2010-04-29 perubahan iklim dan tantangan peradaban - prisma (majalah pemikiran sosial ekonomi).docx

119
Prisma Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi 2 V ol. 29, April 2010 Perubahan Iklim & Tantangan Peradaban

Upload: hamriani-eppyastara

Post on 02-Jan-2016

198 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Prisma Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi

2V ol. 29, April 2010

Perubahan Iklim &Tantangan Peradaban

Page 2: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim • Pemimpin Umum: Suhardi Suryadi • Wakil Pemimpin Umum: Sudar DwiAtmanto • Pemimpin Redaksi: Daniel Dhakidae • Redaktur Pelaksana: MA Satyasuryawan • Dewan Redaksi: A TonyPrasetiantono, Azyumardi Azra, Jaleswari Pramodhawardani, Kamala Chandrakirana, Sumit Mandal (Jerman), Taufik Abdullah,Vedi R Hadiz (Singapura) • Redaksi: Daniel Dhakidae, E Dwi Arya Wisesa, MA Satyasuryawan, Nezar Patria, Rahadi T WiratamaSekretaris Redaksi: Eriko Sustia • Produksi: Awan Dewangga • Bisnis dan Pemasaran: Anis Ilahi Wahdati, Panji Anggoro

Alamat: Jalan Letjen S Parman 81, Jakarta 11420, Indonesia. Tlp.: (6221) 567 4211, Faks.: 568 3785Email: [email protected]; [email protected]; Website: www.lp3es.or.id

Bank: MANDIRI, KCP RSKD, Jakarta. Nomor Rekening: 116-000-526-169-9 a/n LP3ES

Gambar oleh GM Sudarta

Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

dan dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi,

perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer,ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi meng-

undang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis

secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidakselalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tu-

lisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.

Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.© Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Vol. 29, No. 2, April 2010

Perubahan Iklim &Tantangan Peradaban

T O P I K K I T A

2 Bumi Manusia

3 Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan:Sebuah Pengantar

23 Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi keMeja Perundingan

38 Ekonomi Perubahan Iklim: Dari Kegagalan PasarMenuju Ekonomi Rendah Karbon

53 Energi Rendah Emisi:Masalah Teknologi, Ekonomi, atau Politik?

61 Hutan Indonesia: Penyerap atau PenyumbangEmisi Dunia?

81 Membangun Sistem Pertanian PanganTahan Perubahan Iklim

93 Pasar Karbon dan Potensinya di Indonesia

Daniel Dhakidae

Ismid Hadad

Daniel Murdiyarso

Mubariq Ahmad

Asclepias RS Indriyanto

Nur Masripatin

Rizaldi Boer

Agus Sari

E S A I

34 Iklim, Ilmu, dan Kekuasaan

D I A L O G

71 Hadapi Perubahan Iklim seperti BerperangEmil Salim

B U K U

100 Perubahan Paradigma Lingkungan HidupIGG Maha Adi

Daniel Dhakidae

105 KRITIK & KOMENTAR

106 PARA PENULIS

Prisma Vol. 29, No. 3: Otonomi DaerahPrisma Vol. 29, No. 4: Islam dan Dunia

Terbit setiap tiga bulan (Januari, April, Juli, Oktober)

Redaktur Tamu: Ismid Hadad

Page 3: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Bumi Manusia

kitkan seperti discoveryŽ , menemukan� Amerika,Australia, dan Singapura.

Namun, penguasaan dunia sesungguhnyabaru berlangsung ketika industri dan indus-trialisasi bertenaga mesin uap dengan sumberenergi batu bara, dan kelak minyak bumi dannuklir. Sejak itu yang disebut “menaklukkan danmenguasai bumi” dilanjutkan dengan derap-langkah sebegitu rupa sehingga yang terjadi lebihdari penguasaan, dan menjadi “pemerkosaan”.

Industrialisasi memang sampai ke tingkattertentu memerkosa alam dan manusia sekaligus.Alam diperkosa dengan polusi dan penghancuranlingkungan; manusia diperkosa dengan lexploitat-�ion de l’homme par l’homme oleh suatu sistem sosialyang bukan saja dimungkinkan, akan tetapi diha-ruskan, oleh proses industrialisasi itu.

Dengan begitu ibu bumi dan bapak bumi di-perkosa dalam dua arti sekaligus, oleh kaum lela-ki dan perempuan. Pemerkosaan membuat bumimenjadi semakin tua dan renta. Namun, di sanajuga letak paradoks karena bumi yang renta bu-kan bumi yang diam, akan tetapi bumi yang“mengamuk” dalam cara paling primitif sepertipada awal bumi diciptakan, yaitu melalui “air, api,dan udara”—air yang meluap, api yang menga-muk, dan udara yang membusuk untuk meng-hancurkan tanah yang runtuh tak terkendali.

Kalau bumi mengamuk bukan bumi yanghancur, akan tetapi makhluk hidup dan terutamaspesies homo sapiens akan punah. Pertanyaan lainakan muncul: kalau manusia hancur, apakah ma-sih ada yang disebut bumi? Karena, hanya manu-sia, bukan malaikat, yang sadar bahwa itu bumi,dan karena itu bumi ada, dan hanya satu bumi.

Pada masa Perang Dingin kehancuran di-mungkinkan oleh armageddon nuklir. Pascape-rang Dingin kiasan perang di har Megiddon , bukitMegiddon, tidak pernah dipakai lagi—kecualiAmerika yang memelesetkannya menjadi snow-geddon di Washington, yang, masya Allah, menjadibahan tertawaan orang Moskow, karena yangdisebut snowgeddon hanya sekulit luar dari penga-laman Rusia tiap tahun.

Salah satu penjelasannya, mungkin karenamanusia tidak berperang melawan musuh lainkecuali perilaku dan dirinya sendiri.

Belum pernah dalam sejarah manusia menga-takan bahwa mereka mencintai bumi sepertisekarang. Untuk itu diciptakan “hari bumi”, namayang aneh dan umurnya pun, dalam takaranglobal, belum panjang, baru dua puluh tahun—meskipun hari itu sudah meledak di Amerika ta-hun 1970. Meski aneh, tujuannya tidak aneh: me-nyelamatkan bumi dari keanehan lain, yaitu peri-laku penghuninya yang menganggap bau busukpembuangan industri sebagai aroma kemewahan.

Bergenerasi kita dengar orang mencintai ta-nah air, bukan cinta bumi sebagai planet, karenaitu tanah selalu diidentikkan dengan orang ter-dekat, yang membawanya ke bumi, yaitu ibu danbapak. Tanah selalu menjadi ibu— ibu pertiwiIndonesia, Rossiya-Matushka Rusia, atau bapak—Vaterland Jerman dan vaderland Belanda.

Bila diperhatikan mendekatnya orang ketanah, seperti terungkap dalam hari bumi, adalahreaksi balik dari gerak lain. Manusia tidak lagi“melanglang buana” akan tetapi “melanglangsemesta”. NASA mengumumkan bahwa teleskopraksasanya menemukan sekurang-kurangnyaseribu lima ratus tata surya dengan tingkatkepastian tinggi.

Kalau ada seribu lima ratus tata surya, mung-kinkah ada seribu lima ratus bumi? Kalau ada se-ribu lima ratus bumi mungkinkah ada kehidupanmanusia di ribuan tempat itu? Soal lain juga mun-cul. Kalaupun teknologi mampu mengidentifi-kasikan kehidupan di sana, jarak begitu absolutjauhnya sehingga menembusi jarak itu demiberkontak ragawi menjadi kemustahilan yang takkurang absolut. Kerepotan mencari bumi lainmungkin dipercepat oleh kekhawatiran bumisendiri akan hancur.

Mengapa keanehan perilaku di atas? Gerakberikut ini mungkin bisa menjelaskannya. Ketikabumi diciptakan serta manusia di dalamnya, salahsatu pesan pertama kepada manusia adalah “ sub-iicite terram,Ž taklukkan dan kuasailah bumiŽ.�

Namun, yang disebut sebagai “taklukkan dankuasailah bumi” pada dasarnya berlangsung ber-tahap. Penemuan teleskop untuk mengintip langitdan memelototi bumi jadi awal penaklukan bumisecara global oleh Barat dalam bentuk kolonialis-me yang semakin meningkatkan penguasaanbumi dan penghuni yang ada di dalamnya. Se-muanya diungkapkan dalam nama yang menya- Daniel Dhakidae

Prisma T O P I K K I T A

Page 4: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Pdan dilematis yang dihadapi umat ma-

erubahan iklim merupakan tantanganmultidimensi paling serius, kompleks

nusia pada awal abad ke-21, bahkan mungkinhingga abad ke-22. Tak ada satu negara ataukelompok masyarakat di dunia ini mampumenghindar, apalagi mencegah terjadinya an-caman terhadap peradaban bangsa tersebut.Seberapa besar dan sekuat apa pun kemam-puan suatu bangsa, tak akan ada yang sanggupmengatasi sendiri tantangan perubahan iklimdan pemanasan global yang terjalin erat denganperilaku dan gaya hidup manusia, keputusanpolitik, pola pembangunan, pilihan teknologi,kondisi sosial ekonomi, kesepakatan inter-nasional. Dampak negatifnya cepat meluas daritingkat global hingga ke tingkat lokal yangterpencil sekalipun.

Perubahan Iklim danPembangunan BerkelanjutanSebuah Pengantar

Ismid Hadad

Ketika suhu bumi semakin panas, polacurah hujan berubah drastis, iklim dan cuacamenjadi lebih ekstrem, seringnya timbulbencana kekeringan, badai, dan banjir, makagelombang hawa panas ( heat waves ) dankebakaran hutan makin banyak dan meluas.Pada suhu bumi yang mencapai titik panas ter-tentu, bongkahan es di kutub dan salju di puncakgunung dapat mencair dan menimbulkan gejalapemekaran air laut; permukaan laut naik dengankemampuan menenggelamkan dataran rendah,pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat peng-huni di negara-negara sedang berkembang.Puluhan juta rakyat miskin yang rentan dinegara-negara kekurangan air bersih itu makinterancam oleh gagalnya panen hasil pertanian,merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani,kebun dan perikanan, serta meningkatnya

Hasil kajian ilmiah membuktikan aktivitas manusia menyebabkanperubahan iklim. Sayangnya, isu ini dianggap masalah teknis lingkunganbelaka, yang tidak berkaitan dengan soal pembangunan. Sumber energi

seperti batu bara, minyak dan gas bumi masih menjadi andalan. Kegiatankonversi hutan dan lahan gambut masih terus berlangsung. Merekalah

penyumbang emisi karbon terbesar yang menimbulkan pemanasan global.Tulisan ini merupakan pengantar untuk memahami tantangan perubahan

iklim dan dampak pemanasan global, serta bagaimana langkah yang perludilakukan di tingkat nasional maupun global untuk mengatasi keduafenomena tersebut.

Page 5: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

4 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

gangguan kesehatan, kurang gizi, bencanakelaparan, dan wabah penyakit.

Sebenarnya, cuaca dan iklim di bumi inisering berubah secara musiman, tahunan, dansepuluh tahunan, yang berlangsung secaraalamiah. Akan tetapi, cuaca ekstrem itu makinsering terjadi dibanding sebelumnya, dan di-perkirakan akan terus terjadi dalam jangka pan-jang. Dari hasil kajian para ilmuwan yang terga-bung dalam Inter-governmental Panel on Cli-mate Change (IPCC), disimpulkan bahwa ber-ubahnya iklim yang semakin sering terjadidalam 150 tahun terakhir ternyata bukan hanyakarena proses alamiah saja, melainkan karenapengaruh kegiatan atau intervensi manusia.Ulah manusia ( anthropogenic intervention )itulah yang memicu terjadinya pemanasan glo-bal dan perubahan iklim menjadi lebih ekstrem,terutama aktivitas yang terkait dengan peman-faatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil(minyak bumi, gas bumi, dan batu bara) dan jugakegiatan pembabatan hutan dan alih guna lahanyang mengakibatkan pelepasan emisi gas ru-mah kaca ke udara, dan menumpuk di lapisanatmosfer yang membuat bumi semakin panas.

Karena itu, perubahan iklim diartikan se-bagai berubahnya iklim di bumi yang, langsungataupun tidak langsung, diakibatkan oleh akti-vitas manusia. Kegiatan tersebut menyebabkanperubahan komposisi atmosfer secara global,selain juga terjadi variabilitas iklim alamiah yangteramati dalam kurun waktu (panjang).

Pemanasan Global: Dampakdan Konsekuensinya

Kegiatan manusia di bidang industri dantransportasi modern yang berlangsung sejakRevolusi Industri di Eropa Barat itu mengha-silkan emisi gas buangan industri dan kenda-raan bermotor yang menumpuk di udara selamabertahun-tahun. Akumulasi bahan pencemar diatmosfer berupa gas-gas rumah kaca (GRK)kemudian mengakibatkan terjadinya fenomenapemanasan global. Di antara gas-gas rumahkaca yang terpenting adalah karbon dioksida

(CO ), metana (CH ), nitrat oksida (N O), dan2 4 2

klorofluorokarbon (CFC). Semua menyumbangpada proses radiasi sinar matahari yangdipancarkan/dipantulkan bumi, sehingga suhuatmosfer permukaan bumi makin hangat danmemanas—biasa disebut proses pemanasanglobal— serta menyebabkan iklim berubahsecara ekstrem. Pemanasan global memangterjadi berangsur-angsur melalui proses selamaratusan bahkan ribuan tahun, tetapi dampaknyasudah kita rasakan di sini dan sekarang.

Selama hampir satu juta tahun sebelumzaman industri, konsentrasi gas CO di atmosfer2

berkisar hanya sekitar 170 sampai 250 ppm(ppm= parts per million by volume of CO2

equivalent). Ketika Revolusi Industri dimulai diInggris sekitar tahun 1850, konsentrasi CO di2

atmosfer baru sebesar 280 ppm , dan rata-ratatemperatur bumi naik sekitar 0,74 derajatCelcius dibandingkan dengan zaman praindus-tri. Namun, 160 tahun kemudian, menurut parailmuwan IPCC, akumulasi CO2 di atmosferdiperkirakan sudah mencapai sekitar 390 ppm,terutama karena pembakaran bahan bakar fosildan sebagian karena emisi pertanian dan alihguna lahan hutan. Jika pola produksi, konsumsi,gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk bumidibiarkan tak terkendali seperti sekarang, ma-ka 100 tahun ke depan konsentrasi CO diper-2

kirakan akan naik menjadi 580 ppm atau lebihdua kali lipat dari zaman praindustri.

Akibatnya, dalam kurun waktu 50-100 tahunke depan, jika manusia tidak mengambil tin-dakan apa pun untuk menstabilisasi GRK diatmosfer, suhu rata-rata bumi akan naik sebes-ar 1,1 hingga 5 derajat Celcius. Panas yangdahsyat akan membawa dampak luar biasaterhadap berbagai sektor kehidupan manusia,flora dan fauna, serta makhluk bumi lainnya.Ancaman kekeringan, kebakaran hutan,terganggunya ekosistem, ketersediaan air,punahnya aneka ragam sumber daya hayati,merosotnya produksi pangan, penyebaran ha-ma dan penyakit (tanaman dan manusia), ba-haya paceklik dan kelaparan, konflik sosial,adalah beberapa contoh dampak sosial ekonomi

Page 6: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

5Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

dan lingkungan yang ditimbulkan oleh pe-ningkatan suhu bumi sepanas itu.

Karena itu, sesuai dengan hasil kajian IPCC,perjuangan masyarakat internasional melaluiKonvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Na-tions Framework Convention on ClimateChange/UNFCCC) dan Protokol Kyoto yangberlangsung sejak 17 tahun lalu adalah meng-usahakan supaya kenaikan suhu panas bumijangan sampai melebihi ambang batas 2 derajatCelcius. Jika kenaikan temperatur bumi dibata-si tidak lebih dari 2 derajat Celcius di atas levelzaman praindustri, konsentrasi gas CO2 diatmosfer harus bisa ditekan dan dibatasi padatingkat maksimum 450 ppm, dengan puncakpencapaian tak lebih dari tahun 2020. Artinya,masyarakat penghuni bumi ini harus sanggupmenghentikan atau bahkan menurunkan emisikarbon hingga 80 persen pada tahun 2020 darilevel emisi tahun 1990.

Bahkan, negara-negara kepulauan kecil diSamudera Pasifik yang tergabung dalamAlliance of Small Island Developing States(AOSIS) mencanangkan target kenaikan suhumaksimum 1,5 derajat Celcius dan konsentrasiCO di atmosfer tidak lebih dari 350 ppm harus2

tercapai pada tahun 2015. Itu berarti semuanegara harus bisa menurunkan emisi karbonsebesar 100 persen pada 2015. Jika suhu bumidibiarkan naik sampai 2 derajat Celcius pada2020, diperkirakan hampir separuh dari 40negara kepulauan kecil itu akan tenggelam,sirna ditelan samudera dan hilang dari peta bumi.

Sesungguhnya, tenggelam dan sirnanya ne-gara-negara kepulauan hanya sebagian kecil sajadari wujud ancaman perubahan iklim terhadapperadaban bangsa di dunia modern abad ke-21ini. Sedemikian jauh, dalam, dan luasnya tan-tangan perubahan iklim itu mengancam seluruhaspek dan unsur kehidupan manusia dan makh-luk hidup di muka bumi ini. Namun demikian,karena faktor penyebab terbesarnya sudahdiketahui, yaitu kegiatan manusia yang men-cemari alam, maka proses dan dampak pema-nasan global itu seharusnya bisa dikurangi,

ditunda, atau dihentikan sama sekali. Artinya,manusia yang hidup di bumi ini seharusnya bisadan segera bertindak melakukan upaya pe-nyelamatan bumi dari pemanasan global danmencegah terjadinya pemusnahan peradabanbangsa di dunia.

Dari Mana Sumber EmisiKarbon Itu?

Seperti telah disebutkan, konsentrasi gasCO2 naik drastis sejak Revolusi Industri, danmeningkat lagi dalam periode 50 tahun ter-akhir. Setelah abad ke-20, konsentrasi GRKkhususnya CO2 naik dari 280 ppm menjadi387 ppm – atau mengalami peningkatan ham-pir 40% – terutama karena kegiatan manusiayang menggunakan energi dengan bahanbakar fosil berbasis karbon, dan sebagian kecilkarena kegiatan manusia membabat hutan danmengonversi lahan hutan yang berakibat pele-pasan emisi CO ke udara. Pembakaran bahan2

energi dari minyak, gas, dan batu bara, dewasaini menyumbang sekitar 80 persen dari emisikarbon (CO ) yang dilepaskan ke udara setiap2

tahun, sementara kegiatan alih guna lahanhutan dan pertanian menyumbang sekitar 20persen.

Besarnya emisi karbon dari bahan bakarenergi ditentukan oleh jumlah konsumsi energidan intensitas penggunaan energi tersebut.Pada umumnya, jumlah konsumsi energi naiksebanding dengan peningkatan jumlah danpendapatan penduduk, serta tergantungstruktur ekonomi, iklim, dan kebijakan ekono-mi energi masing-masing negara. Demikian pulasetiap negara memiliki intensitas penggunaanbahan energi yang berbeda, tergantung besarkecilnya sumber daya energi dan kebijakanuntuk memanfaatkan sumber daya energi.Menurut laporan Bank Dunia, sejak 1970 jum-lah konsumsi energi dunia naik dua kali lipat.Jika digabung dengan intensitas penggunaanenergi yang tetap tinggi, kombinasi keduanyakian melipatgandakan jumlah emisi karbon keatmosfer dalam tempo 30 tahun belakangan.

Page 7: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

6 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

Siapa saja penyumbang emisi karbon ter-besar penyebab pemanasan global? MenurutBank Dunia, dua pertiga dari akumulasi gas CO2

di atmosfer terkait dengan penggunaan bahanbakar fosil berasal dari dan dihasilkan olehnegara-negara industri maju. Kenyataan takdapat dimungkiri, negara-negara industri majuitulah penyumbang emisi karbon terbesar dankarenanya paling bertanggung jawab sebagaipemicu pemanasan global dan perubahan iklimyang mengancam umat manusia dewasa ini.

Di lain pihak, negara-negara berkembanghanya menyumbang sepertiga dari emisi CO2

yang berasal dari bahan energi, namun kecen-derungan dan laju peningkatan konsumsi danintensitas penggunaan energi berbasis bahanbakar fosil di negara berkembang ternyata jugameningkat cukup pesat. Diperkirakan dalam 20tahun mendatang hampir 90 persen dari ke-naikan konsumsi energi global dengan meng-gunakan bahan bakar minyak bumi, gas bumi,dan batu bara, akan berasal dari negara-negaraberkembang. Jika dihitung penggunaan energiper kapita mereka sebenarnya masih relatifrendah, namun jumlah penduduk negara ber-kembang jauh lebih besar dibanding penduduknegara maju.

Dalam hal pemanfaatan energi berbahanbakar fosil secara global, sektor pembangkittenaga listrik adalah penyumbang emisi GRKterbesar (26%), disusul sektor industri (19%)dan transportasi (13%), serta bangunan gedung-gedung (8%). Sisanya adalah emisi berasal darialih guna lahan hutan, pertanian, dan limbahsampah. Jika dilihat dari pengelompokannegara berdasarkan pendapatan, emisi GRK dinegara-negara industri maju terkonsentrasi padasektor pembangkit listrik dan transportasi;untuk negara-negara berpenghasilan rendahemisi terbesar berasal dari sektor pertanian danalih guna lahan; negara-negara berpenghasilanmenengah terutama berasal dari pembangkitlistrik, industri, dan alih guna lahan. Khususuntuk emisi yang berasal dari alih guna lahanhutan, sebagian besar terpusat pada tiga sam-pai empat negara berkembang, di antaranya

Brasil dan Indonesia yang menyumbang se-paruh dari total emisi GRK yang berasal darikegiatan alih guna lahan hutan.

Bagaimana MenanggulangiPerubahan Iklim?

Perubahan iklim adalah fenomena global,baik dari sisi penyebab, konsekuensi maupundampaknya, yang sangat terkait dengan aktivi-tas manusia di tingkat nasional dan lokal. Begitupula sebaliknya. Penyebab pemanasan globalyang memicu perubahan iklim adalah karenaadanya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.Akumulasinya kini telah mencapai tingkat yangmembahayakan sistem iklim Bumi. Akibat ataudampak pemanasan global menyebar ke se-luruh dunia. Gangguan terhadap sistem ekologibumi yang ditimbulkan juga membawa per-ubahan pada cuaca, iklim, curah hujan, gelom-bang panas, dan berbagai gangguan alam lainyang bisa terjadi, dirasakan, dan diderita semuanegara dan makhluk di bumi ini.

Ada dua cara atau kunci utama untuk me-nanggulangi perubahan iklim, yaitu “mitigasi”dan “adaptasi”. Pertama , mitigasi untuk men-cegah, menghentikan, menurunkan atau se-tidaknya membatasi pelepasan emisi gasbuangan, gas pencemar udara, yang kini lazimdisebut “gas-gas rumah kaca” di atmosfer.Upaya mitigasi yang bertujuan membatasi danmenurunkan emisi GRK dapat dilakukan de-ngan cara mengurangi penggunaan sumberdaya energi yang banyak menghasilkan emisiCO2 (disebut source ) yang dihasilkan olehpembakaran minyak bumi, batu bara dan gasbumi untuk kegiatan produksi, industri,transportasi, pembangkitan tenaga listrik,penerangan gedung, bangunan, pusat-pusatbelanja, jalan raya serta aktivitas pembangunanlainnya.

Upaya mitigasi bisa juga dilakukan dengancara menambah, memperkuat atau memperluassistem bumi yang berfungsi sebagai penyerapdan penyimpan karbon secara alami (disebutsink), yaitu hutan dan lautan, agar emisi CO dan2

Page 8: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

7Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

GRK yang terlepas di udara dapat ditangkap, di-serap, dan disimpan kembali di dalam pepo-honan, hutan, lahan gambut, dan, dalam kondi-si tertentu, laut. Sebaliknya, apabila pohon di-tebang, hutan dibabat, lahan gambut dike-ringkan, serta mangrove (bakau), terumbukarang, dan padang lamun di pesisir dan lautdirusak, maka semua karbon yang tersimpan diperut bumi dan laut akan dilepaskan kembalisebagai emisi gas buang yang akan mencemariudara dan kembali menumpuk di atmosfer.

Tujuan utama dari upaya mitigasi adalahuntuk menstabilkan konsentrasi gas rumah ka-ca di atmosfer pada tingkat sedemikian rupasehingga tidak mengganggu dan membaha-yakan sistem iklim bumi. Karena itu, upayamitigasi melalui penurunan emisi GRK harusdilakukan di tingkat nasional dan internasionaldalam skala besar agar dapat membawa dampakatau hasil efektif secara global. Karena sumberhistoris penyebab konsentrasi GRK dan pe-nyumbang GRK terbesar selama ini adalahnegara industri maju, maka upaya mitigasi un-tuk menurunkan emisi GRK pada dasarnyamerupakan kewajiban dan tanggung jawab ne-gara-negara industri maju — dalam lampiran do-kumen UNFCCC disebut negara-negara AnnexI. Selain itu, hanya negara-negara kaya yang

tercantum dalam daftar Annex I hingga kinimemiliki kemampuan teknologi dan sumberdaya ekonomi untuk menerapkan sistem in-dustri, transportasi, dan pola pembangunanrendah karbon, sehingga penggunaan energiminyak, batu bara dan gas bumi bisa dikurangisecara signifikan dan diganti atau diimbangidengan sumber-sumber energi terbarukanseperti geotermal, energi surya ( photovoltaic ),energi angin, tenaga mikro-hidro, biomassa, dansebagainya.

Kunci kedua untuk menanggulangi per-ubahan iklim adalah adaptasi . Artinya upayauntuk menyesuaikan diri, melakukan adaptasiterhadap dampak perubahan yang terjadi.Bagaimanapun juga, dampak perubahan iklimtak mungkin lagi bisa dihindari, apalagi dicegah.Perubahan iklim dan pemanasan global adalahfenomena yang niscaya akan terjadi. Upayaadaptasi yang bisa dilakukan adalah denganlangkah-langkah antisipasi kapan dan di manaakan terjadi, kemudian memperkirakan apa,bagaimana, dan seberapa besar dampaknya,serta bagaimana mengurangi risiko dan me-nanggulangi dampak itu secara dini dan efektifsehingga tidak mengakibatkan bencana ataurisiko kerugian lebih besar. Karena itu, langkahpertama adaptasi adalah dengan mengetahui “di

Page 9: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

8 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

mana” lokasi dan “siapa” kelompok masyarakatyang tinggal dan hidup di kawasan atau daerahtertentu yang sangat rentan ( vulnerable ) ter-hadap gangguan alam dan perubahan iklim.

Penanggulangan perubahan iklim melaluiupaya adaptasi merupakan agenda prioritasutama bagi hampir semua negara sedang ber-kembang, termasuk Indonesia. Sebagaimanadiketahui, lokasi geografis maupun kondisisosial ekonomi penduduk beberapa negaraberkembang sangat rentan terhadap gangguanalam dan cuaca seperti badai, banjir, keke-ringan, tanah longsor, tsunami, dan kebakaranhutan. Sumber daya dan kemampuan merekauntuk merespons gangguan alam dan dampakperubahan iklim juga amat terbatas. Karena itu,bagi negara berkembang, program adaptasiuntuk menanggulangi perubahan iklim harusterintegrasi dalam program untuk meningkat-kan ketahanan ( resilience ) ekonomi, sosial danlingkungan nasional dengan menanggulangikemiskinan, kekurangan gizi dan pangan, pe-ningkatan pendidikan dan kesehatan masya-rakat, dan sebagainya. Pada hakikatnya, pro-gram adaptasi harus sejalan dengan upaya me-wujudkan pembangunan berkelanjutan ( sustain-able development). Pendek kata, kenaikan per-tumbuhan ekonomi, perbaikan kesejahteraandan keadilan sosial, serta perlindungan ekologidan pelestarian fungsi lingkungan, perlu dila-kukan serentak dan seimbang dengan mem-perhitungkan dampak perubahan iklim dalamstrategi pencapaiannya.

Kerangka program adaptasi efektif umum-nya memiliki empat unsur penting, yaitu (1)perkiraan dan peta kerawanan/kerentanan so-sial dan lingkungan ( vulnerability assessmentand mapping) untuk mengetahui kondisi danmemperkirakan risiko dampak, di mana da-erah/kawasan rawan, dan siapa saja kelompokmasyarakat yang rentan terhadap potensi ben-cana alam dan lingkungan yang akan terjadi; (2)upaya peningkatan kesadaran masyarakat dankapasitas sumber daya manusia dan kelem-bagaan ( public awareness and capacity build-ing), khususnya di daerah dan sektor rawan

bencana, agar mampu mengantisipasi, meren-canakan program dan menanggulangi dampakperubahan iklim yang akan terjadi; (3) pe-nyusunan atau reformasi kebijakan publik sertapenguatan lembaga-lembaga publik yang mem-punyai pengetahuan dan kemampuan menge-lola sumber daya alam dan lingkungan secaralestari, serta mampu menanggulangi masalahperubahan iklim secara efektif; dan (4) mem-bangun sistem ekonomi dan strategi pem-bangunan rendah karbon yang memberi insen-tif bagi investasi prasarana dan program efi-siensi energi, pengelolaan hutan lestari, danpengembangan sumber-sumber energi ter-barukan.

Perubahan Iklim danPembangunan Berkelanjutan

Dari uraian di atas tampak jelas bahwaperubahan iklim sangat erat terkait dengankegiatan manusia yang menggunakan sumber-sumber energi tidak terbarukan – minyak bumi,gas bumi, dan batu bara – serta pengelolaan danpemanfaatan sumber daya alam seperti tanah,hutan, dan air, tanpa memedulikan daya dukunglingkungan dan kelestarian ekosistem.

Kendati disebabkan oleh dan berdampakpada kondisi sosial ekonomi, namun perubahaniklim selama ini hanya dianggap sebagai ma-salah geofisika dan teknis lingkungan belaka;tidak ada kaitannya dengan urusan pemba-ngunan ataupun kebijakan publik. Masalahperubahan iklim seolah-olah hanya menjadiperhatian dan urusan ilmuwan fisika, ahli cuaca,dan pakar lingkungan saja. Di sisi lain, upayapengurangan emisi GRK oleh negara maju dannegara berkembang masih lebih banyak me-ngandalkan pendekatan teknologi dan ilmupengetahuan alam. Mereka belum menyertakankebijakan pembangunan sosial ekonomi sertapendekatan politik dan kultural yang diperlukanuntuk mengatasi masalah kompleks tersebutsecara komprehensif.

Terlalu sedikit yang menyadari bahwa polapembangunan yang hanya mengikuti pola kon-

Page 10: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

9Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

sumsi dan produksi tanpa memedulikan dayadukung lingkungan dan kelestarian ekosistemalamiah ( unsustainable pattern of development )itulah yang terutama merupakan faktor pe-nyebab pemanasan global dewasa ini. Karenaitu, bagaimana aktor-aktor pembangunan akanmengatur dan menerapkan pola dan sistempembangunan di tingkat internasional, nasional,dan lokal, akan sangat menentukan seberapabesar tingkat ketahanan sistem sosial terhadapperubahan iklim di masa depan. Perubahaniklim pasti akan berdampak langsung, terutamapada kegiatan-kegiatan pembangunan yangsensitif terhadap perubahan cuaca sepertipertanian, perikanan, dan kesehatan, sertamembawa akibat tidak langsung pada masalahkemiskinan, pendidikan, kesejahteraan sosial,dan sebagainya.

Pertanyaannya, apakah kita akan terusmembangun dan meningkatkan kesejahteraanrakyat dengan memakai cara dan model pem-bangunan konvensional, yaitu tetap meng-gunakan sumber-sumber energi padat karbonyang mencemari udara dan mengeksploitasisumber daya alam tanpa batas sehingga me-rusak kelestarian bumi dan keseimbangan alamsemesta?

Perlu pula diingat bahwa perubahan iklimbesar kemungkinan akan memperlebar kesen-jangan sosial dan ketidakadilan internasional,terutama karena tidak meratanya bencana dandampak kerusakan lingkungan fisik yang di-akibatkannya. Gejala pemanasan global danperubahan iklim melanda semua negara tanpakecuali, namun negara-negara berkembang dankelompok masyarakat miskin dan rentan diAsia, Afrika, dan kepulauan di Samudera Pasifikakan paling banyak terkena dampak danmenjadi korban. Bahkan, diperkirakan 75 sam-pai 80 persen biaya kerusakan akibat perubahaniklim harus dipikul oleh negara-negara ber-kembang. Perekonomian negara-negara ber-kembang yang sangat tergantung pada penge-lolaan sumber daya alam dan jasa-jasa ling-kungan tentu saja peka terhadap perubahaniklim. Bagian terbesar penduduk negara ber-

kembang juga hidup di daerah pesisir pantai dankawasan rawan secara fisik. Kondisi sosialekonomi mereka sangat rentan, sementara ke-mampuan finansial dan kelembagaan negaraberkembang sangat terbatas. Bagaimanapunjuga, penggunaan anggaran dan sumber dayanegara berkembang yang serba pas-pasan ituharus diprioritaskan untuk memenuhi ke-butuhan pokok rakyat, yaitu mengentaskanmasyarakat dari kemiskinan, meningkatkanpendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.Apabila sumber daya amat terbatas itu tiba-tibaharus dialihkan untuk menanggulangi dampakperubahan iklim, dengan sendirinya nasibrakyat di negara-negara relatif miskin itu akanlebih sengsara lagi.

Karena itu, perlu ada pola dan sistem pem-bangunan alternatif yang mampu membangunatau setidaknya meningkatkan kapasitas masya-rakat dan negara-bangsa untuk melakukanadaptasi terhadap perubahan iklim dan jugamenentukan seberapa besar emisi GRK yangboleh dan bisa ditoleransi oleh masing-masingnegara, sehingga upaya pengurangan emisikarbon secara kumulatif dapat memberi dampaksignifikan terhadap penurunan suhu panasglobal dalam 10 -15 tahun mendatang.

Hal lain tidak kalah pelik adalah upayauntuk menanggulangi ancaman perubahan iklim– baik mencegah dan mengurangi emisi GRK(mitigasi) maupun upaya mengendalikan danmenanggulangi dampaknya (adaptasi) – mem-butuhkan biaya ekonomi dan sumber daya luarbiasa besar dan mahal. Tidak semua negaraindustri maju siap mengatasi masalah itu, kare-na upaya mitigasi untuk menurunkan emisiGRK membutuhkan biaya sangat besar, bahkanuntuk ukuran negara kaya seperti AS, Inggris,Jerman, Perancis, dan Jepang sekalipun. Apalagiuntuk negara berkembang. Mereka pasti tidakmampu menanggung beban biaya ekstra yangbesarnya bisa menelan pendapatan nasional ne-gara bersangkutan, yang berarti harus mengor-bankan upaya penanggulangan kemiskinanyang menjadi kewajiban utama negara berkem-bang. Padahal, penyebab awal munculnya emisi

Page 11: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

10 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

GRK dan pemanasan global bukan karena ulahnegara berkembang, melainkan negara-negaraindustri maju yang sejak zaman Revolusi Industritelah melakukan dan menikmati hasil-hasilpembangunan ekonomi dengan proses indus-trialisasi yang menghasilkan akumulasi gasbuangan di atmosfer. Ruang atmosfer tak cukupnyaman lagi untuk dinikmati negara berkem-bang yang baru belakangan memulai kegiatanpembangunan.

Masalah di atas menghadapkan banyaknegara berkembang, termasuk Indonesia, padapilihan dilematis dalam memutuskan kebijakanpembangunan dan menentukan keputusanpolitik dalam dan luar negeri. Di sisi lain, me-nurut hasil kajian Lord Stern dan beberapastudi ekonomi, negara-negara maju dan ber-kembang harus segera melakukan upaya mi-tigasi perubahan iklim. Bila langkah dan tindakmengurangi emisi GRK ditunda-tunda, makabiaya-biaya ekonomi dan sosial yang harusdikeluarkan setiap negara akan berlipat se-puluh kali lebih besar, jika aksi penguranganemisi itu baru dilakukan lima tahun akan da-tang. Jadi, kebijakan dan praktik pembangunannasional tak bisa lain dan tak mungkin meng-hindar dari keharusan untuk merumuskankebijakan publik; langkah-langkah aksi penang-gulangan perubahan iklim harus dilaksanakansecara komprehensif dan efektif mulai darisekarang, tidak perlu menunggu.

Masalahnya, perubahan iklim adalah gejaladan isu global yang mustahil diatasi di tingkatnasional, apalagi oleh satu atau dua kelompoknegara saja. Diperlukan kesepakatan dan aturanyang mengikat secara internasional, baik untukpenurunan tingkat emisi maupun peningkatanupaya adaptasi.

Konvensi PBB dan ProtokolPerubahan Iklim

Untuk itulah Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) menyusun Konvensi Perubahan Iklimyang disahkan KTT Bumi di Rio de Janeiro,Brasil, pada 1992. Tujuan Konvensi atau per-

janjian multilateral itu adalah “menstabilkankonsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosferpada tingkat tertentu dari kegiatan manusiayang membahayakan sistem iklim”. Tingkatkonsentrasi emisi yang hendak distabilkanharus dicapai dalam “suatu kerangka waktuyang memungkinkan ekosistem beradaptasisecara alamiah dengan perubahan iklim, yangmemberi kepastian bahwa produksi pangantidak terganggu, dan yang memungkinkanpembangunan ekonomi berlangsung secaraberkelanjutan”. Konvensi PBB itu memegangdan menerapkan prinsip bahwa semua negaramemiliki tanggung jawab bersama mencegahperubahan iklim sesuai dengan kapasitas ma-sing-masing dan prinsip keadilan ( common butdifferentiated responsibilities and respectedcapabilities).

Atas dasar prinsip itu, Konvensi PerubahanIklim telah menyepakati bahwa negara-negaraindustri maju harus membuat komitmen, me-mimpin, dan mengambil langkah lebih dahuludalam hal pengurangan emisi GRK. Negaraindustri maju Eropa, negara-negara bekas UniSoviet, Amerika Serikat, Kanada, Jepang,Australia, dan Selandia Baru, adalah negara-negara yang masuk dalam daftar Annex IKonvensi Perubahan Iklim. Mereka berke-wajiban mengurangi emisi karbon masing-masing pada akhir milenium (tahun 2000),sehingga emisi kolektif mereka berada dibawah tingkat emisi tahun 1990.

Untuk mewujudkan tujuan konvensi dalamkerangka waktu dan sasaran penurunan emisiyang disepakati bersama, Konvensi PerubahanIklim kemudian dilengkapi dengan suatu pe-rangkat atau aturan tata cara pelaksanaankonvensi (disebut Protokol Kyoto) yang lebihspesifik dan mengikat secara hukum. Sesuaidengan prinsip common but differentiatedresponsibilities, Protokol Kyoto memuat per-nyataan komitmen negara-negara industri maju(Annex I) untuk mengurangi emisi GRK kolek-tif mereka paling sedikit 5 persen dari tingkatemisi tahun 1990 yang harus dicapai padaperiode 2008-2012. Negara-negara berkem-

Page 12: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

11Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

bang tidak memiliki kewajiban atau komitmenmenurunkan emisi pada periode tersebut,namun perlu menerapkan pola pembangunanberkelanjutan untuk mencegah terjadinya ke-naikan emisi GRK di negara masing-masing.

Untuk mengatur target kuantitatif penu-runan emisi dan target waktu penurunan emisinegara maju, Protokol Kyoto menyediakan tigamacam instrumen bersifat fleksibel, yaitu (1)Joint Implementation (JI); (2) Clean Develop-ment Mechanism (CDM); dan (3) EmissionTrading Scheme (ETS). Semua skema penu-runan emisi GRK itu berlaku sampai dengan2012, yaitu tahun berakhirnya Protokol Kyoto.Sebagaimana diketahui, protokol pelaksanaanperjanjian tentang perubahan iklim ditanda-tangani di Kyoto, Jepang, pada 1997 dan berlakusejak 2005 setelah diratifikasi lebih dari 130negara. Namun, Protokol itu tidak diratifikasiPemerintah Amerika Serikat (dan Australia),sehingga sampai kini AS tidak terikat denganketentuan Protokol Kyoto.

Kendati demikian, tiga instrumen ProtokolKyoto telah banyak digunakan dan berhasilmenurunkan emisi karbon negara-negara yangtelah ataupun belum meratifikasinya. Instru-men Joint Implementation memungkinkannegara-negara Annex I melaksanakan kewa-jiban, selain dari upaya sendiri untuk menu-runkan emisi di dalam negeri, juga bisa men-jalin kerja sama dengan sesama negara majudalam pelaksanaan proyek bersama untukmenurunkan emisi GRK mereka. EmissionTrading Scheme merupakan mekanisme per-tukaran atau perdagangan karbon yang bisadigunakan negara maju untuk mengurangiemisi karbon di negara sendiri dengan cara“membeli” jatah emisi GRK negara maju lainyang belum terpakai. Sedangkan Clean De-velopment Mechanism merupakan satu-satunyainstrumen yang memungkinkan negara ber-kembang bisa ikut serta dalam kegiatan pe-nurunan emisi GRK melalui proyek bantuankerja sama negara maju dengan negara ber-kembang di bidang efisiensi energi ataupengembangan energi terbarukan, misalnya.

Hasilnya bisa digunakan negara maju untukmemperoleh sertifikat (kredit) penurunanemisi karbon negara sendiri.

Ketiga mekanisme Protokol Kyoto itu,khususnya instrumen emission / carbon tradingdan CDM, banyak mendorong berkembangnyaberbagai jenis program dan proyek penurunanemisi GRK, baik di negara maju maupun dinegara berkembang. Selain itu, instrumentersebut juga menciptakan pasar dan bisnis baruyang disebut “pasar perdagangan karbon” ( car-bon markets) dan pembiayaan karbonŽ (� carbonfinance) dengan volume transaksi bisnis globalmencapai triliunan dolar AS. Adanya pasarkarbon memberi peluang besar bagi kalanganbisnis swasta untuk ikut serta dalam transaksiperdagangan emisi GRK secara lokal ataupunglobal, sekaligus menghasilkan pendapatan( revenue ) bagi korporasi maupun negara.Dewasa ini pasar karbon berkembang menjadisumber pendanaan penting untuk membiayaiberbagai upaya penurunan emisi GRK; lebihmeringankan beban anggaran pemerintah ne-gara-negara industri maju dalam memenuhi ko-mitmen dan kewajibannya.

Mengapa Emisi KarbonTetap Tinggi?

Sekalipun telah ada Konvensi PBB danProtokol Kyoto, namun emisi CO di atmosfer2

saat ini masih belum menunjukkan tanda pe-nurunan, bahkan diperkirakan 30 persen lebihtinggi ketimbang saat Konvensi Perubahan Ik-lim itu ditandatangani belasan tahun silam.Menurut perhitungan terakhir, konsentrasiCO dan gas rumah kaca lain di atmosfer tahun2

2009 telah mendekati angka 430 ppmv. Biladibiarkan berlanjut tanpa upaya mitigasi yangmemadai, laju kenaikannya bisa menjadi tigakali lipat pada akhir abad ke-21. Ini berartimendekati 50 persen risiko kenaikan suhuglobal pada 5 derajat Celcius. Dengan kondisisuhu global sepanas itu pasti akan cepat me-lelehkan lapisan es di puncak gunung ataukutub bumi, menaikkan semua permukaan air

Page 13: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

12 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

laut, membawa bencana kekeringan, banjir,paceklik pangan, dan sederet bencana lain.

Ada empat penyebab utama mengapa emisikarbon global tetap tinggi, sekalipun telah adaperjanjian internasional. Pertama , karena negarapenghasil/pelepas emisi karbon terbesar dunia,yaitu Amerika Serikat, sampai sekarang engganmeratifikasi perjanjian Protokol Kyoto. Australiayang juga tercatat sebagai negara penghasilemisi per kapita terbesar baru dua tahun ter-akhir menerima dan bersedia mengesahkanProtokol Kyoto.

Kedua, ada beberapa negara Annex I sudahmenandatangani dan meratifikasi ProtokolKyoto, namun gagal memenuhi kewajiban atautidak berhasil menurunkan emisi GRK-nyasesuai dengan target yang ditentukan. Emisikarbon negeri Kanada, misalnya, hingga tahun2007 masih 29 persen di atas level emisi tahun1990. Begitu pula Spanyol yang masih 57 per-sen di atas level emisi tahun 1990. Beberapanegara bekas Uni Soviet dan negara-negarasosialis Eropa Timur yang semula masuk dalamkelompok negara pencemar/pelepas emisitinggi, sebagian besar industri berat merekayang menggunakan teknologi “kuno dan kotor”bangkrut setelah runtuhnya Tembok Berlin.Namun, penurunan emisi karbon akibat ron-toknya kegiatan industri di negara-negara itutidak serta merta mengurangi emisi karbon diBenua Eropa. Banyak negara maju Eropa Ba-rat anggota Uni Eropa yang belum berhasilmencapai target penurunan emisi kemudian

berlomba-lomba “memborong” pembelian jatahemisi GRK negara-negara bekas Uni Sovietyang tak terpakai itu ( Russian hot air ) melaluisistem offset dalam perdagangan karbon, ter-utama menjelang berakhirnya Protokol Kyoto2012.

Ketiga, negara-negara kaya di Eropa danAmerika banyak yang memindahkan lokasi atau“mengekspor” sebagian pabrik dan industrinyayang “kotor” ke negara-negara sedang berkem-bang. Industri baja, semen, mobil, motor, kulkas,komputer, dan lain-lain perangkat kehidupanmodern yang proses produksinya menye-babkan polusi/pencemaran lingkungan di ne-gara-negara berkembang ternyata sekarangmerupakan hasil produksi China, India, Brasilatau negara berkembang lainnya. Emisi GRKmereka tidak dibatasi, karena menurut ke-tentuan Konvensi, negara-negara sedang ber-kembang tersebut memang tidak berkewajibanmenurunkan emisi karbon.

Keempat, negara-negara sedang berkem-bang yang lebih maju seperti China, India,Brasil, Korea Selatan, Meksiko, Afrika Selatan,bahkan Indonesia, dalam tempo lima sampaisepuluh tahun setelah berlakunya ProtokolKyoto (1998), ternyata mengalami pertum-buhan ekonomi sangat pesat. Karena sebagianbesar ditopang oleh penggunaan energi ber-bahan bakar fosil, laju pertumbuhan emisi GRKnegara-negara tersebut juga naik dengan cepat.Namun, karena mereka tidak termasuk AnnexI dalam Konvensi Perubahan Iklim, tidak adapembatasan besarnya emisi GRK yang bisadilepaskan ke atmosfer, sehingga emisi karbonglobal bukannya berkurang tapi malah semakinmeningkat.

Hal terakhir itulah yang banyak diper-soalkan negara-negara maju, terutama AmerikaSerikat, Uni Eropa, dan Jepang, dalam forumkonvensi dan perundingan internasional tentangperubahan iklim yang cenderung menolakmemperpanjang atau memperbarui ProtokolKyoto, serta menginginkan dihapuskannyapembedaan antara negara-negara Annex dannon-Annex dalam konvensi internasional.

Page 14: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

13Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

Bali Roadmap dan BaliAction Plan

Pada akhir 2007, sekitar 189 perwakilanpemerintah negara seluruh dunia berkumpuldalam Conference of the Parties (COP-13)UNFCCC di Nusa Dua, Bali, untuk membahaskesepakatan baru menjelang berakhirnya Pro-tokol Kyoto pada 2012, supaya peningkatansuhu panas bumi bisa segera dikendalikan.

Pada awalnya, sebelum konferensi di Bali,muncul dua pendapat berbeda, bahkanbertentangan, di antara negara maju (Annex I)dengan negara-negara (sedang) berkembang(non-Annex). Negara-negara berkembang yangtergabung dalam Kelompok 77 dan China ber-pendapat bahwa negara-negara maju harussegera memenuhi komitmen dan kewajibanmenurunkan emisi GRK sesuai target kuantita-tif dan target waktu yang ditetapkan dalamProtokol Kyoto, supaya suhu panas bumi tidakbertambah 2 derajat Celcius pada 2010. Seba-liknya, negara-negara maju, termasuk AS yangtidak terikat Protokol Kyoto, berpendapatbahwa upaya penurunan emisi sebaiknya me-nunggu sampai ada bukti-bukti keilmuan yangcukup tentang penyebab pemanasan global, danjuga sampai adanya teknologi yang lebih murahagar tidak menambah beban ekonomi duniayang sedang dilanda krisis. Dengan kata lain,negara-negara Annex I cenderung hendakmengganti Protokol Kyoto dengan rezim per-janjian internasional baru yang dianggap lebihadil.

Konferensi COP ke-13 di Bali akhirnyamenyepakati “jalan tengah” yang bisa menjem-batani dua kubu pandangan yang sangat berto-lak belakang di antara negara-negara Utaradengan Selatan. Fokus pertemuan di Bali lebihditujukan untuk memecahkan berbagai isujangka panjang, yaitu bagaimana mewujudkanrezim perjanjian iklim baru setelah berakhirnyaProtokol Kyoto. Namun demikian, ada beberapaisu mendesak yang belum terselesaikan selamaperiode Protokol 2008-2012, yaitu belum ter-penuhinya komitmen dan target penurunan

emisi negara-negara Annex I serta kejelasanarah dan pedoman penyelesaiannya. Hasilnegosiasi COP-13 di Bali akhirnya mengadopsidua kesepakatan penting, yaitu (1) Bali Road-map dan (2) Bali Action Plan.

Bali Roadmap adalah kesepakatan ParaPihak mengenai proses selama dua tahun (2008-2009) tentang bagaimana mengatasi perbedaandalam cara pendekatan dan wadah perundingandi antara negara berkembang dengan negaramaju. Di dalam negara maju ada negara pentingseperti Amerika Serikat yang anggota Konvensi,tetapi berada di luar perjanjian Protokol Kyoto.Untuk itu disepakati pembentukan dua jalur( track ) negosiasi. Jalur pertama berada di bawahKonvensi PBB tentang Perubahan Iklim untukpembahasan dan negosiasi isu-isu jangka pan-jang pasca-2012, yang dilakukan melalui wadahkelompok kerja sama jangka panjang atau AdHoc Working Group on Long-term CooperativeAction (AWG-LCA). Sementara jalur keduaberada di bawah perjanjian Protokol Kyoto yangmembahas dan menegosiasi penyelesaian ko-mitmen selanjutnya bagi negara maju yangmasuk dalam Annex I sesuai dengan ketentuanperjanjian Protokol Kyoto. Wadahnya adalahkelompok kerja komitmen Annex I atau Ad HocWorking Group on Further Commitments forAnnex I Parties (AWG-KP). Kedua jalur perun-dingan akan berjalan paralel selama dua tahundan diharapkan dapat menyimpulkan hasilnegosiasi pada Konferensi COP-15 dan Per-temuan Protokol Kyoto ke-5 (CMP-5) di Ko-penhagen, Denmark, Desember 2009.

Kalau Bali Roadmap menentukan prosesdan jalur perundingan, maka Bali Action Planmerupakan hasil kesepakatan Para Pihak me-ngenai substansi dan arah masa depan pe-rundingan perubahan iklim yang diputuskanCOP-13 di Bali. Bali Action Plan (BAP) memuatrencana tindak ( action plan ) untuk membentukkelompok kerja sama jangka panjang (AWG-LCA) dengan mandat menanggulangi peru-bahan iklim tidak hanya dengan mitigasi danadaptasi saja, tetapi juga melalui empat elemenatau pilar utama kerja sama global berjangka

Page 15: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

14 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

panjang guna mengurangi pemanasan globalyang disepakati Konvensi. Keempat elemen –mitigasi, adaptasi, pendanaan, dan alih teknologi(termasuk pengembangan kapasitas) — meru-pakan satu paket aksi bersama di masa depan.Untuk itu BAP menyepakati pentingnya upayamewujudkan ”visi bersama” mengenai aksikerja sama berjangka panjang ( a shared visionfor a long-term cooperative action), termasukbagaimana mencapai tujuan akhir Konvensidalam menurunkan secara signifikan emisi GRKdan suhu panas bumi pada 2050. Visi bersamaitulah yang diharapkan dapat dituangkan dalamsuatu agreed outcome (hasil akhir yang disepa-kati bersama) yang seharusnya ditetapkan olehsemua Pihak pada COP-15 di Kopenhagen.

Ditambahkannya dua elemen baru, yaitupendanaan dan alih teknologi (termasukpengembangan kapasitas) sebagai satu paketupaya penanggulangan perubahan iklim dalamsatu “visi bersama” negara-negara maju danberkembang itu adalah langkah kemajuan yangdiperoleh negara berkembang dalam perun-dingan di Bali. Hal ini sangat penting, karenatanpa adanya alih teknologi dari negara majudan tambahan pendanaan yang memadai, ne-gara-negara berkembang pasti tidak akansanggup melakukan kegiatan mitigasi maupunadaptasi dengan sumber daya sendiri.

Ada beberapa keputusan lain dalam BAPyang menjadi tonggak penting bagi negaraberkembang dalam perjalanan Konvensi Pe-rubahan Iklim menuju rezim perjanjian inter-nasional baru. Di antaranya mengenai dite-rimanya upaya mencegah deforestasi sektorkehutanan, khususnya REDD-plus ( ReducingEmissions from Deforestation and ForestDegradation), sebagai mekanisme/instrumenyang diadopsi Konvensi dalam upaya mitigasimenurunkan emisi GRK negara-negara berkem-bang. Selain itu, masalah bagaimana mengukurkeberhasilan Negara Pihak dalam melaksa-nakan komitmen, atau dikenal dengan kriteria“MRV” (Measurable, Reportable and Verify-able), juga menjadi isu dan perdebatan hangat.Kriteria “MRV” akhirnya disepakati untuk dima-

sukkan dalam ketentuan pelaksanan komitmendan kewajiban mitigasi negara maju, sertakegiatan mitigasi sukarela negara-negara se-dang berkembang. Berkaitan dengan yangdisebut terakhir muncul istilah dan konsepNAMAs ( Nationally Appropriate MitigationActions), yakni kegiatan mitigasi tingkat nasio-nal yang patut dilakukan negara berkembangdalam rangka pelaksanaan pembangunanberkelanjutan. Negara maju bisa membantunegara berkembang dalam bentuk pendanaan,teknologi, dan pengembangan kapasitas, apabilapelaksanaannya bisa diukur, dilaporkan, dandiverifikasi (MRV) dengan benar.

Perubahan Iklim dan EmisiGRK di Indonesia

Sebagai negara sedang berkembang yangsangat bergantung pada sumber daya alam dansektor pertanian, Indonesia amat rentan ter-hadap dampak perubahan iklim. Karena itu,ketika suhu bumi kian memanas, curah hujandan iklim berubah secara ekstrem, Indonesiatermasuk negara yang diperkirakan menjadi“korban” dari perubahan iklim. Namun demi-kian, masih sulit diperkirakan seberapa besardampaknya terhadap ekonomi dan lingkunganIndonesia. Di sisi lain, sebagai negara yangmemiliki tutupan hutan dan lahan gambut ter-luas di Asia, Indonesia juga termasuk negarapenyerap dan penyimpan karbon ( carbon sink )terbesar dunia. Sayangnya, karena besarnyaluas kerusakan hutan serta pesatnya laju kon-versi hutan dan degradasi lahan hutan selamaini, Indonesia dikhawatirkan masuk dalam ja-jaran negara pelepas dan penyumbang karbon( carbon emitter ) terbesar dunia.

Pendek kata, perubahan iklim dan pema-nasan global membuat Indonesia mempunyaipotensi besar sebagai korbanŽ yang terkena�banyak dampak negatif, sebagai penyumbangemisi gas GRK yang mencemari dunia, atausebagai penyerap dan penyimpan karbon –sering disebut “paru-paru” dunia, bila tutupanhutannya tetap terjaga dan terhindar dari an-

Page 16: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

15Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

caman kebakaran, deforestasi, dan degradasihutan. Mana yang akan terjadi tergantung padakebijakan atau tindakan mitigasi dan adaptasiapa yang akan ditempuh, serta mulai kapan danseberapa jauh akan dilaksanakan oleh peme-rintah dan masyarakat. Semakin dini dan cepattindakan mengurangi emisi dan mengadaptasiperubahan iklim, semakin kecil potensi dampakdan korban yang terkena, dan semakin besarpotensi hutan Indonesia berfungsi sebagaicarbon sink, penyerap dan penyimpan karbon.

Meski belum ada kepastian mengenai be-saran emisi GRK Indonesia, perkiraan saat inimenunjukkan bahwa sektor kehutanan dan alihguna lahan menyumbang emisi dengan jumlahlebih besar dibanding emisi dari sektor energidan sektor lain. Besarnya emisi dari deforestasi,kebakaran hutan, konversi lahan hutan, dan la-han gambut, menempatkan Indonesia sebagainegara berkembang dengan tingkat emisi kar-bon cukup tinggi; Indonesia masuk dalam kate-gori negara yang perlu melakukan upaya miti-gasi guna mencegah percepatan perubahaniklim.

Profil emisi karbon Indonesia memangmasih didominasi emisi dari sektor kehutanan,lahan gambut, limbah dan pertanian, namunseiring dengan meningkatnya laju pertumbuh-an ekonomi, emisi yang berasal dari sektorenergi, industri, dan transportasi menunjukkantren kenaikan cukup tinggi. Meningkatnyakebutuhan akan tenaga listrik, baik untukindustri, pusat-pusat belanja maupun rumahtangga, membuat emisi GRK dari pembakaranbahan bakar fosil akan bertambah dan semakinmeningkat. Pertumbuhan sektor energi In-donesia masih tergantung pada pemakaian batubara yang melepas emisi gas karbon dua kalilebih banyak dibanding emisi minyak dan gasbumi. Tingkat emisi karbon dari sektor energidan listrik yang menggunakan BBM dan batubara diperkirakan akan naik tiga kali lipat pada2030 bila tidak ada upaya untuk mengurangiatau mengganti bahan bakar tersebut dengansumber energi yang jauh lebih bersih danramah lingkungan.

Sesungguhnya, Indonesia sangat kaya akansumber-sumber energi terbarukan, terutamapanas bumi (geotermal), tenaga air, energisurya, dan biomassa. Namun, sumber-sumberenergi bersih yang berlimpah itu hingga kinibelum banyak dimanfaatkan, apalagi dikem-bangkan dalam skala komersial. Indonesiasangat tergantung pada pemanfaatan minyakbumi (BBM) yang hingga kini masih disubsidipemerintah. Selain merugikan perekonomiannasional karena menimbulkan distorsi harga,defisit fiskal, dan beban biaya anggaran takterduga, ketergantungan sangat tinggi padapenggunaan BBM justru mendorong peng-gunaan energi dan listrik secara tidak efisien danberlebihan.

Subsidi BBM juga menghambat pengem-bangan sumber-sumber energi terbarukan.Potensi sumber-sumber energi terbarukanboleh dikatakan sangat besar, namun selama inibelum memperoleh banyak perhatian daninsentif dari pemerintah. Perkembangan renew-able energy di Indonesia selalu dibiarkan ter-kendala oleh tingginya biaya investasi awaluntuk teknologi, ketidakpastian peraturan, danketerbatasan kapasitas kelembagaan. Padahal,di sanalah peluang terbesar Indonesia dalammenerapkan pola pembangunan rendah karbon.

Kebijakan dan PembangunanRendah Karbon di Indonesia

Dalam beberapa belas tahun terakhir,tanda-tanda dampak pemanasan global sudahmulai terlihat di Indonesia. Kita telah mengalamibeberapa kali musim kemarau sangat panjangpada 1982-1983, 1987, 1991, 1997-98, dan 2002-2003. Selain menyebabkan gagal panen, musimkemarau amat panjang itu juga membuat pu-luhan ribu hektar sawah harus dipusokan,produksi gabah turun ratusan juta ton, danmerugikan petani Indonesia. Pemerintah yangpada 1984 telah mencapai swasembada beraskembali harus mengimpor beras dalam jumlahbesar dari berbagai negara di Asia. Musimkemarau kering dan amat panjang itu juga se-

Page 17: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

16 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

ring menimbulkan kebakaran hutan, di an-taranya yang terbesar pada 1991 dan 1997-1998, yang mengakibatkan kerugian besarbukan hanya di sektor kehutanan saja, tetapijuga di sektor transportasi, perdagangan, danpariwisata di Indonesia dan beberapa negaratetangga akibat tebalnya asap yang ditimbulkanoleh kebakaran hutan di Sumatera danKalimantan.

Selain itu, Indonesia juga kian seringmenyaksikan dan mengalami bencana alam danbencana lingkungan yang terus meningkatseperti banjir besar, gempa bumi, tanah longsor,badai, angin topan dan gelombang tsunami diberbagai daerah. Musim kemarau panjang danmulai sering terjadi, menurut beberapa pakar,disebabkan oleh fenomena El Nino, yaitu na-iknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31derajat Celcius yang membawa gelombangpanas dan kekeringan di Indonesia. Selain itu,juga terjadi curah hujan tinggi yang disebabkanoleh fenomena La Nina, kebalikan El Nino,yakni gejala menurunnya suhu permukaanSamudera Pasifik yang membawa angin ken-cang dan awan hujan ke Australia dan Asiabagian selatan, termasuk Indonesia.

Apakah kemarau panjang dan curah hujantinggi di atas normal yang semakin sering terjadimerupakan kejadian alam biasa atau dampakdari pemanasan global? Hal ini belum bisadijelaskan secara pasti. Namun, jika pemanasanglobal itu sungguh terjadi, maka yang akan kitaalami adalah kemarau panjang dan curah hujandi atas normal dalam skala lebih besar dan lebihluas. Kerugian sosial ekonomi dan lingkunganyang dtimbulkan pasti jauh lebih besar.

Perubahan iklim dan pemanasan globaljelas membawa dampak ke semua sektor danmemengaruhi hampir semua aspek kehidupanserta keberlangsungan ekosistem tempat ma-nusia, tumbuhan, hewan dan makhluk lainhidup di dalamnya. Pemerintah Indonesia ke-mudian mengambil sikap bahwa perubahaniklim adalah isu pembangunan, bukan isu ling-kungan hidup semata. Karena itu, dalam penge-lolaan dan pengendaliannya, semua pihak dan

pemangku kepentingan harus ikut terlibat, tidakbisa hanya pemerintah sendiri, dan tidak mung-kin ditangani di tingkat lokal dan nasional saja,karena akar permasalahan berada di tataranglobal.

Walaupun Indonesia telah meratifikasiKonvensi Kerangka Kerja PBB tentang Per-ubahan Iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyotomasing-masing dengan UU No. 6/1994 dan UUNo. 17/2004, kesadaran mengenai pentingnyaupaya penanganan isu perubahan iklim dankaitannya dengan keberhasilan pembangunanekonomi belum mendalam dan meluas kesemua jajaran, baik pemerintah maupun ma-syarakat umum. Indonesia mulai bergerak lebihaktif di forum-forum internasional, khususnyasejak 2002 ketika ikut serta dalam persiapan danmenjadi pimpinan Konferensi Tingkat Tinggi(KTT) Pembangunan Berkelanjutan diJohannesburg, Afrika Selatan, dan terutamamenjelang persiapan COP-13 di Bali, Desember2007.

Di Bali tahun 2007 itulah peran Indonesiamakin menonjol dalam diplomasi serta per-caturan politik dan ekonomi internasional ten-tang perubahan iklim. Selain menjadi tuanrumah dan berhasil memfasilitasi pengorga-nisasian konferensi yang dihadiri lebih dari10.000 orang peserta dari 189 negara denganlancar, peran Indonesia sebagai Ketua COP-13— Menteri Negara Lingkungan HidupRachmat Witoelar — juga dinilai sebagai fasili-tator yang baik dalam mendekatkan perbe-daan-perbedaan tajam yang muncul di antaranegara berkembang dengan negara maju danberhasil menelorkan Bali Action Plan yangsekarang menjadi salah satu tonggak historisacuan perundingan menuju rezim perjanjianiklim baru pasca-2012.

Di samping itu, apabila selama 10 tahunlebih pertemuan Konvensi Perubahan Iklimhanya diurus dan dihadiri oleh para pejabat danmenteri lingkungan hidup, di Bali itu pula In-donesia memprakarsai dua forum pertemuaninformal tingkat menteri di luar bidang ling-kungan, yaitu keuangan dan perdagangan. Per-

Page 18: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

17Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

temuan para menteri keuangan negara-negaramaju dan berkembang yang juga dihadiri parapetinggi Dana Moneter Internasionl (IMF),Bank Dunia (WB) dan Bank-bank Pemba-ngunan Multilateral (MDB) itu dipimpin MenteriKeuangan Sri Mulyani Indrawati. Itu merupakanterobosan baru, karena memasukkan agenda“pendanaan” dalam isu perubahan iklim. Begitupula pertemuan para menteri perdagangan. Per-temuan yang juga dihadiri pimpinan OrganisasiPerdagangan Dunia (WTO) dan UNCTAD itudipimpin Menteri Perdagangan Mari ElkaPangestu, dan mendapat sambutan cukup baikkarena memulai dialog substantif tentang kaitanisu kebijakan perdagangan dengan isu ling-kungan hidup yang selama ini berjalan sendiri-sendiri.

Indonesia selaku Ketua COP-13 terus me-lanjutkan peranan sebagai bagian dari Troika(tiga serangkai). Bersama Polandia selaku Ke-tua COP-14 dan Denmark selaku Ketua COP-15, Indonesia diberi tugas oleh SekretarisJenderal PBB untuk mengawal Bali ActionPlan agar berhasil merintis a new and legallybinding agreement pada COP-15 di Kopen-hagen, Desember 2009. Sayangnya, harapanbegitu tinggi di Bali ternyata harus kandas diKopenhagen. Bagaimanapun juga, peristiwa diBali akhir 2007 itu merupakan tonggak per-jalanan Indonesia yang tak kalah penting bagiterciptanya momentum baru di dalam negeri.Sejak itu kesadaran, gerakan masyarakat, danliputan media massa terhadap isu lingkungandan perubahan iklim makin gencar dan me-luas, selain melahirkan serangkaian terobosankebijakan, program, dan lembaga-lembaga baruyang menunjukkan peningkatan perhatianpemerintah dan alokasi sumber daya negarapada upaya penanggulangan perubahan iklimdi Indonesia. Terbitnya dokumen Rencana AksiNasional untuk Mitigasi dan Adaptasi Per-ubahan Iklim (RAN-MAPI) kemudian diikutipembentukan Dewan Nasional PerubahanIklim (DNPI) yang dipimpin langsung PresidenRepublik Indonesia pada Juni 2008 menandailangkah awal perubahan kebijakan pemerintah

yang menganggap perubahan iklim bukan ha-nya isu lingkungan semata, tetapi juga me-nyangkut masalah pembangunan.

Dengan bekal arah kebijakan baru itu,DNPI mulai melakukan kajian dan dialog lintassektor agar kebijakan dan program pemba-ngunan yang akan memasukkan upaya mitigasidan adaptasi perubahan iklim tidak lagi dila-kukan dengan pola konvensional atau “ businessas usualŽ, akan tetapi harus ada perubahan pen-dekatan yang menjamin terlaksananya polapembangunan berkelanjutan ( sustainable de-velopment) di Indonesia. Untuk itu, selain me-lihat kinerja pertumbuhan ekonomi yang diukurdengan kenaikan Produk Domistik Bruto(PDB , Gross Domestic Product ), hasil pemba-ngunan juga harus dilihat dari turunnya tingkatemisi karbon (CO ) dalam mencapai tingkat2

PDB tersebut. Ukuran rendahnya kadar karbon(emisi GRK) merupakan salah satu syaratpenting terlaksananya pembangunan berkelan-jutan di masa depan. Karena itu, diperkenalkanpengertian “pembangunan rendah karbon” ( lowcarbon development) sebagai alternatif polapembangunan konvensional yang selama inidilakukan dengan mengandalkan bahan bakarenergi sarat emisi karbon.

Langkah tersebut diteruskan oleh Kemen-terian Keuangan dan Badan Perencanaan Pem-bangunan Nasional (Bappenas) yang padatahun 2009-2010 mengeluarkan beberapadokumen kebijakan. Dokumen-dokumen ter-sebut menunjukkan bahwa isu perubahaniklim dan lingkungan hidup mulai masuk kearus utama ( mainstream ) kebijakan pemba-ngunan nasional. Akhir Oktober 2009, misal-nya, Menteri Keuangan menerbitkan dokumensetebal 163 halaman bertajuk Green Paper onEconomic and Fiscal Policy and Strategies forClimate Change in Indonesia, yang mengurai-kan konsep dan kerangka kebijakan fiskal,anggaran dan keuangan negara dalam menun-jang tercapainya tujuan mitigasi perubahaniklim yang digariskan Pemerintah Indonesia.Bappenas juga menerbitkan Yellow Book danIndonesia Climate Change Sectoral Roadmap

Page 19: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

18 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

sebagai kebijakan baru dan “peta jalan” bagisembilan sektor pembangunan yang terkaitmitigasi dan adaptasi perubahan iklim, se-kaligus digunakan sebagai masukan untukpenyusunan Rencana Pembangunan JangkaMenengah (RPJM) 2010-2014, Rencana KerjaPemerintah (RKP) 2010, dan juga sebagaibahan untuk menyusun Rencana Aksi NasionalPenurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)2010-2020.

Dokumen RAN-GRK 2010-2020 harus se-gera diproses secara lintas sektor oleh Bap-penas dan DNPI bersama semua sektor danlembaga terkait untuk menerjemahkan danmenjabarkan komitmen Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono yang telah mencanangkantekad Indonesia untuk menurunkan emisi GRKsebesar 26 persen pada 2010 dari tingkat emisitahun 2005. Penurunan emisi itu bisa lebih be-sar menjadi 41 persen, jika negara-negara in-dustri maju bersedia membantu Indonesiauntuk mengantisipasi bantuan dan kerja samainternasional bagi program-program terkaitperubahan iklim, Bappenas dan KementerianKeuangan menyiapkan wadah atau mekanismependanaan baru, Indonesia Climate ChangeTrust Fund (ICCTF).

Beberapa terobosan untuk membawa isuperubahan iklim ke arus tengah kebijakan pe-merintah mulai menguak jendela kebijakanpembangunan ekonomi. Namun, tantangan ter-besar Pemerintah Indonesia dalam mewujudkanpembangunan rendah karbon adalah bagaimanamenembus tembok benteng kementerian danlembaga-lembaga sektoral seperti KementerianKehutanan, Pertanian, Energi dan Sumber DayaMineral, Pekerjaan Umum, dan pemerintahdaerah. Sekalipun mulai membuka pintu untukbisa ikut menikmati “kue dana bantuan peru-bahan iklim” bagi sektor atau daerah masing-masing, pada dasarnya mereka masih meng-gunakan sasaran dan pola kerja business asusual, tanpa melakukan perubahan kebijakandan langkah berarti untuk benar-benar mengu-rangi “jejak karbon” ( carbon footprint ) yangmasih dalam dan lebar.

Kopenhagen: Gagal atauKeberhasilan yang Tertunda?

Konferensi Para Pihak ke-15 negara-nega-ra yang tergabung dalam UNFCCC di Kopen-hagen, Denmark, pada 7-19 Desember 2009 —yang dirancang dua tahun sebelumnya di Balisebagai “puncak” perundingan dunia yang diha-rapkan akan melahirkan “perjanjian baru” atau“pembaruan” atas Protokol Kyoto yang akanberakhir tahun 2012 — ternyata membuyarkanharapan dunia dan berbagai skenario yang per-nah dibuat. Di tengah kecemasan masyarakatinternasional akan hasil kajian ilmiah yangmemprediksi kenaikan suhu bumi melebihi 3derajat Celcius dari tingkat pra-Revolusi In-dustri, konferensi Kopenhagen yang diharap-kan bisa mengeluarkan “resep” penurunansuhu bumi di bawah 2 derajat Celcius ternyatatak berhasil membuat kesepakatan apa punyang mengikat semua negara peserta.

Apa yang sebenarnya terjadi di Kopenha-gen? Pada awalnya, penyelenggaraan COP-15berlangsung sesuai dengan Bali Roadmap ,yakni dalam dua jalur perundingan ( two tracks )dan wadah persidangan. (1) Jalur AWG-KP,untuk merumuskan komitmen selanjutnya darinegara-negara Annex I dalam memenuhi ke-tentuan Protokol Kyoto pada periode pasca-2012; dan (2) jalur AWG-LCA untuk meru-muskan langkah-langkah kerja sama jangkapanjang (2020-2050) yang perlu disepakati se-mua pihak penanda tangan Konvensi di masadepan. Proses perundingan melalui dua jaluritu lazimnya dilakukan tim perunding teknis( negotiators ) profesional mewakili masing-masing Para Pihak yang sudah menanganiseluk-beluk prosedur dan substansi isu pe-rundingan sejak COP-13 Bali (2007), COP-14Poznan (Polandia, 2008), dan serangkaianperundingan persiapan COP-15 mulai dariBonn (tiga kali), Bangkok, Barcelona, sampaiKopenhagen awal Desember 2009. Dalamseluruh proses perundingan melalui dua jalurselama dua tahun itu, Para Pihak yang ber-jumlah 189 negara maju dan berkembang

Page 20: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

19Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

terwakili dan ikut serta secara aktif dalamperundingan di bawah bendera UNFCCC.

Sampai dengan hari kesepuluh, prosesperundingan di tingkat tim perunding teknisCOP-15 Kopenhagen berjalan lamban dansangat alot, mengingat masih banyaknya per-bedaan pendapat soal isu-isu substansial diantara negara industri maju dengan negaraberkembang yang tergabung dalam Kelompok77 dan China. Akan tetapi, bukan berarti tidakada kemajuan yang dicapai tim perunding tek-nis. Sehari menjelang diselenggarakannyaperundingan tingkat menteri ( ministerial/highlevel segment of negotiation), ketua-ketua AWG-KP dan AWG-LCA menyerahkan draf dokumenhasil perundingan tingkat tim negosiator teknisyang mengandung lebih banyak kesepakatandibanding perbedaan antara negara maju dannegara berkembang.

Namun, ketika proses perundingan beralihdari perundingan teknis ke tingkat lebih tinggi( high level segment), perbedaan pendapat bu-kannya berkurang, tetapi semakin tajam danmemuncak dalam ketegangan posisi dan sikapnegara-negara maju menghadapi Kelompok 77dan China. Bila selama ini perundingan high-level segment hanya dihadiri oleh para menterilingkungan hidup dan/atau duta besar masing-

masing Pihak, pada COP-15 Kopenhagen hadirlebih dari 110 kepala negara/pemerintahan,yang kemudian mengambil alih peran paranegosiator dan pejabat tinggi yang memahamiisu perubahan iklim. Itu merupakan peristiwabaru yang belum pernah terjadi sebelumnyadalam tujuh belas tahun sejarah perundinganglobal tentang perubahan iklim. Hal lain yangjuga tidak lazim adalah Perdana Menteri Den-mark selaku kepala pemerintahan bertindaksebagai Ketua COP-15 yang memimpin jalannyasidang Konvensi hingga selesai, bukan menterilingkungan atau menteri teknis yang menanganiperubahan iklim.

Hal paling mengecewakan, Kopenhagenakhirnya hanya menghasilkan sebuah dokumenpolitis yang disebut Copenhagen Accord(Kesepakatan Kopenhagen). Dokumen ini me-rupakan catatan hasil perundingan tingkattinggi/kepala negara yang difasilitasi PerdanaMenteri Denmark selaku Ketua COP-15 yanghanya melibatkan 29 negara dari 189 negarapeserta Konvensi. Statusnya sekadar “catatan”COP-15 yang sama sekali tidak mengikat seca-ra hukum. Dua belas butir kesepakatan yangtertuang dalam Copenhagen Accord dihasilkansetelah proses perundingan yang alot dan pa-nas, terutama antara Amerika Serikat, China

Sumber: IPCC, DNPI: Pathways to a Low-Carbon Economy , (2009)

Page 21: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

20 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

dan negara-negara kelompok ALBA dari Ame-rika Latin dalam sidang tertutup pada menit-menit terakhir menjelang sidang penutupanKonvensi. Semua hal di luar kebiasaan yangterjadi di Kopenhagen menunjukkan bahwaperan politisi dan pertimbangan politik sangatmendominasi hasil perundingan dan keputusanKonvensi.

Berikut beberapa butir isi kesepakatanCopenhagen Accord:• Tentang target stabilisasi GRK di atmosfer:

menetapkan tujuan pembatasan pening-katan suhu global pada tahun 2050 adalah2 derajat Celcius di bawah tingkat zamanpraindustri. Target itu akan dikaji ulang pada2015, termasuk kemungkinan mengubahstabilisasi emisi GRK menjadi 1,5 derajatCelcius sesuai permintaan negara-negarakepulauan kecil (AOSIS).

• Tentang kewajiban negara Annex I: menye-tujui bahwa pada 31 Januari 2010 negara-negara maju (Annex I) harus menentukantarget penurunan emisi secara kuantitatif( economy wide ) untuk tahun 2020 sesuaidengan kesanggupan masing-masing. Me-nyetujui sistem pemantauan dan pelaporanatas capaian target pengurangan emisiGRK negara-negara maju serta penyediaandana dan teknologi negara industri majudalam Annex I, termasuk Amerika Serikat,untuk negara berkembang.

• Tentang kewajiban negara non-Annex:menetapkan pengurangan emisi GRK ne-gara-negara sedang berkembang (Non-Annex) perlu diukur, dilaporkan, dan di-verifikasi (MRV) oleh masing-masing ne-gara serta dikomunikasikan ke SekretariatUNFCCC setiap dua tahun melalui laporanNational Communication. Mengenai bentukdan cara aksi penurunan emisi merupakanhak sepenuhnya negara bersangkutan.Menetapkan bahwa upaya penguranganemisi oleh negara berkembang (NationallyAppropriate Mitigation Actions/NAMAs)akan dibantu pendanaan dan alih teknologidari negara maju melalui pengukuran, pe-

laporan, dan verifikasi (MRV) oleh satuBadan Registrasi ( Registry ) sesuai panduaninternasional yang dibuat UNFCCC.

• Tentang Pendanaan: menyepakati komit-men negara maju untuk menyediakan pen-danaan sebesar 30 miliar dolar AS dalamperiode 2010-2012 bagi kegiatan adaptasidan mitigasi negara sedang berkembang dibawah supervisi COP-UNFCCC melaluimekanisme Copenhagen Green ClimateFund yang akan segera dibentuk. Selainpendanaan jalur cepat ( interim fast trackfunding) menjelang 2012, negara-negaramaju juga berkomitmen memobilisasi danasebesar 100 miliar dolar AS per tahun mulaitahun 2020 untuk membiayai, antara lain,kegiatan mitigasi di sektor kehutanan(REDD), peningkatan kapasitas dan pem-bentukan mekanisme teknologi.

Bagaimanapun juga, keputusan resmi COP -15 yang hanya berupa takes note , sekadarmencatat adanya Copenhagen Accord (CA) , itumenunjukkan bahwa CA tidak diterima olehsemua Pihak, dan hanya mengikat secara politisPara Pihak yang menyatakan menerima do-kumen CA. Ini berarti COP-15 Kopenhagengagal menghasilkan agreed outcome dalambentuk perjanjian internasional yang mengikat( legally binding agreement ) dan menyeluruhsebagaimana diamanatkan COP-13 Bali. Darisegi proses perundingan, COP-15 merupakanpreseden buruk; proses UNFCCC bisa dibe-lokkan oleh kepala negara/pemerintahan yangmelakukan negosiasi naskah akhir. Dalam halini, Perdana Menteri Denmark dianggap telah“melanggar” prinsip multilateralisme dalamperundingan internasional yang seharusnyabersifat terbuka, transparan, dan inklusif.

Selain dari sisi proses yang memiliki ba-nyak kecacatan, substansi Copenhagen Accordjuga dianggap langkah mundur, karena tidakmencantumkan target penurunan emisi globaljangka menengah pada 2020 ataupun tujuanmencapai 50 persen reduksi emisi global pada2050, yang sebenarnya telah disepakati pada

Page 22: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

21Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan

pertemuan negara-negara maju G-8 tahun2009. Selain itu, ketentuan tentang komitmenpenurunan target emisi negara Annex I tidakdiikuti dengan ketentuan tahun dasar ( baseyear) yang sama. Hal lain yang juga sangatdisesalkan, posisi negara berkembang dise-tarakan dengan negara maju dalam hal pela-poran aksi mitigasi dengan format berbeda.Ketentuan tentang NAMAs, misalnya, akanmembuat negara berkembang seperti Indo-nesia harus bekerja ekstra keras untuk mem-persiapkan sistem registrasi nasional, mening-katkan kemampuan sumber daya manusiasecepatnya, mengumpulkan dan menyusundata sektoral dan regional secara lebih akurat,serta mengalokasi anggaran yang memadai.

Walaupun demikian, tidak semua ketentuanCopenhagen Accord bersifat negatif. Sebe-narnya ada beberapa unsur positif yang meru-pakan langkah maju dibandingkan dengan BaliAction Plan. Dalam penentuan target stabilisasiGRK di atmosfer, misalnya, kesepakatan untuksecara eksplisit membatasi kenaikan suhuglobal 2 derajat Celcius merupakan kemajuanyang tidak berhasil dicapai dalam COP-13 diBali, di samping adanya kesediaan untuk me-review kemungkinan penurunan target sta-bilisasi menjadi 1,5 derajat Celcius pada 2015.Begitu pula dengan ketentuan agar negaraAnnex I memasukkan angka target baru pe-nurunan emisi secara kuantitatif (QUELROs)sebelum 31 Januari 2010 adalah ketentuan yangtidak ada dalam Bali Action Plan . Bagi negaraberkembang seperti Indonesia, masuknya ke-tentuan tentang skema Penurunan Emisi dariDeforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)sebagai instrumen untuk mitigasi perubahaniklim juga merupakan sebuah kemajuan besar.

Hal paling positif dari Copenhagen Accordadalah dokumen formal pertama yang memuatkomitmen konkret tentang angka dan jumlahpendanaan untuk mitigasi dan adaptasi darinegara maju ke negara berkembang, dan jugadokumen formal pertama yang memuat ke-tentuan tentang rencana aksi dan target penu-runan emisi GRK negara-negara berkembang.

Sejauh ini sudah tercatat 32 negara berkem-bang yang secara sukarela menyampaikantarget nasional penurunan emisi GRK, ter-masuk Indonesia. Perkembangan posisi ne-gara-negara berkembang ini dapat dijadikan“modal” dalam proses negosiasi lanjutan gunamendesak negara-negara maju agar mening-katkan komitmen penurunan emisi secaralebih siginifikan.

Tantangan Menuju Cancun

Walaupun Copenhagen Accord bukan me-rupakan kesepakatan yang mengikat, Para Pi-hak diminta menyatakan dan menyampaikan“asosiasi”-nya pada Copenhagen Accord dan“mendaftarkan” rencana aksi (target) penu-runan emisi masing-masing kepada SekretariatUNFCCC di Bonn, Jerman. Hingga 30 Maret2010, tercatat 114 negara, 58 di antaranya ne-gara berkembang, yang telah menyampaikanpernyataan untuk berasosiasi dengan kese-pakatan Copenhagen Accord. Selain itu, tercatat42 negara maju dan 32 negara berkembangyang telah menyampaikan target penurunanemisi nasional masing-masing untuk didaftarkandalam Appendix I dan Appendix II CopenhagenAccord.

Fakta tiga bulan sesudah pertemuan Ko-penhagen berakhir lebih dari separuh 189 ne-gara penandatangan Konvensi bersedia meng-asosiasikan diri pada Copenhagen Accordmenunjukkan bahwa ada elemen tertentu darikesepakatan tersebut yang dianggap positif danbisa diterima oleh negara yang pada awalnyamenolak. Diterimanya kesepakatan Kopen-hagen tentu tidak datang begitu saja, tetapimelalui lobi dan proses perundingan cukup alot— dalam rangka membangun kembali kadarkepercayaan dan memasukkan elemen-elemenpositif Copenhagen Accord ke dalam prosesperundingan resmi UNFCCC.

Situasi pasca-Kopenhagen ditandai olehtrauma negara-negara berkembang yang me-mandang proses perundingan berjalan tidak fairdan tidak berguna, karena didominasi kepen-

Page 23: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

22 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

tingan negara-negara maju. Di sisi lain, negara-negara maju yang tergabung dalam Annex Inyaris frustrasi. Mereka ingin secepatnya me-ngoperasikan Copenhagen Accord dan meng-anggap proses negosiasi berjalan terlalu lambandan bertele-tele. Karena ketidakjelasan statushukum Copenhagen Accord, maka yang bisadilakukan hanya memperhatikan dan mem-bahas elemen-elemen substansi kesepakatantersebut. Itulah yang dicoba dilakukan Meksiko.Tuan rumah penyelenggara pertemuan COP-16itu berusaha keras membangun kembali ke-percayaan ( trust building ) Para Pihak melaluidialog dan konsultasi yang transparan, inklusif,serta memfokuskan diri pada elemen-elemenpenting Copenhagen Accord untuk dibawa kemeja perundingan di Cancun akhir 2010.

Tantangan yang dihadapi Meksiko adalahbagaimana mengembalikan proses negosiasipada kerangka kerja konvensi PBB yang ber-sifat multilateral dan terbuka dengan meng-integrasikan Copenhagen Accord ke dalam duajalur kelompok kerja (AWG-KP dan AWG-LCA)serta tidak menjadikannya sebagai satu-satunyajalur atau jalur ketiga dalam proses negosiasi diCancun. Dari sisi substansi, masalah pokokyang harus diselesaikan masih tetap sama,yaitu (1) target angka dan target waktu pe-nurunan emisi GRK negara-negara Annex Idengan dasar tahun yang sama (1990), serta (2)memperoleh komitmen negara-negara ber-kembang yang besar, seperti China dan India,untuk menurunkan emisi GRK mereka denganrencana yang jelas.

Ada dua isu pokok yang merupakan tan-tangan besar dan perlu dituntaskan di Cancun,yaitu (1) pendanaan , termasuk peran pasarkarbon dan alih teknologi untuk menyelesaikanmasalah mitigasi dan adaptasi di negara-negaraberkembang, dan (2) pengukuran pelaksanaankomitmen (MRV), baik untuk mengukur ke-berhasilan negara maju dalam mencapai targetemisi dan kewajiban menyediakan dana sertaalih teknologi kepada negara berkembangmaupun mengukur keberhasilan negara-negaraberkembang dalam melaksanakan NAMAssesuai panduan UNFCCC.

Namun, sekali lagi, itu semua tergantungpada sikap Amerika Serikat; seberapa jauhnegara adidaya dan produsen emisi karbonterbesar di dunia ini bersedia menetapkan targetpenurunan emisinya secara signifikan men-jelang atau pada akhir perundingan di Cancun.Sebagaimana diketahui, hingga hari ini AmerikaSerikat belum meratifikasi Protokol Kyoto.Bahkan, sejak perundingan di Poznan, Bonn,sampai Kopenhagen, AS bersama Kanada,Jepang, dan Uni Eropa berusaha “mematikan”Protokol Kyoto. Itu menunjukkan bahwa hasilperundingan Konvensi maupun keberhasilanpenurunan emisi GRK tidak bisa dilepaskan darikemauan dan kekuatan politik ekonomi negara-negara adikuasa.

Pertanyaannya, apakah semua bangsa danumat manusia akan membiarkan begitu sajanegara-negara adikuasa menjerumuskan bumiini menjadi neraka pemanasan global dalamkurun waktu tidak lama lagi? •

Page 24: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Everybody talks about the weather, but nobodydoes anything about it

( Mark Twain )

Kubah, orang sering memberi apre-

alau kita sedang berada di sebuahkawasan dengan cuaca kerap ber-

siasi jika cuaca saat itu bersahabat. Paling tidakitulah kalimat kedua di warung kopi yang diucap-kan setelah bertegur sapa dan menanyakankabar lawan bicara. How are youƒ.Ž, ƒ..nice� �weather, isn’t it”. Tak heran bila penulis seka-liber Mark Twain mengatakan: “semua orangberbicara tentang cuaca, tetapi tidak seorangpun melakukan sesuatu terhadap cuaca”.

Meskipun punya pengertian berbeda, iklimdan cuaca sangat berkaitan. Iklim merupakankondisi rata-rata cuaca dalam jangka relatifpanjang, dan mencakup kawasan luas. Daerahdi sekitar khatulistiwa, misalnya, memiliki iklimtropis, sementara daerah yang terletak di lin-tang tinggi punya iklim sedang, daerah padangpasir beriklim kering, dan sebagainya.

Perubahan Iklim: Dari ObrolanWarung Kopi ke Meja Perundingan

Daniel Murdiyarso

Iklim adalah juga ciri fisik suatu kawasan.Jika terjadi perubahan, dampaknya terhadapkomponen-komponen biotik (hidup) dan abiotik(tak-hidup) akan sangat luas. Boleh jadi, per-ubahan itu bersifat permanen karena hilangnyakomponen penting dalam kawasan, misalnya,hutan sebagai ekosistem atau spesies pentingdi dalam ekosistem hutan.

Perubahan iklim tidak terjadi secara men-dadak, tetapi berangsur-angsur dan relatif lebihmudah diperkirakan. Fenomena ini sangatberbeda dengan variabilitas iklim atau kondisicuaca ekstrem yang sontak dapat memorak-porandakan kehidupan, misalnya, hujan badaidisertai angin puting-beliung, kemarau panjang,El Niño, dan La Niña. Kejadian ekstrem itu tidakberlangsung terus-menerus, tetapi begitu terjadidampaknya bisa sangat fatal.

Karena luasnya implikasi perubahan iklimterhadap kehidupan manusia, maka penga-matan terhadap unsur-unsur iklim tidak lagidijalankan secara konvensional. Teknologicanggih sudah banyak digunakan. Pertukaran

Laju pertumbuhan yang luar biasa gas rumah kaca memaksa parapengambil kebijakan, melalui PBB, segera melakukan tindakan korektifyang mengikat. Perubahan iklim dan pemanasan global yang sebelumnyahanya merupakan bahan percakapan sehari-hari kini menjadi isu pentingyang memiliki dimensi politik, sosial, dan ekonomi sangat luas.Penanganan iklim menjadi agenda internasional karena sebuah negaramiskin akan terus terpuruk dalam kemiskinan, dan hilang tenggelamdisapu tingginya permukaan air laut. Paradigma pembangunan kita harusdiubah. Kita tidak bisa terus-menerus menggunakan minyak bumi ataumengelola hutan secara serampangan dan kurang bertanggung jawab.

Page 25: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

24 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

data dan informasi serta hasil penelitian jugamakin intensif sehingga dapat segera diumum-kan kepada publik. Begitu pula dampak yangditimbulkan telah didokumentasikan secarateratur. Tidak kurang lembaga antarbangsaseperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)beserta badan-badan di bawahnya melibatkandiri secara aktif untuk semaksimal mungkinmengurangi dampak dan mengatasi akar per-masalahannya.

Tulisan ini mencoba memaparkan secarasingkat sejarah perundingan iklim global sertaimplikasinya bagi kehidupan manusia. Kom-pleksitas kepentingan politik, ekonomi dan sosialpihak-pihak terkait, termasuk kepentingandomestik masing-masing negara, sering me-nyulitkan para pengambil keputusan untukmenentukan sikap. Relevansi kesepakatan glo-bal dengan pembangunan berkelanjutan diIndonesia juga akan dikupas dalam konteks tata

kelola sumber daya alam yang baik ( goodgovernance). Dengan demikian, catatan MarkTwain dapat dibatalkan; kita tidak hanya bicara.

Emisi GRK Antropogenik

Sains atmosfer di kawasan tropis, khusus-nya Indonesia, dirintis oleh pengamatan sinoptiksejak zaman kolonial. Nama-nama seperti Ber-lage, Boerema, dan Braak, telah memberikontribusi besar dalam industri pertanian,transportasi, dan pengembangan infrastruktur.Kehadiran mereka yang ketika itu bermarkas diKantor BMKG lama di Jalan Prapatan (dekatTugu Tani), Jakarta Pusat, selain terkait pener-bangan sipil, juga sangat mendukung pengem-bangan pertanian dan perkebunan besar, khu-susnya di Jawa dan Sumatera.

Sebelum teknologi Sistem Informasi Geo-grafi berkembang seperti sekarang, zonasi ik-lim sudah lama dikenal. Secara spasial orangsudah bisa melihat karakteristik iklim wilayah.Klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson,Köppen dan peneliti-peneliti abad ke-19 terbuktimemberi banyak manfaat.

Perlu diingat bahwa nenek moyang kita

ternyata juga memiliki sistem budi daya terkaitiklim. Tarikh atau kalender masa tanam danaktivitas sosial lainnya dikaitkan Pranata Mang-sa di Jawa, Lontara atau Pananrang di Sulawesi,dan masih banyak lagi kearifan lokal, termasukdalam dunia kebaharian yang tidak terdoku-mentasikan.

Pertanyaannya adalah sampai seberapajauh semua kemudahan dan kearifan itu bisa di-andalkan? Pergeseran iklim dan kondisi cuacaekstrem sering terjadi. Gagal panen atau pusokarena salah waktu tanam sering dilaporkan.Kerugian ekonomi akibat banjir dan kekeringanserta kebakaran hutan dan lahan sudah cukupbesar.

Alarm yang membangunkan kita bahwaiklim sudah berubah adalah data pertumbuhankonsentrasi karbon dioksida (CO ) di Gunung2

Mauna Loa, Hawaii, yang dikumpulkan DavidKeeling. Dari stasiun pengamatan yang di-asumsikan bebas dari CO industri sekitarnya2

(karena terletak di tengah Samudera Pasifik danberada di puncak gunung yang tidak aktif),ditunjukkan bahwa CO meningkat tajam dari2

angka 280 ppm ( parts per million ) pada zamanpraindustri menjadi 330 ppm saat diumumkanpada 1978.1 Saat ini, dari stasiun yang sama,konsentrasi CO terus meningkat hingga me-2

lampaui angka 380 ppm (lihat, Gambar 1). Datacukup mencengangkan itu menjadi bukti kuatpeningkatan konsentrasi CO disebabkan oleh2

kegiatan manusia ( anthropogenic) yang meli-batkan penggunaan bahan bakar fosil. Bukti iniakhirnya dijadikan dasar untuk memperluasjaringan pengamatan di seluruh dunia gunamembahas masalah iklim ke tingkat lebih tinggi,dan dikaitkan dengan kebijakan pemerintah ka-rena kian banyaknya dampak yang ditimbulkan.

1 Charles D Keeling, “The Influence of Mauna LoaObservatory on the Development of AtmosphericCO Research”, dalam John Miller ( ed .), Mauna2

Loa Observatory: A 20th Anniversary Report(Boulder, CO: National Oceanic and AtmosphericAdministration Special Report [NOAA] Environ-mental Research Laboratories, September 1978),hal. 36-54.

Page 26: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

25Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi

UNFCCC: Jalan Berliku MenujuKopenhagen

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan danPembangunan, atau yang lebih dikenal dengannama United Nations Conference on Environ-ment and Development (UNCED), di Rio deJaneiro, Brasil, Juni 1992, para pemimpindunia sepakat untuk mengadopsi rencana-rencana besar yang terkait dengan upayakonservasi lingkungan sekaligus menyejah-terakan umat manusia melalui pembangunan.Kesepakatan itu dituangkan dalam tiga doku-men yang bersifat tidak mengikat secarahukum ( legally non-binding ), yaitu:• Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan

Pembangunan. Pernyataan ini meliputi27 prinsip yang menekankan hubunganantara lingkungan dan pembangunan.

• Pernyataan tentang Prinsip-prinsip Kehu-tanan. Pernyataan yang mengenali pen-tingnya hutan bagi pembangunan eko-nomi, penyerap karbon atmosfer, per-lindungan keanekaragaman hayati, danpengelolaan daerah aliran sungai.

• Agenda 21. Sebuah rencana komprehensifmengenai program pembangunan ber-kelanjutan ketika dunia memasuki abadke-21.

Selain itu, di Rio juga disepakati tiga do-kumen yang secara hukum mengikat ( legallybinding), yaitu:• Konvensi Keanekaragaman Hayati (Con-

vention on Biological Diversity/CBD)• Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Per-

ubahan Iklim (United Nations FrameworkConvention on Climate Change/UNFCCC)

• Konvensi untuk Memerangi Penggurunan(United Nations Convention on CombatingDesertification/UNCCD)

KTT Bumi yang bertema “ think globally,act locallyŽ itu menekankan pentingnya sema-ngat kebersamaan (multilateralisme) untukmengatasi berbagai masalah yang ditimbulkanoleh benturan antara upaya-upaya melaksa-nakan pembangunan dan melestarikan sumberdaya alam. Dengan tema itu tujuan pemba-ngunan berkelanjutan dan keberlanjutan bumidapat dicapai dengan tindakan-tindakan lokalyang proporsional.

United Nations Framework Convention onClimate Change lahir dalam suasana keber-samaan dan dilandasi prinsip-prinsip DeklarasiRio, di antaranya tanggung jawab umum yangsama, namun secara khusus harus dibedakansesuai dengan kemampuannya ( common but dif-ferentiated responsibilities/CBDR). Konvensi inimengikat para anggota untuk mencapai tujuanutama, yaitu menstabilkan konsentrasi gasrumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkattertentu dari kegiatan manusia yang membaha-yakan sistem iklim bumi.

Lembaga pengambil keputusan tertinggi didalam UNFCCC adalah Konferensi Para Pihak(Conference of Parties/COP), yakni perhelatantahunan lebih dari 170 negara anggota UN-FCCC. Dalam periode antar-COP, badan-badanpembantu UNFCCC ( subsidiary bodies ) menga-dakan pertemuan rutin untuk menindaklanjutikeputusan COP sebelumnya, dan mempersiap-kan COP mendatang. Badan-badan itu adalahSubsidiary Body for Scientific and Technologi-cal Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body forImplementation (SBI). Di samping itu, COP juga

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan KonsentrasiCO2 (Kurva Keeling) di Stasiun PengamatanPuncak Gunung Mauna Loa, Hawaii

Page 27: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

26 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

dapat membentuk Kelompok Kerja Sementara(Ad-hoc Working Group) sesuai kebutuhan(lihat, Bagan 1).

Untuk menindaklanjuti keputusan-kepu-tusan COP, Sekretariat UNFCCC didukungoleh mekanisme keuangan yang dikoordina-sikan Global Environment Facilities (GEF), dandiimplementasikan oleh UNDP, UNEP, danBank Dunia. Koordinasi GEF dengan Sekre-tariat biasanya dimatangkan melalui pertemuan-pertemuan SBI, baik dalam COP maupun didalam kurun waktu antar-COP.

Sementara itu, COP melalui SBSTA dapatmemberi perintah atau mandat kepada PanelAntarpemerintah tentang Perubahan Iklim(Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) untuk melakukan kajian khusus selainkajian regular yang diputuskan Biro IPCC.Namun demikian, segala bentuk kajian yangdihasilkan IPCC tidak bersifat preskriptif atauwajib diikuti anggota COP, meskipun sangatrelevan dengan kebijakan anggota COP. Sejakakhir tahun 1980-an IPCC telah melakukankajian ilmiah secara teratur. Laporan PengkajianPertama diterbitkan pada 1990, disusul yang

kedua (1995), ketiga (2001), dan keempat(2007).

Sekretariat UNFCCC dipimpin seorangSekretaris Eksekutif. Dia diusulkan para ang-gota PBB dan ditetapkan oleh Sekretaris Jen-deral PBB. Sekretariat UNFCCC bertanggungjawab menyelenggarakan COP, pertemuan-pertemuan SBSTA, SBI, dan AWG, serta loka-karya terkait dengan keputusan COP. Dananyadari mana? Dari iuran setiap negara anggotayang dikutip sesuai kemampuannya.

Sepanjang sejarah UNFCCC kita hanyamengenal satu protokol, yakni Protokol Kyotohasil COP ke-3 yang mengikat dan dipersiapkanoleh AWG on Berlin Mandate dan diputuskandalam COP ke-1. Bonn Agreement lahir enambulan setelah COP ke-6 gagal , MarrakeshAccord hasil COP ke-7 disusun untuk me-nindaklanjuti Bonn Agreement. UNFCCC jugamenghasilkan beberapa rencana aksi ( ActionPlan) termasuk COP ke-13 di Bali, dan be-berapa Declaration tidak mengikat. Jadi, urutantingkat keseriusan keputusan COP adalah:Protocol–Mandate–Accord–Agreement–ActionPlan–Declaration.

Dalam perjalanannya, UNFCCC telah me-nyelenggarakan lima belas COP. Pertama diBerlin pada 1995 hingga terakhir di Kopen-hagen akhir 2009 . Perhelatan perdana COPke-1 di Berlin menghasilkan Mandat Berlinyang mengamanatkan agar COP segera meru-muskan tata cara penurunan emisi GRK yangmembahayakan iklim bumi. Para perundingpun bekerja keras selama dua tahun dan akhir-nya melahirkan Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto adalah tonggak sejarahperjanjian multilateral sangat penting. Betapatidak, meskipun target penurunan emisi dise-pakati hanya 5 persen dari tingkat emisi duniatahun 1990 atau sekitar 14 miliar ton CO , lang-2

kah kecil ini secara hukum mengikat ( legallybinding). Target ini diharapkan tercapai ketikaperiode komitmen pertama berakhir pada 2012.Karena itu, sejak dini harus dipersiapkan me-kanisme pengganti ketika Protokol Kyoto me-masuki kadaluwarsa. Tidaklah berlebihan bila

Bagan 1. Kelembagaan UNFCCC besertaBadan-badan Pembantu dan Kelompok Kerja

Page 28: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

27Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi

tiga tahun menjelang berakhirnya ProtokolKyoto, masyarakat internasional berharap ba-nyak dari COP ke-15 di Kopenhagen. Perhe-latan lingkungan paling akbar di abad ke-21 inidiikuti lebih dari 15.000 peserta (dari 30.000yang mendaftar) dan lebih dari 100 kepalanegara/pemerintahan, sehingga mirip KTT.

Namun demikian, di Kopenhagen paraperunding yang peranannya diambil para kepalanegara atau kepala pemerintahan hanya men-capai kesepakatan politis yang disebut Copen-hagen Accord . Dokumen berisi 12 butir kese-pakatan ini hanyalah “catatan” COP ke-15 yangtidak memiliki kekuatan hukum; COP ke-15kehilangan momentum untuk mengambil ke-putusan penting. Padahal, dalam dua tahunterakhir sejak Bali Action Plan disepakati, dua2

kelompok kerja COP, yakni AWG-KP danAWG-LCA, sudah bekerja keras dan bertemusedikitnya delapan kali serta menghasilkan draftkeputusan yang akhirnya seolah-olah dimen-tahkan oleh Copenhagen Accord.

Kopenhagen tidak bisa dianggap berhasil,baik dari segi outcome maupun timing. COP ke-15 tidak dapat memenuhi harapan sebagian be-sar Pihak agar dapat mengesahkan sebuahMandat, bukan Kesepakatan ( Accord ). Semula,banyak Pihak berharap agar keputusan yangdiambil tetap adil ( fair ), memiliki target penu-runan emisi besar ( ambitious, deep cuts ), dankeputusan itu mengikat secara hukum ( bind-ing). Jalan berliku menuju Kopenhagen beru-jung pada ketidakpastian tentang masa depantata kelola iklim global ( global climate govern-ance). Sementara waktu yang tersisa tidakbanyak lagi.

Nasib Protokol Kyoto: MasihAdakah Kemauan Politik?

Kopenhagen yang diharapkan mengha-silkan mandat untuk menyusun Protokol baruyang berlaku setelah 2012, telah mengecewa-

kan banyak pihak karena sepinya kemauanpolitik. Semangat multilateralisme yang dimilikidi Rio de Janeiro dan Kyoto agaknya mulaimemudar. Ia digantikan oleh kepentingan do-mestik masing-masing negara, sehingga cen-derung bertindak bilateral (dengan mencarimitra) atau unilateral (bertindak sendiri secaradiam-diam).

Dalam pidato penerimaan Hadiah NobelPerdamaian akhir 2007 silam, mantan WakilPresiden Amerika Serikat Al Gore denganlantang mengucapkan “… political will is arenewable resourceŽ. Penggalan kalimat samadiucapkannya lagi pada kesempatan COP ke-15di Kopenhagen, meskipun dengan nada agakgetir. Mungkin karena dia ragu apakah kemauanpolitik itu masih ada, termasuk dari negaranyasendiri.

Kompleksitas perundingan dalam tiga COPterakhir tidak lepas dari munculnya kekuatanekonomi baru China dan India. Meskipun dalamKonvensi Perubahan Iklim mereka tergolongdalam negara-negara berkembang yang tidakmemiliki kewajiban menurunkan emisi (non-Annex I), dan tergabung dalam KelompokG77+China, kedua negara berpenduduk besarini memiliki pertumbuhan ekonomi menga-gumkan. Konsekuensinya, emisi GRK dalamkegiatan ekonomi mereka juga meningkatpesat, khususnya China.

Pada periode 2000-2005 emisi nasionalChina mendekati 4 miliar ton CO , mendekati2

emisi total 26 negara Uni Eropa. Namun demi-kian, China tetap menganggap emisi historisnegara-negara industri maju (Annex I) tidakboleh diabaikan begitu saja. Mereka memilikitanggung jawab besar sejak Revolusi Industridimulai pada pertengahan abad ke-18.

Bali Action Plan yang menjadi keputusanCOP ke-13 merekomendasikan agar keputusantentang tata cara dan target baru itu diambil da-lam waktu dua tahun. Namun demikian, Copen-hagen Accord yang berisi 12 butir kesepakatanitu hanya macan kertas belaka. COP ke-15tampak kehilangan momentum penting. Pada-hal, dalam dua tahun terakhir, sudah diseleng-

2 Lihat, “FCCC/CP/2007/6/Add.1. Decision 1/CP.13, Bali Action Plan”.

Page 29: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

28 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

garakan sedikitnya enam kali perundinganmembahas kelanjutan Protokol Kyoto yangakan kadaluwarsa, dan enam perundingan pa-ralel yang membahas kerja sama jangka panjangdi bawah Konvensi Perubahan Iklim.

Jika kita mengingat Protokol Kyoto waktuitu (1997) merumuskan Quantified EmissionsLimitation Reduction Objectives (QELROs),target rata-ratanya hanya sebesar 5 persen daritahun dasar perhitungan (1990) yang diha-rapkan akan tercapai pada periode komitmenpertama (2008-2012). Dari target 5 persen,kemudian muncul jatah penurunan emisi na-sional yang bervariasi sesuai tingkat emisimasing-masing negara saat itu. Ketika itu,Amerika Serikat mendapat jatah 36 persen, danangka ini membuat mereka langsung “cabut”dari Protokol Kyoto yang dianggap tidak adildan akan memberatkan beban ekonomi AS.

Pada butir 4 Kesepakatan Kopenhagendisebutkan bahwa pada 31 Januari 2010 negara-negara maju (Annex I) harus menentukantarget penurunan emisi ekonomisnya secarakuantitatif atau Quantified Economy-Wide Emis-sions Targets (QEWETs) untuk tahun 2020.Target tersebut harus disertai tahun dasarperhitungan ( base year ) yang selama ini cukupberagam, dan akan didaftarkan dalam sebuahAppendix. Saat COP ke-15 berlangsung, mun-cul target baru. Misalnya, Amerika Serikatmenargetkan 17 persen dari emisi 2005, Jepang25 persen dari emisi 1990, Uni Eropa 20-30persen dan Inggris 20 persen dari emisi 1990.Daftar ini selanjutnya disebut Appendix 1Copenhagen Accord.

Sementara pada butir 5 Kesepakatan Ko-penhagen disebutkan bahwa negara-negaraberkembang (non-Annex I) diminta mendaf-tarkan kegiatan mitigasi dalam rangka me-nurunkan emisi masing-masing negara. Ke-giatan mitigasi yang secara generik diberi namaNationally Appropriate Mitigation Actions(NAMAs) ini tidak dapat dianggap kewajibansebagaimana diterapkan kepada negara Annex1 Protokol Kyoto. Daftar itu selanjutnya disebutAppendix 2 Copenhagen Accord.

Jika benar Kongres AS akan meloloskanWaxman-Markey Bill atau dikenal denganAmerican Climate and Energy Security Act(ACES) pada kuartal pertama 2010, mungkinkita akan memiliki perjanjian baru. Jika benarPerjanjian yang mengikat itu muncul pada tahun2010, maka Para Pihak punya waktu dua tahununtuk menyusun Protokol dan skema kerjasama baru – hampir sama ketika Mandat Berlinmemberi waktu untuk melahirkan ProtokolKyoto. Namun demikian, peta geopolitik saat inijauh lebih kompleks dibanding masa itu. Bolehjadi Amerika Serikat akan memilih bentukbilateral, bahkan mungkin unilateral, dan se-penuhnya melibatkan pihak swasta.

Sementara itu, para perunding China ba-nyak diawaki orang-orang muda sangat gigihberjuang di balik prinsip common but dif-ferentiated responsibility yang berlaku bagi tigaKonvensi Rio, termasuk UNFCCC. Jika ParaPihak salah memperhitungkan faktor China,negara industri baru yang berbasis batu baramurah ini dapat menjadi batu sandungan bagitercapainya kesepakatan baru. Artinya, ProtokolKyoto akan benar-benar terpuruk dan berakhir.Akan tetapi, jika dielus-elus , kemauan politikpemimpin China juga bisa menjadi prime moveryang mengingatkan kita pada peran Rusia yangmembuat diberlakukannya Protokol Kyoto( entry into force ) persis lima tahun silam.

Menata Rumah Kita

Perubahan iklim memang isu relatif barudalam jargon pembangunan dan pemerintahan.Namun demikian, pemahaman para pihak ter-kait makin hari makin baik, apalagi setelahPemerintah Indonesia menjadi tuan rumahCOP ke-13 di Bali pada 2007. Sekarang peru-bahan iklim sudah menjadi bahan percakapansehari-hari, dan menjadi bagian dari daftarpanjang tantangan pembangunan nasional se-perti desentralisasi, korupsi, perambahan hutan,pengangguran, dan kemiskinan.

Dalam usia masih sangat muda, tingkatpemahaman di setiap sektor dan daerah sangat

Page 30: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

29Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi

beragam. Karena itu, tidak heran jika koordina-si lintas sektor antara pemerintah pusat dandaerah sering mengalami hambatan cukupserius. Kondisi ini menyebabkan tantangansendiri bagi segenap pihak untuk terus me-lakukan sosialisasi pentingnya mengatasi peru-bahan iklim, dan melibatkan seluruh lapismasyarakat.

Hambatan kelembagaan ( institutional bar-riers) dapat diatasi dengan dua pendekatan.Pertama, meningkatkan kemampuan atau kapa-sitas aparat pemerintah. Dengan cara itu diha-rapkan penanganan urusan dapat lebih efisien(cepat dan tepat). Kedua , menyederhanakanbirokrasi proses perizinan dan tata kelola( governance ) yang baik dan transparan, se-hingga beban biaya transaksi menjadi lebihringan.

Pengalaman pada masa penerapan Meka-nisme Pembangunan Bersih (Clean Develop-ment Mechanism/CDM) dari Protokol Kyotomenunjukkan proses itu sangat berbelit danmahal, baik di tingkat global dan nasional mau-pun lokal. Tidaklah heran bila ada yang meme-lesetkan CDM sebagai completely difficultmechanism. Dari sekitar 2.000-an proyek yangterdaftar dan disetujui Badan Pelaksana CDMglobal, lebih dari 1.000 proyek diserap olehChina. Akibatnya, CDM diplesetkan lagi menjadiChina development mechanism. Bahkan, CDMmendapat julukan lain sebagai carbon dumpingmechanism, tempat negara-negara maju mem-buang karbon. CDM juga diibaratkan sepertiTetuko, bukan anak Gatutkaca yang belum bisaterbang, bukan pesawat buatan nasional yanggagal terbang, tapi karena sing tuku ora teko teko(yang akan membeli tidak kunjung datang);kalau toh datang sing teko ora tuku tuku (yangsudah datang pun tidak segera membeli).

Dalam pertemuan G20 di Pittsburg, Pre-siden Susilo Bambang Yudhoyono telah men-canangkan bahwa Indonesia pada 2020 akanmenurunkan emisi GRK sebesar 26 persen da-ri tingkat emisi tahun 2005. Ditambahkan pula,jika negara-negara industri bersedia membantu,emisi itu dapat diturunkan lebih besar lagi

menjadi 41 persen. Meskipun dasar perhi-tungannya tidak terlalu jelas, tindakan sukarelaitu ditanggapi oleh berbagai kalangan dengannada berbeda, mulai dari pujian sebagai kepu-tusan berani sampai tanda tanya mengingatIndonesia tidak mempunyai kewajiban untukmenurunkan emisi.

Jika target tersebut harus membebaniAnggaran Pendapatan dan Belanja Nasional(APBN), apalagi Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah (APBD), tampaknya semuapemangku kepentingan harus disadarkan agardapat mengawasi dana masyarakat itu (ter-masuk dari pembayar pajak, bila mau disebutdemikian) akan dibelanjakan. Rencana AksiNasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim(RAN MAPI) yang pernah dilontarkan, atau apapun namanya nanti, tidak boleh mengorbankantujuan pembangunan nasional paling mendesak,yaitu memerangi kemiskinan hingga angkaabsolutnya benar-benar turun.

Kapasitas aparat pemerintah pusat di setiapsektor terkait, dan pemerintah daerah, tam-paknya juga harus ditingkatkan. Hambatan-hambatan birokrasi harus jauh hari dising-kirkan, sehingga tidak terjadi persaingan taksehat di dalam lembaga pemerintah sendiri.Sejauh ini terdapat tiga pemain utama yangmenangani masalah nasional terkait perubahaniklim, yaitu:• Kementerian Lingkungan Hidup (KLH);

secara historis telah memainkan peranpenting di dalam maupun di luar negerikarena posisinya sebagai UNFCCC Na-tional Focal Point dan koordinator lintassektoral. Namun demikian, peran tersebutlambat laun kian melemah. Padahal, ke-menterian non-portfolio ini dilengkapi pe-rangkat kelembagaan mitigasi dan adaptasiyang memiliki jaringan daerah, kalanganswasta, dan lembaga swadaya masyarakat.

• Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI);dibentuk dengan Peraturan Presiden dandiketuai presiden sendiri beranggotakanbeberapa menteri terkait. Meskipun ketuaharian telah ditunjuk dengan kantor di-

Page 31: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

30 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

lengkapi sekretariat dan kelompok kerja,peranannya sempat membingungkan be-berapa kalangan. Posisi UNFCCC NationalFocal Point pun berpindah ke institusi baruini, sesuatu yang dirasakan janggal olehlembaga-lembaga pemerintah. Demikianpula Designated National Authority (DNA),yaitu lembaga yang berwenang memberipersetujuan proyek-proyek CDM yangdahulu merupakan unit KLH, saat ini beradadi bawah DNPI. Masyarakat luas mem-pertanyakan apakah DNPI akan mengambilperan koordinasi atau implementasi.

• Badan Perencanaan Pembangunan Nasional(Bappenas); selama ini memiliki kewe-nangan dalam mengalokasikan dana pem-bangunan, sehingga tidak mengherankanjika lembaga ini tampil dengan peran me-ngelola dana untuk mengatasi perubahaniklim. Ide membangun Indonesia ClimateChange Trust Fund (ICCTF) pun digulir-kan, namun tidak ada jaminan lembagayang berpengalaman dalam mengelola dananasional ini tidak akan mendapat saingandari lembaga lain dengan dana serupa.

Secara sektoral terdapat kelembagaan yangmenangani perubahan iklim, termasuk izinmelaksanakan kegiatan mitigasi perubahaniklim. Salah satu contoh kuat adalah adanyaKelompok Kerja yang menangani pelaksanaanskema Penurunan Emisi dari Deforestasi danDegradasi Hutan (Reducing Emissions fromDeforestation and Forest Degradation/REDD)di Kementerian Kehutanan. Bahkan, di daerahpun sudah mulai berkembang inisiatif REDDpada tingkat subnasional, baik tanpa maupunsepengetahuan pemerintah pusat.

Dapat dibayangkan alangkah membingung-kannya seandainya ada calon pembeli atauinvestor atau pengembang proyek. Pintu manayang harus dimasuki? Jika kelembagaan terlalurumit, maka biaya transaksi akan semakin tinggi,sehingga memiliki potensi menghambat.Penting juga dihindari sikap saling lempartanggung jawab bila sudah diketahui risiko

kegagalannya tinggi. Dengan demikian, kelakartetuko tidak akan terulang lagi pada era pasca-2012.

Jika kewenangan unit-unit kerja pemerintahdipetakan, maka Tabel 1 dapat mewakili poten-si unit-unit tersebut dalam menerapkan RANMAPI. Dalam hal ini hanya unit teknis saja yangdipertimbangkan. Dengan demikian, peme-rintah daerah, swasta, dan masyarakat luasdapat menyesuaikan diri dalam bermitra denganpemerintah pusat untuk mencapai target ataurencana jangka panjang yang telah ditetapkansecara nasional.

Dari Tabel 1 juga bisa dilihat mitigasi pe-rubahan iklim dapat dilakukan oleh beberapasektor, baik terkait penggunaan dan produksienergi maupun nonenergi seperti kehutanandan pertanian. Potensinya sangat tergantungpada peluang yang ada, serta tugas pokok danfungsi unit tersebut. Unit-unit terkait dengankegiatan mengemisikan GRK dapat mengubahparadigma menjadi unit yang dapat mengen-dalikan emisi itu, bahkan membalikkannyamenjadi emisi negatif. Tentu saja upaya tersebutmemerlukan biaya kompensasi, dan di sinilahletak peluang “memperdagangkan” kredit emisi.

Sementara untuk melakukan adaptasi ter-hadap dampak perubahan iklim, hampir se-mua unit memiliki keterkaitan dan memer-lukan pemberdayaan. Masalah utama dalamstrategi adaptasi adalah kurang adanya kesa-daran bahwa ancaman perubahan iklim sangatnyata dan memerlukan dana dan sumber dayaamat besar. Adaptasi sangat erat dengan agen-da pembangunan. Salah satu indikator pentingyang menunjukkan bahwa pemerintah suatunegara dan masyarakatnya memperhatikandampak perubahan iklim adalah seberapabesar dana pembangunan dianggarkan untukmengantisipasi perubahan iklim. Pendanaanadaptasi tidak bisa dilakukan sekadarnya, ter-masuk pemanfaatan dana tanggung jawab so-sial perusahaan (Corporate Social Responsibi-lity/CSR).

Pertanyaan penting dalam konteks pem-benahan kelembagaan adalah haruskah di

Page 32: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

31Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi

setiap kementerian dibentuk gugus tugas ( taskforce) khusus menangani perubahan iklim?Bagaimana dan siapa yang mengoordinasikansecara lintas sektoral? Jika memperhatikanketiga pemain utama dalam uraian di atas,masing-masing memiliki kelebihan dan keku-rangan. Penguatan sumber daya manusia dankelembagaan menjadi sangat penting karenabesarnya gap antara peluang yang bisa dila-kukan setiap sektor dengan tantangan yangdihadapi.

Mengingat luasnya cakupan sektor yangharus ditangani, beberapa pihak berpendapat

sudah saatnya dibentuk Kementerian Peru-bahan Iklim, yang bisa dikaitkan dengan pe-ngelolaan sumber daya alam yang kelestarian-nya mengalami ancaman, misalnya, energi dan/atau hutan. Pilihan ini pun tidak mudah karenapendanaan akan menjadi beban tambahan barubagi pemerintah. Di samping itu, pola kerjadengan lembaga legislatif juga belum pernahterbentuk, belum lagi “biaya” politiknya. Ham-batan lain mungkin juga akan terjadi di daerah,tempat sebagian besar masalah berada.

Apa pun keputusan pemerintah, baik me-lalui proses koordinasi maupun pembentukan

Tabel 1. Potensi Unit Kerja Pemerintah dalam Menerapkan RAN MAPI

Kementerian Unit KerjaPotensi Mitigasi Dampak yang

Diadaptasi

Rendah Sedang Tinggi Ada Tidak ada

ESDM Migas 3 3

Mineral, Batubara dan Panasbumi 3 3

Listrik dan pemanfaatan energi 3 3

Kehutanan Bina Produksi 3 3

PHKA 3 3

Planologi 3 3

RLPS 3 3

Perhubungan Darat 3 3

Laut 3 3

Udara 3 3

Perkeretaapian 3 3

Perindustrian Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka 3 3

Agro dan Kimia 3 3

Pertanian Tanaman Pangan 3 3

Peternakan 3 3

Perkebunan 3 3

Pengelolaan lahan dan air 3 3

PU Tataruang 3

Sumberdaya air 3 3

Cipta Karya 3 3

Bina Marga 3 3

Page 33: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

32 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

lembaga baru, kemitraan dengan kalanganswasta dan seluruh lapisan masyarakat sipil( civil society ) harus selalu diupayakan. Ke-terbatasan pemerintah harus dikemukakansecara terbuka kepada seluruh pemangkukepentingan karena pada hakikatnya iklimmenyangkut kemaslahatan orang banyak.

Hutan dan Tata Ruang diIndonesia

Emisi GRK Indonesia tahun 2005 yanghendak dilaporkan kepada Sekretariat UN-FCCC adalah sekitar 2 miliar ton CO , lebih2

dari separuh berasal dari kegiatan kehutanandan alih guna lahan.3 Angka-angka tersebutdiperoleh dari laporan dan data yang tersediadi setiap kementerian tekait seperti tercantumdalam Tabel 1.

Sesungguhnya, masih banyak sumber-sumber emisi tidak terhitung karena tidaktercatat oleh kementerian mana pun. Padahal,sumber tersebut sangat potensial menjadibagian dari pemecahan masalah emisi. Mi-salnya, kegiatan alih guna lahan di luar kawasanhutan dan nonhutan. Hal ini dijumpai padakawasan rawa gambut yang hendak dikonversimenjadi perkebunan. Aktivitas ini tentu tidakdijumpai di Kementerian Kehutanan, karenaberada di luar kawasan hutan, dan hampir pastiemisinya tidak dicatat di Kementerian Pertani-an atau Kementerian Dalam Negeri, karenaurusan emisi bukan tugas pokok dan fungsi unittersebut; apalagi jika emisi yang ditimbulkanbukan berasal dari kebakaran lahan gambut.Emisi dari lahan gambut dapat berasal dariproses pengeringan atau oksidasi bahan organikyang mendominasi lahan gambut (meskipun diatas permukaan sudah tidak ditumbuhi hutan

lagi). Perlu pula dicatat bahwa laju deforestasilahan gambut antara 2000-2005 tercatat sekitar100.000 hektar per tahun.4

Deforestasi dan kerusakan hutan juga ber-kaitan dengan tumpang tindihnya peruntukankawasan (hutan) lindung dengan konsesi per-tambangan. Terlebih lagi jika proses penam-bangannya berupa penambangan terbuka yangmembersihkan vegetasi (hutan) dan mengupaspermukaan tanah hingga pada kedalaman bahangalian.

Jika pemerintah hendak melakukan miti-gasi dan mencapai target nasional, tidak adapilihan lain. Masalah hutan, lahan gambut, danpertambangan perlu ditangani secara serius danpenataan ruang yang komprehensif harus di-prioritaskan. Kewenangan tata ruang bersifatkoordinatif yang diberikan kepada Badan Ko-ordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) selamaini tampak kurang efektif, dan sama sekali tidakmenyentuh upaya mitigasi perubahan iklimsecara konkret.

Semangat menyusun Rencana Tata Ruangke tingkat wilayah lebih kecil perlu diberi“muatan lokal”, khususnya di wilayah yangmemiliki potensi tambang dan gambut sangatbesar. Petunjuk dan pilihan mengarah padaperhitungan ekonomi, sosial dan lingkunganharus disiapkan sehingga daerah dapat ter-hindar dari kebijakan pemerintah pusat yangtidak hanya top-down, tetapi juga cenderungseragam.

Cuaca dan iklim tidak perlu hanya menjadibahan pembicaraan masyarakat Indonesia,tetapi melekat di sanubari mereka, karenasemua dilibatkan sehingga memiliki sense ofbelonging yang tinggi. Urusan iklim bukanmonopoli elite tertentu, termasuk ilmuwan.Semua akan merasakan akibatnya jika salahurus. Semua juga akan mendapat manfaat jika

3 Lihat, Kementerian Lingkungan Hidup RepublikIndonesia, Indonesia Second Communicationunder United Nations Framework Convention onClimate Change: Summary for Policy Makers (Ja-karta: Kementerian Lingkungan Hidup Repu-blik Indonesia, 2009).

4 Lihat, Ministry of Forestry of the Republic ofIndonesia, Consolidation Report Reducing Emis-sions from Deforestation and forest Degradationin Indonesia (Jakarta: Ministry of Forestry of theRepublic of Indonesia, 2008).

Page 34: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

33Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi

mampu memunculkan isu global ini menjadirelevan di tingkat akar rumput.

Sekalipun percaturan di tingkat global me-ngalami pasang surut, kita tidak boleh lengahdengan perubahan iklim yang sudah terjadi saatini dan di sini. Kita adalah “korban” ( victim )perubahan iklim. Terlebih lagi kelompok masya-rakat yang rentan (miskin, berpendapatanrendah, tidak memiliki akses yang cukup pada

pendidikan dan kesehatan), adalah golonganyang harus mendapat prioritas secara nasional.Jika keadilan berpihak kepada mereka, kepu-tusan apa pun yang akan diambil penyelenggaranegara akan mendapat dukungan luas. Semakinbanyak orang membicarakan iklim kian ramaipula yang akan membantu, karena masalahperubahan iklim ke depan adalah soal hidup-mati.•

Page 35: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

34 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

Iklim, Ilmu, dan KekuasaanDaniel Dhakidae

E S A I Prisma

berubah menjadi titik awal untuk sesuatu yangbaru lagi, yaitu ke-tidak-pasti-an. Di sana pa-radoks ke-tidak-pasti-an justru berawal, danmemaksa ilmu itu untuk berproses baru lagi.Berbagai teknologi ditemukan untuk mengintipalam semesta. Penemuan kelompok bintang-gemintang dengan jarak ratusan juta kilometerjadi awal ke-tidak-pasti-an baru tentang apa dansiapa yang mampu menjejakkan langkah di sana,dengan pertanyaan mengusik dari zaman kezaman apakah ada kehidupan di sana.

Jarak menjadi absolut jauhnya, dan denganbegitu membuat ke-tidak-pasti-an dan ke-tidak-tahu-an menjadi absolut lagi. Semakin sinarterang ilmu berpancar semakin awan kelam ke-tidak-tahu-an menampakkan diri.

Hal yang sama menimpa para ahli klima-tologi ketika kepastian prediksi ilmiah sekaligusjuga memancarkan ke-tidak-pasti-an. Kepastiandi sisi yang satu diralat oleh ketidakpastian disisi lain. Kepastian tentang daya rusak carbon-dioxide diralat oleh kemampuan water-vapor diawan dan lain-lain yang mampu mendinginkanbumi. Kepastian karbon dioksida meningkatkanpanas bumi dilawan oleh kenyataan lain bahwakarbon bisa berfungsi sebagi pupuk ideal untukmeningkatkan pertumbuhan hutan dan hasilpanen (Freeman Dyson, dalam the New YorkTimes Magazine, 25 Maret 2009).

Di sisi lain, bumi yang panas bukan barusekarang untuk pertama kalinya akan tetapisudah dan pernah berlangsung lama sejak AbadTengah karena diperkirakan berada dalam suatu

Apa pun bisa diberikan kepada, dan dika-takan tentang, ilmu kecuali kepastian, karenailmu tidak mengejar kepastian akan tetapi me-mecahkan soal, menjawab pertanyaan alam danmasyarakat dalam suatu rentetan tanpa putusantara pertanyaan dan jawaban yang melahirkanlagi pertanyaan dan jawaban baru. Karena itu,bertanya adalah langkah pertama dari ilmu apapun. Mengajukan pertanyaan yang benar selaludikatakan sebagai separuh jawaban ada ditangan.

Ilmu keras tidak mempersoalkan opini; ilmumempersoalkan penemuan yang berarti faktadan setiap fakta melahirkan pertanyaan barubagi setiap zaman. Semuanya itu seperti pupukdan membawa ilmu keras ke dalam perkem-bangan yang berlipat ganda sejak ditemukanpuluhan abad lalu.

Dukungan teknologi, yang sering menjadianaknya sendiri, membawanya ke puncak-pun-cak perkembangan dan semakin meningkatkanperkembangan tersebut sebegitu rupa sehinggapada saat tertentu apa yang menjadi misteripada abad-abad lalu tentang surga dan langit,neraka dan bumi—yaitu pusat-pusat kosmologikuno—seakan-akan telah dibuka, dan yangdisebut misteri seolah-olah menjadi dongengtentang dongeng.

Paradoks Ilmu

Namun, semakin ilmu berkembang dansemakin mencapai kepastian, kepastian itu

Page 36: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

35Esai

siklus bumi-panas dan bumi-dingin. Semuanyasemakin menyumbang pada ke-tidak-pasti-ansehingga the Economist menyimpulkannyadalam judul yang begitu merisaukan ketikamembahas perubahan iklim sebagai the cloud�of unknowing”, suatu pengetahuan penuh yangselalu berisiko untuk berubah menjadi awan ke-tidak-paham-an.

Tropikalisme dan PerubahanIklim

Hanya dalam iklim tertentu manusia hidup.Namun, dalam hidupnya sepanjang masa ber-bagai jenis manusia, dari berbagai jenis sukubangsa sudah menunjukkan daya tahan luarbiasa, di dalam teriknya padang gurun sampaike wilayah di mana kebekuan adalah hidupnya.Karena itu, sepanjang masa manusia me-nunjukkan kemampuan hidup dalam segalajenis iklim dari yang terpanas sampai ke yangterdingin. Dengan demikian, daya tahan dankontribusi kultural juga memegang peran. Se-tiap jenis iklim memberikan sumbangan kebu-dayaan kepada manusia dan dengan kebudaya-an tersebut manusia dan masyarakat manusiamenyesuaikan diri dan menaklukkan iklim.

Karena itu, paham tentang iklim “baik” atau“pemurah” dan “buruk” atau “berbahaya”, kalauitu dikatakan tentang iklim di luar kebudayaan-nya, selalu memberi makna lain. Akan tetapi, ke-lain-an dan perbedaan itu hanya boleh dipahamidalam arti bahwa iklim mendapatkan kategorimoral melalui penilaian manusia, yaitu penilaianyang mendukung kenikmatan dan kemampuankita, demikian Mike Hulme, ahli iklim berke-bangsaan Inggris. Dikatakan selanjutnya:

Tidak ada suatu moralitas pasti dan universalyang menjadi dasar menilai suatu iklim. Apa-kah iklim “baik” stabil atau berubah-ubah?Apakah iklim “buruk” tidak dapat dipra-kirakan atau sesuatu yang terlalu panas atauterlalu dingin bagi kenyamanan kita? ...Semua iklim sulit dan berbahaya, toh, semua

iklim bermanfaat dan merangsang krea-tivitas. Hanya sedikit sekali cuaca di bumi iniyang belum pernah dialami manusia, dan darisana pun hidupnya tetap berlanjut (Mike Hul-me, Why We Disagree About Climate Change[Cambridge: Cambridge University Press,2009], hal.3).

Dengan kata lain, hidup dan alamnya men-ciptakan dinamika internal dalam bentuk adap-tasi klimatik dan mengembankan supremasikebudayaan berdasarkan itu. Berbudaya danberkreasi ditentukan oleh iklim yang menjadisumber hidup dan sumber inspirasi.

Apa yang dikatakan di atas adalah pedangbermata dua. Sisi pedang yang lain adalah sisihitam rasial. Supremasi ras sering kali berdasar-kan moral judgment terhadap supremasi iklim,karena itu iklim dingin dan sedang identik de-ngan kemapanan dan kemampuan moral mena-han umbaran hawa nafsu. Sedangkan iklimpanas berhubungan dengan segala jenis kebu-rukan dan lain-lain. Dalam hubungan itu tidakjarang iklim tropis disamakan dengan keterbe-lakangan dan keburukan moral lainnya. Masakolonial bangsa ini pun mengenal apa yangdisebut sebagai tropische journalisten yang tidaklain dari wartawan penuh nafsu amarah dengankritik sepedas cabai tanpa kendali.

Dengan seluruh simpatinya Johann Wolf-gang von Goethe menyimpan kesan yang de-mikian pula ketika diberikan komentar dalamsurat yang dialamatkan kepada seorang saha-batnya di Hindia Belanda tentang Batavia yangtidak pantas jadi kota. Jalan pikirannya adalahsebagai berikut. Kalau orang karena kebutuhanyang luar biasa menetap di tanah rawa, ataukarena nasib berdiam di tempat-tempat yangtidak layak, seperti penduduk kota Romapertama apa boleh buat; akan tetapi kalau tanpaalasan yang jelas, [berlaku] seperti seorangKaiser besar melakukan hal yang tidak pantas,yang tidak menyenangkan bagi orang-orangnyapasti semata-mata menunjukkan prinsip mo-narki absolut. Seorang nelayan tua seharusnya

Page 37: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

36 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

mengingatkannya bahwa tempat itu sama sekalitidak pantas untuk suatu kota. Di dalam be-naknya dia membayangkan Amsterdam danbangunan dam Belanda, tanpa melihat bahwaitu tidak cocok sama sekali di sini. Orang Be-landa sendiri menanggung kesalahan terhadapkeadaan Batavia [karena] mereka mengkhayalseolah-olah orang hidup tanpa merasa tersiksadi rawa-rawa di bawah teriknya matahari.

Goethe mungkin tidak menghina HindiaBelanda yang tropis karena dia mencintaiKebun Raya Bogor, sedangkan yang “ditegur-nya” adalah para pejabat Belanda yang memu-tuskan membangun Kota Batavia, yang menurutpikirannya tidak pantas menjadi kota di tengahrawa-rawa dan teriknya matahari.

Supremasi iklim, supremasi ras, merang-sang kolonialisme dalam banyak bentuk. NamaHindia Belanda pun menjadi onze tropischeeilanden, pulau-pulau tropis kita, yang siapdijajah, di samping “penemuan sesuatu yanglain yang eksotik”, the exotic Other . Penemuanberarti mengangkat yang hilang dan dengan itumenuntut pertobatannya kepada cara hidupyang mengenal kekangan moral untuk menjadiugahari (temperate) , demikian Lynne Phillipsyang selanjutnya berkata:

Pada masa lalu konsep tropika hidup bersa-ma dengan tantangan kolonialisme untuk me-naklukkan dunia; kini dalam dinamika pem-bangunan, konsep itu masih menyaturagam-kan wilayah luas di dunia yang jadi milik kataitu ( the tropics ) sebagai tempat yang secarasosial lebih rendah tanpa produktivitas danmoralitas. ... Sebagai narasi besar “tropikal-isme” mengandung pesan tentang cita-citakepantasan perilaku bagi wilayah dunia yangtidak menunjukkan kelenturan mengikuti“rambu-rambu moral”, pesan mana lebihmengandung apa yang dinilai dalam imaji-nasinya tentang temperatur daripada tentangorang yang hidup bergenerasi-generasi diwilayah tropik (Lynne Phillips, “ChangingHealth Moralities in the Tropics: Ethics andthe Other”, dalam Barbara Gabriel dan SuzanIlcan ( eds .), Postmodernism and the Ethical

Subject [Montreal dan Kingston: McGill-Queen’s University Press, 2004], hal.254).

Karena itu tidak mengherankan bahwaiklim tropis yang panas dan penuh rawa dannyamuk, penyakit, dan lain-lain selalu menjadicitra awal tentang wilayah itu. Panas dan penya-kit dan kelak melekat dalam karakter tropikalseperti yang dicatat dengan sangat mengenas-kan oleh Mas Marco dalam novelnya sebagai“kotor, bodo, males, tidak beschaafd ”. Semua-nya bisa dikategorikan sebagai karakter tropikaldalam pandangan rasis kolonial yang berasal darihawa dingin.

Dengan apa yang ditunjukkan oleh seluruhgemuruh tentang perubahan iklim sebenarnyayang kita lihat adalah pertarungan antara ke-unggulan ilmu dan, berdasarkan itu, atas perimana suatu rancangan kebudayaan harus di-bangun. Penolakan terhadap batu bara—suatucara membangun yang relatif termurah dan adateknologi untuk mengurangi dampak polu-tifnya—menjadi pertanda untuk itu. Perta-rungan antara keputusan kebudayaan terhadapiklim dan supremasi iklim yang semuanyadidukung oleh ilmu yang juga dalam dirinyaberkuasa. Sejak abad ke-17 pun Francis Baconsudah mengumandangkan nam et ipsa scientiapotestas est, karena ilmu pengetahuan itusendiri adalah kekuasaan.

Ramalan dan NubuatSepanjang Masa

Kesadaran tentang hidup sama tuanyadengan kesadaran tentang kematian dan duajenis kesadaran itulah yang berperan mela-hirkan kebudayaan manusia. Karena itu, ritualkematian tidak jauh dari ritual kehidupan, samamegahnya. Karena itu juga cinta hidup, bio-philia, dan cinta mati, necrophilia, selalubertanding dalam hidup normal yang tidakkurang menyebabkan krisis demi krisis darimasa kuna sampai zaman modern. Social and

Page 38: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

37Esai

political biophilia selalu bertanding dengansocial and political necrophilia. BiophiliaNazisme selalu berujung pada tindakan-tindakannecrophilic seperti pembunuhan massal danlain-lain yang menjadi musuh biophilia mem-pertahankan “kemurnian” ras Aria.

Sisi lain dari itu adalah obsesi tentangkiamat yang berada di Timur dan di Barat. Tidakada sumber di negeri ini yang paling siap danyang paling banyak dipelajari daripada kesu-sastraan Jawa. Ramalan paling populer adalahapa yang disebut sebagai “Jangka Jayabaya”,atau “ramalan Jayabaya”, abad ke-12. Namun,pesona terhadap ramalan itu berlangsung sebe-gitu rupa sehingga jauh-jauh mengatasi kritis-isme terhadap originalitasnya. Akibatnya, ra-malan-ramalan yang beredar lebih menjadi“ramalan setiap orang” kecuali “ramalanJayabaya” sendiri.

Namun, dengan menjadi “ramalan setiaporang”, obsesi terhadap maut itu menjadi bagianpaling akrab dalam kehidupan masyarakat. Disana bercampur-baur antara rasa bangga ten-tang kemampuan bernubuat yang berumurratusan tahun, sebegitu rupa, sehingga jauh-jauh mengatasi ketakutan akan maut kolektifpada masa datang. Semuanya terbalik-balik disini, ketakutan tidak menjadi dasar bertindak,kebanggaan menjadi hampa, sedangkan per-soalan tetap terbuka tanpa penyelesaian.

Prediksi para ahli tentu saja berbeda, namunbegitu menakutkan sehingga rasa takut itusendiri menghilang. Dalam kepastian ramalan-ramalan dibuat tentang permukaan laut yang naiktak terbendung dan mencerai-beraikan jutaanorang; glasier di tempat tinggi lumer dan meng-ancam persediaan pangan untuk bermiliar orang;laut yang penuh zat acid akan mengancampangan untuk bermiliar lagi yang lain.

Bila disanding dengan nubuat tua dari nabi-nabi agama-agama hanya sedikit sekali perbe-daan akan dilihat di sana meski nubuat dibuatkarena “penampakan” makhluk gaib, sedang-kan prediksi dibuat karena “akumulasi data” da-

ri alam nyata. Nubuat diberikan kepada hanyaseorang sedangkan prediksi adalah akumulasipengetahuan kolektif dari suatu komunitasilmiah.

Namun, dengan melihat rentang-zaman sajasungguh mengagumkan bahwa psikologi apo-kaliptik itu begitu menyatu dengan manusia—sekurang-kuranganya dari lima ratus tahun Se-belum Masehi ketika Belteshazzar versi Parsi,atau Daniel dalam versi Yahudi, dalam kerajaanDarius meramal tentang berakhirnya kerajaan-kerajaan Persia sampai abad ke-21 ketika padabulan September 2008 harian the Sun Inggrismeramal bahwa end of the world due in 9 days ,“dalam tempo sembilan hari dunia akan kiamat”( The Sun , 1 September 2008).

Dengan penampakan nabi-nabi bernubuattentang kiamat bahwa “gempa mengguncangbumi, dan matahari jadi hitam dan kelamseperti karung dan bulan jadi darah. Bintang-gemintang di langit jatuh ke bumi layaknyabuah pir mentah berguguran dari pohonnyaketika diguncang badai. Langit dicabik-cabikseperti sobekan buku yang jatuh terkaparmenggelentang, dan gunung-gemunung danpulau-pulau digusur dari tempatnya masing-masing” (Apocalypsis)

Bahwa dunia akan “kiamat dalam temposembilan hari” tentu saja absurd ; bahwa pulaukecil akan tenggelam dalam tempo beberapapuluh tahun ke depan tentu saja menakutkan.Bahwa “Pulau Jawa mungkrat ” adalah keper-cayaan dari “ramalan setiap orang” tentangkiamat. Sungguh mengejutkan bahwa semua-nya itu pun tidak jauh dari prediksi para ahlitentang lumernya kutub dan gunung-gunung esyang mengakibatkan naiknya permukaan lautyang akan menenggelamkan pulau-pulau kecil,dan mengecilkan pulau-pulau besar.

Di tengah absurditas nubuat dan rasa takutterhadap prediksi siapa pun tidak mampu lagimembedakan di mana ilmu berhenti, danteologi mulai. Di mana ilmu klimatologi berhentidan teologi apokaliptik mulai.•

Page 39: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

38 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

Ssebagai isu lingkungan hidup yang di-

ejak awal dekade 1980-an, perubahaniklim mulai mencuat ke permukaan

khawatirkan dapat mengganggu kesejahteraandan kenyamanan hidup umat manusia. Selamadua puluh tahun lebih, isu ini disikapi dan di-bahas dalam berbagai forum internasionalsebagai isu terkait dengan perubahan fisik dialam raya. Meskipun ada beberapa ahli eko-nomi yang menulis tentang ekonomi perubahaniklim sejak awal tahun 1990-an, isu perubahaniklim sebagai masalah ekonomi baru mencuatsetelah terbitnya Stern Review pada awal 2007.1

Di dalam Review tersebut, Sir NicholasStern, ekonom kondang asal Inggris, menulis

Ekonomi Perubahan IklimDari Kegagalan Pasar MenujuEkonomi Rendah Karbon

Mubariq Ahmad

bahwa perubahan iklim diperkirakan akan me-nimbulkan kerugian ekonomi yang sangatberarti bagi dunia. Stern memperkirakannya

dalam skenario business as usualŽ (BAU) , yaitu�jika pemerintah negara-negara maju tidak ber-upaya menurunkan emisi gas rumah kaca(GRK) dan pemerintah negara-negara yangterkena dampak tidak melakukan upayaadaptasi, maka kerugian akibat perubahan iklimdapat mencapai 14 persen dari produk domes-tik bruto (PDB) global pada pertengahan abadke-21— jika semua nilai pasar dan nilai nonpasardiperhitungkan.

Stern juga menyampaikan hipotesis bah-wa biaya pencegahan kerusakan tersebut darisegi penurunan emisi GRK (disebut sebagaiupaya mitigasi perubahan iklim) berkisar -2persen (biaya negatif = manfaat) sampai 5persen dari PDB; jauh lebih murah dibandingbiaya kerusakan yang akan ditimbulkan oleh

1 Lihat, Nicholas Herbert Stern, The Economics ofClimate Change: The Stern Review (Cambridge:Great Britain Treasury, Cambridge UniversityPress, 2007).

Dari sudut pandang teori ekonomi, perubahan iklim terjadi karenakegagalan mekanisme pasar dalam menginternalisasi emisi gas rumahkaca (GRK), akibat sampingan dari produksi barang dan jasa yangmendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan umat manusia.Masyarakat internasional berusaha memperbaiki dengan mewajibkannegara-negara maju menurunkan emisi GRK melalui alih teknologi dan“ekonomi rendah karbon” (ERK). Bagi Indonesia yang pro-gowth, pro-�job dan pro-poor” , kesempatan ini perlu diselaraskan dengan urgensipenurunan tingkat kemiskinan dan kebutuhan ekonomi. Target penurunanemisi 26 persen, adalah langkah progresif sekaligus berisiko.

Page 40: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

39Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim

perubahan iklim jika pemerintah tidak me-lakukan tindakan. Dari segi pengurangan dam-pak dan penyesuaian kehidupan dalam situasiperubahan iklim yang diantisipasi (disebutupaya adaptasi), biayanya diperkirakan bisamencapai 0,5 persen dari PDB di negara-negaramaju yang tergabung dalam Organisation forEconomic Co-operation and Development(OECD). Karena itu, Stern merekomendasikanagar pemerintah di seluruh dunia menyikapimasalah perubahan iklim sebagai masalahekonomi, dan mulai mengambil langkah-langkah investasi secara serius untuk mengu-rangi tingkat kerugian ekonomi yang diantisipa-si. Adanya ketidakpastian dalam berbagai esti-masi biaya dan tingkat risiko yang beragam se-yogyanya memacu percepatan aksi pemerintah,bukan menjadikannya alasan untuk tidak berbuatapa-apa.

Kehadiran Stern Review juga membang-kitkan tuntutan baru terhadap ilmu ekonomi.Ilmu ekonomi dihadapkan pada sebuahtantangan unik untuk menjelaskan fenomenaperubahan iklim sekaligus memberi jawabanbagaimana mengatasi fenomena ini dari sisiekonomi. Sederet pertanyaan menggantungtidak hanya di kalangan awam tetapi juga dipihak pemerintah, terutama lembaga-lembagaterkait dengan perumusan kebijakan ekonomidan pembangunan. Di antaranya adalah ba-gaimana menghitung biaya mitigasi dan adapta-si terhadap perubahan iklim? Apakah setiapbangsa harus melakukan investasi sekaranguntuk mitigasi dan adaptasi suatu keadaan yangdiperkirakan “baru” akan terjadi di masa depan?Bagaimana menentukan prioritas investasiantara upaya mitigasi dan adaptasi, dan manayang dipilih di antara berbagai program?Apakah Indonesia seperti negara berkembanglainnya adalah korban atau justru ikut menjadipenyebab perubahan iklim? Apakah negaraberkembang harus ikut menanggung biayakerugian yang akan terjadi? Bagaimana jalurpembangunan ekonomi rendah karbon (ERK)dapat dijelaskan sebagai pilihan kebijakan eko-nomi dan pembangunan yang masuk akal untuk

masa depan? Bagaimana transisi menuju pem-bangunan ERK itu akan dibiayai? Jika perubah-an iklim adalah dampak dari kegagalan ekonomiberbasis pasar bebas, masih adakah peran pasardalam skenario kebijakan dan kegiatan ekonomidi masa depan?

Tulisan ini mencoba menjawab sebagianpertanyaan di atas dalam konteks Indonesiasebagai negara berkembang yang masih perlumembangun kesejahteraan masyarakat,sekaligus sebagai negara yang rentan terhadapdampak perubahan iklim dan sebagai penyum-bang emisi GRK. Sebagai penyumbang emisiGRK signifikan, Indonesia secara potensial jugadapat memberi sumbangan solusi global mela-lui mitigasi perubahan iklim. Tulisan ini akanmengulas secara ringkas konteks teoretisfenomena perubahan iklim dari sudut pandangekonomi, kesepakatan-kesepakatan KonvensiKerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsatentang Perubahan Iklim (United NationsFramework Convention on Climate Change;UNFCCC) yang relevan bagi Indonesia, konsepERK, isu biaya dan pendanaan investasi terkaitpenanggulangan perubahan iklim, serta sikapdan inisiatif Pemerintah Indonesia. Pada akhirtulisan dibahas berbagai tantangan yang di-hadapi Indonesia dalam upaya mewujudkan“ekonomi rendah karbon”.

Perubahan Iklim sebagaiFenomena KegagalanEkonomi Pasar

Gejala perubahan iklim mencakup kenaik-an suhu udara rata-rata secara global dan relatifcepat sejak manusia memasuki era industrial-isasi. Sebelum itu, bumi tidak pernah mengala-mi kenaikan suhu begitu cepat. Karena itu,gejala perubahan iklim tidak dapat dipisahkandari peningkatan kegiatan ekonomi umat ma-nusia—produksi dan konsumsi—terutama sejakmesin-mesin industri dan transportasi dite-mukan.

Dalam teori fisika, perubahan iklim terjadikarena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca

Page 41: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

40 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

di atmosfer bumi. Konsentrasi GRK meningkatkarena bertambahnya kegiatan ekonomi duniayang menimbulkan emisi GRK. Emisi GRKberasal dari dekomposisi biomassa tak terpakai(misalnya, sisa penebangan hutan dan sampahorganik), asap pabrik dan kendaraan bermotoryang mengandung CO , pertanian lahan basah2

yang mengeluarkan gas metana, dan berbagaiemisi gas berbahaya lainnya. Penumpukan danpeningkatan konsentrasi GRK di atmosfermenimbulkan efek rumah kaca, yaitumeningkatnya suhu udara permukaan bumikarena terkurungnya pantulan energi sinarmatahari.

Secara teori ekonomi, perubahan iklimterjadi karena emisi GRK adalah eksternalitasdari kegiatan ekonomi (produksi dan konsumsi).Disebut eksternalitas karena kerugian yangdiakibatkan oleh dampak emisi GRK tidakdiperhitungkan sebagai komponen biaya bagiprodusen maupun konsumen yang menim-bulkan emisi tersebut. Mekanisme pasar tidakdapat atau gagal memperhitungkan biaya ke-rugian tersebut dan tidak dapat membeban-kannya kepada pelaku emisi karena dampaknyabersifat tidak segera dan langsung. Bebandampak yang diterima seseorang tidak dapatdipisahkan dengan beban yang ditanggungorang lain, dan penyebabnya tidak dapat di-atribusikan secara spesifik kepada pelakutertentu. Dampak dan penyebab yang bersifatkolektif tidak memungkinkan pasar meng-alokasikan beban biaya dan membayarkannyakepada pihak yang terkena dampak. Karenaatmosfer tempat terkonsentrasinya GRK adalahmilik bersama secara global (global common) ,maka urusan pengalokasian beban tersebuttidak dapat diserahkan kepada satu pemerintahsaja. Karena itulah dunia membentuk UNFCCCsebagai global platform untuk menangani isuperubahan iklim. Dari kacamata ilmu ekonomi,UNFCCC dibentuk untuk melakukan berbagaipengaturan dan menciptakan institusi tingkatglobal yang menginternalisasi biaya kerugianakibat emisi GRK. Fakta bahwa berbagai risetdan konferensi telah digelar dengan biaya

sangat besar—dan hasilnya belum tuntas —menunjukkan bahwa dunia pantas dan bersediamembayar biaya transaksi untuk menciptakanpasar bagi upaya internalisasi eksternalitas yangdikhawatirkan dapat mengganggu kehidupanumat manusia di masa depan.

Dimensi Ekonomi dalamKesepakatan UNFCCC

Konvensi Kerangka Kerja PerserikatanBangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim(UNFCCC) adalah satu dari dua konvensiinternasional yang disepakati dalam EarthSummit atau Konferensi Lingkungan Hidup danPembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa(United Nations Conference on Environmentand Development/UNCED) di Rio de Janeiro,Brasil, pada 1992. Earth Summit juga menandai2

awal penggunaan instrumen ekonomi untukpenanggulangan masalah lingkungan hidupsecara global. Konvensi Kerangka Kerja Per-serikatan Bangsa-Bangsa Tentang PerubahanIklim memuat dua poin utama: (1) menstabilkankonsentrasi GRK di atmosfer pada tingkatperubahan iklim yang disebabkan oleh kegiat-an manusia; dan (2) memberi jalan bagi adapta-si ekosistem terhadap perubahan iklim tanpamemengaruhi produksi pangan, dan membukajalan bagi terwujudnya pembangunan ber-kelanjutan.

Dengan segala keterbatasannya sebagaiorganisasi multilateral yang berafiliasi denganPerserikatan Bangsa-Bangsa, UNFCCC me-rumuskan dan menetapkan berbagai aturan danmekanisme global untuk menangani perubahaniklim melalui kesepakatan yang dibangun olehpemerintah negara-negara peserta dan pe-nandatangan konvensi. UNFCCC menganutprinsip common, but differentiated� respons-ibility” sebagai cerminan dari pengakuan bahwaatmosfer adalah global common , dan adanya

2 Konvensi kedua adalah UN-CBD (United NationsConvention on Biological Diversity); lihat,www.cbd.org.

Page 42: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

41Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim

perbedaan kemampuan ekonomi di antara ne-gara-negara maju dengan negara-negara ber-kembang dalam upaya menanggulangi per-ubahan iklim.

Pada 1997, UNFCCC menyepakati Pro-tokol Kyoto yang mewajibkan negara-negaramaju mengurangi emisi kolektif GRK sampai 5persen dari level tahun 1990 yang harus dicapaipada tahun 2008-2012, dan mengizinkan per-dagangan karbon secara global melalui meka-nisme clean development mechanism (CDM).CDM memungkinkan negara-negara berkem-bang membangun perekonomian denganmenggunakan teknologi rendah karbon, danmenjual carbon credit yang dihitung berda-sarkan selisih emisi karbon antara teknologiyang digunakan dan teknologi alternatif yangtersedia, dan pembuktian penciptaan kredit itusebagai upaya tambahan (additionalities)terhadap apa yang memang sudah seharusnyadilakukan. Kredit karbon yang sudah diser-tifikasi ( certified emission reduction /CER )dijual kepada negara maju. Negara berkembangmendapat kompensasi dalam bentuk dana“pembangunan bersih”. Skema CDM juga me-mungkinkan penciptaan kredit karbon melaluiupaya penghutanan kembali ( reforestation ) danmenghutankan ( afforestation ). Secara teoretis,mekanisme ini diharapkan mendukung transisiteknologi industri di negara maju dan, terutama,di negara berkembang yang memerlukan danadan teknologi untuk mewujudkan pembangun-an berkelanjutan ( sustainable development ).Dalam pelaksanaannya, Protokol Kyoto meng-hadapi banyak kendala. Negara-negara besarseperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang,tidak meratifikasi protokol tersebut dan praktismenghambat implementasinya. China dan Indiamerupakan dua negara yang banyak meman-faatkan fasilitas CDM, khususnya dalam sektorkehutanan. Di Indonesia, hanya ada enamproyek CDM yang berjalan, dan tak satu punmenyentuh sektor kehutanan.

UNFCCC terus berupaya menuju pada ke-sepakatan global untuk menstabilkan konsen-trasi GRK di atmosfer pada level 450 ppm ( parts

per mi l l ion )CO e yang berasosiasi dengan2

kenaikan suhu rata-rata global sebesar 2 C (duao

derajat Celcius). Istilah 450 ppm CO e merujuk2

pada tingkat konsentrasi berbagai macam kom-posit GRK yang sepadan (ekuivalen) dengankonsentrasi 450 ppm gas karbon dioksida diudara bebas. Kenaikan suhu lebih dari 2 CO

diperkirakan akan menimbulkan kerugian eko-nomi sangat besar dan ketidaknyamanan bagiumat manusia. Sayangnya, pertemuan Confe-rence of Parties (sering disebut COP) ke-15negara-negara peserta UNFCCC di Kopen-hagen, Desember 2009, tidak juga mengha-silkan komitmen yang secara hukum mengikatnegara-negara anggota konvensi untuk men-stabilkan GRK pada level 450 ppm CO e.2

Copenhagen Accord, yang diharapkan menjadikesepakatan yang secara hukum mengikatdalam COP ke-16 UNFCCC di Meksiko padapenghujung 2010, hanya menyatakan tentangperlunya pembatasan kenaikan suhu sebesardua derajat Celcius tanpa disertai komitmenyang mengikat.

Copenhagen Accord, dari sisi positif, me-muat komitmen untuk mendaftarkan targetpenurunan emisi negara-negara maju dan aksimitigasi negara-negara berkembang hinggatahun 2020 pada akhir Januari 2010, dan mem-pertahankan Protokol Kyoto dengan memper-kuat komitmen penurunan emisi yang telahdicakup sebelumnya. Keberlanjutan ProtokolKyoto dianggap penting oleh negara berkem-bang sebagai kerangka kompensasi dan pen-danaan menuju teknologi bersih. Namun,negara-negara maju (dalam kategori UNFCCCdisebut Annex I) mempertanyakan keberlan-jutannya, karena Amerika Serikat belummeratifikasi Protokol Kyoto. Copenhagen Ac-cord juga mengusulkan pembentukan Co-penhagen Green Climate Fund di bawah oto-ritas UNFCCC dengan menghimpun modalsebesar US$ 30 miliar sampai dengan tahun2012, dan mobilisasi dana US$ 100 miliar pertahun pada 2020. Dana tersebut sangatdiperlukan untuk mendukung berbagai in-vestasi, baik untuk kegiatan mitigasi maupun

Page 43: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

42 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

adaptasi perubahan iklim. Dana ini juga akandigunakan untuk membangun mekanisme danmendukung pembiayaan transfer teknologi dan“REDD-plus” (Reducing Emissions fromDeforestation and Degradation), yaitu upayapenurunan emisi dari pengurangan penebangan( deforestation ) dan kerusakan hutan, termasukkompensasi untuk manfaat tambahan sepertikeanekaragaman hayati. Copenhagen Accordjuga memuat tentang perlunya mekanisme“MRV” ( measuring, reporting and verification ofemission reduction) yang koheren secarainternasional, terutama untuk kegiatan pe-nurunan emisi GRK yang menuntut kompensasidi luar negara bersangkutan.

Kesepakatan stabilisasi GRK setingkat 450ppm CO e memiliki implikasi ekonomi sangat2

luas, baik untuk negara maju maupun negaraberkembang. Negara-negara Annex I diwajib-kan menurunkan tingkat emisi GRK masing-masing ke tingkat emisi tahun 1990 melaluiperbaikan teknologi produksi dan efisiensi kon-sumsi. Negara-negara berkembang sepertiIndonesia masih diizinkan untuk meningkatkanemisi GRK-nya dalam rangka membangunkesejahteraan masyarakat, tetapi diharapkansegera mengadopsi teknologi climate-friendly(ramah terhadap iklim). Saat tingkat kesejah-teraan masyarakat negara berkembang menya-mai atau seimbang dengan masyarakat negaramaju, negeri-negeri berkembang wajib menu-runkan emisinya.

Secara teoretis ekonomi, UNFCCC bisamenetapkan beberapa mekanisme insentif yangdapat mendorong negara-negara maju dan ber-kembang mewujudkan kesepakatan itu secaraefisien. Untuk mempercepat penurunan emisi,negara-negara maju diizinkan membeli kreditemisi. Sebaliknya, negara-negara berkembangmendapat bantuan dana dalam bentuk hibah danutang serta transfer teknologi untuk memper-cepat pembangunan negara-negara ini. Untukmewujudkan pembangunan berkelanjutan disegala bidang, negara berkembang yangumumnya kesulitan pendanaan harus didoronguntuk mengadopsi teknologi climate-friendly

dalam setiap investasi baru yang berpotensimemengaruhi emisi GRK. Negara-negaraberkembang didorong untuk menumbuhkanperekonomian sambil menempatkan pertum-buhan ini dalam jalur yang ramah terhadap iklim.Suatu perekonomian yang memanfaatkan tek-nologi ramah iklim, yang sebagian besarberorientasi pada penurunan kadar karbon danGRK lain dalam kegiatan ekonomi, disebut“ekonomi rendah karbon”.

Berbagai mekanisme yang disepakati ditingkat UNFCCC dalam pelaksanaannya me-munculkan sejumlah kontroversi. Sebagiannegara berkembang menuding bahwa denganmengizinkan negara maju membeli kredit emisi(misalnya, carbon credit ), negara maju tidakakan serius dalam menurunkan emisi GRK-nya.Mereka khawatir kewajiban menurunkan emisihanya akan dipenuhi melalui mekanisme offsetkarbon. Dorongan agar negara berkembangmenciptakan kredit emisi untuk dibeli olehnegara maju dianggap akan melanggengkanketimpangan tingkat kesejahteraan antaranegara maju dan negara berkembang. Negaramaju dapat melanjutkan tingkat konsumsi yangsekarang dan mengompensasi emisi melaluipembelian kredit emisi, sedangkan negaraberkembang tidak bisa meningkatkan kese-jahteraan karena lahan yang dijadikan basisproduksi kredit emisi tidak dapat dibangun/digunakan secara produktif. Negara berkem-bang juga menuduh negara maju tidak seriusdalam melakukan transfer teknologi, sehinggamenyulitkan negara berkembang mentransisi-kan perekonomian ke jalur ERK.

Konsep Dasar EkonomiRendah Karbon danPeran Mekanisme Pasar

Ekonomi Rendah KarbonBagian ini mencoba menggambarkan

“ekonomi rendah karbon” dari berbagai sum-ber. Sayangnya, belum tersedia literatur yangmemadai sebagai referensi utuh mengenaisubjek ini. Stern Review , laporan Bank Pem-

Page 44: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

43Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim

bangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia yangmasing-masing memuat perspektif regional danglobal mengenai dampak perubahan iklim, sertaberbagai studi tentang “ekonomi hijau” dan ERKdi Indonesia turut mewarnai konstruksi ini.3

Stern Review mencoba menggugah parapemimpin dunia bahwa perubahan iklim bisamembawa risiko kerugian ekonomi sangatparah, dan karena itu perlu direspons dengankebijakan ekonomi. Dampak perubahan iklimmulai dirasakan di seluruh dunia. Bencana alamterkait dengan perubahan iklim, seperti banjirdan badai, makin sering terjadi dan meng-akibatkan kerugian amat besar, termasuk diInggris dan negara-negara Eropa. Suhu yangmemanas diperkirakan akan menurunkan pro-duktivitas pertanian pangan dan produktivitassektor perikanan, karena rantai makanan yangberpangkal pada terumbu karang rusak akibatpeningkatan suhu air laut. Dari sudut keter-sediaan sumber daya genetika dan produksipangan, banyaknya spesies yang akan punahmulai menimbulkan kekhawatiran tentang inte-gritas sistem pendukung kehidupan manusia dimasa depan. Pada dasarnya semua risiko ter-sebut mengarah pada isu ketahanan pangan( food security ) dan integritas lingkungan hidupyang berimplikasi luas pada kesejahteraanekonomi, serta kemungkinan terjadinya migrasibesar-besaran. Negara dan penduduk miskinadalah pihak pertama yang akan merasakandampaknya. Bank Dunia memperkirakan tigaperempat kerugian akibat perubahan iklimdalam skenario business as usualŽ akan� di-

tanggung oleh negara-negara berkembang.4

Perubahan iklim menghambat pertumbuhanekonomi karena penurunan produktivitas, danberpotensi merusak berbagai capaian pem-bangunan, misalnya infrastruktur.

Dalam kacamata ekonomi, kita dituntutuntuk menyadari bahwa emisi GRK adalah biangkeladi perubahan iklim di masa lalu yang se-nantiasa didorong oleh pertumbuhan ekonomi.Dalam visi ekonomi rendah karbon, stabilisasikonsentrasi GRK bisa (feasible) dilakukansecara konsisten dengan upaya menumbuhkanekonomi. Oleh karena itu, semua negara/pemerintah di dunia perlu memastikan apakahpembangunan ekonomi sudah berada pada jalurpertumbuhan rendah karbon. Setiap negeri,termasuk yang tidak memiliki kewajiban me-nurunkan emisi, perlu mengupayakan per-ubahan pendekatan kebijakan ekonomi danpembangunan agar dunia dapat menstabilkankonsentrasi GRK pada level 450 ppm CO e.2

“Dekarbonisasi ekonomi” (decarbonizing theeconomy) dapat dicapai secara bertahap olehnegara-negara maju dan berkembang. Untuknegara maju yang diwajibkan menurunkanemisi, dekarbonisasi dilakukan dengan meng-ganti teknologi industri dan produksi energimenjadi rendah karbon. Negara berkembangyang masih diperbolehkan menaikkan emisi,menggunakan teknologi rendah karbon untukbeberapa investasi baru. Pembangkit energilistrik, industri, dan transportasi dipercayasebagai tiga sektor utama penggerak per-ekonomian menuju ERK. Masyarakat kon-sumen perlu disadarkan akan dampak emisikarbon ( carbon footprint ) dari konsumsi dangaya hidupnya, serta diarahkan untuk me-ngonsumsi barang yang diproduksi denganemisi karbon minimum. Masyarakat produsenperlu dan harus merespons perubahan inidengan menonjolkan fitur rendah karbon padaproduknya, sehingga menjadi keunggulan kom-

3 Materi ini merupakan gabungan pemikiran dariberbagai referensi, antara lain, Stern, TheEconomics of Climate Change…; The World Bank,Development and Climate Change: World Deve-lopment Report 2010, 2009; Asian DevelopmentBank, Economics of Climate Change in SoutheastAsia: A Regional Review, 2009; Ministry ofFinance Republic of Indonesia, Indonesia GreenPaper: Economic and fiscal policy options forclimate change mitigation in Indonesia,2009;dan “The Economics of Biodiversity and Eco-system”, dalam Climate Change Update , 2009.

4 The World Bank, A Climate for Change in EastAsia and the Pacific: Key Policy Advice from WorldDevelopment Report 2010, 2009, hal. 2.

Page 45: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

44 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

petitif ( competitive advantage) baru. Pendekkata, ERK memerlukan reorientasi kebijakanekonomi pemerintah, pola produksi, dan polakonsumsi masyarakat.

Melanjutkan pembangunan ekonomi dalamjalur ERK berarti melakukan mitigasi per-ubahan iklim dengan mengurangi emisi GRK.Upaya mitigasi perubahan iklim sejalan dengankebutuhan pembangunan ekonomi, jika in-vestasi dilakukan pada sektor-sektor yang dinilaiakan menurunkan emisi GRK relatif terhadap“business as usual”. Produksi tenaga listrikdialihkan dari sumber berbasis fosil dan takterbarukan ke sumber-sumber terbarukanseperti panas bumi dan energi surya, mem-bangun industri baru dengan menggunakanteknologi lebih efisien dari sisi energi, meng-efektikan pengelolaan hutan lestari, menghen-tikan konversi hutan alam menjadi area per-untukan lain, mass-rapid transport dijadikantumpuan utama sistem angkutan nasional, me-mastikan dekomposisi lahan gambut dan sam-pah tidak mengeluarkan GRK. Semua potensikredit karbon yang tercipta dari proses transisimenuju ERK dapat menjadi sumber pendanaanitu sendiri, meski tidak sepenuhnya.

Transisi menuju ekonomi rendah karbonmulai diyakini sebagai kebijakan yang ber-manfaat bagi Indonesia, tidak hanya dalamjangka panjang. Beberapa studi ekonomi yangmencoba menelusuri dampak kebijakan ter-sebut mengindikasi hasil yang positif. Penerap-an pajak karbon, penghapusan subsidi bahanbakar minyak (BBM), pergeseran sumberpembangkit listrik menuju sumber terbarukanseperti panas bumi, peningkatan efisiensi pe-makaian energi di sektor industri, dan pene-rapan REDD, memungkinkan Indonesia dapatmencapai ERK dalam 20-30 tahun ke depan.Dalam proses transisi menuju ERK, beberapastudi mengindikasi Pemerintah Indonesia per-lu berhati-hati terhadap dampak perubahankebijakan tersebut pada distribusi pendapatandan tingkat kemiskinan antardaerah. Dalamkonteks kebijakan tertentu, seperti aplikasiREDD dan pengurangan subsidi BBM,

Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan me-kanisme kompensasi untuk sekelompok kecilmasyarakat yang mungkin terkena dampaknegatif temporer dari transisi itu.5

Kebijakan Pokok yang Diperlukandalam Transisi Menuju ERK

Dalam transisi menuju ERK, Stern menya-rankan tiga kebijakan yang perlu diterapkansecara bersamaan dan konsisten, baik di negaramaju maupun di negara berkembang.(a) Kebijakan Penetapan Harga Karbon (carbon

pricing) dan Pengembangan Pasar Karbon.Penetapan harga karbon — sesungguhnyamerupakan refleksi dari biaya internalisasiemisi — merupakan dasar utama kebijakanpro-iklim. Harga karbon dapat ditetapkanmelalui pajak, atau mewajibkan internali-sasinya melalui peraturan pemerintah.Tujuannya agar setiap orang menghadapikonsekuensi dari tindakan konsumsi dalambentuk biaya sosial penuh (full social cost)yang harus dibayar. Individu konsumen danpelaku bisnis akan menjauh dari produk/jasa dengan kadar karbon tinggi ke alter-natif yang lebih rendah karbon. Pemba-yaran atas harga karbon juga dapat menjadisumber pembiayaan untuk adopsi teknologirendah karbon.

(b) Kebijakan Teknologi Menuju Adopsi Tek-nologi Rendah Karbon dan Transfer Tek-nologi.Diperlukan kebijakan insentif bagi duniausaha dan konsumen untuk mengadopsi

5 Setidaknya dua studi berikut mengindikasikanmanfaat positif dari kebijakan transisi menuju“ekonomi rendah karbon”, jika diterapkan diIndonesia, yakni Ministry of EnvironmentRepublic of Indonesia, Padjajaran University, andStrategic Asia, Menuju Ekonomi Hijau: AlternatifStrategi Mencapai Pembangunan yang Pro-job,Pro-poor dan Pro-Environment (2009) (studi inimenggunakan model CGE statis) dan MubariqAhmad, Results of Low Carbon Economy Si-mulation Using Interregional Dynamic CGE Model(mimeograph, 2010).

Page 46: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

45Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim

teknologi rendah karbon, termasuk pe-ngurangan bea impor, pengurangan pajak,penetapan standar teknologi dan bahanbakar kendaraan bermotor, pembiayaaneksplorasi sumber-sumber energi rendahkarbon, akuisisi dan riset teknologi rendahkarbon, dan sebagainya. Idealnya negaraberkembang dapat mengaitkan keperluantransfer teknologi dengan pemanfaatanberbagai pendanaan untuk investasi menujuERK.

(c) Penghapusan Hambatan bagi PerubahanPerilaku.Mekanisme regulasi atau deregulasi dapatmemainkan peran penting dalam meng-hapus berbagai hambatan perubahan peri-laku, termasuk aturan mengenai otoritaskelembagaan pemerintah, biaya transaksi(misalnya, system design ) yang mahal,ketiadaan sistem informasi yang andal, atausekadar kekakuan dan resistensi organisasiuntuk berubah. Kebijakan informasi danedukasi publik dapat membantu banyakdalam hal ini.

PendanaanAda sejumlah tantangan yang dihadapi

negara-negara berkembang seperti Indonesiadalam membangun kapasitas dan sumber-sumber pendanaan untuk mentransisikan eko-nomi menuju ERK. Dari segi pendanaan telahbanyak berkembang inisiatif pendanaan untukkegiatan penanggulangan perubahan iklim, baikuntuk kegiatan mitigasi maupun adaptasi, sertapendanaan kegiatan pembangunan untuk men-transisikan perekonomian menuju ERK. Melaluihibah, pinjaman lunak, pinjaman setengah lunakdan bantuan penjaminan risiko serta mobilisasidana swasta, lembaga-lembaga keuangan mul-tilateral dan swasta internasional mencobamenawarkan berbagai fasilitas pendanaan ke-giatan investasi terkait dengan upaya negaraberkembang melakukan transisi menuju ERK.Clean Technology Fund (CTF), misalnya, me-nawarkan hibah dalam bentuk pengembanganrencana proyek pembangkit energi rendah

karbon (terutama geotermal), pinjaman in-vestasi sebagian modal dengan bunga 0,25persen per tahun untuk mengungkil ( leverage )pinjaman setengah komersial dan investasimodal swasta, pinjaman untuk menjamin risikoinvestasi swasta di sektor pembangkit listrikpanas bumi, serta pinjaman lunak untuk berbagaipembangkit energi terbarukan lain dalam ber-bagai skala ekonomis.

Kekhawatiran negara-negara berkembangakan mahalnya biaya investasi menuju ERKdirespons oleh lembaga keuangan multilateral,lembaga pembangunan bilateral dan swastainternasional dengan menawarkan kesempatantersebut. Negara berkembang yang tetap harusmembangun dengan atau tanpa terjadinya per-ubahan iklim (terutama di bidang infrastruktur)dihadapkan pada sebuah pilihan cukup pelik,terus menambah utang dengan memanfaatkanpinjaman lunak berembel-embel climate financeatau mengikuti posisi G77 (kelompok 77 negaraberkembang) yang mengatakan bahwa negaraberkembang sebagai korban seharusnya men-dapat bantuan hibah untuk menangani per-ubahan iklim, bukan berutang untuk ikut ber-kontribusi pada upaya mitigasi global dalamproses menuju ERK.

Apakah Transisi Menuju ERKMahal?

Selain ketersediaan pendanaan, kekha-watiran negara berkembang untuk segera mela-kukan transisi menuju ERK atau bahkan sekadarmemberi komitmen untuk melakukan mitigasidan adaptasi, adalah soal besarnya perkiraanbiaya dan ketidakpastian manfaat dari tindakanyang akan dilakukan.

Perkiraan biaya transisi menuju ERK, yangdisebut secara umum dalam Stern Review seba-gai biaya investasi mitigasi perubahan iklim,agar tercapai stabilisasi GRK sekitar 500-550ppm CO e berkisar di antara -2 persen sampai2

dengan 5 persen dari PDB dengan rata-rata 1persen. Dibandingkan dengan nilai PDB yangakan hilang seandainya pemerintah tidak me-lakukan tindakan, yaitu antara 5-7 persen jika

Page 47: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

46 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

hanya nilai pasar yang dihitung dan 11-14persen jika semua nilai nonpasar ikut dihitung,tentu saja secara ekonomis upaya mitigasimenjadi sesuatu yang sangat menguntungkanuntuk dilakukan. Bank Pembangunan Asiamenghitung bahwa untuk negara-negara AsiaTenggara, upaya mitigasi perubahan iklim dapatmenurunkan kerugian dari 6,7 persen menjadi3,4 persen dari PDB.6

Perkiraan biaya mitigasi atau biaya investa-si menuju ERK dapat menggunakan tigapendekatan. Pertama , memperkirakan biayaprogram, proyek, dan kegiatan, yang akanberdampak langsung pada penurunan emisi.Pendekatan mikro ini sangat bermanfaat untukmenentukan pilihan kebijakan relatif efisien( cost-effective ) terhadap dampak yang ingindicapai. Kedua, model ekonomi makro yangdapat memperkirakan dampak sebuah kebi-jakan terhadap perekonomian, baik sektoralmaupun regional, jika model yang digunakanmemuat variabel dan parameter yang relevan.Dalam pendekatan macro modeling yang sangatmenuntut ketersediaan data ini, biaya mitigasidapat diidentifikasi dalam dua bentuk: biayauntuk melakukan perubahan yang diinginkandan kemungkinan kerugian yang ditimbulkan ditingkat regional dan sektoral. Model keseim-bangan umum atau computable general equil-ibrium model (CGE) berbasis antarregionalsocial accounting matrix (SAM) dapat digunakanuntuk melacak dampak berbagai pilihan kebi-jakan mitigasi terhadap sektor perekonomian,distribusi biaya/manfaat antardaerah, danusulan kebijakan mitigasi/adaptasi terhadaptingkat kemiskinan. Ketiga, menggunakan biayamarginal berupa tambahan biaya mitigasi yangharus dikeluarkan untuk setiap tambahan pe-nurunan emisi GRK, dan membandingkannyadengan biaya sosial karbon per ton. Pendekatanini menghasilkan perbandingan antara biaya danmanfaat per unit tambahan penurunan emisidalam jangka waktu tertentu. Selisih antara nilai

sekarang (present value) dari biaya sosialkarbon dan biaya untuk tambahan per tonpenurunan emisi selama periode analisis me-rupakan manfaat dari upaya mitigasi yangdilakukan.

Walaupun ketiga pendekatan itu mema-sukkan angka dari perspektif yang berbeda,semua perkiraan biaya investasi untuk mitigasiper tahun mengerucut (converging) ke nilairata-rata 1 persen dari PDB. Angka terendahdalam jangkauan estimasi menunjukkan biaya -2% (minus dua persen) dari PDB yang berartiupaya mitigasi menghasilkan manfaat positif,bukan tambahan beban biaya, bagi pereko-nomian. Misalnya, alih teknologi produksi dalamindustri yang menggunakan energi secaraintensif menuju mesin-mesin yang lebih efisiendalam penggunaan energi.

Berbagai studi, termasuk yang dikerjakanBank Dunia dan ADB, menganjurkan langkahmenuju ERK dilakukan melalui kebijakan mi-tigasi dan adaptasi. Sektor kehutanan, energi,dan pertanian disarankan sebagai sektor utamayang masuk dalam upaya mitigasi, sementarasektor pertanian, kehutanan, pengelolaan airtawar, pengelolaan kelautan dan pesisir, ke-sehatan dan prasarana adalah sektor-sektoryang perlu diprioritaskan untuk upaya adaptasi.Sektor-sektor unggulan ini diajukan berdasarkanprakiraan efisiensi dan keefektifan (cost-effec-tiveness) dalam mencapai target mitigasi atau-pun adaptasi.

Dari semua usulan tersebut, sektor ke-hutanan muncul sebagai sektor berpotensipaling tinggi sebagai “ low hanging fruitŽ dalamupaya mitigasi. Mitigasi di sektor kehutanan,khususnya dengan menghentikan konversihutan menjadi kawasan peruntukan lain, me-rupakan langkah paling efektif dan murah.Negara-negara yang memiliki hutan alam,terutama negara berkembang, menjadi targetpengembangan program dan proyek REDDyang berorientasi menciptakan kredit karbon

dari hutan dan menjualnya sebagai sarana offsetbagi emisi di negara maju. Pada satu sisi,negara-negara maju dan industri berkepen-

6 Asian Development Bank, Economics of ClimateChange ƒ, hal. 89.

Page 48: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

47Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim

tingan mendorong penciptaan kredit karbonmurah untuk keperluan offset , setidaknya dalamjangka pendek. Di sisi lain, negara berkembangdihadapkan pada sebuah dilema antara ke-butuhan untuk mendapatkan dana pengelolaanhutan secara lestari dan keengganan untukmenjadikan hutan sebagai carbon sink bagiemisi negara maju. Kelompok negara berkem-bang khawatir mekanisme offset tidak men-dorong kesungguhan negara maju untuk me-nurunkan emisi industrinya.

Peran Pasar dalam ERKUntuk menuju “ekonomi rendah karbon”,

beberapa pasar perlu memainkan peran secaraefektif. Pasar yang dimaksud adalah pasarkarbon, teknologi rendah karbon, produk ren-dah karbon, dan pasar finansial. Dengan katalain, ekonomi rendah karbon yang terciptasebagai reaksi atas kegagalan pasar — meng-atur eksternalitas emisi GRK dari kegiatanproduksi — melalui berbagai “regulasi” di bawahpayung UNFCCC justru menghasilkan empatpasar pendukung.

Pasar karbon mengambil peran sebagaibasis ERK dengan mendorong efisiensi daninternalisasi emisi GRK dalam kegiatan industri.Pasar ini memfasilitasi pelaksanaan aturan yangmewajibkan internalisasi GRK. Pasar teknologirendah karbon terkait dengan pengadaan dantransfer teknologi rendah karbon, baik di sektorhulu (pembangkit tenaga listrik) maupun disektor hilir (industri manufaktur). Sementarapasar produk rendah karbon merupakan sara-na penjualan dan promosi produk yangdiproduksi dengan fitur berkarbon rendah.Terakhir, pasar finansial berperan dalam pen-danaan kegiatan produksi dan konsumsi barangdan jasa rendah karbon.

Dalam perkembangan kemudian, berbagairegulasi di bawah UNFCCC telah melahirkanpasar karbon dan pasar yang terikat denganaturan tertentu ( regulated market ). Di sisi lain,lahir pasar karbon dan pasar finansial sukarela(voluntary market), karena kesempatan bisnisyang tercipta dari adanya kewajiban negara ma-

ju dan dunia industri untuk menurunkan emisi,antisipasi keuntungan sebagai pengadopsi awal(early adopter), dan antisipasi keuntungan pa-sar karbon yang berasal dari penciptaan kreditkarbon. India dan China, misalnya. Denganantisipasi fitur rendah karbon pada produksebagai keunggulan kompetitif baru di masadepan, India dan China aktif mendorong per-tumbuhan sektor energi dan sektor industrimanufaktur rendah karbon (termasuk industriteknologi pembangkit energi alternatif sepertienergi surya), meskipun kedua negeri ini tidakselalu menyetujui kesepakatan-kesepakatanUNFCCC. Celah bisnis itu juga banyak di-manfaatkan oleh carbon cowboys , yaitu parabroker dan investor. Mereka berhamburan daribeberapa negeri maju datang ke negara-negaraberkembang untuk mencari, memberi dana, danmenjadi “calo” pengembangan proyek-proyekkarbon kredit.

Secara keseluruhan, keempat pasar ter-sebut akan tumbuh berkembang sesuai denganpergerakan insentif yang tercipta di dalam pa-sar masing-masing. Kebijakan pemerintah danpergeseran perilaku masyarakat dapat memper-kuat dan mempercepat pertumbuhan pasar-pasar itu.

Kesempatan Indonesia MenujuERK dan Target PenurunanEmisi 26 Persen

Indonesia memiliki banyak kesempatanuntuk meletakkan pembangunan ekonomi kedalam jalur pertumbuhan “ekonomi rendahkarbon”. Pemerintah menyikapi kesempatan itusecara cukup cerdik dengan menegaskan bah-wa prinsip utama pembangunan Indonesiaadalah pro-growth, pro-job, pro-poorŽ� (pro-pertumbuhan, propenciptaan lapangan kerja,dan propenghapusan kemiskinan), dan menyin-kronkan semua beban tambahan pembangunandengan prinsip itu. Sejak 2007, PemerintahIndonesia melalui peran aktif Menteri Keuang-an mengambil posisi penting di lingkunganUNFCCC dalam konteks kebijakan perubahan

Page 49: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

48 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

iklim terkait dengan pembangunan ekonomi.Pemerintah Indonesia membuka diri bagi se-mua donor, baik multilateral, bilateral maupunswasta internasional, untuk membantu memi-kirkan kebijakan ekonomi dan pembangunanIndonesia menuju ERK. Beberapa studi telahdilakukan atas nama kerja sama dengan be-berapa donor bertajuk low carbon economystudies, green economy, climate friendly eco-nomy, dan sebagainya. Pemerintah Indonesiajuga terlihat memanfaatkan momentum pe-rumusan kebijakan perubahan iklim itu untukmelakukan konsolidasi internal dengan meng-upayakan sinkronisasi kebijakan, meski belummencapai tingkat yang diharapkan, dan ko-ordinasi antarkementerian terkait.

Sejak menjadi tuan rumah COP-13 UN-FCCC di Bali, Desember 2007, Indonesiamenjadi garda depan kepentingan negara-ne-gara berkembang dalam bidang kehutanan danpendanaan pembangunan terkait perubahaniklim, masing-masing melalui peran PresidenSusilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Ke-uangan. Pemerintah membentuk Dewan Na-sional Perubahan Iklim (DNPI) pertengahan2008, menetapkan Rencana Aksi Nasional Per-ubahan Iklim, mengesahkan Undang-UndangPerlindungan dan Pengelolaan LingkunganHidup No. 32/2009, memublikasikan dokumenSecond National Communication tentang per-ubahan iklim, mendirikan Indonesia ClimateChange Trust Fund, dan memublikasikan Indo-nesian Sectoral Roadmap to Climate Change.

Di bidang pendanaan, Indonesia mulai me-manfaatkan berbagai mekanisme dan fasilitaspendanaan yang disusun negara-negara donoruntuk mendukung implementasi berbagaikesepakatan UNFCCC. Indonesia juga mulaimengakses dana Forest Carbon PartnershipFund (FCPF) untuk persiapan implementasiREDD, Clean Technology Fund (CTF) untukmendorong investasi pembangkit energi panasbumi, dan Forest Investment Program (FIP)untuk investasi revitalisasi sektor kehutanan.Dibantu IFC dan ADB, Pemerintah Indonesiaberusaha menggalang modal swasta agar

melakukan investasi dalam infrastruktur de-ngan teknologi rendah karbon, khususnya pem-bangkit listrik panas bumi. Untuk menutupdefisit umum anggaran pendapatan dan belanjanegara (APBN), pemerintah telah meminta“ climate change program loanŽ dari AFD(Pemerintah Perancis), JICA (PemerintahJepang), dan Bank Dunia, dengan jumlah totalUS$ 1 miliar. Pinjaman ini tidak ditujukan untukmembiayai proyek tertentu, namun pemerintahmemberi komitmen untuk menyelesaikan se-rangkaian kebijakan dan langkah terkait denganupaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Kebijakan paling akhir Pemerintah Repu-blik Indonesia adalah komitmen untuk ber-kontribusi pada mitigasi perubahan iklim global.Indonesia bersedia menurunkan emisi sebesar26 persen dari prakiraan emisi skenario“ business as usual ” tahun 2020 dengan danasendiri, dan dapat menurunkan sampai 41persen jika mendapat bantuan internasional.Komitmen tersebut disampaikan PresidenSusilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat G20di Pittsburgh, Amerika Serikat, September2009, dan diulang kembali dalam pidatonya diCOP-15 UNFCCC Kopenhagen, Denmark,Desember 2009. Sejalan dengan CopenhagenAccord , komitmen ini telah didaftarkan secararesmi sebagai Voluntary Emission Reductionkepada UNFCCC, 31 Januari 2010. Dalam pi-dato tersebut, Presiden Susilo BambangYudhoyono menyampaikan komitmen Indone-sia untuk mewujudkan “ekonomi rendah kar-bon”. Kebijakan adaptasi terhadap perubahaniklim, meski disebut dalam pidato itu, tidak di-tampilkan sekuat komitmen melakukan miti-gasi. Setelah itu, Pemerintah Indonesia berusa-ha mengarusutamakan kebijakan perubahaniklim dengan memadukan target penurunanemisi 26 persen dan dokumen roadmap kedalam dokumen Rencana Pembangunan Jang-ka Menengah 2010-2014 dan prioritas kerja pe-merintah untuk 2010 (Inpres 1/2010).

Kebijakan penurunan emisi sebesar 26persen dari “ business as usualŽ 2020 ini diang-gap sangat progresif oleh dunia internasional

Page 50: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

49Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim

dan memberi Indonesia sebuah posisi me-nguntungkan dalam kompetisi meraih dana-dana pembangunan terkait dengan perubahaniklim. Namun, sebagian tokoh informal dalamkomunitas organisasi nonpemerintah (ornop)mempertanyakan mengapa pemerintah lebihmemprioritaskan aksi menurunkan emisi yangtidak wajib dilakukan oleh negara berkembangdengan pembiayaan begitu besar, sementaralangkah-langkah adaptasi yang sangat dibu-tuhkan masyarakat tidak mendapatkan per-hatian yang setara.

Sejauh ini, pemerintah telah mendorongpengembangan kebijakan adaptasi di tingkatsektoral dengan upaya integrasi yang minim.Setiap sektor berusaha membangun penilaiandan peta kerentanan ( vulnerability assessmentand map) dan merumuskan program adaptasimasing-masing secara terpisah, atau mengait-kan program yang ada dengan keperluan adap-tasi. Beberapa kementerian yang menanganiurusan bencana alam terkait iklim, KementerianKelautan dan Perikanan, misalnya, mulai mem-bangun kerja sama dengan Badan NasionalPenanggulangan Bencana serta Badan Me-

teorologi, Klimatologi dan Geofisika. Untukkehidupan masyarakat Indonesia yang sangattergantung kondisi alam, dan perekonomianberbasis sumber daya alam, upaya adaptasiperlu memprioritaskan pengembangan eco-system-based adaptation serta peningkatanketahanan ekosistem ( ecosystem resilience)yang secara tidak langsung memiliki manfaatmitigasi. Rehabilitasi lahan gambut atau hutanbakau yang rusak, misalnya, memberi manfaatadaptasi sekaligus mitigasi, di samping dampakkenaikan produktivitas sumber-sumber eko-nomi juga akan muncul dari ekosistem yangmenjadi lebih baik ini. Sektor pertanian yangsangat tergantung pada iklim khususnya perlumendapat prioritas. Pengembangan dan so-sialisasi Kalender Tanam Berbasis Iklim danprogram Sekolah Iklim Lapangan merupakanbeberapa langkah positif. Riset mengenaipeningkatan produktivitas pertanian padi jugadiperlukan untuk mengatasi risiko penurunanproduktivitas pertanian akibat perubahan iklimyang diperkirakan dapat mencapai 50 persen.7

Tabel 1. Profil Emisi Indonesia 2005 dan 2020 dengan Skenario Penurunan Emisi(dalam giga ton)

Sektor

Lahan gambut

Sampah

Kehutanan

Pertanian

Industri

Transportasi

Energi

Total

Emisi2005

0,83

0,17

0,65

0,05

0,05

-

0,37

2,12

BAU2020

1,09

0,25

0,49

0,06

0,06

-

1,00

2,95

GigaTon

0,280

0,048

0,392

0,008

0,001

0,008

0,030

0,767

% dariBAU

9,5

1,6

13,3

0,3

0,0

0,3

1,0

26

GigaTon

0,057

0,030

0,310

0,003

0,004

0,008

0,010

0,422

% dariBAU

2,03

1,07

11,02

0,11

0,14

0,28

0,36

15,01

Skenario26%

0,81

0,20

0,10

0,05

0,06

(0,01)

0,97

2,18

Skenario41%

0,75

0,17

(0,21)

0,05

0,06

(0,02)

0,96

1,76

Targetpenurunanemisi 26%

ProfilEmisi

Targettambahanpenurunanemisi 15%

ProfilEmisi 2020

7 Lihat, Stern, The Economics of Climate Changeƒ

Page 51: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

50 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

Secara keseluruhan, Indonesia memerlukanstrategi adaptasi nasional yang terintegrasidengan prioritas dan mekanisme pendanaanyang jelas.

Untuk menuju implementasi komitmentarget penurunan emisi sebesar 26 persen dari“ business as usual” 2020, pemerintah meng-gunakan pendekatan emisi neto ( net emission )sebagai basis perhitungan reduksi emisi danmenetapkan sektor-sektor yang akan memberikontribusi pada pencapaian target penurunanitu. Empat sektor utama yang diharapkan mem-beri kontribusi terbesar adalah kehutanan,pengelolaan lahan gambut, energi, dan pe-ngelolaan sampah. Tiga sektor lain yang di-harapkan ikut menyumbang adalah pertanian,transportasi, dan industri. Saat artikel ini ditulis,rencana implementasi sektoral belum tuntasdan dasar hukum pelaksanaannya berupa Per-aturan Presiden belum ditetapkan.

Dari informasi yang tersedia, target penu-runan emisi 26 persen dari skenario “ businessas usual” akan mentransisikan tingkat emisineto Indonesia sebagaimana tampak dalam

Tabel 1 dan Diagram 1. Tingkat emisi yang akanterjadi pada 2020 hampir sama dengan tingkatemisi 2005. Dengan penurunan sebesar 41persen, sektor kehutanan berpotensi menjadipenyerap emisi neto. Distribusi beban penca-paian target penurunan emisi tersebut – dalampersentase — dapat dibandingkan dengandistribusi emisi pada kondisi awal tahun 2005dengan kondisi akhir tahun 2020. Terlihatdistribusi beban penurunan emisi tidak ber-asosiasi dengan potensi penurunan atau titikawal kondisi emisi tahun 2005. Pola distribusidan hasil akhir skenario penurunan emisi 41persen tampak tidak jauh berbeda dengangambar penurunan emisi 26 persen di bawahskenario BAU 2020.

Kita juga dapat melihat target penurunanemisi 26 persen dari BAU 2020 berkaitan eratdengan penyusunan APBN untuk lima tahun kedepan. Beberapa rencana besar, seperti pe-ngembangan pembangkit listrik panas bumiyang jelas merupakan bagian dari strategi me-nuju ERK, tidak dimasukkan sebagai komitmenuntuk mencapai target 26 persen penurunan

Diagram 1. Profil Sektoral Tahun 2005 dan 2020 dengan Skenario Business asUsual , PenurunanEmisi 26 persen dan 41 persen

Page 52: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

51Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim

emisi, karena hasilnya baru akan terlihat tigatahun sebelum masa komitmen berakhir. Ter-buka peluang bagi pemerintah untuk mema-sukkannya ke dalam target 41 persen yangakan dicapai dengan bantuan internasional.Beberapa proyek besar pembangkit energipanas bumi memiliki banyak kesempatan untukitu. Proyek tersebut memang memerlukanbantuan pendanaan investasi dari luar negeri,

karena sektor finansial dalam negeri yang tidakterlalu berminat dan keterbatasan dana.

Walaupun terlihat konvergensi kuat di ka-langan pemerintah dalam sektor-sektor yangmenjadi prioritas penurunan emisi, informasi diatas menunjukkan bahwa ada tiga isu yang perludicermati terkait implementasi target penu-runan emisi. Pertama, penggunaan konsep netemission berpotensi merancukan kegiatan

Diagram 2. Distribusi Potensi, Beban Penurunan Emisi Sektoral dan Hasil Akhir 2020

Page 53: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

52 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

penurunan emisi dengan kegiatan perampasan( sequestration ) karbon. Konsep emisi netomemungkinkan pemerintah melanjutkan kon-versi hutan alam menjadi area peruntukan lain,seraya melakukan penanaman kembali hutanyang ditargetkan 500.000 hektar per tahun. Halserupa juga dijumpai di sektor energi. Peme-rintah berkomitmen meneruskan pembangun-an 2 x 10.000 MW pembangkit listrik berbahanbakar batu bara, yang cenderung meningkatkanemisi, sambil menggenjot pembangunan sum-ber energi altenatif nonfosil. Kedua, keterkaitanantara program/kegiatan yang diusulkan de-ngan penurunan emisi sektor bersangkutan.Perlu dicermati apakah program riset – yangberguna untuk tujuan lain tetapi tidak menu-runkan emisi – serta program monitoring yangdimasukkan tidak terkait langsung dengan ke-giatan penurunan emisi. Ketiga , distribusi bebansektoral terkait dengan basis emisi sebelumkomitmen, potensi penurunan, dan cost-effectiveness dari APBN. Idealnya, programyang dipilih sebagai sarana untuk mewujudkankomitmen tersebut mencerminkan rasionalitasekonomi dan keseriusan mendukung imple-mentasi komitmen politik presiden.

Catatan Penutup

Apakah Indonesia on the right track to lowcarbon economy? Penulis secara optimis me-ngatakan: “Ya”. Pucuk pimpinan kebijakanekonomi di tingkat pusat kelihatannya seriusmengantar Indonesia bergerak menuju ERK.Apakah semangat yang sama juga terlihat ditingkat pimpinan sektoral dan daerah? Belummerata. Perlu disadari bahwa pada tahap im-plementasi, seluruh kebijakan tersebut akandiimplementasikan dalam bentuk program-

program di tingkat sektor dan daerah. PresidenSusilo Bambang Yudhoyono perlu upaya khu-sus untuk meyakinkan seluruh jajaran menteridan kepala daerah tingkat I bahwa bergerakmenuju ERK akan menguntungkan seluruhmasyarakat Indonesia. Indonesia dapat meman-faatkan berbagai tawaran/bantuan internasionaluntuk membangun ketahanan masyarakat danperekonomian dalam menghadapi gejala peru-

bahan iklim, serta membangun product competi-tiveness untuk pasar di masa depan. Pemerintahperlu menyinkronkan pelbagai aturan agarsemua yang diinginkan dalam ERK dan targetpenurunan emisi tercapai.

Tanpa bermaksud buruk sangka, penulisingin mengutip pepatah yang mengatakan“devils are in details”. Kebijakan progresif ditingkat atas sering kali mentah dan salah kaprahketika diterapkan dalam bentuk program danproyek di lapangan. Indonesia menghadapibanyak tantangan internal terkait dengan tatakelola (governance) dan kepentingan kelompokyang mendapat keuntungan dari kondisi statusquo. Kecanggihan dalam memelintirŽ konsep�kebijakan yang semula bagus menjadi tidakberarti apa-apa juga cukup terkenal. Ketikakegiatan menurunkan emisi dirancukan dengankegiatan mensekuestrasi karbon, misalnya,pemerintah sebenarnya tengah membangunrisiko dengan melemahkan atau menggembositarget-target yang sudah ditetapkannya sendiri.Ketika ambisi dilipatgandakan, karena semangat

rent seeking atau terpancing dengan iming-imingjaminan pendanaan APBN, capaian target punmenjadi tanda tanya. Perlu kecermatan tinggiuntuk memastikan apakah program dan proyekyang diajukan memiliki kontribusi pada targetpenurunan emisi benar-benar mengantar pe-merintah pada tujuan yang diinginkan.•

Page 54: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Ekat modern. Selain untuk memasak,

nergi merupakan salah satu kebutuh-an dasar dalam kehidupan masyara-

energi juga diperlukan untuk penerangan,mengerakkan peralatan, dan mobilitas dari sa-tu tempat ke tempat lain. Hingga saat ini se-bagian besar kebutuhan energi dunia dipenu-hi oleh energi fosil, berupa minyak bumi, gasbumi, dan batu bara. Pada 2007, ketiga jenisenergi itu menyumbang lebih dari 81 persenpasokan energi dunia.1 Di Indonesia, energifosil menduduki 74 persen kebutuhan energipada 2007 dan naik menjadi 79 persen pada

Energi Rendah EmisiMasalah Teknologi, Ekonomi, atau Politik?

Asclepias Rachmi Soerjono Indriyanto

2008.2 Selain energi fosil, penggunaan kayubakar dan sampah untuk energi dengan carapembakaran sederhana cukup banyak dijumpaidi negara-negara berkembang. Gabungan ener-gi fosil dan energi biomassa konvensional ter-sebut mencakup 91 persen dari penggunaanenergi dunia dan 97 persen di Indonesia.

Penggunaan energi meningkat seiring de-ngan pertambahan jumlah penduduk, pertum-buhan ekonomi, dan perubahan gaya hidup.Kebutuhan energi dunia diperkirakan naik 40persen dalam kurun 2007-2030; energi fosilmengisi 77 persen dari kenaikan kebutuhan

Untuk menjaga kehidupan makhluk bumi perlu upaya bersamamenurunkan emisi gas rumah kaca atau mitigasi melalui efisiensi dankonservasi energi, serta penggunaan energi rendah emisi. Bagaimanamendapatkan energi dan teknologi rendah emisi terjangkau secara luas,sementara anggaran dan kemampuan sumber daya terbatas? Masalahketersediaan (availability), akses (accessibility), daya beli (affordability) danpenerimaan lingkungan (acceptability) atas penyediaan maupun peng-gunaan energi adalah bagian tak terpisahkan dalam kebijakan energi.Adaptasi perlu mendapat perhatian besar dan tidak dapat ditunda-tundaagar sejalan dengan tujuan mencapai ketahanan energi dan pertumbuhanekonomi berkelanjutan.

1 International Energy Agency, “Key World Ener-gy Statistics 2009”, dalam http://www.iea.org/textbase/nppdf/free/2009/key_stats_2009.pdf(diakses pada 19 November 2009).

2 Lihat, Departemen Energi dan Sumber DayaMineral Republik Indonesia, Handbook of EnergyEconomic Statistics Indonesia 2009 (Jakarta:Pusat Informasi Energi Departemen Energi danSumber Daya Mineral, 2009).

Page 55: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

54 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

energi tersebut. Dominasi penggunaan energi3

fosil dan teknologi pemanfaatannya saat inimerupakan salah satu penyebab naiknyakonsentrasi gas rumah kaca (GRK), mening-katnya temperatur udara di permukaan bumi,dan berbagai dampak negatif lainnya. Negara-negara maju merupakan pengguna energi fosilterbesar. Mereka berkewajiban mengurangiemisi, namun sulit mengimplementasikankarena khawatir dengan besarnya biaya eko-nomi dan sosial yang akan ditanggung, sertakesulitan mengubah gaya hidup. Di sisi lain,kenaikan penggunaan energi di masa depan“berpindah” ke negara-negara berkembang, ka-rena jumlah populasinya yang besar, laju per-tambahan penduduk yang pesat, serta polaperkembangan ekonomi dan gaya hidup yangsenantiasa mengacu pada negara-negara maju.

Upaya merespons perubahan iklim meli-batkan persoalan jauh lebih kompleks baginegara berkembang. Berbagai teknologi danpendekatan baru untuk membatasi dan me-ngurangi GRK cenderung meningkatkan biayapenyediaan energi dan akses infrastruktur.Keterbatasan dana dan sumber daya lain selalumerupakan kendala besar pun sebelum me-ruyaknya isu perubahan iklim. Dengan demi-kian, bila tidak ada perubahan berarti, negara-negara di dunia tetap bergantung pada energifosil untuk menunjang kehidupan masyarakatdan memutar roda perekonomian hingga be-berapa dekade mendatang.

Para ilmuwan telah mengidentifikasi ber-bagai dampak negatif dan kemungkinan ben-cana katastropik yang akan muncul bila kondi-si itu terus berlanjut. Sesungguhnya banyakcara yang dapat dilakukan untuk mengatasimasalah itu. Namun, proses untuk mencapaikesepakatan di tingkat global masih terus ber-langsung, sehingga hasil yang ingin dicapai bi-sa dikatakan belum banyak berarti. Sementara

itu, data serta peningkatan kemampuan ana-lisis para ahli menunjukkan percepatanmemburuknya berbagai indikator penting bagikehidupan makhluk bumi, baik bersifat lokalmaupun global.

Bagian pertama tulisan ini mengupas hu-bungan di antara penggunaan energi dengankenaikan temperatur udara dan perubahan ik-lim bumi, serta upaya-upaya untuk mengubahpola hubungan tersebut. Bagian kedua mem-bahas isu energi rendah emisi dalam konteksnegara berkembang. Untuk itu diperlukan ke-rangka berpikir adaptasi dan mitigasi secarabersamaan agar upaya penanggulangan dam-pak perubahan iklim dapat berjalan seiring de-ngan tujuan menyejahterakan penduduk.Bagian terakhir menggarisbawahi pentingnyakeikutsertaan semua pihak dalam tugas besaritu, baik dalam tingkat nasional maupuninternasional. Kerja sama dalam berbagaibidang dan hubungan saling menguntungkanmerupakan kebutuhan bersama umat manusiadi bumi ini.

Energi dan Perubahan Iklim

Jenis energi yang dipakai, termasuk caradan pola penggunaannya, berkontribusi besarpada konsentrasi GRK yang ada sekarang be-serta konsekuensinya yang amat serius.Bahan-bahan dasar energi fosil adalah berba-gai jenis rantai hidrokarbon. Teknologi peman-faatannya sebagian besar melalui proses pe-manasan atau pembakaran untuk menghasil-kan energi. Selain energi, proses tersebut ju-ga menghasilkan berbagai limbah termasuksejumlah senyawa karbon yang terlepas keatmosfer dan menjadi bagian dari GRK. Meskibukan satu-satunya penyebab, penggunaanenergi fosil dan biomassa konvensional dalamkegiatan sehari-hari terkait erat dengan me-ningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer bumi,yang merupakan salah satu penyebab naiknyatemperatur udara.

Pada 2007, konsentrasi GRK ekuivalendengan 430 ppm ( parts per million CO ), naik2

3 International Energy Agency, “World EnergyOutlook 2009 Fact Sheet”, dalam http://www.worldenergyoutlook.org/docs/weo2009/fact_sheets_WEO_2009.pdf (diakses pada 22Maret 2010).

Page 56: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

55Asclepias Rachmi, Energi Rendah Emisi

dari 280 ppm sebelum era Revolusi Industri.Perubahan ini paralel dengan kenaikan tem-peratur udara sekitar 0,5 derajat Celcius dipermukaan bumi dalam kurun waktu tersebut.Para ilmuwan memperhitungkan bila pola itutidak berubah, kemungkinan besar konsentrasiGRK pada 2035 akan naik dua kali lipat darikondisi sebelum Revolusi Industri, yang akanmemicu kenaikan temperatur udara lebih dari20 C. Bila berlanjut, suhu global akan naikmenjadi lebih dari 5 C pada 2050; konsentrasi0

GRK naik tiga kali lipat dibanding kurun waktusebelum Revolusi Industri.4

Kenaikan temperatur mulai dirasakan saatini, di antaranya perubahan pola dan curahhujan serta timbulnya iklim ekstrem. Kerugianbesar termasuk hilangnya nyawa dan hartabenda bermunculan di berbagai tempat.Semakin sering terjadi bencana dan semakinluas wilayah yang terkena, semakin besar dam-pak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Disamping itu, kenaikan suhu global yang takterkendali berdampak pada perubahan geofisikbumi dan menciptakan malapetaka tak terperibagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya.

Saat ini berlangsung berbagai upaya untukmencapai kesepakatan global dalam rangkamenjaga kenaikan temperatur tidak melebihi 20

C, konsentrasi GRK berada pada 450 ppm, danmengurangi 50 persen emisi pada 2050. Siapaharus melakukan apa, dan bagaimana hubunganantarnegara serta para pelaku di dalamnya,masih diperdebatkan dalam dialog global yangalot. Selama ini negara-negara maju merupakanpengemisi GRK terbesar, namun negara-negaraberkembang juga diperkirakan penyumbangemisi ( polluters ) besar dalam waktu dekat.

Sebagai pihak yang menghasilkan GRKterbanyak, negara-negara yang masuk dalam

daftar Annex I Protokol Kyoto wajib menu-runkan laju dan jumlah emisi GRK-nya. Selainupaya mitigasi di negara masing-masing,mereka masih dimungkinkan menjalin kerjasama dengan negara-negara berkembangmelalui skema Clean Development Mechanism(CDM).

Banyak negara berkembang yang melihathal tersebut sebagai peluang untuk menda-patkan dana tambahan pembangunan ikut mem-fokuskan upaya di bidang mitigasi GRK dalambeberapa dasawarsa terakhir. Namun, mereal-isasikan potensi dana CDM ternyata tidakmudah. Protokol Kyoto yang ditandatanganisejak 1997 baru berlaku efektif setelah 55negara Annex I meratifikasinya pada 2005.Selain itu, proses validasi dan pendaftaranproyek CDM memakan waktu dan menelanbiaya tidak sedikit. Pada 2007, volumeperdagangan di pasar CDM sebesar 551 jutaton CO ekuivalen, yaitu sekitar 3,7 persen dari2

volume emisi global yang dicakup ProtokolKyoto atau hanya 1,1 persen dari total emisiantropogenik dunia per tahun. Sampai denganAgustus 2008, proyek CDM terbanyak beradadi India (30%), China (22%), dan Brasil (19%);Certified Emission Reduction paling banyakdihasilkan China (73%, tahun 2007). Bila pro-yek-proyek dalam proses validasi ikutdiperhitungkan, China tampak mendominasinegara lain.5 Hingga saat ini hanya segelintirnegara berkembang yang berhasil meman-faatkan peluang CDM; dampaknya padapengurangan emisi karbon dunia juga masihsangat sedikit.

Sementara itu, komposisi negara penghasilemisi GRK telah berubah secara signifikan.Pada 1973, emisi dari negara maju berjumlah65,8 persen. Pada 2007, persentasenya turunmenjadi 44,9 persen. Sebaliknya China yang

4 Lihat, Nicholas Stern, “The Economics of ClimateChange”, Executive Summary (2006), hal. iii atauhttp://webarchive.nationalarchives.gov.uk/+/http:/www.hm-treasury.gov.uk/independen_reviews/stern_review_economics_climate_change/stern_review_report.cfm (diakses pada20 November 2007).

5 Lihat, Jodie Keane dan Gareth Potts, “Achieving‘Green Growth’ in a carbon constrained world”,dalam Overseas Development Institute Back-ground Note, Oktober 2008, atau http://www.odi.org.uk/resources/download/2449.pdf(diakses pada 7 April 2010).

Page 57: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

56 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

semula porsinya 5,7 persen naik menjadi 21persen. Pada kurun waktu yang sama, emisinegara-negara berkembang lainnya naik dari8,6 persen menjadi 21,4 persen. Perubahan itumembuat isu mitigasi memasuki babakan ba-ru; negara maju menginginkan negara berkem-bang juga membatasi emisi. Di sisi lain, ne-gara-negara berkembang menganggap bahwaketerbatasan ruang gerak sekarang ini adalahakibat dari kegiatan negara-negara maju dimasa lalu, sehingga tidaklah adil menerapkanpembatasan kepada negara berkembang ka-rena akan menghambat pertumbuhan ekono-mi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Terlihat adanya berbagai kepentingan dankendala setiap negara dan kelompok masing-masing. Para ilmuwan masih mengkaji berbagaiaspek dan dampak perubahan iklim, sedangkanpara negosiator masih berdebat alot di mejaperundingan. Namun demikian, makin banyakpihak yang bersepakat bahwa data dan informasiyang ada menunjukkan gentingnya persoalan.Karena itu, diperlukan tindakan cepat, konsisten,dan partisipasi semua pihak untuk mengatasimasalah itu.

Berbagai kajian menyebutkan bahwa po-tensi terbesar untuk mengurangi laju kenaikankonsentrasi GRK dalam jangka pendek adalahdengan menghemat pemakaian energi melaluiefisiensi dan konservasi energi. Langkah inimenghasilkan pengurangan emisi secara cepatdan tidak bisa dipandang remeh, terutamamengatasi kendala terbatasnya dana untukmencari dan mengembangkan sumber pasok-an energi. Mematikan lampu saat meninggal-kan kamar kosong, melepas pengisi bateraitelepon selular dan peralatan listrik lainnya saattidak dipakai, menurunkan temperatur pe-nyejuk ruangan, dan mengurangi pemakaiankendaraan bermotor pribadi, adalah beberapacontoh upaya penghematan energi yang dapatdilakukan tanpa biaya tambahan.

Berbagai produk dan teknologi untukmenghemat pemakaian energi juga telah ter-sedia, misalnya, lampu hemat energi, regulatordan sistem kontrol untuk peralatan industri dan

sistem kelistrikan, serta berbagai jenis motordan kompresor dengan teknologi hemat energi.Memanfaatkan limbah (udara panas, air, danlain-lain) dari sebuah proses industri sebagaisumber energi tambahan juga merupakan ba-gian dari kegiatan itu.

Selain efisiensi dan konservasi energi,pengendalian konsentrasi GRK juga dapat dila-kukan dengan mengembangkan dan meng-gunakan “energi rendah emisi”. Salah satu carauntuk mendapatkannya adalah dengan me-manfaatkan sumber energi terbarukan, yangdalam Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dide-finisikan sebagai: “sumber energi yang diha-silkan dari sumber daya energi yang berke-lanjutan jika dikelola dengan baik, antara lainpanas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari,aliran dan terjunan air, serta gerakan dan per-

bedaan suhu lapisan laut Ž . Pemanfaatan energiterbarukan saat ini masih sangat sedikit di-bandingkan dengan energi fosil.

Energi rendah emisi juga dapat dihasilkandari “teknologi rendah emisi” yang mengon-versi sumber daya energi disertai GRK danpolutan udara lain serta dampak lingkunganyang rendah, meskipun berasal dari energifosil. Peralatan dan rancang bangun penunjang6

merupakan hal utama dalam teknologi rendahemisi. Salah satu contoh adalah teknologiCarbon Capture and Storage untuk menangkapCO dan polutan lain dari pembangkit listrik dan2

peralatan industri berbahan bakar batu barasehingga tidak terlepas ke udara bebas. Emisitersebut kemudian “disimpan” di dalam ronggakerak bumi atau tempat lain yang memenuhisyarat. Gasifikasi batu bara dan batu bara cairadalah contoh lain energi yang dihasilkan olehteknologi rendah emisi. Kendaraan bermesinlistrik, hibrid, propan, gas dan hidrogen jugabagian dari kelompok itu.

Sumber energi terbarukan dan teknologi

6 Lihat, http://www.global-greenhouse-warming.com/low-emission-technology.html (diaksestanggal 23 Maret 2010).

Page 58: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

57Asclepias Rachmi, Energi Rendah Emisi

rendah emisi adalah harapan bagi keberlan-jutan pertumbuhan ekonomi tanpa pening-katan GRK dan kerusakan ekosistem. Saat ini,teknologi untuk menghasilkan energi rendahemisi, baik berasal dari sumber energi ter-barukan maupun fosil, berkembang pesat sei-ring menguatnya perhatian dan meluasnyapengetahuan tentang berbagai dampak per-ubahan iklim. Namun demikian, negara majutetap mendominasi teknologi dan sumberdaya manusia di bidang itu. Mereka memilikidana sangat besar di bidang penelitian danpengembangan, baik disediakan oleh peme-rintah maupun kalangan industri swasta, se-hingga kemungkinan untuk menguasai penge-tahuan dan teknologi masa depan juga lebihbesar. Keunggulan itu dimungkinkan olehkesempatan mengumpulkan kemampuan tek-nis dan ekonomis sebagai negara berpen-dapatan tinggi. Posisi tersebut tidak terlepasdari sejarah penguasaan dan penggunaanenergi fosil yang notabene merupakan kon-tributor besar dalam kemelut perubahan iklimyang sekarang melanda dunia.

Energi Rendah Emisi danNegara Berkembang

Mengingat energi adalah kebutuhan dasaruntuk hidup dan mendorong pertumbuhanekonomi, maka pasokan energi menjadi isupenting di negara maju maupun negara ber-kembang. Untuk sebagian besar orang danpemerintah di negara maju, masalah merekaadalah kebutuhan akan energi dalam jumlahmencukupi serta harga energi yang stabil.Namun demikian, negara berkembangmenghadapi persoalan khas yang menambahrumit masalah penyediaan pasokan energi,terutama berkaitan dengan keterbatasan aksesenergi, minimnya anggaran investasi dan le-mahnya daya beli konsumen.

Akses terhadap energi modern di beberapanegara berkembang mencapai kurang dariseparuh jumlah penduduk. Di kawasan AsiaPasifik, kondisi itu setidaknya dialami oleh

delapan negara dalam hal akses listrik dansembilan belas negara untuk energi bagi ke-perluan memasak. Di beberapa negara, akses7

penduduk terhadap energi modern telah men-capai lebih 50 persen, namun belum mencakupmayoritas dari mereka. Diperkirakan sekitar809 juta orang belum mendapat layanan listrikdan bahkan 1,8 miliar manusia masih“memanfaatkan” kayu bakar, kotoran ternak,dan biomassa tradisional untuk memasak danmemanaskan ruangan di kawasan dengan totalpenduduk sekitar 4,1 miliar orang. Hal serupa8

terjadi di beberapa negeri Afrika, bahkan dalamkondisi jauh lebih buruk.

Negara berkembang memiliki cadanganenergi fosil dan sumber daya energi terbarukandalam berbagai jenis, ukuran, dan kualitas.Namun, untuk mengubah sumber daya alammenjadi energi modern siap pakai diperlukanteknologi dan peralatan yang sesuai, sumberdaya manusia yang terlatih, dan dana investasiyang besar. Penyediaan dan sarana untukmengakses energi terkendala keterbatasananggaran negara, terutama alokasi untuk in-vestasi pengembangan fasilitas produksi ener-gi serta infrastruktur distribusi dan penunjang.Selain itu, rendahnya pendapatan per kapitasebagian besar penduduk membuat daya belimenjadi lemah. Untuk mengatasinya peme-rintah menerapkan kebijakan subsidi energi.Namun, di sisi lain, kebijakan itu justru mem-bebani anggaran negara dan berkompetisidengan prioritas sektor lain. Akibatnya, ke-mampuan untuk memasok dan mengaksesenergi juga menjadi terkendala. Lingkaran per-soalan berkait kelindan itu membelit sebagianbesar negara berkembang.

Ketika negara-negara maju menginginkannegara-negara berkembang mengendalikan

7 Lihat, UNDP dan WHO, The Energy AccessSituation in Developing Countries: A ReviewFocusing on the Least Developed Countries andSub-Saharan Africa, 2009.

8 Estimasi dari IEA (World Energy Outlook 2009)untuk listrik dan ADB (Energy for All 2009)untuk biomassa konvensional.

Page 59: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

58 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

emisi GRK mereka, atau melakukan mitigasiseperti kewajiban negara maju, maka bertam-bahlah beban yang harus dipikul. Penyediaanenergi dasar ( availability ), akses terhadapenergi ( accessibility ), dan daya beli masyarakat( affordability ) merupakan soal tersendiri yangtidak dapat dijawab hanya dengan pembatasanemisi GRK saja. Upaya mitigasi yang dilakukannegara berkembang akan berkontribusi padatarget global pengendalian konsentrasi GRK dandisambut baik masyarakat internasional ( accept-ability), namun dukungan dunia tidak akan ber-arti bila kebutuhan penduduk negara berkem-bang terbengkalai. Seluruh aspek tersebut( availability, accessibility, affordability, danacceptability) merupakan prasarat yang dibutuh-kan untuk menciptakan ketahanan energi. Olehsebab itu, adaptasi, yakni mengambil sejumlahlangkah untuk membangun ketahanan dalammenghadapi dampak perubahan iklim dan me-minimalisasi biaya, menjadi upaya yang sangatpenting.

Di lain pihak, negara-negara berkembangtidak bisa menutup mata, bahwa emisi GRKmereka dalam waktu dekat akan mengambilalih porsi negara-negara maju. Oleh karena itu,upaya pengendalian konsentrasi GRK perludilakukan bersama oleh semua negara, meskiskala tanggung jawab dan beban ekonomi me-reka berbeda. Upaya mitigasi dan adaptasi me-rupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Ke-duanya dibutuhkan tidak hanya untuk meme-nuhi kebutuhan dasar masyarakat dan mencip-takan ketahanan energi, tetapi juga untuk me-ngurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial,memungkinkan negara berkembang melanjut-kan pembangunan, dan mempertahankan ek-sistensi dalam tatanan global.

Bagi Indonesia, pengembangan dan pe-manfaatan sumber daya energi terbarukan danenergi rendah emisi amat strategis dan ber-implikasi luas. Indonesia adalah negeri ke-pulauan dengan penduduk tersebar di ribuanpulau. Meski sebagian besar berada di PulauJawa, cukup banyak kelompok penduduk didaerah yang sulit dijangkau. Dengan rasio

elektrifikasi 64 persen, dan baru sekitar 45persen populasi menggunakan energi modernuntuk memasak, tetap masih banyak pendudukyang sulit mendapatkan energi. Infrastrukturpenyediaan energi seperti kilang minyak dangas bumi, pembangkit listrik serta jaringantransmisi dan distribusi, pipa penyaluran gas,serta pelabuhan, jumlahnya masih terbatas.Membangun infrastruktur dan sistem penun-jang di seluruh tempat di tanah air adalah peker-jaan luar biasa besar dan mahal. Lokasi pendu-duk yang tersebar dan keterbatasan infra-struktur membuat energi menjadi komoditasamat langka dan mahal — bagi jutaan masyara-kat Indonesia.

Dalam hal availability , masing-masingdaerah memiliki beragam potensi energi ter-barukan, meskipun data teknis dan keekono-mian sumber-sumber energi ini belum banyaktersedia. Sesungguhnya, pemanfaatan sumberdaya energi yang ada di berbagai daerah dapatmengurangi biaya penyelenggaraan dan risikotransportasi energi antarwilayah. Kenaikanintensitas curah hujan maupun musim kemarauakibat perubahan iklim dapat menyebabkansungai banjir atau kering dalam skala lebihberat, padahal sungai adalah wahana pentingbagi pendistribusian BBM maupun pergerakankomoditas lainnya di banyak wilayah. Pengem-bangan energi setempat akan meningkatkanketersediaan energi dalam jarak lebih pendekdan risiko gangguan lebih kecil, serta ber-pengaruh positif pada ketahanan energi daerahbersangkutan.

Dari sisi accessibility , pengembangan ener-gi terbarukan dapat mengatasi kendala mi-nimnya infrastruktur jaringan penyediaanenergi dan penunjangnya. Banyak potensienergi terbarukan skala kecil dan menengahdapat dikembangkan untuk memenuhi kebu-tuhan penduduk melalui akses yang terpisahdari jaringan nasional. Hal ini sangat relevandalam upaya peningkatan rasio elektrifikasi dinegara kepulauan seperti Indonesia, serta dapatmengurangi beban investasi berskala masifyang diperlukan untuk membangun jaringan in-

Page 60: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

59Asclepias Rachmi, Energi Rendah Emisi

frastruktur energi nasional yang saling ter-hubung. Selain itu, sarana penyediaan energiyang tersebar juga mengurangi risiko kegagalanfungsi infrastruktur energi secara masif. Se-karang ini cukup banyak jaringan infrastrukturenergi berlokasi di kawasan pesisir pantai. Risi-konya, kenaikan permukaan air laut akibat peru-bahan iklim berpotensi mengganggu prosespendinginan pembangkit listrik serta operasibongkar muat di pelabuhan batu bara. Pendekkata, sistem penyediaan energi yang tersebardapat berfungsi sebagai sistem cadangan danmengurangi lingkup gangguan bila jaringanlistrik interkoneksi terganggu.

Pengembangan sumber energi terbarukandan energi rendah emisi dalam skala kecil danmenengah juga memungkinkan partisipasimasyarakat lebih luas, mendorong kegiatanekonomi lokal, dan berdampak positif terhadappengurangan kemiskinan. Namun, pengem-bangan sumber energi terbarukan selama inibanyak dilakukan dengan menggunakan pen-dekatan program berbasis proyek yang di-kerjakan oleh konsultan atau kontraktor luardaerah tanpa melibatkan masyarakat setempat.Dampak negatifnya, kemampuan lokal tidakakan mungkin tumbuh, rasa tanggung jawabdan kepemilikan terhadap aset menjadi rendah,serta manfaat program hanya berusia pendek.Semua itu berarti pemborosan yang sangat tidaksesuai dengan kondisi negara berkembang yangserba terbatas.

Asumsi bahwa penduduk Indonesia tidakmampu membayar sehingga program pengem-bangan energi terbarukan dilakukan denganpendekatan give away seperti sinterklas mem-bagikan hadiah juga perlu mendapat perhatian.Berbagai contoh menunjukkan bahwa rakyat dipedalaman membayar mahal untuk mendapat-kan minyak tanah dan minyak diesel, bahkandalam situasi normal sehari-hari. Dengan usahayang keras mereka juga harus menempuhjarak jauh dan mengangkut sendiri BBM darititik penjualan ke rumah mereka. Kondisi inimencerminkan nilai dari ketersediaan dan aksesenergi mereka, yang juga berarti referensi

dalam mengukur daya beli dan kemauan mem-bayar ( willingness to pay) dalam penyeleng-garaan program pengembangan energi terbaru-kan. Dengan menempatkan nilai keekonomianyang memberi banyak manfaat, memungkinkanterkumpulnya dana masyarakat untuk pera-watan mesin dan penggantian suku cadang, me-numbuhkan perhatian dan tanggung jawab ter-hadap sarana yang dibangun, serta pemahamanbahwa energi itu berharga sehingga pengguna-annya harus hemat. Kegiatan dengan nilaiekonomi yang jelas juga akan menarik minatpara entrepreneur sekitar untuk ikut ambilbagian, sehingga dapat menumbuhkan lapangankerja baru.

Indonesia memiliki potensi energi terbaru-kan dalam skala besar, seperti panas bumi.Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk me-lalui undang-undang khusus, untuk mendorongperkembangan sumber energi panas bumi. Pe-merintah telah mencantumkan target pening-katan kapasitas pembangkitan listrik dari panasbumi dalam Program Percepatan Pembangun-an Pembangkit Listrik 10.000 MW Tahap II.Pengembangan listrik panas bumi yang terko-neksi dengan jaringan transmisi nasional pentinguntuk meningkatkan kelenturan dan keandalansistem penyediaan energi, karena berfungsisebagai pasokan beban dasar ( base load ) danmenambah ragam sumber energi. Selain itu,energi panas bumi tidak dapat diekspor sehing-ga persaingan dengan pasar luar negeri yangberdaya beli lebih kuat dapat dihindari. Denganberbagai karakteristik itu, pemanfaatan energipanas bumi niscaya meningkatkan ketahananenergi.

Namun, secara umum peran energi terba-rukan di Indonesia masih belum beranjak,meskipun kebijakan nasional tentang diver-sifikasi energi telah diluncurkan sejak tahun1980-an. Potensi energi terbarukan yang be-sar, tersebar, beragam, dan berbagai kemung-kinan manfaat yang dapat dibangkitkannya be-lum dapat diwujudkan. Kebijakan energi yangditerapkan dalam dekade terakhir bahkanmembuat banyak indikator ketahanan energi

Page 61: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

60 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

melemah, sebagaimana tercermin dari krisisenergi yang muncul silih berganti di berbagaidaerah dalam bermacam bentuk dan dipicuoleh berbagai sebab.9 Adalah ironi di tengahpersoalan tersebut beberapa kebijakan na-sional untuk menghadapi perubahan iklimhanya menetapkan mitigasi di sektor energi.10

Dokumen Second National Communication(SNC) November 2009 memasukkan programnasional untuk adaptasi terhadap perubahaniklim, namun belum banyak yang dilakukan dibidang ini, khususnya terkait dengan energi.Selain itu, konsep perencanaan energi secaraagregat yang digunakan sebagai acuan utamaselama ini mengaburkan konteks penduduk ne-gara kepulauan yang tersebar di wilayah ter-pencil dipisahkan oleh jarak dan kondisi alam.

Teknologi untuk pemanfaatan energi ter-barukan skala kecil dan menengah perlu di-kembangkan dengan sedapat mungkin mening-katkan komponen lokal secara bertahap. Ber-bagai sistem pendukung juga perlu diciptakan,misalnya, akses pendanaan untuk investasi.Selain dana internasional untuk perubahaniklim, upaya memobilisasi dana dan sumberdaya domestik juga amat penting. Hal yangdapat dilakukan, antara lain, meningkatkanpemahaman kalangan perbankan tentang ka-rakteristik kegiatan pengembangan sumberenergi terbarukan dan penggunaan teknologienergi rendah emisi, serta peluang ekonomiskegiatan ini bagi pertumbuhan perbankandalam negeri. Selain itu, perlu digencarkanpendidikan dan pelatihan untuk meningkatkankapasitas sumber daya manusia bagi proses

pengembangan dan pemanfaatan teknologiaplikatif di daerah.

Kerja Sama Berbagai Pihak

Pengembangan dan penggunaan energirendah emisi merupakan kewajiban semuabangsa dan negeri di bumi ini. Persoalannyabukan hanya mengenai perubahan iklim, apalagitentang mitigasi atau bahkan teknologi tertentusaja. Upaya pengembangan dan pemanfaatanenergi rendah emisi meliputi aspek teknologi,ekonomi, sosial, dan politik. Bagi negara ber-kembang, energi rendah emisi dapat berperanpenting dalam upaya memenuhi kebutuhan da-sar penduduk, mengurangi kemiskinan dan me-ningkatkan ketahanan energi. Selain itu jugamenjadi bagian dari dan upaya mitigasi perubah-an iklim serta menjawab persoalan lingkungan,baik dalam lingkup lokal maupun kawasan.Upaya mitigasi dan adaptasi di bidang energiadalah dua hal yang tak dapat dipisahkan.

Berbagai catatan untuk kondisi Indonesiamengindikasikan bahwa perlu dilakukan pe-nyesuaian kebijakan dan regulasi di bidangenergi dan perubahan iklim agar selaras dengantujuan utama menyejahterakan masyarakat.Perlu pendekatan menyeluruh dan kombinasikebijakan di berbagai bidang. Gotong royongdan kerja sama perlu digali kembali, karenatidak ada satu orang atau institusi yang dapatmenangani semua pekerjaan besar itu. Ke-ikusertaan masyarakat menjadi elemen pentingdalam keberhasilan langkah ke depan. Ke-jelasan pembagian tugas antara pemerintahpusat dan pemerintah daerah akan membantukoordinasi dan kelancaran implementasi. Tahappemonitoran dan evaluasi program pengem-bangan energi terbarukan harus dilakukan agarmanfaat kegiatan tersebut dapat terukur danefisiensi anggaran meningkat. Upaya Peme-rintah Indonesia untuk tampil sebagai pemimpinnegara berkembang dalam inisiatif pengen-dalian emisi global patut didukung, namun sikapini perlu pula ditunjang oleh realisasi langkahdan kesiapan di dalam negeri•

9 Lihat, Indonesian Institute for Energy Econo-mics, “Overview on Energy Unavailability” dan“Energy Security and Sustainable Development”dalam Indonesian Energy Economics Review ,Vol.II, 2007.

1 0 Di antaranya tercantum dalam Indonesia ClimateChange Sectoral Roadmap (Jakarta: Bappenas,2009) dan Economic and Fiscal Policy Strategiesfor Climate Change Mitigation in Indonesia(Jakarta: Kementerian Keuangan RepublikIndonesia, 2009).

Page 62: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Ksebagai penyerap karbon atau pe-

ita perlu meninjau dari berbagai aspekapakah hutan Indonesia bisa dianggap

nyumbang emisi dunia, mengingat sektor kehu-tanan bukan sektor yang sama sekali inde-penden. Keberadaan suatu kawasan hutan un-tuk tetap sebagai hutan atau digunakan untukaktivitas lain sangat dipengaruhi oleh kebijakannasional secara keseluruhan yang tertuangdalam kebijakan sektor-sektor terkait. Jadi, kitaperlu memperhatikan kondisi hutan itu sendiri,kebijakan sektor kehutanan, kebijakan sektorterkait, dan faktor eksternal lain yang me-mengaruhi keberadaan hutan.

Hutan dalam konteks perubahan iklim da-pat mengambil peran, baik sebagai penyerapdan penyimpan karbon dioksida atau CO2

( sink ) maupun sebagai pengemisi CO ( source )2 .

Intervensi manusia dapat membuat kondisi

Hutan Indonesia: Penyerap atauPenyumbang Emisi Dunia?

Nur Masripatin

suatu hutan menjadi net sink atau sebagai netsource. Kontribusi penebangan hutan ataudeforestasi terhadap emisi global — sebesar17 persen menurut catatan IntergovernemntalPanel on Climate Change (IPCC) 2007 —menunjukkan bahwa intervensi manusia ter-hadap sumber daya hutan berkontribusi ne-gatif pada upaya mitigasi perubahan iklim.

Konsep pengurangan emisi dari penebang-an dan degradasi hutan ( reducing emissionsfrom deforestation and forest degradation/REDD), kemudian berkembang menjadiREDD-plus (pengurangan emisi dari defores-tasi dan degradasi hutan, peran konservasi,pengelolaan hutan secara lestari, dan pening-katan stok karbon hutan), pasca-Conference ofthe Parties (COP) ke-13 di Bali tahun 2007,merupakan pendekatan kebijakan dan insentifpositif bagi negara berkembang. Sesuai de-

Areal hutan Indonesia yang mencapai 2/3 luas wilayah berpotensi menjadipenyerap dan penyimpan karbon yang signifikan. Namun, ia juga menjadipenyumbang emisi (net emitter) sejalan dengan perkembangan pendudukdan keperluan pembangunan serta aktivitas manusia yang tidak selarasdengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Sudah diterapkanberbagai kebijakan dan dukungan untuk mengurangi emisi dari deforestasidan degradasi hutan, menyelamatkan hutan yang masih tersisa danmerehabilitasi/merestorasi hutan yang telah rusak. Dengan targetpengurangan emisi pada 2020 sebesar 26 persen dari kondisi pada 1990,bagaimana kondisi, tantangan, opsi pengurangan emisi, dan aksi mitigasidi sektor kehutanan?

Page 63: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

62 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

ngan kondisi hutan nasional, negara berkem-bang dapat membuktikan bahwa telah me-ngurangi emisi atau menjaga stok karbon ataumeningkatkan stok karbon hutan. Harapannya,dengan pendekatan ini negara berkembangbisa mengurangi laju pengurangan hutan dandapat melanjutkan pembangunan nasional se-cara berkelanjutan.

Hutan bukan hanya tentang karbon. Dalamkonteks perubahan iklim dan stabilisasi gasrumah kaca (GRK) di atmosfer yang merupa-kan salah satu tujuan dari Konvensi PerubahanIklim, maka yang menjadi ukuran kontribusihutan terhadap mitigasi perubahan iklim ada-lah aspek karbon. Sisi lain dari tujuan Konvensiadalah mencapai pembangunan berkelanjutan.Dengan demikian, fungsi hutan di luar kontekskarbon adalah pengatur tata air, konservasikeanekaragaman hayati, tempat sandaran ma-syarakat lokal mencari sumber penghidupan,praktik budaya dan religi, serta jasa lingkung-an lainnya.

Seiring dengan proses negosiasi, berkem-bang pula ilmu pengetahuan dan teknologiuntuk mengukur/menghitung produk dan jasahutan. Pada level negosiasi, badan dunia untukkerangka konvensi perubahan iklim (UnitedNations Framework Convention on ClimateChange/UNFCCC) memperhitungkan man-faat di luar karbon atau memastikan bahwaimplementasi REDD-plus sejalan dengan prin-sip-prinsip pengelolaan hutan lestari dan di-mensi lainnya, termasuk perlindungan terha-dap keanekaragaman hayati, manfaat jasa ling-kungan, serta kepentingan masyarakat lokal.Semua prinsip diakomodasi dalam guidingprinciples dan safeguard. Dalam draf kepu-tusan COP untuk aspek kebijakan REDD-plusyang dihasilkan di COP-15 Kopenhagen,Denmark, guiding principles dan safeguardsudah sangat jelas. Ada beberapa pendekatanyang mencoba menghitung manfaat di luarkarbon, atau lebih dikenal sebagai co-benefits .Dengan demikian, selain fokus utama padasoal karbon, Konvensi Perubahan Iklim jugamemperhitungkan manfaat lainnya.

Kondisi Hutan Indonesia

Luas wilayah Indonesia 187,8 juta hektar.Tujuh puluh persen atau sekitar 132,4 juta hamerupakan kawasan hutan (Diagram 1). Seiringdengan pertambahan jumlah penduduk dansebagai konsekuensinya peningkatan derappembangunan, tekanan terhadap keberadaanhutan di Indonesia akan jauh lebih besardibanding negara-negara dengan kawasan hutanrelatif kecil. Berbagai sumber daya alam yangberada di bawah tanah hutan, seperti sumberenergi panas bumi (geotermal) dan tambang,tentu menuntut kebijakan atau peraturan yangtepat. Pemanfaatan hutan Indonesia untukkeperluan produksi dalam skala besar dimulaisejak awal tahun 1970-an yang kemudian disusulberbagai kebijakan terkait pemanfaatan danpengelolaan hutan.

Untuk memahami permasalahan saat ini,dan mencari solusinya, kita perlu melihat akarmasalah yang menjadi pemicu kerusakan danpengurangan luas hutan, baik di tingkat lokaldan nasional maupun internasional. Semua

Diagram 1. Perbandingan Luas KawasanHutan dan Areal Penggunaan Lain (APL)(dalam juta hektar)

Sumber: Kementerian Kehutanan (2009)

Page 64: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

63Nur Masripatin, Hutan Indonesia

diakibatkan oleh adanya permintaan pasar duniayang tinggi atas produk hasil hutan. Indonesiapernah menjadi eksportir kayu lapis dan kayugergaji terbesar pada awal tahun 1990-an. Lajupengurangan tutupan hutan yang terjadi antaratahun 1980-an hingga tahun 2000-an sangatfluktuatif. Laju tertinggi terjadi pada 1997-2000,kemudian menunjukkan penurunan setelahtahun 2000 (Diadram 2).

Dari 1985 sampai 1997, laju deforestasimencapai kurang lebih 1,8 juta hektar pertahun. Periode tersebut bertepatan dengan ke-bijakan Pemerintah Indonesia yang memacupertumbuhan industri kehutanan, pembangun-an hutan tanaman industri, dan pengembanganperkebunan terutama kelapa sawit, karet dancokelat.

Laju deforestasi tertinggi terjadi pada 1997-2000 sebesar ± 2,8 juta hektar/tahun. Periodeini berjalan seiring dengan diterapkannya ke-bijakan desentralisasi. Ketika itu, tapal batasadministrasi tidak selalu selaras dengan batasdaerah aliran sungai (DAS) atau ekosistemhutan. Di sejumlah daerah, hutan menjadisumber andalan pendapatan asli daerah. Lahanhutan diubah peruntukannya menjadi lahan lain,termasuk untuk perkebunan, sarana publik, dan

pemekaran wilayah. Pada periode ini pulaIndonesia mengalami krisis ekonomi dan sosialberkepanjangan, serta terjadi penyimpanganfenomena alam (El Niño) yang memicu ke-bakaran hutan cukup hebat. Kemudian, antaratahun 2000-2005, laju deforestasi turun sampai± 1,2 juta hektar/tahun. Periode ini bersamaanwaktunya dengan diterapkannya kebijakanmoratorium konversi hutan untuk penggunaanlain, pengurangan jatah tebang tahunan atau softlanding, penegakan hukum (law enforcement),dan peningkatan upaya perbaikan pengelolaanhutan.

Berdasarkan data Second National Commu-nication (SNC), kontribusi emisi dari perubahantata guna lahan dan kehutanan ( land-use changeand forestry/LUCF) sebesar 47 persen atau

Diagram 2. Laju Deforestasi

Sumber: Departemen Kehutanan (2006)

Diagram 3. Inventarisasi GRK Nasional padaSNC 2009

Sumber: Second National Communication(Kementerian Lingkungan Hidup RepublikIndonesia , 2009

Page 65: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

64 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

0,65 Gton CO e dari total emisi nasional sebe-21

sar 1,36 Gton CO e. Bila kebakaran lahan2

gambut dimasukkan, kontribusi LUCF bertam-bah menjadi sekitar 60 persen (lihat, Diagram3). Perlu pula diingat bahwa tingkat ketidak-pastian data emisi lahan gambut sangatlahtinggi, sehingga angka yang dipakai harus selaludisertai dengan penjelasan asumsi yang digu-nakan.

Dari hasil studi Indonesia Forest ClimateAlliance (IFCA) 2007, kandungan karbon hutanIndonesia pada kisaran 8 – 339 ton/ha atau 24 -1.017 ton CO e per ha (lihat, Gambar 1). Pulau2

Sumatera menunjukkan tempat tertinggi dalamdistribusi emisi, disusul Kalimantan, Papua,Sulawesi, Maluku, dan lain-lain (lihat, Diagram4). Sumber emisi terbesar berasal dari hutan

lahan kering disusul hutan rawa gambut (lihat,Diagram 5). Berdasarkan fungsi hutan, sumberemisi terbesar berasal dari Hutan Produksi, di-susul berturut-turut Hutan di Areal Pengguna-an Lain (APL), Hutan Konversi, Hutan Konser-vasi, dan Hutan Lindung (lihat, Diagram 6).

1 CO e atau CO ekuivalen merujuk pada tingkat2 2

konsentrasi berbagai macam gas rumah kacasecara komposit yang sepadan (ekuivalen). Gasrumah kaca misalnya gas metana, perfluorocar-bons dan nitrous oxide.

Gambar 1.Data Karbon Hutan Indonesia

Sumber: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Reducing Emissions from Deforestation and�Forest Degradation in Indonesia” (2008).

Diagram 4.Perbandingan Emisi dari Defores-tasi per Pulau Antara 2000-2005

Sumber: Departemen Kehutanan, Reducing�Emissions from Deforestation and Forest De-gradation in Indonesia” (2008).

Page 66: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

65Nur Masripatin, Hutan Indonesia

Target Nasional dan BagaimanaKontribusi KehutananDiperhitungkan

Sebagai bagian dari komitmen global dalamupaya mengurangi dampak negatif perubahaniklim, Indonesia telah menetapkan target pe-ngurangan emisi gas rumah kaca (GRK) se-besar 26 persen sampai tahun 2020. Dari 26persen, sekitar 14-54 persen dari target nasio-

nal dibebankan kepada sektor kehutanan(LUCF). Hal ini seimbang bila dibandingkandengan kontribusi sektor kehutanan terhadapemisi GRK nasional yang lebih besar dari 50persen, termasuk lahan gambut (lihat,Diagram 3).

Indonesia merupakan salah satu negarayang mengasosiasikan diri pada CopenhagenAccord . Sebagai bukti dukungan terhadapCopenhagen Accord yang dihasilkan pada COP-15 tahun 2009, Indonesia secara sukarela akanmengurangi emisi sebesar 26 persen pada 2020dari keadaan pada 1990 (kondisi business asusual). Caranya, antara lain, melalui (1) pe-ngelolaan lahan gambut secara lestari; (2)pengurangan laju deforestasi dan degradasihutan; (3) pembangunan proyek penyerapankarbon di sektor kehutanan dan pertanian; (4)mendorong efisiensi energi; (5) pengembang-an alternatif sumber energi terbarukan; (6)pengurangan limbah padat dan cair; dan (7)perubahan menuju moda transportasi rendahemisi. Sektor kehutanan masuk ke dalam aksimitigasi nomor 1-3.

Masih banyak hal perlu diklarifikasi ditingkat nasional dan dikomunikasikan secaratransparan ke seluruh pemangku kepentingan( stakeholders ). Di antaranya adalah bagaimanaIndonesia menerjemahkan hasil COP-UN-FCCC dalam rencana aksi serta konsistensiantara apa yang diperjuangkan dalam negosiasiUNFCCC dengan apa yang dilaksanakan didalam negeri. Proses untuk membagi bebantanggung jawab antarsektor masih terus ber-langsung, dan masing-masing sektor, termasukkehutanan, secara independen telah menyusunRencana Aksi Pengurangan Emisi. Setiap sek-tor mungkin sudah siap dengan DokumenRencana Aksi masing-masing. Lalu, bagaimanarencana aksi tersebut diimplementasikan sesuaidengan panduan nasional dan memenuhi per-syaratan internasional ( guidance di bawahUNFCCC)? Bagaimana mengantisipasi isu cross-sectoral yang akan berdampak terhadap ke-lestarian hutan? Apakah itu sudah masuk dalamagenda sektor terkait? Apakah isu tersebut

Diagram 5. Perbandingan Emisi Antara 2000-2005 Menurut Jenis Hutan

Sumber: Departemen Kehutanan, Reducing�Emissions from Deforestation and Forest De-gradation in Indonesia” (2008).

Diagram 6. Perbandingan Emisi Antara 2000-2005 Menurut Fungsi Hutan (juta ton CO e)2

Sumber: Departemen Kehutanan, Reducing�Emissions from Deforestation and Forest De-gradation in Indonesia” (2008).

Page 67: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

66 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

sudah diantisipasi dalam dokumen nasional yangmemayungi seluruh sektor?

Dari tiga kegiatan yang terkait langsung,kegiatan mitigasi di sektor kehutanan men-cakup pengurangan emisi serta peningkatankapasitas hutan dalam penyerapan karbon.Sejalan dengan tujuan Konvensi PerubahanIklim — mitigasi perubahan iklim sektor peng-gunaan lahan, tata guna lahan dan kehutanan( land use, land-use change and forestry /LULUCF) — pengurangan emisi tidak cukuphanya dengan meningkatkan penanaman, tetapijuga harus disertai dengan tindakan pengu-rangan emisi dari deforestasi (mencegah/meminimalkan konversi hutan) dan degradasi(melalui praktik pengelolaan hutan secaralestari) serta menjaga stok karbon yang ada(misalnya, melalui konservasi) dengan targetyang jelas. Masalah yang terkait dengan illegallogging, kebakaran hutan, perambahan hutan,serta konflik penggunaan lahan saat ini tidakterlepas dari berbagai masalah di bidang pene-gakan hukum, permasalahan kemiskinan, dankelembagaan pengelolaan hutan. Percepatanpembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan(KPH), reformasi kebijakan terkait, sertakejelasan rencana tata ruang nasional — ter-masuk perkiraan kebutuhan sektor lain akanlahan yang berdampak pada kelestarian hutan— merupakan pendekatan yang diperlukanuntuk menangani akar masalah kerusakanhutan.

Dalam batas kewenangannya, KementerianKehutanan telah menetapkan delapan kebijakanprioritas 2010 – 2014 sebagai berikut (1) Pe-mantapan kawasan hutan berbasis pengelolaanhutan lestari; (2) Rehabilitasi hutan dan pe-ningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai(DAS); (3) Perlindungan dan pengamanan hu-tan serta pengendalian kebakaran hutan; (4)Konservasi keanekaragaman hayati dan eko-sistemnya; (5) Revitalisasi hutan dan produkkehutanan; (6) Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan; (7) Mitigasi dan adaptasi per-ubahan iklim sektor kehutanan; dan (8) Pe-nguatan kelembagaan kehutanan. Delapan kebi-

jakan prioritas ini dapat mendukung tercapainyatarget pengurangan emisi nasional dari sektorkehutanan apabila implementasinya didukungoleh kebijakan di sektor lain, misalnya, keje-lasan perencanaan tata ruang nasional, pene-gakan hukum, pemberantasan kemiskinanmasyarakat di sekitar hutan, dan harmonisasiaturan perundangan.

Tantangan dalam pengurangan emisi darisektor kehutanan tidak hanya pada perma-salahan terkait pengelolaan hutan, tetapi juga ditingkat internasional, karena sementara inipanduannya masih dinegosiasikan di bawahkerangka UNFCCC. Kehutanan dalam prosesnegosiasi masuk dalam beberapa agenda, affo-restation/reforestation clean developmentmechanism (A/R CDM) dan LULUCF di ba-wah Protokol Kyoto, REDD-plus dalam duatrek negosiasi, yaitu aspek metodologi di bawahotoritas Subsidiary Body on Scientific andTechnological Advise (SBSTA) sedangkan aspekkebijakan di bawah Ad-hoc Working Group onLong-Term Cooperative Action (AWG-LCA).Terdapat pula agenda terkait, yaitu NationallyAppropriate Mitigation Actions (NAMAs);target nasional untuk mengurangi emisi GRKsebesar 26 persen sampai dengan tahun 2020sebagaimana tertuang dalam “Pernyataan In-donesia berasosiasi dengan Kopenhagen Ac-cord” masuk dalam kategori ini. Posisi Indone-sia (dan sebagian besar negara berkembang)tidak ingin memasukkan REDD-plus menjadibagian dari NAMAs karena belum jelasnyakonsep NAMAs baik untuk negara berkembangmaupun negara maju, di pihak lain negara majuberkeinginan agar REDD-plus menjadi bagiandari NAMAs. NAMAs oleh negara berkem-bang masih dibedakan lagi antara aksi mitigasiyang dilakukan dengan sumber daya domestik( unilateral NAMAs) dan aksi mitigasi yangdidukung sumber daya eksternal ( supportedNAMAs). Kondisi ini membawa konsekuensiterutama untuk sektor kehutanan, karena pe-nerjemahan pernyataan pengurangan emisi diatas dalam konteks nasional dan lokal lebihkompleks dibandingkan dengan sektor lain. Dari

Page 68: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

67Nur Masripatin, Hutan Indonesia

ketujuh aksi mitigasi, terdapat tiga aksi yangmencakup kegiatan kehutanan yaitu: penge-lolaan lahan gambut secara lestari (untuk gam-but di kawasan hutan), pengurangan laju defo-restasi dan degradasi hutan, serta pembangunanproyek penyerapan karbon di kehutanan. Tan-tangan yang mesti kita pecahkan adalah ba-gaimana ketiga aksi mitigasi ini diterjemahkanke tingkat implementasi secara sederhana,dapat diukur hasilnya ( measurable ), dapatdilaporkan ( reportable ) secara transparan, dandapat diverifikasi ( verifiable ) sesuai standarinternasional ( guidance di bawah UNFCCC).

REDD/REDD-plus danTarget Pengurangan Emisidari Sektor Kehutanan

REDD-plus (sesuai amanah Bali ActionPlan/Keputusan COP-13 No.1 tahun 2007)adalah kegiatan pengurangan emisi dari de-forestasi dan degradasi hutan (REDD), perankonservasi, pengelolaan hutan secara lestari,dan peningkatan stok karbon hutan. Terkaitdengan perubahan iklim, semua kegiatan ke-hutanan Indonesia pada dasarnya masuk dalamkategori REDD-plus, sebagai contoh (1) pe-ngurangan emisi dari deforestasi melalui pen-cegahan atau meminimalkan konversi hutan,pencegahan perambahan yang berakhir denganperubahan tata guna lahan; (2) pengurangandegradasi hutan melalui pemanenan kayu ra-mah lingkungan ( reduced impact logging /RIL),pemberantasan illegal logging , pengendaliankebakaran, penanganan perladangan berpindah;(3) pengelolaan hutan secara lestari; (4) men-jaga stok karbon melalui konservasi hutan; dan(5) peningkatan stok karbon hutan melaluipenanaman dan kegiatan lain yang mendorongperemajaan hutan, misalnya, melalui pena-naman dan restorasi hutan.

Tantangan dalam operasionalisasi REDD/REDD-plus tidak hanya pada masalah yang adadi dalam negeri terkait pengelolaan hutan dantekanan terhadap keutuhan kawasan hutan,tetapi juga di tingkat internasional. Sementara

ini, aturan main di bawah kerangka UNFCCCmasih dalam proses negosiasi. Selain itu,perkembangan yang berlangsung sangat cepatdi luar proses negosiasi berdampak ke tingkatnasional dan lokal, termasuk berbagai bentukinisiatif dengan label REDD/REDD-plus sertavoluntary carbon trading/market pada levelproyek.

Sejak awal diangkat dalam agenda COP,pendekatan REDD-plus — waktu itu masihREDD — adalah nasional, bukan berbasisproyek. Karena kondisi setiap negara berbeda,negara yang berkepentingan termasuk In-donesia kemudian menegosiasikan “pende-katan nasional dengan implementasi di tingkatsub-nasional (provinsi/kabupaten/unit mana-jemen)”. Dengan demikian, kendati REDD/REDD-plus dapat diimplementasikan sampailevel unit manajemen/proyek, tetap harusmenjadi bagian integral dari setting nasional.Emisi sektor kehutanan Indonesia di tingkatnasional adalah “ net-emitter ”, namun di tingkatsub-nasional — antarpulau/provinsi/kabupaten— status emisinya bervariasi. Dengan demikian,aksi mitigasi di tingkat nasional (secara total)berupa pengurangan emisi, sementara di tingkatsub-nasional (sesuai kondisi masing-masingwilayah) dapat berupa pengurangan emisi ataukonservasi stok karbon atau peningkatan stokkarbon hutan.

Sejalan dengan perkembangan negosiasikeputusan COP dan elemen-elemen yang telahdisepakati, Pemerintah Indonesia mengomu-nikasikan konsep implementasi REDD/REDD-plus secara bertahap ( phased-approach ) yangterbagi atas tiga tahap: (1) Tahap Persiapanmencakup identifikasi status iptek dan kebijak-an terkait (2007-2008); (2) Readiness Phasemeliputi penyiapan perangkat metodologi dankebijakan REDD Indonesia (2009-2012); dan(3) Full Implementation merupakan tahapimplementasi penuh sesuai aturan COP padasaat REDD/REDD-plus menjadi bagian dariskema UNFCCC pasca-2012. Strategi REDDuntuk Readiness Phase 2009-2012 telah disusundalam rangka meningkatkan kesiapan untuk

Page 69: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

68 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

implementasi penuh pasca-2012. Strategi inidimaksudkan untuk memberikan panduan ten-tang intervensi kebijakan yang diperlukan dalamupaya menangani akar masalah deforestasi dandegradasi hutan, dan infrastruktur yang perludisiapkan dalam implementasi REDD/REDD-plus. Strategi ini juga untuk mengintegrasikansemua aksi terkait REDD/REDD-plus termasukkegiatan yang didanai dari sumber luar negeri.

Pembangunan Demonstration Activities(DA)-REDD/REDD-plus merupakan salah satubentuk pelaksanaan amanah Keputusan COP-13 di Bali tentang REDD, dan di Indonesiamerupakan bagian dari proses readiness. SesuaiKeputusan COP-13, negara berkembang dannegara maju didorong untuk bekerja samadalam upaya pengurangan emisi dari deforestasidan degradasi hutan di negara berkembang,termasuk di dalamnya dukungan finansial,pengembangan kapasitas dan transfer teknologidari negara maju. Di samping itu, DA-REDD/REDD-plus juga sebagai sarana pembelajaran( learning by doing ) dan membangun komitmenserta sinergi antarpihak terkait. Oleh karenanya,pembangunan DA-REDD/REDD-plus meru-pakan komponen penting dari Strategi Re-adiness REDD Indonesia, yakni diimplemen-tasikannya berbagai kegiatan terkait denganmetodologi, kebijakan, pelibatan stakeholders,dan lain-lain.

Skema REDD/REDD-plus sesuai sema-ngat awalnya adalah untuk membantu negaraberkembang yang mengalami masalah defo-restasi dan degradasi hutan (dengan mengu-rangi kadar kerusakannya), namun tetap dapatmelanjutkan pembangunan nasional secaraberkelanjutan. Dalam perkembangan kemu-dian, REDD/REDD-plus diperkenalkan sede-mikian rupa kepada stakeholders di berbagaitingkatan sebagai perdagangan komoditas kar-bon. Saat ini marak tawaran berupa voluntarycarbon trading/market pada level proyek( project-based activity ) yang tidak jelas ka-itannya dengan apa yang berkembang dalamnegosiasi atau kebijakan negara maju tertentusebagai pembeli potensial kredit yang diha-

silkan dari perdagangan tersebut. Demikianpula dengan implementasi proyek perdagang-an karbon dalam setting REDD/REDD-plusnasional. Memang, seluruh masyarakat inter-nasional masih dalam proses belajar danpersepsi terhadap REDD/REDD-plus punsangat beragam. Semua memiliki kebenaranmasing-masing, namun pada akhirnya envi-ronmental integrity di tingkat nasional danglobal merupakan keniscayaan dalam rangkamemaksimalkan manfaat dari sisi iklim danpembangunan nasional berkelanjutan di negaraberkembang.

Dengan realita seperti itu, serta melihatkondisi hutan di Indonesia (lihat, Diagram 7, 8dan 9), opsi apa saja yang dapat dipilih dandilakukan Indonesia dalam aksi penguranganemisi dari sektor kehutanan? Bila menyimak 2/3 luas daratan Indonesia berupa kawasan hutan,dapat dipastikan tekanan terhadap keberadaan

Diagram 7. Perbandingan Luas Areal Berhu-tan dan Tidak Berhutan Menurut Fungsi

Sumber: Departemen Kehutanan Republik Indo-nesia, Rekalkulasi Penutupan Lahan IndonesiaTahun 2008 (Jakarta: Pusat Inventarisasi danPerpetaan Kehutanan Badan Planologi KehutananDepartemen Kehutanan, 2008).

Page 70: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

69Nur Masripatin, Hutan Indonesia

hutan di masa mendatang akan semakin me-ningkat seiring dengan pertambahan jumlahpenduduk dan kebutuhan pembangunan.Diagram 7 menunjukkan perbandingan antaraareal berhutan dan tidak berhutan di setiapfungsi kawasan berdasarkan hasil penafsirancitra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2005/2006yang dilaksanakan Departemen Kehutanan.Areal tidak berhutan pada kawasan hutan dapatberupa semak belukar, padang rumput, tanahterbuka dan lain-lain yang di antaranya terjadikarena aktivitas manusia. Sementara areal yangberhutan juga memiliki kondisi beragam mulaidari hutan primer hingga hutan sekunder de-ngan berbagai kondisi. Diagram 8 menunjukkankondisi atau jenis hutan pada areal berhutan,baik di dalam kawasan hutan maupun arealpenggunaan lain (APL).

Sektor kehutanan telah dimasukkan seba-gai bagian penting dari target nasional pe-ngurangan emisi GRK sebesar 26 persen pada2020 dari kondisi business as usual . Ini berartikegiatan di sektor kehutanan menjadi bagiandari Upaya-upaya Mitigasi yang Tepat di TingkatNasional ( Nationally Appropriate Mitigation

Actions/NAMAs) mencakup kegiatan (1) pe-ngelolaan lahan gambut secara lestari (kawasanhutan), (2) pengurangan laju deforestasi dandegradasi hutan, dan (3) pembangunan proyekpenyerapan karbon di sektor kehutanan. Indo-nesia juga berada dalam Phase Readiness(penyiapan perangkat metodologi, institusi, danlain-lain) untuk pada saatnya memasuki skemapasar REDD-plus dengan pendekatan nasionaldan implementasi di tingkat subnasional. Ar-tinya, semua aktivitas REDD-plus di tingkat sub-nasional menjadi bagian integral dari nationalsetting REDD-plus. Sampai saat ini, dalam ne-gosiasi di bawah naungan UNFCCC, Indonesiamenempatkan REDD-plus tidak sebagai bagiandari NAMAs. Tulisan ini menyajikan beberapaopsi implementasi REDD-plus di Indonesia dankegiatan terkait pengurangan emisi dari sektorkehutanan. Diagram 7, 8, dan 9 menunjukkanproporsi kawasan berhutan dan tidak berhutan,

Diagram 8. Kondisi Penutupan Lahan Ber-hutan

Sumber: Departemen Kehutanan Republik Indo-nesia, Rekalkulasi Penutupan Lahan IndonesiaTahun 2008 (Jakarta: Pusat Inventarisasi dan Per-petaan Kehutanan Badan Planologi KehutananDepartemen Kehutanan, 2008).

Diagram 9 . Penutupan Lahan Berhutan pada7 (Tujuh) Kelompok Pulau/Kepulauan Besar

Sumber: Departemen Kehutanan RepublikIndonesia, Rekalkulasi Penutupan Lahan IndonesiaTahun 2008 (Jakarta: Pusat Inventarisasi danPerpetaan Kehutanan Badan Planologi KehutananDepartemen Kehutanan, 2008).

Page 71: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

70 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

kondisi hutan pada semua fungsi kawasan, sertasebarannya menurut wilayah (baca: pulau) danfungsi kawasan. Informasi ini dapat dijadikanbasis dalam menetapkan aksi penguranganemisi dan kegiatan mitigasi lainnya dari sektorkehutanan, baik dalam konteks NAMAs mau-pun REDD-plus dan skema lainnya.

Posisi “pro” dan “kontra” dalam opsi-opsitersebut bisa dikaji lebih dalam lagi, sehinggakeputusan tentang mitigasi perubahan iklimmelalui pengurangan emisi di sektor kehutanandapat dikatakan telah mempertimbangkan ber-bagai aspek. Opsi-opsi tersebut adalah sebagaiberikut:1. Dari sisi cakupan aktivitas REDD-plus, areal

berhutan yang masih dalam kondisi baikdapat diarahkan untuk pengurangan emisi(REDD) dan konservasi karbon, sementaraareal hutan yang telah terdegradasi diarah-kan ke peningkatan stok karbon, misalnya,melalui restorasi, rehabilitasi, dan pengem-bangan hutan tanaman sesuai tingkat degra-dasi dan kesesuaian fungsi hutan.

2. Bila fungsi hutan dipakai sebagai basis per-hitungan, dan mempertimbangkan perkem-bangan negosiasi UNFCCC, maka (a) Hu-tan Konservasi dan Hutan Lindung dapatdiarahkan untuk konservasi karbon ataupengurangan emisi dari degradasi hutan bilaterdapat tekanan cukup besar terhadapkawasan tersebut; (b) Hutan Produksi un-tuk pengurangan emisi dari degradasi hu-tan; (c) Hutan Konversi untuk penguranganemisi dari deforestasi; dan (d) semua arealuntuk peningkatan stok karbon melaluirestorasi hutan atau rehabilitasi sesuai

dengan tingkat degradasi dan kesesuaianfungsi hutan.

3. Bila dikaitkan dengan NAMAs dan mem-pertahankan posisi bahwa REDD-plus Indo-nesia bukan bagian dari NAMAs, maka (a)aksi nasional ( unilateral NAMAs) dapatdipenuhi melalui program/kegiatan reha-bilitasi hutan dan lahan (RHL), Hutan Ta-naman Industri (HTI) dan Hutan Rakyat(HR); (b) aksi nasional plus dukungan in-ternasional ( supported NAMAs) berupa hi-bah untuk pengelolaan Hutan Konservasi,Hutan Lindung, Hutan Kemasyarakatan,Hutan Desa, dan Hutan Adat; (3) REDD-

plus dengan market-based untuk pengelola-an Hutan Produksi, hutan di areal penggu-naan lain (APL berhutan), dan Hutan Kon-versi.

Penutup

Pengurangan emisi bagi negara berkem-bang bersifat sukarela dan tetap dalam kontekspembangunan berkelanjutan, dengan meletak-kan penanggulangan kemiskinan sebagai priori-tas dari semua aksi. Seberapa besar kemam-puan Indonesia menurunkan emisi dan bagai-mana emisi dapat dikurangi melalui sektor-sektor prioritas adalah masalah kebijakan.Kebijakan tersebut harus diimplemetasikansecara terintegrasi antarsektor dan antarlevel(nasional, provinsi, kabupaten, hingga desa)karena pada saatnya perlu dibuktikan bahwahasil upaya pengurangan emisi GRK Indonesiatelah dilakukan secara terukur dan transparansesuai dengan guidance COP-UNFCCC.•

Page 72: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Hadapi Perubahan Iklimseperti Berperang

Prisma: Isu perubahan iklim kerap ditang-gapi banyak orang antara percaya dan tidakpercaya. Mungkin karena ilmu adalah tentangketidakpastian sedangkan dampak perubahaniklim itu pun masih akan terjadi jauh di masadepan. Bahkan, sebuah survei menunjukkanbahwa banyak orang tidak terlalu pedulidengan isu perubahan iklim. Bagaimanaseharusnya kita memahami dan menyikapipersoalan tersebut?

Emil Salim: Pertama, perubahan iklimadalah sebuah fenomena evolusioner yangberjalan lambat. Ia bukan berlangsung dalamhitungan satu, lima atau sepuluh tahun, tetapidalam puluhan tahun. Kuncinya adalah emisikarbon dioksida yang menebal di bumi me-nyerupai selimut. Cahaya matahari menyinaribumi dan membuat bumi panas. Lazimnya,panas itu kembali ke udara, sehingga suhu bumikembali normal. Sekarang, ia tertahan oleh

Emil Salim:

D I A L O G Prisma

Isu perubahan iklim ramai diperbincangkan dan dibahas tuntas oleh ilmuwan, parapengambil kebijakan atau media massa, namun tetap saja menyisakan banyak pertanyaan.

Sebuah survei yang dilakukan Gallup Polls terhadap 128 negara pada 2007-2008 me-nunjukkan bahwa semakin negara itu berkembang, penduduknya makin tidak peduli padaisu itu, dan semakin bertambahnya usia penduduk, semakin besar pula ketidakpedulianmereka.

Menurut Mike Hulme, seorang pakar iklim, perubahan iklim bukanlah sebuah masalahyang menunggu untuk dipecahkan. Perubahan iklim lebih merupakan soal fenomenalingkungan, budaya, dan politik, yang mendesak kita untuk menajamkan kembali corak

berpikir tentang cara kita menjalankan kehidupan. Perubahan iklim adalah fenomena yangmungkin baru akan terjadi berpuluh tahun lagi, tetapi ia memaksa kita untuk memi-kirkannya sekarang juga.

Masalahnya adalah, dengan merujuk hasil survei tersebut, bagaimana membuatmasyarakat menyadari bahwa perubahan iklim itu akan (telah?) terjadi secara nyata danmemengaruhi cara kita dalam memandang dan menjalani hidup ini.

Untuk lebih memahami fenomena perubahan iklim, redaksi Prisma berbincang-bincangdengan salah seorang peletak dasar ekonomi Indonesia juga menteri pertama yang mengurus

lingkungan hidup, Prof Dr Emil Salim. Usaha kerasnya untuk mempertemukan konseppembangunan dengan lingkungan, dan konsep ekonomi dengan ekologi, menghasilkan

sejumlah pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan yang kian relevan hingga saat ini.Berikut kutipan dialog MA Satyasuryawan dan Nezar Patria dengan Ketua DewanPertimbangan Presiden itu di kantornya.

Page 73: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

D I A L O G

72 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

dan batu bara. Umpamanya seorang bekas Gu-bernur Texas seperti Bush yang kemudianmenjadi Presiden Amerika Serikat. Texas ada-lah salah satu produsen minyak bumi terbesardi Amerika Serikat. Minyak bumi itulah yang ba-nyak menopang kampanye Bush dan menghi-dupi Texas. Sulit dibayangkan bila Bush kemu-dian mengeluarkan kebijakan untuk mengerem,atau bahkan melarang, penggunaan fosil fuel .

Bergulirlah roda perekonomian yang salingmenautkan industri minyak bumi, batu bara,kapital, industri otomotif, dan lain-lain. Semuarentetan yang mendorong modernisasi itu

bertumpu pada fosil fuel, yakni minyak bumi danbatu bara. Mengapa sejak awal orang tidakmeributkan soal perubahan iklim? Dulu, pada1750-1950-2000, pencemaran relatif kecil.Semua masih bisa diserap oleh alam dan udara.Kemudian terbit sebuah buku berjudul SilentSpring. Kenapa spring itu membisu atau sunyi?Karena burung-burung dan ribuan sel telah ma-ti. Kenapa mereka mati? Karena pencemaran.Kenapa tercemar? Karena perbuatan manusia!Si penulis, Rachel Carson, terus bertanyakenapa, kenapa, dan kenapa, hingga membawapengaruh besar. Manusialah yang mengubahdan membunuh alam.

Prisma: Dari mana asal-muasal muncul-nya isu perubahan iklim?

ES: Sepuluh tahun setelah terbitnya bukuSilent Spring, Perserikatan Bangsa-Bangsamenyelenggarakan sebuah konferensi pada1972. Dalam United Nations Conference on theHuman Environment itu dinyatakan bahwahuman environment kita telah berubah, dan“lingkungan hidup bukan hanya diubah olehmanusia tetapi dihancurkan oleh manusia”. Jadi,kita mesti meninjau kembali cara membangunbumi ini. Setelah konferensi, lahir the UnitedNations Environment Programme (UNEP). Didalam lembaga itu berkembang aneka pemi-kiran yang hendak meninjau kembali prosespembangunan selama ini. Apa betul kita harus

selalu merusak alam? Apa betul spring itu sunyi,

selimut kabut CO , sehingga terpantul kembali2

ke bumi. Bumi semakin panas. Panas itumengakibatkan suhu bumi meningkat, es dikedua kutub mencair, dan permukaan laut naik.Peredaran arus laut membawa perubahan dalamcuaca dan terjadilah perubahan iklim. Suhubumi yang semakin panas membawa dampakberupa perubahan iklim. Proses tersebut tidakberlangsung dalam tempo satu atau dua tahunsaja. Ia berjalan lambat dan berangsur-angsur.Proses itu dimulai sejak Revolusi Industri padaakhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Karenaitu, orang tidak bisa segera melihat dan menang-kap apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

Kedua, mengapa sumber dari CO hanya2

akibat pembakaran bahan bakar fosil? Bahanbakar fosil (batu bara dan minyak bumi) adalahpemicu industrialisasi. Karena industrialisasi diInggris tahun 1750 menggunakan batu barasebagai bahan bakar, James Watt kemudianmemperkenalkan mesin uap, lahir industri bajadan sebagainya, menyusul angkutan mobil,kereta api, dan lain-lain. Apa yang dapat dilihatdi balik fosil fuel dan batu bara itu adalah lahirnyaindustri yang sangat berkepentingan denganfosil fuel dan batu bara. Karena itu, ada kaitansangat erat antara industrialisasi, fosil fuel , batubara, dan CO . Industrialisasi berhasil mencip-

2takan lapangan kerja, mengubah pola hidupmanusia dan seluruh peri kehidupan. Alamyang semula berkembang evolusioner dirom-bak menjadi alam bikinan manusia. Sepertisebuah kota, misalnya. Kota bukanlah ciptaanalam, tetapi ciptaan manusia. Produksi panganyang awalnya sangat bergantung pada alam,dengan adanya pelbagai energi yang melahir-kan pupuk kimia dan lain-lain, memungkinkanproduksi dapat meningkat pesat.

Perubahan dan pencemaran oleh fosil danbatu bara itu memberi “manfaat” sangat besar,yakni industrialisasi. Industrialisasi melahirkanbanyak kepentingan. Amerika dan Eropa seka-rang adalah hasil dari industrialisasi berdasarkanfosil fuel dan batu bara. Muncul pelbagai kelom-pok kepentingan ( interest group ) yang maju, ka-ya, dan makmur dengan mengandalkan fosil fuel

Page 74: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

D I A L O G

73Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang

burung dan segala macam itu mati? Kalauburung mati, ia tidak bisa menyebarkan bibit.Kalau bibit tidak disebar, tumbuhan untukmakanan manusia berkurang. Jadi, ada koneksidan siklus di antara manusia, hewan, burung,cacing, air, dengan iklim. Ekosistem tidak bolehdiputus dan dipatahkan.

Kehidupan ini seperti jaring laba-laba. Je-jaring itulah yang menghubungkan semuanya.Matahari menyinari lautan, air laut menguap,uap ditiup angin menjadi butiran air yang turunke bumi menjadi sungai dan kembali ke laut.Hewan cacing membuat lubang, air masuk kelubang ini dan memungkinkan akar tumbuh.Cacing punya predator bernama ayam, misal-nya. Ayam musuh musang, musang musuhharimau, dan seterusnya. Kenapa ada predator?Seandainya predator punah, maka meledaklahhama, musang, tikus, dan sebagainya. Makakeseimbangan atau equilibrium menjadi katakunci. Kemudian dicari satu “bentuk” pemba-ngunan. Bisakah kita membangun tanpa meng-ubah keseimbangan alami antara manusia danalam? Alam memang berubah, tetapi ada thres-hold (ambang batas). Di atas ambang batas,perubahan itu akan menjadi negatif. Lahir kon-sep sustainable development (pembangunanberkelanjutan). Pembangunan terus berlanjut,dan alam harus mendukung kemungkinanpembangunan berkelanjutan, agar kesejah-teraan manusia bisa meningkat. Pendek kata,alam “bertugas” menunjang kesejahteraanumat manusia. Karena itu, tidak dipertentang-kan antara pembangunan dan lingkungan. Katakuncinya adalah threshold. Jejaring kehidupanakan “mati” bila melewati ambang batas, danakan tetap utuh serta tumbuh bila berada dibawah ambang batas.

Dalam perkembangan seperti itu, modelpembangunan yang banyak memanfaatkanteknologi mau tidak mau harus disesuaikan;bukan teknologi yang eksploitatif, tetapi tek-nologi yang memperkaya. Maka lahir pemba-ngunan dengan teknologi added value (nilai-tambah). Apa teknologi yang dianut? Tebangpohon di hutan. Mengapa pohon itu ditebang?

Prof Dr Emil Salim adalah menteri terlama yangmengurus soal lingkungan (1978-1993).Setelah tidak lagi menjabat menteri, priakelahiran Lahat, Sumatera Selatan (8 Juni1930) tetapi berdarah Minang ini, tetapberkutat pada soal lingkungan denganmengajar di Pascasarjana ilmu lingkunganUniversitas Indonesia, serta aktif di YayasanPembangunan Berkelanjutan (YBP) danYayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati).

Di era Reformasi, Emil kembali ke pusarankekuasaan sebagai penasihat PresidenAbdurrahman Wahid dan Megawati SoekarnoPutri, serta Ketua Dewan PertimbanganPresiden merangkap anggota bidanglingkungan dan ekonomi pada pemerintahanSusilo Bambang Yudhoyono (2010-2014).

Doktor ekonomi lulusan University of Californiaat Berkeley (1964) dan sarjana ekonomi UI(1958) itu juga memangku berbagai jabatan,seperti Anggota Majelis Wali Amanat UI (2007-2012), Anggota Akademi Ilmu PengetahuanIndonesia (1995-sekarang), dan anggotapimpinan Yayasan Penelitian tentangPendapatan Nasional Berkelanjutan. Dia jugapernah memimpin delegasi Indonesia untukUNFCCC di Bali (2007), Eminent Person BankDunia untuk Mengkaji Pengembangan IndustriEkstraktif (2001-2004), dan Chairperson ofthe 10th United Nations Commission onSustainable Development (2001-2002).

Page 75: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

D I A L O G

74 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

Kenapa kita tidak memperkayanya, misalnya,dengan memanfaatkan kulit kayu menjadi bahanbaku obat. Atau mikro organisme yang di-butuhkan oleh industri kosmetik, jamu, dan lain-lain. Mikro organisme juga bisa dijadikan bahanbaku obat atau makanan seperti tempe. Jadi,manusia bisa menjadikan sumber daya alamsebagai produk yang bermanfaat tanpa harusmenghancurkan alam. Contoh lain lintah ataupacet tanah yang mempunyai bisa hirudin. Kitamenganggap hewan itu tidak bermanfaat. Se-benarnya, hirudin bisa dijadikan obat untukmemecahkan kekentalan darah, sumber pe-nyakit stroke dan serangan jantung.

Dengan kemampuan ilmu dan teknologi ,ada beberapa teknologi yang tidak eksploit tapimemperkaya, seperti bioteknologi, bioinsekti-sida, biopestisida, biofertilizer , bioagrikultur, bio-arsitektur, dan sebagainya. Umpamanya, bentukrumah lebah. Sarang lebah itu seperti rumahsusun terdiri dari lima sisi, bukan empat sisi.Anehnya, kecuali air hujan, udara dan sinarmatahari dapat masuk keluar dengan leluasa.Jadi, ada satu atau beberapa hal yang dapatdipelajari manusia dari dunia hewan, sepertiletak atau struktur rumah yang ideal; yangkemudian “melahirkan” ilmu feng shui . Alam inipenuh dengan ilmu yang dapat kita manfaatkan.Intinya adalah kita mempelajari pembangunandari alam, sehingga pembangunan tidak meru-sak alam. Kerusakan alam paling dahsyat ada-lah perubahan iklim yang membuat air laut naikdan bisa menenggelamkan beberapa pulau ke-cil seperti Maldives. Bila air laut pasang, pulauitu nyaris tenggelam. Kenapa 10-15 tahun laluia tidak tenggelam? Kenapa permukaan lautnaik? Molekul-molekul menyebar. Mengapamenyebar? Bumi panas. Mengapa bumi panas?Climate change! Sebagian pakar memperki-rakan Maldives akan lenyap ditelan lautan seki-tar tahun 2025-2030. Kalangan bisnis, politikus,dan pemerintah yang tahu bahwa permukaanair laut telah naik menghitung sekitar 5 tahunlagi Maldives tenggelam. Mereka berpikir dalamjangka pendek, sedangkan perubahan alamterjadi dalam jangka panjang.

Prisma: Mengapa isu perubahan iklimditentang sebagian masyarakat?

ES: Orang itu is living in todays world, he�doesn’t care about tomorrow. Semakin bertam-bah usia, semakin tidak peduli. Tapi besok tidakbisa lagi demikian. Jadi, yang harus sensitifterhadap perubahan itu kaum muda. Merekayang memasuki usia senja tentu tidak akanmenyaksikan tenggelamnya 2.000 pulau Indo-nesia pada 2030 nanti. Mereka tidak akanmelihat naiknya permukaan laut di pantai utaraJawa. Generasi muda yang akan mengalaminya.Status quo oriented adalah jawaban mengapa“generasi tua” tidak terlalu peduli. Sebagian be-sar orang yang tidak peduli adalah, pertama ,karena tidak berpengetahuan, tetapi menghen-daki kenyamanan , dan, kedua , generasi yanghidup dalam kekinian dengan jangkauan pemi-kiran ke depan sangat terbatas. Sebagian besarintelektual juga tidak bisa menerangkan secarasistematis kepada generasi muda. Itu menje-laskan kenapa dunia terpecah, kelompok negaramaju yang sudah mapan dan tidak mau berubah.Siapa yang paling tidak mau berubah? AmerikaSerikat di bawah Bush tidak mau menanda-tangani Protokol Kyoto, dan Obama tidak men-dapat mandat dari Senat untuk menghadirikonferensi di Kopenhagen. Siapa di belakangsemua itu? Lobi minyak dan Wall Street. Siapamereka? The current industrialists. As a matterof interests, ada cara pandang jangka pendekversus jangka panjang antara kelompok-kelom-pok mapan dan “pembaru”.

Prisma: Kenapa persoalan ekonomi danlingkungan yang telah lama dibicarakan diIndonesia sejak tahun 1970-an belum jugaselesai hingga kini?

ES: Pihak-pihak yang membicarakan soalperubahan iklim hanya di lingkungan UNEPsaja. Dana Moneter Internasional, Bank Dunia,dan organisasi-organisasi “Wall Street’s”, eng-gan menyinggung soal itu. Ketiganya memangsangat berkepentingan dengan perekonomian

Page 76: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

D I A L O G

75Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang

yang didikte oleh mekanisme harga ( pricemechanism). Namun, mekanisme harga di situtidak menyentuh atau menanggung biaya ling-kungan. Harga bahan bakar minyak harus di-subsidi supaya tarif angkutan murah. OperasiKereta Api Parahyangan dihentikan karenalebih mementingkan pengembangan jejaringjalan tol. Padahal, meski memang tidak“nyaman”, moda transportasi kereta api itu jauhlebih bersih, tidak ada CO . Kereta api rakyat

2“dimatikan” karena kalah bersaing dengankendaraan ber-CO . Lantas, siapa yang mem-

2bayar CO ? No one . Kita menyubsidi CO . Kita

2 2membiarkan harga bensin tetap rendah. Siapaakhirnya yang membayar CO ? Mereka yang

2tidak mampu. Bayi-bayi di bawah usia 5 tahunmeninggal karena udara tercemar. Kereta apirakyat mati karena tidak mampu bersaingdengan kendaraan ber-CO . Semua lembaga

2ekonomi, termasuk Wall Street, World Bank,WTO, bekerja dalam “ekonomi yang terdis-torsi” ( distorted economy ). Biaya lingkungantidak dimasukkan dalam struktur harga, danotomatis diabaikan.

Padahal, selama dua belas bulan matahariterus-menerus bersinar. Kenapa kita mengem-bangkan sumber “energi surya” ( solar energy) ?Kita memiliki pantai sepanjang 80.000 kilo-meter. Kenapa “energi dari gelombang lautpantai” ( beach energy ) tidak berkembang?Indonesia memiliki ratusan sungai. Kenapamikrohidro tidak jalan? Semua kalah denganbahan bakar fosil yang disubsidi. Semua orangpasti akan ribut bila saya bicara soal naikkanharga bensin. Orang tak peduli dengan pence-maran yang diakibatkan pemakaian bahan bakarfosil. Setiap orang mau serba murah. Murahberarti ongkos pencemaran dan kerusakanlingkungan tidak dipikul oleh pengusaha.

Gerakan lingkungan sesungguhnya sedangmenghadapi “kegagalan pasar” ( market failure )dalam menampung atau mengatasi biaya-biayalingkungan. Lembaga internasional sepertiUNEP memang telah tumbuh, tetapi tidakpernah bisa masuk ke dalam WTO, IMF, danWorld Bank, untuk dapat menentukan pereko-

nomian internasional. Siapa yang menentukanperekonomian dunia? Negara-negara industrimaju yang mengendalikan dan mengandalkanbahan bakar dasar berupa bahan bakar fosil.Itulah — market failure, interest group para in-dustrialis, serta mereka yang menghadiri“Davos” — yang mencemari dunia dan me-nguasai hampir semua media massa. Ketikahendak membahas climate change, lahir Inter-governmental Panel on Climate Change berisiratusan ilmuwan. Di kalangan ilmuwan sendirimuncul silang-pendapat. Ada yang mengatakancitra IPCC “terlalu menakutkan”, omong kosong,dan sebagainya. Di Indonesia sendiri masihbanyak yang menyetujui pemakaian batu barasebagai bahan bakar. Banyak hutan di Kali-mantan dibabat habis untuk dijadikan arealtambang batu bara. Artinya, interest group yanghidup dengan pola business as usual tetapbergeming.

Prisma: Bagaimana caranya supaya biaya-biaya lingkungan masuk ke dalam perhitunganbisnis?

ES: Prinsip pertama pola pembangunantidak dibangun dalam jangka pendek, bukansepanjang dia berkuasa, baik di pemerintahanmaupun di bisnis. Ia harus dibangun dalamjangka panjang dan berkelanjutan. Alam ituselalu berlanjut! Ayam bertelur, dan telur akanmenjadi ayam. Pohon pepaya atau pisang akanberbuah. Setelah itu mati, berbuah, mati, danbegitu seterusnya. Manusia juga seharusnyamelakukan seperti itu. Apa yang mendorongpembangunan berkelanjutan? Sumber dayaalam, baik yang tidak bisa diperbarui maupunyang dapat diperbarui. Misalnya, timah di PulauBangka yang akan habis pada 2030. Bagaimanabila mesin pertumbuhan di Bangka berhentilantaran kehabisan timah? Saya pernah me-ngatakan, “pemerintah daerah Bangka tumbuhmaju dengan mengandalkan non-renewableresource, tetapi jangan semua dihabiskan. Andajuga harus ‘menanam’ pada renewable resourceberupa pertanian, perkebunan, perikanan,

Page 77: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

D I A L O G

76 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

pariwisata, dan human resource seperti Singa-pura. Ketika timah habis, bisa beraliah ke situ.”

Tumpuan pembangunan berkelanjutan ada-lah renewable resource yang ditopang oleh“kekuatan akal”, seperti Swiss atau Singapura.Karena itu, hasil sumber daya alam sepertiminyak bumi jangan dihabiskan. Minyak Indo-nesia akan habis pada 2015. Bila minyak habis,apa yang dapat menggantikannya. Brain power !Kedua, dua pertiga wilayah Indonesia berupalaut penuh dengan aneka ikan. Ikan itu akanselalu memperbarui diri. Kita jangan overfishing. Sayangnya, jumlah ikan di Selat Sunda,Selat Malaka, Selat Bangka, Selat Bali, dan LautJawa, mulai menurun drastis karena over fi-shing. Begitu pula hutan. Hutan itu renewableresource, tetapi kecepatan menghancurkanhutan lebih besar daripada kecepatan menum-buhkan hutan. Jalan keluarnya seperti tukangcukur yang menggunting rambut setiap bulan.Dia hidup dari rambut kita yang dia gunting.Bila dianalogikan dengan hutan, dia hidup darihasil hutan yang bisa dia ambil. Diameterpohon tumbuh 1 cm setiap tahun. Setelah 60cm ke atas, pohon itu bisa ditebang. Akantetapi, untuk mencapai diameter setebal itubutuh waktu puluhan tahun. Jangan ditebang.Dulu ada yang namanya “tebang pilih tanamIndonesia” dan “hutan tanaman industri”. Apa-kah pabrik bubur kertas dan kertas boleh didi-rikan? Boleh, tetapi harus menanam pohonterlebih dahulu sebelum membangun pabrik.It can be done, mengikuti teori gunting ram-�but”, dan dengan teknologi yang bisa menaik-kan nilai tambah.

Prisma: Apa strateginya?

ES: Seorang teman pernah mengatakankepada saya bahwa satu hektar hutan di Riaumemiliki mikro organisme yang bisa menjadibahan kosmetik, obat-obatan, dan produk laindengan nilai seratus ribu buah kelapa sawit.Akan tetapi, dia menghendaki brain power .Strategi pembangunan yang selalu saya dorongadalah value added terrestrial (daratan) dan

tropical rainforest based development. Indo-nesia adalah pemilik hutan hujan tropis nomor2 terbesar setelah Brasil. Indonesia juga me-miliki dua pertiga kawasan laut tropis. Indonesiamerupakan satu-satunya kepulauan di kha-tulistiwa. Artinya, mikro iklim di Aceh berbedadengan Banten, Manado, atau Papua. Jenistanah dan tanamannya juga beraneka. Itukekuatan Indonesia. Buah durian yang tumbuhdi Kalimantan berbeda dengan durian Riau, JawaTengah, dan sebagainya. Begitu pula bunga.Belanda mengembangkan koekenhoff danmengekspor bunga ke seluruh Eropa. Bungayang dibiakkan di dalam rumah kaca itu se-sungguhnya adalah bunga Indonesia! SeluruhIndonesia adalah rumah kaca. Kita membutuh-kan otak, ilmu pengetahuan dan teknologi supa-ya bunga itu tidak cepat layu. Laut pun bukansekadar ikan, ada terumbu karang, padanglamun, rumput laut, dan sebagainya. Semuanyaadalah bahan baku untuk obat-obatan, kosmetik,dan sebagainya, yang belum digarap maksimal.

Apakah bisa resource base yang unik, yang tidakada di Eropa, Jepang, China, dan Amerika itu,ditambah kekuatan otak membuat kita punyaposisi yang sangat kuat. Kita menghadapi Chinatidak dengan kekuatan otot. Kita punya tropicalmarine, tropical rain forest, pacet, dan lain-lain.Jadi, dalam rangka menghadapi persaingandengan negara lain, arah pembangunan dengannilai tambah berbasis sumber daya alam, ilmu,dan teknologi harus dikembangkan dengansungguh-sungguh. Bioteknologi harus kitapelopori dengan memanfaatkan keunikan sum-ber daya alam daratan dan lautan.

Sekarang, kita harus menghadapi peru-bahan iklim. Bagaimana cara menghadapinya?Ambil contoh Negeri Belanda yang berada dibawah permukaan laut. Mereka memiliki tekno-logi dan alat yang memang sangat mahal. SukuBajo di Indonesia mencari mata pencahariandan bermukim di atas laut. Bila pergi ke SungaiMusi, Batanghari, atau Barito, kita dapat me-nyaksikan beberapa rumah yang mengambangdi tepi sungai. Kenapa mereka yang berdiam dirumah-rumah itu tidak memasang alat peredam

Page 78: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

D I A L O G

77Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang

( shock breaker ) seperti mobil, sehingga peng-huninya tidak bergoyang ketika diterpa gelom-bang sungai. Kenapa tidak ada teknologi yangbisa meredam gelombang air laut, sementarapenghuninya tetap mantap di dalam rumah? Iniyang saya maksud science and technology . Kitaini negeri kepulauan dengan 17.508 pulau.Untuk memasok energi dibangun kabel melin-tasi laut atau selat. Kabel ditanam di bawah lautatau selat. Itu tidak cocok. Kenapa tidakmembangun energi per pulau? Kalau per pulau,maka ini berarti lokal. Kalau lokal, berartisumber energi lokal bisa berupa sinar surya,angin, hujan, hydropower, biomassa dan seba-gainya. Jadi, tidak cocok kalau kita membangunsistem energi terpusat di satu tempat.

Prisma: Indonesia punya cadangan karbondan hutan gambut yang besar. Bila lahangambut dibuka, karbon akan terlepas ke udara.Di sisi lain, Indonesia harus menumbuhkanperekonomian sekaligus melestarikan ling-kungan. Bagaimana kedua hal itu bisa jalanbersamaan. Memang bukan isu baru, tetapikerusakan hutan belakangan ini tampak kianmeluas. Artinya, dari sisi kebijakan mungkinbagus, tapi bagaimana dengan soal birokrasi,koordinasi, dan penegakan hukum?

ES: Kalau berbicara perubahan iklim, kitabicara tentang iklim yang dipengaruhi olehpencemaran dari China, Jepang, Amerika, dansebagainya. Bumi ini seperti pesawat terbang.Negara-negara maju berada di kelas satu, se-dangkan kita duduk di kelas ekonomi. Sayakatakan kepada penumpang kelas satu, “ Youmengisap cerutu yang asapnya masuk ke ruangkami. Kami mendapat dampaknya. Kami mam-pu menyerap asap itu dengan hutan-hutan kamidan sebagainya. Kalian menikmati cerutu itu,sementara kami menampung asap itu. Kaliantidak membayar kami. Di mana keadilan itu?”Kemudian saya mulai membangun. Saya jugamengeluarkan asap, tetapi tuan marah, “Jangan,kalau kamu keluarkan asap juga, pesawat akanpenuh asap dan pengap!”

Sebagaimana diketahui, total emisi AmerikaSerikat adalah 27 persen dari seluruh dunia.Amerika, Eropa, Rusia, dan negara maju lainnyatotal menyumbang 65-70 persen emisi. Jadi,asap di kapal terbang itu 70 persen berasal darikelas satu. Sekarang, saya mau membangun danminta ruang. Karena saya membangun denganmemakai teknologi kamu, maka saya jugamengeluarkan asap. Saya perlu ruang 30 persenuntuk dicemarkan. “Jangan ke ruang kelas satu,nanti penuh.” Kalau jangan, maka kalian yangharus turun dari 70 ke 40, dan kami naik menjadi30 persen. Jadi, asap yang beredar di kabin pe-sawat tetap 70 persen. “Oh, tidak bisa begitu,itu menghambat pembangunan,” kata mereka.Kalian bilang tidak mau turun karena meng-hambat pembangunan kalian, tetapi kami tidakboleh naik karena akan merusak kalian. Tidakfair! Itu intinya.

Negara berkembang memerlukan ruanguntuk pencemaran. Batas 450 ppm, kenaikansuhu 2 derajat Celcius, itulah yang 70 persen.Itu pertempuran pertama. Pertempuran kedua,“kalian menghasilkan 70 persen, tetapi tidakmembayar sepeser pun. Kami menyerap 70persen itu dengan pohon, lahan gambut, dan lautkami. Apa imbalan untuk kami? Andai kamimembuka hutan, 70 persen itu tentu tidak bisadiserap dan akan mengganggu kalian. Apaimbalannya? Lahirlah REDD (Reducing Emis-sions from Deforestation dan Degradation).Pertempuran ketiga, kami ini duduk di kelasekonomi yang terkadang tidak diberi makandan minum. Kalian bebas membuang beranekamacam asap, dan dapat tidur nyenyak belasanjam dalam perjalanan udara dari Washington keJakarta. Kami ingin rakyat kami juga maju danmenikmati kenyamanan. Nah, untuk maju, kamiperlu ruang untuk dicemari. Kalau kalian tidakbersedia ruang kalian dicemari, maka transferteknologi supaya kami tidak mencemari ruangkalian.

Apa kata Bush? “ We have a technicalcooperationŽ. Good! �But through the privatesectorŽ. Kami harus membayar teknologi, karenasektor swasta tidak memberi hadiah. Artinya,

Page 79: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

D I A L O G

78 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

negara berkembang harus membayar alihteknologi dari negara maju. Selain itu, negaraberkembang juga diharuskan menjaga dan me-nurunkan emisi. Jangan mencemarkan. Kurangajar itu kan!, tapi kami mau membangun supayarakyat kami yang miskin bisa makan. Karenakami tidak boleh mencemarkan, maka kalianharus bayar bukan sebagai “bantuan” ( aid ),tetapi sebagai sebuah “kewajiban” ( obligation ).Karena kalian yang mencemarkan, kami yangmenjadi korban. Lahirlah common but different-iated responsibility. Bumi ini adalah tanggungjawab kita bersama. Kita berada di pesawat yangsama, tetapi ruang kita berbeda. Kalian di kelassatu, kami di kelas ekonomi. Beban dan tang-gung jawabnya tentu berbeda. Bagi kami, yangsangat penting di dalam pembangunan itu ada-lah bagaimana menurunkan kemiskinan. Iklimmemang penting, tetapi kalau kami harusmembayar 1 dolar untuk membeli alat pengen-dali climate change , berarti dolar itu tidak bisapakai untuk membuka lapangan kerja mengatasikemiskinan. Climate change mungkin baru akanterjadi 5-10 tahun ke depan, tetapi rakyat kamitidak bisa menunggu hari esok untuk makan. Iniprioritas utama kami. Namun, bila kalian mem-beri kami cara bagaimana membangun kedua-nya ( the co-benefit approach ) melalui transferteknologi dan co-funding, maka pembangunanitu akan bepengaruh ganda — pengentasankemiskinan sekaligus pengurangan CO .

2

Prisma: Presiden SBY telah menetapkantarget penurunan emisi Indonesia sebesar 26%.Apakah itu sudah mencakup alokasi sumberdaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan?

ES: Mengapa Indonesia secara sukarelamengajukan diri, tidak menunggu Kopenhagen?Sejak bulan Oktober, Indonesia sudah komitminus 26 persen dari business as usual. Kalauberjalan seperti biasa, tahun 2000, 2020, 2050,bumi semakin panas. Dampaknya akan sangatdirasakan oleh negara-negara kepulauan yangberada di sekitar garis ekuator, bukan Zaire,Kongo, Brasil, Eropa, Amerika Latin, Kanada,

Rusia, atau Jepang. Perubahan iklim terbesarakan terjadi di sekitar garis ekuator. Indonesiatermasuk yang menjadi korban, sedangkan esdi Himalaya, Kanada, dan Alaska, akan mencair.Mereka mendapat tanah tambahan. Air laut bisadiolah menjadi air tawar, tetapi tidak ada yangbisa membikin tanah. Mereka dapat tanah“baru”, sedangkan kita tenggelam. Sampai saatini tercatat 29 pulau di Indonesia yang telahtenggelam, menyusul menciutnya luas tanah di2.500 pulau. Bagi Indonesia, isu perubahan iklimbukan hanya soal diplomasi semata, tetapi lebihas survival of the nations. Kalau kita hanyamenunggu, berjalan seperti apa adanya, tanahair kita bisa tenggelam.

Kedua, apa yang dimaksud perubahaniklim? Curah hujan yang tak menentu dan airmenguap cukup cepat. Apa makanan pokoksebagian besar penduduk Indonesia? Beras.Makanan pokok kita itu sangat bergantung padaair. Bila menguap dengan cepat, bagaimana kitabisa menanam padi tanpa air? Ketiga, adanyaperubahan curah hujan yang semula berlang-sung bulan September-Desember, kita bekerjadi sawah menanam padi, atau mendengaralunan suara kodok. Iklim tiba-tiba berubah.September belum turun hujan. Begitu pula dibulan Januari, Februari, dan April. Air hujantidak kunjung turun. Akibat tak menentunyacurah hujan, pola tanam menjadi kacau. Keem-pat, penyakit. Muncul penyakit-penyakit baruyang tidak pernah kita kenal, yang terkait de-ngan kekeringan maha dahsyat. Jadi, soal peru-bahan iklim bukan sekadar pidato, tetapi lebihpada kelangsungan pulau-pulau, kelangsunganpangan. Bagaimana kita bisa memelihara ke-tahanan pertanian kita yang didera aneka mac-am perubahan musim? Bagaimana kita bisamenanggulangi munculnya penyakit yang ber-kaitan dengan kekeringan seperti malaria,disentri, dengue, dan lain-lain.

Prisma: Bagaimana mengubah sikap danmental masyarakat termasuk aparat, semen-tara mereka ini tidak terlalu peduli denganperubahan iklim?

Page 80: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

D I A L O G

79Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang

ES: Mengubah mental sangatlah sulit.Kuncinya adalah “rencana tata ruang” ( spatialplanning). Dalam merencanakan tata ruang, kitaharus mengetahui secara pasti sumber-sumberdaya yang ada, termasuk air yang mengeringatau perusakan lahan gambut yang dapat mele-paskan CO ke udara. Memang, persoalannya

2kita selalu business as usual. Seluruh Riau,Kalimatan Barat, Kalimantan Selatan, dan Pa-pua, dijadikan perkebunan kelapa sawit. Kitaharus meninjau ulang kebijakan itu. Memangtidak mudah, kalau kita mau berubah. That isthe battle. Jadi, presiden mengajukan komit-men pengurangan emisi minus 26 persen itutidaklah gampang. Sangat jarang presiden yangmau melawan arus, apalagi para investor yangsudah bergelimang uang. Itulah tantangan bagikeputusan politik.

Sekarang, aparat harus mendukung penuh.Namun, Indonesia ini ibarat kapal tanker besar.Bila mau mengubah haluan, ia tidak bisa secepatspeed boat. Bila mau banting haluan, radiusputarnya sangat lebar. Akan tetapi, kita tetapharus memutar haluan. Kenapa lambat? Karenakita ini kapal tanker. Apalagi seorang bupatiyang hendak gunting pita pada tahun ke-5,merayakan keberhasilannya dalam memimpinsuatu daerah. Dia ingin dipilih kembali, tetapitidak diperbolehkan memperluas areal perke-bunan kelapa sawit yang selama itu menjadiandalan perekonomian daerahnya. Bagaimanacaranya supaya dia terpilih kembali? Maka,terjadilah konsultasi antara pemerintah pusatdan daerah. Indonesia itu sedang mencariperubahan di tengah semaraknya otonomi ataudesentralisasi. Pemerintah pusat tidak lagiberkuasa seperti zaman Pak Harto. Ia berhentipada level provinsi. Gubernur tidak bisa menga-tur langsung bupati. Bupati punya DPRD. Bu-pati sendiri dipilih langsung oleh rakyatnya.Kalau zaman dulu, hitam kata Pak Harto, hitamkata kabinet, hitam kata gubernur, hitam pulakata bupati. Ada Kopkamtib, Babinsa, Korpri,dan Golkar. Hitam di sini, hitam pula di sana.Kalau sekarang, hitam kata SBY, belum tentuhitam kata kabinet koalisi. Gubernur dan DPRD

dipilih langsung, “Saya ini dipilih rakyat.” Begitupula bupati, “Aku juga dipilih rakyat.” Kita ber-kata hitam, belum tentu di sana hitam. Pendekkata, kepemimpinan yang sekarang tidak samadengan kepemimpinan di zaman Pak Harto.

Prisma: Bagaimana menyatukan persepsiyang berbeda seperti itu?

ES: Perlu pertimbangan mendalam. Sayamelihat pertemuan pemerintah pusat dan pe-merintah daerah di Cipanas, Tampak Siring, Bi-dakara, itu sebagai proses pembelajaran. Indo-nesia bukan hanya Riau. Indonesia juga bukanhanya Papua. Kalau kalian menuntut semua ha-sil pendapatan minyak bumi hanya untuk dae-rah kalian saja, lantas bagaimana dengan NusaTenggara Barat? Tingkat kematian bayi di pro-vinsi itu tinggi, sementara tingkat pendidikan diNTT tercatat paling rendah. Komunikasi dariAceh ke NTT memang tidak mudah. Jadi, yangbisa menyatukan adalah common plan , pe-rencanaan bersama seperti fokus pada “ pro-growth, pro-job dan pro-poor.Ž Presiden selalumengimbau jangan terfokus pada soal ekonomisaja, tetapi juga pada millennium developmentgoal, kemiskinan, tenaga kerja, dan sebagainya.Selama ini, bupati melulu berkampanye soalekonomi. Mind set -nya selalu ekonomi. misal-nya, kapan hutan bisa dibabat habis? Merekamemandang hutan sebagai free resource . “Me-ningkatkan pendapatan asli daerah”, demikianbahasa seorang bupati. Apa yang dimaksuddengan pendapatan asli daerah? Sumber dayayang ada, hutan. Bagaimana menghadapi se-mua itu? Bapak tidak berkuasa lagi, tidak bisamemberi instruksi ke bupati, you dont instruct�the bupati, you talk to the bupati. Dalam eraotonomi daerah, kekuasaan sudah dibagi habis.Presiden bertanggung jawab secara nasional,gubernur di tingkat provinsi, bupati di kabu-paten, dan lain-lain. Kita sekarang berada dalamdunia yang sama sekali berbeda. Sayangnya,masih banyak orang yang belum menyadarisoal itu. Governance (tata kelola) itu pun belumdisetel secara mantap.

Page 81: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

D I A L O G

80 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

Prisma: Menurut perhitungan Anda, kitabutuh waktu berapa lama untuk putar haluan?

ES: Tahun 2014 adalah transisi. Setelah2014, generasi seangkatan saya sudah “habis”diganti generasi lebih muda. Saya percaya padagenerasi muda. Mereka hebat dan memilikiidealisme tinggi. Itulah generasi yang akanmembelokkan tanker itu. Kita sekarang sedangberusaha membelokkan kapal itu.

Prisma: Kalau dampak perubahan iklimpada hasil panen dan segala macam, adakahpenurunan produksi akibat perubahan iklim?

ES: Karena menanam pada saat tidak tepat.Perubahan iklim mengakibatkan musim tanamberubah. Akan tetapi, bila Anda tidak mengubahmusim tanam, siap pada waktu masih muda,kemudian ditimpa hujan, semua pasti akanbusuk. Tanaman padi akan gagal panen karenatidak tepat waktu. Kenapa pemerintah tidakmemberi tahu? Karena kita ini mikro iklim. Luaswilayah Indonesia seperti jarak dari Londonhingga Teheran. Secara nasional, iklim kita tidaksama. Curah hujan di Aceh lain dari Papua. Kitaharus terjemahkan per mikro iklim yang berbe-da-beda itu. Dulu fluktuasi tidak sedahsyatsekarang, sehingga orang bisa bilang musimhujan datang bulan September, Oktober, No-vember, dan Desember. Namun, dengan per-ubahan iklim, fluktuasi menjadi berbeda disetiap daerah. Intensitas hujan di antara musimhujan dengan musim kemarau berbeda. Per-ubahan iklim juga menyebabkan intensitashujan yang berubah, lebih besar pada waktumusim hujan dengan waktu lebih pendek. Saatmusim kemarau, kekeringan akan lebih panjang.Lembaga Biologi Nasional LIPI sedang meng-usahakan bibit padi tahan kering, dan tahanbasah supaya tidak lekas busuk. Pokoknya,mencari bibit padi yang lebih cocok denganperubahan iklim. Jadi, kita harus hidup dalamstruktur iklim yang sama sekali berbeda.

Prisma: Bagaimana kita menghadapiperubahan iklim, dan apa saja yang harusdipersiapkan?

ES: Kita mesti berpikir jauh ke depanseandainya pulau-pulau mengalami masalah na-iknya permukaan laut akibat perubahan iklim,sehingga area daratan menjadi berkurang.Mungkin kita mencari pola tanam lain sepertipohon sagu. Kita ambil skenario terburuk.Kalau permukaan laut meninggi, pohon yangtinggi masih bisa bertahan, bukan padi-padianyang habis tergenang air. Pohon yang karbo-hidratnya tinggi dan kuat adalah sagu. Menurutseorang ahli, bila kita menanam sagu seluasJawa Barat, ini bisa memberi karbohidrat untuk220 juta penduduk Indonesia. Karena itu,menghadapi perubahan iklim, kita harus ber-pikir seperti berperang. Pantai kita bakaldigerogoti air laut. Ketika surut, tanamlah bakaudi area tersisa sampai garis pantai. Sewaktutanaman bakau itu tumbuh berkembang, garispantai sudah makin menjorok ke laut. Ada garispantai yang baru. Kita berperang melawanperubahan itu dengan merebut dan mendudukitanah yang surut dengan pohon bakau. Kitamempunyai 80.000 km garis pantai. Tak ter-perikan bila separuhnya saja kita tanami bakau.Bagaimana orang-orang mau menanam bakau?Bisa tidak pohon bakau dicangkok dengan jenistumbuhan yang bermanfaat seperti buah-buahan, misalnya. Maka, areal tanaman bakauitu bisa menjadi perkebunan. Coba kita ba-yangkan sepanjang pantai yang 80.000 km ituberubah menjadi perkebunan buah-buahan.Dengan demikian, benteng pantai kita tetap ter-pelihara. Jadi, yang semula harus investasimembangun benteng tinggi seperti NegeriBelanda, sekarang orang berebut mendapattambahan tanah dan pendapatan. Kita didukungoleh masyarakat, dan bersama-sama berperangmelawan perubahan iklim. Seperti Suku Bajo,kita tidak melawan alam tetapi hidup bersamaalam•

Page 82: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangatrentan terhadap perubahan iklim yang menye-babkan pelbagai bencana seperti banjir, tanahlongsor, kemarau panjang, angin kencang, dangelombang tinggi permukaan laut. Bahkan, ben-cana tersebut dapat terjadi dalam intensitas lebihbesar dan dirasakan langsung oleh masyarakatpetani, nelayan, pesisir, perdesaan, dan perkotaan.

Dampaknya yang lebih luas tidak hanya menu-runkan dan merusak kualitas lingkungan hidup,tetapi juga membahayakan dan merugikankesehatan manusia, ketahanan pangan, kegiatanpembangunan ekonomi, pengelolaan sumber dayaalam, serta infrastruktur fisik.

Untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaanpengendalian perubahan iklim dan untuk mem-perkuat posisi Indonesia di forum internasionaldalam pengendalian perubahan iklim, dibentukDewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berda-sarkan Peraturan Presiden Republik IndonesiaNomor 46 Tahun 2008.

Di dalam Pasal 3 PP No. 46/2008 itu dise-butkan bahwa tugas DNPI adalah:a. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, pro-

gram, dan kegiatan pengendalian perubahaniklim;

b. Mengoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaantugas pengendalian perubahan iklim yang me-liputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologidan pendanaan;

c. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanismedan tata cara perdagangan karbon;

d. Melaksanakan pemantauan dan evaluasiimplementasi kebijakan tentang pengendalianperubahan iklim;

e. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendo-rong negara-negara maju untuk lebih bertang-gung jawab dalam pengendalian perubahaniklim.

DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM Sebagai Ketua Dewan Nasional Perubahan

Iklim, Presiden Republik Indonesia dibantu duaWakil Ketua, yakni Menteri Koordinator BidangKesejahteraan Rakyat dan Menteri KoordinatorBidang Perekonomian. Ada 17 Menteri dan 1Kepala Badan duduk sebagai anggota DNPI.Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan NasionalPerubahan Iklim dipimpin oleh Ketua Harianmerangkap anggota, Prof (Hon.) Ir RachmatWitoelar, dibantu oleh beberapa Kelompok Kerjadan Sekretariat.

Kelompok Kerja DNPISaat ini Kelompok Kerja yang ada di DNPI

adalah Kelompok Kerja Adaptasi, Kelompok KerjaMitigasi, Kelompok KerjaPostKyoto 2012, Kelom-pok Kerja Pendanaan, Kelompok Kerja Alih Tek-nologi, Kelompok Kerja Kehutanan dan Alih GunaLahan (LULUCF), Kelompok Kerja Basis Ilmiah dan

Inventaris Gas Rumah Kaca (GRK), serta KelompokKerja Kelautan.

Fokus kegiatanKelompok Kerja Adaptasiadalah merumuskan strategi adaptasi perubahaniklim nasional serta membantu penentuan posisinegosiasi Indonesia terutama yang menyangkutadaptasi perubahan iklim. Kegiatan yang dilaku-kan, antara lain,• Mengoordinasi perencanaan kegiatan adaptasi

mulai dari tingkat nasional sampai daerahdengan melibatkan sektor-sektor terkait (peme-rintah pusat, pemerintah daerah, LembagaSwadaya Masyarakat, akademisi).

• Menyelenggarakan pertemuan komunikasi ke-giatan adaptasi di tingkat nasional dan daerah

yang bertujuan untuk mengomunikasikan kegiat-an adaptasi perubahan iklim yang dilakukansektor/departemen dan organisasi masyarakatsipil, baik di tingkat nasional maupun daerah,kepada para pemangku kepentingan lainnya.

Sekilas Tentang

Page 83: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

• Membangun tujuan strategis untuk mendukungterwujudnya pengarusutamaan adaptasi peru-bahan iklim dalam kebijakan nasional dandaerah.

• Membangun jejaring kerja sama antarsektordalam kegiatan adaptasi perubahan iklim diIndonesia.

• Pengumpulan hasil studi kesiapan beradaptasiinstransi-instansi di beberapa provinsi.

• Mengoordinasikan studi kerentanan bencanaakibat perubahan iklim dengan beberapainstansi terkait, antara lain, Badan NasionalPenanggulangan Bencana.

Fokus kegiatanKelompok Kerja Mitigasiada-lah mengoordinasi posisi Indonesia dalam nego-siasi mitigasi perubahan iklim serta merumuskanstrategi mitigasi perubahan iklim Indonesia. Ke-giatan yang dilakukan, antara lain,• Mengoordinasi seluruh masukan delegasi Indo-

nesia terkait usulan mitigasi dalam negosiasiinternasional.

• Menyelenggarakan berbagai pertemuan, baikmeetingdanroundtable discussionmaupunfocusgroup discussion,mengenai mitigasi perubahaniklim.

• Menyosialisasikan mitigasi perubahan iklim pa-da pihak terkait.

• Memfasilitasi diskusi dan menginformasikan lajuemisi GRK di Indonesia serta potensi pengu-rangan biaya.

• Mendiseminasikan teknik-teknik mitigasi sertahasil studi terkait mitigasi, antara lain, kurva bia-ya mitigasi Indonesia (carbon abatement costcurve).

Fokus kegiatanKelompok Kerja Post Kyoto2012adalah mengoordinasikan posisi Indonesiadalam menghadapi negosiasi perubahan iklim,terutama yang menyangkut rezim perubahan iklimpascaperiode pertama Protokol Kyoto (pasca-2012), dengan kegiatan utama negosiasi inter-nasional perubahan iklim serta kegiatan pendu-kung, antara lain,• Melaksanakan serangkaian pertemuan antar-

departemen dan pertemuan dengan para

pemangku kepentingan (stakeholders) terkaitpersiapan pertemuan UNFCCC.

• Menyelenggarakan sesi-sesibrainstormingbagipenyiapan posisi delegasi Republik Indonesia.

• Mempersiapkan dan menyampaikan beberapasubmisi ke Sekretariat UNFCCC terkait posisiPemerintah Indonesia, baik terhadap isu-isuyang telah dinegosiasikan maupun teks ne-gosiasi.

• Menyiapkan pernyataan pers dan menjadi jurubicara delegasi Republik Indonesia, serta peng-hubung bagi media asing dan lokal selamasidang berlangsung.

• Mendiseminasikan hasil akhir posisi Indonesia,baik kepada sektor terkait maupun perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

• Mendiseminasi hasil-hasil perundingan kekementerian, perguruan tinggi, dan pemangkukepentingan lain.

Kelompok Kerja Pendanaandengan fokusprogram untuk mendapatkan skema dan meru-

muskan strategi pendanaan yang akan mendukungupaya-upaya mitigasi, adaptasi, dan alih teknologiperubahan iklim. Kegiatan yang dilakukan, antara

lain,• Mengoordinasi masukan posisi delegasi Re-publik Indonesia terkait sumber dan mekanisme

pendanaan perubahan iklim global yangberkeadilan dan efektif.

• Menjalin kerja sama dengan 20 negara untukmenyiapkan Pendanaan Interim guna pelak-sanaan REDD (2010–2015).

• Mengoordinasi masukan domestik dalamrangka pengembangan mekanisme-mekanismependanaan untuk investasi dan pengembangan

energi terbarukan, efisiensi energi, dan kehu-tanan.

• Menjajaki berbagai opsi dan mekanisme LowEmission Development Financing Facility (LEDF)bersama dengan Kementerian Keuangan, Bape-

pam-LK, dan para investor di Jakarta. TujuanLEDFF adalah menuil (leverage) dana swastadan masyarakat dalam dan luar negeri untukmendukung dana publik yang ada.

• Merundingkan dan menginisiasi beberapa pen-

Page 84: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

danaan perubahan iklim jangka pendek darilembaga donor multilateral (UNFCCC, WorldBank) dan bilateral (European Commission,USAID, DFID-UK, AusAID).

• Memberi penjelasan kepada lembaga-lembaga bilateral dan multilateral tentangperspektif Indonesia mengenai pendanaanperubahan iklim dalam konteks nasional danglobal.

Fokus kegiatanKelompok Kerja Alih Teknologiadalah merumuskan strategi alih teknologi untukmemastikan Indonesia dapat melakukan mitigasidan adaptasi secara optimal. Kegiatan yangdilakukan, antara lain,• Menyiapkan posisi delegasi Republik Indone-

sia untuk alih teknologi dan mempersiapkannegosiasi internasional.

• Mengoordinasi pemetaan isu alih teknologiperubahan iklim.

• Menjalin kontak dengan berbagai pihak danmenyusun proposal untuk implementasi alihteknologi.

• Menyelenggarakanroundtable discussiondanfocus group discussionmengenai alih teknologiperubahan iklim.

• Menyosialisasi alih teknologi perubahan iklimkepada pihak terkait.

Fokus kegiatanKelompok Kerja Kehutanandan Alih Guna Lahan(LULUCF) adalah memper-kenalkan beberapa opsi dalam mengelola hutansecara optimal dalam hubungannya dengan peru-bahan iklim, selain menentukan sikap dan strategidalam menghadapi perundingan perubahan ikliminternasional terkait sektor kehutanan dan alihguna lahan. Kegiatan yang dilakukan, antara lain,• Menjalin kerja sama dengan Kementerian

Kehutanan khususnya dalam menyusun posisidelegasi Republik Indonesia mengenai REDD,dan mengoordinasi kesiapan REDD di Indo-nesia.

• Memperkuat Kelompok Kerja Perubahan IklimKementerian Kehutanan melalui diskusi internaltentang kesiapan REDD Indonesia.

• Melibatkan diri dalam berbagai kegiatan

percontohan REDD yang disponsori olehberbagai sumber pendanaan.

• Menyosialisasi pemahaman REDD kepadapihak-pihak terkait.

SekretariatSekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim

mengakomodasi beberapa kegiatan, di antaranyamemfasilitasi biaya diskusi mitigasi di Indonesia,revisi Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim,mengoordinasi strategi dan kebijakan nasionalperubahan iklim.

Untuk kegiatan fasilitasi biaya diskusi mitigasi,Sekretariat DNPI mengidentifikasi beragam sumberemisi Indonesia serta memperkirakan biaya yangharus dikeluarkan untuk mengurangi emisi. Hasilyang diperoleh dari studi tersebut adalah jumlahemisi Indonesia per sektor serta kurva biayapotensi pelepasan emisi Indonesia (carbonabatement cost curve).

Revisi Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklimdisusun untuk menanggapi ancaman perubahanikim terhadap pembangunan berkelanjutan yangharus memasukkan secara gamblang soal strategipembangunan berkelanjutan rendah emisi padasektor prioritas dengan mengutamakan upayamitigasi perubahan iklim.

Koordinasi strategi nasional dan kebijakanperubahan iklim dilaksanakan secara kemitraan

dengan pihak asing melalui salah satu kesepakatanyang dicapai, yaitu keharusan DNPI untuk me-ngusulkan serangkaian kegiatan yang bertujuanmemberi gambaran utuh mengenai programkoordinasi aspek-aspek terkait perubahan iklim diIndonesia bagi kebutuhan dasar negosiasi inter-nasional serta adaptasi perubahan iklim diIndonesia.

Divisi Mekanisme Perdagangan KarbonFokus kegiatan divisi ini adalah memfasilitasi

perdagangan karbon di Indonesia melalui berba-gai sarana, termasuk menyebarluaskan pengeta-huan mengenai pasar karbon dan mengoordinasi-kan strategi pasar karbon Indonesia dalamnegosiasi internasional. Kegiatan yang dilakukan,antara lain,

Page 85: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

• Berkonsultasi dengan beberapa calon ataupelaku perdagangan pasar karbon.

• Menggelar sejumlahfocus group discussionuntuk pengembangan pasar karbon.

• Berpartisipasi dalam proses evaluasi dan pem-berian izin proyek Clean Development Me-chanism (CDM) oleh Komisi Nasional Meka-nisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB).

• Mengoordinasi pengalihan Komnas MPB dariKementerian Lingkungan Hidup ke DewanNasional Perubahan Iklim.

• Bekerja sama dengan Pemerintah Korea Se-latan, dan beberapastakeholderdomestik, da-lam pembuatan faktor emisi di Kalimantan danSulawesi.

• Mendiseminasi pengertian dan peluang pasarkarbon pada perguruan tinggi, departementeknis terkait, pemerintah daerah, dan kaumprofesional.

• Melibatkan diri dalam perumusan dan pengem-bangan bentuk baru CDM di Indonesia, yakniPoA atau Programmatic CDM.

• Membantu kelompok kerja dan divisi lain da-lam penyebaran informasi mengenai pasarkarbon, baik di Indonesia maupun di duniainternasional.

Divisi Komunikasi, Informasi, danEdukasi

Fokus kegiatan divisi ini adalah memberipenyadaran dan pemahaman kepada masyarakatluas mengenai perubahan iklim melalui berbagaisarana komunikasi yang sesuai, serta merumuskanstrategi komunikasi perubahan iklim Indonesia.Kegiatan yang dilakukan, antara lain,• Menjajaki persepsi masyarakat luas tentang

perubahan iklim, antara lain, melalui surveipengunjung Pekan Lingkungan Indonesiadengan 600 orang responden. Kegiatan itubertujuan untuk meningkatkan pemahamanmasyarakat mengenai perubahan iklim danuntuk mendapatkan peta dasar mengenaipersepsi masyarakat akan perubahan iklim.

• Memfasilitasi pengiriman 54 orang peserta,terdiri dari berbagai unsur masyarakat, untukdilatih Al Gore bersama The Climate Project.

Semua peserta terampil menggunakanslideshowperubahan iklim yang dikembangkan Al

Gore. Berbekal bahan tersebut, semua pesertadiharapkan dapat menyebarluaskan pema-

haman akan perubahan iklim ke seluruh lapisanmasyarakat.

• Memfasilitasi Pelatihan Perubahan Iklim untukUmum bersama The Climate Project Indonesiadengan peserta dari seluruh Indonesia yangsaat ini telah mencapai jumlah 250 orang.

•Terlibat dalam produksi dan distribusi film per-ubahan iklim Indonesia “Lakukan Sekarang Ju-ga”, dengan bantuan Kemitraan. Film doku-

menter berdurasi 24 menit itu memberi informasicukup lengkap mengenai perubahan iklim yangterjadi di Indonesia, dampak yang ditimbulkan,serta upaya adaptasi dan mitigasi yang dapat

dilakukan masyarakat atau individu. Film doku-menter itu digunakan dalam kegiatan sosialisasi

perubahan iklim.• Menjalankan kegiatan Kepedulian Perubahan

Iklim bagi para pengambil keputusan diprovinsi-provinsi Riau, Kalimantan Tengah, dan

DKI Jakarta, dengan bantuan Kemitraan.• Mengoordinasi kampanye dan diskusi peru-

bahan iklim untuk semua lapisan masyarakat;pentingnya peran aktif masyarakat dalampenanggulangan perubahan iklim.

Perubahan iklim yang sedang terjadi perludisikapi dengan menggali lebih dalam pema-

haman tentang proses kejadiannya secara ilmiah,baik penyebab maupun dampaknya terhadap

umat manusia dan lingkungan hidup. Dengan bekalpemahaman tersebut dapat direncanakan upaya

penyesuaian (adaptasi) dan pencegahan (mitigasi).Strategi yang terintegrasi dalam setiap sektorsangat diperlukan bukan hanya di tingkat pusat

saja, tetapi juga, dan terutama, di tingkat daerah,mengingat berbagai dampak maupun upaya yangakan terjadi di tingkat daerah.

Masalah perubahan iklim perlu ditanggulangidan dikerjakan bersama oleh berbagai pihak, ter-

masuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektorswasta, masyarakat madani, dunia pendidikan,individu, dan pemangku kepentingan lainnya.

Page 86: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Aadaptasi dan mitigasi perubahan iklim

ncaman ketahanan pangan Indonesia dimasa datang semakin nyata. Bila upaya

gagal, akan terjadi penurunan produksi pangan.Menurut WR Cline, kerugian sektor pertanianIndonesia pada 2080 dapat mencapai angka US$6,33 miliar.1 Bank Pembangunan Asia me-nyatakan bahwa kerugian ini akan mulai terasasetelah 2030.2 Pada awal tahun 2030, besarkerugian diperkirakan setara dengan US$ 0,05miliar dan kemudian naik menjadi US$ 1 miliar

Membangun Sistem PertanianPangan Tahan Perubahan Iklim

Rizaldi Boer

pada 2050 dan US$ 6,33 miliar pada 2080.Sebaliknya, apabila upaya penurunan emisi gasrumah kaca bisa dilakukan dan konsentrasinyadi atmosfer mencapai kondisi stabil pada tingkat450-550 ppm ( parts per million volume CO2

ekuivalen), maka besar kerugian pada 2080akan turun cukup signifikan sampai empatpersepuluh.

Kerugian ekonomi tersebut dapat dikurangilagi jika kita melakukan upaya adaptasi. Namun,untuk itu diperlukan investasi awal yang cukupbesar. Diagram 1 menunjukkan bahwa biayaadaptasi, seperti pembangunan bendungpengendali dampak kenaikan muka air laut danpencarian varietas baru tahan cekaman panasdan kekeringan, akan meningkat hingga tahun2020 setara 0,5 persen dari produk domestikbruto (PDB) nasional, dan berangsur-angsurmenurun. Keuntungan upaya adaptasi yang

Tanpa upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sektor pertanianIndonesia bakal mengalami kerugian sangat besar di masa depan.Ancaman penurunan produksi padi tidak hanya akibat pemanasan globaldan perubahan iklim, tetapi juga kondisi infrastruktur dan irigasi yangkurang memadai serta besarnya laju konversi lahan pertanian (sawah)menjadi nonpertanian, khususnya di Jawa. Belum lagi menghitung gagalpanen akibat iklim ekstrem dan serangan hama dan penyakit. Upayamengurangi risiko gagal panen harus dilakukan, baik bersifat strukturalmaupun nonstruktural. Beberapa cara yang dapat digunakan, antara lain,memanfaatkan teknologi aplikasi informasi iklim dan program perlin-dungan dari bencana iklim berupa indeks asuransi iklim.

1 Lihat, WR Cline, Global Warming and Agriculture:Impact Estimates by Country (Washington, DC:Centre for Global Development, 2007).

2 Lihat, Asian Development Bank, A RegionalReview of the Economics of Climate Change inSoutheast Asia (Manila: Asian DevelopmentBank, 2009).

Page 87: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

82 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

dilakukan lebih awal akan dirasakan setelahtahun 2050. Setelah tahun itu, biaya adaptasi ti-dak terlalu besar dan keuntungan yang diper-oleh jauh melebihi biaya yang telah dikeluar-kan. Karena itu, upaya adaptasi dan mitigasiperlu dilakukan sedini mungkin untuk meng-hindari kerugian lebih besar di kemudian hari.

Pemanasan Global, PerubahanIklim, dan Pertanian PanganIndonesia

Penelitian tentang dampak kenaikan suhuglobal terhadap produktivitas tanaman pangansudah cukup banyak dilakukan. Pemanasanglobal akan menurunkan produktivitas tanamanpangan secara signifikan, khususnya di daerahtropis.3 Penurunan hasil tanaman akibat ke-

3 Lihat, IPCC, Climate Change 2007: The PhysicalScience Basis. Summary for Policymakers(Geneva: Intergovernmental Panel on ClimateChange, 2007); J Tschirley, “Climate ChangeAdaptation: Planning and Practices”, PowerPoint Keynote Presentation of FAO Environment,Climate Change, Bioenergy Division (Rome, 10-12 September 2007).

Diagram 1. Estimasi Biaya dan KeuntunganPelaksanaan Kegiatan Adaptasi di Indonesia,Thailand, Filipina, dan Vietnam

Sumber: Asian Development Bank, A Regional Reviewof the Economics of Climate Change in Southeast Asia(Manila: Asian Development Bank, 2009).

Diagram 2. Perkiraan Penurunan Hasil Tana-man Jagung dan Padi Tanpa Adaptasi (kurva a)dan dengan Upaya Adaptasi (kurva b) di DaerahTropis Akibat Pemanasan Global

Catatan: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakanberbagai selang perubahan hujan dan konsentrasi CO .2

Sumber: IPCC, Climate Change 2007: The PhysicalScience Basis. Summary for Policymakers (Geneva: Inter-governmental Panel on Climate Change, 2007); J Tsc-hirley, “Climate Change Adaptation: Planning and Prac-tices”, Power Point Keynote Presentation of FAO Envi-ronment, Climate Change, Bioenergy Division (Rome,10-12 September 2007).

Page 88: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

83Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan

naikan suhu sampai 3o C dapat mencapai 20persen pada tanaman jagung dan 10 persenpada tanaman padi (Diagram 2). Menurut kajianIntergovernmental Panel on Climate Change(IPCC), kenaikan suhu tidak melebihi 3 C dapato

dicapai bila konsentrasi CO di atmosfer dapat2

distabilkan pada tingkat konsentrasi antara 450dan 550 ppm. Berdasarkan pengamatan diMaona Loa Observatory , konsentrasi CO saat2

ini sudah mencapai sekitar 390 ppm. Pada akhir4

tahun 1980-an, konsentrasi CO masih sebesar2

350 ppm dan mencapai 390 ppm “hanya” dalamtempo dua puluh tahun. Jadi, peningkatan CO2

dalam periode itu rata-rata 2 ppm per tahun. Bilatrend ini terus berlanjut, dalam tempo empatpuluh tahun ke depan CO mencapai 470 ppm.2

Artinya, kenaikan suhu global pada 2050 di-perkirakan melebihi 2 C.o

Menurut IPCC 2007, kenaikan suhu globalmelebihi 2 C akan meningkatkan frekuensi dano

intensitas kejadian iklim ekstrem. Dampaknyaterhadap sistem pertanian akan sangat besar.Kegagalan panen dan penurunan produksi aki-bat kejadian iklim ekstrem sering dialami sektorpertanian, khususnya tanaman pangan, saat ini.Di Indonesia, kejadian iklim ekstrem keringkerap dihubungkan dengan fenomena El Niño,yaitu fenomena meningkatnya suhu muka lautdi kawasan Pasifik melebihi nilai rata-rata. Saatfenomena itu berlangsung, awal musim hujanbiasanya mundur bisa mencapai 2 bulan, lamamusim hujan cenderung lebih pendek dan curahhujan musim kemarau turun di bawah normal.Sebagai akibatnya, kekeringan dan gagal panentanaman kedua (musim tanam kedua setelahpenanaman musim hujan) meningkat tajam.Gambar 1 menunjukkan jumlah kabupaten de-ngan luas tanaman padi terkena kekeringanpada musim tanam kedua (MT2) melebihi2.000 hektar sudah meningkat tajam pada pe-riode El Niño, khususnya di Jawa Barat, Lam-pung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Hasil pengamatan dalam periode seratustahun terakhir menunjukkan bahwa keragaman

iklim antarmusim dan tahunan yang disebabkanfenomena ENSO ( El Niño Southern Oscillati-on), Osilasi Antlantik Utara, dan antardekadeyang disebabkan oleh Osilasi Pasifik, makinmeningkat dan menguat. Menurut Timmermanet al. dari Max Planck Institute dan Hansen etal.,5 kondisi ini diperkirakan berkaitan eratdengan pemanasan global. Dari fakta ini dapatdisimpulkan bahwa pemanasan global danperubahan iklim akan memengaruhi sistempertanian pangan secara langsung, yaitu ter-jadinya penurunan produktivitas tanaman danmeningkatnya frekuensi gagal panen akibatiklim ekstrem.

Beberapa penelitian lain mengindikasikanbahwa dampak tidak langsung perubahan iklimterhadap pertanian juga sangat besar. Seranganhama dan penyakit baru diperkirakan me-ningkat akibat pemanasan global dan perubahaniklim. Menurut Wiyono,6 berdasarkan hasilwawancara dengan petani di Desa TinawunMalo, Bojonegoro, dan pengamatan di sembil-an puluh titik di tiga kabupaten Jawa Barat(Karawang, Indramayu, dan Tasikmalaya), fre-kuensi kejadian banjir yang terus meningkatdapat menimbulkan masalah hama padi keongemas. Di samping itu, terdapat indikasi bahwalahan sawah yang terkena banjir pada musimsebelumnya berpeluang lebih besar mengalamiledakan hama wereng coklat. Itu sejalan denganhasil pengamatan Direktorat PerlindunganTanaman yang menunjukkan bahwa seranganwereng coklat meningkat drastis pada tahun LaNiña 1998.7

4 Lihat, http://co2now.org/.

5 Lihat, A Timmerman et al. , “Increased El NiñoFrequency in a Climate Model Forced by FutureGreenhouse Warming”, dalam Nature 398, 1999;J Hansen et al. , “Global Temperature Change”,dalam PNAS 103, 2006, hal. 14288-14293.

6 S Wiyono, “Perubahan Iklim, Pemicu LedakanHama dan Penyakit Tanaman”, dalam Salam 26,2009, hal. 22-23.

7 Lihat, Ministry of Environment, IndonesiaCountry Report: Climate Variability and ClimateChange, and Their Implication (Jakarta: Ministryof Environment, Republic of Indonesia, 2007).

Page 89: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

84 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

Gambar 1.Rata-rata Luas Kekeringan (gambar atas) dan Tahun El Nino (gambar bawah) Periode1989-2006, Menurut Kabupaten

Sumber: Rizaldi Boer, A Buono, Sumaryanto, E Surmaini, W Estiningtyas, MA Rataq, A Perdinan, A Pramudia,Rakhman, K Kartikasari, dan Fitriyani, “Pengembangan Sistem Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan.

Laporan Penelitian Konsorsium Peneliti Keragaman dan Perubahan Iklim” (Bogor: Departemen Pertanian, 2009).

Page 90: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

85Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan

Kenaikan muka air laut akibat pemanasanglobal juga dapat meningkatkan salinitas (tingkatkandungan garam) wilayah pertanian di ka-wasan pesisir. Akibatnya, produktivitas tanamanakan turun drastis. Pengamatan di wilayahIndramayu — salah satu pusat produksi padinasional — oleh Balai Besar Sumber DayaLahan Pertanian menunjukkan bahwa sekitar30 persen dari 42 lokasi pengukuran sudahmemiliki salinitas di atas 4,0 dS/m — ukurandaya hantar listrik dengan satuan deciSiemensper meter. Pada lokasi dengan tingkat salinitasseperti itu, hasil padi rata-rata hanya bisamencapai 80 persen dibanding hasil rata-ratatanaman yang ditanam pada lokasi yang tidakmemiliki masalah salinitas. Bahkan, di bebe-8

rapa lokasi ada yang sudah mencapai 10 dS/m.Pada tingkat salinitas seperti itu, produktivitastanaman padi hanya bisa mencapai 20 persendari hasil rata-rata. Pengamatan lapangan me-nunjukkan bahwa sebagian besar petani diwilayah seperti itu sudah mengonversi lahansawah masing-masing menjadi penambangangaram dan tambak udang, karena sulit men-dapatkan hasil padi yang tinggi.

Perubahan Iklim di Indonesia

Berdasarkan data beberapa puluh tahunterakhir, pola hujan di sebagian wilayah Indo-nesia sudah mengalami perubahan. Di be-berapa wilayah, awal musim hujan ada yangmundur dan ada pula yang maju. Secara umum,9

curah hujan musim hujan di wilayah Indonesiabagian selatan ekuator — Jawa dan kawasanIndonesia Bagian Timur— cenderung mening-kat, sementara curah hujan musim kemaraucenderung menurun. Selanjutnya musim ke-marau di wilayah itu juga cenderung lebih

lama.10Bahkan, di daerah aliran sungai (DAS)Brantas, jumlah bulan dengan curah hujanekstrem cenderung meningkat dalam limapuluh tahun terakhir, terutama di daerah yangdekat dengan pantai.11Di daerah ini, lama bulankering — bulan dengan curah hujan kurang dari100 mm – naik menjadi empat bulan, bahkandelapan bulan pada tahun 2002. Ini merupakantahun dengan bulan kering terpanjang selama50 tahun terakhir. Sementara di sebagianwilayah Indonesia bagian utara khatulistiwamenunjukkan pola sebaliknya.

Tren perubahan hujan diperkirakan akanterus berlanjut di masa depan. Hujan musimkemarau di wilayah Indonesia bagian selatanekuator cenderung menurun, sebaliknya diwilayah Indonesia bagian utara ekuator (Gambar4). Kajian lebih rinci di wilayah Jawa jugamenunjukkan hal serupa.12 Perubahan hujanpada 2050 akan mengikuti pola yang terjadi saatini. Awal musim hujan cenderung mundur.Hujan pada musim pancaroba akan naik dankemudian turun dengan cepat. Pada skenarioemisi gas rumah kaca rendah (SRESB1) atautinggi (SRESA2),13 total hujan bulan April-Juni

8 Lihat, Stephen R Grattan, Linghe Zhen, MichaelC Shannon, dan Stacy R Roberts, “Rice is MoreSensitive to Salinity than Previously Thought”,November-December 2002, dalam http://danr.ucop.edu/calag.

9 Lihat, Ministry of Environment, IndonesiaCountry Report: Climate Variability….

1 0 Lihat, Ministry of Environment, IndonesiaCountry Report: Climate Variability….

1 1 Edvin Aldrian dan SD Djamil, “Long TermRainfall Trend of the Brantas Catchment Area,East Java”, dalam Indonesian Journal of Geography38, 2006, hal. 26-40.

1 2 Lihat, misalnya, Rosamond L Naylor, David SBattisti, Daniel J Vimont, Walter P Falcon, danMarshall B Burke, “Assessing Risks of ClimateVariability and Climate Change for IndonesianRice Agriculture”, dalam Proceeding of theNational Academic of Sciences of the United Statesof America, Vol. 104, 2007, hal. 7752-7757.

1 3 SRESA2 mengasumsikan pertumbuhan ekonomilebih rendah dan pertumbuhan populasi tetaptinggi, sehingga laju emisi GRK akan mening-kat. SRESB1 mengasumsikan upaya mitigasidilakukan melalui peningkatan efisiensi penggu-naan energi dan perbaikan teknologi, sehinggatingkat emisi lebih rendah. Konsentrasi CO2

tahun 2050 dan 2100 dengan skenario SRESB1masing-masing akan mencapai 495 (1,4 kalitingkat konsentrasi tahun 1990) dan 560 ppmv

Page 91: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

86 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

(musim pancaroba) diperkirakan naik 10 persendari rata-rata hujan musim saat ini. Namun,hujan musiman bulan Juli-September (puncakmusim kemarau) akan menurun antara 10-25persen. Untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah,penurunan lama hujan musim kemarau (JAS)bisa mencapai 50 persen dan 75 persen di JawaTimur dan Bali. Awal musim hujan juga cen-derung mundur dibanding kondisi saat ini.Frekuensi mundurnya awal musim hujan mi-nimal satu bulan dari keadaan normal akansemakin sering terjadi. Di Jawa Barat dan JawaTengah, misalnya, frekuensi awal musim hujansaat ini mundur satu bulan daripada biasanya,yakni satu kali dalam 5-6 tahun (peluang sekitar17 persen). Di masa depan, frekuensi itu akannaik menjadi satu kali dalam 4-5 tahun. Per-ubahan ini akan berimplikasi pada semakinpanjangnya musim kemarau. Upaya mening-katkan intensitas penanaman tentu akan se-makin sulit dilakukan. Penanaman padi dua kalisetahun tanpa didukung sistem irigasi yangmemadai dan baik tentu mustahil. Tanaman padi

musim tanam kedua pasti akan menghadapirisiko kekeringan sangat tinggi.

Tanpa upaya sistematis dan terpadu dalammengatasi dampak pemanasan global dan per-ubahan iklim serta kenaikan muka air laut,Indonesia akan sulit mencapai sistem pertanianpangan yang tahan terhadap perubahan iklim.Di sisi lain, kondisi sarana dan prasarana irigasiyang semakin menurun, disertai tingkat ke-rusakan lingkungan yang tinggi—khususnyapembukaan hutan tak terkendali di wilayahtangkapan hujan—akan memperbesar dampaknegatif yang diakibatkan oleh pemanasan glo-bal dan perubahan iklim. Konversi lahan per-tanian produktif menjadi nonpertanian, ter-utama di Jawa, juga akan mengancam produksipertanian. Penurunan produksi padi di Jawa aki-bat konversi sawah menjadi lahan nonpertaniandiperkirakan akan jauh lebih besar dibandingpenurunan produksi akibat kenaikan suhu.

Apa yang Perlu Dilakukan?

Penulis dan kawan-kawan pernah menger-jakan sebuah penelitian. Penelitian denganasumsi laju konversi lahan sawah 0,77 persenper tahun (30.000 hektar per tahun) dan indekspenanaman tidak berubah itu menemukan bah-wa total penurunan produksi padi di Jawa —dibanding tingkat produksi akibat kenaikan su-hu dan konversi lahan saat ini — akan mencapai6 juta ton pada 2025 dan 12 juta ton pada 2050.Bila diasumsikan tidak terjadi konversi lahansawah, pengaruh negatif dari kenaikan suhuterhadap produksi padi di Jawa pada 2025 dan2050 dapat dihilangkan dengan meningkatkanindeks penanaman (IP) padi sekitar 10-20persen dan 20-30 persen dibanding IP saat ini(Tabel 1). Bila konversi lahan sawah tetapberlangsung dengan laju 0,77 persen per tahun,maka peningkatan IP dalam mengurangi dam-pak negatif kenaikan suhu tidak terlalu efektif.Peningkatan IP hanya dapat mempertahankanatau meningkatkan level produksi tahun 2025dari tingkat produksi saat ini di sebagian ka-bupaten di Jawa Barat dan Jawa Timur. Akan

(1,6 kali tingkat konsentrasi tahun 1990), danuntuk SRESA2 masing-masing mencapai 530 dan880 ppmv.

1 4 General Circulation Model (GCM) adalah suatumodel berbasis komputer yang dapat dipergu-nakan untuk membuat simulasi perubahan iklimakibat kenaikan konsentrasi CO di atmosfer.2

Gambar 4. Tren Perubahan Nilai MedianHujan JJA 1979-2099 Berdasarkan SepuluhModel GCM14

Page 92: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

87Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan

tetapi, pada 2050, tingkat produksi padi hampirdi semua kabupaten akan lebih rendah di-banding tingkat produksi saat ini.

Peningkatan IP sampai pada tingkat mak-simum seperti ditunjukkan Tabel 1 relatif sulitdicapai karena sebagian besar sumber irigasisawah di Jawa berasal dari nonwaduk. Padasistem nonwaduk aliran air dan hujan tidak bisadisimpan seperti pada sistem waduk, sehinggatetap berisiko kekurangan air pada setiap mu-sim kemarau. Karena itu, pada sawah irigasidengan sumber air dari waduk, IP rata-rata bisadinaikkan sampai 2,75, sedangkan sawah irigasibersumber air nonwaduk diperkirakan hanyabisa ditingkatkan 2,0 untuk Jawa Barat dan 1,8untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bila tidakada pembangunan waduk baru, IP di Jawa Baratdan Jawa Tengah masih mungkin ditingkatkansampai 2,2 dan 2,9, sedangkan di Jawa Timursudah optimal. Kalau IP hendak ditingkatkansama seperti angka dalam Tabel 1, jumlahwaduk di Jawa harus ditambah sehingga per-sentase sawah irigasi dengan sumber air dariwaduk minimal sekitar 65 persen di Jawa Barat,50 persen di Jawa Tengah, dan 40 persen diJawa Timur (Diagram 4).

Saat ini Jawa memiliki 22 waduk, yaitu tigadi Jawa Barat (Cirata, Jatiluhur, dan Saguling),

sembilan di Jawa Tengah (Banyu Kuning, Ketro,Pondok, Kedungombo, Sermo-Daerah IstimewaYogyakarta, Parang Loho, Sang Putri, Wonogiri,dan Nawangan), dan sepuluh di Jawa Timur(Bening, Wonorejo, Gondang, Selorejo, Klam-pis, Sengguruh, Karangkates, Lahor, Lodan,dan Wlingi). Pembangunan sejumlah wadukbaru sudah direncanakan di beberapa tempatdengan target penyelesaian sekitar lima tahun,misalnya, Waduk Jati Gede (Jawa Barat), JatiBarang (Jawa Tengah), dan Kresek (Jawa Ti-mur). Namun, pembangunan waduk baru ter-sebut masih jauh dari mencukupi, selain sulitdikerjakan karena masalah ketersediaan lahandan dampak sosialnya.

Upaya lain untuk mempertahankan tingkatproduksi padi di Jawa pada 2025 dan 2050minimal sama seperti tingkat produksi saat iniadalah dengan meningkatkan produktivitastanaman dan memperbaiki sistem budi daya,seperti pemupukan, perbaikan varietas, dan lain-

Tabel 1. Peningkatan Indeks Penanaman Padidi Tiga Provinsi di Jawa

Daerah Saat ini 2025 2050

Jawa Barat 1.70 2.10 2.50

Jawa Tengah 1.79 2.00 2.30

Jawa Timur 1.62 2.00 2.20

Catatan: Indeks penanaman padi 2 berarti padi ditanamdua kali per tahun pada lahan yang sama.

Sumber: Rizaldi Boer, A Buono, Sumaryanto, E Sur-maini, W Estiningtyas, MA Rataq, A Perdinan, A Pramu-dia, Rakhman, K Kartikasari, dan Fitriyani, “Pengem-bangan Sistem Prediksi Perubahan Iklim untuk Keta-hanan Pangan. Laporan Penelitian Konsorsium PenelitiKeragaman dan Perubahan Iklim” (Bogor: DepartemenPertanian, 2009).

Diagram 4. Peningkatan Persentase SawahIrigasi dengan Sumber Air Waduk apabila IPRata-rata akan Ditingkatkan Menjadi 2,5 untukJawa Barat, 2,3 untuk Jawa Tengah, dan 2,2untuk Jawa Timur

Sumber: Rizaldi Boer, A Buono, Sumaryanto, E Sur-maini, W Estiningtyas, MA Rataq, A Perdinan, A Pra-mudia, Rakhman, K Kartikasari, dan Fitriyani, “Pengem-bangan Sistem Prediksi Perubahan Iklim untuk Keta-hanan Pangan. Laporan Penelitian Konsorsium PenelitiKeragaman dan Perubahan Iklim” (Bogor: DepartemenPertanian, 2009).

Page 93: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

88 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

lain. Produktivitas tanaman pada 2025 harusdapat ditingkatkan minimal 5 persen dari tingkatproduktivitas sekarang supaya dampak pe-manasan global dan konversi lahan bisa ditang-gulangi, dengan catatan peningkatan IP sepertipada Tabel 1 berhasil dilakukan. Pada 2050,tingkat produktivitas harus bisa ditingkatkansebesar 25 persen dari tingkat produksi saat ini.Bila IP tidak bisa, peningkatan produktivitaspada 2025 dan 2050 harus lebih tinggi masing-masing sebesar 25 persen dan 70 persen.

Beberapa penelitian menemukan bahwakenaikan CO2 di atmosfer berdampak positifpada produktivitas tanaman, karena laju foto-sintesis akan lebih tinggi. John Sheehy menya-takan bahwa kenaikan hasil panen tanamanakibat peningkatan konsentrasi CO adalah 0,52

ton per hektar untuk setiap kenaikan 75 ppm,sementara penurunan hasil akibat kenaikansuhu adalah sebesar 0,6 ton setiap hektar perpeningkatan suhu 10 C.15 Dengan asumsi ini,Yuji Masutomi et al., menyatakan bahwapengaruh positif peningkatan CO dapat meng-2

hilangkan pengaruh negatif pemanasan globaldan perubahan iklim.16 Untuk wilayah In-donesia, apabila pengaruh kenaikan CO2 di-perhitungkan, pengaruh negatif pemanasanglobal dan perubahan iklim hanya terjadi di be-berapa wilayah saja, yaitu sebagian Sumateradan Jawa. Berdasarkan hasil penelitian la-pangan Stephen Long et al., asumsi ini tidaksepenuhnya benar.17 Penelitian lapangan me-

reka dengan menggunakan teknologi Free-AirConcentration Enrichment (FACE) mene-mukan pada sebagian besar tanaman serealia,peningkatan hasil akibat kenaikan konsentrasiCO pada percobaan lapangan hanya setengah2

dari peningkatan hasil penelitian yang dila-kukan di ruang terkontrol (rumah kaca). Mere-ka meragukan kenaikan CO dapat sepenuhnya2

menghilangkan pengaruh pemanasan global.Rizaldi Boer et al. ,18 berdasarkan temuan-

temuan di atas, memasukkan pengaruh positifpeningkatan konsentrasi CO dengan menggu-2

nakan formula Goudriaan dan Unsworth,19yaituY[CO2] = [1+bLn(C/C )]*Y . C0 R 0 dan C adalahkonsentrasi CO saat ini dan masa akan datang.2

Nilai b untuk padi adalah sekitar 0,7. Y adalahR

hasil rata-rata sesuai dengan kondisi suhu saatkonsentrasi CO berada pada tingkat C. Hasil2

penelitian lapangan Stephen Long et al., me-nunjukkan pengaruh kenaikan akibat pening-katan CO kurang dari 50 persen dari kenaikan2

hasil penelitian dengan sistem tertutup, se-dangkan Rizaldi Boer et al., memakai nilaib=0,35.

Dengan memasukkan pengaruh positifCO , peningkatan produktivitas tidak lagi di-2

perlukan untuk mempertahankan tingkat pro-duksi di Jawa tahun 2025 sama dengan tingkatproduksi saat ini — asumsi IP bisa ditingkatkanseperti pada Tabel 1 dan konversi lahan denganlaju 0,77 persen per tahun. Sementara untuktahun 2050, peningkatan produktivitas masihtetap diperlukan, yaitu antara 10 sampai 15

1 5 International Rice Research Institute (IRRI),“Coping with Climate Change: Climate ChangeThreatens to Affect Rice Production Across theGlobe. What is Known About the Likely Impact,and What Can be done About It?”, dalam RiceToday, July-September 2007, hal. 12.

1 6 Yuji Masutomi et al ., “Impact Assessment ofClimate Change on Rice Production in Asia inComprehensive Consideration of Process/Pa-rameter Uncertainty in General Circulation Mo-dels”, dalam Agriculture, Ecosystems & Environ-ment, Vol. 131, Issues 3-4, June 2009, hal. 281-291.

1 7 Stephen P Long, Elizabeth A Ainsworth, AndrewDB Leakey, Josef Nosberger, dan Donald R Ort,

“Food for Thought: Lower-Than-Expected CropYield Stimulation with Rising CO2 Concen-trations”, dalam Science, Vol. 312, No. 5782, 30June 2006, hal. 1918-1921.

1 8 Lihat, Boer et al., “Pengembangan SistemPrediksi Perubahan Iklim untuk KetahananPangan…”.

1 9 J Goudriaan dan MH Unsworth, “Implications ofIncreasing Carbon Dioxide and Climate Changefor Agricultural Productivity and Water Re-sources”, dalam Impact of Carbon Dioxide, TraceGases, and Climate Change on Global Agriculture,ASA Spec. Pub No. 53, 1990, hal. 111-130.

Page 94: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

89Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan

Tabel 2Produktivitas yang Harus Dicapai pada 2025 dan 2050 agar Tingkat Produksi Sama denganTingkat Produksi Saat ini dengan Asumsi IP Dapat Ditingkatkan dan Tetap Terjadi Konversi Lahan

Musim/ Hasil saat iniPengaruh CO2 CO2 diperhitungkanCO2 diperhitungkan

Provinsi (ton/hektar)diabaikan (SRESA2) (SRESB1)

2025 2050 2025 2050 2025 2050

Musim Hujan (MH)

Jawa Barat 4,70 4,94 5,97 4,70 5,17 4,70 5,31

Jawa Tengah 5,14 5,40 6,53 5,14 5,66 5,14 5,81

Jawa Timur 5,15 5,41 6,54 5,15 5,66 5,15 5,82

Musim Kemarau (MK)

Jawa Barat 4,86 5,11 6,18 4,86 5,35 4,86 5,50

Jawa Tengah 5,11 5,36 6,48 5,11 5,63 5,11 5,77

Jawa Timur 4,88 5,13 6,20 4,88 5,37 4,88 5,52

Rata-Rata 4,97 5,22 6,32 4,97 5,47 4,97 5,62

Tabel 3. Produktivitas yang Harus Dicapai pada 2025 dan 2050 agar Tingkat Produksi Samadengan Tingkat Produksi Saat ini dengan Asumsi IP Tidak Dapat Ditingkatkan dan Terjadi Konversi

Lahan

Musim/ Hasil saat iniPengaruh CO2 CO2 diperhitungkanCO2 diperhitungkan

Provinsi (ton/hektar)diabaikan (SRESA2) (SRESB1)

2025 2050 2025 2050 2025 2050

Musim hujan (MH)

Jawa Barat 4,70 5,74 7,99 5,55 6,96 5,55 7,24

Jawa Tengah 5,14 6,27 8,74 6,07 7,61 6,07 7,92

Jawa Timur 5,15 6,28 8,75 6,07 7,62 6,07 7,93

Musim Kemarau (MK)

Jawa Barat 4,86 5,93 8,27 5,74 7,20 5,74 7,49

Jawa Tengah 5,11 6,23 8,68 6,02 7,56 6,02 7,86

Jawa Timur 4,88 5,96 8,30 5,76 7,23 5,76 7,52

Rata-Rata 4,97 6,07 8,46 5,87 7,36 5,87 7,66

Produktivitas Padi

Produktivitas Padi

Page 95: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

90 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

persen. Bila asumsi peningkatan IP tidak bisadilakukan dan berlangsung konversi lahan,produktivitas tahun 2025 dan 2050 harus bisaditingkatkan masing-masing sekitar 10 persendan 50 persen untuk menjaga tingkat produksitahun 2025 dan 2050 sama dengan tingkatproduksi saat ini (lihat, Tabel 2 dan Tabel 3).

Upaya meningkatkan produktivitas padi diJawa relatif sulit dan penemuan varietas barumembutuhkan waktu cukup lama. Di sisi lain,peningkatan IP juga tidak mudah. Upaya relatifmudah untuk mengatasi penurunan produksiakibat pemanasan global adalah dengan me-nekan laju konversi lahan sawah di Jawa.Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentangPerlindungan Lahan Pertanian Pangan Ber-kelanjutan harus dilaksanakan secara efektif.Menurut Menteri Pertanian, rata-rata lajukonversi sawah menjadi lahan nonpertaniansejak 2000 mencapai 110 ribu hektar per tahun.Sementara laju pencetakan sawah baru di luarJawa hanya sekitar 30-52.000 hektar per tahun.Dalam dokumen Revitalisasi Pertanian, Per-ikanan dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025 dise-butkan bahwa konversi lahan sawah di Jawa danluar Jawa masing-masing sudah berlangsungsejak 1981 dan 1999. Bahkan, setelah tahun1999, laju penambahan lahan sawah jauh lebih

lambat dibanding laju konversi, baik di Jawamaupun luar Jawa, sehingga secara nasional(periode 1999-2002) terjadi penyusutan luaslahan sawah sekitar 424.000 hektar atau sekitar140.000 hektar per tahun (lihat, Tabel 4).

Bila diasumsikan konversi lahan di Jawatidak dapat dicegah dan tetap berlangsungdengan laju 0,77 persen per tahun, sementaraIP bergeming, luas lahan sawah baru yangharus dibangun di luar Jawa untuk mengom-pensasi kehilangan produksi di Jawa mencapai1,3 sampai 1,8 juta hektar pada tahun 2025 dan3,0 sampai 3,8 juta hektar pada 2050 (lihat,Diagram 5). Perhitungan ini belum memasuk-kan peningkatan kebutuhan padi di masa de-pan. Bila itu diperhitungkan, maka dibutuhkanluas lahan jauh lebih besar. Uraian di atasmenunjukkan bahwa faktor noniklim, sepertikondisi infrastruktur pertanian dan laju konversilahan sawah menjadi nonpertanian, serta dam-pak pemanasan global dan perubahan iklimakan mengancam ketahanan pangan nasional dimasa depan.

Diperlukan berbagai upaya, baik bersifatstruktural maupun nonstruktural, untuk men-capai sistem pertanian pangan tahan terhadapperubahan iklim. Upaya bersifat strukturalmencakup adaptasi melalui perbaikan dan

Tabel 4. Luas Lahan Sawah Jawa dan Luar Jawa Tahun 1981-1999 dan 1999-2002 (dalam hektar)

Periode Wilayah Konversi Penambahan Keseimbangan

1981-1999 Jawa 1.002.005 518.224 -483.831

Luar Jawa 625.459 2.2702.939 +2.077.480

Indonesia 1.627.514 3.221.163 +1.593.649

1999-2002 Jawa 167.150 18.024 -107.482

Luar Jawa 396.009 121.278 -274.732

Indonesia 563.159 139.302 -423.857

Sumber: Arah, Masa Depan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan IndonesiaŽ, dalam Dokumen Revitalisasi�Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) 2005…2025.

Page 96: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

91Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan

pembangunan sarana dan prasarana, sepertipembuatan bangunan pengendali banjir, salur-an drainase, waduk dan sarana irigasi, pengem-bangan teknologi pemanenan air hujan, reha-bilitasi wilayah tutupan hujan, perluasan lahanpertanian baru/pencegahan konversi lahanpertanian, dan lain-lain. Upaya bersifat non-struktural mencakup peningkatan indekspenanaman pada wilayah tertentu, perbaikanatau introduksi varietas yang lebih tahan ce-kaman iklim, pengembangan teknologi hematair, penguatan lembaga penyuluhan pertaniandan sumber daya penyuluh yang memahamisoal iklim, serta meningkatkan kapasitas petanidalam memanfaatkan informasi iklim untukmengelola risiko iklim yang kian meningkat dimasa mendatang.

Teknologi aplikasi informasi iklim, yaitupemilihan teknologi budi daya yang disesuaikandengan informasi prakiraan iklim, harus di-kembangkan untuk menekan risiko kejadianiklim ekstrem. Untuk meningkatkan efektivitaspemanfaatan teknologi aplikasi informasi iklimdiperlukan pelembagaan proses pemanfaataninformasi iklim dan tersedianya sistem in-formasi iklim yang efektif. Sistem ini diharap-

kan mampu menyediakan informasi iklim yangtepat waktu, mudah dipahami dan sesuai de-ngan kebutuhan pengguna, sehingga dapatdigunakan dalam menyusun perencanaan danpengambilan keputusan. Untuk itu mekanismepenyaluran/diseminasi dan pemanfaatan infor-masi prakiraan iklim harus terlembaga sepertisiapa yang bertanggung jawab memproses danmenerjemahkan informasi iklim yang dike-luarkan oleh lembaga penyedia jasa informasiiklim, siapa yang akan meneruskan informasitersebut ke petani sehingga dapat digunakanuntuk menentukan langkah-langkah adaptasi,apa sumber daya yang diperlukan sehinggamemungkinkan petani melakukan langkahadaptasi, dan bagaimana sumber daya tersebutdapat diakses.

Sering kali teknologi budi daya yang tahanterhadap cekaman iklim sudah tersedia, namuntingkat adopsinya masih rendah. Penyebabutama adalah tidak adanya jaminan bahwateknologi baru itu bisa mengatasi cekaman iklimatau kejadian iklim ekstrem. Memang, untukmemperkenalkan teknologi baru diperlukanproses panjang yang kadang kala memerlukanbiaya besar dan waktu lama melalui pelaksanaanpetak percontohan. Untuk mempercepat adopsiteknologi baru tahan cekaman iklim perludikembangkan “indeks asuransi iklim” yang da-pat melindungi petani bila teknologi gagalmengatasi kondisi iklim ekstrem. Dalam sistemitu, petani yang membeli polis asuransi iklimakan mendapatkan pembayaran bila kondisiiklim telah memenuhi indeks iklim tertentu.Salah satu contoh indeks iklim adalah jumlahcurah hujan yang diterima tanaman selamamusim pembungaan. Bila jumlah curah hujanyang diterima selama periode itu kurang darinilai indeks yang ditetapkan, misalnya 200 mm,petani berhak mendapatkan pembayaran, ter-lepas dari apakah tanaman yang ditanam matiatau tidak.

Dengan sistem indeks asuransi iklim, petaniakan terpacu untuk mencoba suatu teknologibaru yang dapat mengatasi iklim ekstrem.Umpamanya, introduksi varietas baru yang

Diagram 6.Lahan Sawah Baru yang Dibutuh-kan untuk Mengompensasi Hilangnya ProduksiPadi di Jawa Akibat Perubahan Iklim dan Kon-versi Lahan dengan Asumsi IP di Jawa TidakBisa Ditingkatkan

Page 97: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

92 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

mampu memberi hasil panen tinggi, kendatikondisi hujan selama periode pembungaankurang dari 200 mm. Dengan adanya asuransi,petani berani mencoba teknologi tersebut tanpaperlu khawatir bila terjadi kerugian; petani tentu

akan mendapatkan pembayaran dari pihakasuransi. Sebaliknya, bila berhasil, petani justruakan mendapat keuntungan ganda: selain ta-naman tetap menghasilkan, dia juga berhakmendapat bayaran dari pihak asuransi.•

Page 98: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Pengelolaan pencemaran melalui pera-turan ( command and control ) semakinlama semakin tertinggal dan mulai

digantikan oleh pengelolaan melalui cara yanglebih inovatif. Mekanisme pasar ( market me-chanism) adalah salah satu cara pengendalianpencemaran yang inovatif. Mekanisme pasaruntuk mengendalikan pencemaran diperke-nalkan oleh Ronald H Coase yang berteoribahwa keadaan pareto-optimum antara pen-cemar dan yang dicemari akan tercapai melaluisatu dari dua cara: pencemar membayar sitercemar supaya boleh mencemari, atau ter-cemar membayar si pencemar supaya tidakmencemari. Keduanya akan memberikan nilai(atau “harga”) pelayanan lingkungan ( paymentfor environmental services) yang sama, ter-gantung pada rezim hak miliknya, apakah pen-cemar dengan hak mencemari, atau tercemardengan hak lingkungan bersihnya. Dari sini,1

green economics berkembang di ranah kebi-jakan dalam bentuk, umpamanya, pajak sumber

Pasar Karbon dan Potensinyadi IndonesiaAgus Sari

daya alam dan pajak polusi. Perdagangan izinalokasi pencemaran merupakan bentuk ter-modern dari mekanisme pasar semacam ini.

Sebagai instrumen kebijakan, teoremaCoase itu baru diaplikasikan pada pengendalianpencemaran udara di Amerika Serikat dalamUndang-Undang Kebersihan Udara (Clean AirAct) 1990, menyempurnakan UU KebersihanUdara 1970. Dalam undang-undang tersebut,sumber pencemar udara sulfur besar, terutamapembangkit listrik, diberi izin untuk menge-luarkan emisi sulfur sampai batas tertentu.Mereka yang dapat mengurangi emisi hingga dibawah izin yang diberikan bisa menjual alokasiizin mencemari yang tak terpakai. Sebaliknyabagi mereka yang masih mencemari di atas izinalokasi pencemaran, mereka harus membelialokasi izin tersebut. Sebuah bursa izinpencemaran kemudian didirikan. Mereka yangberhasil menurunkan emisi sulfur melebihi izinyang dipegang dapat mengambil keuntungandengan menjual izin alokasi emisi sulfur, se-dangkan mereka yang gagal menurunkan emisisampai pada aras izin alokasi emisi yang di-pegang, harus membeli dari bursa. Harga izinalokasi tergantung pada jumlah izin yang ber-

Tidak ada cara lain untuk mencegah atau memperlambat perubahan iklimkecuali dengan menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat yang

aman. Ini bisa dicapai dengan menurunkan emisi tersebut secara global.Hampir semua negara sepakat penurunan emisi dilakukan lebih dahuluoleh negara-negara maju. Negara berkembang — yang emisinya belum

dibatasi — dapat secara sukarela mengembangkan proyek-proyek yangmenurunkan emisi, dan akan mendapatkan sertifikasi. Sertifikat ini yangmembentuk “pasar karbon.” Sebagai salah satu negara yang telahmeratifikasi Protokol Kyoto, Indonesia dapat mengkapitalisasi potensipasar karbon ini.

1 Lihat, Ronald H Coase, “The Problem of SocialCost”, dalam Journal of Law and Economics(Oktober, 1960).

Page 99: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

94 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

edar di bursa — tergantung hukum permintaandan penawaran.

Hal yang menarik, sebelum UU tersebutdiberlakukan industrialis khawatir dengan biayakepatuhan pada UU ini yang dinilai mahal,berkisar di atas US$ 500 per ton sulfur. Setelahdilaksanakan, biayanya “hanya” di bawah US$50. Terlihat bahwa mekanisme pasar ternyatalebih efisien dan dapat meminimalisasi biayakepatuhan. Pada gilirannya, mekanisme pasarlebih mudah direngkuh oleh para korporat diAmerika Serikat. Setelah memperoleh penga-2

laman berharga dari UU Kebersihan Udara,para negosiator Amerika (dan beberapa negarayang juga telah “merasakan” manfaat mekanis-me pasar) memperjuangkannya di ajang ne-gosiasi iklim untuk diterapkan dalam perjanjianiklim internasional, dan mereka berhasil.

Perubahan Iklim

Isu lingkungan hidup terbesar sepanjangsejarah mungkin perubahan iklim. Perubahaniklim diakibatkan oleh memanasnya permukaanbumi akibat menebalnya konsentrasi gas rumahkaca di atmosfer. Meinshausen memperkirakansekitar 26–78 persen kemungkinan peningkat-an suhu bumi lebih dari dua derajat Celciuspada aras konsentrasi gas rumah kaca 450 ppm( parts per million ). Panel antarnegara menge-3

nai perubahan iklim (Intergovernmental Panelon Climate Change/IPCC) menyebutkan bah-wa level 450 ppm hanya bisa dicapai jika negara-negara maju menurunkan emisi sebesar 25-40persen dan negara berkembang mengubah

tren emisi mereka di masa depan secara sub-stansial. Hoehne dan kawan-kawan menguan-4

tifikasi perubahan tren emisi negara-negaraberkembang sebesar 15–30 persen dari emisibusiness as usual mereka. Saat ini, dari sekitar5

275 ppm menurut volume, konsentrasi karbondioksida (gas rumah kaca terbanyak di at-mosfer) meningkat menjadi sekitar 380 ppm.Kerusakan akibat perubahan iklim sangat me-ngerikan dan sebagian besar tak dapat dikemba-likan pada keadaan semula ( irreversible ).

Kesadaran akan gentingnya situasi iklimitulah yang mengantar sebagian besar pemimpindunia untuk menandatangani Konvensi Ke-rangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) tentang Perubahan Iklim (UNFCCC)pada 1992, mengadopsi Protokol Kyoto pada1997 dan meratifikasinya pada 2004. Kelompoknegara maju (Annex I)) dalam Protokol Kyotomembuat komitmen secara berkelompok me-nurunkan emisi sebesar 5 persen pada 2008–2012 di bawah kondisi emisi mereka pada 1990.Target kelompok ini dibagi lagi menjadi penu-runan 8 persen untuk semua negara anggotaUni Eropa (UE), 7 persen untuk AmerikaSerikat, 6 persen untuk Jepang, 0 persen(stabilisasi) untuk Rusia dan sebagian besarnegara bekas Uni Soviet, serta kenaikan 1, 8,dan 10 persen berturut-turut untuk Norwegia,Australia, dan Eslandia. Negara-negara ber-kembang, termasuk Indonesia, belum dimintauntuk berkomitmen, karena kebutuhan merekauntuk membangun dan bertumbuh.

Komitmen penurunan emisi tersebut dapatdilakukan sendiri-sendiri dengan sumber dayamasing-masing atau bersama-sama melalui“mekanisme fleksibilitas” ( flexibility mechan-

2 Lihat, F Krupp dan M Horn, Earth: The Sequel …The Race to Reinvent Energy and Stop GlobalWarming ( New York , London: W.W. Norton,2008).

3 Lihat, M Meinshausen, “What does a 2 C Target0

Mean for Greenhouse Gas Concentrations? – Abrief analysis based on multi-gas emission path-ways and several climate sensitivity uncertaintyestimates,” dalam J S Schellnhuber, W Cramer,N Nakicenovic, T M L Wigley dan G. Yohe,Avoiding Dangerous Climate Change (Cambridge:Cambridge University Press, 2006).

4 Lihat, Intergovernmental Panel on ClimateChange, Climate Change 2007: Mitigation.Contribution of Working Group III to the FourthAssessment Report of the Intergovernmental Panelon Climate Change (United Kingdom dan NewYork: Cambridge University Press, 2007).

5 Lihat, Niklas Höhne, Christian Ellermann, danRolf de Vos, Emission Pathways Towards 2 Celsiuso

(Utrecht: Ecofys, 2009).

Page 100: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

95Agus Sari, Pasar Karbon dan Potensinya

isms). Mekanisme fleksibilitas ini adalah ruanguntuk menerapkan mekanisme pasar dalamProtokol Kyoto. Mekanisme pasar memberikanruang untuk mengimbangi ( offset ) komitmenpenurunan emisi sebuah negara melalui pem-belian izin alokasi dari negara lain atau melaluipembelian kredit karbon dari proyek-proyekyang dapat menurunkan emisi. Mekanismepasar tidak menambah jumlah emisi yangditurunkan, tetapi mengurangi biaya yangdibutuhkan dalam upaya penurunan emisi.

Pasar Karbon dalamProtokol Kyoto

Mekanisme pasar setidaknya tercantumdalam empat pasal Protokol Kyoto. Pasal 17mengatur perdagangan emisi ( emissionstrading) antarnegara maju. Target persentasepenurunan emisi negara-negara maju dalamAnnex B dapat diterjemahkan dalam assignedamount unit (AAU) „ setara satu ton karbon.Beberapa AAU dapat diperdagangkan antar-negara maju. Negeri Belanda, misalnya, bisamembeli AAU dari Jepang. Negeri sakura iniharus menurunkan emisi beberapa ton lagisesuai dengan yang dibeli Belanda, sementaraBelanda bisa menurunkan emisi kurang daritargetnya sesuai dengan jumlah AAU yangdibelinya.

Pasal 4 membolehkan suatu wilayah politikmemiliki target pembatasan dan penguranganemisi secara berkelompok. Target itu kemudiandidistribusikan kepada masing-masing negaraanggota. Setiap negara bisa memiliki target yangberbeda sesuai dengan alokasi masing-masingsetelah disetujui oleh seluruh anggota ke-lompok. Itu bisa berlaku di mana-mana, tetapisaat ini hanya berlaku di negara anggota UniEropa (UE).

Pasal 6 mengatur implementasi bersama( joint implementation/ JI) antarnegara maju.Maksudnya, salah satu negara (industri maju)berinisiatif membuat sebuah proyek denganemisi lebih rendah dari satu tingkat referensi(disebut baseline atau business-as-usual ) —

tingkat emisi hipotetis jika implementasi proyekpenurunan emisi bersama itu tidak dilakukan.Penurunan emisi ini dihitung dalam satuanemission reduction unit (ERU, setara satu tonpenurunan emisi ekuivalen karbon dioksida),yang jika diperdagangkan tidak dimasukkandalam perhitungan penurunan emisi negarabersangkutan. Negara maju lain dapat membeliERU dan memperhitungkannya seolah-olahmerupakan penurunan emisinya sendiri.

Pasal 12 mengatur mekanisme pemba-ngunan yang bersih ( clean development me-chanism/CDM). Pelaksanaan CDM ini miripdengan JI. Perbedaannya, CDM hanya bisadilakukan di antara negara maju (Annex I atauAnnex B) dengan negara berkembang. DalamProtokol Kyoto, CDM adalah satu-satunyamekanisme pasar yang bisa melibatkan negara-berkembang.

Clean Development MechanismClean Development Mechanism (CDM)

memberi ruang lebih luas kepada sebuah entitasdi negara berkembang untuk mengembangkanproyek yang berdampak pada penurunan emisi.Pasal 12 Protokol Kyoto mendefinisikan tujuanCDM sebagai , ƒ to assist Parties not includedin Annex I in achieving sustainable developmentand in contributing to the ultimate objective ofthe Convention, and to assist Parties includedin Annex I in achieving compliance with theirquantified emission limitation and reductioncommitments under Article 3.

Interpretasi terhadap dua sisi tujuan CDMtersebut adalah, untuk negara berkembang(negara yang tidak masuk dalam Annex I),mencapai pembangunan berkelanjutan danmemberi kontribusi dalam pencapaian tujuanakhir Konvensi Perubahan Iklim. Untuk negaraindustri (negara Annex I), mekanisme pem-bangunan yang bersih bertujuan untuk peme-nuhan ( compliance ) syarat dengan komitmenjumlah pembatasan dan penurunan emisi sesuaiPasal 3 Protokol Kyoto. Proyek-proyek CDMharus benar-benar menghasilkan pengurangan

Page 101: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

96 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

emisi yang bermanfaat, terukur, dan berjangkapanjang.

Selain itu, juga harus dibuktikan bahwapenurunan emisi tidak akan terjadi tanpa adanyaproyek CDM. Ini disebut additionality , sebuahkonsep mutlak yang harus dibuktikan olehsemua proyek CDM. Proyek-proyek CDM jugaharus mendapat persetujuan dari DesignatedNational Authority (DNA). Di Indonesia, DNAyang dimaksud adalah Komisi Nasional Me-kanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB)yang bernaung di bawah Dewan Nasional Peru-bahan Iklim (DNPI).

Sebuah proyek CDM harus didaftarkanpada Executive Board — lembaga pengatur dibawah UNFCCC — untuk diakui sebagai pro-yek CDM. Setelah proyek ini terdaftar, makapenghitungan penurunan emisi dapat dimulai.Pada tahap ini, peran pemantauan sangatlahpenting. Semua harus diukur dengan alat ukuryang presisi dan terkalibrasi dengan teratur.Hasilnya pun harus didokumentasikan denganbaik. Hasil pemantauan penurunan emisi ituakan diverifikasi, dan berdasarkan laporanverifikasi ini sertifikasi penurunan emisi ( Cer-tified Emission Reduction/CER) dapat diter-bitkan oleh Executive Board.

Emisi Gas Rumah Kacadi Indonesia

Pada tahun 2000, emisi Indonesia didomi-nasi oleh perubahan tata guna lahan, kehutan-an, dan lahan gambut. Emisi total yang di-hasilkan sektor-sektor tersebut sebesar 0,82Gton (gigaton/miliar ton) karbon dioksidaekuivalen (CO e) — sekitar 60 persen dari2

emisi total di Indonesia. Sektor lain menyum-bang 0,55 Gton, sehingga totalnya adalah 1,37Gton. Acuan resmi angka emisi di Indonesiadapat dilihat dalam Second National Com-munication (SNC) yang diterbitkan oleh Ke-menterian Lingkungan Hidup pada 2009.6

Dalam periode 2000–2006, emisi sektorenergi tumbuh 5,7 persen per tahun, disusulsektor industri sebesar 2,6 persen, sampah 1,2persen, dan pertanian 1,1 persen. Jumlah emisidari perubahan tata guna lahan berfluktuasisangat besar dan sangat tidak pasti. Beberapastudi menunjukkan angka yang berbeda, danbesar kemungkinan angka resmi yang ada lebihrendah dari kenyataannya.

6 Lihat, Kementerian Lingkungan Hidup RepublikIndonesia, Second National Communication (Ja-karta: Kementerian Lingkungan Hidup, 2009).

Tabel 1.Emisi dan Resapan Gas Rumah Kaca (dalam ribu ton)

SektorEmisi Resapan

CH4 N O2 PFC CO e2CO2 CO2

Energi 247.522 1.437 10 280.938

Industri 40.342 104 0,43 0.02 42.814

Pertanian 2.178 2.419 72 75.420

Tataguna Lahan dan Kehutanan1.060.766 411.593 3 0,08 649.254

Gambut 172.000 172.000

Sampah 1.662 7.294 8 157.328

Total 1.524.472 411.593 236.388 28.341 1.377.754

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Second National Communication(Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, 2009).

Page 102: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

97Agus Sari, Pasar Karbon dan Potensinya

Pasar CDM di Dunia dandi Indonesia

Jumlah proyek yang diusulkan, baik kepadaKomisi Nasional CDM maupun ExecutiveBoard, menunjukkan bahwa Indonesia melihatpotensi dari pasar karbon. Indonesia jugaterbuka bagi modalitas dan tipe proyek apa punyang dapat mengkapitalisasi pasar karbon, dansecara selektif mendukung reformasi CDMmenjadi lebih sederhana dan lebih efisien.Namun, pasar karbon di Indonesia berkembangsangat lambat. Diagram 1 memperlihatkan per-kiraan besarnya pasar karbon di Indonesia diluar sektor kehutanan dan penurunan pem-bakaran gas ( gas flaring ) di sektor minyak dangas.7 Sementara Diagram 2 memperlihatkanbahwa melalui analisis komputer model ( partialequilibrium), Indonesia mungkin mendapatkansekitar 2 persen dari pasar karbon global. Chinasendiri diperkirakan bakal meraih pangsa pasarterbesar, lebih dari setengahnya.

Seperti tampak pada Tabel 2, memperlihat-kan bahwa pangsa pasar yang diraih tidak ter-lalu jauh berbeda dari perkiraan sebelumnya,hanya sekitar 328 ribu CER (dari 33 proyekyang telah terdaftar sebagai proyek CDM),

yang telah diterbitkan untuk 6 proyek CDM diIndonesia. Potensi dari semua proyek yangtelah terdaftar adalah 19,3 juta CER. JumlahCER Indonesia yang diterbitkan itu hanya satupersen dari jumlah proyek CDM dunia, danhanya mewakili 0,1 persen dari jumlah CERyang telah diterbitkan di seluruh dunia. Tigapuluh tiga proyek yang telah terdaftar sebagai

Tabel 2.Pangsa Pasar Karbon Indonesia

Indonesia Dunia

Pasar Karbon Jumlah % thd CERs % thd Jumlah CERsProyek CDM Dunia (000) Dunia (000)

Telah diterbitkan 6 1,03 328 0,10 585 340.545

Terdaftar 33 1,76 19.313 1,14 1.873 1.695.909

Proses pendaftaran 12 4,29 1.408 1,09 280 129.077

Validasi 50 1,94 6.608 2,30 2.581 287.736

Total 95 2,01 43.164 1,54 4.734 2.797.292

Sumber: UNEP Risoe CDM/JI Pipeline Analysis and DatabaseŽ, dalam http://www.cdmpipeline.org/�(diakses akhir 2009).

7 Disusun oleh Bank Pembangunan Asia pada2003; lihat, Pelangi, National CDM Strategy Studyin Indonesia (Manila: Asian Development Bank,2003).

Diagram 1. Perkiraan Besarnya Pasar Karbondi Indonesia di Luar Kehutanan

Diagram 2. Perkiraan Pangsa Pasar KarbonGlobal

Page 103: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

98 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

proyek CDM mewakili 1,8 persen dari seluruhjumlah proyek yang terdaftar di seluruh dunia,dan 1,1 persen dari potensi CER seluruh dunia.Dua belas proyek lagi berada dalam proses pen-daftaran, mewakili 4,2 persen jumlah proyekseluruh dunia dan 1,1 persen dari potensi CERglobal. Lima puluh proyek berada dalam prosesvalidasi, mewakili 1,9 persen dari jumlah proyekyang berada dalam proses validasi, dan 2,3persen dari potensi CER proyek-proyek ter-sebut. Jumlah total proyek CDM dalam pipelinedi Indonesia sebanyak 95 proyek (2 persen da-ri 4.734 proyek seluruh dunia),8 berpotensimenghasilkan 43 juta CER hingga tahun 2012

(1,5 persen dari potensi seluruh proyek di selu-ruh dunia). Enam proyek CDM di Indonesiayang telah menghasilkan CER, lihat Tabel 3.

Tabel 3 memberi banyak pelajaran. Indo-cement, misalnya, diperkirakan dapat menge-luarkan 800.000 CER per tahun, tetapi hanyamemproduksi yang jauh lebih sedikit dari per-kiraan. Tambun LPG menghasilkan jumlah CERmelebihi perkiraan pada verifikasi pertama,tetapi gagal memproduksi CER dari verifikasikedua dari jadwal verifikasi setiap kuartal.

Pasar Sesudah 2012

Protokol Kyoto hanya memberikan kepas-tian pasar hingga tahun 2012, yaitu saat periodekomitmen pertama selesai. Komitmen penurun-an emisi setelah 2012 diharapkan disepakati di

Tabel 3.Proyek di Indonesia yang Telah Menghasilkan CER

No.

1

2

3

4

5

6

Nama Proyek

Indocement AlternativeFuels Project

Tambun LPG AssociatedGas Recovery anUtilization Project

Darajat Unit IIIGeothermal Project

CDM SOLAR COOKERPROJECT Aceh 1

MEN-Tangerang 13.6MWNatural Gas Co-generat-ion Project

Methane Capture andCombustion from SwineManure TreatmentProject at PT IndotirtaSuaka Bulan Farm inIndonesia

JumlahValidasi

RegistrationIssuance Status

CER Date

17.635 23-Jun-06 29-Sep-06 Issued (on 14 Mar 08)

63.332 Issued (on 27 Mar 08)

113.446 13-Dec-07 1-Feb-08 Issued (on 30 Jul 08)

90.804 9-Oct-06 11-Dec-06 Issued (on 11 June 09)

1.077 23-Dec-05 6-Feb-06 Issued (on 06 Jan 09)

17.154 18-Oct-07 26-Feb-08 Issued (on 24 Mar 09)

22.352 5-Jun-06 31-Aug-06 Issued (on 03 Jun 09)

Sumber:UNEP Risoe CDM/JI Pipeline Analysis and DatabaseŽ, dalam http://www.cdmpipeline.org/�(diakses akhir 2009).

8 Lihat, “UNEP Risoe CDM/JI Pipeline Analysisand Database”, dalam http://www.cdmpipeline.org/ (diakses akhir 2009).

Page 104: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

T O P I K

99Agus Sari, Pasar Karbon dan Potensinya

Kopenhagen pada Konverensi Para Pihak(COP) ke-15 akhir tahun 2009. Akan tetapi,komitmen itu ternyata tidak bisa disepakati, se-hingga kepastian pasar karbon sesudah tahun2012 masih belum kuat. Walaupun demikian,ada beberapa diversifikasi pasar di luar pasarCDM yang ada.

Salah satunya adalah CDM yang direforma-si. Protokol Kyoto atau perjanjian serupa akantetap ada sesudah 2012. Mekanisme pemba-ngunan yang bersih atau mekanisme serupaakan tetap ada, bahkan mungkin lebih baikkarena panggilan untuk reformasi. Salah satureformasi penting adalah beberapa proyekCDM boleh diperlakukan seperti satu proyek.Cara programmatic CDM itu secara resmidisebut program of activities (POA). Selain itu,besar kemungkinan pelaksanaan beberapaproyek CDM di dalam satu sektor bisa diberla-kukan seperti menerapkan satu proyek saja.

Selain pasar yang dibentuk oleh kese-pakatan internasional dan bersifat mengikat, adapula pasar karbon “sukarela”; dibentuk bukanoleh kesepakatan yang mengikat, tetapi olehupaya sukarela di kalangan korporasi negara-negara maju untuk menurunkan emisi karbonyang dihasilkan saat berproduksi. Pasar su-karela yang diatur melalui asosiasi industri itubiasanya lebih mudah dan efisien. Harganyajuga lebih murah ketimbang pasar mengikat.Untuk beberapa proyek, jumlahnya tampakmeningkat. Pasar sukarela justru bisa menjadisumber alternatif paling layak.

Pasar mengikat juga bisa dibentuk dariaturan domestik atau subdomestik di antarabeberapa negara industri maju. Beberapa ne-gara maju Eropa, misalnya, telah mengaturindustrinya untuk menurunkan emisi. Walaupundemikian, mereka dapat memenuhi kewajibandomestik ini melalui pembelian kredit karbondari negara lain, termasuk negara berkembang.Beberapa negara bagian di Amerika Serikat punmengatur hal serupa. Potensi pasar karbon ter-besar di Indonesia sesudah 2012 mungkin dariupaya Reducing of Emissions from Defo-restation and Forests Degradation (REDD).

Perubahan tata guna lahan, kerusakan hutandan lahan gambut menyumbang seperlima dariemisi dunia per tahun. Seperempat hingga se-pertiga dari jumlah emisi itu dihasilkan In-donesia, dan membuat negeri ini menjadi pe-nyumbang terbesar emisi tata guna lahan dunia(sekitar 4,5-5,5 miliar ton per tahun). Jika se-tengah dari emisi ini bisa dihindari, maka adasekitar 2 sampai 2,5 miliar ton penurunan emisiper tahun. Bila penurunan emisi itu dihargaiUS$ 1-2, maka ada US$ 2–5 miliar potensipendapatan tambahan untuk Indonesia.

Terakhir, komitmen Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono untuk menurunkan emisi 26-41 persen dari aras business as usual jugaakan membuka kemungkinan pengembanganpasar karbon baru, yang secara umum ber-nama creditable nationally-appropriate miti-gation actions (creditable NAMAs; aksi mitigasitepat guna nasional yang dapat dikreditkan).Presiden SBY sudah berkomitmen bahwauntuk mencapai 26 persen penurunan emisi,Indonesia akan menggunakan sumber dayasendiri, baik dari sektor publik maupun swasta.Untuk mencapai 41 persen (15 persen tam-bahan lagi), Indonesia membutuhkan bantuankeuangan dari negara lain. Sebagian atauseluruh dari 15 persen tambahan itu dapatdianggap sebagai creditable NAMAs. Penu-runan emisi Indonesia itu dapat digunakannegara-negara maju untuk mengompensasipenurunan emisi mereka.

Kesimpulan

Pasar karbon tidak akan pernah hilangsebagai cara inovatif untuk mengendalikan emisigas rumah kaca global. Walaupun belum adakepastian, tetapi potensi pasar karbon sesudahtahun 2012 cukup besar. Untuk merengkuhkesempatan amat besar itu, Indonesia harusbelajar dari penerapan pasar karbon sebelum2012 melalui CDM. Ada beberapa hal yangmemang harus diperbaiki agar potensi pasarkarbon bisa secara maksimal direalisasikan diIndonesia•

Page 105: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

B U K U

100 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010 Prisma

Amerika memasuki Code Green , dancukup sudah pengaruh Code Red yangdipakai George Walker Bush untuk

menetapkan status keamanan Amerika pasca-serangan teroris 11 September 2001. AmerikaSerikat, begitu tulis Thomas L Friedman, harusmemimpin kembali inovasi-inovasi dunia yangramah lingkungan, efisiensi energi, dan etikakonservasi yang mampu memberi inspirasikepada umat manusia (hal.7), dan beranjak

keluar dari konsentrasinya pada perang me-lawan terorisme. Buku ini bercerita banyaktentang Amerika dan terutama untuk dibacaorang Amerika, tetapi keberpengaruhan eko-nomi dan politik Amerika terhadap dunia tetapmenjadikannya layak dicermati, terutama pe-ngaruh perubahan paradigma lingkungan hidupyang akan dibawanya untuk dunia. Alasan lain,Amerika adalah rumah bagi gerakan lingkunganhidup global dan inovator dalam gerakan kon-servasi dunia. Perubahan yang cukup radikal,bila nanti memang ada seperti didorongFriedman, akan banyak mengubah cara kitamemandang gaia —ibu bumi ini.1

Apa yang membuat buku ini akan menda-patkan perhatian dari para pengambil kepu-tusan adalah karena Friedman dikenal luassebagai penulis brilian, khususnya untuk la-

Perubahan ParadigmaLingkungan Hidup

B U K U

Judul: Hot, Flat, and Crowded: Why We Need aGreen Revolution—and How It Can Renew America

Penulis: Thomas L FriedmanPenerbit: Farrar, Straus and Giroux, New York, USA, 2008

Tebal: 448 halamanISBN-13: 978-0-374-16685-4

ISBN-10: 0-374-16685-4

1 Sejarah ringkas gerakan lingkungan hidup diAmerika dan peran pemerintah serta Non-Governmental Organization (ornop), lihat,misalnya, Kirkpatrick Sale, The Green Revo-lution: The American Environmental Movement,1962-1992 (A Critical Issue) (Hill and Wang,1993).

Page 106: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

B U K U

101Aris Santoso, Generasi yang (Nyaris) Hilang

poran luar negeri, globalisasi dan perdaganganbebas.2 Bukunya tentang globalisasi dibacaoleh para eksekutif puncak perusahaan-perusahaan besar, mungkin kali ini juga akanmembawa pengaruh cukup besar untuk meli-hat lingkungan hidup dalam perspektif yangdiperbarui.

Friedman, pemenang tiga Pulitzer danbeberapa penghargaan buku terbaik, dikenalsebagai pendukung utama globalisasi dan per-dagangan bebas.3 Karakteristik pembaca bu-kunya terdahulu adalah kelompok yang takterlalu ambil pusing terhadap dampak aktivitasbisnis mereka terhadap kerusakan lingkunganhidup. Buku ini mengungkapkan citranya yanglain sebagai pemerhati lingkungan global.Friedman mulai dengan perspektif perpolitik-an dalam negeri Amerika, dengan pendekatankebijakan administratif dari berbagai era rezimpemerintah di Amerika Serikat ketika isulingkungan mulai mengambil posisi di arus-utama, yaitu sekitar dekade 1960-an.

Isu lingkungan perlahan menjadi isu arus-utama dan tiba-tiba dunia berada dalam krisismultidimensi karena pertumbuhan pendudukyang tinggi ( crowded ), yang menyebabkankebutuhan energi dan meningkatnya emisikarbon ke atmosfer ( hot ). Kedua isu utama itutidak mampu diperbaiki segera karena sistemekonomi yang ada ( flat ) gagal bekerja secaracepat dan efektif.

Friedman menguraikan asal muasal per-soalan dengan mengutip dari bukunya ter-dahulu, World that is Flat. Hidup digerakkanoleh kekuatan serupa: kekuatan ekonomi.Faktor penggerak seragam inilah yang me-nyebabkan dunia dapat dilihat dalam perspektif

satu dimensi. Penetrasi ekonomi hampir me-nembus semua bentuk kehidupan. Akan teta-pi, pada saat bersamaan, dunia menjadi riuhkarena pertumbuhan penduduk yang sebagianbesar berusaha mencapai tingkat konsumer-isme ala Amerika, dan kota-kota tumbuh seba-gai kosmopolitan tanpa karakter. Ada sekitardua sampai tiga miliar orang seperti ini, yanghidup dengan kendaraan mobil, penyejukruangan, kulkas, sehingga meningkatkan kon-sumsi energi secara tajam.

Permintaan energi yang tak berkesudahanitu tidak hanya menambah karbon dioksida keatmosfer tetapi terus mendorong suhu naik ketingkat yang membahayakan. Permintaanenergi juga telah membahayakan keaneka-ragaman hayati, menghancurkan dan mele-nyapkan satu spesies setiap 20 menit. Energitelah memperlebar jarak antara si kaya dan simiskin yang tak punya akses pada listrik,apalagi komputer jinjing.

Pengarang menyatakan bahwa dunia ber-ada pada era Energy - Climate yang ditandai olehlima ciri, yaitu peningkatan kebutuhan tidakdiikuti persediaan, pengalihan kekayaan besar-besaran kepada kelompok petro-diktator, per-ubahan iklim, masyarakat miskin semakintertinggal jauh, dan peningkatan punahnyakeanekaragaman hayati.

Menjadi ramah lingkungan tidak semudahmembalikkan telapak tangan, karena membu-tuhkan infrastruktur yang bahkan sebagianbesar belum ada saat ini. Argumen-argumenpenulis dalam tingkat makro tidak diikuti penje-lasan yang memadai. Penulis alpa menguraikanapa yang sesungguhnya terjadi pada isu kele-bihan populasi. Apakah program pembatasankelahiran dapat memperlambat pertambahanpenduduk ataukah ada program lain. Masalahlebih besar muncul dari asumsinya bahwastimulus pemerintah dan kecerdasan manusiabegitu saja akan memproduksi inovasi teknologidan ujungnya akan menemukan sumber energitiada batas. Sampai hari ini tidak ada bukti bahwasemua itu akan terjadi dalam waktu dekat.Bahkan, bila dikombinasikan dengan energi

2 Untuk memahami pandangan Thomas LFriedman tentang globalisasi, ekonomi, danpengaruh teknologi informasi; lihat, Thomas LFriedman, The World is Flat (New York: Farrar,Strauss and Giroux, 2005).

3 Salah satu sumber internet untuk biografiThomas L Friedman, lihat, http:// www.nytimes.com/ref/opinion/FRIEDMAN-BIO.html.

Page 107: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

B U K U

102 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

nuklir, semua jenis energi nonfosil yang ramahlingkungan terbukti tidak dapat menjaminlonjakan permintaan energi global.

Friedman dengan gundah mengungkapkan“ketertinggalan” Amerika dari negara-negaraEropa, Jepang atau bahkan China yang duluditinggalkannya pasca-Perang Dunia II. Diasedih melihat stasiun-stasiun kereta Eropa yangberteknologi tinggi dibanding Amerika yang“sederhana”. Dia cuma melihat beberapa kotakecil Amerika yang lebih kompetitif dibandingkota-kota di China. Dia juga tak lupa men-ceritakan keberhasilan “kecil” beberapa unitangkatan bersenjata Amerika yang bertugas diAfganistan yang memakai tenaga matahari danangin untuk menyejukkan markas mereka, jugatentang 7,5 persen kendaraan taksi di New Yorkyang telah berganti wujud menjadi mobil hibrid.Dalam konteks Friedman, hampir semua yangada di Amerika Serikat hari ini kurang ramahlingkungan.

Amerika Memimpin

Friedman bergelora ingin membawa Ame-rika kembali memimpin dunia dalam programClean Energy System, yang akan mengem-balikan “elektron bersih” ke “sarangnya”, yangdigerakkan oleh tenaga surya, angin, gelom-bang air, dan nuklir. Dia mengatakan bahwaperusahaan penyedia listrik terus-menerusmendorong kita untuk meningkatkan dan bukanmenurunkan pemakaian listrik. Karena alasankeuangan, mereka harus menjaga permintaanlistrik tetap tinggi.

Menurut Friedman, cara untuk mengurangikonsumsi energi adalah dengan membenahipasar. Pembenahan pasar tidak hanya denganmengurangi pemakaian listrik, tetapi juga ba-gaimana membuat perusahaan listrik membelienergi dari sumber yang ramah lingkungan.Kebijakan ini membutuhkan perubahan radikalpada rezim perpajakan, insentif, dan harga yangdapat dilakukan pemerintah. Menurutnya, pasarsengaja didesain membuat harga bahan bakarfosil seperti minyak bumi tetap murah, se-

mentara harga energi terbarukan mahal dansulit didapat.4

Ramah Lingkungan=MenggantiRezim?

Bahasan paling menarik, barangkali, adalahketika perspektif geopolitik Friedman bertemudengan perspektif lingkungan hidup. Dalambuku ini, Friedman mengambil posisi sebagaipatriot. Oleh sebab itu, Amerika Serikat harusmemimpin dan membawa perubahan funda-mental dalam berbagai pendekatan lingkunganhidup. Salah satu argumen menarik dariFriedman adalah pencapaian Amerika untukmenjadi lebih ramah lingkungan akan men-dorong perubahan di negara-negara lain. Ber-beda dengan Philips Shabecoff yang meng-anggap isu lingkungan dapat menjadi isu per-damaian dunia, bagi Friedman isu lingkungandapat menjadi akselerator kebebasan dandemokratisasi.5

Teknologi energi tidak hanya akan mere-formasi negara-negara muslim di jazirah Arab,tetapi juga gelombang reformasi bagi “pesaing”terberat Amerika Serikat dalam perdaganganinternasional, yaitu China. Amerikanisasi da-lam model perekonomian China sebaiknyadimanfaatkan untuk menekan negeri ini men-jadi lebih hijau (hal. 366). Bila Amerikamenjadi lebih hijau, maka China akan meng-ikutinya, dan hanya di dalam alam demokrasisuara para aktivis lingkungan hidup akanmendapatkan wadah, sehingga pada akhirnya

4 Tentang ide dan gagasan kebijakan lingkunganberbasis inovasi pasar dan praktik di beberapanegara; lihat, misalnya, David Roodman, TheNatural Wealth of Nations: Harnessing the Marketfor the Environment (London: Earthscan Pu-blications Ltd., 1999).

5 Philips Shabecoff dalam A New Name for Peace:International Environmentalism, SustainableDevelopment, and Democracy (UPNE, 1996)menilai isu lingkungan hidup dalam perspektifkolaborasi global, bukan kompetisi globalsebagaimana diformulasikan Friedman.

Page 108: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

B U K U

103Aris Santoso, Generasi yang (Nyaris) Hilang

partisipasi masyarakat ini akan mempromo-sikan kebebasan (hal. 96). Amerika juga sudahseharusnya mengurangi permintaan minyakbumi karena adanya kebutuhan mendorongreformasi di negara-negara Arab-muslim (hal.108). Apakah Friedman kemudian mengang-gap semua yang terjadi di negeri non-Arabseperti Iran tidak memerlukan “sentuhan re-formasi” serupa?

Bila Amerika Serikat berhasil mendesak-kan agenda lingkungan hidup kepada China,maka pemerintah akan memberi ruang lebihluas kepada aktivis-aktivis lingkungan dan ma-syarakat sipil untuk menyuarakan kondisi ling-kungan hidup. Kesempatan ini akan membukalebar partisipasi publik dalam pembangunan dan,karena tidak ingin dikategorikan sebagai negeritidak ramah lingkungan ( outgreen ), mendorongdemokratisasi negeri tirai bambu (hal. 367).Perspektif demikian tentu saja menganggapnegeri-negeri lain adalah kompetitor Amerika,bukan kompatriot. Bahkan dengan lantang diamenulis, setelah Amerika berhasil memperluaspengaruh hijaunya, terciptalah kemenangan,“ America wins ! America wins ! America wins !”(hal. 242).

Bila dikaitkan dengan efektivitas kebijakanpublik, Friedman tak sungkan mengagumisebagian dari sistem politik komunis China.Kekagumannya dapat dipahami mengingatmesin Partai Komunis China tampak sangatefektif dalam mendesakkan kebijakan dari ataske bawah. “Andaikata kita bisa jadi China untuksatu hari saja,” tulisnya, “tapi tidak untuk duahari.” Menurut Friedman, bila Partai KomunisChina menginginkan China menjadi lebih hijau,mereka akan berhasil menerapkan kebijakanramah lingkungan apa saja, dan akan melajumeninggalkan negara lain termasuk Amerika.

Ironi terbesar yang dikategorikan Friedmansebagai hambatan utama perubahan pola pikirenergi di Amerika Serikat adalah kegagalankepemimpinan politik dan pengaruh kuat ke-lompok lobi perusahaan-perusahaan minyak.Pendapat demikian kurang lebih serupa denganAl Gore, dalam cara lebih “lembut”, yang

menilai adanya hambatan sistem politik danekonomi antilingkungan di dalam negeri Ame-rika Serikat.6 Itu sebabnya perusahaan panelsurya Amerika Serikat, First Solar, bisa men-dapatkan pasar potensial di Jerman, Spanyol,Perancis, Yunani, dan Portugal dibanding didalam negeri.

Kritik

Bab pertama buku ini hendak menunjukkanbagaimana menjadi ramah lingkungan akanmenuntun pada pembangunan bangsa Amerika(hal. 9). Namun, Friedman tidak menerangkanhal itu secara detail. Semua dampak yangdikemukakannya dalam buku ini meluluekonomi. Dia juga membahas panjang lebartentang bagaimana Amerika akan mendapatlebih banyak pekerjaan di sektor padat tek-nologi yang lebih sulit disubkontrakkan kepadaorang atau pekerja asing. Apa yang dia maksuddengan pekerjaan padat teknologi? Pekerjaan dibidang konstruksi pemasangan panel surya danrenovasi bangunan (hal. 338)!

Tekanan Friedman pada masalah energitidak lantas membuat dia setuju dengan per-ubahan gaya hidup secara radikal (hal. 194). Diayakin bahwa banyak pihak relatif mudah untukmenjadi lebih ramah lingkungan, tetapi lupabertanya sampai di mana batas gaya hidup alaAmerika bisa ditoleransi. ArgumentasiFriedman justru menjadi bumerang ketika diamengkritik eksternalitas dalam kasus pence-maran lingkungan. Menurutnya, akunting hanyamembodohi kita bila tak memperhitungkaneksternalitas yang timbul dalam perekonomian.“Kenaikan keuntungan dan PDB kita setiaptahun hanya di atas kertas karena kita tidakmenghitung biaya yang sebenarnya. Ibu Pertiwitelah dibodohi” (hal. 260). Jika demikian halnya,siapakah yang mengatakan dengan lantang

6 Lihat, Al Gore, Earth in Balance: Ecology and theHuman Spirit, diterjemahkan oleh Hira Jhamtani(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), BagianII, hal. 199-299

Page 109: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

B U K U

104 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

ekonomi Amerika benar-benar tumbuh? Apa-kah sistem perekonomian kapitalistik ala-Amerika yang dibela mati-matian olehFriedman layak dipertahankan?

Menariknya, atau mungkin cukup meng-herankan, Friedman tidak mengajukan bebe-rapa pertanyaan yang telah lama didiskusikan dikalangan cendekiawan di Eropa. Pemikir sosialseperti Andre Gorz, misalnya, telah lama me-nganalisis secara mendalam hakikat dan artispiritual setiap pekerjaan, termasuk hubungan-nya dengan ekologi dan energi. Sementarapendekatan Friedman melulu materialistik danteknokratis.7

Pengarang menyederhanakan manusiamenjadi sekumpulan inovator dan konsumen,padahal kita memiliki sejumlah nilai kema-nusiaan. Pendekatan kompetisi di antara Ame-rika Serikat dengan negara lain memosisikanAmerika selalu mengejar pertumbuhan eko-nomi tiada henti, padahal isu perubahan iklimdan lingkungan hidup membutuhkan kerjasama global, seperti pendapat Shabecoff, se-bagaimana pernah diejawantahkan di Bali danKopenhagen.

Dalam buku ini, Friedman menutup sebelahmata terhadap kemiskinan di negara lain. Im-piannya tentang teknologi ramah lingkngan dinegara berkembang tetap mimpi ala Amerikayang serba luas, serba besar, dan serba borosenergi. Dia, misalnya, membayangkan seorangpetani Brasil dengan 400 hektar lahan, traktorberteknologi tinggi, dan sistem penyemprotanotomatis — singkatnya sebuah mega- farm „sebagai sebuah contoh pertanian masa depan.Kenyataannya, rata-rata petani Brasil hanyamemiliki 60 hektar tanah, bahkan sebagian

7 Lihat, Andre Gorz, Ecology as Politics (Montreal:Black Rose Books, 1980) dan diterjemahkan olehHendy Heynardhi et al menjadi Ekologi dan KrisisKapitalisme (Yogyakarta: INSIST Press, 2002).Gorz adalah filsuf sosial Perancis sekaliguspengecam kapitalisme global perusak ling-kungan hidup.

8 Tentang peran sistem ekonomi kapitalistik dalammempercepat kerusakan lingkungan hidupglobal; lihat, misalnya, Raymond L Bryant danSinead Balley, Third World Political Ecology(London: Routledge, 1997), hal. 1-9 dan 103-129;Tim Forsyth, Critical Political Ecology: The Politicsof Environmental Science (London: Routledge,2008).

9 Lihat, misalnya, laman http://www.wikipedia.com/median_household_income/

besar kurang dari luas itu. Sementara kaum tanidi negara berkembang lain seperti Indonesiahanya memiliki garapan seluas setengah hektarsaja, bahkan banyak yang menjadi buruh tanitanpa lahan.

Setidaknya ada dua catatan kritis yangpatut dialamatkan kepada Friedman. Pertama ,kealpaan (kesengajaan?) untuk mengupaslebih jauh apakah pasar kapitalisme ala Ame-rika merupakan salah satu akar penyebabkatastrofi lingkungan global, karena keter-gantungan yang sangat tinggi pada sumber-sumber energi karbon8 Kedua, keyakinannyaterhadap pertumbuhan ekonomi yang semakintinggi. Tanpa pertumbuhan ekonomi tidak akanada pembangunan, sehingga kelompok miskintidak akan pernah lepas dari jerat kemiskinan(hal. 186). Apa yang dimaksud Friedman de-ngan pertumbuhan ekonomi? Jawaban umumsampai hari ini hampir seragam, yaitu per-tumbuhan ekonomi menurut GDP (ProdukDomestik Bruto/PDB). Padahal, PDB terbuktitidak pernah mampu menunjukkan bagaimanakesejahteraan terdistribusikan. Bisa saja satuatau segelintir konglomerat bertambah kaya,dan PDB naik, tetapi pendapatan sebagianbesar masyarakat tidak beranjak.9 Selain itu,Friedman tidak menyebutkan bahwa pertum-buhan ekonomi menurut PDB bisa disebabkanoleh kegiatan yang tidak berhubungan samasekali dengan parameter kesejahteraan kuan-titatif yang diukurnya, seperti penanggulanganpenyakit atau pembersihan polusi•

IGG Maha Adi

Page 110: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Prisma K R I T I K & K O M E N T A R

Koreksi Kecil padaTanggapan Imam Yudotomo

Imam Yudotomo telah menanggapi sebuahcatatan kaki dalam tulisan Antonius Made TonySupriatma (lihat, “Menguatnya Kartel PolitikPara 'Bos'”, Prisma, Vol. 28, No. 2, Oktober2009). Dia menyanggah pandangan dalamtulisan tersebut bahwa pimpinan Partai SosialisIndonesia (PSI) “terbangun karena hubungankeluarga yang sangat dekat” (lihat, tanggapanImam dalam tulisan berjudul “PSI Ada KarenaHubungan Keluarga?”, Prisma, Vol. 29, No. 1,Januari 2010).

Sesuai anjuran Antonius Made dalam men-jawab tanggapan Imam itu, saya menikmatitulisan Imam yang merupakan “esai sendiri”.Saya amat setuju dengan pandangannya, namunperlu dikemukakan beberapa catatan sebagaikoreksi kecil dalam tulisan Imam:a. Siti Wahyunah Saleh (“Zus Pop”) selama

tahun 1945-1947 tidak bekerja di Kemen-terian Luar Negeri, tetapi bertugas diKantor Perdana Menteri, Jalan Cilacap 4,Jakarta, sebagai Sekretaris Eksekutif SutanSjahrir.

b. Mereka menikah di Kairo pada 26 Mei1951.

c. Ketika dilantik Presiden Soekarno (berda-sarkan resolusi Badan Pekerja KomiteNasional Indonesia Pusat) sebagai Perdana

Menteri RI pertama pada 14 November1945, Sjahrir berumur 36 tahun, bukan 31tahun (dia lahir di Padang Panjang,Sumatera Barat pada 5 Maret 1909).

d. Sjahrir secara resmi bercerai dari istri per-tamanya, warga negara Belanda, NyonyaMaria Duchateau, pada awal 1947 di NewDelhi, India. Perdana Menteri Sjahrir ber-kunjung ke New Delhi akhir Maret 1947atas undangan Perdana Menteri JawaharlalNehru untuk menghadiri Asian Inter-Relat-ions Conference. Nyonya Maria Duchateaudatang dari Negeri Belanda khusus untukmenjumpai Sjahrir. Mereka menikah disebuah mesjid di Medan pada 10 April1932, sekembalinya Sjahrir dari NegeriBelanda. Akan tetapi, para pejabat kolonialHindia-Belanda tidak mengakui pernikahanitu dan mengusir Nyonya Maria DuchateauSjahrir kembali ke Belanda.

Saya ingin menyatakan kekaguman sayaatas pengetahuan rinci yang dimiliki Imamtentang sejarah awal PSI, serta liku-liku per-kembangan intern partai ini.

Sabam SiagianRedaktur Senior The Jakarta Post

Page 111: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

P A R A P E N U L I S

106 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2009

Agus Sari ialah mantan Country Director danStrategic Policy Director, Asia Tenggara, diEcoSecurities. Menyelesaikan disertasi me-ngenai perubahan iklim di Energy and Re-sources Group, University of California, Ber-keley, Amerika Serikat. Pernah mengajar IlmuLingkungan di Institut Teknologi Indonesia danPolitik Karbon di University of California, SantaBarbara, AS. Saat ini menjadi pemerhati, pe-nasihat, dan pengembang mekanisme pen-danaan perubahan iklim sebagai rekanan dan,kemudian, komisaris di PEACE (salah satuperusahaan advisory mengenai perubahaniklim) dan pendiri portal informasi perubahaniklim dan pasar karbon pertama di Indonesia.Sebelum bergabung dengan EcoSecurities,menjabat Direktur Eksekutif Pelangi, sebuahlembaga penelitian di bidang lingkungan; pernahbekerja di Lawrence Berkeley National Labo-ratory, Berkeley, California, AS; EnvironmentalDefense Fund, Washington, DC, AS; dan Wa-hana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi),Jakarta. Dia juga duduk dalam berbagai komitebisnis dan sains, termasuk IntergovernmentalPanel on Climate Change (IPCC).

Asclepias Rachmi Soerjono Indriyanto, lahirpada 1962. Meraih gelar Sarjana Matematik(1987) dari Institut Teknologi Bandung; MA(1992) dan PhD (2002) dari University ofHawaii at Manoa, AS dengan disertasi berjudul“Investment Under Uncertainty: Application ofBinomial Option Analysis to Development ofGeothermal Energy in Indonesia.” Banyakmengikuti kegiatan pelatihan di antaranya

P A R A P E N U L I S Prisma

“Leadership for Environment and Development(LEAD) - Associate Training Cohort XII” (2007)yang diselenggarakan Yayasan PembangunanBerkelanjutan; “A Course on Policy AnalysisUsing System Dynamics Model” (1995), InstitutTeknologi Bandung; “In House Training onEnergy Resources: Petroleum” (1991, 1992,1993), The East West Center, Honolulu, Hawaii,AS. Pernah bekerja di PT Redecon (ResourceDevelopment Consultant, 1994-1998) sebagaiEnergy Economist, Project Manager, FinancialAssociate dan Project Administrator. Sejak 1996,salah satu anggota International Association forEnergy Economics (IAEE) ini, bekerja di Insti-tut Indonesia untuk Ekonomi Energi (IIEE).

Daniel Murdiyarso ialah Peneliti Senior diCenter for International Forestry Research(CIFOR). Kepala Laboratorium Hidrometeoro-logi ini memperoleh gelar Sarjana Kehutanandan Master Pengelolaan Sumber Daya Alamdan Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor(IPB); gelar PhD (1985) bidang Meteorologidiperoleh dari Department of Meteorology,University of Reading, Inggris. Guru Besar IlmuAtmosfer di Jurusaan Geofisika dan Mete-orologi, Fakultas MIPA-IPB, ini banyak mencu-rahkan perhatian, pengajaran, dan penelitian dibidang emisi gas rumah kaca dan perubahaniklim dalam kaitannya dengan alih guna lahan,khususnya akibat deforestasi yang diikuti olehpengembangan lahan pertanian. Pengalamanmemimpin lembaga internasional yang bergerakdi bidang pengembangan kapasitas tentangperubahan lingkungan global, memberinya

Page 112: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

P A R A P E N U L I S

107Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010

kesempatan untuk membuka dan menggiatkandialog antara pakar dan pengambil kebijakantentang isu yang sama. Penulis buku SepuluhTahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Peru-bahan Iklim (2003), CDM: Mekanisme Pemba-ngunan Bersih (2003), Protokol Kyoto: Impli-kasinya Bagi Negara Berkembang (2003),anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesiaini pernah menjadi Penasihat Wetlands Inter-national dalam kajian lahan gambut dan peru-bahan iklim; penasihat Bank Dunia untuk pe-ngembangan BioCarbon Fund dan Forest Car-bon Partnership Facility (FCPF).

I Gusti Gede Maha S Adi, lahir di Jakarta, 1Juni 1972. Meraih gelar Sarjana (1996) dariDepartemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,Institut Pertanian Bogor; Magister (2010) IlmuLingkungan dari Program Pascasarjana Uni-versitas Indonesia. Peraih Adam Malik Award(2004) dari Departemen Luar Negeri Indonesiauntuk liputan mengenai Pulau-pulau Sipadan danLigitan ini, banyak menulis dan menyunting bu-ku di antaranya, 30 Tahun Kementerian Ling-kungan (Maret 2008-sekarang), Laporan Nasio-nal tentang Konferensi UNFCC di Bali (Januari2008-sekarang), Objektivitas Berita LingkunganJurnalistik Berkelanjutan (2006), dan TheHistory of Indonesian Environmental Movement(2004). Penulis lepas dan wartawan majalahTempo (sejak Februari 2007) ini menjabatDirektur Eksekutif Society of Indonesian Envi-ronmental Journalists (SIEJ) sejak April 2010.

Ismid Hadad, lahir di Surabaya, April 1940.Menyelesaikan studi di Fakultas EkonomiUniversitas Kristen Indonesia, Jakarta(1966);Parvin Fellow di Princeton University, AS(1980); meraih gelar MPA dari KennedySchool of Government, Harvard University, AS(1982). Mantan aktivis gerakan mahasiswaAngkatan 66 ini mengawali karier di bidangjurnalistik sebagai Redaktur Pelaksana HarianKAMI, kemudian mendirikan dan menjadiPemimpin Redaksi pertama Jurnal Prisma(1971-1980); pendiri dan Direktur Eksekutif

LP3ES (1975-1980); Ketua Pengurus InstitutIndonesia untuk Ekonomi Energi (IIEE, 1992-2005); Sekretaris Pengurus Lembaga EkolabelIndonesia (LEI, 1998-2006); Ketua PengurusYayasan Pembangunan Berkelanjutan (2002-sekarang); Direktur Eksekutif Yayasan Kehati(1998-2007); dan Ketua Pengurus YayasanPelangi Indonesia (2005-sekarang). Pendiri danKetua Pengurus Perhimpunan FilantropiIndonesia (2005-sekarang) ini juga pernahmenjabat Managing Director PT ResourceDevelopment Consultant (Redecon, 1987-1998)dan Direktur Utama PT Indoconsult (1994-1998). Dia kini bertugas sebagai KetuaKelompok Kerja Mekanisme Pendanaan diDewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI); WakilKetua Dewan Pertimbangan PenghargaanLingkungan Hidup “Kalpataru” dan KetuaDewan Pembina Yayasan KeanekaragamanHayati Indonesia. Sejak 2007 menjadi penasihatMenteri Negara Lingkungan Hidup selakuPresiden COP-13 dan aktif sebagai perundingdan Sekretaris Delegasi RI pada Konferensi ke-13 Negara-Negara Pihak (COP-13) UNFCCC diBali (2007); anggota delegasi RI dan timnegosiasi untuk isu pendanaan perubahan iklimpada COP-14 di Poznan (Polandia, 2008), padasidang-sidang persiapan untuk COP-15 di Bonn,Bangkok, Barcelona, dan Kopenhagen (Den-mark). Pernah menjadi konsultan senior UNDPdan World Bank Jakarta untuk urusan peru-bahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Mubariq Ahmad, lahir di Padang, SumateraBarat, Januari 1960. Menyelesaikan PhD dibidang Natural Resources & EnvironmentalEconomics dari Michigan State University(1997); MA bidang Economics dari ColumbiaUniversity, New York (1990) dan SarjanaEkonomi dari Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia (1985). Sejak 1984 bekerja sebagaianalis ekonomi makro/finansial, ekonomisumber daya alam, dan lingkungan hidup diberbagai lembaga nasional dan internasional, disamping mengajar sebagai dosen tidak tetap diFEUI. Ikut mendirikan dan pernah menjadi

Page 113: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

P A R A P E N U L I S

108 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2009

Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indo-nesia (1997-2000). Bergabung dengan ProgramUSAID/Natural Resource Management pada2000; Direktur Eksekutif WWF-Indonesia(2003-2009); aktif dalam Koalisi PengelolaanSumber Daya Alam; anggota InternationalEditorial Board dari Elsevier’s Science Journalof Forestry Policy and Economics (sejak 1999),anggota Council on Ecosystem & Biodiversityof World Economic Forum (sejak 2008), danAdvisor Kebijakan Perubahan Iklim dan Eko-nomi Rendah Karbon (sejak Oktober 2009).

Nur Masripatin dilahirkan di Blitar, JawaTimur, Januari 1958. Bekerja di DepartemenKehutanan sejak lulus Sarjana Kehutanan dariUniversitas Gadjah Mada (1983). Meraih MScbidang Perencanaan Kehutanan dan PhD bi-dang Biometrik Kehutanan dari CanterburyUniversity, Selandia Baru. Pakar Analisis Ke-bijakan dan Perencanaan Kehutanan ini pernahmenjabat Direktur Pusat Penelitian dan Pe-ngembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Ta-naman Hutan (2002-2005) dan Sekretaris BadanPenelitian dan Pengembangan Kehutanan, De-partemen Kehutanan (2007-2009). Salah satuanggota delegasi Indonesia dalam negosiasiperubahan iklim untuk isu kehutanan; Koor-dinator ASEAN Network on Climate Change(sejak 2008); Koordinator Preparation of Natio-nal Road Map on Climate Change Mitigationand Adaptation untuk Komponen Sektor Ke-hutanan (sedang berjalan); Koordinator Indo-nesia Technology Need Assessment untukmitigasi iklim dalam sektor kehutanan (2007);Koordinator Nasional untuk Asia Pacific ForestGenetic Resources Programme (2004-2006);Wakil Ketua Asia Pacific Association of ForestryResearch Institutions (2007-2009); KepalaGugus Tugas Nasional untuk Indonesia ForestGenetic Resources Conservation and Mana-gement (2008); Kelompok Kerja NasionalLULUCF untuk COP-13 dan bertugas me-nyusun substansi Indonesia REDD Readiness di

bawah Indonesia Forest Climate Alliance(2007); Ketua Kelompok Kerja tentang GHGsInventory pada Komunikasi Nasional Ke-2 In-donesia untuk UNFCCC (2008-2009); danKoordinator tim perancang strategi REDDIndonesia dan FCPF-REDD Readiness Pre-paration Proposal (2008-2009). Saat ini menjabatDirektur Pusat Penelitian Sosial Ekonomi danKebijakan Kehutanan pada Badan Penelitian danPengembangan Kehutanan, Kementerian Ke-hutanan Republik Indonesia.

Rizaldi Boer lahir di Bandung, Jawa Barat,September 1960. Master of Agriculture (1990)dari Department of Crop Science, FakultasPertanian, University of Sydney, Australia, danMaster of Science (1989) dalam Agroklima-tologi dari Institut Pertanian Bogor ini meraihgelar PhD Pertanian (1994) dari University ofSydney, Australia, dengan disertasi berjudul“Climatic Constraints on Anthesis of Wheat ina Major Wheat Growing Region of Australia”.Sebagian besar penelitiannya berkaitan denganperubahan, variabilitas, dan analisis risiko iklimterhadap sektor pertanian dan kehutanan. Sejak1999, menekuni proyek-proyek yang berkaitandengan variabilitas dan perubahan iklim diIndonesia dan kawasan Asia Tenggara, baiksebagai peneliti maupun konsultan. Saat ini,bekerja sebagai dosen Departemen Geofisikadan Meteorologi, Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor(Geomet-IPB); Kepala Laboratorium Klimato-logi jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB;Ketua Umum Perhimpunan Meteorologi Per-tanian Indonesia (Perhimpi) periode 2008-2011;Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk andOpportunity Management in Southeast Asiaand Pacific (Pusat Pengelolaan Risiko danPeluang Iklim Kawasan Asia Tenggara danPasifik; CCROM-SEAP), IPB; dan Ketua Ke-lompok Kerja Asosiasi Regional V (Pasifik BaratDaya) untuk Meteorologi Pertanian WMO(Organisasi Meteorologi Dunia, 2004-sekarang).

Page 114: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Petunjuk untuk Penulis

1. Penulisan naskah. Naskah yang dikirim ke Prisma belum pernah diterbitkan atau tidak sedangdalam proses pengajuan untuk diterbitkan di media lain. Naskah berisi tulisan ilmiah populer bisaberasal dari ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis, atau gagasan orisinal yang kritis,mencerahkan, dan membuka wawasan.

2. Topik. Isi naskah disesuaikan dengan rubrik Topik Kita yang ditetapkan redaksi dan bisa jugaberisi topik bebas di luar Topik Kita. Tulisan dalam rubrik Esai berisi pendalaman dan pergulatan

pemikiran. Rubrik Survei berisi hasil penelitian tentang segala macam persoalan sosial ekonomiyang aktual. Rubrik Laporan Daerah berisi hasil pengamatan atau penelitian tentang satu daerahtertentu di Indonesia. Rubrik Buku berisi tinjauan buku-buku baru atau lama yang masih relevandengan kondisi sekarang.

3. Panjang. Panjang tulisan untuk rubrik Topik Kita, Survei dan Laporan Daerah, kecuali ataskesepakatan dengan redaksi, maksimal 29.000 karakter dengan spasi (sekitar 4.000 kata) dan

sudah termasuk catatan kaki; tetapi belum terhitung di dalamnya jika ada gambar, ilustrasi, bagandan tabel. Panjang Esai maksimal 11.600 karakter dengan spasi (tidak perlu disertai catatan kaki).

Tinjauan Buku terdiri dari dua versi: tinjauan pendek sekitar 11.600 – 14.500 karakter dengan spasi dan tinjauan panjang sekitar 23.300 – 29.000 karakter dengan spasi.

4.Abstrak. Setiap naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia. Panjang abstrak maksimal 800 karakter dengan spasi dan hanya terdiri dari satu paragraf yang menggambarkan esensi isi

tulisan secara gamblang, utuh, dan lengkap.

5. Catatan kaki. Semua rujukan pada tubuh tulisan, baik sumber yang merujuk langsung maupuntidak langsung, harus diletakkan dalam Catatan Kaki dengan urutan nama lengkap pengarang,judul lengkap sumber, tempat terbit, penerbit, tahun terbit, dan nomor halaman, kalau perlu.

Rujukan dari internet harap mencantumkan halaman http secara lengkap serta tanggalpengaksesannya.

Contoh-contoh:Buku dengan Satu Orang Penulis1 Wendy Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999), hal. 65.Buku dengan Dua atau Tiga Orang Penulis2Guy Cowlishaw dan Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago

Press, 2000).Buku denganEmpat Orang Penulis atau Lebih3Edward O Laumann et al ., The Social Organization of Sexuality: Sexual Practices in the United States

(Chicago: University of Chicago Press, 1994), hal. 225-262.Buku Terjemahan atau Suntingan4Srintil, The Iliad of Homer, diterjemahkan oleh Richmond Lattimore (Chicago: University of Chicago

Press, 1951).5Yves Bonnefoy, New and Selected Poems, disunting oleh John Naughton and Anthony Rudolf (Chicago:

University of Chicago Press, 1995).Bab atau Bagian dari Sebuah Buku6Andrew Wiese, “‘The House I Live In’: Race, Class, and African American Suburban Dreams in the

Postwar United States,” dalam Kevin M Kruse dan Thomas J Sugrue ( eds. ), The New Suburban History(Chicago: University of Chicago Press, 2006), hal. 101–102.

Page 115: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Prakata, Kata Pengantar, atau Pendahuluan dari Sebuah Buku7 James Rieger, “Kata Pengantar” untuk Mary Wollstonecraft Shelley, Frankenstein; or, The Modern

Prometheus (Chicago: University of Chicago Press, 1982) hal. xx…xxi.Buku Elektronik8Philip B Kurland dan Ralph Lerner ( eds .), The Founders Constitution (Chicago: University of Chicago�

Press, 1987), atau http://press-ubs.uchicago.edu/ founders/ (diakses tanggal 27 Juni 2006).Artikel Jurnal, Majalah, atau Surat Kabar Cetak9 John Maynard Smith, “The Origin of Altruism”, dalam Nature 393 (1998), hal. 639.1 0William S Niederkorn, “A Scholar Recants on His ‘Shakespeare’ Discovery”, dalam New York Times,

20 Juni 2002 (Rubrik Seni Sastra).Tesis atau Disertasi1 1M Amundin, “Click Repetition Rate Patterns in Communicative Sounds from the Harbour Porpoise,

Phocoena phocoenaŽ (Disertasi PhD, Stockholm University, 1991), hal. 22…29, 35.Makalah1 2 Brian Doyle, “Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (Makalah diajukan pada

pertemuan internasional the Society of Biblical Literature, Berlin, Jerman, 19–22 Juni 2002).Laman1 3 Evanston Public Library Board of Trustees, “Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A

Decade of Outreach,” Evanston Public Library, dalam http://www.epl.org/library/strategic-plan-00.html (diakses tanggal 1 Juni 2005).

Jurnal, Majalah atau Surat Kabar Maya1 4Mark A Hlatky et al. , “Quality-of-Life and Depressive Symptoms in Postmenopausal Women after

Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study(HERS) Trial”, dalam Journal of the American Medical Association 287, No. 5 (2002), atau http://jama.ama-assn.org/issues/v287n5/ rfull/joc10108.html#aainfo (diakses tanggal 7 Januari 2004).

Komentar Weblog1 5 Komentar Peter Pearson tentang “The New American Dilemma: Illegal Immigration,” The Becker-Posner Blog, diposting 6 Maret 2006, dalam http://www.becker-posner-blog.com/archives/2006/03/

the_new_america.html#c080052 (diakses tanggal 28 Maret 2006).Surat Elektronik1 6 Surat elektronik Ibu Pengetahuan kepada Penulis, 31 Oktober 2005.Item dalam Basis Data Maya1 7Pliny the Elder, The Natural History, John Bostock dan HT Riley ( eds. ), dalam the Perseus Digital

Library, http://www.perseus.tufts.edu/cgi-bin/ptext?lookup= Plin.+Nat.+1.dedication (diakses tanggal17 November 2005).

Wawancara1 8 Wawancara dengan Bapak Sukailmu, Jakarta, 1 Januari 2010.

6.Tabel. Tabel, gambar, bagan dan ilustrasi harus mencantumkan dengan jelas nomor tabel/gambar/bagan/ilustrasi secara berurutan, judul serta sumber data. Keterangan tabel/gambar/bagan/ilustrasi diletakkan persis di bawah tabel/gambar/bagan/ilustrasi bersangkutan.

7. Biodata. Penulis wajib menyertakan curriculum vitae dan foto diri.

8. Pengiriman. Tulisan dikirim dalam dua bentuk, yaitu 1) file elektronik dan 2) naskah tercetak(2 kopi) ditujukan kepada:a. File elektronik : [email protected]; [email protected]. Naskah tercetak: Pemimpin Redaksi Prisma, Gedung LP3ES,

Jl. Letjen S Parman 81, Jakarta 11420, Indonesia.

9. Nomor bukti. Setiap penulis akan menerima nomor bukti penerbitan.

10.Hak cipta. Dengan publikasi lewat Prisma , maka penulis menyerahkan hak cipta ( copyright ) artikelsecara utuh (termasuk abstrak, tabel, gambar, bagan, ilustrasi) kepada Prisma, termasuk hakmenerbitkan ulang dalam semua bentuk media.

Page 116: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

PrismaMajalah Pemikiran Sosial Ekonomi

Setelah lebih dari 10 tahun tidak terbit, kini Prisma kembali hadir sebagai bacaanilmiah populer setiap tiga bulan. Prisma diterbitkan oleh LP3ES, sebuah institusi

pelopor gerakan LSM di Indonesia yang aktif di bidang penelitian, pendidikan danpenerangan ekonomi dan sosial. Terbit pertama kali pada 1971 hingga 1998, Prismaselalu menjadi bacaan yang ditunggu komunitas intelektual, akademisi, penentukebijakan, maupun dunia usaha. Prisma dulu, dan kini, bermaksud menjadi media

informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangansosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Prisma berisi pemikiran-

pemikiran alternatif, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinilyang kritis dan segar.

2010 LP3ES Terbit tiga bulananISSN 0301-6269 Harga: Rp 30.000

FORM BERLANGGANAN

Kepada Yth.Sekretaris Redaksi PrismaJl. S. Parman 81, Slipi, Jakarta Barat 11420, IndonesiaTel: (6221) 567 4211; Fax: (6221) 568 3785Email: [email protected]; [email protected]

;_ Ya, saya ingin berlangganan Prisma sejumlah 6/12 penerbitan, mulai*

dari edisi No. ______ Tahun ______ s/d No. ______ Tahun ______

Harga Prisma untuk: 6 Nomor Rp 180.000*

atau 12 Nomor Rp 360.000*

*) Coret yang tidak perlu

Akan saya transfer ke rekening Prisma:Bank Mandiri KCP RSKD, Jakarta. Nomor rekening: 116-00-0526-169-9 a/n LP3ES

Nama pelanggan: _________________________________________________________Umur: _____________ Profesi:__________________________________________________Alamat pengiriman:______________________________________________________________________________________________________________________________________Kota/Propinsi: __________________Kode pos: ________Tel: ____________________ Fax: _____________________E-mail: ___________________________________________

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Page 117: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx
Page 118: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx
Page 119: 2010-04-29 Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban - Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi).docx

Meninjau Kembali Pertahanan Indonesia

Prisma V ol. 29, No. 1, Januari 2010:Andi Widjajanto mengevaluasi doktrin pertahanan Indonesia.Agus Widjojo membedah agenda reformasi pertahanan.Dwi Setyo Irawanto membangunkan raksasa tidur .

LP3ESLembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial

Jl. Letjen. S. Parman 81, Slipi, Jakarta 1 1420.Telp. (6221) 567421 1, Faks. (6221) 5683785

Email: [email protected]; [email protected] .id;

ISSN 0301-6269Terbit tiap tiga bulan (Januari, April, Juli, Oktober)

Harga: Rp 30.000/eks.

Prismatersedia di toko-toko buku terdekat di kota anda atau hubungi kami di:

Prisma, sebuah bacaan ilmiah populer yang ditunggu kehadirannya oleh komunitasintelektual, akademisi, penentu kebijakan, maupun dunia usaha.Prisma berisi pemi-kiran-pemikiranalternatif,ringkasanhasil penelitian,survei,hipotesisatau gagasanorisinal yang kritis dan segar tentang masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Senjakala Kapitalisme danKrisis Demokrasi

Prisma V ol. 28, No. 1, Juni 2009:Vedi R Hadiz menuntut pengurangan atau pembatalansebagian utang luar negeri.Sri Mulyani Indrawati berdialog sambil mencarikeseimbangan peran negara dan pasar .Daniel Dhakidae menyoal partai politik di persimpangan jalan.

Menuju Indonesia Masa Depan

Prisma V ol. 28, No. 2, Oktober 2009:A Made Tony S memprediksi menguatnya politik kartel.

Ariel Heryanto menelusuri budaya pop Indonesia.Dede Oetomo merefleksi manusia Indonesia.