2.1. sistem, pendekatan sistem dan model 2.1.1....

24
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistem Secara leksikal, sistem berarti susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004). Hartrisari (2007), mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan. Menurut Muhammadi et al. (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan ( aggregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan. Pengertian interaksi adalah pengikat atau penghubung antar unsur, yang memberi bentuk/struktur kepada obyek, membedakan dengan obyek lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek. Pengertian unsur adalah benda, baik konkrit atau abstrak yang menyusun obyek sistem. Kinerja sistem ditentukan oleh fungsi unsur. Gangguan salah satu fungsi unsur mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi kinerja sistem secara keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem disebut bagian sistem atau sub-sistem (Muhammadi et al., 2001). Sistem terdiri atas komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah bagian-bagian dari sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil disebut dengan sub-sistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut (Muhammadi et al., 2001).

Upload: hadien

Post on 29-Apr-2018

235 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model

2.1.1. Sistem

Secara leksikal, sistem berarti susunan yang teratur dari pandangan, teori,

asas dan sebagainya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha

yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha

untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004).

Hartrisari (2007), mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang

saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan. Menurut Muhammadi et

al. (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek

dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian

keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan (aggregate),

yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh

lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan.

Pengertian interaksi adalah pengikat atau penghubung antar unsur, yang

memberi bentuk/struktur kepada obyek, membedakan dengan obyek lain, dan

mempengaruhi perilaku dari obyek. Pengertian unsur adalah benda, baik konkrit

atau abstrak yang menyusun obyek sistem. Kinerja sistem ditentukan oleh fungsi

unsur. Gangguan salah satu fungsi unsur mempengaruhi unsur lain sehingga

mempengaruhi kinerja sistem secara keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem

disebut bagian sistem atau sub-sistem (Muhammadi et al., 2001).

Sistem terdiri atas komponen, atribut dan hubungan yang dapat

didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah bagian-bagian dari sistem

yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem

mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem

sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem

terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah

menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil disebut

dengan sub-sistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat

dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut mengkarakteristikkan parameter

sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan

atribut (Muhammadi et al., 2001).

Page 2: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

14

Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir

sistem (system thinking), di antaranya adalah: (1) holistik tidak parsial; system

thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) sibernitik (goal oriented);

system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak

mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem

erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas

mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis

dan terorganisasi guna mencapai tingkat yang efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu

sistem, hasil harus efektif dibanding efisien; ukurannya adalah cost effective

bukan cost efficient, akan lebih baik apabila hasilnya efektif dan sekaligus efisien.

2.1.2. Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang

menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin, 2004). Menurut

Eriyatno (1999) karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar

bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru

yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem

merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya

identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat

menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan

sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk

memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.

Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem

diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai

bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan

tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau

pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan

manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara

koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan

manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu

cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang

dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu

kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar

mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuan.

Page 3: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

15

2.1.3. Model

Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata

yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu.

Menurut Eriyatno (1999), model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang

akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal

balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila

dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Biasanya model

dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan evaluasi kebijakan, yaitu

menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan

(Tasrif, 2004).

Menurut Muhammadi et al. (2001), berdasarkan adanya pemahaman

tentang kejadian sistemik, ada lima langkah yang dapat ditempuh untuk

menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, yaitu:

Langkah pertama, identifikasi proses, yaitu mengungkapkan pemikiran

tentang proses nyata (actual transformation) yang menimbulkan kejadian nyata

(actual state). Proses nyata tersebut merujuk kepada obyektivitas dan bukan

proses yang dirasakan atau subyektivitas.

Langkah kedua, identifikasi kejadian yang diinginkan adalah memikirkan

kejadian yang seharusnya, yang diinginkan, yang dituju, yang ditargetkan

ataupun yang direncanakan (desired state). Keharusan, keinginan, target dan

rencana merujuk kepada waktu yang akan datang, sehingga disebut pandangan

ke depan atau visi. Visi yang baik perlu dirumuskan dengan kriteria layak

(feasible) dan dapat diterima (aceptable).

Langkah ketiga, memikirkan tingkat kesenjangan antara kondisi faktual

dengan yang diinginkan. Kesenjangan adalah masalah yang harus dipecahkan

atau merupakan tugas (misi) yang harus diselesaikan. Perumusan masalah

secara konkrit bisa dinyatakan dalam ukuran kuantitatif atau kualitatif.

Langkah keempat, identifikasi mekanisme tentang variabel-variabel untuk

menutup kesenjangan antara faktual dengan kejadian yang diinginkan. Dinamika

tersebut adalah aliran informasi tentang keputusan-keputusan yang telah bekerja

dalam sistem, yang merupakan hasil pemikiran dari proses pembelajaran yang

dapat bersifat reaktif ataupun kreatif. Pemikiran reaktif ditunjukkan oleh aksi yang

bentuk atau polanya sama dengan tindakan masa lampau dan kurang antisipatif

terhadap kejadian yang akan datang. Sedangkan pemikiran kreatif ditunjukkan

oleh aksi yang bentuk atau polanya berbeda dengan masa lampau yang dapat

Page 4: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

16

bersifat penyesuaian tindakan masa lampau (adjustment) atau berorientasi masa

depan (visionary).

Langkah kelima, analisis kebijakan, yaitu menyusun alternatif tindakan atau

keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata sebuah

sistem dalam menciptakan kejadian nyata. Keputusan tersebut dimaksudkan

untuk mencapai kejadian yang diinginkan. Alternatif tersebut dapat satu atau

kombinasi bentuk-bentuk intervensi, baik yang bersifat struktural atau fungsional.

Intervensi struktural artinya mempengaruhi mekanisme interaksi pada sistem,

sedangkan intervensi fungsional artinya mempengaruhi fungsi unsur dalam

sistem. Pengembangan dan penetapan alternatif intervensi tersebut dipilih

setelah dilakukan pengujian (simulasi komputer atau simulasi pendapat pakar).

Perilaku dinamis dalam model dapat dikenali dari hasil simulasi model.

Simulasi model terdiri atas beberapa tahap, yaitu penyusunan konsep,

pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi. Model dapat dinyatakan

baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses

yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi

digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.

2.2. Sistem Produksi Padi Sawah

Padi merupakan salah satu komoditas prioritas yang menjadi fokus

perhatian saat ini dan di masa yang akan datang. Prioritas komoditas ditetapkan

berdasarkan kriteria kuantitaif, mencakup: produksi, luas panen, nilai tambah,

serapan tenaga kerja dan daya saing (Suryana, 2005). Indikator dapat pula

bersifat kualitatif, seperti kebijakan, sosial-budaya, dan manajemen industri.

Pemberian indeks untuk masing-masing indikator dilakukan dengan

memanfaatkan expertise judgement oleh pakar yang berpengalaman luas pada

bidangnya.

Pada umumnya usaha tani padi di Indonesia diusahakan dalam skala kecil

oleh sekitar 18 juta petani, akan tetapi usaha tani padi menyumbang 66%

terhadap produk domestik bruto (PDB) tanaman pangan, memberikan

kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga dengan

sumbangan pendapatan 25-35% (Badan Litbang Pertanian, 2005b). Oleh sebab

itu, komoditas padi tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan

ketahanan pangan nasional, sehingga menjadi basis utama dalam revitalisiasi

pertanian ke depan.

Page 5: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

17

Pengertian skala usaha tani mengacu pada konsep "retun to scale".

Selama ini konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai pendekatan teoritis

mengenai skala optimal usaha tani (Chavas, 2001 dalam Sumaryanto, 2009).

Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan beragam kesimpulan. Sen

(1962) menemukan adanya hubungan terbalik antara luas garapan dengan

produktivitas pada usaha tani di India. Kemudian, pada dekade 70-an, studi

Yotopoulos and Lau (1973) dan Berry and Cline (1979) yang dikutip dari

Sumaryanto (2009) memperoleh kesimpulan bahwa pada usaha tani di India

ternyata skala kecil relatif lebih efisien daripada skala besar; dan tidak

disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi usaha tani karena secara umum

ternyata usaha kecil berada pada kondisi "constant return to scale". Dalam

konteks penelitian ini pengertian mengenai skala usaha tani akan dikaitkan

dengan kebutuhan hidup layak minimal petani dan garis kemiskinan (poverty line)

yang diacu di wilayah perdesaan.

2.2.1. Faktor-Faktor Produksi Padi Sawah

Dalam sistem produksi padi sawah terdapat tiga faktor dasar paradigmatik,

yaitu benih, tanah dan tenaga (Sitorus, 2006). Ketiga unsur dasar tersebut

membentuk pertanian melalui proses interaksi triangular yang berpusat pada

budaya tertentu. Implikasi dari asumsi ini adalah bahwa pengembangan benih,

tanah dan tenaga yang unggul berikut pola interaksi berinti budaya antara

ketiganya harus menjadi fokus utama dalam pengembangan sistem produksi

padi. Sedangkan faktor-faktor produksi, seperti pupuk, obat-obatan, alat dan

mesin pertanian (alsintan) bersifat pendukung (supportif) terhadap ketiga unsur

dasar tersebut. Pupuk dan air irigasi adalah faktor pendukung untuk tanah; obat-

obatan adalah faktor pendukung untuk benih, sedangkan alsintan adalah faktor

pendukung untuk tenaga kerja (petani), dalam arti meningkatkan efisiensi dan

efektivitas kerja petani. Implikasi asumsi ini bahwa fokus aktivitas pengembangan

sistem produksi padi bergeser dari tiga serangkai “pupuk-obat-obatan-alsintan”

ke “benih-tanah-tenaga”.

Benih adalah faktor produksi yang menjadi penentu utama atau ”patokan

dasar” tingkat perkembangan dan kemajuan pertanian, sehingga efektivitas

faktor-faktor produksi akan ditentukan oleh tingkatan teknologi benih (Sitorus,

2006). Di antara komponen teknologi produksi, varietas unggul mempunyai

peranan yang lebih besar dalam peningkatan produktivitas padi. Hasil riset World

Page 6: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

18

Bank menyimpulkan, benih varietas unggul bersertifikat (VUB) merupakan

penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap peningkatan produksi padi, diikuti

irigasi (5%) dan pupuk (4%). Interaksi VUB, irigasi, dan pupuk dapat

meningkatkan produktivitas mencapai 75%, sedangkan sumbangan dari

perluasan areal tanam hanya 25%. (Fagi et al., 2001).

Mayoritas produksi padi nasional (69%) disumbang oleh penggunaan benih

VUB dan sisanya oleh varietas sedang (16%), dan rendah (15%). Penggunaan

benih VUB secara nasional baru mencakup 47% dari kebutuhan benih padi

nasional (Sitorus, 2009a). Lebih lanjut Sitorus menyatakan bahwa benih padi

VUB adalah determinan pokok peningkatan produksi, sehingga dapat dikatakan

bahwa swasembada beras hanya mungkin dicapai di atas basis ketersediaan

benih padi VUB.

Peranan benih padi VUB, tidak terlepas dari peranan produsen benih dan

sistem perbenihan nasional. Data 1970-an sampai 2000-an menunjukkan bahwa

peningkatan jumlah benih padi VUB berbanding lurus dengan peningkatan

produksi padi nasional. Benih padi VUB produksi Sang Hiang Sri memasok 61%

dari pangsa penggunaan benih bersertifikat secara nasional, atau 28% dari total

kebutuhan benih nasional (292.500 ton). Fakta ini membuktikan, peran signifikan

benih VUB dalam pencapaian swasembada beras tahun 1984 dan 2008 (Sitorus,

2009a). Kemampuan industri benih padi untuk memenuhi total kebutuhan benih

nasional, baru mencapai 47%, artinya, lebih dari setengah kebutuhan benih padi

nasional (53%) dipenuhi oleh benih nonsertifikat bermutu rendah yang dihasilkan

petani dan penangkar lokal.

Faktor produksi tanah, mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai

matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan (2)

sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Kedua fungsi tersebut dapat

menurun atau hilang. Hilangnya fungsi kedua dapat segera diperbaiki dengan

pemupukan, sedangkan hilangnya fungsi pertama tidak mudah diperbaiki atau

diperbaharui karena memerlukan waktu yang lama, puluhan bahkan ratusan

tahun untuk pembentukan tanah (Arsyad, 2006).

Indonesia terletak di daerah tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi,

topografi yang curam dan sumber daya manusia yang tergolong rendah,

sehingga masalah degradasi tanah cukup penting diperhatikan. Degradasi tanah

adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan

tanah, kehilangan atau perubahan kenampakan (features) tanah yang tidak

Page 7: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

19

dapat diganti (Sitorus, 2009b). Degradasi tanah adalah proses yang

menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk

mendukung suatu kehidupan. Salah satu indikator menurunnya kualitas lahan,

khususnya sawah adalah menurunnya kandungan C organik tanah.

Faktor-faktor yang sering menyebabkan kerusakan tanah antara lain erosi

tanah, hilangnya unsur hara dan bahan organik tanah karena pencucian

(leaching) dan atau terangkut melalui panen tanpa ada usaha untuk

mengembalikannya, timbulnya senyawa-senyawa beracun dan penjenuhan air

(Arsyad, 2006; Sitorus, 2001). Secara umum degradasi tanah disebabkan oleh

faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Faktor alami penyebab

degradasi tanah, antara lain: lahan berlereng curam, tanah yang mudah rusak,

curah hujan intensif, dan lain-lain (Sitorus, 2009b). Sedangkan degradasi tanah

akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih

mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain: perubahan populasi,

marjinalisasi penduduk, kemiskinan (poverty), masalah kepemilikan lahan

(proverty), ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial

ekonomi, masalah kesehatan, pertanian tidak tepat (inappropriate agriculture)

dan aktivitas pertambangan/industri (Sitorus, 2009b).

Degradasi tanah berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah.

Tanah yang mengalami kerusakan baik kerusakan karena sifat fisik, kimia

maupun biologi memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai

sekitar 22% pada lahan semi kritis, 32% pada lahan kritis, dan diperkirakan

sekitar 38% pada lahan sangat kritis (Sudirman dan Vadari, 2000).

Faktor tenaga kerja memegang peranan yang sangat penting dalam sistem

produksi padi sawah. Ketersediaan tenaga kerja yang cukup akan mendorong

pengelolaan sistem produksi padi secara lebih intensif. Di wilayah dimana

ketersediaan tenaga kerja kurang, pengelolaan usaha tani padi cenderung

dilakukan seadanya (tidak intensif). Penggunaan alsintan sebagai pengganti

fungsi tenaga manusia memerlukan banyak pertimbangan, karena tidak semua

lokasi sesuai untuk penggunaan alsintan. Kelangkaan tenaga kerja juga

membuat upah lebih tinggi, sehingga biaya usaha tani meningkat.

Faktor iklim bukan merupakan faktor produksi padi, tetapi merupakan unsur

terpenting yang sangat berpengaruh terhadap sistem produksi padi. Terjadinya

variabilitas dan perubahan iklim global menyebabkan kondisi iklim menjadi tidak

menentu, pola iklim telah berubah dan tidak pasti, fluktuasi iklim lebih besar,

Page 8: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

20

kondisi ekstrim sering terjadi. Perubahan iklim global mempengaruhi setidaknya

tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan

pertanian (Las, 2007), yaitu : (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak

terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b)

berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kajadian iklim

ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina dan (c) naiknya permukaan

air laut akibat mencairnya gunung es di kutub utara.

Anomali iklim El-Nino berlangsung mengikuti siklus yang dapat berulang

antara 3-4 tahun sekali. Hal ini dapat mengakibatkan musim kemarau yang lebih

panjang dari semestinya. Lahan pertanian tidak dapat digarap, mundurnya

musim tanam, defisit air di jaringan irigasi, dan terjadinya kekeringan (Las, 2007).

Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian dapat berupa dampak

langsung, seperti (a) menurunnya produktivitas tanaman pangan yang

disebabkan oleh meningkatnya temperatur, peningkatan variabilitas curah hujan

dan salinitas air; (b) meningkatnya kehilangan hasil panen yang disebabkan

meningkatnya frekuensi maupun intensitas kejadian iklim ekstrim (bahaya iklim);

dapat juga berupa dampak tidak langsung seperti munculnya bahaya serangan

hama dan penyakit (Watanabe, 2008; Boer and Las, 2008).

2.2.2. Produksi dan Produktivitas Padi Sawah

Upaya peningkatan produksi padi telah lama menjadi kebijakan nasional.

Kilas balik sejarah peningkatan produksi dan produktivitas padi di Indonesia,

dimulai dari penerapan panca usaha tani yang mendasari program Bimas sejak

1969 dengan menggunakan varietas introduksi dari IRRI yaitu IR-8 dengan

potensi hasil 4,5 t/ha (DeDatta, 1981). Kebijakan intensifikasi pertanian melalui

Bimas pada era tersebut berhasil mewujudkan swasembada beras pada tahun

1984. Pendekatan yang lebih holistik melalui Supra Insus dicanangkan tahun

1987 dengan ”10 jurus teknologi paket-D”. Program Supra Insus didukung

berbagai VUB yang lebih tahan hama dan penyakit, terutama IR-64, sehingga

mampu kembali meningkatkan produksi padi sampai menembus 50 juta ton pada

tahun 1996, namun dengan laju kenaikan produksi per tahun lebih rendah dari

sebelumnya (Zaini, 2009).

Tahun 1997 dicanangkan Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi Padi,

Kedelai dan Jagung (Gema Palagung). Upaya ini kurang efektif karena laju

kenaikan produksi padi, jagung, dan kedelai masih lebih rendah dari laju

Page 9: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

21

kenaikan permintaan. Produktivitas dari total faktor produksi juga turun, yang

menandakan bahwa untuk memperoleh tingkat produksi yang sama diperlukan

input lebih besar atau penambahan input tidak proporsional dengan kenaikan

hasil (tidak efisien).

Pilot percontohan Sistem Usaha Tani Padi Berwawasan Agribisnis

(SUTPA) tahun 1995-1997 di 14 provinsi dimotori oleh Badan Litbang Pertanian.

Teknologi yang diintroduksi meliputi VUB Memberamo dan Cibodas serta

teknologi hemat tenaga kerja melalui sistem tanam benih langsung, pemupukan

spesifik lokasi, dan penggunaan alat tanam benih langsung (Adnyana, 1997).

Pada tahun 2002 digulirkan model Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu

(P3T) yang terdiri atas pilot percontohan penerapan ”Pengelolaan Tanaman

Terpadu (PTT)” di 26 kabupaten dan Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) di 20

kabupaten. Model usaha tani dan paket teknologi serta pola pengembangannya

ditetapkan berdasarkan karakteristik dan kebutuhan wilayah serta disesuaikan

dengan kebutuhan pasar sehingga kegiatan pengembangannya diharapkan

dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mendorong berkembangnya sistem

dan usaha agribisnis di pedesaan.

Melalui model PTT, varietas unggul yang dikembangkan mampu

berproduksi sesuai dengan potensi genetiknya. Peningkatan produksi padi

dengan menerapkan model PTT di tingkat penelitian, tingkat pengkajian

(onfarm), dan tingkat petani, masing-masing mencapai 37%, 27% dan 16%.

Dalam model PTT, komponen budi daya, seperti pengelolaan hama terpadu

(PHT) dapat menekan kehilangan hasil rata-rata 2,4% tahun-1. Penerapan panen

beregu dapat menekan kehilangan hasil panen sekitar 13,1 - 18,6% menjadi

3,8% (Badan Litbang Pertanian, 2005a).

Produksi padi nasional sejak tahun 1970 hingga 2004 meningkat hampir

tiga kali lipat. Hal ini terkait dengan peningkatan produktivitas dan luas areal

tanam. Peningkatan produktivitas padi dalam kurun waktu tersebut mencapai

87,6%, dari 2,42 ton ha-1 pada tahun 1970 menjadi 4,54 ton ha-1 pada tahun

2004 (Badan Litbang Pertanian, 2005a). Dalam beberapa tahun terakhir laju

peningkatan produksi padi nasional cenderung melandai. Dalam periode 2000-

2003, laju kenaikan produksi hanya 0,2% tahun-1. Di sisi lain, laju peningkatan

produktivitas padi cukup tinggi yang mencapai 1,0% tahun-1, tetapi luas panen

turun 0,9% tahun-1. Indeks pertanaman (IP) juga menurun dari 1,56 pada tahun

2002 menjadi 1,43 pada tahun 2003. Penurunan IP mengindikasikan bahwa

Page 10: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

22

usaha tani padi mendapat saingan dari usaha tani lain yang lebih

menguntungkan.

Ada tiga faktor yang dipertimbangkan dalam memproyeksikan kapasitas

produksi padi sawah, yaitu luas baku sawah, IP padi, dan produktivitas (Badan

Litbang Pertanian, 2005a). Data statistik Departemen Pertanian (2004)

menunjukkan bahwa luas baku sawah menciut 0,4% tahun-1. IP diestimasi pada

angka 154%. Peningkatan produktivitas sebesar 1,0% tahun-1 adalah nilai rata

rata peningkatan produktivitas dalam periode 2000-2004.

Menurut Badan Litbang Pertanian (2005a), potensi lahan sawah non rawa

pasang surut yang sesuai untuk tanaman padi seluas 13,26 juta ha, lebih dari

50% terdapat di Maluku dan Papua dan hanya 0,85 juta ha terdapat di Bali dan

Nusa Tenggara. Dari 13,26 juta ha potensi lahan sawah yang ada, baru 6,86 juta

ha yang telah dimanfaatkan. Dengan demikian terdapat 6,4 juta ha lahan yang

dapat dikembangkan untuk sawah. Namun perlu dipertimbangkan beberapa hal:

(1) investasi yang mungkin tinggi; (2) kelanggengan fungsi lahan pertanian yang

baru dibuka; (3) ketersediaan tenaga kerja pertanian; (4) dampak lingkungan

atau perubahan ekosistem dan degradasi lingkungan; dan (5) masih adanya

alternatif peningkatan produksi padi melalui peningkatan produktivitas dan IP.

2.2.3. Nilai Penerimaan Usaha tani Padi Sawah

Hasil studi PSE (2001) menyimpulkan bahwa keuntungan usaha tani padi

menunjukkan disparitas antar wilayah, musim dan agroekosistem. Kisaran

keuntungan masing-masing adalah 13-18,4% di Majalengka (Jawa Barat), 13,7 –

16,1% di Klaten (Jawa Tengah), 10,5 – 16,9% di Kediri (Jawa Timur), 14,8-15,5%

di Siderap (Sulawesi) dan 12 – 24% di Agam (Sumatera) (Sudaryanto dan

Agustian, 2003).

Hasil penelitian Badan Litbang Pertanian (2005a) menunjukkan bahwa nilai

penerimaan dari usaha tani padi dengan status garapan milik pada musim hujan

(MH), musim kemarau (MK) I, dan MK II berturut-turut adalah Rp 5,5 juta, Rp 5,4

juta, dan Rp 5,3 juta ha-1. Total biaya tunai untuk masing-masing musim tanam

adalah Rp 2,7 juta, Rp 2,9 juta, dan Rp 3 juta ha-1, sehingga keuntungan atas

biaya tunai berturut-turut adalah Rp 2,7 juta, Rp 2,6 juta, dan Rp 2,3 juta ha-1

(43,39 – 49,09%). Pada usaha tani padi dengan status garapan sewa,

keuntungan atas biaya tunai pada MH hanya sekitar Rp 1 juta ha-1 (18,18%)

karena kompensasi untuk sewa lahan mencapai Rp 1,56 juta ha-1 musim-1. Pada

Page 11: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

23

MK I keuntungan lebih rendah dan bahkan pada MK II keuntungan kurang dari

Rp 500 ribu ha-1 (9,43%). Sedangkan pendapatan usaha tani padi dengan status

garapan sakap (bagi hasil) lebih tinggi daripada garapan sewa. Pada MH,

keuntungan atas biaya tunai rata-rata Rp 1,15 juta ha-1 (20,90%), pada MK I

meningkat menjadi Rp 1,35 juta ha-1 (25%).

Peningkatan pendapatan petani dapat ditempuh melalui optimasi usaha

tani padi sawah dengan menggunakan model matematis program tujuan ganda

(goal programming) (Siswanto, 2006). Langkah awal yang diperlukan dalam

upaya penyelesaian masalah optimal adalah penyusunan model yang tepat

dengan memperhitungkan variabel dan parameter yang berkaitan secara

langsung. Hubungan antar variabel dan antar parameter pada realitasnya sangat

rumit dan saling berkaitan, sehingga perlu dilakukan penyederhanaan dalam

bentuk model yang berfungsi sebagai alat bantu memperoleh gambaran umum

masalah yang sedang dihadapi. Haluan (1985) dalam Heroe (2005), mengartikan

optimasi sebagai suatu kata kerja yang berarti menghitung atau mencari titik

optimum. Kata benda optimasi merupakan peristiwa atau kejadian proses

optimasi. Jadi, teori optimasi mencakup studi kuantitatif tentang titik optimum dan

cara-cara untuk mencarinya. Penelitian tentang optimasi secara luas pada

berbagai komoditas pertanian telah banyak dilakukan, tetapi umumnya masih

menggunakan pendekatan optimasi konvensional, yaitu dengan tujuan tunggal,

sehingga model yang dihasilkan sangat spesifik dan teoritis.

Metode optimasi di bidang pertanian dengan pendekatan program

matematika konvensional, biasanya menggunakan asumsi dasar yaitu optimasi

dengan tujuan tunggal. Kenyataannya, optimasi akan dihadapkan pada kondisi

kompleks yang memerlukan adanya kompromi di antara beberapa tujuan yang

dapat saling bertentangan. Untuk mencapai kompromi di antara beberapa tujuan

dalam optimasi, menurut Romeo dan Rehman (1989) dalam Heroe (2005) perlu

dikembangkan teknik pengambilan keputusan dengan kriteria ganda (multiple

criteria decision making technique). Salah satu metode yang dapat digunakan

dalam pengambilan keputusan dengan kriteria ganda adalah Goal Programming

(Siswanto, 2006)

Page 12: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

24

2.3. Kemiskinan, Kemandirian dan Ketahanan Pangan

2.3.1. Kemiskinan

Thomas Malthus pada akhir abad 18 (1798) menyatakan kehawatirannya

bahwa “bumi tidak dapat lagi menyediakan pangan yang cukup bagi

penghuninya, karena telah melewati batas daya dukung (carrying capacity).”

Penduduk yang banyak merupakan penyebab kemiskinan, karena laju

pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, tak akan pernah terkejar oleh

peningkatan produksi pangan dan papan yang hanya mengikuti deret hitung.

Diperkirakan, dengan kenaikan rata-rata penduduk dunia sebesar 2% per tahun,

maka pada tahun 2035 populasi penduduk dunia akan mencapai 12 milyar, dan

pada akhir abad 21 diperkirakan akan mencapai 50 milyar. Bisa dibayangkan bila

kondisi ini benar-benar terjadi, sementara sumber daya alam yang tidak

terbarukan sangat terbatas.

Teori Malthus ini pada dasarnya beranjak dari dua gagasan utama, yaitu:

manusia selalu membutuhkan pangan, sandang dan papan untuk hidupnya dan

nafsu seksualnya tidak akan pernah berubah sifatnya. Bahkan pada abad 20

masih banyak pemikir dunia yang meramalkan bahaya kelaparan besar (great

famine) akan terjadi meskipun tidak sepenuhnya terbukti (Ehrich, 1968) dan

Brown and Kane, 1994 dalam Rogers et al., 2008).

Ada berbagai cara pengukuran kemiskinan, karena kemiskinan dilihat

sebagai fenomena yang multidimensi (Chambers, 1995). Kemiskinan dapat

diukur secara absolut ataupun secara relatif. Kemiskinan absolut terlihat dari

kehidupan yang di bawah minimum, atau di bawah standar yang diterima secara

sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Kemiskinan relatif dilihat dalam

perbandingannya dengan segmen yang lebih atas.

Kemiskinan juga dapat didekati dari sisi obyektif dan subyektif. Obyektif

merupakan pendekatan tradisional ilmiah didasarkan kepada pendekatan

kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan pendekatan subyektif

tergantung pada penilaian masyarakat setempat. Bank Dunia memberi batasan

bahwa “extreme poverty” adalah kondisi jika seseorang hidup dengan biaya

kurang dari 1 dollar AS hari-1, dan “poverty” jika kurang dari 2 dollar AS hari-1.

Penilaian Bank Dunia ini hanya melihat kemiskinan pada tingkat individual saja.

Kemiskinan juga dapat diukur berdasarkan pengeluaran kapita-1tahun-1

setara dengan nilai tukar beras. Standar kebutuhan beras yang dipakai adalah

Page 13: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

25

standar kemiskinan di perdesaan 320 kg kapita-1tahun-1 (Sajogjo, 1997). Sajogjo

membagi menjadi tiga kelompok kemiskinan berdasarkan pengeluaran kapita-1

tahun-1 setara dengan nilai tukar beras untuk wilayah desa dan kota, yaitu miskin:

desa 320 kg dan kota 480 kg; sangat miskin: desa 240 kg dan kota 360 kg;

melarat: desa 180 kg dan kota 270 kg. Keluarga tani dinyatakan hidup layak

apabila telah terpenuhi pangan, papan, pakaian, pendidikan, kesehatan,

rekreasi, dan kegiatan sosial.

Penanggulangan kemiskinan menjadi kewajiban pemerintah, sesuai

dengan kerangka Millenium Development Goals (MDGs). Pemerintah antara lain

berkewajiban menurunkan angka kemiskinan dan kekurangan pangan sebanyak

50% pada tahun 2015 dari kondisi 1990.

2.3.2. Kemandirian dan Ketahanan Pangan

Kemandirian pangan dan ketahanan pangan adalah dua istilah yang

sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama, perbedaan hanya terletak

pada sumber bahan pangan. Kemandirian pangan adalah terpenuhinya

kebutuhan pangan secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia,

modal sosial dan ekonomi yang dimiliki (sumber daya lokal) dan berdampak

kepada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat

(Syahyuti, 2006; Soekartawi, 2008). Dalam UU No. 41 Tahun 2009 dinyatakan

bahwa kemandirian pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri

yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin

pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam

jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh

sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.

Kemandirian pangan identik dengan konsep swasembada pangan yang

saat ini menjadi salah satu target pembangunan pertanian. Lebih lanjut

Soekartawi menjelaskan empat komponen dalam mewujudkan kemandirian

pangan yaitu aspek kecukupan ketersediaan pangan, aspek keberlanjutan

stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari

tahun ke tahun, aspek aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta aspek

kualitas/keamanan pangan. Menurut Soekartawi, apapun pengaruh global tidak

boleh menabrak salah satu dari empat komponen tersebut. Kemandirian pangan

menjadi salah satu indikator pengukuran ketahanan pangan (Simatupang, 2007).

Page 14: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

26

Ketahanan pangan menjadi isu strategis dalam pembangunan suatu

negara, terutama negara berkembang, karena memiliki peran ganda yaitu

sebagai salah satu sasaran utama pembangunan dan salah satu instrumen

utama (tujuan antara) pembangunan ekonomi (Sen, 1989; Simatupang, 1999).

Peran pertama, merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk

terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk dalam jumlah dan kualitas

yang cukup untuk eksistensi hidup, sehat, dan produktif. Akses terhadap pangan

yang "cukup" merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh

negara bersama masyarakat (FAO, 1998; Byron, 1988).

Peran kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebagai

syarat keharusan dalam pembangunan sumber daya manusia yang kreatif dan

produktif yang merupakan determinan utama dari inovasi ilmu pengetahuan,

teknologi dan tenaga kerja produktif serta fungsi ketahanan pangan sebagai

salah satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi

pembangunan (Timmer, 1997).

Munculnya kesadaran baru bahwa ketahanan pangan merupakan isu

global telah mendorong PBB (FAO) mengorganisir Konferensi Pangan Dunia

(World Food Conference) pada tahun 1974. Sejak konferensi inilah istilah

"ketahanan pangan" semakin populer dan menjadi salah satu isu kebijakan

strategis setiap negara. Menurut Simatupang (2007), konsep ketahanan pangan

yang dianut secara luas hingga pertengahan tahun 1980-an ialah paradigma

"Ketersediaan Pangan Nasional” (National Food Availability Paradigm). Dengan

paradigma ini, ketahanan pangan diartikan sebagai: "kemampuan suatu negara

untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup bagi seluruh

penduduknya".

Dengan konsep ini, ketahanan pangan dilihat secara agregat di tingkat

nasional. Indikator keharusan bagi ketahanan pangan ialah kecukupsediaan

pangan agregat yang berasal dari produksi domestik dan pengadaan luar negeri

(impor). Indikator kecukupan (kemantapan) ketahanan pangan ialah derajat

swasembada pangan. Ketahanan pangan dikatakan mantap apabila seluruh

kebutuhan pangan dapat dipenuhi dari produksi domestik (swasembada mutlak).

Dengan paradigma ini, strategi kebijakan pangan, pada umumnya di negara-

negara sedang berkembang, berubah dari "swasembada pangan mutlak"

menjadi "swadaya pangan" (self reliance).

Page 15: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

27

Perbedaan pokok antara strategi "swasembada pangan" dan "swadaya

pangan" adalah dalam hal sumber pengadaan pangan. Pada swasembada

pangan, strategi yang ditempuh ialah bagaimana memacu produksi pangan

domestik sehingga seluruh kebutuhan pangan nasional dapat dipenuhi

(swasembada mutlak). Sedangkan pada "swadaya pangan" strategi yang

ditempuh ialah bagaimana meningkatkan kemampuan nasional sehingga dapat

memenuhi kebutuhan pangan nasional baik dari produksi domestik maupun

melalui impor.

Pada pertengahan tahun 1980-an muncul wacana baru tentang makna

ketahanan pangan. Indikator akhir ketahanan pangan bukanlah kecukupan

pangan secara agregat nasional (ketahanan pangan nasional), tetapi akses

pangan yang cukup bagi seluruh individu di suatu negara. Wacana baru ini

disebut sebagai paradigma perolehan pangan (food entitlement paradigm) yang

dirumuskan dan dipopulerkan oleh penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2000

(Sen, 1981). Wacana baru ini pula yang mendorong pengakuan universal bahwa

perolehan pangan yang cukup merupakan hak azasi manusia yang secara resmi

diterima oleh seluruh negara pada konferensi pangan dunia tahun 1996.

Menurut Simatupang, 2007, paradigma perolehan pangan (food entitlement

paradigm) pada dasarnya ditopang oleh tiga pokok pemikiran, yaitu: (1) indikator

akhir ketahanan pangan ialah perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu.

Oleh karena itu, ketahanan pangan harus diukur pada dimensi agregat terkecil,

yaitu individu. Dengan perkataan lain, indikator akhir ketahanan pangan ialah

ketahanan pangan individu (individual food security; (2) ketersediaan pangan

merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan

pangan yang cukup bagi setiap individu, dan (3) ketahanan pangan harus

dipandang sebagai suatu sistem hierarkis; ketahanan pangan nasional, provinsi

(kabupaten, lokal), rumah tangga dan individual. Berdasarkan paradigma

perolehan pangan, ketahanan pangan ditentukan oleh dua determinan kunci,

yaitu ketersediaan pangan (food availability) dan akses pangan (food access).

Paradigma perolehan pangan terus mengalami perluasan dan penyesuaian

seiring dengan pertambahan pengetahuan dan perubahan isu pembangunan

kontemporer (Maxwell, 1996; Watts and Bohle, 1993) dengan memasukkan

elemen kerawanan (vulnerability) sebagai salah satu determinan ketahanan

pangan. Ketersediaan dan akses pangan yang rawan terhadap ancaman risiko

Page 16: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

28

tertentu seperti bencana alam, gejolak ekonomi, sosial, dan politik harus

digolongkan sebagai kondisi ketahanan pangan yang tidak mantap.

Sedikitnya ada empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan

(sustainable food security) di tingkat keluarga yang diusulkan Maxwell (1996),

yakni: (1) kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang

dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat; (2) akses atas pangan, yang

didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau

menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian

(transfer); (3) ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara

kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial, dan (4) fungsi waktu manakala

ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.

Selanjutnya, Chambers (1988) menambahkan elemen keberlanjutan

(sustainability) sebagai determinan tambahan ketahanan pangan. Pada dasarnya

elemen vulnerability dan sustainability bermuara pada satu pemikiran bahwa

waktu merupakan salah satu dimensi utama ketahanan pangan. Ketersediaan

dan akses pangan harus terjamin sepanjang masa secara berkelanjutan. Hal

inilah yang mendasari konsep ketahanan pangan berkelanjutan (sustainability

food security) yang populer pada tahun 1990-an (Swaminathan, 1995;

Simatupang, 1999).

Definisi ketahanan pangan yang diterima secara luas saat ini ialah: "secure

access by all people at all times to adequate, safe and nutritious foods which

meets dietary and preferences for an active and a healthy life" (FAO, 1998,

Maxwell, 1996; Von Braun et al., 1993), yang dapat diterjemahkan sebagai

"terjaminnya akses bagi setiap orang pada sepanjang masa terhadap makanan

bernutrisi, aman, sesuai selera dan memenuhi kebutuhan gizi untuk suatu

kehidupan yang aktif dan sehat".

Berdasarkan definisi di atas, ketahanan pangan ditopang oleh "trilogi" (trial

concepts) ketahanan pangan (Chung et al., 1997), yaitu: (1) ketersediaan bahan

pangan (food availability); (2) akses bahan pangan (food access) dan (3)

pemanfaatan bahan pangan (food utilization). Ketiga elemen inilah yang menjadi

determinan fundamental ketahanan pangan. Dengan demikian, untuk tujuan

analisis kebijakan, isu ketahanan pangan dapat dikaji berdasarkan tiga dimensi

kunci (Simatupang, 2007) yaitu: (1) tingkat agregasi: rumah tangga dan regional

(kabupaten, provinsi, dan nasional); (2) perspektif waktu: jangka pendek,

Page 17: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

29

menengah dan panjang, dan (3) syarat keharusan dan kecukupan: ketersediaan,

akses, dan pemanfaatan.

Rachman et al. (2004) menyatakan, kemandirian pangan terhadap

produksi domestik menunjukkan seberapa besar produksi pangan menyumbang

atau dapat memenuhi ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan pangan

nasional didefinisikan sebagai penjumlahan antara produksi domestik (bersih,

setelah dikurangi untuk penggunaan bibit dan tercecer) dengan impor dan stock.

Kemandirian pangan juga dapat diukur dengan menelaah ketergantungan

terhadap impor maupun net-impor.

2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan pertama dirumuskan Brundtland

Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan

Pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan

ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi

kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka”

(WCED, 1987). Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam

konsep Brundtland tersebut, yaitu: Pertama, menyangkut pentingnya

memperhatikan kendala sumber daya alam dan lingkungan terhadap pola

pembangunan dan konsumsi, dan Kedua, menyangkut perhatian pada

kesejahteraan (well being) generasi yang akan datang.

Bedasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi

Pangan Dunia (FAO, 1989), mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai

…… manajemen dan konservasi berbasis sumber daya alam, dan berorientasi

perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan

terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang.

Pembangunan pertanian berkelanjutan mengkonservasi lahan, air, sumber daya

genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara

teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial.

Walaupun banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk

pertanian berkelanjutan, namun definisi yang diterima secara luas ialah bertumpu

pada tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan

perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga

dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan

kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet), atau

Page 18: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

30

dikenal sebagai pilar Triple-P (Suryana, 2005). Ketiga dimensi tersebut saling

mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang.

Lynam (1994) dalam Sumarno (2006) memberikan karakteristik umum

tentang pertanian dilihat dari segi penggunaan sumber daya alam dan aspek

keberlanjutannya, yaitu: (1) pertanian adalah usaha multidimensi, meliputi

kegiatan ekonomi, kewajiban moral, sistem biologis, ekologis dan sosial; (2)

pertanian merupakan usaha yang memerlukan lahan (ruang) yang sangat luas,

terdesentralisasi dan tersebar, yang akan kalah efisien dibandingkan dengan

penggunaan ruang untuk industri, jasa pemasaran, perumahan, prasarana, dan

sebagainya, dan (3) pertanian adalah suatu sistem yang bersifat hierarkial, saling

mempengaruhi antara komponen-komponen yang nampaknya bebas, seperti

produksi komoditas secara global, iklim makro dan mikro, sistem hidrologi,

agroekosistem, pola tanam, distribusi, perdagangan, dan sebagainya.

Menurut Harwood (1987) dalam Sumarno (2006) beberapa dimensi atau

kriteria keberlanjutan pertanian, yaitu: (1) dimensi jangka panjang, (2) dimensi

sosial kemasyarakatan, (3) dimensi ekonomi, (4) dimensi kelestarian

keanekaragaman hayati, (5) dimensi minimalisasi pencemaran lingkungan dan

polusi udara, (6) dimensi kualitas dan kesuburan tanah, dan (7) dimensi

kelestarian sumber daya pertanian dan lingkungan. Dari dimensi atau kriteria

tersebut Harwood menyimpulkan "pertanian berkelanjutan adalah usaha

pertanian yang memanfaatkan sumber daya secara optimal, untuk menghasilkan

produk panen dengan masukan dan biaya yang wajar, memenuhi kriteria sosial,

ekonomi dan kelestarian lingkungan, serta tidak menggunakan sarana produksi

yang tidak terbarukan".

Castillo (1992) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai "sistem

produksi pertanian yang terus-menerus dapat memenuhi kebutuhan pangan,

pakan, dan serat bagi kebutuhan nasional dan dapat memberikan keuntungan

ekonomi bagi pelaku usaha tanpa merusak sumber daya alam bagi generasi

yang akan datang". Harrington (1992) mengaitkan pertanian berkelanjutan

dengan tiga tolok ukur dalam pengelolaan sumber daya pertanian, yaitu

kelestarian lingkungan, keanekaragaman hayati, dan keadilan antar generasi

dalam memanfaatkan sumber daya lahan dan terdapat pertumbuhan produksi

sesuai dengan permintaan yang terus meningkat.

Journal of Sustainable Agriculture (1990) dalam Sumarno (2006)

menguraikan bahwa: "pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian yang

Page 19: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

31

mempersyaratkan: (a) sumber daya pertanian dimanfaatkan seimbang dengan

peruntukannya, (b) praktek usaha pertanian melestarikan sumber daya pertanian

dan mencegah perusakan lingkungan, (c) produktivitas, pendapatan dan insentif

ekonomi tetap layak, dan (d) sistem produksi tetap harmonis dan selaras dengan

dinamika sosial ekonomi masyarakat".

2.5. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini telah

dilakukan oleh Mulyana (1998), Rachman (2001), Badan Bimas Ketahanan

Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan

Lembaga Penelitian IPB (2002), Badan Bimas Ketahanan Pangan bekerjasama

dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (2002), Irawan (2005), dan

Nurmalina (2007). Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini.

Mulyana (1998) melakukan penelitian tentang ”Keragaan Penawaran dan

Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era

Perdagangan Bebas”, bertujuan mengevaluasi dan meramalkan masa depan

swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif kebijakan unilateral,

multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran dan permintaan

beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik. Penelitian ini

menggunakan analisis model ekonometrika penawaran dan permintaan beras di

pasar domestik dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima

wilayah, yaitu: Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sisa wilayah

Indonesia, sedangkan permintaannya dihitung secara agregat nasional. Hasil

pendugaan model menunjukkan bahwa secara regional areal sawah di Jawa dan

Bali telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu mencapai batas

maksimal lahan subur yang layak untuk areal sawah akibat meningkatnya

kompetisi penggunaan lahan. Karena itu respon areal padi terhadap gabah di

Jawa dan Bali lebih inelastis dibandingkan wilayah lainnya. Faktor lain yang

berpengaruh pada areal padi di seluruh wilayah adalah curah hujan, areal irigasi,

kinerja penyuluhan, target program produksi dan konversi lahan sawah di Jawa

dan Bali.

Hasil simulasi model menunjukkan bahwa penerapan alternatif kebijakan

yang seragam secara nasional tidak selalu direspon dengan arah yang sama

oleh komponen penawaran beras di setiap wilayah dan dapat berbeda

dampaknya terhadap kesejahteraan petani. Implikasi penting dari hal tersebut

Page 20: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

32

adalah, diperlukan penerapan kebijakan agar swasembada beras dan perbaikan

kesejahteraan petani sama-sama dapat dicapai. Secara ekonomi swasembada

beras periode 1984-1996 dapat dipertahankan dengan kebijakan menaikkan

harga dasar 15,38%, menambah areal irigasi 3,61%, menambah areal

intensifikasi 5,25% atau mendevaluasi rupiah 100% namun dampaknya

berlawanan bagi perubahan kesejahteraan petani dan konsumen. Karena itu

diperlukan kombinasi kebijakan yang dapat mendorong kenaikan produksi beras

sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.

Hasil peramalan tanpa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa kontribusi

wilayah Sumatera, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia akan meningkat dalam

produksi beras pada masa mendatang, sedangkan peran wilayah Jawa dan Bali

berangsur-angsur turun sebagai konsekuensi dari pelaksanaan liberalisasi

perdagangan. Indonesia diperkirakakan tidak akan berswasembada beras

secara absolut melainkan akan mencapai net ekspor beras mulai tahun 2013.

Tampak bahwa potensi produksi beras Indonesia masih cukup prospektif.

Menurut Mulyana, untuk mencapai swasembada beras dan perbaikan

kesejahteraan petani dilakukan dengan meningkatkan areal sawah irigasi dan

intensifikasi di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan

memperbaiki efisiensi biaya dan teknologi usaha tani padi sesuai dengan

spesifikasi wilayah. Perlu diefektifkan kebijakan harga dasar gabah yang

didukung dengan peningkatan pengadaan, memperbaiki jaringan distribusi

pemasaran beras dalam dan antar wilayah, meningkatkan teknologi

penyimpanan beras/gabah. Sistem operasi pasar beras masih tetap diperlukan

dalam jangka pendek. Karena itu peran pemerintah yang saat ini dilakukan Bulog

masih perlu dipertahankan dalam jangka pendek.

Rachman (2001) melakukan kajian ”Pola Konsumsi dan Permintaan

Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)” menggunakan data survei sosial

ekonomi nasional (Susenas) tahun 1996 yang dikumpulkan oleh Bappenas. Hasil

kajian menunjukkan bahwa konsumsi beras mendominasi pola konsumsi pangan

sumber karbohidrat secara keseluruhan, menurut daerah maupun menurut

kelompok pendapatan, walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI

lebih rendah dibandingkan nasional.

Hasil analisis proyeksi produksi beras pada tahun 2005 berdasarkan data

time series 1997-2001 adalah 28,47 juta ton, meningkat menjadi 28.53 juta ton

pada tahun 2010 dan menjadi 28,59 juta ton tahun 2015. Sedangkan proyeksi

Page 21: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

33

konsumsi beras tahun 2005, 2010 dan 2015 berdasarkan standar kecukupan gizi

adalah 116,80 kg, 113,15 kg dan 109,5 kg kapita-1 tahun-1 sehingga proyeksi

kebutuhan konsumsi beras nasional pada tahun 2005, 2010 dan 2015 adalah

26,06 juta ton, 26,97 juta ton dan 27,77 juta ton. Pada tahun 2015, jika konsumsi

penduduk Indonesia sesuai dengan kecukupan gizi yang diperlukan, maka

produksi dalam negeri mampu memenuhi permintaan. Namun perlu diwaspadai

adanya peningkatan konsumsi beras per kapita tahun-1 akibat pertumbuhan

ekonomi yang terjadi pada tahun 2015, sehingga perlu berusaha untuk

meningkatkan pertumbuhan produksi beras dalam negeri. Pergeseran pola

pangan pokok yang mengarah ke beras terutama penduduk di KTI,

mengakibatkan beras menjadi komoditas bergengsi yang ditunjukkan oleh

meningkatnya konsumsi beras dengan meningkatnya pendapatan.

Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama

dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB (2002) melakukan

”Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional Hingga 2015

Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi Pertanian”, menggunakan analisis

ekonometrika. Hasil analisis menunjukkan bahwa mulai tahun 2010 Indonesia

berpeluang mengalami kondisi dimana tingkat produksi akan lebih besar

daripada tingkat konsumsi. Kondisi surplus terutama tercipta oleh peningkatan

produksi yang lebih cepat daripada peningkatan konsumsi. Surplus beras akan

lebih cepat tercapai apabila diterapkan kebijakan yang bersifat mendukung. Dari

berbagai kebijakan yang disimulasikan, peningkatan dana irigasi dan anggaran

pembangunan sektor pertanian memberikan pengaruh positif yang lebih besar

dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya,

seperti kebijakan subsidi pupuk, tarif impor maupun kebijakan harga dasar.

Badan Bimas Ketahanan Pangan bekerjasama dengan Lembaga

Penelitian Universitas Indonesia melakukan ”Analisis Proyeksi Produksi dan

Konsumsi Beras Nasional 2015 Ditinjau Dari Aspek Sosial Kelembagaan

Pertanian dan Perdesaan” menggunakan analisis regresi linier (trend analysis).

Untuk memperkirakan kecukupan zat gizi (energi) tahun 2002-2015 dilakukan

analisis berdasarkan angka kecukupan zat gizi dari Widya Karya Pangan dan

Gizi tahun 1979, 1988, 1993 dan 1998. Kecukupuan ini diterjemahkan dalam

bentuk kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang. Saat ini

masih terjadi ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang disebabkan oleh

terlalu tingginya peran padi-padian (khususnya beras) di satu sisi, dan masih

Page 22: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

34

rendahnya peran beberapa pangan, terutama pangan hewani, sayuran dan buah

serta belum tercukupinya minyak dan lemak. Berdasarkan hal tersebut, maka

konsumsi kapita-1 padi-padian, khususnya sepanjang 2000-2015 diproyeksikan

menurun, sedangkan komoditas lain, khususnya sayuran dan buah, pangan

hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan diproyeksikan meningkat.

Hasil analisis AHP, di antara berbagai fungsi yang diperkirakan mendukung

ketahanan pangan, ternyata fungsi ketersediaan ditemukan sebagai yang

terpenting. Sedangkan fungsi lainnya seperti distribusi, konsumsi dan

kewaspadaan pangan memperoleh bobot yang jauh lebih kecil daripada fungsi

ketersediaan.

Otonomi daerah yang telah diberlakukan diperkirakan akan memberikan

pengaruh yang besar terhadap tercapainya ketahanan pangan. Implikasinya,

pemerintah kabupaten memainkan peranan penting sejak dari tahapan

perencanaan hingga tahapan evaluasi. Komponen-komponen yang diperlukan

bagi pelaksanaan proses manajemen ketahanan pangan tersebut juga

diharapkan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Namun ada

satu komponen penting dimana peran pemerintah pusat diharapkan tetap

menonjol. Komponen tersebut adalah pendanaan. Dengan kata lain diharapkan

sumber pendanaan utama bagi kebijakan ketahanan pangan adalah dari

pemerintah pusat.

Irawan (2005) melakukan ”Analisis Ketersediaan Beras Nasional, Suatu

Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis”, menggunakan data sekunder yang

sumber data utamanya adalah Statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam

Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanan, yaitu tidak mencakup sub

sistem distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan

pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran. Hasil analisis

menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai

apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun

1992-2002 (-0,77% tahun-1) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak

beranjak dari keadaan tahun 1990-2000. Swasembada beras akan tercapai

apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing

0% dan 0,72% tahun-1 mulai tahun 2010. Pada saat yang sama upaya

peningkatan produktivitas padi sebesar 2,0 – 2,5% tahun-1 sebagaimana prestasi

yang pernah dicapai pada saat swasembada beras (1983-1985) diperlukan.

Kebijakan perluasan areal lahan sawah di luar Jawa sebanyak satu juta hektar

Page 23: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

35

selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras

dalam 15 tahun ke depan selama laju konversi lahan sawah dan tingkat

produktivitas padi tetap tidak berubah.

Nurmalina (2007) meneliti tentang ”Model Neraca Ketersediaan Beras

Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Penelitian

menitikberatkan neraca ketersediaan hanya pada pangan pokok beras pada

tingkat nasional dan regional dengan waktu analisis 2005-2015. Penilaian indeks

dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras dianalisis pada tingkat

nasional dan regional. Tingkat regional mencakup beberapa wilayah, yaitu Jawa,

Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan wilayah lainnya (Bali, NTB, NTT, Maluku

dan Irian). Analisis indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras dilakukan

dengan teknik ordinasi Rap-Rice modifikasi dari Rapfish yaitu menempatkan

sesuatu pada urutan yang terukur dengan metode Multidimensional Scaling

(MDS) dengan memfokuskan pada lima dimensi analisis, yaitu ekologi, ekonomi,

sosial budaya, kelembagan dan teknologi. Sedangkan dimensi politik dan

keamanan tidak dimasukkan dalam analisis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks dan keberlanjutan multi

dimensi ketersediaan beras di Indonesia adalah 64,51, yaitu dalam kategori

cukup berkelanjutan. Sedangkan pada tingkat regional bervariasi antar wilayah

antara 33,37-67,23. Wilayah Jawa dan Sumatera termasuk kategori cukup

berkelanjutan, sedangkan wilayah Sulawesi, Kalimantan, dan wilayah lainnya

termasuk kategori kurang berkelanjutan. Keberlanjutan untuk setiap dimensi

berbeda-beda antar wilayah, begitu juga bila dibandingkan antar regional dan

nasional.

Hasil analisis prospektif terhadap peubah kunci keberlanjutan menunjukkan

bahwa faktor yang berpengaruh terhadap sistem ketersediaan beras yang

berkelanjutan adalah pencetakan sawah, konversi lahan, kesesuaian lahan,

penduduk, produksi, produktivitas dan konsumsi penduduk kapita-1. Hasil analisis

sistem dinamis menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan kunci dari sisi

penyediaan (produktivitas, produksi, pencetakan sawah dan kesesuaian lahan)

memberikan hasil kinerja model lebih baik terhadap neraca ketersediaan beras

yang berkelanjutan di masa yang akan datang, dibandingkan dengan kebijakan

perbaikan pada sisi kebutuhan (penurunan pertumbuhan jumlah penduduk dan

konsumsi kapita-1).

Page 24: 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistemrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51590/2011mna_BAB...Sistem, Pendekatan Sistem dan Model ... ada beberapa persyaratan

Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB

36

Hasil kinerja sistem dengan perbaikan produktivitas dan produksi

(intensifikasi) berkontribusi cukup besar dalam neraca ketersediaan beras yang

berkelanjutan tetapi dengan pertumbuhan yang menurun tajam, sedangkan

kebijakan pencetakan sawah dan pengendalian konversi (ekstensifikasi)

berkontribusi rendah tetapi seiring berjalannya waktu meningkat dengan

pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi intensifikasi

akan sangat baik untuk meningkatkan neraca ketersediaan beras, tetapi bila

ingin neraca ketersediaan beras tersedia secara berkelanjutan maka strategi

intensifikasi ini perlu dibarengi dengan ekstensifiksi. Hasil analisis sensitivitas

menunjukkan bahwa parameter yang sangat sensitif berpengaruh terhadap

ketersediaan beras adalah indeks pertanaman dan produktivitas, masing-masing

31,81 dan 16,99. Sedangkan konsumsi kapita-1 penduduk kota (8,52), konsumsi

kapita-1 penduduk desa (7,43), rendemen gabah beras (7,91), dan pembukaan

lahan (2,72). Parameter yang tidak sensitif adalah penurunan pertumbuhan

penduduk (0,90) dan pengurangan susut/tercecer (0,74).

Ariningsih dan Rachman, (2008) menyatakan bahwa pemantapan

ketahanan pangan di wilayah KTI dapat dilakukan antara lain melalui upaya: (1)

peningkatan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dengan

mengembangkan komoditas pangan lokal sesuai potensi sumber daya dan pola

konsumsi setempat; (2) peningkatan produktivitas pertanian melalui akselerasi

pemanfaatan teknologi sesuai dengan kapasitas sumber daya manusia

setempat.