Keraton Ngayogyakarta

Sumber:https://coretanpetualang.files.wordpress.com/2011/04/keraton-

jogjakarta-taman-depan-kedhaton.jpg

h. Pintu

Fengshui dan arsitektur Jawa sama-sama menggunakan daun

pintu berdaun ganda dan memiliki pintu berjumlah 3 dengan

makna yang berbeda.

Pintu arsitektur Jawa pintu dibuat rendah sehingga orang

harus menunduk ketika melewati pintu, sedangkan pintu

klenteng memiliki kusen bawah sehingga orang harus

mengangkat kaki ketika masuk. Kedua hal ini membuat orang

yang memasuki ruang terhenti karena memasuki ruang yang

lebih sakral.

Pada arsitektur Jawa dalam bentuk yang besar dan luas

tetapi pintu selalu dalam bentuk yang relatif rendah, sehingga

menuntut manusia yang melewati dalam posisi menunduk.

Sikap tubuh menunduk dalam keadaan tertentu menunjukan

sikap hormat bagi manusia Jawa (Sunarmi 83).

i. Ragam Hias

Ragam Hias tidak terlalu banyak. Terdapat pula ragam hias

yang memiliki makna dan bentuk yang sama, yaitu teratai dan

naga. Adapula yang memiliki bentuk berbeda dengan makna

sama yaitu bangau dengan kluwih, naga dengan kemamang,

kuda dengan jago. Tersisa ragam hias kepiting, ikan mas, dan

burung Phoenix yang tidak memiliki makna atau bentuk yang

sama dengan arsitektur budaya Jawa.

Gambar. 3.16. Macam-macam ragam hias

( 1.Naga 2.Kemamang 3.Pesik Garuda 4. Jago 5.Padma)

Sumber : Ragam Hias, Herry Setiawan

j. Atap

Bentuk atap pada klenteng Fuk Ling Miao tidak sama

dengan arsitektur budaya Jawa, makna nya juga berbeda.

Konstruksi plafon dan maknanya pada Klenteng dan arsitektur

budaya Jawa sama.

Atap mengambil stilasi bentuk sebuah gunung. gunung

merupakan sesuatu yang tinggi dan disakralkan. gunung atau

tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan

tempat tinggal para Dewa. Semakin banyak lapisan pada

bentuk atapnya, semakin lengkap dan sempurna bentuk rumah

Joglo. (Sunarmi 92)

Gambar 3.17. Bentuk atap dan konstruksi plafon arsitektur Jawa

Sumber : http://arsitekarchira.com/wp-content/uploads/2012/12/JOglo-

Kepuhan-Limolasan1.jpg

Analisa Perbandingan Klenteng Tien Kok Sie Di Surakarta

dan Klenteng Fuk Ling Miao Di Yogyakarta Dengan Budaya

Jawa

a. Lokasi

Letak lokasi kedua bangunan klenteng masih mengikuti

nilai-nilai kepercayaan fengshui yang penempatannya buruk

untuk rumah tinggal, namun dipercaya baik untuk tempat

ibadah karena bertujuan membantu menetralisir energi negatif

bagi rumah-rumah disekitarnya. Makna lokasi klenteng Fuk

Ling Miao yang berada diperempatan berkebalikan dengan

kebudayaan Jawa, dimana perempatan dipercaya mengandung

makna lokasi yang baik untuk mendirikan bangunan. Oleh

karena itu, adanya akulturasi budaya Jawa pada kletneg Fuk

Ling Miao.

Selain itu pada budaya Jawa dan fengshui terdapat syarat-

syarat lanskap tanah untuk mendirikan bangunan, namun

masing-masing memiliki syarat-syarat yang berbeda. Lanskap

tanah pada kedua klenteng tidak sesuai dengan syarat dari

fengshui dan juga tidak sesuai dengan syarat lanskap tanah

yang baik atau buruk dari arsitektur budaya Jawa.

Gambar 3.18. Peta Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao

Sumber : google map

b. Arah Hadap

Arah hadap yang baik untuk klenteng yaitu ke arah sumber

air, sedangkan klenteng Fuk Ling miao menghadap ke arah

barat dan bangunan klenteng membelakangi sumber air yaitu

pantai Parangtritis. Namun arah hadap barat sesuai dengan

budaya arsitektur Jawa dimana tempat ibadah menghadap ke

arah barat seperti yang ditreapkan oleh masjid Keraton.

Sedangkan arah hadap kleteng Tien Kok Sie ke arah Utara,

bangunan klenteng juga membelakangi sumber air yaitu pantai

Baron. Disini dapat dilihat bahwa adanya akulturasi budaya

pada lokasi arah hadap hanya pada klenteng Fung Ling Miao.

Peninggian

lantai

surakarta

Pantai

baron

yogyakarta

Pantai

parangtritis

Page 8: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

410

Gambar 3.19. Peta Kota Surakarta dan DI Yogyakarta

Sumber : google map

c. Bentuk Lahan

Bentuk lahan yang menguntungkan menurut nilai-nilai

fengshui yaitu bentuk lahan yang membesar dibagian

belakangnya atau sering disebut „ngantong‟. Membesar di

kanan atau kiri saja juga dipercaya membawa keberuntungan

karena dapat menyimpan energi-energi baik. Untuk bentuk

lahan pada kedua klenteng mengikuti kepercayaan fengshui

yaitu bentuk lahan yang lebih besar di belakang (ngantong)

dan pada budaya Jawa tidak ada syarat untuk bentuk lahan

mendirikan bangunan.

d. Ruang Suci Utama

Adanya ruang suci utama yang menjadi pusat dari sebuah

bangunan pada arsitektur budaya Jawa diterapkan pula pada

nilai fengshui klenteng. letak posisi dan adanya ruang suci ini

dimiliki oleh klenteng Tien Kok Sie dan klenteng Fuk Ling

Miao. Di dalam ruang suci utama ini terdapat Dewa yang

menjadi tuan rumah, yang dihormati dan dipercaya melindungi

bangunan. Kedua hal ini sama-sama dimiliki oleh kedua

klenteng dan juga dipercaya pada budaya Jawa dengan

perbedaan hanya terletak di Dewa yang dipuja. Dewa yang

dipuja oleh Klenteng Tien Kok Sie adalah Dewi Kwan Se Im

Po Sat, sedangkan Dewa pada Klenteng Fuk Ling Miao adalah

Dewa Amurwa Bhumi.

Gambar 3.20. Denah Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao

Sumber: Penulis (2015)

Gambar 3.21. Altar Dewi Kwan Se Im Po Sat dan altar Dewa Amurwa Bhumi

Sumber : dokumentasi pribadi

e. Warna

Arsitektur budaya Jawa memiliki beragam warna yang

diterapkan pada bangunan dan setiap warna memiliki makna

tersendiri. Sedangkan penerapan warna pada klenteng terlalu

banyak. Untuk klenteng Tien Kok Sie warna yang

diaplikasikan adalah merah, hijau dan kuning. Sedangkan

klenteng Fuk Ling Miao adalah warna hitam, merah, dan

kuning. Setiap warna yang diaplikasikan pada kleteng juga

memiliki makna yang baik bagi bangunan. Namun makna

warna pada klenteng berbeda dengan makna warna pada

arsitektur Jawa.

f. Pilar

Pilar sebagai penyangga bangunan diterapkan pada setiap

bangunan termasuk pula klenteng dan bangunan arsitektur

Jawa yang meyakini wajib menerapkan pilar utama untuk

bangunan. Namun perbedaan nya terletak pada jumlah dan

makna. Jumlah pilar utama untuk arsitektur Jawa adalah 4

buah, dan 8 buah pilar utama untuk kedua klenteng. 8 buah

pilar pada klenteng ini menandakan angka yang dipercaya

membawa keberuntungan dan bermakna simbol

kebangsawanan, penopang kehidupan dengan kekuasaan yang

mulia. Sedangkan makna bagi arsitektur Jawa adalah

perlindungan bagi penghuninya, rasa aman dan nyaman.

Gambar 3.22. Pilar-pilar utama di ruang Thia Klenteng Tien Kok Sie dan

ruang suci utama pada Klenteng Fuk Ling Miao

Sumber : Penulis (2015)

g. Peninggian Lantai

Lantai bangunan yang ditinggikan memiliki makna yang

sama dan dipercaya oleh arsitektur budaya Jawa serta fengshui

pada klenteng. ruangan yang memiliki ketinggian lantai lebih

tinggi bermakna ruang yang lebih sakral. Pada klenteng Fuk

Ling Miao dan klenteng Tien Kok Sie keduanya menerapkan

peninggian lantai. Hal ini juga diterapkan pada bangunan

Keraton di Surakarta dan di Yogyakarta. Tetapi peninggian

lantai pada klenteng Fuk Ling Miao lebih sesuai dengan

arsitektur budaya Jawa karena peninggian lantai sudah

diaplikasikan bertahap mulai dari awal masuk rumah dan

paling tinggi pada ruang suci utama. Sedangkan pada klenteng

Tien Kok Sie peninggian hanya ada pada ruang Thia saja, hal

ini berbeda dengan pengaplikasian pada arsitektur budaya

Jawa.

Gambar 3.23. Peninggian lantai pada Klenteng Tien Kok Sie

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 3.24. Peninggian lantai pada Klenteng Fuk Ling Miao

Sumber : dokumentasi pribadi

Ruang

Suci

Utama

Altar

utama

Anak

tangga

Anak

tangga

Page 9: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

411

h. Pintu

Pintu masuk utama bangunan pada kedua klenteng dan

arsitektur Jawa memiliki bentuk daun pintu dan jumlah yang

sama yaitu 3 buah namun memiliki makna yang berbeda. Pada

kedua klenteng, pintu kanan atau sering disebut dengan pintu

naga digunakan untuk masuk dan pintu kiri yang disebut

dengan pintu macan digunakan untuk keluar. Sedangkan pintu

ditengah digunakan untuk Dewa keluar masuk klenteng. Hal

ini berbeda makna dengan pintu pada arsitektur Jawa. bentuk

pintu masuk ke ruang suci utama pada kedua klenteng

memiliki kusen bawah yang terbuat dari kayu, dan pada

arsitektur Jawa pintu ke ruang suci dibuat rendah. Bentuk yang

berbeda ini memiliki makna yang sama agar orang yang ingin

memasuki ke dalam lebih berhati-hati, terhenti dan sadar

bahwa akan memasuki ruang yang suci.

Gambar 3.25. pintu pada Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao

Sumber: dokumentasi pribadi

i. Ragam Hias

Adanya akulturasi pada ragam hias dari kedua klenteng

dengan arsitektur Jawa, terlihat dari terdapat ragam hias yang

memiliki bentuk dan makna yang sama pada kedua klenteng

yaitu naga dan teratai. Serta terdapat perkembangan dilihat

dari adanya ragam hias dengan makna sama namun bentuk

yang berbeda. Pada klenteng Tien Kok Sie ragam hias yang

memiliki kesamaan bentuk dan perbedaan makna yaitu kilin

dengan garuda, bangau dengan kluwih, naga dengan

kemamang, macan dengan anak panak dan makara, kuda

dengan jado. Pada klenteng Fuk Ling Miao ragam hias yang

memiliki kesamaan bentuk dan perbedaan makna yaitu bangau

dengan kluwih, naga dengan kemamang, kuda dengan jago.

Ragam hias yang dimiliki oleh klenteng Tien Kok Sie lebih

beragam karena setiap adanya elemen interior yang rusak,

umat klenteng akan menyumbang sebuah ragam hias baru.

Sedangkan ragam hias pada klenteng Fuk Ling Miao lebih

sedikit, hanya menerapkan ragam hias penting saja.

j. Atap

Bentuk atap klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling

Miao memiliki bentuk dan makna yang berbeda dengan

budaya arsitektur Jawa. Makna bentuk atap kedua klenteng

masih sesuai mengikuti nilai fengshui. Bubungan pada atap

melengkung ke atas bermakna menghindarkan hal-hal buruk,

menjadi pelindung hal-hal dibawahnya. Bentuk kontruksi

plafon arsitektur Jawa dan kedua klenteng memiliki cara

pemasangan dengan makna yang sama yaitu pemasangan

dengan sistem konstruksi penggabungan balok vertikal dan

horizontal yang bermakna perlambangan kedekatan hubungan

manusia dengan Tuhan dan sesama.

Gambar 3.26. Bentuk atap klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling

Miao

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 3.27. Konstruksi plafon klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk

Ling Miao

Sumber: dokumentasi pribadi

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan pada bab 4,

diketahui bahwa:

A. Akulturasi dari aplikasi nilai-nilai feng shui dengan

arsitektur budaya Jawa pada klenteng Tien Kok Sie yaitu

lokasi dipusat pada ruang suci utama dan Dewi yang

menjadi tuan rumah, makna dan penempatan pilar utama di

dalam ruang suci utama, makna peninggian lantai sebagai

tempat yang lebih sakral, jumlah pintu yang sama dan

makna bentuk pintu yang membuat umat terhenti ketika

memasuki ruang lebih suci, kesamaan dari beberapa makna

atau bentuk ragam hias, dan makna serta bentuk

pemasangan konstruksi plafon bangunan menggunakan

penggabungan balok vertikal dan horizontal. Sedangkan

lokasi, arah hadap, bentuk lahan, warna, bentuk dan makna

atap tidak memiliki akulturasi budaya Jawa.

B. Adanya akulturasi budaya Jawa dan nilai-nilai feng shui

pada Klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta terdiri dari

aspek lokasi di perempatan yang diyakini baik untuk

mendirikan bangunan bagi arsitektur budaya Jawa, arah

hadap ke arah barat yang sesuai dengan arah hadap tempat

ibadah budaya Jawa, kesamaan lokasi ruang suci utama di

pusat bangunan dan penempatan Dewa yang menjadi tuan

rumah, makna dan penempatan pilar utama di ruang suci

utama, makna peninggian lantai untuk ruang yang lebih

sakral dan dimulai dari awal memasuki bangunan, jumlah

pintu dan makna bentuk pintu yang membuat umat sadar

untuk memasuki ruang yang lebih sakral, dmakna serta

pemasangan konstruksi plafon menggunakan

penggabungan balok vertikal dan horizontal, kesamaan

makna dan bentuk beberapa ragam hias. Namun kesamaan

bentuk dan makna ragam hias tidak sebanyak yang dimiliki

oleh Klenteng Tien Kok Sie. Sedangkan aspek yang tidak

terjadi akulturasi arsitektur budaya Jawa yaitu bentuk

lahan, warna dan bentuk atap.

Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miau

berada di Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan

tempat dari perpecahan mataram dampak perjanjian

giyanti. Perjanjian Giyanti membawa banyak pengaruh

pada Surakarta dan Yogyakarta dari berbagai aspek

Pintu

daun

ganda Kusen

bawah

Konstruksi

plafon

Bentuk atap

melengkung

Page 10: 3624-6848-1-SM

JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412

412

termasuk dari segi arsitektur bangunan. Komparasi yang

terjadi pada Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling

Miau ditinjau dari aspek feng shui dan budaya Jawa juga

terpengaruh dari dampak perjanjian giyanti. Hal ini terlihat

dari hasil analisa yaitu Klenteng Fuk Ling Miau di

Yogyakarta lebih banyak mengikuti nilai dari arsitektur

budaya Jawa yaitu dari aspek lokasi diperempatan yang

dianggap baik arsitektur Jawa, sedangkan lokasi tusuk sate

pada Klenteng Tien Kok Sie tidak memiliki makna yang

baik, arah hadap bangunan Klenteng Fuk Ling Miau yang

sesuai dengan arah hadap tempat ibadah Keraton,

peninggian lantai yang sudah dimulai bertahap dari saat

memasuki bangunan, ragam hias yang hanya menerapkan

ragam hias pokok saja, sedangkan ragam hias Klenteng

Tien Kok Sie sudah berkembang menjadi lebih banyak.

Berdasarkan hasil analisa, arsitektur pada Klenteng Fuk

Ling Miau lebih banyak mengikuti budaya Jawa dan sesuai

dengan dampak dari perjanjian Giyanti dimana kebudayaan

di Surakarta sudah berkembang dan kebudayaan di

Yogyakarta masih kental mengikuti nilai-nilai budaya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis Stephanie Clorinda mengucapkan terima kasih

kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah menyertai penulis

dalam menyelesaikan jurnal ini. Tidak terlepas dari bantuan

pihak lain, penulis juga mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain, yaitu:

1. Martino Dwi Nugroho, S.Sn, M.A dan Grace Mulyono,

S.Sn, M.T , selaku dosen pembimbing.

2. Keluarga yang telah mendukung dan memberi bantuan

dalam bentuk moril maupun material.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih

jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari para pembaca guna

menunjang pengembangan dan perbaikan penulisan

selanjutnya. Penulis berharap agar jurnal ini dapat berguna dan

memberikan wawasan bagi para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Frick,Heinz.2001. Pola Struktural Dari Teknik Bangunan Di Indonesia.

Yogyakarta: Kanisius

[2] Gustami, SP. (2000). Studi Komparasi Gaya Seni Yogya Surakarta.

Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia

[3] Liu, Laurence G. (1989). Chinese architecture. London: Academy

edition.

[4] Mangunwijaya, Y.B. 1988. Wastu Citra. Jakarta: PT Gramedia

[5] Marcella S, Benedicta Sophie (2012). Penerapan Feng Shui Pada

Kelenteng Sam Poo Kong Di Semarang. S2 thesis, UAJY.

[6] Moleong, Lexy J. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

[7] Mulyono, Grace ., Thamrin, Diana. 2008. Makna Ragam Hias

Binatang Pada Klenteng Kwan Sing Bio Di Tuban. Dimensi

Interior. vol 6 no 1.

[8] Prijotomo, Josef . 2009. Ruang di Arsitektur Jawa. Surabaya: PT.

Wastu Lanas Grafika

[9] Prijotomo, Josef.1988. Ideas And Form Of Javanese Architecture.

Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

[10] Prijotomo, Josef. 2006. (Re-) Konstruksi Arsitektur Jawa. Surabaya:

PT. Wastu Lanas Grafika

[11] Santosa, Jo.2008. Arsitektur–kota Jawa. Jakarta: Centropolis-Magister

Teknik Peremcanaan Universitas Tarumanegara.

[12] Setiawan, Herry. 2013. Ragam Hias. Academia.edu

[13] Sunarmi., Guntur &Utomo, Tri Prasetyo.2007. Arsitektur & Interior

Nusantara.Surakarta: ISI

[14] Too, Lilian. Feng Shui. Jakarta: PT Elex Media Komputido. 2008.

[15] Wibawa, Bayu Arie. 2002. Perbandingan Elemen-Elemen Kota

Surakarta dan Yogyakarta Ditinjau Dari Konsep Keraton (The Royal

Twin Cities) . S2 thesis, Undip.