27. subiksa.pdf

12
333 PERAN PUGAM DALAM PENANGGULANGAN KENDALA FISIK LAHAN DAN MITIGASI GAS RUMAH KACA DALAM SISTEM USAHATANI LAHAN GAMBUT I G.M. Subiksa Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor 16114 Abstrak. Lahan gambut di Indonesia telah banyak dimanfaatkan untuk usaha pertanian yang menguntungkan, baik untuk tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Namun disisi lain, pemanfaatan lahan gambut juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan karena menghasilkan emisi karbon yang cukup besar. Upaya mitigasi emisi karbon dari lahan gambut sangat penting, namun upaya adaptasi dengan penerapan teknologi budidaya ramah lingkungan tampaknya menjadi solusi yang lebih bijak. Pugam, pupuk yang khusus diformulasi untuk lahan gambut, telah dicoba dalam penelitian demonstrasi plot ICCTF yang cukup luas di 4 propinsi yaitu Jambi, Riau, Kalteng dan Kalsel. Pugam-A dan Pugam-T diaplikasikan pada tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit dan karet serta tanaman sela tanaman pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit menunjukkan perbaikan yang diindikasikan dari parameter pertumbuhan tanaman. Regenerasi pelepah daun kelapa sawit terjadi lebih cepat dengan aplikasi Pugam-A. Tandan buah juga terhindar dari steril, sehingga buah sawit muda (buah pasir) terbentuk cukup banyak, sementara perlakuan kontrol buahnya tidak terbentuk. Pugam yang diaplikasikan pada tanaman sela pangan juga menunjukkan perbaikan pertumbuhan dan hasil jagung. Bahan aktif Pugam yang mengandung kation polivalen diduga berperan mengurangi kelarutan asam-asam fenolat yang menghambat pertumbuhan akar tanaman jagung. Aplikasi Pugam pada piringan dan tanaman sela, menghasilkan emisi GRK yang lebih rendah antara 20 30%. Hal ini disebabkan karena Pugam mengandung bahan aktif yang mampu melakukan proses kompleksasi asam-asam organik monomer menjadi senyawa komplek yang lebih tahan terhadap dekomposisi. Berkurangnya emisi menunjukkan gambut menjadi lebih stabil sehingga lahan gambut bisa dimafaatkan secara berkelanjutan. Katakunci: pugam, lahan gambut, emisi karbon, kation polivalen, usahatani berkelanjutan Absract. Peat land in Indonesia has been used for profitable farming, both for food crops, horticulture as well as estate crops. On the other hand, the utilization of peat land also has a negative impact to the environment because of it produces substantial carbon emissions. Mitigation of carbon emissions from peat lands is very important, however, adaptation efforts trough environmental friendly farming technology seems to be a wise effort. Pugam, a fertilizer specially formulated for peat-land, have been tried in demonstration plots of ICCTF in four provinces of Jambi, Riau, Central Kalimantan and South Kalimantan. Pugam-A and Pugam-T were applied to oil palm and rubber estate crop as well as inter row food crops such as corn and peanut. The results revealed that oil palm showed better growth performance. Leaf frond establishment occurred more rapidly with the application of Pugam-A. Fruit bunches are also likely avoided from the sterile pollens, then oil palm fruit formed normally, meanwhile the control treatment the fruit is 27

Upload: lekhuong

Post on 20-Jan-2017

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 27. Subiksa.pdf

333

PERAN PUGAM DALAM PENANGGULANGAN KENDALA FISIK LAHAN DAN MITIGASI GAS RUMAH KACA DALAM SISTEM USAHATANI LAHAN GAMBUT

I G.M. Subiksa

Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor 16114

Abstrak. Lahan gambut di Indonesia telah banyak dimanfaatkan untuk usaha pertanian

yang menguntungkan, baik untuk tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.

Namun disisi lain, pemanfaatan lahan gambut juga memiliki dampak negatif terhadap

lingkungan karena menghasilkan emisi karbon yang cukup besar. Upaya mitigasi emisi

karbon dari lahan gambut sangat penting, namun upaya adaptasi dengan penerapan

teknologi budidaya ramah lingkungan tampaknya menjadi solusi yang lebih bijak. Pugam,

pupuk yang khusus diformulasi untuk lahan gambut, telah dicoba dalam penelitian

demonstrasi plot ICCTF yang cukup luas di 4 propinsi yaitu Jambi, Riau, Kalteng dan

Kalsel. Pugam-A dan Pugam-T diaplikasikan pada tanaman perkebunan yaitu kelapa

sawit dan karet serta tanaman sela tanaman pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

tanaman kelapa sawit menunjukkan perbaikan yang diindikasikan dari parameter

pertumbuhan tanaman. Regenerasi pelepah daun kelapa sawit terjadi lebih cepat dengan

aplikasi Pugam-A. Tandan buah juga terhindar dari steril, sehingga buah sawit muda

(buah pasir) terbentuk cukup banyak, sementara perlakuan kontrol buahnya tidak

terbentuk. Pugam yang diaplikasikan pada tanaman sela pangan juga menunjukkan

perbaikan pertumbuhan dan hasil jagung. Bahan aktif Pugam yang mengandung kation

polivalen diduga berperan mengurangi kelarutan asam-asam fenolat yang menghambat

pertumbuhan akar tanaman jagung. Aplikasi Pugam pada piringan dan tanaman sela,

menghasilkan emisi GRK yang lebih rendah antara 20 – 30%. Hal ini disebabkan karena

Pugam mengandung bahan aktif yang mampu melakukan proses kompleksasi asam-asam

organik monomer menjadi senyawa komplek yang lebih tahan terhadap dekomposisi.

Berkurangnya emisi menunjukkan gambut menjadi lebih stabil sehingga lahan gambut

bisa dimafaatkan secara berkelanjutan.

Katakunci: pugam, lahan gambut, emisi karbon, kation polivalen, usahatani berkelanjutan

Absract. Peat land in Indonesia has been used for profitable farming, both for food crops,

horticulture as well as estate crops. On the other hand, the utilization of peat land also

has a negative impact to the environment because of it produces substantial carbon

emissions. Mitigation of carbon emissions from peat lands is very important, however,

adaptation efforts trough environmental friendly farming technology seems to be a wise

effort. Pugam, a fertilizer specially formulated for peat-land, have been tried in

demonstration plots of ICCTF in four provinces of Jambi, Riau, Central Kalimantan and

South Kalimantan. Pugam-A and Pugam-T were applied to oil palm and rubber estate

crop as well as inter row food crops such as corn and peanut. The results revealed that oil

palm showed better growth performance. Leaf frond establishment occurred more rapidly

with the application of Pugam-A. Fruit bunches are also likely avoided from the sterile

pollens, then oil palm fruit formed normally, meanwhile the control treatment the fruit is

27

Page 2: 27. Subiksa.pdf

I.G.M. Subiksa

334

not established. Corn also grows well and it has better yield. Pugam contain polyvalent

cations as active ingredient and it’s seems to contribute reducing the solubility of

phenolic acids, a substance that can inhibit the root establishment. Pugam application on

peat soil within the crop circle and inter row crops, resulting in lower GHG emissions

until 20-30%. This is because of Pugam contain active ingredients that could promote the

formation process of complex compounds that are more resistant to decomposition. The

lower carbon emissions on peat will more stable of peat from decomposition then the peat

land could be utilized as sustainable farming.

Keywords: pugam, peat land, carbon emission, polyvalent cations, sustainable farming.

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia, yaitu sekitar 14,9 juta ha yang

tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Sebagian dari lahan ini telah dimanfaatkan

secara turun temurun untuk usaha pertanian, khususnya karet dan tanaman hortikultura.

Pemanfaatan lahan gambut sebagai sumber perekonomian masyarakat adalah

keniscayaan. Hasil investigasi menunjukkan bahwa ketergantungan penduduk terhadap

lahan gambut seperti di Riau dan Kalimantan Barat sangat tinggi (Subiksa et al. 2009).

Laju pemanfaatan lahan gambut untuk komoditas kelapa sawit cenderung semakin

meningkat karena komoditas ini menjanjikan keuntungan ekonomi lebih besar

dibandingkan komoditas lain. Hal ini kemudian menjadi kontroversi antara pandangan

dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dari aspek ekonomi, lahan gambut adalah

potensi sumberdaya lahan yang dapat dikembangkan untuk pertanian tanaman pangan,

hortikultura maupun perkebunan. Sedangkan dari aspek lingkungan, lahan gambut

merupakan ekosistem yang memiliki fungsi sangat vital sebagai pengatur hidrologi, iklim

global, biodiversity flora dan fauna yang spesifik dan tempat pemijahan dan nursery bagi

ikan tertentu (Agus dan Subiksa, 2008).

Kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon sangat besar.

menyatakan bahwa cadangan karbon di lahan gambut Sumatera sekitar 22,3 giga ton

(Wahyunto et al. 2003), Kalimantan 11,3 Gt (Wahyunto et al. 2004) dan Papua sekitar 3,6

Gt (Wahyunto dan Subagjo et al. 2007). Oleh karenanya ekosistem ini harus dilindungi

dari kerusakan yang berpengaruh besar terhadap lingkungan dan iklim global. Bila terjadi

perubahan penggunaan lahan, maka keseimbangan tersebut akan berbalik dan

menghasilkan emisi karbon yang besar. Hooijer et al. (2006) menunjukkan bahwa laju

emisi CO2 akan meningkat 9,1 t ha-1

setiap penurunan 10 cm permukaan air tanah.

Perkebunan kelapa sawit dipercaya memiliki tingkat emisi tertinggi (56 t ha-1

th-1

) diantara

tanaman perkebunan karena membutuhkan setidaknya 60 cm kedalaman saluran drainase.

Secara inheren, gambut memiliki daya dukung rendah terhadap pertumbuhan

tanaman, baik dari aspek fisik, kimia maupun biologi tanahnya. Sifatnya yang masam,

Page 3: 27. Subiksa.pdf

Peran Pugam dalam penanggulangan kendala

335

miskin hara serta kandungan asam organik fenolat yang tinggi menyebabkan pertumbuhan

tanaman terganggu. Upaya peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah

dilakukan melalui serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan

tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan

menjadi kunci peningkatan produktivitas lahan. Selanjutnya rangkuman hasil-hasil

penelitian tersebut, diwujudkan menjadi produk amelioran dan pupuk yang khusus

diformulasi untuk lahan gambut yang diberi nama Pugam. Dari beberapa seri formula

Pugam yang telah diuji di laboratorium, rumah kaca dan skala plot di lapangan, ada 2

formula yang menunjukkan hasil yang konsisten yaitu Pugan A dan Pugam T.

Uji verifikasi teknologi Pugam dilakukan dalam skala demplot yang luas di 4

lokasi yaitu Kalsel, Kalteng, Jambi dan Riau dengan variasi karakteristik gambut dan pola

pemafaatan lahan. Tujuan dari pelaksanaan demplot adalah untuk mengembangkan

teknologi pengelolaan lahan gambut dengan produktivitas tinggi dan berkelanjutan serta

meningkatkan sequestrasi karbon dan mitigasi emisi gas rumah kaca. Pendekatan utama

dalam kegiatan ini adalah adaptasi dan mitigasi secara simultan.

Pugam adalah salah satu teknologi pengelolaan lahan unggulan lahan gambut yang

mensinergikan proses adaptasi dan mitigasi dalam satu produk inovatif. Selain

meningkatkan produktivitas lahan, Pugam diharapkan mampu meminimalkan emisi

karbon. Pugam A dan Pugam T adalah amelioran kaya dengan kation polivalen yang

khusus diformulasi untuk meningkatkan stabilitas gambut dan efisiensi pemupukan.

Pugam juga diperkaya dengan unsur hara P, sehingga pemupukan dengan sumber P

lainnya ditiadakan.

KARAKTERISTIK PUGAM

Pugam adalah pupuk dan pembenah tanah yang khusus diformulasi untuk lahan gambut.

Pugam terdiri dari beberapa varian formula yang telah diteliti efektivitasnya dalam

memperbaiki kondisi lahan gambut dan kemampuannya dalam mereduksi emisi gas

rumah kaca. Pugam dibuat dalam bentuk granul dengan ukuran diameter granul 1 – 3 mm.

Bentuk granul akan memudahkan pengguna untuk aplikasi di lapangan. Pugam A

berwarna kelabu, dengan kadar air relatif konstan karena tidak higroskopis. Pugam T

berwarna merah kekuningan dan agak higroskopis sehingga kadar airnya akan sedikit

meningkat bila disimpan tanpa pembungkus yang baik. Pugam juga mengandung hara

sekunder Ca dan Mg dalam jumlah cukup signifikan masing-masing 28,7% dan 28,20%

CaO dan 8,16% dan 5,26% MgO. Pugam A mengandung Si yang tinggi sedangkan Pugam

T rendah. Selain hara makro, formula Pugam juga mengandung unsur hara mikro seperti

Fe, Cu dan Zn, serta kation polivallen lainnya yaitu Al dalam jumlah yang cukup besar.

Page 4: 27. Subiksa.pdf

I.G.M. Subiksa

336

PERAN PUGAM DALAM SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN

Pugam Sebagai Amelioran

Kendala utama yang dihadapi adalah reaksi tanah yang sangat masam karena

akumulasi asam-asam fenolat yang beracun bagi tanaman. Purwanto et al. (2005) dalam

Purwanto (2011) menunjukkan bahwa proporsi karbon aromatik gambut tropis mencapai

32,3% - 49,8%. Proses degradasi senyawa ini akan menghasilkan asam-asam organik

golongan fenolat yang bisa menghambat perkembangan akar tanaman, sehingga

produktivitas tanaman rendah.

Pugam sebagai amelioran sangat efektif menekan kelarutan asam-asam fenolat. Hal

ini disebabkan karena Pugam mengandung bahan aktif kation polivalen seperti Fe, Al, Cu

dan Zn yang mampu mengikat asam-asam fenolat monomer menjadi senyawa komplek

khelat yang tidak beracun (Stevenson, 1994; Rachim, 1995; Saragih, 1996; Sabiham et al.

1997). Kation polivalen cenderung membentuk ikatan polidentat yaitu menempati 2 atau

lebih tapak jerapan dalam satu senyawa organik pada gugus fungsional karboksil,

hidroksil dan karbonil. Kation Fe dan Al mampu menumbuhkan muatan positif yang

mampu mengikat hara fosfat agar tidak hilang tercuci. Pugam bersifat basa dan

mengandung cation Ca dan Mg yang tinggi sehingga bila diaplikasikan pada tanah gambut

yang masam akan mengurangi tingkat kemasamannya.

Pugam Sebagai Pupuk

Pugam mengandung unsur hara penting yaitu P, Ca, Mg, Si, dan unsur mikro (Fe,

Mn, Cu, Zn dan B) cukup signifikan. Status hara lahan gambut yang sangat rendah, sangat

membutuhkan suplai hara dari luar melalui pemupukan. Pugam bisa digolongkan sebagai

pupuk fosfat lepas lambat yang sangat cocok untuk lahan gambut yang tapak jerapannya

sangat sedikit bermuatan positif. Pemberian Pugam bisa menambah tapak jerapan positif

yang baru dari kation polivalen, khususnya Fe dan Al. Kandungan Ca dan Mg akan

memperkaya basa-basa yang diperlukan oleh tanaman dan stabilisasi tanah gambut.

Silikat (Si) sangat diperlukan karena secara inheren lahan gambut miskin silikat. Silikat

penting untuk memperkokoh batang tanaman agar tidak mudah diserang hama dan

penyakit (Ma dan Takahashi, 2002). Kandungan unsur mikro dalam Pugam, sudah cukup

memenuhi kebutuhan unsur mikro tanaman pada lahan gambut dengan tingkat defisiensi

ringan sampai sedang.

Page 5: 27. Subiksa.pdf

Peran Pugam dalam penanggulangan kendala

337

PUGAM SEBAGAI PENEKAN EMISI GRK

Besarnya emisi karbon ditentukan oleh sistem pengelolaan dan komoditas pertanian yang

dikembangkan. Hooijer et al. (2006) menunjukkan bahwa laju emisi CO2 akan meningkat

9,1 t ha-1

setiap penurunan 10 cm permukaan air tanah. Perkebunan kelapa sawit dipercaya

memiliki tingkat emisi tertinggi (56 t ha-1

th-1

) diantara tanaman perkebunan karena

membutuhkan setidaknya 60 cm kedalaman saluran drainase. Sebaliknya sistem sawah

dengan drainase minimal, akan menghasilkan emisi yang lebih rendah dibandingkan

dengan tanaman kelapa sawit.

Pugam berperan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui proses

kompleksasi asam-asam organik, baik alifatik maupun aromatik. Sebagian besar emisi

karbon berasal dari gugus C alifatik karena hancurnya ikatan karbon oleh aktivitas

mikroba menghasilkan gas CO2 dan CH4. Bahan aktif pugam adalah kation polivalen yaitu

Fe, Al, Cu dan Zn yang bisa membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik. Kation

polivalen akan menjadi inti koordinasi dan mengikat beberapa asam organik monomer

membentuk senyawa komplek.

HASIL DEMPLOT PEMANFAATAN PUGAM

Pugam sebagai amelioran dan sebagai pupuk, berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan

tanaman karet di lokasi demplot desa Jabiren Kalimantan Tengah. Penambahan kumulatif

lingkar batang dan lebar tajuk tanaman karet meningkat lebih cepat bila menggunakan

Pugam A dan Pugam T dibandingkan dengan menggunakan amelioran pupuk kandang

dan tanah mineral. Pemberian Pugam, selain dosisnya lebih rendah dibanding amelioran

lain, juga tidak perlu menambahkan pupuk fosfat. Karena bentuknya granul, pugam bisa

diaplikasikan lebih mudah.

Gambar 1. Penambahan kumulatif lingkar batang (kiri) dan lebar tajuk (kanan) tanaman

karet selama 6 bulan di desa Jabiren Kalimantan Tengah.

Page 6: 27. Subiksa.pdf

I.G.M. Subiksa

338

Gambar 2. Penambahan kumulatif pelepah daun dan perkembangan diameter tajuk kelapa

sawit selama 8 bulan.

Di lokasi demplot Jambi, tanaman kelapa sawit juga menunjukkan respon yang

baik terhadap pemberian Pugam. Jumlah kumulatif penambahan jumlah daun selama 7

bulan menunjukkan bahwa pemberian amelioran Pugam-A dan Pukan menunjukkan

penambahan jumlah pelepah kumulatif tertinggi yaitu masing-masing sebanyak 22

pelepah dan 19,75 pelepah dalam 7 bulan atau sekitar 3 pelepah daun keluar tiap bulannya

(Tabel 1). Dibandingkan dengan perlakuan kontrol, pelepah kelapa sawit meningkat

40.75% pada perlakuan Pugam A. Sedangkan kompos tankos dan tanah mineral

menunjukkan angka terendah, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Tren

yang sama juga diamati pada parameter jumlah tandan buah. Meskipun tandan buah bisa

berkembang dengan baik, namun tandan buah pada perlakuan kontrol tidak berhasil

membentuk buah. Ada indikasi bahwa polen bunga jantan steril yang terkait dengan

defisiensi unsur mikro, khususnya Cu dan Zn. Dengan ameliorasi menggunakan Pugam

dan amelioran lain, kendala tersebut bisa dikurangi sehingga penyerbukan oleh bunga

jantan lebih berhasil dan tandan buah berhasil dipanen. Secara kumulatif perlakuan

ameliorasi menggunakan Pugam-A menghasilkan tandan buah segar (TBS) tertinggi

dibandingkan perlakuan amelioran lainnya.

Tabel 1. Pengaruh Pugam dan amelioran lain terhadap beberapa parameter tanaman

kelapa sawit selama 7 bulan berturut-turut

Perlakuan Penambahan pelepah daun

kumulatif

Penambahan lebar tajuk

kanopi (cm)

Jumlah tandan buah

Tandan buah yang dipanen

(kg)

Kontrol 15,63 62,4 5,54 0 Pugam A 22,00 61,5 8,82 25,31 Pugam T 16,50 89,8 7,34 23,60 Pukan 19,75 84,4 5,41 23,73 Tankos 11,00 77,5 7,15 22,15

Sumber: ICCTF, 2011a

Page 7: 27. Subiksa.pdf

Peran Pugam dalam penanggulangan kendala

339

Pengaruh Pugam terhadap Tanaman Sela

Di lokasi demplot desa Jabiren Kalteng, tanaman jagung yang ditanam sebagai

tanaman sela pertumbuhannya tidak optimal karena kondisi naungan tanaman pokok. Di

antara perlakuan amelioran, Pugam A, Pugam T dan Pukan masih bisa menunjukkan

penampilan yang lebih baik dibandingkan kontrol dan tanah mineral. Dengan amelioran

Pugam tanaman jagung masih mampu menghasilkan biji walaupun sangat rendah.

Sedangkan perlakuan kontrol dan tanah mineral tidak berhasil membentuk tongkol.

Di lokasi demplot Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa tanaman padi sawah di

tabukan memberikan respon yang baik terhadap pemberian amelioran. Selain Pukan,

pemberian amelioran Pugam A maupun Pugam T mampu meningkatkan hasil padi sawah

varietas Inpara 3 lebih tinggi dibanding dengan abu sekam dan tanah mineral. Hasil panen

total biomassa dan gabah kering giling varietas Inpara 3 pada MT II juga diperoleh pada

perlakuan pemberian amelioran pupuk kandang ayam seperti halnya pada MT I dengan

varietas Inpara 4.

Di lokasi demplot Jambi menunjukkan bahwa tanaman jagung varietas Sukmaraga

ditanam sebagai tanaman sela diantara tanaman kelapa sawit, menunjukkan perbaikan

pertumbuhan yang signifikan dengan pemberian Pugam. Sejalan dengan pertumbuhannya

yang meningkat hasil jagung ubinan juga meningkat cukup signifikan. Hasil pipilan

jagung kering dari perlakuan Pukan dan Pugam-T masing-masing adalah 3.006 kg/ha dan

2.444 kg/ha, atau meningkat sebesar 281% dan 210% dibandingkan dengan perlakuan

kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa amelioran berperan sangat penting dalam

memperbaiki kondisi lahan sehingga perakaran tanaman bisa berkembang lebih baik.

Kacang tanah yang ditanam setelah tanaman jagung masih menunjukkan residu amelioran

sebelumnya.

Tabel 2. Pengaruh pemberian amelioran terhadap komponen hasil padi sawah

Perlakuan MT-1 (Inpara-4) MT-2 (Inpara-3)

Jumlah malai per rumpun

Bobot gabah (t GKG / ha)

Jumlah malai per rumpun

Bobot gabah (t GKG/ha)

Kontrol 17,4 1,68 9,6 1,67

Pugam A 16,8 1,90 12,9 2,31 Pugam T 20,0 2,56 13,1 2,50 Pukan Ayam 19,7 3,46 14,6 3,20 Tnh Mineral 18,4 2,50 9,6 1,50 Abu sekam 16,4 3,26 10,4 1,87

Sumber: ICCTF, 2011a

Page 8: 27. Subiksa.pdf

I.G.M. Subiksa

340

Tabel 3. Pengaruh perlakuan amelioran terhadap panjang tongkol, diameter tongkol dan

hasil jagung pipilan

Sumber: ICCTF, 2011a

Pengaruh Pugam terhadap Emisi Gas Rumah Kaca

Upaya untuk mengurangi laju emisi CO2 dari lahan perkebunan di gambut harus

dilakukan dengan tindakan multi strata. Proses kebakaran dan dekomposisi menghasilkan

kontribusi emisi CO2 yang tertinggi. Mitigasi laju emisi GRK dapat diupayakan melalui

pengendalian muka air tanah, penggunaan amelioran, kebijakan tidak membakar dan

kebijakan moratorium pemanfaatan lahan. Keempat upaya tersebut dapat membelokkan

turun arah trend laju emisi CO2 sehingga langkah ini dapat dijadikan sebagai acuan upaya

mitigasi emisi GRK.

Perlakuan Panjang Tongkol (cm) Diameter Tongkol

(cm) Hasil pipilan jagung

(kg/ha)

Kontrol 14,30 3,47 789 Pugam A 14,30 3,67 2.006 Pugam T 15,93 4,23 2.444 Pu Kan 17,99 4,32 3.006 Tankos 15,40 4,13 2.031 Tanah Mineral 13,73 3,75 2.112

Gambar 3 . Produksi jagung pipilan (kiri) dan tinggi tanaman kacang tanah (kanan)

Page 9: 27. Subiksa.pdf

Peran Pugam dalam penanggulangan kendala

341

Tabel 4. Pengaruh Pugam dan amelioran lainnya terhadap emisi CO2 dan CH4 pada

lahan gambut yang disawahkan di Kalimantan Selatan.

Perlakuan Gas CO2 Gas CH4

Emisi (t ha-1 musim-1)

Penurunan (%)

Emisi (kg ha-1 musim-1)

Penurunan (%)

Kontrol 20,6 620,9 Abu Sekam 18,6 9,4 289,8 53,3 Pukan 14,3 30,4 294,6 52,5 Pugam A 14,4 29,7 300,4 51,6 Pugam T 19,2 6,5 272,7 56,1 Tanah Mineral 15,8 23,2 373,1 39,9

Sumber: ICCTF, 2011b

Hasil pengukuran emisi CO2 dan CH4 di lokasi demplot Kalsel menunjukkan

bahwa emisi kedua gas rumah kaca ini berkurang cukup signifikan dengan pemberian

amelioran. Emisi gas CO2 menurun 29,7% dengan pemberian Pugam A, sedangkan

pemberian Pugam T hanya mampu menurunkan 6,5%. Sebaliknya untuk emisi gas CH4,

Pugam T mampu menurunkan lebih tinggi dibandingkan dengan Pugam A. Persentase

penurunan gas CH4 cukup tinggi yaitu 51,6% untuk Pugam A dan 56,1% untuk Pugam T.

Pengamatan tingkat emisi GRK pada piringan tanaman perkebunan sangat

menentukan karena proses dekomposisi gambut di bagian piringan biasanya berjalan lebih

cepat karena faktor pengelolaan seperti pemupukan dan aktifitas perakaran yang lebih

tinggi. Laporan ICCTF (2011b) menyebutkan tingkat emisi CO2 di piringan tanaman karet

di Kalteng turun sebesar masing-masing 22,3% dan 24% dengan pemberian Pugam A dan

Pugam T. Hal ini menunjukkan bahwa proses kompleksasi di area tersebut berjalan

dengan baik setelah pemberian Pugam.

Dari hasil demplot di Riau, ICCTF (2011b) menunjukkan bahwa pemberian Pugam

T mengurangi emisi sangat signifikan hingga 42,8%, sementara dengan Pugam A hanya

menurunkan 7,1%. Amelioran lain seperti tanah mineral juga mampu mengurangi emisi

sampai 44,7%, sementara itu pupuk kandang dan kompos tankos justru meningkatkan

emisi.

Di lokasi demplot Jambi, dilaporkan bahwa emisi CO2 di piringan tanaman sawit

jauh lebih rendah dibandingkan dengan dua lokasi lainnya yang berkisar 2,4 – 3,9 t ha-1

.

Semua amelioran kecuali Pukan meningkatkan emisi CO2 secara signifikan. Kalau dilihat

dari karakteristik gambut lapisan atas di Jambi memiliki kadar abu lebih tinggi

dibandingkan dengan kadar abu dari 2 lokasi lainnya. Artinya bahwa kandungan mineral

gambut di Jambi relatif lebih tinggi sehingga penambahan mineral dari luar tidak

berdampak.

Page 10: 27. Subiksa.pdf

I.G.M. Subiksa

342

Tabel 5. Pengaruh amelioran Pugam dan amelioran lainnya terhadap emisi CO2 pada

piringan tanaman perkebunan di lahan gambut Kalteng, Riau dan Jambi.

Perlakuan

Kalteng Riau Jambi

Emisi (t ha-1)

% turun Emisi (t ha-1)

% turun Emisi (t ha-1)

% turun

Kontrol 7,7 - 10,5 - 2,6 -

Pukan 5,3 30,6 11,2 -6,9 2,4 6,1

Pugam A 6,0 22,3 9,8 7,1 3,6 -41,6

Pugam T 5,8 24,0 6,0 42,8 3,9 -52,0

Tanah Mineral 7,1 8,0 5,8 44,7 2,8 -10,6

Tankos - - 11,5 -9,6 3,1 -19,7

Luar Petak 4,7 - 13,4 - 3,4 -

Sumber: ICCTF, 2011b

ICCTF (2011b) melaporkan bahwa tingkat emisi CO2 di area tanaman sela

menunjukkan bahwa trend yang hampir sama dengan di area piringan tanaman tahunan.

Di lokasi demplot Kalteng menunjukkan bahwa Pugam A mampu mengurangi emisi

cukup besar yaitu 29%. Sementara itu Pugam-T tidak berbeda signifikan dengan

perlakuan kontrol. Amelioran lain yang cukup berdampak adalah amelioran tanah mineral.

Tingkat emisi di area tanaman sela lebih tinggi dibandingkan pada piringan tanaman

pokok. Hal ini terjadi karena proporsi luasan tanaman sela lebih tinggi dibandingkan

dengan proporsi piringan tanaman pokok. Di lokasi demplot Riau, Amelioran yang

berperan aktif menurunkan emisi adalah Pugam T dan tanah mineral. Di lokasi demplot

Jambi, pemberian Pugam A maupun Pugam T justru meningkatkan emisi secara

signifikan.

Tabel 6. Pengaruh amelioran Pugam dan amelioran lainnya terhadap emisi CO2 pada

tanaman sela di lahan gambut Kalteng, Riau dan Jambi.

Perlakuan

Kalteng Riau Jambi

Emisi (t ha-1)

% turun Emisi (t ha-1)

% turun Emisi (t ha-1)

% turun

Kontrol 16,2 16,5 5,5 Pukan 13,9 14,5 18,5 -12,8 4,5 18,4 Pugam A 11,5 29,0 17,4 -5,8 8,0 -45,5 Pugam T 15,7 3,4 14,1 14,6 9,0 -64,7 Tanah Mineral 12,1 25,8 13,0 21,3 4,2 23,0 Tankos 18,3 -11,4 7,2 -30,8 Luar Petak 19,7 27,4

Sumber: ICCTF, 2011b

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pugam berperan sebagai amelioran dengan bahan aktif kation polivalen yang mampu

melakukan proses kompleksasi asam-asam organik beracun. Proses ini secara tidak

langsung akan meningkatkan stabilitas gambut dan mengurangi emisi GRK.

Page 11: 27. Subiksa.pdf

Peran Pugam dalam penanggulangan kendala

343

2. Pugam berperan sebagai pupuk fosfat lepas lambat yang diperkaya dengan hara

sekunder, silikat dan unsur mikro untuk menanggulangi defisiensi hara dan

meningkatkan efisiensi pupuk.

3. Pugam sebagai amelioran dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karet dan

kelapa sawit serta pertumbuhan dan produksi tanaman sela cukup signifikan tanpa

memberikan pupuk fosfat tambahan dan diduga mampu mencegah sterilitas polen

kelapa sawit,

4. Peran Pugam dalam menekan emisi gas rumah kaca belum konsisten, namun secara

umum di beberapa tempat, Pugam dapat menekan laju emisi gas rumah kaca, baik di

piringan tanaman tahunan maupun di area tanaman sela. Pengaruh Pugam akan

berkurang bila gambut secara inheren sudah kaya mineral seperti di lokasi Jambi.

5. Pemanfaatan Pugam dalam usahatani di lahan gambut adalah bentuk teknologi yang

mensinergikan upaya adaptasi dan mitigasi GRK sehingga tujuan ekonomi tercapai

namun emisi tetap dapat ditekan seminimal mungkin.

6. Karena gambut memiliki daya sangga kemasaman sangat tinggi, disarankan

pengukuran GRK dapat dilakukan dalam waktu yang tepat secara time series untuk

mengetahui peran pugam secara detail masa aktifnya.

7. Komposisi asam-asam fenolat sebelum dan sesudah aplikasi pugam sebaiknya

dianalisa di laboratorium untuk mengetahui lebih detail peran pugam dalam

mengurangi emisi dan meningkatkan produktivitas lahan gambut.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan aspek

lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAFT)

Bogor, Indonesia.

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2

emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943

(2006).

ICCTF, 2011a. Penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan gambut

berkelanjutan untuk meningkatkan sequestrasi karbon dan mitigasi gas rumah

kaca: Laporan Akhir bidang Agronomi dan Pemupukan.

ICCTF, 2011b. Penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan gambut

berkelanjutan untuk meningkatkan sequestrasi karbon dan mitigasi gas rumah

kaca: Laporan Akhir Bidang Emisi Gas Rumah Kaca.

Ma, Jiang Feng and E. Takahashi, 2002. Soil, Fertilizer and Silicon Research in Japan, 1st

Edition. Elsevier Science, Tokyo Japan.

Page 12: 27. Subiksa.pdf

I.G.M. Subiksa

344

Mario, M.D. 2002. Peningkatan produktivitas dan stabilitas tanah gambut dengan

pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar besi tinggi. Disertasi

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Purwanto, B.H, 2011. Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Paper disampaikan dalam

workshop teknologi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di lahan gambut, Solo 8

Desember 2011.

Rachim, A. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen dalam kaitannya dengan

ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung pada tanah gambut.

Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sabiham, S., TB. Prasetyo dan S. Dohong. 1997. Phenolic acid in Indonesian peat. In

Rieley and Page (Eds). Pp. 289-292. Biodiversity and Sustainability of Tropical

Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.

Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan

pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Saragih, E.S., 1996. Pengendalian asam-asam organik meracun dengan penambatan Fe

(III) pada tanah gambut Jambi, Sumatera. Tesis S2, Program Pascasarjana, Institut

Prtanian Bogor.

Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry. Genesis, Composition, and Reactions. John

Wiley and Sons. Inc. New York. 443 p.

Subiksa, I G.M., Ai Dariah dan F. Agus. 2009. Sistem pengelolaan lahan eksisting di

Kalimantan Barat serta implikasinya terhadap siak kimia tanah gambut dan emisi

GRK. Laporan Penelitian Kerjasama Balai Penelitian tanah dengan Kementrian

Ristek.

Subiksa, I G.M., Husein Suganda dan Joko Purnomo. 2009. Pengembangan formula

pupuk untuk lahan gambut sebagai penyedia hara dan menekan emisi gas rumah

kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara balai Penelitian tanah dengan

Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

Wahyunto, and Subagjo H. 2007. Map of peat land distribution area and carbon content in

Papua. Wetland International Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada

(WHC).

Wahyunto, Sofyan R., Suparto and Subagyo H. 2004. Map of peat land distribution area

and carbon content in Kalimantan. Wetland International Indonesia Program and

Wildlife Habitat Canada (WHC).

Wahyunto, Sofyan R., and Subagyo H., 2003. Map of peat land distribution area and

carbon content in Sumatera. Wetland International Indonesia Program and Wildlife

Habitat Canada (WHC).