t1. subyek hukum internasional dan pengesahan perjanjian internasional
TRANSCRIPT
-
1
BAB
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL
Subjek Hukum Internasional dapat diartikan sebagai :
1. Pemegang segala hak dan kewajiban dalam hukum internasional.
2. Pemegang hak istimewa procedural untuk mengadakan tuntutan di depan
Mahkamah Internasional.
3. Pemilik kepentingan yang diatur oleh Hukum Internasional.
Subjek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak
dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dan
kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang
sebagai subjek hukum internasional.
Subjek Hukum Internasional adalah semua pihak atau entitas yang dapat dibebani oleh
hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional. Hak dan kewajiban tersebut
berasal dan semua ketentuan baik yang bersifat formal ataupun non-formal dari
perjanjian internasional ataupun dan kebiasaan internasional
1. Ciri Subjek Hukum Internasional
Semua entitas ada kemampuan memiliki dan melaksanakan hak dan kewajiban
menurut hukum internasional. Menurut Starke, subjek hukum internasional terdiri
dari :
Negara
Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum internasional dapat
diartikan sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum
internasional. Dengan kata lain dapat disebut sebagai subjek hukum
-
2
internasional secara penuh. Mengenai siapa yang menjadi subjek hukum
internasional, dapat dilihat melalui dua pendekatan :
1. Pendekatan dari Segi Teoritis
a. Hanya negaralah yang menjadi subjek hukum internasional.
Pendapat ini didasarkan pada pemikiran, bahwa peraturan-peraturan
hukum internasional adalah peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh
negara-negara, dan traktat-traktat meletakkan kewajiban yang hanya
mengikat negara-negara yang menandatanganinya
b. Individulah yang menjadi subjek hukum internasional.
Bahwa yang dinamakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara
sebenarnya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia-manusia
yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam
negara itu. Negara tidak lain merupakan konstruksi yuridis yang tidak
akan mungkin ada jika tanpa manusia sebagai anggota masyarakat suatu
negara.
2. Pendekatan dari Segi Praktis
Pendekatan ini berpangkal tolak dari kenyataan yang ada, baik kenyataan
mengenai keadaan masyarakat internasional masa sekarang maupun hukum
yang mengaturnya. Kenyataan yang ada tersebut timbul karena sejarah,
desakan kebutuhan perkembangan masyarakat hukum internasional,
maupun memang diadakan oleh hukum itu sendiri.
Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara,
kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional
adalah :
Penduduk yang tetap
Wilayah tertentu
Pemerintahan
Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
-
3
Negara juga bisa disebut sebagi organisasi kekuasaan yang berdaulat,
menguasai wilayah tertentu, dan yang kehidupannya didasarkan pada system
hukum tertentu.
Terbentuknya Negara
Terbentuknya negara terjadi melalui beberapa jalan :
a. Proklamasi. Merupakan pernyataan sepihak dari suatu bangsa bahwa
dirinya melepaskan diri dari kekuasaan negara lain dan mengambil
penentuan nasibnya di tangannya sendiri.
b. Perjanjian Internasional. Dengan perjanjian itu disepakati terbentuknya
suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat dari suatu bangsa tertentu.
c. Plebesit. Plebesit adalah pemungutan suara rakyat dari dua negara yang
bersengketa untuk memilih dan bergabung pada salah satu negara agar
dapat berdiri sebagai suatu negara yang merdeka.
Pengakuan Negara
a. Pengertian Pengakuan
Yang dimaksud dengan pengakuan itu ialah perbuatan bebas suatu
negara yang membenarkan terbentuknya suatu organisasi kekuasaan
yang menerima organisasi kekuasaan itu sebagai anggota masyarakat
internasional. Pengakuan merupakan perbuatan politik karena pengakuan
merupakan perbuatan pilihan yang didasarkan pada perimbangan
kepentingan negara yang mengakui. Pengakuan bukan merupakan
perbuatan hukum karena bukan keharusan sebagai akibat telah
dipenuhinya persyaratan yang telah ditetapkan oleh hukum. Sebagai
perbuatan hukum, pengakuan menimbulkan hak, kewajiban, dan privilege
yang diatur hukum internasional dan hukum nasional negara yang
mengakui. Pengakuan bisa diberikan kepada negara, pemerintah negara
taupun kesatuan bukan negara seperti belligerent.
-
4
b. Fungsi pengakuan
Teori Konstitutif. Teori ini menyatakan bahwa pengakuan itu
menciptakan negara, dengan kata lain pengakuan itulah yang memberi
status negara pada organisasi kekuasaan yang diakui.
eklaratur. Teori ini menyatakan bahwa pengakuan tidak menciptakan
negara, pengakuan merupakan pembuktian resmi mengenai sesuatu
yang telah ada. Negara baru berlaku surut sejak saat kenyataan
terjadinya kemerdekaam negara tersebut.
c. Macam-macam Pengakuan
De Jure. Pengakuan yang diberikan berdasarkan pertimbangan
bahwa menurut negara yang mengakui organisasi kekuasaan yang
diakui dianggap telah memenuhi persyaratan hukum untuk ikut
serta melakukan hubungan interbasional.
De Facto. Pengakuan yang diberikan berdasarkan pertimbangan
bahwa menurut negara yang mengakui organisasi kekuasaan yang
diakui, untuk sementara dan dengan reservasi di kemudian hari,
menurut kenyataannya dianggap telah memenuhi persyaratah
hukum untuk ikut serta melakukan hubungan internasional.
d. Cara Pemberian Pengakuan
Secara Terang-terangan. Pengakuan ini diberikan secara resmi
dalam bentuk nota diplomatic, pesan pribadi dari Kepala Negara
atau Menteri Luar Negeri, pernyataan Parlemen, atau perjanjian
internasional.
Pengakuan Secara Diam-diam. Terjasi karena ada hubungan
antara negara yang mengakui denagn organisasi kekuasaan yang
diakui yang menunjukkan kemauan negara yang mengakuiuntuk
mengadakan hubungan resmi dengan organisasi kekuasaan
yangdiakui. Pengkuan siam-siam ini dibenarkan oleh hukum
-
5
internasional karena pengakuan dianggap masalah kemauan, yang
dapat dinyatakan secara terang-terangan maupun diam-diam.
e. Penarikan Kembali Pengakuan
Terdapat ketentuan umum dalam hal pengakuan bahwa pengakuan de
jure sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali. Penarikan pengakuan
dapat dilakukan denagn penghentian diadakannya hubungan antar
negara yang dilakukan dengan pemutusan hubungan diplomatis. Berbeda
dengan pengakuan de jure, pengakuan de facto dihentikan sesuai dengan
keadaan organisasi kekuasaan yang diberi pengakuan de jure kepa
organisasi kekuasaan de facto.
Macam-Macam Negara
1. Negara Menurut Bentuknya
a. Negara Kesatuan. Negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya
berkedudukan lebih tinggi daripada kekuasaan pemeritah daerahnya.
Hal ini terjadi karena pemerintah pusat memegang kedaulatan negara.
b. Negara federasi. Negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya dama
dengan kekuasaan pemerintah daerah. Hal itu terjadi karena adanya
pembagian bidang kekeuasaan antara pemerintah pusat dan daerah,
dimana pemerintah pusat dan daerah memegang kedaulatan negara.
c. Konfederasi Negara. Merupakan gabungan dari negara-negara yang
kekuasaan pemerintah pusatnya berkedudukan lebih rendah daripada
pemerintah negara yang bergabung padanya. Hal itu terjadi karena
negara0begara yang tergabung merupakan negara yang berdaulat.
2. Negara Menurut Luas Wilayahnya
Disamping negara-negara yang dianggap norma, ada negara mikro atau
negara mini/liliput. Hal itu disebabkan karena wilayahnya, penduduknya,
dan nkemampuan ekonominya kecil. Menurut hukum internasional,
-
6
negara mikro berhak ada, dimana keberadaannya didasarkan hak
menentukan nasib sendiri dari tiap bangsa.namun berbeda dengan
negara normal, negara mikro tidak dapat menikmati hak-hak internasional
tertentu, misalnya menjadi anggota PBB. Karena dianggap terlalu berat
bagi negara mikro dan dapat melemahkan kedudukan PBB.
3. Negara Menurut Wilayah Lautnya
Negara Pantai. Negara yang wilayah daratannya, atau sebagaian
garatannya berbatasan dengan laut. Contohnya Belanda, Mesir, dan
India.
Negara tidak Berpantai. Negara yang wilayah negaranya habis
dikelilingi daratan negara lain. Contohnya Swiss, Austria, dan Nepal.
Negara Pantai yang tidak Beruntung. Negara pantai yang wilayah
lautnya terjepit oleh laut negara lain. Contohnya Soingapura.
Negara Kepulauan. Negara yang seluruhnya terdiri dari satu
kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau lain. Yang dimaksud
ialah sekelompok pulau, termasuk bagian pulau-pulau, perairan yang
menghubungkannya dengan benda alami lain yang membentuk suatu
kesatuan.
4. Negara Menurut Kedudukannya dalam Pertikaian Bersenjata
Negara yang Dinetralkan. Negara yang kemerdekaan dan integritas
politik serta teritorialnya dijamin secara permanent oleh perjanjian
kolektif negara-negara besar denagn negara yang dinetralkan itu yang
merupakan subjek hukum internasional. Negara yang dinetralkan hak
untuk melakukan pertikaian senjata dibatasi serta adanya larangan
untuk mengikuti perjanjian persekutuan atau perjanjian internasional.
Negara Netral. Negara yang secara sukarela menetapkan kebijakan
untuk tidak ikut serta dalam suatu pertikaian bersenjata yang terjadi.
-
7
Kedudukan negara netral tidak mempengaruhi kedudukan negara
terseut sebagai subjek hukum internasional.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa negara adalah subjek hukum
internasional yang utama, bahkan ada beberapa literatur yang menyebutkan
bahwa negara adalah satu-satunya subjek hukum internasional. Alasan yang
mendasari pendapat yang menyatakan bahwa negara adalah subjek hukum
internasional yang utama adalah :
1. Hukum internasional mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara,
sehingga yang harus diatur oleh hukum internasional terutama adalah
negara.
2. Perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional yang utama
dimana negara yang paling berperan menciptakannya.
Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan
James Wolfe :
1. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan
maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan
Bangsa-Bangsa;
2. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud
dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO,
International Monetary Fund, International Labour Organization, dan lain-
lain;
3. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan
tujuan global, antara lain: Association of Southeast Asian Nation (ASEAN),
Europe Union.
Dasar hukum yang menyatakan bahwa organisasi internasional adalah subjek
hukum internasional adalah pasal 104 piagam PBB.
-
8
Palang Merah Internasional
Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis
organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang
Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat
unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya,
Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam yang lingkup nasional,
yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin
oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan
kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan
simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah
Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dan negara-
negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International
Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss.
Dasar hukumya :
Internasionai committee of red cross (ICRC)
Konvensi jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang
Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan
Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta
Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran
tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi
Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun
tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab
hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya
memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi
Tahta Suci dan umat Katolik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia.
Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta
-
9
Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian
juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai
negara.
Dasar hukumnya : Lateran Tretay (11 february 1929)
Kaum Pemberontak/Beligerensi (Belligerent)
Kaum beligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dan masalah dalam
negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya
merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan
tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan
akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka
salah satu sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi atau menerima
kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan
dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat
pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut
pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status
sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.
Contoh PLO (Palestine Liberalism Organization) atau Gerakan Pembebasan
Palestina.
Dasar hukumnya :
Hak untuk menentukan nasib sendiri
Hak untuk memilih sistem ekonomi, sosial dan budaya sendiri
Hak untuk menguasai sumber daya alam
Individu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang
memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara
langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang
Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal
-
10
Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan
lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan,
dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subjek hokum
internasional yang mandiri.
Dasar hukumnya :
Perjanjian Versailles 1919 pasal 297 dan 304
Perjanjian Upersilesia 1922
Keputusan Permanent court of justice 1928
Perjanjian London 1945 (lnggris, Prancis, Rusia, USA)
Konvensi Genocide 1948
B. PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL MENJADI UNDANG-
UNDANG DI INDONESIA
1. Latar Belakang
Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata
hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau
ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata
hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional
sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada
umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional
sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup
dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan
dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting
adalah bidang hukum nasional.
Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara
sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum
nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan
-
11
internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.
Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori
voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan
negara, dan teori objektivis yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas
dari kemauan negara.
Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam
memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan
teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua
perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan
pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional
sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.
Teori Keberlakuan Hukum Internasional
A. Aliran Dualisme
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional
bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan
hal ini :
1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum
internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat
hukum internasional;
2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam
hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional
adalah negara;
-
12
3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada
realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam
hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.
4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak
dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan
hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara
efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat
hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat
hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara
hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak
saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas
antara satu dengan yang lainnya.
Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat
hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan
hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi
hukum nasional.
B. Aliran Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh
hukum yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum nasional dan
hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih
besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua
perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki
dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam
menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum
internasional.
-
13
Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum
internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme
dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional
lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme
dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.
Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan
kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan
bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar
negeri. Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum
internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari
hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut :
1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara;
2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak
pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang
berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing
negara.
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa
hukum nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum
nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan
mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam
menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia
sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam
hukum nasionalnya.
-
14
C. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional.
Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan
apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag
XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah
Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam
Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember
1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah
Internasional tertanggal 26 Juni 1945.
Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada
sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu
Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah
Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai
Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum
ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan
Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang
berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan
dihadapannya adalah :
1. Perjanjian Internasional;
2. Kebiasaan Internasional;
3. Prinsip Hukum Umum;
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai
negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau
dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek
hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.
Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum
internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun
antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional
-
15
lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh
perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi
internasional dan negara-negara.
Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna
Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku
(entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai
bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga
diratifikasi menjadi hukum nasional.
Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah
traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter,
deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain.
Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan
perjanjian internasional.
Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan
menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk
melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan
ratifikasi. Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua
tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan. Untuk golongan pertama
biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga
memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan
perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya
pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara.
Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu
penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk
golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan
Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.
Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan
dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut :
-
16
1. Penjajakan : merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang
berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2. Perundingan : merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan
masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3. Perumusan Naskah : merupakan tahap merumuskan rancangan suatu
perjanjian internasional.
4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah
dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral,
kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut
"Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau
paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-
masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan
(acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu
negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral
untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah
disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan
perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara
pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui
pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).
D. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan
subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat
penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya.
Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional
dilakukan berdasarkan undang-undang.
-
17
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti
tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa
Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini
memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian
internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11
UUD 1945 tersebut.
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam
bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang
ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman
dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19]
Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan
melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang
diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari
Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti
dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian
internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur
dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24
Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah :
Ketentuan Umum
Pembuatan Perjanjian Internasional
Pengesahan Perjanjian Internasional
Pemberlakuan Perjanjian Internasional
Penyimpanan Perjanjian Internasional
Pengakhiran Perjanjian Internasional
-
18
Ketentuan Peralihan
Ketentuan Penutup
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu :
1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu
perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian
internasional;
2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu
perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan
menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian
internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-
executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu
perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak
terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional
memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak
akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.
Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau
menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap
perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang
tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut
kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan
materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau
lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan
tanpa memerlukan surat kuasa.
-
19
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang
dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu
perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh
para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku
setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan
persetujuan DPR.[24] Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu
pemberitahuan ke DPR. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui
undang-undang apabila berkenaan dengan :
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
kedaulatan atau hak berdaulat negara;
hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
pembentukan kaidah hukum baru;
pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung
jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional
yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional,
perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai
dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam
Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa :
Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
-
20
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum
nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa
Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua
sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam
bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan
UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan
presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian
internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya
menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional
tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-
undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi,
contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights
melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-
undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-
undang yang lebih spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam
pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu
pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini
dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam
pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu
pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini
dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen
perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam
perjanjian oleh para pihak.
Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang
materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya,
pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar
propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para
pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
-
21
Menurut Mochtar Kusumaatmaja ada dua macam cara pembentukan perjanjian
internasional :
a. Perjanjian internasional yang dibentuk melalui 3 tahap yaitu (perundingan,
penandatanganan, ratifikasi atau pengesahan), cara ini dupakai apabila materi atau
yang diperjanjikan itu dianggap sangat penting maka perlu persetujuan DPR.
b. Perjanjian internasional yang dibentuk melalui 2 tahap yaitu ( perundingan dan
penandatanganan) dipakai untuk perjanjian yang tidak begitu penting, penyelesaian
cepat, berjangka pendek, seperti Perjanjian perdagangan.
Menurut Hukum Positif Indonesia, pada pasal 11 ayat 1 UUD 1945
dosebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan
Negara lain. Dalam Undang-undang RI No. 24 tahun 2000 ditegaskan bahwa
pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap ( penjajakan, perundingan,
perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan).
Menurut Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional
disebutkan tahap pembuatan perjanjian internasional dilakuakn melalui tahap :
a. Perundingan (Negotiation), perundingan tahap pertama tentang objek tertentu,
diwakili oleh kepla negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri atau duta besar
dengan menunjukkan Surat Kuasa Penuh (full powers)
b. Penandatanganan (Signature), biasanya dilakukan oleh menteri luar negeri atau
kepala pemerintahan. Tapi perjanjian belum dapat diberlakukan sebelum diratifikasi
oleh masing-masing negara.
c. Pengesahan (Ratification), Penandatanganan hanya bersifat sementara dan harus
dikuatkan dengan pengesahan atau penguatan yang disebut ratifikasi. Ratifikasi
perjanjian internasional dapat dibedakan sbb :
Ratifikasi oleh badan eksekutif, biasanya dilakukan oleh raja absolut dan
pemerintahan otoriter.
Ratifikasi oleh badan Legislatif atau DPR,Parlemen tapi jarang digunakan.
Ratifikasi campuran antara DPR (legislatif) dengan Pemerintah (Eksekutif)
-
22
pengesahan perjanjian internasional dengan keputusan presiden
Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut
prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai
kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Dasar kewenangan presiden
dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar
1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut :
a. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
b. Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
c. Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan
surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang
berisi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah
masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik
Indonesia, Diratifikasi dengan undang undang.
Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah
yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan Presiden.
Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga
adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang
juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat
Presiden nomor : 2826. Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan
jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai
berikut :
o Undang-Undang Dasar 1945.
o Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu).
o Peraturan Pemerintah (PP).
-
23
o Peraturan Presiden.
o Peraturan Daerah
o Peraturan Desa
Tentang kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan perundang-
undang Nasional, meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang
Peraturan, Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-
undangan, namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian
Internasional.
Sebelumnya perlu diklarifikasi mengenai perjanjian internasional yang Anda maksud.
Dalam Pasal 11 UUD 1945 memang diatur bahwa dalam hal Presiden membuat
perjanjian internasional, perlu ada persetujuan DPR. Akan tetapi, tidak semua
perjanjian internasional butuh persetujuan DPR. Yang perlu persetujuan DPR adalah :
1. Perjanjian internasional dengan Negara lain (lihat Pasal 11 ayat [1] UUD 1945).
Jadi, setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden dengan Negara lain
(baik bilateral maupun multilateral) harus mendapatkan persetujuan DPR.
2. Perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang (lihat Pasal 11 ayat
[2] UUD 1945). Perjanjian internasional lainnya disini artinya perjanjian dengan
subjek hukum internasional lainnya, contohnya dengan organisasi internasional.
Selanjutnya, Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan mengenai
perjanjian initernasional ini diatur dengan Undang-Undang. Berkaitan dengan
ketentuan tersebut, Undang-Undang yang perlu kita rujuk adalah Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional).
Penjelasan Umum UU Perjanjian Internasional menjelaskan bahwa Perjanjian
internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di
bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah
dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.
Sebelum perjanjian internasional ini berlaku dan mengikat di Indonesia, perjanjian
-
24
internasional itu perlu disahkan. Yang dimaksud Pengesahan, menurut pasal 1
angka 2 UU Perjanjian Internasional, adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan
diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi
(accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).
Lebih lanjut, pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa
pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan presiden. Penjelasan pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional
menyatakan bahwa :
pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang memerlukan
persetujuan DPR;
pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan keputusan presiden
(Keppres), cukup diberitahukan saja kepada DPR.
Catatan: Setelah diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU No. 10/2004), pengesahan perjanjian
antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional tidak
lagi dapat dilakukan dengan Keppres tapi dengan Peraturan Presiden
(Perpres). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf c butir
1 UU No. 10/2004.
Jadi, persetujuan DPR diberikan pada saat perjanjian internasional akan
disahkan menjadi Undang-Undang, bukan sebelum penandatanganan perjanjian
internasional.
Dasar hokum :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. terkait :
Menurut Undang-Undang nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, tahap-tahap Perjanjian Internasional (proses pembuatan
perjanjian Internasional) adalah sebagai berikut :
-
25
Tahap Penjajakan Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua
pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian
internasional.
Tahap Perundingan Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi
dan masalah2 teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
Tahap Perumusan Naskah Merupakan tahap merumuskan rancangan
suatu perjanjian internasional.
Tahap Penerimaan Merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang
telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan
bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut
Penerimaan yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau
paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-
masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/
approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak
atas perubahan perjanjian internasional.
Tahap Penandatanganan Merupakan tahap akhir da1am perundingan
bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang
telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral,
penandantanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan
diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian Internasional
(Menurut Pasal 6 Ayat 1) Tahap Pengesahan :
Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan
ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang
memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah terpenuhinya
prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan
perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
-
26
DAFTAR PUSTAKA
(Istanto, Ibid: 16; Mauna, 2001:12).
(Phartiana, 2003; 123)
(Phartiana, 2003, 125)
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Jakarta 2003, hal 56
A Shearer, Starkes International Law, 11th ed., Butterworths, USA, 1984, hal 64, Aliran ini
pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Para pemuka aliran ini adalah Triepel dan
Anziloti.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung 2003, hal 57-
56.
Loc. cit.
Ibid, hal 65.
Op. cit., hal 61
Ibid, hal 62, Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wina (Kunz, Kelsen dan Verdross)
Ibid, hal 114
Shearer, hal 29
Op. cit., hal 117
Vienna Convention on the Law of Treaties, Vienna 1969
Op. cit., hal 119
Ibid
Ibid
Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.
Loc. cit. Lihat: Catatan Kaki No. 5.
-
27
Indonesia (a), Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185.
Ibid, Pasal 7.
Ibid, Pasal 8
Ibid, Pasal 9
Ibid, Pasal 10
Ibid, Pasal 11
Ibid, Pasal 10