3 bab ii

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep DBD 2.1.1 Pengertian Dengue Haemoragic Fever (DHF) Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer & Suprohaita; 2000; 419). Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegyptiyang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai dengan tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechia), ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun dan bertendensi menimbulkan renjatan (syok) dan kematian (Mubin, 2005: 8). 2.1.2 Epidemiologi DBD a. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-anak, tetapi dalam dekadeterakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah. b. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat 3

Upload: kartika-wihdatus-syafaah

Post on 05-Dec-2015

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

.

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep DBD

2.1.1 Pengertian Dengue Haemoragic Fever (DHF)

Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan

adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat

menyebabkan kematian (Arief Mansjoer & Suprohaita; 2000; 419).

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan

oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegyptiyang ditandai dengan demam

mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah,

nyeri ulu hati, disertai dengan tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan

(petechia), ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah,

kesadaran menurun dan bertendensi menimbulkan renjatan (syok) dan kematian (Mubin,

2005: 8).

2.1.2 Epidemiologi DBD

a. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang

DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih

banyak pada anak-anak, tetapi dalam dekadeterakhir ini DBD terlihat kecenderungan

kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini

mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi

yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan

juga karena adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan

DEN 4 yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.

b. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat

Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat

dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi

dengan suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna. Dalam

kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta tahun

1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari 0,05 per 100.000

penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Sampai saat ini DBD

telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia.

c. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu

Pola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban

udara. Pada suhu yang panas dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti

akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara

dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka pola terjadinya penyakit agak 3

berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada umumnya infeksi virus dengueterjadi

mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar

bulan April-Mei setiap tahun.

2.1.3 Klasifikasi DBD

WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan,

yaitu :

1) Derajat I

Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahanspontan. Uji tourniquet positif.

2) Derajat II

Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti

petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.

3) Derajat III

Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat

(>120x/mnt) tekanan nadi sempit (≤20 mmHg), tekanan darah menurun, (120/80

→120/100 →120/110 →90/70 →80/70 →80/0 →0/0 )

4) Derajat IV

Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teatur (denyut jantung ≥140x/mnt) anggota

gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.

4

Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Infeksi Virus Dengue

2.1.4 Etiologi DBD

1. Virus dengue

Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus

(Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4

keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari

yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavovirus ini

berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam

kultur jaringan baik yang berasal dari sel – sel mamalia misalnya sel BHK (Babby

Homster Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus.

2. Vektor

Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk

aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensisdan beberapa spesies lain

merupakan vektor yang kurang berperan berperan.infeksi dengan salah satu serotipe

akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipebersangkutan tetapi tidak ada

perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya (Arief Mansjoer & Suprohaita; 2000;

420).

5

Gambar 2.1 Siklus hidup nyamuk Aedes spp

- Habitat Perkembangbiakan

Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat menampung air di

dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Habitat perkembangbiakan

nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum,

tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat

minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol pembuangan air,

tempat pembuangan air kulkas/dispenser, barang-barang bekas (contoh :

ban, kaleng, botol, plastik, dll).

3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu,

pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu dan

tempurung coklat/karet, dll.

- Perilaku Nyamuk Dewasa

Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk sementara

waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi kaku, sehingga

nyamuk mampu terbang mencari makanan. Nyamuk Aedes sp jantan mengisap

cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang

betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia

daripada hewan (bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel

telur, agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan

perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan,

6

waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut dengan siklus

gonotropik. Aktivitas menggigit nyamuk Aedes sp biasanya mulai pagi dan petang

hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 -10.00 dan 16.00 -17.00. Aedes

aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali dalam satu siklus

gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian

nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah,

nyamuk akan beristirahat pada tempat yang gelap dan lembab di dalam atau di

luar rumah, berdekatan dengan habitat perkembangbiakannya. Pada tempat

tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Setelah beristirahat dan

proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di atas

permukaan air, kemudian telur menepi dan melekat pada dinding-dinding habitat

perkembangbiakannya. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva

dalam waktu ±2 hari. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat menghasilkan telur

sebanyak ±100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan ±6

bulan, jika tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya

tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.

Ga

gambar 2.2 Siklus gono tropic

- Penyebaran

Kemampuan terbang nyamuk Aedes spp betina rata-rata 40 meter, namun secara pasif

misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Aedes spp

tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di

rumah maupun di tempat umum. Nyamuk Aedes spp dapat hidup dan berkembang biak

sampai ketinggian daerah ± 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas ± 1.000 m dpl, suhu

udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak.

- Variasi Musiman

Pada musim hujan populasi Aedes sp akan meningkat karena telur-telur yang tadinya

belum sempat menetas akan menetas ketika habitat perkembangbiakannya (TPA bukan

keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan

meningkatkan populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan

penyakit Demam Berdarah (Kementerian Kesehatan RI 2012)

7

2.1.5 Mekanisme Penularan

Virus DBD ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes SPP Nyamuk

lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih lanjut. Nyamuk

Aedes tersebut dapat mengandung virus DBD pada saat menggigit manusia yang sedang

mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul.

Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic

incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan

berikutnya. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic

incubation period) sebelum menimbulkan penyakit (Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen

PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam DBD, Edisi 2)

2.1.6 Faktor Resiko

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan penyakit

Chikungunya, yaitu: manusia, virus dan vektor perantara.

Beberapa faktor penyebab timbulnya KLB demam Chikungunya adalah:

1. Perpindahan penduduk dari daerah terinfeksi

2. Sanitasi lingkungan yang buruk.

3. Berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk (sanitasi lingkungan yang

buruk)

Ada gelombang epidemi 20 tahunan mungkin terkait perubahan iklim dan

cuaca. Anti bodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap

serangan virus selanjutnya. Oleh karena itu perlu waktu panjang bagi penyakit ini

untuk merebak kembali (Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;

Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2).

2.1.7 Patofisiologi DBD

Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan virtemia. Hal

tersebut menyebabkan pengaktifan complement sehingga terjadi komplek imun Antibodi –

virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan melepaskan zat (3a, C5a, bradikinin,

serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE2di Hipotalamus sehingga terjadi

termo regulasi instabil yaitu hipertermia yang akanmeningkatkan reabsorbsi Na+ dan air

sehingga terjadi hipovolemi.

Hipovolemi juga dapat disebabkan peningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah

yang menyebabkan kebocoran palsma. Adanya komplek imun antibodi – virus juga

menimbulkan Agregasi trombosit sehingga terjadi gangguan fungsi trombosit, trombositopeni,

coagulopati. Ketiga hal tersebut menyebabkan perdarahan berlebihan yang jika berlanjut

terjadi shock dan jika shock tidak teratasi terjadi Hipoxia jaringan dan akhirnya terjadi

Asidosis metabolik. Asidosis metabolik juga disebabkan karena kebocoran plasma yang

8

akhirnya tejadi perlemahan sirkulasi sistemik sehingga perfusi jaringan menurun jika tidak

teratasi terjadi hipoxia jaringan. Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.

Virus hanya dapat hidup dalam sel yang hidup, sehingga harus bersaing dengan sel manusia

terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan

tubuh manusia.sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi : (1)aktivasi sistem komplemen

sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang menyebabkan peningkatan permiabilitas kapiler

sehingga terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke ekstravaskular, (2) agregasi

trombositmenurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi

trombosit sebagai akibatnya akan terjadi mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang

dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang atau mengaktivasi faktor

pembekuan. Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan peningkatan permiabilitas kapiler,

kelainan hemostasis yang disebabkan oleh vaskulopati; trombositopenia; dan kuagulopati

(Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).

2.1.8 Manifestasi Klinik DBD

Seperti pada infeksi virus yang lain, maka infeksi virus Dengue juga merupakan suatu

self limiting infectious disease yang akan berakhir sekitar 2-7 hari. Infeksi virus Dengue pada

manusia mengakibatkan suatu spectrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit

yang paling ringan, Dengue fever, Dengue hemorrhagic fever, dan Dengue shock syndrome

(Depkes, 2008).

a. Demam

Demam mendadak disertai dengan gejala klinis yang tidak spesifik seperti anoreksia,

lemah, nyeri pada punggung, tulang sendi, dan kepala. Pada umumnya gejala klinik ini

tidak mengkhawatirkan. Demam berlangsung antara 2-7 hari kemudian turun secara

lysis.

b. Perdarahan

Umumnya muncul pada hari kedua sampai ketiga demam bentuk pendarahan dapat

berupa uji rumole leed positif, petechiae, purpura, echimosis, epistasis, pendarahan gusi

dan yang paling parah adalah melena.

c. Hepatomegali

Hati pada umumnya da[at diraba pada pemulaan demam, kadang-kadang juga

ditemukannya nyeri, tetapi biasanya disertai ikterus

d. Shock

Shock biasanya terjadi pada saat demam menurun yaitu hari ketiga dan ketujuh sakit.

Shock yang terjadi dalam periode demam biasanya mempunyai prognosa buruk.

Penderita DBD memperlihatkan kegagalan peredaran darah dimulai dengan kulit yang

terasa lembab dan dingin pada ujung hidung jaridan kaki, sianosis sekitar mulut dan

akhirnya shock.

e. Trombositopenia

9

Trombositopenia adalah berkurangnya jumlah trombosit, apabila dibawah 150.000/mm3

biasanya ditemukan diantara hari ketiga sampai ketujuh sakit.

f. Kenaikan nilai hematokrit

Meningkatnya nilai hematokrit merupakan indicator yang peka terhadap terjadinya shock

sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara periodic.

Gejala klinik lain

Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita adalah epigastrium, muntah

muntah, diare, dan kejang-kejang (Depkes, 2008). Tanda dan Gejala :

a. Demam tinggi 2 – 7 hari disertai menggigil. kurang nafsu makan, nyeri pada

persendiaan, serta sakit kepala.

b. Terjadi penurunan trombosit dibawah 100.000 / mm 3.

c. Pendarahan dibawah kulit berupa : Bintik-bintik merah pada kulit , mimisan, gusi

berdarah , muntah darah dan BAB berdarah.

d. Nyeri perut ( ulu hati ) tapi tidak ada gejala kuning.

e. Mual dan muntah.

f. Terjadi syok atau pingsan pada hari ke 3 — 7 secara berulang— ulang. Dengan tanda

syok yaitu lemah, kulit dingin , basah dan tidak sadar.

Tanda Bahaya DBD :

a. Perdarahan gusi

b. Muntah darah

c. Penderita tidak sadar

d. Denyut nadi tidak teraba

(Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000;419).

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

2.1.9.1 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan terutama untuk mendeteksi perubahan

hematologis. Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:

a. Leukosit

Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relative

(>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (>15% dari jumlah

total leukosit) yang pada fase syok meningkat.

b. Trombosit

umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/µl) pada hari ke

3 – 8

c. Hematokrit

10

Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit

≥20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

d. Hemostasis

Dilakukan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial thromboplastin time

(aPTT), thrombin time (TT) atau fibrinogen pada keadaan yang dicurigai terjadi

perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

e. Protein/albumin

Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai normal albumin

adalah 3-5,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8 g/dl (Price, 2003).

f. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)

Dapat meningkat. Nilai normal alanin aminotransferase adalah 0-40 IU/l. Menurut

Kalayanarooj (1997) anak dengan level enzim hati yang meningkat sepertinya

lebih rentan mengalami dengue yang parah dibandingkan dengan yang memiliki

level enzim hati yang normal saat didiagnosis.

g. Elektrolit

Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan. Jumlah kalium normal serum

adalah 3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-145 mEq/l.

h. Golongan darah dan cross match

Bila akan diberikan transfusi darah dan komponen darah.

i. Imunoserologi

Dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai hari

ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada

infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai

terdeteksi pada hari ke-2.

2.1.10 Pencegahan dan Penatalaksanaan

- Pencegahan

a. Pencegahan primer penyakit demam berdarah :

1) Menghindari gigitan nyamuk di sepanjang siang hari (pagi sampai sore)

karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Hal tersebut

dapat dilaksanakan dengan menghindari berada di lokasi-lokasi yang banyak

nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita DBD nya.

Bila memang sangat perlu untuk berada di tempat tersebut.

2) Kenakan pakaian yang lebih tertutup, misalnya: celana panjang dan kemeja

lengan panjang.

3) Gunakan cairan/krim anti nyamuk (MOSQUITO REPELLANT) yang banyak

11

4) Semprotlah bagian-bagian rumah dan halaman yang merupakan tempat

berkeliarannya nyamuk terutama bila ada salah seorang penghuni yang

positif atau diduga menderita DBD, dengan obat semprot nyamuk (yang

banyak dijual di toko-toko) bila tampak nyamuk berkeliaran di pagi / siang

/sore hari.

b. Pencegahan sekunder penyakit demam berdarah:

Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk

Demam Berdarah (Aedes Aegypi) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan

Sarang Nyamuk) Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah

dan dapat dilakukan oleh masyarakat, dengan cara sebagai berikut:

1) Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC,

drum, dan lain-lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air

di vas kembang, tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain

sekurang-kurangnya seminggu sekali

2) Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum,

dan lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di

tempat itu

3) Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti

kaleng bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat

menampung air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak

nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan lain-lain agar

dibakar bersama sampah lainnya

4) Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau

adukan semen

5) Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk

tidak hinggap disitu

6) Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan

bubuk ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-

jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali. Taburkan serbuk

abate (yang dapat dibeli di apotik) pada bak mandi dan tempat

penampung air lainnya, juga pada parit / selokan di dalam dan di sekitar

rumah, terutama bila selokan itu airnya tidak / kurang mengalir. Kolam /

akuarium jangan dibiarkan kosong tanpa ikan, isilah dengan ikan

pemakan jentik nyamuk.

c. Pencegahan tersier penyakit demam berdarah:

Pencegahan terutama ditekankan pada pengendalian nyamuk yang

berkesinambungan, terintegrasi dan dengan peran serta penuh dari

masyarakat. Hal ini memerlukan suatu usaha bersama dari masyarakat yang

12

terkoordinasi agar seluruh masyarakat menjadi waspada akan penyakit ini,

mampu mengenali penyakit ini, dan tahu bagaimana cara mengeliminasi

nyamuk Aedes. Setiap penduduk bertanggung jawab terhadap lingkungan

sekitarnya untuk dijaga agar bebas dari nyamuk Aedes. Pencegahan secara

massal di lingkungan setempat dengan bekerja sama dengan

RT/RW/Kelurahan dengan PUSKESMAS setempat dilakukan dengan

Pembersihan Sarang Nyamuk (PSN), Fogging, atau memutuskan mata rantai

pembiakan Aedes aegypti dengan Abatisasi.

2.1.11 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan di Komunitas

- Pembentukan Surveilan

Surveilans DBD adalah proses pengumpulan pengolahan analisis dan

interpretasi dan penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan

pihak / instansi terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi

DBD dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan

penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara

efektif dan efisien.

- Survei telur

Survei ini dilakukan dengan cara memasang perangkap telur (ovitrap) yang

dinding sebelah dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya.

Ovitrap berbentuk tabung yang dapat dibuat dari potongan bambu, kaleng

dan gelas platik/kaca. Ovitrap diletakkan di dalam dan di luar rumah atau

tempat yang gelap dan lembab. Cara kerja ovitrap adalah padel (berupa

potongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan berwarna gelap)

yang dimasukkan kedalam tabung tersebut berfungsi sebagai tempat

meletakkan telur nyamuk. Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan ada atau

tidaknya telur nyamuk di padel, kemudian dihitung ovitrap index.

Perhitungan ovitrap index adalah:

13

Ovitrap Index:

Jumlah padel dengan telur x 100%

Jumlah padel diperiksa

Untuk mengetahui gambaran kepadatan populasi nyamuk penular secara

lebih tepat, telur-telur padel tersebut dikumpulkan dan dihitung jumlahnya.

Kepadatan populasi nyamuk :

Jumlah telur = ……..telur per ovitrap

Jumlah ovitrap yang digunakan

Gambar 2.3 Contoh Ovitrap

- Survei jentik

Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1.) Memeriksa tempat penampungan air dan kontainer yang dapat menjadi habitat

perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. di dalam dan di luar rumah untuk

mengetahui ada tidaknya jentik.

2.) Jika pada penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½ -1

menit untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada jentik.

3.) Gunakan senter untuk memeriksa jentik di tempat gelap atau air keruh.

Metode survei jentik:

1) Single larva

Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang

ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.

2) Visual

Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat

genangan air tanpa mengambil jentiknya. Biasanya dalam program DBD mengunakan cara

visual.

14

Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes sp. :

Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah persentase rumah dan/atau Tempat Umum

yang tidakditemukan jentik, pada pemeriksaan jentik berkala.

Indeks-indeks nyamuk yang digunakan:

Apabila ingin diketahui rata-rata umur nyamuk di suatu wilayah, dilakukan

pembedahan perut nyamuk-nyamuk yang ditangkap untuk memeriksa

keadaan ovariumnya di bawah mikroskop. Jika ujung pipa-pipa udara

(tracheolus) pada ovarium masih menggulung, berarti nyamuk itu belum

pernah bertelur (nuliparous). Jika ujung pipa-pipa udara sudah

terurai/terlepas gulungannya, maka nyamuk itu sudah pernah bertelur

(parous).

15

Untuk mengetahui rata-rata umur nyamuk, apakah merupakan nyamuk-

nyamuk baru (menetas) atau nyamuk-nyamuk yang sudah tua digunakan

indek parity rate.

Bila hasil survei entomologi suatu wilayah, parity rate-nya rendah

berarti populasi nyamuk-nyamuk di wilayah tersebut sebagian besar masih

muda. Sedangkan bila parity rate-nya tinggi menunjukkan bahwa keadaan

dari populasi nyamuk di wilayah itu sebagian besar sudah tua.

Untuk menghitung rata-rata umur suatu populasi nyamuk secara lebih

tepat dilakukan pembedahan ovarium dari nyamuk-nyamuk parous, untuk

menghitung jumlah dilatasi pada saluran telur (pedikulus).

Umur populasi nyamuk = rata-rata jumlah dilatasi x satu siklus

gonotropik

Contoh:

Bila jumlah dilatasi nyamuk rata-rata 3 dan siklus gonotropiknya 4 hari, maka

umur rata-rata nyamuk tersebut adalah: 3x4=12 hari. Semakin tua rata-rata

umur nyamuk semakin besar potensi terjadinya penularan di suatu wilayah.

- Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh

vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan

kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta

memutus rantai penularan penyakit.

Metode pengendalian vektor Chikungunya bersifat spesifik lokal, dengan

mempertimbangkan faktor–faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman, habitat

perkembangbiakan); lingkungan sosial-budaya (Pengetahuan Sikap dan Perilaku) dan

aspek vektor.

Pada dasarnya metode pengendalian vektor Chikungunya yang paling efektif

adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode

pengendalian vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat

memutus rantai penularan.

a. Kimiawi

Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida

merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat

16

dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium

dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka penggunaannya

harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan organisme bukan

sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan

metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan

pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan ekosistem akan

menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran.

Sasaran nyamuk dewasa adalah : Organophospat (Malathion, methyl

pirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, cyflutrine,

Permethrine & S-Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang

diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging dan pengabutan

dingin/ULV

Sasaran jentik dengan menggunakan larvasida : golongan Organophospat

(Temephos).

b. Biologi

vektor dengan biologi menggunakan agent biologi seperti

predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa

vektor Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang,

tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung, Toxorrhyncites,

Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode

yang lazim untuk pengendalian vektor . Jenis pengendalian vektor biologi :

Parasit : Romanomermes iyengeri

Bakteri : Baccilus thuringiensis israelensis

Golongan insektisida biologi untuk pengendalian vektor (Insect Growth

Regulator/IGR dan Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTi), ditujukan untuk

stadium pra dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan

vektor. Insect Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan

nyamuk di masa pra dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses

chitin synthesis selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan proses

perubahan pupae dan nyamuk dewasa. IGRs memiliki tingkat racun yang

sangat rendah terhadap mamalia (nilai LD50 untuk keracunan akut pada

methoprene adalah 34.600 mg/kg ).

Bacillus thruringiensis (BTi) sebagai pembunuh jentik nyamuk/larvasida

yang tidak menggangu lingkungan. BTi terbukti aman bagi manusia bila

digunakan dalam air minum pada dosis normal. Keunggulan BTi adalah

menghancurkan jentik nyamuk tanpa menyerang predator entomophagus

dan spesies lain. Formula BTi cenderung secara cepat mengendap di dasar

17

wadah, karena itu dianjurkan pemakaian yang berulang kali. Racunnya

tidak tahan sinar dan rusak oleh sinar matahari. cenderung secara cepat

mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian yang

berulang kali. Racunnya tidak tahan sinar dan rusak oleh sinar matahari.

secara cepat mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian

yang berulang kali. Racunnya tidak tahan sinar dan rusak oleh sinar

matahari.

c. Manajemen lingkungan

Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air,

vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat

perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor. Nyamuk Aedes sp sebagai nyamuk

pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan yang berada di daerah

pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan

sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai

source reduction seperti 3M plus (menguras, menutup dan mengubur, dan plus:

menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat

pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-

tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah dll).

d. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN

Pengendalian Vektor yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus

rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di masyarakat

dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah

Dengue PSN dalam bentuk kegiatan 3 M plus. Untuk mendapatkan hasil yang

diharapkan, kegiatan 3 M Plus ini harus dilakukan secara serempak dan terus

menerus/berkesinambungan. Tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat

beragam sering menghambat suksesnya gerakan ini. Untuk itu sosialisasi kepada

masyarakat/individu untuk melakukan kegiatan ini secara rutin serta penguatan

peran tokoh masyarakat untuk mau secara terus menerus menggerakkan

masyarakat harus dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan di

media masa, serta reward bagi yang berhasil melaksanakannya.

e. Operasional Pengendalian Vektor

- Pengabutan (fogging/ULV)

Pelaksana :Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas dan

tenaga lain yang telah dilatih.

Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit

Sasaran : Rumah dan tempat-tempat umum

18

Insektisida : Sesuai dengan dosis

Alat : Mesin fog atau ULV

Cara : Pengasapan/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval

satu minggu (petunjuk fogging terlampir)

- Pemberantasan sarang nyamuk

Pelaksana :Masyarakat di lingkungan masing-masing

Lokasi :Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah

sekitarnya dan merupakan satu kesatuan

epidemiologis

Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukkan nyamuk :

tempat penampungan air,barang bekas ( botol ,

pecahan gelas,ban bekas, dll) lubang pohon/tiang

pagar/pelepah pisang, tempat minum burung, alas pot,

dispenser, tempat penampungan air di bawah kulkas,

dibelakang kulkas dsb, di rumah/bangunan dan tempat

umum.

Cara : Melakukan kegiatan 3 M plus. (disesuaikan dengan

lokal spesifik daerah terjangkit).

- Larvadasi

Pelaksana :Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas

puskesmas/ dinas kesehatan kabupaten/kota

Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit

Sasaran : Tempat penampungan air (TPA) di rumah dan

tempat-tempat umum

Insektisida : Sesuai dengan dosis. Disesuaikan dengan sirkulasi

pemakaian insektisida instruksi Dirjen PP dan PL

Cara : Larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah KLB

(Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman

Pengendalian DBD, Edisi 2)

19

Penatalaksanaan penderita DBD (Mansjoer, 2001).

Gambar 2.4 Penatalaksanaan demam berdarah

2.2 Aplikasi teori model keperawatan anderson

2.2.1 Teori model keperawatan anderson

Sasaran keperawatan komunitas adalah seluruh masyarakat termasuk individu,

keluarga, dan kelompok beresiko tinggi seperti keluarga penduduk di daerah kumuh,

daerah terisolasi dan daerah yang tidak terjangkau termasuk kelompok bayi, balita dan

ibu hamil.

Menurut Anderson (1988) sasaran keperawatan komunitas terdiri dari tiga tingkat

yaitu:

a. Tingkat Individu

Perawat memberikan asuhan keperawatan kepada individu yang mempunyai

masalah kesehatan tertentu (misalnya DHF, ibu hamil) yang dijumpai di poliklinik,

Puskesmas dengan sasaran dan pusat perhatian pada masalah kesehatan dan

pemecahan masalah kesehatan individu.

b. Tingkat Keluarga

Sasaran kegiatan adalah keluarga dimana anggota keluarga yang mempunyai masalah

kesehatan dirawat sebagai bagian dari keluarga dengan mengukur sejauh mana

terpenuhinya tugas kesehatan keluarga yaitu mengenal masalah kesehatan, mengambil

keputusan untuk mengatasi masalah kesehatan, memberikan perawatan kepada anggota

20

keluarga, menciptakan lingkungan yang sehat dan memanfaatkan sumber daya

masyarakat untuk meningkatkan kesehatan keluarga.

Prioritas pelayanan perawatan kesehatan masyarakat difokuskan keluarga

rawan yaitu:

a. Keluarga yang belum terjangkau pelayanan kesehatan, yaitu keluarga dengan: ibu

hamil yang belum ANC, ibu nifas yang persalinannya ditolong oleh dukun dan

neonatusnya, balita tertentu, penyakit kronis menular yang tidak dapat diintervensi

oleh program, penyakit endemis, penyakit kronis tidak menular atau keluarga dengan

kecacatan tertentu (mental atau fisik).

b. Keluarga dengan resiko tinggi, yaitu keluarga dengan ibu hamil yang memiliki masalah

gizi, seperti anemia gizi berat (HB kurang dari 8 gr%) ataupun Kurang Energi Kronis

(KEK), keluarga dengan ibu hamil resiko tinggi seperti perdarahan, infeksi, hipertensi,

keluarga dengan balita dengan BGM, keluarga dengan neonatus BBLR, keluarga

dengan usia lanjut atau keluarga dengan kasus percobaan bunuh diri.

c. Keluarga dengan tindak lanjut perawatan.

d. Tingkat Komunitas

Dilihat sebagai suatu kesatuan dalam komunitas sebagai klien.

- Pembinaan kelompok khusus

- Pembinaan desa atau masyarakat bermasalah

2.2.2 Aplikasi terhadap Agregat DB

Dalam model keperawatan sebagai mitra (Gambar 2.1) ada 2 faktor sentral : pertama

fokus pada komunitas sebagai mitra ditandai dengan roda pengkajian komunitas dibagian

atas, dengan menyatukan anggota masyarakat sebagai intinya, dan kedua, penerapan

proses keperawatannya.

21

Gambar. 2.5 Komunitas Sebagai Mitra

22

Gambar 2.6 Roda pengkajian komunitas, menggambarkan garis resistensi dan pertahanan

dalamstruktur komunitas

23

8 Subsistem :

1. Lingkungan

2. Pendidikan

3. Keamanan dan Transportasi

4. Politik dan Pemerintahan

5. Pelayanan Kesehatan dan Sosial

6. Komunikasi

7. Ekonomi

8. Rekreasi

KOMUNITAS

STRESOR

STRESOR

INTI

(INDIVIDU)

Inti dari roda pengkajian (Gambar 2.2 ) adalah individu yang membentuk

komunitas. Inti meliputi demografi, nilai, keyakinan, dan sejarah penduduk setempat.

Sebagai anggota masyarakat, penduduk setempat dipengaruhi oleh delapan

subsistem komunitas dan sebaliknya. Delapan subsistem ini terdiri atas lingkungan,

pendidikan, keamanan dan transportasi, politik dan pemerintahan, pelayanan

kesehatan dan sosial, komunikasi, ekonomi, dan rekreasi.

Garis tebal yang mengelilingi komunitas menunjukkan garis pertahanan

normal, atau tingkat kesehatan komunitas yang dicapai setiap saat. Garis pertahanan

normal meliputi berbagai ciri misalnya angka imunitas yang tinggi, moralitas bayi yang

rendah, atau tingkat pendapatan kelas menengah. Garis pertahanan normal juga

mencakup pola koping, disertai kemampuan menyelesaikan masalah. Hal ini

menunjukkan keadaan sehat dari komunitas.

Garis pertahanan fleksibel, digambarkan dengan garis putus-putus yang

mengelilingi komunitas dan garis pertahanan normal. Garis ini merupakan “buffer

zone” (area penengah) yang menunjukkan suatu tingkat kesehatan dinamis akibat

respon sementara terhadap stressor. Respon ini mungkin saja terjadi karena adanya

mobilisasi anggota masyarakat sekitar karena stressor lingkungan, seperti banjir, atau

stressor sosial seperti penjualan buku porno.

Kedelapan subsistem dibatasi dengan garis putus-putus untuk mengingatkan

kita bahwa subsistem tersebut tidak terpisah, tetapi saling mempengaruhi. Kedelapan

subsistem tersebut menjelaskan garis besar subsistem suatu komunitas dan

memberikan gambaran kerangka kerja bagi perawat kesehatan komunitas dalam

pengkajian.

Didalam komunitas, terdapat garis-garis resistensi, mekanisme internal yang

melakukan perlawanan terhadap stressor. Program rekreasi malam untuk anak-anak

muda dilakukan untuk mengurangi “vandalism” (perbuatan yang merusak) dan

kebebasan berbuat, dan diagnosis serta pengobatan penyakit menular seksual secara

gratis adalah merupakan contoh garis resistensi. Garis resistensi ada pada setiap

subsistem dan menunjukkan kekeuatan komunitas.

Stressor merupakan tekanan rangsangan yang menghasilkan ketegangan

yang potensial menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem. Stressor tersebut

dapat berasal dari luar komunitas (misalnya polusi udara dari industri terdekat) atau

dari dalam komunitas (misalnya penutupan suatu klinik). Stressor memasuki garis

pertahanan normal maupun fleksibel sehinggga menimbulkan gangguan dalam

komunitas. Pelayanan yang tidak mencukupi, tidak terjangkau atau mahal merupakan

stressor terhadap kesehatan komunitas.

24

Derajat reaksi merupakan jumlah ketidakseimbangan atau gangguan akibat

stressor yang mengganggu garis pertahanan komunitas. Derajat reaksi ini dapat dilihat

dari angka kematian dan kesakitan, pengangguran, statistik kriminalis, kejadian

endemik DBD dan lain-lain.Stressor dan derajat reaksi menjadi bagian dari diagnosa

keperawatan. Misalnya masalah dapat berupa peningkatan kejadian penyakit

pernapasan (derajat reaksi) sehubungan dengan polusi udara(stresor).

2.2.3 Pengkajian

Inti dan subsistem komunitas, baik garis pertahanan dan resistensi stressor

maupun derajat reaksi, merupakan parameter pengkajian perawat komunitas yang

memandang komunitas sebagai mitra. Dengan menganalisis data berdasarkan

parameter ini bersama dengan komunitas akan mengarahkan diagnosis

keperawatan komunitas.

2.2.3.1 Core

2.2.3.1.1 Demografi

Data demografi kelompok atau komunitas yang terdiri atas:umur, pendidikan, jenis

kelamin, pekerjaan, agama, nilai-nilai, dan keyakinan. Data demografi yang perlu dikaji dalam

masyarakat adalah populasi anak, usia remaja, dewasa, lansia, jenis kelamin, insiden

penyakit, angka kelahiran, angka kematian, dan populasi ibu hamil.

2.2.3.1.2 Nilai dan Kepercayaan

Bagian dari inti komunitas adalah nilai, keyakinan, dan praktik keagamaan

penduduk.Setiap komunitas bersifat unik dengan nilai, keyakinan, dan praktik keagamaan

yang mengakar pada tradisi dan secara kontinu berkembang serta tetap eksis karena

memenuhi kebutuhan masyarakat. Semua kelompok etnik mempunyai nilai dan keyakinan

yang berinteraksi dengan sistem komunitas untuk mempengaruhi kesehatan warganya.

Dalam masyarakat ditanyakan keyakinan terhadap sehat & sakit, tempat mereka berobat &

usaha menyembuhkan sakit atau meningkatkan derajat kesehatan.

2.2.3.1.3 Sejarah

Sejarah dalam komunitas adalah terkait dengan sejarah masyarakat, daerah

yang terkait dengan kesehatan yang pernah dialami oleh masyarakat.Tokoh masyarakat yang

disegani yang mengetahui sejarah daerah.

2.2.3.2 Subsistem

2.2.3.2.1 Lingkungan Fisik

Lingkungan adalah salah satu subsistem yang berpengaruh terhadap

kesehatan masyarakat. Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu

25

ditingkatkan juga kebersihan lingkungan sekitar dengan menerapkan perilaku hidup

bersih dan sehat.

Data subsistem lingkungan yang perlu dikaji adalah lingkungan biologi (jenis

binatang peliharaan, letak kandang, jenis tanaman yang ditanam dirumah, dan manfaat

tanaman tersebut), kimia (sumber polusi, pembuangan dan pengelolaan limbah rumah

tangga dan kotoran ternak), fisik (tempat pembuangan sampah, pengelolaan sampah,

ketersediaan jamban, ventilasi rumah, sumber air, ketersediaan air bersih, dan alat

penerangan) , dan geografi (kondisi iklim di desa dan kondisi jalan menuju pelayanan

kesehatan).

2.2.3.2.2 Keamanan dan Transportasi

Di lingkungan tempat tinggal, apakah tidak menimbulkan stress. Yang perlu

dikaji adalah tindak kriminal yang paling sering, layanan perlindungan yang tersedia

(Hansip), tempat perlindungan dan pengaduan bila terancam rasa amannya (RT, RW,

Kades), tersediannya ambulan desa, tersedianya kendaraan umum (Ojek, Angkot),

tersediannya kendaraan pribadi (Mobil, Sepeda Motor), tersediannya jalan pintas, serta

penggunaan jalan umum.

2.2.3.2.3 Pelayanan Kesehatan dan Sosial

Pelayanan kesehatan dan sosial yang tersedia untuk melakukan deteksi dini

gangguan atau merawat dan memantau apabila gangguan sudah terjadi

Hal yang perlu dikaji dalam pelayanan kesehatan dan sosial adalah

ketersediaan tenaga kesehatan, jarak RS, ketersediaan klinik dan gawat darurat, mencari

pelayanan kesehatan, pemanfaatan posyandu, ketersediaan Pustu, jarak puskesmas,

pelaksanaan dalam 1 bulan, jenis pelayanan untuk ibu dan anak, keahlian kader,

penggunaan alat kontrasepsi, biaya, dan adanya jaminan kesehatan.

2.2.3.2.4 Ekonomi

Tingkat sosial ekonomi komunitas apakah sudah mencukupi, sehingga upaya

pelayanan kesehatan yang diberikan dapat terjangkau. Yang perlu dikaji adalah jumlah

pengeluaran rata-rata keluarga tiap bulan, ketersediaan lapangan kerja, alokasi

penghasilan untuk kesejahteraan ibu dan anak.

2.2.3.2.5 Pendidikan

Pendidikan penting dalam pengkajian karena untuk mengetahui apakah

terdapat sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan

masyarakat terutama dalam peningkatan pengetahuan tentang kesehatan.

Yang perlu dikaji dalam subsistem pendidikan yaitu, kondisi sekolah (gedung

sekolah, ketersediaan kamar mandi, ,kebersihan, tempat sampah, kantin sekolah,

26

ventilasi kelas, tersedianya fasilitas kesehatan disekolah, penerapan pola perilaku hidup

sehat di sekolah (cuci tangan dan gosok gigi), pemeriksaan kesehatan berkala, dan

jajanan sekolah.

2.2.3.2.6 Politik dan Pemerintahan

Politik dan pemerintahan sangat berpengaruh terhadap kesehatan

masyarakat terutama dalam penyediaan sarana pelayanan kesehatan untuk menunjang

kesehatan masyarakat.

Di masyarakat yang perlu dikaji adalah adanya penanggung jawab PKK, adanya

jadwal pelaksana kegiatan PKK, rutinitas kegiatan PKK, program PKK, penanggung

jawab dasa wisma, program dasa wisma, rutinitas kegiatan dasawisma, tersedianya alat

transportasi ambulan desa, tersedianya kader-kader kesehatan tiap RT, dan adanya

pelatihan-pelatihan terhadap kader-kader kesehatan.

2.2.3.2.7 Komunikasi

Sistem komunikasi dalam masyarakat sangatlah penting dalam menerima

informasi terutama terkait dengan kesehatan. Sarana komunikasi apa saja yang dapat

dimanfaatkan di komunitas tersebut untuk meningkatkan pengetahuan terkait dengan

kesehatan (mis.televisi, radio, koran, atau leaflet yang diberikan kepada komunitas)

Dalam subsistem komunikasi yang perlu dikaji adalah penggunaan alat

komunikasi (telepon, handphone, tv, radio, koran dll), ketersediaan tempat untuk kegiatan

bersama warga, antusias warga dalam mendapatkan informasi kesehatan.

2.2.3.2.8 Rekreasi

Rekreasi disekitar daerah apakah terdapat masalah atau dapat menimbulkan

masalah kesehatan kepada masyarakat disekitarnya. Yang perlu dikaji dalam subsistem

rekreasi adalah ketersediaan fasilitas bermain anak-anak dan bentuk rekreasi yang

sering dilakukan.

Menurut Hendrik L. Blum ada empat faktor yang mempengaruhi kesehatan, yaitu

lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.Lingkungan terdiri dari

lingkungan fisik dan lingkungan sosial.Lingkungan fisik yaitu lingkungan yang berkaitan

dengan fisik seperti air, udara, sampah, tanah, iklim, dan perumahan.Contoh di suatu

daerah mengalami wabah DBD karena banyaknya genangan air di musim

penghujan.Keturunan merupakan faktor yang telah ada pada diri manusia yang

dibawanya sejak lahir, misalnya penyakit asma.Keempat faktor tersebut saling berkaitan

dan saling menunjang satu dengan yang lainnya dalam menentukan derajat kesehatan

individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.Lingkungan dalam paradigma keperawatan

berfokus pada lingkungan masyarakat, dimanalingkungan dapat mempengaruhi status

kesehatan manusia.Lingkungan disini meliputi lingkungan fisik, psikologis, sosial dan

budaya serta lingkungan spiritual.

27

28