digilib.poltekkesdepkes-sby.ac.iddigilib.poltekkesdepkes-sby.ac.id/public/poltekkessby... · 2019....
TRANSCRIPT
i
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dengan segala kerendahan hati atas segala rachmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan monograf ini.
Monograf ini merupakan salah satu tugas dosen dalam melakukan penelitiannya dan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Bapak Drg. Bambang Hadi Sugito, M.Kes selaku
Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya. 2. Bapak Setiawan, SKM.,M.PSi selaku kepala Unit
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya.
3. Bapak DR. Khambali, ST,.MPPM. selaku Pembina Penelitian.
4. Bapak Ferry Kriswandana, SST, MT, selaku Ketua Jurusan Kesehatan Lingkungan Surabaya Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya.
5. Semua Pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan ini.
Semoga Allah memberikan Rahmat dan Inayah kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan ini hingga terselesaikan dengan baik.
Demi kesempurnaan monograf ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Surabaya, Desember 2017 Penulis,
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul --------------------------------------- i Kata Pengantar -------------------------------------- ii Daftar Isi ----------------------------------------------- iii BAB I NYAMUK AEDES AEGYPTI
1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes Aegypti ---- 1 1.2. Siklus Nyamuk Aedes Aegypti --------- 1 1.3. Morfologi Nyamuk Aedes Aegypti --- 3 1.4. Pengendalian Vektor --------------------- 7
BAB II BIOLARVASIDA -------------------------- 10 BAB III TEMU KUNCI
3.1. Tanaman Temu Kunci -------------------- 12 3.2. Taksonomi Temu Kunci ----------------- 13 3.3. Kandugan Bahan Aktif Temu Kunci -- 14 3.4. Manfaat Temu Kunci --------------------- 19 3.5. Cara Membuat Ektrak Temu Kunci --- 20
BAB IV PENELITIAN TANAMAN SEBAGAI BIOLARVASIDA -------------------------- 21
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Jenis dan Desain Penelitian ------------- 27 5.2. Objek Penelitian --------------------------- 28 5.3. Variabel Penelitian ------------------------ 28 5.4. Definisi Operasional ----------------------- 30 5.5. Prosedur Penelitian ---------------------- 31 5.6. Analisis Data ------------------------------- 34 5.7. Persentase Kematian Larva Aedes
Aegypti -------------------------------------- 35 5.8. Perbedaan Rata-rata Kematian Larva
Aedes Aegypti ----------------------------- 41 5.9. Efektifitas Tanaman Temu Kunci
Sebagai Biolarvasida Terhadap Larva Nyamuk Aedes Aegypti ------------------ 43
Referensi ----------------------------------------------- 45
1
BAB 1
NYAMUK AEDES AEGYPTI
1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam
klasifikasi hewan sebagai berikut (Milatti,2010):
Kingdom : Animalia
Philum : Arthropoda
Sub Philum : Mandibulata
Kelas : Hexapoda
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Nematocera
Familia : Culicida
Sub Family : Culicinae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
1.2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti seperti juga nyamuk
Anophelini lainnya mengalami metamorfosis
sempurna, yaitu : telur – jentik – kepompong–
nyamuk. Stadium telur, jentik, dan kepompong
hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan
2
menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari
setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya
berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong
berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari
telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari.
Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan
(Depkes RI 3, 2005:6). Masa pertumbuhan dari
telur, jentik, kepompong hingga menjadi nyamuk
sekitar 8-12 hari, tergantung dari suhu dan
kelembaban. Semakin tinggi suhu dan kelembaban
semakin cepat masa pertumbuhan nyamuk (Ditjen
PPPL,2014:28).
Sumber : http://informasikesling.blogspot.co.id/2015/03/ siklus-hidup-
nyamuk-aedes-aegypti.html.
Gambar 1: Siklus Nyamuk Aedes aegypti
3
1.3. Morfologi Aedes aegypti
1. Nyamuk Dewasa
Menurut Ditjen PPPL (2014:30-31)
menyatakan secara umum nyamuk Aedes
terdiri tiga bagian, yaitu kepala, thorax, dan
abdomen, mempunnyai dua pasang sayap dan
tiga pasang kaki. Nyamuk Aedes dewasa
memiliki ukuran sedang dengan tubuh
berwarna hitam bercak putih. Tubuh dan
tungkainya ditutupi sisik dengan bercak putih.
Aedes. aegypti di bagian punggung tubuhnya
tampak dua garis melengkung vertikal dibagian
kiri dan kanan berwarna putih, sedangkan
Aedes. Albopictus dibagian punggung tubuhnya
tampak satu garis lurus tebal berwarna putih.
Sumber : foto preparat Laboratorium Dinkes Prop. Jatim
Gambar 2 : Nyamuk Aedes aegypti
4
2. Kepompong
Kepompong adalah periode puasa,
membutuhkan waktu 1-2 hari. Kepompong
berbentuk seperti koma dan lebih pendek
dibandingkan jentik, aktif bergerak dalam air
terutama bila terganggu. Pada tingkat
kepompong tidak memerlukan makan, tetapi
perlu udara. Dalam waktu 1-2 hari
perkembangan kepompong sudah sempurna,
maka kulit kepompong pecah dan nyamuk
dewasa muda segera keluar dan terbang. Pada
umumnya nyamuk jantan menetas lebih dahulu
dari nyamuk betina. (ditjen PPPL,2014:30)
Kepompong (pupa) berbentuk seperti
”koma”. Bentuknya lebih besar namun lebih
ramping dibanding larva (jentik)nya. Pupa
berukuran lebih kecil jika dibandingkan rata-
rata pupa nyamuk lain (Depkes RI 3,2005:5).
5
Sumber : http://informasikesling.blogspot.co.id/2015/03/ siklus-
hidup-nyamuk-aedes-aegypti.html
Gambar 3 : Kepompong Aedes aegypti
3. Jentik (Larva)
Setelah telur terendam 2-3 hari, selanjutnya
menetas menjadi jentik. Jentik mengalami 4
tingkatan atau stadium yang disebut instar, yaitu
instar I, II, II, dan IV. Waktu pertumbuhan
dari masing-masing stadium adalah jentik instar
I selama 1 hari, jentik instar II selama 1-2 hari,
jentik instar II selama 2 hari, jentik instar IV
selama 2-3 hari. Jentik Aedes di dalam air dapat
dikenali dengan ciri-ciri berukuran 0,5-1 cm
dan selalu bergerak aktif dalam air. Pada waktu
istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan
permukaan air untuk bernapas (mendaptkan
oksigen). Selanjutnya jentik berkembang
menjadi kepompong (ditjen PPPL,2014:29)
6
Sumber : foto preparat Laboratorium Dinkes Prop. Jatim
Gambar 4 : Jentik Nyamuk Aedes aegypti
4. Telur
Telur diletakkan satu persatu di atas
permukaan air, biasanya pada dinding bagian
dalam kontainer di permukaan air. Jumlah telur
nyamuk untuk sekali bertelur dapat mencapai
300butir dengan ukuran ± 5 mm. Telurnya
berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah
satudengan yang lain. Pada kondisi yang buruk
(dalam kondisi musim kering yang lama),
telurdapat bertahan hingga lebih dari satu
tahun. Telur akan menetas menjadi jentik
7
setelah 1-3hari terendam air(ditjen
PPPL,2014:29).
Sumber : foto preparat Laboratorium Dinkes Prop. Jatim
Gambar 5 : Telur Nyamuk Aedes aegypti
1.4. Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan
pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis,
penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap
vektor maupun tempat perkembangbiakannya dan
/ atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat
mempertahankan dan mengembangkan kearifan
lokal sebagai alternatif. Pengendalian vektor adalah
semua kegiatan yang ditujukan untuk menurunkan
populasi vektor serendah mungkin sehingga
keberadaannya tidak lagi beresiko untuk terjadinya
8
penularan penyakit tular vektor disuatu wilayah
atau menghindari kotak langsung dengan vektor
sehingga penyakit tular vektor dapat dicapai
dengan pengendalian vektor terpadu (PVT)
merupakan pendekatan yang menggunakan
kombinasi beberapa metode pengendalian vektor
yang dilakukan berdasarkan azas keamanan,
rasionalitas, dan efektivitas pelaksanaanya serta
dengan mempertimbangkan kelestarian
keberhasilannya. (Permenkes No.374 Tahun
2010).
Menurut Inge Sutanto, dkk (2008 : 275)
pemberantasan vektor bisa diarahkan pada larva
dan bentuk dewasanya. Pemberantasan larva atau
jentik meliputi :
1. Cara Kimia
Cara kimiawi dengan menggunakan
insektisida yaitu zat kimia yang dapat
membunuh larva nyamuk. Seperti : solar,
minyak tanah, perisgreen, temephos, fention.
Setiap pemakaian zat tersebut dapat
membunuh larva. Selain zat kimia tersebut
tumbuhan juga dapat digunakan sebagai
biolarvasida.
9
2. Non Kimia
Pengendalian vektor umumnya dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu non – kimia
(lingkungan) dan pendekatan kimiawi.
Pendekatan non kimiawi yang biasa dilakukan
diantaranya melalui program peningkatan
kualitas pengelolaan sampah dan peningkatan
kualitas penyimpanan air. Menurut HJ.
Mukono (2008) salah satu pestisida secara non
kimia yaitu herbisida dan biolarvasida pada
tanaman.
10
BAB 2
BIOLARVASIDA
Insektisida adalah bahan kimia yang digunakan
untuk membunuh dan mengendalikan serangga hama.
Pengertian secara luas yaitu semua bahan atau
campuran bahan yang digunakan untuk mencegah,
membunuh, menolak, atau mengurangi serangga.
Insektisida dapat berbentuk padat, cair, gas. Salah satu
program pengendalian vektor bisa diarahkan dengan
larvanya. Pengendalian larva dapat dilakukan dengan
cara kimia, diantaranya ; paris green, temephos,
fention, minyak oil. (Inge Sutanto, dkk 2008)
Melihat kerugian yang ditimbulkan dari
penggunaan larvasida secara kimia dapat menimbulkan
kerusakan pada lingkungan Untuk mengurangi efek
tersebut, maka diupayakan penggunaan larvasida alami
untuk mengendalikan larva. Secara umum larvasida
alami diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya
berasal dari tumbuhan (Dewi, 2003 dalam Amelia,
2012). Larvasida alami relatif mudah dibuat dengan
kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh
karena terbuat dari bahan alami, maka jenis insektisida
ini mudah terurai karena residunya mudah hilang.
Larvasida alami bersifat hit and run, yaitu apabila
11
diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu
dan setelah hamanya terbunuh akan cepat menghilang
larut dalam air. (Amelia, 2012).
12
BAB 3
TEMU KUNCI
3.1. Tanaman Temu kunci
Menurut Muchlisah (2011 : 64) temu kunci
memiliki penampilan yang unik karena memiliki
tampilan seperti gantungan kunci. Nama ilmiah
tanaman ini adalah Boesenbergia pandurata rox
Ridl atau Boesenbergia pandurata (Rox) Schlecht
atau Gastrocillus panduratus. Nama – nama
daerah adalah Tamu kunci (Minang kabau), Kunci
(Jawa), Temo kunce (Madura), koncih (Kangean),
Tamu konci (Makasar), Dumu kunci (Bima),
Tumbu kunci (Ambon), dan Tamputi (Ternate).
Temu kunci merupakan tanaman semak
yang berumur tahunan. tanaman tidak terlalu tinggi
karena hanya sekitar 30 – 100 cm. Batangnya
tersusun atas gabungan pelepah pelepah daun.
Warna batangnya hijau agak merah.
Daunnya tidak terlalu banyak, yakni sekitar
4–5 helai, berbentuk bulat meruncing ke ujung
dan pangkal, warnanya hijau, tangkai daunnya
beralur, lebar 4,5 – 10 cm, panjang 23 – 38 cm.
Tulang daunnya besar, berlapis tipis tembus
13
cahaya. Permukaan daun sebelah atas dan bawah
bila diraba terasa licin, tidak berbulu, meskipun
ada juga daun yang berbulu halus.
Bunga temu kunci umumnya keluar bila
tanaman sudah cukup tua.Letak bunga di ujung
batang semu.Bunga berbentuk tabung, tumbuh
tegak, dan bagian atas melengkung.Tangkai bunga
pendek sekali, seolah–olah tidak bertangkai atau
bunga duduk. Panjang mahkota sekitar 5 cm,
warnanya merah jambu atau agak pucat.
Rimpang tumbuh dibawah permukaan tanah
secara mendatar dan beruas, sedikit keras, bersisik
tipis, dan berbau harum. Anakan rimpang
menggerombol kecil di sebelah rimpang induk
serupa rangkaian anak kunci. Jika dibelah, bagian
luar rimpang berwarna hijau kekuningan
sementara daging rimpang sebelah dalam berwarna
kuning muda. Daging rimpang menerbakkan khas
bau temu kunci. Akarnya tebal, gemuk, dan
berbentuk seperti cacing.
3.2. Taksonomi Temu kunci
Divisi : Magonoliophyta
Kelas : Liliopsida
14
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Boesenbergia
Spesies : Boesenbergia pandurate
Sumber : Muchlisah, Fauziah
Gambar 6 : Tanaman Temu Kunci
3.3. Kandungan Bahan Aktif Temu Kunci
Menurut Winzaldi (2007 : 45) zat – zat yang
terkandung pada temu kunci antara lain minyak
atsiri, zat yang terdiri dari :
1. Saponin
Saponin adalah suatu glikolisa yang
mungkin ada pada banyak macam tanaman.
Saponin ada pada seluruh tanaman dengan
15
konsentrasi tinggi pada bagian – bagian tertentu,
dan dipengaruhi oleh verietas tanaman dan
tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh–
tumbuhan tidak diketahui, mungkin sebagai
bentuk penyimpanan karbhohidrat, atau
merupakan waste product dari metabolisme
tumbuh – tumbuhan. Kemungkinan lain adalah
sebagai pelindung terhadap serangan serangga.
Saponin merupakan senyawa yang dapat
merusak pembuluh darah larva nyamuk.
(Wakhyulianto,2005).
Saponin merupakan glikosida dalam
tanaman yang sifatnya menyerupai sabun dan
dapat larut dalam air. Istilah saponin
diturunkan dari bahasa Latin ‘sapo’ yang berarti
sabun, diambil dari kata saponaria vaccaria,
suatu tanaman yang mengandung saponin
digunakan sebagai sabun untuk mencuci.
Saponin dapat menurunkan aktivitas enzim
pencernaan dan penyerapan makanan (Dinata,
Suparjo, 2008 dalam Indiartono, 2010).
Menurut Harborne 1996 dalam
Rohananto 2013 Saponin adalah metabolit
sekunder yang banyak terdapat di alam, terdiri
atas gugus gula yang berikatan dengan aglikon
16
atau sapogenin. Senyawa ini digunakan untuk
pembasmi hama tertentu dan bersifat racun
bagi binatang berdarah dingin. Sifat-sifat
saponin yaitu berasa pahit, berbusa dalam air,
mempunyai sifat detergen yang baik dan anti
eksudatif. Saponin mempunyai aktifitas dapat
menghemolisis sel darah merah dan anti
inflamasi.
2. Flavonoid Pinostrelin
Flavonoid adalah sekelompok senyawa
fenol terbesar yang ditemukan di alam.
Senyawa–senyawa ini merupakan zat warna
merah, ungu, dan biru, dan sebagaian zat warna
kuning yang ditemukan di tumbuh – tumbuhan.
(Resi,Andis,2009). Flovanoid merupakan
senyawa yang dapat merusak membran sel pada
larva. (Wakhyulianto,2005)
Flavonoid bekerja sebagai inhibitor kuat
pernapasan atau sebagai racun pernapasan.
Flavonoid mempunyai cara kerja yaitu dengan
masuk ke dalam tubuh larva melalui sistem
pernapasan yang kemudian akan menimbulkan
kelayuan pada syaraf serta kerusakan pada
sistem pernapasan dan mengakibatkan larva
tidak bisa bernapas dan akhirnya mati. Posisi
17
tubuh larva yang berubah dari normal bisa juga
disebabkan oleh senyawa flavonoid akibat cara
masuknya yang melalui siphon sehingga
mengakibatkan kerusakan sehingga larva harus
mensejajarkan posisinya dengan permukaan air
untuk mempermudah dalam mengambil
oksigen. Selain itu terdapat pula kandungan
saponin dan alkaloid yang bertindak sebagai
racun perut. Alkaloid berupa garam sehingga
dapat mendegradasi membran sel untuk masuk
ke dalam dan merusak sel dan juga dapat
mengganggu sistem kerja syaraf larva dengan
menghambat kerja enzim asetilkolinesterase.
Terjadinya perubahan warna pada tubuh larva
menjadi lebih transparan dan gerakan tubuh
larva yang melambat bila dirangsang sentuhan
serta selalu membengkokkan badan disebabkan
oleh senyawa alkaloid. (Eka endah, 2012)
Flavonoid adalah salah satu jenis senyawa
yang bersifat racun / aleopati, merupakan
persenyawaan dari gula yang terikat dengan
flavon. Flavonoid mempunyai sifat khas yaitu
bau yang sangat tajam, rasanya pahit, dapat larut
dalam air dan pelarut organik, serta mudah
terurai pada temperatur tinggi (Suyanto, 2009
18
dalam Indiartono, 2010). Flavonoid merupakan
senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat
bersifat menghambat makan serangga dan juga
bersifat toksik. Flavonoid punya sejumlah
kegunaan. Pertama, terhadap tumbuhan, yaitu
sebagai pengatur tumbuhan, pengatur
fotosintesis, kerja antimiroba dan antivirus.
Kedua, terhadap manusia, yaitu sebagai
antibiotik terhadap penyakit kanker dan ginjal,
menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap
serangga, yaitu sebagai daya tarik serangga
untuk melakukan penyerbukan. Keempat,
kegunaan lainnya adalah sebagai bahan aktif
dalam pembuatan insektisida nabati (Dinata,
2009 dalam Indriantono, 2010).
Menurut Harborne 1996 dalam
Rohananto (2013) flavonoid adalah senyawa
terdiri atas dari 15 atom karbon terdapat di sel
epidermis dan sebagian tersimpan di vakuola
sel. Tiga kelompok yang umum dipelajari, yaitu
antosianin, flavonol dan flavon. Antosianin
adalah pigmen berwarna yang umumnya
terdapat di bunga berwarna merah, ungu dan
biru.
19
3. Kamfer
4. Sineol
5. Metil sinamat
6. Hidromirsen
7. Damar
8. Pati
9. Alipinetin
3.4. Manfaat Temu Kunci
Menurut Winzaldi (2007 : 46) Rimpang
temu kunci dapat dipakai obat–obatan atau jamu
tradisional. Ada juga yang digunakan sebagai
bumbu masak, misalnya bumbu sayur bening,
selain itu pelepah dan batang semua dapat
dimakan mentah atau direbus dijadikan sayuran
karena khasiatnya cukup banyak. Khasiat temu
kunci :
1. Memberantas cacing gelang
2. Sukar kencing atau perut kembung pada anak
3. Menyembuhkan sariawan
4. Mengatasi batuk kering
5. Mengobati kurap
6. Khasiat lain sebagai obat analgetik
20
3.5. Cara membuat Ekstrak Temu Kunci
Temu kunci dicuci bersih dengan air,
kemudian diris tipis-tipis. Temu kunci tidak boleh
dikeringkan di bawah sinar matahari karena dapat
menghilangkan efek insektisida dari temu kunci itu
sendiri. Temu kunci yang telah diiris kemudian
diekstraksi dengan menggunakan metode Maserasi
(cara dingin) dan menggunakan pelarut alkohol
(ethanol).
Metode Maserasi adalah proses
pengekstraksian simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan
prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu (terus-menerus).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambah pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama, dan seterusnya. Sisa ekstrak
dengan sisa pelarut kemudian diuapkan dengan
menggunakan water bath untuk menghilangkan
pelrutnya sehingga didapatkan ekstrak yang kental.
(Ashry, 2009).
21
BAB 4
PENELITIAN TENTANG TANAMAN
SEBAGAI BIOLARVASIDA
Indonesia termasuk salah satu negara yang
berada di wilayah beriklim tropis yang merupakan
wilayah penyebaran sekaligus daerah endemis yang
menyebabkan tingginya angka kesakitan yang
disebabkan oleh gigitan nyamuk antara lain Culex,
Aedes, Anopheles dan lain-lain (Depkes RI, 2005).
Jumlah penderita penyakit yang disebabkan oleh
nyamuk dari tahun ke tahun cenderung meningkat dan
penyebarannya semakin luas, diantaranya penyakit yang
disebabkan oleh gigitan nyamuk adalah Demam
Berdarah Dengue (DBD), Filariasis (penyakit kaki
gajah). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Timur telah ditemukan penyakit yang disebabkan
oleh gigitan nyamuk adalah 341 penderita filariasis
(hingga tahun 2012) dan 1.054 orang menderita
penyakit DBD (per Januari 2015) dengan 25 penderita
di antaranya meninggal dunia.
Penyakit akibat gigitan nyamuk antara lain
demam berdarah dengue dan filariasis merupakan
penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Sampai saat ini belum ada
22
vaksin yang dapat mencegah infeksi dan belum ada
obat yang khusus untuk mengobatinya. Pengendalian
penyakit tersebut hanya bergantung pada pengendalian
nyamuk.
Beberapa pengendalian nyamuk telah dilakukan
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur baik secara
kimia, fisika, biologi, dan mekanik. Pengendalian yang
umum dilakukan dengan menggunakan bahan kimia
(Insektisida) karena sistem kerjanya lebih efektif dan
lebih cepat terlihat dibandingkan dengan cara
pengendalian secara biologi. Pengendalian secara
kimiawi menimbulkan dampak negatif antara lain
pencemaran lingkungan, kematian predator, resistensi
pada vektor, sehingga perlu dilakukan pengendalian
dengan menggunakan larvasida alami yakni larvasida
nabati yang tidak mempunyai efek samping terhadap
lingkungan dan manusia.
Negara Indonesia merupakan negara agraris kaya
akan tumbuhan, namun tumbuh–tumbuhan tersebut
belum dimanfaatkan secara maksimal dalam
kehidupan sehari – hari, salah satunya tanaman temu
kunci. Temu kunci (Boesenbergia pandurata roxb)
merupakan tanaman semak yang berumur tahunan.
Tanah liat adalah habitat tanaman temu kunci, tetapi
pada dasarnya tanaman temu kunci dapat tumbuh
23
disembarang tempat asal tidak tergenang air dan tidak
berada pada daerah yang panas. Temu kunci
(Boesenbergia pandurata roxb) memiliki kandungan
antara lain : minyak atsiri yang terdiri dari Kamfer,
Sineol, Metil sinamat, Hidromersin, Damar, Pati,
Saponin, Flavonoid, Pinostrolerin, Alipinentin. Temu
Kunci mempunyai beberapa manfaat, salah satu
manfaat temu kunci adalah sebagai obat – obatan atau
jamu tradisional, bumbu sayur bening. (Winzaldi,2007
: 45)
Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan biolarvasida adalah :
1. Wakhyulianto (2005) dalam penelitian yang
berjudul “Uji Bunuh Ekstrak Cabe Rawit
(Capsicum frutescens L) Terhadap Nyamuk Aedes
Aegypti” mengatakan bahwa saponin dan flavonoid
pada tanaman cabe rawit dapat dijadikan sebagai
biolarvasida karena flavonoid merupakan senyawa
yang dapat merusak membran sel pada larva dan
saponin merupakan senyawa yang dapat merusak
pembuluh darah larva nyamuk.
2. Shovia (2014) yang berjudul “Efektivitas Daun
Mundu (Garcinia dulcis) Sebagai Larvasida
Nyamuk Culex Quinquefasciatus Dan Aedes
Aegypti”, ekstrak daun mundu mempunyai
24
kandungan saponin, alkaloid, tanin, fenolik,
flavonoid, triterfenoid, steroid, dan glikosida
dengan saponin dan flavonoid yang digunakan
sebagai penelitian sebesar 1% menyebabkan 85%
kematian larva Cx. quinquefasciatus dan 100%
terhadap Aedes aegypti pada konsentrasi 2.000
ppm dengan lama kontak 72 jam.
3. Rohananto ( 2013) dalam penelitian yang berjudul
“efektivitas ekstrak daun tapak dara (catharanthus
roseus) sebagai larvasida nyamuk culex
quinquefasciatus”, ekstrak daun tapak dara
mengandung saponin, alkaloid, tanin, fenolik,
flavonoid, triterfenoid, steroid, dan glikosida.
Daun tapak dara digunakan sebagai larvasida Cx.
Quinquefasciatus dan persentase kematian larva
pada konsentrasi 2.000 ppm dengan lama kontak
72 jam sebanyak 85%.
4. Iskandar (2006) dalam penelitiannya “Uji Efek
Larvasida Ekstrak Daun Mahkota Dewa ( Phaleria
macrocarpa) terhadap Larva Culex sp.” daun
mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) mempunyai
kandungan Alkaloid, Saponin, Flavonoid dan
Polifenol sebagai biolarvasida terhadap larva Culex
sp. dengan konsentrasi sebesar 500 ppm diperoleh
LC50 yang artinya pada konsentrasi 500 ppm
25
ekstrak daun mahkota dewa dapat membunuh
50% larva dan pada konsentrasi 800 ppm
diperoleh LC90 artinya pada konsentrasi 800 ppm
ekstrak daun mahkota dewa dapat membunuh
90% larva.
Berdasarkan hasil penelitian di atas bahwa
kandungan saponin dan flavonoid pada tanaman
mundu, tapak dara, mahkota dewa dapat digunakan
sebagai biolarvasida, Kandungan saponin dan flavonoid
juga terdapat pada tanaman temu kunci sehingga
memungkinkan tanaman temu kunci berpotensi
sebagai biolarvasida.
Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah sama – sama pemanfaatan tanaman
sebagai biolarvasida terhadap larva. Adapun persamaan
dan perbedaannya,, dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai
berikut :
Tabel 1 Keterkaitan Penelitian Ini Dengan Penelitian
Terdahulu
No Judul Subyek Obyek Hasil
1. Uji Bunuh Ekstrak Cabe Rawit (Capsicum
frutescens L) Terhadap
Cabe
Rawit
Aedes aegypti
Cabe rawit
berfungsi
dapat
merusak
membran sel
26
No Judul Subyek Obyek Hasil
Nyamuk Aedes Aegypti
dan merusak
pembuluh
darah larva
nyamuk
2. Efektivitas Daun Mundu (Garcinia dulcis) Sebagai Larvasida
Nyamuk Culex Quinquefasciatus Dan Aedes Aegypti
Daun
Mundu
Culex dan
Aedes aegypti
2.000 ppm
dapat
membunuh
100%
3. efektivitas ekstrak daun tapak dara (catharanthus roseus) sebagai larvasida nyamuk Culex quinquefasciatus
Daun
Tapak
Dara
Culex 2.000 ppm
dapat
membunuh
85%
4. Uji Efek Larvasida Ekstrak Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa ) terhadap Larva Culex sp
Daun
Mahkot
a Dewa
Culex 500 ppm
dapat
membunuh
larva 50% dan
800 ppm
dapat
membunuh
larva Culex
90%
5 Temu Kunci sebagai biolarvasida terhadap Aedes aegypti
Rimpan
g temu
kunci
Aedes aegypti
Sedang diteliti
27
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
eksprimen murni dengan design sederhana yang
bertujuan untuk mengetahui ekstrak tanaman temu
kunci (Boesenbergia pandurata roxb) mempunyai
efektivitas sebagai biolarvasida terhadap larva
Aedes aegypti. Adapun rancangan penelitian
sebagai berikut :
Keterangan :
X : kelompok eksperimen yang mendapatkan
perlakuan ekstrak temu kunci dengan
konsentrasi 0 ppm, 250 ppm, 500 ppm,
750 ppm, 1.000 ppm
X’ : observasi terhadap jumlah nyamuk Aedes
aegypti pada kelompok eksperimen yang
mati 24 jam, 48 jam, 72 jam.
Dalam melakukan penelitian perlu adanya
replikasi pengulangan, dengan rumus :
X X’
28
(r – 1) (k – 1) ≥ 15
(r – 1) (4 – 1) ≥ 15
r ≥ 6
Keterangan :
r : Replikasi
k : Perlakuan
5.2. Obyek Penelitian
Larva nyamuk Aedes aegypti III yang
diperoleh dari Laboratorium Institude of Tropical
Disease ( ITD ) Unair Surabaya dengan masing –
masing countainer berisi 20 larva, dimana larva
Aedes aegypti merupakan turunan ke 220.
5.3. Variabel Penelitian
1. Identifikasi variabel Penelitian
a. Variabel dependen
Dalam penelitian ini yang menjadi
variabel dependen adalah jumlah kematian
larva nyamuk Aedes aegypti .
b. Variabel independen
Dalam penelitian ini yang menjadi
variabel bebas adalah
1) ekstrak tanaman temu kunci
(Boesenbergia pandurata roxb) sebagai
29
biolarvasida terhadap larva Aedes
aegypti
2) Waktu
c. Variabel kendali
Dalam penelitian ini yang menjadi
variabel kendali adalah suhu dan
kelembaban lingkungan, suhu dan pH
(Power of Hydrogen) air yang digunakan
sebagai media larva Aedes aegypti
2. Model hubungan antar variabel
Bentuk hubungan antar variabel dalam
penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
Variabel Independen
1. Konsentrasi
ekstrak temu
kunci
2. Waktu
Variabel Dependen
Jumlah kematian larva
Variabel kendali
suhu media air, suhu
lingkungan, kelembaban
lingkungan, pH media air
30
5.4. Definisi Operasional Variabel
1. Konsentrasi ekstrak temu kunci 0 ppm, 250
ppm, 500 ppm, 750 ppm, 1.000 ppm
merupakan pemisahan suatu zat terhadap dua
zat yang tidak saling larut, zat tersebut adalah
air, saponin, dan flavonoid digunakan sebagai
biolarvasida.
2. Waktu adalah waktu yang diperlukan oleh
temu kunci untuk membunuh larva yaitu 24
jam, 48 jam, dan 72 jam.
3. Kematian larva adalah banyaknya larva yang
mati dengan konsentrasi ekstrak temu kunci
tertentu
4. Larva Aedes aegypti instar III adalah jumlah
larva yang mengalami pergantian kulit
sebanyak 3 (tiga) kali.
5. pH (Power of Hydrogen) media air adalah
derajat keasaman yang dimiliki oleh larutan
yang diukur dengan pH meter.
6. Suhu Air dan suhu lingkungan merupakan
derajat panas dinyatakan dengan celcius
diukur dengan thermometer
7. Kelembaban merupakan jumlah uap air yang
dinyatakan dengan % diukur dengan
hygrometer.
31
5.5. Prosedur Penelitian
Pada penelitian ini bertujuan untuk
menentukan Letal Concentration 50 (LC50) yang
efektif terhadap larva Aedes aegypti dengan
konsentrasi ekstrak temu kunci 250 ppm, 500
ppm, 750 ppm dan 1.000 ppm. Adapun tahapan
yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan Hewan Uji Coba larva Aedes
aegypti instar III
2. Menyiapkan Alat dan bahan
a. Alat
1) Gelas Ukur
2) Pipet Tetes
3) Thermometer
4) pH Meter
5) Beaker Glass
6) Senter
7) Labu Ukur
8) Penggaris
9) Spatula
10) Hygrometer
11) Gayung
12) Kalkulator
13) Alat tulis
32
14) Ember
15) Pipet Volume
b. Bahan
1) Ekstrak dari rimpang temu kunci
(Boesenbergia pandurata roxb ) yang
dibeli di Pasar Keputran Surabaya
2) Twin 20
3) air aquades
3. Prosedur Kerja Penelitian
a. Pembuatan Larutan Induk ekstrak temu
kunci dengan konsentrasi 1.000 ppm
dengan volume 250 ml membutuhkan
ekstrak temu kunci sebesar 250 mg.
b. Menyiapkan beaker glass
c. Menimbang 250 mg ekstrak tanaman
temu kunci yang kemudian dicampurkan
larutan Twin 20 dan aquades, sampai
volume menjadi 250 ml.
d. Pengenceran dari Larutan induk dengan
konsentrasi 1.000 ppm menjadi larutan
dengan konsentarsi extrak tanaman temu
kunci 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm, dan
1.000 ppm. Untuk memperoleh volume
33
100 ml yang dibutuhkan tiap konsentrasi
maka dilakukan perhitungan sebagai
berikut :
1) Konsentrasi 250 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
100 ml x 250 ppm = V2 x 1000 ppm
V2 = 25 ml
2) Konsentrasi 500 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
100 ml x 500 ppm = V2 x 1000 ppm
V2 = 50 ml
3) Konsentrasi 750 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
100 ml x 750 ppm = V2 x 1000 ppm
V2 = 75 ml
4) Konsentrasi 1.000 ppm
V1 x N1 = V2 x N2
100 ml x 1000 ppm = V2 x 1000 ppm
V2 = 100 ml
e. Masukkan bahan yang diperlukan seperti
250 ppm diperlukan 25 ml ekstrak temu
kunci, 500 ppm diperlukan 50 ml ekstrak
temu kunci, 750 ppm diperlukan 75 ml
34
ekstrak temu kunci dan 1.000 ppm
diperlukan 100 ml ekstrak temu kunci.
f. Masukkan ke dalam botol dan
campurkan aquades sampai volume
menjadi 100 ml, kecuali untuk
konsentarsi 1.000 ppm tanpa ditambah
aquades
g. Ambil larutan masing – masing sesuai
kemudian masukkan ke dalam beaker
glass yang berisi 20 larva
5.6. Analisis Data
Toksisitas yang dihasilkan dari ekstrak temu
kunci terhadap larva Aedes aegypti ditetapkan
berdasarkan dari banyaknya larva yang mati
dengan perlakuan konsentrasi eskrak temu kunci 0
ppm, 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm dan 1.000
ppm selama 24 jam, 48 jam, 72 jam. Bioarvasida
tersebut efektif apabila dinyatakan dapat
membunuh hewan uji 50%
35
5.7. Persentase kematian larva Aedes aegypti selama
24, 48 dan 72 jam dengan konsentrasi 0 ppm, 250
ppm, 500 ppm, 750 ppm dan 1.000 ppm
Hasil uji efek ekstrak temu kunci
(Boesenbergia pandurata roxb) terhadap larva
Aedes aegypti dengan menggunakan konsentrasi 0
ppm, 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm dan 1.000
ppm selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam dengan 6
(enam) kali pengulangan dapat disajikan dalam
bentuk Tabel 5.1 – Tabel 5.3 dibawah ini dengan
rata-rata pengukuran pH air penampungan larva
adalah 6.6, kelembaban 62% suhu lingkungan
28˚C suhu media 31˚C.
Tabel 2 : Persentase Kematian Larva Aedes aegypti selama 24 Jam
Replikasi Konsentrasi ekstrak Temu Kunci
0 250 500 750 1.000
1 0 10 25 15 15
2 0 5 15 15 20
3 0 5 10 25 25
4 0 10 35 25 45
5 0 5 30 40 25
6 0 10 20 30 35
Rata-rata 0 7.5 22.5 25 27.5
Minimal 0 5 10 15 20
Maksimal 0 10 35 45 45
Berdasar Tabel 2 didapatkan bahwa
persentase kematian larva Aedes aegypti dari 20
36
ekor dengan menggunakan ekstrak temu kunci
(Boesenbergia pandurata roxb) sebagai
biolarvasida selama 24 jam, didapatkan hasil
bahwa rata – rata persentase kematian konsentrasi
0 ppm sebesar 0%, persentase kematian larva
Aedes aegypti pada konsentrasi 250 ppm antara 5
sampai 10 dengan rata– rata persentase kematian
sebesar 7.5%, persentase kematian larva Aedes
aegypti pada konsentrasi 500 ppm antara 10
sampai 35 dengan rata – rata persentase kematian
sebesar 22.5%, persentase kematian larva Aedes
aegypti pada konsentrasi 750 ppm antara 15
sampai 45 dengan rata – rata persentase kematian
sebesar 25.0% dan persentase kematian larva
Aedes aegypti pada konsentrasi 1.000 ppm antara
20 sampai 45 dengan rata- rata persentase
kematian adalah 27.5%.
Persentase kematian larva Aedes aegypti dari
20 ekor dengan menggunakan ekstrak temu kunci
(Boesenbergia pandurata roxb) sebagai
biolarvasida selama 48 jam didapatkan hasil bahwa
rata – rata persentase kematian konsentrasi 0 ppm
sebesar 0%, persentase kematian larva Aedes
aegypti pada konsentrasi 250 ppm antara 15
sampai 55 dengan rata – rata persentase kematian
37
sebesar 29.2%, persentase kematian larva Aedes
aegypti pada konsentrasi 500 ppm antara 20
sampai 70 dengan rata – rata persentase kematian
sebesar 53.3%, persentase kematian larva Aedes
aegypti pada konsentrasi 750 ppm antara 25
sampai 85 dengan rata–rata persentase kematian
sebesar 56.7% dan persentase kematian larva
Culex pada konsentrasi 1.000 ppm antara 60
sampai 95 dengan rata- rata persentase kematian
adalah 72.5% (lihat Tabel 3).
Tabel 3 : Persentase Kematian Larva Aedes
aegypti Selama 48 Jam
Replikasi Konsentrasi ekstrak Temu Kunci
0 250 500 750 1.000
1 0 15 70 35 70
2 0 20 20 25 60
3 0 20 70 75 65
4 0 55 55 60 80
5 0 35 60 85 95
6 0 30 45 60 65
Rata-rata 0 29.2 53.3 56.7 72.5
Minimal 0 15 20 25 60
Maksimal 0 55 70 85 95
Tabel 4 : Persentase Kematian Larva Aedes aegypti Selama 72 Jam
Replikasi Konsentrasi ekstrak Temu Kunci
0 250 500 750 1.000
1 0 40 90 95 100
2 0 50 75 75 100
38
Replikasi Konsentrasi ekstrak Temu Kunci
3 0 40 90 95 100
4 0 85 80 90 100
5 0 50 70 85 100
6 0 60 80 80 100
Rata-rata 0 54.2 80,8 86,7 100
Minimal 0 40 70 75 100
Maksimal 0 85 90 95 100
Pada Tabel 4 di atas didapatkan bahwa
Persentase kematian larva Aedes aegypti dari 20
ekor dengan menggunakan ekstrak temu kunci
(Boesen bergia pandurata roxb) sebagai
biolarvasida selama 72 jam didapatkan hasil bahwa
rata – rata persentase kematian konsentrasi 0 ppm,
250 ppm, 500 ppm, 750 ppm secara berturut-turut
adalah 0%, 54.2%, 80.8%, 86.7% dan 100%.
persentase kematian larva Aedes aegypti pada
konsentrasi 250 ppm antara 40 sampai 85, pada
konsentrasi 500 ppm persentase kematian larva
Aedes aegypti antara 70 sampai 90, pada
konsentrasi 750 ppm persentase kematian larva
Aedes aegypti antara 75 sampai 95 dan pada
konsentrasi 1.000 ppm larva Aedes aegypti mati
semua.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi ekstrak temu kunci yang digunakan
39
maka semakin besar rata-rata persentase kematian
larva Aedes aegipty dan Semakin lama waktu yang
terpajan ekstrak temu kunci maka semakin besar
persentase kematian larva Aedes aegypti. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa kandungan saponin dan
flavonoid yang terdapat ekstrak temu kunci
berpotensi sebagai biolarvasida yang dapat
menghambat pertumbuhan larva Aedes aegypti
(Lihat gambar 7). Hal ini diperkuat oleh
Rohananto (2013) dalam penelitian yang berjudul
“Efektivitas Ekstrak Daun Tapak Dara
(Catharanthus Roseus) Sebagai Larvasida Nyamuk
Culex quinquefasciatus”, ekstrak etanol daun
sambang colok (Aerva sanguinolenta) yang
diberikan kepada larva Cx. quinquefasciatus
dengan konsentrasi 1000 ppm setelah 24 jam
pemaparan menyebabkan kematian 96,7%,
sedangkan ekstrak tapak dara menyebabkan
kematian larva sebesar 15%. Sementara itu
Logaswamy dan Remia (2009) melaporkan ekstrak
tapak dara masih rentan terhadap larva instar 4
nyamuk Ae. aegypti dengan kematian 77% pada
konsentrasi 250 ppm setelah 24 jam pemaparan.
Pada tanaman tapak dara kandungan saponin
sebesar 75% flavonoid (5,7 – dihidroksiflavon).
40
Hal ini menunjukkan setiap spesies memiliki
perbedaan sensitifitas terhadap suatu senyawa pada
tumbuhan, selain itu kemungkinan pada tanaman
tersebut mempunyai kandungan saponin dengan
aktifitas yang berbeda terhadap mortalitas larva.
Gambar 7 : Rata-rata Persentase Kematian Larva Aedes aegypti
Selain itu pengenceran ekstrak temu kunci
dengan menggunakan air aquades atau ethanol
dengan pH 7, sangat sulit campur karena hasil
akhir ekstrak temu kunci (Boesenbergia pandurata
roxb) berbentuk cream berminyak, sehingga
mempengaruhi kelarutan bahan terhadap air.
Dalam penelitian ini proses pengenceran
dicampur dengan larutan Twin 20 terlebih dahulu,
setelah itu baru dicampur dengan air aquades.
Untuk itu disarankan penelitan selanjutnya agar
41
pengekstrakannya berbentuk serbuk atau granul
atau cair, supaya mudah pengenceran, tanpa
menggunakan Twin 20.
5.8. Perbedaan rata-rata kematian larva Aedes aegypti
Selama 24, 48 dan 72 jam dengan konsentrasi 250
ppm, 500 ppm, 750 ppm dan 1000 ppm
Tabel 5 : Hasil Perhitungan Uji Anava Pada Larva Aedes aegypti
No Waktu Nilai P (Signifikan)
1 24 jam 0.003
2 48 jam 0.004
3 72 jam 0.000
Tabel 6 : Hasil Perhitungan Uji LSD Pada Larva
Aedes aegypti Selama 24 Jam
No Konsentrasi Nilai P
(Signifikan)
1 250 - 500 0.007
2 250 - 750 0.002
3 250 - 1.000 0.001
4 500 - 750 0.624
5 500 - 1.000 0.331
6 750 - 1.000 0.624
42
Tabel 7 : Hasil Perhitungan Uji LSD Pada Larva Aedes aegypti Selama 48 Jam
No Konsentrasi Nilai P
(Signifikan)
1 250 - 500 0.029
2 250 - 750 0.014
3 250 - 1.000 0.000
4 500 - 750 0.749
5 500 - 1.000 0.077
6 750 - 1.000 0.139
Tabel 8 : Hasil Perhitungan Uji LSD Pada Larva Aedes aegypti Selama 72 Jam
No Konsentrasi Nilai P
(Signifikan)
1 250 - 500 0.000
2 250 - 750 0.000
3 250 - 1.000 0.000
4 500 - 750 0.333
5 500 - 1.000 0.004
6 750 - 1.000 0.035
Berdasarkan Tabel 5.4, dengan
menggunakan uji statistic anava 1 arah didapatkan
bahwa minimal ada 1 (satu) pasang konsentrasi
ekstrak temu kunci dalam menghambat
pertumbuhan larva Aedes aegypti setelah terpajan
ekstrak temu kunci selama 24 jam, 48 jam maupun
72 jam yang beda (p < α = 0.05).
Persentase rata-rata kematian larva Aedes
aegypti yang berbeda setelah terpajan ekstrak temu
43
kunci selama 24 jam dan 48 jam adalah pada
konsentrasi 250 ppm dengan 500 ppm, 750 ppm
dan 1.000 ppm, sedangkan setelah tepajan ekstrak
temu kunci selama 72 jam bahwa rata-rata
persentase jumlah kematian Aedes aegypti yang
berbeda adalah pada kelompok konsentrasi 250
ppm dengan 500 ppm, 750 ppm dan 1.000 ppm
serta kelompok 1.000 ppm dengaan 500 ppm dan
750 ppm ( p < α ). Hal ini dapat disimpulkan
bahwa larva Aedes aegypti pada konsentrasi 500
ppm, 750 ppm dan 1.000 ppm tidak terlalu besar
perbedaan konsentrasinya dalam membunuh
kematian larva Aedes aegypti. ( Lihat Gambar 7 )
5.9. Efektifitas ekstrak tanaman temu kunci
(boesenbergia pandurata roxb) sebagai biolarvasida
terhadap larva Aedes aegypti pada Letal
Concentration ( LC50 )
Letal Concentration 50 ( LC50 ) adalah
konsentrasi yang diturunkan secara statistik yang
dapat diduga menyebabkan kematian 50% dari
populasi organisme dalam serangkaian kondisi
percobaan yang telah ditentukan (Keputusan
Menteri Pertanian, 2001). Penentuan konsentrasi
44
Letal ( LC50 ) adalah konsentrasi ekstrak temu
kunci yang dibutuhkan untuk mematikan 50%
larva culex maupun Aedes aegypti. Dalam
penelitian ini didapatkan bahwa konsentrasi
ekstrak temu kunci (Boesenbergia pandurata roxb)
500 ppm dapat membunuh 50% larva Aedes
aegypti selama 48 jam ( Lihat Tabel 3). Hal ini
dapat disimpulkan bahwa ekstrak temu kunci
efektif sebagai biolarvasida dengan konsentrasi 500
ppm terhadap larva Aedes aegypti.
45
REFERENSI
Aradilla, Ashry S. 2009. Uji Efektifitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta Indica) Terhadap Larva Aedes Aegypti. Semarang : Universitas Diponegoro.
Cahyo, K. 2012. Morfologi Siklus Hidup Habitat Dan
Penyakit Yang Ditularkan Oleh Nyamuk
Culex sp. Universitas Airlangga : Institut
Tropical Deseas
Chin, James, dkk. 2000. Manual Pemberantasan
Penyakit Menular. United Stage of America.
ISBN 0 – 87553 – 242 – X.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2013.
Provil Kesehatan Jawa Timur 2012
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan (Dit.jend. PPM
dan PL) Departemen Kesehatan RI Jakarta,
2001
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan
Penyehatan Penyakit Lingkungan (Dit.Jend.
PPM Dan PL) Dinas Kesehatan Ri 2009.
Haditomo, Indrianto. 2010. Efek Larvasida Ekstrak
Daun Cengkeh (Syzgium Aromatium L)
Terhadap Aedes aegypti. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret.
Hariani, Shovia. 2014. Efektivitas Ekstrak Daun
Mundu (Gacinia dulcis) Sebagai Larvasida
Nyamuk Culex Quinquefasciatus dan Aedes
aegypti. Bandung : Institut Pertanian Bogor
Herdiana, Agus 2015. Klasifikasi dan Daur Hidup Nyamuk Aedes aegypti. http://informasi
kesling.blogspot.co.id/2015/03/siklus-hidup-
nyamuk-aedes-aegypti. html. Diakses 11
Januari 2018
46
Iskandar, dkk. 2006. Uji Efek Larvasida Ekstrak Daun
Mahkota Dewa ( Phaleria macrocarpa)
terhadap Larva Culex sp.
Juriastutik, Puji, dkk. 2010. Faktor Risiko Kejadian
Filariasis di Kelurahan Jati Sampurna Makara,
Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010: 31-36.
Marlik, Nur Haidah, AT Diana Nerawati, 2016,
Extract of Tenu Kunci Plant (Boesenberqia
Pandurata Roxb) as Biolarvasida to Larvae of
Culex and Aedes Aegypti, Journal of
Environtment and Earth Science vol 6 no.4.
Muchlisah, Fauziah. 2011. Tanaman Temu – Temuan
Dan Empon – Empon. Ebook. Yogyakarta.
ISBN 979 – 672 – 376 – x.
Mukono, H.J. 2008. Prinsip Dasar Kesehatan
Lingkungan. Surabaya : Airlangga University
Pers.
Novianto, Ikwi W. 2007. Kemampuan Hidup Culex
quiquefasciatus aay pada Habitat Limbah
Rumah Tangga. Surakarta : Universitas
Sebelas Maret.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. :
374/MENKES/PER/II/2010 Tentang
Pengendalian Vektor.
Pratiwi, Amelia. 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Semarang : Universitas Negeri Semarang.
ISSN 1858-1196.
Rohananto, Rofindra. 2013.Efektivitas Ekstrak Daun
Tapak Dara (Catharanthus Roseus) Sebagai
Larvasida Nyamuk Culex Quinquefasciatus.
Bogor : Institut Pertanian Bogor
Sucipto, Cecep D. 2011. Vektor Penyakit Tropis.
Yogyakarta. Gosyeng Publishing.
Sutanto, Inge, dkk. Parasitologi Kedoktera. Jakarta :
Badan Penerbit Fakultas Universitas
Indonesia
47
Utomo, Margo, dkk. 2010. Daya Bunuh Bahan Nabati
Serbuk Biji Papaya Terhadap Kematian Larva
Aedes Aegypti Isolat Laboratorium B2vrp
Salatiga. Unimus 2010. ISBN :
978.979.704.883.9
Wakhyulianto. 2005. Uji Daya Bunuh Ekstrak Cabai
Rawit (Capsicum Frutescens L) Terhadap
nyamuk Aedes aegypti. Semarang : Universitas
Negeri Semarang
Winzaldi. 2007. Pekarangan Indah dengan Tanaman
Obat. Bandung. CV. Putra Mandiri
48