3 bab ii - universitas muhammadiyah malangeprints.umm.ac.id/54278/3/bab ii.pdf · 3 É 5 > É 6...

30
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisa Hidrologi Hidrologi merupakan bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari kejadian serta penyebaran atau distribusi air secara alami di bumi. Unsur hidrologi yang berpengaruh terhadap suatu wilayah adalah curah hujan. Oleh sebab itu data curah hujan suatu daerah merupakan data utama dalam menentukan besarnya debit banjir rencana maupun debit andalan yang terjadi pada daerah tersebut. 2.1.1 Analisa Hujan Rata-rata Curah hujan yang diperlukan untuk rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan dan bukan hanya di satu titik tertentu saja. Dalam perhitungan curah hujan rata-rata ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu metode Aritmatik, metode Poligon Thiessen, dan metode Isohyet. 2.1.1.1 Metode Aritmatik Gambar 2.1 Metode Aritmatik Sumber: Ir. CD Soemarto (1987) Perhitungan curah hujan rata-rata dengan metode Aritmatik biasanya digunakan pada daerah datar dan penyebaran hujannya dianggap merata. Metode ini menggunakan perhitungan curah hujan wilayah dengan menjumlahkan curah hujan dari semua titik pengukuran dan membaginya dengan jumlah titik pengukuran yang ada pada wilayah tersebut.

Upload: others

Post on 10-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisa Hidrologi

Hidrologi merupakan bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari kejadian

serta penyebaran atau distribusi air secara alami di bumi. Unsur hidrologi yang

berpengaruh terhadap suatu wilayah adalah curah hujan. Oleh sebab itu data curah

hujan suatu daerah merupakan data utama dalam menentukan besarnya debit banjir

rencana maupun debit andalan yang terjadi pada daerah tersebut.

2.1.1 Analisa Hujan Rata-rata

Curah hujan yang diperlukan untuk rancangan pengendalian banjir adalah

curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan dan bukan hanya di satu

titik tertentu saja. Dalam perhitungan curah hujan rata-rata ada beberapa metode

yang dapat digunakan, yaitu metode Aritmatik, metode Poligon Thiessen, dan

metode Isohyet.

2.1.1.1 Metode Aritmatik

Gambar 2.1 Metode Aritmatik

Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)

Perhitungan curah hujan rata-rata dengan metode Aritmatik biasanya

digunakan pada daerah datar dan penyebaran hujannya dianggap merata. Metode

ini menggunakan perhitungan curah hujan wilayah dengan menjumlahkan curah

hujan dari semua titik pengukuran dan membaginya dengan jumlah titik

pengukuran yang ada pada wilayah tersebut.

Page 2: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

5

P = ……

…… (2.1)

dimana:

P = Tinggi curah hujan rata-rata (mm)

P1, P2, Pn = Tinggi curah hujan di setiap stasiun pengukuran (mm)

n = Jumlah stasiun pengukuran

Metode Aritmatik ini sangat sederhana dan mudah diterapkan, namun

kurang memberikan hasil yang teliti. Hal ini dikarenakan tinggi curah hujan tidak

benar-benar seluruhnya merata pada wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Sifat

distribusi hujan sangat bervariasi, terutama di wilayah tropis termasuk Indonesia,

sehingga metode Aritmatik tidak cocok digunakan untuk suatu wilayah Daerah

Aliran Sungai (DAS) di Indonesia.

2.1.1.2 Metode Poligon Thiessen

Gambar 2.2 Metode Poligon Thiessen

Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)

Dalam metode poligon thiessen, curah hujan rata-rata didapatkan dengan

membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis

penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian setiap stasiun pengukuran tinggi

curah hujan akan mewakili suatu wilayah poligon tertutup atau luasan tersebut.

Metode ini digunakan pada penyebaran stasiun hujan di daerah yang hujannya tidak

merata.

P = . . ….. . …… (2.2)

Page 3: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

6

dimana:

P = Tinggi curah hujan rata-rata (mm)

P1, P2, Pn = Tinggi curah hujan di setiap stasiun pengukuran (mm)

A1, A2, An = Luas daerah yang mewakili stasiun pengukuran (km2)

Atotal = Luas total Daerah Aliran Sungai (km2)

Nilai perbandingan antara luas poligon yang mewakili setiap stasiun

terhadap luas total Daerah Aliran Sungai (DAS) disebut sebagai koefisien thiessen.

Metode ini cocok untuk menentukan tinggi curah hujan rata-rata karena telah

memperhitugkan pengaruh letak penyebaran stasiun pengukuran hujan.

2.1.1.3 Metode Isohyet

Gambar 2.3 Metode Isohyet

Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)

Metode Isohyet ini menggunakan pembagian dengan garis yang

menghubungkan titik-titik kedalaman hujan yang sama. Tinggi curah hujan rata-

rata didapatkan dengan menjumlahkan perkalian antara curah hujan rata-rata

diantara garis isohyet dengan luas daerah yang dibatasi oleh garis batas Daerah

Aliran Sungai (DAS) dan dua garis isohyet, kemudian dibagi dengan luas seluruh

Page 4: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

7

Daerah Aliran Sungai (DAS). Metode ini pada umumnya digunakan untuk daerah

pegunungan.

P = x ( )

+ … + x ( )

…… (2.3)

dimana:

P = Tinggi curah hujan rata-rata (mm)

P1, P2, Pn = Tinggi curah hujan yang sama pada setiap garis

isohyet (mm)

A1, An = Luas daerah yang dibatasi dua garis isohyet (km2)

Atotal = Luas total Daerah Aliran Sungai (km2)

2.1.2 Perhitungan Parameter Dasar Statistik

Sistem hidrologi merupakan fenomena yang tidak dapat dipastikan. Banyak

hal yang sering terjadi di luar perkiraan. Oleh sebab itulah diperlukan analisa

frekuensi untuk menghitung besarnya peristiwa ekstrim yang terjadi. Selain

perhitungan frekuensi, diperlukan juga perhitungan distribusi sebagai pembanding.

Namun, parameter dasar statistik ini juga menentukan dalam pemilihan distribusi

frekuensi yang akan digunakan. Distribusi frekuensi hujan digunakan untuk

menentukan curah hujan rencana.

2.1.2.1 Standart Deviasi dan Varian

Standart Deviasi dan Varian adalah sebuah bentuk penyebaran yang

menunjukkan standart penyimpangan atau deviasi data terhadap penyimpangan

rata-ratanya. Standart Deviasi merupakan akar kuadrat dari varian dan

menunjukkan standart penyimpangan data terhadap nilai rata-ratanya. Sedangkan,

varian adalah rata-rata hitung deviasi kuadrat setiap data terhadap rata-rata

hitungnya.

𝜎 = ∑ ( ̅)

…… (2.4)

𝑣 = ( 𝜎 )2 …… (2.5)

dimana:

𝜎 = Standart Deviasi

Page 5: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

8

n = Jumlah data

�̅� = Nilai rata-rata

𝑥 = Nilai varian ke-i

2.1.2.2 Kemencengan (Skewness)

Kemencengan (Skewness) merupakan suatu nilai yang menunjukkan derajat

ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi. Pengukuran kemencengan adalah

mengukur seberapa besar suatu kurva frekuensi dari suatu distribusi tidak simetris

atau menceng.

𝐶𝑠 = .∑( ̅)

( ) ( ) …… (2.6)

dimana:

Cs = Koefisien Skewness

𝜎 = Standart Deviasi

n = Jumlah data

�̅� = Nilai rata-rata

𝑥 = Nilai varian ke-i

2.1.2.3 Kurtosis

Parameter ketiga untuk mengukur distribusi variabel adalah kurtosis,yang

merupakan puncak distribusi. Biasanya hal ini dibandingkan dengan distribusi

normal yang mempunyai koefisien kurtosis.

𝐶𝑘 = .∑( ̅)

( ) ( ) ( ) …… (2.7)

dimana:

Ck = Koefisien Kurtosis

𝜎 = Standart Deviasi

n = Jumlah data

�̅� = Nilai rata-rata

𝑥 = Nilai varian ke-i

Page 6: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

9

Tabel 2.1 Karakteristik Distribusi Frekuensi

Jenis Distribusi Syarat Distribusi

Distribusi Gumbel Cs = 1,139 dan Ck = 5,402

Distribusi Normal Cs = 0 dan Ck = 3

Distribusi Log-Pearson Tipe III Selain dari nilai diatas Sumber: Soewarno (1995)

2.1.3 Analisa Frekuensi dan Probabilitas

Tujuan analisis frekuensi data hidrologi berkaitan dengan besaran peristiwa-

peristiwa ekstrim yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan

distribusi kemungkinan. Data hidrologi yang dianalisis diasumsikan tidak

bergantung (independent), dan terdistribusi secara acak.

Frekuensi hujan adalah besaran kemungkinan suatu besaran hujan disamai

atau dilampui. Sebaliknya, kala ulang adalah waktu hipotetik dimana hujan dengan

suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui. Analisis frekuensi ini

didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh

probabilitas besaran hujan di masa yang akan datang dengan anggapan bahwa sifat

statistik kejadian hujan di masa akan datang masih sama dengan statistik kejadian

hujan di masa lalu.

Untuk menganalisa probabilitas banjir biasanya digunakan beberapa macam

distribusi, yaitu Distribusi Normal, Distribusi Gumbel, Distribusi Pearson Tipe III,

dan Distribusi Log-Pearson Tipe III.

2.1.3.1 Metode Distribusi Gumbel

Distribusi Gumbel pada umumnya digunakan untuk menghitung curah

hujan. Dengan menggunakan persamaan 2.8, maka dapat dihitung besarnya curah

hujan rencana sesuai dengan kala ulangnya.

Xt = 𝑋 + KT . S …… (2.8)

dimana:

Xt = Curah hujan dengan kala ulang T tahun (mm)

𝑋 = Curah hujan rata-rata hasil pengamatan n tahun di lapangan (mm)

KT = Faktor probabilitas, untuk harga ekstrim

S = Standart Deviasi dari hasil pengamatan selama n tahun

Page 7: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

10

Untuk perhitungan KT dapat dinyatakan dalam persamaan 2.9.

KT = …… (2.9)

dimana:

Ytr = Reduksi variat

Yn = Reduksi rata-rata variat yang tergantung pada jumlah sampel (n)

dan besarnya dapat dilihat pada tabel 2.2

Sn = Reduksi standart deviasi variat yang juga tergantung pada

jumlah sampel (n) dan besarnya dapat dilihat pada tabel 2.3

Tabel 2.2 Hubungan Reduksi Rata-rata (Yn) dengan Jumlah Data Sampel

n Yn n Yn n Yn n Yn n Yn

10 0,4952 20 0,5230 30 0,5362 40 0,5436 50 0,5485

11 0,4992 21 0,5252 31 0,5371 41 0,5442 51 0,5489

12 0,5035 22 0,5268 32 0,5380 42 0,5448 52 0,5493

13 0,5070 23 0,5283 33 0,5388 43 0,5453 53 0,5497

14 0,5100 24 0,5296 34 0,5396 44 0,5458 54 0,5501

15 0,5128 25 0,5309 35 0,5402 45 0,5463 55 0,5504

16 0,5157 26 0,5320 36 0,5410 46 0,5468 56 0,5508

17 0,5181 27 0,5332 37 0,5418 47 0,5473 57 0,5511

18 0,5202 28 0,5343 38 0,5418 48 0,5477 58 0,5515

19 0,5220 29 0,5353 39 0,5430 49 0,5481 59 0,5518

Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)

Tabel 2.3 Hubungan Reduksi Standart Deviasi (Sn) dengan Jumlah Data Sampel

n Sn n Sn n Sn n Sn n Sn

10 0,9496 20 1,0628 30 1,1124 40 1,1413 50 1,1607

11 0,9676 21 1,0696 31 1,1159 41 1,1436 51 1,1623

12 0,9883 22 1,0754 32 1,1193 42 1,1458 52 1,1638

13 0,9971 23 1,0811 33 1,1228 43 1,1480 53 1,1658

14 1,0095 24 1,0864 34 1,1255 44 1,1499 54 1,1667

15 0,0206 25 1,0915 35 1,1285 45 1,1519 55 1,1681

16 1,0316 26 1,0961 36 1,1313 46 1,1538 56 1,1696

17 1,0411 27 1,1004 37 1,1339 47 1,1557 57 1,1708

18 1,0493 28 1,1047 38 1,1363 48 1,1574 58 1,1721

19 1,0565 29 1,1086 39 1,1388 49 1,1590 59 1,1734

Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)

Perhitungan Reduksi Variat (Ytr) dapat dinyatakan dalam persamaan 2.10.

Page 8: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

11

Ytr = −𝐼𝑛 −𝐼𝑛. …… (2.10)

dimana:

Tr = Kala ulang hujan untuk curah hujan tahunan rata-rata

2.1.3.2 Metode Log-Pearson Tipe III

Distribusi Log-Pearson Tipe III merupakan perkembangan fungsi

probabilitas yang dilakukan oleh Pearson. Dengan menggunakan persamaan di

bawah ini maka dapat dihitung besarnya curah hujan rencana sesuai dengan kala

ulangnya.

Adapun langkah-langkah dari penggunaan distribusi Log-Pearson Tipe III

adalah sebagai berikut:

1. Mengubah data hujan (x) menjadi dalam bentuk logaritmatik.

Y = Log X …… (2.11)

2. Menghitung harga hujan rata-rata.

𝑌 = ∑

…… (2.12)

3. Menghitung harga standart deviasi.

𝜎 = ∑ ( )

…… (2.13)

4. Menghitung koefisien kemencengan.

5. Menghitung logaritma hujan dengan kala ulang n tahun.

Yt = 𝑌+ K.s …… (2.14)

6. Menghitung curah hujan dengan menggunakan antilog Y.

dimana:

X = Hujan dengan kala ulang T

Y = Antilog curah hujan

𝑌 = Antilog curah hujan rata-rata

𝑆 = Standart Deviasi

𝐾 = Faktor Distribusi Log-Pearson Tipe III dan nilainya dapat dilihat

pada tabel 2.4

Page 9: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

12

Tabel 2.4 Nilai K Distribusi Pearson Tipe III

Skew Koefisien

Kala Ulang

2 5 10 25 50 100

Cs Persentase Peluang Terlampaui

50 20 10 4 2 1

2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605

1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499

1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,380

1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,700 3,271

1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149

1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022

0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957

0,8 -0,132 0,780 1,336 1,998 2,453 2,891

0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824

0,6 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755

0,5 -0,083 0,806 1,323 1,910 2,311 2,686

0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615

0,3 -0,050 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544

0,2 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472

0,1 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400

0,0 0,000 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326

-0,1 0,017 0,846 1,270 1,716 2,000 2,252

-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178

-0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104

-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,843 2,029

-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955

-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880

-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806

-0,8 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733

-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,594 1,660

-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588

-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449

-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197

Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)

2.1.4 Uji Distribusi Analisa Frekuensi

Untuk menentukan kecocokan distribusi frekuensi dengan sampel data

terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau

mewakili distribusi frekuensi tersebut diperlukan pengujian parameter. Bilamana

dari pengujian terhadap distribusi frekuensi bisa sesuai parameter uji keduanya

maka perumusan persamaan tersebut dapat diterima.

Page 10: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

13

2.1.4.1 Uji Chi-Kuadrat (Uji Chi-Square)

Uji Chi-Kuadrat (Uji Chi-Square) dimaksudkan untuk menentukan apakah

persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi

statistik sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan

parameter X2. Oleh karena itu disebut dengan Uji Chi-Kuadrat. Parameter X2 dapat

dihitung dengan persamaan 2.15. (Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk

Analisa Data jilid 1, Tahun 1995)

Xh2 = ∑

( ) …… (2.15)

dimana:

Xh2 = Parameter Chi-Kuadrat terhitung

G = Jumlah sub-kelompok

Oi = Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-i

Ei = Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i

Langkah-langkah dalam pengerjaan uji Chi-Kuadrat adalah:

1. Urutkan data pengamatan (dari nilai terbesar ke nilai terkecil atau sebaliknya).

2. Kelompokkan data menjadi G sub-grup. Setiap sub-grup minimal 4 data

pengamatan. Tidak ada aturan yang pasti tentang penentuan jumlah kelas (grup),

H.A Sturges pada tahun 1926 mengemukakan suatu perumusan untuk

menentukan banyaknya kelas.

3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap-tiap sub-grup.

4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei.

5. Tiap-tiap sub-grup dihitung nilai (Oi – Ei)2 dan ( )

6. Tentukan derajat kebebasan dk = G – R – 1 (nilai R=2, untuk distribusi normal

dan binomial; dan nilai R=1, untuk distribusi poisson).

Interpretasi hasil data adalah sebagai berikut:

1. Apabila peluang lebih besar dari 5% maka persamaan distribusi teoritis yang

digunakan dapat diterima.

2. Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang

digunakan tidak dapat diterima

Page 11: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

14

3. Apabila peluang berada diantara 1% dan 5% adalah tidak mungkin mengambil

keputusan sehingga perlu penambahan data.

2.1.4.2 Uji Smirnov-Kolmogorov

Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov, biasanya juga disebut uji kecocokan

non parametrik. Hal ini dikarenakan pengujiannya tidak menggunakan fungsi

distribusi tertentu. Langkah-langkah dalam pengerjaan Uji Smirnov-Kolmogorov

yaitu:

1. Mengurutkan data (dari nilai terbesar ke nilai terkecil atau sebaliknya) dan

tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut.

2. Menentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data

(persamaan distribusinya).

3. Dari kedua nilai peluang tersebut, ditentukan nilai selisih terbesarnya antara

peluang pengamatan dengan peluang teoritis.

4. Berdasarkan tabel 2.5 nilai kritis (Smirnov-Kolmogorv), ditentukan nilai Do.

Apabila D lebih kecil dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk

menentukan persamaan distribusi dapat diterima. Apabila D lebih besar dari Do

maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi

tidak dapat diterima.

Tabel 2.5 Nilai Kritis DO untuk Uji Smirnov-Kolmogorov

N Derajat Kepercayaan 𝜶

0,20 0,10 0,05 0,01

5 0,45 0,51 0,56 0,67

10 0,32 0,37 0,41 0,49

15 0,27 0,30 0,34 0,40

20 0,23 0,26 0,29 0,36

25 0,21 0,24 0,27 0,32

30 0,19 0,22 0,24 0,29

35 0,18 0,20 0,23 0,27

40 0,17 0,19 0,21 0,25

45 0,16 0,18 0,20 0,24

50 0,15 0,17 0,19 0,23

>50 1,07

√𝑛

1,22

√𝑛

1,36

√𝑛

1,63

√𝑛

Sumber: Nugroho Hadisusanto (2011)

Page 12: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

15

2.1.5 Perhitungan Distribusi Hujan Jam-jaman

Dalam perhitungan debit dengan menggunakan rumus hidrograf satuan

sintesis diperlukan data hujan jam-jaman. Distribusi curah hujan jam-jaman dapat

dihitung dengan persamaan 2.16.

Rt = Ro . /

…… (2.16)

dimana:

Rt = Rata-rata hujan pada jam ke-i

Ro =

T = Lama waktu hujan terpusat (jam)

t = Waktu hujan (jam)

Untuk menghitung rata-rata curah hujan pada jam ke-t menggunakan

persamaan 2.17.

Rt’ = t.Rt – (t-1).R(t-1) …… (2.17)

dimana:

Rt’ = Tinggi hujan pada jam ke-t (mm)

Rt = Rata-rata tinggi hujan sampai jam ke-t (mm)

t = Waktu hujan (jam)

R(t-1) = Rata-rata tinggi hujan dari permulaan sampai jam ke-t (mm)

Dalam perhitungan distribusi hujan efektif, persamaan yang digunakan

adalah:

Re = C . Rt’ …… (2.18)

dimana:

Re = Tinggi hujan efektif (mm)

C = Koefisien pengaliran

Rt’ = Tinggi hujan rencana (mm)

2.1.6 Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran merupakan perbandingan antara air yang mengalir di

permukaan tanah dengan air hujan yang jatuh, maka koefisien pengaliran (Run Off)

bergantung pada jenis permukaan tanah dan tata guna lahan daerah aliran. Untuk

Page 13: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

16

daerah aliran dimana penggunaannya bervariasi, maka koefisiennya merupakan

gabungan antara nilai koefisien pengaliran. Dapat dihitung dengan menggunakan

persamaan 2.19.

Cgab = . . .….. .

.… …… (2.19)

Tabel 2.6 Koefisien Pengaliran Lahan (C)

Komponen Lahan Koefisien C (%)

Jalan: - Aspal 70 – 95

- Beton 80 – 95

- Bata/Paving 70 – 85

Atap 75 – 95

Lahan berumput: - Tanah berpasir: - Landai (2%) 5 – 10

- Curam (7%) 15 – 20

- Tanah berat: - Landai (2%) 13 – 17

- Curam (7%) 25 – 35

Untuk Amerika Utara, harga secara keseluruhan:

Lahan Koefisien

Pengaliran Total (%)

Daerah perdagangan: - penting, padat 70 – 95

- kurang, padat 50 – 70

Area permukiman: - Perumahan tunggal 30 – 50

- Perumahan kopel berjauhan 40 – 60

- Perumahan kopel berdekatan 60 – 75

- Perumahan pinggir kota 25 – 40

- Apartemen 50 – 70

Area Industri: - Ringan 50 – 80

- Berat 60 – 90

Taman dan Makam 10 – 25

Taman bermain 20 – 35

Lahan kosong/terlantar 10 – 30

Sumber: Nugroho Hadisusanto (2011)

2.1.7 Perencanaan Debit Banjir Rencana

Untuk memperkirakan besarnya debit hujan maksimum yang sangat mungkin

pada kala tertentu maka diperlukannya perhitungan debit rencana. Dalam

perhitungan debit rencana ada beberapa metode perhitungan. Dan metode yang

digunakan untuk perhitungan debit rencana yaitu metode perhitungan Debit

Page 14: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

17

Hidrograf Metode Nakayasu. Pemilihan hidrograf ini disesuaikan dengan

karakteristik daerah pengalirannya, selain itu hidrograf satuan ini banyak digunakan

dalam perhitungan banjir rencana di Indonesia. Persamaan umum metode

perhitungan Debit Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu adalah seperti di bawah ini.

Qp = .

, ( , . , ) …… (2.20)

dimana:

Qp = Debit puncak banjir (m3/detik)

Ro = Hujan satuan (mm)

Tp = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak

banjir (jam)

T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak

menjadi 30% dari debit puncak (jam)

Untuk mendapatkan Tp dan T0,3 dengan menggunakan persamaan empiris seperti di

bawah ini.

Tp = tg + 0,8tr …… (2.21)

T0,3 = α . tg …… (2.22)

Dan perhitungan tg dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut.

Apabila L > 15 km

Tg = 0,4 + 0,058.L …… (2.23)

Apabila L < 15 km

tg = 0,21 x L0,7 …… (2.24)

dimana:

L = Panjang alur sungai (km)

tg = Waktu konsentrasi (jam)

tr = Satuan waktu hujan (diambil 1 jam)

α = Koefisien pembanding

Untuk mencari besarnya koefisien pembanding dapat digunakan:

α = 1,5 ; untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat

α = 2,0 ; untuk daerah pengaliran biasa

Page 15: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

18

α = 3,0 ; untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang lambat

Gambar 2.4 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)

Pada bagian garis lengkung naik (rising limb) hidrograf satuan mempunyai

persamaan.

Apabila (0 < t < Tp)

Q = Qp . ,

…… (2.25)

Pada bagian garis lengkung turun (decreasing limb) hidrograf satuan mempunyai

persamaan.

Apabila (Tp < t ≤ Tp+T0,3)

Q = Qp . 0,3 , …… (2.26)

Apabila (Tp+T0,3 < t ≤ Tp+T0,3+1,5T0,3)

Q = Qp . 0,3, ,

, , …… (2.27)

Apabila (Tp+T0,3+1,5T0,3 < t)

Q = Qp . 0,3, ,

, …… (2.28)

2.2 Analisa Hidrolika

Analisa hidrolika bertujuan untuk mengetahui kemampuan penampang dalam

menampung debit rencana. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa salah satu

Page 16: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

19

penyebab banjir adalah karena ketidakmampuan penampang dalam menampung

debit banjir yang terjadi.

Analisa hidrolika ini terdiri dari analisis penampang eksisting sungai dan

perencanaan penampang rencana. Analisis penampang eksisting dengan program

bantu HEC-RAS menggunakan debit sebagai input.

2.2.1 Analisa Kapasitas Sungai

Kapasitas saluran didefinisikan sebagai debit maksimum yang mampu

dilewatkan oleh setiap penampang sepanjang saluran. Kapasitas saluran ini

digunakan sebagai acuan untuk menyatakan apakah debit yang direncanakan

tersebut mampu ditampung saluran eksisting tanpa terjadi peluapan air. Kapasitas

saluran dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

Q = . R2/3.I0,5.A …… (2.29)

dimana:

Q = Debit saluran (m3/detik)

R = Jari-jari hidrolik

I = Kemiringan energi

A = Luas penampang

n = Koefisien kekasaran manning

Besarnya nilai koefisien kekasaran manning tergantung dari lapisan terluar

dari penampang melintang sungai. Jika terdapat lebih dari satu jenis lapisan, maka

nilai koefisien kekasaran yang digunakan adalah koefisen kekasaran komposit

(gabungan keduanya). Adapun persamaan yang digunakan:

N = ∑

∑ …… (2.30)

Jenis dan bentuk saluran disesuaikan dengan kondisi lingkungan di daerah tersebut.

Beberapa bentuk dan jenis saluran yang biasanya digunakan.

a. Saluran berbentuk segiempat dan modifikasinya

b. Saluran berbentuk trapezium dan modifikasinya

Page 17: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

20

2.2.2 Analisa Permodelan HEC-RAS

Dalam menganalisa kapasitas sungai pengerjaannya dilakukan dengan

program bantu HEC-RAS 5.0.6. HEC-RAS merupakan program bantu yang

digunakan untuk menghitung profil muka air di sepanjang ruas sungai. Program

bantu ini menggunakan asumsi dua jenis aliran steady atau unsteady, dan

memberikan desain dari hasil kalkulasi analisa hidrolika tersebut.

Data input yang harus dimasukkan dalam program bantu HEC-RAS 5.0.6

untuk melakukan analisa hidrolika, yaitu:

1. Data geometrik sungai yang ditinjau (koordinat x untuk potongan memanjang

dan koordinat y untuk penampang melintang)

2. Koefisien manning

3. Data aliran (debit tiap titik penampang)

Data output dari hasil analisa program bantu HEC-RAS 5.0.6 adalah:

1. Elevasi muka air di sepanjang aliran

2. Profil aliran yang ditinjau

Dalam program bantu HEC-RAS 5.0.6, ada dua komponen utama dalam

menganalisa, yaitu aliran steady dan unsteady. Aliran steady adalah aliran dalam

saluran terbuka yang parameter alirannya, seperti kecepatan (v) tidak berubah

(constant) selama selang waktu tertentu, sedangkan aliran unsteady adalah aliran

dalam saluran terbuka yang memiliki parameter alirannya selalu berubah selama

selang waktu tertentu.

Jenis aliran ini waktu sebagai kriteria. (Ven Te Chow, 1989) menjelaskan

bahwa sebagian besar persoalan tentang saluran terbuka umumnya hanya

memerlukan penelitian mengenai perilaku aliran steady. Namun apabila keadaan

aliran berubah sesuai dengan waktu tertentu maka aliran harus dianggap aliran

unsteady.

Debit yang mengalir dalam saluran terbuka untuk sembarang jenis aliran

dinyatakan sebagai berikut:

Q = A v …… (2.31)

dimana:

Q = Debit aliran (m3/dt atau lt/dt)

Page 18: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

21

A = Luas penampang (m2)

V = Kecepatan aliran rata-rata (m/dt)

Untuk jenis aliran steady debit dianggap konstan sepanjang saluran atau

kontinue, sehingga berlaku hukum kontinuitas:

Q = A1 v1 = A2 v2 …… (2.32)

Prinsip dasar perhitungan yang digunakan dalam aliran steady dan aliran

unsteady sebagai berikut:

1. Persamaan Energi

Z2 + Y2 + = Z1 + Y1 + + he …… (2.33)

atau

he =

. …… (2.34)

dimana:

Z1, Z2 = Elevasi dasar sungai (m)

Y1, Y2 = Tinggi air dalam sungai (m)

V1, V2 = = Kecepatan rata-rata (m/dt)

a1, a2 = Koefisien kecepatan (mendekati dan dianggap 1)

he = Kehilangan energi (m)

Gambar 2.5 Persamaan Energi

Sumber: Istiarto (2014)

Page 19: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

22

2. Persamaan Kontinuitas

= ∑ 𝑄𝑖𝑛 − ∑ 𝑄𝑜𝑢𝑡 …… (2.35)

Terjadi perbedaan hasil pada aliran steady dan unsteady. Jika pada aliran steady,

debit yang masuk akan sama dengan debit yang keluar. Sedangkan untuk aliran

unsteady, debit yang masuk akan berbeda dengan debit yang keluar.

3. Persamaan Momentum

+ 𝜕(𝑄 .𝑉)

𝜕𝑥+ 𝑔 . 𝐴

𝜕𝑧

𝜕𝑥+ 𝑆𝑓 = 0 …… (2.36)

2.3 Langkah Pengendalian Banjir

Dalam menanggulangi banjir di wilayah yang ada di Indonesia sangat berbeda

penanganaannya. Hal itu dikarenakan struktur dan kondisi di daerah masing-masing

berbeda. Pengendalian banjir bisa dilakukan dengan metode struktural yaitu

membuat suatu bangunan yang dapat mengurangi kemungkinan banjir. Misalnya

dengan cara pembangunan tanggul di sekitar sungai agar tidak terjadi luapan. Selain

itu, metode non-struktural yaitu dengan cara mengangkat sedimen yang ada agar

sungai dapat berfungsi secara optimum kembali.

2.3.1 Normalisasi Sungai

Normalisasi sungai mempunyai tujuan untuk memperbaiki atau menambah

kapasitas penampang melintang sungai agar dapat dilewati banjir rencana secara

aman sehingga tidak menimbulkan kerugian. Selain itu hasil dari pekerjaan

normalisasi sungai dapat dimanfaatkan sebagai bahan tanggul.

2.3.1.1 Jenis Normalisasi Sungai

Adapun tujuan dari normalisasi sungai, maka untuk menentukan jenis

normalisasi sungai dilakukan berdasarkan pekerjaan, yaitu:

1. Menambah kedalaman sungai

Dalam langkah ini bertujuan untuk menambah kapasitas sungai dengan

memperdalam sungai dari kedalaman awal.

Page 20: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

23

2. Memperlebar penampang sungai

Langkah ini dapat dilakukan apabila daerah sekitar sungai masih memiliki lahan

yang cukup dan tidak mengganggu tata guna lahan di sekitarnya.

2.3.2 Pembangunan Tanggul

Salah satu cara penanggulangan banjir adalah dengan membangun

infrastruktur seperti tanggul. Tanggul dapat digunakan untuk menahan aliran air.

Tanggul juga dibuat untuk membentuk batasan perlindungan daerah sekitar sungai

terhadap limpasan air sungai. Bahan utama dalam konstruksi tanggul yaitu urugan

tanah, karena setelah menjadi tanggul sangat mudah menyesuaikan terhadap lapisan

tanah pondasi yang mendukungnya. Pembangunan tanggul yang direncanakan

harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis terhadap fungsi, keamanan dan

stabilitas.

2.3.2.1 Perencanaan Tanggul

Dalam perencanaan tanggul yang perlu diperhatikan yaitu lebar tanggul dan

elevasi tanggul. Penentuan lebar tanggul dan elevasi tanggul didasarkan pada debit

rencana yang dapat dilihat pada tabel 2.7 dan tabel 2.8.

Tabel 2.7 Tinggi Jagaan Standart Tanggul

Debit Rencana (m3/det) Tinggi Jagaan (m)

< 200 0,6

200-500 0,8

500-2000 1,0

2000-5000 1,2

5000-10000 1,5

>10000 2,0

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

Tabel 2.8 Lebar Standart Mercu Tanggul

Debit Rencana (m3/det) Lebar Tanggul (m)

< 500 3,0

500-2000 4,0

2000-5000 5,0

5000-10000 6,0

>10000 7,0

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

Page 21: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

24

2.3.2.2 Stabilitas Tanggul

Stabilitas tanggul merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam

pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian dan penimbunan tanah, batuan,

dan bahan galian, karena menyangkut keselamatan manusia.

2.3.2.2.1 Stabilitas Tanggul Terhadap Rembesan

Jika terjadi banjir, maka permukaan air pada bantaran sungai akan naik

dan hal ini akan menyebabkan terjadinya rembesan air ke dalam tubuh tanggul yang

dapat membahayakan tubuh tanggul. Oleh karena itu, dalam perencanaan

penampang melintang tubuh tanggul harus diperhatikan agar dapat menutup seluruh

panjang garis rembesan yang memotong lereng belakang tubuh tanggul, maka harus

memenuhi suatu angka keamanan dengan persyaratan stabil sebagai berikut.

i < …… (2.37)

dimana:

i =

h2 =

Gs = Berat jenis tanah (kg/m3)

e = Kadar pori tanah

L = Panjang tanggul (m)

H = Tinggi tekanan (m)

Gambar 2.6 Rembesan Melalui Timbunan

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

2.3.2.2.2 Stabilitas Tanggul Terhadap Longsor

Untuk meninjau stabilitas tubuh tanggul dari kemungkinan terjadinya

kelongsoran pada lerengnya dapat digunakan beberapa metode. Pada saat ini

Page 22: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

25

metode yang sering digunakan yaitu metode irisan bidang longsor yang

memberikan angka keamanan yang paling kritis.

Adapun langkah-langkah untuk mendapatkan tempat kedudukan titik

pusat lingkaran kritis bidang luncur adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan kemiringan lereng yang telah direncanakan, tentukan harga α1 dan

α2.

2. Kemudian dari kedua sudut tersebut tarik garis pertemuan dititik O.

3. Dari puncak tubuh tanggul diukur jarak sepanjang 2H, dengan H adalah tinggi

tanggul.

4. Tarik garis sepanjang 4,5H mulai dari ujung bagian dalam tanggul kearah luar.

5. Tarik garis OP yang merupakan tempat kedudukan titik pusat lingkaran kritis

bidang luncur.

Gambar 2.7 Lokasi Pusat Busur Longsor Kritis pada Tanah Kohesif

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

Harga α1 dan α2 untuk menentukan titik pusat kelongsoran kritis dapat dilihat pada

tabel 2.9.

Tabel 2.9 Harga α1 dan α2 Untuk Menentukan Titik Pusat Kelongsoran Kritis

Kemiringan Lereng B α1 α2

1:1 45, 00 28 47

1:1,5 33, 00 26 35

1:2 26, 00 25 35

1:3 18, 00 25 35

1:5 11, 30 25 37

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

Page 23: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

26

Titik K merupakan koordinat pendekatan dimana X = 4,5H dan Z = 2H,

dan pada sepanjang garis O – K inilah diperkirakan terletak titik pusat bidang

longsor. Dan dari busur longsor tersebut dianalisa masing-masing angka

keamanannya untuk memperoleh nilai n yang paling minimum sebagai indikasi

bidang longsor kritis, untuk lebih jelasnya lihat gambar 2.8.

Gambar 2.8 Posisi Titik Pusat Busur Longsor pada Garis O – K

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

Adapun persamaan untuk memperoleh angka keamanan dari metode

irisan bidang longsor sebagai berikut:

a. Keadaan Normal

Fs = ∑[ ( ) ]

∑ ≥ 1,5 …… (2.38)

b. Keadaan Gempa

Fs = ∑[ ( ) ]

∑[ ] ≥ 1,2 …… (2.39)

dimana:

Fs = Faktor Keamanan

N = 𝛾 . A . cos α = Beban Komponen Vertikal yang Timbul dari

Berat Setiap Irisan Bidang Longsor

T = 𝛾 . A . sin α = Beban Komponen Tangensial yang Timbul dari

Berat Setiap Irisan Longsor

U = Tekanan Air Pori Setiap Irisan

Ne = e . 𝛾 . A . sin α = Komponen Vertikal Beban Gempa yang

Timbul dari Berat Setiap Irisan Bidang Longsor

Page 24: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

27

Te = e . 𝛾 . A . cos α = Komponen Tangensial Beban Gempa yang Timbul dari

Berat Setiap Irisan Bidang Longsor

𝜑 = Sudut Geser Dalam yang Membentuk Dasar Irisan Bidang Longsor

I = Panjang Dasar Irisan

C = Angka Kohesi Bahan yang Membentuk Dasar Setiap Irisan Bidang

Longsor

A = Luas Setiap Irisan

𝛾 = Berat Isi dari Setiap Bahan Pembentuk Irisan Bidang Longsor

α = Sudut Kemiringan Rata-rata Dasar Setiap Irisan

2.3.3 Pembangunan Dinding Penahan (Parafet)

Parafet merupakan suatu konstruksi bangunan pengaman dinding tanah

vertikal. Fungsi dari parafet yaitu untuk menahan tanah ataupun menahan

masuknya air ke dalam tanggul yang telah dipadatkan. Pembangunan konstruksi

dinding penahan menimbulkan gaya tekanan tanah yang berupa tekanan tanah aktif

dan tekanan tanah pasif. Oleh sebab itu perencanaan kontruksi dinding penahan

harus memperhatikan segala aspek teknis di lapangan untuk mendapatkan

parameter-parameter dan perencanaan yang sesuai.

2.3.3.1 Gaya-gaya pada Dinding Penahan (Parafet)

Pada umumnya gaya-gaya yang bekerja terhadap dinding penahan harus

direncanakan agar tegangan maksimum yang timbul tidak melebihi tegangan yang

diijinkan. Gaya-gaya yang mempengaruhi pada dinding penahan meliputi gaya

vertikal dan gaya horizontal.

2.3.3.1.1 Gaya Vertikal Akibat Berat Konstruksi

Dalam perhitungan gaya akibat berat konstruksi perlu berdasarkan

dimensi dan berat jenis dari konstruksi dinding penahan. Berat konstruksi

bergantung pada bahan yang dipakai untuk membuat bangunan itu. Nilai harga

berat volume dalam setiap bahan seperti berikut:

a. Pasangan batu 22 kN/m3 (≈ 2.200 kgf/m3)

b. Beton tumbuk 23 kN/m3 (≈ 2.300 kgf/m3)

c. Beton bertulang 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3)

Page 25: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

28

Umumnya berat volume beton tumbuk bergantung pada berat volume

agregat serta ukuran maksimum kerikil yang digunakan. Untuk ukuran maksimum

agregat yaitu 150 mm dengan berat jenis 2,65 yang sama dengan berat volumenya

lebih dari 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3).

Gambar 2.9 Gaya Vertikal Akibat Berat Konstruksi

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

2.3.3.1.2 Gaya Vertikal Akibat Tekanan Tanah Ke Atas (Uplift)

Pada konstruksi dinding penahan tanah (parafet) berlaku pula hukum

archimedes. Gaya ke atas yang bekerja sama dengan berat volume benda

(konstruksi parafet) yang dipindahkan. Jadi hal ini dapat mengurangi berat beton,

sehingga makin berat betonnya, maka makin stabil terhadap gaya geser.

Perhitungan pengaruh tekanan uplift pada dinding penahan tanah dapat dilihat pada

gambar 2.10.

Gambar 2.10 Tekanan Uplift pada Dinding Penahan Tanah (Parafet)

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

Page 26: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

29

Nilai Hw didapatkan dengan persamaan sebagai berikut.

Hw = 0,5B.(h1 + h2). 𝛾w …… (2.40)

Maka untuk menentukan momen akibat tekanan uplift dihitung dengan persamaan

seperti di bawah.

∑ 𝑀𝑢 = Hw1.a1 …… (2.41)

dimana:

Hw = Gaya Uplift (kN)

B = Lebar Dinding (m)

𝛾w = Berat Volume Air (kN/m3)

a = Jarak yang ditinjau (m)

2.3.3.1.3 Gaya Horizontal Akibat Tekanan Air

Gaya akibat tekanan air diakibatkan oleh gaya yang ada pada zat cair

terhadap suatu luas bidang tekan pada kedalaman tertentu. Besarnya tekanan ini

bergantung pada ketinggian zat cair, massa jenis, dan percepatan gravitasi.

Gambar 2.11 Gaya Akibat Tekanan Air

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

2.3.3.1.4 Gaya Horizontal Akibat Tekanan Tanah

Tekanan tanah lateral merupakan gaya yang ditimbulkan oleh akibat

dorongan tanah dibelakang struktur penahan tanah. Besar tekanan lateral sangat

dipengaruhi oleh perubahan letak (displacement) dari dinding penahan dan sifat-

sifat tanah asli.

2.3.3.1.4.1 Tekanan Tanah Aktif

Suatu dinding penahan tanah dalam keseimbangan menahan tekanan

tanah horizontal. Tekanan ini menggunakan koefisien tanah Ka. Jadi bila berat

Page 27: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

30

suatu tanah sampai kedalaman H maka tekanan tanahnya adalah 𝛾H dengan 𝛾

adalah berat volume tanah. Arah dari tekanan aktif yaitu arahnya vertikal ke atas.

Sedangkan untuk mendapatkan tekanan horizontal maka Ka adalah konstanta yang

fungsinya mengubah tekanan vertikal tersebut menjadi tekanan horizontal. Oleh

karena itu tekanan horizontal dapat dituliskan persamaan sebagai berikut.

Pa = Ka.𝛾.H …… (2.42)

Sedangkan untuk tanah aktif berkohesi mempunyai persamaan seperti di bawah.

Pa = Ka.𝛾.H – 2c√𝐾𝑎 …… (2.43)

dimana:

Ka = = tan2 45 −

= Koefisien Tegangan Aktif

𝛾 = Berat Volume Tanah (kN/m3)

H = Tinggi Tanah untuk Tekanan Aktif (m)

C = Kohesi (N/m2)

Gambar 2.12 Tekanan Tanah Aktif pada Dinding Penahan (Parafet)

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

2.3.3.1.4.2 Tekanan Tanah Pasif

Dalam hal tertentu suatu dinding penahan tanah dapat terdorong kearah

tanah yang ditahan. Arah dari tekanan pasif ini berlawanan dengan arah tekanan

aktif. Tekanan ini menggunakan koefisien Kp. Nilai besaran dari tekanan tanah

pasif mempunyai persamaan sebagai berikut.

Pp = Kp.𝛾.H …… (2.44)

Page 28: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

31

Sedangkan untuk tanah pasif berkohesi mempunyai persamaan seperti di bawah.

Pp = Kp.𝛾.H – 2c 𝐾𝑝 …… (2.45)

dimana:

Kp = = tan2 45 +

= Koefisien Tegangan Pasif

𝛾 = Berat Volume Tanah (kN/m3)

H = Tinggi Tanah untuk Tekanan Pasif (m)

C = Kohesi (N/m2)

Gambar 2.13 Tekanan Tanah Pasif pada Dinding Penahan (Parafet)

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

2.3.3.2 Stabilitas Dinding Penahan (Parafet)

Stabilitas dinding penahan (parafet) merupakan suatu faktor yang sangat

penting dalam pekerjaan konstruksi dinding penahan. Pada umumnya gaya-gaya

yang bekerja harus direncanakan sehingga tegangan maksimum yang timbul ini

tidak boleh melebihi tegangan yang diijinkan. Besar dan arah dari tekanan tanah

cenderung akan menggulingkan atau menggeserkan konstruksi dinding penahan.

Distribusi tekanan tanah pada dinding penahan mempengaruhi stabilitas dinding

penahan.

2.3.3.2.1 Stabilitas Dinding Penahan (Parafet) Terhadap Guling

Tekanan tanah aktif mengakibatkan gaya-gaya horizontal dan cenderung

untuk menggulingkan dinding penahan tanah. Besaran dari momen guling

didapatkan dengan persamaan berikut.

Page 29: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

32

Mg = Eg.h …… (2.46)

Momen guling ini akan diimbangi oleh berat sendiri dinding penahan tanah, serta

dari berat tanah timbunan yang menimbulkan momen penahan yang persamaannya

seperti di bawah.

Mt = V.a …… (2.47)

Untuk nilai faktor keamanan terhadap guling dapat dihitung dengan persamaan.

SF = ∑

∑ ≥ 1,5 …… (2.48)

dimana:

∑ 𝑀𝑡 = Momen Tahan Terhadap Guling (kNm)

∑ 𝑀𝑔 = Momen Total Sesungguhnya yang Menyebabkan Guling (kNm)

Gambar 2.14 Momen Terhadap Gaya Guling

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)

2.3.3.2.2 Stabilitas Dinding Penahan (Parafet) Terhadap Geser

Untuk memberikan kekuatan yang cukup melawan geseran horizontal,

maka kekuatan dinding penahan tersebut harus stabil walaupun tanpa adanya

struktur penahan pasif di bagian kaki dinding. Jika kekuatan tidak mencukupi, maka

dapat ditambahkan pengunci geser di bawah telapak pondasi atau tiang pancang

untuk menahan geseran. Selain itu harus pula dipertimbangkan adanya

kemungkinana bahaya erosi yang terjadi sebagai akibat dari aliran, maupun

pengaruh hujan. Dari tinjauan terhadap bahaya geser, maka faktor keamanan

diperhitungkan berdasarkan persamaan berikut.

Page 30: 3 BAB II - Universitas Muhammadiyah Malangeprints.umm.ac.id/54278/3/BAB II.pdf · 3 É 5 > É 6 > É 7 > å å > É á á «« glpdqd 3 7lqjjl fxudk kxmdq udwd udwd pp 3 3 3 q 7lqjjl

33

Untuk dasar pondasi berupa tanah non kohesif.

SF =

=

. ( ) ≥ 1,5 ~ 2 …… (2.49)

Untuk dasar pondasi berupa tanah kohesif.

SF =

=

. ( ) ≥ 1,5 ~ 2 …… (2.50)

Untuk dasar podasi berupa tanah campuran.

SF =

=

. . ( ) ≥ 1,5 ~ 2 …… (2.51)

dimana:

Ep = Akibat tekanan tanah pasif

Ea = Akibat tekanan tanah aktif

f = tan 𝜑 (dasar pondasi relatif kasar)

f = tan 𝜑 (dasar pondasi relatif halus)

c = Kohesi tanah (0,5 – 0,75)

Nilai SF (Safety Factor) tidak boleh kurang dari 1,5 apabila tekanan

tanah pasif diabaikan. Sebaliknya apabila tekanan pasif diperhitungkan, maka SF

tidak boleh kurang dari 2,0.

Gambar 2.15 Momen Terhadap Gaya Geser

Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)