4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analisa Hidrologi
Hidrologi merupakan bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari kejadian
serta penyebaran atau distribusi air secara alami di bumi. Unsur hidrologi yang
berpengaruh terhadap suatu wilayah adalah curah hujan. Oleh sebab itu data curah
hujan suatu daerah merupakan data utama dalam menentukan besarnya debit banjir
rencana maupun debit andalan yang terjadi pada daerah tersebut.
2.1.1 Analisa Hujan Rata-rata
Curah hujan yang diperlukan untuk rancangan pengendalian banjir adalah
curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan dan bukan hanya di satu
titik tertentu saja. Dalam perhitungan curah hujan rata-rata ada beberapa metode
yang dapat digunakan, yaitu metode Aritmatik, metode Poligon Thiessen, dan
metode Isohyet.
2.1.1.1 Metode Aritmatik
Gambar 2.1 Metode Aritmatik
Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)
Perhitungan curah hujan rata-rata dengan metode Aritmatik biasanya
digunakan pada daerah datar dan penyebaran hujannya dianggap merata. Metode
ini menggunakan perhitungan curah hujan wilayah dengan menjumlahkan curah
hujan dari semua titik pengukuran dan membaginya dengan jumlah titik
pengukuran yang ada pada wilayah tersebut.
5
P = ……
…… (2.1)
dimana:
P = Tinggi curah hujan rata-rata (mm)
P1, P2, Pn = Tinggi curah hujan di setiap stasiun pengukuran (mm)
n = Jumlah stasiun pengukuran
Metode Aritmatik ini sangat sederhana dan mudah diterapkan, namun
kurang memberikan hasil yang teliti. Hal ini dikarenakan tinggi curah hujan tidak
benar-benar seluruhnya merata pada wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Sifat
distribusi hujan sangat bervariasi, terutama di wilayah tropis termasuk Indonesia,
sehingga metode Aritmatik tidak cocok digunakan untuk suatu wilayah Daerah
Aliran Sungai (DAS) di Indonesia.
2.1.1.2 Metode Poligon Thiessen
Gambar 2.2 Metode Poligon Thiessen
Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)
Dalam metode poligon thiessen, curah hujan rata-rata didapatkan dengan
membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis
penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian setiap stasiun pengukuran tinggi
curah hujan akan mewakili suatu wilayah poligon tertutup atau luasan tersebut.
Metode ini digunakan pada penyebaran stasiun hujan di daerah yang hujannya tidak
merata.
P = . . ….. . …… (2.2)
6
dimana:
P = Tinggi curah hujan rata-rata (mm)
P1, P2, Pn = Tinggi curah hujan di setiap stasiun pengukuran (mm)
A1, A2, An = Luas daerah yang mewakili stasiun pengukuran (km2)
Atotal = Luas total Daerah Aliran Sungai (km2)
Nilai perbandingan antara luas poligon yang mewakili setiap stasiun
terhadap luas total Daerah Aliran Sungai (DAS) disebut sebagai koefisien thiessen.
Metode ini cocok untuk menentukan tinggi curah hujan rata-rata karena telah
memperhitugkan pengaruh letak penyebaran stasiun pengukuran hujan.
2.1.1.3 Metode Isohyet
Gambar 2.3 Metode Isohyet
Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)
Metode Isohyet ini menggunakan pembagian dengan garis yang
menghubungkan titik-titik kedalaman hujan yang sama. Tinggi curah hujan rata-
rata didapatkan dengan menjumlahkan perkalian antara curah hujan rata-rata
diantara garis isohyet dengan luas daerah yang dibatasi oleh garis batas Daerah
Aliran Sungai (DAS) dan dua garis isohyet, kemudian dibagi dengan luas seluruh
7
Daerah Aliran Sungai (DAS). Metode ini pada umumnya digunakan untuk daerah
pegunungan.
P = x ( )
+ … + x ( )
…… (2.3)
dimana:
P = Tinggi curah hujan rata-rata (mm)
P1, P2, Pn = Tinggi curah hujan yang sama pada setiap garis
isohyet (mm)
A1, An = Luas daerah yang dibatasi dua garis isohyet (km2)
Atotal = Luas total Daerah Aliran Sungai (km2)
2.1.2 Perhitungan Parameter Dasar Statistik
Sistem hidrologi merupakan fenomena yang tidak dapat dipastikan. Banyak
hal yang sering terjadi di luar perkiraan. Oleh sebab itulah diperlukan analisa
frekuensi untuk menghitung besarnya peristiwa ekstrim yang terjadi. Selain
perhitungan frekuensi, diperlukan juga perhitungan distribusi sebagai pembanding.
Namun, parameter dasar statistik ini juga menentukan dalam pemilihan distribusi
frekuensi yang akan digunakan. Distribusi frekuensi hujan digunakan untuk
menentukan curah hujan rencana.
2.1.2.1 Standart Deviasi dan Varian
Standart Deviasi dan Varian adalah sebuah bentuk penyebaran yang
menunjukkan standart penyimpangan atau deviasi data terhadap penyimpangan
rata-ratanya. Standart Deviasi merupakan akar kuadrat dari varian dan
menunjukkan standart penyimpangan data terhadap nilai rata-ratanya. Sedangkan,
varian adalah rata-rata hitung deviasi kuadrat setiap data terhadap rata-rata
hitungnya.
𝜎 = ∑ ( ̅)
…… (2.4)
𝑣 = ( 𝜎 )2 …… (2.5)
dimana:
𝜎 = Standart Deviasi
8
n = Jumlah data
�̅� = Nilai rata-rata
𝑥 = Nilai varian ke-i
2.1.2.2 Kemencengan (Skewness)
Kemencengan (Skewness) merupakan suatu nilai yang menunjukkan derajat
ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi. Pengukuran kemencengan adalah
mengukur seberapa besar suatu kurva frekuensi dari suatu distribusi tidak simetris
atau menceng.
𝐶𝑠 = .∑( ̅)
( ) ( ) …… (2.6)
dimana:
Cs = Koefisien Skewness
𝜎 = Standart Deviasi
n = Jumlah data
�̅� = Nilai rata-rata
𝑥 = Nilai varian ke-i
2.1.2.3 Kurtosis
Parameter ketiga untuk mengukur distribusi variabel adalah kurtosis,yang
merupakan puncak distribusi. Biasanya hal ini dibandingkan dengan distribusi
normal yang mempunyai koefisien kurtosis.
𝐶𝑘 = .∑( ̅)
( ) ( ) ( ) …… (2.7)
dimana:
Ck = Koefisien Kurtosis
𝜎 = Standart Deviasi
n = Jumlah data
�̅� = Nilai rata-rata
𝑥 = Nilai varian ke-i
9
Tabel 2.1 Karakteristik Distribusi Frekuensi
Jenis Distribusi Syarat Distribusi
Distribusi Gumbel Cs = 1,139 dan Ck = 5,402
Distribusi Normal Cs = 0 dan Ck = 3
Distribusi Log-Pearson Tipe III Selain dari nilai diatas Sumber: Soewarno (1995)
2.1.3 Analisa Frekuensi dan Probabilitas
Tujuan analisis frekuensi data hidrologi berkaitan dengan besaran peristiwa-
peristiwa ekstrim yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan
distribusi kemungkinan. Data hidrologi yang dianalisis diasumsikan tidak
bergantung (independent), dan terdistribusi secara acak.
Frekuensi hujan adalah besaran kemungkinan suatu besaran hujan disamai
atau dilampui. Sebaliknya, kala ulang adalah waktu hipotetik dimana hujan dengan
suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui. Analisis frekuensi ini
didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh
probabilitas besaran hujan di masa yang akan datang dengan anggapan bahwa sifat
statistik kejadian hujan di masa akan datang masih sama dengan statistik kejadian
hujan di masa lalu.
Untuk menganalisa probabilitas banjir biasanya digunakan beberapa macam
distribusi, yaitu Distribusi Normal, Distribusi Gumbel, Distribusi Pearson Tipe III,
dan Distribusi Log-Pearson Tipe III.
2.1.3.1 Metode Distribusi Gumbel
Distribusi Gumbel pada umumnya digunakan untuk menghitung curah
hujan. Dengan menggunakan persamaan 2.8, maka dapat dihitung besarnya curah
hujan rencana sesuai dengan kala ulangnya.
Xt = 𝑋 + KT . S …… (2.8)
dimana:
Xt = Curah hujan dengan kala ulang T tahun (mm)
𝑋 = Curah hujan rata-rata hasil pengamatan n tahun di lapangan (mm)
KT = Faktor probabilitas, untuk harga ekstrim
S = Standart Deviasi dari hasil pengamatan selama n tahun
10
Untuk perhitungan KT dapat dinyatakan dalam persamaan 2.9.
KT = …… (2.9)
dimana:
Ytr = Reduksi variat
Yn = Reduksi rata-rata variat yang tergantung pada jumlah sampel (n)
dan besarnya dapat dilihat pada tabel 2.2
Sn = Reduksi standart deviasi variat yang juga tergantung pada
jumlah sampel (n) dan besarnya dapat dilihat pada tabel 2.3
Tabel 2.2 Hubungan Reduksi Rata-rata (Yn) dengan Jumlah Data Sampel
n Yn n Yn n Yn n Yn n Yn
10 0,4952 20 0,5230 30 0,5362 40 0,5436 50 0,5485
11 0,4992 21 0,5252 31 0,5371 41 0,5442 51 0,5489
12 0,5035 22 0,5268 32 0,5380 42 0,5448 52 0,5493
13 0,5070 23 0,5283 33 0,5388 43 0,5453 53 0,5497
14 0,5100 24 0,5296 34 0,5396 44 0,5458 54 0,5501
15 0,5128 25 0,5309 35 0,5402 45 0,5463 55 0,5504
16 0,5157 26 0,5320 36 0,5410 46 0,5468 56 0,5508
17 0,5181 27 0,5332 37 0,5418 47 0,5473 57 0,5511
18 0,5202 28 0,5343 38 0,5418 48 0,5477 58 0,5515
19 0,5220 29 0,5353 39 0,5430 49 0,5481 59 0,5518
Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)
Tabel 2.3 Hubungan Reduksi Standart Deviasi (Sn) dengan Jumlah Data Sampel
n Sn n Sn n Sn n Sn n Sn
10 0,9496 20 1,0628 30 1,1124 40 1,1413 50 1,1607
11 0,9676 21 1,0696 31 1,1159 41 1,1436 51 1,1623
12 0,9883 22 1,0754 32 1,1193 42 1,1458 52 1,1638
13 0,9971 23 1,0811 33 1,1228 43 1,1480 53 1,1658
14 1,0095 24 1,0864 34 1,1255 44 1,1499 54 1,1667
15 0,0206 25 1,0915 35 1,1285 45 1,1519 55 1,1681
16 1,0316 26 1,0961 36 1,1313 46 1,1538 56 1,1696
17 1,0411 27 1,1004 37 1,1339 47 1,1557 57 1,1708
18 1,0493 28 1,1047 38 1,1363 48 1,1574 58 1,1721
19 1,0565 29 1,1086 39 1,1388 49 1,1590 59 1,1734
Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)
Perhitungan Reduksi Variat (Ytr) dapat dinyatakan dalam persamaan 2.10.
11
Ytr = −𝐼𝑛 −𝐼𝑛. …… (2.10)
dimana:
Tr = Kala ulang hujan untuk curah hujan tahunan rata-rata
2.1.3.2 Metode Log-Pearson Tipe III
Distribusi Log-Pearson Tipe III merupakan perkembangan fungsi
probabilitas yang dilakukan oleh Pearson. Dengan menggunakan persamaan di
bawah ini maka dapat dihitung besarnya curah hujan rencana sesuai dengan kala
ulangnya.
Adapun langkah-langkah dari penggunaan distribusi Log-Pearson Tipe III
adalah sebagai berikut:
1. Mengubah data hujan (x) menjadi dalam bentuk logaritmatik.
Y = Log X …… (2.11)
2. Menghitung harga hujan rata-rata.
𝑌 = ∑
…… (2.12)
3. Menghitung harga standart deviasi.
𝜎 = ∑ ( )
…… (2.13)
4. Menghitung koefisien kemencengan.
5. Menghitung logaritma hujan dengan kala ulang n tahun.
Yt = 𝑌+ K.s …… (2.14)
6. Menghitung curah hujan dengan menggunakan antilog Y.
dimana:
X = Hujan dengan kala ulang T
Y = Antilog curah hujan
𝑌 = Antilog curah hujan rata-rata
𝑆 = Standart Deviasi
𝐾 = Faktor Distribusi Log-Pearson Tipe III dan nilainya dapat dilihat
pada tabel 2.4
12
Tabel 2.4 Nilai K Distribusi Pearson Tipe III
Skew Koefisien
Kala Ulang
2 5 10 25 50 100
Cs Persentase Peluang Terlampaui
50 20 10 4 2 1
2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605
1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499
1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,380
1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,700 3,271
1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149
1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022
0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957
0,8 -0,132 0,780 1,336 1,998 2,453 2,891
0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824
0,6 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755
0,5 -0,083 0,806 1,323 1,910 2,311 2,686
0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615
0,3 -0,050 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544
0,2 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472
0,1 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400
0,0 0,000 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326
-0,1 0,017 0,846 1,270 1,716 2,000 2,252
-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178
-0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104
-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,843 2,029
-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955
-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880
-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806
-0,8 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733
-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,594 1,660
-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588
-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449
-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197
Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)
2.1.4 Uji Distribusi Analisa Frekuensi
Untuk menentukan kecocokan distribusi frekuensi dengan sampel data
terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau
mewakili distribusi frekuensi tersebut diperlukan pengujian parameter. Bilamana
dari pengujian terhadap distribusi frekuensi bisa sesuai parameter uji keduanya
maka perumusan persamaan tersebut dapat diterima.
13
2.1.4.1 Uji Chi-Kuadrat (Uji Chi-Square)
Uji Chi-Kuadrat (Uji Chi-Square) dimaksudkan untuk menentukan apakah
persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi
statistik sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan
parameter X2. Oleh karena itu disebut dengan Uji Chi-Kuadrat. Parameter X2 dapat
dihitung dengan persamaan 2.15. (Soewarno, Aplikasi Metode Statistik untuk
Analisa Data jilid 1, Tahun 1995)
Xh2 = ∑
( ) …… (2.15)
dimana:
Xh2 = Parameter Chi-Kuadrat terhitung
G = Jumlah sub-kelompok
Oi = Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-i
Ei = Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i
Langkah-langkah dalam pengerjaan uji Chi-Kuadrat adalah:
1. Urutkan data pengamatan (dari nilai terbesar ke nilai terkecil atau sebaliknya).
2. Kelompokkan data menjadi G sub-grup. Setiap sub-grup minimal 4 data
pengamatan. Tidak ada aturan yang pasti tentang penentuan jumlah kelas (grup),
H.A Sturges pada tahun 1926 mengemukakan suatu perumusan untuk
menentukan banyaknya kelas.
3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap-tiap sub-grup.
4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei.
5. Tiap-tiap sub-grup dihitung nilai (Oi – Ei)2 dan ( )
6. Tentukan derajat kebebasan dk = G – R – 1 (nilai R=2, untuk distribusi normal
dan binomial; dan nilai R=1, untuk distribusi poisson).
Interpretasi hasil data adalah sebagai berikut:
1. Apabila peluang lebih besar dari 5% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
2. Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan tidak dapat diterima
14
3. Apabila peluang berada diantara 1% dan 5% adalah tidak mungkin mengambil
keputusan sehingga perlu penambahan data.
2.1.4.2 Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov, biasanya juga disebut uji kecocokan
non parametrik. Hal ini dikarenakan pengujiannya tidak menggunakan fungsi
distribusi tertentu. Langkah-langkah dalam pengerjaan Uji Smirnov-Kolmogorov
yaitu:
1. Mengurutkan data (dari nilai terbesar ke nilai terkecil atau sebaliknya) dan
tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut.
2. Menentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data
(persamaan distribusinya).
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, ditentukan nilai selisih terbesarnya antara
peluang pengamatan dengan peluang teoritis.
4. Berdasarkan tabel 2.5 nilai kritis (Smirnov-Kolmogorv), ditentukan nilai Do.
Apabila D lebih kecil dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk
menentukan persamaan distribusi dapat diterima. Apabila D lebih besar dari Do
maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi
tidak dapat diterima.
Tabel 2.5 Nilai Kritis DO untuk Uji Smirnov-Kolmogorov
N Derajat Kepercayaan 𝜶
0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
>50 1,07
√𝑛
1,22
√𝑛
1,36
√𝑛
1,63
√𝑛
Sumber: Nugroho Hadisusanto (2011)
15
2.1.5 Perhitungan Distribusi Hujan Jam-jaman
Dalam perhitungan debit dengan menggunakan rumus hidrograf satuan
sintesis diperlukan data hujan jam-jaman. Distribusi curah hujan jam-jaman dapat
dihitung dengan persamaan 2.16.
Rt = Ro . /
…… (2.16)
dimana:
Rt = Rata-rata hujan pada jam ke-i
Ro =
T = Lama waktu hujan terpusat (jam)
t = Waktu hujan (jam)
Untuk menghitung rata-rata curah hujan pada jam ke-t menggunakan
persamaan 2.17.
Rt’ = t.Rt – (t-1).R(t-1) …… (2.17)
dimana:
Rt’ = Tinggi hujan pada jam ke-t (mm)
Rt = Rata-rata tinggi hujan sampai jam ke-t (mm)
t = Waktu hujan (jam)
R(t-1) = Rata-rata tinggi hujan dari permulaan sampai jam ke-t (mm)
Dalam perhitungan distribusi hujan efektif, persamaan yang digunakan
adalah:
Re = C . Rt’ …… (2.18)
dimana:
Re = Tinggi hujan efektif (mm)
C = Koefisien pengaliran
Rt’ = Tinggi hujan rencana (mm)
2.1.6 Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran merupakan perbandingan antara air yang mengalir di
permukaan tanah dengan air hujan yang jatuh, maka koefisien pengaliran (Run Off)
bergantung pada jenis permukaan tanah dan tata guna lahan daerah aliran. Untuk
16
daerah aliran dimana penggunaannya bervariasi, maka koefisiennya merupakan
gabungan antara nilai koefisien pengaliran. Dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan 2.19.
Cgab = . . .….. .
.… …… (2.19)
Tabel 2.6 Koefisien Pengaliran Lahan (C)
Komponen Lahan Koefisien C (%)
Jalan: - Aspal 70 – 95
- Beton 80 – 95
- Bata/Paving 70 – 85
Atap 75 – 95
Lahan berumput: - Tanah berpasir: - Landai (2%) 5 – 10
- Curam (7%) 15 – 20
- Tanah berat: - Landai (2%) 13 – 17
- Curam (7%) 25 – 35
Untuk Amerika Utara, harga secara keseluruhan:
Lahan Koefisien
Pengaliran Total (%)
Daerah perdagangan: - penting, padat 70 – 95
- kurang, padat 50 – 70
Area permukiman: - Perumahan tunggal 30 – 50
- Perumahan kopel berjauhan 40 – 60
- Perumahan kopel berdekatan 60 – 75
- Perumahan pinggir kota 25 – 40
- Apartemen 50 – 70
Area Industri: - Ringan 50 – 80
- Berat 60 – 90
Taman dan Makam 10 – 25
Taman bermain 20 – 35
Lahan kosong/terlantar 10 – 30
Sumber: Nugroho Hadisusanto (2011)
2.1.7 Perencanaan Debit Banjir Rencana
Untuk memperkirakan besarnya debit hujan maksimum yang sangat mungkin
pada kala tertentu maka diperlukannya perhitungan debit rencana. Dalam
perhitungan debit rencana ada beberapa metode perhitungan. Dan metode yang
digunakan untuk perhitungan debit rencana yaitu metode perhitungan Debit
17
Hidrograf Metode Nakayasu. Pemilihan hidrograf ini disesuaikan dengan
karakteristik daerah pengalirannya, selain itu hidrograf satuan ini banyak digunakan
dalam perhitungan banjir rencana di Indonesia. Persamaan umum metode
perhitungan Debit Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu adalah seperti di bawah ini.
Qp = .
, ( , . , ) …… (2.20)
dimana:
Qp = Debit puncak banjir (m3/detik)
Ro = Hujan satuan (mm)
Tp = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak
banjir (jam)
T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak
menjadi 30% dari debit puncak (jam)
Untuk mendapatkan Tp dan T0,3 dengan menggunakan persamaan empiris seperti di
bawah ini.
Tp = tg + 0,8tr …… (2.21)
T0,3 = α . tg …… (2.22)
Dan perhitungan tg dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut.
Apabila L > 15 km
Tg = 0,4 + 0,058.L …… (2.23)
Apabila L < 15 km
tg = 0,21 x L0,7 …… (2.24)
dimana:
L = Panjang alur sungai (km)
tg = Waktu konsentrasi (jam)
tr = Satuan waktu hujan (diambil 1 jam)
α = Koefisien pembanding
Untuk mencari besarnya koefisien pembanding dapat digunakan:
α = 1,5 ; untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat
α = 2,0 ; untuk daerah pengaliran biasa
18
α = 3,0 ; untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang lambat
Gambar 2.4 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
Sumber: Ir. CD Soemarto (1987)
Pada bagian garis lengkung naik (rising limb) hidrograf satuan mempunyai
persamaan.
Apabila (0 < t < Tp)
Q = Qp . ,
…… (2.25)
Pada bagian garis lengkung turun (decreasing limb) hidrograf satuan mempunyai
persamaan.
Apabila (Tp < t ≤ Tp+T0,3)
Q = Qp . 0,3 , …… (2.26)
Apabila (Tp+T0,3 < t ≤ Tp+T0,3+1,5T0,3)
Q = Qp . 0,3, ,
, , …… (2.27)
Apabila (Tp+T0,3+1,5T0,3 < t)
Q = Qp . 0,3, ,
, …… (2.28)
2.2 Analisa Hidrolika
Analisa hidrolika bertujuan untuk mengetahui kemampuan penampang dalam
menampung debit rencana. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa salah satu
19
penyebab banjir adalah karena ketidakmampuan penampang dalam menampung
debit banjir yang terjadi.
Analisa hidrolika ini terdiri dari analisis penampang eksisting sungai dan
perencanaan penampang rencana. Analisis penampang eksisting dengan program
bantu HEC-RAS menggunakan debit sebagai input.
2.2.1 Analisa Kapasitas Sungai
Kapasitas saluran didefinisikan sebagai debit maksimum yang mampu
dilewatkan oleh setiap penampang sepanjang saluran. Kapasitas saluran ini
digunakan sebagai acuan untuk menyatakan apakah debit yang direncanakan
tersebut mampu ditampung saluran eksisting tanpa terjadi peluapan air. Kapasitas
saluran dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:
Q = . R2/3.I0,5.A …… (2.29)
dimana:
Q = Debit saluran (m3/detik)
R = Jari-jari hidrolik
I = Kemiringan energi
A = Luas penampang
n = Koefisien kekasaran manning
Besarnya nilai koefisien kekasaran manning tergantung dari lapisan terluar
dari penampang melintang sungai. Jika terdapat lebih dari satu jenis lapisan, maka
nilai koefisien kekasaran yang digunakan adalah koefisen kekasaran komposit
(gabungan keduanya). Adapun persamaan yang digunakan:
N = ∑
∑ …… (2.30)
Jenis dan bentuk saluran disesuaikan dengan kondisi lingkungan di daerah tersebut.
Beberapa bentuk dan jenis saluran yang biasanya digunakan.
a. Saluran berbentuk segiempat dan modifikasinya
b. Saluran berbentuk trapezium dan modifikasinya
20
2.2.2 Analisa Permodelan HEC-RAS
Dalam menganalisa kapasitas sungai pengerjaannya dilakukan dengan
program bantu HEC-RAS 5.0.6. HEC-RAS merupakan program bantu yang
digunakan untuk menghitung profil muka air di sepanjang ruas sungai. Program
bantu ini menggunakan asumsi dua jenis aliran steady atau unsteady, dan
memberikan desain dari hasil kalkulasi analisa hidrolika tersebut.
Data input yang harus dimasukkan dalam program bantu HEC-RAS 5.0.6
untuk melakukan analisa hidrolika, yaitu:
1. Data geometrik sungai yang ditinjau (koordinat x untuk potongan memanjang
dan koordinat y untuk penampang melintang)
2. Koefisien manning
3. Data aliran (debit tiap titik penampang)
Data output dari hasil analisa program bantu HEC-RAS 5.0.6 adalah:
1. Elevasi muka air di sepanjang aliran
2. Profil aliran yang ditinjau
Dalam program bantu HEC-RAS 5.0.6, ada dua komponen utama dalam
menganalisa, yaitu aliran steady dan unsteady. Aliran steady adalah aliran dalam
saluran terbuka yang parameter alirannya, seperti kecepatan (v) tidak berubah
(constant) selama selang waktu tertentu, sedangkan aliran unsteady adalah aliran
dalam saluran terbuka yang memiliki parameter alirannya selalu berubah selama
selang waktu tertentu.
Jenis aliran ini waktu sebagai kriteria. (Ven Te Chow, 1989) menjelaskan
bahwa sebagian besar persoalan tentang saluran terbuka umumnya hanya
memerlukan penelitian mengenai perilaku aliran steady. Namun apabila keadaan
aliran berubah sesuai dengan waktu tertentu maka aliran harus dianggap aliran
unsteady.
Debit yang mengalir dalam saluran terbuka untuk sembarang jenis aliran
dinyatakan sebagai berikut:
Q = A v …… (2.31)
dimana:
Q = Debit aliran (m3/dt atau lt/dt)
21
A = Luas penampang (m2)
V = Kecepatan aliran rata-rata (m/dt)
Untuk jenis aliran steady debit dianggap konstan sepanjang saluran atau
kontinue, sehingga berlaku hukum kontinuitas:
Q = A1 v1 = A2 v2 …… (2.32)
Prinsip dasar perhitungan yang digunakan dalam aliran steady dan aliran
unsteady sebagai berikut:
1. Persamaan Energi
Z2 + Y2 + = Z1 + Y1 + + he …… (2.33)
atau
he =
. …… (2.34)
dimana:
Z1, Z2 = Elevasi dasar sungai (m)
Y1, Y2 = Tinggi air dalam sungai (m)
V1, V2 = = Kecepatan rata-rata (m/dt)
a1, a2 = Koefisien kecepatan (mendekati dan dianggap 1)
he = Kehilangan energi (m)
Gambar 2.5 Persamaan Energi
Sumber: Istiarto (2014)
22
2. Persamaan Kontinuitas
= ∑ 𝑄𝑖𝑛 − ∑ 𝑄𝑜𝑢𝑡 …… (2.35)
Terjadi perbedaan hasil pada aliran steady dan unsteady. Jika pada aliran steady,
debit yang masuk akan sama dengan debit yang keluar. Sedangkan untuk aliran
unsteady, debit yang masuk akan berbeda dengan debit yang keluar.
3. Persamaan Momentum
+ 𝜕(𝑄 .𝑉)
𝜕𝑥+ 𝑔 . 𝐴
𝜕𝑧
𝜕𝑥+ 𝑆𝑓 = 0 …… (2.36)
2.3 Langkah Pengendalian Banjir
Dalam menanggulangi banjir di wilayah yang ada di Indonesia sangat berbeda
penanganaannya. Hal itu dikarenakan struktur dan kondisi di daerah masing-masing
berbeda. Pengendalian banjir bisa dilakukan dengan metode struktural yaitu
membuat suatu bangunan yang dapat mengurangi kemungkinan banjir. Misalnya
dengan cara pembangunan tanggul di sekitar sungai agar tidak terjadi luapan. Selain
itu, metode non-struktural yaitu dengan cara mengangkat sedimen yang ada agar
sungai dapat berfungsi secara optimum kembali.
2.3.1 Normalisasi Sungai
Normalisasi sungai mempunyai tujuan untuk memperbaiki atau menambah
kapasitas penampang melintang sungai agar dapat dilewati banjir rencana secara
aman sehingga tidak menimbulkan kerugian. Selain itu hasil dari pekerjaan
normalisasi sungai dapat dimanfaatkan sebagai bahan tanggul.
2.3.1.1 Jenis Normalisasi Sungai
Adapun tujuan dari normalisasi sungai, maka untuk menentukan jenis
normalisasi sungai dilakukan berdasarkan pekerjaan, yaitu:
1. Menambah kedalaman sungai
Dalam langkah ini bertujuan untuk menambah kapasitas sungai dengan
memperdalam sungai dari kedalaman awal.
23
2. Memperlebar penampang sungai
Langkah ini dapat dilakukan apabila daerah sekitar sungai masih memiliki lahan
yang cukup dan tidak mengganggu tata guna lahan di sekitarnya.
2.3.2 Pembangunan Tanggul
Salah satu cara penanggulangan banjir adalah dengan membangun
infrastruktur seperti tanggul. Tanggul dapat digunakan untuk menahan aliran air.
Tanggul juga dibuat untuk membentuk batasan perlindungan daerah sekitar sungai
terhadap limpasan air sungai. Bahan utama dalam konstruksi tanggul yaitu urugan
tanah, karena setelah menjadi tanggul sangat mudah menyesuaikan terhadap lapisan
tanah pondasi yang mendukungnya. Pembangunan tanggul yang direncanakan
harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis terhadap fungsi, keamanan dan
stabilitas.
2.3.2.1 Perencanaan Tanggul
Dalam perencanaan tanggul yang perlu diperhatikan yaitu lebar tanggul dan
elevasi tanggul. Penentuan lebar tanggul dan elevasi tanggul didasarkan pada debit
rencana yang dapat dilihat pada tabel 2.7 dan tabel 2.8.
Tabel 2.7 Tinggi Jagaan Standart Tanggul
Debit Rencana (m3/det) Tinggi Jagaan (m)
< 200 0,6
200-500 0,8
500-2000 1,0
2000-5000 1,2
5000-10000 1,5
>10000 2,0
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
Tabel 2.8 Lebar Standart Mercu Tanggul
Debit Rencana (m3/det) Lebar Tanggul (m)
< 500 3,0
500-2000 4,0
2000-5000 5,0
5000-10000 6,0
>10000 7,0
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
24
2.3.2.2 Stabilitas Tanggul
Stabilitas tanggul merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam
pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian dan penimbunan tanah, batuan,
dan bahan galian, karena menyangkut keselamatan manusia.
2.3.2.2.1 Stabilitas Tanggul Terhadap Rembesan
Jika terjadi banjir, maka permukaan air pada bantaran sungai akan naik
dan hal ini akan menyebabkan terjadinya rembesan air ke dalam tubuh tanggul yang
dapat membahayakan tubuh tanggul. Oleh karena itu, dalam perencanaan
penampang melintang tubuh tanggul harus diperhatikan agar dapat menutup seluruh
panjang garis rembesan yang memotong lereng belakang tubuh tanggul, maka harus
memenuhi suatu angka keamanan dengan persyaratan stabil sebagai berikut.
i < …… (2.37)
dimana:
i =
h2 =
Gs = Berat jenis tanah (kg/m3)
e = Kadar pori tanah
L = Panjang tanggul (m)
H = Tinggi tekanan (m)
Gambar 2.6 Rembesan Melalui Timbunan
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
2.3.2.2.2 Stabilitas Tanggul Terhadap Longsor
Untuk meninjau stabilitas tubuh tanggul dari kemungkinan terjadinya
kelongsoran pada lerengnya dapat digunakan beberapa metode. Pada saat ini
25
metode yang sering digunakan yaitu metode irisan bidang longsor yang
memberikan angka keamanan yang paling kritis.
Adapun langkah-langkah untuk mendapatkan tempat kedudukan titik
pusat lingkaran kritis bidang luncur adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan kemiringan lereng yang telah direncanakan, tentukan harga α1 dan
α2.
2. Kemudian dari kedua sudut tersebut tarik garis pertemuan dititik O.
3. Dari puncak tubuh tanggul diukur jarak sepanjang 2H, dengan H adalah tinggi
tanggul.
4. Tarik garis sepanjang 4,5H mulai dari ujung bagian dalam tanggul kearah luar.
5. Tarik garis OP yang merupakan tempat kedudukan titik pusat lingkaran kritis
bidang luncur.
Gambar 2.7 Lokasi Pusat Busur Longsor Kritis pada Tanah Kohesif
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
Harga α1 dan α2 untuk menentukan titik pusat kelongsoran kritis dapat dilihat pada
tabel 2.9.
Tabel 2.9 Harga α1 dan α2 Untuk Menentukan Titik Pusat Kelongsoran Kritis
Kemiringan Lereng B α1 α2
1:1 45, 00 28 47
1:1,5 33, 00 26 35
1:2 26, 00 25 35
1:3 18, 00 25 35
1:5 11, 30 25 37
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
26
Titik K merupakan koordinat pendekatan dimana X = 4,5H dan Z = 2H,
dan pada sepanjang garis O – K inilah diperkirakan terletak titik pusat bidang
longsor. Dan dari busur longsor tersebut dianalisa masing-masing angka
keamanannya untuk memperoleh nilai n yang paling minimum sebagai indikasi
bidang longsor kritis, untuk lebih jelasnya lihat gambar 2.8.
Gambar 2.8 Posisi Titik Pusat Busur Longsor pada Garis O – K
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
Adapun persamaan untuk memperoleh angka keamanan dari metode
irisan bidang longsor sebagai berikut:
a. Keadaan Normal
Fs = ∑[ ( ) ]
∑ ≥ 1,5 …… (2.38)
b. Keadaan Gempa
Fs = ∑[ ( ) ]
∑[ ] ≥ 1,2 …… (2.39)
dimana:
Fs = Faktor Keamanan
N = 𝛾 . A . cos α = Beban Komponen Vertikal yang Timbul dari
Berat Setiap Irisan Bidang Longsor
T = 𝛾 . A . sin α = Beban Komponen Tangensial yang Timbul dari
Berat Setiap Irisan Longsor
U = Tekanan Air Pori Setiap Irisan
Ne = e . 𝛾 . A . sin α = Komponen Vertikal Beban Gempa yang
Timbul dari Berat Setiap Irisan Bidang Longsor
27
Te = e . 𝛾 . A . cos α = Komponen Tangensial Beban Gempa yang Timbul dari
Berat Setiap Irisan Bidang Longsor
𝜑 = Sudut Geser Dalam yang Membentuk Dasar Irisan Bidang Longsor
I = Panjang Dasar Irisan
C = Angka Kohesi Bahan yang Membentuk Dasar Setiap Irisan Bidang
Longsor
A = Luas Setiap Irisan
𝛾 = Berat Isi dari Setiap Bahan Pembentuk Irisan Bidang Longsor
α = Sudut Kemiringan Rata-rata Dasar Setiap Irisan
2.3.3 Pembangunan Dinding Penahan (Parafet)
Parafet merupakan suatu konstruksi bangunan pengaman dinding tanah
vertikal. Fungsi dari parafet yaitu untuk menahan tanah ataupun menahan
masuknya air ke dalam tanggul yang telah dipadatkan. Pembangunan konstruksi
dinding penahan menimbulkan gaya tekanan tanah yang berupa tekanan tanah aktif
dan tekanan tanah pasif. Oleh sebab itu perencanaan kontruksi dinding penahan
harus memperhatikan segala aspek teknis di lapangan untuk mendapatkan
parameter-parameter dan perencanaan yang sesuai.
2.3.3.1 Gaya-gaya pada Dinding Penahan (Parafet)
Pada umumnya gaya-gaya yang bekerja terhadap dinding penahan harus
direncanakan agar tegangan maksimum yang timbul tidak melebihi tegangan yang
diijinkan. Gaya-gaya yang mempengaruhi pada dinding penahan meliputi gaya
vertikal dan gaya horizontal.
2.3.3.1.1 Gaya Vertikal Akibat Berat Konstruksi
Dalam perhitungan gaya akibat berat konstruksi perlu berdasarkan
dimensi dan berat jenis dari konstruksi dinding penahan. Berat konstruksi
bergantung pada bahan yang dipakai untuk membuat bangunan itu. Nilai harga
berat volume dalam setiap bahan seperti berikut:
a. Pasangan batu 22 kN/m3 (≈ 2.200 kgf/m3)
b. Beton tumbuk 23 kN/m3 (≈ 2.300 kgf/m3)
c. Beton bertulang 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3)
28
Umumnya berat volume beton tumbuk bergantung pada berat volume
agregat serta ukuran maksimum kerikil yang digunakan. Untuk ukuran maksimum
agregat yaitu 150 mm dengan berat jenis 2,65 yang sama dengan berat volumenya
lebih dari 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m3).
Gambar 2.9 Gaya Vertikal Akibat Berat Konstruksi
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
2.3.3.1.2 Gaya Vertikal Akibat Tekanan Tanah Ke Atas (Uplift)
Pada konstruksi dinding penahan tanah (parafet) berlaku pula hukum
archimedes. Gaya ke atas yang bekerja sama dengan berat volume benda
(konstruksi parafet) yang dipindahkan. Jadi hal ini dapat mengurangi berat beton,
sehingga makin berat betonnya, maka makin stabil terhadap gaya geser.
Perhitungan pengaruh tekanan uplift pada dinding penahan tanah dapat dilihat pada
gambar 2.10.
Gambar 2.10 Tekanan Uplift pada Dinding Penahan Tanah (Parafet)
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
29
Nilai Hw didapatkan dengan persamaan sebagai berikut.
Hw = 0,5B.(h1 + h2). 𝛾w …… (2.40)
Maka untuk menentukan momen akibat tekanan uplift dihitung dengan persamaan
seperti di bawah.
∑ 𝑀𝑢 = Hw1.a1 …… (2.41)
dimana:
Hw = Gaya Uplift (kN)
B = Lebar Dinding (m)
𝛾w = Berat Volume Air (kN/m3)
a = Jarak yang ditinjau (m)
2.3.3.1.3 Gaya Horizontal Akibat Tekanan Air
Gaya akibat tekanan air diakibatkan oleh gaya yang ada pada zat cair
terhadap suatu luas bidang tekan pada kedalaman tertentu. Besarnya tekanan ini
bergantung pada ketinggian zat cair, massa jenis, dan percepatan gravitasi.
Gambar 2.11 Gaya Akibat Tekanan Air
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
2.3.3.1.4 Gaya Horizontal Akibat Tekanan Tanah
Tekanan tanah lateral merupakan gaya yang ditimbulkan oleh akibat
dorongan tanah dibelakang struktur penahan tanah. Besar tekanan lateral sangat
dipengaruhi oleh perubahan letak (displacement) dari dinding penahan dan sifat-
sifat tanah asli.
2.3.3.1.4.1 Tekanan Tanah Aktif
Suatu dinding penahan tanah dalam keseimbangan menahan tekanan
tanah horizontal. Tekanan ini menggunakan koefisien tanah Ka. Jadi bila berat
30
suatu tanah sampai kedalaman H maka tekanan tanahnya adalah 𝛾H dengan 𝛾
adalah berat volume tanah. Arah dari tekanan aktif yaitu arahnya vertikal ke atas.
Sedangkan untuk mendapatkan tekanan horizontal maka Ka adalah konstanta yang
fungsinya mengubah tekanan vertikal tersebut menjadi tekanan horizontal. Oleh
karena itu tekanan horizontal dapat dituliskan persamaan sebagai berikut.
Pa = Ka.𝛾.H …… (2.42)
Sedangkan untuk tanah aktif berkohesi mempunyai persamaan seperti di bawah.
Pa = Ka.𝛾.H – 2c√𝐾𝑎 …… (2.43)
dimana:
Ka = = tan2 45 −
= Koefisien Tegangan Aktif
𝛾 = Berat Volume Tanah (kN/m3)
H = Tinggi Tanah untuk Tekanan Aktif (m)
C = Kohesi (N/m2)
Gambar 2.12 Tekanan Tanah Aktif pada Dinding Penahan (Parafet)
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
2.3.3.1.4.2 Tekanan Tanah Pasif
Dalam hal tertentu suatu dinding penahan tanah dapat terdorong kearah
tanah yang ditahan. Arah dari tekanan pasif ini berlawanan dengan arah tekanan
aktif. Tekanan ini menggunakan koefisien Kp. Nilai besaran dari tekanan tanah
pasif mempunyai persamaan sebagai berikut.
Pp = Kp.𝛾.H …… (2.44)
31
Sedangkan untuk tanah pasif berkohesi mempunyai persamaan seperti di bawah.
Pp = Kp.𝛾.H – 2c 𝐾𝑝 …… (2.45)
dimana:
Kp = = tan2 45 +
= Koefisien Tegangan Pasif
𝛾 = Berat Volume Tanah (kN/m3)
H = Tinggi Tanah untuk Tekanan Pasif (m)
C = Kohesi (N/m2)
Gambar 2.13 Tekanan Tanah Pasif pada Dinding Penahan (Parafet)
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
2.3.3.2 Stabilitas Dinding Penahan (Parafet)
Stabilitas dinding penahan (parafet) merupakan suatu faktor yang sangat
penting dalam pekerjaan konstruksi dinding penahan. Pada umumnya gaya-gaya
yang bekerja harus direncanakan sehingga tegangan maksimum yang timbul ini
tidak boleh melebihi tegangan yang diijinkan. Besar dan arah dari tekanan tanah
cenderung akan menggulingkan atau menggeserkan konstruksi dinding penahan.
Distribusi tekanan tanah pada dinding penahan mempengaruhi stabilitas dinding
penahan.
2.3.3.2.1 Stabilitas Dinding Penahan (Parafet) Terhadap Guling
Tekanan tanah aktif mengakibatkan gaya-gaya horizontal dan cenderung
untuk menggulingkan dinding penahan tanah. Besaran dari momen guling
didapatkan dengan persamaan berikut.
32
Mg = Eg.h …… (2.46)
Momen guling ini akan diimbangi oleh berat sendiri dinding penahan tanah, serta
dari berat tanah timbunan yang menimbulkan momen penahan yang persamaannya
seperti di bawah.
Mt = V.a …… (2.47)
Untuk nilai faktor keamanan terhadap guling dapat dihitung dengan persamaan.
SF = ∑
∑ ≥ 1,5 …… (2.48)
dimana:
∑ 𝑀𝑡 = Momen Tahan Terhadap Guling (kNm)
∑ 𝑀𝑔 = Momen Total Sesungguhnya yang Menyebabkan Guling (kNm)
Gambar 2.14 Momen Terhadap Gaya Guling
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)
2.3.3.2.2 Stabilitas Dinding Penahan (Parafet) Terhadap Geser
Untuk memberikan kekuatan yang cukup melawan geseran horizontal,
maka kekuatan dinding penahan tersebut harus stabil walaupun tanpa adanya
struktur penahan pasif di bagian kaki dinding. Jika kekuatan tidak mencukupi, maka
dapat ditambahkan pengunci geser di bawah telapak pondasi atau tiang pancang
untuk menahan geseran. Selain itu harus pula dipertimbangkan adanya
kemungkinana bahaya erosi yang terjadi sebagai akibat dari aliran, maupun
pengaruh hujan. Dari tinjauan terhadap bahaya geser, maka faktor keamanan
diperhitungkan berdasarkan persamaan berikut.
33
Untuk dasar pondasi berupa tanah non kohesif.
SF =
=
. ( ) ≥ 1,5 ~ 2 …… (2.49)
Untuk dasar pondasi berupa tanah kohesif.
SF =
=
. ( ) ≥ 1,5 ~ 2 …… (2.50)
Untuk dasar podasi berupa tanah campuran.
SF =
=
. . ( ) ≥ 1,5 ~ 2 …… (2.51)
dimana:
Ep = Akibat tekanan tanah pasif
Ea = Akibat tekanan tanah aktif
f = tan 𝜑 (dasar pondasi relatif kasar)
f = tan 𝜑 (dasar pondasi relatif halus)
c = Kohesi tanah (0,5 – 0,75)
Nilai SF (Safety Factor) tidak boleh kurang dari 1,5 apabila tekanan
tanah pasif diabaikan. Sebaliknya apabila tekanan pasif diperhitungkan, maka SF
tidak boleh kurang dari 2,0.
Gambar 2.15 Momen Terhadap Gaya Geser
Sumber: Suyono Sosrodarsono (1985)