20090415 rev02 draft final tmp in bab03 unwto

57
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 21 3. Data Dasar 3.1 Sumber Daya Alam Hayati 3.1.1 Keanekaragaman Ekosistem Pangandaran memiliki beberapa jenis ekosistem laut dan darat. Kondisi ekosistem tersebut bervariasi, beberapa yang masih dalam kondisi cukup baik dapat dijumpai pada kebanyakan ekosistem di darat. Tetapi ada juga yang mengalami kerusakan cukup parah terutama ekosistem di pesisir seperti terumbu karang dan mangrove. Berikut adalah gambaran berbagai ekosistem tersebut. Terumbu Karang Ekosistem ini dikenal dengan keindahannya, terpancar dari warnawarni beraneka ragam jenis ikan dan biota laut yang tinggal di dalamnya. Fungsinya sebagai tempat tinggal dan pemijahan bagi ikan dan biota laut, membuat terumbu karang memiliki peran penting dalam industri perikanan laut. Selain itu ekosistem ini menyediakan berbagai jasa lingkungan seperti sebagai pemecah ombak atau sebagai tempat wisata, sehingga sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Di Pangandaran terumbu karang dapat ditemukan pada kawasan cagar alam laut di pantai timur dan barat Pananjung, memiliki panjang 1,5 km dan lebar 50 m (Anonymous, 2006), dengan tipe terumbu karang berupa karang tepi (fringing reef). Jenis karang batu yang ditemukan di pantai barat didominasi oleh jenis Acropora sementara di pantai timur jenis Monticora melimpah. Pertumbuhan karang di kedua tempat ini didominasi oleh bentuk branching”(bercabang), encrusting”(kerak) dan massive”(padat), mengindikasikan besarnya tekanan fisik perairan seperti arus dan gelombang di daerah ini. Sayangnya, pengamatan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa sebagian besar terumbu karang di Pangandaran dalam kondisi rusak, dengan persentase penutupan karang batu hanya 21,15%, sementara karang mati mencapai 42,65% dan tutupan biota lain 18,55% (Mulyani, 2002). Survei lebih lanjut pada tahun 2005 memperlihatkan kerusakan terjadi semakin parah. Hanya di daerah Rajamantripantai Barat masih dapat ditemukan persentase tutupan karang hidup mencapai 30% (Amasya, 2007). Situasi ini diperparah dengan kondisi perairan yang keruh sehingga jarak pandang pun sangat terbatas. Pengamatan terakhir pada tahun 2008 menunjukkan hasil tidak berbeda jauh. Tutupan karang hidup di Gambar 3.1 Terumbu Karang di Pangandaran Sumber: INDECON, 2008

Upload: budi-nugroho

Post on 02-Jul-2015

1.609 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   21

3. Data Dasar

3.1   Sumber Daya Alam Hayati 

3.1.1 Keanekaragaman Ekosistem  

Pangandaran memiliki beberapa jenis ekosistem  laut dan darat. Kondisi ekosistem tersebut bervariasi, beberapa yang masih dalam kondisi cukup baik dapat dijumpai pada kebanyakan ekosistem di darat. Tetapi ada juga yang mengalami kerusakan cukup parah terutama ekosistem di pesisir seperti terumbu karang dan mangrove. Berikut adalah gambaran berbagai ekosistem tersebut. 

Terumbu Karang 

Ekosistem ini dikenal dengan keindahannya, terpancar dari warna‐warni beraneka ragam jenis ikan dan biota  laut  yang  tinggal  di dalamnya.  Fungsinya  sebagai  tempat  tinggal dan  pemijahan bagi  ikan  dan biota  laut, membuat terumbu karang memiliki peran penting dalam  industri perikanan  laut. Selain  itu ekosistem  ini menyediakan  berbagai  jasa  lingkungan  seperti  sebagai  pemecah  ombak  atau  sebagai tempat wisata, sehingga sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.  

Di Pangandaran  terumbu karang dapat ditemukan pada kawasan cagar alam  laut di pantai  timur dan barat Pananjung, memiliki     panjang 1,5 km dan  lebar 50 m (Anonymous, 2006), dengan tipe terumbu karang berupa karang tepi (fringing reef).  Jenis karang batu yang ditemukan di pantai barat didominasi oleh  jenis  Acropora  sementara  di  pantai  timur    jenis Monticora melimpah.  Pertumbuhan  karang  di kedua  tempat  ini  didominasi  oleh  bentuk  “branching”(bercabang),  “encrusting”(kerak)  dan “massive”(padat),  mengindikasikan  besarnya  tekanan  fisik  perairan  seperti  arus  dan  gelombang  di daerah ini.  

 

 

 

 

 

 

 

Sayangnya,  pengamatan  pada  tahun  1998 menunjukkan  bahwa  sebagian  besar  terumbu  karang  di Pangandaran  dalam  kondisi  rusak,  dengan  persentase  penutupan  karang  batu  hanya  21,15%, sementara karang mati mencapai 42,65% dan   tutupan biota  lain 18,55% (Mulyani, 2002). Survei  lebih lanjut pada tahun 2005 memperlihatkan kerusakan terjadi semakin parah. Hanya di daerah Rajamantri‐pantai Barat masih dapat ditemukan persentase tutupan karang hidup mencapai 30% (Amasya, 2007). Situasi ini diperparah dengan kondisi perairan yang keruh sehingga jarak pandang pun sangat terbatas. Pengamatan terakhir pada tahun 2008 menunjukkan hasil tidak berbeda jauh.  Tutupan karang hidup  di 

Gambar 3.1 Terumbu Karang di Pangandaran

    Sumber: INDECON, 2008 

Page 2: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   22

Gambar 3.2 Mangrove di Bojong Salawe

       Sumber: INDECON, 2008 

pantai barat hanya sekitar 11,48 %  , sedangkan di pantai timur 18,21 % sehingga dikategorikan rusak menurut  kriteria  baku  Kementerian  Lingkungan  Hidup.  Kerusakan  ini  disebabkan  baik  oleh  aktifitas penangkapan ikan maupun pariwisata seperti menginjak karang, mengambil karang, penangkapan ikan berlebih  atau dengan  racun,  sampah,  tertabrak perahu  atau putaran baling‐baling mesin  kapal  yang mengaduk  sedimen.  Selain  itu  erosi  di  daerah  sepanjang  aliran  sungai‐sungai  bermuara  di  perairan Pangandaran  menyebabkan  tingginya  tingkat  sedimentasi  dan  dapat  merusak  kehidupan  terumbu karang.  

Hutan Mangrove/Bakau 

Kemungkinan  besar  dahulu  terdapat  hutan mangrove  di  Pangandaran.  Hal  ini  dapat  dilihat dengan  terdapatnya  muara‐muara  sungai  cukup lebar,  tempat  yang  ideal  bagi  tumbuhan mangrove. Namun kini hanya  sedikit yang  tersisa, tinggal  berupa  deretan  pohon  nipah  (Nypa fruticans) di sepanjang pinggiran sungai. Jenis‐jenis tumbuhan mangrove/bakau  lainnya boleh dibilang telah hilang. Hal  ini sangat disayangkan mengingat hutan  ini  memiliki  manfaat  sangat  besar  bagi kehidupan manusia seperti sebagai tempat tinggal, pemijahan  serta  asuhan  ikan  dan  biota  laut; menahan  lumpur  yang dibawa  sungai  atau  abrasi akibat gelombang laut.  

Dalam beberapa  tahun  terakhir mulai dilakukan upaya untuk menanam mangrove/bakau kembali. Di Pangandaran penanaman dilakukan di Bulak Setra, terletak di sekitar muara Sungai Cikidang. Sementara di  luar  kawasan  Pangandaran,  penanaman  juga  berlangsung  pada  tempat‐tempat  yang masih  dapat ditemukan tegakan asli mangrove – walau hanya sedikit‐ seperti di Bojong Salawe dan Nusa Wiru.  

Pantai dan Hutan Pantai 

Pantai berpasir abu‐abu  kehitaman merupakan macam pantai  yang umum dijumpai di Pangandaran.  Pengecualian terdapat di   kawasan cagar alam Pananjung yang memiliki kantung‐kantung kecil pantai berpasir putih, berasal dari pecahan‐pecahan karang. Hamparan kedua macam pasir  ini memberikan 

Gambar 3.3 Vegetasi di Pantai Barat dan Hutan Pantai

        Sumber: INDECON, 2008 

Page 3: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   23

pemandangan indah dan menjadi daya tarik utama bagi kegiatan wisata di Pangandaran. Namun tidak banyak kehidupan ditemukan sini, hanya berupa lubang‐lubang kecil di pantai pasir abu‐abu kehitaman, tempat kepiting hantu  (Ocypode  sp) berlindung. Hal  ini  tidak mengherankan mengingat kedua  lokasi pantai ini telah menjadi tempat aktifitas manusia untuk menangkap ikan maupun wisata.  

Di belakang daerah hamparan pasir, biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan tapak kambing (Ipomoea pes‐caprae) dan rumput lari‐lari (Spinifex littoreus). Tumbuhan ini masih umum terlihat di pantai yang masih sepi dari aktifitas wisata. Di belakang formasi  ini, dihuni barisan pohon‐pohon penyusun hutan pantai yang disebut dengan  formasi Barringtonia  (lihat Gambar 3.3).    Jenis  tumbuhan yang umum dijumpai pada  formasi  ini  meliputi  ketapang  (Terminalia  catappa),  butun  (Barringtonia  asiatica),  pandan (Pandanus tectorius), waru Laut (Hibiscus tiliaceous), atau nyamplung (Calophyllum inophyllum). Kondisi hutan  pantai  yang  cukup  bagus masih  dapat  dijumpai  di  pantai  pasir  putih  di  kawasan  cagar  alam. Sedangkan di pantai pasir abu‐abu kehitaman, baik di pantai  timur dan barat, hutan  ini  telah  lenyap akibat  berubah  fungsi  menjadi  hotel,  jalan,  sarana  pariwisata  lainnya  atau  kebun  kelapa.  Tinggal beberapa pohon besar saja yang tersisa, seolah sebagai tanda bahwa dahulu berdiri hutan pantai di sini. Setelah terjadinya tsunami tahun 2006, banyak upaya dilakukan untuk menanam berbagai pohon hutan pantai kembali untuk menciptakan  sabuk hijau di  sepanjang pantai. Akan  tetapi  tingkat keberhasilan penanaman  ini  diragukan  karena  tidak  adanya  kegiatan  pemeliharaan  bagi  anakan‐anakan  pohon sehingga banyak yang mati akibat terinjak, kekeringan atau dimakan oleh hewan ternak.  

Hutan Dataran Rendah 

Hutan  ini  sebagian  besar merupakan  hutan  sekunder,  kemungkinan  berasal  dari  tahun  1922  ketika penduduk yang membuka perladangan di sini dipindahkan keluar dari semenanjung (Blower dkk, 1977) . Memiliki tajuk setinggi 20‐30 meter, hutan sekunder menyelimuti sebagian besar wilayah cagar alam, mencapai  luas 483,5 hektar. Pohon‐pohon marong  (Cratoxylum  formosum), ki  segel  (Dillenia excelsa) dan  laban (Vitex pinnata) mendominasi hutan bercampur dengan beberapa pohon berdiameter 50 cm ke atas berpencar di sana‐sini yang merupakan sisa‐sisa dari hutan tua –terdapat di timur bagian utara di  daerah  Rengganis‐  seperti  Planchonia  valida,  benda  (Artocarpus  elastica),  bayur  (Pterospermum javanicum).  Pada  tempat‐tempat  basah  atau  rawa  di  sisi  utara,  rotan  (Calamus  sp)  bermunculan, sementara tumbuhan  langka Rafflesia patma, hidup sebagai parasit pada tumbuhan  liana Tetrastigma lanceolarium, dapat dijumpai pada hutan ini di beberapa lokasi baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman.  

Di  beberapa  tempat  terdapat  padang  rumput  buatan  yang  dibuka  pada  tahun  1931  untuk  tempat makan   mamalia besar  seperti banteng dan  rusa,  terdiri dari Cikamal  (16 ha), Nanggora  (8,3 ha) dan 

Gambar 3.4 Hutan di CA

       Sumber: INDECON, 2008 

Page 4: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   24

Badeto (16 ha).  Kini hanya Cikamal yang masih cukup terpelihara dan dapat dikatakan sebagai padang rumput walaupun  sebagian  area  telah mengalami  suksesi,  sedangkan Nanggorak  dan  Badeto  hanya menyisakan  sedikit  hamparan  rumput,  hampir  semuanya  tertutup  oleh  semak  belukar.  Penelitian  di padang  rumput  pada  tahun  1977  memperlihatkan  jenis  dominan  di  sini  adalah  semak  ki  rinyuh (Eupatorium odoratum) dan alang‐alang (Imperata cylindrica). Meskipun demikian, masih cukup banyak jenis  rumput dan  teki dapat ditemukan di  sini  yaitu  ada 183  jenis. Hingga  kini belum  ada penelitian terbaru mengenai kondisi padang  rumput tersisa. Namun saat  ini  tampak rumput  jenis baru dari  luar kawasan dan tidak disukai oleh satwa liar telah menjadi  dominan di Cikamal.  

Hutan Tanaman 

Kawasan hutan tanaman terletak di taman wisata alam menempati areal seluas 37,7 hektar. Sekitar 20 hektar  di  antaranya merupakan  pohon  jati  (Tectona  grandis)  ditanam  pada  tahun  1932  dan  1936 (Blower  dkk,  1977).  Setelah mengalami  pemanenan,  pada  tahun  1957  dinas  kehutanan menanami 

kembali kawasan  ini dengan  jati pada  lereng‐lereng bukit dan dekat Cirengganis,  sedangkan di  lokasi lain  ditanami  dengan  mahoni  (Swietenia  macrophylla)  dan  akasia  (Acacia  auriculiformis).  Hutan tanaman  ini dapat  tumbuh dengan baik dan  ternyata mampu menjadi habitat yang bagus bagi satwa liar (Gambar 3.5).  

Gua 

Pada  sisi  utara  Taman Wisata  Alam  Pananjung yang  tersusun atas batuan kapur  terdapat  lima buah  gua  alam  yaitu  Parat,  Panggung,  Sumur Mudal,  Lanang  dan  Rengganis.  Beberapa  gua memiliki pintu masuk cukup besar, ruang cukup luas,  lorong  mendatar  cukup  panjang  dan beberapa  ornamen  seperti  stalagmit. Menurut Sukardjo (1983) gua‐gua ini menjadi habitat bagi landak  (Hystrix  javanica),  burung  walet  dan kelelawar  jenis  ekor‐trubus  kecil  (Emballonura monticola), bibir‐keriput kecil  (Tadarica plicata) dan   Barong  (Hipposideros  larvatus). Sedangkan pada  tebing‐tebing  yang menghadap  pantai  di bagian selatan cagar alam ditemukan setidaknya 8 gua yang menjadi tempat bersarang walet.  

Gambar 3.5 Hutan Tanaman di Dalam Taman Wisata Alam 

     Sumber: INDECON, 2008 

Gambar 3.6 Gua Panggung di CA 

 Sumber: INDECON, 2008 

Page 5: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   25

Gua‐gua di taman wisata alam sering dikunjungi oleh para wisatawan, selain juga beberapa kali pernah dipakai untuk pengambilan gambar untuk sinetron atau  film. Tidak adanya aturan tentang bagaimana tata cara  berperilaku dalam mengamati gua menyebabkan terjadinya polusi cahaya dan suara, sampah dan  aktifitas  pemberian makan  satwa.  Keadaan  ini menimbulkan  gangguan  terhadap  para  penghuni gua. Di samping itu adanya vandalisme juga menurunkan nilai estetika dari gua‐gua ini. 

Ekosistem Pertanian 

Di  luar daerah pantai dan cagar alam serta taman wisata alam, ekosistem pertanian meliputi sebagian besar  kawasan  Pangandaran.  Petak‐petak  persawahan  nan  hijau  dan menyegarkan  beserta  pohon‐pohon kelapa baik dalam bentuk kebun‐kebun yang cukup  luas maupun sebagai tanaman pekarangan rumah, merupakan tanaman pertanian utama di Pangandaran dan sekitarnya. Pohon kelapa  ini selain diambil buahnya, juga disadap guna menghasilkan cairan bagi pembuatan gula merah. Terkadang lahan di sela‐sela pepohonan kelapa dimanfaatkan dengan menanam jagung, padi, ketela pohon, pisang atau kopi. Namun kebanyakan    lahan di bawah pepohonan kelapa  ini kurang dimanfaatkan, dibiarkan saja menjadi tempat tumbuh tanaman liar.  

Bentuk  lain  berupa  pekarangan  hijau masih  bisa  ditemukan walau  keaneragaman  jenis  tanamannya sudah tidak terlalu tinggi. Di tempat  ini biasanya ditanam pohon buah seperti mangga atau rambutan, sayuran  atau  tanaman  obat.  Pengembangan  kebun  buah‐buahan  untuk  kegiatan  agrowisata  telah dicoba  diusahakan  oleh  perusahaan  swasta  di  daerah  Lembah  Putri.  Namun  hingga  kini  rencana tersebut belum dapat terealisasikan sepenuhnya.  

3.1.2 Keanekaragaman Jenis Flora and Fauna  

Flora 

Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung diperkirakan memiliki lebih dari 700 spesies tumbuhan. Terdapat 249 jenis pohon, 71 jenis perdu, 65 jenis liana, 193 jenis semak, 53 jenis rumput, 26 epifit dan 

Gambar 3.8  Paku Sarang Burung, Bunga Raflesia dan Pohon Beringin 

       Sumber: LWG dan INDECON, 2008  

Gambar 3.7 Sawah, Tanaman Obat di Pekarangan Rumah dan Perkebunan Kelapa 

     Sumber: INDECON, 2008 

Page 6: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   26

10  jenis  parasit  (Anonymous,  2004).  Dari  semuanya  itu,  80  jenis  diantaranya  dapat  dimanfaatkan sebagai  tumbuhan  obat.  Sementara  untuk  di  daerah  pantai  dapat  dijumpai  setidaknya  48  jenis makroalga.  Sedangkan  di  pekarangan  rumah  dapat  diidentifikasi  29  jenis  tanaman  untuk  obat. Tumbuhan yang penting untuk mendapat perhatian adalah Rafflesia patma karena sudah  langka dan termasuk ke dalam jenis yang dilindungi oleh perundang‐undangan (Gambar 3.8). 

Mamalia 

Ketika  kawasan  Pangandaran  telah  didiami  oleh manusia,  tidak  diragukan  lagi  satwa  liar  berukuran besar  seperti banteng  (Bos  javanicus),  rusa  ( Cervus  timorensis), dan macan  tutul  (Panthera pardus  ) telah menghilang  akibat  diburu. Owa  (Hylobates moloch),  and    Surili  (Presbytis  commata) menyusul kemudian  diikuti  lenyapnya  dua  jenis  babi  hutan  (Sus  verrucosus  dan  S.  scrofa  )  yang  kemungkinan diakibatkan wabah penyakit dan tekanan perburuan. Kini monyet ekor‐panjang adalah penghuni yang paling mudah  dijumpai  bersama  dengan  rusa.  Lutung  (Trachypithecus  auratus) masih  cukup mudah dilihat di  tajuk hutan demikian pula halnya dengan Tando  (Cynocephalus  variegata) – melayang dari pohon ke pohon‐ dan  Kalong (Pteropus vampyrus) terbang tinggi di angkasa pada senja hari. Sebaliknya Banteng – yang telah diintroduksi kembali ‐ dan Mencek sekarang sudah sulit untuk ditemukan.  

Penelitian  oleh  pihak  LIPI  pada  tahun  1983  menemukan  kawasan  Pananjung  dihuni  oleh  32  jenis mamalia  (Sukardjo,  1983).  Sedangkan  pada  dokumen  rencana  pengelolaan  cagar  alam  dan  taman wisata alam pada tahun 2004 memperlihatkan terdapat 30  jenis mamalia di kawasan  ini. Pengecekan data  di  lapangan  melalui  wawancara  dengan  petugas  BKSDA  yang  sering  bertugas  di  lapangan, menunjukkan  sebanyak  28  jenis  yang masih  atau pernah  terlihat oleh mereka. Dari  jumlah  tersebut sebanyak  8  jenis  dilindungi  perundang‐undangan  di  Indonesia dan  dua  di  antaranya,  banteng  dan  lutung  termasuk  dalam kategori terancam kepunahan menurut lembaga konservasi dunia IUCN.  

Burung 

Tercatat  sebanyak  62  jenis  burung  dapat  ditemukan  di  Cagar Alam  dan  Taman Wisata  Alam  Pangandaran menurut  dokumen rencana  pengelolaan  tahun  1977.  Tim Unpad  pada  tahun  2000 hanya berhasil mengamati sebanyak 44 jenis (Anonymous, 2000),  sementara  BKSDA  dalam  dokumen  rencana  pengelolaan  tahun 2004,  menyebutkan  terdapat  99  jenis  burung  di  kawasan tersebut3.  Pengecekan  data  ini  di  lapangan melalui wawancara 

Gambar 3.9  Rusa, Monyet dan Lutung di Pangandaran 

     Sumber: LWG dan INDECON, 2008 

Gambar 3.10  Burung Rangkong 

                      Sumber: INDECON, 2008 

Page 7: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   27

dengan  petugas  BKSDA  yang  sering  bertugas  di  lapangan, menunjukkan  kisaran  antara  50‐60  jenis burung  yang masih  atau pernah  terlihat oleh mereka,  termasuk di  antaranya  2  jenis  rangkong  yaitu kangkareng  (Anthracoceros  coronatus)  dan  julang  (Aceros  undulatus).  Sebanyak  17  spesies di  antara jenis‐jenis burung  ini termasuk dilindungi oleh perundang‐undangan. Survei terbaru mengenai burung di Pangandaran perlu dilakukan untuk memastikan kondisi ini.  

Fauna Darat Lainnya 

Sebanyak  8  jenis  amfibi berhasil dijumpai oleh  tim Unpad pada  tahun  2000,  sementara untuk  reptil tercatat   ada 17  jenis  (Anonymous, 2004). Dilaporkan penyu hijau beberapa  kali mendarat di pantai dalam  maupun  di  luar  cagar  alam  namun  belum  ada  catatan  terbaru  untuk  dapat  membuktikan keberadaan  satwa  dilindungi  ini. Untuk  serangga,  ditemukan  sebanyak  39  jenis  kupu‐kupu,  11  jenis laba‐laba dan 41 kelompok serangga terbang.   

Ikan Laut dan Biota laut 

Berdasarkan data tahun 1998,  ikan karang yang dijumpai di CA Laut Pangandaran adalah sebanyak 38 jenis (Mulyani, 2002). Angka ini berkurang jauh dibandingkan dengan catatan tahun 1983 yang berhasil mengidentifikasi sebanyak 103 jenis  ikan karang (Anonymous, 1983).   Penelitian pada terumbu karang Pangandaran  tahun  2005  menjumpai  jenis‐jenis  ikan  Heniochus  sp.,  kepe‐kepe  (Chaetodon  sp.), Pomacanthus  sp.,   moris  (Heniochus  sp.), buntal  (Diodontidae), kerapu  (Serranidae),  scaridae,  sersan mayor  (Abudefduf  sp.), dokter  (Diproctacanthus  xanthurus),  kepe‐kepe biru  kuning  (Chaetodontoplus sp.),  ikan wrasse (Labridae) dan  ikan pomacanthidae. Secara umum  jenis  ikan yang dijumpai di pantai barat  lebih banyak dibandingkan di pantai  timur. Pengamatan pada  tahun 2006 menemukan 16  jenis ikan yang hidup di atau dekat dasar  laut (demersal) dan 15 ikan yang sangat aktif di dekat permukaan laut (pelagis). Jumlah ini masih lebih sedikit dengan catatan tahun 1983 yang berhasil menjumpai total 53 jenis. Layur (Trichiurus spp.) dan bawal putih (Pampus argenteus) merupakan jenis yang dominan di kawasan perairan laut Pangandaran.  

Catatan terbaru biota  laut  lainnya yang dapat ditemukan meliputi 37 spesies moluska  (26 gastropoda dan 11 bivalvia), 11 ekinodermata dan 12 kepiting. Angka ini masih di bawah laporan tahun 1983 yang menjumpai 100 spesies moluska dan 31 ekinodermata.  

3.1.3 Kawasan Lindung : Kondisi dan Pengelolaan 

Saat ini di kawasan semenanjung Pangandaran terdapat tiga macam status kawasan dilindungi meliputi cagar  alam  darat  seluas  419,3  hektar,  cagar  alam  laut  seluas  470  hektar  mengelilingi  kawasan semenanjung  Pangandaran  sepanjang  12,625  kilometer  dan  lebar  kurang  lebih  500 meter  dari  titik pasang terjauh,  dan taman wisata alam seluas 37,7 hektar (Peta 3.1). Ketiganya memiliki fungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau  satwa  berserta  ekosistemnya,  dan  untuk  pemanfaatan  secara  lestari  sumber  daya  alam  dan ekosistemnya. Batas‐batas antara cagar alam darat dengan taman wisata alam, maupun areal di luarnya terlihat  jelas  dengan  dengan  adanya  pemasangan  patok‐patok  tapal  batas.  Akan  tetapi  untuk  cagar alam laut situasinya berbeda, tanda‐tanda batas ini masih belum ada.  

Pemanfaatan  wilayah  cagar  alam,  baik  darat  dan  laut  hanya  boleh  untuk  kegiatan  penelitian  dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya. Sedangkan di taman wisata  alam  kegiatan  yang  diperbolehkan  adalah  pariwisata  dan  rekreasi,  penelitian  dan 

Page 8: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   28

pengembangan, pendidikan dan  penunjang budidaya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan pariwisata  terjadi di cagar alam terutama di daerah pantai Pasir Putih, bahkan telah berlangsung dalam kurun waktu yang  lama. Selain  itu, masih  tampak aktifitas nelayan memarkir perahu di dalam  taman wisata  alam, menimbulkan  kesan    kawasan  ini    terbuka  bagi masyarakat  setempat. Hal  ini  terbukti dengan bebas keluar masuknya pedagang dan  juga masyarakat  lainnya, bahkan dengan menggunakan sepeda  motor.  Ketidakkonsistenan  juga  terjadi  dalam  kegiatan  pengelolaan.  Seharusnya  kegiatan pengelolaan yang diijinkan di cagar alam adalah perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi  kawasan  dan  penelitian  dan  pengembangan  dalam  menunjang  pengawetan.  Akan  tetapi kegiatan  rehabilitasi  ekosistem  berupa  transplantasi  karang  atau  pemeliharaan  padang  rumput berlangsung di sini. Menurut ketentuan kegiatan yang tergolong pembinaan habitat dan populasi satwa tersebut tidak diperbolehkan di cagar alam tetapi bisa dilakukan di taman wisata alam.   

 

Kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran berada di bawah  kewenangan  Balai  Besar  Konservasi  Sumber  Daya  Alam  Jawa  Barat  (BBKSDA),  Departemen Kehutanan dan pelaksanaannya dilakukan oleh Resor Konservasi Wilayah Pangandaran. Jumlah seluruh personil  resor  konservasi wilayah  Pangandaran  adalah  12  orang, meliputi  3  polisi  hutan,  5  petugas lapangan, 3  tenaga   administratif dan 1  sukarelawan. Dari semua  itu,  tiga pegawai difungsikan untuk menjual  karcis  di  Pintu  Barat,  Pintu  Timur,  dan  Pasir  Putih.  Guna  mengoptimalkan  pengelolaan kawasan, pihak pengelola menetapkan pembagian blok, baik dalam taman wisata alam maupun cagar alam. Pembagian blok pada taman wisata alam terdiri dari blok pemanfaatan seluas 20,921 hektar dan 

Peta 3.1 Kawasan Konservasi di Pangandaran 

                  Sumber: Lampiran Peta dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 225/Kpts‐II/1990 ,                 Diolah oleh  INDECON 2008 

Page 9: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   29

blok  perlindungan  dengan  luas  13,4  hektar.  Adapun  kegiatan  rutin  yang  dilakukan  oleh  pengelola adalah  pengelolaan  pengunjung  meliputi  penjualan  tiket  (Pintu  Timur,  Pintu  Barat,  Pasir  Putih), pelayanan  pusat  informasi,  pemanduan  rekreasi  dan  penelitian,  pengamanan  kawasan,  pemantauan satwa,  serta  administratif  (pelaporan,  evaluasi  dan  lain‐lain).  Sementara  kegiatan  penyuluhan  ke masyarakat dilaksanakan tergantung kebutuhan dan biasanya  langsung di  lapangan. Dukungan sarana prasarana boleh dikatakan  tidak memadai karena sebagian besar dalam kondisi  rusak. Demikian pula halnya dengan dukungan pendanaan sangat minim sehingga tidak memungkinkan untuk menjalankan 

suatu program. Salah satu akibatnya adalah pengelolaan pengunjung menjadi lemah sekali. Dampaknya adalah  masalah  sampah,  vandalisme,  kesemrawutan,  kerusakan  karang  akibat  pengambilan,  dan perubahan perilaku satwa liar akibat pemberian makan oleh pengunjung.  

Kegiatan  pengusahaan  Taman  Wisata  Alam  Pananjung  Pangandaran  sebenarnya  telah  diserahkan kepada Perum Perhutani  melalui pemberian Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) pada tahun 1996. Namun hingga saat  ini pihak Perhutani  juga  lemah dalam pengelolaan pengunjung, hanya melakukan kegiatan penjualan tiket, parkir dan penyewaan lokasi untuk outbound dan pengambilan gambar untuk keperluan  televisi atau  layar  lebar. Seharusnya, sesuai dengan dokumen Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam 1996‐2026 yang telah dibuat pemegang IPPA, Perhutani wajib melaksanakan kegiatan pengembangan  sarana  prasarana  wisata  dan  kegiatan  pengelolaan  pengunjung  serta  pembinaan sumber daya  alam. Kondisi  ini membuat pihak BBKSDA merasa perlu untuk  ikut mengelola  kegiatan pariwisata, salah satunya dengan cara menarik tiket. Pada akhirnya keadaan ini memunculkan dualisme dalam pengelolaan taman wisata alam.  

Di luar daerah semenanjung, kawasan lindung terdapat di sepanjang garis pantai baik di barat maupun timur. Menurut ketentuan berlaku, area selebar 100 meter –diukur dari titik pasang tertinggi‐ dari  garis 

Gambar 3.11  Berbagai Permasalahan karena Lemahnya Pengelolaan di TWA :  perubahan perilaku hewan, coret‐coret dinding gua dan interpretasi yang tidak memadai 

     Sumber: INDECON, 2008 

Gambar 3.12  Penggunaan Daerah Harim Laut antara lain untuk Berdagang,  Penyewaan Alat Bantu Renang dan Parkir Perahu 

                       Sumber: INDECON, 2008 

Page 10: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   30

pantai merupakan daerah sempadan pantai atau harim laut. Pada daerah ini tidak diperbolehkan untuk mendirikan bangunan bersifat permanen dan  semi permanen.  Khusus untuk daerah  rawan  tsunami, seperti  di  Pangandaran,  lebar  harim  laut  bertambah  hingga  mencapai  200  meter  dari  pantai. Menerapkan ketentuan ini, bukanlah hal yang mudah di Pangandaran, mengingat pada daerah tersebut telah  berdiri  banyak  bangunan  di  area  harim  laut  sejak  dahulu.  Bahkan  jika  yang  diikuti  adalah ketentuan  200 meter maka  seluruh  bangunan  di  daerah  tanah  genting  harus  dipindah.  Padahal  di sinilah merupakan pusat sarana‐prasaran pariwisata, di samping juga terdapat pemukiman masyarakat.    

3.2   Sosial Ekonomi 

Sebagai  penjelasan  dari  paparan  kondisi  sosial  ekonomi  di  atas,  bagian  ini  akan memaparkan  lebih lanjut kondisi‐kondisi sosial ekonomi ditingkat lokal yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata.  

3.2.1 Keberadaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat yang Terkait Pariwisata 

Masyarakat  lokal dalam tulisan  ini adalah orang‐orang yang telah tinggal di wilayah studi minimum 24 bulan  (2  tahun)  dan  bekerja mencari  nafkah  selama  itu  dalam  berbagai  kegiatan  ekonomi.  Dengan definisi  tersebut, orang‐orang yang  tidak memiliki KTP Pangandaran  tetapi  sudah  tinggal  lebih dari 2 tahun dapat dikategorikan sebagai masyarakat. Sementara itu ada kategori orang‐orang yang bekerja di Pangandaran dan melakukan migrasi sirkuler (pulang pergi dari desa asal ke Pangandaran, dalam jangka waktu  tertentu).  Orang‐orang  seperti  ini  tidak  termasuk  sebagai   masyarakat  lokal  karena mereka membawa kembali hasil kerja mereka ke desa/kota asalnya.  

Seperti dipaparkan di bagian pendahuluan, kawasan studi mencakup  lima desa. Namun untuk bagian fitur sosial ekonomi ini akan memfokuskan pada daerah‐daerah dimana konsentrasi kegiatan pariwisata berada, yaitu di dua desa, Pangandaran dan Pananjung. Dua desa tersebut merupakan tempat atraksi wisata utama di Pangandaran seperti Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung, Pantai Barat dan Pantai  Timur  Pangandaran,  juga  toko‐toko  cinderamata  serta  akomodasi  berada.  Selain merupakan daerah  konsentrasi  kegiatan  pariwisata,  dua  desa  tersebut  juga  tergolong  padat  penduduk,  serta menyimpan berbagai persoalan ekonomi dan sosial yang perlu diselesaikan.  

Kegiatan  ekonomi  yang  terkait  pariwisata  dibagi  dalam  dua  kategori  yaitu  kegiatan  ekonomi  utama pariwisata dan kegiatan ekonomi pendukung pariwisata. Terdapat  tiga kegiatan ekonomi utama yang disebut dalam  industri pariwisata yaitu usaha akomodasi  (hotel dan  restoran), usaha biro perjalanan umum  dan  pemandu.  Ketiga  jenis  kegiatan  ini  dikategorikan  sebagai  kegiatan  yang  secara  langsung berkontribusi kepada sektor pariwisata. Ketiga kegiatan  ini saling berhubungan satu sama  lainnya dan memiliki  saling  ketergantungan.  Pihak  hotel  sangat  memerlukan  biro  perjalanan  umum  untuk memasarkan  kamar  dan  produk‐produk  lain  yang  ditawarkan  guna  menaikkan  tingkat  hunian  di hotelnya. Demikian pula sebaliknya pihak biro perjalanan  juga membutukan pihak hotel/restoran dan bekerjasama untuk mendapatkan harga dan pelayanan yang baik, agar dapat memuaskan  tamu‐tamu yang menjadi pelanggannya. Biro perjalanan maupun hotel,  restoran  juga memerlukan pemandu dan demikian  sebaliknya, masing‐masing  pihak memberikan  saling  keuntungan  dan  pelayanan  yang  baik agar pelanggan masing‐masing pihak terpuaskan. 

Sementara  itu di  luar ketiga  jenis kegiatan di atas, dalam sebuah destinasi biasanya banyak kegiatan‐kegiatan  ekonomi  lain  yang  terkait  dengan  kegiatan  pariwisata,  seperti  toko  suvenir,  penyewaan peralatan,  jasa  foto  dan  sebagainya  (lihat  Lampiran  1).  Kegiatan‐kegiatan  ini  dikategorikan  sebagai kegiatan ekonomi pendukung pariwisata. Dengan  kata  lain  kegiatan  ini  terkait  secara  tidak  langsung 

Page 11: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   31

dengan kegiatan pariwisata, dimana  jika  tidak ada kegiatan ekonomi pendukung  ini, pariwisata  tetap bisa berjalan, sepanjang ketiga pilar kegiatan ekonomi utamanya tersedia. 

Dalam konteks Pangandaran, kegiatan ekonomi utama dan kegiatan ekonomi pendukung yang terkait dengan pariwisata cukup banyak (Lampiran 1) dan hubungan di antara kegiatan tersebut cukup rumit.  Jumlah hotel di Pangandaran    terbilang   banyak yaitu sebanyak 129 hotel yang 3 di antaranya masuk kategori hotel berbintang dengan 102 kamar dan sisanya kategori hotel melati dengan  jumlah kamar sebanyak 3.319 kamar.  Jika dilihat dari  jumlah hunian yang  tersedia, dan melihat  fluktuasi kunjungan wisatawan ke Pangandaran yang hanya dipadati pada musim  libur panjang, maka kamar‐kamar hotel tersebut hanya  terisi  sekitar 4  kali dalam  satu  tahun  selama  4  sampai  6 hari.  Sementara  selebihnya banyak  kamar  kosong  pada  hari‐hari  biasa.  Fenomena  yang  kemudian  terlihat  adalah melonjaknya harga kamar pada  saat musim  libur panjang hingga mencapai 300  sampai 400%.  Jika dilihat dari  sisi ekonomi,  kenaikan  harga  yang  mencapai  400%  untuk  jangka  waktu  6  hari,  hampir  menyamai pendapatan hotel  selama  sebulan pada musim  rendah  atau pada beberapa  kasus bahkan  sama dan melebihi.  Jika  dilihat  dari  jumlah  kamar  yang  tersedia, maka peluang  kerja  bisa  diprediksikan  cukup besar, terlebih lagi pada musim‐musim libur panjang karena para pengelola biasanya membuka peluang kerja musiman  untuk menambah  jumlah  pekerja.  Profesi masyarakat  Pangandaran  yang  bekerja  di hotel mulai dari tukang kebun, pelayan restoran, pelayan kebersihan kamar, hingga pelayan di kantor depan.  Sedangkan  hasil  survei  pada  pemilik  restoran  menyatakan  bahwa  mereka  adalah  pemilik restoran  sekaligus  pekerja  dan  20,6%  di  antaranya  mempekerjakan  2  orang  masyarakat  sebagai pelayan. 

Kegiatan  ekonomi  utama  lain  yang  terkait  pariwisata  adalah  pemanduan.  Para  pemandu  resmi tergabung dalam Himpunan Pramuwisata  Indonesia  (HPI)  cabang Kabupaten Ciamis. HPI memiliki 62 anggota yang terdaftar sebagai pemandu di dalam maupun luar kawasan Pangandaran. Para pemandu ini  bekerja  lepas  dengan  menawarkan  paket‐paket  wisata  yang  mereka  kelola  kepada  wisatawan mancanegara yang datang ke Pangandaran. Selain  itu pemandu‐pemandu  ini memiliki hubungan  juga dengan  biro  perjalanan  di  kota‐kota  besar  seperti  Bandung,  Jakarta,  Yogyakarta  dan  Bali.  Pemandu 

Gambar 3.13  Berbagai Kegiatan Ekonomi terkait Pariwisata (searah jarum jam) : penyewaan ATV, delman, pedagang cindera mata kerang, penyewaan jaket pelampung, penyewaan ban renang dan becak 

        

          Sumber: LWG, 2008 

Page 12: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   32

lebih banyak melayani wisatawan mancanegara dan umumnya hanya bekerja pada musim wisatawan mancanegara  datang  yaitu  periode  bulan  Juni,  Juli,  Agustus  dan  September.  Dalam  bulan‐bulan  ini seorang pemandu bisa bekerja selama 14 sampai 20 hari dalam sebulannya, dengan penghasilan rata‐rata  per  hari  sekitar  Rp.  150.000,‐  hingga  Rp.  200.000,‐  dari  harga  paket  wisata  satu  hari  yang ditawarkan seharga Rp.150.000,‐ per orang dan minimal 5 orang wisatawan. Di  luar bulan‐bulan sibuk para  pemandu  bekerja  lepas  baik  di  bidang  pariwisata  mapun  di  luar  bidang  pariwisata  seperti pertanian, perikanan dan sebagainya. 

Sedangkan  biro  perjalanan  umum  di  Pangandaran  belum  berkembang  dan  hingga  saat  ini  hanya terdapat enam kios operator yang diprakarsai pemandu untuk menjual paket‐paket yang ditawarkan. Baru terdapat dua biro perjalanan dengan status  legal. Kegiatan biro perjalanan di antaranya menjual paket wisata, menyediakan sewa kendaraan, dan menjadi agen kendaraan antar kota. Kegiatan utama ini  masih  perlu  dibina  dan  dikembangkan  untuk  mempercepat  perkembangan  pariwisata  di Pangandaran. 

Pada  umumnya  masyarakat  Pangandaran  dan  sekitar  Pangandaran  banyak  terlibat  pada  kegiatan ekonomi pendukung pariwisata. Kegiatan ekonomi masyarakat yang  langsung terkait dengan kegiatan ekonomi pendukung pariwisata meliputi warung makan dan minum,  toko atau warung  cinderamata, penjaja keliling (makanan dan cinderamata), dan berbagai jasa (penyewaan alat transport, penyewaan papan boogie dan ban, pijat,  foto, tato, dsb). Jumlah yang terlibat dalam semua kegiatan ekonomi  ini mencapai  ribuan orang dan meningkat pada  saat musim  liburan panjang. Konflik pedagang biasanya muncul pada  saat musim  libur panjang,  terutama untuk memperebutkan  ruang berdagang. Biasanya banyak masyarakat dari kabupaten  tetangga dan kota  terdekat yang datang khusus untuk berdagang pada  saat  musim  libur  panjang.  Lemahnya  aturan  dan  pengelolaan  yang  ditujukan  kepada  para pedagang kaki lima, menyebabkan ketidaknyamanan kawasan pariwisata dan memberikan citra buruk, sehingga berpengaruh pada tingkat kunjungan. 

Gambar 3.14  Berbagai Kegiatan Ekonomi Berbasis Industri Rumah 

        Gula Kelapa      Kerupuk           Ikan asin           Tahu Source: LWG, 2008 

Gambar 3.15  Berbagai Kegiatan Ekonomi yang Terkait Pariwisata : toilet, warung makan di pinggir pantai dan pedagang cindera mata pakaian 

     Sumber: LWG, 2008 

Page 13: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   33

Saat musim  liburan panjang  adalah  saat bisnis barang dan  jasa bisa mendapatkan  keuntungan  yang cukup baik. Berdasarkan survey di akhir minggu  (hari Jumat sampai Minggu), minimal bisnis makanan (kelas restoran kecil dan warung makan), cinderamata (baju, ornamen kerang), dan penyewaan sepeda, bisa memperoleh  pendapatan  Rp  100.000,‐  sampai  Rp  500.000.  Beberapa  restoran  besar  dan  toko cinderamata besar bisa memperoleh omset sekitar Rp 900 ribuan sampai diatas Rp 1.000.000,. Namun disisi lain, ketika hari‐hari biasa (hari Senin sampai Kamis, di saat bukan liburan sekolah, Hari Raya, Natal dan  Tahun  Baru),  pendapatan  dari  hampir  semua  kegiatan  usaha  di  Pangandaran,  kecuali  bisnis makanan  (restoran  maupun  warung)  bisa  dikatakan  buruk.  Lebih  dari  50%  responden  yang diwawancara mengatakan mereka hanya   memperoleh pendapatan di bawah Rp100.000,‐. Sedangkan untuk  bisnis makanan,  usaha  ini  tetap memperoleh  penghasilan  di  atas  rata‐rata  kegiatan  lainnya, meskipun tidak terlalu menyolok. Fakta ini menunjukkan bahwa bisnis makanan merupakan pendukung pariwisata,  karena  jika  pada  musim  sepi  wisatawan  pun,    tetap  memperoleh    pendapatan  dari kunjungan penduduk lokal. 

Di  samping  mata  pencaharian  yang  berkaitan  langsung  dengan  pariwisata,  kelompok  nelayan  dan petani adalah kelompok yang mata pencahariannya  tidak  tergantung  sepenuhnya dengan pariwisata. Meskipun tidak terkait dengan pariwisata keduanya merupakan mata pencaharian penting  di kawasan studi,  terutama  karena mereka,  khususnya  nelayan,  adalah  pemasok  bahan makanan  untuk    rumah makan  dan  hotel.  Rata‐rata  pendapatan  nelayan  tiap  harinya  cukup  beragam  yaitu  berkisar  antara Rp100.000 sampai Rp800.000,‐, atau yang paling buruk adalah ketika mereka tidak mendapat apapun dari  laut karena  cuaca buruk dan  tidak dapat berlayar menangkap  ikan. Sementara untuk pertanian, kaitan dengan pariwisata  sampai  saat  ini  sangat  terbatas pada adanya minat untuk melihat kegiatan pembuatan gula kelapa saja. Pasokan bahan makanan dari bidang pertanian  (sayur dan bahan pokok) untuk pariwisata di Pangandaran berasal dari daerah luar Pangandaran.  

3.2.2 Ketergantungan Kegiatan Ekonomi Lokal terhadap Pariwisata 

Data Produk Domestik Regional Bruto  (PDRB) dua  kecamatan di dalam  kawasan  studi  yang disajikan pada sub bab 2.4.2, memperlihatkan bahwa pertumbuhan sektor pariwisata  ‐perdagangan, hotel dan restoran‐  menempati  urutan  pertama  sebagai  penyumbang  perekonomian  lokal  di  Kecamatan Pangandaran (42,3%) disusul pertanian (23,3%). Sedangkan di Kecamatan Sidamulih, menempati urutan kedua  (27,4%)  setelah  pertanian  (37,5%).  Data  tersebut  menunjukkan  bahwa  pariwisata  berperan sangat  penting  di  dalam  perekonomian  lokal.  Sebelum  tsunami  sekitar  1.800  orang  yang  bekerja  di usaha akomodasi, sangat bergantung pendapatannya dari sektor  ini. Setelah  terjadi  tsunami di  tahun 2006,  jumlah  kunjungan wisatawan  ke  Pangandaran menurun  drastis  (hampir mencapai  50%)    yang mengakibatkan  berkurangnya  pendapatan  masyarakat  yang  kehilangan  pekerjaan  di  usaha  utama pariwisata seperti akomodasi (hotel dan restoran), pemandu, dan biro perjalanan umum. 

Kegiatan  usaha  yang  terkait  langsung  dengan  pariwisata  secara  otomatis  akan  terpengaruh  secara langsung oleh penurunan  jumlah pengunjung. Beberapa kegiatan ekonomi pendukung pariwisata  juga sangat  tergantung.  Di  luar  kegiatan‐kegiatan  yang  disebutkan,  sebenarnya  terlihat  hubungan  yang saling menguntungkan antara pariwisata dengan masyarakat yang kegiatan kesehariannya tidak terkait langsung  dengan  bidang  pariwisata. Misalnya  kegiatan  pertanian  di  desa‐desa  di wilayah  studi  yang bertumpu  pada  perkebunan  kelapa  sebagai  komoditas  unggulannya.  Pertanian  pangan  seperti  padi atau  jagung  serta hortikultura  seperti  sayur mayur,  terbatas  jumlahnya dan hanya untuk  kebutuhan lokal  dan  rumah  tangga.  Namun  di  saat‐saat  tertentu  ketika  sektor  pertanian  mengalami  kendala 

Page 14: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   34

penurunan  harga,  masyarakat  petani  melihat  kegiatan  di  sektor  pariwisata  sebagai  alternatif pendapatan lain, baik itu sebagai pengayuh becak, menjaja makanan dan lain sebagainya.  

Sementara pada industri gula merah,  hampir seluruh penduduk di 5 desa wilayah studi ini, ikut dalam tata  produksi  dan  distribusi  kelapa,  baik  sebagai  pemilik  kebun,  penyewa  pohon  kelapa,  penderes (penyadap  air  bunga  kelapa),  dan  sebagian  besar  terlibat  dalam  pembuatan  gula  kelapa.  Beberapa tempat pembuatan gula kelapa yang  letaknya di desa‐desa  (di  rumah penduduk)  juga dapat menjadi atraksi wisata  tersendiri  khususnya  untuk wisatawan mancanegara.  Pengemasan  paket‐paket wisata desa yang melibatkan unsur demonstrasi pembuatan gula kelapa ini adalah potensi yang kerap disebut‐sebut untuk dikembangkan dengan lebih baik.  

Seperti halnya petani, nelayan  juga tidak terpengaruh  langsung  jika pariwisata mengalami penurunan, tetapi mereka melihat  pariwisata  sebagai  salah  satu  alternatif  pendapatan.  Ketika  cuaca  buruk  dan mereka tidak melaut, maka mereka memasuki bidang‐bidang yang terkait  langsung dengan pariwisata seperti menjadi pemandu wisata, mengoperasikan perahu pesiar, menjadi supir ojeg atau becak, dan sebagainya.  Para  istri  dan  kerabat  juga  umumnya  berjualan  ikan  asin  atau  cinderamata.  Hal  ini menunjukkan pariwisata memberikan dampak positif dalam hal tambahan pendapatan alternatif bagi keluarga. 

Namun, nelayan  akan  terpengaruh  secara  tidak  langsung,  apabila  kegiatan pariwisata  tidak  terkelola dengan baik. Contohnya:  limbah hotel yang dibuang  langsung ke  laut akan mempengaruhi kualitas air laut yang berpengaruh kepada kecepatan tumbuh terumbu karang dan berdampak pada berkurangnya jumlah  ikan.  Oleh  karenanya,  hubungan  kedua  sektor  ini  di  Pangandaran  cukup  kuat  dan  saling mempengaruhi.  

Beberapa kegiatan ekonomi masyarakat yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas sumber daya laut,  seperti  mengambil  biota  laut  dan  jenis‐jenis  kerang  untuk  cinderamata,  juga  terjadi  karena tumbuhnya    pariwisata.    Masyarakat  melihat  peluang  untuk  menghasilkan  tambahan  pendapatan. 

Gambar 3.16 Pengemasan Paket Wisata Desa yang Melibatkan Industri Rumahan :  gula kelapa, pengupasan kelapa, dan pandai besi 

       Sumber: INDECON, 2008 

Gambar 3.17 Pengumpul Kerang, Bagang dan Bakul Ikan

                           Sumber: INDECON, 2008 

Page 15: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   35

Kegiatan lain seperti penangkapan ikan hias dan penangkapan ikan dengan bagang  tidak terkait dengan sektor pariwisata, tetapi berpengaruh pada sektor pariwisata karena menurunkan kualitas sumber daya alam laut Pangandaran. 

Fenomena lain adalah pentingnya peran dan posisi bakul ikan dalam rantai distribusi produk perikanan. Posisi mereka  jugalah  yang mungkin  perlu  diperhatikan  jika  pengembangan  pengelolaan  pariwisata yang bertanggung jawab  ingin diwujudkan. Bakul ikan, atau perantara (middle man), berperan sebagai pembeli, penampung, sekaligus penjual ikan, dari nelayan kepada pembeli. Sedangkan pelelangan ikan milik pemerintah di Pangandaran tidak tampak berperan sehingga nyaris sepenuhnya tergantikan oleh para bakul  ini yang mengembangkan mekanisme pasarnya sendiri. Di sisi  lain, selain berperan sebagai penampung  ikan dari nelayan, bakul  juga bisa berperan  sebagai  ‘patron’ untuk nelayan‐nelayan yang membutuhkan bantuan  finansial, baik untuk modal atau pinjaman  lain. Dengan demikian peran bakul menjadi penting karena tidak semata‐mata terbatas pada hubungan jual beli ikan, tetapi juga mencakup hubungan‐hubungan ekonomi  lain yang bisa personal sifatnya. Peran seperti  ini sangat penting dalam masyarakat, sehingga perlu dikelola lebih lanjut. 

3.3.  Kondisi Sosial Budaya 

3.3.1  Etnisitas dan kelompok sosial 

Komposisi penduduk Pangandaran berdasarkan  latar belakang etnik atau suku cukup beragam, namun secara kuantitatif  Jawa dan Sunda merupakan kelompok etnik dominan yang ada di Pangandaran. Di Pangandaran  juga  ada  penduduk  yang  berasal  dari  etnik  lain,  seperti  Padang,  Batak,  atau  warga Indonesia  keturunan  Tionghoa.  Mereka  rata‐rata  datang  dan  menetap  di  Pangandaran  karena pekerjaan  atau  menikah  dengan  penduduk  setempat.  Ada  di  antara  mereka  yang  telah  tinggal  di Pangandaran sekitar sepuluh tahun atau lebih.   

Sepanjang studi  ini dilakukan, belum ditemukan bukti‐bukti kuat  tentang kelompok  sosial mana yang sesungguhnya  disebut  sebagai  penduduk  asli  (indigeneus  people)  Pangandaran,  apalagi  jika dikategorikan berdasarkan etnik. Walaupun Pangandaran adalah bagian dari propinsi Jawa Barat yang mayoritas  penduduknya  memiliki  kebudayaan  Sunda,  namun  posisi  geografis  Pangandaran  yang berbatasan  langsung  dengan  propinsi  Jawa  Tengah  yang  memiliki  kebudayaan  Jawa,  ikut mempengaruhi  bentuk  hubungan  antara  budaya  Jawa  dengan  Sunda  dalam  kehidupan  sosial masyarakat Pangandaran sejak dahulu hingga sekarang. Makam Mbah Bungkus yang dianggap sebagai pendiri Desa Wonoharjo misalnya, desa yang mayoritas penduduknya adalah suku Jawa, diyakini telah ada sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda.   

Beberapa  narasumber  dalam  studi  ini  menduga  orang  Jawa  dan  orang  Sunda  telah  ada  sejak pemerintah  kolonial Belanda masuk  ke wilayah Pananjung  (Pangandaran)  antara  akhir  abad 19  atau awal abad ke 20. Dengan demikian, anggapan bahwa orang Jawa sebagai pendatang dan orang Sunda sebagai penduduk asli hanya karena Pangandaran berada di propinsi Jawa Barat mungkin perlu diteliti kembali  mengingat  kedua  kelompok  etnis  ini  telah  hidup  berdampingan  jauh  sebelum  batas administratif propinsi dibentuk oleh pemerintah  Indonesia. Baik orang  Jawa maupun Sunda telah  ikut menentukan  perjalanan  sejarah  dan membangun  bentuk  kehidupan  sosial  Pangandaran  (Pananjung) dan  sekitarnya  hingga  sekarang.  Beberapa  orang  yang  dianggap  sebagai  tokoh  masyarakat  di Pangandaran bahkan memiliki garis keturuanan campuran antara Jawa dan Sunda.  

Page 16: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   36

Penggunaan bahasa merupakan salah satu aspek yang memperlihatkan sejauh mana hubungan kultural antara kelompok etnik di Pangandaran terjadi. Sebuah studi oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,  Departemen  Pendidikan  dan  kebudayaan,  tentang  geografi  dialek  bahasa  Sunda  di wilayah kabupaten  Ciamis,  mengelompokkan  wilayah  Pananjung,  Putrapinggan,  Kalipucang  dan  sekitarnya sebagai  daerah‐daerah  bilingual  bahasa  Sunda‐Jawa.  Disimpulkan  pula  bahwa  daerah  seperti Kalipucang,  Panyutran,  Pesawahan,  Putrapinggan,  Pananjung  dan  Sidamulih  ditemukan  bahasa  yang identitasnya belum diketahui, tetapi bahasa tersebut diduga berbeda dengan bahasa Sunda atau Jawa. Bahasa tersebut menurut penuturnya sedang dalam proses menuju kepunahan karena semakin jarang digunakan (1979: 70‐71).  

Hasil  studi  tentang  bahasa  Sunda  di  Pangandaran  oleh  T.  Fatimah  Djajasudarma,  dkk.  (1994)  juga menemukan  gejala  lintas  bahasa  sebagaimana  disebutkan  di  atas.  Studi  ini  menyimpulkan  bahwa akulturasi dari segi bahasa di Pangandaran merupakan salah satu hal yang wajar terjadi pada sebuah kawasan wisata.   Bahasa  campuran mulai  tercipta karena penutur asli bahasa Sunda di Pangandaran berperan sebagai penerima atau  resipien dari penutur bahasa non‐Sunda, dalam hal  ini adalah  Jawa, Indonesia, dan Inggris. Akan tetapi, akulturasi tersebut terjadi masih pada tahap ragam lisan (Fatimah, dkk. 1994: 128‐129).   

Dalam  masyarakat  Pangandaran,  bahasa  Jawa  dan  Sunda  memang  dapat  dipahami  dan  secara bergantian digunakan sebagai alat komunikasi, baik oleh penduduk dalam satu kelompok etnik maupun antara orang Jawa dengan Sunda. Beberapa penduduk Pangandaran yang mengaku sebagai orang Jawa misalnya, memahami pembicaraan dalam bahasa Sunda, demikian pula sebaliknya dengan mereka yang mengaku  sebagai  orang  Sunda.  Dalam  situasi  tertentu,  seperti  dalam  acara  pemerintahan  atau  di sekolah,  bahasa  Indonesia  digunakan  sebagai  bahasa  pengantar.  Sebagian  besar  penduduk Pangandaran memang mampu berkomunikasi dalam bahasa  Indonesia  terutama dengan orang‐orang luar, seperti pada para wisatawan nusantara.  

Meski  orang‐orang  Sunda  dan  Jawa  telah  hidup  berdampingan  di  Pangandaran  sepanjang  beberapa generasi,  namun mereka masih mengacu  pada  akar  budaya  etnik masing‐masing.  Salah  satu  faktor mengapa  budaya  Jawa  dan  Sunda  tetap  bertahan  adalah  karena  beberapa  permukiman mayoritas dihuni oleh satu kelompok etnis, misalnya di Wonoharjo, Sukoharjo, Sidamulih atau Babakan. Kantong‐kantong  (enclave) pemukiman seperti  ini cenderung mempertahankan tradisi‐tradisi kelompok karena adanya  kesamaan budaya. Penduduk di desa Wonoharjo  yang mayoritas  suku  Jawa misalnya, masih mempertahankan beberapa bentuk kesenian tradisional Jawa seperti: wayang kulit, ruwat bumi, serta seni pertunjukan ketoprak. Bahasa yang mereka gunakan sehari‐hari pun adalah bahasa Jawa.  

3.3.2. Pola Pemukiman   

Proyek  ini  mencakup  lima  desa  sebagai  satuan  administratif  pemukiman  penduduk.    Berdasarkan Undang  Undang  No.  32  tahun  2002  tentang  Pemerintahan  Daerah,  di  setiap  desa  terdapat pemerintahan  desa  yang  terdiri  dari  Pemerintah  Desa  dan  Badan  Permusyawaratan  Desa  (BPD). Pemerintah  Desa  terdiri  dari  Kepala  Desa,  atau  disebut  pula  dengan  istilah  kuwu,  yang  dipilih  dan diangkat secara langsung oleh masyarakat. Sedangkan BPD adalah semacam dewan perwakilan tingkat desa  yang para  anggotanya  juga dipilih  secara musyawarah oleh para  tokoh‐tokoh desa.  Fungsi dan peran  BPD  adalah mengawasi  jalannya  pemerintahan  desa, menyalurkan  aspirasi masyarakat  desa, serta membuat peraturan desa (Perdes) bersama dengan Kepala Desa.   

Page 17: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   37

Gambar 3.18 Lahan Pertanian dan Perumahan di Desa 

    Sumber: INDECON, 2008 

Gambar 3.19 Rumah‐rumah di Pangandaran

          Sumber: INDECON, 2008 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selain dikelompokkan ke dalam satuan administratif desa, permukiman penduduk di Pangandaran juga dapat dikelompokkan berdasarkan dusun‐dusun yang masing‐masing   memiliki  seorang kepala dusun atau  kampung. Keberadaan  kepala dusun  ini  juga diakui di dalam UU Pemerintahan Daerah  sebagai pembantu teritorial bagi kepala desa. Kapasitas dan kewenangan pemerintahan desa ini sesungguhnya sangat  potensial  dalam  pengelolaan  kawasan  wisata  Pangandaran,  namun  hingga  kini  keterlibatan pemerintahan desa dalam menangani persoalan pariwisata Pangandaran masih sangat rendah.  

Bentang  permukiman  penduduk  Pangandaran kebanyakan  terkonsentrasi  pada  lokasi‐lokasi tertentu  yang  terpisah  dari    lahan‐lahan  pertanian mereka.  Rumah‐rumah  penduduk  biasanya berkelompok  pada  satu  area  yang  menjadi  pusat kegiatan  sosial  mereka.  Di  pemukiman  inilah hubungan‐hubungan  sosial  terjadi  di  antara penduduk yang  rata‐rata masih memiliki hubungan kekerabatan  satu  sama  lain.  Tiap  rumah  biasanya memiliki  satu  atau  beberapa  petak  tanah pekarangan  yang  ditanami  berbagai  jenis  tanaman seperti  kelapa,  buah‐buahan,  tanaman  obat,  atau tanaman  hias.  Rumah‐rumah  mereka  cenderung dibangun di sisi‐sisi sepanjang jalan desa.  

Hal  yang  agak  berbeda mungkin  terlihat  di Desa  Pangandaran,  juga  sebagian Desa  Pananjung,  yang wilayahnya menjadi pusat kegiatan pariwisata. Di desa  ini, pemukiman penduduk  lebih padat dengan luas tanah pekarangan yang jauh  lebih sempit di banding desa  lain yang agak jauh dari pusat kegiatan pariwisata.  Salah  satu penyebabnya  adalah  sebagian pekarangan mereka  telah dibangun  akomodasi, kios, rumah makan atau warung. Beberapa penduduk bahkan telah menjual tanah‐tanah mereka pada pengusaha atau orang luar yang kini memiliki usaha akomodasi atau rumah makan. Oleh karenanya, di sela‐sela penginapan dan rumah makan, terdapat rumah‐rumah penduduk yang tampak berhimpitan.  

3.3.3 Tradisi Lokal dan Warisan Budaya  

Studi  ini mendefinisikan  tradisi  sebagai  segala  kebiasaan, norma‐norma  sosial maupun perilaku  yang berlaku  secara  kolektif  (kelompok) dan  telah dipraktekkan dalam waktu  yang  lama. Warisan budaya juga merupakan  salah  satu bentuk dari  tradisi  yang dipertahankan. Beberapa  tradisi di Pangandaran 

Page 18: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   38

masih  terus  dipertahankan  secara  utuh  sementara  yang  lainnya  mengalami  perubahan  dan penyesuaian. Beberapa  tradisi  juga  ada  yang  tak  lagi dipraktekkan  atau hanya menjadi pengetahuan bersama  pada  masyarakat  Pangandaran.  Sepanjang  studi  ini  dilakukan,  ada  beberapa  tradisi  atau warisan  budaya  yang  berhasil  diidentifikasi.  Tradisi‐tradisi  tersebut  dibagi  ke  dalam  beberapa  tema, yaitu: 

Solidaritas Sosial dan Pengorganisasian Masyarakat,  

Tradisi‐tradisi dalam kelompok ini adalah yang terkait dengan sistem pengorganisasian masyarakat yang mengikat  seseorang  untuk  bertindak  atau  berperilaku  sesuai  kelompok.  Salah  satu  tradisi  yang dimaksud dalam kelompok ini adalah ‘gotong royong’. 

Komunitas  etnik  Jawa  di  Pangandaran  menyebut  gotong  royong  dengan  istilah  sambatan.  Gotong royong di Pangandaran pada dasarnya merupakan mekanisme pengerahan sekelompok  individu untuk bekerja sama secara  tidak permanen di dalam berbagai kegiatan untuk mencapai  tujuan‐tujuan yang bersifat situasional. Kegiatan gotong royong dapat dilakukan untuk kepentingan bersama dalam lingkup desa,  dusun,  atau  kelompok  rumah  tangga,  misalnya:  kerja  bakti  membersihkan  lingkungan pemukiman, membangun  rumah, memperbaiki  sarana  sosial atau  rumah  ibadah, menjaga keamanan kampung  atau  ronda  malam,  atau  penyelenggaraan  acara‐acara  desa.  Gotong  royong  juga  dapat dilakukan  untuk  membantu  salah  seorang  warga  atau  keluarga  yang  membutuhkan  tenaga  kerja, misalnya: dalam persiapan upacara perkawinan, kematian, atau membangun rumah.   

Gotong royong di Pangandaran, seperti beberapa tempat lain di Indonesia, masih dilakukan terutama di desa‐desa  yang  ikatan  kekerabatan  di  antara  penduduknya masih  cukup  kuat.  Akan  tetapi,  gotong royong  sangat  tergantung  pula  pada  kemampuan  pemimpin  kelompok  atau  masyarakat  dalam mendorong setiap orang untuk terlibat atau  ikut serta. Umumnya, tak ada sanksi yang tegas terhadap individu yang  tidak berpartisipasi dalam gotong  royong,  kecuali  sanksi  sosial di mana orang  tersebut akan dipersepsikan sebagai kurang peduli pada kebutuhan kelompok.   

Bentuk  lain dari tradisi yang terkait dengan pengorganisasian masyarakat dan solidaritas sosial adalah lumbung desa. Beberapa nara sumber di masyarakat menyatakan bahwa dahulu di   beberapa desa di Pangandaran  dikenal  adanya  lumbung  desa,  yaitu mekanisme menghimpun  sebagian  kecil  dari  hasil panen padi yang diperoleh  tiap keluarga yang akan dikelola oleh desa atau kampung. Lumbung desa pada  dasarnya menyerupai  asuransi  atau  tabungan  kelompok.  Pada masa  lalu,  pemimpin  kampung akan membagikan  padi  yang  terkumpul  secara merata  pada  tiap  keluarga  pada  saat masa  paceklik sehingga kampung terhindar dari kekurangan pangan. 

Pada  saat  ini,  dapat  dikatakan  bahwa  lumbung  desa  sudah  tak  dapat  diterapkan  lagi.  Sebagian penyebabnya adalah karena jumlah penduduk desa yang terus meningkat sementara di satu sisi jumlah pemilik sawah semakin berkurang sehingga hasil panen tidak sebanding lagi dengan kebutuhan masing‐masing  keluarga  petani.  Selain  itu,  nilai  investasi  atau  ongkos  produksi  pengolahan  sawah  semakin meningkat dibanding hasil panen yang diperoleh petani sehingga nilai ekonominya dianggap semakin kecil dan sulit menyisihkan sebagian hasilnya untuk  lumbung desa. Meski demikian, secara  individual, masih ada beberapa keluarga petani yang memiliki lumbung padi. Lumbung padi atau disebut leuit ini, merupakan rumah kecil berbentuk panggung yang terbuat dari kayu dan dinding anyaman bambu.   

 

 

Page 19: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   39

Gambar 3.20 Hajat Bumi dan Hajat Laut

               Sumber: INDECON, 2008 

Ritual dan Sistem Keyakinan 

Tradisi‐tradisi yang termasuk dalam kelompok ini adalah berbagai kegiatan budaya yang terkait dengan sistem keyakinan penduduk tentang alam supranatural, baik agama,  legenda, atau mitologi. Beberapa bentuk  tradisi yang  teridentifikasi dalam  studi  ini antara  lain  ritual hajat  laut, hajat bumi, Rengganis, atau tradisi‐tradisi lokal yang menyertai perayaan keagamaan (Islam).   

Hajat  laut merupakan  salah  satu  tradisi  yang  telah dipraktekkan bertahun‐tahun oleh masyarakat di Pangandaran,  khususnya  para  nelayan.  Ritual  ini  dilaksanakan  setiap  tahun  pada  setiap  tanggal  1 Muharram  tahun  Hijriyah  atau  disebut  bulan  Suro.  Sesungguhnya,  bentuk  tradisi  semacam  ini  juga dikenal di beberapa komunitas lain di pulau Jawa seperti di Cilacap, Cirebon, atau Pelabuhan Ratu meski dengan  teknis  dan  detail  pelaksanaan  yang  berbeda‐beda.  Secara  historis,  hajat  laut  merupakan simbolisasi dari ungkapan para nelayan kepada penguasa laut (selatan), yang dalam sistem kebudayaan masyarakat  pesisir  Selatan  Jawa  dikenal  dengan  Nyi  Roro  Kidul,  yang  telah memberi  keselamatan sepanjang  tahun  dan  hasil  laut  yang  berlimpah  kepada  nelayan. Ungkapan  terima  kasih  diwujudkan dalam bentuk pengorbanan berupa pelepasan dongdang atau sesaji berisi beraneka jenis makanan dan kepala kerbau ke tengah laut oleh para nelayan. Ritual ini juga biasanya disertai dengan pesta nelayan berupa pagelaran berbagai jenis kesenian tradisional seperti calung, wayang, tari‐tarian dan mocopat. 

Pada masa sekarang, ritual hajat laut telah mengalami penyesuaian pada beberapa bagian, seperti jenis dongdang dan pembacaan doa. Perubahan tersebut tak lepas dari kritik kelompok agama (Islam) yang menilai  bagian  tertentu  dari  hajat  laut  cenderung musyrik  atau  bertentangan  dengan  ajaran  Islam, misalnya pelepasan kepala kerbau atau pembacaan mantra atau ungkapan yang ditujukan bagi Nyi Roro Kidul.  Saat sekarang, hajat laut tak hanya memasukkan unsur‐unsur ajaran Islam, namun telah menjadi atraksi  tahunan  bagi  wisatawan  di  Pangandaran.  Tak  hanya  kelompok  nelayan,  para  pengusaha pariwisata,  pemerintah  daerah,  sekolah‐sekolah,  atau  partai  politik  ikut  berpartisipasi  dalam penyelenggaraan hajat laut ini.   

Tak jauh berbeda dengan hajat laut, hajat bumi juga telah dilakukan di Pangandaran selama bertahun‐tahun,  khususnya  oleh  para  petani.  Jenis  ritual  ini  sesungguhnya  tidak  spesifik  dimiliki  oleh Pangandaran  karena  tradisi  serupa  juga  dapat ditemukan pada beberapa  komunitas petani di pulau Jawa, misalnya di Garut atau Tasikmalaya. Secara umum, hajat bumi merupakan penggabungan antara ritual pengorbanan dan ungkapan terima kasih yang diiringi dengan pesta sebagai wujud kegembiraan.  

Page 20: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   40

Hajat bumi merupakan upacara adat di desa‐desa yang mayoritas penduduknya adalah petani, sebagai ungkapan terima kasih pada penguasa bumi, dahulu dikenal dengan Dewi Sri,  yang telah memberikan kesuburan  tanah  dan  tanaman  sehingga  petani  memperoleh  panen  berlimpah.  Dahulu  ritual  ini diselenggarakan  secara  gotong  royong  di  antara  para  petani.  Dengan  gotong  royong,  beban penyelenggaraan hajat bumi menjadi lebih ringan karena ditanggung secara bersama. Pengorbanan dan ungkapan terima kasih diwujudkan dalam bentuk sesaji dan kidung atau nyanyian, sedangkan ungkapan kegembiraan  diwujudkan  dengan  penampilan  berbagai  bentuk  kesenian  tradisional  sebagai  hiburan, seperti rengkong, wayang, tari‐tarian dan mocopat.  

Sama  seperti  hajat  laut,  ritual  hajat  bumi  juga  dinilai mengandung  unsur‐unsur  yang  bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh karenanya, pada beberapa bagian juga mengalami perubahan dengan memasukkan ajaran Islam, misalnya pembacaan doa yang ditujukan kepada Allah SWT.  

Di beberapa desa, hajat bumi sudah tidak dilakukan lagi, kecuali atas keinginan pribadi dari petani. Hal ini  terjadi  terutama  karena  faktor‐faktor  ekonomi  pertanian  yang  dirasa  semakin  tidak  efisien  bagi petani.  Dalam  hal  tanaman  pertanian  sawah  misalnya,  ongkos  pengolahan  sawah  semakin  tinggi dibanding hasil padi yang diperoleh petani. Petani menganggap hasil yang mereka peroleh kini kurang memadai dibanding biaya yang harus mereka tanggung untuk penyelenggaraan hajat bumi, meskipun itu dilakukan secara gotong royong di tingkat desa. Untuk mengurangi biaya hajat bumi, seorang petani yang menyelenggarakan hajat bumi kadang mengganti hiburan dengan kesenian yang  lebih moderen dan  murah,  seperti  organ  tunggal  atau  jaipong  dangdut  (pongdut).  Dibanding  wayang  atau  tarian tradisional,  biaya  untuk menampilkan  organ  tunggal  atau  pongdut  dianggap  lebih murah  biayanya, namun jauh lebih meriah.  

Ritual Cirengganis adalah upacara adat mengenang legenda Dewi Rengganis yang dikenal dengan nama Siti Samboja. Ritual ini dilaksanakan setiap malam Jumat Kliwon menurut kalender Jawa. Lokasi upacara adalah Mata Air Cirengganis yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Pananjung‐Pangandaran. Pada malam Jumat Kliwon, sejak sore hari, biasanya telah berdatangan orang‐orang dari berbagai daerah di sekitar  Pangandaran  yang  meyakini  legenda  Dewi  Rengganis  ini.  Jumlah  mereka  bisa  mencapai sedikitnya  seratus  orang  yang  berkumpul  di  sekitar mata  air  dan  Gua  Cirengganis  untuk mengikuti setiap tahapan ritual yang biasanya dimulai menjelang tengah malam. Sebagian besar peserta ritual ini bertujuan untuk mandi atau membasuh muka di Mata Air Cirengganis. Mereka meyakini bahwa dengan mandi atau membasuh muka dengan air Cirengganis, mereka akan diberkahi awet muda atau beberapa keinginan mereka terkabulkan.  

Ritual  Cirengganis merupakan  tradisi  yang  cukup  kontroversial  di  Pangandaran.  Di  tengah  berbagai kritik  terhadap  penyelenggaraan  ritual  ini,  Dinas  Pariwisata  Kabupaten  Ciamis  pernah  mencoba mengembangkannya  sebagai  sebuah  atraksi  wisata.  Namun,    sedikitnya  ada  dua  faktor  yang  perlu dipertimbangkan sebelum  ritual tersebut dikembangkan sebagai atraksi wisata di masa depan. Faktor pertama  terkait dengan  aspek  legalitas  atas  lokasi penyelenggaraannya  yang berada dalam  kawasan cagar alam. Jika mengacu pada UU No.5 tahun 1990, maka ritual Cirengganis termasuk ke dalam bentuk kegiatan  yang  dilarang  dilakukan  pada  kawasan  cagar  alam  kecuali  kegiatan  ini mendukung  tujuan konservasi  sebagaimana  ditetapkan  dalam  undang‐undang  tersebut.  Pengembangan  Cirengganis sebagai  sebuah  atraksi  wisata  akan membawa  implikasi  pada  legalitas  pengelolaan  CA  Pananjung‐Pangandaran di mana pihak BKSDA dianggap melanggar undang‐undang yang berlaku. 

Page 21: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   41

Gambar 3.21 Botram di Pangandaran

              Sumber: INDECON, 2008 

Faktor kedua adalah munculnya kritik‐kritik yang menilai ritual Cirengganis bertentangan dengan ajaran agama  Islam.  Desakan  untuk  menghentikan  ritual  ini  juga  pernah  disampaikan  oleh  pihak  MUI setempat.  Akan  tetapi,  sejauh  ini  ritual  Cirengganis masih  tetap  berlangsung.  Pihak  penyelenggara tradisi  ini menilai bahwa  ritual Cirengganis  tidak  terkait dengan keyakinan agama apapun, melainkan hanya  kegiatan  budaya  karena  bertujuan  mempertahankan  tradisi  atau  adat  istiadat  yang  telah dilakukan sejak dahulu.   Dalam ritual  ini bahkan telah dilakukan pula pembacaan doa menurut ajaran agama  Islam. Pengembangan ritual Cirengganis sebagai atraksi wisata dalam hal  ini  juga kemungkinan hanya akan memperkuat desakan agar ritual ini dihapuskan di Pangandaran.  

Tradisi  keagamaan  juga  bisa  ditemukan  di  Pangandaran, terutama  yang  berhubungan  dengan  peristiwa‐peristiwa khusus  dalam  agama  Islam,  seperti  Hari  Raya  dan  puasa. Masyarakat Pangandaran memiliki tradisi botram, yaitu tradisi makan  bersama  dalam  lingkungan  tempat  tinggal  atau kampung pada acara‐acara tertentu. Tradisi ini juga dilakukan pada  saat  munggah  atau  beberapa  hari  menyambut  bulan puasa  Ramadhan.  Selain  botram,  keluarga‐keluarga  di Pangandaran juga biasa melakukan nyekar atau nyadran, yaitu berziarah  ke makam  kerabat mereka  yang  telah meninggal untuk  membaca  doa  bersama.  Tradisi  nyekar  ini  juga bertujuan  untuk  terus  mengenang  dan  menjalin  hubungan dengan  anggota  keluarga  yang  telah  meninggal  dunia. Permohonan  untuk  saling  memaafkan  merupakan  bagian yang  bertujuan  untuk  membersihkan  hati  setiap  orang sebelum menjalankan  ibadah puasa Ramadhan. Tradisi saling memaafkan  dan  saling  mengunjungi  kerabat  atau  tetangga juga dilakukan pada saat memasuki hari raya  Idul Fitri. Dalam suasana seperti  ini, tak ada tradisi yang spesifik  yang  hanya  dilakukan  oleh masyarakat  Pangandaran  karena  kegiatan  tersebut  umum  pula dilakukan oleh masyarakat lain di Jawa Barat.   

Mekanisme Pengendalian Sosial  

Tradisi‐tradisi  yang  terkait  dengan  mekanisme  pengendalian  sosial  merupakan  kebiasaan,  aturan, norma  ataupun hukum  lokal  yang diterapkan masyarakat Pangandaran untuk menjamin  keteraturan dan  integritas  sosial  dalam  kehidupan  bermasyarakat.  Sebagian  dari  bentuk‐bentuk  tradisi  dalam kelompok ini antara lain: sistem penyelesaian konflik serta tata krama dalam hubungan sosial.    

Penyelesaian konflik di Pangandaran cenderung dilakukan berdasarkan kesepakatan pihak‐pihak yang terlibat.  Pada  kasus  tertentu,  konflik  dapat  diselesaikan  secara  musyawarah,  yang  kadang  pula melibatkan tokoh masyarakat yang ditunjuk sebagai mediator atau hakim. Akan tetapi, pada situasi di mana musyawarah  tidak memberi  kepuasan  pada  pihak  yang  berkonflik,  penyelesaiannya  dilakukan berdasarkan  hukum  nasional  yang  melibatkan  pihak  kepolisian,  bahkan  hingga  mencapai  proses pengadilan.   

Budaya  Sunda  atau  Jawa  juga  berpengaruh  terhadap  bentuk‐bentuk  hubungan  sosial masyarakat  di Pangandaran, misalnya  dalam perkawinan maupun pembagian warisan. Baik  budaya  Sunda maupun Jawa menganut sistem kekerabatan bilineal, yaitu seorang  individu meletakkan garis kekerabatan dari 

Page 22: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   42

pihak ayah maupun ibu secara setara.  Sistem kekerabatan seperti ini menyebabkan kewajiban dan hak yang sama bagi kerabat‐kerabat pihak ayah maupun ibu dalam berbagai kegiatan keluarga.  

Tata  krama  dalam  pergaulan  atau  hubungan  sosial  antar  individu  juga  masih  bertahan  di  tengah masyarakat  Pangandaran.  Dalam  komunikasi  verbal  misalnya,  baik  etnik  Jawa  maupun  Sunda  di Pangandaran mengenal  stratifikasi  bahasa  yang  penggunaannya  bergantung  pada  situasi  komunikasi serta status sosial  lawan bicara. Stratifikasi bahasa  ini terutama sangat terkait dengan nilai‐nilai sopan santun  yang  terlihat  pada  perilaku masyarakat  dalam  kehidupan  sehari‐hari.  Penggunaan  kosa  kata tertentu  dalam  komunikasi  akan  menunjukkan  seberapa  jauh  perilaku  seseorang  dianggap  sesuai dengan tata krama atau sopan santun yang berlaku di masyarakat Pangandaran. Tata krama seperti itu juga  dapat  terwujud  dari  penyebutan  kata  sandang  atau  predikat  oleh  seseorang  terhadap  lawan bicaranya,  tergantung hubungan  sosial mereka, misalnya: perbedaan usia,  status dalam kekerabatan, atau atasan‐bawahan, dan sebagainya. 

Ekspresi Estetik dan Kesenangan 

Bentuk‐bentuk  tradisi  yang  terkait  dengan  ekspresi  estetika  dan  kesenangan  yang  dikenal  oleh masyarakat Pangandaran  secara umum  terbagi menjadi  tiga, yaitu kesenian, permainan  rakyat,  serta tradisi kuliner (tata boga). Permainan rakyat adalah jenis‐jenis permainan tradisional yang dipraktekkan sebagai  kegiatan  untuk  mengisi  waktu  luang.  Khusus  kesenian,  studi  ini  telah  mengelompokkan beberapa bentuk kesenian ke dalam kategori seni tari, musik, seni kriya atau kerajinan, serta seni drama atau teater, termasuk di dalamnya wayang golek dan wayang kulit (lihat Lampiran 2).  

Jenis‐jenis  kesenian  yang  ada di Pangandaran  sangat dipengaruhi oleh  kebudayaan  Jawa dan  Sunda. Adanya dua bentuk budaya kesenian dalam satu lokasi ini memberi keunikan sendiri bagi Pangandaran. Jenis‐jenis  kesenian  tersebut  umumnya  bertahan dan masih  ditampilkan  lewat  keberadaan  berbagai sanggar  atau  kelompok  seni di desa‐desa. Ada  kalanya, dalam  satu desa dapat ditemui  sanggar  seni Jawa maupun Sunda. Studi  ini sedikitnya berhasil menghimpun  informasi dari 10 kelompok seni atau sanggar di lima desa (lihat Lampiran 3). 

 

Gambar 3.22 Musik Tradisional : Calung, Gamelan dan Kentongan 

        Sumber: INDECON, 2008 

Page 23: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   43

Beberapa  jenis  kesenian  tradisional  di  Pangandaran  merupakan  bagian  yang  menyatu  dengan penyelenggaraan ritual‐ritual tertentu, seperti hajat bumi dan hajat  laut. Ketika dua ritual  ini semakin jarang  dilakukan,  atau  telah mengalami  banyak  perubahan, maka  jenis‐jenis  kesenian  yang  ada  di dalamnya  pun  semakin  berkurang  kesempatannya  untuk  ditampilkan,  misalnya  tarian  ronggeng gunung, wayang, atau rengkong. 

Perubahan  selera  dan  berkurangnya  ketertarikan  masyarakat  Pangandaran  secara  umum  juga  ikut mempengaruhi  tingkat  penerimaan  mereka  terhadap  kesenian  tradisional  di  Pangandaran.  Hal  ini secara  langsung  tentu  berpengaruh  pada  keberadaan  sanggar  atau  kelompok  seni  yang  selama  ini menjadi  pelaku  kunci  dari  pelestarian  kesenian  tradisional  di  Pangandaran.  Pada  masa  sekarang semakin  banyak  penduduk  Pangandaran  yang  menyukai  jenis  kesenian  moderen  sebagai  bentuk hiburan  dalam  berbagai  perayaan  atau  pesta,  misalnya  jaipong  dangdut  (pongdut)  maupun  organ tunggal.  Survey  sosial oleh  LWG  terhadap 313 penduduk di  lima desa menunjukkan bahwa pongdut atau dangdut moderen adalah hiburan yang paling disukai dalam pesta‐pesta di desa.   

Beberapa penduduk yang ditemui dalam studi  ini  juga memberi alasan mengapa pongdut atau organ tunggal  (dangdut)  lebih  disukai  dan makin  sering ditampilkan  dalam  pesta‐pesta  di  desa.  Salah  satu alasannya  adalah  karena  biaya  yang  dibutuhkan  untuk menampilkan  satu  kelompok musik  pongdut masih  jauh  lebih murah dibandingkan memanggil kelompok  tari  ronggeng gunung atau wayang. Satu kelompok  pongdut  dapat  dibayar  dengan  tarif  berkisar  antara  Rp.  1.000.000  –Rp.  2.000.000  untuk penampilan sepanjang malam. Sedangkan wayang golek atau wayang kulit bisa mencapai Rp. 4.000.000 hingga  Rp.  5.000.000  karena  kesenian  ini membutuhkan  jumlah  pemain  yang  lebih  banyak.  Alasan lainnya  adalah  karena  perubahan  selera  penduduk  terhadap  jenis  kesenian  atau  hiburan  tertentu. Minat yang bergeser  ini tentu saja berdampak pada seberapa banyak penonton yang akan menghadiri suatu  pertunjukan.  Semakin  sedikit  penonton,  semakin  kurang  meriah  acara  pesta  yang diselenggarakan.  Oleh  karenanya,  kebanyakan  penyelenggara  pesta  lebih  memilih  menampilkan dangdut  moderen  karena  dianggap  lebih  meriah  dan  murah  biayanya.  Kondisi  seperti  ini  secara bertahap tentu akan menyebabkan kesenian tradisional di Pangandaran memudar.  

Tabel 3.1 Jenis Hiburan di PangandaranJenis hiburan yang disukai penduduk  % 

Dangdut moderen (pongdut) 46.3%Ronggeng gunung 17.6%Wayang Golek 16.3%Wayang Kulit  13.7%

                   Sumber:  

Gambar 3.23 Tarian Tradisional : Ronggeng, Tari Topeng Kelana dan Tari Merak 

               Sumber: INDECON, 2008 

Page 24: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   44

Bulan Januari 2009, dalam acara sarasehan yang dihadiri  lebih dari dua puluh pelaku seni dan budaya Pangandaran  terungkap bahwa kelesuan pertunjukan  seni budaya di Pangandaran  juga  terjadi akibat kurangnya  perhatian  pemerintah  daerah  (Dinas  Kebudayaan  dan  Pariwisata  Kabupaten  Ciamis) terhadap pengembangan sanggar‐sanggar seni budaya yang ada di beberapa desa. Para seniman dan budayawan  juga menganggap beberapa prasarana dan  sarana pertunjukan  seni budaya  telah beralih fungsi,  misalnya  pasar  wisata  dan  gedung  kesenian.  Khusus  gedung  kesenian,  para  seniman  dan budayawan juga mempertanyakan status bangunan tersebut karena sempat dikontrakkan pada individu untuk menjadi diskotik. Padahal pada tahun 80‐an telah banyak pertunjukan seni dan budaya lokal yang ditampilkan di gedung tersebut sebagai tontonan bagi wisatawan. Sejak gedung tersebut beralih fungsi, para seniman merasa tak lagi memiliki ruang untuk tampil dan berkumpul.  

Selain  kesenian  tradisional,  studi  ini  juga  telah menghimpun  sedikitnya  lima  belas  jenis  permainan rakyat  yang  umumnya  dimainkan  oleh  anak‐anak  di  Pangandaran  (lihat  Lampiran  4).  Secara  umum, jenis‐jenis permainan yang ditemukan di Pangandaran juga dapat ditemui di daerah lain di Jawa Barat, misalnya Gobag sodor, Gatrik, atau Oray‐Orayan. Jenis‐jenis permainan ini juga sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa maupun Sunda. Nilai‐nilai yang terkandung dalam tiap permainan antara  lain adalah nilai persaingan, solidaritas, kerjasama, kejujuran dan sportifitas, ketangkasan dan kecepatan serta olah tubuh. Ada beberapa jenis yang dimainkan secara kelompok maupun individual.  

Perubahan  juga  telah  terjadi  terhadap  sebagian  dari  jenis‐jenis  permainan  rakyat  ini.  Beberapa permainan masih cukup sering dimainkan oleh sekelompok anak‐anak di desa atau saat mereka mengisi jam  istirahat  di  sekolah.  Ada  juga  jenis‐jenis  permainan  yang  ditampilkan  pada  perayaan  hari kemerdekaan RI. Akan tetapi, beberapa  jenis permainan  juga sudah sangat  jarang dimainkan, bahkan banyak  anak‐anak  yang  tak  lagi mengetahui  cara bermainnya.  Permainan‐permainan  tersebut hanya 

Gambar 3.24 Wayang Kulit dan Wayang Golek

     Sumber: INDECON, 2008 

Gambar 3.25 Beberapa Permainan Rakyat : bebecakan, dam‐daman, dan lompat tali 

       Sumber: INDECON, 2008 

Page 25: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   45

menjadi  ingatan dari orang‐orang dewasa yang pada saat mereka anak‐anak masih memainkannya. Di tengah permainan rakyat, anak‐anak Pangandaran juga semakin banyak yang menyukai dan mengenal jenis‐jenis  permainan  moderen,  seperti  Playstation  (PS).  Kini  beraneka  macam  mainan  anak‐anak buatan pabrik, mulai dari harga yang paling murah hingga mahal, jauh lebih mudah ditemukan di pasar tradisional Pangandaran. Sangat sulit mendapatkan pedagang di pasar yang menjual berbagai mainan tradisional.   

Studi  ini  telah mengumpulkan  sedikitnya  empat  belas  jenis makanan  dan minuman  tradisional  yang dikenal masyarakat Pangandaran (lihat Lampiran 5). Jenis‐jenis makanan tersebut termasuk dalam lauk pauk atau menu makanan utama  (main course), makanan selingan atau camilan, serta  jenis makanan yang hanya dibuat pada peristiwa‐peristiwa khusus seperti bulan Puasa atau Lebaran  Idul Fitri. Salah satu  jenis makanan  yang  diakui  sebagai  khas  Pangandaran  adalah  pindang  gunung,  sejenis  sup  ikan dengan rasa pedas dan asam yang dominan. Pindang gunung merupakan  jenis  lauk pauk dalam menu makanan utama. Akan tetapi, meski kebanyakan keluarga di Pangandaran mengenal pindang gunung, namun  jenis makanan  ini kurang populer bagi wisatawan. Sangat  jarang  rumah makan atau  restoran yang menyajikan Pindang Gunung, kecuali rumah makan Cagar Alam dan segelintir rumah makan kecil lainnya.  Satu  tahun  terakhir,  Pindang Gunung  Pangandaran  telah mulai dipromosikan melalui media elektronik, seperti  internet serta disiarkan dalam program nasional Wisata Kuliner oleh  stasiun Trans TV. 

Selain  Pindang  Gunung,  di  Pangandaran  juga  dapat  ditemui  beberapa  jenis  makanan  ringan  yang dipengaruhi oleh budaya  kuliner  Jawa maupun Sunda,  seperti bugis, awug,  cetil, otok owog,  lanting, surabi, dan getuk lindri. Jenis‐jenis cemilan ini dapat ditemui di pasar tradisional Pangandaran dan kios‐kios  di  lokasi  pariwisata  sebagai  oleh‐oleh  yang  dijual  pada wisatawan.  Jenis‐jenis makanan  ini  juga kadang menjadi bagian dari sesaji atau dongdang saat ritual hajat laut, hajat bumi, atau Cirengganis. 

Tradisi dalam Kegiatan Ekonomi 

Tradisi di Pangandaran yang  terkait dengan kegiatan ekonomi  secara  spesifik merupakan bagian dari sistem  produksi  pertanian,  perkebunan,  maupun  perikanan  yang  digeluti  masyarakat  setempat. Sebagian dari aspek‐aspek yang ada dalam kegiatan ekonomi ini antara lain dalam hal: teknik produksi, aturan dalam  sistem produksi, mekanisme pembagian  aset dan hasil produksi.  Secara umum,  tradisi dalam  kegiatan  ekonomi  di  atas  hingga  kini masih  berlaku  pada  kelompok masyarakat  petani  dan nelayan di Pangandaran.  

Teknik dan penggunaan  teknologi pengolahan  lahan maupun perikanan  telah mengalami perubahan akibat  perkembangan  teknologi  dan  program  pembangunan  pertanian  di  Indonesia.  Penggunaan teknologi baru  telah  lama dilakukan oleh petani dan nelayan di Pangandaran, misalnya  traktor  yang menggantikan kerbau, sabit atau parang yang menggantikan etem atau ani‐ani, varietas padi rekayasa yang menggantikan  jenis‐jenis  lokal, penggunaan pupuk dan pestisida kimia buatan pabrik, heler atau 

Gambar 3.26 Contoh Makanan Lokal: Pindang Gunung, Tumis Pakis,Peyeum, Empog, dan Calang Aren

       Sumber: INDECON, 2008 

Page 26: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   46

mesin  penggiling  padi  yang menggantikan  alu  dan  lesung,  penggunaan  bagang  tancap  serta mesin tempel berbahan bakar minyak oleh nelayan.  

Transformasi  teknologi  ini  secara  langsung  mempengaruhi  teknik  dan  pola  produksi  lama  yang dipraktekkan secara turun temurun. Pertimbangan alih teknologi tersebut merupakan konsekuensi dari tujuan‐tujuan  ekonomi  petani  dan  nelayan  untuk mendapatkan  surplus  produksi  dengan  cara  lebih cepat, mudah dan berlimpah.  Akan tetapi, sebagian dari sistem pengetahun petani dalam cocok tanam padi masih  terus  bertahan  dan  digunakan,  terutama  dalam  hal  tahapan masa  tanam  atau  disebut dengan  titi mangsa. Pengetahuan  titi mangsa  ini hingga  kini masih diturunkan dari  satu  generasi  ke generasi  lainnya, misalnya  sebagaimana  dilakukan  pada masyarakat  petani  di Desa Wonoharjo  yang mayoritas etnik Jawa.  

Mekanisme  distribusi  hasil  produksi  secara  umum  tetap  dipertahankan meskipun mengalami  sedikit penyesuaian. Saat penggunaan etem masih dilakukan,  selain dari pembagian hasil dengan penggarap sawah, petani yang memanen padi  (gadeng) masih dapat memperoleh bagian dari  tangkai padi yang tak terpotong oleh etem. Akan tetapi, penggunaan sabit atau parang menyebabkan seluruh batang padi akan  dipotong dan diserahkan pada  pemilik  atau penggarap  sawah.  Petani  gadeng  kemudian hanya mendapatkan  hasil  berdasarkan  pembagian  dengan  petani  penggarap,  biasanya  dalam  bentuk beberapa  ikat  padi  dengan  pembagian  satu  banding  lima  bagian.  Efesiensi  serta  kepraktisan  telah mengubah sistem pembagian hasil ini, misalnya pembagian dalam bentuk gabah yang dihitung dengan ‘kaleng’ atau dalam bentuk uang.   

Mekanisme  pembagian  hasil  pertanian  juga  sangat  ditentukan  oleh  penguasaan  aset  produksi, terutama  lahan atau sawah. Hal seperti  ini  juga umum berlaku di desa‐desa pertanian di pulau  Jawa. Penguasaan  aset  produksi  (sawah)  ikut  membentuk  struktur  sosial  pada  masyarakat  petani  di Pangandaran,  yang  terbagi  atas  petani  pemilik,  petani  penggarap,  serta  buruh  tani.  Petani  pemilik adalah petani yang  sepenuhnya memiliki sawah. Petani penggarap adalah petani yang  tidak memiliki sawah namun memiliki hak mengolah sawah berdasarkan kesepakatan pembagian hak dan kewajiban dengan pemilik. Penggarap memiliki kewajiban menanggung seluruh proses produksi padi dan memiliki hak  atas hasil panen melalui pembagian dengan pemilik.  Sistem pembagian hasil antara pemilik dan penggarap umumnya dikenal dengan maro, di mana penggarap menyediakan seluruh ongkos produksi dan mendapat hasil panen dengan pembagian sama rata dengan pemilik. Buruh tani adalah para petani yang  bekerja  pada penggarap  dengan  imbalan  berupa  hasil  panen maupun  upah  harian. Buruh  tani tidak menguasai sawah dan tidak menanggung ongkos produksi.   

Stratifikasi  sosial  berdasarkan  penguasaan  aset  produksi  juga  berlaku  pada  komunitas  nelayan  di Pangandaran. Struktur tersebut pada akhirnya juga berpengaruh terhadap mekanisme pembagian hasil tangkapan di antara para pelaku dalam sistem perikanan tangkap. Juragan adalah pemilik perahu yang 

Gambar 3.27 Ani‐ani, Parang dan Heler

               Sumber: INDECON, 2008 

Page 27: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   47

mempekerjakan para janggol yang bertugas sebagai penangkap ikan. Selain janggol, dalam perahu juga terdapat  seorang  tekong yang berperan  sebagai pengemudi perahu atau kapal.  Juragan,  janggol dan tekong akan mendapatkan bagian‐bagian tertentu dari hasil tangkapan setelah dipotong dengan biaya operasional seperti bahan bakar.    

3.4  Pariwisata  

3.4.1  Atraksi wisata 

Kawasan Pangandaran memiliki beberapa atribut istimewa yang membuatnya unggul dan berbeda dari kawasan lain yaitu : 

1. Tempat dengan keanekaragaman hayati dan lansekap unik yang mudah diakses (accessible) di Indonesia 

Keistimewaan  ini  terbentuk dari kombinasi  lansekap yang  terdapat di kawasan  ini  seperti: peninsula, dari  lehernya  kita  dapat  melihat  matahari  terbit  dan  terbenam,    pantai  ‐berpasir  dan  berkarang‐ terpanjang  di  Jawa  Barat, mata  air,  sungai  dan muara  sungai,      gua‐gua  alami  dengan  stalaktit  dan stalagmitnya, gua‐gua buatan termasuk terowongan KA terpanjang di Indonesia. Keistimewaan ini juga terwujud dari kehadiran cagar alam, cagar alam  laut dan taman wisata alam dengan keanekaragaman hayati di dalamnya.   

2. Tempat penghasil beberapa makanan pesisir terbaik di Pulau Jawa 

Pangandaran  adalah  salah  satu  tempat  dengan makanan  laut  yang  baik,  lezat  dan  segar di  P.  Jawa. Pangandaran  sejak  lama dikenal  sebagai penghasil  jambal  roti dengan  kualitas baik di  Indonesia dan menjadi cindera mata khas dari kawasan  ini. Kawasan  ini  juga menawarkan sajian makanan  laut segar khas setempat. Selain itu, Pangandaran merupakan salah satu tempat penghasil gula kelapa terbesar  di Indonesia. Jenis Kelapa  di kawasan ini merupakan salah satu yang terbaik  untuk dijadikan santan dan bahan makanan. 

3. Tempat dijumpainya situs bersejarah dan perpaduan budaya Jawa dan Sunda   

Peninggalan  sejarah  menunjukkan  bahwa  kawasan  Pangandaran  diduga  memiliki  kaitan  dengan  pemerintahan  kerajaan  (Hindu)  Galuh  karena  di  kawasan  ini  dijumpai  peninggalan  fisik  maupun kesenian yang terkait dengan sejarah kerajaan tersebut.   Selain  itu,  letaknya yang berdekatan dengan Jawa Tengah membuat kawasan  ini merupakan  tempat berpadunya kebudayaan  Jawa dan Sunda. Di sini,  beraneka  ragam  kesenian  dari  ke  dua  etnik  tersebut  eksis  secara  berdampingan, memberikan atmosfir budaya yang berbeda dari tempat‐tempat lainnya.   

Page 28: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   48

Melalui  lokakarya bersama para pemangku  kepentingan di Pangandaran,  telah berhasil diidentifikasi lebih  dari  50  atraksi  wisata  (Tabel  3.2‐3.4).  Daftar  ini  terus  berkembang  dengan  masukan  dari masyarakat sepanjang proses penyusunan rencana. Sebaran atraksi wisata tersebut dapat dilihat pada Peta 3.2 sementara  informasi detil mengenai  tiap atraksi wisata dapat dilihat dalam Direktori Atraksi Wisata Kawasan Pangandaran.  

Lebih dari 60 % atraksi wisata yang diidentifikasi di kawasan Pangandaran adalah atraksi wisata berbasis alam  (geofisik dan  lansekap serta ekologis/biologis), selebihnya adalah atraksi wisata berbasis budaya dan  sejarah.  Atraksi  wisata  berbasis  alam  tersebut  sebagian  besar  telah  dikenal  dan  dikunjungi wisatawan,  sementara  itu hanya  sedikit atraksi wisata  yang berbasis budaya dan  sejarah –umumnya berbentuk peninggalan sejarah dan budaya serta event‐ yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Potensi atraksi  wisata  budaya  lainnya  yang  berbentuk  seni  pertunjukan  masih  sulit  untuk  diakses  oleh pengunjung.  Pelaksanaan  beberapa  kegiatan  budaya  memang  masih  menjadi  perdebatan  antar berbagai pihak karena pertimbangan religius, namun ketiadaan kegiatan kesenian lainnya seperti telah disampaikan  sebelumnya  lebih  disebabkan  karena  kesempatan  yang  makin  terbatas  untuk menampilkannya.   

 

 

 

 

 

Peta 3.2 Distribusi Atraksi wisata di Kawasan Studi Pangandaran 

Sumber : Peta  BAPPEDA Ciamis, diolah oleh INDECON 2008 

Page 29: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   49

 

Tabel 3.3  Atraksi wisata Ekologis/Biologis  Daya Tarik Aktual/Potensial  

A. Di dalam kawasan studi   

•   Hutan primer di CA Pananjung Pangandaran  A 

•   Pusat penelitian nyamuk di Ds. Babakan  A 

•   Kalong di CA Pananjung Pangandaran  P 

•   Kera ekor panjang di TWA Pananjung Pangandaran  A 

•   Terumbu karang di CA Laut sebelah barat  A 

•   Kawasan rehabilitasi hutan bakau di Bulak Setra (S. Cibuntung)  P 

•   Padang rumput (Cikamal) di CA  A 

•   Perkebunan kelapa di Ds. Pananjung  A 

•   Raflesia patma di CA Pananjung Pangandaran  A 

•   Laguna di P. Cikembulan, Ds. Cikembulan*  P 

•   Wallet di Gua Ciguntren di CA Pananjung Pangandaran  P 

B. Di luar kawasan studi   

•   Aneka buah di Lembah Putri di Putra Pinggan, Ds. Kalipucang   A 

•   Penangkaran penyu di Batu Hiu  P 

•   Hutan mangrove di Bojong Salawe  P 

•   Ekosistem laguna di Sukaresik  P 

•   Budidaya ikan kerapu di Karang Tirta  P 

•   Padi air payau di Karang Tirta  P             Sumber: Hasil lokakarya dan analisis, 2008 

Keterangan: A = aktual (telah menjadi atraksi wisata) B= potensial 

Tabel 3.2  Atraksi wisata Geofisik dan Lansekap  Daya Tarik Aktual/Potensial  

A. Di dalam kawasan studi   

• Pantai Barat Pangandaran  A 

• Pasir putih di CA Pananjung Pangandaran A 

• Goa alam di TWA Pangandaran  A 

• Batu layar di P. Timur CA Pananjung Pangandaran A 

• Goa peninggalan Jepang  di TWA Pananjung Pangandaran A 

• Ombak di Batu Mandi di P. Barat  CA Pananjung Pangandaran A 

• Air terjun Tadah Angin, di CA Pananjung Pangandaran A 

B. Di luar kawasan studi   

• Stalagmit & stalaktit Cukang Taneuh di Ds. Kertayasa A 

• Pemandangan pantai di Karang Nini, Ds. Kalipucang  A 

• Lansekap pantai di Karapyak, Ds. Kalipucang  A 

• Mata air di Citumang  A 

• Pemandangan pantai di lokasi P. Batu Hiu, Ds. Parigi  A 

• Terowongan Wilhelmina di Ds. Bagalo, Kec. Kalipucang   P 

• Curug Guling Sapi di Ds. Putra Pinggan P 

• Curug Natal di Ds. Sukahurip  P 

• Curug Puringis di Bojong, Ds. Putra Pinggan P 

• Curug Jambe di Purbahayu  P 

• Curug/air terjun Bojong di hutan jati Ds. Sukahurip  P 

• Matras  P Sumber: Hasil lokakarya dan analisis, 2008 Keterangan: A = aktual (telah menjadi atraksi wisata) B= potensial 

Page 30: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   50

Lebih  dari  setengah  daya  tarik  kawasan  Pangandaran  yang  telah  diidentifikasi  terletak  di  kawasan studi/perencanaan,  yang  mengindikasikan  pentingnya  posisi  kawasan  studi  bagi  kawasan  wisata Pangandaran pada umumnya.   Sebagian atraksi wisata alam di kawasan studi dijumpai di Cagar Alam (CA)  dan Taman Wisata Alam (TWA) Pananjung Pangandaran, sementara sebagian besar atraksi wisata budaya terdapat di luar kawasan CA dan TWA Pananjung Pangandaran.  Kedua jenis daya tarik tersebut 

Gambar 3.28  Beberapa Atraksi wisata di  Pangandaran

 Pantai Barat Pangandaran 

          Sungai Citumang            Tarian Tradisional               Taman Wisata Alam 

  Sumber: INDECON, 2008 

Tabel 3.4 Atraksi wisata Budaya dan Sejarah  Daya Tarik  Aktual/Potensial  

A. Di dalam kawasan studi   

•   Pasar ikan Pangandaran di P. Timur Pangandaran  A •   Situs Batu Kalde di TWA Pananjung Pangandaran  A •   Pelabuhan di Ds. Babakan  P •   Pelelangan ikan di P. Timur Pangandaran P •   Perayaan hajat laut 1 Muharram di P. Barat dan P. Timur Pangandaran  A •   Pasar wisata di Ds. Pananjung  A •   Festival layang‐layang di P. Timur Pangandaran A •   Seni tari Sintren (hampir sama seperti Tayub dengan putri yang 

dikurung) di Ds. Pananjung  P •   Wayang kulit di Ds. Wonoharjo dan Babakan A •   Seni musik Kentongan di Ds. Pananjung  P •   Seni Kuda Lumping di Ds. Wonoharjo dan Pananjung P •   Seni tari Tayub dan Janen di Ds. Wonoharjo  P •   Hajat bumi pada bulan Mulud di setiap desa pada bulan Mulud  P •   Seni musik tradisional Rebana di Ds. Pananjung  P 

B. Di luar kawasan studi    •   Makam untuk ziarah di Kramat Babakan di Cicurug, Ds. Sukahurip A 

•   Seni tari ronggeng gunung di Ds. Pager Gunung  P 

•   Seni musik Gondang di Ds. Sukahurip P   Saung Wayang Golek Agus 

A             Sumber: Hasil lokakarya dan analisis, 2008 

Keterangan:  A = aktual (telah menjadi atraksi wisata) B= potensial 

Page 31: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   51

dapat  saling melengkapi,  namun  seperti  disampaikan  sebelumnya  cukup  banyak  atraksi wisata  yang bersifat pertunjukan kesenian hingga saat ini masih sulit untuk diakses dan dinikmati oleh pengunjung. 

3.4.2  Aksesibilitas 

Pangandaran sangat bergantung pada transportasi darat. Jalur jalan menuju kawasan Pangandaran dari kota‐kota di  Jawa Barat dan  Jawa Tengah umumnya  cukup baik.   Pangandaran dihubungkan dengan transportasi  publik  berupa  bus  ke  kota‐kota  Jakarta,  Tangerang  di  propinsi  Banten,  Bekasi,  Depok, Sukabumi,  Bandung,  Tasikmalaya    di  Propinsi  Jawa  barat  dan  kota  Purwokerto  dan  Cilacap  di  Jawa Tengah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.5 dan Peta 3.3. 

Tabel dan Peta tersebut memperlihatkan kapasitas transportasi publik ke kota‐kota tersebut per bulan dan  load  factornya  yang  kecil,  khususnya  ke  kota‐kota  yang  berjarak  cukup  jauh  dari  Pangandaran.  Selain bus,  terdapat pula  sarana  transportasi non bus yang memperbanyak  frekuensi perjalanan dan kapasitas angkut ke kota‐kota tersebut. 

Hingga tahun 80‐an sesungguhnya terdapat pelayanan kereta api Banjar – Pangandaran‐Cijulang, yang melalui jalur kereta api peninggalan kolonial. Rute perjalanan ini  konon merupakan perjalanan dengan pemandangan yang  indah. Kini, walaupun  jembatan dan terowongan kereta api tersebut masih dapat dijumpai namun rel dan kelengkapannya sudah hilang.  

Gambar 3.29 Jalan dan Terminal di Pangandaran

     Sumber: INDECON, 2008

Peta 3.3 Trayek Angkutan Bus Menuju Pangandaran Beserta Load Faktornya 

  

Page 32: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   52

Pada bulan Oktober 2004 –Maret 2005,  terdapat pelayanan penerbangan percobaan bersubsidi dari Bandung – Pangandaran (Nusa Wiru). Namun hingga berakhirnya masa pemberian subsidi,  load factor penerbangan hanya mencapai 50‐60% atau tidak mencapai  load factor minimal yang diperlukan (70%) sehingga penerbangan tersebut dihentikan. Ketidakberhasilan tersebut karena setelah bencana tsunami di Aceh pada Desember 2004,  terjadi penurunan  tajam pengunjung ke Pangandaran pada khususnya maupun  kawasan  wisata  pantai  pada  umumnya.  Saat  ini  tengah  berkembang  wacana  untuk mengoperasikan  Bandara  Nusa  Wiru  sebagai  bandara  kargo  di  tahun  2009  (Tribun  Jabar.co.id,  3 September  2008).  Selain  Bandara  Nusa  Wiru  terdapat  sebuah  air  strip  di  sempadan  pantai  Desa Wonoharjo yang dibangun dan digunakan swasta.   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pangandaran sesungguhnya dapat dicapai melalui sungai dari Cilacap, Jawa Tengah dengan menyusuri Sungai  Citanduy  dengan  menggunakan  perahu  masyarakat.  Perjalanan  ini  disukai  oleh  sedikit wisatawan mancanegara yang ingin melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dengan unik.  

Transportasi di dalam kawasan studi sendiri relatif terbatas. Untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam  kawasan harus dilakukan dengan berjalan  kaki  atau menggunakan becak  yang  jumlahnya terbatas. Pengunjung dapat menyewa sepeda, motor, All Terrain Vehicle (ATV), dan mobil, namun tidak semua moda  tersebut  adalah  moda  transportasi  jalan  umum.  Terlebih‐lebih  bagi  penduduk  moda transportasi tersebut tidak ekonomis.   

3.4.3  Pelayanan Sarana dan Prasarana Pariwisata  

Usaha akomodasi 

Sebagai  kawasan  wisata  penting  di  Jawa  Barat,  terdapat  usaha  akomodasi  yang  cukup  banyak  di kawasan  ini.  Pada  tahun  2006  tercatat  (tahun  terjadinya  tsunami)  sebanyak  191  usaha  akomodasi beroperasi di kawasan  ini. Namun angka tersebut menurun menjadi 141 pada tahun 2006 (Tabel 3.6). Perubahan jumlah usaha akomodasi di suatu tempat, kadang‐kadang disebabkan karena banyak usaha yang tidak melaporkan kemajuan usaha secara rutin, namun dalam kasus Pangandaran hal ini bisa jadi  disebabkan  oleh  kerusakan  akibat  bencana  tsunami  di  tahun  2006  sehingga  cukup  banyak  usaha akomodasi berskala kecil (<24 kamar) tidak dapat segera  kembali beroperasi. 

 

Tabel 3.5   Trayek, Kapasitas dan Load Factor Angkutan Bus keluar Pangandaran Februari 2008Propinsi  Kota Tujuan Jumlah 

armada Rit / 

frekuensi Jumlah kapasitas kursi 

Jumlah  kursi terisi 

Load factor (%) 

Banten  Tangerang  120 1 5.760 960  16,67Jakarta  Jakarta  370  1  17.760  2.960  16,67 Jawa Barat  Bekasi  270  1  12.960  2.430  18,75   Cikarang   150  1  7.200  1.200  16,67   Depok  170  1  8.160  1.530  18,75   Sukabumi  70 1 3.360 355  10,56  Bandung  314 1 15.072 3.780  25,08  Tasikmalaya  1517  tad  72.816  Tad  ‐ Jawa Tengah   Cilacap*  378  2  18.144  8.316  45,83   Purwokerto*  80  2  3.840  1.280  33,33   Total **      52.304  22.811  43,61 

Sumber: …. Keterangan :  * 24 kursi ** tanpa Tasikmalaya 

Page 33: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   53

Kegiatan  kepariwisataan  di  Pangandaran  memliki  pola  yang  relatif  tetap.  Pariwisata  Pangandaran berdenyut pada  akhir minggu dan musim  libur  sekolah  serta mengalami   masa puncak  yang pendek yaitu pada  libur Lebaran, Natal dan tahun baru saja.   Dengan pola seperti  itu dan asumsi bahwa 59 % pengunjung Pangandaran menginap selama 2 hari maka kesenjangan antara kapasitas kamar hotel dan pengunjung menginap  seperti diilustrasikan dalam Diagram 3.1 di bawah ini. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dari diagram tersebut dapat dilihat permintaan melebihi kapasitas hanya pada bulan Oktober (Lebaran) dan Desember (Natal dan Tahun Baru).  Sejauh ini permintaan tersebut diserap oleh rumah‐rumah yang disewakan penduduk.   Pola  tersebut membuat usaha pariwisata memanfaatkan waktu puncak/sibuk yang sempit itu untuk memperoleh pendapatan yang memadai. Survei terhadap 98 usaha akomodasi di dalam kawasan studi menunjukkan bahwa usaha akomodasi cenderung menaikkan harga kamar pada masa  puncak  –lebaran,  natal  dan  tahun  baru.  Peningkatan  harga  dapat mencapai  117‐  400%  harga normal. kenaikan tertinggi terjadi di youth hostel. 

Tabel 3.6  Jumlah Usaha Akomodasi di Kawasan studi

Jenis akomodasi  2004  2006  2008

Pangandaran   Sidamulih Total  Pangandaran  Sidamulih  Total  TotalHotel Bintang  1  0 1 1 0  1 3Hotel Non Bintang  190  0 190 140 5  145 126

< 10  86    54  10‐24  82    65  25‐40  12    11  

41 – 100  10    10  Total   191  0 191 141 5  146 129

Sumber: Ciamis Dalam Angka 2007; Ciamis dalam Angka 2004/2005 

Diagram 3.1 Kapasitas Hotel dan Pengunjung Menginap Tahun 2007 

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

malam kamar 

kapasitas hotel

perkiraan jmlh pengunjungyang menginap

      Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata UPTD Pengelolaan Obyek Wisata Ciamis Selatan 

 

Gambar 3.30 Akomodasi di Pangandaran

               Sumber: INDECON, 2008 

Page 34: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   54

Dalam kaitannya dengan  kesadaran  lingkungan hanya 5 % usaha akomodasi yang memiliki dokumen Upaya  Pengelolaan  Lingkungan  (UKL)  dan  Upaya  Pemantauan  lingkungan  (UPL).  Usaha  akomodasi masih menggunakan cara  tradisional untuk membuang  limbahnya.   Hampir seluruh usaha akomodasi masih mengandalkan  jasa  tukang sampah untuk membuang  limbah padatnya. Limbah cair dapur dan kamar mandi dibuang di sumur resapan atau ke laut, sementara limbah cair kakus umumnya dibuang di septictank.   

Usaha  akomodasi menyerap  cukup  banyak  tenaga  kerja  di  Pangandaran.  Jumlahnya mencapai  643 tenaga penuh waktu di 98 hotel  yang disurvei. Namun,    terdapat  fluktuasi penyerapan  tenaga  kerja penuh waktu dari 643 orang pada masa puncak menjadi 545 orang pada masa sepi.  Artinya, sebanyak 15 %  lapangan  kerja penuh waktu  tersedia pada  libur  Lebaran, Natal dan Tahun Baru  yang  lamanya kurang  lebih  hanya  2  –  3  minggu  dalam  1  tahun.  Selain  penyediaan  lapangan  pekerjaan,  usaha akomodasi relatif belum memiliki kegiatan yang melibatkan atau bekerja sama dengan masyarakat.  

Usaha restoran dan rumah makan 

Saat ini tercatat sekitar 30 rumah makan di kawasan studi. Sekitar 3 restoran berlokasi di jalan menuju kawasan Pangandaran, 14  restoran berlokasi di Pasar  Ikan dan  selebihnya  tersebar di kawasan  studi. Hampir  seluruh  restoran  menyajikan  makanan  laut,  namun  belum  banyak  menyajikan  masakan tradisional.  Penghasilan  usaha  restoran  dan  rumah makan  di musim  puncak  dan  sepi  seperti  yang disampaikan pada sub bab 3.2.1. 

Operator wisata dan pemandu wisata 

Seperti  yang  disampaikan  sebelumnya,  terdapat  enam  ‘operator wisata’  yang  umumnya merupakan perluasan dari usaha  lain (toko, toko buku, penukaran mata uang asing) yang kemudian menyediakan pelayanan  kepariwisataan.  Dua  di  antara  6  ‘operator wisata’ memiliki  badan  hukum  usaha,  namun belum memiliki  ijin khusus  sebagai operator wisata. Pelayanan yang diberikan oleh  ‘operator wisata’ lokal antara lain: 

• penyediaan informasi pariwisata 

• paket wisata di dalam dan sekitar kawasan Pangandaran  

• paket wisata ke kota‐kota lain di Pulau Jawa 

• pemesanan kamar hotel  

• pemesanan dan rekonfirmasi tiket dalam dan luar negeri 

• dokumen perjalanan 

Gambar 3.31 Restoran dan Rumah Makan di Pangandaran

                           Sumber: INDECON, 2008 

Page 35: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   55

• penukaran mata uang asing 

• penyewaan berbagai macam kendaraan 

• penyewaan internet 

Selain  ‘operator  wisata’,  paket  wisata  juga  dikemas  dan  ditawarkan  oleh  pemandu.  Di  kawasan Pangandaran  terdapat  2  kelompok  pemandu.  Kelompok  pertama  adalah  kelompok  pemandu  yang tergabung dalam Himpunan Pramuwisata  Indonesia  (HPI) dan Pemandu Pangauban. Pemandu wisata yang tergabung dalam HPI umumnya memiliki sertifikasi sesuai peraturan yang berlaku. Setiap tingkat sertifikasi memiliki persyaratan tertentu dan daerah operasi tertentu. Saat ini terdaftar 62 anggota HPI, namun tidak seluruhnya aktif.  

Pemandu  Pangauban  adalah  kelompok  pemandu  yang  berbasis  di  Taman  Wisata  Alam  (TWA) Pananjung  Pangandaran. Daerah operasinya mencakup  Taman Wisata Alam  Pananjung Pangandaran dan atraksi wisata lainnya di Kawasan Pangandaran.  Jumlah anggota kelompok pemandu ini sekitar 30 orang  dan  sehari‐harinya  bermarkas  di  Taman Wisata  Alam.  Kelompok  ini  juga membuka  wahana kegiatan outward bound seperti flying fox, dll.  

Walaupun begitu banyak atraksi wisata yang  terdapat di kawasan Pangandaran, namun masih sedikit variasi paket wisata yang tersedia. Paket wisata yang ada umumnya ditawarkan oleh pemandu wisata dan kios operator wisata  lokal kepada wisatawan mancanegara.   Paket wisata yang ditawarkan mulai dari paket wisata 2  jam hingga 8  jam atau satu hari yang umumnya membawa peserta mengunjungi atraksi  wisata  alam  seperti  cagar  alam,  taman  wisata  alam,  Green  Canyon,  dan  Mata  Air/Sungai Citumang. Menurut penyedia paket wisata, paket tersebut relatif   tidak berkembang selama 10 tahun terakhir.  Saat ini, kunjungan ke perdesaan merupakan kegiatan tambahan saja dan belum diperlakukan sebagai daya tarik potensial yang dapat dikembangkan lebih jauh.   

Pada tahun 2003, sebuah buku panduan wisata Jerman ditulis oleh Werner Mlynek dan dipublikasikan oleh Steven Loose, telah menyertakan kegiatan trekking dua hari ke alam dan perdesaan Pangandaran. Itu memperlihatkan minat  wisatawan mancanegara  –  khususnya  Jerman–  yang  cukup  tinggi  untuk mengunjungi  alam  dan  perdesaan  untuk melihat  keseharian masyarakat  setempat.    Saat  ini,  paket wisata yang mengkombinasikan alam dan budaya paling disukai wisatawan mancanegara.  

Seperti  yang  diperlihatkan  dalam  Tabel  3.2  hingga  Tabel  3.4  Cagar  Alam  dan  Taman Wisata  Alam Pananjung  Pangandaran memiliki  banyak  atraksi wisata  di  dalamnya.    Saat  ini  telah  terdapat  tur  ke taman wisata alam yang dimulai dari Pintu/Gerbang Timur dan memasuki Gua   Parat dan berlanjut ke 

Gambar 3.32 Beberapa Atraksi wisata Budaya yang Telah Dikemas

                      Sumber: INDECON, 2008 

Page 36: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   56

Sungai  dan  Gua  Cirengganis,  yang  terkenal  atas  legendanya  dan  sering  dikunjungi  peziarah.  Tur berlanjut menyusuri  perbatasan  cagar  alam  dan  taman  wisata  alam memasuki  Gua  Sumur Mudal, Lanang, dan  Jepang,  sebelum meninggalkan  taman wisata alam melalui Pintu Barat. Paket wisata  ini dikenal sebagai  “Tour Taman Nasional” dan berlangsung sekitar 2 jam berjalan kaki.   

Sebagai  kelanjutan  tur  di  atas,  juga  ditawarkan  tur  untuk  mengeksplorasi  cagar  alam.    Rute  ini 

Peta 3.5  Jalur Wisata di Cagar Alam

 

Peta 3.4  Jalur Wisata di Taman Wisata Alam  

 

Page 37: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   57

Peta 3.6 Jalur Wisata ke Green Canyon

 

sesungguhnya  dilarang  karena  kegiatan  pariwisata  tidak  diperkenankan  dilakukan  di  kawasan  cagar alam.  Tur diawali dari Pintu Timur menuju Gua Parat  kemudian memasuki kawasan cagar alam melalui area Cirengganis menuju  Padang Rumput Nangorak dilanjutkan melintas ke arah selatan untuk melihat bunga Raflesia dan mengunjungi Air terjun Tadah Angin.   Tur berlanjut ke  Batu Mandi di ujung barat, lalu melintas Padang Rumput Cikamal menuju Pantai Pasir Putih dan berakhir di Pintu Barat. Paket tur tersebut dikenal  sebagai  “Paket Wisata Hutan” dan membutuhkan waktu  sekitar  4  jam.  Rute  kedua paket wisata di atas dapat dilihat pada Peta 3.4 dan 3.5. 

Paket wisata  sehari  penuh menawarkan  kunjungan  ke   Green  Canyon  dan  industri  rumah  tangga  ‐ produksi  gula  kelapa,  produksi  atap  daun  kelapa,    produksi  kerupuk  dan  pembuat wayang‐  di  desa sekitar. Rute perjalanan diawali di  Dusun Bojong Gebang untuk melihat produksi gula kelapa  kemudian menuju Desa Wonoharjo untuk melihat  pandai besi,  penghasil  tempe  atau    kerupuk dan  atap  daun kelapa.  Setelah  itu,  pengunjung  diajak  mengunjungi    sanggar  seniman  wayang  golek  dan  belajar memainkannya bersama pemilik   sanggar.   Perjalanan berlanjut menuju   Batu Hiu dan  Green Canyon. Wisatawan masih memiliki kesempatan untuk melihat pelelangan  ikan dan Pantai Batu Karas sebelum kembali ke Pangandaran pada petang hari.     Rute perjalanan paket wisata  ini dapat dilihat pada Peta 3.6. 

Pada umumnya paket wisata di dalam kawasan Pangandaran diinisiasi, dikembangkan dan dijalankan secara mandiri oleh pemandu dan operator wisata  lokal, belum melibatkan  kerjasama  formal pihak‐pihak  yang  terlibat  dan  berkepentingan  di  dalamnya.    Untuk  itu  perlu  didiskusikan  dan  disepakati bersama beberapa mekanisme, misalnya, mengenai : 

• Pembagian keuntungan atau manfaat antara pemandu/operator dengan penduduk/industri rumah tangga yang dikunjungi. Walaupun tidak berarti perlu dilakukan penetapan tarif, namun penduduk harus  mendapat  kesempatan  untuk  menetapkan  berapa  besar  manfaat  yang  dapat  mereka peroleh. Saat ini manfaat tersebut masih ditetapkan secara sepihak oleh pemandu. 

Page 38: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   58

• Penyusunan  code  of  conduct  bagi  pemandu  wisata,  khususnya  di  kawasan  konservasi.  Saat  ini beberapa pemandu menawarkan pengunjung untuk melakukan perjalanan ke dalam kawasan cagar alam yang tidak saja terlarang, namun dapat berbahaya bagi wisatawan.   

Pelayanan pendukung lainnya  

Untuk pelayanan keselamatan di  laut,  terdapat pelayanan  life guard atau balawista yang sejak  tahun 2002  resmi  berbadan  hukum  yayasan.    Sepanjang  tahun  2007  Balawista  Pangandaran  berhasil menyelamatkan  165  jiwa  yang  158  kejadian  terjadi  selama  10  hari  libur  Lebaran  (masa  puncak). Sementara  sepanjang  semester  pertama  tahun  2008  telah  dilakukan  80  upaya  penyelamatan kecelakaan    laut dan berhasil menyelamatkan 79 jiwa  (Tabel  3.7).  Menarik  untuk  dicatat  bahwa walaupun  pantai‐pantai  berbahaya  di Pangandaran  telah  diberi  tanda,  namun  masih cukup  banyak  pengunjung  yang  berenang  di daerah  berbahaya  dan  mengalami  kecelakaan (25%).  Data  tahun  2008  juga  memperlihatkan besarnya  kecelakaan  yang  dialami  pengguna body  board/boogie  (41%)  dan  kecelakaan  yang melibatkan  perahu  nelayan  dan  pesiar  (12,5%). Memperhatikan  angka  kecelakaan  dengan  alat bantu  renang,  nampaknya  diperlukan  upaya untuk  mengajarkan  alat  bantu  renang  kepada pengguna  sebelum  yang  bersangkutan menggunakannya. 

Dua  puluh  persen  dari  kecelakaan  laut  di  semester  pertama  tahun  2008  memerlukan  tindakan penyelamatan  lebih  lanjut  kepada  korban.  Saat  ini,  untuk  menunjang  kesehatan  penduduk  dan keselamatan pengunjung baru  terdapat  sebuah puskesmas dengan  fasilitas  rawat  inap dan ambulan.  Selain puskesmas, terdapat pula klinik kesehatan swasta.  Rumah sakit terdekat terletak di Kota Banjar. 

Untuk melayani  keamanan Pangandaran,  terdapat  kantor polisi  sektor Pangandaran  yang  terletak di jalan utama memasuki kawasan Pantai Pangandaran. Kasus   kejahatan yang dilaporkan kepada polisi masih relatif rendah sekitar 64‐67 kejadian di tahun 2005 dan 2006, angka itu menurun menjadi hanya 25 kejadian yang dilaporkan, dengan kasus pencurian (motor) serta penipuan sebagai kasus tertinggi.   

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3.7  Data Kecelakaan Laut di Wilayah Kerja Balawista Pangandaran 2007‐2008   2007 2008* 

Di daerah Aman 

Di daerah berbahaya 

Jumlah % Di daerah Aman 

Di daerah berbahaya 

Jumlah  %

tidak berenang  2  ‐ 2 1,2 4 ‐ 4  5,00Berenang tanpa alat  63  33  96  58,2  16  15  31  38,75 berenang dengan 

boogie 47  10 57 34,5 29 4 33  41,25

berenang dengan ban  9  ‐  9  5,5  1  ‐  1  1,25 papan surfing  ‐  ‐ ‐ 1 ‐ 1  1,25kecelakaan 

melibatkanperahu 1  ‐  1  0,6  10  ‐  10  12,50 

Total  122  43 165 100 61 19 80  100Sumber : Daftar Kecelakaan Laut di Wilayah Kerja Balawista Pangandaran Keterangan : s.d 30 Juni 2008 

Gambar 3.32 Balawista       

                               Sumber: INDECON, 2008 

Page 39: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   59

Hasil survei pengunjung menunjukkan banyak responden wisnus  (20,5%) dan wisman  (86,7%) menilai tidak ada pelayanan polisi yang dapat mereka nilai di kawasan Pangandaran.   Hal  ini mungkin karena jarangnya kehadiran polisi di tempat‐tempat konsentrasi pengunjung. 

Terdapat  satu  Pusat  Informasi  Pariwisata,  namun  tidak memiliki  sumber  dana  yang memadai  untuk mengoperasikannya  sehingga  tidak  berfungsi  dengan  optimum.  Penduduk  dan  pengunjung memerlukan pelayanan keuangan. Terdapat dua bank pemerintah –BNI dan BRI‐ yang dapat melayani penarikan dana melalui kartu kredit, penguangan cek dan penarikan dana dari ATM. 

Pangandaran telah terjangkau oleh jaringan listrik yang tergabung dalam Jaringan Listrik Jawa Bali. Sejak harga bahan baku minyak meningkat,  Indonesia mengalami  krisis penyediaan energi  sehingga  sering terjadi  pemadaman  di  berbagai  bagian  negeri  termasuk  Pangandaran.  Pangandaran  telah memiliki Perusahaan Daerah Air Minum, namun pelayanannya  yang  tidak dapat diandalkan membuat hampir semua usaha akomodasi lebih mengandalkan air tanah.  

Untuk melayani  kebutuhan  komunikasi penduduk dan pengunjung  terdapat  kantor pos dan  jaringan telekomunikasi  darat  maupun  telekomunikasi  selular.    Warung  telekomunikasi  dan  internet  telah tersedia di Pangandaran untuk melayani pengunjung.  

3.4.4  Permintaan Pariwisata 

Seperti  yang  telah  disinggung  di  bagian  terdahulu,  pariwisata  Pangandaran  mulai  menggeliat  dan mengalami peningkatan pengunjung  sejak akhir dekade 80‐an. Setelah mengalami  sedikit penurunan ketika masa krisis multi dimensi di Indonesia di tahun 1998, Pangandaran mengalami puncak kunjungan pada tahun 2000. Setelah  itu, pengunjung terus menurun dan mengalami penurunan secara drastik di tahun 2005 setelah  terjadi bencana  tsunami di Aceh di akhir  tahun 2004 dan kenaikan harga BBM di tahun  2005.  Jumlah  kunjungan  tersebut  kian  menurun  ketika  Pangandaran  terkena  tsunami  pada pertengahan  tahun 2006.   Baru  tahun 2008  ini,  kunjungan ke Pangandaran memulih    (lihat Diagram 3.2). 

Dari  penelitian  terhadap  pengunjung  yang  dilakukan  pada  musim  libur  sekolah,  terlihat  bahwa pengunjung ke kawasan studi di Pangandaran didominasi oleh wisatawan nusantara  (99%).   Sebagian besar  (43 %) wisnus  berasal  dari  kota‐kota  di  sekitar  Pangandaran  (Banjar,  Ciamis,  Tasikmalaya  dan Garut), 34 % dari Bandung, 5,6 % dari kota terdekat di Jawa Tengah (Cilacap & Purwokerto) dan 4,8 % dari Kota Jakarta. Sisanya kebanyakan dari kota‐kota lain di Jawa Barat.   

Diagram 3.2  Jumlah Pengunjung Kawasan Pangandaran 1998‐2008 

Jumlah Pengunjung Kawasan Pangandaran

-200,000400,000600,000800,000

1,000,0001,200,0001,400,0001,600,000

1988

1990

1992

1994

1996

1998

2000

2002

2004

2006

2008

Tahun

Ora

ng Jumlah PengunjungKawasan Pangandaran

Page 40: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   60

Peta 3.7  Potensi Pasar Wisata Kawasan Pangandaran

JAKARTA Rp 57 Jt

8.8 jt 4,8%

TANGERANG

Rp 20 Jt 1,5 jt

-

TASIKMLYRp 9 Jt

0,6 jt 15,3%

CILACAPRp 11 Jt

1.8 jt 3 6%

PURWOKERTO Rp 3,7 Jt

1,7 jt 2 %

CIAMISRp 6,8 Jt

1,5 jt 4,9%

BANJARRp 5,5 Jt

0,17 jt 8 %

BELANDAUS$ 1366/20 hari

110 rb 46,3%

JERMANUS$ 1120/14 hr

106 rb 9,8%

BEKASI Rp 6,3 Jt

2 jt 0,4%

DIY Rp 7,4 Jt

4,4 jt 2 %

INGGRIS US$ 1247/14 hr

110 rb 12,2%

NEGARA Pengeluaran total/ lama di Indonesia

Jumlah wisatawannegara tsb ke Indonesia % thdp jumlah wisman Pangandaran

Keterangan

KOTA PDRB/kapita/tahun Jumlah penduduk

% thdp jumlah winus Pangandaran

BOGOR Rp 4,5 Jt

0,85 jt 2 %

BANDUNGRp 14,8 Jt

2,3 jt 34 %

 

Wisnus ke Pangandaran umumnya adalah pengulang dan datang bersama keluarga (41,5%) atau teman‐temannya (34,5%) dengan menggunakan kendaraan pribadi berupa mobil (52%) dan motor (18%) untuk berlibur. Umumnya wisnus akan tinggal selama  selama 2‐4 hari (59 %) atau pulang pergi (33%). Selama di  Kawasan  Pangandaran  wisnus  biasanya  berenang, mengunjungi  TWA,  berperahu  dan menikmati makanan  laut. Selain Pantai Pangandaran dan TWA dan Pasir Putih di CA, cukup banyak wisnus yang mengunjungi Green canyon/Cukang Taneuh.  

 

Wisatawan mancanegara  hanya mengambil  porsi  1 %  dari  pengunjung  Kawasan  Pangandaran  atau kawasan studi. Dari hasil survei hotel dan pengunjung secara konsisten memperlihatkan wisman yang terbesar adalah wisatawan Belanda. Wisman yang terjaring dalam survei pengunjung umumnya adalah mereka  yang  baru  pertama  kali  datang  ke  Pangandaran  dan  datang  bersama  pasangannya  dengan kendaraan umum untuk tinggal selama 2‐4 hari di Pangandaran. Seperti wisnus, sebagian besar wisman melakukan kegiatan berenang dan mengunjungi TWA, namun berbeda dengan wisnus, sebagian besar wisman mengunjungi Green Canyon. Ini dapat dipahami karena  ini adalah kunjungan pertama mereka di Pangandaran, sementara wisnus adalah pengulang.   

Jika memperhatikan  jumlah  dan  komposisi  pengunjung  Pangandaran  saat  ini  dan  potensi  pasarnya (Peta 3.7) kuantitas dan kualitas pengunjung saat ini masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi pasarnya. Misalnya  untuk  empat  besar  segmen  pasar  Pangandaran  yaitu  pengunjung  asal  Bandung, 

Page 41: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   61

sekitar Pangandaran (Ciamis, Tasik dan Banjar), Jawa Tengah selatan (Cilacap, Purwokerto, dan DIY) dan Jakarta,  jika diasumsikan proporsi pengunjung berasal dari daerah  tersebut adalah 34%, 28,2%, 7,6% dan 4,8 % seperti yang diketahui dari survei pengunjung, maka pada tahun 2008 ini sebesar kurang dari 160 ribu pengunjung Pangandaran berasal dari Bandung, 133 ribu berasal dari sekitar Pangandaran, 36 ribu berasal dari Jawa Tengah selatan dan 22,5 ribu berasal dari Jakarta. Angka tersebut hanya kurang dari 7 % penduduk Bandung, 6 % penduduk sekitar Pangandaran, sekitar 0,5 % penduduk Jawa Tengah selatan  dan  sekitar  0,25%  penduduk  Jakarta.  Jika  mempertimbangkan  karakter  pengunjung  yang pengulang/repeater,  bisa  jadi  jumlah  penduduk  kota‐kota  asal  tersebut  yang  berkunjung  ke Pangandaran  lebih sedikit dari yang diperkirakan di atas. Hal yang sama  juga  terjadi dengan wisman, yang diperkirakan hanya sekitar kurang dari 2 % wisatawan Belanda, 0,5 % wisatawan Inggris dan 0,4 % wisatawan  Jerman ke  Indonesia yang mengunjung   Pangandaran. Hal  ini menunjukkan  segmen pasar saat  ini  yang  jauh  dari  jenuh  dan  sangat  potensial  untuk  digarap  lebih  jauh,  sebelum  ‘menggarap’ segmen pasar yang lain. 

3.4.5. Rencana dan Kegiatan Pengembangan Pariwisata Saat Ini      

Saat  ini  tercatat dua kegiatan perencanaan yang  terkait dengan kepariwisataan di kawasan studi dan Pangandaran  pada  umumnya.  Pertama  adalah  Kegiatan  Pendirian  Badan  Pengelolaan  Regional Pangandaran  yang  didirikan  oleh  pelaku‐pelaku  di wilayah  Pangandaran  untuk memobilisasi  sumber daya  dan  mencapai  pembangunan  wilayah  melalui  pengelolaan  yang  profesional  dalam  rangka menghadapi  tantangan  pembangunan.    Kedua  adalah  Penyusunan  Rencana  Tindak  untuk Pengembangan  Pariwisata  di  Pangandaran  yang  diarahkan  pada  pengembangan  rekreasi  pantai berkelanjutan.   

Selain  kegiatan  perencanaan,  terdapat  tiga usulan pengembangan  atraksi wisata  yaitu  “Desa Wisata dan Agro Industri Terpadu Cantigi” di Desa Cikembulan, “Museum Pertanian, Sport Centre, Children Play land dan Sea World” di Desa Karang Benda Parigi dan Pembangunan Pangandaran Water park di Desa Emplak, Kalipucang. Dua usulan pertama merupakan usulan masyarakat desa dan belum terlihat akan berjalan, sementara inisiatif/proyek yang ketiga telah memasuki tahap konstruksi. 

3.4.6  Aspek kelembagaan pengelolaan kepariwisataan.   

Terdapat  banyak  pihak  yang  terlibat  dalam  penyelenggaraan  kepariwisataan  di  Pangandaran  (lihat Lampiran 6).  Pihak‐pihak tersebut dapat dikelompokkan ke dalam: 

• pemerintah yang terdiri dari  lembaga pemerintah di tingkat nasional, propinsi, kabupaten dan desa, 

• masyarakat yang terdiri dari asosiasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat, 

• pengusaha terdiri dari asosiasi usaha dan profesi pariwisata maupun bukan usaha pariwisata, 

• perguruan tinggi. 

Masing‐masing  pihak memiliki  kepentingan  serta  tugas  dan  fungsi  yang  kadang‐kadang  bertumpang tindih, seperti yang terjadi dalam pengelolaan taman wisata alam dan pemanfaatan lahan di sepanjang harim  laut/sempadan  pantai.  Namun  demikian,  banyak  pihak  yang  terlibat  tidak menjamin  semua urusan terbagi dan tertangani dengan baik, seperti urusan kebersihan di pantai dan sistem transportasi  internal kawasan yang masih menjadi keluhan masyarakat.  

Hal  ini besar kemungkinan terjadi karena belum terdapat koordinasi yang efektif antar pihak tersebut. Koordinasi dan kerja  sama antar pihak masih  sangat  tergantung pada hubungan baik antar personal, 

Page 42: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   62

sementara  koordinasi  yang melibatkan  banyak  pihak memerlukan  wadah  dan  kepemimpinan  yang dapat diterima berbagai pihak dan  aktif  menghubungkan berbagai pihak tersebut.  

Di  Pangandaran,  walaupun  masyarakatnya  telah  relatif  aktif  berperan  serta  dalam  berbagai penyelenggaraan  kepariwisataan,  namun  peran  pemerintah  sebagai  fasilitator  dan  penggerak pariwisata masih diperlukan untuk menangani berbagai perkembangan yang terjadi. Saat  ini telah ada perwakilan  lembaga pemerintah yang mengurus kepariwisataan di Pangandaran maupun pemerintah desa di   kawasan wisata Pangandaran, namun masih belum dapat memenuhi harapan dan kebutuhan atas peran tersebut. Hal ini seiring dengan hasil survei terhadap penduduk di Tabel 3.8 memperlihatkan bahwa  63%  penduduk  menyatakan  pemerintah  kurang  mendukung  pengembangan  pariwisata  di Pangandaran.  Oleh  karena  itu,  kelembagaan  dan  sumber  daya manusia menjadi  isu  penting  untuk ditingkatkan dan dibahas guna kelancaran implementasi rencana ini. 

3.4.7 Sikap  Penduduk Lokal Terhadap  Pariwisata 

Informasi  tentang  sikap  penduduk  terhadap  pariwisata  di  Pangandaran  juga  diperoleh  melalui penyebaran  kuesioner,  selain  melalui  wawancara  mendalam  dan  diskusi  kelompok.  Secara  umum, penduduk  lokal memberikan sikap cukup baik dan mendukung terhadap pengembangan pariwisata di Pangandaran.  Hasil  survei  memperlihatkan  sekitar  64,2%  responden    mengaku  memperoleh penghasilan  dari  kegiatan  pariwisata,  baik  sebagai  penghasilan  utama  keluarga  maupun  sumber penghasilan  tambahan.  Maka  tidak  terlalu  mengherankan  jika  responden  memiliki  sikap  positif terhadap kegiatan pariwisata di Pangandaran ketika ditanya tentang pengaruh pariwisata Pangandaran terhadap kehidupan penduduk dan alam sekitarnya (lihat Tabel 3.8). 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penduduk  lokal  juga memandang ada kaitan erat antara pariwisata dan alam. Maksud dengan alam di sini adalah segala kondisi alamiah di Pangandaran yang selama  ini menjadi bagian dari atraksi wisata. Sebagian besar responden menyebutkan alasan kedatangan wisatawan ke Pangandaran karena  faktor kondisi  alamnya,  khususnya  CA  dan  TWA  Pananjung‐Pangandaran.    Mereka  (62,6%)  menganggap bahwa pariwisata di Pangandaran sangat ditentukan oleh kondisi alam di kedua kawasan konservasi ini. Tabel  3.9  menunjukkan  hampir  seluruh  responden  menganggap  kedatangan  wisatawan  ke Pangandaran selama ini karena ingin menikmati pantai dan laut Pangandaran, misalnya bermain pasir, 

Tabel 3.8 Sikap Responden terhadap Pariwisata Pangandaran

Pernyataan Sikap responden (% jawaban)

Setuju Tidak setuju  Tidak jawabPangandaran memiliki keindahan yang istimewa 71,6 0  28,4Wisatawan mendapat kenangan indah dari Pangandaran 68,7 0  31,3Pariwisata Pangandaran membantu ekonomi penduduk 67,1 1,3  31,6Hutan tidak boleh ditebang atau harus dijaga untuk pariwisata 64,5 6,1  29,4Peran pemerintah kurang mendukung  63.1 2.6  36.1Pariwisata membuat penduduk bangga pada budaya sendiri 53,4 6,1  40,6Masyarakat Pangandaran adalah masyarakat yang ramah 47,6 4,8  47,6Perempuan harus lebih berperan dalam pariwisata 46,0 8,6  45,4Semakin banyak wisatawan, semakin baik bagi responden 44,7 5,8  49,5Penduduk setempat sudah banyak berperan dalam pariwisata 43,8 9,3  47,0Pariwisata Pangandaran membuat alam lestari/terjaga 39,6 8,3  52,1Pariwisata membuat pemerintah lebih memperhatikan penduduk 27,2 29,7  43,1Pariwisata Pangandaran membuat lingkungan rusak 15,3 42,2  42,5Pariwisata Pangandaran membuat penduduk tak dihargai 4,2 46,0  49,8

    Sumber: survey penduduk LWG (2008), n = 313, multiple‐answers 

Page 43: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   63

berenang, dan kegiatan lainnya. Sebagian besar responden juga menganggap keberadaan CA dan TWA Pananjung merupakan  tujuan  utama  wisatawan  datang  ke  Pangandaran.  Hanya  sebagian  kecil  dari responden yang menganggap kedatangan wisatawan untuk menikmati daya tarik wisaya budaya yang ada  di  Pangandaran.  Jawaban  di  atas menunjukkan  bahwa  di mata  sebagian  responden,  pariwisata Pangandaran  sangat  erat  kaitannya  dengan  kegiatan  menikmati  alam.  Hal  ini  dapat  dimengerti mengingat  atraksi  wisata  budaya  untuk  tujuan  pariwisata  memang  belum  begitu  berkembang  di Pangandaran.  

 

 

 

 

Kondisi  di  atas menyebabkan  penduduk  lokal melihat  bahwa  Cagar  Alam  dan  Taman Wisata  Alam Pananjung‐Pangandaran  merupakan  bagian  penting  dari  pariwisata  Pangandaran.  Selain  itu  juga mereka menganggap CA dan TWA   merupakan tempat tinggal satwa dan tumbuhan  liar serta tempat ikan  berkembang  biak.  Sebagian  besar  responden mengaku mengetahui    keberadaan  TWA  dan  CA Pananjung‐Pangandaran beserta batas‐batasnya (lihat Diagram 3.3). 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

Dari 313 responden yang diwawancarai, ada sekitar 14,7% di antara mereka yang mengaku melakukan kegiatan  rutin  diCA  dan  TWA  Pananjung‐Pangandaran,  sedangkan  mayoritas  (74,1%)  dari  mereka mengatakan tidak memiliki kegiatan rutin di sana. Adapun kegiatan‐kegiatan yang dilakukan responden di  dalam  dua  kawasan  konservasi  ini  cukup  beragam, mulai  dari mengambil  hasil  laut, mengantar wisatawan  dengan  perahu  sewaan,  memarkir  perahu,  mendaratkan  ikan  atau  hasil  laut,  menjadi pemandu, sampai menjajakan makanan‐minuman.   

Sebagian besar  responden menganggap baik CA maupun TWA Pananjung‐Pangandaran  adalah  lokasi yang  dianggap  bermanfaat  bagi  kegiatan  pariwisata  Pangandaran.  Khusus  mengenai  CA  darat, manfaatnya sebagai tempat wisata bahkan paling banyak dipilih responden dibanding dengan manfaat‐

Tabel 3.9 Alasan Wisatawan Datang ke Pangandaran

Tujuan wisatawan Frekuensi jawaban  

Setuju Tidak setuju Tidak jawab Bermain di laut dan pantai  91,4% 5,4% 3,2% Mengunjungi CA dan TWA  83,7% 13,1% 3,2% Menikmati atraksi budaya  22,4% 74,4% 3,2% 

     Sumber:  Survey Penduduk  LWG (2008), n=313. Multiple‐answers 

Diagram 3.3  Pengetahuan Responden tentang Cagar Alam dan Taman Wisata Alam 

    Sumber:  Survey Penduduk  LWG (2008), n=313. Multiple‐answers 

Page 44: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   64

manfaat  lainnya  (lihat  Tabel  3.10).  Disamping  itu  cukup  banyak  responden  yang  menganggap  CA sebagai tempat tinggal bagi satwa atau tumbuhan liar.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sebagian besar (77,3%) responden menyatakan tidak setuju jika manfaat dari CA adalah sebagai tempat ziarah atau pelaksanaan ritual. Hal ini ditanyakan mengingat dalam CA dan TWA juga terdapat beberapa situs  budaya  yang  kadang  dikunjungi  untuk  kepentingan  ziarah  atau  melaksanakan  upacara  adat, misalnya mata air Cirenganis dan Gua Parat. Sikap yang cukup menonjol juga diberikan responden yang tak  setuju  jika  CA  menjadi  tempat  perburuan  satwa.  Boleh  dikatakan,  selama  ini  memang  tak ditemukan kegiatan perburuan satwa dalam kawasan CA darat Pananjung‐Pangandaran.  

Untuk  CA  laut,  sebagian  besar  responden  memandangnya  sebagai  tempat  ikan  berkembang  biak. Walau demikian, meski dengan persentase yang jauh lebih kecil dibanding CA darat, cukup banyak pula responden yang setuju jika manfaat CA laut adalah sebagai lokasi pariwisata (lihat Tabel 3.11).  

 

 

 

 

 

 

Survey terhadap penduduk  ini  juga menjaring pemahaman responden tentang kondisi alam di CA dan TWA Pananjung‐Pangandaran. Khusus tentang CA darat dan  laut,  jumlah responden yang menyatakan bahwa kondisi alamnya masih baik dan telah rusak cenderung seimbang, yaitu 49 % menyatakan masih baik sedangkan 46% menyatakan sudah rusak.  

Mengenai kemungkinan untuk menutup CA darat dan  laut Pananjung‐Pangandaran dari segala bentuk kegiatan,  sebanyak  42,2%  dari  seluruh  responden  menyatakan  tidak  setuju,  hanya  4,5%  yang menyatakan  setuju,  dan  sebagian  besar  (53,4%)  tidak  menjawab.  Ketidaksetujuan  responden  ini 

Tabel 3.10  Manfaat Cagar Alam Darat dan Taman Wisata Alam Menurut Responden 

Manfaat CA darat Setuju Tidak setuju 

Sebagai tempat wisata  95,9 4,1 

Tempat  hewan/tumbuhan liar/langka 73,5 27,5 

Pencegah abrasi pantai  46,6 53,4 

Penghalang ombak tsunami 43,4 57,6 

Membuat udara bersih  37,3 62,7 

Penyedia air bersih/tawar 26,6 73,4 

Sebagai tempat ziarah/ritual 23,7 77,3 

Tempat bahan baku kerajinan 19 81 

Tempat berburu hewan  1 99 

Sumber:  Survey Penduduk  LWG (2008), n=313. Multiple‐answers 

Tabel 3.11  Manfaat Cagar Alam Laut menurut respondenManfaat CA Laut Setuju Tidak Setuju 

Tempat ikan berkembang biak 74,9 25,1 

Tempat wisata  67,4 32,6 

Tempat menangkap hasil laut 35,8 64,2 

Pencegah abrasi pantai  32,6 68,4 

Penghalang tsunami  30,1 69,9 

Tempat mengambil bahan baku kerajinan 19,4 80,6 

Sumber:  Survey Penduduk  LWG (2008), n=313. Multiple‐answers 

Page 45: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   65

disebabkan selama ini mereka mempersepsikan bahwa penutupan CA akan mengurangi daya tarik bagi wisatawan yang pada akhirnya juga akan mengurangi manfaat ekonomi bagi penduduk setempat.  

Dalam hal persoalan‐persoalan terkait dengan pariwisata di Pangandaran, selama ini rupanya penduduk Pangandaran  cukup  memberi  perhatian.  Hal  ini  dapat  dilihat  dari  sejauh  mana  mereka  memberi penilaian terhadap beberapa masalah yang ditanyakan, serta seberapa penting masalah tersebut bagi pengembangan pariwisata Pangandaran. 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dari Tabel 3.12 di atas, secara umum tergambar persoalan apa saja dalam pariwisata Pangandaran yang menjadi  perhatian  penduduk  selama  ini.  Pencemaran  merupakan  persoalan  yang  dianggap  sangat penting oleh kebanyakan responden. Hal‐hal yang menjadi perhatian responden terhadap masalah  ini didukung pula oleh hasil FGD (focus group discussions) yang dilakukan di lima desa. Dalam FGD, peserta diskusi  menyampaikan  tentang  masalah  sampah  yang  bertumpuk  dan  berceceran  di  lokasi‐lokasi seperti pantai dan pintu masuk CA dan TWA Pananjung‐Pangandaran.  

Masalah  keamanan  atau  penanganan  kriminalitas  yang  muncul  serta  masalah  tumpang  tindih penggunaan  pantai  dan  laut  sekitarnya  secara  kuantitatif  dapat  dianggap  berimbang.  Kemungkinan masalah ini dianggap penting berdasarkan beberapa kejadian pencurian yang terjadi tak lama sebelum atau saat survei  ini dilakukan, seperti pencurian barang wisatawan di penginapan, atau yang  terakhir adalah pencurian barang yang   disimpan dalam sebuah mobil milik wisatawan.   Meski  responden  tak mengalami  langsung  kejadian  tersebut,  namun  hal  ini  bisa  saja  menunjukkan  bahwa  selama  ini responden  atau  penduduk  setempat  juga menerima  informasi  tentang masalah  keamanan  di  lokasi pariwisata.  

Masalah kesemrawutan atau tumpang tindih pemanfaatan pantai dan laut, khususnya di Pantai Barat, adalah kondisi yang paling mudah diamati oleh responden. Beberapa diskusi dan wawancara mendalam dengan nelayan  atau pemilik perahu wisata, menunjukkan bahwa mereka mengakui  tumpang  tindih penggunaan  pantai  dan  laut  telah menyebabkan  beberapa  insiden  yang menimpa  wisatawan  yang sedang  berenang.    Kesemrawutan  juga  disebabkan  oleh  keberadaan  para  pedagang,  penyewa  ban, penyewaan boogie yang jumlahnya cukup banyak di dalam kawasan pantai.   

Jawaban responden terhadap masalah‐masalah seputar pariwisata Pangandaran tersebut mungkin bisa dilihat  hubungannya  dengan  pendapat  mereka  tentang  aspek‐aspek  yang  harus  diperbaiki  agar pariwisata Pangandaran menjadi lebih baik. 

Tabel 3.12 Persepsi tentang persoalan pariwisata Pangandaran dan tingkat kepentingannya 

Persoalan Tingkat kepentingan (% jawaban) 

Sangat penting 

Kurang penting 

Tidak tahu Tidak jawab 

Pencemaran (penanganan limbah cair/padat) 61,7 1,3 11,5  25,6Keamanan atau Kriminalitas yang muncul 60,4 1,9 11,5  26,2Tumpang  tindih pemanfaatan pantai  (parkir dan jalur perahu, lokasi berenang, tempat berdagang) 

59,7 4,5 9,6  26,2

Adat istiadat/budaya lokal terancam hilang 56,2 3,5 15,3  24,9Prostitusi yang muncul  52,1 10,2 12,8  24,9Narkoba dan penjualan minuman keras 47,0 14,4 13,1  25,6Persediaan air bersih kurang memadai 43,8 12,8 16,9  26,5Perilaku wisatawan tidak sesuai budaya lokal 31,6 18,8 23,3  26,2

Sumber: survey penduduk LWG (2008), multiple‐answers 

Page 46: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   66

Tabel 3.13  Prioritas penanganan pariwisata Pangandaran menurut responden 

Aspek penanganan Prioritas penanganan (% jawaban) 

Pertama Kedua Ketiga Lingkungan  23,0 17,6 7,7 Manajemen (pengelolaan) wisata 21,4 13,4 9,6 Penyediaan fasilitas    14,1 8,0 7,0 Penguatan budaya lokal  6,4 1,9 3,2 Utilitas  5,1 5,1 2,2 Penegakan hukum  4,8 4,5 2,2 Ekonomi penduduk  4,5 1,3 1,6 Masalah sosial  3,2 1,9 3,8 Keamanan  3,2 6,1 6,1 Politik  2,6 1,3 0,3 

Sumber: survey penduduk LWG 2008, n=313, Multiple‐answers 

Menurut  responden,  ada  lima  aspek  yang  perlu  mendapat  prioritas  penanganan  agar  pariwisata Pangandaran menjadi  lebih baik (lihat Tabel 3.13)  . Aspek yang paling banyak dipilih sebagai prioritas pertama  adalah  lingkungan. Dalam hal  ini,  lingkungan merupakan  kondisi‐kondisi  fisik  alamiah,  baik hutan,  laut maupun pantai.  Jika  responden menganggap pencemaran  lingkungan akibat pembuangan limbah,  terutama  sampah,  dianggap  persoalan  yang  sangat  penting, maka  usulan  perbaikan  kondisi lingkungan sebagai prioritas utama merupakan hal yang wajar.  Ini  juga dapat menggambarkan bahwa responden secara umum menghendaki adanya kebersihan dan kondisi lingkungan yang nyaman sebagai indikator bahwa pariwisata Pangandaran lebih baik.   

Manajemen atau pengelolaan  juga menjadi aspek yang dianggap perlu dibenahi. Hal‐hal yang  terkait dengan  aspek  ini  adalah  tindakan‐tindakan  penataan  atau  pengaturan  terhadap  kegiatan  pariwisata Pangandaran. Kemungkinan  jawaban  ini memiliki hubungan erat dengan pendapat  responden bahwa kesemrawutan  pemanfaatan  ruang  pantai  dan  laut  sebagai  persoalan  pariwisata  Pangandaran sekarang.  Termasuk dalam hal  ini  adalah penataan pedagang di pantai. Dengan demikian, penataan ruang‐ruang  pemanfaatan  di  pantai  atau  lokasi  lain  dapat menjadi  indikator  bagi  kondisi  pariwisata Pangandaran yang lebih baik.  

Aspek berikutnya yang dianggap prioritas untuk ditangani adalah penyediaan  fasilitas yang memadai. Dari beberapa diskusi dan  FGD di desa,  terkumpul pendapat bahwa persoalan  fasilitas paling  terkait dengan masalah  pembuangan  limbah.  Tempat‐tempat  sampah  yang  selama  ini  ada  di  sekitar  lokasi wisata dianggap  kurang memadai. Dari pengamatan  lapangan  juga  telihat beberapa  tempat  sampah yang  rusak  atau  kurang mampu menampung  jumlah  sampah  yang  terbuang.  Jenis  fasilitas  lain  yang sempat disampaikan dalam diskusi adalah penerangan  jalan dan tempat parkir yang kurang memadai. Masalah  fasilitas  ini dapat pula menjadi  salah  satu  indikator  keberhasilan pengembangan pariwisata Pangandaran ke depan.  

Penguatan budaya lokal secara umum terkait dengan pengembangan atraksi wisata budaya yang ada di Pangandaran.  Beberapa  sanggar  atau  kelompok  seni  tradisional  sesungguhnya  ada  di  Pangandaran, namun  selama  ini  mereka  merasa  belum  menjadi  bagian  dari  kegiatan  pariwisata.  Di  Wonoharjo misalnya, Padepokan Sekar Pala pimpinan Mugi Guno Carito, secara rutin melakukan  latihan kesenian gamelan  dan  wayang  kulit.  Akan  tetapi,  sejauh  ini  mereka  merasa  belum  pernah  memperoleh kesempatan  tampil  di  hadapan wisatawan meskipun  pada  event  yang  bersifat  insidentil.  Responden juga  menyetujui  jika  beberapa  tradisi  lokal,  termasuk  yang  selama  ini  kontroversi,  dikembangkan sebagai atraksi wisata, seperti ritual Cirengganis, hajat laut, hajat bumi, dan kesenian tradisional. 

Page 47: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   67

Tabel 3.14   Alokasi Dana Balai BKSDA Jawa Barat II untuk TWA Pangandaran No  Sumber Dana  Tahun

      2001 2002 2003 2004  2005

1 Anggaran Balai KSDA Jabar II ( Ribu Rupiah)   540.722   1.204,390    1,004,602 

  1,103,060  

  4,939,808 

2 Alokasi anggaran untukTWA  Pangandaran(Ribu Rupiah)     95,090         1,800        12,741       154,190         31,500 

3  Persentase alokasi   17.59 0.15 1.27 13.98  0.64Sumber: Data BKSDA Jabar II 2001‐2005, Rencana Pengelolaan TWA Pangandaran, Draft, 2006.

Penguatan budaya  lokal juga terkait dengan kekhawatiran beberapa penduduk desa bahwa pariwisata Pangandaran  akan mengubah  gaya  hidup  penduduk  setempat,  khususnya  anak‐anak muda.  Dalam kesempatan  FGD  atau  wawancara  mendalam,  sebagian  peserta  merasa  khawatir  pariwisata Pangandaran  akan  membawa  nilai‐nilai  budaya  orang  luar  yang  dengan  mudahnya  diserap  oleh pemuda setempat sebagai gaya hidup baru. Hal  ini akan menyebabkan degradasi nilai‐nilai moral dan budaya di kalangan pemuda. Sebagian dari situasi yang kini dicurigai dapat mempengaruhi nilai budaya tersebut adalah perdagangan minuman keras, narkoba, dan prostitusi.  

3.4.8  Kontribusi Sektor Pariwisata terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati 

Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman  Nasional,  Taman  Hutan  Raya,  dan  Taman  Wisata  Alam  menjelaskan  bahwa  pengusaha pariwisata yang mendapatkan hak pengusahaan pariwisata alam memiliki hak untuk mengelola sarana pariwisata  sesuai  dengan  jenis  usaha  yang  sesuai  dengan  izin  usahanya.  Selain  itu,  pengusaha pariwisata  juga mempunyai  hak  untuk menerima  imbalan  dari  pengunjung  yang menggunakan  jasa yang diusahakannya.  Jasa yang dapat diusahakan tersebut meliputi usaha akomodasi  (pondok wisata, bumi petkemahan, karavan, penginapan remaja), makanan dan minuman, sarana wisata tirta, angkutan wisata, cinderamata, dan sarana wisata budaya). 

Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) Blok Pemanfaatan TWA Pangandaran seluas 17.3 ha diberikan oleh  Balai  Konservasi  Sumber  Daya  Alam  Jawa  Barat  II  (BKSDA  Jabar  II)  kepada  Perum  Perhutani berdasarkan  SK Menhut No.341/Kpts‐II/1996  tanggal  4  Juli  1996.  Secara  struktur  organisasi,  BKSDA Jabar  II berada di bawah Direktorat  Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam  (Dirjen PHKA) Departemen Kehutanan yang terdiri dari tiga Seksi Wilayah Konservasi (SSWK) yang mencakup sembilan kabupaten di Jawa Barat. Pembagiannya adalah: (i) SSWK I meliputi Ciamis dan Tasikmalaya; (ii) SSWK II meliputi  Garut  dan  Bandung  Timur;  dan  (iii)  SSWK  III  meliputi  Cirebon,  Sumedang,  Majalengka, Kuningan,  dan  Indramayu. BKSDA  Jabar  II  bertugas melaksanakan  pengelolaan  kawasan  suaka  alam, TWA,  taman  hutan  raya  dan  taman  buru  serta  konservasi  jenis  tumbuhan  dan  satwa  baik  di  dalam maupun di luar kawasan berdasarkan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. Sementara Perum Perhutani berada di bawah Kementrian Negara BUMN dengan Pembina Teknis Departemen Kehutanan. 

Dalam  pengusahaan  TWA  Pangandaran,  Perum  Perhutani  mengenakan  tarif  Rp  5.500,00  per pengunjung  dimana  Rp  3.000,00  sebagai  imbalan  jasa  pengusahaan  dan  Rp  2.500,00  adalah  PNBP (Penerimaan  Negara  Bukan  Pajak).  Perhutani  membagi  hasil  imbalan  jasa  pengusahaan  kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis sebesar 30%‐nya. Di bawah BKSDA Jabar II, pendanaan kegiatan pengelolaan dan pembangunan unit‐unit kawasan konservasi, termasuk TWA Pangandaran, umumnya bersumber dari dana pemerintah pusat  (APBN) yang dikelola oleh  lembaga  ini. Dalam hal  ini, BKSDA Jawa  Barat  II  mendistribusikan  dana  pengelolaan  ke  kawasan‐kawasan  konservasi  dalam  lingkup kerjanya  sesuai  dengan  rencana  yang  telah  ditetapkan.  Tabel  3.14  menunjukkan  alokasi  dana pengelolaan TWA Pangandaran dalam periode 2001‐2005. 

Page 48: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   68

Sedangkan  jumlah pengunjung TWA Pangandaran dalam periode yang sama yang  terlihat pada Tabel 3.15. Tabel ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan jumlah pengunjung total pada tahun 2000. Namun  dalam  tiga  tahun  berikutnya  terjadi  penurunan  jumlah  pengunjung  hingga  paling  tidak mencapai 50 persen setiap tahunnya. Penurunan pada jumlah pengunjung asing juga sangat signifikan dalam  periode  2001‐2002. Dengan  kondisi  ini, maka  penerimaan  pendapatan  dari  tiket masuk  TWA Pangandaran juga terpengaruh. Diagram 3.4 menunjukkan adanya penurunan jumlah penerimaan pada tiga  tahun  tersebut dan peningkatan drastis pada  tahun 2004. Kenaikan penerimaan  ini berlangsung lama karena penurunan pada jumlah pengunjung domestik kembali menurunkan total penerimaan. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Anggaran yang dikelola BKSDA Jabar  II terbilang kecil dibandingkan dengan  jumlah kawasan dan  jarak kawasan yang dikelola. Sementara perbandingan jumlah anggaran pengelolaan TWA Pangandaran dari BKSDA  dengan  penerimaan  pendapatan  dari  tiket  masuk  menunjukkan  ketidakseimbangan  antara sumber pemasukan dengan alokasi anggaran pengeluaran bagi  taman wisata  ini. Hal  ini dikarenakan pengelolaannya telah dikonsesikan kepada pihak Perhutani. 

Di dalam komponen tiket masuk TWA Pangandaran, komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan  sebesar  Rp  2.500,00  per  pengunjung.  Undang  Undang  No.  20  Tahun  1997  tentang Penerimaan  Negara  Bukan  Pajak  mengelompokkan  penerimaan  dari  pengusahaan  pariwisata  alam sebagai penerimaan dari pemanfataan sumber daya alam yang merupakan bagian dari kelompok PNBP. 

Tabel 3.15  Statistik Pengunjung TWA Pangandaran tahun 1998‐2007 Tahun  Pengunjung (orang)  Pendapatan 

(Rp)   Domestik  Asing  Jumlah 

1998*  n.a  n.a  n.a  97,477,000 

1999  19,968  308  20,276  20,276,000 

2000  220,443  3,148  223,591  283,042,700 

2001  230,479  1,256  231,735  440,296,500 

2002  133,474  1,757  135,231  256,938,900 

2003  69,304  2,239  71,543  135,931,700 

2004  96,790  1,981  98,771  376,840,800 

2005  36,541  137,637  174,178  106,391,900 

2006  17,152  n.a  17,152  34,304,000 

2007**  3,089  20  3,109  6,218,000 

 Catatan: *) Tidak ada catata rinci        **) sampai dengan April  Sumber:Informasi Umum BKSDA Jawa Barat II. 

Gambar 3.22  Perkembangan Penerimaan Pendapatan Tiket Masuk  Berdasarkan Jumlah Pengunjung

      Sumber: Informasi Umum BKSDA Jawa Barat II, diolah.. 

Page 49: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   69

Hal teknis terkait undang‐undang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No.52 Tahun 1998 dan No.59 Tahun  1998  yang mengatur perubahan PNBP dari  Peraturan  Pemerintah No.22  Tahun  1997  tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak di Departemen Kehutanan dan Perkebunan.   

PNBP  merupakan  retribusi  yang  dikenakan  kepada  pengguna  jasa  tertentu  yang  penerimaannya langsung dikumpulkan dan disetorkan kepada Pemerintah Pusat / Kas Negara. Dalam pelaksanaannya, tarif PNBP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dimana Pemerintah mengajukannya kepada DPR sebagai bagian dalam proses penyusunan Rancangan Undang‐Undang  tentang Anggaran Pendapatan Belanja  Negara  (APBN).  PNBP  dapat  digunakan  untuk  penelitian  dan  pengembangan  teknologi, pelayanan  kesehatan,  pendidikan  dan  pelatihan,  penegakan  hukum,  pelayanan  yang  melibatkan kemampuan intelektual tertentu dan juga pelestarian sumber daya alam. 

Mengacu  pada  peraturan  tentang  PNBP, maka  perolehan  kas  negara  dari  PNBP  TWA  Pangandaran berdasarkan  jumlah  pengunjung  pada  periode  1997‐2007  terlihat  pada  Tabel  3.16.  Data  tersebut menunjukkan bahwa penerimaan kas negara dari PNBP yang dilakukan oleh BKSDA  Jabar  II dari TWA Pangandaran  cukup  besar.  Namun  sayangnya  alokasi  anggaran  peruntukan  kawasan  TWA  sangat tergantung  pada  alokasi  yang  diajukan  oleh  instansi  terkait.  Tidak  ada  hubungan  langsung  antara penerimaan  yang  tinggi  dari  periwisata  alam  di  suatu  kawasan,  dengan  alokasi  pendanaan  yang diterima untuk mengelola program pelestarian keanekaragaman hayati ataupun peningkatan  sumber daya manusia di TWA.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Secara  keseluruhan,  kawasan Pariwisata Pangandaran dikelola oleh UPTD Pengelolaan Obyek Wisata Ciamis Selatan. Dalam satu dekade terakhir (periode 1999‐2007), realisasi pendapatan karcis masuk ke kawasan  menunjukkan  adanya  penurunan  dalam  tiga  tahun  terakhir.  Penurunan  pertumbuhan penerimaan pendapatan pada  tahun 2006  terutama disebabkan oleh bencana tsunami yang melanda kawasan  ini.  Dalam  waktu  kurang  lebih  empat  bulan  (pertengahan  Juli  s.d  Oktober  2006),  unit pelaksana tidak mengenakan retribusi untuk memasuki kawasan  ini. Selain  itu, pada bulan Desember, UPTD  juga  tidak mengenakan  retribusi  selama  kurang  lebih  empat  hari  dalam  rangka  Pandangaran Expo.  

Tabel 3.16   Perolehan PNBP TWA Pangandaran berdasarkan jumlah pengunjung Tahun  Pengunjung (orang) PNBP *** 

  Domestik Asing Jumlah (Rp) 

1998*  n.a n.a n.a n.a 

1999  19,968 308 20,276 50,690,000 

2000  220,443 3,148 223,591 558,977,500 

2001  230,479 1,256 231,735 579,337,500 

2002  133,474 1,757 135,231 338,077,500 

2003  69,304 2,239 71,543 178,857,500 

2004  96,790 1,981 98,771 246,927,500 

2005  36,541 137,637 174,178 435,445,000 

2006  17,152 n.a 17,152 42,880,000 

2007  3,089 20 3,109 7,772,500 

Catatan: *) Tidak ada catatan rinci    **) sampai dengan April       ***) Asumsi PNBP tidak berubah Rp2.500,00 per pengunjung Sumber:Informasi Umum BKSDA Jawa Barat II, diolah. 

Page 50: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   70

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penerimaan dari  karcis masuk  kawasan merupakan  salah  satu  sumber penerimaan APBD  Kabupaten Ciamis.  Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten mempunyai kewenangan alokasi anggaran melalui penyusunan program APBD melalui dinas terkait yang secara  langsung maupun tidak  langsung dengan konservasi alam untuk kelestarian keanekaragaman hayati. Berdasarkan  pada keterkaitan dinas dengan potensi wisata  alam Kawasan Pangandaran  yang mempunyai banyak obyek wisata,  terdapat paling tidak tiga unit kerja yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan.  Di  dalam  daftar  prioritas  program  dan  kegiatan  pembangunan  Kabupaten  Ciamis  tahun 2008, bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Dinas  Lingkungan Hidup hal  ini merupakan urusan wajib; sedangkan bagi Dinas Kehutanan merupakan urusan pilihan.  

Daftar program yang terkait dengan konservasi di kawasan Pangandaran ditunjukkan pada Tabel 3.18, di antaranya adalah perlindungan konservasi SDA oleh Dinas Lingkungan Hidup dan perlindungan dan konservasi sumber daya hutan dan SDA oleh Dinas Lingkungan Hidup. Program pada Dinas Kebudayaan dan  Pariwisata  lebih menekankan  pada  aspek  kepariwisataan  dan  tidak  atau  kurang  program  yang bersinggungan dengan kegiatan   pelestarian sumber daya alam.  

Daftar kegiatan di atas memperlihatkan bahwa kegiatan yang terkait dengan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati tidak secara spesifik disebutkan lokasi yang dituju. Sementara alokasi dana untuk kegiatan yang terkait dengan konservasi alam dari ketiga instansi ini sebesar 1, 6 miliar. Dari jumlah  tersebut  kecil  prosentase  dana  yang  khusus  dialokasikan  untuk  kegiatan  konservasi  di Pangandaran yang terkait langsung dengan sektor Pariwisata. 

 

Tabel 3.17   Jumlah Pengunjung dan Realisasi Penerimaan  Tol Gate Kawasan PangandaranTahun  Pengunjung Penerimaan 

  Domestik  Asing Total Total (Rp) Pertumbuhan (%)

1998  284,264  8,715 292,979 1,178,537,505 ‐

1999  1,036,252  6,078 1,042,330 2,216,102,000 88.04

2000  1,042,537  6,554 1,049,091 223,202,000 (89.93)

2001  935,153  5,620 940,773 1,995,736,500 794.14

2002  915,360  3,882 919,242 1,971,432,200 (1.22)

2003  881,870  1,469 883,339 2,368,712,000 20.15

2004  968,128  3,344 971,472 2,704,260,800 14.17

2005  420,886  2,801 423,687 1,152,535,700 (57.38)

2006  271,842  1,618 273,460 741,838,000 (35.63)

2007  253,207  4,306 257,513 700,129,700 (5.62)

Catatan: Mulai bulan Maret tahun 2003 diberlakukan harga karcis baru. Sumber: UPTD Pengelola Obyek Wisata Ciamis Selatan. 

Page 51: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   71

Kondisi  di  atas  umum  terjadi  di  Indonesia,  seperti  diuraikan  di  atas  bahwa mekanisme  yang  diatur dalam  peraturan  pemerintah  tentang  PNBP,  memang  tidak  memungkinkan  suatu  kawasan  secara langsung dapat menggunakan pendapatan hasil kegiatan yang dikumpulkan untuk kegiatan konservasi kawasan atau keanekaragaman hayati. Pada kasus Pangandaran, jumlah pendapatan yang diterima oleh 

Tabel  3.18   Daftar Program Tiga Dinas Terkait Obyek Wisata dan Keterkaitan dengan Konservasi AlamNo  Urusan Wajib  Urusan Pilihan 

  Dinas Lingkungan Hidup  Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kehutanan 

  Program  Program  Program 

I  Bidang Energi dan Lingkungan Hidup 

Pelayanan Administrasi Perkantoran  Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan 

1  Pelayanan Administrasi Perkantoran  Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur 

Rehabilitasi Hutan dan Lahan 

2  Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur 

Peningkatan Disiplin Aparatur Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Hutan 

3  Peningkatan Disiplin Aparatur  Peningkatan dan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan 

 

4  Peningkatan dan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan 

Pengembangan Nilai Budaya

5  Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan 

Pengelolaan Kekayaan Budaya   

6  Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam 

Pengembangan Kekayaan Budaya

7  Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam 

Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata 

 

8  Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA & LH 

Pengelolaan Keragaman Budaya

9  Peningkatan Pengendalian Polusi  Pengembangan Pemasaran Wisata   

10  Pembinaan dan Pengawasan Bidang Pertambangan 

Pengembangan Destinasi Wisata

11  Pembinaan Pengembangan Bidang Ketenagalistrikan 

Pengembangan Kemitraan   

II  Kantor Pelayanan Kebersihan dan Pertamanan 

1  PengembanganKinerja Pengelolaan Persampahan 

   

2  Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau 

Sumber:  Daftar  Prioritas  Program  dan  Kegiatan  Pembangunan    Kabupaten  Ciamis  Tahung  Anggaran  2008, Bappeda 2007. 

Page 52: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   72

Pemerintah  Daerah  dari  sektor  Pariwisata,  jauh  lebih  besar  dari  dana  yang  dikembalikan  untuk pengelolaan kawasan melalui Dinas Pariwisata.  

Melihat kondisi di atas, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme baru di destinasi Pariwisata alam untuk  dapat  mengakomodir  kepentingan  pelestarian  keanekaragaman  hayati,    khususnya  untuk menjaga kualitas keanekaragaman hayati dan ekosistemnya sebagai aset Pariwisata serta juga sebagai upaya  mengelola  dampak  dari  kegiatan  Pariwisata  terhadap  keanekaragaman  hayati.  Salah  satu mekanisme  adalah membentuk  Lembaga  pengelola  kawasan  yang  dilegalisasi  di  tingkat  Kabupaten ataupun  tingkat Provinsi,  yang melibatkan para pihak di dalamnya.  Lembaga Pengelola  ini  kemudian mengembangkan mekanisme pendanaan dari pengelolaan yang efektif, untuk menghasilkan dana dari pengelolaan  yang  dapat  dibelanjakan  langsung  untuk  mengatasi  masalah‐masalah  pengelolaan  di tingkat lapangan. Pengelolaan yang adaptif dipercaya dapat meningkatkan keberlanjutan usaha. 

3.5 Kerangka Hukum 

3.5.1  Kebijakan  

Kebijakan di bidang kepariwisataan   

Seperti  yang  ditetapkan  dalam  Undang‐Undang  No.  9  tahun  1990  pembangunan  pariwisata    harus ditujukan untuk:    

• Memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan,  dan meningkatkan mutu  objek  dan  daya tarik wisata;  

• Memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa;   • Memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja   • Meningkatkan  pendapatan  nasional  dalam  rangka  meningkatkan  kesejahteraan  dan 

kemakmuran rakyat   • Mendorong pendayagunaan produk nasional.   

 Selanjutnya, pengembangan daya tarik wisata dilakukan dengan memperhatikan:   

• Kemampuan  untuk  mendorong  peningkatan  perkembangan  kehidupan  ekonomi  dan  sosial budaya; 

• Nilai‐nilai agama, adat‐istiadat, serta pandangan dan nilai‐nilai yang hidup dalam masyarakat • Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup • Kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri   

Penyelenggaraan  kepariwisataan  dilaksanakan  berdasarkan  asas  manfaat,  usaha  bersama  dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri (UU No 9 tahun 1990).     Oleh karenanya harus dilakukan dengan partisipasi masyarakat. Seperti yang tercantum  dalam  undang‐undang, masyarakat memiliki  kesempatan  yang  sama  dan  seluas‐luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan.   Dalam proses pengambilan keputusan, pemerintah  dapat  mengikutsertakan  masyarakat  melalui  penyampaian  saran,  pendapat  dan pertimbangan,  tanggapan, masukan  terhadap  pengembangan,  informasi  potensi  dan masalah,  serta rencana pengembangan kepariwisataan (Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1997). 

Dalam  kaitannya  dengan  pengembangan  pariwisata  di  kawasan  Pangandaran,  pemerintah  Propinsi Jawa Barat telah menetapkan kawasan Pangandaran sebagai   salah satu kawasan pariwisata unggulan (KWU)  melalui  Peraturan  Gubernur  Jawa  Barat  No  48  tahun  2006  tentang  Rencana  Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Barat (2007‐2013).   

 

Page 53: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   73

Kebijakan Terkait Lingkungan Hidup 

Kawasan  Pangandaran  tidak  bisa dilepaskan  dari  kehadiran    cagar  alam  darat  dan  laut  serta  Taman Wisata Alam Pananjung. Keberadaan kawasan lindung tersebut dilandasi oleh Undang‐undang (UU) no 5  tahun  1990  tentang  Konservasi  Sumber  Daya  Alam  dan  Ekosistemnya  dan UU  no  41  tahun  1999 tentang  Kehutanan,  diikuti  rincian  lebih  detail  pada  Peraturan  Pemerintah  (PP)  No  68  tahun  1988 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam, serta Keputusan Menteri Pertanian dan Kehutanan dalam hal penunjukan kawasan tersebut. Sebagaimana telah disinggung pada sub‐bab 3.1.3, cagar alam dan taman wisata alam memiliki fungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari. Cagar alam bersifat lebih ke arah perlindungan murni  sehingga  kegiatan  pemanfaatannya  terbatas  hanya  untuk  penelitian  dan  pengembangan, pendidikan  serta  kegiatan  penunjang  budidaya.  Intervensi manusia  di  tempat  ini  ditekan  seminimal mungkin,  membuat  kegiatan  pengelolaan  yang  boleh  dilakukan  hanya  berupa  pengamanan, inventarisasi  dan  penelitian.  Sementara  untuk  taman wisata  alam memiliki  ketentuan  lebih  longgar. Pemanfaatan untuk kegiatan wisata diperbolehkan di sini, bahkan dimungkinkan untuk mendapatkan konsesi pengusahaan pariwisata alam  sebagaimana  telah dibahas pada  sub‐bab 3.5.1. Demikian pula halnya  dengan  kegiatan  pengelolaan,  pembinaan  habitat  dan  populasi  satwa  dimungkinkan  untuk dilakukan di sini.   UU no 41  juga menyatakan bahwa  cagar  alam dan  taman wisata  alam  adalah hutan negara dengan kewenangan pengelolaan di bawah Departemen Kehutanan. Namun demikian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan masih dimungkinkan dengan adanya Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19 tahun 2004.  Dalam  peraturan  tersebut  diterangkan  bahwa  pengelolaan  kawasan  bisa  dilakukan  secara multipihak  melalui  pengembangan  pengelolaan  kolaboratif,  dengan  syarat  tidak  merubah  status kawasan dan kewenangan pengelolaan tetap berada di Departemen Kehutanan.   Dalam kaitan dengan keanekaragam hayati,  Indonesia  telah meratifikasi melalui UU no 5  tahun 1994 tentang  Konvensi  Perserikatan  Bangsa‐bangsa Mengenai  Keanekaragaman  Hayati.  Konsekuensi  dari ratifikasi ini, Indonesia harus menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang dimilikinya, termasuk di Pangandaran, baik di dalam cagar alam dan taman wisata alam maupun di luar. Melalui UU no 5 tahun 1994,  pemerintah  telah  menggolongkan  tumbuhan  dan  satwa  ke  dalam  jenis  dilindungi  dan  tidak dilindungi  dan  lalu dijabarkan dalam  PP no  7  tahun  1999  tentang  Pengawetan  Jenis  Tumbuhan  dan Satwa.  Peraturan  ini  bertujuan  untuk  menghindari  kepunahan  tumbuhan  dan  satwa,  menjaga kemurnian  genetik dan  keanekaragaman hayati,  serta menjaga  keseimbangan  ekosistem.  Sementara untuk pemanfaatannya diatur dalam PP no 8  tahun 1999  tentang Pemanfaatan  Jenis Tumbuhan dan Satwa.   Menyangkut masalah limbah, kini merupakan salah satu persoalan utama di Pangandaran, sebenarnya telah  diatur  dalam  UU  no  23  tahun  1997  tentang  Pengelolaan  Lingkungan  Hidup.  Dalam  UU  ini disebutkan kewajiban untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran beserta kerusakan lingkungan, dan memulihkannya kembali.   Oleh karena  itu  setiap  rencana usaha atau kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak negatif besar dan penting, harus melakukan analisis dampak  lingkungan  terlebih dahulu.   UU  ini  telah dijabarkan  lebih  rinci melalui PP no 27  tahun 1999 mengenai Analisis Dampak Lingkungan dan PP no 82  tahun 2001  serta Peraturan Daerah Propinsi  Jawa Barat no 3  tahun 2004, keduanya  tentang  Pengelolaan  Kualitas  Air  dan  Pengendalian  Pencemaran  Air.  Terakhir  pada  tahun 2008  telah  terbit  UU  no  18  tentang  Pengelolaan  Sampah.  Undang‐undang  ini  berguna  untuk 

Page 54: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   74

mendorong  agar  pemerintah,  semua  pelaku  wisata  dan  masyarakat  di  Pangandaran  untuk memperhatikan  dan  melakukan  pengelolaan  sampah  secara  bersama‐sama.  Semuanya  mempunyai peran dan kewajiban masing‐masing dalam pengelolaan sampah. 

Sebagai daerah pesisir, pengelolaan kawasan Pangandaran harus mengikuti ketentuan dalam UU no 27 tahun  2007  tentang  Pengelolaan Wilayah  Pesisir  dan  Pulau‐pulau  Kecil.  Salah  satu  hal  penting  yang dicantumkan dalam UU  ini adalah dapat ditetapkannya sebagian wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil sebagai  kawasan  konservasi  untuk  kepentingan melindungi  sumber  daya  ikan,  tempat  persinggahan dan  alur migrasi  biota  laut, wilayah  yang  diatur  oleh  adat  tertentu,  dan  ekosistem  pesisir  unik  dan rentan  terhadap perubahan. Kawasan konservasi  ini dikenal dengan  istilah KKLD  (Kawasan Konservasi Laut Daerah)  yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan, namun  kewenangan pengelolaannya berada di pemerintah daerah. Kabupaten Ciamis sendiri telah menindak lanjuti peraturan ini dengan menetapkan Pencadangan Lokasi Kawasan Konservasi Laut melalui Surat Keputusan Bupati Ciamis no 15 tahun 2008, dengan cakupan seluruh wilayah laut di kabupaten Ciamis dari titik pantai surut terendah hingga sejauh 4 mil.  

Khusus  untuk  pemanfaatan  daerah  di  sepanjang  pantai  terdapat  ketentuan  berdasarkan  Keputusan Presiden  no 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, diikuti Peraturan Daerah Jawa Barat no  2  tahun  2006  perihal  yang  sama  serta  Peraturan  Daerah  Kabupaten  Ciamis  No.  14  tahun  2001 tentang Garis Sempadan. Peraturan  ini menyebutkan bahwa daerah sempadan pantai, yaitu dari  titik pasang  tertinggi  sampai  minimal  100  meter  ke  arah  darat,  termasuk  ke  dalam  kawasan  lindung sehingga pada area ini tidak diperbolehkan membuang limbah padat domestik dan industri serta limbah cair  juga  mendirikan  bangunan  semi  permanen  dan  permanen  untuk  hunian  dan  tempat  usaha. Sementara  dalam  hubungannya  sebagai  daerah  rawan  bencana  tsunami,  kawasan  Pangandaran mengikuti  ketentuan  sebagaimana  diisaratkan  pada UU  no  24  tahun  2007  tentang  Penanggulangan Bencana.  Hal  yang  relevan  dengan  dengan  kondisi  Pangandaran  saat  ini  dari  UU  ini  adalah  perihal penanggulangan  bencana  tahap  pra  bencana,  yaitu  dalam  situasi  tidak  terjadi  bencana  dan  dalam situasi  terdapat  potensi  terjadinya  bencana.  Penyelenggarakan  penanggulangan  bencana  yang  harus dilakukan  dalam  situasi  ini  meliputi  perencanaan  penanggulangan,  pengurangan  resiko  bencana, pencegahan,  pemaduan  dalam  perencanaan  pembangunan,  analisis  resiko  bencana,  penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, serta standar teknis penanggulangan bencana.  

3.5.2. Arahan  

Arahan di bidang kepariwisataan   

Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Barat memberi arahan pengembangan bagi setiap KWU untuk  mengembangkan  sektor  pariwisatanya    secara  saling  melengkapi  dengan  KWU  lain.    Untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang harmonis/selaras    tersebut pengembangan pariwisata di kawasan  Pangandaran  diharapkan  mendukung    topik  “Rekreasi  Pantai  yang  Ramah Lingkungan/Berkelanjutan”  dan “Budaya Nelayan/Pesisir”.  Penetapan topik tersebut melengkapi tema pengembangan pariwisata di sepanjang pantai selatan Jawa Barat – kawasan Pelabuhan Ratu Area dan Pantai Selatan‐ yang masing‐masing akan difokuskan pada ekowisata dan pariwisata minat khusus.   

Memperhatikan  situasi  kepariwisataan  di  Pangandaran,  RIPPDA  Jabar  juga  menyarankan  agar pengembangan kepariwisataan di kawasan Pangandaran harus ditujukan untuk : 

• Menyelesaikan persoalan yang saat ini dihadapi kawasan tersebut,  

• Mendukung basis ekonomi kawasan tersebut   

Page 55: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   75

• Mereorientasikan wisatawan/permintaan  

• Dan mempromosikan budaya pantai sebagai bagian dari identitas masyarakat Jawa Barat.   

Sebagai bagian dari wilayah Pantai Selatan Jawa Barat, pengembangan pariwisata di Pangandaran juga harus  mempertimbangkan  Rencana  Induk  Pantai  Selatan  Jawa  Barat  2006  yang  visinya  adalah mewujudkan ”Pantai Selatan Jawa Barat sebagai kawasan agro‐industri dan pariwisata terpadu melalui pemanfaatan  optimum    sumber  daya  daratan  dan  lautan  sekaligus melestarikan  lingkungan”.   Oleh karenanya, adalah  logis apabila rencana tersebut memanfaatkan pariwisata dan pertanian    (termasuk perikanan dan peternakan) seabagai alat untuk pembangunan wilayah yang  juga selaras dengan topik pengembangan pariwisata di area tersebut.   

Memperhatikan bahwa pariwisata diharapkan menjadi kegiatan ekonomi andalan di wilayah tersebut, peran Pangandaran untuk meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah menjadi penting.   Terdapat beberapa  kegiatan  terkait  pengembangan  pariwisata  yang  disarankan  dalam  Rencana  Induk  Pantai Selatan Jawa Barat untuk dilakukan  pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dalam hal:   

• Atraksi wisata, seperti pengemasan, pengelolaan dan pemasaran atraksi wisata.   

• Aksesibilitas,  seperti meningkatkan  aksesibilitas  ke  Pangandaran  dari  daerah  asal wisatawan dengan mengoperasikan kembali Bandara  Nusa Wiru dan membuka kembali rute penerbangan ke  Pangandaran  untuk menarik wisatawan  dari  luar  Jawa  Barat    (Jakarta,  Yogyakara &  Bali) serta  memperbaiki  kualitas  jalan  dan  moda  transportasi  antar  atraksi  wisata  di  kawasan Pangandaran.   

• Amenitas:  penataan  kembali  komponen  pariwisata  di    pantai  untuk  menciptakan  kawasan wisata yang nyaman seperti mengatur pedagang kaki lima, membuat café pantai menarik.  

Di  kawasan  Pangandaran  terdapat  Cagar  Alam  Pananjung  Pangandaran  dan  Taman  Wisata  Alam Pananjung Pangandaran. Pemanfaatan ke dua kawasan tersebut   diatur oleh peraturan yang berbeda. Cagar Alam Pananjung Pangandaran hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan bersifat penelitian dan pendidikan sementara Taman Wisata Alam dapat digunakan untuk keperluan rekreasi komersial.   

Pemanfaatan taman wisata alam selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah   No 18 tahun   1994 tentang  Pengusahaan Wisata  Alam  di  Zona  Pemanfaatan  Taman  Nasional,  Taman  Hutan  Raya,  dan Taman Wisata Alam. Pengusahaan wisata alam adalah kegiatan untuk mengoperasikan usaha  fasilitas pariwisata di  zona pemanfaatan di  taman nasional,  taman hutan  raya dan  taman wisata  lain dengan memperhatikan    rencana pengelolaan  taman.   Tujuan dari pengusahaan adalah untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan dan keindahan alam di  zona pemanfaatan  taman nasional,  taman hutan  raya dan  taman  wisata  alam.  Namun  demikian,  pengusahaan  wisata  alam  harus  sesuai  dengan  prinsip‐rpinsip  konservasi sumber daya alam  di dalam ekosistemnya.   

Peran pariwisata dalam pembangunan masyarakat dan wilayah telah cukup dipahami berbagai pihak di dalam kawasan studi dan saat ini terdapat beberapa kegiatan pengembangan pariwisata yang diusulkan maupun berjalan. Namun demikian, penting bagi kegiatan yang masuk dalam kategori : 

• hotel lebih dari  200 kamar atau ≥  5 Ha,  • lapangan golf segala ukuran 

• taman rekreasi lebih dari  100 Ha,  

• resort wisata segala ukuran dan  

• kawasan yang skala/besaran suatu  jenis rencana usaha dan/atau kegiatan  lebih kecil daripada skala/besaran yang disebut di atas  akan tetapi atas dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya 

Page 56: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   76

dukung  dan  daya  tampung  lingkungan  serta  tipologi  ekosistem  setempat  diperkirakan berdampak penting terhadap lingkungan hidup,  

untuk  menyiapkan  usulan  kegiatannya  dengan  dokumen  AMDAL  (analisis  mengenai  dampak lingkungan).  Sementara  itu,  untuk  kegiatan  pengembangan  di  luar  yang  disebutkan  di  atas  untuk menyiapkan upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL). 

Arahan terkait lingkungan hidup 

Kawasan  Cagar  Alam  dan  Taman  Wisata  Alam  Pananjung  Pangandaran    telah  memiliki  Dokumen Rencana Pengelolaan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Pangandaran 2004 yang memberikan arahan bagi pengembangan berbagai di  kegiatan di  sana. Hal penting  tercantum dalam dokumen  ini  adalah rencana untuk melakukan evaluasi peruntukan fungsi kawasan sebagai solusi atas pemanfaatan wilayah cagar  alam  dari  kegiatan  pariwisata  yang  seharusnya  tidak  diperbolehkan  dilakukan  di  sana. Usulan tersebut meliputi pengalihan fungsi sebagian kawasan cagar alam, yaitu blok Pasir Putih (15 hektar) dan Cirengganis (2,3 hektar),menjadi taman wisata alam. Demikian pula untuk wilayah cagar alam laut dialih fungsikan  sebagai  taman wisata alam  laut.   Kebijakan  ini mungkin memang bisa menjadi  jalan keluar bagi  permasalahan  pemanfaatan  cagar  alam  selama  ini,  namun  implementasinya  harus  dilakukan dengan hati‐hati  agar  tidak menjadi preseden  atau pembenaran untuk melakukan perubahan  fungsi kawasan cagar alam lainnya.   

Dokumen  rencana  pengelolaan  ini  juga  memberikan  arahan  untuk  mengembangkan  pengelolaan kolaborasi di cagar alam dan  taman wisata alam melalui penerapan Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat. Selain  itu juga akan dilakukan pembangunan sarana prasarana bagi kepentingan pengelolaan kawasan maupun wisata alam. Perlu diberi catatan di  sini,  sangat penting untuk adanya suatu panduan dalam pembangunan  fisik agar  sarana prasarana dapat berfungsi  sesuai dengan yang dinginkan tanpa mengorbankan aspek estetika, serasi dengan alam dan ramah lingkungan.  

Khusus  untuk pariwisata alam, dokumen ini merekomendasikan agar Perhutani selaku pemegang IPPA agar melakukan kerja sama dengan pihak ketiga guna meningkatkan kualitas pariwisata alam di taman wisata alam. Konsep yang diusulkan adalah   pengembangan Dusun Wana  (natural preserved botique resort), yaitu fasilitas setara hotel bintang 4 dengan tetap melindungi  lingkungan alam dan tradisi dan pengelolaan  berstandar  internasional.  Sebaiknya  usulan  ini  dikaji  lebih  mendalam  lagi  dengan mempertimbangkan  kondisi  ekonomi‐sosial  dan  budaya  setempat  serta  pemahaman  masyarakat terhadap taman wisata alam, agar tidak menimbulkan pertanyaan mengenai fungsi kawasan tersebut.  

Dalam  hal  pengembangan  Kawasan  Konservasi  Laut  Daerah,  seperti  telah  disinggung  pada  sub‐bab 3.5.1,  baru  sampai  pada  tahapan  pencadangan  lokasi.  Dari  sini  masih  harus  dilanjutkan  dengan membuat rencana pengelolaan – termasuk penentuan zonasi‐ dan pendirian  lembaga pengelola yang diarahkan ke pengelolaan kolaboratif. Rencananya pemanfaatan kawasan konservasi laut  adalah untuk kegiatan perikanan berkelanjutan, wisata bahari, penelitian dan pengembangan, pengembangan sosial ekonomi masyarakat dan pemanfaatan sumber daya laut lainnya secara lestari.  

Seperti telah disampaikan di bagian terdahulu, pengembangan di kawasan pantai perlu memperhatikan fungsi sempadan pantai sebagai kawasan  lindung setempat.   Sebagai kawasan yang berada di daerah rawan  bencana  tsunami,  pembangunan  di  kawasan  studi  sebaiknya memperhatikan  arahan‐arahan lebih  lanjut  yang  telah  disusun  untuk mengurangi  kerentanan  terhadap  bencana  tsunami.    Dalam 

Page 57: 20090415 Rev02 Draft Final Tmp in Bab03 Unwto

 

 

 

 

Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran 

 

 

 

 

   77

Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Alam di Pantai Selatan Jawa Barat yang disusun Departemen Pekerjaan Umum tahun 2007, wilayah dengan : 

• elevasi di bawah 3 meter di atas permukaan laut 

• morfologi pantai landai 

• kerapatan vegetasi rendah  merupakan wilayah pantai yang beresiko tinggi mengalami kerusakan (zona bahaya).  

Pada prinsipnya, pemanfaatan  ruang di  kawasan  yang  rawan  tsunami  sebaiknya  tidak  ada bangunan penduduk pada  radius 200 meter dari pantai.   Pada  radius 200 meter dari pantai ditetapkan  sebagai daerah  penyangga  yang  efektif  mengurangi  kecepatan  dan  ketinggian  gelombang  tsunami.  Untuk meredam  kecepatan  dan  ketinggian  gelombang  tsunami,  di  daerah  penyangga  ditanami  pepohonan dengan  ketinggian  10  sampai  15 meter.  Penyangga  dapat  juga membuat  tanggul  penahan  tsunami, saluran buatan atau kolam pengendali.   Di daerah bahaya diarahkan untuk membangun soft structure yang dikombinasikan dengan budidaya perikanan dan program ekowisata.