34971562 hak imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional ditinjau dari segi hukum...
DESCRIPTION
,gjxcj,TRANSCRIPT
1
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM
PENULISAN HUKUM
HAK IMMUNITAS KEPALA NEGARA DI HADAPAN
PENGADILAN INTERNASIONAL DITINJAU DARI SEGI
HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS OMAR AL- BASHIR)
Penulisan Hukum ini Disusun untuk Memenuhi Persyaratan dalam Rangka
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Diajukan oleh :
YOGYAKARTA
2009
HALAMAN PERSETUJUAN
Nama : MUHAMMAD LARRY IZMI
NIM : 05/185452/HK/16940
Bagian : HUKUM INTERNASIONAL
2
PENULISAN HUKUM
HAK IMMUNITAS KEPALA NEGARA DI HADAPAN PENGADILAN
INTERNASIONAL DITINJAU DARI SEGI HUKUM INTERNASIONAL
(STUDI KASUS OMAR AL- BASHIR)
Penyusun
Muhammad Larry Izmi
No. Mahasiswa: 05/185452/HK/16940
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Linda Yanti Sulistiyawati, S.H., M.Sc
NIP: 19751103200501 2 001
HALAMAN PENGESAHAN
3
Penulisan Hukum ini telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada pada hari Kamis, tanggal 13 Agustus
2009.
Dewan PengujiKetua
Endang Purwaningsih, S.H., M.HNIP : 130530862
Anggota I Anggota II
Linda Yanti Sulistiyawati, S.H.,M.Sc
Harry Purwanto, S.H., M.Hum
NIP : 19751103200501 2 001 NIP : 131412032
Mengetahui,Ketua Bagian Hukum Internasional
Sigit Riyanto, S.H., LL.MNIP : 131789397
Mengesahkan :Dekan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.MNIP : 131598151
4
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Penulisan Hukum ini tidak pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi lain, dan
sepanjang pengetahuan saya di dalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 13 Agustus 2009
Muhammad Larry Izmi
5
KATA PENGANTAR
Penulisan Hukum dengan judul “Hak Immunitas Kepala Negara di
Hadapan Pengadilan Internasional Ditinjau dari Segi Hukum Internasional (Studi
Kasus Omar Al- Bashir)” ini memaparkan penerapan atau penggunaan hak
imunitas kepala negara di hadapan pengadilan internasional dengan bahasan kasus
terhadap Kepala Negara Sudan Omar Al-Bashir. Ada empat tahapan dalam
sistematika pembahasan penulisan hukum ini, yaitu pendahuluan, tinjauan umum
mengenai hak imunitas, tinjauan umum mengenai pengadilan internasional, dan
kesimpulan.
Penerapan hak imunitas memiliki makna adanya keistimewaan bagi orang-
orang yang menikmati hak tersebut dari aturan-aturan yang ada terutama di
hadapan hukum. Berangkat dari pengertian ini, permasalahan yang kemudian
mengemuka adalah mengenai adanya ataupun perlunya pengecualian terhadap
hak imunitas, yang selanjutnya mendorong perincian lebih mendalam tentang
pengertian hak imunitas serta pembenturan konsep imunitas dengan konsep
pertanggunjawaban individu dalam hukum internasional.
Penulis mengharapkan penulisan hukum ini dapat memberikan sumbangan
yang berguna bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan hukum internasional
pada khususnya, terlebih lagi dalam cakupan bahasan hak imunitas kepala negara.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunannya, penulisan hukum ini
telah diberi kesempatan, bantuan, dan bimbingan oleh berbagai pihak. Oleh
6
karena itu, dalam kesempatan ini Penulis ingin menghaturkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada;
2. Bapak Sigit Riyanto, S.H., LL.M., selaku Ketua Bagian Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada;
3. Ibu Linda Yanti Sulistiyawati, S.H., M.Sc selaku dosen pembimbing
skripsi penulis yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam
penyelesaian penulisan hukum ini;
4. Bapak Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A yang telah memberikan
masukan dan bantuan ide dalam penyelesaian penulisan hukum ini;
5. Ibu Dra. Hery Listyawati, S.H selaku Dosen Pembimbing Akademik
penulis di Fakultas Hukum UGM;
6. Dosen Bagian Hukum Internasional, (alm) Prof. Dr. F. Sugeng Istanto,
S.H., Prof. Dr. H. Mohd. Burhan Tsani, S.H., M.H., Prof. Dr. Agustinus
Supriyanto, S.H., M.Si., Endang Purwaningsih, S.H., M.H., Harry
Purwanto, S.H., M.Hum., dan Agustina Merdekawati, S.H., LL.M., yang
telah memberikan bimbingan ilmu kepada penulis selama penulis aktif di
bagian hukum internasional;
7. Dosen dan Pegawai Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada yang telah banyak membantu dalam penulisan hukum ini;
7
8. Kedua Orang Tua penulis, Syamsurrizal, S.H. dan Herlina Warganegara,
S.E., M.M., serta Kedua Adik penulis, Sheilla Ayu Ramadhani dan
Muhammad Maulana, yang selalu mendukung dan memberikan semangat,
baik moril, materiil, dan spirituil yang sangat berarti bagi penulis;
9. Wini Rahayu, yang selalu memberikan semangat dan mendampingi
penulis;
10. Aditya Bardawansyah, S.H., Ginandjar Koesoemardhani, S.H., Bara Haji,
S.H. dan Prima Agung S, selaku sesama dan mantan awak penghuni
Patehan Lor 23;
11. Teman-teman penulis di Fakultas Hukum UGM dan bagian hukum
internasional, Setyawan Widhiatmoko, Leonardus Tirta, Santoso Ari
Wibowo, Ilham Priambodho, Didit Prayitno, Gede Mahatma, Faisol
Rahman, Andika, Ilman, Muhammad Fathi, Svetlana Anggita, Adi
Purwanto, Rangga Aditya, Feri bakti, Yoannike Afilia, Sekar, Dyah Ayu
Rafikasari M, Iriene Ayu P, Aura Akhman, Arif Rahman Hakim, dan
Lakso Anindito;
12. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum
UGM Cabang Bulaksumur, Erwin Natosmal O, Girindra, Gesha, Dadang
Abdurrahman Syoir, Mina A Noor, Seto W, Alfitria Maharani, Raysha
Rahma, Muhammad Irham Fuady, Aditya Nugraha Iskandar, R.M Nasatya
Danisworo, dan Dimas Primadana;
13. Teman-teman ALSA LC FH UGM, Jono, Ankici, Dodi, Andila, Hoho,
8
Penyu, Abung, Rike, Thatit, Fifi, Rio, Fian, Ateng, Vira, Dier, Fadjrin,
Cebe, Fani, Fudi, Tiara, Aulia, Rechsa, Mamat, Opik, Dandi, Rangga,
Alex, Riris, Icha, Andina, serta kamerad angkatan 2007 dan 2008;
14. Teman-teman MCC ALSA 2006, Kompetisi Peradilan Semu Piala A
Kahar Muzakkir 2007, dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga
Mahasiswa UGM 2007-2008; serta
15. Semua pihak yang telah banyak membantu baik secara langsung maupun
tidak langsung sampai terselesaikannya penulisan hukum ini.
Penulisan hukum ini masih banyak kekurangan dikarenakan keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, hal ini menjadi dorongan
bagi penulis untuk menerima masukan serta saran demi penyempurnaan penulisan
hukum ini.
Yogyakarta, 13 Agustus 2009
Muhammad Larry Izmi
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... ... 11
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 11
D. Keaslian Penelitian .......................................................... ... 12
E. Manfaat Penelitian ............................................................... 13
F. Tinjauan Pustaka .................................................................. 14
G. Hipotesis .............................................................................. 21
H. Metode Penelitian ................................................................ 22
I. Sistematika Penulisan Hukum ............................................. 25
10
BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK IMUNITAS ............ 26
A. Hak Imunitas........................................................................... 26
1. Jenis-jenis Hak Imunitas.................................................. 26
a. Imunitas Negara......................................................... 26
b. Imunitas Diplomatik................................................. 31
2. Imunitas Pejabat Negara dan Kepala Negara................... 38
3. Dampak Perolehan Hak Imunitas..................................... 52
B. Pertanggungjawaban Individu................................................ 61
1. Tinjauan Umum Individu Sebagai Subyek Hukum
Internasional....................................................................... 61
2. Aturan-aturan Normatif dan Parktek Pertanggungjawaban
Individu............................................................................... 71
BAB III. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGADILAN
INTERNASIONAL.................................................................... 83
A. Pengadilan Internasional....................................................... 83
1. Sejarah Pembentukan Mahkamah-mahkamah Kejahatan
Internasional................................................................... 83
a. Masa Pra Perang Dunia II........................................ 84
11
b. Masa Nuremberg Trial dan Tokyo Trial.................. 85
c. Masa ICTY dan ICTR.............................................. 91
d. Masa ICC.................................................................. 95
2. Status dan Yurisdiksi ICC.............................................. 100
a. Status Hukum ICC.................................................... 100
1. Personalitas hukum............................................. 101
2. Kapasitas hukum................................................. 102
b. ICC dan Pengadilan Nasional................................... 103
c. ICC dan PBB............................................................ 106
d. Yurisdiksi ICC.......................................................... 107
1. Yurisdiksi Teritorial........................................... 108
2. Yurisdiksi Rationae Temporis............................ 109
3. Yurisdiksi Rationae Personae............................ 111
4. Yurisdiksi Rationae Materiae............................ 114
B. Pengaruh Hak Imunitas Kepala Negara Terhadap Pelaksanaan
Yurisdiksi ICC...................................................................... 116
BAB IV. KESIMPULAN............................................................................ 130
LAMPIRAN. WARRANT OF ARREST FOR OMAR HASSAN AHMAD AL
12
BASHIR...................................................................................... 131
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 139
13
Hak Immunitas Kepala Negara di Hadapan Pengadilan Internasional
Ditinjau dari Segi Hukum Internasional (Studi Kasus Omar Al- Bashir)
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan Hukum Internasional semakin
menerangkan peristiwa-peristiwa yang menyangkut hak immunitas
seorang kepala negara dalam pertanggungjawaban pidana terhadap
kejahatan yang telah dilakukannya. Hal ini menjadi semacam isu
kontemporer yang cukup menarik baik itu dalam tatanan masyarakat
internasional maupun hukum internasional. Seperti dalam kasus Augusto
Pinochet, seorang mantan presiden dari Chile yang dalam masa jabatannya
dituduh telah melakukan pelanggaran berat HAM di negaranya baik
terhadap lawan politik dan warga sipil Chile maupun juga terhadapa warga
negara dari negara lain seperti Spanyol, Argentina, Luxemburg, Italia,
Swiss, Belgia dan Perancis.
Hak immunitas atau kekebalan memiliki makna bahwa seorang
pejabat negara terutama kepala negara maupun pemerintahan dalam suatu
pemerintahan sebuah negara dapat menikmati inviolibility dan immunity.1
Inviolibility diartikan sebagai kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan
negara dan kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan
sedangkan immunity diartikan bahwa pejabat negara tersebut kebal
1 Harry Purwanto, 2005, hand-out hukum diplomatik, Yogyakarta, hlm 17
14
terhadap jurisdiksi negara, baik yang bersifat pidana, perdata, maupun
administratif.
Hal ini, khusus bagi kepala negara atau pemerintahan, dikarenakan
seorang kepala negara ataupun pemerintahan itu sendiri merupakan simbol
dari kedaulatan negaranya. Tetapi seperti halnya asas-asas yang berlaku,
hak immunitas ini juga mengalami perkembangan mengenai eksistensi
penyimpangannya.
Kekebalan hukum yang dinikmati para pejabat negara ini
merupakan bagian dari kebebasan untuk bertindak yang diberikan oleh
pemerintah negara. Kekebalan ini diberikan oleh pemerintah negara
dengan maksud agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya
dengan bebas. Kebebasan ini diberikan agar sang pejabat tidak melulu
bergantung pada good will pemerintah negara. Ketergantungan ini dapat
berdampak buruk bagi kelancaran pelaksanaan tugas khususnya dalam
suatu pengambilan keputusan.2 Namun kekebalan hukum ini tidak dapat
berfungsi jika dalam pelanggaran hukum yang diperbuatnya hanya demi
kepentingan pribadi atau golongan tertentu bukan demi kepentingan
negara.
Banyak kasus-kasus terkait yang berhubungan dengan Immunitas
baik itu yang menyangkut sebagai kepala negara, kepala pemerintahan,
menteri luar negeri maupun pejabat senior pemerintahan (selanjutnya
disebut pejabat negara). Seperti dalam kasus Abdulaye Yerodia Ndombasi
2 Sumaryo Suryokusumo, 1995, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Alumni-Bandung, hlm 56
15
selaku Menteri Luar Negeri Republik Demokrat Kongo yang dituduh
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM
di Kongo oleh pengadilan Belgia. Kasus ini oleh Mahkamah Internasional
(ICJ) dinyatakan tidak dapat diteruskan karena pengadilan Belgia tidak
memiliki kewenangan mengadili. Kasus yang cukup menyita perhatian
dunia adalah dalam kasus Slobodan Milosevic selaku mantan Kepala
Negara Yugoslavia, dengan julukan “Penjagal dari Balkan”, yang
kemudian tindakan-tindakan yang terjadi di Yugoslavia selama rezimnya
menorehkan sejarah baru dalam dunia peradilan internasional kontemporer
dengan pembentukan International Criminal Tribunal for The Former
Yugoslavia (ICTY). ICTY menjadi tonggak baru dalam pemaknaan dan
pengkritisan lebih dalam mengenai hak immunitas yang dapat dinikmati
seorang kepala negara atau kepala pemerintahan.
Perkembangan mengenai hak imunitas dan penyimpangannya
semakin menarik minat pemerhati hukum internasional terutama dalam
kasus terbaru yang menimpa Presiden Sudan Omar Al-Bashir. Sebagai
presiden yang sedang berkuasa di Sudan, Omar Al-Bashir dituduh oleh
jaksa ICC (International Criminal Court) Luis Moreno-Ocampo telah
melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang di Sudan.3 Tuduhan ini kemudian berkembang menjadi
pengeluaran surat penangkapan atas Omar Al-Bashir oleh ICC.
Tuduhan atas Omar Al-Bashir ini bermula dari konflik dan krisis
3 Kompas, Sudan Memprotes ICC, Jum’at 6 Maret 2009
16
yang melanda kawasan Darfur di Sudan. Konflik berkepanjangan ini
dimulai dari gabungan beberapa faktor seperti kekeringan, perubahan
lingkungan yang drastis, pertumbuhan yang cepat, kesempatan politik dan
politik secara regional. Selain karena faktor-faktor tersebut, kawasan yang
terletak di sebelah barat Sudan ini berkembang menjadi kawasan yang
termarjinalkan dikarenakan tidak adanya perhatian serta tirani terhadap
warga non-arab dari pemerintah Sudan. Kondisi ini memaksa terbentuknya
dua kelompok pemberontak sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang
menimpa kawasan ini, yaitu SLA (Sudan Liberation Army) dan JEM
(Justice and Equality Movement) pada awal tahun 2003.
Kedua kelompok pemberontak ini memulai aksinya dengan
berhasil menguasai kota Gulu pada awal Februari tahun 2003. Tindakan
ini dilanjutkan oleh SLA/M yang menyerang El Fasher, ibukota Darfur
Utara, merusak beberapa pesawat dan merampas amunisi pemerintah pada
bulan April tahun 2003. Pemerintah Sudan yang tidak siap untuk
mengadakan serangan balasan dikarenakan keterbatasan personel militer,
menginisiasi suku-suku setempat untuk ikut memerangi pemberontak.
Suku-suku ini, yang merupakan suku nonmaden Arab, menyambut
kehendak pemerintah Sudan tersebut dengan menyediakan anggota-
anggota sukunya untuk dijadikan milisi. Milisi yang kemudian dikenal
dengan nama “Janjaweed” ini sebagian besar anggotanya direkrut dari
Suku Arab Baggara. Sepak terjang dari Janjaweed untuk membantu
pemerintah Sudan ini kemudian menimbulkan permasalahan baru terutama
17
dalam pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Aksi mereka
menimbulkan pengungsian besar-besaran, pembasmian, pembunuhan,
pemerkosaan, penyiksaan dan penjarahan terhadap harta benda di kawasan
Darfur. Aksi ini disinyalinir telah memakan korban sekitar 300.000 orang
serta memaksa satu juta orang mengungsi dari kawasan ini, yang sebagian
besar ke wilayah Chad.4
Laporan dari penyelidik PBB pada tanggal 6 Juni 2005
menyatakan bahwa pemerintah Sudan turut andil bagian dalam merancang
dan berpartisipasi aktif terjadinya krisis di Darfur ini. Bahkan laporan
Dewan HAM PBB menggambarkan bahwa krisis Darfur dipenuhi dengan
pelanggaran HAM yang sistematis dan meluas, hingga bisa dikatakan
bahwa dalam krisis Darfur ini telah terjadi pelanggaran HAM berat.5
Konflik dan krisis yang telah berlarut-larut ini kemudian berusaha
ditengahi oleh komunitas internasional dengan cara turut andil dalam
penyelesaian krisis di Darfur, khususnya oleh PBB. Dewan Keamanan
PBB dan Perdamaian Uni Afrika kemudian membentuk AMIS (African
Union Mission in Sudan) sebagai bentuk andil atau campur tangan dalam
krisis Darfur ini.6 Hal tersebut kemudian diikuti dengan penandatangan
4 Kompas, Kejahatan yang Memicu Eksodus, Jum’at 6 Maret 2009
5 Anonim," Report of the High-Level Mission on the situation of human rights in Darfur pursuant to Human Rights Council decision S-4/101”, http://news.bbc.co.uk/1/shared/bsp/hi/pdfs/12_03_07_un_sudan.pdf, news.bbc.co.uk, diakses pada tanggal 22 April 2009
6 Anonim, “AMIS”, African Union Mission in The Sudan, dalam www.amis-sudan.org, diakses pada tanggal 22 April 2009
18
Humanitarian Ceasefire Agreement pada tanggal 8 April 2004 antara
pemerintah Sudan dan dua kelompok pemberontak, yaitu SLA dan JEM.
Perjanjian ini kemudian menjadi dasar bagi AMIS untuk beroperasi
dengan agenda utamanya pengawasan pelaksanaan perjanjian tersebut dan
pelaporan pelanggaran melalui Ceasefire Monitoring Commission. Akan
tetapi perjanjian ini pun kemudian pecah setelah para pemberontak
melakukan pelanggaran-pelanggaran, provokasi kepada pihak pemerintah
hingga terbunuhnya tentara UA (Uni Afrika) dikarenakan perjanjian
tersebut dirasa belum memuaskan terlebih lagi setelah melihat perjanjian
yang dilakukan antara pemerintah Sudan dengan SPLA (The Sudan
People’s Liberation Army), pemberontak di daerah selatan Sudan, yang
mampu mengakomodir keinginan SPLA di daerah selatan hingga akhirnya
Omar Al-Bashir menggandeng pimpinan SPLA sebagai pejabat senior
pemerintahan Sudan. Upaya-upaya untuk menyelesaikan krisis Darfur ini
kemudian semakin rumit ditambah sikap pemerintah Sudan sendiri yang
menolak intervensi dari luar atas urusan dalam negerinya seperti
penolakan kedatangan tentara perdamaian PBB dan UA di Darfur pada
tahun 2007.
Krisis kemanusiaan di Darfur inilah yang kemudian menyebabkan
Jaksa ICC mengeluarkan sepuluh tuduhan kejahatan perang terhadap
Presiden Sudan Omar Al-Bashir pada tanggal 14 Juli 2008. Kesepuluh
tuduhan tersebut terdiri dari 3 (tiga) tuduhan untuk genosida, 5 (lima)
tuduhan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan 2 (dua) tuduhan untuk
19
kejahatan perang. Jaksa ICC menyatakan bahwa Omar Al-Bashir
merupakan dalang dan pelaksana rencana penghancuran tiga kelompok
suku di Darfur berdasar kesukuan mereka yang non arab.7
Sebelumnya, Jaksa ICC juga telah mengeluarkan surat
penangkapan terhadap mantan Menteri Dalam Negeri Sudan Ahmed
Haroun, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Humaniter Sudan, dan
Pimpinan Milisi Janjaweed Ali Kushavb pada bulan April 2007 dengan
tuduhan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan.8 Akan tetapi
pemerintah Sudan menolak untuk menyerahkan kedua warga negaranya
tersebut ke Den Haag dengan alasan ICC tidak memilik yurisdiksi atas
Sudan.
Walaupun begitu, pada tanggal 4 Maret 2009 ICC kemudian
merespons permintaan Jaksa ICC Luis Moreno-Ocampo berdasarkan
tuduhan pada bulan Juli 2008 untuk menangkap Omar Al-Bashir serta
menghadapkannya ke depan ICC di Den Haag. Surat penangkapan
tersebut hanya berisi tujuh tuduhan berdasarkan Statuta Roma, yaitu9:
- Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dengan lima tuduhan yaitu,
7 Peter Walker, "Darfur genocide charges for Sudanese president Omar al-Bashir", http://www.guardian.co.uk/world/2008/jul/14/sudan.warcrimes1?gusrc=rss&feed=worldnews, www.guardian.co.uk, diakses pada tanggal 22 April 2009
8 Anonim, “International Criminal Court Names First War Crimes Suspects in Darfur”, http://www.wwan.cn/apps/news/story.asp?NewsID=21692&Cr=darfur&Cr1=, www.wwan.cn, diakses pada tanggal 15 April 2009
9 Anonim, http://www.icc-cpi.int/iccdocs/doc/doc639078.pdf, www.icc-cpi.int, diakses pada tanggal 10 Maret 2009
20
Pembunuhan (Pasal 7 (1)(a)), Pemusnahan (Pasal 7 (1)(b), Pemaksaan
Pengusiran (Pasal 7 (1)(d)), Penyiksaan (Pasal 7 (1)(f)) dan
Pemerkosaan (Pasal 7 (1)(g))
- Kejahatan Perang dengan dua tuduhan, yaitu dengan maksud
melakukan penyerangan terhadap suatu kelompok tertentu atau
melakukan penghasutan kebencian terhadap kelompok tertentu (Pasal
8 (2)(i)) dan penjarahan (Pasal 8 (2)(v))
Tuduhan sebelumnya yang tidak dimasukkan ke dalam surat penangkapan
yaitu, tuduhan atas kejahatan genosida dinyatakan tidak mencukupi bukti.
Namun hal tersebut dapat dipertimbangkan kembali untuk dicantumkan
sebagai sebuah tuduhan apabila dinyatakan sudah mencukupi bukti akan
terjadinya genosida oleh Omar Al-Bashir.
ICC dalam pertimbangan surat penangkapan tersebut menerangkan
bahwa tidak ada dan dikenal penggunaan alasan hak immunitas dalam hal
pelanggaran berat HAM dan hanya mengenal pertanggunjawaban pidana
individu (Pasal 25 (3) Statuta Roma). Omar Al-Bashir sebagai presiden
Sudan dan panglima angkatan bersenjata Sudan dituduh telah
mengkoordinasikan desain dan pelaksanaan kampanye kontra
pemberontakan di Darfur. Diketahui pula bahwa Omar Al-Bashir
mengontrol semua kegiatan dan para pelaku serta menggunakan
kekuasaannya untuk mengamankan tindakan kampanye kontra
pemberontakan di Darfur.
21
Surat penangkapan atas Omar Al-Bashir ini menuai kecaman dari
organisasi-organisasi internasional semacam Liga Arab dan UA.
Pemerintah Sudan sendiri memprotes surat penangkapan tersebut dan
menyatakan tidak akan menyerahkan Omar Al-Bashir kepada ICC dengan
alasan Sudan bukan merupakan anggota ICC. Tindakan protes dari
pemerintah Sudan itu sendiri kemudian diikuti dengan tindakan pengusiran
13 nonpemerintah asing dari Sudan. Tindakan yang dianggap justru akan
makin memperparah krisis baik di Darfur maupun di Sudan sendiri.
ICC menyatakan bahwa alasan Sudan, yang menerangkan bahwa
tindakan Omar Al-Bashir maupun Sudan bukan merupakan yurisdiksi
ICC, bukanlah alasan yang tepat untuk menggambarkan sejauh mana
yurisdiksi ICC dalam menindak pelanggaran HAM berat. Yurisdiksi ICC,
dijelaskan dalam Pasal 12 dan 13 Statuta Roma, menyatakan bahwa
yurisdiksi ICC dinyatakan berlaku terbatas untuk negara anggotanya,
kejahatan yang dilakukan di wilayah negara anggotanya dan situasi yang
diarahkan oleh Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB sendiri
mengeluarkan Resolusi DK PBB 1593 sebagai dasar pengusutan
pelanggaran berat HAM di Darfur. Alasan dari Dewan Keamanan PBB ini
lah serta Pasal 25 dan 103 Piagam PBB yang kemudian menjadi dasar bagi
ICC untuk memaksa Sudan menyerahkan Omar Al-Bashir.
Pemeriksaan terhadap Omar Al-Bashir oleh ICC juga berlandaskan
dari prinsip yurisdiksi universal. Prinsip ini mengkategorikan suatu
kejahatan internasional atau delicta jure gentium dapat diterapkan
22
kewenangan mengadilinya oleh hukum pidana suatu negara atau
masyarakat internasional, terlebih lagi perbuatan kejahatan tersebut
melanggar kepentingan masyarakat internasional.
Kasus Omar Al-Bashir ini nyatanya menjadi ujian bagi ICC dalam
upayanya untuk menegakkan hukum internasional, khususnya hukum
pidana internasional. Kasus Slobodan Milosevic dapat dijadikan gambaran
keberhasilan penyeretan seseorang yang pernah menduduki jabatan yang
setara dengan Omar Al-Bashir di Sudan, walaupun masih banyak pelaku
pelanggaran berat HAM lainnya di dunia yang lolos karena satu dan lain
hal. Setidaknya ICC diharapkan bisa membuktikan kekuasaannya sebagai
organ penegak pelanggaran HAM berat. Mengingat bahwa kasus Omar
Al-Bashir ini mengibaratkan ICC seperti jaring laba-laba yang hanya bisa
menjaring lalat-lalat kecil seperti Sudan dalam kasus Omar Al-Bashir dan
Yugoslavia dalam kasus Slobodan Milosevic tetapi tidak bisa menjerat
negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, Rusia dan Cina.10
Keberhasilan ICC ini kemudian akan menjadi terobosan penting dalam
Penegakan hukum pidana internasional menyangkut pejabat negara yang
sedang berkuasa, walau hanya dilihat dari koridor kacamata hukum.
Keadaan ini kemudian menimbulkan pertanyaan sejauh manakah
penerapan hak immunitas kepala negara dihadapan pengadilan
internasional ditinjau dari segi hukum internasional dan bagaimana
keabsahan surat penangkapan ICC terhadap Omar Al-Bashir selaku kepala
10 Robert Skidelsky, “Perintah Penangkapan Al-Basyir yang Sarat Kemunafikan”, Koran Tempo, Rabu, 1 April 2009.
23
negara menurut hukum internasional
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana penerapan hak immunitas kepala negara dalam pengadilan
internasional ditinjau dari segi hukum internasional?
- Apakah Surat Penangkapan ICC terhadap Omar Al-Bashir selaku
kepala negara sah menurut hukum internasional?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai penulis dalam penelitian ini akan mencakup 2
(dua) hal, yaitu:
1. Tujuan Objektif
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang penerapan hak
imunitas kepala negara dihadapan pengadilan internasional ditinjau
dari segi hukum internasional dan keabsahan surat penangkapan ICC
terhadap Omar Al-Bashir selaku kepala negara menurut hukum
internasional
2. Tujuan Subjektif
24
Untuk memperoleh data dan bahan-bahan yang akan digunakan dalam
penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar keserjanaan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada.
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak ditemukan
penelitian mengenai hak immunitas kepala negara dihadapan pengadilan
internasional ditinjau dari segi hukum internasional dengan studi kasus
terhadap surat penangkapan ICC atas diri Omar Al-Bashir selaku kepala
negara Sudan. Dengan demikian penelitian ini merupakan yang pertama
sehingga memiliki keaslian.
E. Manfaat Penelitian
Apabila tujuan di atas telah terpenuhi,maka hasil penulisan hukum ini
akan memberikan manfaat dari segi:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dan
sumbangan yang berguna bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan
25
hukum internasional pada khususnya, terlebih lagi mengenai hak
imunitas yang dapat dinikmati seorang kepala negara.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan berharga
kepada pihak-pihak terkait dalam rangka implementasi kebijakan
mengenai hak imunitas baik dari segi nasional maupun internasional.
F. Tinjauan Pustaka
Hak imunitas yang dapat dinikmati bagi pejabat negara diperoleh
dari hukum nasional maupun hukum internasional. Hak ini, pada hukum
internasional, dapat dilihat pada kekebalan hukum dan keistimewaan yang
diperoleh oleh para perwakilan negara yang sedang melaksanakan tugas
dan kewajibannya di wilayah kedaulatan negara lain. Para perwakilan
negara ini dalam hukum internasional maupun hukum nasional dikenal
dengan nama pejabat diplomatik. Pemberian kekebalan hukum dan
keistimewaan pada pejabat diplomatik ini merupakan bukti sejarah
diplomasi dalam pergaulan masyarakat internasional yang telah
berkembang menjadi ketentuan hukum kebiasaan internasional.
Kekebalan hukum dan keistimewaan yang dapat dinikmati oleh
para pejabat diplomatik ini diperoleh berdasarkan ketentuan-ketentuan
26
yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
Konvensi tersebut menjabarkan hak-hak para perwakilan negara ini dalam
pasal 29, 30 ayat 1, dan 31 ayat 1.11 Pasal 29 konvensi menyebutkan
bahwa:
”The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not
be liable to any form of arrest or detention. The receiving State
shall treat him with due respect and shall take all appropriate
steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.”
Sedangkan Pasal 30 ayat 1 menerangkan bahwa:
“The private residence of a diplomatic agent shall enjoy the same
inviolability and protection as the premises of the mission”
Pasal 31 ayat 1 juga menyebutkan keistimewaan yang diperoleh oleh
pejabat diplomatik ketika memegang jabatan sebagai perwakilan negara di
salah satu negara sahabat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa:
“A diplomatic agent shall enjoy immunity from the criminal
jurisdiction of the receiving State. He shall also enjoy immunity
from its civil and administrative jurisdiction, except in the case of :
(a) a real action relating to private immovable property situated in
the territory of the receiving State, unless he holds it on behalf of
the sending State for the purposes of the mission; (b) an action
11 Grant V McClanahan, 1989, Diplomatic Immunity Principles, Practices, Problems, Institute for The Study of Diplomacy, Georgetown University, Washington DC, hlm 187, 193
27
relating to succession in which the diplomatic agent is involved as
executor, administrator, heir or legatee as a private person and
not on behalf of the sending State; (c) an action relating to any
professional or commercial activity exercised by the diplomatic
agent in the receiving State outside his official functions”
Pasal 29 Konvensi menerangkan bahwa seorang pejabat diplomatik
merupakan seorang perwakilan negara yang berhak menikmati kekebalan
hukum. Sebagai pejabat diplomatik, ia tidak dapat ditangkap ataupun
ditahan dan merupakan kewajiban negara penerima untuk mengambil
tindakan-tindakan pencegahan guna melindungi para perwakilan negara
ini. Sedang menurut Pasal 30 ayat 1, kekebalan hukum tidak hanya
dinikmati oleh pejabat diplomatik itu sendiri tetapi juga diberikan kepada
gedung kantor dan rumah kediaman pejabat diplomatik itu sendiri. Pasal
31 ayat 1 menegaskan kembali mengenai kekebalan hukum pejabat
diplomatik terhadap yurisdiksi pengadilan pidana, perdata dan
administrasi. Namun kekebalan ini tidak berarti pejabat diplomatik dapat
berbuat seenaknya. Pemberian hak ini murni sebagai fasilitas yang
diberikan negara penerima agar pejabat diplomatik tersebut tidak
mengalami hambatan-hambatan dalam melaksanakan tugasnya di negara
penerima. Oleh karena itu, kekebalan hukum ini tidak akan berfungsi jika
ia memanfaatkan kekebalan hukum tersebut untuk mempermudah
melakukan perbuatan-perbuatan yang hanya menguntungkan dirinya
sendiri dan tidak atas nama negara pengirimnya. Seperti yang tertulis
28
dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961, seorang pejabat diplomatik tetap
akan dikenai sanksi hukum jika ia melakukan tindakan-tindakan melawan
hukum yang bukan atas dasar kepentingan negara pengirimnya.
Imbalan hukum yang diberikan oleh sebuah negara kepada abdi
negaranya ini bukanlah dimaksudkan sebagai pemberian sarana
perlindungan diri sendiri dan keluarga dari yurisdiksi pengadilan tetapi
ditujukan untuk membantu para abdi negara ini dalam melancarkan
pelaksanaan tugas dan kewajiban. Keistimewaan ini diberikan dengan
alasan bahwa para abdi negara yang diberi tugas untuk memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya pada masyarakat ini layak
mendapatkannya. Hal ini dikarenakan seringkali dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan yang dirasa bermanfaat bagi kepentingan
masyarakat umum, mereka dihadapkan suatu aturan hukum yang sulit
untuk dilanggar ketentuannya.12
Maka dari itu hak atas kekebalan dan keistimewaan tersebut,
terutama hak imunitas, menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan begitu
saja dari seorang pejabat negara, khususnya kepala negara atau kepala
pemerintahan. Pondai Bamu mengatakan:
“Customary law on the immunity of heads of state and government
stipulates that a head of state has immunity, which includes
personal inviolability, special protection for his or her dignity,
immunity from criminal and civil jurisdiction, and from arrest
12 J.C.T Simorangkir, 1983, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, hal: 35
29
and/or prosecution in a foreign state on charges concerning all
crimes, including international crimes”13
Tapi seringkali dalam suatu pengambilan kebijakan, seorang
pejabat negara melakukan penafsiran tersendiri terhadap makna
kepentingan umum. Alih-alih menerapkan kebijakan yang populer demi
kepentingan masyarakat umum, pejabat negara tersebut menerapkan
kebijakan yang menguntungkan diri sendiri maupun segelintir golongan
tertentu. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan dasar pengkajian hak
imunitas yang dapat dinikmati seorang pejabat negara di depan hukum.
Perbenturan hak imunitas pejabat negara terhadap suatu sistem
Penegakan hukum ini sering ditemukan dalam kasus-kasus pelanggaran
berat HAM karena konsep pelanggaran berat HAM mengakui dan
menerapkan suatu pertanggungjawaban individu dalam Penegakannya.
Hal ini berdasarkan hukum kebiasaan internasional yang menyatakan
secara tegas bahwa seorang pelaku pelanggaran berat HAM tidak boleh
dibebaskan dari kewajiban hukum untuk mempertanggungjawabkan
kejahatan yang telah ia lakukan. Berkaitan dengan pelanggaran berat
HAM tersebut, Pasal 6 London Agreement 8 Agustus 1945 menyatakan
bahwa terdapat tiga jenis kejahatan yang harus diadili sebuah Mahkamah
Kejahatan Internasional.14 Kejahatan-kejahatan tersebut adalah:
13 Pondai Bamu,“Head of State Immunity and the ICC: Can Bashir be Prosecuted?”, Oxford Transitional Justice Research Working Paper Series, Agustus 2008
14 GPH Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali-Jakarta, 1984
30
1. Crimes against peace, which are planning, preparation,
initiation, or waging of war aggression or a war in violation of
international treaties, agreements, or assurance or
participation in a common plan or conspiracy for any
forgoing;
2. War crimes, which are violations of the law or custom of war;
and
3. Crimes against humanity, which are murder, exterminaton,
enslavement, deportation, and other inhuman acts committed
against any civilian population before or during the war or
prosecution on political, racial, religious grounds in execution
of or in connection with any crime within any jurisdiction of
the Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of
the country where perpetrated.
Perkembangan pemikiran akan pelanggaran berat HAM dimulai
dari kesadaran kolektif bangsa-bangsa di dunia terhadap perlunya
perlindungan HAM secara internasional, setelah kejadian-kejadian pada
Perang Dunia ke II (PD II). Kejadian-kejadian tersebut menorehkan suatu
sejarah baru dalam hukum pidana internasional dengan pembentukan dua
pengadilan perang, yaitu Nuremberg Trial dan Tokyo Trial. Pengadilan ini
mengadili pejabat-pejabat negara dari Jerman dan Jepang yang dirasa
bertanggungjawab terhadap kejahatan-kejahatan dan kekejian pada PD II
31
walaupun dalam pembentukannya disinyalir sebagai suatu upaya yang
bersumber dari Victory’s Justice pihak sekutu sebagai pemenang PD II.
Pemikiran terhadap pelanggaran berat HAM melahirkan suatu
konsep internasionalisasi HAM. Hal ini mengembangkan pemikiran
bahwa HAM merupakan sesuatu yang hal yang harus diperhatikan setiap
negara di dunia dalam hal pemajuan penghormatan dan perlindungan
HAM di masing-masing negara. Konferensi HAM dunia pada tahun 1993
mengatakan:
“Human rights are a legitimate concern for all nations and that
their protection is a joint responsibility, especially in regard to
combating serious and grave violations occuring in any part of the
world”15
Seiring dengan itu, pelanggaran berat HAM juga dilandasi dengan
prinsip yurisdiksi universal. Prinsip ini menerangkan bahwa hukum pidana
suatu negara berlaku atas perbuatan pidana yang melanggar kepentingan
masyarakat internasional sehingga perbuatan tersebut dikualifikasikan
sebagai kejahatan internasional atau delicta jure gentium. Karya tulis
Linda Malone mengatakan:
“Universal jurisdiction is based on the philosophy that when a
person violates international law in such a grotesque and profound
15 _______, 1993, UN World Conference of Human Rights, seperti yang tertulis dalam Rafael Edy Bosko, 2008, Hand-Out Hukum dan Ham, Hak Asasi Manusia: Instrumen dan Kelembagaan Internasional, Yogyakarta, hlm 4
32
manner, all states have an obligation to prosecute.”16
Oleh karena itu, yurisdiksi universal yang merupakan perluasan asas
dalam hukum pidana internasional menerangkan kewajiban adanya suatu
pertanggungjawaban individu dalam pelanggaran HAM berat. Hal ini
selaras dengan pendapat Bruce Broomhall yang menggambarkan karakter
khas dari hukum pidana internasional, yaitu:
1. Pertanggungjawaban individu.
2. Pertanggungjawaban pidana tersebut tidak tergantung dari
jabatan yang melekat pada seseorang.
3. Pertanggungjawaban individual tersebut tidak tergantung
apakah undang-undang nasional mengecualikan dari
pertanggungjawaban tersebut.
4. Pertanggungjawaban dimaksud mengandung konsekuensi
penegakan hukum melalui mahkamah pidana internasional atau
melalui pengadilan nasional yang dilaksanakan pada prinsip
universal.
5. Terdapat hubungan erat secara historik, praktek dan doktrin
antara hal-hal yang dilarang dari undang-undang dan landasan
hukum internasional pasca perang dunia kedua.17
16 Malone, Linda, “Does Saddam Hussein Have Head of Stae Immunity?”, http://law.case.edu/saddamtrial/entry.asp?entry_id=2, law.case.edu, diakses pada tanggal 20 April 2009
17 Bruce Broomhall, seperti yang tertulis dalam Eddy O.S Hiariej, 2008, Hand-Out Hukum dan
33
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggaran HAM
mensyaratkan adanya suatu upaya hukum nasional dari negara yang
bersangkutan terlebih dahulu. Hal ini merupakan penghormatan terhadap
kedaulatan suatu negara untuk dapat mengadakan suatu proses hukum
terhadap warga negaranya sebelum berada di bawah yurisdiksi hukum
internasional (exhaution of local remedies). Namun apabila semua upaya
hukum domestik telah selesai ditempuh dan tidak memuaskan atau ada
indikasi kuat bahwa upaya hukum domestik tersebut tidak jujur, tidak
efektif, dan ditunda-tunda tanpa ada alasan yang jelas maka hal ini dapat
dibawa ke hukum internasional, dalam hal ini suatu pengadilan
internasional yang bersifat ad hoc ataupun Mahkamah Pidana
Internasional (ICC).
Penegakan hukum pidana internasional yang dilakukan oleh ICC
mengisyaratkan adanya kewenangan untuk mengadili individu yang telah
melakukan kejahatan perang. Penegakan hukum oleh ICC juga
menempatkan semua orang sama di hadapan statuta ICC tanpa
membedakan kapasitas jabatan seperti jabatan kepala negara atau
pemerintahan, anggota pemerintahan atau parlemen, dan suatu dewan
perwakilan atau pejabat pemerintah.
G. Hipotesis
Ham, Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Pidana, Yogyakarta, hlm 10
34
ICC sebagai instrumen penegak hukum pidana internasional memiliki
kewenangan untuk melakukan proses hukum terhadap individu-individu.
Hal ini berlaku tak terkecuali pejabat negara yang memiliki kekebalan
hukum, terutama kepala negara. Pelanggaran berat HAM yang terjadi di
wilayah darfur sejak tahun 2003 sudah memberikan dasar suatu proses
hukum terhadap individu pelaku oleh ICC.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Data
A. Bahan Hukum Primer, yaitu ketentuan-ketentuan hukum
internasionla. Bahan-bahan ini dapat diperoleh, terutama dalam
sumber-sumber hukum internasional, yaitu:
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
Statuta Roma
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan
Diplomatik
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1556
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1564
35
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1593
Putusan Pre-Trial Chamber 1 ICC No.
ICC-02/05-01/09 pada tanggal 4 Maret
2009.
B. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisa serta memahami bahan hukum primer meliputi karya
yang ada hubungannya dengan pokok bahasan yang akan diteliti
baik dalam bentuk buku, skripsi, majalah, jurnal hukum, dan
sebagainya.
C. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan tertulis yang menunjang
penulisan hukum seperti:
Kamus Hukum
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Kamus Bahasa Inggris-Indonesia
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan teknik studi pustaka dengan
36
mengambil lokasi penelitian pada:
a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
c. Unit Perpustakaan II Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
d. Perpustakaan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta
3. Teknis Pengumpulan Data
Data-data yang dibutuhkan dikumpulkan melalui teknik studi
kepustakaan/dokumen, yakni dengan cara mencari bahan-bahan
hukum yang diperlukan melalui buku-buku literatur dan sumber
dokumentasi lainnya, untuk kemudian diklarifikasi berdasarkan
variabel permasalahan.
37
4. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis untuk
selanjutnya dianalisis berdasarkan kualitas data.
Untuk memahami makna dari bahan-bahan yang diperoleh maka akan
diinterpretasikan dengan jalan:
a. Interpretasi gramatikal, yaitu mengetahui makna sesuatu dengan
cara menfsirkan sesuai susunan kata/bunyi bahasanya.
b. Interpretasi historis, yaitu untuk mengetahui sejarah lahirnya suatu
peristiwa berdasarkan waktu dan tempat kejadiannya.
c. Interpretasi dengan bahan intrinsik, yaitu penafsiran dengan
berdasarkan pada bahan-bahan atau referensi lain yang mendukung
Pada akhirnya, penarikan kesimpulan dengan cara berpikir:
a. Deduksi, yaitu menyimpulkan dari hal-hal yang bersifat abstrak ke
hal-hal yang bersifat konkret.
b. Induksi, yaitu menyimpulkan dari hal-hal yang bersifat konkret ke
hal-hal yang bersifat abstrak.
38
I. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini dibahas dalam beberapa bab yang terdiri dari:
Bab I berisi pendahuluan yang akan menguraikan latar belakang
permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, keaslian penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, hipotesis, cara penelitian dan
sistematika penulisan hukum.
Bab II berisi tinjauan umum mengenai hak imunitas, terdiri dari
pembatasan istilah hak imunitas dan pertanggungjawaban individu sebagai
subjek hukum internasional dalam pengadilan internasional
Bab III berisi tinjauan umum mengenai pengadilan internasional,
dalam hal ini ICC (International Criminal Court). Pembahasan ini terdiri
dari Sejarah mahkama kejahatan internasional, pembatasan yurisdiksi ICC,
dan pengaruh hak imunitas kepala negara terhadap pelaksanaan yurisdiksi
ICC (pembahasan kasus Omar Al-Bashir)
Bab IV berisi kesimpulan dan saran