3. aspek hukum dlm pemeriksaan - cetak
TRANSCRIPT
DIKLAT JABATAN FUNGSIONAL PEMERIKSA
ASPEK HUKUM DALAM PEMERIKSAAN
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
TAHUN 2011
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI i
Kata Pengantar
Terbitnya Permenpan Nomor 17 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa (JFP) dan Angka Kreditnya merupakan titik awal perubahan peraturan dari jabatan fungsional auditor (JFA) ke JFP bagi para pemeriksa BPK. Momen ini dimanfaatkan BPK untuk mereformasi pengembangan sumber daya pemeriksa dengan meredefinisi kompetensi yang diperlukan oleh para pemeriksa di BPK. Peraturan BPK No. 4 Tahun 2010 tentang JFP menyatakan bahwa untuk memenuhi dan meningkatkan kompetensi dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, para calon pemeriksa yang pertama kali diangkat dalam JFP wajib terlebih dahulu mengikuti diklat JFP. Sejalan dengan itu, berlakunya standar kompetensi yang telah disusun Biro SDM juga mendukung Pusdiklat untuk mengembangkan diklat berbasis kompetensi, yang dalam hal ini ditujukan bagi para pemeriksa. Standar kompetensi inilah yang menjadi landasan bagi pusdiklat dalam menata ulang desain kurikulum dan silabusnya, sehingga lebih terstruktur dan sesuai dengan masing-masing peran.
Kami menyadari arti penting modul ini dalam suatu proses diklat karena dari modul inilah tergambar dasar pengetahuan dan keahlian yang akan diberikan kepada peserta diklat. Kami juga terus berusaha menyempurnakan materi-materi diklat dengan perkembangan pengetahuan dan kondisi terkini, serta melatih tenaga instruktur secara berkala. Hal ini merupakan komitmen Pusdiklat yang berusaha menjunjung tinggi profesionalisme dalam melayani kebutuhan pengembangan SDM di BPK. Kami harapkan setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan di Pusdiklat BPK, para peserta diklat merasakan manfaatnya dengan mengalami perubahan kompetensi yang semakin baik sesuai tugas dan tanggung jawab yang diemban. Pelaksanaan diklat berbasis kompetensi juga mendorong Pusdiklat semakin menyempurnakan metode pembelajaran yang digunakan serta didukung dengan laboratorium-laboratorium, untuk membantu peserta diklat merasakan kondisi yang menyerupai keadaan riil dalam pekerjaan.
Akhir kata, perkenankan kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT dan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap pengembangan modul ini. Kami menyadari bahwa apa yang telah kami lakukan masih jauh dari sempurna. Masukan, kritik, dan saran dari peserta diklat, instruktur, dan narasumber sangat berguna dalam pengembangan kompetensi pemeriksa di BPK untuk mendukung tujuan kami, yaitu menjadi pusdiklat yang profesional, sebagai titik awal pembentukan SDM di BPK. Terima kasih.
Jakarta, Mei 2011 Plt. Kepala Pusdiklat
Dr. Cris Kuntadi, S.E.,,M.M., Ak.,C.P.A. NIP 196906241990031004
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI ii
DAFTAR ISI
Hal.
Kata Pengantar ….………………………………………………………... i
Daftar Isi …….………………………………………………………..….. ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Deskripsi Singkat Mata Pelajaran ........................................ 1
B. Tujuan Umum Pembelajaran 1
C. Metode Pembelajaran 1
D. Deskripsi Singkat Struktur Modul 2
BAB II DASAR-DASAR ILMU HUKUM .................... ....................... 3
A. Pengertian Hukum ..... ............................................................ 3
B. Hukum dan Kaedah Sosial .................................................... 5
C. Pengertian-pengertian Dasar dalam Hukum …….…...……. 7
D. Asas Hukum ……………..………………………………. 10
E. Pembidangan Hukum ……………………………………… 13
F. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum) .. ............................ 18
G. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan .......... .............. 19
H. Tuntutan Masyarakat atas Hukum ........ ................................. 21
BAB III ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PERENCANAAN
PEMERIKSAAN …………………….……………………….. 24
A. UUD 1945 ............................................................................. 24
B. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara .............. 25
C. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ....... 26
D. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara …………………… 26
E. UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan 26
BAB IV ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PELAKSAAN
PEMERIKSAAN …………………………………………… 27
A. Hubungan Aspek Hukum dan Standar Pemeriksaan .......... 27
B. Aspek Hukum dalam Perancangan Pemeriksaan untuk
Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan
Peraturan Perundang-undangan, Kecurangan (Fraud),
Serta Ketidakpatutan (Abuse) .............................................. 29
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI iii
C. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Pemeriksaan dan
Pemahaman terhadap Objek yang Akan Diperiksa .............. 32
BAB V ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PEMERIKSAAN
PADA PELAPORAN PEMERIKSAAN ...………………….. 63
A. Penyimpangan Administrasi ………………………………. 65
B. Pelanggaran atas Perikatan Perdata ..……………………... 67
C. Penyimpangan yang Mengandung Unsur Tindak Pidana .... 68
D. Ketidakpatutan yang Signifikan …………………………… 68
BAB VI ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM TINDAK LANJUT
HASIL PEMERIKSAAN ……………………………………. 70
A. Kewajiban Terperiksa untuk Menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK ………………………………………… 70
B. Rumusan Unsur Pidana ………………………………….. 71
C. Tindak Lanjut Apabila Terdapat Unsur Pidana …………. 72
Daftar Pustaka …………….…………………………………………….. 73
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 1 dari 74
BAB I
PENDAHULUAN
A. DESKRIPSI SINGKAT MATA PELAJARAN
Mata pelajaran ini diberiksan dalam rangka memberikan wawasan maupun
pengetahuan dan pemahaman dasar kepada para pemeriksa mengenai dasar-dasar
ilmu hukum yang terkait dengan pemeriksaan. Dengan demikian, pemeriksa dapat
mengerti, memahami dan mampu menjelaskan bagaimana menangani masalah-
masalah hukum dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan pemeriksaan dan tindak
lanjut hasil pemeriksaan
B. TUJUAN UMUM PEMBELAJARAN
Agar peserta diklat dapat memahami dasar-dasar ilmu hukum yang terkait dengan
pemeriksaan sehingga diharapkan kelak dapat diterapkan dalam pelaksanaan tugas,
baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan hal tersebut.
C. METODE PEMBELAJARAN
Peserta didorong untuk berpartisipasi secara aktif melalui komunikasi dua arah.
Untuk metode yang digunakan merupakan kombinasi dari ceramah dan tanya jawab,
diskusi serta latihan soal & kasus.
Instruktur membantu peserta dalam memahami materi melalui ceramah dan dalam
proses ini peserta diberikan kesempatan untuk melakukan tanya jawab. Agar proses
pendalaman materi dapat berlangsung dengan baik, dilakukan pula diskusi
kelompok, sehingga peserta benar-benar dapat secara aktif terlibat dalam proses
belajar mengajar.
Dalam modul ini disertakan pula latihan soal & kasus untuk membantu peserta dalam
mempercepat dan mempermudah memahami materi.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 2 dari 74
D. DESKRIPSI SINGKAT STRUKTUR MODUL
Modul Aspek Hukum dalam Pemeriksaan ini disusun dengan kerangka bahasan
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN: menguraikan penjelasan umum sebagai gambaran
menyeluruh atas isi modul meliputi : Deskripsi Singkat Mata Pelajaran, Tujuan
Pembelajaran, Metodologi Pembelajaran dan Deskripsi Singkat Struktur Modul.
BAB II DASAR-DASAR ILMU HUKUM : membahas mengenai pengertian
hukum, hukum dan kaedah sosial, pengertian dasar dalam hukum, asas hukum,
pembidangan hukum, penafsiaran hukum, tata urutan perundang-undangan, dan
tuntutan masyarakat akan hukum.
BAB III ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PERENCANAAN
PEMERIKSAAN : membahas mengenai peraturan perundang-undangan yang dapat
digunakan dalam melakukan perencanaan pemeriksaan.
BAB IV ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN
PEMERIKSAAN : membahas mengenai hubungan aspek hukum dan standar
pemeriksaan, aspek hukum dalam perancangan pemeriksaan untuk mendeteksi
terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan
(fraud), serta ketidakpatutan (abuse), dan aspek hukum dalam pelaksanaan
pemeriksaan dan pemahaman terhadap objek yang akan diperiksa.
BAB V ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PEMERIKSAAN PADA
PELAPORAN PEMERIKSAAN : membahas mengenai penyimpangan
administrasi, pelanggaran atas perikatan perdata, penyimpangan yang mengandung
unsur tindak pidana, dan ketidakpatutan yang signifikan.
BAB VI ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM TINDAK LANJUT HASIL
PEMERIKSAAN : membahas mengenai kewajiban terperiksa untuk
menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, rumusan unsur pidana dan tindak lanjut
apabila terdapat unsur pidana.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 3 dari 74
BAB II
DASAR-DASAR ILMU HUKUM
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan
dasar-dasar ilmu hukum yang diperlukan dalam pemeriksaan
A. Pengertian Hukum
Hukum sulit untuk diberi definisi yang tepat karena mempunyai segi dan bentuk
yang sangat banyak, sehingga sulit untuk dirangkum dalam suatu definisi. Adagium
ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat maka di situ ada hukum) cukup
memberikan gambaran bahwa hukum ada dalam bentuk/segi apapun di masyarakat.
Dr. W.L.G. Lemaire, dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”, mengatakan bahwa
banyaknya segi dan luasnya isi hukum itu, tidak memungkinkan perumusan hukum
dalam suatu definisi tentang apakah sebenarnya hukum itu.1 Meskipun demikian,
beberapa Sarjana Hukum memberikan pendapat mengenai definisi hukum, antara
lain sebagai berikut.
1. Hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta
keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan dan oleh karenanya
ia juga digolongkan ke dalam norma kultur.2
2. Yang sesungguhnya disebut hukum adalah suatu jenis perintah. Tetapi, karena ia
disebut perintah, maka setiap hukum yang sesungguhnya, mengalir dari satu
sumber yang pasti … apabila suatu perintah dinyatakan atau diumumkan, satu
pihak menyatakan suatu kehendak agar pihak lain menjalankannya atau
membiarkan itu dijalankan … (Doktrin Austin)3.
3. Pada umumnya yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan kumpulan
peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama:
1 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984,
hal. 36. 2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 27. 3 Friedmann dalam buku Ilmu Hukum karangan Satjipto Rahardjo, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hal. 28.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 4 dari 74
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.4
4. Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,
ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi
pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.5
5. Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya
penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi
bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.6
6. Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari
orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang
yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.7
7. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-
larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus
ditaati oleh masyarakat itu.8
Dari beberapa perumusan mengenai pengertian hukum yang diberikan oleh para
pakar hukum, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapa unsur
sebagai berikut.
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. Peraturan ini diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3. Peraturan itu bersifat memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
4 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hal. 40. 5 E.M. Meyers dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan C.S.T.
Kansil, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 36. 6 Leon Duguit dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan C.S.T.
Kansil, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 36. 7 Immanuel Kant dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan C.S.T.
Kansil, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 36. 8 Utrecht dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan C.S.T. Kansil,
Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 38.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 5 dari 74
B. Hukum sebagai Kaedah Sosial
Untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat terdapat beberapa
kaedah sosial. Kaedah sosial adalah ketentuan yang memberi batasan dalam
hubungan antar manusia (warga masyarakat) untuk memenuhi kebutuhan atau
kepentingannya, tanpa melanggar kepentingan yang lainnya.9 Tata kaedah tersebut
terdiri atas kaedah kepercayaan atau keagamaan, kaedah kesusilaan, kaedah sopan
santun dan kaedah hukum, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut.10
1. Aspek Kehidupan Pribadi. Tata kaedah yang berkaitan dengan aspek kehidupan
pribadi dibagi menjadi:
a. Kaedah Kepercayaan atau Keagamaan. Kaedah ini ditujukan kepada
kehidupan beriman, yaitu kewajiban manusia kepada Tuhan dan kepada dirinya
sendiri. Sumber kaedah ini adalah ajaran-ajaran kepercayaan atau agama yang
oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan. Tuhan-lah yang
mengancam pelanggaran-pelanggaran kaedah kepercayaan atau agama itu
dengan sanksi. Tujuan dari kaedah ini adalah penyempurnaan manusia, karena
ditujukan kepada umat manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan
jahat. Tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi kepada sikap batin manusia.
Hanya membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban semata dan tidak
memberi hak.
b. Kaedah Kesusilaan. Kaedah ini berhubungan dengan manusia sebagai individu
karena menyangkut kehidupan pribadi manusia. Pendukung kaedah kesusilaan
adalah nurani individu, bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai
anggota masyarakat yang terorganisir. Kaedah ini ditujukan kepada umat
manusia agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia
dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Kaedah ini hanya
membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja.
Sumber kaedah kesusilaan adalah dari manusia sendiri, jadi bersifat otonom
dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin
manusia. Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar
9 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 42. 10 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 5.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 6 dari 74
kaedah kesusilaan dengan sanksi. Tidak ada kekuasaan di luar dirinya yang
memaksakan sanksi itu.
2. Aspek Kehidupan Antar Pribadi. Tata kaedah yang berkaitan dengan aspek
kehidupan antar pribadi dibagi menjadi:
a. Kaedah Sopan Santun atau Adat. Kaedah ini didasarkan atas kebiasaan,
kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Kaedah ini
ditujukan kepada sikap lahir pelakunya yang konkret demi penyempurnaan
atau ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib
atau membuat “sedap” lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah.
Sopan santun lebih mementingkan yang lahir atau yang formal. Bahkan
seringkali sudah puas dengan sikap semu atau pura-pura saja. Sopan santun
menyentuh manusia tidak semata-mata sebagai individu, tetapi sebagai
makhluk sosial. Jadi, menyentuh kehidupan bersama.
Kaedah sopan santun membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja.
Bila dilanggar, kekuasaan masyarakat yang secara tidak resmi-lah yang
mengancam dengan sanksi.
Daerah berlakunya kaedah sopan santun sempit, terbatas secara lokal atau
pribadi. Sopan santun di suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Berbeda
lapisan masyarakat berbeda pula sopan santunnya.
b. Kaedah Hukum. Kaedah hukum melindungi lebih lanjut kepentingan-
kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaedah
lainnya. Selain itu, kaedah hukum juga melindungi kepentingan-kepentingan
manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaedah tadi. Kaedah
hukum ditujukan kepada sikap lahir manusia. Tidak seorangpun dapat dihukum
karena apa yang dipikirkan atau dibatinnya (cogitationis poenam nemo patitut).
Kaedah ini berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada
kita (bersifat heteronom). Masyarakat-lah yang secara resmi diberi kuasa untuk
memberikan sanksi atau menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini, pengadilan-lah
sebagai lembaga yang mewakili masyarakat dalam menjatuhkan hukuman.
Selain membebani manusia dengan kewajiban, kaedah hukum juga memberi
hak.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 7 dari 74
Kaedah hukum sebagai salah satu kaedah sosial mempunyai dua sifat alternatif
sebagai berikut.11
1) Ada kemungkinan bersifat imperatif, yaitu secara apriori wajib ditaati.
Kaedah ini tidak dapat dikesampingkan dalam suatu keadaan konkret
hanya karena para pihak membuat perjanjian.
2) Ada kemungkinan bersifat fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat
atau wajib ditaati. Kaedah hukum yang dalam keadaan konkret dapat
dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Kaedah hukum dapat dibedakan dari kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan
dan sopan santun, tetapi tidak dapat dipisahkan dengan yang lainnya, sebab
meskipun ada perbedaannya ada pula titik temunya. Isi masing-masing kaedah
saling memengaruhi satu sama lain, bahkan kadang-kadang saling
memperkuat.
C. Pengertian-pengertian Dasar dalam Hukum12
1. Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi
pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban. Dalam kamus Ilmu Hukum
disebut juga “orang” atau “pendukung hak dan kewajiban”. Dengan demikian,
subjek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak menurut tata cara yang
ditentukan atau dibenarkan hukum. Adapun subjek hukum (orang) yang dikenal
dalam ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum.
2. Objek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan
dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum. Menurut terminologi
(istilah) ilmu hukum, objek hukum disebut pula “benda atau barang”, sedangkan
“benda atau barang” menurut hukum adalah “segala barang dan hak yang dapat
dimiliki dan bernilai ekonomis”, dan dibedakan menjadi sebagai berikut.
a. Benda berwujud dan benda tidak berwujud (Pasal 503 KUH Perdata).
b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak (Pasal 504 KUH Perdata).
11 Achmad Ali dalam buku Pengantar Ilmu Hukum karangan Marwan Mas, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2004, hal. 45. 12 Marwan Mas, op.cit., hal. 28.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 8 dari 74
3. Hak dan kewajiban bukan merupakan kumpulan peraturan atau kaedah,
melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di
satu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lawan. Kalau ada hak
maka ada kewajiban. Hak dan kewajiban ini merupakan kewenangan yang
diberikan kepada seseorang oleh hukum.13 Untuk terjadinya hak dan kewajiban
diperlukan terjadinya suatu peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai
akibat.14
Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal dua teori atau ajaran untuk menjelaskan
keberadaan hak, yaitu:
a. Belangen Theorie (Teori Kepentingan). Teori ini menyatakan bahwa hak
adalah kepentingan yang terlindungi.
b. Wilsmacht Theorie (Teori Kehendak). Teori ini menyatakan bahwa hak
adalah kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib
hukum kepada seseorang.
Selain kedua teori tersebut, dikenal pula “Teori Fungsi Sosial” yang menyatakan
bahwa tidak ada seorang manusiapun yang mempunyai hak. Sebaliknya, di
dalam masyarakat, bagi manusia hanya ada suatu tugas sosial. Tata tertib hukum
tidak didasarkan atas hak kebebasan manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus
dijalankan oleh anggota masyarakat.
Berikut ini digambarkan berbagai pengertian hak yang dikemukakan oleh
sejumlah pakar hukum.
a. Van Apeldoorn menyatakan bahwa hak adalah kekuasaan (wewenang) yang
oleh hukum diberikan kepada seseorang (atau suatu badan hukum), dan yang
menjadi tantangannya adalah kewajiban orang lain (badan hukum lain) untuk
mengakui kekuasaan itu.
b. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hak adalah kekuasaan yang diberikan
oleh hukum kepada seseorang dengan maksud untuk melindungi kepentingan
seseorang tersebut.
c. Fitzgerald mengemukakan bahwa suatu hak mempunyai lima ciri, yaitu:
13 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 42. 14 Ibid, hal. 49.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 9 dari 74
1) Diletakkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari
hak tersebut.
2) Tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban.
3) Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain untuk melakukan
(commision) atau tidak melakukan suatu perbuatan (ommision), disebut
isi hak.
4) Commision atau ommision menyangkut sesuatu yang disebut objek hak.
5) Menurut hukum, setiap hak mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa
tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
Kewajiban merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum.
4. Peristiwa hukum adalah semua kejadian atau fakta yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat yang mempunyai akibat hukum. Satjipto Rahardjo
mengartikan peristiwa hukum sebagai suatu kejadian dalam masyarakat yang
menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan
yang tercantum di dalamnya diwujudkan.
5. Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau tindakan subjek hukum yang
ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh
subjek hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum adalah kehendak dan pernyataan
kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.15
Perbuatan hukum menurut Ahmad Ali dibedakan atas:
a. Perbuatan hukum yang bersegi satu (twaazidge rechthandeling), yaitu
perbuatan hukum bersegi satu ini akibat hukumnya timbul dengan adanya
pernyataan kehendak dari satu pihak saja. Perbuatan ini diatur dalam BW
Pasal 35, 132, 280, 875, 10057, 1938 dan 1303.
b. Perbuatan hukum yang bersegi dua (tweezijdige rechthandeling), yaitu
perbuatan hukum yang bersegi dua ini akibat hukumnya timbul karena
pernyataan kehendak dari dua pihak atau lebih. Pihak di sini bisa manusia,
dan juga bisa badan hukum.16
15 Ibid, hal. 51. 16 Achmad Ali dalam bukunya, Menguak Tabir Hukum, PT Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta 2002,
hal. 245-246.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 10 dari 74
6. Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu tindakan
subjek hukum. Achmad Ali membedakan akibat hukum dalam tiga macam,
yaitu:
a. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu kaedah
hukum tertentu. Contoh:
1) Mencapai usia 21 tahun melahirkan keadaan hukum baru, dari tidak
cakap untuk bertindak menjadi cakap untuk bertindak.
2) Seorang dewasa yang ditaruh di bawah pengampuan karena gila,
melenyapkan kecakapannya untuk bertindak, setelah ia ditaruh di bawah
kuratele.
b. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan
hukum tertentu. Contoh:
Sejak pembeli barang telah membayar lunas hahrga barang dan penjual telah
menyerahkan tuntas barangnya, lenyaplah hubungan hukum jual beli antara
keduanya tadi.
c. Akibat hukum berupa sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi di bidang
hukum keperdataan. Contoh:
1) Di bidang hukum pidana dikenal macam-macam sanksi yang diatur oleh
Pasal 10 KUH Pidana.
2) Di bidang hukum perdata dikenal sanksi, baik terhadap perbuatan melawan
hukum maupun wanprestasi.17
D. Asas Hukum
Azas pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada
perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut akan dapat berlaku
secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Pada hakekatnya, hukum mempunyai
kepentingan untuk menjamin kehidupan sosial masyarakat karena antara hukum dan
masyarakat terdapat suatu interaksi. Hukum mempunyai tujuan antara lain untuk
17 Ibid, hal. 251-252.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 11 dari 74
menjamin keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Untuk itu, berlakunya kaedah
hukum dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yakni:
1. Secara yuridis, berlakunya hukum adalah apabila penentuannya berdasarkan
kaedah yang lebih tinggi tingkatnya (teori stufenbouw-nya Kelsen). Dalam hal ini,
perlu diperhatikan apa yang dimaksudkan dengan efektivitas hukum yang berbeda
dengan hal berlakunya hukum, oleh karena efektivitas merupakan fakta.
2. Secara sosiologis, berlakunya hukum berintikan pada efektivitas hukum. Dalam
hal ini, ada dua teori, yaitu teori kekuasaan dan teori pengakuan.
3. Secara filosofis, berlakunya hukum berarti bahwa hukum tersebut sesuai dengan
cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Sementara itu, materi peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya
peraturan BPK dibentuk berdasarkan beberapa azas sebagai berikut.
1. Azas tata susunan peraturan perundang-undangan atau lex superior derogat lex
inferior adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Azas lex spesialis derogat lex generalis adalah bahwa peraturan perundang-
undangan yang lebih khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan
yang lebih umum.
3. Azas lex posterior derogat lex priori adalah bahwa peraturan perundang-
undangan yang lahir kemudian mengenyampingkan peraturan perundang-
undangan yang lahir terlebih dahulu jika materi yang diatur peraturan perundang-
undangan tersebut sama.
4. Azas keadilan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
5. Azas kepastian hukum adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
dapat menjamin kepastian hukum bagi Pemeriksa.
Terdapat beberapa pendapat mengenai apa yang disebut dengan asas hukum. Dari
pendapat para sarjana hukum, dapat disimpulkan bahwa asas hukum atau prinsip
hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang
umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang
terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terwujud dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 12 dari 74
dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret
tersebut.
Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum dalam hukum positif.18 Apabila
dalam sistem hukum terjadi pertentangan maka asas hukum akan tampil untuk
mengatasi pertentangan tersebut.19 Asas hukum dibagi menjadi asas hukum umum
dan asas hukum khusus, dengan penjelasan sebagai berikut.20
1. Asas Hukum Umum. Asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan
dengan seluruh bidang hukum, seperti asas restitutio in integrum, asas lex
posteriori derogat legi priori (asas bahwa apa yang lahirnya tampak benar, untuk
sementara harus dianggap demikian sampai diputus lain) oleh pengadilan.
P. Scholten mengetengahkan bahwa terdapat lima asas hukum umum, yaitu: asas
kepribadian, asas persekutuan, asas kesamaan, asas kewibawaan, dan asas
pemisahan antara baik dan buruk. Empat asas yang pertama terdapat dalam setiap
sistem hukum. Masing-masing dari empat asas hukum tersebut ada
kecenderungan untuk menonjol dan mendesak yang lain. Keempat asas tersebut
didukung oleh pikiran bahwa dimungkinkan memisahkan antara baik dan buruk.
2. Asas Hukum Khusus. Asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih
sempit seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, dan sebagainya, yang
sering merupakan penjabaran dari asas hukum umum, seperti asas pacta sunt
servanda, asas konsensualisme, asas yang tercantum dalam Pasal 1977 BW, atau
asas praduga tak bersalah.
Fungsi asas hukum dalam sistem hukum:21
1. Menjaga ketaatan asas atau konsistensi.
2. Menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam sistem hukum.
3. Sebagai rekayasa sosial, baik dalam sistem hukum maupun dalam sistem
peradilan.
Dalam kepustakaan ilmu hukum, asas hukum juga tidak selamanya bersifat universal
karena ada beberapa asas hukum yang bersifat spesifik, yaitu sebagai berikut.
18 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 34. 19 Marwan Mas, op.cit., hal. 95. 20 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 36. 21 Marwan Mas, op.cit., hal. 96.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 13 dari 74
1. Asas the binding force of precedent, yaitu putusan hakim sebelumnya mengikat
hakim-hakim lain dalam perkara yang sama. Asas ini khusus dianut dalam sistem
hukum Anglo Saxon.
2. Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali atau asas legalitas
(Pasal 1 Ayat (1) KUHP), yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali
sebelumnya ada undang-undang yang mengatur. Asas ini hanya dianut oleh
masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis.
3. Asas restitutio in integrum, yaitu ketertiban dalam masyarakat haruslah
dipulihkan pada keadaan semula apabila terjadi konflik. Asas ini digunakan dalam
masyarakat sederhana yang cenderung menghindari konflik, dan budaya
konformistis mewarnai berlakunya asas ini.
4. Asas cogatitionis poenam nemo patitur, yaitu tidak seorang pun dapat dihukum
karena apa yang dipikirkan dalam batinnya. Asas ini hanya berlaku pada
masyarakat yang menerapkan sistem hukum sekuler.
E. Pembidangan Hukum22
Pembidangan hukum dapat ditinjau berdasarkan bentuk, isi atau kepentingan yang
diaturnya, kekuatan berlakunya, fungsinya, hubungan yang diaturnya, sumbernya,
waktu berlakunya, tempat berlakunya, dan luas berlakunya.
1. Bentuk. Berdasarkan bentuknya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis
sebagai berikut.
a. Hukum tertulis. Hukum tertulis dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1) Hukum tertulis yang dikodifikasikan. Hukum tertulis yang dikodifikasikan
adalah hukum yang disusun secara lengkap, sistematis, teratur dan
dibukukan, sehingga tidak memerlukan lagi peraturan pelaksanaan.
2) Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan. Hukum tertulis yang tidak
dikodifikasikan adalah hukum yang meskipun tertulis tetapi tidak disusun
secara sistematis, lengkap dan masih terpisah-pisah, sehingga seringkali
masih memerlukan peraturan pelaksanaan dalam penerapannya.
22 Ibid, hal. 68.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 14 dari 74
b. Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan). Hukum tidak tertulis (hukum
kebiasaan) adalah hukum yang hidup dan diyakini oleh warga masyarakat
serta dipatuhi yang tidak dibentuk secara prosedur-formal, tetapi lahir dan
tumbuh di dalam masyarakat itu sendiri.
2. Isi atau Kepentingan yang Diaturnya. Berdasarkan isi atau kepentingan yang
diaturnya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut.
a. Hukum privat. Hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan
pribadi dan cara mempertahankannya yang dapat dilakukan oleh masing-
masing individu. Hukum privat antara lain terdiri dari:
1) Hukum perdata (burgerlijkrecht). Hukum perdata adalah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain,
dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.23
2) Hukum dagang. Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku
manusia yang turut melakukan perdagangan dalam usahanya memperoleh
keuntungan.24 Hukum dagang merupakan hukum khusus di samping
hukum perdata. Ia tidak berdiri sendiri lepas dari hukum perdata, tetapi
melengkapi hukum perdata. Meskipun ketentuan hukum dagang sering
menyimpang dari ketentuan hukum perdata namun hukum perdata tetap
berlaku sebagai dasar umum bagi hukum dagang.25
3) Hukum perdata internasional. Hukum perdata internasional adalah hukum
yang mengatur hubungan hukum antara warga-warga negara suatu negara
dengan warga-warga negara dari negara lain dalam hubungan internasional
(hubungan antar bangsa).26
b. Hukum publik. Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan
publik atau kepentingan umum dan cara mempertahankannya sebagaimana
dilakukan oleh aparat negara. Hukum publik antara lain terdiri dari:
1) Hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan
23 C.S.T. Kansil, op.cit. hal. 214. 24 Ibid, hal. 304. 25 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 132. 26 C.S.T. Kansil, op.cit., hal. 460.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 15 dari 74
umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu
penderitaan atau siksaan.27
Hukum pidana dapat dibagi sebagai berikut.28
(a) Hukum pidana objektif (jus punale). Hukum pidana objektif adalah
semua peraturan yang mengandung keharusan atau larangan, terhadap
pelanggaran mana diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.
Hukum ini dapat dibagi ke dalam:
(1) Hukum pidana material. Hukum pidana material adalah hukum
yang mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat
dihukum.
(2) Hukum pidana formal (hukum acara pidana). Hukum pidana
formal adalah hukum yang mengatur cara-cara menghukum
seseorang yang melanggar peraturan pidana (merupakan
pelaksanaan dari Hukum Pidana Material).
(b) Hukum pidana subjektif (jus puniendi). Hukum pidana subjektif
adalah hak negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan
hukum pidana objektif.
(c) Hukum pidana umum. Hukum pidana umum adalah hukum pidana
yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapapun
juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan.
(d) Hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana
yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu. Contoh: Hukum
Pidana Militer dan Hukum Pidana Pajak.
2) Hukum administrasi negara atau hukum tata usaha negara. Hukum
administrasi negara atau hukum tata usaha negara adalah hukum yang
mengatur negara dalam keadaan bergerak. Objek hukum administrasi
bukanlah organisasi negara, melainkan hubungan yang timbul dari
kegiatan administrasi antara bagian-bagian negara dan antara negara dan
masyarakat. Termasuk bagian dari hukum administrasi adalah hukum
27 Ibid, hal. 257. 28 Ibid, hal. 264.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 16 dari 74
pajak atau hukum fiskal, yaitu yang mengatur kewajiban untuk membayar
pajak. 29
3) Hukum tata negara (constitutional law). Hukum tata negara adalah hukum
yang menitikberatkan pada pembagian kekuasaan dalam negara dan
pelaksanaan yang tertinggi dalam suatu negara.30 Hukum tata negara
melihat negara dalam keadaan statis, tidak bergerak. Diatur dalam
konstitusi dan peraturan-peraturan lain, bahkan ada yang merupakan
hukum tidak tertulis. Hukum tata negara lazimnya dibagi menjadi hukum
tata negara dalam arti luas dan dalam arti sempit. Hukum tata negara
dalam arti luas terdiri atas hukum tata negara dan hukum administrasi
negara, sedangkan hukum tata negara dalam arti sempit hanya meliputi
hukum tata negara yang mempelajari pembagian kekuasaan negara minus
hukum administrasi negara.
4) Hukum acara. Hukum acara adalah rangkaian kaedah hukum yang
mengatur cara-cara bagaimana mengajukan suatu perkara ke muka suatu
badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan; dapat juga
dikatakan, suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-
cara memelihara dan mempertahankan hukum material.31
5) Hukum internasional publik. Hukum internasional publik adalah hukum
yang mengatur hubungan antara negara yang satu dengan negara-negara
lain dalam hubungan internasional.32
3. Kekuatan Berlakunya. Berdasarkan kekuatan berlakunya, hukum dapat
dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut.
a. Hukum mengatur atau hukum volunteer. Hukum mengatur atau hukum
volunteer adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu yang baru
berlaku apabila yang bersangkutan tidak menggunakan alternatif lain yang
dimungkinkan oleh hukum (undang-undang).
29 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 131. 30 A.V. Dicey dalam buku Pokok-pokok Hukum Tata Negara karangan Titik Triwulan Tutik,
Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005, hal.3. 31 C.S.T. Kansil, op.cit., hal. 329. 32 Ibid, hal. 460.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 17 dari 74
b. Hukum memaksa atau hukum kompulser. Hukum memaksa atau hukum
kompulser adalah hukum yang tidak dapat dikesampingkan, baik berdasarkan
kepentingan publik maupun berdasarkan perjanjian, dan bersifat mutlak yang
harus ditaati.
4. Fungsinya. Berdasarkan fungsinya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis
sebagai berikut.
a. Hukum materiil. Hukum materiil adalah hukum yang mengatur hubungan
antara anggota masyarakat yang berlaku umum tentang apa yang dilarang dan
apa yang dibolehkan untuk dilakukan.
b. Hukum formil. Hukum formil adalah hukum yang mengatur bagaimana cara
melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil.
5. Hubungan yang Diaturnya. Berdasarkan hubungan yang diaturnya, hukum
dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut.
a. Hukum objektif. Hukum objektif adalah hukum yang mengatur hubungan
antara dua orang atau lebih yang berlaku umum. Dengan demikian, hukum
objektif adalah isi atau substansi peraturannya.
b. Hukum subjektif. Hukum subjektif adalah kewenangan atau hak yang
diperoleh seseorang berdasarkan apa yang diatur oleh hukum objektif, di satu
pihak menimbulkan hak di pihak lain menimbulkan kewajiban.
6. Sumbernya. Berdasarkan sumbernya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis
sebagai berikut.
a. Sumber hukum materi. Sumber hukum materi adalah sumber hukum yang
menentukan isi suatu peraturan hukum.
b. Sumber hukum formil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang
menentukan bentuk dari suatu peraturan hukum.
7. Waktu Berlakunya. Berdasarkan waktu berlakunya, hukum dapat dibedakan
menjadi dua jenis sebagai berikut.
a. Ius constitutum (hukum positif). Ius constitutum adalah hukum yang berlaku
pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 18 dari 74
b. Ius constituendum. Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan
untuk diberlakukan atau hukum yang akan ditetapkan kemudian.
8. Tempat Berlakunya. Berdasarkan tempat berlakunya, hukum dapat dibedakan
menjadi dua jenis sebagai berikut.
a. Hukum nasional. Hukum nasional adalah hukum yang berlaku dalam batas-
batas wilayah suatu negara tertentu.
b. Hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur
bagaimana hubungan antar negara dan berlakunya tidak dibatasi oleh wilayah
suatu negara.
9. Luas Berlakunya. Berdasarkan luas berlakunya, hukum dapat dibedakan
menjadi dua jenis sebagai berikut.
a. Hukum umum. Hukum umum adalah hukum yang berlaku bagi setiap orang
dalam masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin, warga negara, agama,
suku, dan jabatan seseorang.
b. Hukum khusus. Hukum khusus adalah hukum yang berlakunya hanya bagi
segolongan orang-orang tertentu saja.
F. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)33
Di dalam memberi putusan, Hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat
perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian perlu diadakan
penafsiran hukum. Ada beberapa macam penafsiran, antara lain:
1. Penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu penafsiran berdasarkan pada bunyi
ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan
dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh
undang-undang; yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa
atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.
2. Penafsiran sahih (otentik, resmi), yaitu penafsiran yang pasti terhadap arti kata-
kata itu sebagaimana yang diberikan oleh Pembentuk Undang-Undang.
3. Penafsiran historis, yaitu sejarah hukumnya dan sejarah undang-undangnya.
33 Ibid, hal. 66.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 19 dari 74
4. Penafsiran sistematis (dogmatis), yaitu penafsiran yang menilik susunan yang
berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu
maupun dengan undang-undang yang lain.
5. Penafsiran nasional, yaitu penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem
hukum yang berlaku.
6. Penafsiran teleologis, yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan
undang-undang itu.
7. Penafsiran ekstensif, yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata
dalam peraturan itu.
8. Penafsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan
memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya,
sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu
dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
9. Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran), yaitu suatu cara menafsirkan
undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang
dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
G. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Saat ini, tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa tata
urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah sebagai
berikut.
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Selanjutnya, dalam Ayat (2) Pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Peraturan Daerah adalah:
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 20 dari 74
1. Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi bersama Gubernur.
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.
3. Peraturan Desa atau peraturan setingkat, yang dibuat oleh Badan Perwakilan
Desa atau nama lainnya bersama Kepala Desa atau nama lainnya.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto terdapat enam asas peraturan
perundang-undangan, yaitu:34
1. Undang-undang tidak berlaku surut.
2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula (lex superior derogat legi inferiori).
3. Undang-undang yang bersifat khusus mengeyampingkan undang-undang yang
bersifat umum (lex specialis derogat legi generalis).
4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang
berlaku terdahulu (lex posterior derogat legi priori).
5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Selain itu, dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa dalam membentuk peraturan
perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang meliputi:
1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; 34 Jazim Hamidi, Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam
Sorotan, Tatanusa, Jakarta, 2005, hal. 6.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 21 dari 74
6. Kejelasan rumusan; dan
7. Keterbukaan.
H. Tuntutan Masyarakat atas Hukum
Sistem hukum di Indonesia masih berpegang pada aliran positivisme. Dengan hanya
mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik, yang hanya
berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka kita takkan pernah mampu menangkap
hakikat kebenaran.
Salah satu faktor penyebab sulitnya KKN diberantas di Indonesia adalah karena
berbagai putusan hakim yang mengadili berbagai kasus korupsi sudah terasing dari
rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakatnya. Fenomena yang mencuat di dalam
penegakan hukum kita di Indonesia adalah keterpenjaraan di dalam paradigma
legalistik, formalistik, dan prosedural belaka.
Efektif atau tidaknya suatu ketentuan hukum, tidak hanya tergantung pada unsur
substansi hukumnya belaka, tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir
Friedman dalam Achmad Ali,35 juga ditentukan unsur struktur hukum dan kultur
hukum. Menurut Achmad Ali, 36 orang-orang Amerika yang berpikiran sekuler saja,
kini telah berteriak: “Kembalikan hukum ke akar moralitas, kultural, dan
religiusitasnya.” Orang-orang Amerika yang berpikiran “the critical legal studies
movement”, mengecam formalisme dan prosedural yang ditonjolkan selama ini
dalam penegakan hukum. Akar moralitas, kultural, dan religiusitas itu cocok dengan
nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum yang ada tidak sesuai
dengan nilai-nilai intrinsik warga masyarakat maka ketaatan hukum yang muncul
hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi)
dan bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar
menganggap aturan hukum itu cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya).
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan
bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
35 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, hal. 20. 36 Ibid, hal. 27.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 22 dari 74
yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika tujuan pendidikan nasional
sebagaimana digariskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 dan dikaitkan dengan praktik
hukum dewasa ini khususnya di bidang penegakan hukum maka sudah jelas bahwa
yang diharapkan dari lembaga pendidikan kedinasan adalah menghasilkan PNS yang
memiliki kecerdasan yang dapat menghubungkan antara kepentingan vertikal, yaitu
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dan hubungan horizontal dengan sesama
manusia (interaksi sosial). Untuk mencapai tujuan tersebut maka pendidikan
kedinasan perlu didukung dengan kurikulum di bidang hukum. Selain itu, kurikulum
tersebut tentunya tidak hanya terfokus pada pengembangan kualitas/kecerdasan
intelektual, tetapi juga harus banyak menyentuh kecerdasan emosi dan spiritual.
Sebagai akibatnya, iman dan takwa serta akhlak yang mulia tumbuh sehingga
berdampak pada moral yang baik. Hal ini juga tidak dapat lepas dari pemahaman
budaya hukum, yakni agar setiap unsur yang berada dalam lingkungan masyarakat
memiliki integritas moral.
Prof. Dr. Baharudin Lopa, S.H.,37 menjelaskan bahwa dalam membicarakan
persoalan integritas moral tak dapat dipisahkan dari budaya malu yang dimiliki
seseorang. Mengapa? Karena tidak mungkin seseorang tidak merasa malu melakukan
perbuatan tidak terpuji, kalau ia sudah bermoral sebagaimana diajarkan oleh agama
(Islam), yaitu bahwa malu itu adalah sebagian dari iman (moral). Hanya orang yang
bermoral yang malu melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka tidak
melakukan perbuatan itu, bukan karena takut ditangkap atau dihukum, tetapi karena
malu kepada sesama, terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang
berkepribadian seperti inilah yang mampu menjadi teladan. Sedangkan unsur
keteladanan ini sangat mutlak dimiliki oleh kalangan atas agar dicontoh dan diikuti
oleh seluruh jajarannya.” Lebih jauh, Baharudin Lopa menjelaskan bahwa “dalam
mencegah dan memberantas korupsi, tidak perlu terlalu banyak penyampaian kata-
kata, cukup sikap kita yang terpuji yang dilihat oleh sesama dan jajaran kita untuk
dijadikan teladan. Satu tingkah laku yang positif yang diperlihatkan oleh atasan
kepada bawahannya jauh lebih efektif daripada 2.000 kata.”
Jika pendapat Prof. Baharudin Lopa dikaitkan dengan penegakan hukum maka yang
perlu ditanamkan kepada jiwa seluruh masyarakat diawali dengan tindakan dispilin
dan kedisiplinan melahirkan kejujuran. Hal ini tentu dimulai dari kehidupan secara
37 Ibid, hal. 73.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 23 dari 74
pribadi sampai soal kedinasan. Korupsi dapat membudaya awalnya karena dalam diri
manusia sudah tidak disiplin, sehingga melahirkan ketidakjujuran baik pada
kehidupan diri sendiri, keluarga dan pada akhirnya merembet pada pelaksanaan tugas
kedinasan. Hal ini sesuai dengan ucapan seorang filsuf yang bernama Taverne,38
yaitu pernah menyatakan, “Berikanlah saya seorang Jaksa yang jujur dan cerdas,
berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan UU yang paling
buruk pun, saya akan menghasilkan putusan yang adil.”
Pendapat Taverne tersebut jika dikaitkan dengan penegakan hukum, yaitu adanya
rasa keadilan, rasa kepastian hukum dan manfaat hukum, maka guna mewujudkan
hal yang dimaksud, yang diperlukan sekarang ini adalah kesadaran hukum yang
dimiliki lembaga perwakilan, aparatur penegak hukum dan masyarakat. Menurut
Solly Lubis,39 kesadaran hukum pada umumnya ditandai oleh tiga hal, yaitu:
1. Tingkat pengetahuan mengenai seluk beluk hukum yang berlaku, baik hukum
yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, tegasnya semua aturan baik
yang ditetapkan secara resmi dari pihak pemerintah maupun pranata-pranata
sosial yang hidup dalam masyarakat itu.
2. Tingkat penghayatan atau pengertian mengenai peranan-peranan hukum, yakni
untuk apa perlunya hukum dalam rangka pemeliharaan tertib sosial, baik di
lingkungan kecil maupun besar.
3. Tingkat ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum-hukum yang berlaku.
38 Ibid, hal. 68. 39 Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Mandar Maju, hal. 32.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 24 dari 74
BAB III
ASPEK HUKUM DALAM
PERENCANAAN PEMERIKSAAN
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan
tentang aspek-aspek hukum yang terkait dalam perencanaan pemeriksaan.
Perencanaan pemeriksaan merupakan penjabaran dari strategi badan yang
memberikan arah tentang prioritas dan cakupan pemeriksaan dengan merumuskan
program kerja sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Perencanaan pemeriksaan
dijabarkan dalam bentuk Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP) yang disusun setiap
tahunnya untuk menentukan objek-objek yang akan diperiksa. Dalam hal penentuan
objek-objek yang akan diperiksa sudah terdapat aspek hukum tata negara. Aspek
hukum tata negara mengatur negara dalam keadaan statis. Aspek hukum tata negara
menetapkan perihal pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara.
Penetapan RKP merupakan salah satu penjabaran dari tugas serta wewenang BPK.
Dalam hukum ketatanegaraan Indonesia, tugas yang diamanatkan oleh undang-
undang kepada BPK diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan.
A. UUD 1945
Penetapan tugas BPK dalam UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen diatur
dalam Pasal 23 Ayat (5) yang berbunyi:
“Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu
Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-
undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.”
Pasal tersebut masuk dalam Bab VIII tentang Hal Keuangan.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 25 dari 74
Dalam amandemen UUD 1945 (terakhir sampai dengan amandemen ke-4) perihal
BPK diatur dalam bab tersendiri, yaitu dalam Bab VIIIA yang di dalamnya terdiri
atas tiga pasal, terpisah dari Bab VIII tentang Hal Keuangan.
Pasal 23E berbunyi sebagai berikut.
“Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.”
Isi Pasal 23E tersebut menjadi titik pijak awal untuk pembahasan aspek hukum tata
negara dalam perencanaan pemeriksaan, dan pembahasan tugas serta wewenang
BPK pada umumnya. Pasal 23E UUD 1945 menjadikan BPK sebagai sebuah
lembaga yang memiliki tugas dalam melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Pasal tersebut tidak menjelaskan tentang keuangan
negara. UUD 1945 mendelegasikan pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara untuk menjelaskan pengertian keuangan negara. Kata-kata “bebas dan
mandiri” dalam Pasal 23E menunjukkan bahwa kedudukan BPK bukan di bawah
lembaga-lembaga negara lain, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
B. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Penjabaran tugas BPK dalam UU No. 17 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 30 Ayat (1)
yang berbunyi:
“Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung-
jawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah
diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.”
Serta Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi:
“Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.”
Dalam Penjelasan Umum UU No. 17 Tahun 2003 terdapat asas pemeriksaan
keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, selain asas-asas lainnya.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 26 dari 74
C. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Pasal 60 Ayat (1) dan 61 Ayat (1) mengatur bahwa setiap kerugian negara dan
daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung dan diberitahukan kepada BPK.
Pasal 62 mengatur bahwa pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap
bendahara ditetapkan oleh BPK.
D. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
UU No. 15 tahun 2004 seluruhnya berisi pengaturan perihal BPK sebagai lembaga
yang memiliki kekuasaan memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara melaksanakan tugas dan wewenangnya.
E. UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
UU No. 15 Tahun 2006 mengatur tentang struktur kelembagaan dari BPK. Pasal 6
Ayat (1) menetapkan tentang ruang lingkup tugas BPK yang berbunyi sebagai
berikut.
“BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara
lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum,
Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara.”
Berdasarkan tugas yang diberikan oleh undang-undang dan sebagaimana tertuang
dalam RKP, BPK setiap tahunnya menetapkan objek pemeriksaan berikut tujuan
pemeriksaannya. Penentuan objek-objek yang akan diperiksa oleh BPK harus
berpedoman pada lingkup tugas dan kewenangan BPK sesuai dengan kekuasaan
yang dimiliki berdasarkan kedudukan kelembagaan BPK dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 27 dari 74
BAB IV
ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN
PEMERIKSAAN
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu
menjelaskan serta menerapkan aspek hukum dalam pelaksanaan pemeriksaan.
A. Hubungan Aspek Hukum dan Standar Pemeriksaan
Untuk melihat aspek-aspek hukum dalam pelaksanaan pemeriksaan maka perlu
diketahui terlebih dahulu keterkaitannya dengan Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara (SPKN). Hal-hal yang diatur dalam SPKN yang terkait dengan aspek hukum
adalah sebagai berikut.
No. Standar Materi Keterangan
1. Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan
Merancang Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse).
2. Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja
a. Pemahaman Program yang Diperiksa. Program pemerintah biasanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan terikat pada peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik. Oleh karena itu, pemahaman terhadap landasan hukum yang mendasari suatu program menjadi hal yang penting dalam memahami program itu. Pemahaman tersebut merupakan langkah penting dalam mengidentifikasikan peraturan perundang-undangan yang penting untuk mencapai tujuan pemeriksaan.
b. Merancang Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyim-pangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse).
c. Kriteria. Kriteria adalah standar ukuran harapan mengenai apa yang
Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan biasanya menetapkan apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakan, bagaimana cara mengerjakan, bagaimana men-capai tujuan, kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat, dan berapa banyak biaya yang dapat dikeluarkan serta untuk apa saja biaya tersebut dikeluarkan.
Rencana pemeriksaan harus menyatakan kriteria yang akan digunakan. Dalam menentukan kriteria, pemeriksa harus menggunakan kriteria yang masuk akal, dapat dicapai, dan relevan dengan tujuan pemeriksaan.
Pemeriksa harus mengkomuni-kasikan kriteria tersebut kepada entitas yang diperiksa sebelum
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 28 dari 74
No. Standar Materi Keterangan
seharusnya terjadi, praktik terbaik, dan benchmarks. Kinerja dibandingkan atau dievaluasi dengan kriteria ini. Kriteria, sebagai salah satu unsur temuan pemeriksaan, memberikan suatu hubungan dalam memahami hasil pemeriksaan.
d. Bukti. Bukti dapat digolongkan menjadi:
1) bukti fisik;
2) bukti dokumenter;
3) bukti kesaksian (testimonial);
4) bukti analisis.
atau pada saat dimulainya pemeriksaan.
Berikut ini adalah beberapa contoh kriteria:
a. Maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa.
b. Kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa.
3. Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
Merancang Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse).
Berdasarkan uraian di atas, beberapa aspek hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemeriksaan baik untuk pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu meliputi:
1. Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta
ketidakpatutan (abuse).
2. Pemahaman terhadap objek yang akan diperiksa:
a. Peraturan perundang-undangan.
b. Objek pemeriksaan (Lembaga Negara, Pemerintah Daerah, BUMN dan
BUMD).
3. Hukum sebagai kriteria pemeriksaan.
4. Pembuktian.
5. Pemahaman atas kontrak dan perikatan.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 29 dari 74
B. Aspek Hukum dalam Perancangan Pemeriksaan untuk Mendeteksi
Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-undangan,
Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse)
Merancang suatu pemeriksaan berarti pula kita mulai mereka-reka suatu skema
mengenai langkah-langkah pemeriksaan yang akan dilaksanakan. Langkah-langkah
yang harus kita ketahui untuk dapat merancang atau mendeteksi terjadinya
penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, kecurangan atau
ketidakpatutan adalah mengerti batasan tindakan melawan/melanggar hukum
dimaksud.
1. Onwetmatigeheid atau Perbuatan Melawan Peraturan Perundang-undangan.
Contoh:
Pemalsuan (Pasal 263 KUH Pidana). Barang siapa membuat surat palsu atau
memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau
pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam jika pemakaian tersebut
dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara
paling lama enam tahun.
Unsur-unsur delik dalam hukum pidana berkenaan dengan pemalsuan adalah:
a. Barang siapa
b. Membuat surat palsu atau memalsukan surat
c. Dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal
d. Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat
tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu
2. Onrechtmatige atau Perbuatan Melawan Hukum Selain Undang-Undang.
Contoh:
Ketidakpatutan. Kepala Biro diberikan mobil dinas Ferrari. Secara singkat,
merancang langkah-langkah pemeriksaan setidaknya meliputi:
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 30 dari 74
a. Menggambarkan tindakan apa yang harus dilakukan, misalnya: Cari!,
Dapatkan!, Hitung!;
b. Dokumen/data apa saja yang harus diperoleh, misalnya Data Pembelian
Barang pada bulan Januari sampai dengan Juni 2007;
c. Pada siapa data tersebut diperoleh, misalnya Kepala Bagian Pengadaan;
d. Apa tujuan langkah tersebut dilakukan, misalnya supaya kita memperoleh
data tentang nilai dan jumlah pembelian;
e. Dengan tindakan atau data apa kita harus melakukan cross check, misalnya
kemudian bandingkan data pembelian dengan data kontrak dan pemasukan
barang.
Dalam kaitannya dengan pemeriksaan investigatif, aspek hukum pidana harus
menjadi perhatian utama dalam penyusunan program pemeriksaan investigatif. Dasar
pemeriksaan investigatif ditetapkan dalam Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang berbunyi:
“Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap
adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.”
Suatu pemeriksaan investigatif dilakukan berdasarkan adanya informasi-informasi
baik yang berasal dari pihak lain atau pun dari temuan-temuan pemeriksaan yang
terdahulu. Prioritas perhatian terhadap aspek hukum pidana memang lebih besar pada
penyusunan program pemeriksaan investigatif, namun bukan berarti dalam
penyusunan program pemeriksaan yang lain, aspek pidana lantas dikesampingkan.
Aspek hukum pidana tetap perlu diperhatikan dalam perencanaan pemeriksaan yang
lain, yaitu untuk mengantisipasi adanya unsur pidana dalam pelaksanaan kegiatan
dari entitas yang diperiksa.
Aspek hukum pidana menjadi kerangka inti dari langkah-langkah pemeriksaan
investigatif yang akan mengarahkan pemeriksaan pada bukti-bukti pemeriksaan yang
harus ada untuk mendukung temuan. Arah langkah-langkah pemeriksaan investigatif
berpedoman pada unsur-unsur tindak pidana yang mungkin terkait. Pemeriksaan
investigatif diusahakan untuk dapat mengumpulkan bukti-bukti yang memperkuat
adanya indikasi tindak pidana. Pengumpulan bukti-bukti tersebut diarahkan agar
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 31 dari 74
dapat ditarik suatu simpulan bahwa semua unsur-unsur dalam suatu tindak pidana
telah terpenuhi.
Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UU TPK)
berbunyi sebagai berikut.
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 2 Ayat (1) UU TPK terdiri dari:
a. Setiap orang/pelaku
b. Secara melawan hukum
c. Memperkaya diri sendiri/orang lain
d. Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara
Pasal 3 UU TPK berbunyi sebagai berikut.
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).”
Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 3 UU TPK terdiri dari:
a. Setiap orang/pelaku
b. Menguntungkan diri sendiri/orang lain
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 32 dari 74
c. Menyalahgunakan wewenang, kesempatan/sarana yang ada padanya karena
jabatan/kedudukan
d. Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara
Dalam perencanaan pemeriksaan investigatif, pemahaman atas unsur-unsur tindak
pidana korupsi sebagaimana terdapat pada Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU TPK
mutlak diperlukan. Berdasarkan unsur-unsur dalam pasal-pasal tersebut, pemeriksa
merancang langkah-langkah pemeriksaan yang diarahkan agar pada akhir
pemeriksaan pemeriksa mampu menggambarkan modus operandi dari kasus yang
diperiksanya.
Dalam praktik di lapangan seringkali terjadi orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum telah mengganti kerugian yang terjadi atau berjanji akan
mengembalikan kerugian yang telah terjadi. Namun berdasarkan Pasal 4 UU TPK
dinyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan 3. Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
C. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Pemeriksaan dan Pemahaman Terhadap
Objek yang Akan Diperiksa
1. Pemahaman Objek Pemeriksaan
Objek pemeriksaan BPK terdiri dari:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.
Bentuk-bentuk BUMN yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang
BUMN meliputi:
1) Perusahaan Perseroan. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut
Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51%
(lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 33 dari 74
Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Termasuk di
dalamnya adalah Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya
disebut Persero Terbuka, yaitu Persero yang modal dan jumlah pemegang
sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan
penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
2) Perusahaan Umum. Perusahaan umum, yang selanjutnya disebut
Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak
terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus
mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Mengenai Persero dinyatakan sebagai berikut.
a) Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai
dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri
Teknis dan Menteri Keuangan.
b) Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang
berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
c) Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah:
i. Menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
berdaya saing kuat;
ii. Mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
d) Organ Persero meliputi RUPS, Direksi, dan Komisaris.
e) Kewenangan RUPS meliputi:
i. Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero
dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada
Persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya
dimiliki oleh negara.
ii. Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada
perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 34 dari 74
iii. Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam Ayat
(2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk
mengambil keputusan dalam RUPS mengenai perubahan jumlah
modal, perubahan anggaran dasar, rencana penggunaan laba,
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta
pembubaran Persero, investasi dan pembiayaan jangka panjang,
kerja sama Persero, pembentukan anak perusahaan atau
penyertaan dan pengalihan aktiva.
f) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dilakukan oleh RUPS.
Mengenai Persero Terbuka berlaku ketentuan undang-undang ini dan UU
No. 1 Tahun 1995 sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
Mengenai Perum, ketentuannya adalah:
a) Pendirian Perum diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai
dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri
Teknis dan Menteri Keuangan. Perum memperoleh status badan
hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang
pendiriannya.
b) Maksud dan tujuan pendirian Perum adalah menyelenggarakan usaha
yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh
masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
c) Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan
tujuan sebagaimana dimaksud dalam poin 2), dengan persetujuan
Menteri, Perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan
usaha lain.
d) Organ Perum adalah Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas.
e) Kewenangan Menteri meliputi:
i. Menteri memberikan persetujuan atas kebijakan pengembangan
usaha Perum yang diusulkan oleh Direksi.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 35 dari 74
ii. Kebijakan pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam
poin a) diusulkan oleh Direksi kepada Menteri setelah mendapat
persetujuan dari Dewan Pengawas.
iii. Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan
hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas
kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah
dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri baik
langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi,
terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Perum; atau langsung maupun tidak langsung secara melawan
hukum menggunakan kekayaan Perum.
iv. Terkait dengan penggunaan laba setiap tahun buku, Perum wajib
menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih untuk cadangan.
Penyisihan laba bersih dilakukan sampai cadangan mencapai
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari modal Perum.
Cadangan yang belum mencapai jumlah tersebut hanya dapat
dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi
oleh cadangan lain. Penggunaan laba bersih Perum termasuk
penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan ditetapkan oleh
Menteri.
v. Pengangkatan dan pemberhentian Direksi Perum ditetapkan oleh
Menteri sesuai dengan mekanisme dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b. Pemerintah Daerah. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Selanjutnya dalam
Pemerintahan Daerah terdapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 36 dari 74
selanjutnya disebut DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Beberapa pengertian yang berkaitan dengan Pemerintahan Daerah adalah:
1) Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
2) Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
5) Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
6) Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah
provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Sedangkan Peraturan
kepala daerah adalah peraturan Gubernur dan/atau peraturan
Bupati/Walikota.
7) Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbang-kan potensi,
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 37 dari 74
kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
8) Anggaran pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut APBD,
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan
dengan peraturan daerah. Sedangkan Pendapatan daerah adalah semua
hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan. Belanja daerah adalah
semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
c. Kementerian dan Departemen. Beberapa hal terkait dengan kementerian
dan departemen adalah sebagai berikut.
1) Kementerian Koordinator adalah unsur pelaksana Pemerintah yang
dipimpin oleh Menteri Koordinator yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden yang terdiri dari Kementerian
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian; dan Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat.
2) Departemen adalah unsur pelaksana Pemerintah yang dipimpin oleh
Menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden
untuk menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan dan
menyelenggarakan fungsi:
a) Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan
teknis di bidangnya;
b) Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya;
c) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya;
d) Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya;
e) Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di
bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.
d. Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintah. Lembaga Pemerintah Non
Departemen (LPND) dalam Pemerintahan Republik Indonesia adalah
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 38 dari 74
lembaga Pemerintah Pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas
pemerintahan tertentu dari Presiden. Kepala LPND berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Contoh:
1) Badan Intelijen Negara (BIN)
2) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
Lembaga Negara adalah lembaga-lembaga Negara yang dibentuk dan diatur
oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk pelaksanaan fungsi legislatif,
eksekutif, yudikatif, auditif, dan lain-lain. Contoh:
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
3) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
e. Bank Indonesia. Bank Indonesia (BI) adalah Bank Sentral Republik
Indonesia. BI sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur
tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam undang-undang ini. Tujuan BI adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah.
BI mempunyai tugas:
1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, meliputi:
a) Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan laju
inflasi yang ditetapkannya;
b) Melakukan pengendalian moneter dengan memperhatikan cara-cara
yang termasuk tapi tidak terbatas pada:
i. operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta
asing;
ii. penetapan tingkat diskonto;
iii. penetapan cadangan wajib minimum;
iv. pengaturan kredit atau pembayaran.
2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, meliputi:
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 39 dari 74
(a) melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran;
(b) mewajibkan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran untuk
menyampaikan laporan tentang kegiatannya;
(c) menetapkan penggunaan alat pembayaran.
3) Mengatur dan mengawasi bank.
BI menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan
pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, BI dipimpin oleh Dewan Gubernur.
Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur
Senior dan sekurang-kurangnya empat orang atau sebanyak-banyaknya
tujuh orang Deputi Gubernur. Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur
dengan Deputi Gubernur Senior sebagai wakil.
f. Badan Layanan Umum (BLU)
BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah pusat yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.
Kriteria BLU:
1) Bukan kekayaan negara/daerah yang dipisahkan, sebagai satuan kerja
instansi pemerintah;
2) Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktifitas ala
korporasi;
3) Berperan sebagai agen dari menteri/pimpinan lembaga induknya:
a) Kedua belah pihak menandatangani kontrak kinerja;
b) Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab atas kebijakan layanan
yang hendak dihasilkan;
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 40 dari 74
c) BLU bertanggung untuk mrnyajikan layanan yang diminta.
Di lingkungan pemerintah di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang
berpotensi untuk dikelola secara lebih efisien dan efektif melalui pola BLU.
Ada yang mendapatkan imbalan dari masyarakat dalam proporsi yang
signifikan terkait dengan pelayanan yang diberikan, dan ada pula yang
bergantung sebagian besar pada dana APBN/APBD. Satuan kerja yang
memperoleh pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan, dapat
diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan
pelayanan yang diberikan.
Pola pengelolaan keuangan BLU adalah memberikan fleksibilitas berupa
keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat guna
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penyelenggaraan BLU berdasarkan praktik bisnis yang sehat, yaitu fungsi
organisasi berdasarkan kaedah-kaedah manajemen yang baik dalam rangka
pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.
Institusi yang dapat menerapkan BLU:
1) Instansi yang memberikan layanan kepada masyarakat;
2) Memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administratif.
a) Persyaratan substantif. Instansi pemerintah yang memberikan layanan
umum, berupa:
i. Penyedia barang dan/atau jasa. Pelayanan bidang kesehatan,
penyelenggaraan pendidikan, serta pelayanan jasa penelitian dan
pengujian.
ii. Pengelolaan dana khusus. Pengelola dana bergulir untuk usaha kecil
dan menengah, pengelola penerusan pinjaman dan pengelola
tabungan pemerintah.
iii. Pengelola kawasan atau wilayah secara otonom. Otorita dan
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.
b) Persyaratan teknis:
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 41 dari 74
i. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak
dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU
sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan
lembaga/kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah sesuai
dengan kewenangannya.
ii. Kinerja keuangan satker yang bersangkutan sehat sebagaimana
ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
c) Persyaratan keuangan/administratif:
i. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja;
ii. Rencana strategis bisnis;
iii. Laporan keuangan pokok;
iv. Standar Pelayanan Minimum;
v. Laporan pemeriksaan terakhir atau pernyataan bersedia untuk
dipemeriksaan.
Pendapatan yang diperoleh BLU merupakan pendapatan negara/daerah.
Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja
BLU yang bersangkutan.
Laporan unit-unit BLU dikonsolidasikan dan menjadi lampiran laporan
keuangan BLU. Laporan keuangan tersebut disampaikan kepada
menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah paling lambat satu bulan setelah
periode laporan berakhir. Laporan keuangan BLU dikonsolidasikan dengan
laporan keuangan kementrian/lembaga/pemda dan dilakukan sesuai Standar
Akuntansi Pemerintahan. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), laporan
keuangan dan laporan kinerja BLU disusun sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari RKA, laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian
yang bersangkutan (dikonsolidasikan pada instansi induk). Laporan keuangan
sebagai laporan pertanggungjawaban BLU diperiksa oleh pemeriksa
eksternal.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 42 dari 74
g. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh daerah melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan daerah yang dipisahkan. Sedangkan kekayaan daerah yang
dipisahkan adalah sebagian dari kekayaan daerah yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dipisahkan untuk dijadikan
penyertaan modal daerah pada BUMD.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak
menyebutkannya secara spesifik keberadaan BUMD, namun Pasal 173
menyatakan bahwa:
1) Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan
Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta.
2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah,
dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan atau dapat dialihkan kepada
BUMD.
3) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 177 dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah dapat memiliki BUMD
yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau
pembubarannya ditetapkan dengan peraturan daerah yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
Terdapat beberapa alasan untuk mendirikan suatu BUMD, yaitu antara lain:
1) Alasan ekonomis, yang biasanya dijadikan acuan pertama mendirikan
BUMD, adalah mengoptimalisasikan potensi ekonomi di daerah dalam
upaya menggali dan mengembangkan sumber daya daerah, memberikan
pelayanan masyarakat atau public services, dan mencari keuntungan atau
profit motive.
2) Alasan strategis mendirikan suatu BUMD adalah untuk mendirikan
lembaga usaha yang melayani kepentingan publik, namun masyarakat
dan swasta tidak mampu atau belum mampu melakukannya, baik karena
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 43 dari 74
investasi yang sangat besar, risiko usaha yang sangat besar, maupun
karena eksternalitasnya sangat besar dan luas.
3) Alasan politis adalah untuk mempertahankan potensi ekonomi yang
mempunyai daya dukung politis bagi pemerintah daerah.
4) Alasan anggaran adalah alasan bahwa pemda perlu mempunyai sumber
pendapatan lain di luar pajak dan alokasi dana dari Pemerintah Pusat
untuk mendukung anggaran belanja dan pembangunan daerah.
Bentuk hukum BUMD ada dua, yaitu:
1) Perusahaan Daerah (PD)
a) Mengutamakan penyelenggaraan kemanfaatan umum (public service)
di samping mencari keuntungan sebagai sumber pendapatan asli
daerah, dengan tetap berpegang teguh pada:
i. Syarat-syarat efisiensi dan efektivitas;
ii. Prinsip-prinsip ekonomi perusahaan;
iii. Pelayanan yang baik kepada masyarakat.
b) Berstatus badan hukum yang dibentuk dengan peraturan daerah yang
berlaku dan mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang.
c) Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak
seperti perusahaan swasta untuk melakukan/pengadaan suatu
perjanjian kontrak-kontrak dan hubungan-hubungan dengan
perusahaan lainnya.
d) Dapat dituntut dan menuntut dan hubungan hukumnya berlaku hukum
perdata.
e) Modal pangkal seluruhnya berasal dari APBD sebagai kekayaan
daerah yang terpisahkan dan tidak terdiri dari saham-saham serta
dapat memperoleh dana dari kredit-kredit dalam dan luar negeri atau
dari obligasi (dari masyarakat).
f) Secara finansial mampu berdiri sendiri, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 44 dari 74
g) Dipimpin oleh suatu direksi dan tidak dibenarkan merangkap jabatan
lain.
h) Pegawai perusahaan diatur tersendiri di luar ketentuan-ketentuan yang
berlaku bagi pegawai negeri atau pegawai swasta.
i) Organisasi, tugas, wewenang, tanggung jawab, pertanggungjawaban
dan cara mempertanggungjawabkannya serta pengawasan dan
sebagainya diatur secara khusus yang pokok-pokoknya akan
tercerminkan dalam undang-undang yang mengatur pembentuk-
kannya serta peraturan pemerintah tentang pelaksanaannya.
2) Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda)
a) Maksud dan tujuan usahanya adalah untuk memupuk keuntungan
dalam arti baik pelayanan dan pembinaan organisasinya harus secara
efektif dan efisien dengan orientasi bisnis.
b) Status hukumnya sebagai badan hukum perdata yang berbentuk
perseroan terbatas.
c) Modal pangkal berasal dari APBD yang merupakan penyertaan modal
pemerintah daerah dan merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan
ditetapkan dengan peraturan daerah.
d) Membuka kemungkinan adanya kerja sama dengan swasta nasional
maupun asing, adanya pembelian/penjualan saham-saham obligasi.
e) Modal sebagaimana dimaksud pada poin (c) di atas adalah penyertaan
modal daerah dalam Perseroda, ditetapkan dengan peraturan daerah
dan berlaku setelah mendapat pengesahan pejabat yang berwenang.
f) Modal Perseroda dibagi atas saham-saham prioritas dan biasa atau
sejenis saham lainnya.
g) Perseroda dipimpin oleh suatu Direksi.
h) Pegawainya berstatus sebagai pegawai perusahaan swasta yang
diangkat dan diberhentikan oleh direksi setelah mendengar
pertimbangan dari dewan komisaris.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 45 dari 74
i) Peranan pemerintah daerah adalah sebagai pemegang saham
tergantung besar kecilnya jumlah saham yang dimiliki atau
berdasarkan perjanjian tersendiri antara mereka dengan
pemilik/pemegang saham lainnya.
h. Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara
Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara antara lain diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005.
2. Kriteria Pemeriksaan
Kriteria pemeriksaan memberikan informasi yang dapat digunakan oleh pengguna
laporan hasil pemeriksaan untuk menentukan keadaan seperti apa yang
diharapkan. Kriteria akan mudah dipahami apabila dinyatakan secara wajar,
eksplisit, dan lengkap, dan sumber dari kriteria dinyatakan dalam laporan hasil
pemeriksaan. Kriteria adalah standar ukuran harapan mengenai apa yang
seharusnya terjadi, praktik terbaik, dan benchmarks.
Dalam pemeriksaan kinerja maka kinerja entitas dibandingkan atau dievaluasi
dengan kriteria ini. Kriteria, sebagai salah satu unsur temuan pemeriksaan,
memberikan suatu hubungan dalam memahami hasil pemeriksaan. Rencana
pemeriksaan harus menyatakan kriteria yang akan digunakan. Dalam menentukan
kriteria, pemeriksa harus menggunakan kriteria yang masuk akal, dapat dicapai,
dan relevan dengan tujuan pemeriksaan. Pemeriksa harus mengkomunikasikan
kriteria tersebut kepada entitas yang diperiksa sebelum atau pada saat dimulainya
pemeriksaan.
Hukum sebagai kriteria pemeriksaan berarti bahwa hukum (dalam pengertian
recht maupun wet) dapat menjadi tolok ukur untuk menilai apakah kondisi
tersebut sesuai dengan ketentuan atau tidak. Hukum sebagai kriteria pemeriksaan
lebih tepat digunakan dalam laporan kepatuhan. Ketentuan hukum yang dijadikan
kriteria seharusnya menggambarkan dan berkorelasi langsung dengan
permasalahan yang dituangkan dalam kondisi.
Sangat mungkin bahwa dalam semua jenis pemeriksaan di dalamnya akan
berkaitan dengan semua aspek hukum, baik perdata, pidana, dan tata usaha
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 46 dari 74
negara, bahkan mungkin aspek hukum perdata internasional. Sedangkan aspek
hukum tata negara sangat kecil kemungkinannya terkait dalam pelaksanaan
pemeriksaan. Kecilnya kemungkinan atau bahkan tidak terkaitnya aspek hukum
tata negara dalam pelaksanaan pemeriksaan karena secara ketatanegaraan undang-
undang telah membatasi kekuasaan BPK hanya pada masalah pemeriksaan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara saja. Begitu pula dengan
aspek hukum acara. Aspek hukum acara nantinya baru akan terkait dalam tahap
tindak lanjut hasil pemeriksaan. Dengan memahami aspek hukum yang terkait
dalam program kegiatan entitas yang diperiksa dapat membantu pemeriksa
menetapkan semua kriteria yang diperlukan untuk kemudian menjadi dasar bagi
penetapan langkah-langkah pemeriksaannya.
Aspek hukum Tata Usaha Negara (TUN) terkait dalam semua jenis pemeriksaan
atas entitas pengelola APBN dan APBD. Tetapi dalam pemeriksaan atas entitas
BUMN/BUMD aspek hukum TUN dapat juga terkait apabila dalam suatu
kegiatan BUMN/BUMD tersebut melibatkan/terkait dengan tindakan tata usaha
negara/instansi pemerintah di dalamnya.
Identifikasi atas aspek hukum TUN dalam kegiatan entitas pengelola
APBN/APBD ditindaklanjuti dengan inventarisasi kriteria-kriteria yang
diperlukan. Sebagai contoh:
a. Untuk pemeriksaan laporan keuangan, kriteria yang diperlukan antara lain:
1) UU yang menetapkan APBN tahun anggaran yang diperiksa.
2) PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
3) Keppres 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
4) Perda yang menetapkan APBD tahun anggaran yang diperiksa.
5) Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
b. Untuk pemeriksaan pengadaan barang/jasa, kriteria yang diperlukan antara
lain:
1) Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
kali dengan Perpres No. 85 Tahun 2006.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 47 dari 74
2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
3) Perda tentang tata cara pengadaan barang/jasa daerah yang diperiksa.
c. Untuk pemeriksaan pendapatan, kriteria yang diperlukan antara lain:
1) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terahir kali dengan UU No. 16
Tahun 2000.
2) UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
3) PP No. 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan
Laporan Realisasi PNBP.
4) PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
5) PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
6) Perda-perda yang mengatur pengelolaan pajak dan retribusi daerah yang
diperiksa.
d. Untuk pemeriksaan pengelolaan aset, kriteria yang diperlukan antara lain:
1) PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
2) Perda yang mengatur perihal pengelolaan barang daerah yang diperiksa.
Dalam penyusunan program pemeriksaan entitas BUMN/BUMD bisa terkait
aspek hukum TUN apabila dalam suatu kegiatan entitas dimaksud dibiayai
langsung dari dana APBN/APBD, atau apabila dalam suatu kegiatannya
melibatkan tindakan tata usaha negara/instansi pemerintah. Sebagai contoh
apabila suatu kegiatan pengadaan barang/jasa di suatu BUMN/BUMD dibiayai
baik sebagian maupun seluruhnya dengan dana yang berasal dari APBN/APBD
maka kegiatan tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Keppres
No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir kali dengan Perpres
No. 85 Tahun 2006 maupun Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 48 dari 74
Dalam menentukan kriteria harus pula dipertimbangkan apa yang ditetapkan
dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang antara lain menyebutkan jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagai berikut.
a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
f. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama dengan gubernur;
g. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota
h. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa
atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Untuk memahami lebih lanjut tentang pengertian-pengertian yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan maka dipergunakan teori penafsiran peraturan
perundang-undangan dan konstruksi hukum yang meliputi penafsiran gramatikal,
historis, sistematik, sosiologis/teleologis, otentik, interdisipliner, dan
multidisipliner.40
Selain ketentuan dan peraturan yang telah dituangkan dalam UU No. 10 Tahun
2004, terdapat peraturan-peraturan yang sifatnya intern atau bersifat teknis sesuai
dengan kebutuhan yang ada. Sebagai contoh, Juklak tentang Pembukuan, dan lain-
lain.
3. Pembuktian
Jenis bukti berdasarkan SPKN meliputi:
a. Bukti fisik diperoleh dari inspeksi langsung atau pengamatan yang dilakukan
oleh pemeriksa terhadap orang, aktiva, atau kejadian. Bukti tersebut dapat
40 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal. 9-
12.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 49 dari 74
didokumentasikan dalam bentuk memorandum, foto, gambar, bagan, peta, atau
contoh fisik.
b. Bukti dokumenter terdiri atas informasi yang diciptakan seperti surat, kontrak,
catatan akuntansi, faktur, dan informasi manajemen atas kinerja.
c. Bukti kesaksian diperoleh melalui permintaan keterangan, wawancara, atau
kuesioner.
d. Bukti analisis meliputi perhitungan, pembandingan, pemisahan informasi
menjadi unsur-unsur, dan argumentasi yang masuk akal.
Bukti pemeriksaan tersebut harus cukup, kompeten, dan relevan:
a. Bukti harus cukup untuk mendukung temuan pemeriksaan. Dalam menentukan
cukup tidaknya suatu bukti, pemeriksa harus yakin bahwa bukti yang cukup
tersebut akan bisa meyakinkan seseorang bahwa temuan pemeriksaan adalah
valid. Apabila memungkinkan, metode statistik bisa digunakan untuk
menentukan cukup tidaknya bukti pemeriksaan.
b. Bukti disebut kompeten apabila bukti tersebut valid, dapat diandalkan, dan
konsisten dengan fakta. Dalam menilai kompetensi suatu bukti, pemeriksa
harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti apakah bukti telah akurat,
meyakinkan, tepat waktu dan asli.
c. Bukti disebut relevan, apabila bukti tersebut mempunyai hubungan yang logis
dan arti penting bagi temuan pemeriksaan yang bersangkutan.
Selain itu terdapat bukti yang lebih kuat dalam audit yaitu:
a. Bukti yang diperoleh dari pihak ketiga lebih kompeten dari pada bukti yang
diperoleh dari entitas yang diperiksa.
b. Bukti yang dikembangkan dari sistem pengendalian intern yang efektif, lebih
kompeten dibandingkan dengan yang diperoleh dari pengendalian yang lemah
atau yang tidak ada pengendaliannya.
c. Bukti yang diperoleh melalui pemeriksaan fisik, pengamatan, perhitungan, dan
inspeksi secara langsung oleh pemeriksa lebih kompeten dibandingkan dengan
bukti yang diperoleh secara tidak langsung.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 50 dari 74
d. Dokumen asli memberikan bukti yang lebih kompeten dibandingkan dengan
fotokopi atau tembusannya.
e. Bukti kesaksian yang diperoleh dalam kondisi yang memungkinkan orang
berbicara dengan bebas lebih kompeten dibandingkan dengan bukti kesaksian
yang diperoleh dalam kondisi yang dapat terjadi kompromi. Misalnya, kondisi
di mana terdapat kemungkinan orang diancam (diintimidasi). Bukti kesaksian
yang diperoleh dari individu yang tidak memihak atau mempunyai
pengetahuan yang lengkap mengenai bidang tersebut lebih kompeten
dibandingkan dengan bukti kesaksian yang diperoleh dari individu yang
memihak atau yang hanya mempunyai pengetahuan sebagian saja mengenai
bidang tersebut.
Pembuktian dari aspek hukum:
Membuktikan diartikan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian, pembuktian
hanyalah diperlukan dalam persengketaan di muka Hakim atau Pengadilan.
Alat bukti menurut hukum antara lain:
a. Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, alat-alat bukti
dalam perkara perdata terdiri atas:
1) Bukti tulisan;
2) Bukti dengan saksi-saksi
3) Persangkaan-persangkaan;
4) Pengakuan; dan
5) Sumpah.
b. Sedangkan dalam perkara pidana, menurut Pasal 295 Reglement Indonesia
yang Diperbaharui (RIB) hanya diakui sebagai alat-alat bukti yang sah adalah:
1) Kesaksian;
2) Surat-Surat
3) Pengakuan;
4) Petunjuk-petunjuk
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 51 dari 74
c. Menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, alat bukti
yang sah adalah:
1) Keterangan saksi;
2) Keterangan ahli;
3) Surat;
4) Petunjuk-petunjuk;
5) Keterangan Terdakwa.
Dalam hukum perdata, pembuktiannya bersifat formal, artinya bukti-bukti yang
ada secara formal merupakan bukti bagi hakim untuk membuktikan kebenaran
suatu permasalahan. Sedangkan dalam hukum pidana, pembuktiannya bersifat
material, artinya bukti-bukti formal yang ada belum cukup untuk membuktikan
kebenaran suatu permasalahan, karena hakim harus membuktikan sampai dengan
motif perbuatan tersebut dilakukan (material) sehingga menimbulkan keyakinan
hakim.
Kekuatan bukti hukum dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Bukti Tulisan. Dari bukti-bukti tulisan, golongan yang sangat berharga untuk
pembuktian adalah akte. Akte adalah tulisan yang memang dengan sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.
Bukti tulisan dapat dibagi menjadi dua, yaitu akte dan tulisan-tulisan lain.
Akte dibagi menjadi dua: (1) akte otentik dan (2) akte di bawah tangan. Akte
otentik adalah akte yang mempunyai kekuatan pembuktian istimewa.
Sementara itu, akte di bawah tangan adalah akte yang bukan merupakan akte
otentik.
Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akte otentik adalah:
1) Mempunyai kekuatan pembuktian formil, yaitu membuktikan antara para
pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte
tersebut.
2) Mempunyai kekuatan pembuktian materiil/mengikat, artinya
membuktikan bahwa antara para pihak yang bersangkutan sungguh-
sungguh telah terjadi peristiwa yang disebutkan di situ.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 52 dari 74
3) Membuktikan pada pihak ketiga bahwa apa yang telah dituangkan dalam
akte benar terjadi dan kedua belah pihak telah menghadap di muka
Pegawai umum (notaris) dan menetapkan kedudukan antara para pihak
satu sama lain pada kedudukan yang diuraikan dalam akte.
Kekuatan pembuktian tulisan-tulisan lain adalah sebagai alat bukti bebas,
artinya hakim tidak diharuskan menerima dan mempercayai. Hakim bebas
untuk mempercayai dan tidak mempercayai tulisan-tulisan tersebut.
b. Bukti dengan Saksi (Kesaksian). Saksi dapat secara kebetulan melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka hakim, tetapi
dapat pula terjadi memang dengan sengaja diminta menyaksikan suatu
perbuatan hukum yang sedang dilakukan.
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi diwajibkan memberikan
kesaksian. Seseorang yang menolak panggilan untuk dijadikan saksi maka:
1) Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk
memanggil saksi;
2) Secara paksa dibawa ke pengadilan;
3) Dimasukkan ke dalam penyanderaan (gijzeling dalam Pasal 140, 141, dan
148 RIB).
Seorang saksi dapat dibebaskan dari saksi jika:
1) Mempunyai pertalian daerah dalam garis samping dalam derajat kedua
atau semenda dengan salah satu pihak;
2) Mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam
garis samping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu
pihak;
Dalil dalam hal kesaksian adalah “Unus testis nullus testis” artinya
keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain tidak boleh
dipercaya di muka pengadilan (Pasal 1905 KUH Perdata, Pasal 169 RIB atau
Pasal 306 RDS).
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 53 dari 74
Kesaksian de auditu atau kesaksian dari pendengaran tidak berharga sebagai
suatu kesaksian, namun hal tersebut dapat dipergunakan sebagai persangkaan-
persangkaan dari mana disimpulkan terbuktinya suatu hal.
c. Persangkaan-persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah
dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti. Oleh karena
itu persangkaan bukanlah alat bukti. Yang menarik kesimpulan tersebut
adalah hakim (disebut persangkaan hakim) dan undang-undang (persangkaan
undang-undang).
Persangkaan dilakukan apabila memang sangat sulit diperoleh saksi untuk
membuktikan terjadinya suatu kejadian. Contoh:
Apabila dapat dibuktikan bahwa terdapat dua orang laki-laki dan perempuan
yang dituduh melakukan perzinahan itu telah bersama-sama menginap dalam
satu kamar di mana hanya terdapat satu tempat tidur, maka dipersangkakan
bahwa mereka itu benar telah melakukan perzinahan.
Contoh persangkaan berdasarkan undang-undang adalah sebagai berikut.
1) Tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan yang sah, memperoleh si
suami sebagai bapaknya. Artinya dianggap sebagai anak bapaknya (Pasal
250 KUH Perdata).
2) Tiap-tiap tembok yang dipakai sebagai tembok batas antara dua
pekarangan, dianggap sebagai milik bersama, kecuali kalau ada suatu
alasan hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya (Pasal 633
KUH Perdata).
d. Pengakuan
Pengakuan bukanlah alat bukti. Pengakuan adalah dalil-dalil yang
dikemukakan oleh satu pihak dan hal tersebut diakui oleh pihak lawan.
Dengan diakuinya dalil-dalil tersebut maka pihak yang mengajukan dalil-dalil
tersebut dibebaskan dari pembuktian. Pengakuan berfungsi juga sebagai
pembatas luasnya perselisihan.
Pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu bukti yang
sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya. Artinya, hakim harus
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 54 dari 74
menganggap dalil-dalil yang telah diakuinya itu sebagai benar dan
meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan
pada dalil-dalil tersebut (Pasal 1925 KUH Perdata).
Pengakuan dibagi dua, yaitu:
1) Pengakuan dengan Kausal. Pengakuan yang dilakukan oleh suatu pihak
namun berdasarkan pengakuan tersebut maka kedua belah pihak akan
diperjumpakan kepentingan masing-masing.
Contoh:
Seorang yang mengaku bahwa dia telah melakukan jual beli dan
pengantaran barang, dan dia menyatakan sudah membayar maka hakim
harus memperhitungkan pengakuan tersebut untuk memperjumpakan
kepentingan penggugat.
2) Pengakuan dengan Kualifikasi. Pengakuan yang dilakukan oleh suatu
pihak namun dalam pengakuan tersebut dikemukakan suatu syarat
(kualifikasi) tertentu yang harus dilakukan supaya perbuatan hukum
tersebut dapat berlaku.
Contoh:
Seorang mengaku bahwa jual beli dan pengantaran barang, tetapi
dikemukakan bahwa jual beli tersebut dapat diberlakukan jika ia puas
dengan kualitas dan jumlah barangnya.
e. Sumpah
Sumpah dalam perkara perdata dipakai juga sebagai alat pembuktian.
Sumpah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Sumpah pemutus (decissoir). Sumpah pemutus adalah sumpah yang oleh
pihak yang satu diperintahkan kepada pihak pihak lawan yang
menggantungkan putusan perkara padanya.
2) Sumpah karena jabatan hakim. Sumpah yang oleh hakim karena
jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak (Pasal 1929 KUH
Perdata).
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 55 dari 74
4. Perihal Perjanjian
a. Perikatan dan Perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku III Burgerlijke Wetboek/BW/KUH Perdata.
Buku III KUH Perdata mengatur perihal Perikatan (Verbintenis). Perikatan
tidak sama dengan perjanjian. Perikatan adalah suatu hubungan hukum
(mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada
yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang
yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.41 Pasal 1233 KUH
Perdata membagi perikatan menjadi dua berdasarkan sumbernya, yaitu:
1) Undang-Undang;
2) Perjanjian (Overeenkomst).
Adanya hubungan perikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya
menimbulkan kewajiban berupa:42
1) Memberikan sesuatu;
2) Berbuat sesuatu;
3) Tidak berbuat sesuatu.
Pasal 1313 KUH Perdata memberi pengertian perjanjian sebagai suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih (asas pribadi/kepribadian).
Pada prinsipnya semua orang bebas membuat perjanjian. Hal tersebut dapat
disimpulkan dari isi Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk
itu. Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Pengaturan Pasal 1338 KUH Perdata mengandung asas-asas perjanjian, yaitu:
1) Asas kebebasan berkontrak;
41 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan keenambelas, Jakarta: Intermasa, 1982, hal. 122 42 Pasal 1234 BW
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 56 dari 74
2) Asas konsensualisme;
3) Asas pacta sunt servanda (perjanjian merupakan undang-undang bagi
yang membuatnya);
4) Asas itikad baik.
Asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian dibatasi oleh Pasal
1337 KUH Perdata yang berbunyi:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata ini pada dasarnya mengatur perihal
syarat “sebab yang halal” dalam sahnya perjanjian. Jadi apabila pelaksanaan
asas kebebasan berkontrak melanggar ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata
maka perjanjian yang dibuat tersebut adalah tidak sah. Isi Pasal 1338 KUH
Perdata selain mengandung makna asas kebebasan berkontrak, juga
mengandung maksud bahwa perjanjian bersifat mengikat bagi para pihak
yang membuatnya.
Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang
menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat
kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang
telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan
perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya
saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan.
Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar
janji (wanprestasi).
Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua
perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu
saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang.
Contoh perjanjian khusus: jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-
meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan. Selain KUH
Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk
hukum seperti Undang-Undang Perbankan, Keputusan Presiden tentang
Lembaga Pembiayaan, dan jurisprudensi antara lain tentang sewa beli, serta
sumber hukum lainnya.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 57 dari 74
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW),
yang menyiratkan adanya tiga asas yang seyogyanya dalam perjanjian:
1) Mengenai terjadinya perjanjian. Asas yang disebut konsensualisme,
artinya menurut BW perjanjian hanya terjadi apabila telah adanya
persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).
2) Tentang akibat perjanjian. Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang
mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal
1338 Ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat
secara sah di antara para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi
pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
3) Tentang isi perjanjian. Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak
(contractsvrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan.
Dengan kata lain, selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka
perjanjian itu diperbolehkan.
Asas kebebasan berkontrak dijamin oleh Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata
asalkan pembuatannya memenuhi syarat sahnya perjanjian.
b. Syarat Sahnya Kontrak
Dari bunyi Pasal 1338 Ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat
hanyalah perjanjian yang sah. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat
syarat sahnya perjanjian, yaitu harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu
dan sebab yang diperbolehkan.
1) Kesepakatan. Kesepakatan yang dimaksud adalah adanya rasa ikhlas atau
saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang
membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak
dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2) Kecakapan. Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak
haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subjek
hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk
membuat kontrak. Sementara itu, orang yang tidak cakap adalah orang-
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 58 dari 74
orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang
ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.
Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas)
tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila
seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap
untuk membuat perjanjian.
3) Hal tertentu. Hal tertentu maksudnya adalah objek yang diatur kontrak
tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh
samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian
kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Jual beli
sebuah mobil, misalnya. Dalam jual beli tersebut harus jelas merk mobil,
buatan tahun berapa, warna, nomor mesin dan sasisnya, dan sebagainya.
Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh jual beli sebuah mobil saja,
tanpa penjelasan lebih lanjut.
4) Sebab yang halal. Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan
dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum,
dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena
bertentangan dengan norma-norma tersebut.
Dari empat syarat tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
1) Syarat subjektif:
a) Sepakat;
b) Cakap.
Tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut berakibat dapat dibatalkannya
perjanjian (vernieteg).
2) Syarat objektif:
a) Hal tertentu;
b) Sebab yang halal.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 59 dari 74
Tidak terpenuhinya syarat-syarat objektif berakibat perjanjian tersebut
batal demi hukum (null and void) dan perjanjian dianggap tidak pernah
terjadi.
c. Penyusunan Kontrak
Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan
atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan
tersebut sudah dimulai. Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi beberapa
tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi
kontrak.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Prakontrak
a) Negosiasi;
b) Memorandum of Undersatnding (MoU);
c) Studi kelayakan;
d) Negosiasi (lanjutan).
2) Kontrak
a) Penulisan naskah awal;
b) Perbaikan naskah;
c) Penulisan naskah akhir;
d) Penandatanganan.
3) Pascakontrak
a) Pelaksanaan;
b) Penafsiran;
c) Penyelesaian sengketa.
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya
terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses
upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah
proses tawar-menawar berlangsung.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 60 dari 74
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU).
MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal
tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak,
penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi
lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan
kontrak.
Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman
sementara, dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due
diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis
tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan, misalnya ekonomi,
keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil
studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya
melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. Apabila diperlukan, akan
diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Penulisan naskah kontrak selain memerlukan kejelian dalam menangkap
keinginan berbagai pihak, juga memerlukan pemahaman terhadap aspek
hukum dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa
yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa baku.
Penggunaan bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas
dan sistematis.
Format baku penulisan kontrak tidak ditentukan di dalam perundang-
undangan. Namun demikian, dalam praktik biasanya mengikuti suatu pola
umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, yaitu sebagai berikut.
1) Judul;
2) Pembukaan;
3) Pihak-pihak;
4) Latar belakang kesepakatan (recital);
5) Isi;
6) Penutupan.
Judul kontrak harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas. Misalnya
Jual-Beli-Sewa, Sewa-Menyewa, Joint Venture Agreement atau License
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 61 dari 74
Agreement. Berikutnya pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya
dirumuskan sebagai berikut.
Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua
Januari tahun dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini.
Setelah itu, dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama
pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi
perusahaan/badan hukum sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti
tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jual-
beli adalah sebagai berikut.
1. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini
bertindak untuk diri sendiri/untuk dan atas nama .... berkedudukan di
.... selanjutnya disebut penjual;
2. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini
bertindak untuk diri sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya
bertindak untuk atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut
pembeli.
Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya
kesepakatan (recital). Contoh rumusannya:
dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli
telah membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek ....
tipe .... dengan ciri-ciri berikut ini: Engine No. .... Chasis ...., Tahun
Pembuatan .... dan Faktur Kendaraan tertulis atas nama .... alamat ....
dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli
seperti berikut ini.
Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang
dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka
tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban
pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati
bersama. Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi
tersebut, kemudian dirumuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata
penutup, misalnya:
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 62 dari 74
Demikianlah perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Apabila pada pembukaan tidak diberikan tanggal, maka ditulis pada
penutupan, misalnya:
dibuat dan ditandatangani di .... pada hari ini .... tanggal ....
Di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan
para saksi (kalau ada) di atas materai. Untuk perusahaan/badan hukum
memakai cap lembaga masing-masing.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 63 dari 74
BAB V
ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PEMERIKSAAN PADA
PELAPORAN PEMERIKSAAN
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu
menjelaskan serta menerapkan aspek hukum dalam pelaporan pemeriksaan.
Laporan hasil pemeriksaan, menurut Pasal 16 UU No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, memuat hal-hal
sebagai berikut.
1. Laporan hasil pemeriksaan keuangan memuat opini;
2. Laporan hasil pemeriksaan kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan
rekomendasi;
3. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
Aspek-aspek hukum yang terkait dalam pemeriksaan dituangkan dalam laporan hasil
pemeriksaan seperti tersebut di atas. Khusus dalam pemeriksaan kinerja, BPK juga
menentukan rekomendasi yang harus dilakukan oleh entitas yang diperiksa.
Rekomendasi yang ditetapkan bisa merupakan tindakan-tindakan korektif baik dari
aspek hukum tata usaha negara dan/atau perdata.
Untuk melihat aspek-aspek hukum dalam pelaporan pemeriksaan maka perlu
diketahui terlebih dahulu kaitan SPKN dengan aspek hukum. Hal-hal yang diatur
dalam SPKN yang terkait dengan aspek hukum dalam pelaporan pemeriksaan
adalah:
No. Standar Materi Keterangan
1. Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan harus mengungkapkan bahwa pemeriksa telah melakukan pengujian atas kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan.
Laporan atas kepatuhan mengungkapkan: (1) ketidakpatuh-an terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk pengungkapan atas penyimpangan administrasi, pelanggaran atas perikatan perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana; dan (2) ketidakpatutan yang signifikan.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 64 dari 74
No. Standar Materi Keterangan
2. Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja
Pemeriksa harus melaporkan semua kejadian mengenai ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketidakpatutan yang ditemukan selama atau dalam hubungannya dengan pemeriksaan. Dalam keadaan tertentu, pemeriksa harus melaporkan adanya unsur penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut kepada pihak yang berwenang sesuai dengan prosedur yang berlaku di BPK.
Apabila berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh pemeriksa menyimpulkan bahwa telah terjadi atau mungkin telah terjadi kecurangan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketidakpatutan, pemeriksa harus melaporkan hal tersebut. Dalam melaporkan kecurangan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, atau ketidakpatutan, pemeriksa harus menempatkan temuan tersebut secara lugas dan jelas dalam perspektif yang wajar.
3. Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
Standar Pemeriksaan mengharuskan pemeriksa untuk melaporkan kecurangan dan penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam hal pemeriksa menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan telah terjadi atau kemungkinan telah terjadi, maka BPK harus menanyakan kepada pihak yang berwenang tersebut dan atau kepada penasehat hukum apakah laporan mengenai adanya informasi tertentu tentang penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut akan mengganggu suatu proses penyidikan atau proses peradilan. Apabila laporan pemeriksaan akan mengganggu proses penyidikan atau peradilan tersebut, BPK harus membatasi laporannya, misalnya pada hal-hal yang telah diketahui oleh umum (masyarakat).
Berdasarkan uraian di atas, beberapa aspek hukum yang berkaitan dengan pelaporan
pemeriksaan baik untuk pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan
pemeriksaan untuk tujuan tertentu meliputi pengungkapan:
1. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk
pengungkapan atas penyimpangan administrasi, pelanggaran atas perikatan
perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 65 dari 74
2. Ketidakpatutan yang signifikan.
Laporan atas kepatuhan yang mengungkap ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan termasuk pengungkapan atas penyimpangan administrasi,
pelanggaran atas perikatan perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur
tindak pidana dan ketidakpatutan yang signifikan merupakan tindakan melawan
hukum.
Perbuatan melawan hukum diartikan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan yang
bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan maupun dengan keharusan yang
harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Perbuatan
melawan hukum sebagai suatu konsep tidak hanya perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang saja, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar
hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan dengan
kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas
masyarakat. Selain itu, kepatutan dimaksudkan apabila orang dalam
menyelenggarakan kepentingannya mengabaikan kepentingan orang lain dan
membiarkan kepentingan orang lain terlanggar begitu saja, maka orang itu
berperilaku tidak patut (ontbetamelijk) dan karenanya onrechtmatige.43
Untuk memahami laporan kepatuhan yang mengungkap ketidakpatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, di antaranya pengungkapan atas penyimpangan
administrasi, perikatan perdata, unsur tindak pidana dan ketidakpatutan yang
signifikan, maka perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
A. Penyimpangan Administrasi
Administrasi berasal dari bahasa Latin: ad = intensif, dan ministrare = melayani,
membantu, memenuhi.
Pengertian administrasi dalam bahasa Indonesia ada 2 (dua):
1. Administrasi berasal dari bahasa Belanda: “Administratie” yang merupakan
pengertian administrasi dalam arti sempit, yaitu sebagai kegiatan tata usaha kantor
43 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2003, hal. 21-22.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 66 dari 74
(catat-mencatat, mengetik, menggandakan, dan sebagainya). Kegiatan ini dalam
bahasa Inggris disebut: Clerical works (F.X.Soedjadi, 1989).
2. Administrasi dalam arti luas, berasal dari bahasa Inggris “Administration” , yaitu
proses kerja sama antara dua orang atau lebih berdasarkan rasionalitas tertentu
untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan (S.P. Siagian, 1973)
Mengacu pada pengertian administrasi di atas maka apa yang dimaksud dengan
penyimpangan administrasi lebih khusus mengarah kepada penyimpangan atas
pengertian administrasi dalam arti sempit, yaitu penyimpangan dalam hal kegiatan
tata usaha kantor, khususnya catat mencatat (ketatausahaan) kantor.
Penyimpangan administrasi dapat berupa tindakan melawan hukum yang berkaitan
dengan masalah prosedural administratif pelaksanaan tugas sehari-hari. Apabila
penyimpangan tersebut menimbulkan/dapat menimbulkan kerugian negara maka
diatur pula ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang Undang 20 Tahun 2001, yaitu:
1. Pasal 8:
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga
yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut”.
2. Pasal 9:
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi”.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 67 dari 74
3. Pasal 10:
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja”:
a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya; atau
b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut; atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar tersebut.
B. Pelanggaran atas Perikatan Perdata
Tidak dipenuhinya ketentuan (biasanya kewajiban) dalam perjanjian oleh salah satu
pihak dalam perjanjian disebut wanprestasi (berasal dari kata Belanda wanprestatie
artinya prestasi buruk). Wanprestasi sesuai dengan Pasal 1234 KUH Perdata berupa:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, hukuman atau
akibatnya adalah pembayaran kerugian (ganti rugi);
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan,
hukuman atau akibatnya adalah pembatalan perjanjian atau disebut pemecahan
perjanjian;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, hukuman atau akibatnya adalah
peralihan risiko atau pembayaran denda;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya, hukuman
atau akibatnya adalah membayar biaya perkara, jika diperkarakan di depan
pengadilan.
Untuk sampai kepada kesimpulan pelanggaran perdata maka:
1. Harus dapat dibuktikan adanya kesalahan atau kealpaan dari debitur;
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 68 dari 74
2. Harus dibuktikan adanya akibat yang diterima oleh kreditur dan akibat/kerugian
itu memang terjadi karena hubungan kausal dengan tindakan debitur.
3. Pihak debitur memang dianggap mampu bertanggung jawab untuk melakukan
akibat tersebut.
C. Penyimpangan yang Mengandung Unsur Tindak Pidana
Penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi dua hal,
yaitu penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana umum dan
mengandung unsur tindak pidana khusus. Penyimpangan yang mengandung unsur
tindak pidana umum merupakan pelanggaran dan kejahatan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya Pasal 362 KUHP (tentang tindak
pidana pencurian).
Sedangkan penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana dalam hal tindak
pidana khusus adalah penyimpangan yang mengarah kepada tindak-tindak pidana
yang diatur secara khusus di luar KUHP. Seperti tindak pidana bidang perpajakan,
perbankan dan tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yang antara lain harus mengandung empat
unsur yaitu adanya subjek hukum yang bertanggungjawab, adanya tindakan melawan
hukum, adanya tindakan yang merugikan Keuangan Negara, dan adanya keuntungan
yang diterima oleh para pihak, korporasi, golongan atau kelompok tertentu.
D. Ketidakpatutan yang Signifikan
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bertentangan dengan kepatutan yang berlaku
dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan orang lain, dalam hal ini harus
dipertimbangkan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dan mengikuti
sesuatu yang menurut masyarakat patut dan layak.
Perbuatan yang termasuk dalam kategori bertentangan dengan kepatutan adalah:
1. Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak;
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 69 dari 74
2. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain, yang
berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.
Bagi hakim, ketidakpatutan perlu memperhatikan juga rasa keadilan yang berlaku
dalam masyarakat sebagai salah satu pertimbangan untuk memutuskan perkara.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 70 dari 74
BAB VI
ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM
TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu
menjelaskan serta menerapkan aspek hukum dalam tindak lanjut pemeriksaan
Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan menyatakan bahwa DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil
pemeriksaan sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing lembaga perwakilan.
Sementara itu, dalam Pasal 8 Ayat (1) dikemukakan bahwa untuk keperluan tindak
lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1), BPK
menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 menyatakan bahwa tindak
lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberitahukan secara
tertulis oleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kepada BPK.
A. Kewajiban Terperiksa untuk Menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK
Pasal 20 Ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara menetapkan:
”Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.”
Rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pejabat dapat berupa tindakan korektif
terhadap kondisi yang menggambarkan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan. Tindakan korektif yang harus dilakukan tersebut sebagai
tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK tersebut
disesuaikan dengan aspek hukum yang terkait. Sebagai contoh:
1. Adanya kekurangan volume pekerjaan dalam kegiatan pengadaan barang, maka
tindak lanjutnya adalah meminta kelebihan/selisih pembayaran berdasarkan
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 71 dari 74
perbandingan antara volume pekerjaan yang disepakati dalam kontrak dengan
volume pekerjaan yang senyatanya dikerjakan oleh pemborong, untuk disetorkan
kepada kas negara/daerah. Tindak lanjut ini terkait dengan aspek hukum perdata.
2. Apabila diketahui bahwa di suatu pemerintah daerah penyusunan laporan barang
tidak dilakukan secara berjenjang mulai dari laporan yang harus dibuat oleh
Kuasa Pengguna Barang dan Pengguna Barang. Perihal barang daerah dalam
Neraca daerah disusun hanya berdasarkan Laporan Barang Milik Daerah
(LBMD) yang dibuat oleh Pengelola Barang yang tidak didasarkan laporan
barang yang dibuat oleh Kuasa Pengguna Barang dan Pengguna Barang,
sehingga Neraca pemerintah daerah disusun dengan tidak merepresentasikan
keadaan barang daerah yang senyatanya. Tindak lanjut yang harus dilaksanakan
adalah kepala daerah bersangkutan harus memerintahkan kepada seluruh Kuasa
Pengguna Barang dan Pengguna Barang agar menyusun laporan barang untuk
kemudian menjadi dasar penyusunan LBMD, sehingga nilai barang daerah
dalam neraca daerah dapat lebih menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.
Tindak lanjut ini terkait dengan aspek hukum tata usaha negara.
B. Rumusan Unsur Pidana
Selain ketentuan mengenai tindak lanjut sebagaimana telah dinyatakan di atas, tindak
lanjut atas hasil pemeriksaan BPK RI antara lain dinyatakan dalam Pasal 8 Ayat (3),
yang menyatakan bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya
unsur pidana tersebut.
Rumusan unsur pidana serupa dengan rumusan tentang delik (perbuatan pidana),
yaitu:
1. Delik meliputi beberapa unsur, yaitu diancam dengan pidana oleh hukum,
bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah, dan orang itu
dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya (Simons).
2. Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum yang
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan (Van Hamel).
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 72 dari 74
Rumusan delik dalam suatu undang-undang sebagai berikut.
1. Subjek atau pelaku delik atau kualitas sebagai subjek hukum (Korporasi, Pegawai
Negeri).
2. Perbuatan yang dilakukan (inti dari delik).
3. Ketentuan sanksi.
C. Tindak Lanjut Apabila Terdapat Unsur Pidana
Apabila dalam pemeriksaan terdapat dugaan adanya unsur-unsur tindak pidana,
khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, maka terhadap hasil
pemeriksaan tersebut dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Meminta pertimbangan hukum dari Direktorat Utama Pembinaan dan
Pengembangan Hukum (Ditama Binbangkum). Selanjutnya, Ditama Binbangkum
memberikan pendapat hukum atas temuan dimaksud.
2. Pendapat hukum atas temuan dimaksud kemudian disampaikan kepada Badan.
3. Apabila Badan menyetujuinya maka atas nama BPK, temuan pemeriksaan
tersebut disampaikan kepada aparat yang berwenang (dhi. Kepolisian atau
Kejaksaan) untuk dilakukan proses secara hukum (penyelidikan/penyidikan).
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 73 dari 74
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Fakultas Hukum UI, Jakarta: 2003.
Ali, Achmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Ghalia Indonesia.
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. PT Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta: 2002.
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Alumni, Bandung:
2000.
Hamidi, Jazim, Budiman N.P.D. Sinaga. Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dalam Sorotan. Tatanusa, Jakarta: 2005.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Kanisius: 1982.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka,
Jakarta: 1984.
Lubis, Solly. Politik dan Hukum di Era Reformasi. Mandar Maju.
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta: 2004.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta:
2003.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2000.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan Keenambelas. Intermasa, Jakarta:
1982.
Tutik, Titik Triwulan. Pokok-pokok Hukum Tata Negara. Prestasi Pustaka, Jakarta:
2005.
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Buku Peserta
Pusdiklat BPK RI Hal. 74 dari 74
CATATAN PESERTA
Evaluasi Modul
Lembar yang disediakan ini dapat anda gunakan untuk membantu Pusdiklat dalam meningkatkan mutu modul pembelajaran
dengan menuliskannya kembali ke Lembar Evaluasi yang diberikan oleh Panitia Diklat diakhir kegiatan.
.
Agenda untuk pengembangan pribadi
Lembar yang disediakan ini dapat Saudara gunakan untuk membantu IDP Saudara(Individual Development Plan). Masukkan
rencana-rencana yang akan Saudara lakukan untuk memperdalam pemahaman anda atas hal-hal yang dibahas dipelajaran
ini.