2.pengelolaan hemat air dan teknologi pemupukan berbasis organik untuk perbaikan tanah sawah dan...

43
26 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditas yang paling penting di Indonesia sejak tanaman ini menjadi makanan pokok bagi sebagian masyarakat. Peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan penduduk merupakan salah satu isu utama dalam program pembangunan Indonesia. Indonesia merupakan negara terpadat keempat terbesar di dunia dengan 237 juta orang pada tahun 2010, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Meskipun pertumbuhan penduduk telah menurun dari 2,4% per tahun selama tahun 1960-an, awal 1970-an 1,3%, dan dalam waktu dekat diperkirakan menurun menjadi kurang dari 0,9%, populasi meningkat terus menerus dan bisa menjadi dua kali lipatnya pada tahun 2050 (kepadatan populasi adalah 480 juta). Tingkat konsumsi beras adalah sekitar 139 kg beras per kapita per tahun, termasuk tertinggi di dunia dibandingkan dengan Jepang, Malaysia, dan Thailand hanya sekitar 45 kg, 80 kg dan 90 kg per kapita per tahun. Saat ini konsumsi beras adalah sekitar 33 juta ton per tahun dan diperkirakan meningkat menjadi 38,5 juta ton pada tahun 2025 (Suryana, 2008; Simarmata, 2008; Apryantono, 2008: McCulloch, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011). Jadi, produksi padi harus meningkat Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan | Teknologi Produksi Tanaman IV

Upload: nanang-mutahir

Post on 28-Nov-2015

22 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Padi merupakan salah satu komoditas yang paling penting di Indonesia sejak

tanaman ini menjadi makanan pokok bagi sebagian masyarakat. Peningkatan

produksi padi untuk memenuhi kebutuhan penduduk merupakan salah satu isu

utama dalam program pembangunan Indonesia. Indonesia merupakan negara

terpadat keempat terbesar di dunia dengan 237 juta orang pada tahun 2010, setelah

Cina, India dan Amerika Serikat. Meskipun pertumbuhan penduduk telah

menurun dari 2,4% per tahun selama tahun 1960-an, awal 1970-an 1,3%, dan

dalam waktu dekat diperkirakan menurun menjadi kurang dari 0,9%, populasi

meningkat terus menerus dan bisa menjadi dua kali lipatnya pada tahun 2050

(kepadatan populasi adalah 480 juta). Tingkat konsumsi beras adalah sekitar 139

kg beras per kapita per tahun, termasuk tertinggi di dunia dibandingkan dengan

Jepang, Malaysia, dan Thailand hanya sekitar 45 kg, 80 kg dan 90 kg per kapita

per tahun. Saat ini konsumsi beras adalah sekitar 33 juta ton per tahun dan

diperkirakan meningkat menjadi 38,5 juta ton pada tahun 2025 (Suryana, 2008;

Simarmata, 2008; Apryantono, 2008: McCulloch, 2008 dalam Simarmata dkk.,

2011). Jadi, produksi padi harus meningkat setidaknya 4 - 5 % per tahun untuk

menjamin keberlanjutan ketahanan pangan .

Luasan budidaya padi di Indonesia ada sekitar 10 juta ha, meliputi 7,9 juta ha

tanah sawah (padi sawah) dan sisanya adalah padi gogo. Pertumbuhan padi di

Indonesia telah berubah secara dramatis selama lima dekade terakhir. Produksi

padi atau produktivitas padi telah meningkat secara signifikan dari 9 juta ton padi

(produktivitas sekitar 2,5 ton per ha) pada awal 1970 menjadi 29 juta ton pada

tahun 1989 (4,23 ton per ha), dan menjadi 60 juta ton pada tahun 2009 (4,6 ton

per ha). Peningkatan produksi padi sangat berkorelasi dengan adopsi teknologi

baru, mekanisasi, penggunaan bahan kimia (pupuk, agen perlindungan tanaman)

dan penggunaan air irigasi yang maju (ISB, 2004; ISB ,2009; Simarmata, 2009 ;

FAO, 2004 dalam Simarmata dkk., 2011).

Tantangan dalam bidang pertanian adalah meningkatkan produksi agar

pemenuhan permintaan untuk pangan tersedia secara berkelanjutan. Penurunan

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

kesehatan tanah dan kualitas tanah, kelangkaan air dan pengelolaan unsur hara

tanaman yang salah membuat tantangan ini lebih sulit. Dapatkah pertanian

menyediakan makanan yang cukup bagi Indonesia dan bagaimana keberlanjutan

produktivitas padi dan ketahanan pangan? Data terbaru mengungkapkan bahwa

penggunaan pupuk secara intensif yang telah diperkenalkan selama lima dekade

terakhir mungkin telah mencapai titik dimana unsur hara semakin berkurang atau

bisa disebut sudah mencapai ke tingkat yang jenuh (Simarmata dan Joy, 2011;

Abdullah et al 2006; Anthofer, 2004: FSD, 2009).

Pertumbuhan penduduk yang pesat di Indonesia tidak hanya menyebabkan

budidaya pertanian harus dilakukan secara intensif, tetapi juga mempercepat

konversi lahan dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian dan degradasi

lahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk anorganik

dan produk agrokimia secara intensif selama revolusi hijau (awal tahun 1960)

telah memberikan dampak yang besar pada penurunan kesehatan dan kualitas

tanah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan baru-baru ini, kandungan bahan

organik tanah dari tanah pertanian telah mengalami penurunan yang pesat dalam

30 tahun. Diperkirakan sekitar 70 % dari tanah sawah di Indonesia memiliki

kandungan organik rendah (<2% kandungan organiknya) dan ketersediaan unsur

haranya pun rendah. Tanah sawah di Indonesia kebanyakan telah mengalami

degradasi atau penurunan kualitas dan dapat dikategorikan sebagai tanah yang

tidak sehat atau tanah sakit dan sudah memasuki fase yang disebut kelelahan

tanah (Simarmata dan Joy, 2011). Luasnya tanah sawah yang sakit terus

meningkat karena tidak efisiennya penggunaan pupuk anorganik, terutama

nitrogen dan kesalahan dalam pengelolaan bahan organik tanah. Penggunaan

pupuk nitrogen yang berlebih dapat mempercepat dekomposisi bahan organik

tanah (Ingham, 2001: Simarmata, 2009: Abbott dan Murphy, 2004: Gupta dan

Rog, 2004; Sullivan, 2004 dalam Simarmata dkk., 2011). Banyak upaya yang

telah dilakukan untuk mengantisipasi dan memecahkan masalah ini. Penerapan

pertanian ramah lingkungan (praktek pertanian organik dan praktek pertanian

yang baik) menjadi penting dan berkembang pesat. Upaya untuk memulihkan atau

mengembalikan kesehatan dan kualitas tanah pertanian yang terdegradasi telah

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

dilakukan sejak 10 tahun terakhir dengan menggunakan pupuk organik dan

amelioran tanah (Simarmata dkk., 2011).

Kunci keberhasilan dari usaha perbaikan tanah (pemulihan) dan memelihara

kesehatan tanah sawah sangat berkorelasi dengan pengelolaan bahan organik

tanah yang baik dan praktek pertanian yang baik secara berkelanjutan. Pupuk

berbasis organik dengan menggunakan jerami padi atau kompos jerami sebagai

sumber utama pupuk organik untuk tanah sawah tidak hanya bisa memperbaiki

dan meningkatkan kesehatan tanah, tetapi juga mengurangi penggunaan pupuk

anorganik secara signifikan. Penggunaan kompos jerami tidak hanya memperbaiki

dan meningkatkan kesehatan tanah, tetapi juga dapat mengurangi aplikasi pupuk

anorganik setidaknya 25% - 50%. Khususnya, masalah pemenuhan pasokan silika

dan kalium dapat teratasi dengan penggunaan kompos jerami. Setiap 5 ton jerami

mengandung sekitar 70 - 100 kg urea, 50 - 60 kg super fosfat dan 100 - 150 kg

KCl (Dobermann and Fairhurst, 2002; Husnain et al., 2008; Simarmata, 2009;

Turmuktini et al., 2010 dalam Simarmata dkk., 2011).

Budidaya padi (sawah) sangat tergantung pada pasokan air (irigasi) dan

membutuhkan sekitar 3000-5000 liter air untuk memproduksi 1 kg gabah.

Meningkatnya kelangkaan air mengancam keberlanjutan sistem produksi padi

irigasi dan karenanya ketahanan pangan serta mata pencaharian produsen beras

dan konsumen. Tugas menjadi lebih sulit karena perubahan iklim global. Oleh

karena itu, penggunaan air yang lebih efisien harus dilakukan dalam produksi

padi. Beberapa strategi dan manajemen sedang diusahakan untuk mengurangi

kebutuhan air pada budidaya padi, seperti alternatif pembasahan dan pengeringan,

sistem penutup tanah, sistem intensifikasi padi (SRI), padi aerobik dan

penggunaan bedengan (Uphoff 2004, Yuan et al., 2004, Yang dkk., 2004; .

Wikipedia, 2009; Namara et al., 2004; Ho, 2004; Simarmata dan Yuwariah, 2009

dalam Simarmata dkk., 2011).

Sejak tahun 2006 Simarmata., dkk telah mengembangkan sistem intensifikasi

padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT - BO) untuk meningkatkan aktifitas

biologis tanah (keanekaragaman hayati) dan untuk memberikan kondisi yang

menguntungkan bagi pertumbuhan akar padi serta meningkatkan pertumbuhan

dan hasil padi (Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011). Teknologi ini

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

merupakan sistem produksi padi dengan menggunakan dan mengintegrasikan

kekuatan biologi tanah, tanaman, pupuk dan pengelolaan air sesuai dengan

rencana. Tujuan utama dari IPAT-BO menurut Simarmata dkk. (2011) adalah

menghemat air dan memakai teknologi pupuk berbasis organik, selain itu tujuan

lainnya adalah (1) untuk memulihkan, meningkatkan dan menjaga kesehatan serta

kualitas tanah sawah, (2) untuk meningkatkan produktivitas padi secara

berkelanjutan, (3) menciptakan kondisi budidaya yang efisien dan ramah

lingkungan khususnya untuk tanah sawah dalam praktek budidaya padi sawah, (4)

mengurangi aplikasi pupuk anorganik setidaknya 25 %.

Pelaksanaan IPAT-BO sekarang mulai banyak diadopsi di beberapa provinsi

di Indonesia (Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, dan lain-lain) hal

tersebut menunjukkan praktek budidaya tersebut berhasil (menguntungkan) dan

hasil padi pun tinggi sekitar 50 - 100% dibandingkan dengan metode tradisional

tergenang (anaerob permanen) serta mampu menghemat air irigasi secara

signifikan. Hasil gabah yang tinggi ini sangat berkorelasi dengan zona akar yang

bertambah luas sekitar 4 - 10 kali dari biasanya, jumlah anakan produktif sekitar

60-80 anakan, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah/malai, dan juga

meningkatkan keanekaragaman hayati tanah (organisme menguntungkan) dalam

kondisi aerobik. Teknologi IPAT-BO ini dikombinasikan dengan daur ulang

jerami sebagai pupuk organik atau kompos jerami sehingga mampu mengurangi

pupuk anorganik hingga 25 - 50 %, mengurangi air irigasi sebesar 30 - 50% ,

meningkatkan keanekaragaman hayati tanah dan ketersediaan hara serta tujuan

akhirnya adalah meningkatkan hasil padi setidaknya 25% lebih baik dibandingkan

dengan metode konvensional dan menghasilkan sekitar 6-11 ton gabah padi per

hektar (Simarmata 2008; Simarmata 2009 dalam Simarmata dkk., 2011). Makalah

ini membahas mengenai ulasan tentang IPAT-BO dalam penghematan air dan

teknologi jerami kompos untuk memulihkan atau perbaikan tanah, meningkatkan

dan mempertahankan kesehatan tanah sawah untuk meningkatkan produktivitas

padi dan menjamin keamanan pangan secara berkelanjutan.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah agar kita dapat

mengetahui produksi padi dengan metode Intensifikasi Padi Aerob Terkendali

Berbasis Organik (IPAT-BO) untuk meningkatkan produktivitas padi. Selain itu,

makalah ini disusun untuk memenuhi tugas “Teknologi Produksi Tanaman IV”.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali-Berbasis Organik

Intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) adalah sistem

produksi padi dengan mengintegrasikan kekuatan biologi tanah, tanaman, pupuk

(pupuk organik, pupuk hayati dan pupuk anorganik) dan pengelolaan air untuk

mencapai tujuan utama yang ditargetkan. Tujuan utama IPAT-BO adalah untuk

mencapai dan mempertahankan produktivitas padi yang tinggi, memperbaiki dan

meningkatkan kesehatan agroekosistem (kualitas tanah & kesehatan tanah),

termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologis dan aktifitas biologis tanah.

Oleh karena itu, memaksimalkan input lokal, terutama pupuk organik (kompos

jerami, kotoran sapi atau lainnya) dan pupuk hayati menjadi prioritas utama dan

dikenal dengan istilah Low External Inputs for Suistainable Rice Cultivation

(LEISRC) atau input eksternal rendah untuk budidaya padi berkelanjutan

(Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011).

Pengelolaan input lokal dirancang untuk mengoptimalkan proses biologis

dalam mencapai produktivitas padi yang diinginkan (output) dan kualitas

lingkungan yang lebih baik. Sistem intensifikasi padi aerob terkendali berbasis

organik ini memanfaatkan yang sudah ada atau tersedia di alam dengan

mengoptimalkan bahan organik dan aplikasi pupuk hayati, air, dan pengelolaan

budidaya yang baik untuk meningkatkan kinerja biologi tanah serta

meminimalkan penggunaan pupuk anorganik (Simarmata dkk., 2011).

2.2. Pilar IPAT-BO

Kunci keberhasilan sistem intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik

(IPAT-BO) dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman padi dan aktifitas biologi

tanah (daya biologi tanah) di dalam tanah sangat tergantung pada empat konsep

dasar atau pilar IPAT-BO menurut Simarmata dkk. (2011), sebagai berikut: (1)

ekosistem tanah sawah, (2) kehidupan tanah sebagai pupuk pabrik alami (pupuk

hayati tanaman) atau bioreaktor, (3) kekuatan biologis dalam beras, dan (4)

pengelolaan unsur hara terpadu.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

a. Perubahan Ekosistem Padi

Sejak dahulu ekosistem padi ditandai dengan adanya genangan permanen.

Akibatnya, semua organisme aerobik tidak bisa hidup dalam tanah karena

kehabisan oksigen, yang diperlukan untuk respirasi aerobik. Kekurangan oksigen

menyebabkan kondisi anaerob dan memberikan efek negatif yang signifikan

terhadap aktifitas organisme yang menguntungkan dan pertumbuhan akar. Dengan

mengubah ekosistem padi dari anaerobik (tergenang permanen) dengan kondisi

aerobik menghasilkan perubahan yang signifikan dalam tanah, terutama pada

aktifitas biologis tanah dan pertumbuhan akar. Kondisi lembab pada tanah hingga

kondisi berlumpur dapat menyebabkan oksigen tersedia bagi respirasi organisme

tanah. Fauna meso dan mikro memainkan peranan penting untuk menciptakan dan

membangun lubang atau pori-pori tanah kecil yang sangat penting untuk udara

dan suplai oksigen dalam kondisi berlumpur (cacing). Lubang ini mendukung

aktifitas biologis dalam tanah dan menyebabkan kekuatan biologi tanah

meningkat kembali. Lubang yang dibuat oleh cacing ini mengandung banyak zat

pertumbuhan makro atau mikro dan unsur hara penting lainnya, seperti vitamin.

Sebaliknya di bawah genangan permanen, tidak ada aktifitas cacing (biota aerob)

sehingga tidak ada lubang atau pori di permukaan tanah sawah (Uphoff 2004;

Hengsdijk, dan Bindraban, 2001; Simarmata, 2008; Bouman et al., 2002 dalam

Simarmata dkk., 2011). Selain itu, pertumbuhan akar dan aktifitas mikroba

meningkat drastis pada kondisi aerob dengan kondisi tanah macak-macak

(Gambar 1).

Populasi mikroba menguntungkan (pemecah masalah nitrogen nonsimbiotik

seperti Azotobacter sp. & Azospillum sp. dan bakteri pelarut fosfat) dan

pertumbuhan akar meningkat sangat drastis dibandingkan dengan kondisi

anaerobik (Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011). Sistem perakaran padi

aerobik dengan kondisi berlumpur adalah sekitar 5-10 kali lebih besar dari

ekosistem padi yang digenangi permanen. Jika sistem akar berkembang optimal

dengan produksi padi, potensi hasil dari berbagai varietas padi dapat meningkat

setidaknya 2 sampai 3 kali. Oleh karena itu, perubahan ekosistem padi yang

sebelumnya digenangi permanen perlu dilakukan. Ekosistemnya dirubah menjadi

aerob (tanah macak-macak) untuk mendapatkan kondisi yang aerob (kapasitas

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

lapang untuk berlumpur) sehingga peningkatan produksi padi tercapai dan

penghematan air irigasi bisa tercapai.

Gambar 1. Perakaran dengan sistem IPAT-BO dalam kondisi aerob 3-5 kali lebih

besar dibandingkan dengan kondisi anaerob

Sumber: Simarmata dkk. (2011)

b. Makhluk Hidup Tanah sebagai Faktor Pupuk Hayati

Ekosistem tanah sawah dalam keadaan aerobik dengan kondisi berlumpur dan

sistem yang sangat kompleks ditandai secara biologi, kimia dan proses fisik yang

nyata dipengaruhi oleh faktor lingkungan hidup. Mikroorganisme yang hidup di

dalam tanah bersama-sama dengan enzim exocellular meso fauna dan makro

fauna tanah melakukan semua reaksi yang dikenal reaksi metabolik. Satu hektar

humus subur sehat mengandung sekitar 1200 kg bakteri, 1200 kg actinomycetes,

2400 kg cetakan, 120 kg ganggang, 240 kg protozoa, 51 kg nematoda, 120 kg

serangga, 1200 kg cacing dan 2400 kg dari akar tanaman. Satu per gram tanah

lembab dalam rhizosfer berisi sekitar 1.200 x 106 bakteri, 46 x 10 actinomycetes,

12 x 105 jamur dan 5 x 103 alga (Sullivan, 2001; Ingham, 2001 dalam Simarmata,

2011). Semua organisme ini dari bakteri kecil hingga besar cacing tanah dan

serangga makan, tumbuh dan berinteraksi dalam ekosistem tanah untuk

membentuk jaring makanan yang mempengaruhi ekosistem tanah sawah secara

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

signifikan. Jaringan makanan adalah komunitas organisme hidup seluruh atau

sebagian besar hidup mereka di tanah dan disebut sebagai komponen hidup tanah.

Oleh karena itu di bawah kondisi aerobik berlumpur, tanah sawah adalah tempat

hidup dan bertindak sebagai pembuatan pupuk hayati alam atau tanaman. Adanya

organisme tanah yang menguntungkan bagi ketersediaan hara cukup besar.

Masalah nitrogen nonsimbiotik dapat diselesaikan dan dimanfaatkan hingga 50 -

100 kg N per hektar, mikroba pelarut fosfat dapat meningkatkan ketersediaan P

hingga 50%. Selain itu, dengan ditambahkan jerami tingkat mineralisasi lebih

cepat memberikan nutrisi dan energi untuk aktifitas biologis dalam mendukung

pertumbuhan padi. Tanah yang tergenang atau di bawah kondisi anaerob akan

menyebabkan tanah sebagai pembuat pupuk alami menjadi tidak bermanfaat,

sementara petani menghabiskan banyak uang untuk membeli pupuk organik

(Uphoff, 2004; Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011).

Tanah sawah sebagai pabrik pupuk alami (bioreaktor) membutuhkan sumber

energi yang cukup untuk memungkinkan mesin bekerja dengan baik. Sumber

energi untuk mesin biologis bergantung pada ketersediaan bahan organik. Bahan

organik adalah poin penting dari masuknya energi kimia menjadi ekosistem tanah

sawah. Akibatnya, aktifitas mikroba heterotrofik, seperti bakteri, jamur dan

actinomycetes yang bergantung dengan adanya bahan organik. Kehadiran mikroba

sebagai tingkat trofik pertama memungkinkan aliran energi untuk tingkat trofik

berikutnya dalam jaringan makanan. Sebagai organisme yang menguraikan bahan

kompleks, atau mengkonsumsi organisme lain, nutrisi akan diubah dari satu

bentuk ke bentuk bentuk lain, dan dibuat tersedia bagi tanaman dan organisme

tanah yang lain. Organisme tanah melepaskan mineral yang terikat, mengubahnya

menjadi unsur yang tersedia untuk tanaman yang tumbuh di jaringan. Organisme

yang tidak terlibat langsung dalam mendekomposisi limbah tanaman dapat

memberi makan pada satu sama lain atau produk limbah lain atau zat lain yang

dibuatnya. Di antara zat yang dilepaskan oleh berbagai mikroba adalah vitamin,

asam amino, gula, antibiotik, gusi, dan lilin, yang sangat penting untuk

mempertahankan tanah tetap hidup dan sehat. Hal ini tidak mengherankan bahwa

tanah sawah aerobik dengan kondisi berlumpur dibajak dan diberi pupuk oleh

organisme tanah (Ingham, 2001; Sullivan, 2004 dalam Simarmata, 2011).

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Kerja pupuk hayati sangat tergantung pada pengelolaan air dan bahan organik

(pupuk organik). Pengelolaan air atau suplai air irigasi bertujuan untuk menjaga

kondisi tanah sawah di bawah kapasitas lapang dengan kondisi berlumpur dan

untuk memenuhi kebutuhan air padi. Kondisi air atau permukaan air diatur

melalui kanal air. Jarak antara kanal air dapat berkisar dari 5 - 10 m tergantung

pada tingkat tanah sawah. Jerami padi digunakan sebagai sumber bahan organik

utama untuk memasok energi kimia ekosistem tanah dan nutrisi penting (makro

dan mikro) untuk tanaman padi. Penerapan jerami kompos atau pupuk organik

lainnya berperan penting dalam merangsang pertumbuhan mikroba yang

menguntungkan (penambat N, pelarut fosfat dan bakteri penghasil fitohormon)

dan penyedia bahan organik untuk fauna tanah. Penerapan pupuk organik

ditingkatkan sangat direkomendasikan, relatif tingginya kandungan nutrisi

(tingginya kandungan zat humat) dan zat bioaktif lainnya seperti asam amino,

gula, dan vitamin. Keunggulan produk ini termasuk mudah penanganan dan

aplikasi, relatif rendah ditingkat aplikasi (dosis), kualitas standar, relatif bebas dari

kontaminan (biji gulma dan penyakit tular tanah) dan berlangsung lebih lama di

tanah (Simarmata dkk., 2011).

c. Kekuatan Biologis Padi

Sejak dahulu, masyarakat dan ilmuan percaya bahwa padi merupakan tanaman air

dan tumbuh baik di genangan air. Namun baru-baru ini diketahui bahwa padi

bukanlah tanaman air. Meskipun padi dapat bertahan ketika akarnya terus

menerus terendam air, tetapi tidak akan tumbuh di bawah kondisi kekurangan

oksigen. Padi tidak tumbuh dengan baik dalam genangan air ketika akarnya hanya

mendapat oksigen langsung dari udara. Dalam kondisi terendam, akar tumbuh

terbatas dan tanaman padi mengeluarkan banyak energi serta beberapa bagian

korteks pada akar hancur membentuk kantong udara (jaringan penyimpan udara

(aerenkim) sehingga oksigen dapat mencapai jaringan akar. Selain itu, dalam

kondisi tergenang hingga ¾ dari akar akan mati pada saat berbunga (pembentukan

malai) (Uphoff, 2004; Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011). Hasil

lapangan menunjukkan bahwa ruang yang lebih luas dikombinasikan dengan

pengelolaan air dan hara yang baik dapat meningkatkan jumlah anakan dan

pertumbuhan yang signifikan (Gambar 2).

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Gambar 2. Jumlah anakan sekitar 60-80 per rumpun dan kenampakan

pertumbuhan padi IPAT-BO (varietas Ciherang), saat padi tergenang hanya

menghasilkan 20-30 anakan

(Dok. Simarmata, 2006-2007 dalam Simarmata, 2011)

Pengelolaan air berfokus untuk mempertahankan kondisi aerobik pada padi

sawah macak-macak. Dua bibit muda yang berumur 8-12 hari ditanam dengan

jarak 5 cm dikombinakasikan dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm atau 30 cm x 35

cm. Jarak yang luas dimaksudkan agar akar bibit tunggal tumbuh secara mandiri

pada tahap awal. Pemakaian pupuk organik bertujuan untuk mengamankan

pasokan nutrisi yang cukup dan untuk menjaga aktifitas biologis optimal dalam

ekosistem tanah (Simarmata dkk., 2011).

d. Pengelolaan Unsur Hara

Budidaya padi secara intensif menyebabkan unsur hara yang melimpah hilang

dari ekosistem tanah sawah. Aplikasi pemupukan tradisional dalam budidaya padi

difokuskan hanya pada unsur hara primer seperti N, P, dan K, terutama nitrogen

(sangat murah karena harga bersubsidi). Akibatnya menyebabkan penurunan

unsur hara dalam tanah. Selain itu, aplikasi nitrogen yang berlebihan akan

mempercepat dekomposisi bahan organik tanah membahayakan lingkungan

(pencemaran kualitas tanah, air, dan udara). Setidaknya ada enam belas atau

mungkin sembilan belas unsur hara yang penting untuk pertumbuhan tanaman.

Semua unsur hara harus ada dalam jumlah yang cukup sesuai dengan

perkembangan atau pertumbuhan tanaman untuk menjamin produktivitas padi

yang tinggi. Oleh karena itu, pengelolaan unsur hara atau pemupukan dengan

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

metode IPAT-BO didasarkan pada orientasi keluarannya (Gambar 3). Jumlah

suplai unsur hara ke dalam agroekosistem sebagai masukan dihitung sesuai

dengan kebutuhan tanaman untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan

tanaman untuk mencapai produktivitas yang ditargetkan. Tanaman membutuhkan

unsur hara sebagai bahan baku untuk perkembangan tanaman. Ketersediaan unsur

hara dalam tanah dan agroekosistem (sifat-sifat tanah, bentang alam, dan iklim)

dan juga harus sesuai dengan karakteristik pupuk yang diberikan (kelarutan,

indeks garam, reaksi, dll) harus terintegrasi dalam merancang pengelolaan

masukan (pengelolaan bahan baku). Hal ini diperlukan untuk menjaga

keseimbangan antara masukan dan keluaran untuk menghindari kekurangan atau

kelebihan unsur hara, gangguan unsur hara dalam tanah, dan untuk menjaga

keberlanjutan sumber daya alam. Dalam jangka panjang, hal ini mungkin

bertujuan untuk mendapatkan hasil yang tinggi secara berkelanjutan ketika unsur

hara berada dalam keadaan seimbang (ketika masukan lebih besar daripada

kehilangan). Dengan demikian, unsur hara yang hilang dari tanah oleh tanaman

harus dikembalikan kepada ekologi semula (Simarmata dkk., 2011).

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Gambar 3. Rancangan pengelolaan unsur hara terpadu berorientasi IPAT-BO

berdasarkan bagan warna daun (BWD)

Sumber: Simarmata dkk. (2011)

Dalam IPAT-BO dianjurkan penggunaan aplikasi keseimbangan bahan

organik dan mineral. Menurut Simarmata dkk. (2011), pemupukan dengan metode

IPAT-BO menghasilkan sekitar 8-12 ton gabah yang diikuti; (1) pengumpulan

jerami padi atau kompos jerami dilakukan selama pengolahan lahan, (2) satu hari

atau sebelum tanam sekitar 50 kg urea, 25 kg KCL dan 50 kg SP-36 (sebagai

alternatif adalah 50 kg urea dan 100 kg NPK) yang diaplikasikan ke dalam tanah,

(3) aplikasi sekitar 50-100 kg urea dilakukan pada 18-21 hari setelah tanam atau

setelah penyiangan pertama (bagan warna daun dapat digunakan sebagai indikator

untuk menentukan tingkat nitrogen), (4) 50-100 kg urea dan 25-50 kg KCL atau

50 kg urea dan 100-150 kg NPK (16:16:16) diaplikasikan 35-38 hari setelah

tanam. Selain itu, dapat digunakan pupuk organik cair atau multinutrisi yang

dapat memperbanyak unsur hara di dalam tanah dengan disemprotkan ke tanaman

pada 15, 25, 35, 45, dan 55 hari setelah tanam.

2.3. Ringkasan Hasil Panen Metode IPAT-BO

IPAT-BO kini banyak diadopsi dengan mengumpulkan jerami padi selama

pengolahan lahan. Bibit muda tunggal dipindahkan pada umur 8-12 hari dengan

jarak yang lebih lebar (30 cm x 30 cm atau 30 cm x 35 cm) dalam pola persegi.

Bibit ditanam pada jarak tanam (25 x 30 cm atau 30 x 30 cm atau 30 x 35 cm).

Bibit tunggal ditanam dalam metode kembar (dua bibit tunggal ditanam pada jalur

yang berjarak 5 cm pada setiap titik penanaman pada saat penanaman campuran,

disebut sebagai metode bibit kembar: “IPAT-TS” untuk memungkinkan sistem

perakaran bibit tumbuh baik pada tahap awal. Bibit ditanam dengan menarik atau

mendorong bibit semai ke dalam tanah secara vertikal hingga membentuk huruf L.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Dengan bentuk L seperti itu, akar akan lebih mudah untuk terus tumbuh ke bawah

tanah (Simarmata dkk., 2011).

Menurut penelitian Simarmata dkk. (2011), aplikasi air atau irigasi diperlukan

untuk mengatur kelembaban tanah di bawah kapasitas lapang dengan kondisi

macak-macak sampai awal kematangan bulir. Pengaturan air diperlukan untuk

memungkinkan akar padi tumbuh dengan baik dan untuk merangsang

pertumbuhan organisme tanah serta keanekaragaman hayati. Satu atau dua hari

sebelum penyiangan (manual atau mekanis), petak sawah irigasi digenangi air

dengan kedalaman 1-2 cm untuk mengendalikan gulma dengan mudah dan

meningkatkan aerasi tanah. Biasanya penyiangan dilakukan 3 kali (2, 4, dan 6

minggu setelah pemindahan tanam).

Hasil panen IPAT-BO dari beberapa provinsi atau kabupaten di Indonesia

menurut penelitian Simarmata dkk. (2011) dirangkum pada Tabel 1. Seperti yang

terlihat pada Tabel 1, pemakaian IPAT-BO dengan berbagai varietas padi di

bawah musim tanam yang berbeda di beberapa provinsi di Indonesia cukup

mudah untuk mencapai 40-60 anakan pada tanaman yang subur dan berisi sekitar

150-250 butir per malai. Hasil rata-rata yang berkisar 8 sampai 10 ton hasil gabah

per hektar (sekitar 50-100% lebih tinggi dibandingkan dengan cara tradisional

pada sistem padi tergenang). Hasil tertinggi sistem IPAT-BO ini adalah sekitar 12

ton per hektar pada tahun 2008 yang diperoleh di Sekolah Lapangan Pengolahan

Tanaman Terpadu, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung. Metode

IPAT-BO bukan hanya meningkatkan hasil padi tanpa menggunakan varietas

unggul, tetapi juga dapat meningkatkan hasil gabah kering sebesar 5-10%. Selain

meningkatkan hasil padi, bulir berisi lebih tinggi dibandingkan dengan bulir

hampa. Selain itu, berdasarkan hasil lapangan dan laporan kelompok tani dan

penyuluhan telah memverifikasi bahwa tanaman dengan metode IPAT-BO lebih

tahan terhadap hama dan penyakit serta lebih tahan terhadap stress abiotik atau

iklim (kekeringan). Panjang siklus tanaman juga berkurang sebesar 5-10 hari.

Semakin cepat waktu panen sangat berhubungan dengan kondisi stress persemaian

selama pemindahan tanam dan kondisi akar setelah tanam apakah dapat tumbuh

optimal tanpa adanya fase diam (produksi atau pertumbuhan akar stabil).

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Kunci keberhasilan metode IPAT-BO tergantung pada air irigasi dan

pengelolaan pupuk. Pasokan air dengan irigasi terfokus untuk mempertahankan

kelembaban tanah pada kondisi macak-macak untuk memungkinkan sistem

perakaran dan biota tanah berkembang optimal. Berdasarkan pengalaman di

lapangan, metode IPAT-BO dapat mengurangi penggunaan air hingga 30% - 50%.

Keluaran aplikasi IPAT-BO terintegrasi yang berorientasi pemupukan ini

ditujukan untuk memberikan unsur hara yang cukup untuk memenuhi kebutuhan

tanaman berdasarkan hasil yang ditargetkan dengan suatu rancangan dan untuk

meningkatkan kualitas tanah dan kesehatan tanah. Oleh karena itu, penggunaan

pupuk organik dan pupuk hayati diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan

unsur hara dan aktifitas biologis dalam tanah. IPAT-BO ini berfokus pada

penerapan jerami padi yang merupakan produk utama dalam budidaya padi. Hal

ini juga diketahui bahwa rasio antara jerami dan hasil gabah berkisar 1,0-1,5 kali.

Jerami adalah satu-satunya bahan organik tersedia dalam jumlah yang signifikan

untuk petani padi. Sekitar 40% dari nitrogen (N), 30 sampai 35% fosfor (P), 80

hingga 85% dari kalium (K), dan 40 sampai 50% dari sulfur (S) yang diambil dari

sisa tanaman padi pada bagian vegetatif saat tanaman dewasa (Dobermann and

Fairhurst, 2002 dalam Simarmata 2011).

Kandungan gizi dari setiap jerami padi sebesar 5 ton sama dengan 50 kg N, 10

kg P2O5 dan 120 kg K2O. Jerami juga merupakan sumber nutrisi penting seperti

seng (Zn) dan silika (Si). Dengan memasukkan jerami padi selama pengolahan

lahan yang dikombinasikan dengan pupuk hayati dapat mengurangi pemakaian

pupuk anorganik secara signifikan. Berdasarkan laporan lapangan, penerapan 2-6

ton/ha jerami kompos dikombinasikan dengan penggunaan pupuk hayati dan

penambahan pupuk organik cair sebagai multinutrisi (Nazarudin et al., 2010;

Simarmata, 2009 dalam Simarmata, 2011) dapat mengurangi penggunaan pupuk

anorganik sebesar 50%. Metode IPAT-BO merekomendasikan inokulasi jerami

terlebih dahulu yang bertumpuk dengan dekomposer (Trichoderma sp.) sekitar 2-

3 minggu sebelum diaplikasikan di sawah dan selama pengolahan tanah inokulan

tersebut dicampurkan ke dalam tanah untuk mempercepat dekomposisi jerami dan

untuk menekan patogen dalam jerami (Simarmata dkk., 2011).

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Tabel 1. Ringkasan hasil gabah kering dengan sistem Intensifikasi Padi Aerob

Terkendali-Berbasis Organik di berbagai provinsi/kabupaten di Indonesia (musim

tanam 2007-2009)

2.4. Manajemen Perbaikan Tanah Sawah

2.4.1. Konsep Dasar

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Konsep memulihkan atau perbaikan kesehatan tanah didasarkan pada fungsi

dasar tanah yang sehat di bawah ekosistem alam, seperti (1) untuk memberikan

media tumbuh yang baik untuk sistem perakaran dan organisme tanah (2)

mengatur dan membagi aliran zat terlarut; (3) penyaringan dan buffering,

menurunkan dan mendetoksifikasi bahan organik dan anorganik, termasuk dari

industri dan pengolahan rumah tangga serta endapan atmosfer, (4) menyimpan

dan memperbaharui nutrisi dan unsur-unsur lain di dalam biosfer bumi (5) untuk

mempertahankan dan memelihara keragamaan komunitas organisme tanah

(biodiversitas tanah) yang berperan penting untuk mengendalikan penyakit

tanaman, hama dan gulma, untuk membentuk asosiasi simbiosis menguntungkan

dengan akar tanaman, (6) untuk meningkatkan kualitas tanah, air dan nutrisi

kapasitas menyimpan nutrisi, (7) meningkatkan produksi tanaman (Seybold et al.,

1998 dan Ingham, 2001 dalam Siamarmata dkk., 2011).

2.4.2. Kompos Jerami untuk Memulihkan Kesehatan Tanah Sawah

Secara sederhana, fungsi utama dari pupuk organik seperti kompos jerami

dalam tanah akan berperan sebagai: (1) penyedia bahan nutrisi. Jerami padi

berasal dari sisa tanaman dan mengandung semua nutrisi penting bagi tanaman

(baik itu makro maupun mikronutriennya) dan energi kimia yang dihasilkan dari

fotosintesis. Oleh karena itu, biomassa jerami sebagai bahan organik adalah

gudang untuk nutrisi dan energi kimia. Banyak nutrisi yang baik atau energi yang

dilepaskan oleh mikroba (mineralisasi atau dekomposisi dan oksidasi zat organik).

Pelepasan nutrisi yang sangat penting untuk tanaman (bentuk tersedia untuk

tanaman) dan fraksi organik stabil (humus) menyerap dan mengikat nutrisi dalam

bentuk tersedia bagi tanaman (2) aliran energi (supply) ke ekosistem tanah, (3)

agen untuk mengaktifkan dan mengatur sistem biologis dalam tanah. dan (4) agen

untuk meningkatkan kesuburan tanah, dan kualitas tanah (Simarmata dkk., 2011).

Akibatnya, pupuk organik dalam bentuk kompos jerami sangat penting dan

memiliki peran penting dalam tanah dan dapat dikategorikan sebagai jantung

ekosistem pada tanah sawah.

Selain itu, kompos jerami yang kaya akan bahan organik karbon (30 - 40%)

mengandung sekitar 1,5% N ; 0,3 - 0,5% P2O5, 2 - 4% K2O, 3 - 5% SiO2) dan hara

mikro, seperti Cu, Zn, Mn, Fe, Cl, Mo. Sebenarnya, hasil utama budidaya padi

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

tidak menghasilkan biji-bijian itu sendiri tetapi pupuk organik dalam bentuk

jerami padi. Secara umum produksi jerami sekitar 1,5 x hasil gabah padi. Jika

produktivitas padi adalah sekitar 6 - 8 ton gabah/ha, maka produksi jerami sekitar

9 - 12 ton/ha. Jerami mengandung nutrisi dan berpotensi untuk menggantikan

pupuk anorganik, seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2: Kandungan nutrisi jerami, nilai ekonomis (IDR) yang potensial untuk

menggantikan pupuk utama anorganik (Simarmata dkk., 2011)

Seperti terlihat pada Tabel 2 di atas, penggunaan kembali jerami sebagai

pupuk organik dapat menggantikan pupuk anorganik hingga 50% dari nutrisi

utama, seperti N, P dan K., sedangkan nutrisi lainnya (Ca, Mg, Si, S) dan nutrisi

mikro (Cu, B, Zn, Fe) bisa sepenuhnya digantikan. Penerapan jerami juga

bertindak sebagai penyedia bahan bakar atau energi dalam ekosistem tanah, setiap

5 ton jerami akan memasok sekitar 2000 kg karbon organik ke dalam tanah.

Dengan demikian, aktifitas organisme tanah sangat berkorelasi dengan pasokan

jerami yang bertindak sebagai sumber energi (bahan bakar) (Simarmata dkk.,

2011).

Pengomposan jerami dengan teknologi yang tepat akan meningkatkan tidak

hanya nutrisi dan organisme menguntungkan, tetapi juga penting untuk

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

mengendalikan mikroba patogen yang telah ada dalam jerami. Peningkatan

populasi organisme dalam kompos jerami (bakteri, jamur, hewan dan lain-lain)

akan meningkatkan kualitas kompos jerami secara signifikan (Gambar 4). Secara

umum, kompos jerami sekitar 30 - 40% dari total karbon (kaya humus dan asam

organik), 1 - 1,5%, 0,5% P205, N, 2 - 3% K2O, 3 - 5% dari SiO2 dan nutrisi penting

lainnya.Dalam pengomposan jerami yang dilakukan secara in situ telah

dikembangkan (Simarmata dan Joy, 2010 dalam Simarmata dkk., 2011) untuk

perbaikan tanah sawah di Indonesia (Gambar 4).

Gambar 4. Pengomposan jerami langsung (in situ) (A = persiapan inokulan

dekomposer, B = kotak kompos, proses menimbun jerami dan inokulan, C =

tumpukan jerami, D = penutupan tumpukan jerami. G & H = miselium jamur

tumbuh baik pada kompos jerami dan I = kompos jerami matang

Sumber: Simarmata dkk. (2011)

2.4.3. Metode Aplikasi

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Secara singkat, penerapan kompos jerami dapat diterapkan (1) sebelum

persiapan lahan dan (2) setelah tanam untuk perbaikan atau untuk memulihkan

kesehatan tanah pada padi sawah.

(a) Sebelum Persiapan Lahan. Sesaat sebelum lahan diolah dengan traktor,

kompos jerami (biasanya 2 - 3 minggu yang memiliki C/N ratio 30-40 setelah

2 - 3 minggu proses pengomposan) dan dapat diterapkan pada permukaan

sawah homogen. Selanjutnya, tanah tersebut diolah menggunakan traktor atau

peralatan lain untuk mencampurkan kompos jerami ke dalam tanah (Gambar

3). Pada umumnya satu minggu setelah pencampuran, rasio C/N tanah akan

menurun menjadi < 20 dan bibit padi atau benih padi bisa ditanam.

Gambar 4. Penyebaran dan pencampuran kompos jerami dan berikut dengan

pengolahan lahan atau persiapan lahan

Sumber: Simarmata dk., 2011

(b) Setelah Pemindahan Tanam: Penerapan kompos jerami matang (C/N

ratio dewasa sekitar 20 atau kurang) diterapkan sekitar 2-3 minggu setelah

tanam. Penggabungan atau penempatan kompos jerami dalam baris

tanaman dilakukan setelah penyiangan pertama (Gambar 5). Selama

kegiatan ini, gulma yang masih ada dan tumbuh lekat dengan rumpun padi

bisa dihilangkan secara manual. Selanjutnya, disarankan penerapan pupuk

anorganik untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Gambar 5: Aplikasi kompos jerami dalam baris tanaman setelah

penyiangan pertama (sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam). Jerami

ditempatkan atau dimasukkan ke dalam tanah dengan dengan berjalan

Sumber: Simarmata dkk. (2011)

2.4.4. Hasil Lapangan

Penerapan kompos atau jerami menunjukkan dampak yang besar pada

peningkatan kualitas tanah dan kesehatan tanah. Kandungan karbon organik,

ketersediaan nutrisi dan keanekaragaman organisme hayati dalam tanah

meningkat secara signifikan. Penerapan 2-6 ton / ha kompos jerami meningkatkan

hasil padi dan mengurangi tingkat pupuk anorganik secara signifikan (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh kompos jerami hasil gabah di bawah tingkat yang berbeda dari

pemupukan kalium

Sumber: Nazarudin dkk. (2010) dalam Simarmata dkk. (2011)

Catatan: Nilai dalam baris atau kolom diikuti oleh huruf yang sama (modal

vertikal dalam kolom) tidak berbeda nyata menurut uji LSD 0,95.

Diperkirakan bahwa aplikasi 2 - 4 ton kompos jerami dalam waktu 3 tahun

(sekitar 6 musim tanam) akan dapat memulihkan dan meningkatkan kesehatan

tanah sawah. Sebagai indikator pemulihan kesehatan tanah dapat dilihat pada

indikator utama seperti biologi, kimia dan indikator fisik. Secara singkat,

kandungan karbon organik harus lebih dari 2% dan ketersediaan nutrisi utama

setidaknya termasuk kategori sedang. Selanjutnya, perlu pengelolaan bahan

organik tanah dengan menggunakan jerami sebagai sumber utama pupuk organik.

Kebiasaan untuk membakar jerami harus dihindari atau dilarang ketat.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Pembakaran jerami tidak hanya mencemari lingkungan tetapi juga menyebabkan

dengan hilangnya nutrisi utama secara signifikan. Sekitar 91% C, 91% N, P 45%,

70% K, 50% Ca, Mg 20% dan kerugian nutrisi lainnya akibat dari pembakaran

jerami (Husnain et al., 2008 dalam Simarmata dkk., 2011).

Kunci keberhasilan memulihkan dan menjaga kesehatan tanah untuk

penanaman padi berkelanjutan menjamin keamanan pangan di Indonesia sangat

tergantung pada pengelolaan bahan organik tanah. Penggunaan jerami sebagai

sumber utama organik pupuk adalah mutlak benar. Oleh karena itu dengan biaya

rendah dan agen hayati efektif yang dapat digunakan sebagai agen untuk

pemulihan kembali dan menjaga kesehatan dari ekosistem tanah. Dengan

demikian, IPAT-BO dikombinasikan dengan pengelolaan jerami padi dapat

dilakukan untuk mempercepat perbaikan tanah sawah dan meningkatkan

produktivitas padi di Indonesia secara berkelanjutan.

2.5. Perbedaan dengan Sistem Tanam Padi Jajar Legowo

Legowo adalah cara tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan

tanaman kemudian diselingi oleh 1 baris kosong dimana jarak tanam pada barisan

pinggir ½ kali jarak tanaman pada baris tengah (Gambar 6). Dari hasil penelitian

Bobihoe (2011), tipe terbaik untuk mendapatkan produksi gabah tertinggi dicapai

oleh legowo 4:1, dan untuk mendapat bulir gabah berkualitas benih dicapai oleh

legowo 2:1.

Jarak tanam untuk padi seperti varietas Ciherang cukup dengan jarak 20 cm,

sedangkan untuk varietas padi yang punya penampilan lebih lebat dan tinggi perlu

diberi jarak tanam yang lebih lebar misalnya antara 22,5 - 25 cm. Demikian juga

pada tanah yang kurang subur cukup digunakan jarak tanam 20 cm, sedangkan

pada tanah yang lebih subur perlu diberi jarak tanam yang lebih lebar misalnya

22,5 cm atau pada tanah yang sangat subur jarak tanamnya 25 cm. Pemilihan

ukuran jarak tanam bertujuan agar mendapat hasil yang optimal (Bobihoe, 2011).

Rekayasa teknik tanam padi dengan cara tanam Jajar Legowo 2:1 atau 4:1.

Berdasarkan hasil penelitian Bobihoe (2011), terbukti dapat meningkatkan

produksi padi sebesar 12-22%. Disamping itu sistem Legowo yang memberikan

ruang yang luas (lorong) sangat cocok dikombinasikan dengan pemeliharaan ikan

(mina padi Legowo).

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

Gambar 6. Padi Jajar Legowo

2.5.1. Tujuan Legowo

1. Memanfaatkan sinar matahari bagi tanaman yang berada pada bagian

pinggir barisan. Semakin banyak sinar matahari yang mengenai tanaman,

maka proses fotosintesis oleh daun tanaman akan semakin tinggi sehingga

akan mendapatkan bobot buah yang lebih berat.

2. Mengurangi kemungkinan serangan hama, terutama tikus. Pada lahan yang

relatif terbuka, hama tikus kurang suka tinggal di dalamnya.

3. Menekan serangan penyakit. Pada lahan yang relatif terbuka, kelembaban

akan semakin berkurang, sehingga serangan penyakit juga akan berkurang.

Mempermudah pelaksanaan pemupukan dan pengendalian hama /

penyakit. Posisi orang yang melaksakan pemupukan dan pengendalian

hama / penyakit bisa leluasa pada barisan kosong di antara 2 barisan

legowo.

4. Menambah populasi tanaman. Misal pada legowo 2 : 1, populasi tanaman

akan bertambah sekitar 30 %. Bertambahnya populasi tanaman akan

memberikan harapan peningkatan produktivitas hasil.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

2.5.2. Teknik Penerapan

a) Pembuatan Baris Tanam

Lahan sawah dalam keadaan macak-macak. Ratakan dan lakukan

pembentukan garis tanam yang lurus dan jelas dengan cara menarik alat garis

tanam yang sudah dipersiapkan sebelumnya serta dibantu dengan tali yang

dibentang dari ujung ke ujung lahan.

b) Tanam

Gunakan 1-3 bibit per lubang tanam pada perpotongan garis yang sudah

terbentuk. Cara laju tanam sebaiknya maju agar perpotongan garis untuk lubang

tanam bisa terlihat dengan jelas. Pada alur pinggir kiri dan kanan dari setiap

barisan legowo, populasi tanaman ditambah dengan cara menyisipkan tanaman di

antara 2 lubang tanam yang tersedia.

c) Pemupukan

Posisi orang yang melakukan pemupukan berada pada barisan kosong di

antara 2 barisan legowo. Pupuk ditabur ke kiri dan ke kanan dengan merata,

sehingga 1 kali jalan dapat melalukan pemupukan 2 barisan legowo. Khusus cara

pemupukan pada legowo 2 : 1 boleh dengan cara ditabur di tengah alur dalam

barisan legowonya.

d) Penyiangan

Penyiangan bisa dilakukan dengan tangan atau dengan menggunakan alat

siang seperti landak/gasrok. Apabila penyiangan dilakukan dengan alat siang,

cukup dilakukan ke satu arah sejajar legowo dan tidak perlu dipotong. Di tengah

barisan legowo bisa disiang dengan tangan dan pada barisan pinggir legowo

sebenarnya tidak perlu diambil karena dengan sendirinya akan kalah persaingan

dengan pertumbuhan tanaman padi.

e) Pengendalian Hama dan Penyakit

Pada pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan alat semprot atau

handsprayer, posisi orang berada pada barisan kosong di antara 2 barisan legowo.

Penyemprotan diarahkan ke kiri dan ke kanan dengan merata, sehingga 1 kali

jalan dapat melakukan penyemprotan 2 barisan legowo.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

2.5.3. Keuntungan Cara Tanam Jajar Legowo

1. Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua maupun tanaman seolah-olah

berada pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar

Legowo 4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat

border effect).

2. Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/ha.

3. Meningkatkan produktivitas padi 12-22%.

4. Memudahkan pemeliharaan tanaman.

5. Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari. dibanding cara

tandur jajar biasa yang hanya 45 hari.

6. Hasil ikan yang diperoleh dapat menutupi sebagian biaya usaha tani.

7. Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 30-50%.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

BAB III

KESIMPULAN

1. Sistem Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO)

merupakan sistem penghematan air dan mengurangi pupuk anorganik

berfokus pada teknologi biologi tanah dan pengelolaan daya tumbuh padi

serta manajemen pupuk terpadu untuk meningkatkan produksi padi dan

meningkatkan kualitas tanah secara signifikan. Hal ini dapat mengurangi air

irigasi sekitar 30 - 50%, tingkat benih sekitar 75%, penggunaan pupuk

anorganik sekitar 25%, dan meningkatkan hasil padi sekitar 50% - 100%

dibandingkan dengan budidaya padi tradisional yaitu dengan penggenangan.

2. Tujuan utama dari IPAT-BO sebagai penghemat air dan teknologi pemupukan

berbasis organik adalah (1) untuk memulihkan, meningkatkan dan menjaga

kesehatan dan kualitas tanah sawah; (2) meningkatkan produktivitas padi

secara berkelanjutan; (3) untuk mempromosikan pengolahan lahan padi yang

efisien dan ramah lingkungan dan (4) untuk mengurangi

aplikasi pupuk anorganik secara signifikan.

3. Mengadopsi IPAT-BO sebagai hemat air dan biaya ramah lingkungan

dikombinasikan dengan kompos jerami dan manajemen nutrisi terpadu akan

mempercepat perbaikan, pemulihan, dan meningkatkan kesehatan tanah

sawah, serta meningkatkan produksi padi secara keberlanjutan.

4. Penelitian Furtherer yang penting, terutama pada; (1) persyaratan air yang

komprehensif, (2) aktifitas biologi tanah (makro dan mikroorganisme)

(3) Penerapan bahan organik dan pupuk hayati untuk mengganti atau

mengurangi pupuk anorganik (4) kinerja sistem perakaran, pertumbuhan dan

menghasilkan berbagai varietas padi di bawah musim tanam yang berbeda.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV

26

5. Perbedaan sistem penanaman padi dengan metode IPAT-BO ini sebenarnya

hampir mirip dengan beberapa metode lainnya. Pada intinya kedua metode ini

merupakan salah satu tindakan untuk meningkatkan produktivitas padi dan

IPAT-BO adalah modifikasi dari metode-metode yang sudah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Bobihoe, Julistia. 2011. Keuntungan Tanam Padi Jajar Legowo. Tersedia online:

http://jambi.litbang.deptan.go.id/ind/images/PDF/leaflet%20jajar

%20legowo.pdf. Diakses pada 23 September 2013.

Simarmata, Tualar dkk. 2011. Management of Water Saving and Organic Based

Fertilizers Technology for Remediation and Maintaining the Health of Paddy

Soils and to Increase the Sustainability of Rice Productivity in Indonesia.

Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |

Teknologi Produksi Tanaman IV