26051

2
Antimalaria dari Kulit Batang Cempedak blogger email: [email protected] UNIVERSITAS SRIWIJAYA Berdasarkan informasi etnobotanik dari wilayah Papua, Achmad Fuad Hafid beserta tim Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya, mengembangkan obat antimalaria dari ekstrak kulit batang cempedak. Riset yang dimulai sekitar 10 tahun lalu itu menghasilkan tablet fitofarmaka yang sinergis dengan kombinasi obat antimalaria lainnya. Antimalaria dari kulit batang cempedak (Artocarpus champeden Spreng) merupakan kearifan lokal penduduk Papua. Namun, Achmad tidak merujuk kearifan lokal antimalaria kulit batang cempedak itu pada suku tertentu di Papua. Sebab, pengetahuan manfaat kulit batang cempedak sebagai antimalaria tersebar di Papua. Achmad mengembangkan riset farmakologi dengan mengekstrak kulit batang cempedak dan mencampurkan dengan etanol 80 persen. Ekstrak lalu diujikan pada hewan coba mencit yang diinfeksi parasit malaria Plasmodium berghei. Hasilnya, ekstrak itu mampu menghambat perkembangan parasit malaria sebesar 80 persen. Riset dilanjutkan dengan menentukan senyawa marker (penanda) pada kulit batang cempedak. Senyawa penanda sangat penting untuk menetapkan standardisasi bahan baku kulit batang cempedak. Dari kulit batang cempedak, tim memperoleh senyawa aktif Morachalkon A. ”Cempedak ada di mana-mana di Indonesia. Waktu petik dan lokasinya juga menentukan kandungan senyawa aktif pada kulit batangnya,” kata Achmad di ruang kerjanya, Rabu (26/1). Ia sekarang menjabat Kepala Bidang Administrasi Universitas Airlangga (Unair). Bersama tim peneliti dari Fakultas Farmasi Unair, yaitu Aty Widyawaruyanti dan Wiwied Ekasari, Achmad meriset kulit batang cempedak dari Papua, Kalimantan Timur, dan Jawa Barat. Riset dilakukan hingga tim memperoleh titik optimal manfaat penyembuhan malaria dengan tablet fitofarmaka ekstrak etanol kulit batang cempedak, yaitu tatkala antimalaria herbal bisa dikombinasikan dengan obat antimalaria lain, seperti artemisinin atau artesunat. ”Penggunaan obat secara kombinasi disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO) sejak beberapa tahun lalu,” kata Achmad. Kombinasi obat antimalaria disarankan WHO dengan pertimbangan, saat ini makin mudah dan cepat terjadi resistensi alias kekebalan parasit malaria terhadap obat-obat penangkalnya. Pola resistensi ditentukan WHO, apabila suatu daerah mengalami lebih dari 25 persen resisten terhadap obat tertentu. Obat itu lalu disarankan untuk tidak digunakan dalam periode tertentu. ”Pencarian ragam senyawa aktif sebagai antimalaria sekarang makin dibutuhkan. Ekstrak kulit batang cempedak menjadi salah satu pilihan meskipun saat ini belum bisa diproduksi secara massal,” kata Achmad. Ia menargetkan, obat antimalaria ini bisa diproduksi secara massal pada 2014. Selama waktu tersisa, ia akan mengurus hak paten (hak atas kekayaan intelektual) obat herbal antimalaria ini. Obat program

Upload: vikneswaran-vicky

Post on 08-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

antimalaria

TRANSCRIPT

Page 1: 26051

Antimalaria dari Kulit Batang Cempedak

bloggeremail: [email protected]

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Berdasarkan informasi etnobotanik dari wilayah Papua, Achmad Fuad Hafid beserta tim Fakultas Farmasi UniversitasAirlangga, Surabaya, mengembangkan obat antimalaria dari ekstrak kulit batang cempedak. Riset yang dimulai sekitar 10tahun lalu itu menghasilkan tablet fitofarmaka yang sinergis dengan kombinasi obat antimalaria lainnya.

Antimalaria dari kulit batang cempedak (Artocarpus champeden Spreng) merupakan kearifan lokal penduduk Papua. Namun,Achmad tidak merujuk kearifan lokal antimalaria kulit batang cempedak itu pada suku tertentu di Papua. Sebab, pengetahuanmanfaat kulit batang cempedak sebagai antimalaria tersebar di Papua.

Achmad mengembangkan riset farmakologi dengan mengekstrak kulit batang cempedak dan mencampurkan dengan etanol80 persen. Ekstrak lalu diujikan pada hewan coba mencit yang diinfeksi parasit malaria Plasmodium berghei.

Hasilnya, ekstrak itu mampu menghambat perkembangan parasit malaria sebesar 80 persen. Riset dilanjutkan denganmenentukan senyawa marker (penanda) pada kulit batang cempedak. Senyawa penanda sangat penting untuk menetapkanstandardisasi bahan baku kulit batang cempedak. Dari kulit batang cempedak, tim memperoleh senyawa aktif MorachalkonA.

”Cempedak ada di mana-mana di Indonesia. Waktu petik dan lokasinya juga menentukan kandungan senyawa aktifpada kulit batangnya,” kata Achmad di ruang kerjanya, Rabu (26/1). Ia sekarang menjabat Kepala BidangAdministrasi Universitas Airlangga (Unair).

Bersama tim peneliti dari Fakultas Farmasi Unair, yaitu Aty Widyawaruyanti dan Wiwied Ekasari, Achmad meriset kulitbatang cempedak dari Papua, Kalimantan Timur, dan Jawa Barat.

Riset dilakukan hingga tim memperoleh titik optimal manfaat penyembuhan malaria dengan tablet fitofarmaka ekstrak etanolkulit batang cempedak, yaitu tatkala antimalaria herbal bisa dikombinasikan dengan obat antimalaria lain, seperti artemisininatau artesunat.

”Penggunaan obat secara kombinasi disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO)sejak beberapa tahun lalu,” kata Achmad.

Kombinasi obat antimalaria disarankan WHO dengan pertimbangan, saat ini makin mudah dan cepat terjadi resistensi aliaskekebalan parasit malaria terhadap obat-obat penangkalnya.

Pola resistensi ditentukan WHO, apabila suatu daerah mengalami lebih dari 25 persen resisten terhadap obat tertentu. Obatitu lalu disarankan untuk tidak digunakan dalam periode tertentu.

”Pencarian ragam senyawa aktif sebagai antimalaria sekarang makin dibutuhkan. Ekstrak kulit batang cempedakmenjadi salah satu pilihan meskipun saat ini belum bisa diproduksi secara massal,” kata Achmad.

Ia menargetkan, obat antimalaria ini bisa diproduksi secara massal pada 2014. Selama waktu tersisa, ia akan mengurus hakpaten (hak atas kekayaan intelektual) obat herbal antimalaria ini.

Obat program

Page 2: 26051

Achmad mengatakan, obat herbal antimalaria berbeda dengan jenis obat-obat herbal lainnya. Sebagian besar obat herbalmudah diedarkan setelah dinyatakan selesai uji praklinik dengan hewan coba sebagai obat herbal terstandar (OHT).

Apalagi setelah obat herbal melewati uji klinik pada pasien manusia menjadi fitofarmaka, obat herbal itu lebih mudah diserapmasyarakat.

”Obat antimalaria harus menjadi obat program sehingga tidak bisa begitu saja diproduksi lalu diedarkan kepadamasyarakat,” kata Achmad.

Menurut dia, produksi obat herbal ini akan berdasarkan rekomendasi WHO dan pemerintah, dalam hal ini KementerianKesehatan. Ketentuan obat antimalaria sebagai obat program mengacu pada pola resistensi parasit malaria terhadap obat-obatan antimalaria yang sekarang beredar.

Resistensi parasit malaria awalnya diketahui pada 1961 terhadap jenis obat klorokuin di Thailand. Pada tahun berikutnyadiketahui di Amerika Serikat, dan semenjak itu menyebar ke seluruh dunia.

Di Indonesia, resistensi terhadap klorokuin diketahui tahun 1974 pada kasus malaria di Kaltim. Resistensi terhadap berbagaijenis obat antimalaria terus berkembang.

Kecepatan resistensi terhadap obat antimalaria bergantung pada faktor operasional, seperti penetapan dosis, kepatuhanpasien, faktor farmakologik, dan faktor transmisi malaria.

Klorokuin merupakan antimalaria yang paling luas penggunaannya. Harganya tergolong paling murah dengan efek sampingyang minimal. Namun, manfaat klorokuin kini berkurang drastis akibat resistensi.

Pemanasan global

Achmad mengatakan, fenomena pemanasan global berkontribusi terhadap peningkatan intensitas penyakit malaria.Pemanasan global menyebabkan kelembaban udara naik sehingga meningkatkan perkembangbiakan berbagai jenisserangga, termasuk nyamuk. Salah satunya adalah nyamuk Anopheles betina sebagai vektor (pembawa) parasit malariayang menyebabkan penderitanya demam menggigil secara periodik.

”Obat antimalaria kulit batang cempedak menunjukkan kekayaan manfaat dari keanekaragaman hayati yang ada diIndonesia,” kata Achmad.

Di seluruh dunia, diperkirakan sampai saat ini malaria mampu menjangkiti 300 juta penduduk setiap tahun. Dari jumlah ini, 2juta-4 juta penduduk tiap tahun meninggal dunia akibat malaria.