2584923-kuantifikasi-ilmuilmu-sosial

19
© 2002 W. Nasruddin Posted 19 May 2002 Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Mei 2002 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab) KUANTIFIKASI ILMU-ILMU SOSIAL: SUATU KEMAJUAN ATAU PEMBIASAN ? (Untuk Mengenang Jasa Almarhum Prof. Ir. Andi Hakim Nasoetion, PhD dalam Pengembangan Metode Kuantitatif di Indonesia) Oleh: W. Nasruddin A. 546010121/EPN E-mail : [email protected] I. PENDAHULUAN Peranan matematika dan statistika sebagai alat bantu kuantitaif yang penting dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ilmu pengetahuan (juga teknologi, dan kehidupan sehari-hari) sudah lama diakui, khususnya dalam rumpun ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences) seperti Fisika, Astronomi, Geologi, dan lain-lain. Phytagoras (582-504 SM) salah seorang ahli Filsafat terkenal menyatakan tentang pentingnya pengukuran dalam kehidupan manusia

Upload: chiaap08

Post on 26-Oct-2015

63 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

© 2002 W. Nasruddin Posted 19 May 2002Makalah Falsafah Sains (PPs 702)Program Pasca Sarjana / S3Institut Pertanian BogorMei 2002 Dosen:Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

  

KUANTIFIKASI ILMU-ILMU SOSIAL: SUATU KEMAJUAN ATAU PEMBIASAN ?(Untuk Mengenang Jasa Almarhum Prof. Ir. Andi Hakim Nasoetion, PhD dalam

Pengembangan Metode Kuantitatif di Indonesia)   Oleh:

W. Nasruddin

A.     546010121/EPN

E-mail : [email protected]  

 

 

I. PENDAHULUAN 

 

Peranan matematika dan statistika sebagai alat bantu kuantitaif yang penting dalam

menyelesaikan persoalan-persoalan ilmu pengetahuan (juga teknologi, dan kehidupan sehari-

hari) sudah lama diakui, khususnya dalam rumpun ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural

sciences) seperti Fisika, Astronomi, Geologi, dan lain-lain. Phytagoras (582-504 SM) salah

seorang ahli Filsafat terkenal menyatakan tentang pentingnya pengukuran dalam kehidupan

manusia

Yang menarik, dewasa ini matematika dan juga statistika sudah pula menyusupi ilmu-

ilmu sosial seperti Ekonomi, Psikologi, Sosiologi, ilmu politik, ilmu hukum dan bahkan juga

linguistik. Malahan menurut Nasoetion (1970), konon ada Universitas tertentu di luar negeri yang

menganjurkan mahasiswa calon Ph.D. dalam bidang ilmu sosial, untuk menggantikan syarat

mahir berbahasa asing modern dengan syarat mahir dalam menggunakan matematika sebagai

bahasa komunikasi universal.

Dewasa ini kecenderungan menggunakan metode kuantitatif di kalangan ilmuwan sosial

semakin berkembang pesat. Di Indonesia penggunaan pendekatan kuantitatif dalam

Page 2: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

menganalisis gejala kemasyarakatan relatif belum begitu lama, barangkali mulai tumbuh subur

sekitar pertengahan tahun tujuh puluhan. Seperti halnya di negara-negara Eropa (Barat) dan

Amerika (Utara) tempat di mana pendekatan ini mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan, di

Indonesia cabang ilmu sosial yang paling banyak menggunakan pendekatan kuantitatif dalam

analisisnya adalah ilmu ekonomi, yang sering mendapat julukan sebagai “ratu” nya ilmu-ilmu

sosial. Ekonometrika adalah cabang ilmu ekonomi yang menggunakan matematika dan statistika

sebagai alat bantu untuk keperluan menjelaskan dan atau memprediksi fenomena ekonomi.

Selain itu para psikolog juga sudah banyak menggunakan pendekatan kuantitatif

(psikometri) dalam mengukur kemampuan belajar, intelegensi dan sifat-sifat pribadi, menciptakan

skala psikologis, meneliti kelakuan normal dan abnormal dan sebagainya. Sedangkan para

sosiolog juga tidak mau ketinggalan dari rekan-rekan disiplin ilmu lain; mereka mengembangkan

sosiometri untuk menguji teori tentang sistem sosial, merancang dan melaksanakan survei

sampel untuk meneliti sikap, menemukan perbedaan antara kebudayaan dan sebagainya

(Sembiring, 1984). Prancis Stuart Chapin adalah pemimpin aliran sosiologi kuantitatif yang

menekankan penggunaan metode statistika untuk studi fenomena sosial (Encyclopedia Encarta,

2002). Demikian pula Ilmu Politik sering menggunakan metode statistika untuk analisis survai

pendapat, mengkaji hubungan antara tingkat kemakmuran suatu negara dengan tingkat

demokrasi dari pemerintahnya. Analisis runtun waktu dipakai dalam ilmu politik untuk menelusuri

hubungan-hubungan politis yang melibatkan waktu, misalnya kekuatan suara partai sosialis dan

jumlah pembelanjaan pemerintah untuk program-program sosial sepanjang masa.

Sejak tahun akademik 2000/2001 Institut Pertanian Bogor (IPB) telah mendirikan

Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), dengan memberikan persyaratan bagi para calon

mahasiswanya (siswa lulusan SMU) konon harus berasal dari Jurusan IPA, yang bekal

Matematikanya lebih kuat dari Jurusan IPS.

Penulis makalah ini dengan berbekal pengetahuan yang minim mengenai masalah ini,

memberanikan diri untuk mencoba mempermasalahkan dan membahas tentang kecenderungan

kalangan ilmuwan sosial (termasuk ilmuwan sosial ekonomi pertanian) menggunakan metode

kuantitatif dalam menganalisis permasalahan sosial.

Tulisan ini akan membahas : pertama, mengenai faktor yang mendorong penggunaan

pendekatan kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial; kedua, mengenai manfaat pendekatan kuantitatif;

ketiga, mengenai masalah dalam penerapannya dan keempat mengenai prospeknya serta

bagian terakhir memuat kesimpulan yang bisa ditarik dari isi makalah ini dalam rangka menjawab

apakah kuantifikasi dalam ilmu-ilmu sosial merupakan suatu kemajuan atau pembiasan ?.

Harapan pemrasaran semoga pengetahuan mengenai hal ini akan bermanfaat. Amin.

Menurut Kariawan (1986), pemakaian pendekatan matematika dalam ilmu ekonomi

mengalami perkembangan yang cukup pesat selama 10 tahun terakhir ini. Pemakaian ini ditandai

dengan meningkatnya pembentukan model ekonometrika yang sangat matematis. Ajaran

Page 3: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

ekonomi yang sangat mengandalkan matematika adalah Ratex (Rational Expectation). Walaupun

ajaran Keynes dan Monetaris relatif sedikit menggunakan matematika dibandingkan dengan

Ratex, tetapi perkembangannya yang terakhir cenderung makin matematis. Indikator lainnya

yang dapat dijadikan ukuran adalah jumlah karangan (artikel) ekonomi yang pada akhir-akhir ini

cenderung makin matematis.

Menurut the Economist (22 September 1984) seperti yang disitir oleh penulis di atas,

jumlah artikel ekonomi dalam majalah American Economis Review yang menggunakan

pendekatan model matematika mendominasi hampir 72 % pada periode 1972-76, persentase ini

naik menjadi sekitar 78,6 % pada periode 1977-1981.

Kemudian kalau kita amati pula artikel mengenai Ekonomi Pertanian dalam artikel

American Journal of Agricultural Economics misalnya, atau untuk Indonesia majalah serupa ini

adalah Jurnal Agro Ekonomi terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Pertanian (PSE) Bogor sebagian besar analisisnya menggunakan pendekatan kuantitatif berupa

model-model ekonometrika yang cukup rumit. Rasanya akan sulit bagi kita yang kurang berbekal

dalam metode kuantitatif atau ekonometrika untuk dapat memahami dengan baik isi keseluruhan

dari artikel yang dimuat dalam jurnal-jurnal tersebut.

 

 

II.   FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG KUANTIFIKASI DALAM ILMU-ILMU SOSIAL  

Menurut Suriasumantri (1984) ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi

dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif, dan kuantitatif. Pada tahap sistematika,

maka ilmu menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu.

Penggolongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari

anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan

pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap komparatif kita mulai

melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, kategori yang satu

dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan

kepada perbandingan di antara berbagai obyek yang kita kaji. Tahap selanjutnya yaitu tahap

kuantitatif, kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan

berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal

berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama, namun dalam tahap yang ketiga

pengetahuan membutuhkan bantuan matematika.

Selanjutnya menurut Van Dalen (1966) dalam Suriasumantri (1981) dibandingkan

dengan ilmu-ilmu alam yang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, ilmu-ilmu sosial

agak tertinggal di belakang. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial takkan

pernah menjadi ilmu dalam artian yang sepenuhnya. Di pihak lain terdapat pendapat, bahwa

secara lambat laun ilmu-ilmu sosial akan berkembang juga meskipun tak akan mencapai derajat

Page 4: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

keilmuan seperti apa yang dicapai ilmu-ilmu alam. Terdapat beberapa kesulitan untuk

merealisasikan tujuan ini karena beberapa sifat dari obyek yang diteliti ilmu-ilmu sosial, yaitu

suatu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia.

Nasoetion (1972) dalam Damanhuri (1985), menyatakan bahwa setelah suatu ilmu

meningkat dari usaha deskripsi ke usaha analisis, maka ilmu itu sudah pasti memerlukan

matematika sebagai alat bantu. Bahkan di dalam bidang deskripsi pun orang kini sudah

menggunakan konsep-konsep matematika dan statistika.

Dengan mengacu kepada tiga pendapat di atas, maka kalau ilmu-ilmu sosial ingin

meningkatkan status keilmuannya dari tahap “belia” (tahap klasifikasi atau tahap sistematika

dalam istilah Suriasumantri) ke tahap yang lebih “dewasa”, maka mau tidak mau ilmu-ilmu sosial

harus mengembangkan pendekatan kuantitatif sebagai alat analisisnya.

Tampaknya cukup menggembirakan, bahwa usaha mngembangkan pendekatan

kuantitatif dalam menganalisis perilaku manusia pada akhir-akhir ini terlihat mulai meluas di

kalangan para ilmuwan sosial kita, khususnya pada disiplin ilmu ekonomi, termasuk ilmu ekonomi

pertanian yang sedang penulis geluti. Dalam gurauan kami yang mengambil Program Studi

Ekonomi Pertanian “ tiada hari tanpa cacing”, untuk menunjukkan bagitu intensifnya para Dosen

mengajarkan ilmu ekonomi dengan pendekatan kuantitatif. Cacing di sini adalah representasi dari

simbol/tanda “ò” (integral) atau “l” (lambda/fungsi Lagrange) atau “Ö” (akar pangkat dua), dan

seterusnya.

Menurut Lazarsfeld yang disitir oleh Tampubolon dalam Priyono dan Saleh (1984), ada

dua penyebab mengapa orang berusaha untuk menggunakan pemikiran matematika dalam ilmu-

ilmu sosial, yaitu :

1.      Karena keberhasilan matematika dalam ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan

2.      Karena para ilmuwan sosial semakin merasakan perlunya bahasa yang kokoh dan

tepat.

Pendapat Lararsfeld di atas didukung oleh pernyataan Whitehwad yang dikutip oleh penyitir yang

sama dan juga yang dikemukakan oleh Djojohadikusumo (1974) dalam Johannes dan Sri

Handoko (1978).

Whitehead menyatakan bahwa mendapat inspirasi dari keberhasilan matematika dalam

fisika, dan didorong oleh antusiasme tentang kekuatan menalar lewat matematika, maka para

pemikir abad ke-18 yang terkemuka mendekati masalah-masalah sosial secara rasional dalam

mengembangkan ilmu tentang pemerintahan dan ekonomi. Menurut Whitehead, abstraksi yang

tinggi merupakan senjata yang sebenarnya untuk mengontrol pemikiran kita tentang fakta

kehidupan yang nyata.

Sementara itu Djojohadikusumo mengemukakan bahwa sebagai ilmu pengetahuan

kemasyarakatan yang mempunyai segi dan dimensi permasalahan yang serba kompleks; ilmu-

ilmu sosial memerlukan pengetahuan dan peralatan tambahan yang dapat membantu

Page 5: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

penyusunan logika dan kemampuan analisis secara lebih jernih dan tajam, sehingga sejauh

mungkin dapat dicegah adanya kekaburan dalam melihat dan memecahkan kompleksitas

masalah kemasyarakatan tersebut.

 

 

III.  MANFAAT KUANTIFIKASI DALAM ILMU-ILMU SOSIAL  

Untuk melihat keuntungan atau kekuatan pendekatan kuantitatif dapat didekati dari

peranan matematika dan atau statistika sebagai sarana atau alat pembantunya.

Menurut Kemeny (1959) dalam Suriasumantri (1981) seorang ilmuwan menggunakan

model matematis terutama karena bahasa matematika merupakan suatu cara yang mudah dalam

memformulasikan hipotesis keilmuan. Cara ini memaksa ahli teori dalam berbagai ilmu untuk

merumuskan hipotesisnya dalam bentuk yang persis dan jelas. Juga hal ini akan memaksa dia

untuk menanggalkan dari masalah keilmuannya segenap perincian yang tidak penting. Sekali

model itu diformulasikan dalam bentuk yang abstrak maka dia merupakan cabang dari

matematika.

Sementara itu Wallis dan Roberts (1962) dalam Suriasumantri (1981), melihat peranan

Statistika dalam tahap-tahap metode keilmuan. Menurut mereka langkah-langkah yang lazim

dipergunakan dalam kegiatan keilmuan dapat dirinci sebagai berikut:

1.      Observasi

2.      Perumusan hipotesis

3.      Peramalan, dan

4.      Pengujian kebenaran

Dalam kegiatan keilmuan peranan statistika adalah penting dalam tahap pertama dan keempat,

yakni observasi dan pengujian kebenaran serta sampai batas tertentu juga penting dalam tahap

kedua yakni dalam merumuskan hipotesis. Metode yang paling penting dalam tahap kedua

adalah intuisi, pemahaman, imajinasi, dan kecerdikan.

Statistika adalah berguna dalam tahap pertama, observasi , karena statistika dapat

menyarankan mengenai apa yang harus diobservasi untuk menarik manfaat yang maksimal serta

bagaimana caranya menafsirkan hasil observasi tersebut.

Dalam tahap kedua, statistika menolong kita dalam mengklasifikasikan, mengikhtisarkan dan

menyajikan hasil observasi dalam bentuk yang dapat dipahami dan memudahkan kita dalam

mengembangkan hipotesis.

Pada tahap keempat dari metode keilmuan, sebuah hipotesis dianggap teruji kebenarannya jika

ramalan yang dihasilkannya didukung oleh fakta. Sebuah hipotesis adalah telah sah diuji bila

pengaruh unsur kebetulan dalam pembuktian telah ditafsirkan dengan benar. Prosedur statistika

memperhitungkan secara obyektif penafsiran yang tidak benar dalam nilai-nilai peluang (

Page 6: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

probability ) ; atau dengan perkataan lain, memperhitungkan resiko dari suatu kesimpulan yang

salah.

Sedangkan Nasoetion dan Barizi (1975) menyatakan adanya tiga hal yang merupakan

masalah utama yang dihadapi para ahli ilmu-ilmu sosial dalam penelitiannya, yaitu:

1.      Penyusunan model

2.      Pengumpulan dan penyederhanaan data

3.      Pengujian terhadap model

Tujuan dari penyusunan model antara lain untuk membimbing peneliti dalam pengumpulan data

agar lebih efisien. Model adalah abstraksi dari keadaan yang sesungguhnya. Khayalan atau

abstraksi inilah yang merupakan model kerjanya. Model ini biasanya diucapkan sebagai

hubungan matematika, karena itu disebut model matematika. Jadi model matematika ini

merupakan suatu penyarian dari keadaan yang sesungguhnya.

Untuk menguji keampuhan model ( matematika ), perlu dikumpulkan data dan

dibandingkan dengan model tersebut. Berdasarkan perbandingan ini suatu model dapat ditolak

atau diterima tergantung ada atau tidaknya penyimpangan-penyimpangan yang berarti antara

model dengan data yang dikumpulkan. Prinsip-prinsip dan prosedur statistika lazimnya

digunakan sebagai alat untuk menguji keampuhan model ini.

Johannes dan Handoko (1974), melihat penggunaan matematika dalam analisis ekonomi

( salah satu cabang ilmu sosial ) sangat menguntungkan, karena :

a.       Hubungan-hubungan antara besaran-besaran/variabel-variabel dalam ekonomi dapat

dinyatakan secara singkat dan seksama

b.       Perubahan-perubahan mudah dilambangkan, diikuti dan dihitung

c.       Tersedia teorema-teorema matematika sebagai alat untuk dipakai

d.       Definisi dan asumsi harus dirumuskan secara tegas serta juga kesimpulan-kesimpulan

pada setiap langkah dalam proses analisis, sehingga kekeliruan oleh uraian yang

kabur dapat dihilangkan

e.       Penerapan matematika pada suatu teori ekonomi dapat menampakan keterbatasan-

keterbatasan serta kemungkinan-kemungkinannya

Jan Tinbergen dalam Kurt Dopfer ed. (1976), seorang pakar ekonometrika

berkebangsaan Belanda dalam pujiannya terhadap karya-karya (tulisan) Nyonya Adelman dan

rekan-rekannya dalam mengembangkan pengukuran gejala-gejala (sosial ekonomi) yang

sebelumnya diperkirakan tidak dapat diukur, mengatakan sebagai berikut :

“ Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat bahwa kemajuan dalam pemahaman kita tidak

dapat hanya didasarkan atas dorongan ini dan hal ini mengandung arti bahwa sejumlah besar

gejala yang diperbincangkan secara lisan oleh rekan-rekan ahli ekonomi harus diukur. Dalam

penjelajahan saya ke berbagai bidang, bahkan fisika pun, tidaklah mengukur variabel-variabelnya

dengan cara yang sama sekali obyektif ; tetapi dengan cara “ pemungutan suara terbanyak “, dan

Page 7: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

menurut pendapat saya suara terbanyak yang diperlukan untuk suatu pernyataan agar menjadi

obyektif adalah kurang dari 100 %, terutama dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial “

( terjemahan dari Goenawan Moehammad, 1983)

 

Dari berbagai pendapat para ahli tersebut di atas semuanya cenderung sampai pada

satu kesimpulan yang sama tentang pentingnya peranan dan manfaat matematika dan statistika

sebagai peralatan analisis seorang ilmuwan sosial.

 

 

IV.   BEBERAPA MASALAH KUANTIFIKASI DALAM ILMU- ILMU SOSIAL

 

Beberapa kesulitan yang dihadapi ilmuwan sosial dalam menggunakan pendekatan

kuantitatif biasanya dapat dikembalikan pada hakekat ilmu sosial dan bekal pengetahuan

ilmuwan sosial itu sendiri dalam matematika dan atau statistika.

Pada hakekatnya kalau kita bicara mengenai pengukuran, maka hal itu selalu dihubungkan

dengan angka, akan tetapi kenyataannya adalah fakta sosial tidak semuanya berwujud data yang

dapat dilihat dengan angka, tetapi banyak yang berwujud data kualitatif yang bersifat konsep atau

pengertian abstrak.

Dalam usaha memperoleh pengukuran yang paling tepat, masalah yang paling pokok

dalam ilmu sosial adalah bagaimana mengukur data kualitatif atau dengan kata lain bagaimana

mengkuatifikasikan data kualitatif. Seperti dikatakan oleh Lazarsfeld, seorang ahli terkemukan

dalam metodologi ilmu sosial :

“…kita menghadapi masalah pokok mengenai kuantifikasi dalam ilmu-ilmu sosial;

rumitnya bahan yang menjadi perhatian kita mengharuskan dibentuknya kesatuan yang

tak langsung terlihat dan sampai kini belum cukup teori yang dapat memperkenankan

mengadakan pilihan antara beberapa alternatif yang sama masuk akal” (Mely G. Tan,

1977).

Selanjutnya menurut Tan (1977), sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan suatu

kelemahan yang terletak pada para ilmuwan sosial sendiri, kecuali para ahli ekonomi, ialah

kurangnya pengetahuan dasar mengenai statistika dan matematika yang mengakibatkan kurang

kemahiran dalam penggunaan metode kuantitatif.

Sedangkan menurut Tampubolon (1984) ada beberapa keberatan mengenai ilmu-ilmu

sosial menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu : perilaku manusia tidak “teratur”, tidak

berulang” (uniform) baik dilihat dari sudut individu maupun antar masyarakat, oleh karena itu

tidak dapat diukur, tidak dapat diramalkan.

Page 8: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

Penerapan matematika dalam ilmu-ilmu sosial hanyalah fragmen-fragmen dari matematika

keseluruhan dan penerapan itu tidak sesukses penerapannya dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam

(fisika). Menurut Tampubolon banyak sebabnya, antara lain adalah :

1.      Usaha yang sejauh ini dilakukan kurang.

2.      Konsep dan variabel empiris yang mendasar belum diisolasikan dan dimurnikan pada

derajat yang sama.

3.      Matematika tumbuh bersama-sama dengan dan sampai batas-batas tertentu terbentuk

menurut kebutuhan fisika dan oleh karena itu kurang cocok dengan masalah-masalah

ilmu sosial, jika masalah-masalah itu sangat berbeda sifatnya dengan masalah-masalah

fisika.

4.      Masalah ilmu sosial yang khas nampaknyamenyangkut variabel yang lebih banyak dari

pada masalah yang biasanya ditangani fisika.

5.      Akhirnya sarjana-sarjana ilmu sosial pada umumnya tidak terdidik benar-benar dalam

matematika.

Tamba (1984) menyoroti beberapa masalah yang selalu timbul setiap kali orang

mencoba membuat suatu model kuantitatif dalam bidang ekonomi untuk keperluan studi empiris.

Pada dasarnya persoalan-persoalannya dapat digolongkan dalam :

1. a)     Pengenalan yang cukup tentang karakteristik masalah, yang meliputi pengetahuan teori

yang berkaitan dengan masalah dan kenyataan-kenyataan yang ada atau diduga ada dalam

kehidupan sebenarnya. Hal ini sangat menentukan kemampuan untuk menciptakan sesuatu

model yang baik.

2. b)     Tersedianya informasi tentang besaran-besaran yang terjadi di masa lalu, yang lazim

disebut data statistik. Di Indonesia hal ini menjadi pembatas utama dalam pembuatan model-

model ekonomi kuantitatif.

3. c)      Tersedianya fasilitas yang memadai untuk keperluan komputasi (kiranya sekarang

bukan masalah besar lagi), dan

4. d)     Tersedianya waktu dan dana yang cukup (inipun sangat relatif)

 

Lebih lanjut Tamba menyatakan bahwa sangat lumrah jika bentuk model ekonometrika di

Indonesia tidak saja ditentukan oleh : persoalan yang ingin ditangani, tetapi juga oleh data yang

tersedia. Adakalanya sejumlah data harus ditaksir berdasarkan variabel lainnya (proxi), atau

terpaksa digunakan asumsi-asumsi yang kadang-kadang harus “sangat berani”. Bila model

memberikan hasil yang masuk akal dan secara teoritis dapat dibenarkan maka model diterima.

Sebaliknya bila hasilnya “aneh”, maka model dimodifikasi dengan menghindari variabel yang

diragukan tadi.

Betapa sulitnya memperoleh data sudah dirasakan oleh para peneliti. Karenanya

tidaklah mengherankan bila ada yang mengeluh bahwa usaha mencari data meliputi 80 % dari

Page 9: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

kegiatan pembuatan model ekonometrika. Keahlian seorang ahli ekonometrika tidak hanya

bergantung pada pengetahuan teoritis tentang ekonometrika itu sendiri serta ilmu-ilmu yang

mendukungnya, tetapi juga kepada kecerdikan untuk menghindari variabel tertentu atau

kemampuan untuk menaksir variabel bersangkutan melalui variabel lain yang datanya tersedia.

Masalah lain yang dapat menjadi tantangan bagi para pengembang metode kuantitatif,

khususnya dalam ilmu-ilmu sosial masih terdapatnya kalangan tertentu yang mengkritik bahwa

penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk prediksi dan kontrol akan mengucilkan tujuan kegiatan

keilmuan lainnya yang bersifat sah. Memang ini sukar untuk dibantah untuk ilmu sosial yang

subyeknya tidak terbebas dari ikatan kebudayaan.

Kemudian ada pihak lain (terutama dari pembela penelitian kualitatif) yang secara

ekstrim menuduh bahwa penelitian kuantitatif telah ketinggalan zaman dan memberikan

kesimpulan yang merupakan distorsi dari kenyataan yang sebenarnya (Suriasumantri, 1988).

Senada dengan pandangan di atas, ekonom Inggris Prof. Paul Ormerod (1994) dalam bukunya

yang kontroversial “The Death of Economics” ,menyatakan bahwa kaum ekonomi ortodoks (ia

menyebutnya demikian) gagal memecahkan persoalan ekonomi dunia saat ini salah satunya

disebabkan mereka membangun teori yang beranak-pinak berdasarkan matematika. Teori

mereka bukan untuk diuji terhadap masalah yang mendesak, melainkan untuk dibela dan

dipertahankan sebagai doktrin. Itulah inti krisis ilmu ekonomi ortodoks.

Pendapat yang cukup bijak diberikan oleh Sinaga (1998) yang menyatakan tentang tetap

diperlukannya pendekatan kualitatif dalam analisis ekonomi/agribisnis, sebab dalam ilmu

ekonomi obyek studinya adalah perilaku manusia dan kelembagaan. Menurutnya banyak aspek

perilaku manusia yang sulit atau bahkan tidak mungkin dikuantifikasi, tetapi aspek-aspek tersebut

tetap harus dipertimbangkan agar pengkajian tetap relevan dan berguna dalam pemecahan

permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Penggunaan pendekatan kuantitatif dalam kajian-

kajian sosial-ekonomi mengalami perkembangan sangat pesat yang didukung oleh

perkembangan teknologi komputer dan informasi. Berbagai perangkat lunak (software) untuk

mendukung analisis kuantitatif tersedia luas dalam berbagai pilihan seperti SPSS, SAS, Lindo,

dan sebagainya. Tetapi dukungan dan kemudahan tersebut mengakibatkan terjadinya ekses,

seperti pemakaian metode dan model kuantitatif yang tidak sesuai dengan fenomena yang dikaji

karena tidak dilandasi oleh ketajaman kajian konseptual teoritis. Metode kuantitatif hanyalah alat

bantu, oleh karena itu pengkajian permasalahan bisnis dan ekonomi dengan menggunakan

pendekatan kuantitatif sebaiknya dilengkapi kajian aspek-aspek kualitatif.

 

V.  PROSPEK PENGGUNAAN PENDEKATAN KUANTITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

 

Page 10: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

 Melihat kecenderungan para ahli ilmu-ilmu sosial (termasuk ilmu-ilmu sosial ekonomi

pertanian) menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai alat bantu analisisnya, maka

kecenderungan seperti itu seyogyanya perlu ditangani secara positif dan penuh kearifan.

Dalam kaitannya dengan masalah ini, Nasoetion (1972) menyatakan bahwa kalau kita

ingin juga merdeka di dalam bidang teknologi, maka jalan satu-satunya untuk melepaskan diri

dari penjajahan teknologi ialah mebina kemampuan untuk berbicara dalam bahasa yang sama

(maksudnya : bahasa matematika sebagai bahasa universal, penulis).

Perihal bahasa yang sama ini juga dikemukakan oleh Zanten (1982) yang menyatakan bahwa

jika seorang peneliti menganalisis soal/masalah yang sama tetapi menggunakan bahasa ilmiah

yang berlainan, maka kesimpulan yang diperoleh juga menjadi berbeda.

Dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial pertanian yang dalam sistem pendidikan tinggi kita

berada di bawah naungan Fakultas Agrocomplex (Pertanian, Peternakan, Perikanan dan

Kehutanan ) pendekatan kuantitatif dapat dikembangluaskan, misalnya untuk menganalisis

masalah-masalah sebagai berikut :

5. 1.       Sosiologi pedesaan dan penyuluhan pertanian dapat memanfaatkan teknik-teknik

sosiometri , misalnya untuk studi sikap, status sosial, jarak sosial, sisitem kepemimpinan

dan lain-lainnya dalam suatu kelompom tani di desa. Di sini teknik membuat skala dan

sosiogram sangat diperlukan. Untuk penyuluhan pertanian, sosiometri berguna,

misalnya dalam usaha mengidentifikasi dan menemukan pemimpin informal, memilih

kontak tani; demikian pula untuk keperluan menentukan impact point (faktor-faktor

penentu) pada saat menyususn program penyuluhan pertanian, serta untuk mengukur

tingkat adopsi sekelompok petani.

Penyuluhan pertanian mungkin juga dapat mencoba memanfaatkan metode psikometri,

misalnya jika anda akan mengembangkan metode penyuluhan dengan pendekatan

massal di mana psikologi sosial berpeluang besar untuk digunakan.

 

6. 2.       Dalam ekonomi pertanian penggunaan pendekatan kuantitatif sudah lebih maju

lagi. Teknik-teknik ekonometri dikembangkan dan disempurnakan terus-menerus untuk

menganalisis masalah-masalah ekonomi. Bagian dari ilmu ekonomi pertanian yang

paling banyak menggunakan pendekatan kuantitatif misalnya Ekonomi Produksi

Pertanian, Ekonomi Sumberdaya Alam / Pertanian, Analisis Harga, Analisis Sistem

Pertanian dan lain-lain. Teknik optimasi (Operation Research/ Management Science)

dapat dipakai untuk menganalisis persoalan manajemen pertanian, perencanaan

pembangunan pertanian dan pedesaan, analisis proyek dan sebagainya.

 

Page 11: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

Dalam menggunakan pendekatan kuantitatif, statistika yang paling banyak dipakai para

ekonom adalah regresi darab (berganda) dan runtun waktu. Para psikolog dan sosiolog senang

sekali menggunakan analisis faktor (Sembiring, 1984).

Namun betapapun penting dan besar kegunaannya, kiranya perlu kita sadari bahwa

matematika dan juga statistika bukanlah pengetahuan yang menentukan, melainkan peralatan

yang sekedar membantu analisis masalah sosial ekonomi.

Djojohadikusumo (1974) memperingatkan bahwa meskipun matematika sangat membantu

melatih logika, meningkatkan kemampuan analisis, tetapi dia tidak bisa dipakai untuk

memecahkan masalah sosial dan ekonomi itu sendiri.

Memang matematika dan statistika hanyalah sebagai alat, dan bukan tujuan. Oleh

karena itu sebaiknya kita berlaku arif di dalam menggunakan alat itu dalam setiap menghadapi

masalah sosial ekonomi. Jan Tinbergen, seorang ahli ekonometrika berkebangsaan Belanda

dengan rendah hati berkata sebagai berikut :

“Altough I am a believer in the use of models, I don’t think that models are the complete

truth. On the contrary, I think they are only a help. They’re a help to the planner, but

unless we add a good deal of common sense, models may very easily lead us astray”

(Supranto, 1980)

Agar penggunaan pendekatan kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial dapat berhasil dengan

baik, banyak usaha dapat dilakukan. Tampubolon (1984) menawarkan tiga jalan yang bisa

ditempuh, yaitu :

1. 1.      Dibutuhkan orang-orang yang terdidik dalam bidang matematika dan ilmu sosial

dan kepada sarjana matematika/statistika dimasukkan bahan-bahan ilmu sosial.

2. 2.      Memperluas penelitian ilmu sosial yang menggunakan pemikiran matematis.

3. 3.      Dibutuhkan penelitian yang menjelaskan secara lebih umum tentang hubungan

yang mungkin antara matematika dan ilmu sosial. Kita mempelajari masalah-masalah

khusus dengan maksud untuk memperoleh pengerian yang lebih baik tentang kecocokan

pemikiran ilmu perilaku dan struktur berbagai metode matematika.

 

Usaha yang pertama tampaknya sudah dicoba, misalnya yang dilaksanakan oleh

Program Studi Statistika Terapan pada F-MIPA Universitas terbuka; kira-kira 25 % dari jumlah

SKS total memuat mata kuliah ilmu sosial atau gabungan dari Matematika, Statistika, dan ilmu-

ilmu sosial seperti Model Ekonometri dan Pengantar Sosiometri. Usaha yang kedua, sudah

dipelopori oleh ilmu ekonomi, psikologi dan untuk sebagian kecil oleh sosiologi dan ilmu politik.

Sedangkan usaha atau jalan yang ketiga dapat diwujudkan dalam bentuk interaksi yang baik

antara statistikawan/matematikawan dan ilmuwan sosial. Dalam hal ini ilmuwan sosial

menyediakan data atau permasalahan, sedangkan statistikawan/matematikawan menyediakan

atau mencari (kalau belum ada) metode analisis yang sesuai dengan permasalahan yang

Page 12: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

diajukan oleh ilmuwan sosial. Kerjasama seperti itu telah berhasil dirintis oleh fisikawan dan ahli-

ahli teknik dengan para matematikawan/statistikawan, sehingga perkembangan

matematika/statistika seringkali dipengaruhi oleh perkembangan dalam fisika dan ilmu teknik, dan

begitupun sebaliknya.

Salah satu contoh yang patut untuk diketengahkan mengenai kerjasama antara ilmuwan

sosial dan matematikawan adalah diciptakannya fungsi produksi Cobb-Douglas yang terkenal itu.

Fungsi produksi Cobb-Douglas dibuat oleh matematikawan Charles W. Cobb dan ekonom Faul

H. Douglas sekitar tahun 1928.

Dari hasil kerjasama ini dapat diharapkan munculnya generasi baru, berupa ilmuwan

sosial yang tangguh dalam penguasaan metode kuantitatif, sebaliknya pada pihak lain para

matematikawan/statistikawan akan menjadi lebih peka lagi di dalam mengantisipasi penggunaan

pengetahuannya, sebab matematika dan statistika tak dapat tumbuh subur dalam lingkungan

yang tertutup. Statistika/matematika sebagai suatu disiplin ilmu tidaklah menghasilkan data; data

berasal dari disiplin ilmu lain, seperti ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Karena itu, statistika

tanpa bidang lain akan cenderung steril.

Idealnya barangkali, terbentuknya ilmuwan sosial yang juga mahir dalam penguasaan

metode kuantitatif dan terbentuknya statistikawan/matematikanwan yang mempunyai minat yang

besar terhadap ilmu sosial. Ini bukan usaha yang mudah, seperti yang dikatakan oleh Sembiring

(1984) :

“Membentuk staf khusus di suatu jurusan untuk melayani kebutuhan statistika sudah

tentu bukan hal yang mudah. Mencari seorang sosiolog, misalnya yang memahami

statistika dengan baik bukanlah hal yang mudah, demikian pula mencari seorang

statistikawan yang senang pada sosiologi mungkin lebih sulit lagi, apalagi statistikawan

di banyak negara (termasuk di Indonesia) masih merupakan komoditas langka “

Meskipun usaha-usaha untuk memasyarakatkan pendekatan kuantitatif di kalangan

ilmuwan sosial atau calon ilmuwan sosial tidak mudah, karena adanya hambatan-hambatan

tertentu tetapi usaha itu harus terus dicoba.

Nasoetion (1972) salah seorang pakar yang terkenal getol dalam usaha

memasyarakatkan Matematika dan Statistika di Indonesia, mengomentari tentang perlunya para

mahasiswa (IPB) yang duduk di Tingkat Persiapan Bersama (lamanya 3 semester) mendapat

bekal Matematika dan Statistika yang porsinya sama untuk setiap mahasiswa. Komentarnya

adalah sebagai berikut :

“Terhadap pertanyaan, mengapa syarat minimum itu juga dikenakan kepada mahasiswa-

mahasiswa yang terjun ke bidang sosial ekonomi dari ilmu-ilmu pertanian, dapat kiranya

dikemukakan bahwa justru masalah di dalam bidang ini memerlukan lebih banyak

matematika dan statistika. Penggolongan ilmu menjadi ilmu-ilmu eksakta dan non

eksakta ini sebenarnya sudah tidak pada tempatnya lagi”.

Page 13: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

 

  

VI . KESIMPULAN

 

Dari uraian makalah ini kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. 1.       Adanya kecenderungan semakin meluasnya penggunaan metode kuantitatif di

kalangan ilmuwan sosial sebaiknya kita sambut secara positif. Kecenderungan ini

tidaklah jelek asalkan dapat memperjelas masalah sosial yang terjadi sehingga dapat

ditemukan jalan keluar yang tepat.

2. 2.       Model kuantitatif (matematika dan statistika) bukan menjadi tujuan dari pemecahan

suatu masalah sosial, tetapi ia hanyalah suatu alat untuk membantu analisis pemecahan

masalah.

3. 3.       Perlunya usaha-usaha untuk lebih memasyarakatkan pendekatan kuantitatif di

kalangan ilmuwan sosial.

4. 4.       Terhadap pertanyaan : kuantifikasi ilmu-ilmu sosial suatu kemajuan atau

pembiasan jawabannya tergantung pada sejauh mana ilmuwan sosial berlaku arif

menggunakan metode kuantitatif dalam analisisnya. Jika tidak hati-hati akan merupakan

pembiasan, sebaliknya jika tepat guna akan merupakan langkah maju yang bermanfaat.

Sebagaimana sebuah alat bantu, seperti halnya sebuah pisau, tergantung bagaimana ia

menggunakannya. Yang penting “the man behind the gun”.

 

 

KEPUSTAKAAN

 

Encyclopedya Encarta 2002. Microsoft Corporation

Johannes, Herman dan Budiono Sri Handoko. 1978. Matematika untuk Ekonomi.

LP3ES. Jakarta.

Kariawan, Hendi. 1986. “Dinamika Perkembangan Teori Ekonomi dan Implikasinya bagi Indonesia” dalam Prisma No.10-1986.

Kemeny, John G. 1959. “Matematika Tanpa Bilangan: Matematika untuk Ilmu-ilmu Sosial “ dalam Suriasumantri (Ed.) : Ilmu dalam Perspektif (1981). Gramedia. Jakarta.

Nasoetion, Andi Hakim dan Barizi. 1979. Metode Statistika untuk Penarikan Kesimpulan. Gramedia. Jakarta.

Nasoetion, Andi Hakim. 1970. “Pengetahuan Matematika untuk Generasi Indonesia Masa Depan” dalam Damanhuri (1985) : Daun-daun Berserakan. Inti Sarana Aksara. Jakarta.

------------------------------ . 1972. “Statistika, Tongkat Pembimbing ke Daerah Ketidaktahuan : Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar Statistika dan Genetika Kuantitatif di IPB, 20 Mei 1972” dalam Damanhuri (1985) : Daun-daun Berserakan. Inti Sarana Aksara. Jakarta.

Ormerod, Paul. 1998. Matinya Ilmu Ekonomi. Gramedia. Jakarta

Page 14: 2584923-Kuantifikasi-Ilmuilmu-Sosial

Sembiring, R.K. 1984. “ Pendidikan Statistika di Indonesia” dalam Prisma No. 10-1984.

Sinaga, Bonar M. 1998. Pendekatan Kuantitatif Dalam Agribisnis. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi-Faperta-IPB. Bogor

Supranto, J. 1980. Metode Ramalan Kuantitatif untuk Perencanaan. Gramedia. Jakarta.

Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Sinar Harapan. Jakarta.

Tamba, J. L. 1984. “Model-model Ekonometri dan Data Statistik” dalam Prisma No.10- 1984.

Tampubolon, P.N. Usman. 1984. “Matematisasi Ilmu-Ilmu Sosial” dalam Priyono et.al. (Ed, 1984): Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. PLP2M. Yogyakarta.

Tan, Melly G. 1977. “Penggunaan Data Kuantitatif” dalam Koentjaraningrat (Ed., 1977): Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta.

Tinbergen, Jan. 1983. “Lebih Banyak Penelitian Empiris” dalam Kurt Dopfer : Ilmu Ekonomi Masa Depan Menuju Paradigma Baru (Terjemahan Goenawan Moehammad). LP3ES. Jakarta.

Wallis, W. Allen dan Harry V. Roberts. 1962. “Statistika dan Metode Keilmuan” dalam Suriasumantri (1981) : Ilmu dalam Perspektif. Gramedia. Jakarta.

Zanten, Wim van. 1982. Statistika untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta.