2009zra tesis doktoral ipb
DESCRIPTION
tesis doktoralTRANSCRIPT
MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN
BERSIH (STUDI KASUS LAPANGAN EKSPLOITASI MIGAS TUGU BARAT, INDRAMAYU, JAWA BARAT)
ZULKIFLI RANGKUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Model Pemanfaatan Gas
Ikutan di Perusahaan Migas dalam Rangka Mendukung Mekanisme
Pembangunan Bersih (Studi Kasus Lapangan Eksploitasi Migas Tugu Barat,
Indramayu, Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2009
ZULKIFLI RANGKUTI P062059434
ABSTRAK ZULKIFLI RANGKUTI. 2009. Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Perusahaan Migas dalam Rangka Mendukung Mekanisme Pembangunan Bersih (Studi Kasus Lapangan Eksploitasi Migas Tugu Barat, Indramayu, Jawa Barat). Dibimbing Oleh BAMBANG PRAMUDYA. N sebagai Ketua Komisi Pembimbing, SURYONO HADI SUTJAHJO, ETTY RIANI dan IMAM SANTOSO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Keberadaan PT. SDK sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi yang bekerjasama dengan PT. Pertamina memegang peran penting dalam penyediaan energi gas dan peningkatan pendapatan daerah di dalam negeri. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan model pemanfaatan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung mekanisme pembangunan bersih di Lapangan Tugu Barat. Penelitian menggunakan metode analisisi deskriptif yang didukung dengan metode triangulasi, metode analisis kelayakan ekonomi (Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), dan analisis Profitability Index, sistem dinamik dengan bantuan software Powersim Constructor versi 2.5, Analitycah Hierarchy Process (AHP) dan Interpretatif Structural Modeling (ISM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lapangan minyak Tugu Barat memiliki cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Kilang LPG Plant Tugu Barat selama ini mendapatkan pasokan gas dari stasiun pengumpul Tugu Barat. Kilang ini terdiri dari kilang CO2 removal dan kilang LPG. Pemanfaatan produksi minyak dan gas bumi Lapangan Tugu Barat meliputi (1) minyak untuk keperluan kilang (proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri (2) gas alam (non associated) diigunakan untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok Jatibarang, ke kilang Mundu untuk diproses (stripping) menjadi gas LPG, dan untuk konsumen industri seperti PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon, dan (3) gas alam (associated) dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku (feed stock) pada proses Mini LPG Plant. Industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu secara ekonomi layak untuk dikembangkan Hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di adalah pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG).
Kata kunci : Model, gas ikutan. Migas, mekanisme pembangunan bersih.
ABSTRACT ZULKIFLI RANGKUTI. 2009. Flaring Gas Utilization Model in Oil and Gas
Company to support Clean Development Mechanism (Case Study on Oil and Gas Exploitation Field, Tugu Barat, Indramayu, West Java). Supervised by BAMBANG PRAMUDYA. N as Promotor, SURYONO HADI SUTJAHJO, ETTY RIANI, IMAM SANTOSO as CO Promotor
The existence of PT. SDK as one of the peripatetic Company in oil and gas sector which work with PT. Pertamina hold important role in ready to supply gas and improvement of earning of area in home affairs. Research aim to develop model of utilization of associated gas activity of petroleum exploitation in supporting clean development mechanism in Tugu Barat oil field. Big potential of gas production in Indonesia and decreasing the production of oil as fuel production in Indonesia, make Indonesian government to change policy from utilized oil fuel to gas fuel as alternative energy a cheap and environmentally friendly. On the other hand, production of oil and gas be produced flaring gas. Based on that, need to find utilization of flaring gas modeling on oil and gas company to support clean development mechanism, such as on Tugu Barat Oil and Gas Exploitation Field, Indramayu, West Java. This research use descriptive analysis method with triangulation method, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), and profitability Index Analysis with software Powersim Constructor version 2.5, Analytical Hierarchy Process (AHP) and Interpretative Structural Modeling (ISM). The analysis result indicated that flaring gas produced from Tugu Barat Field potential to processed, because profitable and could decrease global warming so that it can support clean development mechanism (CDM). Alternative policy that could develop on Tugu Barat Oil Field is process flaring gas to liquefied petroleum gas (LPG), beside profitable, it can protect environment quality to clean development mechanism (CDM). To achieve this, most influential factor is government policy and other influential factors are human resources, natural resources (flaring gas availability), funding, technology, facilities and infrastructure. Therefore to manage flaring gas on Tugu Barat Field needs government policy and high quality human resources. Flare gas industry on Tugu Barat Oil Production Field, economically good to develop. The result of West Java and Jakarta society sub model ecology , sub model simulation and economic sub model indicated the preference of positive growth curve establishment which follow exponential curve, same result indicate on migrants. But because of resource limitedness, at one time the curve go to stable equilibrium through balancing process which at dynamic system said for following archetype “limit to growth”. Alternative policy management of associated gas which need to be developed in Liquified Petroleum Gas (LPG). Key words: model, policy, associated gas management, oil and gas, greenhouse gases, global warming, clean development mechanism, AHP, ISM
RINGKASAN
Krisis energi global khususnya yang berasal dari bahan bakar minyak,
membuat pemanfaatan gas sangat memegang peranan penting dalam
mendukung penyediaan energi sebagai salah satu sumberdaya energi
elaternatif. Untuk mendukung penyediaan energi tersebut, PT. SDK bekerja
sama dengan PT. Pertamina (Persero) mengembangkan industri pengolahan gas
di Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Penelitian
bertujuan untuk mengembangkan model pemanfaatan gas ikutan dalam kegiatan
eksploitasi minyak bumi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di
Lapangan Tugu Barat. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa kegiatan yang
dilakukan sebagai tujuan khusus, antara lain :
1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan
potensi pemanfaatannya
2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi
migas.
3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan
eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific.
4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan
Penelitian dilaksanakan di dalam areal Wilayah Kuasa Pertambangan
(WKP) PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi
Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kelurahan/Desa
Amis, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Lokasi
penelitian terletak pada koordinat 107°51°-108°36° bujur timur dan 6°15°-6"40°
lintang selatan. Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2008 sampai dengan
Januari 2009 terhitung sejak pengambilan data di lapangan sampai penyusunan
disertasi. Penelitian menggunakan metode analisis data yang meliputi :
1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan
potensi pemanfaatannya menggunakan metode deksriptif. Untuk mendukung
metode analisis deskriptif ini, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan data-
data sekunder yang berkaitan dengan topik yang dikaji. Pengumpulan data
dilakukan dengan pendekatan triangulasi yang merupakan suatu pendekatan
dengan memanfaatkan beberapa macam teknik pengumpulan data yang
antara lain kegiatan studi pustaka terhadap hasil-hasil kajian terdahulu, yang
dilanjutkan dengan pengamatan (observasi) langsung di wilayah studi, dan
wawancara dengan masyarakat setempat.
2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi
migas menggunakan metode analisis kelayakan ekonomi dengan
menggunakan pendekatan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return
(IRR), Pay Back Period (PBP), dan analisis Profitability Index.
3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan
eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific menggunakan metode
analisis data sistem dinamik dengan bantuan software Powersim Constructor
versi 2.5
4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan
menggunakan metode analisis data Analitycal Hierarchy Process (AHP)
untuk menyusun strategi arahan kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di
Lapangan Tugu Barat. Sedangkan untuk mengetahui kendala utama yang
dihadapi dan kebutuhan program dilakukan analisis Interpretatif Structural
Modeling (ISM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lapangan minyak Tugu Barat di
Indramayu mulai dieksploitasi oleh Pertamina pada tahun 1970. Produksi
tertinggi dicapai pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil per day
(BOPD). Lapangan minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan
cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil
sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7
BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Kilang LPG Plant Tugu Barat
selama ini mendapatkan pasokan gas dari stasiun pengumpul Tugu Barat. Kilang
ini terdiri dari kilang CO2 removal dan kilang LPG. Pemanfaatan produksi minyak
dan gas bumi Lapangan Tugu Barat meliputi (1) minyak untuk keperluan kilang
(proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak
(BBM) dalam negeri (2) gas alam (non associated) diigunakan untuk keperluan
semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok Jatibarang, ke kilang
Mundu untuk diproses (stripping) menjadi gas LPG, dan untuk konsumen industri
seperti PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon,
dan (3) gas alam (associated) dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku
(feed stock) pada proses Mini LPG Plant.
Industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu
secara ekonomi layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari keuntungan bersih
yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar
US$ 1.148.174,00 dengan kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank
yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas
waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 % (IRR total). Dilihat
dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai sebesar
5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback loan yang
berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk dapat
mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak dan untuk
tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan dari
selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan.
Hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan
kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik
mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan
penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya
penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan
gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena
keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit
gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan
tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini
di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui
proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses
balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar
(archetype) “Limit to Growth”.
Alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di
adalah pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG). Tujuan yang diharapkan
dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas
lingkungan dalam rangka menuju clean development mechanism (CDM). Untuk
mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan
pemerintah dan sumberdaya manusia. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
pemerintah dan peningakatan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam
pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009. Hak Cipta dilindungi Undang-undang.
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN
BERSIH (STUDI KASUS LAPANGAN EKSPLOITASI MIGAS TUGU BARAT, INDRAMAYU, JAWA BARAT)
ZULKIFLI RANGKUTI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Disertasi : Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Perusahaan Migas dalam
Rangka Mendukung Mekanisme Pembangunan Bersih (Studi Kasus Lapangan Eksploitasi Migas Tugu Barat, Indramayu, Jawa Barat)
Nama : Zulkifli Rangkuti
NIM : P062059434
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya. N. M.Eng
Ketua
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo. MS Dr. Ir. Etty Riani. MS Anggota Anggota
Dr. Ir. Imam Santoso. MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS NIP. 131 471 836 NIP. 130 891 386 Tanggal Ujian 20 April 2009 Tanggal Lulus: ............................
PRAKATA
Penulis sangat bersyukur kepada Allah SWT, karena berkat dan kekuatan yang daripadaNya sehingga draft disertasi ini berhasil diselesaikan.
Disertasi ini dapat diselesaikan berkat arahan dan bimbingan dari para komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. BAMBANG PRAMUDYA N, M.Eng. (ketua); Prof.Dr. Ir. SURJONO H. SUTJAHJO. MS (anggota); Dr. Ir. ETTY RIANI M.S (anggota) dan Dr. Ir. IMAM SANTOSO M.S (anggota). Ucapan terima kasih yang paling tulus disampaikan untuk semua nama tersebut di atas.
Akomodasi yang diterima pada program studi PSL di bawah Ketua Program Studi: Prof. Dr. Ir. SURJONO H SUTJAHJO, M.S. yang selalu mendorong penyelesaian studi; Dr. Ir. ETTY RIANI. M.S (Eks.Sekretaris Eksekutif Program Studi PSL) yang telah berkenan mengakomodasi ujian kualifikasi doktor dan kegiatan-kegiatan administratif lainnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Baringin Panggabean, Ph.D sebagai Konsultan keuangan PT.SDK yang memberi kesempatan kepada penulis dalam penulisan disertasi, serta kepada Dewan Direksi PT.SDK, Arief Susilo Wiranto. B.Eng dan Ir. Pandu Wiweko dan Ir.Edwargo. S dan Nugroho BA Field Manager di lapangan yang mengijinkan dan berdiskusi kepada kami sehingga selesai dalam penulisan disertasi kami, merupakan catatan tersendiri bagi penulis. Untuk itu juga disampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh anggota keluarga (istri dan anak-anak penulis : Siska Pratiwi, Fadhillah A.Z Rangkuti dan Fahriz Z. Rangkuti; Bapak dan Ibu mertua : Asmuni dan Sunarni. Juga kepada teman-teman angkatan VI (Dr.Albert Napitupulu SE. MSi, Betty Setianingsih, Budiono, Hermanus, Dr. Ir. Hazaddin Tende Sitepu MM, Hairul Sitepu, Henry Paranginangin, Mulyo Handono, Petrus Tampubolon, Walter Gultom dan sahabat saya Bambang Mulyana Candidate Doktor, seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPB dan Staf Administrasi PSL (Mbak Ririn, Mbak Herlin, Mbak Suli) dan mereka yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Walaupun disertasi ini telah disiapkan dengan sebaik-baiknya, kekurangan dan kesalahan sangat mungkin terjadi. Untuk perbaikan ke depan dan demi menambah khasanah keilmuan, tanggapan dan saran-saran sangat diharapkan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin
Bogor, April 2009 Zulkifli Rangkuti
Riwayat Hidup
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1967 sebagai anak ketiga dari 5 bersaudara dari pasangan M.A Rangkuti (Alm) dan Siti C. Rangkuti. Penulis menikah dengan Siska Pratiwi pada tahun 2002 dan telah dikaruniai dua orang putra, Fadhillah A.Z Rangkuti dan Fahriz.Z Rangkuti. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Akutansi pada Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya dan lulus pada tahun 1994, pada tahun 1995 lulus sebagai Sarjana Ekonomi jurusan Ekonomi Manajemen Pemasaran pada Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Cabang Jawa Timur. Pada tahun 1999 tahun ajaran 1998/1999, dengan bantuan biaya pendidikan dari PT.Bank Asia Pasific (ASPAC), penulis diterima di Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana dan menamatkannya pada tahun 2000. Program Penyetaraan Magister (S2) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Institut Pertanian Bogor tahun 2005 – 2006. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor dari sumber pembiayaan yang mandiri pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan diperoleh pada tahun 2006. Pengalaman kerja antara lain pernah sebagai Kepala Divisi Pembiayaan (Vice President) pada PT.Bank Syariah Bukopin memimpin pemberian pembiayaan skala besar (wholesale), April – Juli 2008, Kepala Divisi (Vice President) UUS PT.Bank Century Tbk Mei 2006-September 2007 dan Marketing Manager Pembiayaan Korporasi (Asistant Vice President) PT.Bank Syariah Mandiri Juli 2003-Mei 2006. Saat ini penulis bekerja sebagai Senior Advisor (Asset Backed Financing) pada PT. Sumber Daya Kelola (PT.SDK) yang bergerak pada Gas Processing Plant dengan memanfaatkan gas ikutan menjadi Produk LPG, Kondensat, Lean Gas dan CO2, serta aktif kegiatan social di lingkungan penulis tinggal sebagai Wakil Ketua (Sekretaris) RT. di Perumahan Permata Mediterania Kelurahan Srenseng Kecamatan Kembangan Jakarta 11630.
ii
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Tujuan Penelitian............................................................................ 5
1.3. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 5
1.4. Perumusan Masalah....................................................................... 7
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10
1.6. Novelty (Kebaruan)......................................................................... 11
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12
2.1. Minyak Bumi ................................................................................. 12
2.1.1. Eksploitasi Minyak Bumi ................................................... 12
2.1.2. Pengelolaan Reservoir Minyak dan Gas Bumi ................. 14
2.2. Sistem Produksi dan Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi .......... 18
2.2.1. Sistem Produksi Minyak Bumi .......................................... 20
2.2.2. Pemisahan Minyak Gas Air............................................... 20
2.3. Gas Alam (Natural Gas) ............................................................... 21
2.3.1. Kandungan Energi (Pengukuran Gas Alam)..................... 23
2.3.2. Pemanfaatan Gas Alam.................................................... 23
2.3.3. Gas Alam di Indonesia...................................................... 24
2.4. Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas) ............................ 24
2.4.1. Gas Ikutan (associated Gas atau Flaring Gas) di Indonesia 26
2.5. Proses Gas Ikutan Menjadi LPG .................................................. 26
2.6. Potensi Sumber Daya Migas Indonesia........................................ 29
2.7. Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Indonesia ............................... 29
2.8. Pengelolaan Lingkungan Kegiatan Ekploitasi Minyak Bumi ......... 34
2.9. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan ........... 35
2.10. Pembangunan Berkelanjutan ...................................................... 35
2.11. Produksi Besih.............................................................................. 37
2.12. Clean Development Mechanism (CDM) ....................................... 38
2.13. Ekonomi Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan .................. 45
2.14. Pengelolaan Lingkungan Sosial ................................................... 47
iii
2.15. Pendekatan Sistem ...................................................................... 50
2.15.1. Sistem Dinamik .............................................................. 51
2.15.2. Pengertian Model dan Permodelan ............................... 53
2.15.3. Jenis-jenis Model ........................................................... 54
2.15.4. Proses Permodelan ....................................................... 55
BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................... 61
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 61
3.2 Rancangan Penelitian................................................................. 62
3.2.1. Jenis dan Sumber Data ..................................................... 62
3.2.2. Teknik Penetapan Responden .......................................... 65
3.2.3. Pengambilan Sampel Udara.............................................. 66
3.2.4. Metode Analisis Data......................................................... 66
3.3. Defenisi Operasional .................................................................... 66
BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN........................... 72
4.1. Letak Geografis dan Administratif ................................................ 72
4.2. Iklim ............................................................................................. 72
4.3. Penggunaan Tanah ...................................................................... 72
4.3.1. Ekonomi ............................................................................ 73
4.3.2. Sosial dan Budaya ............................................................ 73
4.3.3. Sumber Daya Alam............................................................ 75
4.4. Profil Industri Pengolahan Gas Ikutan Objek Penelitian .............. 78
BAB V. STUDI KONDISI SISTEM PENGOLAHAN GAS IKUTAN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA .................................................. 80
Abstrak .................................................................................................. 80
5.1. Pendahuluan ................................................................................ 80
5.2. Metode Analisisi Kondisi dan Sistem Pengolahan Gas Ikutan
dan Potensi Pemanfaatannya ..................................................... 85
5.3. Hasil dan Pembahasan Studi Kondisi dan Sistem Pengolahan
Gas Ikutan dan Potensi Pemanfaatannya .................................... 85
5.3.1. Kondisi Sistem Pengolahan Gas Ikutan ............................ 85
5.3.2. Potensi Pemanfaatan Gas Ikutan (Flare Gas) di
Lapangan Produksi Munyak Tugu Barat........................... 103
5.3.3. Kualitas Lingkungan.......................................................... 112
iv
5.4. Kesimpulan .................................................................................. 116
Daftar Pustaka........................................................................................ 117
BAB VI. KELAYAKAN EKONOMI PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI LAPANGAN MINYAK TUGU BARAT, INDRAMAYU................... 119
Abstrak .................................................................................................. 119
6.1. Pendahuluan ................................................................................ 119
6.2. Metode Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas
Ikutan ............................................................................................ 121
6.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelayakan Ekonomi
Pemanfaatan Gas Ikutan............................................................... 123
6.4. Kesimpulan .................................................................................. 131
Daftar Pustaka........................................................................................ 133
BAB VII. DISAIN MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN (INTERAKSI EKOLOGI, TEKNO-EKONOMI DAN SOSIAL) ............................ 134
Abstrak .................................................................................................. 134
7.1. Pendahuluan ................................................................................ 134
7.2. Metode Analisis Disain Model Pemanfaatan Gas Ikutan.............. 135
7.3. Hasil dan Pembahasan Model Pemanfaatan Gas Ikutan
Di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ........................................... 145
7.3.1. Simulasi Model Pemanfaatan Gas Ikutan........................... 145
7.3.2. Validasi Model Pemanfaatan Gas Ikutan di
Lapangan Tugu Barat ......................................................... 160
7.4. Kesimpulan .................................................................................. 161
Daftar Pustaka........................................................................................ 163
BAB VIII. STRATEGI ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GAS IKUTAN YANG MENGUNTUNGKAN SECARA EKONOMI, EKOLOGI DAN SOSIAL.................................................................... 164
Abstrak .................................................................................................. 164
8.1. Pendahuluan ................................................................................ 164
8.2. Metode Analisis Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan ..... 166
8.3. Hasil dan Pembahasan Penyusunan Strategi Kebijakan
Pemanfaatan Gas Ikutan.............................................................. 173
8.4. Kesimpulan .................................................................................. 194
Daftar Pustaka........................................................................................ 195
v
BAB IX. PEMBAHASAN UMUM ............................................................... 196
BAB X. REKOMENDASI KEBIJAKAN .................................................... 205 10.1. Kebijakan Umum ......................................................................... 205
10.2. Kebijakan Operasional.................................................................. 206
BAB XI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 207 11.1. Kesimpulan ............................................................................... 207
11.2. Saran-Saran .............................................................................. 208
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 209
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xi
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Lapangan minyak on shore yang dikelola PT. Pertamina ................. 33
2. Potensi dampak lingkungan kegiatan ekploitasi minyak bumi............ 34
3. Karakteristik gas rumah kaca utama ................................................. 40
4. Teknologi rendah emisi disektor energi, industri, dan transportasi..... 44
5. Format pengumpulan data lapangan Tugu Barat ............................... 65
6. Rangkuman tujuan, pendekatan, dan analisis data............................ 67
7. Estimasi perbandingan penggunaan bahan bakar 2005 pada
perusahaan listrik negara ................................................................... 83
8. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan
Tugu Barat.......................................................................................... 88
9. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan
Pasir Catang....................................................................................... 89
10. Potensi produksi gas di Lapangan Tugu Barat Kompleks
(dalam MMSCFD) Kabupaten Indramayu ........................................ .. 105
11. Analisa komposisi gas di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ............. 108
12. Kualitas Udara di Lokasi Penelitian..................................................... 115
13. Parameter keekonomian proyek pengembangan gas ikutan di
Lapangan Tugu Barat, Indramayu...................................................... 126
14. Perkembangan penduduk Jawa Barat dan DKI tahun simulasi
2002 – 2025........................................................................................ 149
15. Perkembangan hasil olahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat ...... 152
16. Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan tanpa
pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025 ............................. 154
17. Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan pengolahan
gas ikutan tahun simulasi 2002-2025 ................................................. 156
18. Simulasi proyeksi pendapatan dari pemanfaatan gas ikutan di
Lapangan Tugu Barat, Indramayu tahun simulasi 2004-2025............ 159
19. Hasil analisis uji validasi kinerja terhadap komponen jumlah
penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta .......................................... 160
20. Skala penilaian perbandingan berpasangan ...................................... 166
21. Nilai indeks random untuk mengetahui nilai consistency ratio ........... 168
vii
22. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen ........................ 171
23. Hasil reachability matrix (RM) final elemen ........................................ 171
24. Hasil analisis AHP strategi kebijakan pemanfaatan gas ikutan.......... 173
25. Perbandingan subsidi minyak tanah dibandingkan dengan LPG ....... 186
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian........................................... 8
2. Bagan alir perumusan masalah.......................................................... 10
3. Diagram alir kajian reservoir secara terintegrasi ................................ 17
4. Proses pengelolaan reservoir migas .................................................. 18
5. Aliran produksi dan pemanfaatan minyak dan gas bumi .................... 19
6. Proses pengolahan minyak bumi keluaran sumur.............................. 20
7. Produksi minyak dunia dan gas ikutan ............................................... 25
8. Kondisi Gas Ikutan (Flare Gas) di sektor Hulu dan Hilir...................... 26
9. Peta Lokasi Gas Flare......................................................................... 27
10. Skema ilustrasi kegiatan proyek LPG plant dengan memanfaatkan gas ikutan ........................................................................................... 26
11. Peta penyebaran cadangan minyak bumi Indonesia.......................... 27
12. Peta penyebaran cadangan dan Indonesia berdasarkan sumber gas...................................................................................................... 27
13. Kondisi saat ini Indonesian-oil products supply & demand balance ... 30
14. Tiga sasaran pokok pembangunan berkelanjutan.............................. 34
15. Hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan eksploitasi migas ................................................................................ 44
16. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata....................................... 51
17. Transformasi kualitatif - kuantitatif ...................................................... 52
18. Jenis-jenis model ................................................................................ 53
19. Sekuen proses permodelan................................................................ 54
20. Loop permodelan................................................................................ 55
21. Tahap-tahap pembuatan simulasi model ........................................... 56
22. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu........................................................................................... 60
23. Diagram alir tahapan penelitian.......................................................... 61
24. Potensi cadangan migas di Kabupaten Indramayu ............................ 75
25. Kondisi Gas Ikutan (Flare Gas)............................................................ 78
26. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak di Indonesia sejak tahun 2000-2006....................................................................... 81
27. Indonesian gas production and consumption in 2000-2006 ............... 82
28. Kondisi pemanfaatan gas berdasarkan penggunaan…………………. 82
29. Rencana pemanfaatan gas ikutan untuk saat ini dan di masa yang akan
datang................................................................................................. 94
ix
30. Proses block diagram pada amine unit di Lapangan Tugu Barat ....... 96
31. Rancangan PFD-process flow diagram – MDEA sweetening unit...... 99
32. Rancangan piping dan instrumentation diagram (P & ID) amine unit. 100
33. Tahapan gas kompresi inlet ............................................................... 101
34. Gas ikutan (flaring) yang akan di manfaatkan oleh PT.SDK .............. 104
35. Rencana jalur distribusi dan pemasaran gas kilang Tugu Barat ........ 111
36. Diagram sebab akibat (causal loop) model pemanfaatan gas ikutan
di perusahaan migas ......................................................................... 139
37. Diagram input-output model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan
migas dalam rangka mendukung CDM .............................................. 140
38. Struktur model dinamik pemanfaatan gas ikutan di Lapangan
Tugu Barat, Indramayu....................................................................... 145
39. Struktur model dinamik pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan DKI
Jakarta................................................................................................ 147
40. Simulasi pertumbuhan penduduk Propinsi Jawa Barat dan DKI
Jakarta periode 2002-2025................................................................. 148
41. Struktur model dinamik pengelolaan gas ikutan................................. 150
42. Simulasi perkembangan produksi gas olahan di Lapangan Minyak
Tugu Barat Indramayu tahun 2004-2025............................................ 151
43. Struktur model dinamik perkembangan gas polutan dalam proses
produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .................. 153
44. Simulasi perkembangan produksi gas ikutan dan terbakar serta
gas polutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .............................. 153
45. Simulasi perkembangan produksi gas ikutan, gas olahan, dan
gas terbakar di Lapangan Tugu Barat periode 2004-2025................. 155
46. Struktur model dinamik sub model ekonomi dalam proses produksi
gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu................................. 157
47. Simulasi perkembangan pendapatan dari hasil pengolahan gas ikutan
di Lapangan Tugu Barat, Indramayu tahun 2004-2025...................... 158
48. Pertumbuhan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi model
di Jawa Barat dan DKI Jakarta periode 2002-2006............................ 161
49. Hierarkhi pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan
di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme
pembangunan bersih.......................................................................... 169
50. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor ........................... 173
x
51. Prioritas faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan
di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .................................................. 175
52. Prioritas stakeholder yang berperan dalam pengelolaan gas ikutan
di Lapangan Tugu Barat ..................................................................... 177
53. Prioritas tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas
ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ....................................... 180
54. Prioritas alternatif kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan
Tugu Barat, Indramayu....................................................................... 185
55. Matriks driver power – dependence untuk elemen dendala dalam
pengelolaan gas ikutan....................................................................... 188
56. Struktur hierarkhi sub elemen kendala program pengelolaan gas
ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat, Indramayu ............ 188
57. Matriks driver power – dependence untuk elemen kebutuhan
pengelolaan gas ikutan....................................................................... 190
58. Struktur hierarkhi sub elemen kebutuhan program pengelolaan gas
ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ....................................... 193
59. Salah satu contoh fasilitas produksi industri pengolahan gas ............ 199
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Minyak dan gas bumi (migas) adalah sumber daya alam tidak terbarukan
yang bernilai ekonomis dan strategis. Sampai saat ini migas masih merupakan
sumber energi yang menjadi pilihan utama bagi industri, transportasi dan rumah
tangga. Selain itu, pemanfaatan berbagai produk akhir atau produk turunan
(derivative) minyak bumi juga semakin meningkat sehingga peningkatan akan
permintaan minyak dan gas bumi di seluruh dunia telah mengakibatkan
pertumbuhan dan ekspansi pada kegiatan eksplorasi dan pengolahan minyak
mentah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu daerah yang
melakukan kegiatan eksploitasi dan pengolahan minyak mentah cukup tinggi di
Indonesia adalah Propinsi Jawa Barat yang menempati peringkat kelima terbesar
setelah Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Lampung, dengan
volume produksi mencapai 4,31 % dari produksi total Indonesia. Sedangkan
untuk gas alam, Jawa Barat yang mempunyai 84 lapangan migas
(www.pertamina-javacrb.co.id/wilayah.php) menempati peringkat ketiga dengan
produksi 11,27 % dari produksi total gas alam Indonesia. Produksi migas
tahunan Jawa Barat pada tahun 2004 sebesar 18.902 barrel oil perday (BOPD)
dan 468 million matric standard cubic feet perday (MMSCFD).
Kegiatan produksi minyak dan gas bumi merupakan suatu rangkaian
proses yang kompleks dengan melibatkan berbagai kegiatan industri minyak
bumi, mulai dari hulu (upstream) sampai hilir (downstream). Kegiatan hulu
(Upstream) meliputi kegiatan eksplorasi (pencarian), eksploitasi (pengangkatan)
melalui kegiatan pengeboran dan penyelesaian sumur, sarana pengangkutan,
penyimpanan dan pengolahan minyak mentah untuk pemisahan dan pemurnian
minyak dan gas bumi di lapangan minyak. Kegiatan hilir (downstream) meliputi
kegiatan prosessing (pengolahan) melalui kegiatan kilang minyak (refinery) untuk
memproduksi bahan bakar beserta turunannya dan marketing serta distribusi
melalui kegitan penyimpanan (storage).
Minyak bumi di lapangan minyak (oilfields) umumnya diproduksi dari
beberapa sumur minyak (oilwell). Sumur-sumur minyak ini menghasilkan fluida
yang mengandung campuran minyak bumi, gas bumi dan air. Fluida yang
dihasilkan dari beberapa sumur minyak ini dikumpulkan ke pusat pengolahan
yang memiliki berbagai fasilitas produksi yang disebut sebagai stasiun
2
pengumpul (gathering station atau GS) untuk memisahkan produk minyak bumi
dari komponen-komponen lain yang terdapat di dalam fluida, yaitu gas bumi dan
air.
Pada saat fluida di permukaan, gas yang terlarut di dalam fluida akan
terpisahkan lebih dahulu karena tekanan di dalam reservoir (tempat
terkumpulnya dan terjebak minyak dan gas bumi secara alami di bawah tanah)
lebih tinggi dibandingkan di bubblepoint (suhu pertama kalinya suatu cairan
terbentuk gelembung gas, yang menandakan cairan itu mulai mendidih). Gas
yang terlarut dalam fluida ini disebut sebagai associated gas, yang lebih dikenal
dengan nama gas ikutan (flaring gas). Gas ikutan atau associated gas (flaring
gas) ini terproduksi pada lapangan minyak (oil field), pada waktu pengeboran
(drilling) atau pada pekerjaan lanjutan (workover), kilang minyak (refinery) pada
waktu proses pengolahan minyak mentah, pabrik kimia (chemical plant) dan
lahan sampah (landfill). Gas ikutan yang dibahas pada penelitian ini adalah gas
ikutan yang terproduksi pada lapangan minyak. Gas ikutan tersebut pada
umumnya digunakan sendiri untuk keperluan operasi produksi di lapangan (own
use) atau di recovery (ditangkap) sisanya biasanya dibakar (flare) atau di buang
keatmosfer (venting) berdampak pada pencemaran udara.
Kegiatan industri minyak dan gas bumi umumnya berpotensi
menimbulkan dampak pada lingkungan. Baik pada proses produksi, pengolahan
minyak bumi, penyimpanan maupun industri yang menggunakan minyak bumi,
akan dihasilkan bahan-bahan yang merupakan salah satu sumber pencemar
lingkungan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003 Tentang
Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah
Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis; dan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No.129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau
Kegiatan Minyak dan Gas Bumi). Bahan-bahan pencemar ini pada akhirnya
akan masuk ke dalam lingkungan sehingga jika tidak dikelola dengan baik akan
menimbulkan masalah pada lingkungan.
Jumlah gas ikutan yang dihasilkan dari kegiatan industri migas sektor
hulu (Upstream) di Indonesia relatif tinggi. Sebagai gambaran jumlah gas ikutan
yang dibakar (flare gas) di Indonesia adalah sebesar 3,7 % (300,5 mmscfd) dari
total gas yang diproduksi (Yunus, 2005). Padahal dengan masih potensialnya
gas ikutan, maka gas ikutan dalam jumlah yang memenuhi syarat (cukup), dapat
digunakan kembali untuk berbagai keperluan. Pemanfaatan ini bisa dilakukan
3
setempat atau di industri lainnya yang lokasinya jauh dari lokasi gas tersebut
diproduksi, dengan jalan memipakan gas (pipe line) yang dikompresikan terlebih
dahulu. Kelebihan gas ikutan yang tidak dapat digunakan untuk keperluan-
keperluan tersebut dapat digunakan untuk gas lift, direinjeksikan kembali ke
dalam sumur, dibakar (gas flaring), atau dibuang langsung ke atmosfer (venting).
Pembakaran gas ikutan dan venting dilakukan untuk alasan (i) safety mengingat
di dalam gas ikutan ini masih terdapat senyawa-senyawa yang mudah terbakar,
yang apabila terlepas secara langsung di sekitar fasilitas pengolahan minyak dan
gas bumi akan mudah terbakar, (ii) ketidakekonomisan melakukan recovery gas
di fasilitas produksi, sehingga dibutuhkan unit pembakar dan vent stack.
Adanya pembakaran gas ikutan ini selain akan menimbulkan pencemaran
lingkungan, juga secara tidak langsung mengakibatkan terbuangnya potensi
sumberdaya yang sebenarnya masih sangat potensial untuk dimanfaatkan.
Padahal jumlah yang dihasilkan seharusnya sudah dapat memasok bahan baku
industri seperti pada industri petrokimia. Hal ini sesuai dengan laporan Pusdatin
ESDM (2006) yang mengatakan bahwa gas yang digunakan untuk bahan baku
industri petrokimia (termasuk pupuk) besarnya 7,3 % (591,0 mmscfd). Oleh
karena itu Badan Pengatur Minyak dan Gas (BP Migas) (08 May 2007) melalui
program zero flaring berupaya untuk meminimalkan gas ikutan dengan cara
memanfaatkan gas ikutan yang berada di lapangan produksi minyak bumi yang
terbuang percuma dalam upaya pemanfaatan sebagai energi alternatif karena
selain memiliki nilai ekonomis juga memiliki nilai strategis dan sekaligus
mendukung program pengurangan pemanasan global (global warming).
Berkaitan dengan hal tersebut pada telah diluncurkan Global Gas Flaring
Reduction Public-Private Partnership (GGFR) pada World Summit on
Sustainable Development di Bulan Agustus 2002. GGFR beranggotakan negara-
negara penghasil minyak (OPEC), perusahaan minyak baik yang dimiliki negara
maupun perusahaan multi nasional lainnya. Tujuan GGFR adalah memfasilitasi
dan mendukung penurunan gas ikutan di dunia dengan cara bersama-sama
untuk memanfaatkan gas ikutan sebagai energi yang bersih dan mencairkan
hambatan-hambatan dalam pemanfaatan gas ikutan tersebut.
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) juga sudah
mencanangkan program penurunan cemaran gas ikutan dalam rangka
mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, yang tercermin pada
rencana aksi kebijakan energi nasional 2003 – 2020 secara terpadu. Salah satu
4
kebijakan untuk mendukung hal tersebut tertuang pada Blueprint Pengelolaan
Energi Nasional 2005 – 2025 yang memuat program-program utama pengelolaan
energi nasional. Salah satu program utama yang tertuang pada blueprint
tersebut adalah melakukan pemanfaatan kembali (reutilization) gas ikutan yang
dihasilkan dari proses produksi minyak bumi (program utama ke enam) menjadi
bahan yang bernilai ekonomis sehingga akan menguntungkan secara finansial.
Hal ini juga sudah ditindak lanjuti oleh Direktorat Jenderal (Ditjend) Minyak dan
Gas (Migas) yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan
dan standardisasi teknis di bidang minyak dan gas bumi melalui program GOGII
(Green Oil Gas Industry Initiative) (25 Juli 2008) untuk menjadikan industri migas
yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan program zero flare, zero
discharge, clean air and go renewable.
Walaupun sudah ada kebijakan dari Dirjen MIGAS melalui Program
GOGII namun hingga saat ini kajian yang ada kaitannya dengan pengurangan
dan pemanfaatan kembali gas ikutan yang dihasilkan dari proses produksi bahan
bakar fossil (BBF) masih sangat terbatas, bahkan penelitian ke arah
pemanfaatan gas ikutan yang akan memberikan dampak terbesar pada sektor
ekonomi, ekologi dan sosial hingga saat ini belum pernah dilakukan. Oleh
karena itu dalam rangka melaksanakan clean development mechanism (CDM)
untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, maka penelitian model
pemanfaatan gas ikutan di perusahaan MIGAS secara terpadu dan holistik
sangat penting untuk dilakukan.
Pada saat ini gas ikutan di beberapa lokasi produksi minyak dan gas bumi
sudah mulai dimanfaatkan menjadi LPG, bahan pembangkit tenaga listrik (power
generator) atau sebagai kondensat. Selain itu juga telah dilakukan kajian
terhadap gas ikutan, yakni oleh Indriani (2005) yang melakukan studi secara
komprehensif mengenai potensi clean development mechanism (CDM) ditinjau
secara teknik dan ekonomi penurunan gas ikutan di Indonesia pada sektor
minyak dan gas. Peneliti lainnya adalah Dewi dan Chandra (2007) yang
melakukan kajian tentang pemanfaatan gas ikutan dari fasilitas produksi minyak
untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) di bawah mekanisme pembangunan
bersih (CDM).
Penelitian tentang pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan, belum pernah dilakukan. Oleh karena
itu, maka perlu dikaji pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam
5
mendukung pembangunan berkelanjutan yang mempunyai manfaat maksimal
dengan dampak negatif pada lingkungan yang minimal serta dapat menjadikan
perusahaan hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat
sekitarnya. Juga dilakukan penelitian model pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih,
sehingga dari sini akan dapat diketahui strategi mana yang paling
menguntungkan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Dalam hal ini apakah gas
ikutan tersebut dijadikan LPG, bahan bakar (lean gas) power generator atau
menjadi kondensat. Dalam rangka mendapatkan kebijakan pengelolaan gas
ikutan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, maka penelitian model
pemanfaatan gas ikutan di perusahaan MIGAS perlu segera dilakukan.
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini, secara umum bertujuan untuk mengembangkan suatu
model pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam rangka mendukung
mekanisme pembangunan bersih. Penelitian difokuskan pada pemanfaatan
kembali gas ikutan sebagai energi yang ramah lingkungan. Untuk membangun
model pengelolaan eksploitasi minyak, beberapa tujuan spesifik yang ingin
dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan
potensi pemanfaatannya
2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi
migas.
3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan
eksploitasi minyak bumi yang bersifat site specific.
4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan
secara ekonomi, ekologi dan sosial.
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan standar dalam
pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung mekanisme
pembangunan bersih (clean development mechanism in oil industry).
1.3. Kerangka Pemikiran Kegiatan ekploitasi migas merupakan salah satu bagian pengelolaan
sumberdaya alam yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Namun demikian, selain dihasilkan minyak dan gas, kegiatan
6
ekploitasi tersebut selalu menghasilkan gas ikutan dan limbah yang berpotensi
menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan.
Gas ikutan yang dihasilkan pada umumnya langsung dibakar.
Pembakaran gas ikutan ini akan menghasilkan gas-gas emisi yang akan terlepas
ke udara dan sebagian gas-gas emisi ini (CO2, CH4, dan H2O) akan terakumulasi
di atmosfer bumi yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya efek
rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global (global warming).
Demikian pula halnya dengan gas yang dilepas melalui vent stack
(cerobong) berupa gas CH4 (methan) yang merupakan salah satu dari komponen
gas-gas rumah kaca. Selain mengakibatkan efek rumah kaca, kelebihan gas
ikutan yang pada saat ini tidak digunakan dan kemudian dibakar atau venting
(dibuang langsung ke atmosfer) juga merupakan salah satu kegiatan inefisiensi
mengingat gas ikutan yang dibakar masih memiliki kandungan energi yang cukup
untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau kandungan komponen-komponen
gas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku LPG, kondensat, feed stock
industri petrokimia (petrochemical), dan lain-lain.
Hal ini juga dinyatakan pada Protokol Kyoto yang mendorong dunia untuk
mengupayakan pengurangan gas-gas emisi rumah kaca dalam rangka
mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim, terutama oleh
negara-negara industri (developed countries) yang termasuk dalam Annex-I
countries pada Protokol Kyoto. Protokol Kyoto juga memungkinkan negara-
negara berkembang (developing countries) yang bukan termasuk negara-negara
yang wajib menurunkan emisi rumah kaca (non-Annex I countries) untuk dapat
ikut serta dalam pelaksanaan pengurangan dampak perubahan iklim dan
pemanasan global melalui mekanisme pembangunan bersih atau yang dikenal
dengan clean development mechanism (CDM). Sejalan dengan Protokol Kyoto
dan implementasi dari Protokol Kyoto tersebut, BP Migas telah berusaha untuk
melakukan pembangunan bersih melalui anjuran pengurangan emisi gas ikutan
dengan melakukan pengolahan dan pemanfaatan gas tersebut.
Aplikasi CDM pada pengurangan gas ikutan di lokasi proses produksi
minyak akan mendorong perusahaan-perusahaan yang mengusahakan
pengolahan migas untuk melakukan pengurangan gas ikutan, mengingat aplikasi
CDM memberikan keuntungan tambahan berupa revenue dari penjualan certified
emission reduction (CER) yang dihasilkan dari kegiatan reduksi gas ikutan yang
berkontribusi pada peningkatan dampak pemanasan global. Kegiatan reduksi
7
gas flaring yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan gas ikutan sebelum gas
ini dibakar atau dibuang langsung ke atmosfer (venting) atau menginjeksikannya
kembali (reinjection) dan menyimpannya di dalam formasi minyak bumi. Hal ini
mengandung arti bahwa gas ikutan yang hendak dibakar, dimanfaatkan menjadi
bahan baku produksi LNG, LPG, kondensate, atau produk-produk petrokimia
atau sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan steam melalui pemipaan gas
yang telah dikompresikan terlebih dahulu (CNG= compessed natural gas),
sehingga dapat memberikan keuntungan secara finansial yang cukup menarik.
Melalui pengolahan gas ikutan menjadi produk LPG, kondensat dan lean
gas maka akan diperoleh dampak positif secara ekonomi, ekologi dan sosial.
Secara ekonomi, produk yang dihasilkan merupakan bahan bakar yang memiliki
nilai ekonomi tinggi yang dapat meningkatkan pendapatan perusahan dan PDRB
daerah. Pengolahan gas ikutan juga akan mereduksi jumlah gas ikutan yang
dibakar, yang berarti menurunkan pencemaran udara yang dihasilkan dalam
proses pembakaran tesebut. Selain itu, usaha pengolahan gas ikutan tersebut
akan membuka kesempatan kerja bagi masyarakat dan masyarakat sekitar
berpeluang mendapatkan pembinaan melalui kegiatan corporate social
responsibility dari perusahaan pengolah gas ikutan tersebut.
Oleh karena itu perlu dilakukan kajian pengembangan model pengelolaan
gas ikutan yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, ramah
lingkungan dan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar.
Model tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai arahan dalam merumuskan
kebijakan eksploitasi minyak dan gas bumi yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Secara ringkas kerangkan pemikiran tersebut di atas dapat dilihat
pada bagan alir Gambar 1.
1.4. Perumusan Masalah Sampai saat ini pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak di Indonesia
belum memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan secara holistik,
baik kaidah lingkungan binaan dan lingkungan alam, maupun kaidah lingkungan
sosial. Konsep pengelolaan lingkungan masih sebatas secara fisik saja, sehingga
kurang memperhatikan aspek ekologi dan sosial.
Pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi sebagai hanya terfokus
kepada komoditas minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam yang
8
memiliki nilai ekonomi tinggi, padahal disisi lain kegiatan eksploitasi minyak bumi
juga menghasilkan gas ikutan. Gas ikutan tersebut jika tidak dimanfaatkan
Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran
Pengelolaan SDA
Eksploitasi Migas
Gas Alam (Natural Gas)
Minyak Mentah
Minyak Mentah
mengandung gas ikutan
Clean Development Mechanism
(CDM)
Protokol Kyoto
Penurunan Gas Rumah kaca
Flare (di Bakar)
Pengolahan (Utilization)
Pencemaran Udara
Dampak Positif
Sosial Ekonomi Ekologi
Model Pengelolaan Gas Ikutan
Kebijakan Eksploitasi Minyak Bumi Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan
9
kembali akan masuk ke lingkungan (atmosfir) untuk selanjutnya akan mencemari
udara.
Produksi gas ikutan di Indonesia menduduki rangking empat setelah
Nigeria, Angola, Irak di antara negara penghasil minyak anggota GGFR (Global
Gas Flaring Reduction) yakni organisasi yang tidak mencari keuntungan (nirlaba)
bernaung di bawah Bank Dunia yang beranggotakan negara penghasil minyak
(OPEC) dan perusahaan minyak milik negara maupun perusahaan minyak
multinasional lainnya. Saat ini sudah dilakukan studi pemanfaatan kembali gas
ikutan menjadi bahan dan sumber energi baru yang menguntungkan secara
ekonomi. Kajian tersebut meliputi konversi dari gas ikutan menjadi LPG,
menjadi bahan bakar (lean gas) pembangkit listrik (power generator) atau
sebagai kondensat.
Dalam rangka membangun model pemanfaatan gas ikutan guna
mendukung pelaksanaan mekanisme produksi bersih pada kegiatan eksploitasi
minyak dan gas sebagai landasan penyusunan rekomendasi kebijakan
pengelolaan migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, ada beberapa
pertanyaan yang perlu dipecahkan, yaitu:
1. Bagaimana kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan
bagaimana potensinya untuk dapat dimanfaatkan ?
2. Bagaimana kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi
migas?
3. Bagaimana disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan
eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific?.
4. Bagaimana strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang
menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan kajian ilmiah dengan
menggunakan pendekatan sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan
yang setiap kajian terkait satu sama lain sebagai satu kesatuan. Secara ringkas
perumusan masalah penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
10
Gambar 2. Bagan alir perumusan masalah
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu
lingkungan berupa konsep model pengelolaan eksploitasi minyak bumi dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial
dengan pemanfaatan kembali gas ikutan. Selain itu, penelitian ini secara praktis
bermanfaat sebagai:
1. masukan tentang pemanfaatan gas ikutan yang menguntungkan secara
ekologi, ekonomi dan sosial.
2. alternatif model pemanfatan gas ikutan dalam eksploitasi migas.
3. alternatif kebijakan yang bersifat operasional dalam pengelolaan gas ikutan
yang berwawasan lingkungan dalam pola pembangunan berkelanjutan.
4. referensi dalam pengelolaan gas ikutan di industri migas.
EKSPLOITASI MIGAS
PENGOLAHAN GAS IKUTAN
CLEAN DEVELOPMENT
MECHANISM
Kajian kondisi existing system pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan
Studi kelayakan Ekonomi pemanfaatan
gas ikutan
Pengembangan desain model pengelolaan gas ikutan
Perumusan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan yang berkelanjutan
11
1.6. Novelty Kajian tentang pemanfaatan gas ikutan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti terdahulu, antara lain:
- Indriani (2005) melakukan studi secara komprehensif mengenai potensi clean
development mechanism (CDM) ditinjau secara teknik dan ekonomi
penurunan gas ikutan pada sektor minyak dan gas di Indonesia.
- Dewi dan Chandra (2007) melakukan kajian tentang pemanfaatan gas ikutan
dari fasilitas produksi minyak untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK)
dibawah mekanisme pembangunan bersih (CDM).
Kebaruan penelitian ini adalah applicability CDM pada pemanfaatan
associated gas (flaring gas) di lapangan PT Pertamina EP yang memiliki
karakteristik cadangan (reservoir) berlapis dan sangat terbatas (site spesific)
sehingga harus dikembangkan dengan hati-hati terutama dalam penetapan
target serta tingginya kandungan karbon dioksida (CO2) dan hydrogen sulfide
(H2S). PT Pertamina EP belum pernah membuat kajian tentang pengelolaan gas
ikutan pada lapangan minyak, sehingga srategi konversi gas ikutan yang
berwawasan lingkungan dan model pemanfaatan gas ikutan yang bersifat
holistik, yang menggambarkan hubungan antar sub sistem ekologi, tekno-
ekonomi dan sosial pada kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site
specific secara dinamis serta model kebijakan dan pengelolaan eksploitasi
minyak bumi yang nantinya dapat dijadikan sebagai arahan dalam merumuskan
rekomendasi kebijakan dan strategi pengelolaan migas berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan.
Kebaruan dari penelitian ini gas ikutan yang selama ini langsung dibuang
ke lingkungan atau dibakar dapat dimanfaatkan menjadi LPG, sehingga dapat
mendatangkan keuntungan secara “ekonomis” karena LPG nya dapat dijual
secara langsung dan “dijual” melalui mekanisme perdagangan karbon (carbon
trade mechanism) serta dapat memberikan keuntungan pada lingkungan karena
dapat meminimalkan terjadinya pencemaran udara (air pollution), hujan asam
(acid rain) dan pemanasan global (global warming) serta menguntungkan secara
sosial (social benefit) karena dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan
kemakmuran rakyat secara berkeadilan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Bumi Menurut teori pembentukannya minyak bumi, senyawa-senyawa organik
penyusun minyak bumi merupakan hasil alamiah proses dekomposisi tumbuhan
selama berjuta-juta tahun (Hofer, 1966). Oleh karena itu, minyak bumi juga
dikenal sebagai bahan bakar fosil, selain batubara dan gas alam.
Menurut Hofer (1966) semua bahan bakar fosil dihasilkan oleh senyawa
karbohidrat dengan rumus kimia Cx(H2O) yang memfosil. Karbohidrat tersebut
dihasilkan oleh tumbuhan dengan mengubah energi matahari menjadi energi
kimia melalui proses fotosintesis. Kebanyakan bahan bakar fosil diproduksi kira-
kira 325 juta tahun yang lalu, yaitu pada abad Carboniferous dalam era Paleozoic
bumi. Setelah tumbuhan mati, maka karbohidrat dapat berubah menjadi senyawa
hidrokarbon dengan rumus kimia CxHy akibat tekanan dan temperature yang
tinggi serta tidak tersedianya oksigen (anaerob). Hal yang sama dikemukakan
pula oleh Chartor dan Somerville (1978) yang menjelaskan bahwa minyak bumi
merupakan salah satu produk minyak mentah alami yang dihasilkan dari konversi
biomassa pada temperatur dan tekanan yang tinggi secara alami di lingkungan
aerob. Senyawa hidrokarbon dapat dirombak oleh berbagai macam mikroba.
Perombakan ini membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak sebanding
dengan dampak yang akan ditimbulkannya bila minyak bumi tersebut
terakumulasi dalam tanah. Kumpulan dari minyak dan gas tersebut membentuk
reservoir-reservoir minyak dan gas (BP MIGAS 2004).
2.1.1. Eksploitasi Minyak Bumi
Eksploitasi atau produksi minyak dan gas bumi adalah kegiatan industri
minyak dan gas bumi yang menghasilkan minyak dan gas sehingga siap untuk
diolah lebih lanjut (PPPTMGB Lemigas, 1999). Setelah mengetahui kapasitas
lapangan minyak, sumur berikut yang dibor disebut sumur pengembangan atau
sumur produksi. Suatu kandungan kecil mungkin bisa diciptakan dengan
menggunakan satu atau lebih sumur appraisal. Kandungan yang lebih besar
memerlukan pemboran sumur produksi tambahan (Lemigas,1999).
Beberapa sumur produksi sering dibor dari satu pad yang sama (sistem
kluster) untuk mengurangi pemakaian lahan dan biaya prasarana secara
keseluruhan. Jumlah sumur yang diperlukan untuk mengeksploitasi kandungan
13
hidrokarbon bervariasi, tergantung besarnya kandungan dan kondisi geologinya.
Ladang minyak bumi yang luas memerlukan seratus atau lebih sumur bor
(production well). Setiap sumur yang dibor harus siap berproduksi sebelum rig
pemboran dipindahkan (E & P Forum,1997)
Pada tahap awal umumnya minyak bumi dapat mengalir sendiri secara
alamiah ke permukaan (natural flowing). Apabila tekanan formasi sudah
berkurang, pengangkatan minyak ke permukaan dapat dibantu dengan pompa.
Namun demikian, seringkali kegiatan ekspolitasi minyak bumi dari sumur-sumur
minyak belum berhasil memperoleh secara maksimal keseluruhan kandungan
minyak bumi yang ada. Perolehan minyak bumi dengan metode konvensional
hanya mampu menghasilkan minyak sekitar 30 - 40% kandungan minyak secara
keseluruhan (Gaffen, 1975 dalam Forbes, 1980). Secara umum, kegiatan
eksploitasi minyak bumi meliputi 3 tahap utama, yaitu :
a. Tahap produksi primer (primary recovery), yaitu suatu tahapan memperoleh
minyak dimulai dengan mencari dan atau menemukan sumber minyak bumi,
penggunaan energi alami dengan memanfaatkan tekanan awal reservoir dan
volume air yang dapat menggerakan minyak.
b. Tahapan produksi sekunder (secondary recovery), yaitu tahapan perolehan
minyak bumi yang dilakukan dengan menginjeksikan cairan (water flooding)
atau gas (steam flooding) ke dalam reservoir dengan tujuan menambah
energi reservoir.
c. Tahapan produksi tersier (tertiary recovery), yaitu tahapan perolehan minyak
bumi yang dilakukan karena perolehan minyak sebelumnya belum maksimal.
enhanced oil recovery (EOR) adalah suatu mekanisme yang digunakan pada
tahapan tertiary recovery untuk meningkatkan produksi minyak setelah
tahapan primary dan second recovery. Salah satu teknik EOR yang
dikembangkan saat ini adalah dengan memanfaatkan mikroba yang dikenal
dengan microbial enhance oil recovery (MEOR). Mikroba tersebut
diinjeksikan ke dalam reservoir dengan harapan akan diperoleh senyawa-
senyawa yang mempunyai fungsi sama dengan senyawa kimia yang
digunakan pada teknik chemical flooding secara insitu seperti biosurfaktan,
biopolymer, biomassa, pelarut, asam dan gas. Senyawa-senyawa ini akan
meningkatkan perolehan minyak bumi hingga mencapai 60% karena secara
sinergis dapat mengubah porositas batuan penyusun reservoir, menurunkan
14
tegangan permukaan atau menurunkan viskositas minyak bumi sehingga
dapat merangsang pelepasan minyak dari reservoir.
Kemampuan ini dapat berubah jika terjadi modifikasi di dalam sel
mikroba. Modifikasi faktor lingkungan di luar (adanya mutagen) dan di dalam sel
mikroba (rekombinasi DNA) secara langsung dapat menghilangkan atau
mengubah fraksi hidrokarbon dan mengurangi viskositasnya, sehingga dapat
digunakan untuk teknologi MEOR. Penggunaan bakteri untuk pelepasan minyak
dari reservoir ini adalah hasil penelitian yang dilakukan Zobell antara tahun 1943-
1955. Aplikasi MEOR lebih ekonomis dan aman mengingat penggunaan zat
kimia sintetik membutuhkan biaya yang lebih tinggi serta menimbulkan resiko
pencemaran lingkungan (Sublett, 1993).
2.1.2. Pengelolaan Reservoir Minyak dan Gas Bumi Teori antiklinal (anticlinal theory) adalah teori tentang akumulasi minyak,
gas dan air pada lapisan cembung dalam tatanan tertentu (air paling bawah)
asalkan strukturnya mengandung batuan reservoir, yang berhubungan baik
dengan bantuan induk dan ditutupi dengan batuan tudung. Perangkap antiklin
(anticlinal trap) adalah lapisan dalam struktur antiklin tempat akumulasi
hidrokarbon. Cadangan (reserves) adalah jumlah minyak atau gas bumi yang
ditemukan didalam batuan reservoir dan dapat diproduksi. Reservoir adalah
tempat terkumpul dan terjebaknya minyak dan gas bumi secara alami di bawah
tanah. Tekanan reservoir (reservoir pressure) adalah tekanan yang mendorong
fluida ke lubang bor yang menembus reservoir minyak dan gas bumi. Batuan
reservoir (reservoir rock) adalah batuan bawah tanah yang berpori dan
permeable yang dapat menyimpan minyak dan atau gas (Pusat data dan
Informasi, DESDM, 2006).
Pengelolaan dan penanganan reservoir (reservoir management) sejak
dini adalah penting, khususnya pada reservoir yang memiliki karakteristik yang
unik. Perbedaan cara penanganan terletak pada rencana pengembangannya
(plan of development, POD), terutama untuk mengoptimalkan peroleh minyak
dan gas.
Reservoir management didefinisikan sebagai sebuah pengelolaan
reservoir secara terencana, konsisten dan berkesinambungan untuk
memaksimalkan keuntungan (benefit) dari suatu reservoir migas (Satter dan
Thakur, 1994). Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahap implementasi, hal ini
15
akan sangat tergantung dari pemanfaatan sumberdaya manusia (SDM),
teknologi, peralatan dan finansial untuk memaksimalkan keuntungan (profit)
dengan cara mengoptimalkan produksi dan meminimalkan biaya operasi dan
investasi. Reservoir management harus dilakukan sejak aktivitas eksplorasi,
sampai dengan reservoir tersebut ditemukan, dikembangkan, diproduksikan,
hingga akhirnya ditinggalkan (setelah dinilai tidak ekonomis lagi). Dalam
prakteknya tentu harus menganut kaidah teknik perminyakan atau petroleum
engineering yang baku dan benar, meliputi proses-proses; perencanaan;
implementasi dari rencana-rencana tersebut; pemantauan terhadap unjuk kerja;
penilaian dan revisi terhadap rencana atau strategi bilamana diperlukan (Satter
dan Thakur, 1994).
Suatu pendekatan sinergi dalam petroleum reservoir management
banyak dibahas oleh Satter dan Thakur (1994), dan Thakur dan Satter (1998).
Hal yang berkali-kali ditekankan adalah pentingnya sebuah team work antar
personel dari berbagai displin ilmu yang terlibat aktivitas perminyakan, yakni :
geophysicist, geologist, petroleum engineers dan lain-lain. Selain hal tersebut
juga diperlukan adanya interaksi yang efektif dan efisien diantara management,
engineering, geoscience dan fungsi penunjang. Suatu contoh, data geologi dan
keteknikan reservoir atau produksi akan digunakan oleh ahli geofisika untuk
menyakinkan adanya perkembangan reservoir yang memungkinkan
penambahan pemboran baru. Di lain pihak, hasil interpretasi data seismik dapat
digunakan oleh ahli reservoir untuk menilai cadangan, spasi sumur, unjuk kerja
sumur dan lain-lain. Interpretasi awal suatu survei seismik 3-D, misalnya, akan
sangat mempengaruhi rencana awal pengembangan suatu lapangan. Namun,
dengan bertambahnya engineering data dan informasi, suatu interpretasi dapat
direvisi dan disempurnakan terus menerus. Adalah bukan hal yang
mengejutkan, apabila ternyata dalam plan of futher development (POFD) banyak
berubah dari rencana awal. Untuk pengelolaan dan penanganan reservoir
karbonat, terlebih dahulu kita harus mengetahui karakteristik batuan karbonat itu
sendiri. Keheterogenan karakter yang melekat pada sifat batuan karbonat yang
dibawanya sejak awal pembentukannya, dan sepanjang pengembangannya,
menyebabkan kita harus ekstra hati-hati dalam menyusun rencana
pengembangan, memproduksikannya, merawatnya dan mengelolanya.
Berdasarkan kekhasan karakteristik batuan karbonat atau batuan pasir,
yang selanjutnya berpotensi sebagai reservoir migas, maka dalam
16
mengembangkan suatu lapangan (field development) semacam ini memerlukan
pengelolaan reservoir (reservoir management) dengan perhatian dan pendekatan
tertentu. Berbeda dengan reservoir batuan pasir, heterogenitas karakter reservoir
karbonat bisa sangat kompleks. Bukan saja karena proses dan lingkungan
pembentukannya yang sangat berbeda, namun juga adanya kemungkinan
perkembangan yang jauh dari kondisi origin-nya karena proses diagenesis
(litifikasi, dolomitisasi) dan perekahan yang diakibatkan oleh adanya patahan
maupun pelipatan (Satter dan Thakur, 1994). Dari sisi reservoir management,
kehati-hatian dalam menyusun plan of development (POD) maupun plan of
further development (POFD) haruslah berangkat dari analisis geologi dan
melibatkan reservoir engineering’s sense yang terintegrasi dalam merekonstruksi
depositional enviroments (Satter dan Thakur, 1994).
Menurut Satter dan Thakur (1994) dalam membuat rekonstruksi
lingkungan pengendapan batuan karbonat atau pasir, sebagai awal dari kajian
yang dilakukan, pertama adalah menganalisa sifat fisik batuan (petrophysical
analysis), seperti porositas, permeabilitas horizontal dan vertikal, densitas
batuan, kurva tekanan kapiler dan lain-lain. Kedua, melakukan analisis
petrographic yang akan memberi data lebih detail lagi mengenai jaringan pori,
tekstur, komposisi kimia, mineral dan lain-lain untuk dapat memperkirakan
proses-proses diagenesis yang terjadi. Hasil-hasil ini akan diintegrasikan dengan
hasil interpretasi data seismik, data logging, PVT dan data sumuran lainnya
(seperti : tekanan dan produktivitas). Untuk selanjutnya, membuat model geologi,
model reservoir dan akhirnya dapat menentukan skenario produksi. Proses kerja
(workflow) dari kajian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Dari aspek reservoir management, diantara tahapan managemen yang
terdapat pada Gambar 4, hal yang terpenting adalah pada proses perencanaan
dan penyusunan strategi sebagai langkah awal untuk menentukan kerja
berikutnya. Pada tahap ini segala faktor yang berhubungan dengan karakteristik
yang khas pada reservoir karbonat harus diakomodasi dan dikajikan secara
detail dengan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ada. Dengan simulasi
reservoir, beberapa skenario produksi dapat dibuat dengan mempertimbangan
beberapa faktor tadi (Satter dan Thakur, 1994).
17
Gambar 3. Diagram alir kajian reservoir secara terintegrasi (Satter dan Thakur, 1994)
Selanjutnya, penyiapan fasilitas produksi, baik dari segi desain maupun
implementasinya harus mengikuti kajian reservoir yang telah dibuat. Perubahan
data baru selalu diinformasikan dan di-update untuk dapat segera merevisi hasil
simulasi. Realisasi produksi yang ada kadang-kadang tidak sesuai dengan
prediksi hasil simulasi reservoir. Apabila hal ini terjadi, revisi strategi
pengembangan lapangan harus segera dilakukan (Satter dan Thakur, 1994).
Dari rangkuman rencana tidak lanjut berdasarkan simulasi reservoir,
dapat diambil keputusan apakah pembangunan fasilitas injeksi menjadi prioritas
utama dalam pengembangan lapangan selanjutnya. Hal ini merupakan langkah
penyelamatan kondisi tekanan reservoir yang sudah berada di bawah titik
gelembung, yang umum dikenal dengan pressure maintenance. Dengan
menginjeksi air ke dalam reservoir minyak akan naik kembali dan akan
Well Data
Petrophysic Analysis
Cross Correlation
Processing
Interpretation
Inversion
Geology Modeling
Geostatistics
Production Plan
Correlation Matching
Seismic Data
Reservoir Modelling
Reservoir Simulation
18
terproduksi lebih lama sehingga perolehannya (recovery factor, RF) bertambah.
Apabila hal ini terlambat dilakukan, walaupun telah dilakukan penutupan sumur,
gas akan tetap keluar sebagai gelembung dan membentuk secondary gas cap.
Kalau hal ini terjadi, maka sekian juta barrel minyak yang semula diprediksi dapat
terangkat kepermukaan akan gagal (Satter dan Thakur, 1994).
Gambar 4. Proses pengelolaan reservoir migas (Satter dan Thakur, 1994)
2.2. Sistem Produksi dan Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi Selain pemanfaatan utama sebagai bahan bakar, minyak dan gas bumi
juga dapat dimanfaatkan dalam bentuk lain seperti bahan baku industri. Secara
sederhana laju pemanfaatan gas dan minyak bumi disajikan pada Gambar 5.
Minyak bumi yang keluar dari sumur minyak tidak dapat secara langsung
dimanfaatkan sebagai bahan bakar maupun bahan baku tanpa melalui proses
pemurnian dan pemisahan terlebih dahulu. Hal ini didasarkan atas masalah
teknis dan ekonomis. Secara teknis minyak bumi diharapkan memiliki
karakteristik yang stabil tidak korosif dan bebas dari senyawa-senyawa bawaan
lainnya. Sedangkan secara ekonomis akan memperoleh nilai tambah yang tinggi
bila produk memiliki kemurnian yang tinggi. Proses pengolahan minyak bumi
Setting Strategi
Developing Plan
Implementation
Monitoring
Evaluating
Completing
Revising
19
diawali dengan proses pemisahan minyak dari komponen bawaan dan
pengotornya. Minyak mentah hasil pengolahan awal ini kemudian diangkut atau
dialirkan menuju kilang untuk proses pengolahan minyak dibatasi hanya sampai
tahap produk minyak mentah atau proses sebelum pengilangan (Pandjaitan,
2005).
Gambar 5. Aliran produksi dan pemanfaatan minyak dan gas bumi (Pandjaitan,
2005)
Seperti halnya minyak bumi, gas bumi tidak dapat digunakan secara
langsung tanpa melewati tahapan pemisahan dan pemurnian terlebih dahulu.
Tahapan pemisahan awal ditujukan untuk menghilangkan kandungan pengotor
dan komponen bawaan lainnya. Selanjutnya proses pemisahan dilakukan untuk
memisahkan komponen gas berat (C6+) dari komponen ringan. Selanjutnya gas
bumi dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam operasi produksi dari Industri
atau dipasarkan secara langsung dalam bentuk LPG, LNG maupun NGL
(Pandjaitan, 2005).
Pemanfaatan gas bumi pada industri dapat terjadi dalam beragam bentuk
baik sebagai bahan bakar maupun bahan baku. Pada industri jasa pembangkit
listrik tenaga gas, gas bumi bersifat sebagai bahan baku sekaligus bahan bakar.
Gas bumi dimanfaatkan untuk pembakaran dengan udara menjadi fluida kerja
yang kemudian digunakan untuk memutar sudu turbin menghasilkan daya listrik.
Sumur Gas
Pemisahan awal
Sumur Minyak
Pabrik Pengolahan
Gas
Pabrik NGL
Kilang
Pabrik Gas
LNG
Industri ekspor pembangkit listrik
Pasar Domestik
Ekspor
Minyak mentah
Gas alam
Gas, air dan Pengotor
(C3,C4) LPG,C5+
ekspor
20
Sedangkan pada industri pupuk, peran gas bumi berperan sebagai bahan baku
(feedstock) dan bahan bakar terjadi pada dua unit pemrosesan yang berbeda
yaitu unit produksi dan unit utilitas. Dalam unit produksi gas bumi berperan
sebagai bahan baku yang akan diubah menjadi produk, sedangkan pada unit
utilitas gas bumi berperan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan panas yang
digunakan untuk menghasilkan steam. Selain kedua contoh tersebut, banyak
industri yang melakukan pemanfaatan gas bumi banyak sekali seperti industri
polimer, methanol, pengolahan baja dan lain-lain (Pandjaitan, 2005).
2.2.1 Sistem Produksi Minyak Bumi Minyak bumi keluaran sumur minyak tidak dalam keadaan murni, tetapi
membawa komponen lain seperti air, lumpur (pasir) dan gas terlarut. Supaya
minyak bumi tersebut dapat diproses di kilang, minyak bumi keluaran sumur
memerlukan beberapa proses pemisahan fisik yang bertujuan untuk
menyingkirkan pasir, air dan gas yang terlarut. Rincian proses pengolahan
minyak bumi keluaran sumur diperlihatkan dalam Gambar 6
Gambar 6. Proses pengolahan minyak bumi keluaran sumur (Pandjaitan, 2005
2.2.2. Pemisahan Minyak Gas Air Pemisahan minyak-gas-air bertujuan untuk memisahkan gas dan air
(padatan/pasir) dari crude oil. Prinsip pemisahan berdasarkan densitas. Aliran
campuran crude oil masuk ke kolom pemisahan mengalami penurunan tekanan
sehingga gas yang terlarut dalam minyak densitasnya turun yang mengakibatkan
gas dapat keluar dari minyak. Waktu yang dibutuhkan gas untuk melepaskan diri
dari minyak sekitar 30-60 menit. Untuk mengefisienkan pemisahan gas dan
Sumur Minyak (terdapat
Minyak, Gas dan Air)
Pemisahan Minyak-Gas-Air
Gas
Desander
Pasir
Pemisahan Minyak dan air
air
Crude Oil (minyak Mentah) Storage
21
minyak, pada bagian atas kolom dipasang mist extractor yang berfungsi untuk
menangkap tetesan-tetesan cairan yang terbawa gas. Tetesan-tetesan tersebut
jatuh kembali kebawah. Air yang memiliki densitas besar akan mengendap ke
bagian bawah kolom. Waktu yang dibutuhkan air supaya dapat terpisah dari
minyak sekitar lima menit. Kolom pemisah tiga fassa paling sederhana terbentuk
kolom tertutup vertikal/horizontal (Pandjaitan, 2005).
Lumpur atau pasir yang terbawa aliran minyak bumi keluaran sumur akan
terbawa oleh air dari unit pemisahan minyak-gas-air. Prinsip kerja mirip dengan
pemisahan minyak-gas-air yaitu berdasarkan perbedaan densitas dengan
memanfaatkan gravitasi. Kadangkala unit desander ini tidak berdiri sendiri tetapi
merupakan bagian dari pemisahan minyak-gas-air yang dimodifikasi dengan
menambah sand cone (bagian bawah kolom pemisah berbentuk kerucut). Selain
kolom tertutup, hydrocyclone merupakan peralatan yang digunakan untuk
memisahkan padatan dari cairan. Efisiensi pemisahan hydrocyclone lebih tinggi
daripada kolom settling konvensional karena ada pertambahan gaya sentrifugal
yang menyebabkan laju pemisahan meningkat (Padjaitan, 2005).
Minyak bumi hasil dari keluaran unit pemisah minyak-gas-air masih
mengandung kadar air yang cukup tinggi. Air tersebut disingkirkan dari aliran
minyak. Untuk meningkatkan efisiensi pemisahana air dari minyak umumnya
ditambahkan unit pemanas sehingga air dapat lebih mudah terpisahkan dari
minyak. Pemisahan minyak-air dilakukan antara lain pada kolom tertutup,
hydrocyclone dan lain-lain (Pandjaitan, 2005).
2.3. Gas Alam (Natural Gas) Gas alam sering juga disebut sebagai gas bumi atau gas rawa, adalah
bahan bakar fosil berbentuk gas yang terutama terdiri dari metana CH4. Gas ini
dapat ditemukan di ladang minyak atau gas alam yang didapat dari dalam sumur
di bawah bumi, biasanya bergabung dengan minyak bumi. Gas ini disebut
sebagai associated gas (gas ikutan). Ada juga sumur yang khusus
menghasilkan gas, sehingga gas yang dihasilkan disebut gas non associated
(http://www.pertamina.com) dan juga terjadi pada tambang batu bara. Ketika gas
yang kaya dengan metana diproduksi melalui pembusukan oleh bakteri
anaerobik dari bahan-bahan organik selain dari fosil, maka ia disebut biogas.
Sumber biogas dapat ditemukan di rawa-rawa, tempat pembuangan akhir
sampah, serta penampungan kotoran manusia dan hewan.
22
Komponen utama dalam gas alam adalah metana (CH4), yang
merupakan molekul hidrokarbon rantai terpendek dan teringan. Gas alam juga
mengandung molekul-molekul hidrokarbon yang lebih berat seperti etana (C2H6),
propana (C3H8) dan butana (C4H10), selain juga gas-gas yang mengandung sulfur
(belerang). Gas alam juga merupakan sumber utama untuk sumber gas helium.
Metana adalah gas rumah kaca yang dapat menciptakan pemanasan global
ketika terlepas ke atmosfer, dan umumnya dianggap sebagai polutan ketimbang
sumber energi yang berguna. Meskipun begitu, metana di atmosfer bereaksi
dengan ozon, memproduksi karbon dioksida dan air, sehingga efek rumah kaca
dari metana yang terlepas ke udara relatif hanya berlangsung sesaat. Sumber
metana yang berasal dari makhluk hidup kebanyakan berasal dari rayap, ternak
(mamalia) dan pertanian (diperkirakan kadar emisinya sekitar 15, 75 dan 100 juta
ton per tahun secara berturut-turut (www.naturalgas.org/ overview/
background.asp)
Nitrogen, helium, karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S), dan air
(H2O) dapat juga terkandung di dalam gas alam. Merkuri dapat juga terkandung
dalam jumlah kecil. Komposisi gas alam bervariasi sesuai dengan sumber
ladang gasnya. Campuran organosulfur dan hidrogen sulfida adalah kontaminan
(pengotor) utama dari gas yang harus dipisahkan. Gas dengan jumlah pengotor
sulfur yang signifikan dinamakan sour gas dan sering disebut juga sebagai "acid
gas (gas asam)". Gas alam yang telah diproses dan akan dijual bersifat tidak
berasa dan tidak berbau. Akan tetapi, sebelum gas tersebut didistribusikan ke
pengguna akhir, biasanya gas tersebut diberi bau dengan menambahkan thiol,
agar dapat terdeteksi bila terjadi kebocoran gas.
Gas alam yang telah diproses itu sendiri sebenarnya tidak berbahaya,
akan tetapi gas alam tanpa proses dapat menyebabkan tercekiknya pernafasan
karena ia dapat mengurangi kandungan oksigen di udara pada level yang dapat
membahayakan. Gas alam dapat berbahaya karena sifatnya yang sangat
mudah terbakar dan menimbulkan ledakan. Gas alam lebih ringan dari udara,
sehingga cenderung mudah tersebar di atmosfer. Akan tetapi bila ia berada
dalam ruang tertutup, seperti dalam rumah, konsentrasi gas dapat mencapai titik
campuran yang mudah meledak, yang jika tersulut api, dapat menyebabkan
ledakan yang dapat menghancurkan bangunan. Kandungan metana yang
berbahaya di udara adalah antara 5% hingga 15%. Ledakan untuk gas alam
terkompresi di kendaraan, umumnya tidak mengkhawatirkan karena sifatnya
23
yang lebih ringan, dan konsentrasi diluar rentang 5-15% yang dapat
menimbulkan ledakan menurut (www.naturalgas.org/overview/background.
asp/page2).
2.3.1. Kandungan Energi (Pengukuran Gas Alam)
Gas alam dapat diukur dalam sejumlah cara, sebagai gas, ia dapat diukur
melalui volume pada temperature dan tekanan normal, dinyatakan dalam cubic
feet (CF), yang umum dipakai dalam ribuan cubic feet (MCF), jutaan cubic feet
(MMCF), atau trilliun cubic feet (TCF). Gas alam juga sering diukur dan
dinyatakan dalam British thermal unit (BTU). Satu BTU adalah sejumlah gas
alam yang akan menghasilkan energi yang cukup untuk memanaskan satu
pound air dengan satu derajat pada tekanan normal. Satu cubic feet gas alam
mengandung sekitar 1.027 BTU. Gas alam yang dikirim melalui pipa di USA,
diukur dalam satuan therms untuk menggunakan pembayaran. Satu therm
adalah ekuivalen dengan 100.000 BTU atau sekitar 97 SCF gas
alam.(www.pertamina.com/index.php?option=com_content).
2.3.2. Pemanfaatan Gas Alam
Secara garis besar pemanfaatan gas alam dibagi atas 3 kelompok yaitu :
(1). Gas alam sebagai bahan bakar, antara lain sebagai bahan bakar pembangkit
listrik tenaga gas/uap, bahan bakar industri ringan, menengah dan berat, bahan
bakar kendaraan bermotor (BBG/NGV), sebagai gas kota untuk kebutuhan
rumah tangga hotel, restoran dan sebagainya. (2). Gas alam sebagai bahan
baku, antara lain bahan baku pabrik pupuk, petrokimia, metanol, bahan baku
plastik (LDPE = low density polyethylene, LLDPE = linear low density
polyethylene, HDPE = high density polyethylen, PE= poly ethylene, PVC=poly
vinyl chloride, C3 dan C4-nya untuk LPG, CO2-nya untuk soft drink, dry ice
pengawet makanan, hujan buatan, industri besi tuang, pengelasan dan bahan
pemadam api ringan. (3). Gas alam sebagai komoditas energi untuk ekspor,
yakni liquefied natural gas (LNG). Teknologi mutakhir juga telah dapat
memanfaatkan gas alam untuk air conditioner (AC=penyejuk udara), seperti yang
digunakan di Bandara Bangkok, Thailand dan beberapa bangunan gedung
perguruan tinggi di Australia (Wikipedia, 2007).
24
2.3.3. Gas Alam di Indonesia
Pemanfaatan gas alam di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an yakni
produksi gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia (sekarang JOB
Pertamina-Medco) di Pendopo, Sumatera Selatan dikirim melalui pipa gas ke
Pabrik Pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) di Palembang.
Perkembangan pemanfaatan gas alam di Indonesia meningkat pesat sejak tahun
1974, setelah PT.Pertamina (Persero) mulai memasok gas alam melalui pipa gas
dari ladang gas alam di Prabumulih, Sumatera Selatan ke pabrik pupuk Pusri II,
Pusri III dan Pusri IV di Palembang. Karena sudah terlalu tua dan tidak efisien,
pada tahun 1993 Pusri IA ditutup dan digantikan oleh Pusri IB yang dibangun
oleh putera-puteri Bangsa Indonesia sendiri. Pada masa itu Pusri IB merupakan
pabrik pupuk paling modern di Kawasan Asia, karena menggunakan teknologi
tinggi. Di Jawa Barat, pada waktu yang bersamaan (1974), PT. Pertamina
(Persero) juga memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di lepas
pantai (off shore) Laut Jawa dan Kawasan Cirebon untuk pabrik pupuk PT.
Pupuk Kujang (Persero) dan industri menengah dan berat di Kawasan Jawa
Barat dan Cilegon Banten. Pipa gas alam yang membentang dari Kawasan
Cirebon menuju Cilegon, Banten memasok gas alam antara lain ke pabrik
semen, pabrik pupuk, pabrik keramik, pabrik baja dan pembangkit listrik tenaga
gas dan uap. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, gas alam di Indonesia juga
diekspor dalam bentuk LNG (liquefied natural gas) (Wikipedia, 2007).
2.4. Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas)
Menurut Johnston (2003) ada dua macam gas yang terakumulasi dalam
tempat penyimpanan minyak, yakni gas ikutan yang larut dalam minyak mentah
ke dalam suatu formasi dan gas ikutan di dalam tempat cadangan minyak
mengalami penjenuhan dan terjadi penyumbatan sehingga tekanan dan
temperatur tekanan gas di bawah batas maksimum, karena tekananan tersebut
membuat gas terdorong ke atas. Pada kondisi tertentu, hydrocarbon terhadap
gas ikutan (associated gas) minyak mengalami perubahan menjadi minyak, gas
atau pengembunan.
Pada produksi minyak, secara alami terjadi pemisahan antara gas dan
minyak mentah, pertama-tama yang harus dilakukan pada tahap produksi
menjaga tekanan reservoar. Pada tahap kedua tekanan hidrokarbon harus pada
batas maksimum antara 25% - 35%. Pada tahap kedua ini dilakukan penyulingan
25
gas ikutan dengan menggunakan mesin proses. Tekanan (pressure) gas ikutan
masih dibutuhkan dalam proses penyaringan, juga tekanan gas dibutuhkan
bilamana terjadi penurunan garis batas tekanan dalam reservoir. Masalahnya,
penyulingan gas ikutan bisa merusak aliran minyak mentah serta mempengaruhi
faktor produksi. Alasan perusahaan minyak tidak mengolah langsung minyak
mentah tersebut karena ketika gas ikutan didaur ulang akan memberikan
pengaruh negatif terhadap kandungan minyak mentah itu sendiri dan juga biaya
operasional yang dikeluarkan sangatlah besar (Johnston, 2003).
Menurut Haugland (2002) setiap hari di seluruh dunia mengeluarkan
berbagai macam gas ikutan sekitar 10-13 bcf. Hanya dua Negara yang
mengeluarkan gas ikutan melebihi jumlah tersebut yakni USA dan Russia.
Sebelumnya pada tahun 1980 di Eropa Barat pembuangan gas ikutan sangat
tinggi dimana jumlahnya tidak sebanding dengan yang terpakai. Produksi
minyak di dunia dan gas ikutan sejak tahun 1980 berdasarkan Gambar 7.
Gambar 7. Produksi minyak dunia dan gas ikutan (Haugland, 2002)
Gas ikutan mengeluarkan emisi karbon monoksida, nitrous oxides dan
methane, total emisi yang dikeluarkan diperkirakan 1% - 4%. Emisi yang
dikeluarkan mengganggu masyarakat setempat dan terutama sekitar area
tumbuhan dan hewan karena gas ikutan mengeluarkan cahaya dan hawa panas
serta menimbulkan bunyi yang gaduh. Efek yang sangat berbahaya bagi
lingkungan tersebut dapat dikurangi dengan cara menggurangi teknik ledakan.
Bagaimanapun juga, sisa gas ikutan walau yang tidak berbahaya sekalipun dapat
menimbulkan masalah di waktu mendatang bagi masyarakat (Petrosyan, 2007)
26
2.4.1 Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas) di Indonesia Menurut data dari Ditjend Migas (2008) kondisi gas ikutan (flare gas) di
sektor usaha minyak dan gas hulu (up stream) sebesar 109,50 mmscfd (juta kaki
kubik perhari), pada sektor usaha minyak dan gas hilir (down stream) sebesar
1,17 mmscfd (juta kaki kubik perhari) berdasarkan gambar 8.
Gambar 8. Kondisi Gas ikutan (flare gas) di sektor migas hulu dan hilir (Ditjend
Migas, 2008) Sektor hulu (up stream) merupakan penyumbang terbesar gas ikutan (flare gas),
sektor tersebut adalah dimana minyak mentah di cari (eksploration) dan di
angkat ke permukaan (production) guna diproses menjadi minyak mentah yang
siap (feedstock) di gunakan untuk bahan baku proses pengilangan (refinery).
Sumber (sources) dari gas ikutan (flare gas) pada sektor hulu (up stream)
tersebut berasal dari beberapa lapangan minyak (oil fields) di seluruh Indonesia.
Berdasarkan gambar 9, Ditjend Migas (15 Juli 2008) mempersiapkan rancangan
kebijakan Green Oil and Gas Industry Initiative (GOGII) untuk menjadikan industri
migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan program zero flare,
zero discharge, clean air and go renewable.
2.5. Proses Gas Ikutan Menjadi LPG
LPG (liquified petroleum gas) adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon
yang berasal dari gas alam yang diproses melalui kilang minyak bumi (refining of
crude oil) atau ekstraksi yang berasal dari gas ikutan dari lapangan minyak
(crude oil field). Dengan menambah tekanan dan menurunkan suhunya, gas
berubah menjadi cair. Komponennya didominasi propana (C3H8)
27
Gambar 9. Peta lokasi gas flare (Ditjend Migas, 2008)
dan butana (C4H10). Elpiji juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam
jumlah kecil, misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Dalam kondisi
atmosfer, elpiji akan berbentuk gas. Volume elpiji dalam bentuk cair lebih kecil
dibandingkan dalam bentuk gas untuk berat yang sama. Karena itu elpiji
dipasarkan dalam bentuk cair dalam tabung-tabung logam bertekanan. Untuk
memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang
dikandungnya, tabung elpiji tidak diisi secara penuh, hanya sekitar 80% - 85%
dari kapasitasnya. Rasio antara volume gas bila menguap dengan gas dalam
keadaan cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi
biasaya sekitar 250:1. Tekanan dimana elpiji berbentuk cair, dinamakan tekanan
uapnya, juga bervariasi tergantung komposisi dan temperatur; sebagai contoh,
dibutuhkan tekanan sekitar 220 kPa (2.2 bar) bagi butana murni pada 20 °C (68
°F) agar mencair, dan sekitar 2.2 MPa (22 bar) bagi propana murni pada 55°C
(131 °F). Menurut spesifikasinya, elpiji dibagi menjadi tiga jenis yaitu elpiji
campuran, elpiji propana dan elpiji butana. Spesifikasi masing-masing elpiji
tercantum dalam keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Nomor:
25K/36/DDJM/1990. Elpiji yang dipasarkan PT.Pertamina (Persero) adalah elpiji
campuran (Wikipedia, 2007).
LPG plant dalam memproses (ekstraksi) gas ikutan sebagai bahan baku
(feed stock) yang berasal sumur minyak yang diangkut melalui pipa minyak
(pipeline) berupa gas ikutan (associated gas) melalui stasiun pengumpul
(gathering station) pada fasilitas produksi minyak (production fasilities)
28
www.unfcc.org/cdm/pdd/flare/schematic. Gas ikutan diproses dengan cara
mekanisme sistem teknologi pendinginan dengan melalui beberapa komponen
proses: booster compressor, cooling and separation unit, liquid extraction unit,
refrigerant re-circulation system, hot oil circulation system, fuel gas system, glycol
circulation system, lpg storage and unloading facilities, electric power generation
Cara kerja dari pada LPG plant yang memanfaatkan gas ikutan (flaring
gas) adalah sebagai berikut :
• Gas (feedstock) diperoleh dari lapangan minyak dan ditransportasikan
melalui pipa ke LPG plant (diproses), dengan hasil berupa produk LPG,
condensate dan lean gas.
• Energi yang dipakai untuk mengangkut dan memproses gas ikutan
menggunakan lean gas (hasil proses) untuk membangkitkan tenaga listrik
(power plant).
Untuk lebih jelasnya ilustrasi kegiatan proyek LPG plant yang memanfaatkan gas
ikutan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Skema ilustrasi kegiatan proyek LPG plant dengan memanfaatkan gas ikutan (www.unfcc.org/cdm/pdd/flare/schematic)
Fasilitas Produksi Minyak
Gas Ikutan (associated Gas)
Residu Gas
Kondesat
Dari Sumur Minyak (oil well)
LPG Plant
Recovery
Flaring
CO2
LPG
Ke Oil Strorage
29
2.6. Potensi Sumber Daya Migas Indonesia Di Indonesia terdapat 60 cekungan hidrokarbon namun 22 cekungan
diantaranya belum diekplorasi, sehingga hanya 38 cekungan yang telah
diekplorasi (15 cekungan telah berproduksi, 11 cekungan belum berproduksi dan
12 belum terbukti). Cadangan minyak bumi Indonesia cenderung menurun
secara alami (decline) dan pada saat ini jumlah cadangan yang ada diperkirakan
mencapai 8,4 milyar barrel (3,9 milyar barrel terbukti dan 4,4 milyar barrel
potensial) atau dapat diproduksi selama 20 (dua puluh) tahun. Sebaran
cadangan minyak bumi Indonesia dan jumlah cadangannya dapat dilihat pada
Gambar 11. Sedangkan jumlah cadangan gas bumi Indonesia terbukti dan
potensial mengalami kenaikan dengan ditemukannya lapangan-lapangan baru
selama dua tahun terakhir ini dan pada saat ini jumlah cadangan yang ada
mencapai 164,99 trilyun kaki kubik (106,1 TCF terbukti dan 58,98 TCF potensial)
atau dapat diproduksi untuk waktu 64 tahun (Yusgiantoro, 2007) dapat dilihat
pada Gambar 12.
Gambar 11. Peta penyebaran cadangan minyak bumi Indonesia
(http://www.migas.esdm.go.id/) 2.7. Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri hulu migas tertua di
dunia, dengan ditandai penemuan secara komersial di Kabupaten Langkat,
Telaga Said, di Sumatera Utara pada tahun 1883. Sebagai anggota Organization
Petroleum Exporting Countries (OPEC), produksi minyak bumi di
30
Gambar 12. Peta penyebaran cadangan gas Indonesia berdasarkan sumber
gas (Indonesia Associated Gas Survey – Screening & Economic Analysis Report (Final), Pendawa, 2006)
Indonesia diatur oleh alokasi kuota yang ditetapkan oleh OPEC sebesar 1,445
juta barrel perhari dan masih berlaku sampai saat ini. Jatah kuota produksi
sebesar itu hanya dapat dicapai sebelum tahun 2000. Pada tahun 1980, sekitar
70% dari produksi minyak bumi diekpor, tetapi konsumsi domestic meningkat
secara mantap dan mencapai 50 % dari produksi minyak bumi pada tahun 1990
(Country Data, 1992).
Produksi minyak yang dimiliki oleh PT.Pertamina EP Jawa Bagian Barat
sejak tahun 1970 mulai dilakukan eksploitasi dengan melakukan penggalian
sejumlah sumur. Dari ratusan sumur yang dibor, daerah-daerah yang berhasil
memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan Timur, Tugu
Barat dan lepas pantai. Daerah PT.Pertamina EP Jawa Bagian Barat ini
termasuk daerah operasi yang cukup besar yang dimiliki PT.Pertamina EP.
Produksi tertinggi dari daerah ini terjadi pada tahun 1973-1974 mampu mencapai
28.000 barrel oil perday (BOPD). Pada tahun 2000, produksi mengalami
penurunan hingga menyentuh angka 7.000-7.500 BOPD. Pada tahun 2001 PT.
Pertamina EP Jawa Bagian Barat mampu meningkatkan produksi minyak
sebesar 14.294 BOPD dan gas alam 404,8 MMSCFD (Laporan Akhir, Dinas
Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat, 2003).
Disadari bahwa produksi minyak Indonesia selama 5 tahun terakhir ini
cenderung mengalami penurunan secara alami. Oleh karena itu, selama periode
31
2002-2004, BP Migas dan Kontraktor Kerja Sama telah berhasil menemukan
cadangan minyak bumi sebesar 1 milyar barrel untuk mengatasi masalah
tersebut. Sebaiknya produksi gas terus meningkat sejalan dengan cadangan gas
yang semakin hari semakin meningkat. Peningkatan gas ini diperoleh oleh dari
penemuan-penemuan sumber baru seperti Tangguh di Papua, Natuna Barat di
Laut Natuna, Donggi/Senoro di Sulawesi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur,
Blok Cepu (Banyu Urip) di Jawa Timur dan Lapangan lainnya. Seluruh lapangan
minyak dan gas bumi tersebut masih dalam taraf penyusunan rencana
pengembangan (Plan of Development), WP&B (Work Program and Budget)
mulai melakukan kegiatan konstruksi dan AFE (Authourize Financial
Expenditure) dalam rangka untuk cost recovery (BP.Migas, 2008).
Produksi rata-rata harian minyak bumi Indonesia cenderung menurun
terus, saat ini (2008) tingkat produksi harian rata-rata adalah 844.850,444
barrel.(www.esdm.go.id). Pada tahun 2003 produksi rata-rata harian minyak bumi
Indonesia adalah 1,265 juta barrel (World Oil, 2003), penurunan tersebut
disebabkan kondisi lapangan minyak sudah tua (mature), penemuan dan
pengembangan lapangan baru tidak secepat yang kita harapkan. Estimasi
cadangan minyak bumi Indonesia adalah 9,692 milliar Barrel atau 0,6 % dari
cadangan minyak dunia (DitJend Migas, 1999).
Produksi minyak mentah dimulai dengan mengalirkan minyak secara
alami (naturalflow) dari area tekanan tinggi yang ada dipermukaan bumi.
Produksi alami ini disebut produksi primer, yang bergantung pada tekanan
reservoir dan mekanisme pengendalian alami. Mekanisme pengendalian ini
merujuk sumber-sumber energi didalam reservoir yang akan membantu
produksi, bergantung aspek fisik reservoir dan sifat-sifat minyak, gas dan air
yang ditemukan dalam proporsi relatif dan lokasinya (Gibbon, 1980).
Produksi sekunder adalah prosedur lainnya yang digunakan untuk
meningkatkan hasil dari satu reservoir. Prosedur ini terdiri atas menginjeksi gas
ikutan atau air untuk mempertahankan reservoir. Pada zaman dulu, teknik
produksi sekunder diikuti penggunaan teknik produksi primer; sekarang teknik ini
mungkin digunakan secara simultan untuk meningkatkan produksi total (Gibbon,
1980). Masih terdapat ceruk pasar LPG yang dapat dipenuhi oleh KPS dan
PERTAMINA dengan jumlah minimum 200.000 ton per tahun dan permintaan
tersebut diperkirakan akan meningkat 15% setiap tahunnya (Gambar 13).
32
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil migas
terbesar di Indonesia. Dalam hal volume produksi minyak bumi, Jawa Barat
menempati peringkat kelima terbesar setelah Riau, Kalimantan Timur, Sumatera
Selatan dan Lampung, dengan volume produksi mencapai 4,31 % dari produksi
total Indonesia (Pertamina, 2003). Untuk gas alam, Jawa Barat menempati
peringkat ketiga dengan produksi 11,27 % dari total gas alam Indonesia.
Produksi tahunan Jawa Barat pada tahun 2002 adalah 15,78 juta barrel minyak
bumi dan 222,6 milyar kaki kubik gas alam (mmscf).
Gambar 13. Kondisi saat ini Indonesia – Oil Products Supply & Demand Balance (2006-2015) (Sumber : Facst, 2007 & Pertamina analysis)
Potensi migas Jawa Barat tersebar di beberapa daerah penghasil, yaitu
Kabupaten Indramayu, Karawang, Majalengka, Subang, Bekasi, wilayah 4-12 mil
laut dan wilayah di luar 12 mil laut, meliputi tidak kurang dari 75 lapangan minyak
bumi dan gas alam.
33
Tabel 1. Lapangan minyak ‘on shore’ yang dikelola oleh PT.Pertamina EP Region Jawa area operasi timur :
Lapangan Tahun Mulai
Operasi
Cadangan Minyak (x1 juta Barrel)
Cadangan Gas (x1 juta milyar kaki
kubik) Sistem Ciputat :
- Jatinegara 1989 - 20 - Jatirarangon 1982 1 20 - Tambun 1992 2 1 - Cikarang 1993 - 50 - Cicauh 1988 - 40
Sistem Cipunegara : - Tugu Barat 1979 11 50 - Haurgeulis 1982 - 50 - Sukatani 1983 - 75 - Kandang Haur Barat 1984 1 - - Pasir Catang 1992 - 100
Sistem Pasir Bungur: - Pegaden 1975 10 5 - Pamanukan Selatan 1980 - 50 - Pasirjadi 1985 5 60 - Pasirjadi Naik 1987 - 2 - Gambarsari 1989 - 30 - Katomas 1990 - 1 - Sindangsari 1990 - 50 - Bojongraong 1993 - 75
Sistem Jatibarang : - Jatibarang 1969 130 150 - Sindang 1970 10 50 - Gantar 1973 - 400 - Randengan 1973 5 20 - Kandang Haurtimur 1974 2 100 - Cemara 1976 8 600 - Cemara Timur 1976 - 200 - Cemara Selatan 1977 7 10 - Waled Selatan 1978 1 - - Sindang Blok turun 1981 0 1 - Sambidoyong 1985 1 0 - Kapetakan 1986 - 50
Sumber : PT.Pertamina EP Region Jawa Bagian Barat, 2004
Formasi batuan yang mengandung minyak dan gas bumi adalah formasi
Cibulakan (Jatiluhur) terdiri dari lempung dan gamping bersisipan batupasir
dengan ciri laut dangkal, formasi Jatibarang terdiri dari batuan vulkanik berumur
(Eosen-Oligosen), formasi parigi berupa batu gamping. Formasi ini termasuk
34
blok Dataran Jakarta-Cirebon (Martodjojo, 1975). Sebaran lapangan minyak dan
gas bumi yang telah dilakukan eksplorasi dan eksploitasi hingga saat ini dapat
dilihat pada Tabel 1 (PT.Pertamina EP Region Jawa, 2004).
2.8. Pengelolaan Lingkungan Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi
Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi sebagai industri hulu
migas adalah suatu mata rantai kegiatan yang diawali dengan kegiatan survey
seismik (geologi, graviti, seismik dan lainnya), pemboran eksplorasi, ekploitasi
dan dilanjutkan dengan kegiatan pengembangan lapangan, produksi (termasuk
enhanced oil recovery) dan transportasi (pemasaran). Semua kegiatan tersebut,
selain menghasilkan devisa kepada negara dan kesempatan kerja, dapat pula
menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, apabila tidak dikelola dengan
baik. Dampak negatif dalam bentuk perubahan tatanan lingkungan yang
Tabel 2. Potensi dampak lingkungan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
No Kegiatan Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan 1 Survey Seismik
• Peledakan Bahan Peledak • Transportasi alat-alat
• Kerusakan Sarana dan Prasarana
• Kebisingan dan debu • Terjadi ceceran minyak
2 Pemboran Eksplorasi
• Penyerapan tenaga kerja • Ganti rugi lahan • Ceceran bahan kimia • Pembuangan lumpur bor
bekas
• Ada peluang kerja • Spekulasi ganti rugi • Pencemaran air • Terganggu flora & fauna
3 Pengembangan Lapangan
• Penyerapan tenaga kerja dan jasa setempat
• Ganti rugi lahan • Ceceran bahan kimia • Pembuangan lumpur bor
bekas • Emisi gas buang
• Ada peluang kerja • Spekulasi ganti rugi • Pencemaran air • Terganggunya kehidupan
flora dan fauna • Pencemaran udara
4 Produksi
• Penyerapan tenaga kerja dan jasa setempat
• Ceceran bahan kimia • Air terproduksi • Oil Sludge • Penggunaan B3 • Ceceran minyak mentah • Limbah domestik • Kebocoran pipa • Emisi gas buang (flare)
• Ada peluang kerja • Pencemaran tanah dan
air • Terganggunya kehidupan
flora dan fauna • Pencemaran udara
5 Transportasi
• Kebocoran pipa penyalur minyak
• Kebocoran tangki penampung
• Emisi gas buang (flare)
• Pencemaran tanah dan air
• Terganggunya kehidupan flora dan fauna
• Pencemaran udara Sumber : Soegiarto, 2007
35
menyangkut aspek-aspek biologi, geologi, hidrologi, fisik, kimia, sosial, ekonomi
dan budaya. Potensi dampak lingkungan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
minyak bumi dapat dilihat Tabel 2.
2.9. Pengelolaan SumberDaya Alam (SDA) dan Lingkungan
Ada lima prinsip pokok yang perlu kita integrasikan dalam setiap pengelolaan
lingkungan hidup, terlepas dari masalah lokasi, sektor maupun pihak yang
melakukannya (Keraf, 2000). Kelima prinsip tersebut adalah:
1) sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk tujuan kemakmuran rakyat
secara terus-menerus dari generasi ke generasi.
2) sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan
jujur di kalangan inter maupun antargenerasi.
3) dalam proses pemanfaatan sumberdaya alam harus mampu tercipta
kohesivitas masyarakat di kalangan berbagai lapisan dan kelompok
masyarakat serta mampu mempertahankan eksistensi budaya lokal.
4) pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan dengan pendekatan
sistem untuk mencegah terjadinya praktek-praktek pengelolaan sumber
daya alam yang bersifat parsial, ego sektoral atau ego-daerah dan tidak
terkoordinasi.
5) kebijakan dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam harus
bersifat spesifik lokasi dan disesuaikan dengan kondisi ekosistem dan
masyarakat sekitar.
Kelima prinsip dasar tersebut satu sama lain saling terkait dan pengaruh
mempengaruhi, sebagai satu-kesatuan mengandung makna bahwa kemakmuran
rakyat harus dicapai secara berkelanjutan dan berkeadilan. Pesan penting dari
prinsip ini adalah, jangan sampai kebijakan eksploitasi sumberdaya alam bersifat
sentralistik sehingga memacu kerusakan tanpa kendali, menimbulkan masalah
kemiskinan, menindas hak-hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat,
memudarkan budaya lokal dan bahkan kemudian memacu disintegrasi
kelompok-kelompok masyarakat dan Bangsa Indonesia (Keraf, 2000).
2.10. Pembangunan Berkelanjutan Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission
on Environment and Development - WCED, 1987) mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan hari kini
36
tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan mempunyai
tujuan jangka panjang, yaitu memikirkan pula kepentingan anak-cucu dalam
generasi yang akan datang.
Pembangunan yang berkelanjutan menggabungkan tiga bidang penting
yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi ke dalam sebuah perspektif tunggal yang
terpadu (Bebbington, 2001; Van Dieren, 1995). Integrasi/perpaduan kelompok-
kelompok dari tiga dari buah pilar pembangunan berkelanjutan membawa
kepada konsep-konsep efisiensi ekologi, keadilan ekologi dan efisiensi sosial
(Gambar 12).
Konsep pembangunan berkelanjutan muncul ketika terjadi ‘kegagalan’
pembangunan, saat proses yang terjadi bersifat top-down (arus informasi yang
terjadi hanya satu arah dari atas ke bawah) dan jika ditinjau dari sisi lingkungan,
sosial, dan ekonomi proses pembangunan yang terjadi ternyata tidak
berkelanjutan. Pelaksanaan konsep ini diperkuat lagi dengan kesepakatan para
pemimpin bangsa yang dinyatakan dalam hasil-hasil negosiasi internasional,
antara lain Deklarasi Rio pada KTT Bumi tahun 1992, Deklarasi Millennium PBB
tahun 2000, dan Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi tahun 2002 (Pelangi,
2003).
Gambar 14. Tiga sasaran pokok pembangunan berkelanjutan
Oleh karena itu maka sustainable development is more than ecological.
Bukan sekadar pencemaran, air bersih. It goes deeper, yaitu kebhinekaan. Inilah
prinsip pembangunan berkelanjutan. Kebhinekaan itu, meliputi berbagai aspek
dalam kehidupan. Semakin beraneka ragam dimensi ekologi, politik, ekonomi,
budaya, sosial, semakin stabil sistem itu (Salim, 1994).
Keberlanjutan Sosial
Keadilan ekologi
Efisiensi sosial
Efisiensi ekosistem
Keberlanjutan ekonomi
Keberlanjutan lingkungan
Pembangunan Berkelanjutan
37
2.11. Produksi Bersih
Penerapan produksi bersih pada industri dapat dilakukan dengan aplikasi
minimisasi limbah dan teknologi bersih. Penerapan teknologi bersih merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan kinerja perusahaan yang nantinya akan
terkait dengan penilaian program PROPER (environmental performance rating)
yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Dana Mitra Lingkungan,
2005).
Pengelolaan lingkungan berdasarkan end-of-pipe treatment terbukti
hanya menambah biaya produksi dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan
buangan atau limbah produksi. Produksi Bersih merupakan strategi pengelolaan
lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang dapat diterapkan oleh
perusahaan karena menggunakan pendekatan win-win antara bisnis dan
lingkungan. Pendekatan produksi bersih ini akan menurunkan biaya produksi,
meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta memperbaiki citra (image)
lingkungan dan hubungan dengan stakeholders lainnya. Dengan demikian
tujuan perusahaan yaitu laba (profit), pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan
usaha (sustainable business) akan tercapai (Dana Mitra Lingkungan, 2005).
Beberapa hal yang menyebabkan penerapan produksi bersih di indonesia
tidak bergaung, antara lain:
a. Pengertian produksi bersih yang belum sepenuhnya dipahami dengan baik
sehingga terkesan kurang menarik karena keuntungan dan kesempatan
potensial perbaikan belum diidentifikasi
b. Piranti dan insentif keuangan terhadap penerapan produksi bersih belum
tersebarluaskan.
c. Akses terhadap teknologi & keahlian produksi bersih di Indonesia masih
terbatas pada komunitas tertentu.
d. Kurangnya kebijakan yang mendukung penerapan produksi bersih dan
pemberian penghargaan bagi perusahaan maupun lembaga yang telah
berhasil melaksanakannya (Dana Mitra Lingkungan, 2005).
Produksi bersih (cleaner production) bertujuan untuk mencegah dan
meminimalkan terbentuknya limbah atau bahan pencemar lingkungan pada
seluruh tahapan produksi. Di samping itu, produksi bersih juga untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang, dan energi.
Dengan demikian, diharapkan sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan (Kompas, 2004) .
38
Bila kita melihat berbagai strategi yang diperlukan dalam pengelolaan
lingkungan terutama dalam hal meminimasi maupun menghilangkan limbah
maka terlihat ada empat strategi yakni pencegahan, daur ulang, perlakuan serta
pembuangan. Pencegahan (prevention strategy), merupakan strategi
pengurangan limbah yang terbaik karena telah dilakukan berbagai usaha secara
dini untuk mengurangi terbentuknya limbah selama proses produksi berlangsung.
Daur ulang (recycle strategy), strategi ini diimplementasikan bila terbentuknya
limbah sudah tidak dapat dihindarkan lagi sehingga salah satu strategi untuk
meminimasi terbentuknya limbah adalah dengan melakukan daur ulang maupun
pemanfaatan kembali. Dalam beberapa kasus, pemanfaatan limbah ini dapat
memberikan nilai komersial karena limbah dapat dijadikan produk yang bernilai
ekonomi (Sriharjo, 2001).
Perlakuan (treatment strategy), apabila limbah tidak dapat diminimisasi
maupun dikurangi dengan strategi daur ulang maupun pemanfaatan kembali
maka perlakuan terhadap limbah harus dilakukan dengan mengurangi baik
secara kualitas maupun kuantitas dari limbah yang terbentuk. Namun demikian,
implementasi strategi yang berdasarkan pada paradigma akhir pipa (end pipe
paradigm) telah berhasil dalam mereduksi kuantitas limbah namun tidak seefektif
bila menggunakan paradigma dalam pipa (in pipe paradigm).
2.12. Clean Development Mechanism (CDM)
Isu perubahan iklim masih menjadi bahan perdebatan banyak pihak
karena adanya perbedaan pemahaman tentang hal tersebut. Secara umum iklim
diartikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah
angin, kelembaban udara serta parameter lainnya dalam jangka waktu yang
panjang antara 50-100 tahun. Perubahan iklim ini terjadi akibat adanya proses
pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat
akumulasi panas yang tertahan di atmosfer yang terjadi akibat adanya efek
rumah kaca di atmosfer bumi. Efek rumah kaca itu sendiri merupakan suatu
fenomena gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah
menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah
mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali
ke atmosfer. Akan tetapi hanya sebagian yang dilepaskan ke angkasa luas
karena sebagian akan dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di
atmosfer ke permukaan bumi. Proses ini dapat berlangsung berulang kali,
39
sementara gelombang yang masuk juga bertambah terus sehingga akan terjadi
akumulasi panas di atmosfer. Menurut Protokol Kyoto, gas rumah kaca terdiri
dari enam jenis, yaitu karbondioksida (CO2), nitriksida (N2O), methane (CH4),
sulfurheksaflourida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC).
Secara alami, efek rumah kaca telah terjadi sejak terbentuknya atmosfer
bumi sehingga menjadikan suhu bumi menjadi hangat dan layak huni. Para ahli
mengatakan tanpa adanya atmosfer dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33o C
lebih dingin dibandingkan saat ini. Adanya kegiatan manusia (anthropogenic)
terutama sejak adanya revolusi industri, telah meningkatkan emisi GRK dengan
laju yang sangat tinggi sehingga efek rumah kaca di atmosfer semakin kuat.
Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil, merupakan
sumber utama emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian
alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah GRK yang diemisikan ke
atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan
iklim. Demikian pula dengan kegiatan peternakan dan pertanian yang
merupakan penyumbang gas metana yang kekuatannya 21 kali lebih besar
daripada gas karbondioksida. Data emisi GRK tahun 1990 yang dikeluarkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dalam First National Communication
to The UNFCCC pada tahun 1997 memberikan gambaran bahwa kegiatan
perubahan lahan dan kehutanan memberikan kontribusi terbesar bagi emisi GRK
yaitu sekitar 63%. Adapun sektor energi menempati urutan kedua, yakni kurang
lebih 25% dari total emisi.
Akumulasi peningkatan emisi GRK antropogenik secara umum telah
meningkatkan konsentrasi GRK seperti terlihat dalam Tabel 3. Uap air
merupakan GRK, tetapi tidak diperhitungkan sebagai GRK yang efektif dan tidak
dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena keberadaan atau masa
hidup (life time) H2O sangat singkat (9,2 hari). Sementara itu CO2, CH4 dan N2O
masa hidupnya di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15 dan 115 tahun,
sehingga meskipun emisinya dihentikan dengan segera, tetapi dampak dari
akumulasi GRK tersebut akan tetap dirasakan sampai puluhan bahkan ratusan
tahun. Dari Tabel 3, dapat dilihat pula bahwa meskipun konsentrasi dan laju
pertumbuhan CH4 dan N2O relatif rendah, tetapi kemampuan memperkuat radiasi
(radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang bersifat
lebih panjang dan lebih panas jauh lebih besar dibanding CO2 yang konsentrasi
dan pertumbuhannya jauh lebih besar. Kedua GRK tersebut masing-masing
40
mampu memperkuat radiasi sekitar 20 dan 200 kali kemampuan CO2. Hal ini
berarti bahwa kenaikan yang sekecil apapun dari kedua GRK tersebut harus
tetap dikendalikan (Murdiarso, 2003).
Tabel 3. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiarso, 2003)
Karakteristik CO2 CH4 N2O
Konsentrasi pada pra-industri
Konsentrasi pada 1992]
Konsentrasi pada 1998
Laju pertumbuhan per tahun
Persen pertumbuhan per tahun
Masa hidup (tahun)
Kemampuan memperkuat radiasi
290 ppmv
3550 ppmv
360 ppmv
1,5 ppmv
0,4
5-200
1
700 ppbv
1714 ppbv
1745 ppbv
7 ppbv
0,8
12-17
21
275 ppbv
311 ppbv
314 ppbv
0,8 ppbv
0,3
114
206
Keterangan: ppmv = part per million by volume, ppbv = part per billion by volume
Menurut Murdiarso (2003) sumber-sumber GRK baik yang bersifat alami
seperti interaksi lautan dan atmosfer, input energi matahari, atau letusan gunung
berapi, maupun yang bersifat antropogenik seperti pembakaran bahan bakar fosil
dan alih guna lahan, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan suhu secara
global. Hal tersebut berakibat pada terjadinya perubahan iklim yang memberikan
dampak terhadap kehidupan makhluk hidup di bumi. Mengingat perubahan iklim
ini bersifat global, maka dampaknya pun bersifat global pula. Tidak ada daerah
yang akan luput dari dampak perubahan iklim ini, yang berbeda hanya tingkat
adaptasi masing-masing wilayah terhadap perubahan iklim tersebut. Perubahan
iklim dapat menyebabkan terjadinya pencairan lapisan es baik di daerah kutub,
tapi juga di beberapa puncak gunung yang biasanya terselimut lapisan es. Sejak
dekade 1960-an, lapisan es yang menyelimuti bumi diperkirakan telah berkurang
sebanyak 10 persen (Pelangi, 2003).
Lapisan es yang mencair akan menimbulkan peningkatan volume air di
permukaan bumi secara keseluruhan terutama volume air laut yang pada
akhirnya akan menyebabkan peningkatan ketinggian muka air laut. Studi yang
dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan
bahwa dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut
setinggi 10 cm - 25 cm dan diperkirakan pada tahun 2100 peningkatan muka air
laut akan mencapai 15 cm - 95 cm dibandingkan saat ini. Kondisi seperti itu
41
dapat mengakibatkan banyak pulau-pulau serta wilayah pesisir tenggelam dan
mengakibatkan sekitar 46 juta orang yang hidup di pesisir pantai harus
mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Perubahan iklim juga berpengaruh
terhadap pergeseran musim, yaitu semakin panjangnya musim kemarau serta
semakin pendeknya musim hujan, sehingga akan timbul bencana kekeringan
yang memberikan dampak terhadap kegagalan panen serta krisisi air bersih.
Musim hujan meskipun lebih pendek, tetapi akan mempunyai intensitas yang
sangat tinggi, sehingga kondisi ini dapat menyebabkan semakin seringnya terjadi
bencana banjir, badai dan tanah longsor. Ketidakpastian musim akan
mengganggu para petani dalam menjalankan kegiatannya karena akan
menyebabkan musim tanam yang tidak menentu, sehingga dapat menurunkan
produksi pangan. Diperkirakan kerugian pada sektor pertanian di Indonesia
dapat mencapai US$ 6 miliar per tahun (Pelangi, 2003).
Terjadinya kenaikan permukaan air laut, dapat mengakibatkan pulau-
pulau kecil dan daerah landai di Indonesia tenggelam. Diperkirakan sekitar 2000
pulau akan hilang dari wilayah Indonesia (Pelangi, 2003). Akibatnya, masyarakat
nelayan yang tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak. Selain itu
kenaikan air laut akan merusak ekosisten hutan bakau (mangrove) serta
mengubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir. Masalah lain yang timbul
akibat naiknya muka air laut adalah memburuknya kualitas air tanah di perkotaan
akibat adanya intrusi air laut yang dapat merusak infrastruktur kota akibat
salinitas air laut. Perubahan iklim ini akan berpengaruh juga terhadap sektor
kehutanan, karena tidak semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi
sehingga menyebabkan terjadinya perubahan komposisi ekologi hutan. Spesies
yang tidak mampu beradaptasi akan punah, sedangkan yang lebih kuat akan
berkembang tidak terkendali. Panjangnya musim kemarau dapat pula memacu
peningkatan terjadinya kebakaran hutan. Selain itu, dampak perubahan iklim di
Indonesia dapat meningkatkan frekuensi penyakit tropis seperti malaria dan
demam berdarah. Pada akhirnya dampak negatif dari perubahan iklim ini akan
dirasakan dari segala bidang kehidupan. Secara ekonomi pada tahun 2000
kerugian akibat banjir, kebakaran hutan, topan serta musim kemarau di seluruh
Wilayah Indonesia berjumlah US$150 miliar dan menelan korban jiwa sebanyak
690 jiwa. Sementara studi yang dilakukan memperkirakan kerugian tahunan di
sektor pertanian sebesar Rp 23 miliar, di sektor pariwisata sebesar Rp 4 miliar
42
dan dana perbaikan infrastruktur pesisir yang di perlukan sekitar Rp 42 miliar
(Pelangi, 2003).
CDM atau mekanisme pembangunan bersih merupakan satu-satunya
mekanisme dalam Protocol Kyoto yang memungkinkan peran negara
berkembang untuk membantu Negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK.
Tujuan CDM seperti tertera dalam Artikel 12 Protokol Kyoto adalah :
1. membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam Annex I untuk
melaksanakan pembangunan berkelanjutan serta menyumbang pencapaian
tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi GRK
dunia pada tingkat yang tidak akan menggangu system iklim global
2. membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target
penurunan jumlah emisi negaranya
CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK
secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri
(domestic action). Dalam pelaksanaannya, komoditi yang diperjualbelikan dalam
CDM adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi atau yang dikenal dengan CER
(certified emission reduction). CER ini diperhitungkan sebagai upaya Negara
Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai
penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat
diperhitungkan dalam pemenuhan target emisi GRK Negara Annex I seperti yang
disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto (Murdiarso, 2003).
Menurut Murdiarso (2003) pada dasarnya CDM dapat dilakukan dengan
tiga cara (dikenal dengan CDM architecture), yaitu :
1. Bilateral CDM, yaitu pelaksanaan CDM antara satu Negara Annex I dan satu
negara berkembang. Pada umumnya dilakukan dalam bentuk investasi asing
yang besarnya setara dengan potensi reduksi emisi GRK yang dapat
dihasilkan oleh kegiatan tersebut. Investasi asing yang dihitung sebagai
CDM hanya berdasarkan pada CER yang dapat dihasilkan
2. Multilateral CDM, yaitu dengan mekanisme serupa dengan bilateral CDM,
tetapi berlangsung antara beberapa negara Annex I dengan beberapa negara
berkembang melalui sebuah lembaga “clearinghouse”.
3. Unilateral CDM, yaitu pelaksanaan kegiatan yang memiliki potensi reduksi
emisi GRK yang dibiayai dengan investasi domestik. Pada gilirannya,
investor dalam negeri ini akan mendapatkan CER yang dapat dijual kepada
negara Annex I
43
Proyek-proyek CDM harus memberikan keuntungan bagi masyarakat
lokal dalam hal lingkungan, sosal dan ekonomi. Sebagai jaminan adanya
dampak positif proyek CDM bagi masyarakat lokal, maka diharuskan adanya
partisipasi dari masyarakat di sekitar proyek CDM. Partisipasi masyarakat yang
merupakan proses publik yang menjadi salah satu syarat CDM ini harus
dilakukan sejak tahap awal perencanaan kegiatan CDM hingga proses
monitoringnya. Pemilik proyek diharuskan mengadakan proses publik yang
transparan dan obyektif untuk mendapatkan opini-opini dari masyarakat
mengenai kegiatan proyek tersebut. Proses publik tidak hanya dilakukan oleh
pemilik proyek, tapi juga oleh badan eksekutif CDM (CDM executive board,
CDM-EB) yang dilakukan saat proyek didaftarkan dengan mempublikasikan
dokumen proyek CDM dan meminta publik untuk memberikan opini atau
komentar mengenai kegiatan proyek tersebut dalam jangka waktu 30 hari
(Murdiarso, 2003).
Kegiatan CDM dapat dibedakan atas kegiatan yang menurunkan emisi
GRK pada sumber dan kegiatan yang menyerap GRK dari atmosfer. Kegiatan
yang menurunkan emisi dari sumber biasanya terfokus pada sektor yang
memanfaatkan energi, sementara kegiatan untuk menyerap GRK dari atmosfer
dikenal juga dengan carbon sequestration seperti kehutanan (Pelangi, 2003).
Sumber utama emisi GRK di sektor energi adalah pembakaran bahan
bakar minyak dalam proses produksi dan prosesing sumber energi primer
terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan proses pembakaran di
industri-industri lainnya. Umumnya sektor ini masih banyak menggunakan
teknologi yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah. Berdasarkan
catatan KLH (2000) banyak teknologi rendah emisi GRK yang tersedia di
pasaran untuk sector energi, namun demikian, karena berbagai sebab sebagian
besar masih sulit diterapkan.
Menurut IGES (2007) pengurangan emisi GRK di sektor energi umumnya
didasarkan pada prinsip-prinsip berikut :
• Mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis karbon dengan bahan
bakar non-karbon atau kandungan karbon rendah,
• Meningkatkan efisiensi pembakaran,
• Meminimalkan kebocoran metan dan dekarbonisasi.
Studi nasional di bidang energi (KLH, 2001) telah mengidentifikasi
kegiatan potensial untuk mengurangi emisi GRK (Tabel 4). Studi ini mengkaji
44
potensi berbagai opsi berdasarkan potensi teknis, biaya pengurangan emisi GRK
(marginal abatement costs) menggunakan pendekatan top-down (MARKAL-
based) dan project-based. Pada pendekatan berikutnya marginal abatement
costs dihitung dengan membagi perbedaan biaya antara dua opsi teknologi (base
case dan mitigation technology) dengan perbedaan emisi GRK pada opsi
teknologi yang sama. Biaya (dalam hal ini biaya per unit energi yang dihasilkan)
ditaksir dengan memperhitungkan biaya investasi, biaya bahan bakar, biaya
operasi dan pemeliharaan yang diperlukan dalam implementasi teknologi yang
bersangkutan (IPCC CHG inventory method, 1996).
Tabel 4. Teknologi rendah emisi pada industri minyak dan gas sektor hulu Industri Kondisi Saat Ini Opsi Teknologi
mitigasi GRK potensial
Potensi Pengurangan
GRK Minyak dan gas mentah/Hulu
Pembakaran gas bertekanan Rendah dan Sejenisnya
Penggunaan gas bakaran dari gas alam untuk substitusi dalam memproduksi minyak dan gas.
Meminimalkan pembakaran gas pada lading minyak didaratan
Sedikit atau tanpa memerlukan biaya (1,5 US$/t/CO2
Pengurangan CO2 pertahun : 10,5 juta ton
Total Potensi pengurangan GRK 84 juta ton.
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup 2000,2001
Lebih lanjut, telah diketahui bahwa pengurangan emisi dari pembakaran
gas dan produksi batu bara serta penggunaan energi terbarukan merupakan
proyek yang potensial untuk CDM di Indonesia. Departemen ESDM telah
mengadakan inventarisasi potensi energi terbarukan di Indonesia, demikian juga
potensi produksi minyak dan batu bara di seluruh propinsi menunjukkan potensi
volume proyek CDM energi di Indonesia. Sebagai contoh, perkiraan saat ini
menunjukkan bahwa Indonesia membakar sekitar 4.6 milyar m3 (meter kubik)
gas per tahun, yang menghasilkan sekitar 11 juta ton emisi CO2 per tahun.
Pemerintah Indonesia yakin bahwa gas bakaran dapat dimasukkan ke dalam
pembangkit tenaga listrik skala kecil dalam rangka memenuhi kebutuhan energi
yang semakin meningkat, dan pada saat yang sama menghasilkan pengurangan
emisi GRK (KLH 2001). Selain itu, potensi energi terbarukan juga sangat besar.
Banyak teknologi rendah emisi di sektor energi telah tersedia di pasar
dunia, tetapi banyak pula diantara teknologi tersebut intensif modal dan seringkali
45
sangat khas untuk kondisi lokal tertentu, sebagai contoh, dengan teknologi
penghambat emisi metan misal capturing dan menggunakan atau memompa
kembali residu dan purge gases, penggunaan pneumatic devices untuk
mengendalikan atau menghilangkan kebocoran, perbaikan dan penggantian
pipelines, dan penggunaan shut-off valves otomatis (KLH, 2001). Kendala dari
kebijakan juga umum dijumpai, misalnya, kebijakan pemberian subsidi bagi
bahan bakar fosil tidak mendorong pengalihan ke sumber energi terbarukan.
Namun demikian Pemerintah Indonesia secara perlahan mengurangi subsidi
bahan bakar fosil, yang mengakibatkan harga minyak meningkat dari Rp 1.400
per liter pada tahun 2001 menjadi Rp 2.400 per liter pada awal tahun 2005, dan
kenaikan yang tajam pada akhir tahun 2005. Hal ini dapat meningkatkan daya
saing energi terbarukan.
Kendala kebijakan dan regulasi lain yang membatasi implementasi proyek
gas flaring adalah kontrak bagi hasil. Ketentuan yang ada hanya mengatur bagi
hasil untuk produksi minyak dan gas tetapi tidak ada kebijakan bagaimana
pengaturan atas sertifikat CDM (certified emissions reduction/CERs) karena isu
ini masih dalam tahap diskusi di instansi terkait. Kendala lain adalah tingginya
investasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah teknis, seperti
peningkatan dan pemeliharaan sistim pipeline untuk mengurangi kebocoran.
Studi yang dimaksudkan untuk menangani masalah ini sedang berjalan yaitu
Indonesia's Carbon Finance Development for Gas Flaring Reduction, yang
didanai Bank Dunia (IGES, 2007).
2.13. Ekonomi Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan
Model produksi neoklasik mengasumsikan kapital dan tenaga kerja
(labor) sebagai input primer untuk produksi, Konsisten dengan asumsi ini, model
neoklasikal mengasumsikan kelangkaan (scarcity) diasumsikan sebagai harga
nyata SDA atau biaya-biaya ekstraksi kapital (K) – labor (L) sesuai dengan
indikator-indikator empiris kelangkaan (scarcity) (Cleveland, 1991). Hasil
penelitian Barnett dan Morse (1963) menyatakan bahwa biaya K – L per unit
output ekstraktif cenderung menurun, suatu kecenderungan yang mereka sebut
sebagai sebagai self generating perubahan teknologi.
Suatu model biofisik proses ekonomi mengasumsikan bahwa K dan L
adalah input antara yang dihasilkan dari hanya faktor produksi primer: energi dan
bahan yang rendah entrophy (low entrophy energy and matter). Model biofisik
46
kelangkaan SDA: biaya energi langsung dan tidak langsung dari ekstraksi SDA
akan meningkat dengan adanya penurunan stok (akibat deplesi), karena deposit
dengan kualitas rendah memerlukan lebih banyak energi untuk diekstraksi,
ditingkatkan kualitasnya dan diubah menjadi bahan-bahan mentah yang berguna
(Cleveland, 1991).
Peranan SDA sebagai lingkungan alam adalah sumber bahan mentah
(barang sumber daya) dan sebagai pengolah dan penampung limbah
(Suparmoko, 1995). Fungsi produksi adalah hubungan input dan output, secara
matematis digambarkan dengan persamaan (Suparmoko, 1995).
Y = f (K, L, R, T, S)
dengan Y, K, L, R, T, dan S berturut-turut adalah jumlah produksi, kapital, tenaga
kerja, jumlah barang SDA, teknologi, dan faktor sosial.
Produksi barang dan jasa merupakan hasil positif, sedangkan limbah /
sampah adalah hasil negatif. Dengan demikian justru hasil yang negatif itulah
yang harus mendapatkan perhatian dalam pembangunan berwawasan
lingkungan (Suparmoko, 1995). Terdapat hubungan yang positif antara
pembangunan ekonomi dan pencemaran lingkungan. Semakin giat
pembangunan ekonomi semakin tinggi pula derajat pencemaran lingkungan
(Suparmoko, 1995). Kegiatan produksi migas menghasilkan sesuatu yang
berguna untuk meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk, tetapi di lain pihak
karena adanya pencemaran lingkungan akan merupakan faktor yang menekan
kesejahteraan hidup penduduk, seperti dapat dilihat pada Gambar 15.
(+)
(-)
Gambar 15. Hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan eksploitasi migas (dimodifikasi dari Suparmoko, 1995).
Eksploitasi Migas
Pertumbuhan Ekonomi
Menipisnya Cadangan Migas
Pencemaran Lingkungan
Penduduk
47
Dengan meningkatnya jumlah penduduk, perekonomian harus lebih
banyak menyediakan barang/jasa (dalam hal ini contohnya produk migas) untuk
mempertahankan taraf hidup suatu bangsa. Namun peningkatan produksi migas
akan menuntut eksploitasi SDA yang harus diambil dari persediannya
(reservoir/cadangan). Sebagai akibatnya SDA migas akan semakin menipis
(depleted) dan pencemaran lingkungan akan meningkat pula sejalan dengan laju
pertumbuhan ekonomi (Suparmoko, 1995). Jadi pembangunan ekonomi
menghasilkan pertumbuhan ekonomi disertai dengan dua macam dampak, yaitu
dampak positif berupa tersedianya barang migas yang penting dalam
pembangunan ekonomi dan dampak negatif berupa pencemaran lingkungan
serta menipisnya SDA migas. Pencemaran lingkungan berupa kurang
nyamannya kehidupan, gangguan kesehatan, dan kerusakan SDA.
Berkurangnya cadangan migas: mengurangi kemudahaan dalam eksploitasi
migas, harus menjelajahi daerah-daerah terpencil dan sulit (remote area)
(Suparmoko, 1995).
2.14. Pengelolaan Lingkungan Sosial
Tidak bisa dipungkiri bahwa aspek sosial dalam pengelolaan lingkungan,
khususnya dalam pemanfaatan SDA, kurang mendapat perhatian (KLH, 2002).
Kemudahan memperoleh akses dalam pemanfaatan SDA berkorelasi dengan
terjadinya penumpukan kekayaan pada sebagian kecil orang dan pemodal asing.
Sementara sebagian besar warga masyarakat masih tetap berada pada garis
kemiskinan. Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan
pengelolaan SDA, yaitu adanya kecenderungan berupaya membawa bangsa ini
keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras SDA. Pengelolaan lingkungan dan
pemanfaatan SDA masih belum memperhatikan secara sungguh-sungguh aspek
sosial (KLH, 2000).
Kelompok masyarakat (komunitas) yang selama ini mengembangkan
potensi SD sosial yang terbukti efektif bagi pelestarian lingkungan hidup,
merupakan mitra pengelolaan lingkungan hidup yang perlu difasilitasi.
Banyaknya keluhan dari berbagai pihak tentang keterbatasan pemahaman
tentang lingkungan sosial dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup (KLH,
2002).
48
Perusahaan minyak bumi cenderung membangun infrastruktur dan
tinggal di dalam dunianya sendiri yang secara alamiah merupakan lokasi enclave
(Lindblad dalam Cleary dan Eaton, 1992). Mereka membangun perumahan
pegawai yang dilengkapi dengan fasilitas lengkap di dalam kompleks. Keadaan
yang demikian akan menimbulkan gap yang besar antara perusahaan dan
masyarakat lokal. Gap ini akan semakin besar jika perusahan tidak berpartisipasi
dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat di sekitarnya (Hilarius,
2000). Perusahaan migas memang sudah berpartisipasi dalam pembangunan
masyarakat lokal tetapi hal ini belum seimbang jika dibandingkan dengan
keuntungan yang diperoleh selama ini. Masyarakat selalu menuntut agar
perusahaan migas mau berpartisipasi lebih besar dalam pembangunan.
Masalah lain yang menimbulkan kecemburuan sosial adalah penerimaan tenaga
kerja. Menurut pengakuan masyarakat selama ini perusahaan migas tidak
mengutamakan orang lokal dalam penerimaan tenaga kerja (Hilarius, 2000).
Ketika eksploitasi minyak dan gas berlangsung, tuntutan masyarakat di
daerah sekitar semakin keras untuk menghentikan polusi dan mendapatkan
kompensasi yang adil. Tuntutan mereka mencakup kerusakan tanah, kehilangan
mata pencaharian dan perlakuan adil di tempat bekerja serta pembagian
keuntungan sampai tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut hengkang
dari wilayah mereka (Down To Earth, 2001). Tidak dipungkiri bahwa aspek
sosial, ekonomi dan budaya dalam pengelolaan lingkungan, khususnya dalam
pemanfaatan sumber daya alam (SDA), kurang mendapat perhatian. Masih
begitu banyak persoalan sosial yang dihadapi bangsa. Indonesia akhir-akhir ini,
mengalami berbagai konflik, khususnya konflik atau friksi sosial yang berkaitan
dengan benturan kepentingan pemanfaatan SDA, kesenjangan ekonomi dan
akses pada pemanfaatan SDA (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000).
Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan
pengelolaan sumber daya alam (SDA), yaitu adanya kecenderungan berupaya
membawa bangsa ini keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras sumber daya
alam secara berlebihan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin pengelolaan
SDA kembali akan mengabaikan kepentingan sosial (Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup, 2000). Sebagian kelompok masyarakat (komunitas) yang
selama ini mengembangkan potensi sumber daya sosial yang terbukti efektif bagi
pelestarian fungsi lingkungan, adalah mitra pengelolaan lingkungan hidup yang
perlu difasilitasi. Pemerintah diharapkan lebih giat mendorong masyarakat agar
49
semakin memiliki kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dirinya dalam
mengelola lingkungan hidup. Sehubungan dengan itu, selain diperlukan
profesionalitas dari pihak-pihak terkait yang mengelola lingkungan hidup, juga
diperlukan dukungan panduan tentang pengelolaan lingkungan sosial
(Budhisantoso, 2002).
Kegiatan pertambangan migas selalu terkait dengan komunitas
masyarakat sekitarnya (Warnika, 2006). Komunitas masyarakat yang terjangkau
kegiatan operasi migas ini selalu diberi penjelasan dan sosialisasi sejak dini
mengenai konsekuensi kegiatan hulu migas, dengan harapan dapat membangun
rasa saling percaya terhadap masalah-masalah yang dikawatirkan akan timbul.
Keterlibatan masyarakat dalam mendukung kelangsungan kegiatan
eksploitasi migas sangat berperan penting bagi kelangsungan dan keberhasilan
industri migas yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.
Hubungan timbal balik tersebut dituangkan dalam bentuk keterbukaan yang
nyata antara pihak masyarakat dan perusahaan migas termasuk penyebar-
luasan informasi tentang kegiatan program pengelolaan lingkungan dan program
pengembangan masyarakat (Warnika, 2006).
Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR)
oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan
pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam (Wibowo, 2004). Kasus
Buyat yang terjadi tahun 2004 dan Lapindo Brantas yang sekarang menjadi EMP
Brantas (2006) adalah contoh terbaru, tentang bagaimana realisasi tanggung
jawab sosial itu atas terjadinya pencemaran lingkungan. CSR berkaitan dengan
peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep
kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam
mewujudkan CSR.
Dalam artikel How Should Civil Society (and The Government) Respond
to Corporate Social Responsibility? Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi
yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Telaah Hamann dan
Acutt (2003) sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia
dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan
penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat
pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan (Wibowo, 2004). Tidak
50
ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat
global maupun lokal.
Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct
implementasi CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional
independen (Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara
OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), juga
organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia,
acuannya belum ada. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah
manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR
yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan
kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi)
serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik
(Wibowo, 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa sifat CSR yang sukarela,
absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum
telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang
memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Dalam hal ini yang lebih dipentingkan
adalah show dari buku laporan tahunan, sehingga Laporan Sosial Tahunannya
tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana
program pembangunan komunitas yang telah direalisasi.
Salah satu bentuk kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan adalah
kegiatan pengembangan masyarakat (community development). Kontribusi
Kontraktor KKS bagi pengembangan masyarakat telah lama dan terus dilakukan.
Program pengembangan masyarakat bukan sekadar “pemberian” tetapi
merupakan bentuk kepedulian sosial BPMIGAS-KKKS dan keinginan mendukung
pemerintah untuk membangun masyarakat yang lebih maju dan sejahtera
(Warnika, 2006). Program pengembangan masyarakat (community development,
CD) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan eksplorasi dan
produksi minyak dan gas bumi Indonesia. Selama kurun waktu dua tahun, 2002
hingga saat ini berbagai program pengembangan masyarakat telah dilaksanakan
dengan difokuskan terhadap ekonomi masyarakat, pendidikan & kebudayaan,
kesehatan, fasilitas sosial & fasilitas umum dan lingkungan (Sudibyo, 2004).
2.15. Pendekatan Sistem
Sistem analisis adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mulai
dikembangkan kurang lebih pada tahun 1968. Sistem sendiri diartikan sebagai
51
suatu gugus atau kumpulan dari suatu elemen yang saling berinteraksi untuk
mencapai tujuan bersama secara holistik. Hal sesuai dengan pendapat
Manetsch dan Park (1977) yang mengatakan bahwa sistem adalah suatu gugus
atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai
tujuan. Menurut O’Brien (1999) sistem merupakan bentuk atau struktur yang
memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional.
Dengan demikian, maka setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen
yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi
tertentu. Sistem mencakup bagian fisik dan manusia yang hidup di dalamnya.
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan sistem adalah salah satu
cara penyelesaian masalah yang dimulai dengan mendefinisikan atau
merumuskan tujuan dan hasilnya adalah sistem operasi yang secara efektif
dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno, 1998).
Selanjutnya dikatakan bahwa pendekatan sistem juga akan memberikan
penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi,
menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen
yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer
untuk mencapai tujuan yang sama.
Pada pendekatan sistem ditekankan perlunya pendekatan lintas disiplin
guna memahami dunia nyata secara efektif. Pendekatan sistem ini diperlukan
terutama untuk memahami dan menyelesaikan masalah lingkungan. Hal ini
disebabkan permasalahan yang ada di lingkungan pada umumnya merupakan
permasalahan yang kompleks dan saling kait-mengkait serta berinteraksi satu
sama lain, oleh karenanya, maka diperlukan berpikir lintas disiplin sehingga
pemahaman dan penyelesaian dari masalah dapat dilakukan secara totalitas,
mendalam dan terstruktur. Struktur dalam sistem juga harus merupakan struktur
yang terintegrasi agar informasi sistem dapat dipahami secara utuh dan bukan
informasi parsial, sehingga struktur informasi yang diperoleh akan terintegrasi
yang mudah untuk dipelajari (Forrester, 1972).
2.15.1. Sistem Dinamik Salah satu alat yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang
kompleks melalui pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model
simulasi sistem dinamis. Adanya simulasi ini memungkinkan untuk
mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari
52
input sistem dan parameter model. Berdasarkan hal tersebut, maka model
simulasi diharapkan dapat memberikan penyelesaian dunia riil yang kompleks
(Eriyatno, 2003).
Adapun yang dimaksud dengan sistem dinamis adalah sistem yang
memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu, sebagai akibat dari
perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Menurut Forrester
(1961) dalam Coyle (1955) dalam Atmoko (2001), sistem dinamik merupakan
investigasi karakteristik umpan balik informasi dari sistem (yang dikelola) dan
penggunaan model-model untuk meningkatkan disain bentuk organisasional dan
pedoman kebijakan. Menurut Djojomartono (2000) nilai output dari sistem
dinamis sangat tergantung pada nilai sebelumnya, terutama yang berasal dari
variabel input.
Dalam menyusun model sistem dinamis, hal pertama yang harus
dilakukan adalah menentukan struktur model. Struktur model pada dasarnya
akan memberi bentuk pada sistem dan akan mempengaruhi perilaku sistem.
Perilaku sistem itu sendiri terbentuk dari kombinasi perilaku simpal umpan balik
(causal loops) yang menyusun struktur model. Perilaku model ini selanjutnya
disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses,
keluaran. Berdasarkan perilakunya, memperlihatkan bahwa unjuk kerja (level)
dari model sistem dinamis, berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat
dinamis.
Menurut De Greene (1982) dalam Schoderbek et al. (1985) dan Atmoko
(2001) karakteristik sistem dinamik ada empat, yaitu :
i. Sistem tertutup, pada sistem tertutup ini, sebenarnya sistem tidak benar-
benar tertutup, karena masalah dan energi masuk ke dalam sistem dari
lingkungannya. Namun karena feedback loop tidak dapat melintasi batasan
sistem maka sistem dapat dipertimbangkan sebagai sistem tertutup.
ii. Feedback loops. Pada dasarnya di dalam sistem ada dua umpan balik, yakni
pertama umpan balik positif yang menunjukan naik/turunnya akibat dengan
sebab-akibat searah. Kedua umpan balik negatif yakni naik/turunnya
penyebab mengakibatkan pengaruh sebaliknya yaitu menurunkan atau
menaikkan akibat.
iii. Variabel state dan rate (variabel state) yang mengindikasikan kondisi atau
akumulasi dari sistem pada waktu tertentu. Adapun yang dimaksud dengan
variabel rate adalah aliran yang mengatur ‘kuantitas’ dalam state.
53
iv. Rate mengontrol melalui kebijakan (perilaku sistem dikontrol oleh rate).
2.15.2. Pengertian Model dan Permodelan Menurut Fauzi dan Anna (2005) model tidak lain adalah representasi
suatu realitas dari seorang pemodel. Hal ini mengandung arti bahwa model
adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking)
untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merenprentasikan
ini disebut modelling atau permodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir
melalui sekuen yang logis. Secara skematis, proses permodelan tersebut dapat
digambarkan pada Gambar 16.
Gambar 16. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005)
Dari Gambar 14 terlihat bahwa model dibangun atas proses berpikir
(melalui indra fisik) dari dunia nyata yang kemudian diinterprestasikan melalui
proses berpikir, sehingga menghasilkan pengertian dan pemahaman mengenai
dunia nyata. Pemahaman ini tidak bisa sepenuhnya menggambarkan realitas
dunia nyata (daerah irisan antara dunia nyata dengan dunia model), sehingga di
dalam permodelan dikenal istilah “there is no such thing as one to one maping”
(tidak ada peta satu banding satu). Selain itu, model dirancang bukan untuk
memecahkan masalah sekali untuk selamanya (once and for all) atau
memecahkan semua masalah. Di dalam model tidak ada istilah “there is no such
thing as solution for the real life problem”yang menjadi kunci dari semua
masalah, sehingga dalam permodelan, penting untuk merevisi dan meng-
upgrade strategi. Secara umum segala sesuatu berubah, mengalir dan tidak ada
yang tetap, oleh karena itu maka permodelan juga dapat dikatakan sebagai
Ditampilkan kembali sebagai hasil proses berpikir
Ditampilkan melalui indra persepsi
Dunia Model
Dunia Nyata
Permodel
54
proses menerima, memformulasikan, memproses dan menampilkan kembali
persepsi dunia luar Fauzi dan Anna (2005).
Di dalam proses interprestasi dunia nyata tersebut ke dalam dunia model,
berbagai proses transformasi atau bentuk model bisa dilakukan. Ada model
yang lebih mengembangkan interprestasi verbal (seperti bahasa), ada yang
diterjemahkan kedalam bahasa simbolik, seperti bahasa matematika, sehingga
menghasilkan model kuantitatif. Untuk menjembatani dunia nyata yang dalam
persepsi manusia bersifat kualitatif menjadi model yang bersifat kuantitatif yang
kokoh. Tom Peters (dalam Fauzi dan Anna, 2001), seorang ahli permodelan
pernah mengatakan bahwa “if you can’t measure it, you can’t manage it”, dengan
kata lain pengukuran dalam membangun model sangat penting, sebab dapat
menentukan seberapa jauh model yang dibangun bisa dikendalikan dan dikelola
(Fauzi dan Anna, 2005). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 17.
The need for a measurable & numirical scale system
Gambar 17. Transformasi kualitatif-kuantitatif (Fauzi dan Anna, 2005)
Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa boks di sebelah kiri dan boks di
sebelah kanan merupakan “esensi seni” dari permodelan, sementara boks di
tengah merupakan esensi pemecahan dari model. Oleh karena itu, dalam
permodelan dikenal istilah “modeling is an art, solving is a science” (permodelan
adalah seni, sementara memecahkan model adalah sains) (Fauzi dan Anna,
2005).
2.15.3. Jenis-Jenis Model Secara umum model dapat dikatagorikan berdasarkan skala waktu dan
tingkat kompleksitas yang dicerminkan dari aspek ketidakpastian. Jika model
tidak mempertimbangkan aspek waktu, model tersebut kita sebut model statis.
Jika aspek waktu (intertemporal) dipertimbangkan, model tersebut kita sebut
model dinamik. Jika kemudian model yang dibangun mempertimbangkan aspek
ketidakpastian yang lebih menggambarkan realitas dunia nyata, model tersebut
kita sebut model yang bersifat deterministic. Jika ketidakpastian dimaksudkan ke
Persepsi Kualitatif
Dunia Nyata
Measuring Tools &
Decision Process
Model kuantitatif untuk pengambil
keputusan
55
dalam model, model tersebut kita sebut model yang bersifat stochastic. Interaksi
antara skala waktu dan ketidak pastian akan menghasilkan model yang lebih
kompleks lagi, seperti model yang dinamis-stochastic. Menurut Fauzi dan Anna
(2005) jenis-jenis model tersebut secara digrafis dapat dilihat pada Gambar 18.
Pada Gambar 18 arah panah dari kiri ke kanan menggambarkan derajat
kompleksitas model. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh panah bergerak
ke kanan, semakin rumit model yang dibangun.
M o d e l
D im a s u kk a n ?
T in g k a tK e p a s t ia n
S k a la W a k t u( t im e s c a l a )
D in a m ik
D ip e r t i mb a n g k a n ?
D i n a m i kD e t e r m in i s t i k
D in a m i kS t o c h a s t i c
S t a t i k S t a t i kD e t e r m i n i s t i k
S t o c h a s t i c
Y
NN
Y
Gambar 18 Jenis-jenis model (Sumber: Fauzi dan Anna 2005)
2.15.4. Proses Pemodelan
Dalam membangun sebuah model diperlukan beberapa tahapan agar
dihasilkan model yang reliable. Secara umum tahapan-tahapan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 19. Dari Gambar 19 terlihat bahwa tahapan identifikasi,
khususnya identifikasi masalah yang dibangun dari berbagai pertanyaan, menjadi
sangat penting untuk membangun suatu model. Kelemahan mengidentifikasi
masalah sering menjadi penyebab tidak validnya suatu model karena menjadi
semacam tautology.
Setelah identifikasi masalah dilakukan, langkah berikutnya dalam
membangun model adalah membangun asumsi-asumsi. Hal ini diperlukan
karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, model adalah penyederhanaan
realitas yang kompleks. Oleh karena itu, setiap penyederhanaan memerlukan
asumsi, sehingga ruang lingkup model berada dalam koridor permasalahan yang
akan dicari solusi atau jawabannya (Fauzi dan Anna 2005). Setelah asumsi
Sederhana Kompleks
56
I d e n t i f i k a s i
M e m b a n g u n A s u m s i
K o n s t r u k s i M o d e l
A n a l i s i s
I n t e r p r e t a s i
V a l i d a s i
I m p l e m e n t a s i
N
Y
dibangun, langkah berikutnya adalah membuat kontruksi dari model itu sendiri.
Hal ini dapat dilakukan baik melalui hubungan fungsional dengan cara membuat
diagram, alur, maupun persamaan-persamaan matematis. Konstruksi model ini
dapat dilakukan baik dengan bantuan computer software maupun secara analitis.
Tahapan berikutnya yang cukup krusial dalam membangun model adalah
menentukan analisis yang tepat. Tahapan ini adalah mencari solusi yang sesuai
untuk menjawab pertanyaan yang dibangun pada tahap identifikasi. Dalam
pemodelan, analisis ini biasanya dilakukan dengan dua cara, pertama dengan
melakukan optimisasi, kedua dengan melakukan simulasi. Optimisasi dirancang
untuk mencari solusi “what should happen” (apa yang seharusnya terjadi),
sementara simulasi dirancang untuk mencari solusi “what would happen” (apa
yang akan terjadi). Masing-masing analisis tersebut di atas memiliki kelebihan
dan kekurangan, sehingga keduanya dapat dipergunakan sesuai dengan
kebutuhan permasalahan yang harus dijawab (Fauzi dan Anna, 2005).
Tahap selanjutnya dalam pengembangan model adalah melakukan
interpretasi atas hasil yang dicapai dalam tahap analisis. Interpretasi ini penting
dilakukan untuk mengetahui apakah hasil tersebut memang masuk akal atau
tidak. Interpretasi juga diperlukan untuk mengkomunikasikan keinginan si
pemodel dengan hasil analisis yang dilakukan menggunakan komputer atau alat
pemecah model lainnya (solver). Tahapan ini diperkuat dengan tahapan
Gambar 19. Sekuen proses pemodelan (Sumber: Fauzi dan Anna 2005)
57
Decision Problem
Analysis Stage
Mathematical Model
Validated?
Computer ImplementationVerified?
Control Stage
Implementation
Design Stage
Interpreted Solution
Yes
Yes
No
No
berikutnya, yaitu validasi model, yang tidak hanya menginterpretasikan model,
tapi juga melakukan verifikasi atas keabsahan model yang dirancang dengan
asumsi yang dibangun sebelumnya. Model yang valid tidak saja mengikuti
kaidah-kaidah teoritis yang sahih, namun juga memberikan intrepretasi atas hasil
yang diperoleh mendekati kesesuaian dalam hal besaran, uji-uji standar seperti
statistik, dan prinsip-prinsip matematik lainnya, seperti first order condition,
second order condition, dan sebagainya. Jika sebagian besar standar verifikasi
ini dapat dilalui, model dapat diimplementasikan. Namun, jika sebaliknya, maka
konstruksi model harus dirancang ulang (Fauzi dan Anna, 2005).
Proses membangun model dapat juga diikuti melalui loop permodelan
sebagaimana digambarkan pada Gambar 20 meski secara prinsip langkah
pemodelan yang dijabarkan Gambar 20 tidak jauh berbeda dengan apa yang
telah diuraikan sebelumnya (Gambar 19). Pada Gambar 20 ada beberapa
langkah spesifik yang harus ditempuh, seperti validasi dan verifikasi, misalnya
implementasi komputer. Sama halnya dengan sekuen permodelan, pada
Gambar 20. Loop permodelan (Sumber: Fauzi dan Anna, 2005)
langkah looping pemodelan, penentuan masalah merupakan titik awal sekaligus
akhir dari membangun model. Setelah masalah diidentifikasikan, selanjutnya
dilakukan tahapan analisis yang tidak lain dari membangun model “matematik”
atau mental modeling. Hasil dari langkah ini harus divalidasi terlebih dahulu
berdasarkan kaidah-kaidah teori dan permasalahan yang akan dipecahkan. Jika
58
tidak memenuhi syarat validasi, pemodel harus kembali memformulasikan
masalahnya secara benar. Jika hasil validasi memenuhi syarat, baru kemudian
dilakukan implementasi komputer, baik melalui optimisasi maupun simulasi,
harus diverifikasi terlebih dahulu sebelum diinterpretasikan dan
diimplementasikan. Keseluruhan proses tersebut baru dapat digunakan untuk
mengimplementasikan permasalahan awal yang telah dibangun sebelumnya
(Fauzi dan Anna 2005). Tahapan simulasi model sebagai alat bantu dalam
analisis kebijakan dapat dilihat pada Gambar 21.
a. Pembuatan Konsep
Tahap pertama adalah mengenali permasalahan, mencari siapa yang
menanganinya, dan mengapa masalah tersebut terjadi. Salah satu yang menarik
dari system dynamics ini adalah mempelajari ulang permasalahan untuk
mendapatkan solusi. Pada tahap ini suatu kejadian dipelajari sehingga
mendapatkan suatu pola. Setelah mendapatkan suatu pola maka dapat
merumuskan suatu permasalahan. Pola tersebut dinamakan mental model
(Muhammadi et al., 2001).
Gambar 21. Tahap-tahap pembuatan simulasi model (Sumber: Muhammadi et al., 2001)
Setelah memahami permasalahan, maka mental model yang dihasilkan
dijabarkan dalam sebuah model diagram yang disebut dengan diagram simpal
Masalah
Diagram Simpal Kausal
Grafik/Tabel
Data Model
Pembuatan Konsep
Validasi
Tidak Valid Valid
Pembuatan Model Uji Simulasi
Uji Sensitivitas Analisis Kebijakan
59
kausal atau causal loop diagram (CLD). Causal loop diagram adalah
pengungkapan tentang kejadian hubungan sebab-akibat ke dalam bahasa
gambar tertentu. Panah yang menggambarkan hubungan, saling mengait
sehingga membentuk sebuah causal loop, dimana hulu panah mengungkapkan
sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat (Muhammadi et al., 2001).
b. Pembuatan Model Setelah CLD terbentuk, kemudian dibangun sebuah model komputer
yang disebut dengan diagram alir atau stock flow diagram (SFD). Pada tahap ini
dapat dipilih satu dari beberapa perangkat lunak yang tersedia misalnya
Powersim 2.5. CLD diterjemahkan lebih luas dengan menggunakan simbol-
simbol komputer sesuai dengan perangkat lunak yang dipilih. Simbol-simbol
tersebut meliputi simbol yang menggambarkan stock (level), flow (rate), auxiliary,
dan konstanta (Muhammadi et al., 2001).
c. Memasukkan Data Ke Dalam Model (Data Input) Untuk dapat menganalisis sebuah model, maka data yang diperoleh dari
observasi lapangan (baik data primer maupun data sekunder) diinput ke dalam
diagram alir (SFD). Metode memasukkan data ke dalam model sangat
bergantung pada jenis data dan sebagai unsur apa data tersebut dimasukkan.
Data dapat dimasukkan ke dalam model sebagai stock, sebagai flow, sebagai
auxiliary, dan dapat pula sebagai konstanta (Muhammadi et al., 2001).
d. Simulasi Model Berdasarkan model/diagram alir/struktur yang telah dimasukkan data,
dilakukan simulasi untuk mendapatkan hasil. Sebelum simulasi dilakukan terlebih
dahulu ditentukan spesifikasi simulasi yang meliputi kurun waktu simulasi (time
range), metode integrasi (integration method), dan inkremen waktu (time step).
Keluaran hasil simulasi dapat berupa grafik perilaku waktu (time graph) atau
tabel perilaku waktu (time table) (Muhammadi et al., 2001).
e. Validasi Model Validasi model adalah kegiatan membandingkan hasil simulasi dengan
karakteristik patron serta data empirik, sehingga model ini dapat
dinyatakan sebagai model yang valid dan dapat digunakan untuk
menirukan keadaan dunia nyata. Validasi utama yang dilakukan adalah uji
60
konsistensi dimensi dan validasi output dengan menggunakan metode statistik
sederhana yaitu menghitung AME (absolute mean error) atau AVE (absolute
variation error) antara data hasil simulasi dengan data empirik (Muhammadi et
al., 2001).
f. Uji Sensitivitas untuk Intervensi Model dan Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi
sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Sebelum menentukan kebijakan
yang akan diambil, maka berdasarkan model yang telah dinyatakan valid
ditentukan variabel yang memiliki sensitivitas tinggi, dengan melakukan uji
sensitivitas. Tujuan uji sensitivitas adalah untuk mendapatkan titik
pengungkit (leverage point) yang digunakan sebagai titik intervensi
kebijakan. Penentuan kebijakan yang optimal dapat ditempuh melalui
intervensi ini (Muhammadi et al., 2001).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di dalam areal wilayah kuasa pertambangan
(WKP) PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa area operasi
timur dan wilayah kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kelurahan/Desa
Amis, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Lokasi
penelitian terletak pada koordinat 107°51°-108°36° bujur timur dan 6°15°-6"40°
lintang selatan (Gambar 20). Beberapa pertimbangan dalam pemilihan lokasi
penelitian ini, diantaranya adalah:
1. Merupakan daerah penghasil minyak mentah (crude oil) terbesar di wilayah
kuasa pertambangan (WKP) dari PT Pertamina EP, produksinya sekitar
18.092 barrel perhari (BOPD) dengan mengandung cukup besar gas ikutan
atau gas ikutan yang dimanfaatkan dengan cara mengekstraksi menjadi LPG
(liquid petroleum gas), lean gas dan condensate oleh PT.SDK.
2. Kandungan gas ikutan atau gas ikutan (flaring gas) cukup besar, terutama
mengandung karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NOx),
dan sulfur dioksida (SO2).
3. Sejalan dengan target pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
akan minyak mentah (crude oil) sebesar 1 juta barrel perhari (BOPD) serta
mencukupi kebutuhan akan LPG untuk konsumsi rumah tangga dan industri,
maka Manajemen PT. Pertamina EP Region Jawa melalui program NFG (no
flare gas) menargetkan kenaikan produksi minyak mentah (crude oil) yang
diikuti dengan turunnya gas ikutan agar tercapai pelaksanaan mekanisme
pembangunan bersih dan kemandirian dalam ketahanan di bidang energi.
4. Pemanfaatan gas ikutan itu bersifat site spesific, tergantung lokasi stasiun
pengumpul utama (gathering station) dan keadaan dari lapangan minyak (oil
field) sehingga setiap lapangan minyak akan memberikan hasil yang berbeda
5. Daerah tersebut merupakan lokasi yang terkait langsung dengan penyediaan
prasarana proses pemanfaatan gas ikutan yang dilaksanakan oleh
perusahaan PT. Sumber Daya Kelola (SDK) yang berdampak pada
pengurangan gas rumah kaca (GRK).
Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Desember
2008. Pada saat dilakukan pengambilan data di lapangan, pada saat yang
bersamaan juga dilakukan pengolahan data dan penyusunan disertasi.
62
Gambar 22. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Cikedung, Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat (PT. SDK, 2008) 3.2. Rancangan Penelitian
Penelitian dirancang dalam empat tahapan kajian, yaitu 1) kajian kondisi
eksisting sistem pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan, 2) studi
kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan, 3) pengembangan desain model
pengelolaan gas ikutan, dan 4) perumusan arahan rekomendasi kebijakan dan
strategi pengelolaan migas yang ramah lingkunan dan berkelanjutan. Tahapan
penelitian secara sederhana dapat dilihat seperti diagram alir pada Gambar 23.
3.2.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer bersumber dari hasil survai lapangan terutama data sosial-ekonomi dan
persepsi masyarakat, serta hasil analisis kualitas gas terproduksi olahan di
laboratorium. Sedangkan data sekunder seperti data penduduk, produksi minyak
bumi, air terproduksi, data pengelolaan lingkungan, biaya produksi, limbah cair
dan lain-lainnya.
Lapangan Migas Tugu Barat,
63
Gambar 23. Diagram alir tahapan penelitian a. Data Primer Data primer aspek fisik kimia yang dikumpulkan pada penelitian ini
meliputi data eksisting kualitas udara terutama karbon dioksida (CO2), metana
(CH4), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SO2) yang merupakan polutan
untuk udara (atmosfir), data ruang hijau terbuka, data hidrologi, data ekologi,
data sosial ekonomi, data persepsi stakeholder terhadap pemanfaatan gas ikutan
dan pencemaran akibat adanya gas ikutan yang tidak dimanfaatkan, data
teknologi, data fisik lingkungan, pengolahan gas ikutan, kapasitas instalasi
pengolah gas ikutan, volume gas ikutan per satuan waktu, quality controll
terhadap gas ikutan, produk olahan gas ikutan, zonasi peruntukan lahan serta
data hukum dan kelembagaan. Data ini diperoleh melalui pengambilan secara
langsung di lapang (pengukuran di lapang dan di laboratorium). Selain itu juga
dilakukan perhitungan terhadap konsentrasi CO2, metana (CH4) dan nitrogen
oksida (NOx) yang didasarkan pada perhitungan yang terdapat pada Guidelines
for National Greenhouse Gas Inventories (IPCC, 2006).
64
Sedangkan data primer sosial ekonomi pada penelitian ini dilakukan
melalui observasi lapang dan wawancara dengan masyarakat, pengusaha dan
para pakar dengan bantuan kuesioner di sekitar Wilayah Operasi Lapangan Tugu
Barat. Secara garis besar data primer sosial ekonomi yang akan diambil pada
penelitian ini antara lain adalah struktur ekonomi, jumlah penduduk, tingkat
pertumbuhan penduduk, pengeluaran keluarga, laju pertumbuhan ekonomi,
pendapatan/ produktivitas per kapita, pengeluaran keluarga, sektor
pembangunan unggulan, pemerataan pendapatan dan penyebaran aktifitas
ekonomi di sekitar lokasi penelitian.
b. Data Sekunder Data sekunder yang diambil adalah data saat ini dan data pada tahun-
tahun sebelumnya (time series) yang diambil dari instansi terkait seperti dari
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat, Badan
Meteorologi dan Geofisika berupa data kualitas udara, data kualitas gas ikutan
dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) QQ Direktorat
Jenderal Minyak dan Gas (DitJend Migas) dan perusahaan lokasi penelitian,
data hidrologi yang meliputi debit air, pola drainase, neraca air, temperatur udara,
curah hujan, penyinaran matahari, sarana dan prasarana pengolahan gas ikutan,
sarana dan prasarana lingkungan di lokasi penelitian. Selain itu juga
dikumpulkan data mengenai dokumen amdal, kinerja lingkungan (RKL dan RPL).
Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber, yaitu:
a. Studi literatur tentang eksploitasi gas bumi, pembangunan berkelanjutan,
pengelolaan air terproduksi, pengelolaan gas-gas kontaminan dan
pengelolaan lingkungan fisik, sosial dan ekonomi.
b. Sistem manajemen lingkungan dan hasil studi lingkungan: AMDAL, UKL-
UPL, environmental baseline study, studi sosial, ekonomi dan budaya dan
lain-lainnya yang pernah dilakukan.
c. Hasil pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Data
tersebut adalah hasil pengukuran kualitas air (air limbah), dan flora dan
fauna darat.
d. Laporan Program Peringkat Kinerja Pengelolaan Lingkungan (PROPER).
e. Data ekonomi dan sosial, diperoleh dari BPS, Departemen Keuangan dan
BPS Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Indramayu.
65
Adapun format pengumpulan data yang dilakukan pada saat mengumpulkan data
primer dan sekunder dapat dilihat pada Tabel 5:
Tabel 5. Format pengumpulan data Lapangan Tugu Barat.
No. Uraian Data Satuan Keterangan
1 Produksi gas bumi MMSCFD 2 Jumlah sumur produksi Buah 3 Limbah cair – air terproduksi BOPD/hari 4 Limbah padat non-B3 m3/ tahun 5 Limbah B3 m3/ tahun 6 Limbah padat m3/ tahun 7 Jumlah cerobong (stack) buah 8 Emisi udara NOx (Hasil pengukuran) Ton/tahun 9 Gas Rumah Kaca CO2 Ton/tahun
10 Gas Rumah Kaca NOx (Hsl perhitungan) Ton/tahun 11 Biaya pengelolaan lingkungan Rp/tahun 12 Biaya pengelolaan lingkungan sosial Rp/tahun 13 Luas areal fasilitas operasi produksi Hektar
Data sekunder sosial ekonomi akan diperoleh dari berbagai instansi
terkait yang meliputi jumlah dan komposisi penduduk, jumlah keluarga, tingkat
kesehatan, tingkat pendidikan, pola pekerjaan, kesempatan kerja, jumlah tenaga
kerja, kegiatan sosial, luas wilayah, kondisi perumahan, status pemilikan lahan,
tingkat aksesibilitas masyarakat di lokasi penelitian.
3.2.2. Teknik Penetapan Responden Dalam rangka menggali informasi dan pengetahuan atau pendapat pakar
digunakan metode expert judgment. Untuk keperluan ini pakar ditentukan secara
purposive sampling. Dalam menentukan pakar mana yang dijadikan responden
ada beberapa persyaratan yang diberlakukan yakni keterjangkauan dan
kesediaan responden untuk diwawancarai, mempunyai reputasi, kedudukan dan
telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar pada bidang yang diteliti, dan
telah berpengalaman di bidangnya, minimal dalam waktu dua tahun.
Responden pakar mewakili sebagian stakeholders seperti Manajemen
Perusahaan, Kepala Bagian Pengembangan di Depperindag, Ketua Bapedalda,
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kepala Dinas Pertambangan, Kepala Dinas
Lingkungan Hidup, pengusaha, akademisi, dan LSM. Dengan demikian maka
66
pakar yang terpilih diharapkan dapat mewakili unsur birokrasi, akademisi, pelaku
usaha, dan organisasi yang peduli terhadap lingkungan
3.2.3. Pengambilan Sampel Udara
Pengambilan sampel udara dilakukan pada titik-titik tertentu yang
dianggap mewakili lokasi penelitian, dan akan dilakukan tiga kali ulangan (bulan
I, II dan III). Adapun lokasi pengambilan sampel udara dilakukan pada sekitar
tempat proyek berada, yakni:
1. Desa Amis, Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu.
2. Desa Cemara, Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu.
3. Desa Losarang, Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu.
3.2.4. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
deskriptif dan kuantitatif melalui studi kasus dengan menggunakan pendekatan
sistem. Metode deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran kondisi dan
keragaman pembangunan subsektor pertambangan gas bumi di Provinsi Jawa
Barat dan di Lapangan Tugu Barat, PT. Pertamina EP - PT. SDK. Metode
analisis kuantitatif digunakan untuk menentukan apakah sektor pertambangan
gas bumi termasuk basis ekonomi serta bagaimana dampaknya terhadap
pembangunan wilayah di Kabupaten Indramayu. Metode yang akan digunakan
untuk analisis tersebut adalah NPV, IRR, PBP dan Probability Index (PI) .
Metode analisis data disesuaikan dengan pendekatan dan tujuan
penelitian yang ingin dicapai. Secara keseluruhan, tujuan, jenis dan sumber data
dan analisis data serta alat bantu analisis yang digunakan dirangkum dalam
Tabel 6.
3.3. Definisi Operasional
1. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor
atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara
mencapai tujuan tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut
berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya (William Jenkins, 1978)
67
Tabel 6. Rangkuman tujuan, pendekatan dan analisis data
No Kegiatan Penelitian
Jenis Data Metode Analisis
Alat Bantu Analisis
Output
1 Kajian kondisi existing sistem pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan
fisik, kimia, sosial, dan ekonomi pengolahan gas ikutan dalam ekploitas migas
Deskriptif, dibandingkan dengan bakumutu lingkungan,
Program aplikasi worksheet Excell
- informasi kondisi existing pengolahan gas ikutan informasi potensi pemanfaatan gas ikutan
2 Studi kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan
data ekonomi biaya manfaat pemanfaatan gas ikutan
Analisis ekonomi, IRR, NPV, PBP, Probability index
Program aplikasi worksheet Excell
- informasi kelayakan ekonomi pengolahan gas ikutan
3 Pengembangan desain model pengelolaan gas ikutan
fisik, kimia, sosial, dan ekonomi pengolahan gas ikutan
Sistem dinamik
Powersim constructor versi 2.5
model sistem pengelolaan gas ikuta yang ramah lingkungan
4 Perumusan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan dan berkelanjutan
data hasil survey pakar
AHP dan ISM
Criterium decission plus (CDP) 9.5 dan ISM
prioritas kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan, permasalahan dan kebutuhan
2. Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefinisikan sebagai “upaya sadar
dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke
dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan,
dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (UU No. 23,
1997). Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefenisikan sebagai
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan demikian pembangunan berkelanjutan mempunyai tujuan jangka
panjang, yaitu memikirkan pula kepentingan anak cucu dalam generasi yang
akan datang.
3. Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan,
penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan
pengembangan lingkungan hidup.
4. Kegiatan usaha hulu migas (upstream) adalah kegiatan eksplorasi
(pencarian), eksploitasi (pengangkatan) melalui kegiatan pengeboran dan
68
penyelesaian sumur, sarana pengangkutan, penyimpanan (storage) dan
pengolahan minyak mentah untuk pemisahan serta pemurnian minyak dan
gas di lapangan minyak dan gas. Sedangkan Kegiatan usaha Hilir Migas
(downstream) adalah kegiatan prosessing atau pengolahan melalui kegiatan
kilang (refinery) untuk memproduksi bahan bakar minyak berserta turunannya
dan pemasaran (marketing) serta distribusi melalui kegiatan penyimpanan
(storage).
5. Gas bumi adalah semua jenis hidrokarbon yang berada dalam fase gas (gas
alam) atau larutan bersama minyak yang dihasilkan dari sumur (gas ikutan);
campuran gas atau uap hidrokarbon yang terjadi secara alamiah yang
komponen utamanya metane, etana, propane, butane, pentane dan heksane
ditambang dari dalam reservoir secara langsung atau gas ikutan (associated
gas) dalam penambangan minyak.
6. Clean development mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan
bersih merupakan salah satu mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang
memperbolehkan negara-negara berkembang “menjual” penurunan emisi
melalui berbagai proyek kepada negara-negara maju.
7. Gas alam cair (liquefied natural gas, LNG) adalah komponen hidrokarbon
ringan dari gas alam, dengan kandungan terbanyak berupa metana yang
telah dicairkan (Khoiroh, 2008). LNG dapat juga didefinisikan sebagai gas
alam yang telah diproses untuk menghilangkan ketidakmurnian dan
hidrokarbon berat dan kemudian dikondensasi menjadi cairan pada tekan
atmosfer dengan mendinginkannya sekitar 160°C (Anonim dalam Wales,
2008). LNG dapat juga disebut sebagai gas yang terdiri atas metana yang
dicairkan pada suhu sangat rendah (-160°C) dan dipertahankan dalam
keadaan cair untuk mempermudah transportasi dan penimbunan.
8. Gas ikutan merupakan gas yang diperoleh dari proses pemisahan antara
minyak mentah dan gas bumi melalui proses tekanan hydrocarbon yang
diberikan dengan batas maksimum antara 25 % – 30 %. Terdapat dua
macam gas yang terakumulasi dalam tempat penyimpanan minyak, yakni (1).
gas ikutan yang larut dalam minyak mentah ke dalam suatu formasi dan (2).
gas ikutan di dalam tempat cadangan minyak mengalami penjenuhan dan
terjadi penyumbatan sehingga tekanan dan temperatur tekanan gas di bawah
batas maksimum, membuat tekananan tersebut membuat gas terdorong ke
atas (Johnston, 2003).
69
9. Compress natural gas (CNG) adalah pengganti untuk bensin, bahan bakar
diesel dan bahan bakar propana. CNG ini dipertimbangkan sebagai bahan
bakar alternatif yang ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar
diatas. Lebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar dengan cepat
ketika bocor ataupun tumpah. Dibuat dengan memberi tekanan pada LNG,
didistribusikan menggunakan kontainer (cylindrical atau spherical) dengan
tekanan normal 200–220 bar.
10. Liquified petroleum gas (LPG) adalah produk pengolahan gas alam dengan
kandungan utama berupa propana (C3) dan butana (C4) serta sejumlah kecil
etana (C2) (Khoiroh, 2008). LPG dapat juga didefinisikan sebagai gas
hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan
penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya, yang terdiri atas
propane, butane atau campuran keduanya.
11. Lean gas adalah yang sangat sedikit mengandung senyawa propana (C3)
dan yang lebih berat dari itu, atau juga termasuk aliran gas yang keluar dari
unit absorbsi (Khoiroh, 2008).
12. Condensate adalah fraksi hidrokarbon cair yang diperoleh dari aliran gas
yang memiliki kandungan penting berupa pentane (C5) (Khoiroh, 2008).
13. Flare (associated gas) adalah membakar gas bumi yang terproduksi terdapat
bersama-sama dengan minyak bumi di dalam reservoir yang berlebihan di
menara suar bakar (cerobong), alat untuk membakar gas-gas hidrokarbon
dan gas beracun yang keluar dan dikeluarkan dari peralatan unit operasi
seperti compressor, vessel, karena kelebihan tekanan supaya aman terhadap
peralatan dan lingkungan.
14. Million standard cubic feet per day (MMSCFD) adalah satuan umum yang
biasa digunakan untuk energi adalah MMBTUD dan BBTU. Sebagai
informasi, gas alam tidak dijual berdasarkan nilai volume atau molar flow nya.
Gas alam dihargai berdasarkan nilai energi atau heating value-nya
(US$/MMBTU).
15. British termal unit (BTU) adalah satuan panas yang besarnya 1/180 dari
panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu satu pound (0.4536 kg) air dari
32°F (0°C) menjadi 212°F (100oC) pada ketinggian permukaan laut.
Biasanya dianggap sama dengan jumlah panas yang diperlukan untuk
menaikkan suhu satu pound air dari 63°F (17,2°C) menjadi 64°F (17,8°C).
70
16. Plan of development (POD) adalah rencana pengembangan lapangan migas
secara terpadu untuk mengembangkan cadangan hidrokarbon secara
optimal, sehingga menjadi realistis, sesuai dengan aspek teknis, ekonomis,
dan lingkungan yang sehat dan aman (SHE).
17. Barrel oil per day (BOPD) adalah jumlah barrel minyak per hari yang
diproduksi oleh sumur, lapangan atau perusahaan minyak. Satu barrel sama
dengan 42 US gallon atau setara dengan 159 liter.
18. Associated gas adalah gas alam yang diporoleh dari wells dimana terdapat
kandungan crude oil pada sumur tersebut.
19. Non-associated gas adalah gas alam yang diporoleh dari sumur dimana tidak
terdapat kandungan crude oil pada sumur tambang tersebut
20. Minyak bumi (crude oil) adalah campuran berbagai hidrokarbon yang
terdapat dalam fase cair dalam reservoir di bawah permukaan tanah dan
yang tetap cair pada tekanan atmosfir setelah melalui fasilitas pemisahan
diatas permukaan.
21. Sumur pengembangan (development well) adalah sumur yang dibor didaerah
yang telah terbukti mengandung minyak atau gas dengan tujuan
mendapatkan produksi yang diinginkan.
22. Bahan bakar fosil (BBF) adalah juga dikenal sebagai bahan bakar mineral,
adalah sumber daya alam yang mengandung hidrokarbon seperti batu bara,
petroleum, dan gas alam. Pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia
merupakan sumber utama dari karbon dioksida yang merupakan salah satu
gas rumah kaca yang dipercayai menyebabkan pemanasan global. Sejumlah
kecil bahan bakar hidrokarbon adalah bahan bakar bio yang diperoleh dari
karbon dioksida di atmosfer dan oleh karena itu tidak menambah karbon
dioksida di udara.
23. Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang
menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul
secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia
(antropogenic). Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang
mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai.
Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses
alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia (yang
menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran
material organik (seperti tumbuhan).Karbondioksida dapat berkurang karena
71
terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses
fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen
ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Letak Geografis dan Administratif Kabupaten Indramayu, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa
Barat, yang membentang sepanjang pesisir pantai utara P.Jawa, dengan
pemerintahan yang berpusat di Kecamatan Indramayu. Kabupaten ini
berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Cirebon di tenggara,
Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten Subang di
sebelah barat. Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang terdiri dari
313 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Indramayu berada di
Kecamatan Indramayu, yang berada di pesisir Laut (www.indramayukab.go.id,
2008)
Secara geografis, Kabupaten Indramayu terletak pada 107° 52° - 108°
36° bujur timur dan 6° 15° - 6° 40° ls. Berdasarkan topografinya sebagian besar
Kabupaten Indramayu merupakan dataran atau daerah landai dengan
kemiringan tanahnya rata-rata 0 % – 2 %. Kondisi ini berpengaruh terhadap
drainase, dan bila curah hujan cukup tinggi, maka di daerah-daerah tertentu akan
terjadi genangan air.
4.2. Iklim Suhu udara Kabupaten Indramayu cukup tinggi yaitu berkisar antara 18o -
28° C. Rata-rata curah hujan Kabupaten Indramayu sepanjang tahun 2006
adalah sebesar 61,06 mm, dengan curah hujan tertinggi di Kecamatan
Kertasemaya kurang lebih sebesar 70 mm dengan jumlah hari hujan 2491 hari,
sedang curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Pasekan kurang lebih
sebesar 55 mm dengan jumlah hari hujan 683 hari (www.indramayukab.go.id,
2008)
4.3. Penggunaan Tanah Berdasarkan data www.indramayukab.go.id (2008) luas wilayah
Kabupaten Indramayu mencapai 204.011 Ha yang terdiri dari 110.877 Ha tanah
sawah (54,35%). Dari jumlah tersebut tanah sawah dengan irigasi teknis luasnya
mencapai 72.591 Ha, dan 11.868 Ha diantaranya merupakan tanah sawah
dengan irigasi setengah teknis, 4.365 Ha mendapatkan irigasi sederhana PU dan
3.129 Ha irigasi non PU sedang 18.275 Ha diantaranya adalah sawah tadah
73
hujan. Selain sawah juga terdapat tanah kering yang luasnya mencapai 93.134
Ha atau sebesar 45,65%. Bila dibandingkan dengan luas areal tanah sawah di
tahun 2005 yang luasnya 110.548 Ha (54,19% dari luas wilayah), maka di
Kabupaten Indramayu cenderung terjadi perubahan penggunaan lahan.
4.3.1 Ekonomi Nilai PDRB Kabupaten Indramayu tahun 2006 atas dasar harga berlaku
sebesar 31.895,39 milyar rupiah dan tanpa migas sebesar 10.813,76 milyar
rupiah (www.indramayukab.go.id, 2008). PDRB tahun 2006 mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya menjadi 8.304,132 milyar rupiah dan tanpa
migas Rp 1.931,228 milyar. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, PDRB
mengalami peningkatan masing-masing sebesar 35,20 persen dengan minyak
dan gas bumi dan 21,74 persen tanpa minyak dan gas. Untuk kontribusi PDRB,
sektor yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap total PDRB 2006
adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor
pertanian, sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor
jasa-jasa, sektor keuangan, sektor persewaan dan jasa perusahaan, sektor
bangunan dan terakhir sektor listrik, gas dan air bersih.
Berdasarkan perhitungan PDRB atas dasar harga konstan 2000, laju
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indramayu sebesar 5,10 persen. Dari
sembilan sektor yang ada pada PDRB, semua sektor menghasilkan
pertumbuhan yang positif. Sektor yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi
tertinggi adalah sektor konstruksi/bangunan dengan kenaikan sebesar 14,20
persen. Dilanjutkan oleh kenaikan yang lebih kecil terletak pada sektor
perdagangan, hotel & restoran; industri pengolahan; listrik, gas & air bersih;
pengangkutan & komunikasi; jasa-jasa; sektor keuangan, persewaan, jasa
perusahaan; dan pertanian, maka terjadinya kenaikan tersebut adalah berturut-
turut 11,59; 8,59; 6,63; 5,56; 2,69; 2,05 dan 0,68 persen. Sedangkan kenaikan
paling kecil terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian yang angka
kenaikan 0,30 persen www.indramayukab.go.id (2008).
4.3.2 Sosial dan Budaya Keadaan sosial budaya suatu masyarakat dapat dikatakan merupakan
salah satu indikator keberhasilan pembangunan yang dapat dilihat secara kasat
mata. Pada tulisan ini keadaan sosial budaya Kabupaten Indramayu
74
dikemukakan dalam beberapa indikator, yakni indikator pendidikan, kesehatan
dan keluarga berencana, serta agama.
Agama
Kehidupan beragama diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 dan sila pertama
Pancasila. Kehidupan beragama dikembangkan dan diarahkan untuk
peningkatan ahlak demi kepentingan bersama untuk membangun masyarakat
adil dan makmur. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten
dengan mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam. Pada tahun 2006
penduduk yang beragama Islam tercatat sebanyak 1.686.244 jiwa, sedangkan
sisanya tersebar pada empat agama lain seperti Protestan tercatat sebesar
2.719 jiwa, Katolik 1.710 jiwa, Hindu 132 jiwa, Budha 282 jiwa dan Konghucu
sebanyak 23 jiwa. Jumlah tempat peribadatan umat Islam pada tahun 2006
tercatat sebanyak 804 Masjid, 3.734 Langgar dan 279 Mushola. Selain tempat
peribadatan, di Kabupaten Indramayu juga terdapat pondok pesantren yang
tersebar hampir di seluruh kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten
Indramayu, kecuali di Kecamatan Pasekan. Adapun jumlah pondok pesantren
pada tahun 2006 tercatat sebanyak 120 dengan jumlah santri sebanyak 36.010
orang. Selain tempat peribadatan umat Islam, di Kabupaten Indramayu juga
terdapat tempat peribadatan lainnya, yakni 17 Gereja Protestan, 10 Gereja
Katolik dan 2 Vihara (www.indramayukab.go.id, 2008).
Pendidikan
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan manusia adalah
kemajuan di bidang pendidikan. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Indramayu pada tahun 2006 untuk tingkat Sekolah
Dasar jumlah sekolah tercatat sebanyak 878 dan murid sebanyak 195.087 orang.
Kemudian di tingkat SMP jumlah sekolah tercatat sebanyak 131 dan murid
sebanyak 57.379 orang. Sedangkan di tingkat SLTA jumlah sekolah tercatat
sebanyak 45 dan murid sebanyak 15.172 orang. Dan untuk Sekolah Menengah
Kejuruan jumlah sekolahnya sebanyak 37 sekolah dengan jumlah murid 12.380
orang (www.indramayukab.go.id, 2008).
Jumlah guru yang terdapat di Kabupaten Indramayu sebanyak 12.888
orang guru. Dari jumlah tersebut sebanyak 7.535 orang (58,47%) mengajar di
institusi pendidikan dasar, sedangkan sisanya yakni 5.352 orang (41,53%)
mengajar di sekolah lanjutan (SLTA dan SMK) (www.indramayukab.go.id, 2008).
75
4.3.3 Sumber Daya Alam (SDA) Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa
Barat yang merupakan daerah sentra pertanian. Oleh karenanya maka sektor
pertanian merupakan penyumbang kedua terbesar produk domestik regional
bruto setelah sektor industri (migas), dengan besar sumbangan 13,37 persen
dari total produk domestik regional bruto Kabupaten Indramayu. Hal ini juga
tercermin dari sektor usaha utama penduduk Kabupaten Indramayu yang
memperlihatkan bahwa 51,46 persen penduduk yang berusia diatas 10 tahun,
bekerja di sektor pertanian (BPS, SAKERNAS 2005 dalam
www.indramayukab.go.id, 2008). Dari luas wilayah Kabupaten Indramayu yang
tercatat seluas 204.011 Ha, 54,35 persennya merupakan tanah sawah.
Tanaman Pangan
Beberapa jenis tanaman pangan yang diusahakan di Kabupaten
Indramayu, antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan
kedelai. Produksi terbesar adalah padi sawah sebanyak 1.211.350,95 ton pada
tahun 2006 yang berarti mengalami penurunan sebanyak 4,22% dari
1.264.685,81 ton di tahun 2005. Luas lahan tanaman pangan mengalami
kenaikan dari 195.254 Ha di tahun 2005 menjadi 198.749 Ha pada tahun 2006;
namun produktivitasnya mengalami penurunan dari 64,77 kwintal/Ha ditahun
2005 menjadi 60,95 kwintal/ Ha di tahun 2006. Keadaan ini dapat dipahami
karena luas areal untuk tanaman padi cukup luas jika dibandingkan dengan luas
areal yang ditanami tanaman pangan lainnya yaitu seluas 110.877 Ha,
sedangkan luas areal untuk tanaman pangan lainnya berkisar antara 100 hingga
3.000 ha. Tanaman palawija ubi kayu merupakan komoditas dengan produksi
tertinggi, diikuti oleh kedelai, jagung, kacang hijau, kacang tanah dan ubi jalar.
Disamping tanaman pangan dengan padi sebagai primadonanya,
Kabupaten Indramayu juga memiliki tanaman unggulan lainnya seperti mangga,
pisang cabe merah, bawang merah, jagung serta kedelai. Selain tanaman
pangan, di Kabupaten Indramayu juga dibudidayakan tanaman perkebunan
seperti kelapa, kelapa hibrida, kapuk, cengkeh, jambu mete, kopi, tebu dan
melinjo.
76
Peternakan Berdasarkan jenisnya peternakan dibedakan atas ternak besar, ternak
kecil dan ternak unggas. Jenis ternak besar yang cukup dominan di Kabupaten
Indramayu adalah sapi sebanyak 5.419 ekor, kerbau 1.747 ekor dan kuda
sebanyak 152 ekor. Adapun ternak kecil yang cukup dominan adalah domba
sebanyak 130.007 ekor dan kambing sebanyak 54.000 ekor. Jenis ternak
unggas yang paling banyak dipelihara adalah ternak ayam kampung, yang pada
tahun 2006 jumlahnya mencapai 2.095.100 ekor, disusul itik sebanyak 829.791
ekor dan ayam ras 610.178 ekor.
Perikanan Seperti halnya wilayah pesisir pada umumnya, maka Kabupaten
Indramayu merupakan salah satu Kabupaten penghasil ikan. Produksi ikan laut
segar selama tahun 2006 mencapai 71.579,11, walaupun mengalami
peningkatan produksi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai
67.359,10 ton, namun nilai produksi saat ini mengalami penurunan dari
129.686.808,79.
Kehutanan
Realisasi pendapatan Kabupaten Indramayu dari sektor kehutanan dan
perburuan KPH Indramayu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Pada
tahun 2006 pendapatan dari sektor kehutanan dan perburuan mencapai nilai Rp.
17.225.028.641,- sedangkan pada tahun 2005 mencapai Rp. 16.303.371.000,-
Adapun nilai terbesar dihasilkan dari kayu perkakas jati yang nilainya mencapai
Rp. 15.634.194.326,- diikuti dari minyak kayu putih sebesar Rp. 1.450.937.813.
Sedangkan sisanya disumbang oleh kayu perkakas rimba, kayu bakar jati dan
kayu bakar rimba.
Potensi minyak dan gas
Sebagai salah satu Kabupaten penghasil minyak dan gas, Kabupaten
Indramayu mempunyai potensi minyak dan gas yang tersebar di beberapa
wilayah. Peta potensi migas Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Gambar
24.
77
Gambar 24. Potensi cadangan migas Kabupaten Indramayu
(Sumber : Laporan akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomi Di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka, Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Barat-LPPM ITB, 2003)
Kabupaten Indramayu memiliki cadangan awal (initial oil in place)
terbesar di Propinsi Jawa Barat sebesar 903.768 MSTB (million standard barrel
atau juta standard barrel), dengan cadangan gas sebesar 1.428.744,50 mmscf
(million matric standart cubic feed atau juta kaki kubik), (Data Migas Kab.
Indramayu, 2003).
Kabupaten Indramayu sebagai salah satu penghasil migas di Jawa Barat
memiliki cadangan minyak bumi di tempat sebesar 904 juta barrel dan gas alam
ditempat sebesar 1.429 milyar kaki kubik (mmscf). Hingga 1 Januari 2003, telah
diproduksi sejumlah 133 juta barrel minyak dan 610 milyar kaki kubik (mmscf).
Sehingga, cadangan migas yang tersisa yang terdapat di Kabupaten Indramayu
adalah 92 juta barrel minyak bumi dan gas alam sebesar 477 milyar kaki kubik
(mmscf). (www.distamben-jabar.go.id).
Potensi gas ikutan (flare gas) Meningkatnya eksploitasi migas di Kabupaten Indramayu guna memenuhi
kebutuhan dalam negeri, pada dasarnya akan menyebabkan dua masalah
utama. Pertama adalah dampak lingkungan seperti emisi debu, SOx dan NOx
dan yang kedua adalah mempersiapakan sarana dan prasarana
penanggulangan dampak lingkungan akibat eksploitasi minyak bumi. Pada
Gambar 25 terlihat foto satelite gas ikutan (flare gas) di Kabupaten Indramayu
yang jumlahnya cukup besar. Mengingat jumlahnya cukup besar, maka dampak
lingkungan yang berhubungan dengan eksploitasi migas di Kabupaten
Lokasi Penelitian Di Lapangan Migas Tugu Barat
78
Indramayu khususnya lapangan Tugu Barat Desa Amis Kecamatan Cikedung
juga akan cukup besar. Adapun dampak tersebut antara lain berupa emisi CO2
yang cukup besar mencapai ± 40 % (Dinas Pertambangan Jawa barat – LPPM
ITB, 2003)
Gambar 25. Kondisi gas ikutan (flare gas)
(Sumber : NOAA, 2004)
4.4. Profil Industri Pengolah Gas Ikutan Objek Penelitian
Jumlah kandungan gas di Indonesia yang sangat besar dan semakin
meningkatnya kebutuhan gas domestik khususnya penggunaan LPG di
Indonesia, telah mendorong masyarakat untuk lebih memanfaatkan LPG sebagai
alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Peran sektor swasta (private
sector) untuk memberikan kontribusi kepada pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan domestik LPG juga semakin dibutuhkan. Hal ini dipengaruhi oleh
semakin meningkatnya permintaan LPG sebesar 5-10% per tahun dengan total
kebutuhan domestik 1.000.000 ton sampai 1.200.000 ton per tahun.
Maka apabila kebutuhan LPG domestik ini dipenuhi diharapkan terjadi alih
penggunaan pemanfaatan Bahan Bakar Minyak (BBM) kepada penggunaan gas
sebagai energi dan kelangkaan BBM juga turut dapat dikurangi. Sehingga
pemerintah juga mampu untuk mengurangi subsidi BBM dan beban subsidi
tersebut dapat dialokasikan kepada sektor lain yang lebih membutuhkan,
misalnya pendidikan dan kesehatan. Pengembangan investasi di sektor minyak
Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu
79
dan gas tentunya akan membantu meningkatkan penyerapan tenaga kerja di
daerah operasi. Kebutuhan akan tenaga terlatih dan terdidik yang diserap dari
daerah sekitar, juga turut membantu meningkatkan pengalaman dan
kesejahteraan mereka. Hal ini juga turut membantu sektor ekonomi formal dan
non-formal yang berada di daerah sekitar untuk dapat berkembang melalui suplai
kebutuhan logistik dan makanan. Selain itu keberadaan investasi ini juga turut
membantu meningkatkan tingkat perolehan pendapatan daerah sehingga turut
membantu pemerintah daerah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Adapun rincian proyek yang diperlukan untuk melakukan pengolahan gas
ikutan adalah sebagai berikut :
• PT.SDK mengoperasikan LPG plant yang ada pada saat ini dan akan
menambah peralatan baru guna memproses kelebihan gas yang belum
dimanfaatkan selama ini.
• Penambahan peralatan dan alat tersebut akan melipatgandakan hasil
produksi, LPG, kondensat dan lean gas.
• Keseluruhan hasil produksi sepenuhnya menjadi milik PERTAMINA dan atas
pengolahan gas tersebut diperkirakan PT.SDK akan memperoleh jasa
pengolahan atas masing-masing produksi sebagai berikut :
LPG sebesar US$ 150/Ton.
Kondensat sebesar US$ 15/Bbl.
Lean Gas sebesar US$ 1.20/MMBTU.
• PERTAMINA dapat menyalurkan gas dengan jumlah tertentu tanpa biaya
kepada PT.SDK guna diproses di Kilang LPG Tugu Barat.
• Pada masa konstruksi sampai pada saat selesainya pembangunan instalasi
peralatan tambahan, maka PT.SDK dapat memperoleh imbalan jasa
pengolahan sesuai dengan hasil produksi kilang saat ini, sebesar 70% (tujuh
puluh persen) dari jasa pengolahan termaksud.
• Masa kontrak bisa dalam waktu 10 tahun dan selanjutnya dapat dilakukan
perpanjangan setiap 10 (sepuluh) tahun sejak pembangunan instalasi baru
selesai, yang dapat dilaksanakan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak
kontrak kerja sama ditandatangani.
V. STUDI KONDISI SISTEM PENGOLAHAN GAS IKUTAN DAN POTENSI PEMANFAATAN
Abstrak
Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat di Indramayu memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan gas ikutan dalam rangka mendukung penyediaan energi nasional ditengah krisis energi yang terjadi saat ini. Dalam pemanfaatan gas ikutan tersebut berpeluang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pengolahan gas ikutan Lapangan minyak Tugu Barat, dan pemanfaatan serta dampaknya terhadap lingkungan. Penelitian menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan data-data deskriptif hasil penelusuran berbagai pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan triangulasi melalui studi pustaka, penyebaran kuisioner, dan survey langsung di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lapangan Minyak Tugu Barat di Indramayu mulai dieksploitasi oleh Pertamina pada tahun 1970. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil per day (BOPD). Lapangan Minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Gas ikutan di Lapangan Tugu Barat mengandung 40% CO2, 50% gas metan 1,94% nitrogen sehingga jika dibuang langsung akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara, terjadinya pemanasan global dan terjadinya hujan asam. Pada pengolahan gas ikutan, CO2 yang tinggi akan menurunkan tekanannya, sehingga untuk meningkatkan tekanannya, CO2 harus dipisahkan dari gas ikutan. Kilang LPG Plant Tugu Barat mempunyai potensi untuk melakukan pemanfaatan gas ikutan karena cadangannya cukup banyak (GOR >1) dan sudah dapat dirancang rencana-rencana pemanfaatannya di Lapangan Tugu Barat. Berdasarkan perhitungan memperlihatkan bahwa pengolahan gas ikutan di lokasi ini layak secara ekonomi dan secara lingkungan, begitupun halnya dengan CO2 yang terdapat pada gas ikutan dapat dimanfaatkan untuk minuman ringan (food grade), sehingga bernilai ekonomis. Kondisi eksisting di PT SDK memperlihatkan bahwa perusahaan ini tidak mencemari udara, namun penanganan limbah cairnya relatif masih belum terlalu baik.
Kata kunci : Pengolahan, gas ikutan, CO2 pemanfaatan, layak lingkungan
5.1. Pendahuluan
Industri minyak dan gas sebagai sektor usaha yang strategis dan
produktif dalam sektor formal di Indonesia telah memberikan pengaruh yang
sangat besar terhadap roda perekonomian. Keputusan pemerintah untuk
memanfaatkan energi gas bagi penggunaan domestik dan bahan bakar minyak
untuk ekspor telah mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah atas
subsidi yang harus dipenuhi akibat meningkatnya harga minyak dunia. Hal ini
semakin diperburuk dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Bersamaan dengan
menurunnya jumlah produksi minyak (Gambar 26) dan besarnya jumlah
81
pemanfaatan minyak untuk digunakan sebagai bahan bakar, membuat
pemanfaatan gas sebagai bentuk diversifikasi energi perlu dimanfaatkan lebih
banyak lagi untuk digunakan sebagai bahan bakar yang lebih murah dan ramah
lingkungan.
Gambar 26. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak di indonesia tahun
2000 – 2006 (Sumber : Indonesia Energy Statistics, Pusdatin Kementerian ESDM, 2008)
Kebutuhan gas bumi di kawasan Asia, Eropa dan Atlantik diperkirakan
akan semakin besar, bahkan di Amerika Utara pertumbuhan konsumsi gas bumi
lebih cepat dari pasokan, sehingga makin meningkatkan import LNG. Hal yang
sama juga terjadi di Indonesia, sehingga walaupun Indonesia selalu berupaya
untuk terus meningkatkan ekspor gas bumi dalam bentuk LNG maupun melalui
pipa, namun di lain pihak konsumsi gas di dalam negeri juga mengalami
peningkatan. Kedua kebutuhan tersebut pada akhirnya akan makin
meningkatkan eksploitasi gas bumi.
Produksi gas Indonesia pada tahun 2004 sebesar 8.6 BSCFD (billon
standard cubic feet per day) dengan kontribusi produksi PERTAMINA sebesar
0.9 BSCFD dan 7.7 BSCFD oleh PSC (production sharing contract). Meskipun
jumlah ini mengesankan tetapi hanya 42% yang dikonsumsi di Indonesia
sedangkan selebihnya atau lebih dari 5 BSCFD di ekspor sebagai LPG, LNG,
condensate dan gas piped. Permintaan domestik pada tahun 2004 sebesar 2025
MMSCFD, sedangkan suplai hanya mampu memenuhi kebutuhan sebesar 1910
MMSCFD, di lain pihak kebutuhan Pulau Jawa saja sudah mencapai 1250
82
MMSCFD, namun suplai gas ke Pulau Jawa masih terbatas pada 1000
MMSCFD. Berdasarkan peningkatan permintaan gas terutama di Pulau Jawa
dan Sumatra Selatan tersebut, maka PERTAMINA memproyeksikan bahwa pada
tahun 2010-2020 permintaan nasional akan mencapai 2.75-5 BSCFD. Adapun
perkembangan dan konsumsi gas di Indonesia seperti pada Gambar 27.
Gambar 27. Indonesian gas production and consumption in 2000-2006 (Sumber
: Indonesian energy statistics, Pusdatin Kementerian ESDM, 2008)
Krisis energi yang melanda Indonesia semenjak harga minyak dunia
bergerak naik melewati $ US 40 per barrel pada bulan April 2005, membuat
alternatif pemanfaatan gas sebagai bahan bakar menjadi kebutuhan yang sangat
Gambar 28. Kondisi Pemanfaatan Gas Berdasarkan Penggunaan (Sumber :
CCOP WorkShop,Beijing-China, Lemigas Juni, 2006)
83
penting bagi industri-industri strategis, ataupun untuk kepentingan infrastruktur
negara. Efisiensi pemanfaatan gas yang digunakan sebagai bahan bakar sangat
membantu mengurangi beban operasional bagi industri-industri yang sedang
bangkit, terutama bagi pembangunan di Indonesia. Sebagai contoh estimasi
perbandingan penggunaan bahan bakar di perusahaan listrik negara (PLN) pada
tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 7.
Pemakaian gas bumi dalam bentuk LPG dan lean gas di Indonesia selain
digunakan untuk PLN, sebagian juga dimanfaatkan untuk industri pupuk, dengan
prosentase yang menyamai keperluan pembangkit listrik, yakni masing-masing
sekitar 35% dari total pemakaian dalam negeri. Sisanya sekitar 30% digunakan
untuk industri lain. Keperluan gas untuk sektor rumah tangga ternyata jauh lebih
kecil.
Tabel 7. Estimasi perbandingan penggunaan bahan bakar di Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tahun 2005
Sumber : Kompas, 8 Juli 2005. Keterangan : HSD (high speed diesel = minyak Solar) MMSCF (million
standard cubic feet) MFO (marine fuel oil = minyak Bakar) GWh (giga watt x jam)
Produksi PERTAMINA untuk penjualan LPG di Indonesia sudah
mencapai 1.000.000 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan LPG Kota Jakarta
saja sudah mencapai 1300-1700 ton per hari atau 474.000-620.500 ton per
tahun atau setengah dari kebutuhan nasional 800.000 ton per tahun. Permintaan
LPG meningkat 20% dari 83.000 ton pada tahun 2002 menjadi 100.000 ton pada
tahun 2003 dan diperkirakan akan terus meningkat 15% setiap tahunnya. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut pada saat ini pemerintah telah melakukan import.
Walaupun demikian kemampuan suplai Pertamina hanya 800.000 ton per tahun,
sedangkan permintaan sudah mencapai 1.200.000 ton per tahun.
BBM (MFO dan HSD) Gas Alam
Pemakaian 9.357.000 liter 185 MMSCF
Harga Rp.2.266/liter 2,56 Dollar AS/MMSCF
Produksi Listrik 34.692 Gwh (36%) 20.092 Gwh (21%)
Biaya Energi Rp.21.204 Miliar Rp.4.228 Milar
68% 14%
Rp.611/Kwh Rp.210/Kwh
84
Seperti kita ketahui bersama, bahwa pada lapangan produksi minyak
PT.Pertamina EP khususnya di Jawa Barat, gas ikutannya tidak pernah
dimanfaatkan, namun gas ikutan tersebut dihilangkan dengan cara dibakar.
Dilakukannya pembakaran gas tersebut karena gas ikutan dianggap kurang
memiliki nilai ekonomis, selain itu juga gas tersebut tidak dapat dimanfaatkan
secara langsung karena kendala operasi. Dalam hal ini penyebabnya antara
lain karena di dalamnya mengandung CO2 dalam jumlah yang tinggi, tidak
tersedia flow line (jalur pipa), bersifat marginal dan remote area (terpencil).
Keterbatasan ini pada akhirnya menjadi sangat berpengaruh terhadap hilangnya
nilai manfaat ekonomi yang diterima oleh perusahaan, oleh karena itu maka gas
ikutan terpaksa harus dibakar.
Di sisi lain jika gas ikutan ini diolah lebih lanjut, akan mempunyai nilai
ekonomis dan sekaligus dapat meningkatkan ketersediaan energi gas yang saat
ini kebutuhannya semakin meningkat. Pemanfaatan gas ikutan juga diharapkan
akan meningkatkan volume gas yang terproduksi untuk dapat dimanfaatkan,
sehingga diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar, baik nasional maupun
internasional. Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang konversi minyak
tanah (Mitan) ke LPG (liquid petroleum gas) dengan target menghemat konsumsi
minyak tanah yang subsidinya sangat mahal, yakni mencapai Rp 25 Triliun (US $
3 Milyard) per tahun. Oleh karenanya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengestimasi
penghematannya mencapai Rp 30 Triliun. Sebuah nilai yang sangat fantastis bila
digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan. Hal ini disebabkan
dalam memproduksi minyak tanah sama mahalnya dengan memproduksi Avtur
(bahan bakar pesawat terbang), sehingga mengimport minyak tanah dan
dibagikan secara murah merupakan pemborosan yang sangat tinggi. Di lain
pihak dari konsumen sendiri bila beralih ke LPG akan terjadi penghematan
pengeluaran uang sebesar 32% setiap bulannya. Realisasi program pengalihan
minyak tanah ke LPG tahun 2007 hingga 2008 (4 November 2008) untuk wilayah
Jabodetabek, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali sudah mencapai 14.443.832 kepala keluarga,
usaha mikro 614.703 dengan volume LPG 449.748 MT (metrik ton). Hingga akhir
2008 diproyeksikan 20 juta KK (kepala keluarga) degan volume LPG 1.144.020
MT. Sedangkan 2009 proyeksi konversi untuk 18.044.211 KK dengan volume
LPG 1.600.000 MT (Migas, 2008). Selain hal tersebut di atas, konversi gas
85
ikutan menjadi LPG juga akan mengurangi pencemaran lingkungan akibat dari
pembakaran tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang
peluang pemanfaatan gas ikutan tersebut dan kelayakan ekonomi serta
kelayakan secara lingkungan, sekaligus menjajaki kemungkinan sistem
pengolahan gas ikutan dan potensi pemanfaatannya, mengingat gas ikutan ini
sangat melimpah pada setiap lapangan minyak, seperti di PT. SDK.
5.2. Metode Analisis Kondisi dan Sistem Pengolahan Gas Ikutan dan Potensi Pemanfaatannya Untuk merancang kondisi sistem pengolahan gas ikutan dan potensi
pemanfaatannya penelitian ini menggunakan metode deksriptif. Analisis deskriptif
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran awal tentang objek penelitian
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang menjadi objek penelitian. Sasaran analisis
deskriptif yaitu status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir,
1999). Selain untuk tujuan di atas hasil analisis ini juga akan memberikan
gambaran perkiraan kriteria dan indikator yang digunakan untuk menentukan
model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung
mekanisme pembangunan bersih.
Untuk mendukung metode analisis deskriptif ini, terlebih dahulu dilakukan
pengumpulan data-data sekunder yang berkaitan dengan topik yang dikaji.
Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan triangulasi yang merupakan
suatu pendekatan dengan memanfaatkan beberapa macam teknik pengumpulan
data yang antara lain kegiatan studi pustaka terhadap hasil-hasil kajian
terdahulu, yang dilanjutkan dengan pengamatan (observasi) langsung di wilayah
studi, dan wawancara dengan masyarakat setempat.
5.3. Hasil dan Pembahasan Studi Kondisi Sistem Pengolahan Gas Ikutan, dan Potensi Pemafaatannya
5.3.1. Kondisi Sistem Pengolahan Gas Ikutan a. Sejarah dan Profil Cadangan Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat
Sejarah migas di daerah operasi hulu (DOH) Jawa Bagian Barat (JBB)
diawali dengan eksplorasi minyak pertama oleh Jan Reering dan Van Hoevel di
Desa Cibodas, Kecamatan Maja, Majalengka, Jawa Barat sekitar tahun 1817.
86
Disusul kemudian dengan pemboran ekplorasi di daerah Indramayu, Karawang
dan Majalengka yang dilakukan pada rentang waktu 1932 – 1941. Sejak tahun
1970, migas mulai kembali diekploitasi oleh PERTAMINA melalui pengeboran
sejumlah sumur. Setelah melalui pemboran ratusan sumur, daerah-daerah yang
berhasil memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan
Timur, Tugu Barat, dan Lepas Pantai. Lalu pada tahun 1980 PERTAMINA
mendirikan Kilang Minyak Balongan yang berlaku juga sebagai terminal untuk
menyalurkan bahan bakar minyak (BBM). Kilang ini dibangun pada tahun 1990
dan mulai beroperasi pada tahun 1994.
Daerah operasi Explorasi Produksi (EP) yang kini bernama PT.
Pertamina EP Region Jawa Bagian Barat ini termasuk Daerah Operasi Hulu
besar yang dimiliki PT. PERTAMINA (Persero). Produksi tertinggi daerah ini
terjadi pada tahun 1973-1994 mampu mencapai 28.000 barrel oil per day
(BOPD). Pada tahun 2000, produksi mengalami penurunan hingga menyentuh
angka 7.000 – 7.500 BOPD. Pada tahun 2001 PT. Pertamina EP Region Jawa
Bagian Barat mampu meningkatkan produksi minyak sebesar 14.294 BOPD dan
gas 404.8 MMSCFD. Melalui pengelolaan PERTAMINA Unit Pengolahan (UP)
VI Balongan, produksi kilang BBM ini memiliki kapasitas 125.000 BPSD (barrel
per stream day) dengan keseluruhan produksi disalurkan untuk DKI Jakarta.
Sedangkan produksi gas atau LPG yang dikelola Kilang LPG Mundu VI dengan
kapasitas 37,3 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) di Kecamatan Karangampel,
disalurkan untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Berdasarkan data yang diperoleh, menunjukkan terjadinya peningkatan
produksi minyak dan kondensat serta gas sejak tahun 1992 sampai dengan
tahun 2001 dari cadangan yang tersedia di Lapangan Tugu Barat C (Dinas
Petambangan dan Energi Jawa Barat, 2002). Dari IOIP telah ditetapkan yaitu
sebesar 8.175,90 dan cadangan terambil sebesar 3.147,70 MSTB per tahun,
memperlihatkan peningkatan produksi dari 68,67 MSTB pada tahun 1992 naik
menjadi 149,80 MSTB pada tahun 2001 dengan produksi kumulatif sebesar
68,47 MSTB pada tahun 1991 menjadi 1.152,75 pada tahun 2001. Sementara
sisa cadangan dari 3.079,23 MSTB pada tahun 1992 mengalami penurunan
menjadi 1.362,85 MSTB pada tahun 2001. Sedangkan untuk gas, dari IGIP
sebesar 37,44 BSCF dan cadangan terambil sebesar 28,46 BSCF per tahun,
memperlihatkan peningkatan produksi pertahun yaitu dari 0,07 BSCF pada tahun
1992 mengalami peningkatan sampai pada tahun 1998 sebesar 1,48 BSCF dan
87
selanjutnya menurun pada tahun 1999 dan 2000 yaitu menjadi 0,83 dan 0,41
BSCF. Adapun profil cadangan dan sejarah minyak dan kondensat di Lapangan
Produksi Tugu Barat secara rinci disajikan pada Tabel 8.
Produksi minyak dan gas di Lapangan Pasir Catang, memperlihatkan hal
yang sama dengan di Lapangan Tugu Barat C yaitu terjadi fluktuasi peningkatan
produksi dengan bertambahnya waktu ekploitasi. Tabel 8 memperlihatkan rata-
rata IOIP, cadangan terambil, produksi dan produksi kumulatif per tahun. Rata-
rata IOIP di Lapangan Pasir Catang sebesar 26.273,90 MSTB dan cadangan
terambil untuk minyak dan kondensatnya sebesar 10.115,40 MSTB. Sedangkan
produksi minyak dan kondensat mengalami penurunan secara tajam dari 48,98
MSTB pada tahun 1996 menjadi 3,42 MSTB pada tahun 1999, namun
selanjutnya mengalami peningkatan pada tahun 2000 menjadi 26,60 MSTB dan
menurun lagi pada tahun 2001 menjadi 18,00 MSTB. Fenomena ini
mencerminkan bahwa kegiatan produksi minyak dan kondensatnya di Lapangan
Pasir Catang sangat tergantung pada deposit yang tersedia di ladang minyak
tersebut. Namun jika dilihat dari produksi kumulatif, terlihat adanya peningkatan
produksi setiap tahun.
Pada tahun 1996, produksi kumulatif minyak dan kondensat sebesar
48,98 MSTB dan terus meningkat menjadi 160,90 MSTB pada tahun 2001.
Untuk produksi gas, dengan jumlah IGIP dan cadangan terambil rata-rata
sebesar 81,59 dan 61,79 BSCF, memperlihatkan produksi yang berfluktuasi.
Sebagai contoh pada tahun 1996 produksinya sebesar 0,54 BSCF namun nilai ini
terus mengalami kenaikan hingga tahun 1998 yang jumlahnya mencapai 1,27
BSCF, kemudian menurun lagi pada tahun 1999 menjadi 0,64 BSCF dan
selanjutnya mengalami peningkatan lagi pada tahun 2000 menjadi 1,17 BSCF.
Sementara produksi kumulatifnya mengalami peningkatan dan sisa cadangan
mengalami penurunan. Pada tahun 1996, produksi kumulatif gas di lapangan
Pasir Catang 0,54 BSCF dan meningkat menjadi 5,31 BSCF pada tahun 2000,
sementara sisa cadangan menurun dari 61,25 BSCF menjadi 56,66 BSCF tahun
2000. Adapun profil cadangan dan sejarah gas di Lapangan Produksi Pasir
Catang secara rinci di sajikan pada Tabel 9.
88
Tabel 8. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan Tugu Barat
Minyak + Kondensat Gas Cadangan Produksi Produksi Sisa IGIP Cadangan Produksi Produksi Sisa Tahun IOIP Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan MSTB MSTB MSTB MSTB BSCF BSCF BSCF BSCF BSCF LAPANGAN TUGU BARAT C
1992 8,175.90
3,147.70 68.47
68.47
3,079.23
37.44 28.46 0.07 0.07 28.39
1993 8,175.90
3,147.70 127.24
195.71
2,951.99
37.44 28.46 0.10 0.17 28.29
1994 8,175.90
3,147.70 106.69
302.40
2,845.30
37.44 28.46 0.12 0.29 28.17
1995 8,175.90
3,147.70 148.88
451.28
2,696.42
37.44 28.46 0.20 0.49 27.97
1996 8,175.90
3,147.70 187.62
638.90
2,508.80
37.44 28.46 1.20 1.69 26.77
1997 8,175.90
3,147.70 91.00
729.90
2,417.80
37.44 28.46 2.09 3.78 24.68
1998 8,175.90
3,147.70 49.00
778.90
2,368.80
37.44 28.46 1.48 5.26 23.20
1999 8,175.90
3,147.70 98.65
877.55
2,270.15
37.44 28.46 0.83 6.09 22.37
2000 8,175.90
3,147.70 125.40
1,002.95
2,144.75
37.44 28.46 0.41 6.50 21.96
2001 8,175.90
2,515.60 149.80
1,152.75
1,362.85
Sumber : Distamben dan LPPM ITB, 2003.
89
Tabel 9. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan Pasir Catang
Minyak + Kondensat Gas
Cadangan Produksi Produksi Sisa IGIP Cadangan Produksi Produksi Sisa
Tahun IOIP Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan
MSTB MSTB MSTB MSTB BSCF BSCF BSCF BSCF BSCF
LAPANGAN PASIR CATANG
1996
26,273.90
10,115.40 48.98
48.98
10,066.42
81.59 61.79 0.54 0.54 61.25
1997
26,273.90
10,115.40 44.00
92.98
10,022.42
81.59 61.79 1.51 2.05 59.74
1998
26,273.90
10,115.40 19.90
112.88
10,002.52
81.59 61.79 1.27 3.32 58.47
1999
26,273.90
10,115.40 3.42
116.30
9,999.10
81.59 61.79 0.64 3.96 57.83
2000
26,273.90
10,115.40 26.60
142.90
9,972.50
81.59 61.79 1.17 5.13 56.66
2001
4,365.50
1,456.40 18.00
160.90
1,295.50
Sumber : Distamben dan LPPM ITB, 2003.
90
b. Kondisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Industri migas di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu dikelola
oleh PT. PERTAMINA E&P Region Jawa. Industri ini termasuk dalam wilayah
Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Jawa Barat. Industri dibangun pada tahun
1979 di atas tanah seluas 920,328 ha dengan tipe lapangan termasuk lahan
darat. Cadangan minyak dan kondensatnya sekitar 43.423 milyar barrel dan
cadangan yang sudah dieksploitansi mencapai 12.485,50 milyar barrel. Selain
minyak dan kondensatnya, di Lapangan Tugu Barat juga dihasilkan gas ikutan
yang selama ini langsung dibuang ke lingkungan atau langsung dibakar karena
dianggap tidak bernilai ekonomis.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa cadangan gas ikutan di
lapangan Tugu Barat mencapai 35,7 BSCF (proven) ditambah 23,1 BSCF
(probable). Cadangan gas ikutan tersebut selama ini belum dimanfaatkan untuk
kepentingan komersial. Dalam hal ini gas ikutan langsung dihilangkan dengan
cara dibakar. Kondisi ini sudah barang tentu akan sangat mengkhawatirkan
mengingat gas ikutan yang dibakar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan,
padahal gas ikutan masih dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yakni
dapat diolah menjadi LPG, kondensat, lean gas atau sekedar dimanfaatkan
karbon dioksidanya (CO2) guna berbagai keperluan seperti untuk keperluan
industri minuman ringan.
Gas ikutan yang tidak dimanfaatkan, namun dihilangkan dengan cara
dibakar juga akan menjadi masalah tersendiri. Dalam hal ini gas ikutan yang
terbuang ke lingkungan akan mencemari lingkungan karena di dalam gas ikutan
yang diperoleh dari industri migas manapun di dalamnya terkandung gas rumah
kaca seperti CO2, gas metan, nitogen oksida, dsb. Kondisi ini akan sangat
merugikan karena adanya CO2, gas nitrogen merupakan bahan pencemar
udara yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan terjadinya
hujan asam. Selain itu CO2, nitrogen dan metan juga merupakan gas rumah
kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global. Kondisi
yang sama juga akan terjadi manakala gas ikutan tersebut dihilangkan dengan
cara dibakar, karena pada pembakaran akan dihasilkan gas rumah kaca yang
didominasi oleh karbon dioksida. Hal ini sesuai dengan pendapat Murdiyarso
(2003) yang mengatakan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon
dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O) dan uap air (H2O) dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan fisik atmosfer bumi (suhu, kelembaban,
91
angin, distribusi curah hujan) dimana dalam jangka waktu yang relatif panjang
(50-100 tahun) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.
Berdasarkan hasil analisis terhadap gas ikutan yang terdapat di lokasi
penelitian memperlihatkan bahwa pada gas ikutan yang dihasilkan di Lapangan
Tugu Barat terdapat CO2 yang jumlahnya mencapai 40%. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa pada gas ikutan terdapat gas rumah kaca dalam jumlah
yang cukup tinggi, sehingga jika gas ikutan ini langsung dibuang ke lingkungan
akan semakin meningkatkan GRK karena konsentrasi gas CO2, nitrogen dan
metan yang semakin meningkat di atmosfir akan semakin memperburuk kondisi
lingkungan. Hal ini disebabkan CO2 dan gas-gas rumah kaca (GRK) lainnya
akan mengakibatkan sebagian radiasi infra merah ditahan di lapisan atmofer.
Pada kondisi alami proses tersebut akan sangat baik karena GRK akan
menjaga suhu bumi tetap hangat (efek tumah kaca atau green house effect),
sehingga menjadi nyaman bagi kehidupan di bumi. Namun untuk saat ini
dengan alam semakin terdegradasi akibat dari banyaknya kehilangan hutan
sebagai akibat penebangan yang tidak bertanggung jawab serta tingginya
konversi lahan menjadi bangunan, akan mengakibatkan bumi semakin panas.
Hal ini sesuai dengan pendapat Folay (1993) yang mengatakan bahwa
akumulasi GRK di atmosfer akan mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu
atmofer bumi, dan selanjutnya dapat dikatakan bahwa peningkatan suhu global
mencapai 0.5 oC.
Walaupun hingga saat ini belum ditemukan literatur yang menyebutkan
secara spesifik tentang sumbangan GRK atau besarnya peningkatan GRK akibat
pembuangan ataupun pembakaran gas ikutan yang dihasilkan dari industri
migas, namun perhitungannya dapat dilakukan dengan menggunakan formula
dari Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories (IPCC, 2006) seperti
berikut. Dengan mengetahui produksi minyak 500 barrel perhari dan produksi
gas ikutan 11 mmscf perhari yang ada di Lapangan Tugu Barat, maka pada
produksi minyak di Lapangan Tugu Barat yang koefisien emisi dari pemakaian
energi dalam ton/TJ 71,77 dan koefisien gas 56,1 (IPCC, 2006), maka CO2
yang akan dihasilkan dari produksi minyak dan dari gas ikutan adalah sebagai
berikut.
1. Minyak = 500 barrel perhari berapa TJ (terra Joule) ?
Konstanta = 0.00573534246575343Jadi 500 x 0.00573534246575343 =
2.867671232876715 x koefisien emisi (71,77) = 205,97 ton perhari.
92
2. Gas ikutan = 11 mmscf/d (perhari) berapa TJ (terra joule) ?
Konstanta = 1.03006750720118
Jadi 11 x 1.03006750720118 = 11.33074257921298 x koefisien emisi
(56,1) = 635,613 ton perhari
3. Total CO2 di Lapangan Tugu Barat 205,97 + 635,613 = 841,583 ton/hari
(40%)
Sedangkan kandungan gas metane (CH4) per hari dan nitogen yang akan
dikeluarkan dari gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat adalah
sebagai berikut.
• Jumlah CH4 pada gas ikutan = (50 %) x 2103,9575 = 1051,97 ton perhari
• Jumlah N2 pada gas ikutan = (1,94 %) x 2103,9575 = 40,8167 ton perhari
Berdasarkan hitungan tersebut terlihat bahwa Lapangan Tugu Barat akan
menyumbang CO2 841,583 ton/hari dan 635,613 ton diantaranya berasal dari
gas ikutan, maka jika gas ikutan dari Lapangan Tugu Barat dibuang langsung
atau dibakar, setiap harinya akan menyumbangkan CO2 635,613 ton/hari.
Sebuah angka yang fantastik untuk mempercepat terjadinya hujan asam (acid
rain) dan pemanasan global (global warming).
Hal yang sama juga terjadi pada gas metane (CH4), dalam hal ini jika
gas ikutan langsung dibuang ke lingkungan akan dihasilkan 1051,97 ton
perhari. Kondisi ini akan sangat mengkhawatirkan, karena menurut Killeen
(1996) GRK tidak hanya berhenti pada terjadinya pemanasan global semata,
namun juga akan dapat merubah siklus air global, sehingga menyebabkan
perubahan pola presipitasi global yang tidak merata. Dalam hal ini pada
daerah-daerah tertentu akan mendapat intensitas hujan yang meningkat,
sedangkan di daerah lainnya intensitas hujan akan menurun. Kondisi ini
selanjutnya akan merubah pola sumber daya air, mempengaruhi ekosistem,
bahkan menurut Parmesan (2000) dan Pounds (2000) akan dapat menurunkan
keanekaragaman hayati.
Kandungan nitrogen yang terdapat pada gas ikutan dan akan dilepaskan
ke atmosfir adalah 40,8167 ton perhari. Kondisi ini sangat membahayakan
karena menurut Koestoer (1990) pencemar SOx dan NOx dapat menyebabkan
terganggunya pertumbuhan tanaman dalam bentuk partikel (deposisi kering).
Selanjutnya dikatakan bahwa nitrogen yang terdapat di udara juga dapat terjadi
dalam bentuk hujan asam (deposisi basah). Terjadinya hujan asam dapat
93
membahayakan terhadap berbagai hal, seperti terhadap tanaman yang terjadi
melalui tanah, terutama hujan asam yang berlangsung dalam waktu yang lama,
sehingga kapasitas penyangga tanah tidak dapat menahan turunnya pH tanah.
Selain itu adanya hujan asam akan mengakibatkan tercucinya kation-kation di
dalam tanah yang sebenarnya sangat berguna untuk pertumbuhan, sehingga
tanah akan kekurangan hara yang diperlukan oleh tanaman (Kennedy, 1992).
Selain itu adanya hujan asam juga akan mengakibatkan cepat rusaknya berbagai
bangunan (Saeni, 1989)
Mengingat gas ikutan yang tidak dimanfaatkan akan menimbulkan
masalah pada lingkungan yang mengakibatkan pemanasan global, pencemaran
lingkungan dan dapat mengakibatkan terjadinya hujan asam, maka perusahaan
migas seperti PT SDK harus berupaya untuk melakukan proses produksi bersih
(nirlimbah) dengan cara meminimalkan atau bahkan memanfaatkan gas ikutan
tersebut untuk bahan baku produksi dan menjadikan hasil produk yang bersifat
lebih komersial. Strategi minimisasi limbah melalui produksi bersih ini, pada
dasarnya mempunyai arti yang sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya
pencegahan pencemaran melalui pemilihan bahan baku yang murah dan aman,
jenis proses yang ramah lingkungan, analisis daur hidup serta teknologi akrab
lingkungan (Surna, 2001). Dalam keadaan ini, strategi yang dilakukan oleh PT
SDK adalah minimalisasi limbah melalui pemanfaatan gas ikutan menjadi
barang yang bernilai ekonomis. Adanya pemanfaatan gas ikutan untuk dijadikan
barang yang bernilai ekonomis ini sudah barang tentu akan sangat
menguntungkan, baik ditinjau dari sisi ekonomi maupun ditinjau dari aspek
lingkungan. Dalam hal ini perusahaan akan mendapatkan keuntungan
tambahan, di lain pihak juga akan meminimalkan terjadinya perubahan iklim
global (global climate change) akibat kegiatan pembuangan gas ikutan (venting
of associated gas) di perusahaan migas. Selain itu adanya pemanfaatan gas
ikutan juga akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan dapat
meminimalisasi kerusakan lingkungan (KLH, 2003). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Allenby (1999) yang mengatakan bahwa industri yang tidak
memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya
kerusakan lingkungan.
Dalam melakukan komersialisasi terhadap suatu bahan, sudah barang
tentu tidak hanya sekedar melihat ada atau tidaknya barang yang akan
dikomersialkan tersebut. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah potensi
94
REFRIGERATION& GLYCOL SYSTEM
LEAN GAS
LPG
KONDENSAT
KOMPRESSOR 1 unit @ 1200 hp
LPG PLANT
CO2 KILANG MINI LPG TUGU BARAT
AMINE UNIT
70% Sales
NEW INVESTMENTSWEET GAS 5 MMSCFD
Gas From Tugu Barat Complex (NEW)
6.5 MMSCFD
KOMPRESSOR 2 unit @ 1400 hp
4.5 MMSCFD
30% Own use
AMINE UNIT
dari gas ikutan yang dikenal dengan istilah cadangan (reserve) gas ikutan pada
industri migas. Berdasarkan data sekunder didapatkan informasi bahwa
cadangan gas ikutan di lapangan Tugu Barat mencapai 35,7 BSCF (proven)
ditambah 23,1 BSCF (probable). Melihat jumlah tersebut, maka gas ikutan di
Lapangan Tugu Barat sangat berpotensi untuk dikomersialkan.
Berdasarkan hasil wawancara di lokasi penelitian juga diperoleh hasil
bahwa kapasitas gas ikutan yang nantinya dapat menjadi gas pasokan di Stasiun
Pengumpul Tugu Barat jumlahnya mencapai 4.5 MMSCFD dan dapat
ditingkatkan menjadi 11 MMSCFD. Menurut beberapa literatur gas ikutan ini
dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Mengingat konsentrasi CO2 pada
gas ikutan di Lapangan Tugu Barat jumlahnya mencapai 40%, maka CO2 yang
terdapat pada gas ikutan dapat dipisahkan untuk selanjutnya dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, diantaranya untuk minuman ringan. Selain itu gas ikutan
juga dapat dimanfaatkan untuk diproses kembali menjadi produk sampingan
(tambahan) industri migas seperti LPG, kondensat dan lean gas. Adapun
ilustrasi rencana pemanfaatan gas ikutan untuk saat ini dan di masa yang akan
datang diilustrasikan pada Gambar 26.
Gambar 29. Rencana pemanfaatan gas ikutan untuk saat ini dan di masa yang
akan datang
95
Rencana pemanfaatan gas ikutan pada saat ini bisa dimulai dengan
memanfaatkan gas ikutan yang berasal dari Lapangan Tugu Barat, yang
mempunyai pasokan sebanyak 4,5 MMSCFD. Namun demikian pada masa
yang akan datang pasokannya dapat ditingkatkan lagi, karena pasokan gas
ikutannya dapat diperbanyak bukan hanya dari Lapangan Tugu Barat, namun
bisa ditambah dengan pasokan gas ikutan yang berasal dari sumur Pasir Catang
dan beberapa sumur lain yang ada di Tugu Barat Kompleks. Adanya tambahan
pasokan ini diperkirakan dapat meningkatkan total pasokan gas ikutan ke fasilitas
ini menjadi kurang lebih sebesar 6.5 MMSCFD. Dengan demikian maka adanya
upaya pemanfaatan gas ikutan seperti yang direncanakan tersebut di atas, akan
dapat menambah pasokan gas ikutan ke Kilang LPG Tugu Barat, sehingga akan
dapat meningkatkan hasil produksinya, dan meningkatkan nilai ekonomisnya.
Karakteristik gas ikutan yang dihasilkan dari setiap lokasi bersifat spesifik (site
specific). Dalam hal ini gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat
Kompleks mengandung gas CO2 dengan jumlah yang mencapai 40%. Kondisi
ini sudah barang tentu akan sangat merugikan karena akan menurunkan tekanan
gas ikutan. Atau dengan kata lain adanya CO2 akan mengganggu. Untuk itu
maka gas CO2 yang terdapat pada gas ikutan harus dipisahkan dari gas lainnya.
Untuk itu, dalam rangka pengembangan pengolahan gas ikutan pada masa yang
akan datang. CO2 yang kandungannya mencapai 40% akan dipisahkan.
Mengingat CO2 merupakan gas rumah kaca yang banyak ditakuti berbagai
kalangan karena dapat meningkatkan pemanasan global (IPCC, 2005) maka gas
CO2 yang sudah dipisahkan tidak mungkin langsung dibuang ke lingkungan,
karena CO2 tersebut dapat semakin mempercepat terjadinya kenaikan panas
bumi (Syahrial dan Bioletty, 2007). Hal ini sesuai dengan pendapat Panjiwibowo
et al. (2003) yang mengatakan bahwa gas-gas yang mampu menghasilkan efek
rumah kaca diantaranya adalah karbondioksida (CO2), nitroksida (N2O),
methana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan
hidrofluorokarbon (HFC). Untuk itu maka gas CO2 yang sudah ditangkap ini
harus disimpan atau dimanfaatkan untuk keperluan lain, dan akan jauh lebih baik
bisa dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, sehingga bisa mendatangkan
nilai ekonomi. Selanjutnya rencana masa yang akan datang ini disebut sebagai
Amine Unite.
96
c.1. Block Diagram Proses pada Amine Unit
Pada penelitian ini dibuat rancangan Amine Unite, dalam rangka
mengantisipasi gas ikutan yang jumlahnya akan semakin meningkat sejalan
dengan meningkatnya eksploitasi dan kebutuhan masyarakat nasional dan lokal
terhadap gas. Berdasarkan perkiraan potensi yang ada dan kebutuhan di masa
yang akan datang, diperkirakan gas ikutan yang berasal dari stasiun pengumpul
Tugu Barat Complex sebesar 6.5 MMSCFD dengan tekanan 5 psig, hendaknya
dapat dikirim melalui pipa berdiameter 4” ke stasiun pengumpul Tugu Barat.
Namun untuk keperluan ini, dalam rangka menghindari rendahnya tekanan akibat
adanya karbondioksida sebelum masuk ke sistem Amine Unit, tekanannya
sebaiknya dinaikkan dulu menjadi 450 psig, setelah tekanannya naik, baru
masuk ke sistem Amine Unit Tugu Barat.
Mengingat CO2 merupakan GRK (IPCC, 2005), maka gas CO2
diupayakan untuk dimanfaatkan (dikomersialkan). Untuk itu pada sistem ini, CO2
yang telah dipisahkan hendaknya dapat dialirkan ke CO2 Plant perusahaan yang
nantinya bertindak sebagai pembeli. Setelah gas CO2 nya dipisahkan,
selanjutnya gas sisanya dialirkan ke LPG Plant Tugu Barat, untuk kemudian
diproses menjadi lean gas, LPG dan Kondensat. Berdasarkan literatur yang ada
maka perencanaan proses yang dapat dilakukan di block diagram diilustrasikan
pada Gambar 30 di bawah ini.
Gambar 30. Proses block diagram pada amine unit di Lapangan Tugu Barat
CO2 To CO2 Plant
Feed Gas from ; Tugu Barat Complex
AMINE PLANT LPG PLANT KOMPRESOR
PRODUCT :
-LPG -LEAN GAS -KONDENSAT
Sweet
EXISTING FACILITY
AMINE PLANT (EXISTING)
97
c.2. Deskripsi Proses Amine Unit System
Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan didapatkan hasil bahwa gas
ikutan (flare gas) yang ada di Lapangan Tugu Barat komplek berasal dari
beberapa stasiun pengumpul di Tugu Barat dan Pasir Catang dengan kandungan
CO2 sekitar 40 %. Menginat tingginya kandungan karbondioksida pada gas ikutan
yang berasal dari Lapangan Tugu Barat, maka jika gas ikutan tersebut akan
dimanfaatkan, CO2 harus dipisahkan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan gas
ikutan yang di dalamnya mengandung CO2 dalam jumlah yang cukup tinggi akan
memiliki tekanan yang rendah, begitupun dengan kalori yang dikandungnya.
Dalam hal ini gas ikutan dari Lapangan Tugu Barat yang mengadung 40% CO2
hanya akan memiliki kalori 750 Btu per satu kaki kubik (BTU/SCF). Kondisi
tersebut akan menyebabkan gas ikutan tidak dapat dijual atau dimanfaatkan
secara langsung.
Seperti telah dijelaskan di depan bahwa pada masa yang akan datang
jumlah gas ikutan akan meningkat sesuai dengan semakin meningkatnya
kebutuhan dalam dan luar negeri yang berimbas pada semakin meningkatnya
eksploitasi. Mengingat gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat
mengandung karbon dioksida hingga 40%, maka material tersebut harus
dipisahkan. Dalam melakukan pemisahan karbon dioksida ini ada dua proses
yang dapat dilakukan yakni melalui kompresi gas inlet dan melalui sistem amine.
Adapun kedua cara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
1). Kompresi Gas Inlet
Pada kompresor gas inlet dapat didisain sedemikian rupa misalnya dibuat
menjadi 3 stage (tahap) dan didesign sedemikian rupa sehingga dapat
meningkatkan tekanan gas dari 5 psig menjadi 450 psig secara bertahap.
Adapun cara-cara yang dapat dilakukan di sini adalah:
• Gas umpan masuk ke suction scrubber stage 1, pada tahap ini cairan
dipisahkan dan dikirim ke slop tank. Dari scrubber ini gas dialirkan ke silinder
kompresor stage 1 sehingga tekanan gas akan di tingkatkan dari 5 psig akan
menjadi 45 psig, dan selanjutnya dialirkan ke suction scrubber stage 2. Di
dalam scrubber gas dan liquid yang terbentuk dipisahkan sebelum gas
mengalir kesilinder kompresor stage 2.
• Di kompresor stage 2 gas dinaikan kembali tekanannya dari bahanya 45 psig
seperti di sebut di atas ke 150 psig. Selanjutnya gas dialirkan ke interstage
98
cooler 2, pada interstage ini gas harus didinginkan menjadi 100 – 120ºF dan
selanjutnya dialirkan ke suction scrubber stage 3. Di dalam scrubber akan
terpisah gas dan cairan. Selanjutnya gas dan cairan ini dipisahkan terlebih
dahulu, untuk kemudian dialirkan ke silinder kompresor stage 3, pada stage
ini gas akan meningkat tekanannya menjadi 450 psig.
• Selanjutnya gas tersebut harus didinginkan kembali. Pendinginan gas ini
dapat dilakukan di after cooler sehingga sebelum masuk ke inlet separator di
amine plant, temperaturnya turun menjadi 1000-120ºF. Gas yang berasal dari
deethanizer reflux accumulator selanjutnya dinaikan kembali tekanannya
hingga menjadi 450 psig dengan cara gas tersebut dimasukkan ke inlet dari
suction scrubber stage 3.
Untuk lebih jelasnya rancangan process flow diagram – MDEA sweetening unit
yang dapat dijadikan acuan untuk hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 31
sedangkan untuk rancangan Piping & instrumentation diagram (P&ID) amine unit
99
Gambar 31. Rancangan PFD - process flow diagram – MDEA sweetening unit 99
100
Gambar 32. Rancangan piping & instrumentation diagram (P&ID) amine unit
100
101
Gambar 33. Tahapan gas kompresi inlet
dapat diilustrasikan pada Gambar 32. Adapun rencana tahapan proses
pemisahaan gas CO2 dilakukan melalui proses kompresi inlet, dengan rencana
tahapan penulis gambarkan secara skematis pada Gambar 33.
2). Sistem Amine Pada sistem amine, rancangan yang dapat dikemukakan di sini adalah
sebagai berikut. Gas dari kompresor gas inlet terlebih dahulu dimasukan ke skid
amine dan dialirkan ke bagian bawah dari amine absorber (T-110). Bagian
bawah dari amine absorber ini akan didisain sedemikian rupa sehingga dapat
digunakan untuk memisahkan cairan hidrokarbon atau air dari aliran gas. Untuk
mendapatkan level cairan yang tepat, maka level cairan di bagian bawah amine
absorber akan dikontrol oleh LC-111, dan pengontrolan ini akan mendapat signal
dari LT-111 yang diletakkan di bagian bawah absorber. Pada rancangan ini hal
yang penting dan perlu untuk diperhatikan adalah mencegah agar cairan tidak
mengalir ke bagian atas amine absorber, karena kondisi ini dikhawatirkan dapat
menyebabkan terjadinya foaming. Foaming ini dapat terjadi karena adanya
cairan asing yang tercampur dengan larutan MDEA seperti lube oil, corrosion
inhibitor, hidrokarbon berat dan bahan-bahan kimia yang digunakan disumur-
sumur gas.
Gas yang telah bebas dari cairan selanjutnya dialirkan dari bagian bawah
absorber ke bagian atas melalui pipa yang menghubungi bagian bawah dan atas
1st stage
2nd stage
3rd stage
Suction
Discharge
102
absorber. Bagian atas dari absorber ini hendaknya terdiri dari 20 tray nutter dan
spacing 24”. Gas selanjutnya dialirkan ke atas melalui tray sedang larutan
MDEA mengalir ke bawah. Larutan MDEA ini selanjutnya akan mengabsopsi
gas karbondioksida (CO2). Selanjutnya larutan rich amine (larutan yang
mengandung CO2) akan keluar dari bagian bawah absorber melalui LCV-110.
Level transmitter LT-110 selanjutnya akan memberikan signal ke level control.
Vessel ini akan didisain mempunyai waktu tinggal 5 menit bagi amine sehingga
akan terjadi pemisahan gas dari larutan amine.
Gas yang mengalir dari bagian atas absorber, selanjutnya akan
bergabung dengan cairan yang dikeluarkan dari bagian bawah absorber dan
selanjutnya akan dialirkan ke inlet separator. Larutan rich amine selanjutnya
akan dialirkan ke lean rich exchanger E-170, dan larutan rich ini dipanaskan
sampai 200ºF oleh larutan lean amine dari stripper atau dari pemanas kolom.
Larutan rich amine selanjutnya akan dimasukkan ke bagian atas dari stripper (T-
210) dan dialirkan kembali ke bawah melalui 17 buah tray nutter yang
mempunyai spacing 24”. Larutan rich amine ini selanjutnya akan dipanaskan oleh
uap air yang dihasilkan oleh amine reboiler.
Larutan amine dari bagian bawah stripper selanjutnya akan dipompakan
ke skid amine heater tempat larutan amine dipanaskan menjadi 235ºF dan
dialirkan kembali ke bagian bawah stripper. Untuk keperluan tersebut akan
digunakan pompa P-190 dan P-200 (hot amine pump) dalam mensirkulasikan
larutan amine menuju dan kembali ke amine heater. Laju alir yang melalui heater
akan didisain untuk selalu mengalir sebanyak 300 gallon per menit dengan
harapan agar dapat menjaga turbulensi di tube dan mengurangi korosi yang
disebabkan oleh gas CO2 yang terlepas di heater. Sebagian dari dischange
pompa booster ini, yakni sebanyak 300 gpm, akan dialirkan ke shell side dari
lean/rich exchanger. Untuk keperluan tersebut, maka digunakan sebuah flow
transmitter FT-190 yang terletak dischange dari pompa booster yang menuju ke
amine heater. Flow trasmitter dan 2 control valve LCV-211 dan LCV-210 akan
digunakan untuk tujuan menjaga flow yang melalui heater. LCV-210 akan
diletakkan di pipa yang menuju heater, sedang LCV-211 diletakkan di pipa yang
menuju ke lean/rich exchanger. Untuk itu aliran yang menuju ke heater harus
selalu dijaga agar senantiasa tetap setiap saat. Pada rancangan ini dibuat agar
pada saat signal tidak ada flow dari transmitter, maka controller fisher ROC akan
103
mematikan fuel gas yang menuju heater, sehingga dapat melindungi heater dari
over heating dan terbakarnya larutan amine.
Pada rancangan ini larutan rich amine yang masuk dari bagian atas
stripper, diupayakan agar turun ke bawah melalui trays, dan selanjutnya
diupayakan menjadi panas, sehingga gas CO2 akan dilepaskan dari larutan. Gas
CO2 ini selanjutnya dialirkan ke bagian atas, dan akan keluar dari bagian atas
stripper. Gas selanjutnya akan dialirkan ke stripper overhead condenser (AE-
23), dan pada bagian ini dirancang sedemikian rupa sehingga aliran ini sekaligus
dapat mendinginkan gas menjadi 1000 - 110ºF dan selanjutnya akan terjadi
kondensasi uap air. Pada rancangan ini selanjutnya campuran dari CO2 dan air
dipompakan oleh P-250 atau P-240, sehingga dapat bergabung dengan larutan
rich amine yang menuju stripper. Level dari stripper reflux condenser dirancang
agar selalu dapat dikontrol oleh LC-220, dengan terlebih dahulu memperoleh
signal dari LT-220 yang sengaja diletakkan di stripper reflux accumulator.
Selanjutnya akan dirancang menjaga flow yang melalui pompa P-240/P-250,
untuk keperluan itu, maka sebuah bypass line dari discharge pompa dialirkan
kembali ke suction pompa, tempat line tersebut terpasang sebuah orifice.
Selanjutnya gas CO2 yang mengalir dari stripper reflux accumulator ini akan
selalu dijaga tekanannya pada kisaran 8 - 12 psig dengan menggunakan PCV-
220.
5.3.2. Potensi Pemanfaatan Gas Ikutan (Flare Gas) di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat
Berdasarkan hasil pengamatan selama di lapangan, pemanfaatan gas
ikutan dan potensi yang dimiliki oleh Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat
adalah sebagai berikut.
a. Pemanfaatan Produksi Minyak dan Gas Lapangan Tugu Barat Komplek menghasilkan produk berupa minyak dan
gas bumi, dengan perincian sebagai berikut:
Minyak.
Minyak yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat Komplek dimanfaatkan
untuk keperluan Kilang (proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi
kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri, dengan cara dikirim ke
Stasiun Pengumpul Utama (SPU) Tugu Barat melalui pipa trunk line (pipa
104
utama) bersama-sama minyak mentah hasil dari Lapangan Mundu, Blok
Jatibarang.
Gas alam (non associated),
Gas alam yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat Komplek digunakan
untuk berbagai keperluan, yakni:
1. Untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok
Jatibarang.
2. Untuk memasok Kilang Mundu untuk selanjutnya diproses (stripping)
menjadi gas LPG.
3. Untuk memasok keperluan gas konsumen industri yakni memasok
PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon.
Gas alam (associated), dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku
(feed stock) pada proses mini LPG plant.
b. Potensi Produksi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat
Hingga saat ini gas ikutan merupakan gas yang keluar ke lingkungan dari
reservoar gas bumi pada saat dilakukan produksi gas, dan untuk
menghilangkannya biasanya dilakukan dengan cara membakar gas ikutan
tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar 31. Pada dasarnya pemanfaatan
gas ikutan (flare gas) seperti yang dirancang di atas ini, akan sangat
menguntungkan ditinjau dari berbagai aspek, karena dengan dimanfaatkannya
gas ikutan ini akan dapat menambah pasokan gas alam (lean gas) dan
menambah pasokan LPG dalam negeri, khususnya di Jawa Barat yang saat ini
permintaan (demand) untuk berbagai keperluannya semakin meningkat.
Gambar 34. Gas ikutan (flaring) yang akan di manfaatkan oleh PT.SDK
Gas Ikutan (Flaring Gas ) yang akan di manfaatkan
105
Berdasarkan hasil perhitungan potensi gas ikutan (flare gas) yang ada di
Lapangan Tugu Barat dan sekitarnya diperkirakan berjumlah 10 juta sampai 11
juta kaki kubik per hari (MMSCFD), dan hingga saat ini masih belum
termanfaatkan. Pada saat dilakukan penelitian ini terindikasi bahwa potensi gas
ikutan yang belum termanfaatkan tersebut mempunyai potensi yang sangat
besar untuk dimanfaatkan karena Lapangan Tugu Barat dan sekitarnya mampu
menyediakan gas ikutan yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan baku
(feed stock) dalam jumlah 10 sampai dengan 11 MMSCFD untuk jangka waktu
10 tahun (2009 s/d 2019). Hal ini di dukung oleh hasil reservoir studi cadangan
yang dilakukan oleh PT SDK yang memperlihatkan bahwa produksi cadangan
gas ikutan diperkirakan lebih dari 11.5 MMSCFD, dan jumlah tersebut akan relatif
konsisten untuk kurun waktu lebih dari 15 tahun (PT SDK, 2007). Hal ini sesuai
dengan kajian yang dilakukan oleh PT.Pertamina EP Region Jawa, (2008) bahwa
potensi gas ikutan mulai tahun 2005 hingga tahun 2015 di Lapangan Tugu Barat
Komplek dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Potensi produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Kompleks (dalam MMSCFD) Kabupaten Indramayu
Lokasi Tahun TGB-A TGB-B TGB-C Tudung TGB-D PCT Total
2005 3,36 2,52 - - - 1,86 7,742006 3,19 1,95 3,50 - - 1,47 10,112007 3,03 1,50 3,50 - 1,50 4,73 14,262008 2,90 1,16 3,50 - 1,50 4,49 13,552009 2,08 0,90 3,50 - 1,50 4,25 12,232010 1,20 0,70 3,50 - 1,50 4,04 10,942011 0,68 0,54 3,50 - 1,50 3,82 10,042012 0,60 0,43 3,50 2,90 1,60 2,52 11,552013 0,58 0,43 3,50 2,90 1,60 2,50 11,512014 0,58 0,43 3,50 2,90 1,60 2,49 11,502015 0,58 0,43 3,50 2,90 1,60 2,49 11,50
Keterangan : TGB-A = Lapangan Tugu Barat Komplek A TGB-B = Lapangan Tugu Barat Komplek B TGB-C = Lapangan Tugu Barat Komplek C TGB-D = Lapangan Tugu Barat Komplek D PCT = Lapangan Pasir Catang Sumber : PT.Pertamina EP Region Jawa, 2008
Selain dilihat dari jumlah seperti tersebut di atas, kondisi gas ikutan di
Lapangan Tugu Barat juga dapat dilihat dari kecukupan cadangan gas tersebut,
yang dapat dilihat dari nilai GOR (gas to oil ratio)-nya. Adapun nilai GOR ini
106
didapat berdasarkan volume gas ikutan yang terkandung dalam reservoir minyak,
yang dihitung dengan perhitungan persamaan Darcy untuk aliran multi fasa,
adapun cara menghitungnya volume gas (cubic feet) dibagi volume oil (barrel),
sebagai berikut:
Input gas = 11 mmscf - berapa barrel oil equivalent (BOE)? = 11 x konstanta (179,6000000135) = 1975,6 barrel oil equivalent GOR = 1975,6 / 500 = 3,95
Dalam hal ini jika nilai GOR lebih dari 1 mengandung arti bahwa nilai
tersebut bagus, dalam arti cadangan gas tersebut cukup). Dari perhitungan GOR
yang ada di Lapangan Tugu Barat seperti tersebut di atas, memperlihatkan
bahwa nilai GOR Lapangan Tugu Barat adalah 3,95. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa cadangan gas yang terdapat di Lapangan Tugu Barat masuk pada
kategori cukup. Hal ini mengandung arti bahwa berdasarkan cadangan gas
tersebut, maka industri pengolahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat
mempunyai potensi yang baik untuk dilaksanakan dan dikembangkan, sehingga
akan bermanfaat secara ekonomi karena gas ikutan akan diolah menjadi LPG
dan CO2 yang bernilai ekonomis bahkan LPG-nya dapat mengganti minyak tanah
yang subsidinya sangat tinggi.
Pemanfaatan gas ikutan menjadi LPG juga akan mengurangi lepasnya
GRK ke atmosfir dalam jumlah yang sangat banyak, yakni gas CO2 sebanyak
635,613 ton CO2 perhari dan lepasnya gas metan sebanyak 1051,97 ton perhari;
serta akan mengurangi bahan pencemar udara berupa nitrogen sebanyak
40,8167 ton perhari. Pemanfaatan gas ikutan juga sekaligus dapat membuka
lapangan pekerjaan baru, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran
masyarakat.
Mengingat cukup melimpahnya gas ikutan di Lapangan Tugu Barat,
sehingga sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam rangka memaksimalkan
produksi dan ekonomi sekaligus meminimalkan pencemaran lingkungan, maka
PT.Pertamina harus berupaya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya
(reasonable endavour) untuk menyalurkan gas kepada PT.SDK sebesar 11.5
mmscfd dengan komposisi apa adanya yang diproduksi dari Lapangan milik
PERTAMINA di komplek Tugu Barat dan Pasir Catang. Berdasarkan Tabel 11
terlihat bahwa Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi yang tinggi dalam
menghasilkan gas ikutan. Jika gas ikutan tersebut hanya hilang ke udara atau
107
dibakar seperti yang saat ini terjadi (Gambar 34), berpengaruh jiwa manusia
pada dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (mengeksploitasi gas) akan
mengakibatkan konsentrasi GRK di atmosfir mengalami penambahan yang
signifikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Murdiarso (2003) dan
CCSP (2003), bahwa konsentrasi GRK selalu meningkat akibat pola hidup
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya dalam rangka
mengurangi hal tersebut, maka lepas atau dibakarnya gas ikutan harus
diminimalkan.
Upaya pemanfaatan gas ikutan ini harus segera diwujudkan mengingat
gas ikutan tidak hanya akan dihasilkan di Lapangan Tugu Barat, namun akan
dihasilkan dari seluruh reservoar minyak dan gas bumi yang ada di seluruh
Indonesia, bahkan di seluruh belahan bumi. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Hidayati (2001) yang mengatakan bahwa berdasarkan data historis
rata-rata, suhu udara di Indonesia meningkat sebesar 0.30C per tahun sejak
tahun 1900 dan telah mengakibatkan curah hujan berkurang 2 % hingga 3 %
terutama pada bulan Desember – Februari. Sejalan pula dengan hasil penelitian
Hidayati (1990); Rozari, Hidayati dan Manan (1992); Hidayati, Abdullah dan
Suharsono (1999) yang mengatakan bahwa suhu di sebagian besar wilayah
Indonesia terutama siang hari meningkat, namun curah hujannya tidak
menunjukkan pola yang sama. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan
banyaknya gas ikutan yang dibuang atau dibakar, dikuatirkan akan semakin
mempertinggi perubahan suhu dan semakin menurunkan curah hujan. Dan
berdasarkan pendugaan iklim dengan menggunakan model sistem iklim untuk
menduga iklim dunia pada masa yang akan datang, yang merupakan model
sirkulasi udara global GCMs (Global Circulation Models) yaitu : CCCM
(Canadian Climate Cetre Model), GISS ( NASA’s Goddard Institute for Space
Studies), GFDL (NOAA’s Geophysical Fluid Dynamics Laboratory) dan UKMO
(United Kingdom Meteorological Office); diprediksi bahwa suhu global akan naik
sebesar 2,80 hingga 5,20C dan presipitasi global akan naik sebesar 7 % hingga
16 % jika konsentrasi CO2 menjadi 2 kali lipat (Indonesian Country Study Team
on Climate Change, 1998).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka gas ikutan yang jumlahnya
banyak dengan kandungan CO2-nya yang bervariasi pada setiap lapangan
minyak (Syahrial dan Bioletty, 2007), apalagi eksploitasi minyak dan gas bumi
semakin meningkat; harus segera dimanfaatkan dan dijadikan produk yang
108
bernilai ekonomis. Jika gas ikutan tersebut dapat dimanfaatkan kembali, maka
perusahaan migas tersebut dapat dikatakan sudah melakukan produksi bersih
atau sudah menciptakan mekanisme pembangunan bersih. Namun demikian
karena sifatnya spesifik pada setiap lokasi, maka dalam pemanfaatannya, harus
dilakukan teknologi yang spesifik sesuai dengan sifat gas ikutan di lokasi
tersebut.
c. Komposisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat
Pada dasarnya gas dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu feed gas, sweet
gas, dan CO2. Berdasarkan hasil analisis terhadap komposisi pada ketiga jenis
gas tersebut, ternyata ketiga gas tersebut memiliki komposisi yang berbeda
antara jenis yang satu dengan yang lainnya. Adapun komposisi ketiga gas
tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Analisa komposisi gas di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu
Process Streams Composition Feed Gas
(%) Sweet Gas
(%) C02 (%)
CO2 39,73* 0,26 90,79Methane 50,14* 82,66 0,57Ethane 3,69* 6,08 0,04Propane 2,44* 4,03 0,02i-Butane 0,45* 0,74 0,002n-Butane 0,73* 1,21 0,003i-Pentane 0,21* 0,35 0,0005n-Pentane 0,19* 0,31 0,0004n-Hexane 0,49* 0,81 0,0012n-Heptane 0,00* 0,00 0,00n-Octane 0,00* 0,00 0,00Nitrogen 1,94* 3,20 0,0130Water 0,00* 0,34 8,56MDEA 0,00* 8,33 5,16Temperature F 110,00* 120,49 119.,99Pressure Psia 190,00* 507,00 20,00Mass Flow lb/h 21.161,80 8.722,15 12.946,20Std Vapor Volumetric Flow MMSCFD 6,50* 3,92 2,83
Sumber : Corelabs, 2007
109
Tabel 11 memperlihatkan bahwa gas ikutan baik yang masuk pada
kategori feed gas maupun sweet gas mempunyai kandungan karbondioksida dan
metan yang tinggi, padahal baik karbondioksida maupun gas metan merupakan
gas rumah kaca yang jumlahnya paling dominan diantara gas rumah kaca
lainnya yang dapat mengakibatkan munculnya efek rumah kaca (Abrahamson,
1989). Pada Tabel 12 juga terlihat bahwa kandungan CO2 pada feed gas kurang
lebih 39,73%, pada sweet gas hanya 0,26%, dan pada gas karbon dioksida,
kurang lebih 90,79%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa jika feed gas akan
dimanfaatkan, maka karbondioksida yang terdapat pada feed gas tersebut harus
dipisahkan terlebih dahulu, karena jika di dalamnya terdapat karbondioksida
sejumlah itu, maka selain kalorinya menjadi rendah, juga akan mengakibatkan
tekanan yang rendah, sehingga menyulitkan dalam mengkonversi feed gas
tersebut. Namun demikian karbon dioksida tersebut masih dapat dimanfaatkan.
Berbeda dengan pada feed gas, kandungan CO2 pada sweet gas sangat rendah,
sehingga sweet gas dapat langsung diolah.
Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa kandungan gas methane pada
sweet gas lebih tinggi dari pada feed gas dan CO2 yaitu mencapai 82,66 %
sedangkan feed gas dan CO2 hanya bernilai masing-masing 50,14 % dan 0,57
%. Hal yang sama ditunjukkan pada kandungan ethane, propane, i-butane, n-
nutane, i-pentane, n-pentane dan n-hexane lebih tinggi pada sweet gas
dibandingkan dengan feed gas dan CO2. Kandungan n-heptane dan n-oktane
tidak ditemukan baik pada feed gas, sweet gas dan CO2, demikian juga halnya
dengan air dan MDEA tidak ditemukan pada feed gas sedangkan pada sweet
gas dan CO2 terdapat air dan MDEA dengan komposisi masing-masing 0,34 %
dan 8,33 % untuk sweet gas dan 8,56 % dan 5,16 % untuk CO2.
Hasil analisis terhadap ketiga gas ini juga memperlihatkan adanya
perbedaan temperatur. Sweet gas memiliki temperatur yang lebih tinggi yaitu
sebesar 120,49 oF dibandingkan dengan feed gas dan CO2 dengan temperatur
masing-masing sebesar 110,00 oF dan 119,00 oF, namun perbedaan temperatur
ini tidak terlalu nyata. Selain adanya perbedaan temperatur, ketiga gas tersebut
juga mempunyai perbedaan tekanan (pressure), yaitu sweet gas memiliki
tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan feed gas dan CO2. Tekanan
pada sweet gas mencapai 507,00 Psia sedangkan pada feed gas dan CO2 hanya
mencapai 190,00 Psia dan 20,00 Psia.
110
Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa baik proses streams feed gas,
sweet gas dan CO2 terdapat gas nitrogen dengan konsentrasi berturut-turut
1,94%; 3,2% dan 0,0130%. Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian
mengingat CO2 dan nitrogen yang lepas ke atmosfir akan berubah menjadi NOx
yang jika hujan akan berubah menjadi asam karbonat (H2CO3) dan nitogen akan
berubah menjadi asam nitrat. Hal ini sesuai dengan pendapat Finley (2001) yang
mengatakan bahwa hujan asam (acid rain) adalah turunnya derajat kemasaman
(pH) air hujan karena terjadinya reaksi antara zat-zat pencemar dengan air di
udara membentuk suatu komposisi baru di udara yang bersifat asam dan turun
bersama air hujan, sehingga air hujan yang turun mempunyai nilai pH yang
rendah. Air hujan pada kondisi normal mempunyai nilai pH 5,6. Hujan asam
biasa terjadi di daerah industri yaitu merupakan efek dari pelepasan zat-zat
pencemar SOx dan NOx ke udara dengan konsentrasi yang besar. Pengaruh
hujan asam tidak selalu langsung mematikan tanaman (Anonim, 2003)
d. Penyaluran dan Pemasaran Produksi Gas Kilang Tugu Barat Mengingat tingginya potensi gas rumah ikutan di Kilang Tugu Barat dan
dalam rangka melakukan proses produksi bersih sekaligus akan mendatangkan
keuntungan ekonomi dan melindungi lingkungan, maka gas ikutan disarankan
untuk diolah kembali menjadi lean gas, kondensat atau LPG dan CO2-nya juga
dipisahkan untuk tujuan komersial. Selanjutnya hasil pengolahan gas ikutan ini
menjadi milik PERTAMINA, sehingga selanjutnya PERTAMINA memasarkan
hasilnya.
Dalam pemasaran hasil olahan gas ikutan ini, produk berupa LPG dan
kondensat sebaiknya dijual ke perusahaan lain atau yang biasa dikenal dengan
istilah mitra usaha lain (bisa melalui penunjukkan atau pola lain), untuk itu ada
baiknya perusahaan pembeli (mitra usaha lain) diikat dengan kontrak kerja sama
jangka panjang. Namun untuk produksi lean gas, ada baiknya PT SDK
menyalurkannya ke transmisi gas utama PERTAMINA misalnya ke PERTAMINA
Cemara. Untuk itu PT SDK idealnya membangun jalur instalasi pipa gas terlebih
dahulu yang mempunyai diameter 4 inch sepanjang 22.7 km dari Kilang Tugu
Barat ke jalur transmiisi gas utama PERTAMINA di Cemara. Untuk keperluan
tersebut, maka mitra usaha lain yang sebaiknya ada adalah :
111
1. Penyalur / Transporter LPG Yakni pembeli LPG yang memiliki kontrak dengan PERTAMINA dan
melakukan pengambilan LPG dengan menggunakan truk tangki (bulk).
2. Pembeli / Pengangkut Kondensat Yakni pembeli kondensat yang memiliki kontrak dengan PERTAMINA dan
melakukan pengambilan kondensat dengan menggunakan truk tangki (bulk).
3. Pembeli lean gas / jalur instalasi pipa Yakni pembeli lean gas yang membeli melaui PT. SDK yang disalurkan
melalui pipa instalasi dari kilang Tugu Barat ke jalur transmisi gas utama milik
Pertamina di Cemara, di salurkan oleh PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon Ke
Customer (enduser)
4. Pembeli / Pengangkut CO2 : Pembeli CO2 yang memiliki kontrak dengan PERTAMINA dan tidak berafiliasi
dengan PT.SDK atas CO2 yang akan dimurnikan (purification facility) yang
terletak di dalam area MMGP.
Untuk lebih jelasnya rencana jalur distribusi dan pemasaran gas ikutan Kilang
Tugu Barat dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35. Rencana jalur distribusi dan pemasaran gas ikutan Kilang Tugu Barat
PERTAMINA
LPG PT. B
Kondensat PT. C
Lean Gas
CO2 Processing
Pengguna CO2
Kilang Mini PT. SDK
112
5.3.2. Kualitas Lingkungan Kondisi eksisting kualitas lingkungan lapangan Tugu Barat
memperlihatkan bahwa kualitas air limbah relatif kurang baik, karena hasil
analisis terhadap air limbah di beberapa titik (lokasi) memperlihatkan bahwa suhu
air limbah berkisar 27,20 – 48,0ºC. Suhu tertinggi terjadi di Mundu yang
mencapai 48ºC, sedangkan di tempat lain masih relatif baik yakni 27,20 – 30,4
ºC. Khusus Mundu, air limbah yang dihasilkan tersebut dimasukkan ke dalam
saluran yang berkelok-kelok sehingga pada saat bersatu dengan badan air
suhunya sudah turun menjadi 31ºC. Kondisi ini tidak terlalu mengkhawatirkan
mengingat menurut Nybakken (1992) suhu 28-31 ºC merupakan suhu alami dan
dapat mendukung kehidupan dalam ekosistem perairan dengan baik.
Pada penelitian ini juga diamati konsentrasi oksigen terlarut (DO) dalam
air. Hasil analisis terhadap DO memperlihatkan hasil yang bervariasi yakni
mulai dari tidak terdeteksi hingga sangat jenuh (8,3 mg/l), dengan DO tertinggi di
stasiun Bongas yakni 8,3 mg/l dan dan terendah di stasiun Pamanukan yakni
tidak terdeteksi, sedangkan di stasiun lainya mempunyai DO 4,99 sampai
5,86mg/l. DO yang ada di stasiun Bongas yang tidak terdeteksi sangat
mengkhawatirkan karena Oksigen terlarut merupakan senyawa yang sangat
penting dalam kehidupan di ekosistem perairan, dan sangat esensial bagi
pernapasan dan metabolisme organisme yang hidup di dalamnya Selain itu
oksigen terlarut juga berguna untuk penghancuran bahan organik atau bahan
pencemar yang terdapat dalam ekosistem perairan (Saeni, 1988)
Tidak terdeteksinya oksigen terlarut pada air limbah yang terdapat di sungai
Pamanukan, diduga karena bahan organik yang terdapat pada limbah yang
terdapat di stasiun Pamanukan sangat tinggi, sehingga dibutuhkan jumlah
oksigen yang sangat banyak untuk menguraikannya menjadi bahan anorganik.
Hal ini sesuai dengan pendapat Das dan Acharya (2003) yang mengatakan
bahwa rendahnya konsentrasi oksigen terlarut pada perairan salah satunya
disebabkan oleh penggunaan oksigen terlarut tersebut untuk dekomposisi bahan
organik. Kondisi ini akan memberi dampak negatif terutama pada beberapa
spesies yang sensitif terhadap oksigen.
Pada pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian juga terdeteksi
adanya amoniak dengan konsentrasi yang bervariasi. Pada stasiun selain
stasiun Mundu kandungan amonianya tidak terdeteksi, sedangkan di Stasiun
Pamanukan konsentrasinya mencapai 1,16mg/l. Kondisi ini sesuai dengan
113
kandungan oksigen yang terdapat di Stasiun Pamanukan yang tidak terdeteksi.
Hal ini memperkuat kenyataan bahwa di limbah yang terdapat di Stasiun
Pamanukan bahan organiknya banyak.
Limbah yang dihasilkan di lokasi penelitian rata-rata mempunyai salinitas
15 permil. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena air limbah ini mempunyai
kadar garam yang cukup tinggi, sehingga akan mengganggu kehidupan mahluk
hidup yang ada pada sungai yang pada umumnya airnya tawar.
Kandungan minyak di beberapa stasiun pada umumnya rendah, hanya di
Stasiun Bongas yang konsentrasinya mencapai 6,06mg/l, namun setelah limbah
tersebut masuk ke dalam perairan umum konsentrasinya menurun menjadi
0,54mg/l. Berdasarkan persyaratan KLH bahwa kandungan minyak pada limbah
diperbolehkan hingga10mg/l. Berdasarkan hal ini maka limbah yang dihasilkan
dari stasiun penelitian masih cukup aman untuk dibuang ke lingkungan (badan
air). Namun demikian adanya minyak pada ekosistem perairan ini perlu
diwaspadai, karena minyak akan melapisi/menutup permukaan air, sehingga
akan mengganggu proses fotosintesa dan akan menurunkan estetika perairan.
Selain itu menurut Holcomb (1969) walau dampaknya terhadap organisme laut
sulit diketahui karena pengaruhnya lama sekali, namun keberadaannya perlu
diwaspadai. Hal ini sesuai dengan pendapat Mitcell et al. (1970) bahwa
pengaruh kontaminasi minyak terhadap komunitas organisme perairan dapat
bervariasi dari pengaruh yang kecil sekali (negligible) hingga pada terjadinya
kemusnahan (catastrophic).
Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa pH air limbah di lokasi
penelitian rata-rata netral yakni 7,1 – 7,4. Kondisi ini tidak mengkhawatirkan
karena menurut NTAC (1968) pH air yang berkisar antara 6,5 – 8,5 akan
mendukung kehidupan organisme akuatik yang ada di dalamnya. Pada penelitian
ini juga teridentifikasi bahwa kandungan fenol, sianida, sulfida, amonia, minyak
mineral Hg, Pb, Cd, Cr, Zn dan Mn sangat rendah sehingga tidak terdeteksi pada
limbah yang dihasilkan di Lapangan Tugu Barat.
Hasil analisis terhadap sumur penduduk memperlihatkan bahwa air
sumur penduduk mempunyai salinitas 15 permil. Tingginya kadar garam di
sumur penduduk diduga karena adanya intrusi air laut, mengingat di wilayah
tersebut hutan mangrovenya relatif sedikit. Kondisi ini cukup menkawatirkan
mengingat air sumur tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk air minum, dan dari
hasil wawancara dengan masyarakat setempat juga mengatakan bahwa air
114
sumur tersebut hanya digunakan untuk kegiatan mencuci, mandi dan kakus
(MCK).
Air sumur penduduk mempunyai amonia 0,47 – 0,88mg/l, dengan
konsentrasi tertinggi di Stasiun Bongas yakni 0,88mg/l. Kondisi ini juga cukup
menghawatirkan mengingat secara estetika sudah kurang baik dan kandungan
amonia yang tinggi ini mengakibatkan air sumur tidak layak konsumsi. Hal ini
disebabkan amonia yang bersifat sangat labil akan sangat mudah berubah
menjadi nitrit. Jika perubahan menjadi nitrit terjadi, selanjutnya nitrit akan
berikatan dengan hemoglobin, membentuk methemoglobin. Oleh karenanya
Horne dan Goldman (2002) mengatakan bahwa nitrit (NO2-) merupakan
pencemar berbahaya terutama dalam konsentrasi yang tinggi. Menurut
Manahan (1977) dan Saeni (1988) nitrit dalam tubuh manusia akan bereaksi
dengan hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut
oksigen; dan menurut Alaert et al. (1983) akan mengakibatkan keracunan pada
bayi dan dapat menimbulkan nitrosamin pada air buangan yang nantinya dapat
menjadi bahan pencetus kanker.
pH air sumur juga tinggi (bersifat basa), hal ini dapat dimaklumi
mengingat kandungan mineral yang tercermin air sumur juga tinggi. Namun
demikian kekeruhan, BOD, fenol, sianida, sulfida yang terdapat pada air sumur
tidak terdeteksi, sehingga tidak mengkhawatirkan. Namun demikian mengingat
tingginya salinitas dan amoniak pada air sumur, maka tidak direkomendasikan
untuk memanfaatkan air sumur karena pada akhirnya dapat membahayakan
penduduk.
Air sungai tempat membuang limbah mempunyai pH 7,1 - 7,2, kondisi ini
tidak mengkhawatirkan karena menurut NTAC (1968) ekosistem perairan dengan
pH air berkisar 6,5 – 8,5 ideal bagi kehidupan akuatik. Salinitas air di stasiun
Sungai Singaraja 15 permil, kondisi ini memperlihatkan bahwa Sungai Singaraja
kadar garamnya tidak hanya dipengaruhi oleh limbah dari industri migas, namun
diduga ada pengaruh dari air laut. Kadar garam di stasiun lainnya yakni di
Sungai Kartasemaya dan Betokan 0 permil. Hal ini memperlihatkan bahwa
kedua stasiun ini kurang terpengaruh oleh air laut.
Kekeruhan di semua sungai yang diteliti cukup tinggi yakni rata-rata 590
NTU. Kondisi ini diduga bukan terpengaruh oleh air limbah dari lokasi penelitian,
namun berasal dari bagian hulunya yang pada umumnya mengalami erosi yang
membawa partikel tanah dan lumpur baik berupa koloid maupun yang
115
tersuspensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Pescod (1973) yang mengatakan
bahwa tingkat kekeruhan suatu perairan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi
dan koloid yang terkandung di dalam perairan tersebut.
DO air sungai di semua stasiun cukup tinggi yakni rata-rata 4,5 mg/l;.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa air sungai cukup baik untuk kehidupan biota
yang ada di dalamnya. Tingginya DO pada semua stasiun ini juga disebabkan
oleh tingginya agitasi pada sungai akibat adanya aliran air yang cukup deras.
Tingginya aliran air ini mengakibatkan tingginya pergantian air, sehingga tidak
memungkinkan bahan organik mengendap dalam jumlah yang banyak, oleh
karenanya maka BOD dalam air sungai juga cukup rendah yakni hanya berkisar
3,21 – 6,70mg/l
Kandungan minyak pada sungai di dua stasiun sangat rendah sehingga
tidak terdeteksi namun pada Sungai Singaraja minyaknya cukup tinggi bahkan
tertinggi diantara tiga sungai yakni mencapai 7,6mg/l. Ditinjau dari kandungan
minyak dalam air sungai walaupun masih dibawah baku yang diperbolehkan,
namun juga harus diwaspadai karena kurang baik untuk perikanan yang tersebar
di sepanjang pesisir Indramayu dan Pamanukan.
Hasil analisis terhadap udara dan kebisingan memperlihatkan bahwa
secara umum baik dilihat dari debu, SO3, NOx, Ox, H2S dan CO2 di semua
stasiun memperlihatkan nilai yang ada dibawah baku mutu yang sudah
ditetapkan (Tabel 12). Hal ini memperlihatkan bahwa pada saat dilakukan
penelitian ini PT SDK memperlihatkan tidak mencemari udara yang ada di
sekitarnya.
Tabel 12. Kualitas udara di lokasi penelitian
No Lokasi Debu (m/m3)
SO3 (ppm)
NOx (ppm)
Ox (ppm)
H2S (ppm)
CO2 (ppm)
1 SPU Mundu A 55,6 0,005 0,042 0,008 0,022 4976 2 SPU Mundu B 23,9 ttd 0,032 0,071 0,005 4895 3 SPU Balongan 61,3 0,010 0,034 0,053 0,041 5000 4 Desa Kedokan Bunder 149 ttd 0,023 0,033 0,019 4900 5 SPU Cemara 25,6 0,009 0,034 0,069 0,046 7500 6 Pmk Bongas Barat 125 0,005 0,012 0,011 Ttd 1200 7 SPU Bongas 103,0 ttd 0,042 0,059 0,220 5100 8 PMK sumberdaya
(perkapuran 136,0 0,006 0,070 0,060 0,004 5300
260 0,100 0,050 0,100 0,030 -
116
5.4. Kesimpulan Eksplorasi di Lapangan minyak dan gas Tugu Barat di Kabupaten
Indramayu dari tahun 1932 hingga saat ini cenderung terus meningkat, dengan
produksi minyak tertinggi terjadi pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil
per day (BOPD), namun sisa cadangannya mengalami penurunan (tahun 1992
sebesar 3.079,23 MSTB menjadi 1.362,85 MSTB pada tahun 2001). Sedangkan
untuk gas mengalami peningkatan produksi hingga tahun 1998, dan selanjutnya
mengalami penurunan. Selain produksi tersebut, Lapangan Minyak dan Gas
Tugu Barat juga mempunyai cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF
dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable.
Jumlah bahan pencemar yang terdapat pada gas ikutan yang dibuang
langsung ke lingkungan CO2-nya mencapai 841,583 ton perhari, jumlah gas
metane 1051,97 ton perhari serta jumlah nitrogen 40,8167 ton perhari, sehingga jika dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara, hujan
asam (acid rain), pemanasan global (global warming) dan pada akhirnya ikut
menyumbang terjadinya perubahan iklim global (global climate change).
Gas ikutan yang ada di Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi untuk
dimanfaatkan dengan cadangan yang cukup banyak (GOR >1) dan dapat
dimanfaatkan baik gas metannya maupun CO2-nya, sehingga sudah dapat
dirancang rencana pemanfaatannya, rancangan procesc diagramnya, rencana
pemipaannya serta pengerjaannya di Lapangan Tugu Barat.
Kondisi eksisting di PT SDK memperlihatkan bahwa perusahaan ini tidak
mencemari udara, namun penanganan limbah cairnya relatif masih belum terlalu
baik.
117
Daftar Pustaka
Allenby, B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation. Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA.
Berita Negara. 2007. Wakil Presiden (Jusuf Kalla). Estimasi Penghematan Subsidi Minyak Tanah Program Konversi Minyak Tanah (Mitan) ke LPG.
Corelabs. 2007. Analisa Komposisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu Jawa Barat.
Des Jardins, JR. 1993. Evironmental Ethics, An Introduction To Enviromental Philosophy. Belmont, California. 272p.
Departemen ESDM. 2008. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak di Indonesia Tahun 2000-2006, Indonesia Energy Statistick. Pusdatin ESDM.
________________. 2008. Indonesia Gas Production and Consumption In 2000-
2006, Indonesia Energy Statistick. Pusdatin ESDM Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat dan Lembaga Penelitian
dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB. 2003. Laporan Akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomis di Kabupaten Indramayu dan Majalengka.
Estimasi Perbandingan Penggunaan Bahan Bakar di Perusahaan Listrik Negara (PLN). 2005. Kompas 8 Juli 2005. Jakarta.
Hanley, N.; J.F. Shogren; and B.White. 2002. Environmental Economics. In
Theory and Practice. Palgrave Macmillan. Bristol, UK. 464p. IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories
Indonesia Country Study on Climate Change. 1998. Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia. The Ministry of Environment the Republic of Indonesia. Jakarta
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 :
Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Pemanfaatan Gas Ikutan Meminimalkan
Kerusakan Lingkungan. Lemigas. 2006. Kondisi Pemanfaatan Gas Berdasarkan Penggunaan. CCOP
Workshop, Beijing China.
118
Murdiyarso D, 2003, Sepuluh Tahun Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim, PT.
Kompas Media Nusantara.Jakarta.
PT. Pertamina EP Region Jawa. 2008. Potensi Produksi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Kompleks (dalam mmscfd) Kabupaten Indramayu- Jawa Barat.
[PT.SDK] PT. Sumber Daya Kelola. 2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
VI. KELAYAKAN EKONOMI PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI LAPANGAN MINYAK TUGU BARAT, INDRAMAYU
Abstrak
Pengembangan industri gas ikutan di Lapangan produksi minyak Tugu Barat Indramayu memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan pemerintah setempat baik manfaat langsung maupun manfaat tidaklangsung. Namun demikian dalam pengembangannya, investasi yang dilakukan secara ekonomi belum tentu layak untuk dikembangkan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu. Penelitian menggunanak metoda analisis kelayakan ekonomi dengan pendekatan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), dan analisis Profitability Index. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu secara ekonomi layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari keuntungan bersih yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00 dengan kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 % (IRR total). Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback loan yang berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak dan untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan. Artinya perusahaan akan memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi sehingga perusahaan memperoleh keuntungan. Adapun biaya-biaya perlindungan lingkungan dan biaya social yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dalam penelitian ini belum diperhitungkan. Kata kunci : Kelayakan ekonomi, pemanfaatan gas ikutan, NPV, IRR, PBP
6.1. Pendahuluan Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di pesisir utara
Jawa Barat yang memiliki potensi sumberdaya alam tidak dapat pulih seperti
minyak dan gas bumi yang cukup besar. Pada tahun 1977 telah diresmikan
kilang LPG Mundu di Kecamatan Karangampel, Indramayu. Kapasitas terpasang
mengolah bahan baku natural gas sebesar 1.000.000 NM3/hari (37 MMSCFD).
Bahan baku non assosiated gas sebesar 600.000 NM3/hari dan assosiated gas
sebesar 400.000 NH3/hari. Produk yang dihasilkan adalah produk utama LPG
(100 ton/hari), minasol-M (56 Kl/hari), lean gas ( 656.00 N3M/hari dan propane).
120
Dalam rangka tersedianya bahan bakar minyak (BBM), Pertamina
mengoperasikan kilang minyak di Kecamatan Balongan. Kilang UP VI Balongan
dapat memenuhi kebutuhan BBM untuk DKI Jakarta (40%) dan sebagian Jawa
Barat (Bapeda Jabar, 2007).
Selanjutnya PT. Pertamina (Persero) Direktorat Hulu bekerjasama
dengan PT. Sumber Daya Kelola (PT. SDK) dengan menandatangani kontrak
untuk pengembangan industri gas ikutan (flare gas) dalam rangka mendapatkan
nilai tambah di lapangan produksi minyak Tugu Barat Jawa Bagian Barat (DOH-
PERTAMINA JBB). Kontrak telah berjalan selama 10 tahun yang dimulai pada
tahun 1995 dan berakhir pada tahun 2005. Dalam menjalankan usahanya,
PT.Sumber Daya Kelola sebagai perusahaan “pionir” dalam industri pengolahan
gas berskala mini dan menengah telah terbukti berhasil dan mampu
melaksanakan kontrak pembangunan, operasi dan pengelolaan dan konsep
“membangun, mengoperasikan dan menyerahkan atau disebut build operating
and transfer (BOT)”. Atas prestasi dan kinerja tersebut, serta terdapatnya
peluang untuk menggandakan kinerja peralatan yang akan diserahkan kepada
Pertamina, maka PT Sumber Daya Kelola mengajukan tambahan dan
perpanjangan masa kontrak dengan menambah peralatan utama kilang ( Amine
Unit 1 (satu) unit, booster compressor 2 (dua) unit dan peralatan penunjang
lainnnya). Rencana ini di dukung pula oleh adanya potensi gas ikutan tambahan
sebesar 6 juta sampai 7 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) di Lapangan Tugu
Barat dan sekitar yang belum termanfaatkan. Proses pemanfaatan gas ikutan
Lapangan Tugu Barat ini agak berbeda dengan konsep kilang mini LPG lainnya,
karena gas yang diproses adalah gas yang mengandung CO2 sebesar 40%,
sehingga tanpa menggunakan peralatan pemisah CO2, gas tersebut akan
memiliki tekanan yang rendah dan hanya memiliki kalori 750 Btu per satu kaki
kubik (BTU/SCF) yang menyebabkan gas tersebut tidak dapat dijual atau
dimanfaatkan langsung.
Berdasarkan kajian teknik dan perundingan dengan pihak Pertamina,
maka kontrak kerja sama diperpanjang, dengan menambah investasi baru dan
mengoperasikan keseluruhan Plant Tugu Barat untuk jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun sejak pembangunan investasi baru tersebut selesai dan tanggal
berakhirnya kontrak pertama PT SDK, akan memperoleh imbalan jasa
pengolahan menurut jumlah produksi kilang saat ini yaitu dalam bentuk LPG,
kondensat dan lean gas. Proyek ini merupakan proyek yang cukup penting untuk
121
menambah pasokan gas alam (lean gas) dan menambah pasokan LPG dalam
negeri sekaligus mengurangi terjadinya pencemaran udara, hujan asam,
pemanasan global dan perubahan iklim global. Di sisi lain keberadaan industri ini
dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi terhadap masyarakat khususnya
di Jawa Barat. Namun demikian, pembangunan investasi dalam pengelolaan
gas ikutan yang berskala mini dan menengah ini oleh PT. SDK ini sebelum
dipertimbangkan secara lingkungan juga perlu dipertimbangkan apakah secara
ekonomi layak untuk dikembangkan atau malah tidak layak. Untuk mengetahui
sejauhmana resiko, manfaat dan kelayakan suatu perusahaan dalam
pemanfaatan gas ikutan, maka perlu dilakukan penelitian tentang kelayakan
ekonomi sehingga perusahaan dapat mengantisipasi resiko yang akan terjadi
atau dijadikan alat pengambilan keputusan bagi perusahaan untuk berinvestasi.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas
ikutan, khususnya di lapangan produksi minyak Tugu Barat Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat.
6.2. Metode Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas Ikutan. Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui kelayakan
ekonomi pemanfaatan gas ikutan di areal Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP)
PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi Timur
dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kecamatan Cikedung,
Kabupaten Indramayu adalah analisis kelayakan ekonomi dengan menggunakan
pendekatan net present value (NPV), internal rate of return (IRR), pay back
period (PBP), dan analisis profitability index.
a. Net Present Value (NPV) Analisis NPV digunakan untuk menilai manfaat investasi dengan ukuran
nilai kini (present value) dari keuntungan bersih proyek. Adapun rumus untuk
mengetahui nilai NVP adalah sebagai berikut (Hufschmidt et. al., 1996):
Keterangan : NPV = net present value
Bt = Benefit (manfaat) untuk tahun ke-t
Ct = Cost (biaya) untuk tahun ke-t
122
r = Interest rate (suku bunga)
n = Cakrawala perencanaan
t = Tahun
Jika NPV > 0, maka proyek dapat diteruskan
Jika NPV = 0, maka proyek mengembalikan sebesar tingkat bunga
Modal
Jika NPV < 0, maka proyek tidak dapat dilanjutkan
b. Analisis Internal Rate of Return (IRR)
IRR = DfP + (PVP) x (DfN - DfP
(PVP) – (PVN)
Keterangan :
DfP = Discounting factor yang digunakan yang
menghasilkan preset value positif
DfN = Discounting factor yang digunakan yang
menghasilkan preset value negative
PVP = Present value positif
PVN = Present value negative
Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku
(IRR . i), maka proyek dapat dilanjutkan, dan
Jika nilai IRR < i, maka proyek tidak dapat dilanjutkan
c. Analisis Pay Back Period (PBP)
PBP = - P + ∑ At ( P / F )
Keterangan :
At = Aliran kas yang terjadi pada periode t
P = Nilai sekarang dan F = Nilai yang akan datang
N = Periode pengembalian yang akan dihitung
Jika PBP > N, maka investasi dari proyek tersebut adalah layak
Jika PBP < N, maka investasi tersebut tidak layak
N
t=1
123
e. Analisis Profitability Index
∑
∑
=
=
−
n
tt
n
t
CB
K
tt
1
1
Keterangan:
PI/K = Profitability Indeks
Kt = cost (biaya) modal untuk tahun ke-t
Ct = Cost (biaya) rutin untuk tahun ke-t
n = Umur ekonomis dari proyek
Bt = Benefit (manfaat) untuk tahun ke-t
6.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas Ikutan
Sumber daya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut
dengan sumber daya terhabiskan (depletable) adalah sumber daya alam yang
tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Selain itu, sumber daya
alam ini dibentuk melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama
untuk dapat dijadikan sebagai sumber daya alam yang siap diolah atau siap
pakai. Salah satu contohnya adalah tambang minyak yang memerlukan waktu
ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk kembali karena ketidakmampuan
sumber daya tersebut untuk melakukan regenerasi. Sumber daya alam ini sering
kita sebut juga sumber daya alam yang memiliki stok tetap. Sifat-sifat tersebut di
atas menyebabkan masalah eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan (non
renewable) akan sangat berbeda dengan ekstrasi sumber daya terbarukan
(renewable). Pengusaha perminyakan tidak saja harus memutuskan kombinasi
yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang
optimal, namun harus pula memikirkan seberapa cepat stok harus diekstraksi
dengan kendala stok yang terbatas (Fauzi, 2006).
Beberapa perbedaan pokok antara pengelolaan sumber daya alam dan
model ekonomi konvensional, antara lain adalah:
PI/K =
124
1. Dalam model ekonomi kompetetif, maksimisasi keuntungan ditentukan pada
saat penerimaan marginal sama dengan biaya marginal. Dalam model
sumber daya alam tidak terbarukan, stock yang tidak terekstraksi memiliki
nilai yang dicerminkan dari biaya oportunitasnya. Dengan demikian,
ekstraksi optimal sumber daya alam tidak hanya ditentukan oleh harga dan
marginal tetapi juga oleh biaya oportunitas.
2. Ektraksi sumber daya alam merupakan masalah investasi karena nilai rente
sumber daya yang diperoleh terkait oleh waktu, sehingga penentuan rente
atau keuntungan (benefit) tidak saja dihitung untuk masa kini tetapi juga
sepanjang waktu.
3. Berbeda dengan ekstraksi produk lainnya, ekstraksi sumber daya alam tidak
terbarukan menghadapi kendala stock. Artinya, karena tidak adanya proses
regenerasi, maka pada waktu tertentu (terminal period), stock tersebut akan
habis.
Dari beberapa ciri di atas terlihat bahwa ekstraksi sumber daya alam tidak
terbarukan seperti halnya yang terjadi pada industri migas di Lapangan Tugu
Barat berkaitan erat dengan aspek intertemporal yang dalam hal ini, peranan
waktu sangat krusial untuk diperhatikan. Investasi dalam mengekstraksi sumber
daya tidak terbarukan diharapkan memberikan manfat ekonomi yang sangat
signifikan bagi pelaku ekstraksi (industri). Untuk mengetahui manfaat ekonomi
dari investasi pengolahan gas khususnya pengolahan gas ikutan mini dan
menengah di Lapangan produksi minyak Tugu Barat yang dikelolan oleh PT.
Sumber Daya Kelola selanjutnya dilakukan perhitungan.
Berdasarkan data yang didapat dari penelitian dan hasil perhitungan,
memperlihatkan bahwa pengembangan industri gas di Lapangan Tugu Barat
oleh PT. SDK akan menghasilkan produk berupa : liquid petroleum gas (LPG)
sebesar 34 ton/hari, lean gas @ 1050 Btu/Scf sebesar 3.99 MMSCF/hari, dan
kondensat sebesar 360 Bbl/hari. Mengingat PT. SDK mengembangkan
usahanya melalui kontrak kerjasama dengan PT. Pertamina (Persero), maka
berdasarkan perhitungan kemungkinan biaya investasi dengan menggunakan
data kondisi exising maka PT. Pertamina akan memberikan imbalan jasa kepada
PT. SDK sebagai imbalan jasa pengolahan (processing fee) untuk masing-
masing jenis produk kurang lebih sebesar US$ 150/ton untuk liquid petroleum
gas (LPG), US$ 1.20/MMBTU untuk lean gas @ 1050 Btu/Scf, dan US$ 15/Bbl
untuk kondensat.
125
Adapun estimasi potensi volume metric gas ikutan yang dilakukan dengan
pengukuran laju volume metric di jalur pipa menuju menara gas ikutan yang di
bakar didasarkan pada persamaan estimasi potensi gas ikutan adalah sebagai
berikut :
Potensi gas ikutan (m3)= laju produksi minyak (barrel) X GOR
= 500 X 3,95 = 1975 m3.perhari
Dalam rangka memperoleh produksi dengan besaran tersebut, maka PT.
Sumber Daya Kelola harus mengeluarkan biayai untuk keseluruhan investasi,
sehingga PT SDK dapat meningkatkan produksi LPG, kondensat dan lean gas.
Adapun investasi yang harus dikeluarkan bukan hanya dalam proses pengolahan
dari gas ikutan, namun termasuk investasi untuk keperluan:
1. Rekayasa dan rancang bangun.
2. Membuat studi kelayakan.
3. Pembelian dan konstruksi seluruh peralatan.
4. Pengoperasian dan pemeliharaan selama 10 (sepuluh) tahun.
5. Penambahan lahan apabila diperlukan.
Mengingat evaluasi kelayakan ekonomi pengembangan industri gas
ikutan dalam penelitian ini didasarkan pada masa kontrak antara antara PT. SDK
dengan PT. Pertamina selama 10 tahun, maka jangka waktu penghitungan
kelayakan ekonomi mengacu pada masa kontrak yang telah disepakati yaitu
selama 10 tahun dengan waktu operasi kilang pertahun adalah 340 hari. Dalam
perhitungan kelayakan ekonomi ini, waktu kilang operasi tersebut hanya dihitung
hari operasi, sehingga masa libur yang jumlahnya kurang lebih 25 hari tidak
dimasukan ke dalam perhitungan.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan didapatkan nilai debit to equity
ratio sebesar 70/30 dengan alokasi masing-masing 70% untuk bank loan dan
30% untuk equity. Berdasarkan hasil perhitungan yang dibuat berdasarkan
prediksi harga-harga yang berlaku saat ini untuk kebutuhan investasi tersebut di
atas diperlukan biaya investasi (total project cost) sebesar US$ 6.488.659,04.
Untuk keperluan dana diperkirakan tingkat inflasinya (inflation rate) antara 3% –
3,5% (US$ terms), dan tingkat suku bunga yang dihitung di sini adalah tingkat
suku bunga pinjaman nominal (nominal interest rate) yang berlaku di perbankan
yakni kurang lebih 8%. Berdasarkan perhitungan tersebut didapat extended cost
126
benefit analysis dengan menggunakan discount rate sebesar 8 %. Dari hasil
perhitungan tersebut juga diperoleh nilai internal rate of return (IRR) sebesar
14,42% dan net present value (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00 dengan payback
investment 5,080 tahun; payback loan sebesar 3,537 tahun dan profitability
index 1,41. Untuk mempermudah membandingkan nilai-nilai parameter
keekonomian proyek pengembangan industri gas ikutan di Lapangan Tugu Barat
secara rinci dinyatakan pada Tabel 13.
Tabel 13. Parameter keekonomian proyek pengembangan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu (hasil perhitungan)
• IRR 14,42% • NPV US$ 1.148.174,00
• Payback Investment 5,080 Tahun
• Payback Loan 3,537 Tahun • Profitability Index
1,41
Internal rate of return (IRR) merupakan ukuran tingkat bunga maksimum
yang dapat dibayar oleh kegiatan ekonomi dalam hal ini PT. SDK dalam
pengembangan industri gas di Lapangan Tugu Barat untuk sumberdaya yang
digunakan karena kegiatan ekonomi tersebut membutuhkan dana lagi untuk
membiayai kegiatan operasi dan investasi serta kegiatan ekonomi sampai pada
tingkat pulang modal. Atau dengan kata lain IRR merupakan metode untuk
menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi dengan
nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa-masa akan datang.
Hasil perhitungan IRR Total menunjukkan nilai sebesar 14,42% pada
pengembangan usaha gas ikutan oleh PT SDK menunjukkan bahwa nilai ini juga
dianggap layak karena memiliki nilai IRR yang lebih besar dari bunga investasi di
bank sebesar 8 % dengan selisih yang cukup signifikan. Hal ini mengandung arti
bahwa jika perusahaan (PT.SDK) memanfaatkan dana pinjaman bank dengan
tingkat suku bunga sebesar 8%, maka perusahaan tersebut masih memiliki
kemampuan untuk mengembalikan modal pinjaman sampai pada batas waktu
yang telah disepakati bersama antara pihak peminjam dengan pihak pemilik
modal. Dalam hal ini antara PT. SDK dan perbankan.
NPV merupakan ukuran nilai sekarang dari arus pendapatan yang
ditimbulkan dari suatu kegiatan penggunaan sumberdaya. Kriteria formal dari
penggunaan NPV adalah bahwa jika NPV bernilai positif, maka kegiatan ekonomi
layak dilakukan, sebaliknya jika NPV bernilai negatif, maka kegiatan ekonomi
127
tidak layak dilakukan atau dilanjutkan. Berdasarkan hasil analisis ekonomi yang
hasil perhitungannya tertera pada Tabel 13 menunjukkan bahwa pengembangan
industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat, Indramayu yang
dikelola oleh PT. SDK memperlihatkan penampilan yang cukup baik. Hal ini
dapat dilihat dari nilai NPV yang bernilai positif serta nilai IRR yang lebih besar
dari nilai suku bunga bank. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, maka perusahaan
akan mendapatkan keuntungan bersih sebesar US$ 1.142.174,00 selama jangka
waktu analisis 10 tahun pada faktor diskonto (suku bunga nominal) sebesar 8 %.
Kondisi ini menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan yang didasarkan pada
nilai saat ini, maka penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan
datang akan lebih besar daripada nilai investasi, sehingga perusahaan
memperoleh keuntungan.
Nilai payback investment adalah nilai yang digunakan untuk mengukur
seberapa cepat investasi bisa kembali dimana satuan hasilnya bukan
persentase, tetapi satuan waktu (bulan atau tahun). Berdasarkan hasil
perhitungan nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai
sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback
loan. Hal ini mengandung arti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan
untuk dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan berkisar antara masa tiga
sampai empat tahun. Dengan kata lain bahwa perusahaan dapat
mengembalikan modalnya dalam waktu yang lebih cepat, sebelum masa kontrak
berakhir. Dengan demikian maka pada tahun kelima dan seterusnya
perusahaan akan memperoleh keuntungan sebesar selisih antara hasil penjualan
dengan biaya atau modal yang dikeluarkan. Artinya perusahaan akan
memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena periode payback lebih
pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan
datang akan lebih besar daripada nilai sekarang (pada saat dilakukan investasi),
dengan demikian maka PT SDK akan memperoleh keuntungan jika mau
memanfaatkan gas ikutan dan mengolahnya menjadi lean gas, kondensat atau
LPG.
Hasil perhitungan juga memperlihatkan nilai profitability index sebesar
1,41 (lebih besar dari 1). Berdasarkan nilai-nilai parameter kelayakan
keekonomian proyek seperti telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa
pengembangan industri gas ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat layak secara
128
ekonomis. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan gas ikutan akan
mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi perusahaan dan
pembangunan daerah.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, maka pengembangan
industri gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu akan memberikan
dampak positif bukan saja untuk perusahaan, namun juga terhadap masyarakat
dan lingkungan sekitar. Dalam hal ini, gas ikutan yang tadinya tidak dapat
dimanfaatkan dan seolah tidak berguna, dengan diolah menjadi barang lain,
menjadi bernilai ekonomis sehingga akan menguntungkan pada perusahaan
pengolahnya (Tabel 13). Selain itu dengan dimanfaatkannya gas ikutan, maka
akan menambah jumlah gas yang jumlah persediaannya semakin menipis,
sementara kebutuhannya semakin meningkat. Pemanfaatan gas ikutan juga
mempunyai dampak positif pada masyarakat, karena dengan adanya
pemanfaatan gas ikutan, sudah barang tentu dibutuhkan pekerja, sehingga akan
menjadi peluang membuka lapangan kerja baru.
Adanya pengolahan gas ikutan menjadi LPG merupakan keuntungan
ekonomi yang tidak bisa hanya dilihat dengan sebelah mata. Hal ini disebabkan
adanya konversi dari minyak tanah yang subsidinya sangat tiggi menjadi LPG,
mengakibatkan kebutuhan gas LPG saat ini sangat tinggi. Namun keuntungan
yang didapat bukan sekedar memenuhi kebutuhan LPG akibat dari konversi
minyak tanah menjadi gas LPG, namun juga secara ekonomi akan sangat
menguntungkan, karena untuk memenuhi kebutuhan minyak tanah, pemerintah
harus mengeluarkan subsidi yang begitu besar. Oleh karena itu adanya konversi
minyak tanah ke LPG, akan meminimalisasi subsidi pemerintah dalam
pemenuhan energi di dalam rumah tangga. Selain itu adanya konversi minyak
tanah ke LPG juga mempunyai dampak positif pada berkurangnya biaya
kebutuhan rumah tangga, dan sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomi
karena gas ikutan yang biasanya langsung dibuangke lingkungan atau dibakar
dapat bernilai ekonomis karena gas metan dan CO2-nya dapat menjadi
sumberdaya yang bernilai ekonomis.
Dampak positif lainnya juga akan terjadi pada lingkungan. Dalam hal ini
gas ikutan yang biasanya dibuang ke lingkungan atau dibakar sehingga akan
menyumbang bahan pencemar di udara dan sekaligus dilepaskannya gas rumah
kaca (GRK), dengan dimanfaatkan, maka gas ikutan tidak mengakibatkan
terjadinya pencemaran udara dan tidak menyumbang GRK ke atmosfir.
129
Mengingat GRK akan berdampak terhadap perubahan iklim global, dan
secara perlahan akan mempengaruhi kehidupan, maka berbagai negara maju
membuat kesepakatan untuk mengurangi emisi yang diwujudkan dalam Protokol
Kyoto dengan tujuan utama untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer.
Protokol ini telah menjadi dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca paling sedikit 5 % dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang
periode 2008 sampai 2012. Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme
kerjasama antar negara maju dan negara berkembang dalam melakukan
pembangunan berkelanjutan dengan cara melaksanakan mekanisme
pembangunan bersih (CDM) yang menawarkan win-win solution antara negara
maju dengan negara berkembang dalam rangka pengurangan emisi GRK
(Appenzeller, 2005). Menurut Murdiarso (2003) CDM juga bertujuan untuk
memberi kesempatan kepada negara berkembang yang tidak wajib mereduksi
emisi agar dapat berperan dalam pengurangan GRK, sekaligus memungkinkan
negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan
dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya,
CDM beserta dengan dua mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme
fleksibilitas (flexibility mechanisms). Dalam praktek pelaksanaan CDM, terdapat
komoditi yang diperjualbelikan, yakni reduksi emisi GRK tersertifikasi yang biasa
dikenal sebagai CER (certified emission reduction). CER merupakan upaya
negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dengan nilai yang setara dengan
nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dalam rangka pemenuhan
target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam
Annex B Protokol Kyoto. Berdasarkan hal tersebut, maka bukan angan-angan
jika pemanfaatan gas ikutan menjadi produk yang bernilai ekonomis ini juga
dapat diajukan dalam skema CDM/menjadi proyek CDM (dapat diikutkan dalam
perdagangan karbon internasional), karena masuk pada kegiatan menurunkan
karbon pada sumbernya (Saloh dan Clogh, 2002). Berdasarkan hal tersebut,
maka seperti halnya hutan sebagai penyimpan karbon (Granda, 2005), maka
pemanfaatan gas ikutan yang bermanfaat untuk menurunkan karbon pada
sumbernya akan semakin meningkatkan keuntungan perusahaan. Selain hal
tersebut, pemanfaatan gas ikutan juga diharapkan dapat ikut mewujudkan tujuan
kebijakan energi yakni menjadikan energi menjadi komoditi yang terjangkau bagi
seluruh rakyat Indonesia dan secara nasional berguna untuk menunjang
pembangunan (Agenda 21 Sektor Energi, 2001).
130
Dimanapun dilakukan pembangunan, sudah barang tentu akan ada
dampak negatif terhadap lingkungan, begitupun halnya dengan pemanfaatan gas
ikutan yang dilakukan oleh PT SDK. Dalam hal pemanfaatan gas ikutan ini,
maka dampak negatif yang dapat terjadi adalah munculnya pencemaran
lingkungan baik lingkungan perairan, maupun lingkungan udara di sekitar
kawasan industri. Pencemaran ini pada umumnya akan terjadi akibat dari
limbah-limbah cair yang dihasilkan oleh aktivitas industri (proses pengolahan)
yang setelah diolah ataupun tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu masuk
ke dalam ekosistem perairan. Selain pencemaran air masalah lain yang mungkin
timbul dari kegiatan tambahan berupa pemanfaatan gas ikutan adalah adanya
pencemaran udara yang berasal dari proses industri, baik berupa pencemaran
bahan kimia yang berasal dari pembakaran BBM untuk keperluan produksi
maupun munculnya kebisingan.
Pencemaran badan air akibat pembuangan limbah cair yang dihasilkan
dari proses industri ini akan mengganggu kehidupan yang terdapat pada
ekosistem perairan penerima limbah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
hasil tangkapan nelayan yang melakukan penangkapan di lokasi tersebut. Jika
hasil tangkapan semakin berkurang, maka yang selanjutnya terjadi adalah
munculnya konflik-konflik sosial di masyarakat, yang pada umumnya muncul
dalam bentuk tekanan dari masyarakat terhadap aktivitas industri. Kondisi yang
sama juga akan terjadi jika terjadi pencemaran udara baik yang berasal dari
bahan kimia maupun dari kebisingan. Padahal menurut Hung (2005)
pencemaran secara tidak langsung akan menyebabkan penurunan produktivitas
kerja yang pada akhirnya akan menyebabkan berkurangnya pendapatan, baik
pada para pekerja maupun pada masyarakat sekitar industri.
Berdasarkan hal tersebut, maka hal yang perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya pencemaran adalah melakukan perencanaan yang matang
pada saat investasi, dalam hal ini pada saat perencanaan bukan hanya sekedar
melakukan investasi terhadap kelima hal tersebut di atas, namun juga dari awal
harus sudah direncanakan untuk membuat instalasi pengolah air limbah (IPAL)
sehingga dapat memperbaiki kinerja manajemen lingkungan. Khusus untuk
pencemaran udara, hal yang harus dilakukan adalah memasang alat peredam
suara sehingga akan sangat menurunkan kebisingan dan melakukan
pemasangan filter pada cerobong asap. Selain melakukan minimalisasi
pencemaran, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah perbaikan
131
hubungan dengan masyarakat sekitar dan perusahaan juga diharapkan dapat
melakukan program-program corparate social responsibility (CSR).
Adanya pemanfaatan gas ikutan di PT SDK yang diikuti dengan
melakukan pengelolaan terhadap lingkungan, akan berdampak positif bagi
seluruh sektor. Hal ini disebabkan kehadiran industri pengolahan gas ikutan di
Lapangan Tugu Barat Indramayu, Jawa Barat bukan hanya akan memberikan
keuntungan pada perusahaan, namun juga akan memberi manfaat bagi
masyarakat dan pemerintah setempat baik manfaat langsung maupun manfaat
tidaklangsung. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh masyarakat maupun
pemerintah dalam pengembangan industri gas ikutan ini seperti penyerapan
tenaga kerja lokal, pemberian bantuan melalui community development
(comdev) atau biasa juga disebut corporate social responsibility (CSR),
pemasukan bagi pemerintah daerah melalui pembayaran pajak dan restribusi,
dan pengembangan ekonomi masyarakat, serta peningkatan kualitas
sumberdaya manusia melalui kegiatan pelatihan dan kegiatan lainnya.
Walaupun pada pemanfaatan gas ikutan terdapat pencemaran yang akan
mengganggu kualitas lingkungan, namun pada penelitian ini, tidak mengukur
secara langsung biaya yang digunakan dalam perbaikan kualitas lingkungan dan
biaya-biaya sosial lainnya yang sebenarnya dapat ditanggung oleh perusahaan
akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri (PT. SDK) dalam
menjalankan usahanya (memanfaatkan gas ikutan). Tetapi jika dilihat dari
keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan berdasarkan hasil analisis di atas
menunjukkan bahwa jika perusahaan mengeluarkan biaya-biaya lain untuk
mendukung perbaikan lingkungan dalam rangka menuju mekanisme
pembangunan bersih (CDM) dan perbaikan biaya sosial, mencerminkan
perusahaan masih mendapatkan keuntungan yang besar.
6.4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa industri
pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu
secara ekonomi layak untuk dikembangkan, karena keuntungan bersih yang
diperolehnya bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar
US$ 1.148.174,00 dengan kemampuan mengembalikan modal pinjaman bank
yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas
waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 % ( IRR total).
132
Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh
nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk
payback loan yang berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk
dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak;
atau dengan kata lain perusahaan akan memperoleh keuntungan selama sisa
kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa kontrak
perusahaan yaitu selama 10 tahun. Namun demikian biaya-biaya perlindungan
lingkungan dan biaya sosial yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan dalam
menjalankan usahanya dalam penelitian ini belum diperhitungkan.
133
Daftar Pustaka
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal.
Hufschmidt dalam Supranto. J. 2007. Statistik : Teori dan Aplikasi. Jilid I Penerbit
Erlangga. Jakarta-Indonesia.
IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories
[PT. SDK] PT. Sumberdaya Kelola. 2005. Profil Bisnis LPG Indonesia. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu
_______2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT.
Sumberdaya Kelola. Indramayu.
VII. DISAIN MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN (INTERAKSI EKOLOGI, TEKNO-EKONOMI DAN SOSIAL)
Abstrak
Keberadaan PT. SDK sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi yang bekerjasama dengan PT. Pertamina memegang peran penting dalam penyediaan energi gas dan peningkatan pendapatan daerah di dalam negeri. Untuk mengetahui besarnya produksi gas ikutan dan sumbangannya terhadap PAD, serta pengaruhnya terhadap lingkungan dibangun suatu model pemanfaatan gas ikutan. Penelitian bertujuan untuk membangun model pemanfaatan gas ikutan di lapangan minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu. Penelitian menggunakan metode analisis data sistem dinamik dengan bantuan software powersim constructor versi 2.5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Hal ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit gas, maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Pengolahan gas ikutan untuk menghasilkan gas hasil olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas akan menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya. Sebaliknya jika tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, akan memperbesar polutan udara. Dilihat dari tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun dengan meningkatnya produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 diproyeksikan pendapatan total perusahaan dalam memproduksi gas ikutan (LPG, CNG, lean gas, dan CO2) akan mencapai nilai sebesar Rp. 658.221.255.663,00 Kata kunci : Model, gas ikutan, sistem dinamik, PAD
7.1. Pendahuluan Pemanfaatan gas ikutan sebagai salah satu sektor usaha yang strategis
dan produktif dalam pembangunan di Indonesia memberikan pengaruh yang
sangat besar terhadap penyediaan energi nasional ditengah krisis energi yang
terjadi saat ini. Di sisi lain pemanfaatan gas ikutan sangat membantu pemerintah
dalam rangka menggalakkan program diversifikasi energi dan penghematan
bahan bakar minyak (BBM). Selain lebih harga gas lebih murah dibandingkan
dengan bahan bakar minyak dan ramah lingkungan, serta dapat menghemat
devisa negara. Menurut Suzeta (2007), kebijakan diversifikasi energi dengan
memanfaatkan sumber energi alternatif seperti gas dapat menghemat devisa
135
negara sekitar Rp.30 triliun per tahun karena adanya pengurangan subsidi
minyak. Berdasarkan hasil perhitungan pada tahun 2006, bahwa jika kebijakan
diversifikasi minyak berhasil dengan baik, maka anggaran subsidi yang sedianya
dianggarkan sebesar Rp 54 triliun akan turun menjadi Rp.24 triliun.
Keberadaan PT. SDK bekerjasama dengan PT. Pertamina turut
memegang andil yang besar dalam penyediaan sumberdaya energi yang berasal
dari gas. Saat ini, melalui perpanjangan kontrak kerjasama dengan pihak PT.
Pertamina, PT. SDK bermaksud untuk memperluas usahanya dalam rangka
meningkatkan produksi gas di Indonesia baik untuk kepentingan dalam negeri
maupun untuk kepentingan ekspor. Jika dilihat dari cadangan gas di Indonesia
diproyeksikan bahwa reserve to production ratio untuk gas masih dapat
memenuhi sekitar 68 tahun ke depan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa
sampai saat ini, Indonesia masih mengimpor gas untuk memenuhi kebutuhan
akan gas dalam negeri apalagi dengan keluarnya kebijakan pengalihan
penggunaan bahan bakar minyak ke gas untuk kebutuhan rumah tangga
semakin mempertinggi kebutuhan impor akan gas. Melihat besarnya potensi
cadangan gas Indonesia dan besarnya kebutuhan akan gas, memberi peluang
PT. SDK dan industri lainnya untuk mengembangkan industri gas di Indonesia.
Pengembangan industri gas tersebut seperti PT. SDK, selain berdampak
pada peningkatan stok gas di dalam negeri, juga dapat memberikan sumbangan
yang besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan keuntungan bagi
perusahaan itu sendiri. Di sisi lain, pengembangan industri gas juga akan
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar yaitu dengan adanya
gas buang yang dihasilkan sebagai hasil pembakaran dari proses produksi yang
sedang berlangsung. Untuk melihat kemampuan produksi gas khususnya PT.
SDK dalam memproduksi gas ikutan di lapangan produksi minyak Tugu Barat
Indramayu dan dampaknya terhadap pendapatan total perusahaan, serta
pendapatan asli daerah (PAD) dan lingkungan sekitar, perlu dibangun suatu
model pemanfaatan gas ikutan. Penelitian bertujuan untuk membangun model
pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu
7.2. Metode Analisis Disain Model Pemanfaatan Gas Ikutan Disain model pengelolaan eksploitasi gas bumi yang berkelanjutan akan
dibangun dengan menggunakan metode analisis sistem dinamik dengan
bantuan software powersim constructor versi 2.5. Analisis sistim dinamik
136
digunakan untuk mengetahui potensi perilaku variabel-variabel indikator
keterpaduan dan keberlanjutan seperti disebutkan di atas dalam kurun waktu ke
depan. Analisis ini dibangun dengan mengembangkan model simulasi. Prinsip
model dinamik adalah mengembangkan dua atau lebih variabel yang berkaitan
secara dinamik dan simultan sebagaimana digambarkan pada persamaan order
satu berikut ini.
),(
),(),(
yxgdtdyy
yxgyxfdtdxx
==
−==
&
&
Persamaan di atas mengandung dua variabel yaitu x dan y yang bergerak
secara simultan dan berinteraksi sata sama lain melalui persamaan derivative
terhadap waktu (ordinary differential equation). Kedua persamaan di atas dapat
dipecahkan untuk menentukan trajectory atau lintasan variabel terhadap waktu
dengan mencari solusi homogen dimana diasumsikan sistim dalam kondisi
keseimbangan melalui 0,0 == yx && . Kedua solusi x dan y tersebut kemudian
dapat dilihat keseimbangan nya dengan cara melakukan linierisasi. Linearisasi
pada titik keseimbangan *X dan xd& ditulis sebagai berikut :
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡*
*
yx
dyyd
dxyd
dyxd
dxxd
yx
&&
&&
&
&
Dalam model sistim dinamik, variabel x dan y bisa saja variabel ekonomi
dan lingkungan maupun infrastruktur yang saling berinteraksi satu sama lain.
Ketika lebih dari dua varibel berinteraski, maka model menjadi kompleks
sehingga umumnya model dinamik diimplementasikan ke dalam model simulasi.
Disain model dilakukan dengan dengan tahapan-tahapan analisis kebutuhan,
formulasi masalah, identifikasi sistem, simulasi model, dan validasi model.
a. Analisis kebutuhan (Needs Analysis) Model pengelolaan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan dalam operasionalisasinya harus dapat memenuhi kebutuhan
stakeholders secara optimal. Adapun pelaku/stakeholders yang terlibat dalam
perencangan model pemanfaatan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan adalah sebagai berikut:
137
1. Pengelola industri areal Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP)
PT.Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi
Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK)
Kelurahan/Desa Amis Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu Propinsi
Jawa Barat, yaitu manajemen kawasan industri pengolahan gas ikutan yang bertanggung jawab secara teknis terhadap kelancaran operasi industri
dan kualitas lingkungan.
2. Pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, yaitu:
lembaga otoritas lokal dan nasional yang memegang kebijakan di dalam
areal Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) PT.Pertamina EP (Eksplorasi
dan Produksi) Region Jawa Area Operasi Timur dan Wilayah Kerja (WK)
PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kelurahan/Desa Amis Kecamatan
Cikedung Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat.
3. Pengusaha yang menginvestasikan modal di areal Wilayah Kuasa
Pertambangan (WKP) PT.Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region
Jawa Area Operasi Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola
(SDK) Kelurahan/Desa Amis Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu
Propinsi Jawa Barat
4. Masyarakat, baik sebagai karyawan maupun masyarakat yang berdomisili
di sekitar lokasi penelitian.
5. LSM yang memperhatikan masalah-masalah lingkungan.
6. Perbankan atau lembaga keuangan bukan bank yang akan membiayai
proyek pemanfaatan gas ikutan menjadi barang yang bernilai ekonomis.
b. Formulasi Masalah (Problem Formulation)
Pemanfaatan gas ikutan pada industri minyak dan gas bumi selain
memiliki dampak negatif yang dapat mencemari lingkungan, juga memiliki
potensi konflik kepentingan didalam pemanfaatannya. Adanya konflik
kepentingan ini, jika tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan sangat bijaksana
dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang dapat merugikan baik secara
ekonomi, sosial maupun ekologi. Oleh karena itu, dalam mendisain model
pemanfaatan gas ikutan pada industri minyak dan gas bumi yang berwawasan
lingkungan dan berkelanjuta, dapat diformulasikan beberapa permasalahan
berdasarkan hasil evaluasi dari adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki
dan konflik kepentingan diantara stakeholders. Adapun permasalahan
pemanfaatan gas ikutan di lokasi penelitian diformulasikan sebagai berikut :
138
1. Keterbatasan kepemilikan, keterbatasan lahan dan akses permodalan untuk
kegiatan operasi dan pengembangan usaha dalam menyediakan lahan
2. Keterbatasan sumberdaya manusia dalam pengetahuan peralatan dan
teknologi konversi/pengolahan gas ikutan yang berdampak pada rendahnya
inovasi dan kreativitas pengolahan gas ikutan.
3. Keterbatasan kemampuan investor menerapkan teknologi berwawasan
lingkungan pada setiap proses produksi yang masih tetap berakibat pada
tingginya tingkat pencemaran.
4. Perencanaan saat ini yang masih bersifat sektoral dan parsial, belum dapat
mengakomodisasi kebutuhan stakeholders, sehingga kerjasama lintas
sektoral masih rendah.
5. Tekanan penduduk dan tuntutan perkembangan ekonomi daerah yang
semakin dinamis, serta tingginya permintaan konsumsi barang,
mengakibatkan permintaan terhadap lapangan kerja dan jumlah angkatan
kerja.
6. Hukum dan kelembagaan yang saat ini masih belum bersifat operasional dan
dalam pelaksanaannya yang belum konsisten
7. Masih adanya keterbatasan infrastruktur usaha seperti : perijinan,
komunikasi, perpajakan, retribusi berdampak kurang kondusifnya iklim usaha.
c. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem pada dasarnya merupakan hubungan antara pernyataan
dari kebutuhan dengan pernyatan khusus dari masalah yang akan diselesaikan
dalam rangka mencukupi kebutuhan dan digambarkan dalam bentuk diagram
lingkar sebab akibat untuk perancangan model dari sistem yang dikaji.
Identifikasi sistem model pemanfaatan gas ikutan yang berwawasan lingkungan
direpresentasikan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) dan
kotak hitam (black box).
C.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat (Causal Loop Diagram) Diagram lingkar sebab akibat adalah bahasa gambar yang
mengungkapkan kejadian hubungan sebab akibat, yang dibuat dalam bentuk
garis panah yang saling mengait, sehingga membentuk sebuah diagram lingkar
sebab akibat. Pangkal panah yang terdapat pada diagram ini menyatakan
penyebabnya sedangkan ujung panahnya menyatakan akibatnya.
139
PAD
Eksploitasimigas
Pengolahangas ikutan
+
+
+
Flare
+
+Pencemaranlingkungan
-
-
PendapatanPerusahaan
Penduduk
+
+
-
Hubungan sebab akibat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan
sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula
nilai faktor akibat, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan sebab akibat
dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai dari faktor
akibat. Dampak atau akibat dari suatu sebab dapat mempengaruhi balik sebab
tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah
berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain. Dalam hal ini terbentuk
suatu umpan balik tertutup, yang sering kali disebut sebagai loop. Loop adalah
suatu akibat yang dibalikkan ke penyebabnya, sehingga terbentuk apa yang
dinamakan umpan balik atau feed back loop (Aminullah, et al. 2001).
Umpan balik dapat dibedakan atas dua macam yaitu umpan balik positif
dan umpan balik negatif. Suatu umpan balik disebut positif bila perkalian tanda
dari hubungan sebab akibat yang membentuknya adalah positif, sedangkan bila
hasilnya negatif maka umpan balik tersebut disebut umpan balik negatif. Umpan
balik dapat terjadi secara alamiah maupun karena adanya suatu kebijakan yang
diterapkan pada sistemnya. Suatu umpan balik menyatakan mekanisme
perubahan nilai faktor secara otomatis. Umpan balik positif memberikan
penguatan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan tersebut
makin lama makin besar. Sebaliknya umpan balik negatif memberikan
pelemahan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan tersebut
makin lama makin kecil dan akhirnya hilang. Adapun diagram sebab akibat
seperti pada Gambar 36.
Gambar 36. Diagram sebab akibat (causal loop) model pemanfaatan gas ikutan
di perusahaan migas.
140
Pada model pemanfaatan gas ikutan yang berwawasan lingkungan ini
keterkaitan hubungan antar faktor yang saling berinteraksi dalam penyusunan
model dibuat berdasarkan variabel kombinasi dari hasil analisis kondisi saat ini
dan dari analisis kebutuhan stakeholders.
c.2. Diagram Input-Output (Black Box)
Diagram input-output menggambarkan hubungan antara peubah
masukan dan keluaran melalui proses tranformasi yang digambarkan sebagai
kotak hitam. Pada diagram ini terdapat dua macam input yakni input yang
terkendali dan input yang tidak terkendali. Selain input juga terdapat output yang
juga terdiri dari dua macam output atau keluaran yang dikehendaki dan keluaran
yang tidak dikehendaki. Untuk lebih jelasnya diagram input-output ini dapat
dilihat pada Gambar 37.
Gambar 37. Diagram input - output model pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih.
Input Tak Terkendali : 11.. PPeerrmmaassaallaahhaann lliinnggkkuunnggaann gglloobbaall 22.. TTeerrjjaaddiinnyyaa ggaass rruummaahh kkaaccaa 33.. PPeerrsseeddiiaaaann mmiiggaass ddaallaamm ppeerruutt bbuummii 44.. MMoobbiilliittaass PPeenndduudduukk
Input Terkendali : 1. Potensi gas suar bakar 2. Teknologi pengolahan 3. Modal pengembangan 4. Tenaga kerja yang terserap 5. Managemen dan pengawasan gas 6. proporsi produk olahan gas ikutan 7. Kapasitas unit produksi 8. Sarana dan prasarana
Output Yang Dikehendaki : 1. Adanya kebijakan pemanfaatan gas suar bakar 2. Penurunan Emisi 3. Terpeliharanya kualitas lingkungan 4. Bertambahnya keuntungan perusahaan 5. Penyerapan tenaga kerja 6. Gas ikutan menjadi bernilai ekonomis 7. Pematuhan hukum UULH
Model pengelolaan gas suar bakar yang berkelanjutan
Output Yang Tidak Dikehendaki : 1. Investasi industri berkurang 2. Gas suar bakar terbuang ke lingkungan 3. Peningkatan biaya operasional 4. Menurunnya keuntungan perusahaan 5. Terjadinya pencemaran lingkungan 6. Tingginya tingkat pengangguran 7. Terjadi konflik (land use & stakeholders) 8. Inefisiensi infrastruktur
Manajemen Pengendalian (feed back)
Input Lingkungan :1. Peraturan/perundangan migas 2. Peraturan/perundangan LH
141
d. Simulasi Model
Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru perilaku
secara bertahap dari sistem yang dipelajari (Grant et al., 1997). Simulasi
merupakan eksperimentasi yang menggunakan model suatu sistem dengan
analisis sistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perilaku terhadap
sistem yang diteliti dan kegagalan seperti yang terjadi pada eksperimen biasa.
Siswosudarmo et al., (2001), menjelaskan bahwa simulasi adalah peniruan
perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala
atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau
proses tersebut di masa depan. Ada beberapa fase dalam analisis simulasi
model seperti yang dikemukakan oleh Purnomo (2005), sebagai berikut :
1. Identifikasi indikator/isu/masalah, tujuan dan batasan
Identifikasi indikator/isu atau masalah dan batasan dilakukan untuk
mengetahui dimana sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Hal ini dilakukan
untuk menetukan indikator hipotetikal sebanyak 10 indikator. Setelah isu
ditentukan, selanjutnya menentukan tujuan pemodelan menyangkut metode
pemodelan, ketelitian model dan jenis model yang dinyatakan secara
eksplisit. Setelah isu dan masalah berikutnya menentukan batasan terhadap
permodelan yang dilakukan.
2. Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metode seperti diagram
kotak dan panah, diagram sebab-akibat, diagram stok (stock) dan aliran
(flow) atau diagram klas dan diagram sekuens.
Tahapan ini dimulai dengan mengidentifikasi semua komponen yang
terlibat atau dimasukan dalam pemodelan. Jika melalui komponen tersebut
banyak maka dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori. Komponen-
komponen tersebut kemudian mencari hubungannya satu sama lain dengan
menggunakan diagram kotak dan panah
Dalam konseptualisasi model ini, perlu diperhatikan bahwa
komponen-komponen yang membentuk sistem harus dinamis, sensitif
terhadap perubahan serta keterkaitannya dalam sistem membentuk
hubungan sebab-akibat. Identifikasi keterkaitan komponen tersebut
didasarkan pada keadaan nyata agar hasil yang digambarkan model tersebut
mendekati keadaan sebenarnya.
3. Spesifikasi model dengan merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau
kualifikasi komponen indikator yang diperlukan
142
Spesifikasi model kuantitatif, bertujuan untuk membentuk model
kuantitatif dari konsep model yang telah ditetapkan dengan memberikan nilai
kuantitatif terhadap masing-masing variabel/indikator dan menterjemahkan
hubungan atau keterkaitan antar 10 variabel/indikator dan komponen
penyusunan model sistem tersebut kedalam persamaan matematika.
Persamaan tersebut dapat diperoleh dari hasil regresi terhadap data yang ada,
hasil rujukan atau berdasarkan rekaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Secara rinci tahapan dalam spesifikasi model kuantitatif terdiri dari :
Memilih dan menentukan struktur kuantitas model
Menentukan satuan waktu dalam simulasi
Identifikasi bentuk-bentuk fungsional dan persamaan model
4. Evaluasi model yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan
dengan dunia nyata atau model yang serupa jika ada dan diperlukan
Evaluasi model bertujuan untuk mengetahui keterhandalan model untuk
mendikripsikan keadaan sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan
mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau
model andal yang serupa jika ada. Setelah setiap dari model diamati apakah
relasi-relasi yang ada logis atau tidak, maka selanjutnya diamati logis tidaknya
keterkaitan antar bagian sebagai model yang utuh. Logis dalam hal ini berarti
bahwa semua persamaan sesuai dengan apa yang dipercayai orang atau
dengan kata lain sesuai dengan paradigma yang ada. Tahapan kedua dari
evaluasi model ini adalah mengamati apakah perilaku model sesuai dengan
harapan atau perkiraan yang digambarkan pada tahapan konseptualisasi model.
Model dijalankan atau dieksekusi pada sebuah komputer, dan diamati hasilnya
apakah beberapa komponen yang diamati atau menjadi fokus perhatian sesuai
dengan pola perilaku perilaku yang diharapkan. Tahapan ketiga adalah
membandingkan periaku model dengan data yang diperoleh dari sistem atau
dunia nyata. Jika dalam model terdapat fungsi-fungsi bilangan acak, maka model
harus dieksekusi sebanyak 30 kali untuk mengamati keragaman hasil
pemodelan tersebut.
e. Validasi Model
Validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur
dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan
pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja
lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model yang
143
baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-
empirical).
e.1. Uji validitas struktur Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model dengan konsep teori
empirik. Secara empirik, perkembangan permukiman dipengaruhi oleh jumlah
penduduk, sarana dan prasarana, interaksi sosial budaya, perkembangan
ekonomi dan aktivitas dan mobititas masyarakat.
e.2. Uji validitas kinerja
Uji validitas kinerja ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang
dikembangkan dapat diterima secara akademik atau tidak. Pengujian dilakukan
dengan cara memvalidasi output model, yaitu dengan membandingkan output
model dengan data empirik. Ada beberapa teknik uji statistik yang dapat
digunakan antara lain AME (absoulte mean error) dan AVE (absolut variation
error). Batas penyimpangan yang dapat ditolerir adalah 5% - 10%.
f. Uji Sensivitas Model Uji sensivitas model merupakan respon model terhadap suatu stimulus.
Respon ini ditunjukkan dengan perubahan perulaku dan/atau kinerja model.
Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau
struktur model. Berikut ini langkah-langkah penerapan uji sensitivitas terhadap
indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi ada lima yaitu :
- Identifikasi alternatif intevensi, yaitu melihat intervensi apa perlu dilakukan
untuk mencapai kinerja model yang diinginkan pada waktu mendatang. Untuk
itu perlu dilihat dulu hasil simulasi tanpa intervensi, yaitu mengamati apakah
kecendurangan kinerja model masih terkendali dan mantap, atau justru
memperlihatkan kecendurangan melampaui batas (overshot) dan/atau
bergejolak (oscillation). Jika kejadiannya adalah kecenderungan kinerja
model masih terkendali dan mantap, bukan berarti tidak diperlukan intervensi,
karena lingkungan sistem masa datang terus berubah dengan cepat.
- Uji sensitivitas intervensi terhadap penggunaan paramater input dan
intervensi struktur model sehingga menghasilkan output dengan intervensi
atau normal.
- Analisis dampak intervensi, yaitu melihat secara kuantitatif berapa besar dan
kapan dampak intervensi menunjukkan hasil.
144
- Hasil uji parameter/indikator kemudian dievaluasi dengan maksud memilih
tiga diantara yang paling sensitif dari sepuluh indikator pada langkah
identifikasi indikator/masalah maupun atau isu-isu.
- Selanjutnya mensimulasikan dan mengamati hasil dan dampaknya pada
keseluruhan kinerja unsur dalam sistem. Perubahan sifat dampak bersifat
dinamis yang dinyatakan dalam prosentase fungsi waktu dan pola
kecanderungan hasil dan dampak intervensi adalah bersifat non-linier. Hal
tersebut akan di uji dengan fasilitas uji sensitivitas variabel/indikator dengan
menggunakan perangkat lunak powersim constructor 2,5, hal ini digunakan
untuk mengantisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam
dunia nyata.
- Kemudian menentukan dua sampai tiga indikator/variabel yang paling sensitiv
terhadap respon intervensi.
- Menguji hasil model yang telah dikembangkan (mensimulasikan) di lapangan
dengan mengukur nilai normal indikator dan melakukan intervensi serta
mengamati perbahan nilai indikator.
Penggunaan model yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau
alternatif kebijakan kemudian mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan
tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda kedepan. Model yang
telah dibentuk digunakan untuk mencapai tujuan pembentukannya. langkah pertama
adalah membuat daftar panjang semua skenario yang mungkin dapat dibuat dari
model yang dikembangkan. Semua skenario tersebut disimulasikan, kemudian hasil
simulasi tersebut dicoba untuk dipahami. Dari hasil simulasi tersebut kemudian
dibuat daftar pendek yang memenuhi tujuan pemodelan. Dari daftar pendek tersebut
dilakukan penajaman untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan, seperti makna
yang lebih rinci dari skenario tersebut dan bagaimana hubungannya dengan
komponen-komponen yang diubah-ubah untuk memenuhi skenario tersebut.
Langkah kedua adalah menganalisis hasil simulasi skenario tersebut. Hasil
analisis simulasi tiap skenario akan dipakai untuk membuat peringkat skenario -
skenario tersebut yang mencerminkan urutan skenario yang lebih cocok untuk
diterapkan sesuai dengan model yang dikembangkan. Tahapan terakhir adalah
merumuskan skenario tersebut menjadi opsi atau pilihan kebijakan.
145
7.3. Hasil dan Pembahasan Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu
7.3.1. Simulasi Model Pemanfaatan Gas Ikutan
Simulasi model pemanfaatan gas ikutan dilakukan untuk mengetahui
respon tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Indramayu yang disebabkan
oleh aktivitas industri pemanfaatan gas ikutan, dan dampak terhadap keuntungan
perusahaan dan lingkungan sekitar. Simulasi model dinamik ini dibangun melalui
logika hubungan antara komponen yang terkait dan interaksinya. Komponen-
komponen yang terkait adalah pertumbuhan penduduk, jumlah gas ikutan, jumlah
gas hasil pengolahan gas ikutan seperti LPG, lean gas, kondensat, dan CO2,
pendapatan terhadap daerah (PAD), dan dampaknya terhadap lingkungan.
Sumilasi model yang dibangun terdiri atas empat sub model yaitu (1) sub model
pertumbuhan penduduk, (2) sub model pengolahan gas ikutan (3) sub model
ekologi (lingkungan) dan (4) sub model ekonomi. Adapun perilaku model dinamik
pemanfaatan gas ikutan di Lapangan minyak Tugu Barat dianalisis dengan
menggunakan program powersim constructor versi 2.5 dengan struktur model
seperti pada Gambar 38 dan formula pada Lampiran 2.
Gambar 38. Struktur model dinamik pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu.
laju_flare
fr_H2S fr_CO2
laju_pengurangan_gas_pollaju_pertambahan_gas_ikutan
Laju_pengolahan
gas_terbakar
fr_prespitasi
gas_ikutan
exploitasi_minyak
lj_emigrasi
laju_imigrasi
fr_CNG
harga_CNG harga_LPG
pendapatan_dari_LPGpendapatan_dari_CNG
harga_lean_gas
pendapatan_dari_prod_CO2
harga_produk_CO2
Gas_olahan
pendapatan_dari_Lean_Gas
fr_LPG
fr_flare
pol_H2S pol_lain
fr_pol_lain
pol_CO2
fr_gas_ikutan
laju_kelahiran
lj_kematian
total_cemaran_flareJML_PDDK
faktor_klhr_krn_pencmr
fr_emigrasi
fr_immigrasi
jumlah_KK
faktor_umur_krn_pencmr
status_pencmr_udarastatus_pencmr_lingk
status_pencmr_udara_akibat_flare
status_pencemaran_lain status_pencmr_udara_sumber_lain
umur_rata2
fr_lahir
LPG
IINDUSTRI
fr_pertamh_ind
laju_pengurangan_industri
fr_pengurangan_ind
laju_pertumbuhan_industri
fr_KKfr_LPG_KK
kebutuhan_LPG_RT
kebut_LPG_Tot
fr_kebut_LPG_ind
fr_ind_pengguna_LPG
kebut_LPG_ind
fr_LPG_industri
LPG_dari_industri
Total_Pasokan_LPG
kekurangan_pasok_LPG
Lean_GasCO2
industr_pengguna_CNG
kebutuhan_CNG
proporsi_diolah
CNG
pendapatan_total
fr_olahCO2
laju_prod_CO2
fr_leankap_prod_CO2
kap_prod_Lean_Gas
laju_prod_lean
kap_prod_CNG
laju_prod_CNG
kap_prod_LPG
laju_prod_LPG
LPG
fr_kebut_CNG_per_ind fr_ind_pengg_CNG
CNG
kekurangan_pasok_CNG
industr_pengguna_Lean_Gasfr_ind_pengg_Lean_Gas
Lean_Gasfr_kebut_Lean_per_ind
kebutuhan_Lean_Gas
kekurangan_pasok_Lean_Gas
CO2
kekurangan_pasok_Co2
kebutuhan_CO2
fr_kebut_CO2_per_indfr_ind_pengg_CO2
industr_pengguna_CO2
pajak_industri
PAD
146
Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan
akan bahan bakar minyak untuk kebutuhan hidup masyarakat sehingga
menyebabkan peningkatan eksploitasi migas. Dalam operasional konvensional,
peningkatan eksploitasi migas menyebabkan peningkatan aktivitas flare yang
selanjutnya meningkatkan bahan cemaran bagi lingkungan. Peningkatan
pencemaran lingkungan akan menurunkan aktivitas eksploitasi migas dan
kesehatan masyarakat yang lebih lanjut menurunkan laju pertambahan jumlah
penduduk. Dengan adanya teknologi pengolahan gas ikutan, eksploitasi migas
akan meningkatkan aktivitas pengolahan gas ikutan. Pengolahan gas ikutan
selanjutnya akan menurunkan aktivitas flare dan meningkatkan pendapatan
perusahaan. Dampak selanjutnya adalah peningkatan PAD dan kesejahteraan
masyarakat yang cenderung memperpanjang harapan hidup dan angka kelahiran
sehingga meningkatkan jumlah penduduk. Asumsi yang digunakan dalam
pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu antara lain:
1. Laju kelahiran normal di Jawa Barat dan DKI Jakarta adalah 1.2%
2. Ada pengaruh tingkat pencemaran lingkungan terhadap angka kelahiran
3. Laju imigrasi normal adalah 3,5%
4. Harapan hidup rata-rata penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta adalah 80
tahun
5. Ada pengaruh tingkat pencemaran lingkungan terhadap harapan hidup
masyarakat
6. Angka emigrasi normal adalah 1%
7. Tingkat pencemaran lingkungan dipengaruhi oleh aktivitas flare pada
eksploitasi migas
8. Pengolahan gas ikutan akan menambahkan tingkat pendapatan perusahaan
dan menurunkan tingkat pencemaran lingkungan
9. Proporsi gas ikutan yang diolah dipengaruhi oleh kemampuan mengolah
yang ditentukan oleh tingkat pendapatan perusahaan.
a. Sub Model Pertumbuhan Penduduk Analisis model dinamik pemanfaatan gas ikutan dilakukan untuk 24 tahun
yang akan datang dimulai pada tahun 2002 sampai pada tahun 2025. Jumlah
penduduk Jawa Barat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk dan
komponen migrasi penduduk. Laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh
147
angka kelahiran dan kematian penduduk. Angka kelahiran ditentukan oleh
tingkat fertilitas pasangan usia subur, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan di mana pasangan tersebut tinggal. Angka kematian ditentukan oleh
umur rata-rata masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan. Pada lingkungan
dengan kandungan CO2 tinggi berpeluang memperpendek umur penduduk yang
tinggal di kawasan tersebut sebaliknya pada komposisi CO2 yang lebih rendah
berpeluang memperpanjang usia harapan hidup akibat terciptanya lingkungan
yang lebih baik. Pada model yang yang dibangun memperlihatkan adanya
keterkaitan negatif antara tingkat pencemaran lingkungan dengan angka
kelahiran, dan keterkaitan positif antara tingkat pencemaran lingkungan dengan
angka kematian. Selain itu, angka kelahiran dan kematian juga dipengaruhi oleh
tingkat kepadatan penduduk. Kepadatan yang semakin tinggi menyebabkan
angka kelahiran semakin rendah, tetapi harapan hidup menjadi semakin singkat.
Hubungan pertumbuhan penduduk ini merupakan hubungan timbal balik negatif
(negative feedback) melalui proses balancing dan hubungan timbal balik positif
melalui proses reinforcing.
Pertumbuhan penduduk Jawa Barat juga dipengaruhi tingkat imigrasi dan
emigrasi. Tingginya laju imigrasi penduduk dipengaruhi oleh aktivitas industri di
sekitar kawasan. Adanya industri di suatu kawasan maka orang akan datang ke
kawasan tersebut baik untuk berusahan di sekitar industri ataupun datang karena
bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Hubungan antar komponen yang
membangun sub model pertumbuhan penduduk di Jawa Barat dapat dilihat pada
Gambar 39.
Gambar 39. Struktur model dinamik pertumbuhan penduduk di Jawa Barat
Pertumbuhan populasi penduduk Jawa Barat sepeti pada Gambar 37
menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada
fr_emigrasi
fr_immigrasi
umur_rata2
faktor_umur_krn_pencmr
fr_lahirstatus_pencmr_lingk
faktor_klhr_krn_pencmrlaju_kelahiran
lj_kematianlj_emigrasi
laju_imigrasi
JML_PDDK
148
Time
JML_
PD
DK
2,005 2,010 2,015 2,020 2,025
40,000,000
50,000,000
60,000,000
tahun simulasi 2002 sampai tahun 2025. Pertumbuhan eksponensial terjadi
akibat dari pertumbuhan positif penduduk (positive growth) yang lebih besar
dibandingkan pertumbuhan negatif (negative growth) dengan laju peningkatan
yang semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan laju pertumbuhan penduduk
yang berasal dari angka kelahiran dan penduduk pendatang jauh lebih besar dari
pertumbuhan tingkat kematian penduduk dan laju perpindahan penduduk keluar
dari Provinsi Jawa Barat.
Gambar 40. Simulasi pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Barat dan DKI
Jakarta periode 2002 – 2025
Pada Gambar 40 terlihat bahwa pertumbuhan penduduk Jawa Barat pada
tahun simulasi 2002 sampai 2025 yang terus meningkat. Namun karena
keterbatasan sumberdaya terutama sumberdaya lahan yang semakin sempit dan
menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan penduduk, maka pada suatu
saat pertumbuhan penduduk di Jawa Barat akan menuju pada suatu titik
keseimbangan tertentu (stable equilibrium). Hal ini sesuai dengan konsep limit
to growth dan dalam model dinamik disebut mengikuti pola dasar “archetype”
limit to growth (Muhammadi et al., 2001).
Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat pada tahun 2001 adalah sebesar
36.914.883 jiwa dan pada tahun 2025 diproyeksikan akan meningkat menjadi
66.076.041,2 jiwa. Adapun simulasi pertumbuhan penduduk Jawa Barat seperti
pada Tabel 14.
Tingginya tingkat pertumbuhan di Jawa Barat disebabkan oleh tingginya
laju tingkat kelahiran dan imigrasi yang datang ke Jawa Barat. Hal ini terlihat
149
pada tahun 2002, laju kelahiran penduduk hanya sekitar 416.585,93 dan terus
meningkat menjadi 700.555,91 pada tahun 2025. Hal yang sama diikuti oleh laju
imigrasi penduduk. Pada tahun 2002 laju imigrasi baru mencapai 1.292.020,91
dan terus mengalami peningkatan sampai pada tahun 2025 yang mencapai
2.312.661,44. Hal sebaliknya terjadi pada tingkat kematian dan emigrasi
penduduk sebagai penyebab berkurangnya pertumbuhan penduduk. Namun laju
pengurangan penduduk akibat kematian dan emigrasi tersebut lebih kecil
dibandingkan dengan tingkat kelahiran penduduk. Hal ini yang menyebabkan
bentuk kurva mengikuti kurva pertumbuhan eksponensial. Pada tahun 2002 laju
kematian penduduk sekitar 404.111,83 dan terus meningkat sampai pada tahun
2025 yang mencapai nilai 627.292,61. Laju emigrasi, pada tahun 2002 mencapai
nilai 369.148,83 dan terus naik sampai pada tahun simulasi 2025 sebesar
660.760,41.
Tabel 14. Perkembangan penduduk Jawa Barat dan DKI (tahun simulasi 2002 – 2025)
150
b. Sub Model Pengolahan Gas Ikutan Stock flow diagram (SFD) sub model pengolahan gas ikutan yang
menggambarkan hubungan beberapa komponen seperti jumlah gas ikutan, gas
olahan, CO2, lean gas, CNG, dan LPG, serta gas bakar sebagai komponen
utama dan selanjutnya diikuti oleh komponen lainnya disajikan pada Gambar 41.
Gambar 41. Struktur model dinamik pengelolaan gas ikutan
Pada gambar terlihat bahwa besarnya gas olahan yang diperoleh sangat
tergantung pada produksi gas ikutan yang diperoleh. Hasil pengolahan gas
ikutan akan diperoleh berbagai jenis gas olahan seperti CNG, LPG, lean gas, dan
CO2. Selain jenis-jenis gas yang dihasilkan seperti disebutkan, dalam
pengolahan gas ikutan ini juga dihasilkan gas bakar yang sangat berpengaruh
laju_flare laju_pengurangan_gas_pol
harga_lean_gasharga_produk_CO2
Gas_olahan
fr_LPG
fr_flarefr_gas_ikutan
LPG
Lean_GasCO2
proporsi_diolah
CNG
fr_olahCO2
laju_prod_CO2
fr_leankap_prod_CO2
kap_prod_Lean_Gas
laju_prod_lean
kap_prod_CNG
laju_prod_CNG
kap_prod_LPG
laju_prod_LPG
exploitasi_minyak
pendapatan_dari_LPG
PAD
pendapatan_dari_CNG
harga_CNG
harga_LPGpajak_industri
pendapatan_total
pendapatan_dari_Lean_Gas
gas_terbakar
gas_ikutan
Laju_pengolahan
laju_pertambahan_gas_ikutan
fr_prespitasi
pendapatan_dari_prod_CO2fr_CNG
151
terhadap pencemaran lingkungan. Jumlah gas ikutan yang diperoleh sangat
tergantung dari besarnya kegiatan eksploitasi minyak disamping rata-rata fraksi
gas ikutan. Demikian pula dengan produksi gas olahan sangat tergantung dari
kapasitas produksi masing-masing jenis gas olahan gas ikutan disamping
kapasitas produksi gas ikutan. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa semakin
besar produksi gas ikutan, maka peluang untuk mendapatkan gas olahan juga
akan semakin besar. Adapun perkembangan produksi gas olahan baik CO2, lean
gas, CNG, dan LPG dapat dilihat pada Gambar 42.
Gambar 42. Simulasi perkembangan produksi gas olahan di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu tahun 2004 – 2025.
Pada Gambar 42 memperlihatkan kurva peningkatan produksi gas
olahan mengikuti pola pertumbuhan kurva sigmoid (sigmoid curve). Ini berarti
bahwa peningkatan produksi gas olahan di Lapangan Minyak Tugu Barat
Indramayu mengalami peningkatan yang cukup tajam dengan bertambahnya
tahun eksploitasi minyak. Namun perlu diingat bahwa pemanfaatan gas ikutan
ini merupakan sumberdaya alam yang tidak terbarukan sehingga pada suatu
saat akan menuju suatu titik keseimbangan (stable equilibrium) yang tidak bisa
ditingkatkan lagi melainkan mengalami penurunan produksi sebagai akibat dari
menurunya deposit minyak yang tersedia.
Hasil simulasi produksi gas ikutan di lapangan produksi minyak Tugu
Barat oleh PT. SDK (Tabel 15) memperlihatkan bahwa perkembangan
152
peningkatan gas hasil olahan. Pada tahun 2004 terlihat gas CO2 dihasilkan
sebesar 0,0345 ton, gas CNG sebesar 0,0496 ton, lean gas 0,0134 ton dan LPG
0,0549 ton. Selanjunya mengalami peningkatan dengan meningkatnya produksi
gas ikutan. Pada tahun 2025 terlihat gas CO2 meningkat menjadi 137.729,41
ton, CNG 192.821,18 ton, lean gas 52.337,18 ton, dan LPG sebesar 213.480,59
ton.
Tabel 15. Perkembangan hasil olahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat
Peningkatan pengolahan gas ikutan menjadi produk gas lainnya akan
berpengaruh terhadap peningkatan gas terbakar dimana gas terbakar ini sangat
besar pengaruhnya terhadap lingkungan (ekologi) karena dapat menimbulkan
pencemaran. Dampak gas bakar terhadap lingkungan secara rinci dibahas pada
sub model sistem ekologi.
c. Sub Model Ekologi Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model sistem
ekologi ini adalah jumlah gas ikutan, jumlah gas terbakar, tingkat pencemaran
153
CO2, NOx, dan polutan lainnya yang dihasilkan dari pembakaran gas. Laju
peningkatan bahan pencemar lingkungan (polutan udara) ditentukan oleh laju
peningkatan pembakaran gas yang sejalan dengan peningkatan pengolahan gas
ikutan. Pada peningkatan laju CO2, NOx, dan poluan lain terjadi proses
reinforcing akibat kebutuhan akan gas ikutan semakin meningkat dan proses
balancing akibat keterbasan sumberdaya gas ikutan. Model perkembangan gas
polutan dalam proses produksi gas ikutan seperti pada Gambar 43.
Gambar 43. Struktur model dinamik perkembangan gas polutan dalam proses produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu.
Gambar 44 memperlihatkan kurva perkembangan gas ikutan, gas olahan,
dan gas terbakar, serta produksi gas polutan tanpa dilakukan pengolahan gas
ikutan tahun simulasi 2002-2025.
Gambar 44. Simulasi perkembangan produksi gas ikutan, gas olahan, dan gas terbakar (a), serta produksi gas polutan (b) di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu Tahun 2004 – 2025 Tanpa Pengolahan.
laju_flare
fr_CO2
laju_pengurangan_gas_pollaju_pertambahan_gas_ikutan
Laju_pengolahan
gas_terbakar
exploitasi_minyak
pol_lain
fr_pol_lain
pol_CO2
total_cemaran_flare
proporsi_diolah
gas_ikutan
status_pencmr_udarastatus_pencmr_lingk
status_pencmr_udara_akibat_flare
tatus_pencemaran_lain
tatus_pencmr_udara_sumber_lain
fr_flarefr_prespitasi
Gas_olahanfr_gas_ikutan
pendapatan_total
pol_NOx
fr_NOx
a b
154
Pada Gambar 44 terlihat bahwa apabila tidak dilakukan pengolahan gas
ikutan, maka jumlah gas terbakar yang dihasilkan akan sangat besar (Gambar a)
yang dapat berdampak pada tingginya gas polutan (Gambar b). Peningkatan
gas terbakar dan gas olahan merupakan fungsi dari gas ikutan. Apabila tidak
dilakukan pengolahan gas ikutan maka peluang dihasilkannya gas terbakar
sangat besar. Pada awal tahun simulasi terlihat jumlah gas ikutan, gas olahan,
dan gas terbakar memperlihatkan jumlah yang relatif sama. Karena dalam
simulasi ini tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, maka akan mempercepat laju
peningkatan gas terbakar yang sangat berpengaruh terhadap tingginya gas
polutan yang dihasilkan. Pada tahun 2002 jumlah gas CO2 yang dihasilkan
sekitar 2,43 ton dan naik menjadi 1.822.745,31 ton pada tahun 2025. Hal yang
sama ditunjukkan pada gas polutan NO2 dan polutan lainnya mengalami
peningkatan dengan bertambahnya tahun simulasi. Pada pada tahun 2002
produksi gas NOx hanya sebesar 0,025 ton dan pada tahun 2025 diproyeksikan
menjadi 18.716,32 ton, sedangkan polutan lainnya dari 4,00 ton pada tahun 2002
terus mengalami peningkatan sampai pada tahun 2025 menjadi 2.994.611,75
ton. Adapun proyeksi perkembangan gas polutan di lapangan produksi minyak
Tugu Barat Indramayu dengan tanpa pengolahan gas ikutan secara rinci
disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan tanpa pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025
155
Gambar 45 memperlihatkan kurva perkembangan gas ikutan, gas olahan,
gas terbakar, dan gas polutan dengan melakukan pengolahan gas ikutan. Pada
gambar terlihat bahwa apabila dilakukan pengolahan gas ikutan, peluang
dihasilkannya gas olahan sangat besar, sementara gas terbakar yang dihasilkan
sangat kecil. Akibatnya gas polutan yang dihasilkan juga akan semakin kecil
walaupun pada awal tahun simulasi menunjukkan peningkatan yang cukup
tajam, tetapi menjelang tahun 2005 memperlihatkan kecenderungan kurva yang
semakin datar. Hal ini disebabkan karena gas ikutan diolah untuk menjadi produk
gas olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas, walaupun gas polutan juga
dihasilkan tetapi dengan proporsi yang sangat kecil.
Gambar 45. Simulasi perkembangan produksi gas ikutan, gas olahan, dan gas
terbakar (a), serta produksi gas polutan (b) di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu tahun 2004 – 2025 dengan pengolahan.
Pada tahun 2002, jumlah gas CO2 yang dihasilkan sama seperti gas CO2
yang dihasilkan dengan tanpa pengolahan gas ikutan yaitu sekitar 2,43 ton. Hal
yang sama juga ditunjukkan oleh gas NOx dan gas polutan lainnya yaitu masing-
masing 0,025 ton dan 4,00 ton. Selanjutnya mengalami peningkatan dengan
bertambahnya tahun simulasi namun peningkatan tersebut jauh lebih kecil
dibandingkan dengan tanpa pengolahan gas ikutan. Pada tahun 2025 jumlah
CO2 diproyeksikan akan mencapai nilai 252.652,87 ton. Sedangkan NOx dan
polutan lainnya di proyeksikan hanya sekitar 2.594,29 ton dan 415.086,65 ton.
Perkembangan gas polutan dengan pengolahan gas ikutan di Lapangan Minyak
Tugu Barat Indramayu secara rinci disajikan pada Tabel 17.
156
Tabel 17. Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025
d. Sub Model Ekonomi
Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model
ekonomi adalah jumlah CO2, jumlah CNG, jumlah LPG, dan jumlah lean gas
yang akan berpengaruh terhadap komponen pendapatan dari masing-masing
gas dan pendapatan total yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan
asli daerah (PAD) Kabupaten Indramayu. Adapun model ekonomi dalam proses
produksi gas ikutan seperti pada Gambar 46.
157
Gambar 46. Struktur model dinamik sub model ekonomi dalam proses produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu.
Pada Gambar 46 terlihat bahwa peningkatan PAD merupakan fungsi dari
pendapatan total perusahaan dalam proses produksi gas ikutan. Semakin tinggi
total pendapatan maka peluang peningkatan PAD juga akan semakin besar.
Sedangkan pendapatan total merupakan fungsi dari peningkatan pendapatan
yang diperoleh dari masing-masing gas hasil pengolahan gas ikutan dan
besarnya produksi masing-masing gas olahan (CO2, CNG, LPG dan lean gas)
merupakan fungsi dari jumlah total gas olahan yang berasal dari jumlah total gas
ikutan. Adapun perkembangan pendapatan masing-masing jenis gas olahan
disajikan seperti pada Gambar 47.
harga_CNGharga_LPG
pendapatan_dari_LPGpendapatan_dari_CNG
harga_lean_gasharga_produk_CO2
Gas_olahan
pendapatan_dari_Lean_G
fr_LPG
LPG
Lean_GasCO2
CNG
pendapatan_total
laju_prod_CO2
fr_leankap_prod_CO2
kap_prod_Lean_Gas
laju_prod_lean
kap_prod_CNG
laju_prod_CNG
kap_prod_LPG
fr_olahCO2
PADpajak_industri
laju_prod_LPG
fr_CNG
pendapatan_dari_prod_CO2
158
Gambar 47. Simulasi perkembangan pendapatan dari hasil pengolahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu tahun 2004 – 2025.
Pada Gambar 47 terlihat kurva pertumbuhan pendapatan yang diperoleh
dari hasil pengolahan gas ikutan menjadi LPG jauh lebih tajam dibandingkan
dengan pendapatan dari hasil pengolahan gas ikutan jenis lainnya. Kurva
peningkatan pendapatan yang berasal dari CNG juga terlihat mengalami
peningkatan, namun peningkatan yang terjadi masih jauh lebih kecil
dibandingkan dengan pendapatan dari LPG. Sedangkan pendapatan yang
berasal dari lean gas dan CO2 terlihat jauh lebih kecil. Berdasarkan hasil
simulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa PT. SDK dalam pemanfaatan gas
ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu, pengembangan usahannya lebih
diarahkan pada produksi LPG dibandingkan dengan jenis produksi gas ikutan
lainnya. Hal ini penting dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah dalam
penyediaan energi nasional yang berasal dari bahan bakar gas.
Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa pendapatan yang
berasal dari produksi LPG telah menyumbangkan sebesar Rp 153.607,02 pada
tahun 2004 yang merupakan nilai yang lebih besar dibandingkan pendapatan
yang berasal dari jenis gas olahan lainnya. Pada tahun yang sama, hasil olahan
CNG menyumbangkan pendapatan sekitar Rp 14.856,20, lean gas sebesar Rp
295,89, dan CO2 sebesar Rp 379,77. Dengan proses produksi gas ikutan yang
berjalan terus sepanjang tahun, akan berpengaruh terhadap peningkatan
pendapatan. Pada tahun 2025, pendapatan yang berasal dari LPG
diproyeksikan akan mencapai nilai sebesar Rp 597.745.648.141,50. Sementara
159
pendapatan yang berasal dari CNG, lean gas, dan CO2 diproyeksikan akan
memberikan sumbangan pendapatan masing-masing Rp57.846.353.045,95;
Rp 1.151.417.884,44; dan Rp 1.477.836.590,91. Dari seluruh jenis gas olahan
tersebut akan memberikan sumbangan pendapatan yang besar baik terhadap
perusahaan maupun terhadap pemerintah daerah setempat dalam bentuk
pendapatan asli daerah (PAD). Pada tahun 2004, pendapatan total dari
pemanfaatan gas ikutan diperoleh sebesar Rp 169.147,87 dan terus mengalami
peningkatan sampai pada tahun 2025 apabila proses produksi berjalan terus dan
prospek pemasaran berlangsung dengan baik. Pada tahun 2025 pendapatan
total dari memanfaatan gas ikutan diproyeksikan akan diperoleh sebesar Rp
658.221.255.663. Adapun perkembangan pendapatan dalam pemanfaatan gas
ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu seperti pada Tabel 18.
Tabel 18. Simulasi proyeksi pendapatan dari pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu tahun simulasi 2004-2025
160
7.3.2. Validasi model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat
Kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan
DKI mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa proses reinforcing terjadi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
proses balancing. Berdasarkan data Propinsi Jawa Barat dalam Angka (2007)
jumlah penduduk pada tahun 2002 adalah 3.6914.883 jiwa dan pada tahun 2006
menjadi 40.737.594 jiwa (Tabel 19). Terdapat kecenderungan bahwa
pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat yang kemungkinan
disebabkan oleh faktor migrasi ke dalam wilayah Jawa Barat dan DKI. Pola
pertumbuhan penduduk secara aktual seperti pada Gambar 48.
Tabel 19. Hasil analisis uji validasi kinerja terhadap komponen jumlah penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta
Jumlah Penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta No Tahun
Aktual Simulasi
1 2002 36.914.883 36.914.883
2 2003 38.132.356 37.850.229
3 2004 39.140.812 38.809.845
4 2005 39.960.869 39.794.457
5 2006 40.737.594 40.804.735
Rata-rata 38.977.302 38.834.829
Varian 2.26507E+12 2.3644E+12
AME (Average Mean Error) 0.004 (0,4%)
AVE (Average Variance Error) 0.04 (4%)
Berdasarkan hasil simulasi model dinamik dari struktur model yang telah
dibangun sesuai dengan konsep teori empirik seperti uraian di atas, maka model
pengelolaan gas ikutan dapat dikatakan valid secara empirik. Berdasarkan
analisis validasi kinerja terhadap komponen jumlah penduduk di Jawa Barat dan
DKI Jakarta diperoleh nilai AME sebesar 0,4 % dan nilai AVE 4% sehingga dapat
disimpulkan bahwa model tersebut memiliki kinerja yang baik, relatif tepat, dan
dapat diterima secara ilmiah karena nilai kedua parameter lebih kecil dari 10%
(Tabel 19).
Trend pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta sejak tahun
2002 hingga tahun 2006 antara data simulasi dengan data aktual relatif sama.
161
34000000
36000000
38000000
40000000
42000000
2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
jiwa aktual
simulasi
Jika dilihat dari nilai AME dan AVE yang sangat rendah, maka dapat dikatakan
bahwa dinamika pertumbuhan jumlah penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta
dalam model telah dapat menggambarkan dinamika pentumbuhan penduduk
secara aktual di lapangan. Oleh karena itu, model pengolahan gas ikutan
berdasarkan validasi kinerja terhadap jumlah penduduk dapat dikatakan valid.
Gambar 48. Pertumbuhan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi
model di Jawa Barat dan DKI Jakarta periode 2002 – 2006
7.4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan
kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik
mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan
penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya
penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan
gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena
keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit
gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan
tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini
berarti terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) pada modal
melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui
162
proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola
dasar (archetype) “limit to growth”.
Pengolahan gas ikutan untuk menghasilkan gas hasil olahan seperti LPG,
CNG, dan lean gas akan menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx,
dan polutan lainnya. Sebaliknya jika tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, akan
memperbesar polutan udara. Dilihat dari tingkat pendapatan total dan
pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun
dengan meningkatnya produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 diproyeksikan
pendapatan total perusahaan dalam memproduksi gas ikutan (LPG, CNG, lean
gas, dan CO2) akan mencapai nilai sebesar Rp. 658.221.255.663,00
163
Daftar Pustaka
Suzeta, P. 2007. Minyak Tanah : Konversi ke Gas Elpiji. http://www.pikiran-
rakyat.com. Dikunjungi tanggal 06 Januari 2009.
Aminullah. 2001. dalam Fauzi A dan Anna A, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Grant. 1997. dalam Fauzi A dan Anna A, Permodelan Sumber Daya Perikanan
dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Siswosudomo. 2001. dalam Fauzi A dan Anna A, 2005, Permodelan Sumber
Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Purnomo. 2005. dalam Fauzi A dan Anna A, Permodelan Sumber Daya
Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
VIII. STRATEGI ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GAS IKUTAN YANG MENGUNTUNGKAN SECARA EKONOMI,
EKOLOGI DAN SOSIAL
Abstrak Besarnya potensi gas yang dimiliki Indonesia dan semakin menurunnya produksi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, telah mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakannya yang semala ini diarahkan pada pemanfaatan BBM menjadi bahan bakar gas (BBG) sebagai alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk menentukan strategi arahan kebijakan pengelolaan gas ikutan. Penelitian menggunakan metode analisis data analitycal hierarchy process (AHP) untuk menyusun strategi arahan kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat. Sedangkan untuk mengetahui kendala utama yang dihadapi dan kebutuhan program dilakukan analisis interpretatif structural modeling (ISM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di Lapangan Minyak Tugu Barat adalah pemanfaatan liquified petroleum gas (LPG). Tujuan yang diharapkan dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas lingkungan dalam rangka menuju clean development mechanism (CDM). Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia, sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana dan prasarana. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapanagn Tugu Barat. Saat ini kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada kebijakan tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan sumberdaya manusia yang berkualitas yang dimaksud adalah selain memiliki keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dimana SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan agar dalam pengembangannya dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kata kunci : Kebijakan, pengelolaan gas ikutan, AHP, ISM
8.1. Pendahuluan
Ditengah meningkatnya kebutuhan minyak dan semakin menurunnya
jumlah produksi minyak dalam negeri membuat pemerintah mencari sumberdaya
energi lainnya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Salah satu
sumberdaya energi yang memiliki peran besar dalam rangka memenuhi
kebutuhan energi dalam negeri selain minyak dan dalam rangka diversifikasi
energi adalah pemanfaatan gas dimana dalam pemanfaatannya harganya lebih
murah dan ramah lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah
mengubah kebijakannya yang selama ini lebih diarahkan pada pemanfaatan
165
minyak seperti minyak tanah dan solar sebagai sumber bahan bakar beralih pada
pemanfaatan gas.
Bersamaan dengan menurunnya jumlah produksi minyak dan besarnya
jumlah pemanfaatan minyak yang selama ini dilakukan untuk digunakan sebagai
bahan bakar, membuat pemanfaatan gas sebagai bentuk diversifikasi energi
perlu dimanfaatkan lebih banyak lagi untuk digunakan sebagai bahan bakar yang
lebih murah dan ramah lingkungan. Hal ini penting dimana pemanfaatan gas
dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menuju pembangunan bersih
(clean development mechanism/CDM) dalam pengelolaan minyak dan gas di
Indonesia dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan
hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, melaporkan bahwa pemanfaatan gas
baik dalam kegiatan rumah tangga, industri, dan transportasi sangat sedikit
menimbulkan gas buang yang dapat berbahaya bagi lingkungan seperti gas
rumah kaca (GRK) dibandingkan dengan penggunaan minyak terutama minyak
tanah dan solar. Di sisi lain, pemanfaatan gas dalam berbagai kegiatan
pembangunan, diharapkan akan memberikan keuntungan yang besar baik dilihat
dari manfaat ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial.
Namun demikian keputusan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas
yang lebih murah dan ramah lingkunganini bagi penggunaan domestik telah
mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah untuk menyediakan gas
dalam jumlah yang besar. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa
ketersediaan gas dalam negeri belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gas
domestik yang cukup besar. Pada tahun 2002, suplai gas oleh pertamina baru
mencapai 800.000 ton per tahun sementara permintaan telah mencapai
1.200.000 per tahun (http://strategis.ic.gc). Dari data tersebut mencerminkan
bahwa kebutuhan akan gas dalam negeri masih kekurangan sekitar 400.000 ton
per tahun. Untuk menutupi kekurangan akan gas tersebut, maka Pertamina
meningkatkan impor gas disamping mencari alternatif lain untuk memenuhi
kebutuhan akan gas yang besar tersebut. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah dengan melakukan pemanfaatan gas ikutan yang terkandung
dalam minyak mentah.
Keberadaan gas ikutan dalam industri minyak dan gas bumi sangat
memegang peran penting dalam mendukung ketersediaan energi nasional
khususnya yang berasal dari bahan-bahan fosil, sehingga proses penyediaan
pemanfaatan gas ikutan yang ada di dalam proses produksi minyak mentah
166
sangat diperlukan. Saat ini proses produksi gas ikutan masih jarang dilakukan.
Hal ini disebabkan selain masih kurangnya dukungan pemerintah dalam produksi
gas ikutan tersebut, juga dalam proses produksi juga dibutuhkan investasi yang
besar. Di sisi lain cadangan minyak dan gas yang semakin berkurang yang
menyebabkan pengelolaan gas ikutan dapat menjadi tidak ekonomis. Berkaitan
dengan hal tersebut, perlu disusun suatu strategi sebagai arahan kebijakan
dalam rangka pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan. Penelitian bertujuan
untuk menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang
menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial
8.2. Metode Analisis Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan
Metode analisis yang digunakan dalam menganalisis strategi kebijakan
gas ikutan sekaligus menggali kendalah dan kebutuhan dalam pengelolaan gas
ikutan adalah analytical hierarchy process (AHP) dan interpretatif structural
modeling (ISM).
a. Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP ini digunakan untuk menentukan elemen-elemen kunci untuk
ditangani. Dalam analisis AHP didasarkan pada hasil pendapat pakar (expert
judgment) untuk mengetahui kendala-kendala dan kebutuhan utama serta
menjaring berbagai informasi dari beberapa elemen-elemen yang berpengaruh
dalam penyusunan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan. Skala penilaian
oleh pakar didasarkan pada skala nilai yang dikeluarkan oleh Saaty (1993) yang
berkisar antara nilai 1 – 9, seperti pada Tabel 20.
Tabel 20. Skala penilaian perbandingan berpasangan (Saaty, 1993)
Tingkat Kepentingan Keterangan Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya
Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya
5 Elemen yang satu sedikit lebih cukup daripada elemen lainnya
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya
Satu elemen yang kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak Bukti yang menyokong elemen
167
penting daripada elemen lainnya
yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Nilai ini diberikan jika ada dua kompromi diantara dua pilihan
Sumber : Saaty, 1993
Menurut Saaty (1994) bahwa tahapan analisa data dengan AHP adalah
sebagai berikut :
1. Mendefinisikan dan menentukan solusi masalah;
2. Membuat struktur hierarki yang dimulai dengan penentuan tujuan umum, sub-
sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang
paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam
dengan pakar yang mengetahui persoalan yang sedang dikaji.
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang
setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para
pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen
dibandingkan dengan elemen lainnya, Untuk mengkuantifikasi data kualitatif
digunakan nilai skala 1-9, Skala perbandingan secara berpasangan seperti
Tabel 20 di atas
4. Melakukan pengolahan perbandingan berpasangan. Pengolahan dilakukan
untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hierarki terhadap sasaran
utama. Jika NPpq didefenisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-p
pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama, maka :
NPpq =
Keterangan :
p = 1,2,....,r T = 1,2,.....,s
NPpq = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat
ke-q terhadap sasaran utama NPHpq = Nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada
tingkat q-1
5. Mengisi konsistensi judgment stakeholder dengan menghitung consistency
ratio, Nilai konsistensi yang dianggap baik adalah < 0,1 Jika tidak konsisten
∑−
−−S
tqxNPTtqtNPHpq
1)1()1,(
168
(nilainya > 0,1) maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi, consistency
ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah
perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar telah dilakukan
dengan konsekuen atau tidak (Marimin, 2004). Nilai consistency ratio dihitung
dengan rumus :
CR =
Keterangan : CI = Indeks konsistensi CI = (p – n) / (n – 1) RI = Indeks Random
p = rata-rata Consistensy Vector n = Banyak alternatif
Sedangkan RI merupakan nilai random indeks sebagaimana yang
ditetapkan oleh Oarkridge laboratory (Marimin, 2004) seperti pada Tabel 21
Tabel 21. Nilai indeks random untuk menghitung nilai consistency ratio
N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56
RICI
169
Model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Kebijakan pemerintah
Sarana dan prasarana Teknologi Modal Sumberdaya
alam Sumberdaya
manusia Faktor
Pengelola/Pertamina Pemerintah
Terpeliharanya Kualitas lingkungan
menuju CDM
Peningakatn Pendapatan Asli
Daerah
Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan
Perluasan lapangan kerja
KONDENSAT
Stakeholders
Tujuan
Alternatif
Fokus
Gambar 49. Hierarki pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
Perbankan Masyarakat
LPG CO2
169
170
b. Interpretatif Structural Modeling (ISM) Pada penelitian ini akan dibuat teknik permodelan interpretasi struktural
(interpretatif structural modelling) dalam rangka merumuskan alternatif kebijakan
di masa yang akan datang. Tahapan ISM akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
penyusunan hirarki dan klasifikasi subelemen (Eriyatno, 2003). Adapun tahapan-
tahapan dalam analisis ISM secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyusunan Hierarki
(a) Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi
elemen-elemen, dan setiap elemen akan diuraikan menjadi sejumlah
subelemen.
(b) Menetapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung
adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang
menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar
lebih dari satu maka dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual
pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol VAXO
dimana :
V jika eij = 1 dan eji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani
dibandingkan subelemen ke-j
A jika eij = 0 dan eji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani
dibandingkan subelemen ke-i
X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani
bersama
O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang
ditangani
Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara
subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada
hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j.
(c) Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix
(SSIM). SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan
mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Adapun tabel SSIM
seperti di bawah ini.
171
Tabel 22. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen
12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12
Setelah Structural self interaction matrix (SSIM) terisi sesuai pendapat
responden, maka simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan simbol (1 dan 0)
sesuai dengan ketentuan sehingga dari situ akan dapat diketahui nilai dari hasil
reachability matrix (RM) final elemen. Bentuk pengisian hasil reachability matrix
(RM) final elemen disajikan pada Tabel 23
Tabel 23. Hasil reachability matrix (RM) final elemen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 DP R 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 D L
Keterangan :
DP = driver power R = rangking D = dependence L = level/hierarki
Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui nilai driver power, dengan
menjumlahkan nilai subelemen secara horizontal; untuk nilai rangking ditentukan
172
berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar
sampai yang terkecil; nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai
subelemen secara vertikal; untuk nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari
dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil.
2. Klasifikasi subelemen
Secara garis besar klasifikasi subelemen digolongkan dalam 4 sektor
yaitu:
(a) Sektor 1, weak driver-weak dependent variabels (Autonomous).
Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan
dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun
hubungan tersebut bisa saja kuat. Subelemen yang masuk pada sektor
1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.
(b) Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (Dependent).
Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen
yang tidak bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika : Nilai DP
≤ 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.
(c) Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels (Lingkage).
Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati,
sebab hubungan antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada
subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan
pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Subelemen
yang masuk pada sektor 3 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X
adalah jumlah subelemen.
(d) Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (Independent).
Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari
sistem dan disebut peubah bebas. Subelemen yang masuk pada
sektor 4 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah
subelemen.
Adapun analisa matrik dari klasifikasi subelemen disajikan pada Gambar 50.
173
Gambar 50. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor (Marimin, 2004)
8.3. Hasil dan Pembahasan Penyusunan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan
Sebagaimana telah diuraikan pada Bab III, bahwa untuk mengetahui
strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan digunakan analisis AHP (analytical
hierarchy process) berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dan penelitian di
lapangan ada 5 level hirarki yang terkait secara nyata mempengaruhi strategi
kebijakan pengelolaan gas ikutan yaitu: (1) level fokus; (2) level faktor; (3) level
stakeholder; (4) level tujuan dan (5) level alternatif seperti yang terlihat pada
Gambar 49 di atas. Hasil analisis AHP secara terperinci seperti pada Tabel
24.
Tabel 24. Hasil analisis AHP strategi kebijakan pemanfaatan gas ikutan
No ELEMEN PENGELOLAAN GAS IKUTAN PENDAPAT PAKAR
I. Strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan II Faktor 1. SDM 0,212 2. SDA 0,185 3. Modal 0,095 4. Teknologi 0,131 5. Sarana dan Prasarana 0,106 6. Kebijakan Pemerintah 0,270
III. Stakeholder 1. Pemerintah 0,292 2. Pengelola/Pertamina 0,321 3. Perbankan 0,250 4. Masyarakat 0,137
IV. Tujuan 1. Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM 0,323 2. Perluasan Lapangan Kerja 0,194 3. Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan 0,310
Independent Variable Sektor IV
Dependent Variable Sektor II
Autonomous Variable Sektor I
Lingkage Variablel Sektor III
Ketergantungan (Dependence)
Daya Dorong (Drive Power)
174
4. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah 0,173 V. Alternatif
1. LPG 0,382 2. Kondensat 0,204 3. Lean Gas (Power Generator) 0,317 4. CO2 0,097
1. Level Fokus
Peran masing-masing stakeholder dan strategi kebijakan pengelolaan gas
ikutan difokuskan pada pengelolaan gas ikutan. karena besaran (size) dan
kompleksitas permasalahan dan ketergantungan masing-masing sektor dan
pihak yang terkait dalam pengelolaan gas ikutan merupakan salah satu alat yang
berpengaruh untuk efisiensi pencapaian tujuan pelaksanaan kebijakan baik oleh
pemerintah maupun perusahaan yang berperan sebagai pengelola sehingga
alternatif yang dihasilkan berdampak positif dan mengurangi resiko selama
berlangsungnya kegiatan.
2. Level Faktor Berdasarkan hasil survey pakar yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa terdapat 6 (enam) faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan
antara lain : (1) sumberdaya manusia, (2) sumberdaya alam, (3) modal, (4)
teknologi, (5) sarana dan prasarana, dan (6) kebijakan pemerintah.
Hasil analisis pendapat pakar terhadap 6 (enam) faktor tersebut diperoleh
bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan gas ikutan adalah
kebijakan pemerintah dengan skor tertinggi 27,0 % dan selanjutnya diikuti oleh
factor lainnya yaitu factor sumberdaya manusia dengan skor 21,2 %,
sumberdaya alam 18,5 %, teknologi 13,1 %, sarana dan prasarana 10,6 %, dan
modal 9,5 %.
Tingginya nilai skor faktor kebijakan pemerintah dibandingkan faktor
lainnya menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sangat penting dalam
pengelolaan gas ikutan sebagai pedoman dalam bentuk undang-undang dan
peraturan-peraturan yang mengatur pengelolaan gas ikutan dimulai dari
perencanaan, proses produksi, pemasaran, penentuan kerjasama, subsidi dan
program-program pengelolaan lingkungan industri yang dapat dilaksanakan baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik bagi industri maupun
masyarakat. Adanya kebijakan pemerintah diharapkan mampu menjamin
ketersediaan energi yang berasal dari gas ikutan secara berkelanjutan. Adapun
175
nilai scoring pada setiap factor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan
dapat dilihat seperti pada Gambar 51.
Gambar 51. Prioritas faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu
Dengan adanya kebijakan pemerintah akan mampu mengawasi dan
mengontrol penggunaan sumberdaya yang tidak terpebaharui ini sehingga
pengelolaannya dapat berjalan secara transparan artinya bahwa tidak ada pihak
yang akan dirugikan baik pihak pengelola, pemerintah maupun masyarakat
sebagai pemakai atau konsumen terakhir. Dengan adanya kebijakan pemerintah
eksploitasi sumberdaya gas tidak dimonopoli oleh satu pihak dan memaksa
industri untuk memperhatikan aspek lingkungan terhadap dampak yang akan
ditimbulkan. Kebijakan pemerintah mampu mengakomodir dan menjembatani
semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan gas ikutan terutama merangkul
pihak swasta untuk berinvestasi dalam pengelolaan gas ikutan.
Kebijakan pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi
seluruh kegiatan industri sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan
dampak negatif baik untuk lingkungan maupun industri. Kebijakan pemerintah
mampu mengatur dan menentukan apa saja kegiatan industri yang boleh dan
tidak boleh dilakukan serta memuat dengan jelas tentang sanksi-sanksi bagi
industri yang tidak menjalankan aturan yang diberlakukan dalam kebijakan
pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam bidang industri minyak dan gas dapat
berupa aturan tentang subsidi, kebijakan mengenai konversi minyak tanah ke
gas, penentuan harga migas dan lain-lain.
21,2%
18,5%
9,5%13,1%
10,6%
27,0%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
Pers
enta
si (%
)
SDM SDA Modal Teknologi Sarana danPrasarana
KebijakanPemerintah
Faktor
176
Adanya kebijakan pemerintah akan mampu memberikan perlindungan
kepada konsumen maupun pelaku industri sehingga pemenuhan kebutuhan
akan energi bagi masyarakat dapat terpenuhi secara efektif dan efisien.
Kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas bagi penggunaan
domestik dan bahan bakar minyak untuk ekspor telah mempengaruhi besarnya
jumlah beban pemerintah atas subsidi yang harus dipenuhi akibat meningkatnya
harga minyak dunia, yang juga semakin diperburuk dengan melemahnya nilai
tukar akan sangat membantu daya beli terhadap kebutuhan energi masyarakat
terutama masyarakat ekonomi lemah. Kebijakan pemerintah berperan untuk
mengantisipasi perdagangan energi terutama gas sehingga terciptanya kondisi
yang lebih kondusif dan memberikan kesempatan bagi pihak swasta atau
investor untuk mengelola energi alternatif secara swadaya melalui bantuan
finansial maupun penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan
potensial dalam pengelolaan sumberdaya alam baik yang dapat diperbaharui
maupun yang tidak terbaharui.
Untuk keberhasilan pengelolaan gas ikutan diperlukan komitmen dan
tanggungjawab moral pembangunan dari pihak yang terkait terutama pemerintah
dalam bentuk kebijakan, sehingga pengelolaan gas ikutan dapat dilakukan
secara efektif, efisien, terintegrasi, dan sinkron dengan sistem kelembagaan dan
tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak yang terlibat. Kebijakan
dapat berupa peraturan peraturan yang mengikat dan memaksa perusahaan
untuk ikut terlibat secara langsung dalam pengelolaan lingkungan salah satunya
adanya peraturan-peraturan yang mewajibkan industri untuk mengurangi dan
bahkan menghilangkan limbah yang dihasilkan melalui pengelolaan yang ramah
lingkungan sehingga tidak melabihi baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
Artinya pihak industri yang merusak lingkungan akan diberikan sanksi atau
denda sehingga menimbulkan efek jera bagi pihak industri yang tidak
mematuhinya. Sedangkan bagi industri yang mampu mengurangi dan mengelola
limbahnya dengan baik akan diberikan insentif baik dalam bentuk pajak maupun
kemudahan dalam hal regulasi dan pengawasan. Namun demikian, keberhasilan
pengelolaan gas ikutan tidak saja ditentukan oleh faktor kebijakan pemerintah,
tetapi perlu didukung oleh faktor-faktor lainnya seperti ketersediaan sumberdaya
manusia, sumberdaya alam, sarana dan prasarana, teknologi dan modal.
Pengelolaan gas ikutan dapat melakukan sistem kemitraan atau kerjasama
dengan investor lain yang bergerak dibidang industri sejenis, dengan masyarakat
177
maupun dengan pihak swasta secara simbiosis dimana masing-masing pihak
memiliki tugas, tanggung jawab dan wewenang yang jelas yang tertuang dalam
perjanjian kerjasama sehingga dalam menjalankan tugas tidak terjadi
ketimpangan.
Kebijakan pemerintah juga dapat berupa keputusan pembentukan komisi
khusus yang mengawasi dan mengontrol seluruh kegiatan industri yang
dilakukan oleh pengusaha dan kebijakan yang memberikan sanksi yang berat
terhadap perusahaan yang tidak menjalankan aturan yang ditetapkan dalam
kebijakan pemerintah sebaliknya memberikan penghargaan (apresiasi) terhadap
industri yang secara nyata memberikan konstribusi positif terhadap peningkatan
kualitas perusahaan secara ekonomi maupun lingkungan yang diatur dalam
peraturan perundangan, dan adanya pedoman-pedoman pengelolaan gas ikutan
yang mudah diakses dan diterapkan oleh masyarakat.
3. Level Stakeholder
Untuk mencapai tujuan dari strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan di
lapangan Tugu Barat Indramayu, stakeholder yang paling berperan adalah
pengelola yaitu Pertamina dengan nilai skor tertinggi yaitu 32,1 %, selanjutnya
pemerintah dengan nilai skor 29,2 %, perbankan 25,0 % dan masyarakat 13,7 %.
Adapun nilai skoring pada setiap stakeholder yang berperan dalam pengelolaan
gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 52.
Gambar 52. Prioritas stakeholder yang berperan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu
Stakeholder yang Berperan
29,2%
32,1%
13,7%
25,0%
Pemerintah Pengelola/Pertamina Perbankan Masyarakat
178
Pakar menilai bahwa Pertamina selaku pengelola memiliki nilai skor
tertinggi karena selama ini pertamina dianggap memiliki pengalaman, konstribusi
dan andil besar dalam pengelolaan dan pertumbuhan ekonomi dalam industri
minyak dan gas. Pertamina sebagai pengelola merupakan pihak yang memiliki
modal besar atau padat modal sehingga mampu melakukan eksplorasi dan
eksploitasi sumberdaya mineral termasuk pemanfaatan gas ikutan yang
menguasai perdagangan minyak dan gas di Indonesia baik dari segi proses
produksi sampai pada tahap distribusi.
Peran Pertamina/pengelola sangat penting dalam pengembangan
kawasan industri minyak dan gas, oleh karena itu pemerintah wajib menjaga iklim
kondusif dan persaingan yang sehat dalam dunia usaha sehingga pemilik modal
tetap menanamkan modalnya pada perusahaan yang ada di wilayahnya
sehingga dampak merosotnya ekonomi dapat dihindarkan. Pertamina/pengelolan
dan manajemen sangat berpengaruh dalam hal pengelolaan perusahaan dari
segi manajemen. Dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai
produk dihasilkan serta distribusi ke pihak konsumen. Manajemen bertanggung
jawab terhadap seluruh kegiatan perusahaan atau industri oleh karena itu
dibutuhkan tenaga yang profesional dan memiliki keahlian dibidangnya.
Selanjutnya peran pemerintah tidak saja dilihat dari kebijakannya dalam
menetapkan sistem pengelolaan gas ikutan dengan mengeluarkan surat
keputusan atau peraturan-peraturan, tetapi juga menfasilitasi setiap kegiatan
industri dalam bentuk program-program pengelolaan industri yang dapat
dilaksanakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang baik bagi industri
maupun masyarakat sekitar misalnya kegiatan penyuluhan, pelatihan dan
pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga masyarakat mendapat manfaat baik
secara pendidikan maupun ekonomi.
Pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi seluruh
kegiatan industri sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan dampak
negatif baik untuk lingkungan maupun industri. Pemerintah memiliki wewenang
dan kapasitas dalam menentukan apa saja kegiatan industri yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. Dalam pengelolaan industri gas ikutan tentunya didukung oleh
para stakeholder lain yang terkait seperti perbankan dan masyarakat. Peran
perbankkan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi perusahaan
baik dari segi modal maupun tingkat suku bunga yang akan berpengaruh
terhadap pemberlakuan pajak dan penerimaan perusahaan. Peran masyarakat
179
baik sebagai konsumen maupun sebagai pelaku dan yang terkena dampak
akibat adanya industri pengelolaan gas sangat penting diperhatikan. Misalnya
masyarakat sebagai konsumen, Pertamina/pengelola diharapkan mampu
menyediakan dan mencukupi kebutuhan energi khususnya gas dengan harga
murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat serta adanya jaminan keamanan
dalam penggunaan produk. Sedangkan masyarakat sebagai pelaku adalah
bahwa masyarakat sekitar mampu diberdayakan dan dilibatkan dalam kegiatan
pengeloaan industri gas ikutan sehingga kualitas SDM harus ditingkatkan melalui
pendidikan dan pelatihan yang difasilitasi oleh perusahaan. Masyarakat yang
terkena dampak keberadaan industri harus mendapatkan kompensasi misalnya
melalui kegiatan pemberdayaan ekonomi sehingga pendapatan mereka
meningkat dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat.
4. Level Tujuan yang Diharapkan dalam Pengelolaan Gas Ikutan
Hasil diskusi dengan pakar dan pihak terkait dalam penelitian
penyusunan kebijakan pengelolaan gas ikutan di lapangan, diperoleh 4 (empat)
tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan gas ikutan. Keempat tujuan tersebut
meliputi :
(1) Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM
(2) Perluasan lapangan kerja
(3) Peningkatan nilai guna gas ikutan
(4) Peningkatan pendapatan asli daerah
Hasil analisis pendapat pakar terhadap 4 (empat) tujuan tersebut
diperoleh bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam strategi kebijakan pengelolaan
gas ikutan adalah terpeliharanya kualitas lingkungan menuju menuju mekanisme
pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) karena memiliki nilai
skor paling tinggi yaitu 32,3 %, selanjutnya peningkatan nilai guna gas ikutan,
perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan asli daerah dengan nilai
skor masing-masing adalah 31,0 %, 19,4 % dan 17,3 %.
Tingginya nilai skor tujuan terpeliharanya kualitas lingkungan menuju
CDM dibandingkan dengan tujuan lainnya menunjukkan bahwa terpeliharanya
kualitas lingkungan menuju CDM menjadi perhatian utama pengelola industri
minyak dan gas, hal ini sangat penting dimasukkan ke dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan industri. Karena terpeliharanya kualitas lingkungan menuju
CDM sebagai parameter dan asset utama perusahaan dalam menjamin
180
ketersediaan sumberdaya energi secara berkelanjutan untuk memenuhi
kebutuhan manusia akan energi. Adapun nilai skoring pada setiap tujuan yang
diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada
Gambar 53.
Gambar 53. Prioritas tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu
Mekanisme pembangunan bersih (CDM) atau clean development
mechanism (CDM) merupakan salah satu mekanisme Protokol Kyoto dalam
kerangka konvensi PPB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change, UNFCCC). Protokol tersebut mengikat negara-
negara industri (Pihak-pihak Annex-1) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
sesuai target yang telah ditentukan. Target batas emisi yang ditentukan adalah
beberapa persen dibawah tingkat emisi. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto
melalui UU No. 17/2004, yang merupakan langkah pertama partisipasi Indonesia
dalam CDM. Lebih lanjut, pembentukan Komisi Nasional CDM pada tahun 2005
menjadikan Indonesia siap sepenuhnya untuk implementasi kegiatan-kegiatan
CDM. (World Bank, 2007)
Protokol Kyoto yang ditandatangani tahun 1997 akhirnya mulai berlaku
sejak 16 Februari 2005. Sejak penandatanganan Persetujuan Marrakesh tahun
2001, yang menetapkan aturanaturan dasar bagi mekanisme Kyoto – Clean
Development Mechanism (CDM)/Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), Joint
Implementation (JI)/Implementasi Bersama, dan Emission Trading (ET)/
Tujuan yang Diharapkan
32,3%
19,4%
31,0%
17,3%
Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM Perluasan Lapangan KerjaPeningkatan Nilai Guna Gas Ikutan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
181
Perdagangan emisi. Walaupun minat untuk melaksanakan CDM cukup tinggi
dan perbaikan dalam aturan-aturan terus berlanjut, banyak investor dan
pengembang proyek yang masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan
proyek CDM. Salah satu faktor yang menjadi penghalang penerapan CDM
adalah masalah kemampuan suatu negara untuk menarik investor asing. Faktor
penghalang lain yang langsung berkenaan dengan keefektifan penerapan CDM
adalah belum siapnya negara berkembang untuk menjadi tuan rumah proyek
CDM. Penyebabnya antara lain belum matangnya perkembangan institusi,
kompleksnya sistem untuk pengesahan suatu proyek, kurangnya pengalaman
para pegawai pemerintah, dan kurangnya koordinasi diantara Kementerian dan
institusi pemerintah lainnya yang relevan (KLH et al., 2005).
Sumber utama emisi GRK di sektor energi adalah pembakaran bahan
bakar minyak dalam proses produksi dan prosesing sumber energi primer
terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan proses pembakaran di
industri-industri lainnya (Abrahamson, 1989). Umumnya sektor ini masih banyak
menggunakan teknologi yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah.
Berdasarkan catatan KLH (2000) banyak teknologi rendah emisi GRK yang
tersedia di pasaran untuk sektor energi, namun demikian, karena berbagai sebab
sebagian besar masih sulit diterapkan.
World Bank (2007) melaporkan bahwa sektor minyak dan gas Indonesia
memiliki peluang yang signifikan untuk memperoleh keuntungan dari kredit
karbon dalam penerapan CDM. Hal ini dilihat dari potensi pengurangan gas
ikutan dan pemanfaatan dari gas ikutan (associated gas) pada beberapa
lapangan produksi minyak bumi Indonesia cukup besar. Pada tahun 2005,
sekitar 110 BSCF gas ikutan dibakar. Berdasarkan Kajian Strategi Nasional
(National Strategic Study, NSS) CDM yang disusun untuk sektor energi
Indonesia pada tahun 2000-2001, implementasi proyek-proyek pengurangan gas
ikutan berpotensi mengurangi emisi GRK sebesar 10,5 juta ton CO2 per tahun.
Potensi proyek-proyek pengurangan gas ikutan termasuk penangkapan dan
penjualan/pemanfaatan gas ikutan, pemanfaatan gas ikutan dalam fasilitas
produksi minyak, dan re-injeksi ke dalam reservoir. Sebagai mekanisme baru,
CDM memerlukan perangkat baru berupa prosedur teknik dan non-teknik serta
peraturan yang perlu diikuti oleh pihak-pihak manapun yang tertarik dalam
mengembangkan proyek-proyek CDM atau terlibat dalam proses CDM.
182
Menurut KLH (2005) pengurangan emisi dari pembakaran gas ikutan
merupakan proyek yang potensial untuk CDM di Indonesia. Bahkan adanya
pemanfaatan gas ikutan merupakan salah satu upaya untuk melakukan CDM
dengan cara mengurangi karbon dioksida dari sumbernya (Saloh dan Clogh,
2002). Hasil perhitungan, menunjukkan bahwa Indonesia membakar sekitar 4.6
milyar m3 gas ikutan per tahun, yang menghasilkan sekitar 11 juta ton emisi CO2
per tahun. Pemerintah Indonesia yakin bahwa gas bakaran dapat dimasukkan
ke dalam pembangkit tenaga listrik skala kecil dalam rangka memenuhi
kebutuhan energi yang semakin meningkat, dan pada saat yang sama
menghasilkan pengurangan emisi GRK dibandingkan penggunaan sumber
energi lainnya yang berasal dari energi yang tidak terbarukan.
Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM akan berpengaruh
terhadap penurunan dampak atau resiko terhadap kegiatan eksplorasi maupun
eksploitasi karena lingkungan menyediakan sistem pendukung kehidupan untuk
mempertahankan keberadaan manusia dan keberlanjutan suatu aktivitas
ekonomi jangka panjang. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM
industri mempunyai masa guna yang panjang, dan dapat memanfaatkan gas
ikutan melalui proses daur ulang (recycle) menjadi bahan baku oleh industri lain
yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan
pemanfaatan sumberdaya tersedia sehingga kebutuhan materi dan energi dapat
ditekan sampai seminimum mungkin. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju
CDM dalam kegiatan industri mempunyai implikasi yang luas dalam rangka
memperpanjang daur guna (use cycle) materi, sehingga disamping mengurangi
pencemaran, juga mampu mengurangi laju deplesi sumberdaya (Soemarwoto,
2001). Oleh karena itu perlu adanya kerjasama dan hubungan simbiosis
berbagai industri minyak dan gas dalam rangka mendukung terpeliharanya
kualitas lingkungan menuju CDM menjamin semua sumberdaya yang tersedia
maupun sisa produksi untuk dapat dimanfaatkan menjadi sumberdaya yang
memiliki nilai ekonomi sehingga secara tidak langsung pengelola mampu
menyediakan sumberdaya cadangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
energi untuk masyarakat secara berkelanjutan. Terpeliharanya kualitas
lingkungan menuju CDM diharapkan mampu menghasilkan produk yang
kompetitif dan mampu bersaing dalam pasar global. Terpeliharanya kualitas
lingkungan menuju CDM bertujuan bahwa dalam setiap proses produksi tidak
menghasilkan limbah artinya limbah yang dihasilkan akan menjadi sumberdaya
183
yang terbarukan dan bermanfaat dalam meningkatkan pertumbuhan dan
keberlanjutan ekonomi dan ekologi perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas bahwa dalam pengelolaan gas ikutan
terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM akan mampu meningkatkan nilai
guna gas ikutan sehingga membuka dan memperluas lapangan kerja bagi
sumberdaya manusia yang berkualitas melalui pengembangan industri gas
ikutan yang belih besar dan kompetitif. Pengelolaan industri gas ikutan yang
ramah lingkungan dapat memberikan pengaruh, baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitar kawasan industri.
Industri harus mampu memberikan dampak positif terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat sekitar melalui program-program pemberdayaan dan
keterlibatan masyarakat secara langsung dalam kegiatan industri dengan
menciptakan lingkungan yang baik bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Hal
ini akan mampu meminimalisasi konflik dan kesenjangan sosial yang terjadi di
lingkungan masyarakat sekitar kawasan industri, sehingga menjamin stabilitas
penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mengurangi angka kemiskinan
melalui penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, memperhatikan
keanekaragaman budaya dan hayati dengan mengakui dan menghargai sistem
ekologi, sistem sosial dan kebudayaan yang berlaku, mendorong partisipasi
masyarakat lokal sehingga mampu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan,
tujuan serta aspirasinya melalui pemberian tanggung jawab kepada masyarakat
sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan
dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka.
Selain tujuan utama yaitu terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM
dalam pengelolaan gas ikutan, tujuan lain seperti perluasan lapangan kerja,
peningkatan nilai guna gas ikutan, dan peningkatan PAD yang berasal dari
pengelolaan gas ikutan juga perlu mendapat perhatian. Saat ini tingkat
pengangguran tenaga kerja cukup besar, apalagi ditengah krisis global yang
menyebabkan perusahaan banyak merumahkan karyawannya akan menambah
tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Pengembangan industri gas
ikutan, setidaknya sangat membantu pemerintah untuk menurunkan tingkat
pengangguran mengingat pengembangan industri gas ikutan di Indonesia masih
cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa masih banyak ladang-
sumur baru yang potensial untuk dikembangkan.
184
Dalam proses produksi gas ikutan, peningkatan nilai guna gas ikutan
selayaknya menjadi prioritas utama agar produk gas ikutan yang berkualitas ini
memiliki nilai jual yang tinggi baik di pasar domestik maupun di pasar global. Di
sisi lain, nilai pemanfaatan gas ikutan ini akan sangat baik dari sisi lingkungan,
karena kandungan gas buang dari pengolahan gas ikutan potensi untuk
meningkatkan pencemaran lingkungannya sangat kecil. Apabila pengembangan
industri gas ikutan ini berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sangat
membantu dalam penyediaan stok gas dalam negeri baik untuk kepentingan
rumah tangga maupun untuk kegiatan industri. Tentunya juga akan memberikan
sumbangan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) di tempat industri tersebut
berada.
5. Level Alternatif Kebijakan dalam Pengelolaan Gas Ikutan
Berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai serta peran para aktor dalam
pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat seperti diuraikan di atas,
berbagai alternatif pengelolaan gas ikutan lapangan Tugu Barat seperti
pengelolaan dan pemanfaataan LPG, Kondensat, lean gas (power generator)
dan CO2. Gas ikutan tersebut diperoleh dari proses pemisahan antara minyak
mentah dan gas bumi. Gas ikutan diperoleh melalui proses tekanan hidrokarbon
yang diberikan dengan batas maksimum antara 25 % – 30 %. Dalam proses
produksi minyak mentah, biasanya dilakukan tidak bersamaan dengan
penyaringan gas ikutan (associated gas/flaring gas) karena hal ini sangat
berpengaruh terhadap kandungan minyak mentah dan gas yang dihasilkan serta
biaya operasional yang diperlukan dalam proses pemisahaan juga besar. Di sisi
lain keempat gas ikutan tersebut memiliki niali ekonomi dan dampak terhadap
lingkungan yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan
analisis untuk menentukan alternatif dalam pengembangannya sebagai salah
satu kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan.
Alternatif-alternatif kebijakan tersebut, dianalisis berdasarkan pendapat
pakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif pengelolaan dan
pemanfaatan LPG menduduki prioritas pertama yang perlu dikembangkan. Hal
ini terlihat dari hasil penilaian para pakar dengan memberikan nilai sebesar
38,2% dan selanjutnya diikuti oleh lean gas dengan nilai skor 31,7 %, kondensat
20,4 % dan CO2 dengan skor 9,7 %.
185
Adapun nilai skoring pada setiap alternatif kebijakan dalam dalam
pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 54.
Gambar 54. Prioritas alternatif kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu
Tingginya nilai skoring yang diberikan oleh pakar terhadap alternatif
kebijakan pengembangan LPG dibandingkan dengan alternatif lainnya adalah
menunjukkan bahwa penggunaan LPG selain dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan energi yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi
dibandingkan jenis bahan bakar lainnya, dan juga mempunyai kandungan gas
buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Pengembangan kebijakan
pemanfaatan LPG ini juga sangat membantu meringankan beban pemerintah
dalam mengatasi permasalahan penyediaan energi di dalam negeri, khususnya
bahan bakar minyak dengan subsidi yang sangat tinggi. Di sisi lain kebijakan
pemanfaatan LPG ini akan mendukung kebijakan diversifikasi energi untuk
mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak khususnya minyak
tanah dengan mengalihkan ke penggunaan LPG.
Potensi gas yang dimiliki Indonesia yang sangat besar dan dengan
semakin meningkatnya kebutuhan gas domestik khususnya penggunaan LPG di
Indonesia, telah mendorong masyarakat untuk lebih memanfaatkan LPG sebagai
38,2%
20,4%
31,7%
9,7%
0,0%
5,0%
10,0%
15,0%
20,0%
25,0%
30,0%
35,0%
40,0%
Pers
enta
si (%
)
LPG Kondensat Lean Gas CO2
Alternatif Kebijakan
186
alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Produksi LPG Indonesia
pada tahun 2006 mencapai 1.428 ton, sedangkan angka konsumsi hanya
mencapai 1.100 ton sehingga masih mempunyai kuota untuk ekspor sebesar
289 ton (Departemen ESDM, 2007). Apabila kebutuhan LPG domestik ini
dipenuhi dapat terpenuhi dengan baik dan mendukung terjadinya alih
penggunaan pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) kepada penggunaan gas
sebagai energi, sehingga dapat membantu mengurangi kelangkaan BBM.
Kebijakan konversi minyak tanah bersubsidi ke LPG mempunyai maksud untuk
mengurangi subsidi. Perhitungan pengurangan subsidi melalui program konversi
minyak tanah bersubsdi ke LPG berdasarkan perhitungan seperti Tabel 25
berikut.
Tabel 25. Perbandingan subsidi minyak tanah dibandingkan dengan LPG
PERBANDINGAN
MINYAK TANAH LPG
Kesetaraan 1 Liter 0.57 Kg Harga Jual ke Masyarakat Rp. 2.500 /Ltr Rp. 4.250/Kg Pengalihan Volume Minyak Tanah Subsidi
10.000.000 Kiloliter 5.746.095 MT/Tahun
Asumsi Harga Keekonomian Rp. 5.665 /Liter Rp. 7.127 /Kg Harga Jual Rp. 2000 /Liter Rp. 4.250 /Kg Besaran Subsidi Rp. 3.665 /Liter Rp. 2.877 /Kg Total Subsidi Rp. 36.65
Triliun/Tahun Rp.16.53 Triliun/Tahun
Selisih Rp. 20.12 Triliun/Tahun
Dari Tabel 25 di atas terlihat bahwa Pemerintah Indonesia dapat
menghemat subsidi sebesar Rp 20 triliun/ tahun dari pengalihan penggunaan
minyak tanah dengan LPG. Perhitungan penghematan subsidi sebesar itu
dengan asumsi seluruh volume minyak tanah bersubsidi dikonversi ke LPG 3 kg.
Hal ini akan mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan subsidi yang
besar dan beban subsidi tersebut dapat dialokasikan kepada sektor lain yang
lebih membutuhkan, seperti pendidikan dan kesehatan.
8.3.2. Kendala dan kebutuhan dalam Pengelolaan gas ikutan
a. Kendala dalam Pengelolaan gas ikutan Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan di wilayah
lapangan minyak dan gas Tugu Barat, Indramayu. Berdasarkan hasil pendapat
187
pakar, ditemukan 10 sub elemen kendala yaitu: (1) Belum ada pengembangan
pasar gas domestik, (2) Terbatasnya kebijakan gas ikutan, (3) Sistem fiskal yang
rumit, (4) Harga gas ikutan yang masih rendah, (5) Terbatasnya sarana dan
prasarana pemanfaatan gas ikutan, (6) Akses pengelolaan gas yang terbatas, (7)
Modal usaha terbatas, (8) Kebijakan otonomi daerah, (9) Kualitas SDM yang
masih rendah, (10) Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah.
Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, memperlihatkan
sebaran setiap sub elemen kendala menempatkan tiga sektor masing-masing
sektor I, II, dan IV seperti terlihat pada Gambar 51. Pada Gambar 51 terlihat
bahwa sub elemen kendala terbatasnya kebijakan gas ikutan (2) dan masih
rendahnya kualitas sumberdaya manusia (9), terletak pada sektor IV yang
merupakan sub elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan gas
ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat. Sub elemen tersebut memiliki
kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengembangan kawasan
dengan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap sub elemen
kendala lainnya. Apabila kedua sub elemen ini tidak ditangani dengan baik akan
menjadi faktor penghambat utama dalam pengelolaan gas ikutan. Sub elemen
seperti (1) Belum ada pengembangan pasar gas domestik, (3) Sistem fiskal yang
rumit, (4) Harga gas ikutan yang masih rendah, (7) Modal usaha terbatas, dan
(10) Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah menempati kuadran II yang
berarti sub elemen tersebut memiliki kekuatan pendorong yang rendah tetapi
tingkat ketergantungannya terhadap sub elemen lainnya tinggi. Sub elemen (8)
Kebijakan otonomi daerah menempati kuadran I dimana sub elemen ini memiliki
kekuatan pendorong dan ketergantungan yang rendah. Kedelapan sub elemen
kendalah tersebut dapat diartikan bahwa apabila kendala kebijakan pengelolaan
gas ikutan dan sumberdaya mansuai dapat teratasi dengan baik, maka
penyelesaian kedepalan kendala dapat dengan mudah untuk diatasi. Adapun
posisi masing-masing sub elemen kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas
ikutan seperti pada Gambar 55.
188
Gambar 55 Matriks driver power – dependence untuk elemen kendala dalam
pengelolaan gas ikutan
Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kendala program
pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan Tugu Barat secara rinci dapat
dilihat pada Gambar 56 di bawah ini.
Gambar 56. Struktur hierarkhi sub elemen kendala program pengelolaan gas
ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat, Indramayu.
Pada Gambar 56 terlihat bahwa penanganan kendala yang dihadapi
dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan tugu barat dapat dilakukan melalui
empat tahap. Pada tahap pertama yang diperlukan dalam pengelolaan gas
ikutan adalah perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan (2) dan peningkatan
kualitas sumberdaya manusia (9). Selanjutnya pada tahap kedua adalah
1
2, 9
3 4
5
6
7, 10
8
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 1 2 3 4 5 6 7
Sektor IV Indepencence
Sektor III Linkage
Sektor I Autonomous
Sektor II Depencence
Driver P
ower
Dependence
3 4 7 10
1 5 8
6
2 9
Level 4
Level 3
Level 2
Level 1
189
memudahkan dalam akses pengelolaan gas yang terbatas (6). Pada tahap tiga
yang perlu dilakukan adalah pengembangan pasar gas domestik (1),
peningkatan sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan (5), penetapan
kebijakan otonomi daerah (8). Pada tahap terakhir (keempat) yang dapat
dilakukan dalam rangka penanganan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan
gas ikutan adalah mempermudah sistem fiskal yang rumit (3), meningkatkan
harga gas ikutan yang masih rendah (4), penyediaan modal usaha terbatas (7),
dan meningkatkan mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah (10).
b. Kebutuhan Program Pengelolaan gas ikutan Berdasarkan hasil pendapat pakar, ditemukan 10 sub elemen kebutuhan
yang diperlukan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas
Tugu Barat Indramayu. Adapun sub elemen tersebuat yaitu (1) Tersedianya
pasar gas ikutan dalam dan luar negeri, (2) Sistem fiskal yang lebih mudah, (3)
Harga gas ikutan yang lebih tinggi, (4) Sarana dan prasarana pemanfaatan gas
ikutan, (5) Akses pengelolaan gas ikutan yang lebih mudah, (6) Kemudahan
dalam memperoleh modal usaha, (7) Tersedianya kebijakan pengelolaan gas
ikutan, (8) Kualitas SDM yang terampil dan siap pakai, (9) Mutu hasil olahan gas
ikutan yang lebih baik, (10) Keamanan dalam berinvestasi.
Semua sub elemen tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode ISM untuk mendapatkan sub elemen kunci yang merupakan kebutuhan
utama program pengelolaan gas ikutan. Hasil analisis ISM seperti disajikan pada
Gambar 57.
190
Gambar 57. Matriks driver power – dependence untuk elemen kebutuhan
pengelolaan gas ikutan.
Berdasarkan hasil analisis seperti pada Gambar 57 tersebut
memperlihatkan bahwa ada tiga sub elemen terpenting dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pengelolaan gas ikutan, yaitu: tersedianya kebijakan
pengelolaan gas ikutan (7) kualitas SDM yang terampil dan siap pakai (8),
keamanan dalam berinvestasi (10). Ketiga sub elemen ini terletak pada sektor IV
yang merupakan sub elemen kebutuhan program yang perlu mendapat perhatian
serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak
(driver power) yang besar dalam pengelolaan gas ikutan, dan memiliki
ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap program. Ketiga sub
elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program. Sub elemen
yang terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program
yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang
mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengelolaan
gas ikutan, dan memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap
program. Sub elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program
pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas Tugu Barat.
Seperti diketahui sampai saat ini kebijakan yang khusus berkaitan dengan
pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengembangannya masih
menggunakan kebijakan-kebijakan pengembangan industri minyak dan gas bumi
secara umum. Adapun kebijakan-kebijakan yang selama ini digunakan dalam
pengelolaan gas ikutan di Indonesia antara lain :
1
2, 5
3, 4, 6
7, 8, 10
9
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0 1 2 3 4 5 6 7
Sektor IV Indepencence
Sektor III Linkage
Sektor I Autonomous
Sektor II Dependence
191
1. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
2. UU Nomor 18 Tahun 2006 tentang APBN tahun 2007.
3. Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan usaha hilir Migas
4. Pperaturan Menteri (PERMEN) No. 0007 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Perizinan Hilir Migas.
5. Keputusan Dirjen migas No. 25K/36/DDJM/1990 yang mngatur yang
mengatur tentang spesifikasi LPG yang beredar di dalam negeri. Selain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan yang merupakan
kebutuhan utama dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas
Tugu Barat, keamanan berinvestasi dalam pengembangan gas ikutan di
Indonesia juga merupakan kebutuhan yang perlu segera ditangani dengan baik.
Adanya keengganan para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia
terutama dalam pengembangan industri gas ikutan diantaranya disebabkan oleh
lemahnya keamanan dalam berinvestasi.
Sumberdaya manusia dalam suatu industri termasuk industri pengolahan
gas ikutan juga sangat memegang peran penting terhadap kelangsungan usaha.
Banyak industri yang mengalami kebangkrutan atau gulung tikar disebabkan
kesalahan manajemen dan kesalahan manajemen disebabkan salah satunya
adalah ketidakmampuan sumberdaya manusia yang dimiliki untuk mengelola
usaha dengan baik. Terkait dengan sumberdaya manusia dalam pengelolaan
industri gas ikutan, dimaklumi bahwa sumberdaya manusia yang potensial dan
terampil dibidang tersebut masih sangat terbatas, sehingga untuk memenuhinya
masih lebih banyak memanfaatkan tenaga-tenaga asing. Sementara tenaga
kerja lokal lebih banyak dimanfaatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang kasar.
Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan industri gas ikutan ke depan
melalui pemberdayaan sumberdaya manusia lokal, maka peran lembaga
pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyediakan sumberdaya manusia yang
berkualitas.
Menurut Suhariadi (2007) bahwa pada era saat ini, kepemilikan modal,
sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, mesin, dan teknologi tidak lagi
menjamin bahwa suatu organisasi seperti industri bukan lagi sebagai driver
organisasi/industri untuk mampu berkiprah dengan baik dalam suatu populasi
organisasi/industri. Namun yang sangat dipentingkan adalah pemilikan dan
penguasaan pengetahuan para karyawan industri, sehingga driver utama bagi
kelangsungan hidup industri adalah kepemilikan pengetahuan para
192
karyawannya. Pengetahuan para karyawan ini perlu dikelola lebih baik yang
dikenal sebagai knowledge management. Nonaka dalam Suhariadi (2007)
membagi pengetahuan yang dimiliki organisasi menjadi dua yaitu tacit knowledge
dan explicit knowledge. Tugas para pengelola organisasi adalah menjadikan tacit
knowledge yang dimiliki anggota anggotanya menjadi explicit knowledge yang
dimiliki bersama. Organisasi dalam era ini membutuhkan knowledge workers.
Untuk dapat survive, organisasi sebaiknya mengubah pola pengelolaan
sumberdaya manusia dalam organisasi, karena knowledge ini dimiliki oleh para
anggota organisasi, dan akan keluar bersama anggota tersebut kalau dia
meninggalkan organisasi. Bukan seperti mesin yang tetap tinggal dalam
organisasi meskipun operatornya keluar dari organisasi.
Saat ini para pemimpin atau manajer organisasi/instansi harus
berhadapan dengan arus perubahan yang cepat dan terus-menerus. Para
pimpinan/manajer harus bekerja dengan pengambilan keputusan yang vital yang
tidak dapat mengacu pada arah-arah pengembangan di masa yang lalu. Teknik-
teknik manajemen harus secara berkesinambungan memperhatikan perubahan
di lingkungan dan organisasinya, mengukur perubahan dan mengelolanya.
Mengelola perubahan tidak hanya berarti mengendalikan saja namun juga
mengadaptasinya atau bahkan mengarahkan sebagaimana mestinya. Tentu saja
hal ini membuat para pimpinan/manajer tidak dapat menguasai seluruh metode
pemecahan masalah atau sumber daya bagi setiap situasi.
Hal yang seringkali terjadi, manajemen sumberdaya manusia dalam suatu
organisasi tidak menempatkan manusia sebagai objek yang harus dimiliki untuk
kepentingan apapun, melainkan bagaimana menempatkan manusia sebagai
bagian yang ikut berkembang selaras dengan alam semesta, dan tidak
mengobrak abrik alam untuk kepentingan sendiri. Paradigma ini disebut sebagai
”deep ecology” seperti yang dikemukakan Capra dalam Suhariadi (2007).
Manusia dalam paradigma deep ecology adalah manusia yang berproses
bersama alam semesta, dan berevolusi bersama untuk mencapai tingkat
kehidupan yang lebih tinggi. Manusia sebagai bagian dari alam semesta
bukanlah aset seperti pandangan organisasi, melainkan manusia yang utuh,
yang memiliki berbagai dimensi, seperti dimensi fisik, biologis, psikologis, sosial,
budaya, dan spiritual. Pengelolaan sumberdaya manusia dengan paradigma
semacam ini menghendaki organisasi benar benar memperlakukan manusia
sebagaimana adanya, dan mengembangkan potensi-potensinya agar dapat
193
berkarya dengan baik dalam organisasi, baik untuk kemajuan organisasi maupun
untuk perkembangan pribadinya. Pengelolaan sumberdaya manusia dalam
organisasi seyogyanya menghasilkan Manusia yang berkarya, bukan manusia
yang bekerja.
Untuk membentuk sumberdaya manusia yang bukan saja sebagai
pekerja tetapi dalam pekerjaannya dapat bersahabat dengan lingkungan, maka
peran pendidikan baik pendidikan sarjana maupun pascasarjana tidak saja
membekali sumberdaya manusia dalam pengelolaan suatu organisasi tetapi
pemahanan dan peningkatan kesadaran akan kelestarian lingkungan perlu
ditingkatkan. Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kebutuhan program
pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat secara rinci dapat dilihat pada
Gambar 58 di bawah ini.
Gambar 58. Struktur Hierarkhi Sub Elemen Kebutuhan Program Pengelolaan
gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu.
Pada Gambar 58 memperlihatkan bahwa ada tiga tahap yang dapat
ditempuh dalam rangka pemenuhan kebutuhan program pengelolaan gas ikutan.
Pada tahap pertama adalah tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan (7),
kualitas SDM yang terampil dan siap pakai (8), keamanan dalam berinvestasi
(10).
Pada tahap kedua yang perlu dilakukan adalah Sistem fiskal yang lebih
mudah (2), Akses pengelolaan gas ikutan yang lebih mudah (5) dan Mutu hasil
olahan gas ikutan yang lebih baik (9). Sedangkan pada tahap terakhir (ketiga)
adalah Tersedianya pasar gas ikutan dalam dan luar negeri (1), Harga gas ikutan
yang lebih tinggi (3), Sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan (4),
Kemudahan dalam memperoleh modal usaha (6).
1 3 4 6
2 5 9
7 8 10
194
8.4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan di Lapangan
Minyak Tugu Barat adalah pemanfaatan liquified petroleum gas (LPG).
Pemanfaatan LPG ini selain dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi
yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan jenis
bahan bakar lainnya, dan juga mempunyai kandungan gas buang yang lebih
bersih dan ramah lingkungan. Tujuan yang diharapkan dalam pengembangan
pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas lingkungan dalam rangka
menuju mekanisme pembangunan bersih atau clean development mechanism
(CDM). Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah
kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia,
sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana
dan prasarana.
Hal ini sesuai juga dengan hasil analisis interpretatif structural modeling
(ISM) bahwa kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya manusia terkait
pengelolaan gas ikutan terutama dalam pemanfaatan LPG. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan pemerintah dan peningakatan sumberdaya manusia yang
berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat. Saat ini
kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas ikutan belum
ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada kebijakan
tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan yang di
maksud dengan sumberdaya manusia yang berkualitas yang adalah selain
memiliki keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki
pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan dimana SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan
pengelolaan gas ikutan agar dalam pengembangannya dapat lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan.
IX. PEMBAHASAN UMUM
Minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumberdaya energi tak
terbarukan yang memiliki peran strategis dan sangat berpengaruh terhadap
perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari besarnya kontribusi sektor
minyak dan gas bumi (migas) terhadap Gross Domestic Product (GDP)
Indonesia. Di sisi lain peran migas juga terlihat sangat besar terhadap
sumbangannya sebagai bahan baku untuk industri, sumber energi kelistrikan,
angkutan, dan untuk kepentingan rumah tangga. Sumbangan minyak dalam
perekonomian indonesia semakin besar dengan adanya peningkatan jumlah
penemuan minyak bumi terutama di daeah-daerah lepas pantai dan semakin
tingginya harga minyak dunia beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana
diketahui hingga akhir tahun 2008, harga minyak dunia pernah mencapai pada
US$ 120 per barrel. Hal ini sangat memberikan keuntungan yang besar bagi
Indonesai sebagai salah satu negara penghasil minyak dan gas.
Untuk meningkatkan nilai tambah dari sektor minyak dan gas bumi ini,
maka segmen pengolahan merupakan langkah strategis yang perlu dilakukan
untuk mengolah minyak mentah menjadi produk-produk lain untuk dipergunakan
oleh konsumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanusi (2002) bahwa minyak
mentah yang dihasilkan dari berbagai sumur minyak produktif belum dapat
dimanfaatkan tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu seperti pengolahan
minyak menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kebutuhan kendaraan
bermotor dengan berbagai jenis, maka minyak mentah tersebut harus melalui
proses pengolahan dalam kilang minyak. Berdasarkan hal tersebut, PT.
Pertamina mengembangkan berbagai kilang minyak untuk melakukan eksplorasi
dan produksi minyak di Indonesai dan salah satunya adalah di Wilayah Kuasa
Pertambangan (WKP) PT. Pertamina Eksplorasi dan Produksi (PT. Pertamina
EP) Region Jawa di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Thai Oil Company Limited (2000) melaporkan bahwa produk olahan
minyak mentah pada dasarnya dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu produk
bukan jenis bahan bakar dan produk jenis bahan bakar. Adapun produk yang
tidak termasuk dalam kategori seperti pelumas, lilin, gemuk, aspal, solven,
petroleum,dan beberapa produk petrokimia dasar lainnya seperti kelompok
olefin, aromatik, ataupun kelompok benzena dan turunannya. Sedangkan produk
olahan yang berupa bahan bakar minyak seperti LPG, avgas, avtur, solar,
197
kerosin, dan gasoline, kondensat, dan lean gas. Produk yang tidak termasuk
bahan bakar tersebut diperoleh melalui hasil pengolahan sekunder atau
pengolahan yang lebih lanjut, sementara produk olahan dalam bentuk bahan
bakar minyak diperoleh secara langsung dari hasil pengolahan primer.
Krisis energi yang melanda Indonesia semenjak harga minyak dunia
bergerak naik melewati US$ 40 pada tahun 2005 dan mencapai nilai US$ 120
pada akhir tahun 2008, membuat alternatif pemanfaatan gas sebagai bahan
bakar hasil olahan menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi industri-industri
strategis dan rumah tangga. Hal ini yang mendasari pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan pengalihan penggunaan bahan bakar minyak terutama
minyak tanah ke penggunaan gas dalam rangka mengurangi subsidi BBM yang
semakin besar. Dengan pengalihan tersebut diharapkan terjadi penurunan
anggaran subsidi BBM, mengingat subsidi LPG lebih rendah dibanding dengan
subsidi minyak tanah. Disamping itu, LPG adalah energi yang bersih dan ramah
lingkungan. Pemakaian gas bumi dalam bentuk LPG dan Lean Gas di Indonesia
sebagian besar untuk industri pupuk dan pembangkit listrik dengan masing-
masing sekitar 35% dari total pemakaian dalam negeri. Sisanya sekitar 30%
digunakan untuk industri lain. Sedangkan sektor rumah tangga persentase
penggunaannya semakin kecil (PT. SDK, 2008)
Mengingat industri gas memegang peran penting dalam industri
perminyakan di Indonesia, maka PT. SDK bekerjasama dengan PT. Pertamina
melalui kontrak kerjasama yang dimulai pada tahun 1993 dan diperpanjang pada
tahun 2005 untuk mengembangkan proyek industri pengolahan minyak mentah
untuk menghasilkan gas ikutan dalam bentuk LPG, lean gas, kondensat, dan
CO2 di Lapangan minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa
Barat. Proyek ini merupakan proyek yang cukup vital untuk segera menambah
pasokan gas alam (Lean Gas) dan menambah pasokan LPG dalam negeri,
khususnya di Jawa Barat.
Pemanfaatan produksi minyak dan gas bumi Lapangan Tugu Barat
Komplek adalah (1) minyak, untuk keperluan kilang (proses extraksi) Balongan
dan untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam Negeri,
dengan cara dikirim ke Stasiun Pengumpul Utama (SPU) Tugu Barat melalui pipa
trunk line (pipa utama) bersana-sama minyak mentah hasil dari Lapangan
Mundu, Blok Jatibarang, (2) gas alam (non associated), Gas alam ini digunakan
untuk :
198
a. Digunakan untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan
Bongas Blok Jatibarang.
b. Digunakan ke kilang Mundu untuk diproses (stripping) menjadi gas LPG.
c. Untuk konsumen industri : PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur
Palimanan, Cirebon.
(3) Gas alam (associated), dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku
(feed stock) pada proses Mini LPG Plant.
PT. SDK (2008) melaporkan bahwa lapangan Tugu Barat mempunyai 6
formasi yaitu formasi BRF, Z-16, MA, MB, O dan P1 dengan kandungan CO2
sekitar 40 %. Adapun penjelasan enam formasi tersebut adalah :
1. Formasi BRF Formasi BRF merupakan reservoar migas dengan lithologi limestone.
Tipe jebakan adalah antiklin. Kedalaman lapisan datum adalah 1.783 mbpl,
kontur tutupan tertinggi pada kedalaman 1.740 mbpl dan kontur tutupan
terbawah pada kedalaman 1.880 mbpl. Reservoir ini mengandung minyak
dan tudung gas dimana batas gas minyak berada pada kedalaman 1.783
mbpl dan batas minyak-air terdapat pada 1.826 mbpl.
Formasi BRF mulai diproduksikan pada bulan Mei 1992 . Reserfoar
mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 29% dan saturasi air rata-rata
sebesar 36% serta permeabilitas rata-rata 20.7 mD.
2. Formasi Z-16 Formasi Z-16 merupakan reservoir migas dengan lithologi sandstone
dengan tipe jebakan adalah antiklin. Kedalaman lapisan datum adalah 1,729
mbpl, kontur tutupan tertinggi pada kedalaman 1.700 mbpl dan kontur
tutupan terbawah pada kedalaman 1,840 mbpl. Reservoir ini mengandung
minyak dan tudung gas dimana batas gas-minyak berada pada kedalaman
1,729 mbpl. Reserfoar mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 12%
dan saturasi air rata-rata sebesar 40%.
3. Formasi MA Reservoar pada formasi MA mempunyai porositas efektif rata-rata
sebesar 20% dan saturasi air rata-rata sebesar 30%
4. Formasi MB
Reservoar pada formasi MB mempunyai porositas efektif rata-rata
sebesar 8% dan saturasi air rata-rata sebesar 60%.
199
5. Formasi O Reservoar pada formasi O mempunyai porositas efektif rata-rata
sebesar 12% dan saturasi air rata-rata sebesar 30%.
6. Formasi P1 Reservoar pada formasi P1 mempunyai porositas efektif rata-rata
sebesar 15% dan saturasi air rata-rata sebesar 50%.
Untuk melakukan pengolahan minyak mentah menjadi produk olahan
seperti gas ikutan, PT. SDK pada tahap awal membangun fasilitas kilang yang
disebut Fasilitas Existing Kilang LPG Plant Tugu Barat. Fasilitas ini mendapatkan
pasokan gas dari Stasiun Pengumpul Tugu Barat. Kilang Existing ini terdiri dari
Kilang CO2 removal & Kilang LPG. Kapasitas gas pasokan dari Stasiun
Pengumpul Tugu Barat ini adalah sebesar 4.5 MMSCFD dengan kandungan CO2
sekitar 40% dan setelah di proses di kilang existing ini akan dapat menghasilkan
produk tambahan berupa : LPG, Kondensat, Lean Gas, dan CO2. Selanjutnya
PT. SDK mengembangkan fasilitas kilang baru untuk lebih meningkatkan
produksi gas ikutan. Fasilitas Kilang Investasi baru disebut Kilang CO2 Removal
yang akan mendapatkan pasokan gas dari sumuran Pasir Catang dan beberapa
sumur lain di Tugu Barat Kompleks. Total pasokan gas ke fasilitas ini sebesar 6.5
MMSCFD, dan gas yang telah terproses akan dikirim untuk menambah pasokan
gas ke Kilang LPG Tugu Barat, sehingga akan dapat meningkatkan hasil
produksi kilang existing (PT. SDK, 2008).
Gambar 59..Salah satu contoh Fasilitas Produksi Industri Pengolahan Gas
200
Dalam pengembangan fasilitas industri gas ikutan ini, dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti daya beli pasar, dimana tidak semua jenis produk yang
dihasilkan dapat diserap oleh pasar, deposit tersedia untuk pengolahan menjadi
gas ikutan secara ekonomi tidak menguntungkan, dan yang tidak kalah
pentingnya adalah penggunaan teknologi. Teknologi yang digunakan untuk
menghasilkan berbagai jenis gas ikutan yang diinginkan biasanya tidak
memungkinkan untuk membuat konfigurasi-konfigurasi pengolahan yang tepat
agar dapat menghasilkan semua jenis produk yang diinginkan yang disebabkan
oleh komposisi produk-produk yang dihasilkan oleh sebuah kilang biasanya
menghasilkan beberapa jenis yang sebenarnya secara ekonomi tidak
menguntungkan baik karena sulit dipasarkan ataupun karena memiliki nilai jua
yang terlalu rendah.
Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi dalam pengembangan
industri gas ikutan, maka sebaiknya sebelum memulai suatu usaha terlebih
dahulu dihitung kelayakan eknomi dari pengembangan usaha tersebut apakah
usaha yang dinginkan untuk dikembangkan memberikan keutungan ekonomi
yang berkelanjutan atau akan menimbulkan kerugian. Berkaitan dengan hal
tersebut, PT SDK telah melakukan perhitungan kelayakan ekonomi dalam rangka
pengembangan usaha pengolahan minyak menjadi gas ikutan di Lapangan
minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu. Berdasarkan hasil perhitungan
menunjukkan bahwa pengembangan industri gas ikutan di lapangan Tugu Barat
oleh PT. SDK secara ekonomi yakin untuk dikembangkan sesuai dengan target
yang telah ditetapkan yaitu selama 10 tahun menurut kontrak kerjasama dengan
PT. Pertamina. Hal ini terlihat dari nilai keuntungan bersih yang diperoleh bernilai
positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00
dengan kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank yang besar yaitu lebih
besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas waktu yang ditetapkan
dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 %.
Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh
nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk
payback loan yang berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk
dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak dan
untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan
dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan.
Artinya perusahaan akan memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena
201
periode payback lebih pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama
10 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai sekarang penerimaan-
penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai
sekarang investasi sehingga perusahaan memperoleh keuntungan. Adapun
biaya-biaya perlindungan lingkungan dan biaya social yang perlu dikeluarkan
oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dalam penelitian ini belum
diperhitungkan.
Walaupun secara ekonomi layak untuk dikembangkan, namun hal yang
perlu mendapat perhatian utama adalah bagaimana di dalam menjalankan
kegiatan, industri tidak menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap
lingkungan sekitar yang merupakan ekosistem yang dimanfaatkan bersama
antara perusahaan dengan mayarakat sekitar. Agar lingkungan sekitar dapat
terjaga dengan baik, maka pihak perusahaan dituntut untuk senantiasa
meningkatkan kinerja sistem manajemen lingkungannya (SML). Sistem
manajemen lingkungan merupakan manajemen yang dinamis sehingga
diperlukan adaptasi atau penyesuaian apabila terjadi perubahan di perusahaan,
yang mencakup sumberdaya, proses dan kegiatan perusahaan. Diperlukan pula
penyesuaian seandainya terjadi perubahan diluar perusahaan, misalnya
peraturan perundangan dan desain peralatan yang disebabkan oleh
perkembangan teknologi.
Penanganan efektif dari isu lingkungan merupakan suatu proses yang
berjalan dan secara berkelanjutan mengalami peningkatan sejalan dengan
perubahan operasional industri dan perubahan dari waktu kewaktu. Berdasarkan
hal tersebut maka terdapat tiga tujuan utama dari program lingkungan yang perlu
dikembangkan oleh PT. SDK dalam pengembangan industri gas ikutan yaitu :
1. Manajemen resiko yang efektif. Manajemen resiko yang efektif diperlukan
dalam semua jenis kegiatan. Dampak signifikan kepada lingkungan harus
diperkecil dengan memperkirakan dan mengukur dampak yang akan terjadi
2. Sesuai peraturan dimana semua kegiatan harus sesuai dengan peraturan
yang berlaku, dan
3. Eko-efisiensi. Pemakaian bahan-bahan mentah secara efisien baik dalam
bentuk penghematan pemakaian bahan baku dan energi serta pemakaian
kembali dan mendaur ulang dalam semua aspek kegiatan industri
Untuk memastikan bahwa Sistem Manajemen Lingkungan berjalan dengan baik,
PT.SDK secara rutin mengadakan audit baik yang bersifat internal seperti
202
Environmental Internal Audit dan SMIT (Senior Management Inspection Team)
yang masing-masing dilaksanakan 2 kali tiap tahunnya, maupun yang bersifat
eksternal seperti Environmental External Audit dilakukan oleh ERM-CVS, suatu
badan standarisasi internasional yang berkompeten untuk memberikan sertifikat
ISO 14001.
Untuk melihat besarnya potensi pemanfatan gas ikutan yang
dikembangkan oleh PT. SDK, faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
pengembangannya, dan dampaknya terhadap lingkungan, maka dibangun suatu
model pengelolaan gas ikutan di Lapangan produksi minyak Tugu Barat,
Kabupaten Indramayu. Dalam model terlihat bahwa penduduk Jawa Barat dan
DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif
(positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya
tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat
kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan
pada pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun
karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan
deposit gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik
keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami
penurunan. Terlihat bahwa di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif
(positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative
feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut
mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Pengolahan gas ikutan untuk
menghasilkan gas hasil olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas akan
menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya.
Sebaliknya jika tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, akan memperbesar
polutan udara. Dilihat dari tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah
(PAD) menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun dengan meningkatnya
produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 diproyeksikan pendapatan total
perusahaan dalam memproduksi gas ikutan (LPG, CNG, lean gas, dan CO2)
akan mencapai nilai sebesar Rp. 658.221.255.663,00
Mengingat besarnya potensi pemanfaatan gas ikutan di lapangan Tugu
Barat Indramayu serta banyaknya faktor yang berpengaruh dan aktor yang
berperan, maka perlu disusun suatu arahan kebijakan agar dalam
pengembangannnya dapat lebih terarah dan dimanfaatkan secara optimal.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan
203
gasi ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat yang perlu dikembangkan adalah
pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG). Hal ini penting mengingat
pemanfaatan LPG selain dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang
cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan jenis bahan
bakar lainnya, juga mempunyai kandungan gas buang yang lebih bersih dan
ramah lingkungan. Dalam pengelolaan gas ikutan ini, tujuan utama yang
diharapkan dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya
kualitas lingkungan dalam rangka menuju mekanisme pembangunan bersih atau
clean development mechanism (CDM). Namun demikian tujuan lain seperti
perluasan lapangan kerja, peningkatan nilai guna gas ikutan, dan peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga perlu mendapatkan perhatian serius. Saat
ini Indonesia menghadapi tantangan yang berat yaitu semakin tingginya tingkat
pengangguran. Apalagi krisis global yang terjadi saat ini semakin mengancam
tingginya angka pengangguran di tanah air akibat banyaknya tenaga kerja yang
dirumahkan oleh perusahaan. Melalui pengembangan industri gas ikutan,
tentunya akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi sebagian besar tenaga
kerja Indonesia yang sersedia. Dalam pengembangan industri gas ikutan
tersebut, peningkatan nilai guna dari gas ikutan yang dihasilkan perlu
diperhatikan dalam rangka menjamin kepuasan para konsumen baik di dalam
maupun di luar negeri. Melalui pengembangan industri gas ikutan tentunya juga
akan berdampak pada peningkatan terhadap pendapatan daerah (PAD).
Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah
kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia,
sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana
dan prasarana. Hal ini sesuai juga dengan hasil analisis Interpretatif Structural
Modeling (ISM) bahwa kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya
manusia terkait pengelolaan gas ikutan terutama dalam pemanfaatan LPG. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dan peningakatan sumebrdaya
mmanusia yang berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu
Barat. Saat ini kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas
ikutan belum ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada
kebijakan tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan
sumberdaya manusia yang berkualitas yang dimaksud adalah selain memiliki
keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki pengetahuan
dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dimana
204
SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan pengelolaan gas
ikutan agar dalam pengembangannya dapat lebih terarah dan dapat
dipertanggung jawabkan.
X. REKOMENDASI KEBIJAKAN 10.1. Kebijakan Umum
Kenaikan harga minyak mentah, net oil importer, kenaikan harga BBM
dan pembengkakan subsidi merupakan fenomena yang terjadi beberapa tahun
terakhir ini. Kenyataan menunjukkan bahwa minyak bumi memang masih
menjadi idola sebagai sumber penyedia energi terbesar di negeri ini. Tingginya
konsumsi masyarakat akan BBM, tidak mampu diimbangi oleh produksi dan
ketersediaan cadangan minyak bumi yang ada di perut bumi negara kita.
Sebagai dampak dari konsumsi BBM tersebut adalah tingginya tingkat
pencemaran lingkungan melalui emisi yang dihasilkan, seperti CO2, NOx, SOx..
Hal ini terkait langsung dengan isu dunia mengenai pemanasan global sebagai
akibat dari efek rumah kaca. Sebagai bangsa yang dianugerahi oleh beragam
SDA, sudah saatnya bagi bangsa ini untuk mulai melirik sumberdaya alam (SDA)
lain, seperti gas alam, untuk diolah sehingga dapat mengurangi porsi minyak
bumi, baik sebagai sumber energi maupun bahan baku industri lainnya. Untuk
itu, diversifikasi dan penguasaan teknologi merupakan yang faktor penting
disamping kesadaran akan kelestarian lingkungan. Teknologi Gas-To-Liquid
(GTL) merupakan salah satu teknologi yang saat ini tengah berkembang di dunia
karena kemampuannya dalam mengolah gas alam guna menghasilkan bahan
bakar cair sintetis yang mirip dengan produk-produk turunan minyak bumi,
bahkan dengan kualitas yang lebih baik.
Mengingat besarnya peran pemanfaatan gas dalam mendukung
ketersediaan energi nasional ditengah krisis energi yang terjadi saat ini, PT. SDK
bekerjasama dengan PT. Pertamina mengembangkan industri pemanfaatan gas
ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Kabupaten Indramayu, provinsi
Jawa Barat. Dalam pengolahan gas ikutan, terdapat empat produk turunan yang
dihasilkan yang meliputi LPG, lean gas, kondensat, dan CO2. Dari keempat jenis
turunan gas ikutan tersebut, LPG memiliki kandungan gas bakrr yang lebih tinggi
dan ramah lingkungan dalam pemanfaatannya. Berdasarkan hal tersebut, maka
dalam rangka pengembangan gas ikutan ke depan, alternatif kebijakan yang
dapat dikembangkan adalah “Pengembangan LPG” sebagai salah satu
alternatif pemanfaatan gas ikutan mendukung mekanisme pembangunan bersih
dalam rangka menunjang pembangunan berkelanjutan.
206
10.2. Kebijakan Operasional Dalam rangka pengembangan industri LPG yang merupakan salah satu
bentuk pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu disamping
hasil olahan gas ikutan lainnya, maka terdapat beberapa kegiatan atau program-
program yang merupakan kebijakan operasional antara lain :
1. Perumusan dan pemberlakuan peraturan dan perundangan yang secara
khusus mengatur pengembangan industri gas ikutan di Indonesia dan secara
khusus lagi terkait dengan pengembangan LPG sebagai salah satu produk
dari hasil olahan gas ikutan.
2. Pemerintah setidaknya memberikan akses yang lebih besar bagi industri
dalam pemanfaatan gas ikutan dan memfasilitas penyediaan infrastruktur
terutama infrastruktur pengolahan gas ikutan dan pemasaran baik domestik
maupun mancanegara, termasuk perangkat peraturan perundangannya
3. Membentuk konsorsium pendanaan baik dalam maupun luar negeri untuk
pengembangan industri pemanfaatan gas ikutan seperti LPG.
4. Perusahaan (PT. SDK dan PT. Pertamina) dalam kegiatan produksi LPG dan
hasil olahan gas ikutan lainnya harus pro aktif dengan memprioritaskan pada
perlindungan dan pengendalian lingkungan hidup, dengan tetap memberikan
ruang keterlibatan partisipasi masyarakat, berdasarkan pertimbangan bahwa
masyarakat yang akan terkena dampak suatu kegiatan pembangunan suatu
kawasan industri dalam rangka menuju pembangunan bersih (Clean
Development Mechanism/CDM).
5. Menjalin kerjasama antara pemerintah daerah, PT. Pertamina, dan pihak
lainnya untuk lebih menjamin keberlanjutan pengembangan industri gas
ikutan di Lapangan Tugu Barat, maupun di lapangan produksi minyak
lainnya.
6. Peningkatan pendidikan dan keterampilan sumberdaya manusia yang dimiliki
oleh perusahaan dengan menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan
kursus baik secara formal maupun informal. Di sisi lain perusahaan juga
memiliki tanggung jawab sosial untuk meningkatkan pendidikan dan persepsi
masyarakat sekitar industri
XI. KESIMPULAN DAN SARAN 11.1. Kesimpulan Secara umum tujuan penelitian telah berhasil mengembangkan suatu model
pemanfaatan gas ikutan yang mendukung mekanisme pembangunan bersih
dengan substitusi pemanfaatan gas ikutan. Fokus pemanfaatan tidak hanya pada
minyak dan gas bumi saja, tetapi melakukan pemanfaatan gas ikutan yang
terproduksi untuk dapat dimanfaatkan secara ekonomi sekaligus dapat
meminimalkan pencemaran lingkungan, sehingga kegiatan sosial ekonomi
masyarakat dapat berlangsung secara berkelanjutan (sustainable).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada
bagian sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan khusus, sebagai
berikut :
1. Lapangan minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan
cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan minyak yang
telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan
(flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable.
Kondisi sistem pengolahan gas ikutan cukup berpotensi untuk dapat di
manfaatkan dan potensi gas ikutan yang dapat dimanfaatkan adalah 11
MMSCFD. Pengolahan gas ikutan menjadi LPG, CNG dan lean gas akan
menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya.
2. Industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu
secara ekonomi, layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari
keuntungan bersih yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat
keuntungan bersih (NPV) US$ 1.148.174,00, kemapuan mengembalikan
modal pinjaman bank lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai
pada batas waktu yang ditetapkan, rata-rata IRR total 14,42 %. Nilai
payback investment 5,080 tahun dan untuk payback loan 3,537 tahun
(waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal lebih cepat dari
masa kontrak dan untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan
memperoleh keuntungan dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya
atau modal yang dikeluarkan), sehingga akan memperoleh keuntungan
selama sisa kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa
kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun.
3. Hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan
kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth)
208
naik mengikuti kurva eksponensial. Hal yang sama terjadi pada sub
model ekologi dan ekonomi. Adanya keterbatasan sumberdaya yang
tersedia seperti lahan dan deposit gas maka, suatu saat kurva akan
menuju pada keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya
mengalami penurunan. Dalam hal ini pada model terjadi hubungan timbal
balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik
negatif (negative feedback) melalui proses balancing mengikuti pola
dasar (archetype) “limit to growth”. Jika terjadi peningkatan produksi gas
ikutan, maka tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah (PAD).
akan meningkat setiap tahun, pada tahun 2025 pendapatan total
perusahaan yang mengolah gas ikutan menjadi LPG, CNG, lean gas, dan
CO2) diproyeksikan akan mencapai Rp. 658.221.255.663,00
4. Alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan di Lapangan Minyak Tugu
Barat adalah memanfaatkannya menjadi liquified petroleum gas (LPG)..
Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah
kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia,
sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan
sarana dan prasarana.
11.2. Saran-Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya terkait penilaian
kelayakan keekonomian pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu
Barat, Indramayu ataupun pada lapangan minyak lainnya yang tidak saja
menghitung biaya dan manfaat investasi tetapi juga memperhitungkan
biaya sosial dan biaya perlindungan lingkungan.
2. Melakukan studi potensi pemanfaatan gas ikutan di lapangan-lapangan
minyak lainnya, khususnya lapangan dengan potensi gas ikutan cukup
besar dengan kajian potensi aplikasi teknologi yang dapat mereduksi gas
ikutan.
3. Disarankan kepada Regulator (Pemerintah) untuk memungkinkan
pengusahaan terhadap gas ikutan oleh perusahaan lain (outsourcing),
bila proyek tersebut tidak menarik secara keekonomian maka di
masukkan kedalam skema CDM (Clean Development Mechanism).
Daftar Pustaka
Adelman, M.A. 1990. Mineral Depletion, with special reference to petroleum. Review of Economics and Statistics 72:1-10.
Adimihardja, K. 1993. Kebudayaan dan Lingkungan, Studi Bibliography. PT.Ilham Jaya, Bandung. 101 hal.
Adimihardja, K. and M. Clemens (ed.), 1999. "Indigenous Knowledge Systems and Development", (Proceedings: "Indigenous Knowledge Systems and Development", Bandung, September 14, 1998). UPT.INRIK-UNPAD. Bandung.
Afsah, S., B. Laplante, and N. Makarim. 1996. "Program-Based Pollution Control Management: The Indonesian PROKASIH Program." Policy Research Working Paper 1602. World Bank, Policy Research Department, Washington, DC.
Allenby, B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation.
Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA.
Aldrian, E and Y.S. Djamil. 2008. Spatio Temporal Climate Change of Rain Fall in East Java Indonesia. Int J. Climatology: 23: 435 – 448
American Petroleum Institute. 1995. Report on the Best Available Technology
for Produced Water Management and Treatment. API Publication. _______________________. 1999. Fate Of Spilled Oil In Marine Waters:
Where It Does It Go?, What Does It Do? How Do Dispersants Affect It? Health And Environmental Sciences Dept. Publication No. 4691. Scientific And Environmental Associates, Inc. Cape Charles, Virginia. 43p.
_______________________, 2005. Oil and Gas Industry Guidance on Voluntary Sustainability Reporting Using Enviromental, Health & Safety, Social and Economic Performance Indicators.
Amstrong, S.J. & R.G. Botzier. 1993. Environmental Ethics, Divergence and Convergence. McGraw-Hill Inc. New York. 570p.
ANSI. 1996. ISO 14001 Environmental Management Systems – Specification with guidance for use. Geneve, Switzerland. 16p.
Ardiputra, I.K. 2002. PROPER - Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Pertambangan, Energi dan Migas. Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta. 29 hal.
Arif, I. dan P. Prodjosumarto. 2000. Pengusahaan Pertambangan dan Tanggung Jawab Sosial. Dalam Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan Dengan Masyarakat Sekitar. P3PK Universitras Gadjah Mada, hal:43-57.
210
Asian Development Bank. 1999. Policy on Indigenous Peoples. ADB. Manila.
Bailey, J. 1997. Environmental Impact Assessment and Management: An Underexplored Relationship. Environmental Management 21 (3): 317-327.
Baker, M.B. and M. McKiel. 1998. ISO 14000 Question & Answer. CEEM with American Society For Quality. Virginia, USA. 52p.
Ball, J. 2002. Can ISO 14000 and eco-labelling turn the construction industry green? Building and Environment 37: 421-428.
Balisacan, A.M., E.M. Pernia, A. Asra. 2003. “Revisiting Growth and Poverty Reduction: What Do Subnational Data Show?”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 39 (3): 329-351.
Bansal, K.M. 1992. Produced water treatment technologies. Technical Professional Forum of MIGAS, BAPEDAL, BPPT and PERTAMINA. Jakarta. 28p.
BAPEDAL, 1998. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta. 60 hal.
Barnett, H. and C. Morse. 1963. Scarcity and Growth: The economics of natural resources availability. John Hopkin University Press. Baltimore 356p.
Bellamy, J.A.; D. H. Walker; G.T. McDonald and G.J. Syme. 2001. A systems approach to the evaluation of natural resource management initiatives. Journal of Environmental Management 63 (4): 407-423.
Blomquista, G.C.; M. A. Newsomeb and D.B. Stonec. 2003. Measuring principals’ values for environmental budget management: an exploratory study. Journal of Environmental Management 68 (3):83–93.
Boiral, O. and J.M. Sala. 1998. Environmental Management: Should Industry Adopt IS0 14001? Business Horizon, January-February:57-64.
Booth, A. 1999. “Survey of Recent Development”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 35 (3): 3-38.
_______. 2000. “Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assessment”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 36 (1): 73-104.
BP. 2006. Making More Energy. Sustainability Report 2005. BP PLC. www.bp.com. 73p.
BPMIGAS. 2004. BPMIGAS Website. http://www.bpmigas.com
BPMIGAS, 2006. Empat Tahun Kiprah BPMIGAS. Dinas Hupmas, Divisi Eksternal, BPMIGAS, Jakarta. 282 h
211
BPMIGAS dan KLH. 2003. Hasil Rumusan Workshop Bimbingan Teknis Pelaksanaan PROPER Kegiatan Usaha Hulu Minyak & Gas Bumi. BPMIGAS – KLH, Bandung, 25 – 26 September 2003.
BPS-Bappenas-UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report 2001.
__________________. 2004. Indonesia Human Development Report 2004.
BPS. 2004. Statistik Indonesia (Statistical Yearbook of Indonesia) 2003. Katalog BPS:1401. BPS Jakarta. 610 hal.
___. 2004. Neraca Energy (Energy Balance) 1998 - 2002. Katalog BPS:6401. BPS Jakarta. 76 hal.
___. 2005. Survei Tahunan Perusahaan Pertambangan. Statistik Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Mining Statistics of Petroleum And Natural Gas) 2003 2004. Katalog BPS:6301. BPS Jakarta. 63 hal.
___. 2002. Survei Tahunan Perusahaan Pertambangan. Statistik Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Mining Statistics of Petroleum And Natural Gas) 2000. Katalog BPS:6301. BPS Jakarta. 80 hal.
___. 1999. Survei Tahunan Perusahaan Pertambangan. Statistik Pertambangan Mining Statistics of Petroleum And Natural Gas) 1997. Katalog BPS:6301. Minyak dan Gas Bumi (BPS Jakarta. 102 hal.
Brata, A.G. 2004. Analisis Hubungan Imbal Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Daerah Tingkat II di Indonesia. Lembaga Penelitian, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. 11hal.
__________. 2005. Investasi Sektor Publik Lokal, Pembangunan Manusia, dan
Kemiskinan. Lembaga Penelitian, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. 22hal.
Brata, A. G. dan Z. Arifin. 2003. “Alokasi Investasi Sektor Publik dan
Pengaruhnya Terhadap Konvergensi Ekonomi Regional di Indonesia”. Media Ekonomi 13 (20): 59-71.
Budhisantoso, S. 2001. Pengolahan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Perspektif Antropologi. Makalah Seminar Sehari: Eksploitasi Sumberdaya Alam Dalam Konteks Kebudayaan Lokal dan Otonomi Daerah. FISIP UI, Depok. 6p.
_____________. 2002. Masalah Ketahanan Dan Keamanan Nasional. PASKAL, Hankam, Jakarta. 4p.
Business Council for Sustainable Development-Gulf of Mexico, 1998. By-product synergy; A strategy for sustainable development. A primer. Radian International LLC, Austin, Texas, USA.
Business News. 1994. Menghadapi Dampak Lingkungan Dari Industri Migas. Bussiness News 5534:1-4.
212
Callicot, J.B. 1993. Earth’s Insight, A Survey of Ecological Ethics, California Press.
Candler, J.R., and A.J.J. Leuterman. 1997. Effectiveness of a 10-Days Amphipod Sediment Test to Screen Drilling Mud Base Fluids for Benthic Toxicity. Society of Petroleum Engineers (SPE). SPE Paper No.37890:35-64.
Canter, L.W. 1977. Environmental Impact Assessment. McGraw Hill Book Co. New York, USA. 331p.
Carter,T.R. 1996. Assessing Climate Change Adaptation. The IPCC guidelines in Adapting to Climate Change : Assessment ang Issues. Springer . pp:27-43.
Carter, A. 1999. Integrating Quality, Environment, Health and Safety Systems with Customers and Contractors. Green Management International 28: 59-68.
Christie, M. 2001. A comparison of alternative contingent valuation elicitation treatments for the evaluation of complex environmental policy. In Journal of Environmental Management 62 (3):255-269.
Choukri, N. 1981. International Energy Futures: Petroleum Prices, and Power. MIT Press. Cambridge, Massachuset. 87p.
Chua, T.E. ; S.A. Ross and H. Yu. 1997. Malacca Strait Environmental Profile. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asia Seas. Quezon City, Philippines. 259p.
Cleary, M. and P. Eaton. 1992. Borneo: Change and Development. Oxford University Press, Oxford New York. 355p.
Clemens, B. 2001. Changing environmental strategies over time: An empirical study of the steel industry in the United States. Journal of Environmental Management 62 (2):221-231.
Cleveland, C.J. 1991. Natural resource scarcity and economic growth revisited: economic and biophysical perspectives. In R.Contanza. Ed. Ecological Economics: the science and management of sustainability, p.289-317. Columbia University Press. New York. 525p.
Connel DW dan Miller GJ, 2006, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Cochran, W.G. 1977. Sampling Technique. John Wiley & Sons Inc. New York. 488p.
ConocoPhillips. 2007. Sustainable Development Report-Baseline, Performing Today, Preparing for Tomorrow.
213
Costanza, R. and M. Ruth. 1998. Using Dynamic Modeling to Scope Environmental Problems and Build Consensus. Environmental Management 22 (2): 183–195.
Daly, H.E. 1990. Toward Some Operational Principles of Sustainable Development. Ecological Economics, 2(1): 1-6.
Daly, H. and R. Goodland. 1993. An Ecological-Economic Assessment of Deregulation of International Commerce Under GATT. World Bank. 14p.
Dana Mitra Lingkungan. 2005. Seminar Produksi Bersih. Clean Technology to Increase Company Profitability. Jakarta. 23 Maret 2005.
Dasgupta, O. and G. Heal. 1974. The Optimal Depletion of Exhaustible
Resources. Review of Economics Studies. Symposium on the Economics of Exhaustible Resources. Edinburgh. Scotland, UK.
Davidsen, P.I.; J.D. Sterman and G.P. Richardson. 1990. A petroleum life cycle model for the United States with endogenous technology, exploration, recovery, and demand. System Dynamics Review 6(1):66-93
Davis, R.A., Jr. 1990. Oceanography An Introduction to The Marine Environment. 2nd Edition. Wm.C.Brown Publishers. Dubuque, Iowa. 307p.
Dewi dan Chandra. 2008. Applicability of Clean Development Mechanism (CDM) In The Utilization of Associated Gas from Oil Production Facilities That Would Otherwise be Flared.
Departemen ESDM. 2006. Statistik Energi. Profil Energi Ringkas Indonesia.
Dep.ESDM, Jakarta. 62 hal.
Departemen ESDM. 2007. Program Pengalihan Minyak Tanah ke LPG (Dalam Rangka Mengurangi Subsidi BBM 2007-2012). Dep.ESDM, Jakarta. 96 hal.
Des Jardins, JR. 1993. Evironmental Ethics, An Introduction To Enviromental Philosophy. Belmont, California. 272p.
Dinas Hupmas Pertamina. 1994. Mengenal Potensi Dampak Lingkungan Dan Pengelolaannya Di Sektor Migas dan Panas bumi Dalam menunjang Pembangunan Berkelanjutan. Pertamina. Jakarta. 24p.
Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB. 2003. Laporan Akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomis di Kabupaten Indramayu dan Majalengka.
Djajadiningrat, S.T. 2003. Community Development Dalam Paradigma Pembangunan Berkelanjutan hal.3-32 In Rudito, B; A. Prasetijo dan Kusaeri. 2003. Akses Peran Serta Masyarakat, Lebih Jauh Memahami
214
Community Development. Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD), Jakarta. 347p.
Down to Earth. 2001. Sengketa Hak Rakyat dan Lingkungan Semakin Membara. Down To Earth No.48. 11 hal. http://dte.gn.apc.org/48iog.htm
Ehrenfeld, J., N. Gertler, 1997. Industrial ecology in practice. The evolution of interdependence at Kalundborg. J. Industrial Ecology 1 (1): 67-79.
Ekins, P.; R.Vanner dan J. Firebrace. 2005. Management of Produced Water On Offshore Oil Installlations: A Comparative Assessment Using Flow Analysis. Final Report. Policy Study Institute. UK Offshore Operators Association. 75p
Elliot, R. 1995. Environmental Ethics. Oxford University Press, New York. 255p.
Engel, J.R. & J.G. Engel. 1990. Ethics of Environmental Development, Arizona Press, Tuscon.
ENN Home Page. 2000. Environmental News Network. (http://www.enn.com)
E&P Forum. 1994. Methods For estimating Atmospheric Emissions from E&P Operations. Report No.2.59/197:1-87.
Escobar, A. 1999. Mengkonstruksi Alam: Menegakkan Ekologi Politik. Paskastruktural. Dalam Masyarakat Sipil. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Edisi 1. Vol. 1, 1999.
Epstein, M. and Roy, M.J. 1998. Managing Corporate Environmental Performance: A Multinational Perspective. European Management Journal 16 (3): 284-296.
Eomorfologi Lingkungan Pesisir Jawa Barat Bagian Utara, http://www.bplhdjabar.go.id/kategori/laut/altlas-utara/Bab-IV.pdf (dikunjungi 9 September 2007).
Fane, G. 2000. “Survey of Recent Developments”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 36 (1): 13-44
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingungan. Teori dan Aplikasi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal.
Fauzi A dan Anna A, 2005, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Feldman, D. Lewis; R. A. Hanahan and R. Perhac. 1999. Environmental Priority-
Setting Through Comparative Risk Assessment. Environmental Management 23 (4): 483-493.
Folay, G. 1993. Pemanasan Global. (Alih Bahasa. Hira Jhamtani). Yayasan Obor Indonesia. Jakrta.
215
Friedman, J. 2003. How Responsive is Poverty to Growth? A Regional Analysis of Poverty, Inequality, and Growth in Indonesia, 1984-99. UNU-WIDER Discussion Paper No. 2003/57. August 2003.
Fryxell, G.E. and Agnes Szeto. 2002. The Influence of Motivation for Seeking ISO 14001 Certification: An Empirical Study of ISO 14001 Certified Facilities in Hong Kong. Journal of Environmental Management 65 (3): 223-238.
Funston, R.; R. Ganesh; and L.Y.C. Leong. 2002. Evaluation of Technical and Economic Feasibility of Treating Oilfield Produced Water to Create a “New” Water Resource. Kennedy/Jenks Consultant. Bakerfield, California. 14p.
Gelber, M. 1998. EMS Standards Update. Industrial Environmental Management
(IEM), Vol. 7(4):9.
_________. 2000. There’s A Kind of Push... Industrial Environmental Management (IEM), Vol. 8(3):14-15.
_________. 2002. Slave To the Standard? Industrial Environmental Management (IEM), Vol. 11(5):10.
Gibbons, J.H. 1980. World Petroleum Availability 1980-2000. A Technical Memorandum. U.S. Central Intelligence Agency. Washinton, D.C. 77p.
Gilbert, J.T.E. 1982. Environmental Planning Guidelines For Offshore Oil and Gas Development. East West Center. Hawaii, USA. 63p.
Goudie, A. 1990. The Human Impact on the Natural Environment. Basil Blackwell. Oxford. UK. 388p.
Gralla, P. 1994. How the Environment Works. Ziff-Davis, Emeryville, California. USA. 201p.
Greer, J. dan K. Bruno. 1999. Kamuflase Hijau. Membedah Ideologi Lingkungan Perusahaan-Perusahaan TransNasional. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Jakarta. 295 hal.
Gerner F, Svensson B dan Djumena S, Gas Flaring and Venting : A regulatory Framework and incentive for Gas utilization http://www.worldbank.org/publicpolicy/journal/summary.aspx?id=279 (dikunjungi 17 Agustus 2007).
Gas, http://en.wikipedia.org/wiki/gas (dikunjungi 13 Agustus 2007). Gas Alam, http://pertamina.com/index.php?option=com content&task=view
(dikunjungi 6 September 2007). Gas Flare, http://en.wikipedia.org/wiki/Gas flare (dikunjungi 13 Agustus 2007). Global Climate Change and Energy Project, http://gcep.stanford.edu/ (dikunjungi
12 February 2007)
216
Gas Flaring Reduction Projects Framework for Clean Development
Mechanism(CDM)BaselineMethodologies, http://www.worldbank.org/ggfr/report (dikunjungi 10 Februari 2007).
Gas Flaring Reduction Projects Framework for Clean Development
Mechanism(CDM)BaselineMethodologies, http://www.worldbank.org/ggfr/report (dikunjungi 10 Februari 2007).
Hanley, N.; J.F. Shogren; and B.White. 2002. Environmental Economics. In
Theory and Practice. Palgrave Macmillan. Bristol, UK. 464p.
Harian Kompas. 2004. KLH Membentuk Pusat Produksi Bersih Nasional.
Harris, J.M. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. Global Development and Environment Institute. Tuft University. Medford, M.A.
Heal, G. 1998. Valuing the Future: Ecomic Theory and Sustainability. Columbia Univeristy Press. New York.
Hidayati.R, Abdullah, S.E.A. dan Suharsono, H. 1999. Perubahan Iklim di Bogor (studi kasus 5 Kecamatan) hubungannya dengan perubahan pemanfaatan lahan. Makalah pada Simposium Internasional PERHIMPI. Bogor 18-20 Oktober 1999.
Hidayati.R. 1990. Kajian Iklim Kota Jakarta, Perubahan dan Perbedaan
dengan daerah Sekitarnya. Thesis Program Studi Agroklimatologi. FPS-Institut Pertanian Bogor.
Hilarius, K.O. 2000. Dampak Operasi Perusahaan Minyak Unocal Di Marangkayu, Kalimantan Timur, Indonesia. Jaringan Advokasi Tambang Kaltim dan Community Aid Abroad. Victoria University of Technology, Melbourne. 23hal.
Holahan, W.L. and C.O. Kroncke. 2004. Teaching the Economics of Non-renewable Resources to Undergraduate. International Review of Economics Education, Vol. 3(77-87).
Hubbert, M.K. 1975. Hubbert’s Estimates from 1956 to 1974 of US Oil and Gas. In Models for Assessing Energy Resources, ed. M. Grenon, 370-383. Oxford Press.
Hufschmidt, M.M.; D.E. James, A.D.Meister, B.T. Bower and J.A. Dixon. 1996. Lingkungan, Sistem Alami, Dan Pembangunan. Terj. Dari Environmental, Natural Systems, and Development, An Economic Valuation Guide, oleh Rekshadiprodjo, S. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 483hal.
Indriani Gustya. 2005. Gas Flaring Reduction in the Indonesian Oil and Gas Sector - Technical and Economic Potential of Clean Development Mechanism (CDM) Projects.
217
Irianto, A. 1992. Menekan Ketidakpastian Dampak Sosekbud. Makalah Seminar Nasional Metodologi Prakiraan dampak dalam AMDAL. PPLH IPB, Bogor. 10p.
Iskandar, J. 2001. Manusia Budaya Dan lingkungan. Kajian Ekologi Manusia. Humaniora Utama Press. Bandung. 184p.
Indonesia Country Study on Climate Change. 1998. Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia. The Ministry of Environment the Republic of Indonesia. Jakarta
Institute for Global Enviromental Strategis (IGES),2006, CDM Country Guide for
Indonesia, Ministry of The Enviromental, Japan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2005. Special Report on
Carbon Capture and Storage. Edited by B. Metz, O. Devidson. H. De connick, M. Loos, L. Meyer. Cambirdge University.
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP.
IUCN and E&P Forum. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. E&P Forum, London, UK. 47p.
Jackson, L.M., and J.E. Myers, 2003. Design and Construction of Pilot Wetlands for. Produced-Water Treatment. SPE 84587, presented at the SPE Annual Technical Conference and Exhibition. Denver, CO, Oct.5-8.
Jenkins, W. 1978, Policy Analysis: A Political and Organizational Perspective (New York, St. Martin's Press).
Johnston, 2003 Wha Are The Contraints On Associated Gas Utilization ? http://www.dundee.ac.uk/cepmlp/car/html/car8_article19.pdf (dikunjungi 13 Agustus 2007).
Jurnal Tentang Minyak & Gas (JTMGB), november 2007, Peranan Manajemen Reservoir, IATMI (Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia). Hal 25, Jakarta
Kadariah, L.K. dan C.Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. 181hal.
Kadlec, R.H. and R.L. Knight. 1996. Treatment Wetlands. Lewis Publishers, Inc.
New York. 456p.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 111 tahun 2003 Tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air. Jakarta.
218
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000. Pedoman Umum Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. 67hal.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup , 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.
_______, 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. KLH dan Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta. 156hal.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2003. Homepage Kementerian Lingkungan Hidup. http://www.menlh.go.id/proper/html
Kementerian Lingkungan Hidup, Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, dan CER Indonesia. 2001. Panduan kegiatan MPB di Indonesia (Clean Development Mechanism). Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. 134 hal.
Killeen. 1996. Ozone and Greenhouse Gases in Introduction to Climate change
I. Lecture Notes. University of Michigan. USA.
Khoiroh, I. 2008. Natural Gas Processing (Introduction). http://www.esdm.go.id. Diakses pada Tanggal 06 januari 2009.
Kapoor, I. 2001. Towards participatory environmental management? Journal of Environmental Management 63 (3):269-279.
Katz, L. 2003. Treatment of Produced Water Using Surfactant Zeolite/ Vapor PhaseBioreactor System. The University of Texas, Austin, USA, 78p.
Kertell, K. and R.L. Howard. 1997. Environmental Auditing: Impoundment Productivity in the Prudhoe Bay Oil Field, Alaska: Implications for Waterbirds. Environmental Management 21 (5):779-792.
Keith, L.H. 1988. Principles of Environmental Sampling. American Chemical Society Professional Reference Book. Washington D.C., USA. 458p.
Keraf, A.S. 2000. Eksploitasi Sumberdaya Alam Dalam Konteks Budaya Lokal dan Otonomi Daerah. Pra-Simposium International Jurnal Antropologi Indonesia ke2. FISIP UI, Jakarta. 5p.
Keraf, A.S. Tanpa Tahun. Manusia Dan Lingkungan Hidup: Mencari Model Etika Lingkungan. Diktat Kuliah Etika Lingkungan. 18p.
Koentjaraningrat, 1987. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas Dan Pembangunan. PT.Gramedia, Jakarta. 151p.
Kebijakan Energi Nasional 2003-2020, Kebijakan Energi Yang Terpadu untuk mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan, 2004, Departemen Energi Sumber Daya Mineral Indonesia, Jakarta.
219
Lanjauw, P., M. Pradhan, F. Saadah, H. Sayed, R. Sparrow. 2001. Poverty, Education and Health in Indonesia: Who Benefits from Public Spending?. World Bank Working Paper No. 2739. December 2001.
Lathrop, K.W. and T.J. Centner. 1998. Eco-Labeling and ISO 14000: An Analysis of US Regulatory Systems and Issues Concerning Adoption of Type II Standards. Environmental Management 22 (2):163-172.
Leccraft, J. 1983. A dictionary of petroleum Terms. 3rd edition. The University of Texas at Austin , Texas. 177p.
Ledgerwood, G., 1997. Corporate environmental governance. In: Greening the
boardroom, Ledgerwood, G., ed., pp. 11-16. Greenleaf Publishing, Sheffield, UK.
Lemigas. 1999. Kamus Minyak Dan Gas Bumi. Edisi keempat. PPPTMGB Lemigas. 435 hal.
Lewis, B.D. dan J. Chakeri. 2004. “Central Government Spending In the Regions
Post-Decentralisation”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 40 (3): 379-394.
Li, K. and R.N. Horne. 2003. A Decline Curve Analysis Model Based on Fluid Flow Mechanisms. SPE 83470. SPE Western Regional/ AAPG Pacific Section Joint Meeting, Long Beach, California. 9p.
Lin Li. 2001. Encouraging Environmental Accounting Worldwide: A Survey of
Government Policies and Instruments. Corporate Environmental Strategy 8 (1): 55-64.
Liquefied Petroleum Gas, http://en.wikipedia.org/wiki/Liquefied Petroleum Gas, (dikunjungi 13 Agustus 2007).
MacKenzie, J.J., R.C. Dower, D.D.T. Chen, 1992. The going rate: What it really costs to drive. World Resources Institute, Washington, D.C.
Maloringan, M.; J.R.G. Djopari dan Sugiarto. 1997. Referensi Manual Untuk Tugas Diskusi Dan Kelompok Environmental Awareness Course II. Kursus KKSD Pertamina BPPKA July 9-10 1997. Jakarta. 110hal.
Mateu, J. 1997. Methods of Assessing and Achieving Normality Applied to Environmental Data. Environmental Management 21 (5):767-777.
Mawarni, A., 2001. Community Development dalam Perusahaan Pertambangan. Suara Pembaruan Daily, 3 Oktober 2001.
Media Indonesia. 2007. Dua Pertiga Dunia Kekeringan pada 2050. Harian Media Indonesia, 21 Maret 2007. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=127951
220
Meiviana A, Sulistiowati DR, Soejachmoen MH, Bumi Makin Panas, http://www.pelangi.or.id/publikasi/2007/bumi_makin_panas.pdf (dikunjungi 17 Agustus 2007).
Meadows, D.H., D.L. Meadows. J. Randers and William Behrens III. 1972. The
Limit to Growth. Universe Book. New York.
Mitchell, B.; B. Setiawan & D.H. Rahmi, 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada Univ.Press., Yogyakarta. Hal: 297-331.
Moersidik, S.S. 2001. Minimalisasi Limbah dan Produksi Bersih. Dampak Pada Aspek Sosial Budaya. Pelatihan Dasar-Dasar AMDAL Angkatan LXXXVII, 5-17 Februari 2001. PPSML – UI dengan dukungan BAPEDAL, Jakarta.
Moore, C. and M.A. Santosa. 1995. "Developing Appropriate Environmental Conflict Management Procedures in Indonesia." Cultural Survival Quarterly, Vol. 19, Issue 3.
Muhammadi, E.Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis – Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.
Muhammadi, M.Tasrif, A.T. Pabeta, E.Pudjiastuti, E.Aminullah, dan S.Dolant. 1995. Analisis Lingkungan Hidup dengan Dinamika Sistem. PP-PSL. Ditjen Dikti – Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Murdiyarso D, 2003, Sepuluh Tahun Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim, PT. Kompas Media Nusantara.Jakarta.
Murdiyarso D, 2003, CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih, PT. Kompas
Media Nusantara, Jakarta. Murdiyarso D, 2003, Protokol Kyoto Implikasi bagi Negara Berkembang, PT.
Kompas Media Nusantara, Jakarta
Myung Kwon, D.; M. Seok Seo and Y. Chil Seo. 2002. A Study of Compliance with Environmental Regulation of ISO 14001 Certified Companies in Korea. Journal of Environmental Management 65 (4): 347-353.
Nagarajan, N.R., M.M. Honarpour and K. Sampath. 2007. Reservoir-Fluid Sampling and Characteriztion – Key to Efficient Reservoir Management. Journal Petroleum Technology, in press (August 2007).
Naill, R.F. 1973. The Discovery Lifecycle of a Finite Resource: A Case Study of Natural Gas. In D.L. Meadows and D.H. Meadows. Toward Global Equilibrium. MIT Press. Cambridge, Massachuset.
Nash, J., and J. Ehrenfeld, 1997. Codes of environmental management practice: Assessing their potential as a tool for change. Annual Review Energy and Environment 22: 487-535.
Natural Gas, http://.en.wikipedia.org/wiki/Natural Gas, (dikunjungi 13 Agustus 2007)
221
Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. 622 hal.
New Logic Research Inc. 2007. To Treat Desalter Effluent. An Effective and Economical Solution. California. 64p.
Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. (Diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo tahun 1998). PT Gramedia. Jakarta. 459 hal
Nugroho, H. 2005. Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih
dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia: Catatan Strategis. Bappenas. Jakarta. 21hal.
NUS Home Page 1999. South Chinese Sea Remote Sensing for Marine Pollution (http://www.crisp.nus.edu.sg/)
OSPAR Commission. 2002. Background Document Concerning Techniques for The Management of Produced Water from Offshore Installations. Offshore Industry Series. 70p.
Oey-Gardiner, M. 2000. “The Value of Education and The Indonesian Economic
Crisis”. Ekonomi dan Keuangan Indonesia 48 (2): 143-173.
Olishisfski Julian. 1985. B., P.E, C.S.P, editor in chief. Fundamental of Industrial Hygiene, National Safety Council, second edition, North Michigan
Parmesan, C. 2000. Effect of Climate Change on Butterfly Distribution in : Green, R.E., Harley, M., Spalding, M., and Zockler, C. Impact of Climate Chane on Wildlife. UNEP. UK.
Partney, P.R., 2000. Environmental problems and policy: 2000-2005. Resources
for the Future: 6-10. Winter 2000, Issue 138.
Pearce, D. and E.B. Barbier. 2000. Blueprint for Sustainable Economy. Earthscan Publication, London. UK. 273p.
Pandjaitan M, 2006, Industri Petrokimia dan Dampak Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogjakarta.
Petrosyan K, Journal Petroleum Economic, What the constraints on associated
gas utilization ?, http://www.ftnetwok.com. (dikunjungi 14 Maret 2007). Pedenaud, P. 2006. TOTAL Experience To Reduce Discharge of Hydrocarbons
Through Produced Water. SPE 98490. HSE in Oil and Gas Exploration and Production. 8p.
Perman, R. Yue Ma and J.McGilvray. 1996. Natural Resource & Environmental
Econimics. Longman. Singapore.
222
Pertamina. 1997. Pengelolaan Lindungan Lingkungan, Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Migas. Penerbit HUPMAS Pertamina, Jakarta. 58hal.
Pertamina. 2001. Pedoman Program Community Development Di Lingkungan Pertamina Dit. MPS – KPS/JOB. Hasil Community Development Workshop, Bandung, 24-26 Oktober 2001. 7hal.
Pezzey, J. 1992. Sustainability: An Interdisciplinary Guide. Environmentalk Values 1(4):321-362.
P3PK-UGM, 2000. Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan dengan Masyarakat Sekitar. Prosiding Lokakarya. P3PK-UGM, Yogyakarta. 151hal.
PPPTMGB Lemigas. 1999. Kamus Minyak dan Gas Bumi. Edisi Keempat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas. Jakarta. 436hal.
PT. RMT. 1974. Glossary of Petroleum Terms. (Indonesian-English). Publication No.7503 D. 70 al.
[PT. SDK] PT. Sumberdaya Kelola. 2005. Profil Bisnis LPG Indonesia. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu
_______2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT.
Sumberdaya Kelola. Indramayu
Purba, J. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Yayasan Obor Indonesia. Diterbitkan atas kerjasama dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.
Purnomo, Y. 2006. Workshop On Enabling Framework to Support Implementing of GHG Emission Reduction Project in Oil and Gas Sector. Departemen Energi Sumber Daya Mineral. Jakarta.
Pusat Data Statistik, 2006. Buku Pegangan Statistik Energi Ekonomi Indonesia. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta. 65hal.
Rabke, S. and J. Candler. 1998. Development of acute benthic toxicity for monitoring synthetic-based muds discharged offshore. IBC Conference on Minimising the Environmental Effects of Offshore Drilling, Houston, Texas. 32p.
Rafinus, B. H., R. Lukman, dan K. Djaja. 2000. “Tinjauan Triwulan Perekonomian Indonesia”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia 48 (3): 189-214.
Raines, S.S., 2002. “Implementing ISO 14001 - An International Survey Assessing the Benefits of Certification”. Corporate Environmental Strategy, Vol.9 (4):418-426.
Ramanathan, R. 2001. A note on the use of the analytic hierarchy process for environmental impact assessment. Journal of Environmental Management 65 (1):27-35.
223
Ramirez, A., G. Ranis, dan F. Stewart. 1998. “Economic Growth and Human Capital”. QEH Working Paper No. 18.
Rasidin, Y. 2004 Personal Communication. Rapat Kerja PROPER Kegiatan E&P Migas antara KLH, BPMIGAS dan KPS. Bandung.
Reith, C. 2001. Applying Environmental Management Strategies to the Agricultural Sector: Louisiana’s Model Sustainable Agricultural Complex. Corporate Environmental Strategy 8 (1):75-83.
Reyes, J.L.P., K. Li and R.N. Horne. 2004. A New Decline Curve Analysis Method Applied to the Geysers. Stanford Geothermal Program. Stanford University, CA. 8p.
Richards, D.J., and R. A. Frosch, 1997. The industrial green game: Overview and perspectives. In: The industrial green game. Implications for environmental design and management, Richards, D. J., ed., pp. 1-34. National Academy of Engineering, Washington, D.C.
Rich, B. 1994. Mortgaging the Earth: The World Bank, Environmental Impoverishment and the Crisis of Development. Beacon Press, Boston, Massachusetts, USA. 376p.
Roderick P, Gas Flaring In Negeria (A Human Right, Enviromental and Economic Monstrosity, http://www.climatelaw.org. (dikunjungi 14 July 2007).
Rogers, M.F.; J.A. Sinden and T. De Lacy. 1997. The Precautionary Principle
for Environmental Management: A Defensive Expenditure Application. Journal of Environmental Management 51 (4): 343-360.
Rozari, M.B. Hidayati, R dan Manan, E. 1992. Perubahan Iklim di Indonesia. Jurnal Perhimpi Vol : VIII No:1, pp : 1-8
Rukeh AR, GO Ikiafa, PA Okokoyo, Global Journal of Enviromental Science,
Monitoring air pollutants due to gas flaring using rain water http://www.ajol.info/viewarticle.php?id=24369 (dikunjungi 18 Agustus 2007)
Rooney-Char, A.H., P.L.Coutrier, J.A. Galt, R. King Jr., J. Robinson, and R.B.
Wheeler. 1982. Technical Guidelines for Offshore Oil and Gas Development, Contingency Planning For Offshore Oil And Gas Development. The Environment and Policy Institute (EAPI), East West Center. Hawaii, USA. 118p.
Russel, S. 1994. Selamatkan Laut Kita. WWF, Gland, Switzerland. 24p. (Pencarian minyak sering melibatkan penggunaan bahan peledak yang menghancurkan lingkungan lokal. Pengeboran minyak merusak dasar laut, dan sementara minyak disedot, zat-zat kimia beracun tumpah ke dalam laut, p.12
Richard wolfson and Stephen H, Schneider, 2007. Understanding Climate Science, WorldBank
224
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sadiq, R. and T. Husain. 2005. A fuzzy-based methodology for an aggregative environmental risk assessment: a case study of drilling waste. Environmental Modelling & Software 20:33-46.
Said, U. 2001. Pencemaran Lingkungan Oleh Kegiatan Pertambangan dan Energi. Teknologi Pengendalian Pencemaran Dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan. Diktat Kuliah PSIL-UI, Jakarta. 36hal.
Saifuddin, A.F. 2007. Kemiskinan di Indonesia: Realita Dibalik Angka. Pidato ilmiah sebagai guru besar Antropologi FISIP, Universitas Indonesia. Jakarta, 24 Januari 2007.
Sageev, A. G.D. Prat and H.J. Ramey Jr. Decline Curne Analysis for Infinitive, Double Porosity Systems without Wellbore Skin. Workshop on Geothermal Reservoir Engineering, Stanford University. California.
Sajogyo, 1978. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Harian Kompas. Jakarta.
Salim, E. 1987. Pembangunan Berkelanjutan. PPSML, Universitas Indonesia, Jakarta. 17hal.
_______. 1991. Analisis Kebijakan Ekonomi Yang Berkelanjutan. PPSML, Universitas Indonesia. Jakarta. 23p.
_______. 1994. Pola Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pembangunan
Ekonomi Indonesia Jangka Panjang Kedua. Jurnal Ekonomi Lingkungan Edisi Ke-lima:1-10. Proyek EMDI – KLH, Jakarta.
_______. 1994. Ketegangan Akibat Tekanan Sumber Alam dan Kependudukan. Harian Kompas, 19 April 2004. Jakarta. 8hal.
_______. 2001. Keberlanjutan Pembangunan Dengan Pembangunan
Berkelanjutan. Diskusi : Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan di dalam Era Desentralisasi dan Tantangan Global. KLH Jakarta. 5hal.
_______. 2003. Riau Jangan Terlalu Andalkan Minyak dan Gas Bumi. Harian Kompas, Senin 28 Juli 2003. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/28/daerah/456726.htm dikunjungi (13 Agustus 2007)
_______. 2003. Closing The Gap. Guest Speaker during IPA – Annual Convention. Indonesian Petroleum Association (IPA). Jakarta. 4p.
_______. 2005. From Commitment to Realization of Sustainable Development. Sustainable Development Forum, ConocoPhillips Indonesia. Jakarta, April 6, 2005. 18p.
225
_______. 2006. Mengarustengahkan Sustainabilitas dalam Kebijakan Pembangunan. Jurnal Lingkungan I(1):1-4.
Sari AP, Kehidupan Tanpa Minyak : Masa Depan yang Nyata,
http://www.pelangi.or.id/publikasi/2007/kehidupan tanpa minyak.pdf (dikunjungi 17 Agustus 2007). Sascha T.Djumena, 2007. Reducing Gas Flaring and Venting:How a Partnership
can Help Achieve Success, GGFR, worldBank/IFC, Oil, Gas Mining and Chemicals Departement.
Satter, A., and Thakur, G.C. 1994. Integrated Petroleum Reservoir Management: A Team Approach. PennWell Books. Tulsa.
Schaltegger, S. and T. Synnestevedt. 2002. The Link Between “Green” and
Economic Success: Environmental Management as The Crucial Trigger Between Environmental and Economic Performance. Journal of Environmental Management 65 (4): 339-346.
Schaltegger. S; R. Burritt and H. Petersen. 2003. An Introduction to Corporate Environmental Management, Striving for Sustainability. Greenleaf Publishing Limited. Sheffield, UK. 384p.
Schmidheiny, S., 1992. Changing course. MIT Press, Cambridge, MA, USA.
Siddayao, C.M. and L.A. Griffin. 1993. Energy Investment and The Environment. Economic Development Institute of The World Bank. Washington D.C. 253p.
Silalahi, M.D. 1992. Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Implikasinya Secara Regional. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 328p.
Simarmata, A. 1991. Teori Pengambilan Keputusan. PPSML – UI. Jakarta. 11hal.
Simmons, W.R. 2006. The World’s Giant OilFields. How many exist? How much do they produce? How fast are they declining? Simmons & Company International. 65p.
Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1994. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta. 210 hal.
Smith, J. Fielding. 1998. Does Decentralization Matter in Environmental Management? Environmental Management 22 (2):263-276.
Soemarwoto, O. 2000. Menindaklanjuti Emil Salim. Dalam rangka HUT ke -70. Harian Kompas Jakarta 8 Juni 2000.
____________. 2001. Atur Diri Sendiri. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Pada Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan. Gadjah Mada Univ.Press., Yogyakarta. 261p.
226
Soetaryono, R. 1989. Penentuan Rona Awal Komponen Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya. Widyapura No.3, hal 48.
____________. 2000. Dimensi Operasional Konsep Lingkungan Hidup Sosial dalam Kisi-Kisi Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pusat Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. 16p.
Soetrisno, L.; M.Maksum; Susetiawan; dan D. Ismowati. 2000. Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan Dengan Masyarakat Sekitar. Prosiding Lokakarya. P3PK-UGM, Yogyakarta. 151hal.
Somantri, R.A. 1998. Peranan nilai budaya daerah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Bagian Proyek P2NB Jawa Barat, Bandung.
Spangenberg, J.H.; S. Pfahl and K. Deller. 2002. Towards indicators for institutional sustainability: lessons from an analysis of Agenda 21. Ecological Indicators 2: 61–77. Sriharjo, S. 2001. Sinergi Produksi Bersih Pada Peningkatan Daya Saing Industri . Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol.3, No.4 (Juli 2001). BPPT, Jakarta. Hal.47-52. http://www.iptek.net.id/ind/jurnal/jurnal_idx.php?doc=V3.n4.07.htm
Sterman, J.D. and G.P. Richardson. 1985. An experiment to Evaluate Methods for Estimating Fossil Fuel Resources. Journal of Forecasting 4:197-226.
Strickland, J.D.H. and T.R. Parsons. 1968. A Practical Handbook of Sea Water Analysis. Fish. Res. Board Canada, Bull. 167:1-311.
Sudibyo, R. 2004. Laporan Kegiatan BPMIGAS Periode 2002 – 2004. Jakarta. 34 hal. http://www.bpmigas.com/Laporan.asp
Suhariadi, F. 2007. Paradigma Pengelolaan Manusia di Dalam Organisasi: Bidang Ilmu Manajemen Sumberdaya Manusia. Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Psikologi Universitas Airlangga di Surabaya pada hari Sabtu Tanggal 25 Agustus 2007. Surabaya. 23 hal.
Sumantojo, R.W. 1992. Minimisasi Limbah. Pusat Studi Ilmu Lingkungan,
Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Lingkungan & Pembangunan, 12 (4): 242-257.
Suparlan, P. 1980. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Perspektif Antropologi Budaya. Yang tersirat dan yang tersurat. Fak. Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta.
Suparmoko, M. 1995. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis). BPFE Yogyakarta. 411p.
Surna T.D. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Penerbit Studi Tekno Ekonomi, departemen Teknik Industrifakultas teknik Industri ITB Bandung.
227
Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto. 2003. “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector”, Bulletin of Indonesian Economic Studies 39 (1): 29-50.
Suzeta, P. 2007. Minyak Tanah : Konversi ke Gas Elpiji. http://www.pikiran-
rakyat.com. Dikunjungi tanggal 06 Januari 2009. Syahrial E. dan Bioletty L. 2007. Kajian potensi CO2 dan EOR dalam
Menciptakan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia. Jurnal Lemigas M & E Vol. 5 No. 3 September 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. Jakarta p. 33-55
Syaifudin, A. 1993. Proses Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak Bumi, Flotation Cell dan Vortoil Hydrocyclone. Departemen Teknik Perminyakan ITB.
Bandung. 19hal.
Sustainable Development Report-Baseline, Performing Today Preparing Tomorrow,http://www.conocophilips.com/sustainable/report (dikunjungi 20 February 2007).
Tarras-Wahlberg, N.H. 2002. Environmental Management of Small-Scale and
Artisanal Mining: The Portovelo-Zaruma Gold Mining Area, Southern Ecuador. Journal of Environmental Management 65 (2):165-179.
Taylor, P.W. 1986. Respect for Nature, A Theory of Environmental Ethics, Princeton, New Jersey.
Teknik Lingkungan ITB. 2004. Pencemaran Lingkungan On Line Website. http://www.tlitb.org/plo/model.html
Thampapillai, D.J.; C. Hanf; Thangavelu, S.M.; and E.T. Quah. 2003. The Environmental Kuznets Curve Effect and the Scarcity of Natural Resources: A Simple Case Study of Australia. National University of Singapore. 23p.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. 2005. Kemiskinan Di Indonesia: Perkembangan Data dan Informasi Mutakhir. TKPK, Jakarta. 120hal.
Timoney, K. and P. Lee. 2001. Environmental management in resource-rich Alberta, Canada: first world jurisdiction, third world analogue? Journal of Environmental Management 63 (4):387-405.
Tietenberg, T. 1996. Environmental and Natural Resources Economics. Fourth Edition. HarperCollinsCollege Publishers. New York. 614p.
Turner, R.K.; R. Salmons and A. Craighill. 1998. Green Taxes, Waste Management and Political Economy. Journal of Environmental Management 53 (2): 121-136.
The EPA Natural Gas Star Program, Intented to reduce methane emission from the oil and gas industry, http://www.epa.gov/gasstar/. (dikunjungi 13 Agustus 2007).
228
The Natural Gas Industry and the environment,
http://www.naturalgas.org/enviroment/ng industry enviroment.asp (dikunjungi 13 Agustus 2007).
The Enviroment, Statoil and Sustainable, http://www.statoil.com/ (dikunjungi 15
Agustus 2007). The Oil and Gas Industry and Sustainable Development,
http://www.totalfinaelf.com/ (dikunjungi 15 Agustus 2007). Undang-Undang RI No.23 Tahun 1997. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang RI No.25 Tahun 2000. Tentang Program Pembangunan
Nasional Propenas) Tahun 2000 – 2004.
UNDP dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2000. Agenda 21 Sektoral. Agenda Energi Untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta. 227p.
UNEP. 1996. Cultural and Spiritual Values of Biodiversity. UNEP, Intermediate Technology Publications. 731p.
UNEP and E&P Forum. 1997. Environmental Management in Oil and Gas Exploration & Production. E&P Forum. London, UK. 68p.
US-EPA. 2000a. Development document for final effluent limitations guidelines and standards for synthetic-based drilling fluids and other non-aqueous drilling fluids in the oil and gas extraction point source category, US Environmental Protection Agency, Washington DC, EPA-821-00-013.
_______ 2000b. Environmental assessment of final effluent limitations guidelines and standards for synthetic-based drilling fluids and other non-aqueous drilling fluids in the oil and gas extraction point source category, US Environmental Protection Agency, Washington DC, EPA-821-00-014.
Wark, AC and TL Warner 1981: Threshold Limit Values for Chemical Substances and Physical Agent and Biological Exposure Indices, ACGIH Worldwide, Cincinati
Wales, J. 2008. Gas Alam Cair. http://www.eia.doe.gov. Diakses pada tanggal 06 januari 2009.
Wariyanto, A. 2002. Antara Eksploitasi Alam dan Pendapatan Daerah. Harian Suara Merdeka 22 Maret 2002. http://www.suaramerdeka.com/harian/0203/22/kha2.htm.
Warnika, K. 2006. Operasi Kegiatan Hulu Migas Yang Efisien, Efektif dan Ramah Lingkungan. BPMIGAS. Jakarta. 38hal.
Watterberg, A., Sumarto, S., dan Prittchett, L.. 1999. “A National Snapshot of the Social Impact of Indonesia’s Crisis”. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 35 No 3, 145-152.
229
Wawolumaya, C. 2001. Metodologi Riset Kedokteran, Survei Epidemiologi Sederhana. Bidang Perilaku Kedokteran/Kesehatan. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas. Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta. 112p.
Wenten, I.G. dan Adityawarman, D. 1999. Prospek Pemanfaatan Teknologi Membran dalam Bidang Biuoteknologi Kelautan. ITB. Bandung.
Westmacott, S. 2001. Developing decision support systems for integrated coastal management in the tropics: Is the ICM decision-making environment too complex for the development of a useable and useful DSS? Journal of Environmental Management 62 (1):55-74.
Wheeler, D. and S.Afsah. 1996. "Going Public on Polluters in Indonesia's: BAPEDAL’s Proper Prokasih Program. New Public Disclosure Program." East Asian Executive Reports. International Executive Reports, Washington DC. 5p.
Wibowo, P. 2004. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Masyarakat.
Majalah Tempo. http://www.pdat.co.id/hg/opinions_pdat/2004/09/28/opn,20040928-03,id.html
Wibowo, R.S. dan E. Hafild. 2005. Studi Awal Transparansi Ekonomi Ekstraktif Di Indonesia. Transparency International Indonesia dan Yayasan Tifa Jakarta. 33 hal
WIMPOL. 1987. Environmental Impact Assesment For The Onshore Oil And Gas Industry. Wiltshire, UK. 32p.
Wiyono, 2001. Pengelolaan Sumber Daya Hutan Dalam Rangka Otonomi Daerah. http://www.arupa.or.id/papers/32htm. 5p.
World Bank, 1990. Indonesia. Sustainable development of forests, land and water. The World Bank, Washington, DC, USA.
__________. 1991. Environmental Assessment Sourcebook. Volume I: Policies, Procedures, and Cross-Sectoral Issues. World Bank Technical Paper No.139. The World Bank. Washington D.C. 227p.
__________. 1991. Environmental Assessment Sourcebook. Volume II: Sectoral Guidelines. World Bank Technical Paper No.140. The World Bank. Washington D.C. 282p.
__________. 1994. Indonesia. Environment and development. The World Bank, Washington, DC, USA.
__________. 2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Ikhtisar. The World Bank, Office Jakarta. 40 hal.
230
World Bank. 2007. buku panduan MPB (Mekanisme Pembangunan Besih) untuk sektor minyak dan gas di indonesia. Ikhtisar. The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank, Sofreco in Collaboration With, Natsource, dan Cerindenesia. Jakarta. 72 hal.
Wisaksono W, Sanusi B, Nugrahanti A, Oetomo RG, Situmorang B, Abduh S, Pribadi IGOS, Sediadi ER, Amran TG, Prayitno, 2004, Bunga Rampai
World Commission on Environment and Development (WCED). 1987. Our Common Future. Oxford University Press, Oxford.
World Oil, 2003. Special Focus. International Outlook: Far East. Energy demands spur oil/gas developments. World Oil, The Oilfield Information Source. August 2003 Edition. 6p.
World Business Council for Sustainable Development, undated. Collection of case studies in eco-efficiency. http://www.bcsd.ch/eedata
Yusgiantoro, P. 2007. Penerimaan Sektor Migas Rp 228,97 Triliun. http://www.bpmigas.com/w1.asp
Zanten, W.V. 1994. Statistika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. PT. Gramedia, Jakarta. 494hal.
231
Lampiran 1. Perhitungan IRR, NPV dan PBP
232
Lampiran 2. Formula Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
init CNG = 0 flow CNG = +dt*laju_prod_CNG doc CNG = total produksi CNG init CO2 = 0 flow CO2 = +dt*laju_prod_CO2 doc CO2 = produksi gas CO2 olahan init gas_ikutan = 10000 flow gas_ikutan = -dt*Laju_pengolahan-dt*laju_flare+dt* laju_pertambahan_gas_ikutan doc gas_ikutan = produksi gas ikutan init Gas_olahan = 0 flow Gas_olahan = +dt*Laju_pengolahan-dt*laju_prod_CO2 -dt*laju_prod_LPG-dt*laju_prod_CNG-dt*laju_prod_lean doc Gas_olahan = total gas olahan init gas_terbakar = 1000 flow gas_terbakar = -dt*laju_pengurangan_gas_pol+dt*laju_flare doc gas_terbakar = jumlah gas ikutan yang dibakar init IINDUSTRI = 1000 flow IINDUSTRI = -dt*laju_pengurangan_industri+dt* laju_pertumbuhan_industri doc IINDUSTRI = jumlah industri di wilayah jawa barat init JML_PDDK = 36914883 flow JML_PDDK = -dt*lj_kematian-dt*lj_emigrasi+dt*laju_kelahiran
+dt*laju_imigrasi doc JML_PDDK = jumlah penduduk jawa Barat pada tahun 2002 init Lean_Gas = 0 flow Lean_Gas = +dt*laju_prod_lean doc Lean_Gas = produksi Lean gas hasil olahan init LPG = 0 flow LPG = +dt*laju_prod_LPG doc LPG = total produksi LPG aux laju_flare = gas_ikutan*fr_flare doc laju_flare = laju gas ikutan yang dibakar per tahun aux laju_imigrasi = JML_PDDK * fr_immigrasi doc laju_imigrasi = Number of new individuals born into a population per time unit aux laju_kelahiran = JML_PDDK * fr_lahir*faktor_klhr_krn_pencmr doc laju_kelahiran = Number of new individuals born into a population per time unit aux Laju_pengolahan = gas_ikutan*prop_olah doc Laju_pengolahan = laju gas ikutan yang diiolah setiap tahun aux laju_pengurangan_gas_pol = gas_terbakar*fr_prespitasi doc laju_pengurangan_gas_pol = laju pengurangan gas polutan aux laju_pengurangan_industri = IINDUSTRI*fr_pengurangan_ind
233
doc laju_pengurangan_industri = laju pengurangan industri aux laju_pertambahan_gas_ikutan = exploitasi_minyak*fr_gas_ikutan* fr_konversi*fr_hari_operasi doc laju_pertambahan_gas_ikutan = laju pertambahan gas ikutan per tahun aux laju_pertumbuhan_industri = IINDUSTRI*fr_pertamh_ind doc laju_pertumbuhan_industri = laju pertumbuhan industri aux laju_prod_CNG = Gas_olahan*fr_CNG*kap_prod_CNG doc laju_prod_CNG = laju produksi CNG aux laju_prod_CO2 = Gas_olahan*fr_olahCO2*kap_prod_CO2 doc laju_prod_CO2 = laju produksi gas CO2 hasil olahan aux laju_prod_lean = Gas_olahan*fr_lean*kap_prod_Lean_Gas doc laju_prod_lean = laju produksi lean gas aux laju_prod_LPG = Gas_olahan*fr_LPG*kap_prod_LPG doc laju_prod_LPG = laju produksi LPG aux lj_emigrasi = JML_PDDK*fr_emigrasi doc lj_emigrasi = Number of individuals that die out of a population per time unit aux lj_kematian = JML_PDDK / umur_rata2*faktor_umur_krn_pencmr doc lj_kematian = Number of individuals that die out of a population per time unit aux exploitasi_minyak = GRAPH(TIME,2002,2,[463,541,538,507,496,465, 454,435,407,379,359,320,289,224,115"Min:0;Max:600"]) doc exploitasi_minyak = eksploitasi minyak bumi aux faktor_klhr_krn_pencmr = GRAPH(status_pencmr_lingk,0,1,[1,0.97,0.91,0.84,0.77"Min:0;Max:1"]) doc faktor_klhr_krn_pencmr = faktor kelahiran karena pencemaran lingkungan aux faktor_umur_krn_pencmr = GRAPH(status_pencmr_lingk,0,1,[1,0.93, 0.82,0.66,0.42"Min:0;Max:1"]) doc faktor_umur_krn_pencmr = faktor harapan hidup karena pengaruh pencemaran lingkungan aux fr_flare = 1-prop_olah doc fr_flare = fraksi gas ikutan yang dibakar melalui flare aux industr_pengguna_CNG = IINDUSTRI*fr_ind_pengg_CNG doc industr_pengguna_CNG = jumlah industri yang menggunakan CNG aux industr_pengguna_CO2 = IINDUSTRI*fr_ind_pengg_CO2 doc industr_pengguna_CO2 = jumlah industri pengguna CO2 aux industr_pengguna_Lean_Gas = IINDUSTRI*fr_ind_pengg_Lean_Gas doc industr_pengguna_Lean_Gas = jumlah industri pengguna lean gas aux jumlah_KK = JML_PDDK/fr_KK doc jumlah_KK = jumlah KK aux kebut_LPG_ind = IINDUSTRI*fr_ind_pengguna_LPG*fr_kebut_LPG_ind doc kebut_LPG_ind = kebutuhan LPG oleh industri aux kebut_LPG_Tot = kebut_LPG_ind+kebutuhan_LPG_RT doc kebut_LPG_Tot = kebutuhan LPG total di wilayah Jabar & Jakarta aux kebutuhan_CNG = industr_pengguna_CNG*fr_kebut_CNG_per_ind doc kebutuhan_CNG = kebutuhan CNG oleh industri aux kebutuhan_CO2 = industr_pengguna_CO2*fr_kebut_CO2_per_ind doc kebutuhan_CO2 = kebutuhan CO2 olahan untuk industri
234
aux kebutuhan_Lean_Gas = industr_pengguna_Lean_Gas* fr_kebut_Lean_per_ind doc kebutuhan_Lean_Gas = jumlah kebutuhan lean gas oleh industri aux kebutuhan_LPG_RT = (jumlah_KK*fr_LPG_KK)/1000 doc kebutuhan_LPG_RT = kebutuhan LPG DKI per tahun aux kekurangan_pasok_CNG = kebutuhan_CNG-CNG doc kekurangan_pasok_CNG = kekurangan pasok CNG aux kekurangan_pasok_Co2 = kebutuhan_CO2-CO2 doc kekurangan_pasok_Co2 = kekurangan pasok CO2 pd industri aux kekurangan_pasok_Lean_Gas = kebutuhan_Lean_Gas-Lean_Gas doc kekurangan_pasok_Lean_Gas = kekurangan pasok Lean gas aux kekurangan_pasok_LPG = kebut_LPG_Tot-Total_Pasokan_LPG doc kekurangan_pasok_LPG = kekurangan pasokan LPG di wilayah Jabar & DKI aux kemamp_olah = GRAPH(pendapatan_total,1000000,1000000,[0.29, 0.454,0.568,0.69,0.774,0.829,0.866,0.883,0.892,0.896,0.896"Min:0; Max:0.9"]) doc kemamp_olah = proporsi gas yang diolah terkait kemampuan keuangan perusahaan aux LPG_dari_industri = kebut_LPG_Tot*fr_LPG_industri doc LPG_dari_industri = pasok LPG dari industri migas aux PAD = pajak_industri*pendapatan_total doc PAD = pendapatan asli daerah dari produksi olahan gas ikutan aux pendapatan_dari_CNG = CNG*harga_CNG doc pendapatan_dari_CNG = pendapatan kotor dari CNG aux pendapatan_dari_Lean_Gas = Lean_Gas*harga_lean_gas doc pendapatan_dari_Lean_Gas = pendapatan kotor dari Lean gas aux pendapatan_dari_LPG = LPG*harga_LPG doc pendapatan_dari_LPG = pendapatan kotor dari LPG aux pendapatan_dari_prod_CO2 = CO2*harga_produk_CO2 doc pendapatan_dari_prod_CO2 = pendapatan kotor dari CO2 aux pendapatan_total = pendapatan_dari_CNG+ pendapatan_dari_Lean_Gas+pendapatan_dari_LPG+ pendapatan_dari_prod_CO2 doc pendapatan_total = total pendapatan dari gas olahan aux pol_CO2 = gas_terbakar*fr_CO2*fr_CO2_per_gas doc pol_CO2 = produksi gas polutan CO2 aux pol_lain = gas_terbakar*fr_pol_lain*pol_lain_per_gas doc pol_lain = produksi gas polutan lain aux pol_NOx = gas_terbakar*fr_NOx*NOx_per_gas doc pol_NOx = produksi polutan H2S aux prop_olah = kemamp_olah*fr_olah doc prop_olah = proporsi gas yang diolah aux status_pencemaran_lain = GRAPH(TIME,2002,4,[1.51,1.64,1.85, 2.02,2.21,2.37,2.54,2.75,2.92,3.05,3.18"Min:0;Max:4"]) doc status_pencemaran_lain = status pencemaran lingkungan dari faktor selain udara aux status_pencmr_lingk = (0.5*status_pencemaran_lain)+(0.5*
235
status_pencmr_udara) doc status_pencmr_lingk = status pencemaran lingkungan aux status_pencmr_udara = (0.9*status_pencmr_udara_sumber_lain)+(0.1* status_pencmr_udara_akibat_flare) doc status_pencmr_udara = status pencemaran udara aux status_pencmr_udara_akibat_flare = GRAPH(total_cemaran_flare,0, 1000000,[0,0.24,0.43,0.71,0.97,1.29,1.76,2.17,2.77,3.31,3.98"Min:0; Max:4"]) doc status_pencmr_udara_akibat_flare = pencemaran udara akibat gas yang dihasilkan dari flare aux status_pencmr_udara_sumber_lain = GRAPH(TIME,2002,4,[1.64,1.7, 1.83,1.91,2.09,2.26,2.41,2.58,2.77,2.92,3.08"Min:0;Max:4"]) aux total_cemaran_flare = pol_CO2+pol_NOx+pol_lain doc total_cemaran_flare = total akumulasi gas yang dihasilkan dari proses flare aux Total_Pasokan_LPG = LPG+LPG_dari_industri doc Total_Pasokan_LPG = total pasokan LPG yaitu dari PT SDK dan dari industri lain, termasuk dari industri pengolahan LPG dari migas const fr_CNG = 0.25 doc fr_CNG = proporsi olahan CNG const fr_CO2 = 0.97 doc fr_CO2 = fraksi CO2 const fr_CO2_per_gas = 2510/1000000 doc fr_CO2_per_gas = jumlah CO2 yang dihasilkan per m3 gas flare const fr_emigrasi = 1% doc fr_emigrasi = rata-rata proporsi emigrasi normal const fr_gas_ikutan = 5.7/550 doc fr_gas_ikutan = fraksi gas ikutan dari eksploitasi migas per barrel const fr_hari_operasi = 340 doc fr_hari_operasi = jumlah hari operasi per tahun const fr_immigrasi = 3.5% const fr_ind_pengg_CNG = 1% doc fr_ind_pengg_CNG = fraksi industri yang menggunakan CNG const fr_ind_pengg_CO2 = 1% doc fr_ind_pengg_CO2 = fraksi industri pengguna CO2 const fr_ind_pengg_Lean_Gas = 1% doc fr_ind_pengg_Lean_Gas = fraksi industri pengguna Lean Gas const fr_ind_pengguna_LPG = 30% doc fr_ind_pengguna_LPG = proporsi industri pengguna LPG const fr_kebut_CNG_per_ind = 500 doc fr_kebut_CNG_per_ind = penggunaan CNG per industri per tahun const fr_kebut_CO2_per_ind = 500 doc fr_kebut_CO2_per_ind = kebutuhan CO2 per industri per tahun const fr_kebut_Lean_per_ind = 500 doc fr_kebut_Lean_per_ind = fr kebutuhan lean gas per industri per tahun const fr_kebut_LPG_ind = 150000 doc fr_kebut_LPG_ind = fraksi kebutuhan LPG per industri per tahun const fr_KK = 5
236
doc fr_KK = jumlah jiwa per KK const fr_konversi = 0.035937*1000000 doc fr_konversi = konversi dari mmscf ke m3 const fr_lahir = 1.2% doc fr_lahir = Birth fraction in a population, i.e., the number of new individuals born per individual in a population per time unit. const fr_lean = 0.25 doc fr_lean = proporsi olahan lean gas const fr_LPG = 0.25 doc fr_LPG = proporsi olahan LPG const fr_LPG_industri = 0.8 doc fr_LPG_industri = proporsi LPG yang dipasok dari industri const fr_LPG_KK = 15*12 doc fr_LPG_KK = kebutuhan LPG per KK per tahun const fr_NOx = 0.01 doc fr_NOx = frfaksi H2S const fr_olah = 1 doc fr_olah = dilakukan atau tidaknya pengolahan gas ikutan const fr_olahCO2 = 0.25 doc fr_olahCO2 = proporsi gas olahan menjadi CO2 const fr_pengurangan_ind = 0.005 const fr_pertamh_ind = 0.01 doc fr_pertamh_ind = pertambahan industri const fr_pol_lain = 002 doc fr_pol_lain = fraksi gas polutan lain const fr_prespitasi = 0.05 doc fr_prespitasi = fraksi presipitasi gas polutan oleh air hujan const harga_CNG = 30*10000 doc harga_CNG = harga CNG per satuan const harga_lean_gas = 2.2*10000 doc harga_lean_gas = harga lean gas const harga_LPG = 280*10000 doc harga_LPG = harga LPG per satuan const harga_produk_CO2 = 1.073*10000 doc harga_produk_CO2 = harga CO2 per satuan const kap_prod_CNG = 14/(5.7*1000000*0.035937) doc kap_prod_CNG = jumlah CNG yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah const kap_prod_CO2 = 10/(5.7*1000000*0.035937) doc kap_prod_CO2 = jumlah CO2 yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah const kap_prod_Lean_Gas = 3.8/(5.7*1000000*0.035937) doc kap_prod_Lean_Gas = jumlah Lean Gas yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah const kap_prod_LPG = 15.5/(5.7*1000000*0.035937) doc kap_prod_LPG = jumlah LPG yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah const NOx_per_gas = 2500/1000000
237
const pajak_industri = 0.01 doc pajak_industri = pajak const pol_lain_per_gas = 2000/1000000 const umur_rata2 = 80 doc umur_rata2 = Average lifetime in a population
238
Lampiran 3. Hasil Analisis Pendapat Pakar dalam Mendisain Kebijakan Pemanfaatan gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu
LEVEL SUB LEVEL Pakar
I Pakar
II Pakar
III Pakar
IV Pakar
V Pakar
VI Pakar
VII Rata
GeometrikRata-rata
FAKTOR SDM 0,139 0,136 0,147 0,130 0,130 0,298 0,452 0,180843 0,211879 SDA 0,093 0,077 0,491 0,104 0,104 0,261 0,253 0,158483 0,185682 Modal 0,144 0,186 0,071 0,150 0,150 0,022 0,024 0,080855 0,094731 Teknologi 0,258 0,186 0,043 0,244 0,244 0,041 0,044 0,11204 0,131268 Sarana dan Prasaran 0,127 0,186 0,025 0,122 0,122 0,072 0,08 0,090734 0,106306 Kebijakan Pemerintah 0,24 0,23 0,224 0,250 0,250 0,307 0,146 0,230565 0,270134 0,853521 STAKEHOLDER Pemerintah 0,204 0,241 0,484 0,155 0,161 0,310 0,490 0,264346 0,292305 Pengelola/Pertamina 0,206 0,318 0,303 0,289 0,202 0,426 0,355 0,290653 0,321395 Perbankan 0,423 0,315 0,15 0,398 0,470 0,127 0,063 0,225785 0,249666 Masyarakat 0,167 0,126 0,062 0,159 0,167 0,138 0,092 0,123565 0,136634 0,904349
TUJUAN Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM 0,250 0,247 0,352 0,250 0,250 0,422 0,444 0,306575 0,322817
Perluasan Lapangan Kerja 0,250 0,226 0,063 0,250 0,250 0,208 0,158 0,184622 0,194404
Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan 0,250 0,301 0,477 0,250 0,250 0,278 0,306 0,294217 0,309805
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah 0,250 0,226 0,108 0,250 0,250 0,092 0,092 0,164271 0,172974
ALTERNATIF LPG 0,373 0,314 0,248 0,370 0,370 0,475 0,475 0,367026 0,382355 Kondensat 0,268 0,29 0,077 0,271 0,271 0,158 0,158 0,195645 0,203816 Lean Gas (Power Generator) 0,287 0,31 0,426 0,290 0,290 0,275 0,275 0,3042 0,316905 CO2 0,072 0,086 0,249 0,068 0,068 0,092 0,092 0,093038 0,096924 0,959909
239
Lampiran 4. Kuisioner Disain Kebijakan Pemanfaatan gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu dengan AHP
KUESIONER MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS DALAM RANGKA MENDUKUNG
MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH
EXPERT SURVEY
Oleh:
ZULKIFLI RANGKUTI NPM.P062059434
PENELITIAN PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2008
240
PETUNJUK PENGISIAN I. Tata Cara Pengisian Kuesioner
Isilah perbandingan antara masing-masing atribut seperti tertera pada Tabel 2 dengan Skala Saaty seperti yang tertera pada Tabel 1. Misalnya pada Tabel 2, bila Atribut B lebih penting dari pada Atribut A maka nilai Skala Saaty = 5 diberikan pada Atribut B yang terletak disisi kanan
angka-angka pertbandingan itu. Sebaliknya, bila Atribut A sangat penting maka nilai Skala Saaty = 7 diberikan pada Atribut A yang terletak disisi kiri angka-angka pertbandingan itu.
Dimohonkan pengisian ini dilakukan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila Atribut A lebih baik dari Atribut C, dan Atribut B lebih baik dari Atribut C maka Atribut A harus lebih baik dari Atribut C.
Tabel 1. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing atribut
Nilai Skor Keterangan
1 Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria yang lainnya. 5 Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding Kriteria
yang lainnya 7 Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria yang lainnya 9 Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria yang lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas
CONTOH PENILAIAN :
Tabel 2. Berilah Tanda (X) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing atribut.
Kolom Kiri Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting
dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting
dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Atribut A v Atribut B Atribut A X Atribut C Selanjutnya Selanjutnya
241
Model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Kebijakan pemerintah
Sarana dan prasarana Teknologi Modal Sumberdaya
alam Sumberdaya
manusia Faktor
LSM Pempus Pengelola/Pertamina Pengusaha Pemda
Terpeliharanya Kualitas lingkungan
menuju CDM
Peningakatn Pendapatan Asli
Daerah
Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan
Perluasan lapangan kerja
KONDENSAT
Stakeholders
Tujuan
Alternatif
Fokus
Gambar 1. hierarki pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
Perbankan Masyarakat
LPG CO2
242
PEMBOBOTAN FAKTOR 1. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap FAKTOR yang berpengaruh dalam PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS
DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH
Diisi jika Faktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Faktor
di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Faktor di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Faktor di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Sumberdaya Manusia Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Modal Sumberdaya Manusia Teknologi Sumberdaya Manusia Sarana dan Prasarana Sumberdaya Manusia Kebijakan Pemerintah Sumberdaya Alam Modal Sumberdaya Alam Teknologi Sumberdaya Alam Sarana dan Prasarana Sumberdaya Alam Kebijakan Pemerintah Modal Teknologi Modal Sarana dan Prasarana Modal Kebijakan Pemerintah Teknologi Sarana dan Prasarana Teknologi Kebijakan Pemerintah Sarana dan Prasarana Kebijakan Pemerintah
B. PEMBOBOTAN STAKEHOLDER
2. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam Peningkatan SDM terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Kolom Kiri Diisi jika Aktor di kolom sebelah
kiri lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kanan Diisi
Bila Sama
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding Aktor di kolom
Kolom Kanan
243
Penting sebelah kiri 9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat
3. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam Pengelolaan SDA terkait pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor
di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding Aktor di kolom sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina
244
Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat
4. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyediaan Modal terkait pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor
di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding Aktor di kolom sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat
245
Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat
5. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyediaan Teknologi terkait pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor
di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding Aktor di kolom sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM
246
Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat
6. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyediaan Sarana dan Prasarana terkait pemanfaatan
gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor
di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding Aktor di kolom sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM
247
Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat
7. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyusunan Kebijakan terkait pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor
di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding Aktor di kolom sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat
248
Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat
C. PEMBOBOTAN TUJUAN
8. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pemerintah Pusat terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah
kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Penciptaan Lapangan Kerja
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
9. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pemerintah Daerah terkait pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Kolom Kiri Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding
Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom
sebelah kiri
Kolom Kanan
249
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9Penciptaan Lapangan Kerja
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
10. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pengelola/Pertamina terkait pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding
Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Penciptaan Lapangan Kerja
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
250
11. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pengusaha terkait pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding
Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Penciptaan Lapangan Kerja
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
12. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Perbankan terkait pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding
Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Penciptaan Lapangan Kerja
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
251
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
13. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh LSM terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan
migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding
Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Penciptaan Lapangan Kerja
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
252
14. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Masyarakat terkait pemanfaatan gas ikutan di
perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding
Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Penciptaan Lapangan Kerja
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Penciptaan Lapangan Kerja
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
D. PEMBOBOTAN ALTERNATIF 15. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Penciptaan
Lapangan Kerja terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
253
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting
dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
LPG KONDENSAT
LPG LEAN GAS (POWER
GENERATOR) LPG CO2
KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)
KONDENSAT CO2
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
CO2
16. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Kualitas Lingkungan
Terjaga Menuju CDM terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting
dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
LPG KONDENSAT
LPG LEAN GAS (POWER
GENERATOR) LPG CO2
KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)
254
KONDENSAT CO2
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
CO2
17. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Peningkatan Nilai
Guna Gas Ikutan terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting
dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
LPG KONDENSAT
LPG LEAN GAS (POWER
GENERATOR) LPG CO2
KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)
KONDENSAT CO2
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
CO2
18. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Peningkatan
Pendapatan Asli Daera (PAD) terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
255
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting
dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom
sebelah kiri
Kolom Kiri
9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
LPG KONDENSAT
LPG LEAN GAS (POWER
GENERATOR) LPG CO2
KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)
KONDENSAT CO2
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
CO2
Terima Kasih atas partisipasi Bapak/Ibu, semoga menjadi amal baik bapak/ibu untuk turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya berkaitan dengan Penyusunan Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Perusahaan Migas dalam rangka mendukung Pembangunan Bersih.
12 Nopember 2008 Hormat kami, ZULKIFLI RANGKUTI.
256
Lampiran 5. Peta Sumur Migas di Desa Amis, Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu