2011-2-01046-psbab2001 - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/ecolls/doc/bab2/2011-2-01046-ps...

35
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan dijelaskan teori yang digunakan dalam penelitian. Adapun teori-teori yang dijelaskan adalah teori tentang dukungan sosial teman sebaya, kecemasan, dan tugas perkembangan remaja. 2.1 Dukungan Sosial Teman Sebaya 2.1.1 Definisi Dukungan Sosial Beberapa pengertian mengenai dukungan sosial ini telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Di bawah ini diuraikan beberapa definisi dari dukungan sosial itu,antara lain: 1. Thoits (1986), dukungan sosial adalah suatu interaksi antara individu dengan orang lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar individu yang meliputi kebutuhan untuk dicintai, dihargai, serta adanya kebutuhan akan rasa aman sehingga memperoleh kebahagiaan. Perasaan sosial dasar yang dibutuhkan individu secara terus menerus yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain. 2. Sarafino (1994), dukungan sosial dapat diartikan sebagai kenyamanan, perhatian, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain, dimana orang lain disini bisa berarti individu secara perorangan ataupun kelompok. Ia membedakan lima jenis dukungan sosial yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan sosial.

Upload: dothuan

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini akan dijelaskan teori yang digunakan dalam penelitian. Adapun

teori-teori yang dijelaskan adalah teori tentang dukungan sosial teman sebaya,

kecemasan, dan tugas perkembangan remaja.

2.1 Dukungan Sosial Teman Sebaya

2.1.1 Definisi Dukungan Sosial

Beberapa pengertian mengenai dukungan sosial ini telah banyak

dikemukakan oleh para ahli. Di bawah ini diuraikan beberapa definisi dari dukungan

sosial itu,antara lain:

1. Thoits (1986), dukungan sosial adalah suatu interaksi antara individu

dengan orang lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar

individu yang meliputi kebutuhan untuk dicintai, dihargai, serta adanya

kebutuhan akan rasa aman sehingga memperoleh kebahagiaan.

Perasaan sosial dasar yang dibutuhkan individu secara terus menerus

yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain.

2. Sarafino (1994), dukungan sosial dapat diartikan sebagai kenyamanan,

perhatian, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain, dimana

orang lain disini bisa berarti individu secara perorangan ataupun

kelompok. Ia membedakan lima jenis dukungan sosial yaitu dukungan

emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan

informasi, dan dukungan jaringan sosial.

14

3. House (dalam Smet, 1994), dukungan sosial sebagai persepsi seseorang

terhadap dukungan potensial yang diterima dari lingkungan. Dukungan

sosial tersebut mengacu pada kesenangan yang dirasakan sebagai

penghargaan akan kepedulian serta pemberian bantuan dalam konteks

hubungan yang akrab.

4. Shinta (1995), dukungan sosial adalah adanya pemberian informasi baik

secara verbal maupun nonverbal, pemberian bantuan tingkah laku atau

materi yang didapat dari hubungan sosial yang akrab atau hanya

disimpulkan dari keberadaan mereka yang membuat individu merasa

diperhatikan, bernilai, dicintai sehingga lebih lanjut bertujuan atau

menguntungkan bagi individu yang menerima.

5. Cohen, Underwood, dan Gottlieb (1996), dukungan sosial adalah

persepsi bahwa orang lain responsif dan reseptif terhadap kebutuhan

seseorang dimana hal ini sangat membantu untuk mengatasi stres atau

kecemasan.

6. Dalton, Elias, dan Wandersman (2001), dukungan sosial adalah suatu

kumpulan proses sosial, emosional, kognitif, dan perilaku yang

berlangsung dalam sebuah hubungan pribadi dimana individu

memperoleh bantuan untuk melakukan penyesuaian adaptif atas

masalah yang dihadapinya.

7. Robert Weiss (dalam Taylor, 2003), dukungan sosial adalah pertukaran

interpersonal dimana salah seorang memberikan bantuan atau

pertolongan kepada yang lain. Dukungan sosial dapat diberikan dalam

beberapa cara yaitu emosional, instrumental, informasi, dan penilaian

individu.

15

8. Sarason (dalam Baron & Byrne, 2005), dukungan sosial adalah

kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain.

Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep

dukungan sosial adalah suatu transaksi atau interaksi interpersonal yang melibatkan

satu atau lebih dari lima hal berikut yaitu kepedulian emosional, bantuan, informasi,

jaringan sosial dan penilaian, serta dapat memberikan rasa nyaman secara fisik dan

psikologis terhadap orang-orang yang sedang menghadapi tekanan yang diberikan

individu lain baik secara perorangan maupun kelompok oleh teman-teman dan rekan

keluarga.

Manusia dalam peranannya sebagai makhluk sosial, selalu akan berinteraksi

dengan orang lain. Semenjak dilahirkan, manusia sudah mempunyai naluri untuk

hidup berkawan (Soekanto, dalam Dayakisni, 2009). Dalam kehidupan sehari-hari,

interaksi manusia dengan orang di sekitarnya dapat berupa bantuan baik secara

langsung ataupun secara tidak langsung. Begitu pula dengan dukungan yang

diterima oleh individu. Sarafino (1990) mengemukakan bahwa dukungan sosial

dapat berasal dari berbagai sumber seperti pasangan/kekasih, keluarga, teman,

terapis, dokter, atau organisasi masyarakat.

Semua individu membutuhkan dukungan sosial baik itu dukungan yang

diperoleh dari orang tua, teman sebaya (peer), pasangan, guru, sahabat, anak, dan

sebagainya. Social Support Network atau jaringan dukungan sosial adalah

seseorang yang dapat diminta bantuan dan siapa yang akan memberikan bantuan

bila diperlukan, seperti keluarga, teman, dan tetangga (Breckler, Olson, dan

Wiggins, 2006). Dukungan sosial merupakan persepsi bahwa orang lain responsif

dan reseptif terhadap kebutuhan seseorang (Cohen, dkk., 1996). Orang yang

memiliki seseorang untuk bersandar/menaruh kepercayaan dan kesepakatan yang

16

lebih baik tentang masalah hidup akan menunjukkan peningkatan kesehatan

(Helgeson & Cohen, dalam Aronson,Wilson, & Akert, 2007). Penjelasan tersebut

sejalan dengan Cobb (dalam Sarafino, 1994) yang mengatakan bahwa seseorang

yang mendapatkan dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, diperhatikan,

berharga, bernilai, dan menjadi bagian dari jaringan sosial, seperti keluarga dan

komunitas organisasi yang dapat membekali kebaikan,pelayanan, dan saling

mempertahankan ketika dibutuhkan.

Cohen (dalam Veiel, 1992) menggambarkan tentang individu yang dikelilingi

dengan lingkaran-lingkaran luar yang ada di sepanjang hidupnya. Pasangan hidup,

keluarga inti, teman dekat misalnya adalah lingkaran paling dekat dengan individu

sehingga dapat dikatakan orang-orang ini adalah yang paling dekat dengan individu

tersebut dan paling berpotensial untuk memberikan dukungan.

2.1.2 Komponen Dukungan Sosial

Menurut Pearson (dalam Sarwono, 2009), manusia adalah makhluk sosial.

Artinya, sebagai makhluk sosial, seseorang tidak dapat menjalin hubungan sendiri

melainkan selalu menjalin hubungan dengan orang lain serta berinteraksi dengan

orang lain. Bagi kebanyakan orang, kecenderungan berafiliasi yaitu keinginan untuk

berada bersama orang lain cukup kuat (Sears & Peplau, 1988). Menurut McClelland

(dalam Sarwono, 2009), kebutuhan berinteraksi adalah suatu keadaan di mana

seseorang berusaha untuk mempertahankan suatu hubungan, bergabung dalam

kelompok, berpartisipasi dalam kegiatan, menikmati aktivitas bersama keluarga atau

teman, menunjukkan perilaku saling bekerja sama, saling mendukung, dan

konformitas. Dukungan sosial memegang peranan penting dalam suatu hubungan.

Thoits (1983) mendefinisikan dukungan sosial sebagai perasaan sosial dasar yang

17

dibutuhkan individu secara terus menerus yang dipuaskan melalui interaksi dengan

orang lain. Dari interaksi ini individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan,

menghargai, dan mencintai dirinya.

Dewasa ini, para teorisi berusaha membuat klasifikasi komponen utama dari

berbagai kepentingan yang diperoleh seorang dalam suatu hubungan (House, dalam

Sears, 1988). Salah satunya adalah analisis mengenai enam dasar “ketentuan

hubungan sosial” yang dikemukakan oleh Robert Weiss pada tahun 1974. Untuk

penelitian ini akan digunakan pembagian dari Weiss (dalam Taylor, Peplau, & Sears,

1997) dalam teorinya mengenai fungsi hubungan sosial (Theory of the Provisions of

Social Relationship). Dalam teorinya, Weiss menyebut komponen atau dimensi dari

bentuk-bentuk bantuan yang dapat diperoleh dari hubungan dengan orang lain.

Weiss mengemukakan adanya 6 komponen dukungan sosial yang disebut sebagai

the social provisions scale, dimana masing-masing komponen dapat berdiri sendiri,

namun satu sama lain saling berhubungan. Peneliti menjadikan teori Weiss menjadi

teori utama karena teori ini sering dipakai dalam beberapa penelitian tentang

dukungan sosial dan mencakup aspek yang luas dari dukungan sosial. Adapun 6

komponen tersebut adalah:

a. Keterikatan (Attachment). Merupakan perasaan akan kedekatan

emosional dan rasa aman (ketenangan) dalam diri individu. Sumber

dukungan sosial ini yang paling sering dan umum adalah diperoleh dari

pasangan hidup atau kekasih yang memiliki hubungan yang harmonis.

b. Integrasi Sosial (Social Integration). Merupakan dukungan yang

menimbulkan perasaan dalam diri individu bahwa ia termasuk dalam

suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas rekreasi.

Jenis dukungan ini memungkinkan seseorang untuk memperoleh

18

perasaan memiliki. Yang sering menjadi sumber dukungan ini adalah

teman.

c. Penghargaan/Pengakuan (Reassurance of Worth). Merupakan

pengakuan atas kompetensi, kemampuan, dan keahlian individu. Pada

dukungan sosial jenis ini, seseorang akan mendapat pengakuan atas

kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari orang

lain. Dukungan ini sering diperoleh dari rekan kerja.

d. Hubungan yang dapat diandalkan (Reliable Alliance). Merupakan

keyakinan dalam diri individu bahwa ia dapat mengandalkan orang lain

untuk membantunya dalam berbagai kondisi, meliputi kepastian atau

jaminan bahwa seseorang dapat mengharapkan keluarga untuk

membantu semua keadaan. Dukungan ini sering diperoleh dari anggota

keluarga.

e. Bimbingan (Guidance). Dukungan sosial jenis ini adalah adanya

hubungan sosial yang dapat memungkinkan seseorang mendapat

informasi, saran, atau nasihat yang diperlukan dalam memenuhi

kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan ini

sering diperoleh dari guru, mentor, figur orang tua atau figur yang

dituakan dalam keluarga.

f. Kesempatan untuk Mengasuh (Opportunity for Nurturance). Merupakan

suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan yang

dibutuhkan oleh orang lain. Dukungan yang menimbulkan perasaan

dalam diri individu bahwa ia bertanggung jawab terhadap kesejahteraan

orang lain. Dukungan ini sering diperoleh dari anak, cucu, dan pasangan

hidup.

19

Keenam komponen dukungan di atas dapat dikelompokkan ke dalam dua

kategori (Cutrona & Russell, 1991). Pertama, bantuan langsung (Assistance-

related). Bantuan ini berfungsi secara langsung dalam mencapai penyelesaian

masalah pada stres yang dialami individu. Contohnya yaitu dukungan bimbingan.

Kedua, bantuan tidak langsung (non-assistance-related). Bantuan ini berfungsi

secara tidak langsung dan berpengaruh melalui perantaraan proses kognitif,

misalnya dengan meningkatkan self-efficacy individu. Contohnya adalah dukungan

penghargaan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cutrona (1986), ternyata

tingkah laku yang merefleksikan kebutuhan akan dukungan emosi dan dukungan

informasi akan lebih sering timbul pada individu yang mengalami stres dari pada

yang tidak mengalami stres. Jadi, individu yang berada dalam keadaan stres akan

mencari orang lain untuk sebuah alasan yang jelas, yaitu meminta dukungan (Deaux

& Wrightsman, 1988). Pada umumnya individu membutuhkan bantuan orang lain

sebagai dukungan bagi dirinya ketika menghadapi masalah. Dengan adanya

dukungan sosial dapat mengurangi timbulnya simtom fisik dan gejala psikologis,

seperti kecemasan dan depresi (Gottlieb,1983). Adanya dukungan sosial dapat

mengontrol timbulnya stres dan kecemasan (Gottlieb,1983).

2.1.3 Jenis-Jenis Dukungan Sosial

Merangkum beberapa pendapat para ahli, Sarafino (1994) merumuskan

bahwa ada 5 jenis dukungan sosial yang dapat diberikan oleh seorang individu,

yaitu:

1. Dukungan Emosional (Emotional Support)

20

Jenis dukungan ini dilakukan dengan melibatkan ungkapan rasa empati,

kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang sehingga memberikan

perasaan nyaman, ketentraman hati, dan perasaan dicintai yang

membuatnya merasa lebih baik. Dukungan emosional adalah ekspresi

dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan

(Cohen,1991). Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan

memberikan dampak positif, yaitu sebagai sarana pelepasan emosi dan

mengurangi kecemasan, serta membuat individu merasa dihargai,

diterima, dan diperhatikan.

2. Dukungan Penghargaan (Esteem Support)

Dukungan ini terjadi lewat ungkapan penghargaan positif untuk individu

yang bersangkutan, dorongan maju dan perbandingan positif individu

dengan orang-orang lain. Orford (1992) berpendapat bahwa dukungan

penghargaan dititikberatkan pada adanya suatu pengakuan, penilaian

yang positif, dan penerimaan terhadap individu. Menurut Cohen (dalam

Sarafino,1990), jenis dukungan ini dilakukan melalui ekspresi sambutan

positif orang-orang yang berada di sekitarnya, pemberian dorongan atau

pernyataan setuju terhadap ide-ide dan perasaan individu. Dukungan ini

membuat seseorang merasa berharga, kompeten, dan dihargai.

3. Dukungan Instrumental (Instrumental Support)

Jenis dukungan ini berupa bantuan yang sifatnya nyata dan langsung

yaitu dapat berupa jasa, waktu, meminjamkan uang, dan membantu

mengerjakan tugas seseorang ketika sedang stres (Cohen, dalam

Sarafino,1990). Dukungan instrumental mengacu pada penyediaan

barang atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-

21

masalah praktis. Dukungan ini membantu individu untuk melaksanakan

aktivitasnya.

4. Dukungan Informasi (Informational Support)

Jenis dukungan ini mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran-saran,

ataupun umpan balik tentang apa yang telah dikerjakan. Melalui interaksi

dengan orang lain, individu akan dapat mengevaluasi dan mempertegas

keyakinannya dengan membandingkan pendapat, sikap, keyakinan, dan

perilaku orang lain. Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah

dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap

masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil

keputusan dan memecahkan masalah secara praktis.

5. Dukungan Jaringan Sosial (Network Support)

Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar

seseorang merasa menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki

persamaan minat dan aktivitas sosial. Jenis ini mencakup perasaan

keanggotaan dalam kelompok. Dukungan jaringan sosial ini juga disebut

sebagai dukungan persahabatan (Companionship Support) yang

merupakan suatu interaksi sosial yang positif dengan orang lain, dimana

memungkinkan individu dapat menghabiskan waktu dengan individu lain

dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan. Berasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Cohen dan Wills (1992), dukungan jaringan sosial akan

membantu individu untuk mengurangi stres yang dialami karena dapat

memenuhi kebutuhan akan persahabatan dan kontak sosial dengan

orang lain.

22

2.1.4 Manfaat Dukungan Sosial

Menurut Baron & Byrne (2005), manusia yang berinteraksi dengan

lingkungannya akan menjadi lebih baik untuk menghindari masalah dari pada

individu yang terisolasi dari kontak personal. Ketika stres muncul, individu yang

mendapat dukungan sosial akan lebih mudah untuk mengatasi stres yang muncul.

Individu yang menerapkan pola pendekatan dalam pencarian rasa aman akan lebih

mudah untuk mengatasi stres melalui pencarian dukungan sosial. Efek positif dari

dukungan interpersonal adalah rasa diterima (Self of Acceptance) oleh lingkungan

dapat mengurangi stres dan menumbuhkan perasaan emosi dan fisiologis yang

positif.

Manfaat dari adanya dukungan sosial ini sangat banyak diantaranya yaitu

dikemukakan oleh House dan Kahn (1985) bahwa dukungan sosial mampu

menolong individu mengurangi pengaruh yang merugikan dan dapat

mempertahankan diri dari pengaruh negatif stressor. Selain itu, Sarason (1983)

berpendapat bahwa orang yang memperoleh dukungan sosial akan mengalami hal-

hal positif dalam hidupnya, memiliki harga diri, dan mempunyai pandangan yang

lebih optimis. Dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi tekanan psikologis

selama masa stres. Misalnya dengan membantu siswa mengatasi stres dari

kehidupan kampus yaitu saat akan menghadapi ujian (Broman, dalam Taylor,2000).

Sheridan dan Radmacker (1992), menyebutkan bahwa selama menjalani masa-

masa yang penuh tekanan, seseorang sering mengalami penderitaan emosional

serta kemungkinan selanjutnya seperti menderita depresi, kesedihan, cemas, dan

berkurangnya harga diri. Dengan adanya dukungan sosial, setidaknya orang

tersebut dapat menyadari bahwa ada pihak-pihak atau orang-orang di sekitarnya

yang siap membantunya dalam menghadapi tekanan tersebut.

23

House (dalam Russel, 1987) mengatakan bahwa dukungan sosial memang

dapat dikatakan memiliki peran yang penting bagi individu-individu yang mengalami

stres. Adapun keuntungan yang diperoleh dari dukungan sosial antara lain membuat

stres tidak menimbulkan efek negatif pada kesehatan fisik dan psikologis seseorang

sehubungan dengan fungsinya sebagai penyokong kesehatan (Health Sustaining)

dan penahan stres (Stres Buffering) serta meningkatkan kesejahteraan (Well-being)

seseorang. Ditinjau dari bidang klinis, dukungan sosial dapat membantu manusia

dalam mencapai perkembangan yang optimal (Yettie, 2004).

Sarason, Levine, Basham, dan Sarason (1983) mengemukakan bahwa

dukungan sosial itu selalu mencakup dua hal penting, yaitu Persepsi bahwa ada

sejumlah orang yang dapat diandalkan oleh individu saat ia membutuhkan bantuan

dan derajat kepuasan akan dukungan yang diterima yang berkaitan dengan persepsi

individu bahwa kebutuhannya terpenuhi. Menurut Cohen dan Wills (1985), yang

penting bagi individu adalah persepsi akan keberadaan (availability) dan ketepatan

(adequacy) dukungan. Jadi bukan sekedar seseorang yang memberikan bantuan,

tetapi pada persepsi penerima dukungan.

2.1.5 Dukungan Sosial Teman Sebaya

Manusia dalam peranannya sebagai makhluk sosial, selalu akan berinteraksi

dengan orang lain. Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk

hidup berkawan (Soekanto, dalam Dayakisni, 2009). Dalam kehidupan sehari-hari,

interaksi manusia dengan orang di sekitarnya dapat berupa bantuan baik secara

langsung ataupun tidak langsung. Begitu pula dengan dukungan yang diterima oleh

individu. Menurut Baron dan Byrne (2005), dukungan sosial (Social Support)

memberikan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain.

24

Dalam hal ini bermanfaat ketika individu mengalami stres dan sesuatu yang sangat

efektif terlepas dari strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stres (Frazier,

dalam Baron & Byrne, 2005).

Taylor, Peplau, dan Sears (2000), menjelaskan bahwa dukungan sosial

dapat berasal dari pasangan, anggota keluarga, teman, dan organisasi masyarakat.

Para peneliti fenomena dukungan sosial sepakat bahwa sumber utama dari

dukungan sosial adalah hubungan dengan significant others (Swindle & Heller,

1983). Significant others seperti anggota keluarga, teman dekat, rekan sekerja,

saudara, dan tetangga.

Atwater (1983) memberikan definisi teman sebaya sebagai berikut:

“………peer relationship are the relationship between adolescents of the same age,

as seen in neighborhood, school, and social environments.” Menurut Atwater (1983),

hubungan sebaya adalah hubungan antara remaja pada usia yang sama seperti

yang terlihat di lingkungan sekolah dan lingkungan sosial. Menurut Santrock (2009),

dalam konteks perkembangan anak, teman sebaya adalah anak-anak dengan usia

atau tingkat kedewasaan yang kurang lebih sama. Dari kedua definisi diatas dapat

ditarik kesimpulan bahwa teman sebaya adalah suatu bentuk hubungan pada

remaja yang memiliki usia dan tingkat kedewasaan yang sama, baik di lingkungan

sekolah ataupun lingkungan rumah.

Interaksi teman sebaya yang memiliki usia yang sama memainkan peran

khusus dalam perkembangan sosioemosional anak-anak. Salah satu fungsi yang

paling penting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber

informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Hubungan baik dengan

teman sebaya merupakan peran yang mungkin penting agar perkembangan anak

menjadi normal (Howes & Tonyan, dalam Santrock, 2009).

25

Dalam rentang kehidupan manusia, masa yang rentan terhadap stres adalah

masa remaja (Papalia, 2004). Dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stres

atau tekanan, remaja membutuhkan dukungan sosial yang didapatkan dari

lingkungan sosialnya (Papalia, 2004). Dalam usahanya untuk memperoleh

dukungan sosial, remaja melakukan interaksi tertentu yang membuatnya selalu

berhubungan dengan lingkungan sosialnya (Cobb, dalam Turner, 1999).

Dalam perkembangan individu yaitu pada masa remaja, kelompok teman

sebaya memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan remaja baik secara

emosional maupun secara sosial. Buhrmester (dalam Papalia, 2008) menyatakan

bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman,

panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi

serta independensi dari orang tua. Salah satu peran dari teman sebaya yaitu berupa

pemberian dukungan sosial. Dukungan sosial dari teman sebaya yaitu dukungan

yang diterima dari teman sebaya yang berupa bantuan baik secara verbal maupun

non verbal. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai

kemampuan mereka. Anak-anak sampai remaja menghabiskan semakin banyak

waktu dalam interaksi teman sebaya. Pada hari sekolah, terjadi 299 episode

bersama teman sebaya dalam tiap hari. Bagi remaja, hubungan teman sebaya

merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya (Barker & Wright, dalam

Santrock,2003). Pada penelitian yang lain selama satu minggu, remaja muda laki-

laki dan perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya

daripada waktu dengan orang tuanya (Condry, Simon,& Bronffenbrenner, dalam

Santrock,2003). Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan rasa

saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah. Di sekolah, remaja biasanya

menghabiskan waktu bersama-sama paling sedikit selama enam jam setiap harinya.

26

Sistem dukungan sering kali diperlukan untuk bertahan terhadap stres

(Santrock,2003). Dalam penelitian O’Brien (1996) ditemukan bahwa teman sebaya

adalah sumber utama dukungan yang menyeluruh bagi remaja. Bagi remaja, teman-

teman sebaya adalah kehidupannya. Hasil penelitian Becker dan Luthar (2007,

dalam Yettie, 2004), menemukan bahwa remaja yang mendapatkan dukungan dari

teman sebayanya dalam bentuk penghargaan, pujian, kekaguman sekaligus menjadi

seseorang yang disukai oleh teman-temannya akan menunjukkan prestasi yang baik

di sekolah.

Atwater (1983) menjelaskan mengenai beberapa fungsi teman sebaya

sebagai berikut:

1. Teman sebaya membantu individu dalam melakukan suatu transisi dari

orientasi keluarga menuju orientasi teman sebaya. Dalam proses

perkembangan remaja, proses ini dimulai ketika remaja berinisiatif untuk

tidak terlalu bergantung pada keluarga, tetapi mulai mencari kemandirian

dengan cara mendapatkan perasaan emosional secara aman melalui

teman-temannya.

2. Teman sebaya memberikan keuntungan bagaimana caranya membina

suatu hubungan yang baik dengan orang lain dan hal ini akan berguna di

masa yang akan datang.

3. Teman sebaya berfungsi sebagai kelompok referensi dimana mereka

akan berperan dalam menilai perilaku seseorang apakah baik atau buruk.

4. Teman sebaya membantu individu dalam menentukan identitas

personalnya.

Menurut Papalia (2001), Kelompok teman sebaya dapat mempengaruhi

pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Ia

27

mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama

bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup.

Greenberg dan Baron (dalam Atwater, 1993), menambahkan bahwa memiliki

sahabat pada saat-saat sulit dapat membuat individu melihat stres yang dialaminya

tidak terlalu mengancam. Sahabat/teman-teman juga dapat memberikan saran-

saran yang bermanfaat untuk mengatasi stres. Dukungan teman sebaya pada

dasarnya adalah tindakan menolong yang diperoleh melalui hubungan interpersonal

dan peran teman sebaya dalam penyesuaian sosial salah satunya berupa

pemberian dukungan sosial (Yettie, 2004).

2.2 Kecemasan (Anxiety)

2.2.1 Definisi Kecemasan

Beberapa pengertian mengenai kecemasan ini telah banyak dikemukakan

oleh para ahli. Di bawah ini diuraikan beberapa definisi dari kecemasan itu, antara

lain:

1. Lazarus (1969), kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman

yang dirasa tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, khawatir,

dan takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang

karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan dan timbul

karena menghadapi tegangan,ancaman, kegagalan, perasaan tidak

aman dan konflik.

2. Taylor (1995), kecemasan adalah suatu pengalaman subjektif mengenai

ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan

ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa tidak aman.

28

3. Hilgard (1996), kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang

ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang

terkadang dialami oleh individu dalam tingkat yang berbeda-beda.

4. Nevid (2005), kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang

mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak

menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk

akan terjadi

5. Rollo May (dalam Feist & Feist, 2006), kecemasan merupakan kondisi

subjektif individu yang semakin menyadari bahwa adanya ancaman bagi

eksistensi dirinya.

6. Haber dan Runyon (dalam Suryani,2007), kecemasan adalah perasaan

samar-samar yang tidak menyenangkan bahwa ada firasat sesuatu yang

buruk akan terjadi. Jika seseorang mengalami perasaan gelisah, gugup,

tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang

tersebut mengalami kecemasan. Ia mengemukakan empat dimensi

kecemasan yaitu dimensi kognitif, dimensi motorik, dimensi somatis, dan

dimensi afektif.

7. Atkinson, Hilgard, dan Richard, (2008), kecemasan adalah salah satu

bentuk keadaan emosi individu yang tidak menyenangkan yang ditandai

dengan perasaan tegang secara subjektif, keprihatinan, dan

kekhawatiran dengan derajat yang berbeda-beda.

Berdasarkan dari beberapa definisi mengenai kecemasan di atas, dapat

disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu respon terhadap keadaan atau

pengalaman subjektif dari emosi yang tidak menyenangkan yang diikuti adanya

29

keterangsangan fisiologis, perasaan tegang (stressful), gelisah, khawatir, dan takut

dengan tingkat / derajat yang berbeda-beda.

2.2.2 Dimensi dalam Kecemasan

Menurut Haber dan Runyon (1984) bahwa jika individu mengalami perasaan

gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti

orang tersebut mengalami kecemasan, yaitu ketakutan yang tidak menyenangkan

dan merupakan suatu pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi. Kecemasan

merupakan kondisi emosi yang kompleks dengan efek yang luas pada perilaku.

David Sue, Derald Wing Sue, dan Stanley Sue (dalam Haber dan Runyon,1984)

mengemukakan 4 dimensi kecemasan yaitu:

a. Dimensi Kognitif (dalam pikiran seseorang)

Dimensi kognitif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam

pikiran seseorang sehingga ia mengalami rasa risau dan khawatir.

Kekhawatiran ini dapat terjadi mulai dari tingkat khawatir yang ringan lalu

panik, cemas, dan merasa akan terjadi malapetaka, kiamat, serta

kematian. Saat individu mengalami kondisi ini ia tidak dapat

berkonsentrasi, mengambil keputusan, dan mengalami kesulitan untuk

tidur. Yang termasuk dimensi kognitif antara lain menjadi sulit tidur di

malam hari, mudah bingung, dan lupa.

b. Dimensi Motorik (dalam tindakan seseorang)

Dimensi motorik yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam

bentuk tingkah laku seperti meremas jari, jari-jari & tangan gemetar, tidak

dapat duduk diam atau berdiri di tempat, menggeliat, menggigit bibir,

30

menjentikkan kuku, gugup, dan mengambangkan Tics. Biasanya orang

yang cemas menunjukkan pergerakan secara acak.

c. Dimensi Somatis (dalam reaksi fisik/biologis)

Dimensi somatis yaitu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul

dalam reaksi fisik biologis seperti mulut terasa kering, kesulitan bernafas,

jantung berdebar, tangan dan kaki dingin, diare, pusing seperti hendak

pingsan, banyak berkeringat, tekanan darah naik, otot tegang terutama

kepala,leher,bahu, dan dada, serta sulit mencerna makanan.

d. Dimensi Afektif (dalam emosi seseorang)

Dimensi afektif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam

bentuk emosi, perasaan tegang karena luapan emosi yang berlebihan

seperti dihadapkan pada suatu teror. Luapan emosi ini biasanya berupa

kegelisahan atau kekhawatiran bahwa ia dekat dengan bahaya padahal

sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Yang termasuk dimensi afektif antara

lain yaitu merasa tidak pasti, menjadi tidak enak, gelisah, dan menjadi

gugup (nervous).

Kecemasan sendiri mempunyai rentang yang luas dan normal sampai level

yang moderat, misalnya pertandingan sepak bola, ujian, dan wawancara untuk

masuk kerja mempunyai tingkat kecemasan yang berbeda. Kecemasan normal

sebenarnya adalah sesuatu yang sehat karena merupakan tanda bahaya tentang

keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri. Kecemasan

juga dapat bersifat konstruktif, misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi

ujian, merasa cemas maka ia akan belajar dengan giat supaya kecemasannya

berkurang. Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman

dan efektivitas dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang. Apabila

31

seseorang tidak siap menghadapi ancaman, maka perasaan tertekan dan tidak

berdaya akan muncul.

Kecemasan pada taraf tertentu dapat mendorong meningkatnya performa,

Hal ini disebut sebagai Facilitating Anxiety, yaitu seseorang yang cemas mendapat

IP (Indeks Prestasi) buruk membuat seorang mahasiswa belajar dan

mempersiapkan diri menghadapi ujian. Dalam hal ini kecemasan yang dimiliki

memberikan efek positif yaitu menjadi pendorong untuk belajar dengan rajin.

Sedangkan bila kecemasan sangat besar, justru akan mengganggu, dalam hal ini

disebut Debilitating Anxiety (Fausiah & Widury, 2006). Pada debilitating anxiety ini

terjadi dalam bentuk tidak dapat tidur, gelisah, sering pergi ke toilet pada saat

menjelang dilaksanakan ujian atau ketika sedang mengerjakan ujian.

(Soekadji,1988). Kecemasan remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

usia, status kesehatan, jenis kelamin, pengalaman, sistem pendukung, dan besar

kecilnya stressor (Hurlock, 2000).

Bentuk kecemasan sebagai suatu respon dapat dibagi menjadi 2 bentuk.

Cattell, Scheier, dan Spielberger (dalam Zulkarnaen, 2004), menggambarkan

kecemasan sebagai State Anxiety dan Trait Anxiety. State Anxiety adalah reaksi

emosi sementara yang timbul pada situasi dan waktu tertentu, yang dirasakan

sebagai suatu ancaman. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan ketegangan yang

subjektif. State Anxiety ini berubah-ubah intensitasnya dan berfluktuasi dari waktu ke

waktu. Sedangkan Trait Anxiety adalah ciri atau karakteristik seseorang yang cukup

stabil yang mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan suatu keadaan

sebagai ancaman. Dalam hal ini, kecemasan dalam menghadapi ujian nasional

termasuk dalam State Anxiety (Spielberger, dkk., dalam Sena,2007).

32

2.2.3 Kecemasan Terhadap Tes (Test Anxiety)

Ketika akan menghadapi ujian atau tes seseorang dapat mengalami

kecemasan atau yang biasa disebut kecemasan tes (Test Anxiety). Istilah ini

pertama kali dipopulerkan oleh Libert dan Morris tahun 1967. Spielberger (1975)

mengatakan bahwa kecemasan tes adalah bentuk dasar pada situasi yang lebih

spesifik yaitu pada saat menghadapi suatu proses penilaian atau assessment

(ujian/tes). Sejalan dengan itu, Ormrod (2006) mengemukakan bahwa kecemasan

tes adalah perasaan cemas yang berlebihan mengenai sebuah tes atau penilaian

secara menyeluruh. Nicaise (dalam Sena,2007) menjelaskan bahwa kecemasan tes

didefinisikan sebagai respon fisiologis, kognitif, dan tingkah laku individu yang

mendorong perasaan negatif dalam situasi yang dinilai. Berdasarkan dari pengertian

mengenai kecemasan tes di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan tes

adalah bentuk perasaan cemas yang berlebihan pada situasi yang spesifik yaitu saat

menghadapi suatu proses penilaian (ujian/tes) yang ditunjukkan dalam respon

fisiologis, kognitif, dan tingkah laku individu serta mendorong perasaan negatif

dalam situasi yang dinilai tersebut.

Kecemasan tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga dapat dialami

oleh anak ataupun remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Bagi siswa,

kecemasan merupakan gangguan emosi yang dapat mengganggu dan menghambat

proses belajar di sekolah yang tentunya dapat mempengaruhi nilai ujian individu

tersebut. Bernstein (dalam Dewi, 2008), siswa yang mengalami kecemasan berisiko

mengalami Underachievement di sekolah yakni ditunjukkan dengan kurangnya

motivasi berprestasi dan merasa tidak berharga. Menurut Sudrajat (2008),

kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang

33

dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang seperti dalam

berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah.

Kecemasan (anxiety) merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan

emosi manusia. Sering kali orang yang mengalami kecemasan pada masa ujian,

menjadi tidak dapat berkonsentrasi saat belajar dan pada saat ujian berlangsung.

Hal ini menyebabkan keluarnya hasil ujian yang tidak maksimal. Dalam

kesehariannya sebagai siswa ada banyak pekerjaan, tantangan, dan tuntutan yang

harus dijalankan oleh siswa. Tantangan dan tuntutan tersebut antara lain pembuatan

bermacam tugas, laporan, makalah, maupun ujian yang merupakan salah satu

bentuk evaluasi bagi siswa yang dilakukan secara rutin. Dalam hal ini, salah satu

rangsang yang membangkitkan kecemasan adalah situasi saat ujian karena menurut

Djiwandono (2001), timbulnya kecemasan yang paling besar adalah pada saat siswa

menghadapi tes atau ujian. Selama bertahun-tahun, siswa memberikan reaksi

cemas yang hebat terhadap tes. Senada dengan itu, Nevid, dkk. (2005) mengatakan

bahwa ujian merupakan salah satu sumber kecemasan bagi seseorang. Adalah

normal jika siswa kadang merasa cemas atau khawatir saat menghadapi kesulitan di

sekolah, seperti saat akan mengerjakan ujian (Santrock, 2007). Terlampau cemas

dan takut menjelang ujian, justru akan menganggu kejernihan pikiran dan daya ingat

untuk belajar dengan efektif sehingga hal tersebut mengganggu kejernihan mental

yang penting untuk dapat mengatasi ujian (Goleman, 1997). Merasa cemas kiranya

menjadi hal yang umum bagi seseorang ketika menghadapi tantangan kehidupan.

Namun kecemasan yang intens dengan durasi yang lama dapat menjadi

penghambat dalam pencapaian prestasi (achievement) seseorang. kecemasan yang

terus menerus dirasakan inilah yang dapat menjadi momok dalam proses belajar

seseorang. Penelitian Klingermann (2008) membuktikan bahwa siswa dengan

34

kecemasan tes yang tinggi berhubungan dengan prestasi akademik yang rendah.

Pada dasarnya kecemasan dalam tingkat rendah dan sedang berpengaruh positif

terhadap penampilan belajar siswa, salah satunya dapat meningkatkan motivasi

belajar. Sebaliknya akan memberikan pengaruh yang buruk apabila kecemasan

tersebut ada pada taraf yang tinggi (Elliot, Kratochwill, Litllefield, dan Traver, 2000).

Gambaran ini diperkuat oleh pendapat Bandura (dalam Santrock, 2007) menyatakan

bahwa telah banyak riset yang menemukan bahwa banyak siswa yang sukses

memiliki kecemasan pada level moderat (sedang). Kecemasan yang dirasakan

siswa pada taraf sedang akan membantu siswa mencapai kesuksesan dalam

menghadapi ujian nasional. Akan tetapi, beberapa siswa yang mempunyai tingkat

kecemasan dan tingkat kekhawatiran tinggi secara konstan dapat secara signifikan

merusak kemampuan mereka untuk berprestasi. Tobias (dalam Klausmeier, 1985)

juga mengatakan bahwa kecemasan yang rendah dapat membantu usaha untuk

mencapai prestasi, sedangkan tingginya kecamasan tes dapat menyebabkan

rendahnya pencapaian prestasi. Hasil penelitian Freih Owayed El-Anzi (2005),

menunjukkan adanya korelasi atau hubungan yang negatif antara pencapaian

akademik dengan kecemasan.

Tidak hanya pada saat ujian nasional atau ujian sekolah yang dicemaskan,

tetapi tes atau ujian yang dilakukan sehari-hari di sekolah pun (ulangan harian) juga

dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam dan persepsi tersebut akan

menghasilkan perasaan tertekan bahkan panik. Keadaan tertekan dan panik ini yang

akan menurunkan hasil-hasil belajar (Franken, 2002). Menurut Rost (1989),

kecemasan tes berkaitan dengan situasi yang menyebabkan kecemasan, yang

terjadi dalam situasi dan kondisi yang berhubungan dengan latihan, belajar, dan

performa. Menurut Spielberger (dalam Cohen, dkk. 2004), orang yang memiliki

35

kecemasan tes yang tinggi memiliki karakter persepsi yang negatif pada dirinya dan

juga memiliki harapan yang negatif pada ujiannya. Rendahnya motivasi, penilaian

diri yang negatif, dan kesulitan konsentrasi biasa ditemukan pada siswa yang

memiliki kecemasan tes (Swanson dan Howell, dalam Lufi, Okasha, & Cohen, 2004).

Ormrod (2006) mengatakan bahwa penyebab beberapa dari siswa merasa cemas

ketika mereka merasa dievaluasi atau dinilai sehingga dapat diketahui

kelemahannya.

Sarason (dalam Elliott, 2000) membuat kesimpulan tentang ciri-ciri utama

ujian atau tes yang bisa menimbulkan kecemasan yaitu:

a. Tes dipersepsikan sebagai sesuatu yang sulit, menantang, dan

mengancam.

b. Siswa memandang dirinya sendiri sebagai seorang yang tidak sanggup

atau tidak mampu mengerjakan tes

c. Siswa yang hanya terfokus pada bayangan-bayangan konsekuensi buruk

yang tidak diinginkannya.

d. Siswa mengantisipasi bahwa ia akan gagal dan kehilangan penghargaan

dari orang lain.

Menurut Sari dan Kuncoro (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

kecemasan antara lain keadaan pribadi individu, tingkat pendidikan, pengalaman

yang tidak menyenangkan dan dukungan sosial. Beberapa penelitian yang dilakukan

oleh para ahli dimana salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sarason

dan Davidson menemukan bahwa siswa yang mempunyai kecemasan tinggi

cenderung mendapat skor yang lebih rendah daripada skor siswa yang kurang

cemas. Selain itu, tingkat tantangan dan keterampilan yang dirasakan dapat

memberikan hasil yang berbeda (lihat Tabel 2.1) (Brophy, dalam Santrock, 2009).

36

Penghayatan paling mungkin terjadi dalam area-area yang membuat siswa merasa

tertantang dan merasa bahwa mereka mempunyai keterampilan tingkat tinggi. Ketika

keterampilan siswa tinggi, tetapi aktivitas memberikan sedikit tantangan, hasilnya

adalah kebosanan. Ketika baik tantangan maupun keterampilan rendah, siswa

merasakan malas. Dan ketika siswa menghadapi tugas yang menantang dan

mereka merasa tidak yakin bahwa mereka mempunyai keterampilan yang memadai

untuk menguasainya, mereka mengalami kecemasan.

Tabel 2.1

Hasil dari Tingkat Tantangan dan Keterampilan yang Dirasakan

Keterampilan

Tantangan

Rendah Tinggi

Rendah

Tinggi

Malas

Kecemasan

Kebosanan

Penghayatan

Sumber: Santrock (2009).

2.2.4 Tingkatan Kecemasan

Menurut Peplau (dalam Stuart & Laraia, 2001), ada 4 tingkat kecemasan

yaitu:

a. Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Kecemasan

ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan

kreativitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan,

37

mampu untuk belajar, motivasi meningkat, dan tingkah laku sesuai

situasi.

b. Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada

masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga

seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan

sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu

kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung, ketegangan otot, bicara

cepat, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan

konsentrasi menurun, perhatian selektif, tidak sabar, dan mudah lupa.

c. Kecemasan Berat

Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada

sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal

lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat

memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada

tingkat ini adalah pusing, sakit kepala, tidak dapat tidur (insomnia), tidak

mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, dan perasaan

tidak berdaya.

d. Panik

Berhubungan dengan ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan

kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu

walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada

keadaan ini adalah susah bernapas, pucat, berteriak, menjerit,

mengalami halusinasi dan delusi.

38

2.2.5 Kecemasan dan Kinerja Akademik

Woolfolk (2008, dalam Prawitasari, 2012) memaparkan beberapa laporan

penelitian tentang efek kecemasan terhadap prestasi akademik. Temuan hasil-hasil

penelitian tersebut secara konsisten menunjukkan adanya korelasi negatif antara

prestasi akademik dengan berbagai ukuran kecemasan, semakin tinggi tingkat

kecemasan yang dialami maka prestasinya makin rendah. Kecemasan menjadi

sebab kegagalan siswa di sekolah. Namun sebaliknya, performa buruk yang secara

beruntun mereka capai dalam sejumlah tes atau tugas akademik meningkatkan

kecemasan mereka. Dengan kata lain, antara kecemasan dan performa akademik

yang buruk terjadi apa yang dinamakan sebagai “Lingkaran Setan”, yaitu terjadinya

hubungan pengaruh memengaruhi secara negatif yang berujung pada keadaan yang

semakin buruk (lihat gambar 2.1). Sebagai contoh, anak yang memiliki kecemasan

sangat khawatir akan gagal dalam ujian, sulit baginya untuk berkonsentrasi saat

belajar serta saat mengerjakan ujian. Akibatnya hasil ujian jelek. Sebaliknya, hasil

ujian yang jelek, terutama yang terjadi secara beruntun, menimbulkan kecemasan

akan gagal dalam ujian.

Gambar 2.1 Lingkaran Setan Antara Kecemasan dan Hasil Ujian Jelek

Sumber: Prawitasari (2012).

Hasil Ujian Jelek

Khawatir akan gagal

Tidak bisa konsentrasi saat belajar/tak

mampu kuasai materi

39

2.3 Remaja / Adolescence

2.3.1 Definisi Remaja

Salah satu tahap perkembangan dalam kehidupan manusia adalah masa

remaja, yaitu masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari masa kanak-

kanak ke masa dewasa, dan ditandai dengan kematangan biologis, seksual,

perkembangan kejiwaan, dan sosial ekonomisnya yang menjadi relatif lebih bebas.

Remaja dalam arti adolescence berasal dari kata latin adolescere yang artinya

tumbuh kearah kematangan (Muss dalam Hurlock, 1980). Kematangan disini tidak

hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis. Istilah

adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas,

mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.

Pada 1974, WHO (dalam Sarwono, 2010) memberikan definisi tentang

remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga

kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Sehingga secara lengkap

definisi tersebut berbunyi sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa di mana:

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda

seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi

dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada

keadaan yang relatif lebih mandiri.

Pada tahun-tahun berikutnya, definisi ini semakin berkembang kearah yang

lebih konkret operasional. Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu masalah

kesehatan, masalah yang terutama dirasakan mendesak mengenai kesehatan

remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok ini, WHO

40

menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Jadi, remaja

adalah suatu masa transisi dari masa anak ke dewasa, yang ditandai dengan

perkembangan biologis, psikologis, moral, agama, kognitif, dan sosial (Latifah dalam

Sarwono, 2010).

Sehubungan dengan uraian di atas, maka di kalangan pakar psikologi

perkembangan (termasuk di Indonesia), yang banyak dianut adalah pendapat

Hurlock (1990) yang membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga

16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa

remaja awal dan akhir dibedakan Hurlock karena pada masa remaja akhir individu

telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Senada

dengan hal itu, Petro Blos (dalam Sarwono, 2010) penganut aliran psikoanalisis

berpendapat bahwa perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri

(coping), yaitu untuk secara aktif mengatasi stres dan mencari jalan keluar baru dari

berbagai masalah.

2.3.2 Tugas Perkembangan Remaja

Di awal 1970-an, Robert Havighurst (1972, dalam Sarwono, 2010),

mengemukakan suatu teori yang dinamakan teori tugas perkembangan

(Developmental Task). Dalam teori ini dikatakan bahwa setiap individu, pada setiap

tahapan usia mempunyai tujuan untuk mencapai suatu kepandaian, keterampilan,

pengetahuan, sikap, dan fungsi tertentu, sesuai dengan kebutuhan pribadi yang

timbul dari dalam dirinya sendiri (faktor nativisme) dan tuntutan yang datang dari

masyarakat di sekitarnya (faktor empirisme). Menurut Havighurst (dalam Sarwono,

2010), tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan individu

41

pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu. Menurut Robert Havighurst (dalam

Sarwono,2010), tugas perkembangan pada remaja adalah:

a. Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.

b. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis

kelamin yang manapun.

c. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).

d. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua

dan orang dewasa lainnya.

e. Mempersiapkan karir ekonomi

f. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga

g. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab

h. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah

lakunya.

Menurut Havighurst selanjutnya, tercapai atau tidaknya tugas-tugas

perkembangan di atas ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kematangan fisik, desakan

dari masyarakat, dan motivasi dari individu yang bersangkutan (Jensen dalam

Sarwono,2010).

Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah sekolah dan

belajar, khususnya bagi mereka yang akan menghadapi ujian nasional. Tugas dan

tanggung jawab ini harus mereka lalui sebagai bagian dari masa remaja. Di dalam

kesehariannya, ada banyak pekerjaan, tantangan, dan tuntutan yang harus

dijalankan oleh siswa. Tantangan dan tuntutan tersebut antara lain pembuatan

bermacam tugas, laporan, makalah maupun ujian yang merupakan salah satu

bentuk evaluasi bagi siswa yang dilakukan secara rutin. Berbagai hal dan situasi

juga dapat mempengaruhi keberhasilan siswa atau justru menghambatnya.

42

2.3.3 Remaja di Sekolah

Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi anak yang sudah

bersekolah, lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah

adalah sekolahnya. Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP atau SMA

umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti

bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah.

Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja

cukup besar. Pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap

perkembangan jiwa remaja karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai

lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga

mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di

samping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para

siswanya (Sarwono,2010).

Pengaruh lingkungan pada tahapnya yang pertama diawali dengan

pergaulan dengan teman. Pada usia 9-15 tahun hubungan perkawanan merupakan

hubungan yang akrab yang diikat oleh minat yang sama, kepentingan bersama, dan

saling membagi perasaan, saling tolong menolong untuk memecahkan masalah

bersama. Pada usia ini mereka bisa juga mendengar pendapat pihak ketiga. Pada

usia yang agak lebih tinggi, 12 tahun ke atas, ikatan emosi bertambah kuat dan

mereka semakin saling membutuhkan, akan tetapi mereka juga saling memberi

kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya masing-masing (Selman &

Selman dalam Sarwono, 2010).

2.3.4 Pengaruh Kelompok Sebaya pada Remaja

43

Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-

teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh

teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku

lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja

mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian

anggota kelompok yang popular, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh

kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba

minum alkohol, obat-obat terlarang atau rokok, maka remaja cenderung

mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri. Jadi, pengaruh teman

sebaya bisa berdampak positif atau sebaliknya yaitu berpengaruh negatif

(Sarwono,2010).

Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 2000) menjelaskan pengaruh

kelompok sebaya pada masa remaja yaitu kelompok sebaya merupakan dunia nyata

kawula muda, yang menyiapkan panggung di mana ia dapat menguji diri sendiri dan

orang lain. Di dalam kelompok sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep

dirinya, disinilah ia dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak

dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa. Kelompok sebaya memberikan

sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana di

mana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa

melainkan oleh teman-teman seusianya. Jadi, di dalam masyarakat sebaya inilah

remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan disitu

pulalah ia dapat menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai

pemimpin apabila ia mampu melakukannya. Berdasarkan alasan tersebut

kelihatanlah kepentingan vital masa remaja bagi remaja bahwa kelompok sebaya

44

terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat menerimanya

dan yang kepadanya ia sendiri bergantung (Sarwono, 2010).

Sebagian besar pada masa ini, remaja lebih banyak menghabiskan waktu

dengan teman-teman sebayanya. Pada banyak remaja, bagaimana mereka

dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan

mereka. Yang merupakan teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja

dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2009). Salah

satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai

informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja

menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja menghabiskan

semakin banyak waktu dalam interaksi teman sebaya. Pada hari sekolah, terjadi 299

episode bersama teman sebaya dalam setiap harinya. Bagi remaja, hubungan

teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya (Condry,

Simon, & Bronffenbrenner, 1968). Teman sebaya merupakan sumber status,

persahabatan, dan rasa saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah.

Kelompok teman sebaya juga merupakan komunitas belajar di mana peran-peran

sosial dan standar yang berkaitan dengan kerja dan prestasi dibentuk. Di sekolah,

remaja biasanya menghabiskan waktu bersama-sama paling sedikit selama enam

jam setiap harinya. Sekolah juga menyediakan ruang bagi banyak aktivitas remaja

sepulang sekolah maupun di akhir pekan. Havinghurst (2001) menyatakan terdapat

10 tugas perkembangan yang harus dilalui remaja yang salah satunya adalah

mencapai hubungan yang lebih dewasa dengan teman sebayanya. Pendapat lain

dikemukakan oleh Hurlock (1996) mengatakan bahwa remaja mempunyai ciri-ciri

yaitu senang berkumpul dengan teman sebaya dan remaja juga mempunyai

keinginan untuk cepat mandiri. Menurut Hall dan Lindzey (1985) bersama dengan

45

teman sebaya, remaja merasakan kehadiran seseorang yang dapat mengerti serta

memahami dirinya sehingga remaja dapat menaruh kepercayaan yang besar

terhadap seorang teman.

Menurut Rogacion (1982), remaja umumnya lebih senang membicarakan

masalah-masalah atau membicarakan sesuatu bersama teman-teman sebaya

mereka, bukan bersama seseorang yang menempatkan diri pada posisi untuk

menasihati atau mengatur kehidupan mereka. Dalam menyelesaikan masalahnya,

remaja lebih memilih teman sebaya untuk saling membantu dan memberikan

dukungan (Mappiare, 1996).

2.4 Kerangka Berpikir

Dalam rentang kehidupan manusia, masa yang rentan terhadap stres adalah

masa remaja (Papalia, 2004). Dalam kesehariannya ada banyak pekerjaan,

tantangan, dan tuntutan yang harus dijalankan oleh siswa. Tantangan dan tuntutan

tersebut antara lain yaitu pembuatan berbagai macam tugas, laporan, makalah

maupun ujian yang merupakan salah satu bentuk evaluasi bagi siswa (Zulkarnain,

2009). Ujian Nasional adalah salah satu yang paling banyak dicemaskan oleh para

siswa dan merupakan salah satu stressor yang dapat menimbulkan kecemasan

(Prawitasari, 2012). Menurut Atkinson, dkk. (2008), kecemasan adalah salah satu

bentuk keadaan emosi individu yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan

perasaan tegang secara subjektif dengan tingkat yang berbeda-beda. Kecemasan

tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga dapat dialami oleh anak ataupun

remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Ketika akan menghadapi ujian atau

tes, seseorang dapat mengalami kecemasan atau biasa disebut kecemasan tes.

Menurut Spielberger (1975), kecemasan tes adalah bentuk perasaan cemas yang

46

berlebihan pada situasi yang spesifik yaitu saat menghadapi suatu proses penilaian

(ujian/tes). Menurut Djiwandono (2001), timbulnya kecemasan yang paling besar

adalah pada saat siswa menghadapi tes atau ujian. Senada dengan itu, Nevid, dkk.

(2005) mengatakan bahwa ujian merupakan salah satu sumber kecemasan bagi

seseorang. Menurut Woolfolk (dalam Prawitasari, 2012), ada 3 hal yang

dicemasakan oleh siswa dalam menghadapi ujian yaitu khawatir akan gagal, tidak

bisa konsentrasi saat belajar / tidak mampu kuasai materi, dan hasil ujian jelek.

Dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stres/tekanan dan situasi cemas,

remaja membutuhkan dukungan sosial yang didapatkan dari lingkungan sosialnya

(Papalia, 2004). Dalam usahanya untuk memperoleh dukungan sosial, remaja

melakukan interaksi tertentu yang membuatnya selalu berhubungan dengan

lingkungan sosialnya (Cobb dalam Turner, 1999). Menurut Taylor (2003), dukungan

sosial adalah pertukaran interpersonal dimana salah seorang memberikan bantuan

atau pertolongan kepada yang lain. Dukungan sosial dapat diberikan dalam

beberapa cara yaitu emosional, instrumental, informasi, dan penilaian individu.

Menurut Cohen (dalam Veiel, 1992), pasangan hidup, keluarga inti, dan teman dekat

adalah lingkaran yang paling dekat dengan individu sehingga dapat dikatakan orang-

orang ini adalah yang paling dekat dengan individu tersebut dan paling berpotensial

untuk memberikan dukungan. Dukungan sosial memang dapat dikatakan memiliki

peran yang penting bagi individu yang mengalami stres. Adapun keuntungan yang

diperoleh dari dukungan sosial antara lain yaitu membuat stres tidak menimbulkan

efek negatif pada kesehatan fisik dan psikologis seseorang sehubungan dengan

fungsinya sebagai penyokong kesehatan, penahan stres, dan meningkatkan

kesejahteraan seseorang (House dalam Russell, 1987).

47

Bagi remaja, hubungan dengan teman sebaya merupakan bagian yang paling

besar dalam kehidupannya karena remaja menghabiskan banyak waktu dalam

interaksi teman sebaya (Santrock, 2003). Dalam penelitian yang dilakukan oleh

O’Brien (1996) ditemukan bahwa teman sebaya adalah sumber utama dukungan

yang menyeluruh bagi remaja.

Dukungan sosial secara efektif dapat mengurangi tekanan psikologis selama

masa stres. Misalnya dengan membantu siswa mengatasi kecemasan dari

kehidupan sekolah yaitu saat akan menghadapi ujian (Broman, dalam Taylor, 2000).

Berdasarkan pemikiran di atas, dapat diasumsikan bahwa terdapat pengaruh dari

dukungan sosial teman sebaya terhadap kecemasan menghadapi Ujian Nasional.