2007azw.pdf

105
EVALUASI STABILITAS GENETIK TANAMAN GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.) HASIL KULTUR IN VITRO A Z W I N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Upload: ari-syuhada-putra

Post on 25-Oct-2015

81 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

knfvkfngk

TRANSCRIPT

Page 1: 2007azw.pdf

EVALUASI STABILITAS GENETIK TANAMAN GAHARU

(Aquilaria malaccensis Lamk.) HASIL KULTUR IN VITRO

A Z W I N

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Page 2: 2007azw.pdf

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Azwin E051040091

Page 3: 2007azw.pdf

ABSTRAK

AZWIN. Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro. Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR dan SUPRIYANTO. Gaharu (A. malaccensis Lamk.) adalah salah satu tanaman hutan tropis penghasil resin yang bernilai ekonomi tinggi. Meningkatnya permintaan gaharu dari tahun ke tahun menyebabkan terjadinya penebangan liar dari hutan alam tidak terkontrol. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan pengembangan tanaman gaharu. Teknik kultur jaringan adalah suatu metode alternatif yang dapat menghasilkan bibit secara genetik lebih baik dimasa yang akan datang. Keuntungan kultur jaringan dapat menghasilkan planlet dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat. Disamping itu, dengan teknik ini juga dapat menghasilkan tanaman yang homogen dan bebas penyakit. Meskipun demikian, teknik kultur jaringan juga dapat menyebabkan terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui perbedaan stabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro baik eksplan yang berasal dari tunas aksilar maupun eksplan dari tunas adventif, dan (2) untuk mendapatkan konsentrasi optimum zat pengatur tumbuh BAP atau TDZ untuk menginduksi tunas gaharu dalam kultur in vitro. Media dasar yang digunakan adalah media MS (Murashige and Skoog, 1962). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan konsentrasi BAP (kontrol; 0,50 ppm; 0,75 ppm; 1,0 ppm) atau TDZ (kontrol; 0,25 ppm; 0,50 ppm; 0,75 ppm), dengan 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 4 botol, setiap botol ditanam satu eksplan yang berasal dari tunas aksilar atau tunas adventif. Teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) telah digunakan untuk mengetahui variasi genetik dari pohon induk dan bibit (sebelum kultur) dan variasi somaklonal tunas aksilar dan tunas adventif (hasil kultur). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dua jenis eksplan yang ditanam secara in vitro pada media MS yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm menghasilkan jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun yang terbaik. Hasil evaluasi stabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro menggunakan penanda RAPD menunjukkan bahwa keragaman genetik (he) sebelum kultur (0,0729), hasil kultur (planlets) (0,0833), sub kultur I (0,0903) dan sub kultur II (0,0382), sedangkan keragaman genetik pohon induk sebesar 0,2454.

Page 4: 2007azw.pdf

ABSTRACT

AZWIN. Evaluation of Genetic Stability of Agarwood (Aquilaria malaccensis Lamk.) in In Vitro Culture. Supervised by ISKANDAR Z. SIREGAR and SUPRIYANTO. Agarwood (A. malaccensis Lamk.) is one of the important tropical forest trees, which produces a high economically valuable fragrant resinous wood. The increase of agarwood demand from year to year leads to uncontrolled illegal harvest of this plant from its natural habitat. To encounter this problem, there is an urgent need to develop agarwood plantation. Tissue culture is an alternative method to provide genetically good seedlings for plantation in the future due to its short period and mass quantity of planlet production. In addition, through this method, its might also provide homogenous plant, and free from diseases. However, genetic variation of in vitro plant may also be resulted from tissue culture technique. The objectives of the study were (1) to study the difference of genetic stability of agarwood between axillaries and adventitious shoot explants during in vitro culture; and (2) to find out the optimal concentration of BAP or TDZ for inducing shoot multiplication of agarwood in in vitro conditions. MS (Murashige And Skoog, 1962), was used as basal media. The experimental design of the research was completely randomized design (CRD) with treatment of BAP concentration ( control; 0,50 ppm; 0,75 ppm; 1,0 ppm) or TDZ concentration (control; 0,25 ppm; 0,50 ppm; 0,75 ppm), in 3 replicates. Each replicate consist of 4 bottles, every bottle containing one explants coming from axillaries and adventitious shoot explants. Technique of Random Amplified Polymorphic DNA ( RAPD) have been used to study genetic variation of mother trees and seedling (before culture) and somaclonal variation of axillaries and adventitious shoots (resulted from tissue culture). Results indicated that two types of agarwood explants grown in vitro in MS basal media containing BAP 0,50 ppm or TDZ 0,25 ppm produced the highest number of shoots and leaves of agarwood plantlets, as well as its plantlet shoot length. Somaclonal variation analysis using RAPD found the variation of plantlet before culture (0,0729), after plantlet culture (0,0833), 1st subculture (0,0903) and 2nd subculture (0,0382), while the genetic variation of mother trees was 0,2454.

Page 5: 2007azw.pdf

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

Page 6: 2007azw.pdf

EVALUASI STABILITAS GENETIK TANAMAN GAHARU

(Aquilaria malaccensis Lamk.) HASIL KULTUR IN VITRO

A Z W I N

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Page 7: 2007azw.pdf

Judul Tesis : Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro

Nama : Azwin NIM : E051040091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc Dr. Ir. Supriyanto Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 16 April 2007 Tanggal Lulus: 04 Mei 2007

Page 8: 2007azw.pdf

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari sampai dengan November 2006 ialah Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro.

Gaharu merupakan sejenis tumbuhan yang hidup di hutan alam Indonesia yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama dalam bentuk gubal atau resin yang dihasilkannya. Namun sangat disayangkan tumbuhan ini sudah hampir terancam punah keberadaaanya di hutan alam, hal ini disebabkan oleh penebangan liar yang tidak terkendali serta tidak adanya usaha pelestarian. Tumbuhan gaharu dimasa yang akan datang perlu dipertahankan dan dilestarikan sebagai tumbuhan asli Indonesia dan dapat dijadikan sebagai sumber devisa bagi negara. Dalam upaya tersebut, penulis mencoba melakukan penelitian dalam rangka mendapatkan metode perbanyakan tanaman gaharu secara vegetatif melalui teknik kultur jaringan tanaman, sekaligus melakukan analisis mengenai variasi genetik yang terjadi selama proses pengkulturan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan bibit gaharu yang berkualitas dalam upaya pengembangan tanaman gaharu dimasa yang akan datang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Supriyanto, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya, sehingga masukan, saran dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Mei 2007

Azwin

Page 9: 2007azw.pdf

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bantaian, Kabupaten Rokan Hilir Riau, pada

tanggal 05 Maret 1977 dari Ayah Muhammad Said M dan Ibu Zainabun. Penulis

merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara.

Pendidikan dasar penulis jalani di SD Negeri 028 Desa Bantaian lulus

pada tahun 1990, melanjutkan ke SMP Negeri 2 Bagansiapiapi lulus pada tahun

1993, kemudian pada tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bagansiapiapi

dan pada 1997 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Lancang Kuning

Pekanbaru pada Fakultas Pertanian dengan memilih Jurusan Agronomi, lulus pada

tahun 2003. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Institut

Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Jurusan

Budidaya Hutan. Dari tahun 1996 sampai sekarang penulis bekerja sebagai Staf

Biro Akademis Universitas Lancang Kuning Pekanbaru.

Selama mengikuti kuliah S2, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah

Silvikultur Hutan Alam dan Bioteknologi Tanaman Hutan di Fakultas Kehutanan

IPB pada tahun ajaran 2006/2007.

Page 10: 2007azw.pdf

Nama : AZWIN, S.P, M.Si Alamat Rumah : Jln. Umban Sari Atas Gang Geso VI Ujung, RT.03 RW.08

Rumbai Pekanbaru - Riau, 28265. Alamat Surat : Univ. Lancang Kuning Jln. D.I. Pandjaitan Km.8 Rumbai

Pekanbaru - Riau, 28265. Telp. (0761) 53108. E-mail : [email protected]

Page 11: 2007azw.pdf

UCAPAN TERIMA KASIH Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini, namun semua ini tidak terlepas dari bantuan dan motivasi dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan hidayah-Nya, atas izin dan ridho-Nya, penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan pendidikan ini, semoga ilmu ini bermanfaat bagi diri penulis dan orang lain serta dapat menambah ketaqwaan kepada-Nya. Amin.

2. Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Supriyanto selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, masukan, nasehat dan dukungannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik, serta kepada Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc sebagai Kepala Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, yang telah memberikan keringanan biaya penelitian analisis RAPD semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan keikhlasan Bapak.

3. Bapak Ir. Ervizal A.M. Zuhud selaku Kepala Laboratorium Kultur Jaringan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, terima kasih atas izin penggunaan Laboratoriumnya.

4. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc, selaku Ketua Program Studi IPK yang telah memberikan pelayanan yang baik kepada penulis selama menjalankan pendidikan di PS IPK IPB.

5. Ibu Dr. Syarifah Iis Aisyah, M.Sc. Agr, selaku dosen penguji luar dalam ujian akhir dari tesis ini, terima kasih atas kesediaannya untuk menguji dan berbagi pengalaman.

6. Bapak Dr. Ir. Irwan Effendi, MSc, Rektor Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan S2 di IPB.

7. Pemda Provinsi Riau, yang telah memberikan bantuan dana pendidikan. 8. Yang saya muliakan dan hormati, kedua orang tua saya, Bapak M Said M, dan

Ibu Zainabun, yang selalu berdo’a siang dan malam tanpa pamrih, baik dalam suka maupun duka demi keberhasilan dan kesuksesan anaknya, semoga Allah SWT memberikan kesehatan, kekuatan dan umur panjang kepada mereka. Amin.

9. Keluarga Besar di Kampung: kakak, abang, adek, abang ipar, abang A. Kholid, SH. M.Hum, ponaan dan cucu, terima kasih atas do’a dan dukungannya.

10. Buat teman-teman: Nesa Rosalia, Nur Adnan, Duryat, Pak Khalik, Rum & Erni, Mariyana U, Tedi Y, Pak Julius, Pak La Ode, Pak Sedek, Pak Ajun J, Pak Aah, Pak Melawanto, dan semua teman-teman IPK angkatan 2004 dan 2005 yang telah banyak membantu, baik moril maupun materil. Semoga kebaikan teman-teman mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Bogor, Mei 2007

Azwin

Page 12: 2007azw.pdf

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL......................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................. 4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 6 Hipotesis............................................................................................... 6 Manfaat Penelitian ............................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) ................. 8 Penyebaran dan Tempat Tumbuh ........................................................ 9 Kandungan dan Manfaat Gubal Gaharu............................................... 10 Kultur Jaringan..................................................................................... 11 Zat Pengatur Tumbuh........................................................................... 13 Mutasi Genetik dan Variasi Somaklonal.............................................. 15 Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)................................... 18 BAHAN DAN METODE Sub Penelitian I. Kultur Jaringan ......................................................... 22 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 22 Bahan dan Alat..................................................................................... 22 Metode Penelitian ................................................................................ 23

Sumber Eksplan ................................................................................ 23 Bahan Sterilisasi Eksplan.................................................................. 24 Rancangan Percobaan ....................................................................... 24

Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... 25 Persiapan Media Perlakuan ............................................................... 25 Penanaman Eksplan dalam Media Kultur ......................................... 26 Sub Kultur ......................................................................................... 26 Pengamatan dan Pengumpulan Data................................................. 27

Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik...................................... 27 Tempat dan Waktu ............................................................................ 27 Bahan dan Alat Analisis RAPD ........................................................ 27 Ekstraksi DNA .................................................................................. 29 Uji Kualitas DNA.............................................................................. 30 Seleksi Primer ................................................................................... 30 Amplifikasi DNA dengan PCR......................................................... 31

Page 13: 2007azw.pdf

HASIL DAN PEMBAHASAN Sub Penelitian I. Kultur Jaringan ......................................................... 33 Umum................................................................................................... 33 Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, dan Jumlah Eksplan yang Tumbuh ................................................................................................ 34 Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ Terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif ................................................... 37 1. Jumlah Tunas ................................................................................ 38 2. Panjang Tunas ............................................................................... 42 3. Jumlah Daun ................................................................................. 45 Visualisasi Perkembangan Eksplan ..................................................... 48 Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik...................................... 51 Umum................................................................................................... 51 DNA Pohon Induk Hasil Ekstraksi ...................................................... 53 DNA Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub Kultur II................ 53 Primer Hasil Seleksi............................................................................. 54 DNA Pohon Induk Hasil RAPD .......................................................... 57 DNA Hasil RAPD sebelum hingga Sub Kultur II ............................... 60 Jarak Genetik Pohon Induk, sebelum Kultur, Hasil Kultur, Sub Kultur I dan Sub Kultur II.................................................................... 68 SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 73

LAMPIRAN.................................................................................................. 80

Page 14: 2007azw.pdf

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Sepuluh Primer yang Digunakan untuk Amplifikasi DNA dan Urutan

Basanya ................................................................................................... 30

2. Empat Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR.............. 31

3. Tahapan dalam Proses PCR .................................................................... 32

4. Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, Tidak Tumbuh dan Tumbuh dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar dan Tunas Adventif .......... 34

5. Rekapitulasi Sidik Ragam (Anova) Pengaruh Perlakuan BAP atau TDZ terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif ................. 37

6. Perbedaan Visualisasi Perkembangan Eksplan Sampai 12 MST............ 51

7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu ...... 55

8. Nilai Rata-rata na, ne dan he untuk 6 Sampel Daun Gaharu Pohon Induk 60

9. Perbedaan Nilai Heterozigositas Harapan (he) per Tahapan .................. 63

xii

Page 15: 2007azw.pdf

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta Penyebaran Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di Dunia......... 9

2. Peta Penyebaran Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di Indonesia... 10

3. Tahapan-tahapan yang Dilakukan dalam Proses Propagasi Tanaman Melalui Kultur Jaringan........................................................................... 12

4. Skema Proses Perubahan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman ....... 13

5. Respon Fisiologis ZPT Auksin dan Sitokinin terhadap Perkembangan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman ............................................... 15

6. Sel, Kromosom dan DNA Heliks Ganda ................................................. 20

7. Siklus Pembentukan Molekul DNA Baru dalam Proses PCR ................. 21

8. Bahan Tanaman Sebagai Sumber Eksplan............................................... 22

9. Bagan Alur Penelitian Kultur Jaringan dan Analisis RAPD.................... 23

10. Diagram Alir Pengambilan Sampel mulai dari Pohon Induk hingga Sub Kultur II dalam Proses Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu ... 28

11. Alat-Alat yang Digunakan untuk Ekstraksi DNA, Elektroforesis dan Analisis RAPD........................................................................................ 29

12. Pola Terjemahan Pita DNA..................................................................... 32

13. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar........................................................ 38

1. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. .................................................... 39

15. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar........................................................ 43 16. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. .................................................... 43 17. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar........................................................ 46

18. Grafik Pengaruh BAP dan TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. .................................................... 46

19. Planlet Gaharu Berumur 12 MST pada Media MS................................. 48

20. Persentase Pencokelatan dan Terkontaminasi Eksplan dari Tunas Aksilar dan Adventif yang Ditanam Pada Media MS Mengandung BAP Dan TDZ ........................................................................................ 49

21. Perbedaan Perkembangan Eksplan dalam Botol Kultur ......................... 49

xiii

Page 16: 2007azw.pdf

22. Profil DNA Hasil Ekstraksi Pohon Induk ............................................... 53

23. Profil DNA Gaharu Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub Kultur II 54

24. Profil DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel sebelum Kultur hingga Sub Kultur II..................................................... 55

25. Profil DNA Pohon Induk Hasil RAPD ................................................... 58

26. Dendogram Kemiripan Genetik 6 Sampel dari Populasi Pohon Induk .. 59

27. Populasi Pohon Induk Tanaman Gaharu di Desa Cangkorawok Bogor . 60

28. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-06 .............. 62

29. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-08 .............. 62

30. Dendogram Kemiripan Genetik untuk Setiap Tahapan. ......................... 64

31. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 1 (ak1, ak3, ak5 ak7) sebelum hingga Sub Kultur II ............................................................................... 66

32. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8) sebelum hingga Sub Kultur II ............................................................................... 67

33. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) sebelum hingga Sub Kultur II ............................................................................... 67

34. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8) sebelum hingga Sub Kultur II. .............................................................................. 67

35. Dendogram Kemiripan Genetik Tanaman Gaharu dari Pohon Induk hingga Sub Kultur II ............................................................................... 68

xiv

Page 17: 2007azw.pdf

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

1. Komposisi Media MS ............................................................................. 80

2. Tabel Sidik Ragam Hasil-hasil Kultur Jaringan Gaharu......................... 81

3. Matriks Kemiripan Genetik per Tahapan Berdasarkan Pola Pita RAPD 84

4. Matrik Kemiripan Genetik Bibit 1, Bibit 2, Planlet 1 dan Planlet 2, sebelum hingga Sub Kultur II. ................................................................ 86

5. Perubahan Genetik Tanaman Gaharu per Tahapan Menggunakan Primer OPY-06 dan OPY-08 .............................................................................. 87

6. Matriks Kemiripan Genetik Berdasarkan Pola Pita RAPD terhadap 22 Sampel Tanaman Gaharu ........................................................................ 88

xv

Page 18: 2007azw.pdf

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat

keanekaragaman jenis pohon yang tinggi. Hasil hutan berupa kayu merupakan

komoditas utama yang dihasilkan dari hutan, akibatnya penebangan hutan secara

liar terjadi dimana-mana dengan tidak memperhatikan kerugian dan kerusakan

yang ditimbulkan, terutama merosotnya kualitas lingkungan. Selain kayu, hutan

juga menghasilkan komoditas hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai

ekonomis yang tinggi. Salah satunya adalah tanaman penghasil gaharu yang

banyak dihasilkan dari genus Aquilaria.

Tumbuhan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan salah satu

jenis tanaman hutan tropis penghasil resin atau produk damar yang bernilai

ekonomi tinggi. Permintaan dunia akan produk gaharu setiap tahunnya mengalami

peningkatan (Sumarna, 2002), namun dibatasi oleh kuota. Kuota untuk Indonesia

pada tahun 2000 untuk jenis A. filaria sebanyak 200 ton dan untuk A. malaccensis

sebanyak 225 ton, tetapi pada tahun 2005 kuota Indonesia anjlok masing-masing

menjadi 125 ton dan 50 ton (Wiguna, 2006).

Memperhatikan permintaan pasar atas komoditas gaharu yang terus

meningkat, maka budidaya gaharu menjadi penting di masa yang akan datang

karena telah masuk Appendix II dalam CITES (Convention on International

Trade of Endangered Species Wild Flora and Fauna) dan dalam rangka

mempersiapkan era perdagangan bebas. Gubal gaharu dengan kualitas super dapat

mencapai harga 10 - 15 juta/kg, kayu gaharu diperdagangkan sebagai komoditas

mewah untuk keperluan industri parfum, kosmetik, dupa/kemenyan, pengawet

berbagai jenis asesoris dan obat-obatan (Sumarna, 2002) serta acara ritual

keagamaan, karena aroma harum yang dihasilkannya (Barden et al. 2000).

Meningkatnya kebutuhan gaharu dari tahun ke tahun dan tingginya harga

jual, menyebabkan intensitas pemungutan liar yang berasal dari hutan alam

semakin tinggi dan tidak terkendali, khususnya terhadap jenis gaharu berkualitas

tinggi. Menurut Sumarna (2002), tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang

ada di Indonesia termasuk spesies tanaman yang mulai langka, hal ini terjadi

Page 19: 2007azw.pdf

2

akibat perburuan liar yang tidak terkendali dan tidak mengindahkan faktor-faktor

kelestariannya. Kurangnya pengetahuan dalam membedakan pohon berisi dan

tidak berisi gaharu mengakibatkan masyarakat pemungut gaharu menebang pohon

secara spekulatif. Apabila pada akhirnya pohon tersebut tidak mengandung gaharu

setelah dikupas dan dicacah, maka pohon tersebut ditinggalkan begitu saja. Cara

perburuan tersebut terus berlangsung sehingga populasi tumbuhan A. malacensis

berada di ambang kelangkaan. Sehingga pada tahun 1994 Convention on

International Trade of Endangered Species Wild Flora and Fauna (CITES) IX di

Florida, mencantumkan tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) dalam Appendix

II karena berstatus sebagai plasma nutfah yang terancam punah (Barden et al.

2000). Menindaklanjuti hal tersebut, Departemen Kehutanan melalui Balai

Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) membatasi penjualan gaharu alam

bukan budidaya, di dalam maupun luar negeri.

Agar kesinambungan produksi gaharu berkualitas tinggi ini tetap terbina dan

tidak tergantung pada alam, maka perlu upaya pembudidayaan yang optimal pada

beberapa daerah endemik, yang sesuai dengan metode perbanyakannya yang

dapat dilakukan baik secara konvensional maupun melalui teknik kultur jaringan.

Usaha budidaya ini dilakukan karena secara alami biji gaharu sulit tumbuh dan

berkecambah jika kondisi lingkungan tidak mendukung.

Teknik kultur jaringan memberikan alternatif terhadap usaha perbanyakan

tanaman secara vegetatif pada skala yang lebih besar dalam upaya konservasi dan

pengembangan tanaman gaharu di masa yang akan datang. Beberapa kelebihan

yang diperoleh dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan

diantaranya adalah dapat menghasilkan tanaman yang homogen, berkualitas

tinggi, jumlah yang tidak terbatas, bebas hama dan penyakit, menghasilkan klon

yang lebih unggul, dapat diperbanyak dalam waktu yang relatif singkat, tidak

dibatasi oleh waktu, tetapi membutuhkan keahlian khusus. Selain itu menurut

Yusnita (2003), manfaat utama perbanyakan tanaman secara kultur jaringan

adalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman yang permintaannya tinggi tetapi

pasokan rendah, karena laju perbanyakan secara konvensional dianggap lambat.

Menurut Santoso (2001), perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan

dapat menggunakan bahan tanaman sebagai eksplan seperti: sel tanaman,

Page 20: 2007azw.pdf

3

protoplas, jaringan meristem, kalus, dan organ tanaman. Namun eksplan yang

paling umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan adalah: daun, batang,

akar, biji, tunas, embrio, anther dan kepala sari. Bahan-bahan yang umum

digunakan ini biasanya ada yang ditanam langsung untuk mendapatkan produk

yang diinginkan tetapi ada juga digunakan hanya sebagai bahan kultur awal untuk

mendapatkan organ juvenil (muda), atau kalus yang umumnya relatif bersifat

meristematik dan aseptik.

Perbanyakan vegetatif tanaman gaharu melalui kultur jaringan sudah pernah

dilakukan oleh Situmorang (2000), Astuti (2005), Wardoyo (2004) dan peneliti

lainnya, yang telah berhasil menginduksi tunas gaharu secara in vitro namun hasil

yang diperoleh belum maksimum karena belum didapatkannya media dan

konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) yang optimum. Apabila media dan

konsentrasi ZPT yang digunakan belum tepat maka proses induksi berlangsung

lama dan jumlah tunas yang dihasilkan sedikit. Dengan demikian, perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan metode propagasi tanaman

gaharu yang tepat, sehingga memperoleh hasil yang maksimal dalam upaya

pengadaan bibit gaharu yang bermutu.

Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sering terjadi mutasi

gen, sehingga menyebabkan terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal

(Wattimena dan Mattjik, 1991). Terjadinya variasi genetik dapat disebabkan oleh

komposisi zat kimia yang terkandung dalam media kultur, sumber eksplan,

lamanya masa pengkulturan atau lingkungan terkendali yang mengalami

gangguan dan lain sebagainya. Variasi somaklonal merupakan variasi genetik

yang terjadi dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin dan

Sowcroft, 1981 dalam Wattimena dan Mattjik, 1991). Dengan demikian untuk

mendeteksi variasi somaklonal yang terjadi, maka perlu dilakukan evaluasi

stabilitas genetik dengan menggunakan penanda genetik, diantaranya adalah

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).

Penggunaan teknik RAPD untuk mendeteksi variasi somaklonal hasil kultur

in vitro telah banyak dilakukan pada beberapa spesies tanaman monokotil dan

dikotil. Pada umumnya tanaman yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan

secara genetik lebih unggul dibandingkan tanaman induknya jika mengikuti

Page 21: 2007azw.pdf

4

kaidah-kaidah pemuliaan. Khusus pada tanaman gaharu evaluasi stabilitas genetik

hasil kultur in vitro dengan teknik RAPD belum pernah dilakukan. Penelitian ini

dilakukan untuk melihat seberapa besar variasi somaklonal yang terjadi pada

tanaman gaharu hasil kultur in vitro.

Perumusan Masalah

Gaharu adalah pohon yang tumbuh liar di hutan alam. Di Indonesia gaharu

dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi gaharu hingga

saat ini masih diperoleh dari perburuan di hutan alam. Gaharu dikelompokan

dalam komoditas kehutanan golongan hasil hutan bukan kayu. Menurut kebijakan

pemerintah masa lalu, masyarakat diberi kesempatan seluasnya untuk

memproduksi gaharu dengan pengawasan relatif rendah dan nilai jual relatif

tinggi. Hal itu mengakibatkan intensitas perburuan gaharu terjadi dimana-mana

dan tidak terkendali (Sumarna, 2002). Di lain pihak, upaya untuk melakukan

usaha budidaya gaharu secara intensif baik oleh pemerintah maupun pengusaha

hingga saat ini masih relatif sedikit, baik dengan pola monokultur maupun

tumpang sari.

Untuk mengatasi perburuan gaharu yang tidak terkendali, tentunya perlu

dilakukan upaya budidaya dan penyelamatan plasma nutfah, baik secara in situ

maupun ex situ, agar keberadaan gaharu tetap lestari di masa yang akan datang.

Pelestarian secara in vitro adalah suatu cara pelestarian ex situ. Dengan teknik in

vitro atau kultur jaringan, gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang hampir di ambang

kepunahan dapat diselamatkan atau diperbanyak hingga tidak terbatas jumlahnya.

Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan mempunyai banyak

keuntungan. Namun penggunaan teknik kultur jaringan dalam perbanyakan

tanaman kehutanan sedikit mengalami kesulitan dibandingkan tanaman pertanian,

khususnya dalam penyediaan eksplan. Tim (1991), menyatakan tanaman berkayu

seringkali mengeluarkan senyawa fenolik apabila jaringannya diisolasi. Selain itu

kesulitan lain yang sering dialami untuk mengkulturkan pucuk dari tanaman

berkayu adalah sulitnya mendapatkan eksplan yang steril.

Herawan (2004), menyatakan bahwa penggunaan eksplan bahan tanaman

dewasa, relatif lebih sulit dan hasilnya masih belum sebaik bila menggunakan

Page 22: 2007azw.pdf

5

tanaman muda. Hal ini disebabkan karena sulitnya mensterilkan permukaan organ

tanaman dewasa yang sudah terlalu lama berada di tempat terbuka.

Eksplan yang baik adalah kecambah atau tingkat juvenil, karena jaringan

tanaman yang muda, lunak (tidak berkayu) pada umumnya lebih mudah untuk

dibiakkan dari jaringan yang tua dan berkayu (Herawan, 2004). Tim (1991) juga

menyatakan bahwa eksplan yang berasal dari tunas juvenil atau kecambah akan

tumbuh lebih baik dibanding tanaman dewasa. Pada hampir semua tanaman, di

bagian yang juvenil, keadaan sel-selnya masih aktif membelah dan merupakan

bagian tanaman yang paling baik untuk eksplan. Untuk mendapatkan jaringan

yang muda atau juvenil dapat dilakukan pembiakan secara aseptik atau bagian

tanaman yang masih muda yang berasal dari bibit, kecambah atau tunas adventif.

Nasir (2002), menyatakan propagasi tanaman melalui teknik kultur jaringan

tidak selalu sederhana, karena ketidakstabilan genetik atau kromosom dari kultur

sel atau jaringan umumnya terjadi pada banyak spesies. Berbagai perubahan

genetik dapat terjadi selama dalam proses kultur, namun demikian ketidakstabilan

genetik dalam kultur dapat terkendali dan hal tersebut memungkinkan untuk

mendapatkan variasi somaklonal.

Variasi genetik atau variasi somaklonal terjadi karena adanya mutasi gen.

Dalam kultur jaringan variasi somaklonal dapat terjadi disebabkan oleh jenis

eksplan yang digunakan, jenis dan konsentrasi ZPT, subkultur berulang, dan

komposisi zat kimia yang digunakan dalam media. Supriyanto (komunikasi

pribadi, 2006), menyatakan bahwa dalam perbanyakan tanaman melalui teknik

kultur jaringan, kemungkinan terjadinya variasi somaklonal bisa mencapai hingga

40% apabila eksplan yang digunakan adalah meristem pucuk atau tunas aksilar,

sedangkan jika menggunakan eksplan yang berasal dari tunas adventif variasi

somaklonal dapat mencapai hingga 60%, karena sensitifitas tunas adventif sangat

tinggi dan mudah berubah dibanding tunas aksilar.

Kultur in vitro merupakan teknologi potensial untuk meningkatkan

keragaman genetik tanaman gaharu, sehingga dengan adanya keragaman tersebut

maka peluang untuk mendapatkan genotipe atau klon baru yang unggul menjadi

terbuka. Untuk mengetahui perubahan gen atau variasi somaklonal yang terjadi

Page 23: 2007azw.pdf

6

selama proses pengkulturan tanaman gaharu dapat dilakukan analisis dengan

menggunakan teknik RAPD.

Berdasarkan uraian tersebut di atas ada beberapa permasalahan yang ingin

dijawab adalah sebagai berikut:

1. Seberapa besar instabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro

2. Apakah pemberian ZPT Benzyl Amino Purine (BAP) atau Thidiazuron (TDZ)

yang optimum akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik pada eksplan

meristem tunas aksilar yang ditanam di rumah kaca atau eksplan meristem

tunas adventif hasil kultur in vitro.

3. Apakah ada atau tidak perbedaan proses induksi tunas gaharu yang berasal

dari meristem tunas aksilar dari rumah kaca dan meristem tunas adventif hasil

kultur in vitro.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas genetik

tanaman gaharu hasil kultur in vitro, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk

menduga perubahan genetik selama proses pengkulturan serta mendapatkan

konsentrasi ZPT BAP atau TDZ yang optimum dalam proses induksi dan

multiplikasi tunas gaharu pada dua sumber eksplan yang diteliti.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Komposisi zat kimia dalam media kultur dapat menyebabkan perubahan

stabilitas genetik tanaman gaharu selama proses pengkulturan.

2. Zat pengatur tumbuh BAP atau TDZ dengan konsentrasi yang optimum

mampu menginduksi tunas gaharu secara in vitro, dan mempunyai

kemampuan induksi tunas yang berbeda pada dua sumber eksplan yang

diteliti.

Page 24: 2007azw.pdf

7

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Dapat dijadikan sebagai bahan informasi bahwa penggunaan BAP dapat

menyebabkan variasi somaklonal pada tingkat konsentrasi tertentu.

2. Dapat menjelaskan tentang metode propagasi tanaman gaharu secara in vitro

yang tepat pada dua sumber eksplan yang berbeda yaitu eksplan tunas aksilar

yang ditanam di rumah kaca dan eksplan tunas adventif hasil kultur in vitro

apabila ZPT yang digunakan adalah BAP atau TDZ.

Page 25: 2007azw.pdf

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Gaharu (A. malaccencis Lamk.)

Dalam klasifikasi tumbuhan, gaharu (A. malaccencis Lamk.) termasuk

dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledone, ordo

Thymelaeles, famili Thymeliaceae, genus Aquilaria dan spesies A. malaccensis

Lamk (Ponirin, 1997). Menurut Sumarna (2002) di Indonesia ada 8 genus dan 16

spesies tanaman penghasil gaharu antara lain adalah dari genus Aquilaria sp,

Aetoxylon, Enkleia, Gonystylus sp, Wikstroemia sp, Grynops, Dalbergia dan

Excoccaria. Genus Aquilaria memiliki 6 spesies A. beccariana, A. cumingiana, A.

filaria, A. hirta, A. malaccensis, dan A. microcarpa (Soehartono 1997 dalam

Barden et al. 2000). Di beberapa daerah di Indonesia gaharu dikenal dengan nama

yang berbeda-beda seperti layak, pohon pelanduk, kayu linggu, menameng, dan

terentak. Dalam perdagangan dunia gaharu ini dikenal dengan nama agarwood,

aloewood dan eaglewood (Sumarna, 2002).

Secara morfologi, tinggi pohon gaharu dapat mencapai 40 meter dengan

diameter batang mencapai 60 cm. Kulit batang licin, berwarna putih atau keputih-

putihan, kadang-kadang beralur. Bentuk daunnya lonjong agak memanjang,

dengan ukuran 5 – 8 cm, lebar 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau

mengkilap (Sumarna, 2002). Menurut Ponirin (1997), daun yang kering biasanya

berwarna abu-abu kehijauan, tepi daun agak bergelombang, melengkung dan

kedua permukaannya licin serta mengkilap, tulang daun sekunder 12 – 16 pasang.

Bunga berada di ujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada

dalam polong berbentuk bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm,

dan lebar sekitar 3 cm, biji bulat atau bulat telur yang ditutupi bulu-bulu halus

berwarna kemerahan (Sumarna, 2002).

Produksi gubal gaharu memerlukan pohon gaharu dan mikroba untuk

menginduksi pembentukan senyawa gaharu. Gubal gaharu terbentuk sebagai

reaksi pertahanan pohon terhadap infeksi patogen, melalui pelukaan pada batang,

cabang, atau ranting atau pengaruh fisik lainnya. Infeksi patogen mengakibatkan

keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu. Lama kelamaan jaringan kayu

ini akan mengeras dan berubah warnanya menjadi coklat sampai kehitaman,

Page 26: 2007azw.pdf

9

bagian ini menjadi berat dan berbau wangi (Hou, 1960). Patogen yang biasa

dijumpai menginfeksi pohon gaharu adalah dari jenis mikroorganisme seperti

cendawan. Jenis cendawan yang telah diketahui sebagai pembentuk gaharu ialah

Fusarium sp., Phytium sp., Lasiodiplodia sp., Libertela sp., Trichoderma sp.,

Scytalidium sp., dan Thielaviopsis sp. (Sumarna, 2002).

Penyebaran dan Tempat Tumbuh

Penyebaran gaharu dimulai dari Iran, India, Vietnam, Malaysia, Sumatera,

Kalimantan, Serawak dan Filiphina (Gambar 1 dan 2) (Rimbawanto dan

Pamungkas, 2004). Di Indonesia daerah penyebaran gaharu antara lain terdapat di

kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan

Jawa. Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan

ketinggian 0 – 2400 meter di atas permukaan laut. Umumnya gaharu yang

berkualitas baik tumbuh pada daerah yang beriklim panas dengan suhu 28–34º C,

kelembaban 60 – 80%, dan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun (Sumarna, 2002).

Gambar 1. Peta Penyebaran Gaharu (A. malaccensis Lamk.) di Dunia (Rimbawanto dan Pamungkas, 2004)

Page 27: 2007azw.pdf

10

Gambar 2. Peta Penyebaran Gaharu (A. malaccensis Lamk.) di Indonesia

(Rimbawanto dan Pamungkas, 2004).

Kandungan dan Manfaat Gubal Gaharu

Hasil analisis kimia, gaharu memiliki 6 komponen utama berupa furanoid

sesquiterpene diantaranya ialah a-agarofuran, b-agarofuran, dan agarospirol.

Selain itu gaharu jenis A. malaccensis asal Kalimantan ditemukan komponen

pokok minyak gaharu berupa chromone. Chromone ini menyebabkan bau harum

dari gaharu apabila dibakar. Komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu

berupa sequiterpenoida, eudesmana, dan valencana (Sumarna, 2002).

Pemanfaatan gaharu hingga saat ini masih dalam bentuk bahan baku yaitu

kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Aroma yang

dikeluarkan gaharu sangat populer dan disukai masyarakat Timar Tengah, Saudi

Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan China, Korea, dan Jepang. Menurut

Chakrabarty et al. (1994) gubal gaharu digunakan sebagai dupa, wewangian,

penghilang rasa sakit, asma, reumatik, tonik saat hamil setelah melahirkan.

Menurut Barden et al. (2000), gubal gaharu juga dimanfaatkan sebagai pelengkap

dalam acara ritual keagamaan pada masyarakat khususnya di kawasan Asia dan

Timut Tengah dalam bentuk dupa, hio, atau kemenyan.

Di Cina, gaharu dimanfaatkan untuk pengobatan berbagai macam penyakit

yang menyerang perut, ginjal, dan dada, kemudian untuk kanker, kolik, diare,

cegukan dan tumor (paru-paru). Dalam pengobatan Ayurvedic (India kuno)

gaharu juga digunakan sebagai pengobatan penyakit mental dan pengusir roh jahat

sedangkan di Mesir digunakan untuk meminyaki jenazah (Soehartono dan

Mardiastuti, 2003).

Page 28: 2007azw.pdf

11

Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman

seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta

menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat

memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan,

1992). Hartmann et al. (1990), menyatakan bahwa teknik ini dapat digunakan

untuk perbanyakan tanaman, perbaikan tanaman, menghasilkan tanaman bebas

virus, produksi metabolit sekunder dan preservasi tanaman. Dasar teknik kultur

jaringan adalah bahwa sel tanaman mempunyai sifat totipotensi yaitu kemampuan

sel untuk tumbuh dan berkembang membentuk tanaman lengkap dalam medium

aseptik yang mengandung unsur hara dan ZPT yang sesuai. Dengan sifat

totipotensi ini, akan menjadi konsep dasar dalam pelaksanaan kultur jaringan,

karena sel, jaringan maupun organ yang digunakan mampu tumbuh dan

berkembang sesuai arahan dan tujuan budidaya in vitro. Umumnya sifat

totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenil, muda,

dan banyak dijumpai pada daerah-daerah meristematik (Santoso dan Nursandi,

2001).

Kondisi totipotensi bahan tanaman antara satu tanaman dengan tanaman

yang lain sangat berbeda, bahkan perbedaan juga mungkin terjadi pada satu

tanaman yang sejenis (Santoso dan Nursandi, 2001). Teori totipontensi ini

dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden pada tahun 1838 dengan melakukan

berbagai penelitian untuk membuktikan teori totipotensi dan mencari kondisi yang

sesuai untuk regenerasi sel menjadi organisme utuh, namun baru berhasil

dibuktikan pada pertengahan abad 1930-an setelah ditemukannya ZPT auksin

yaitu IAA (Indole Asetic Acid) dan NAA (Naftalene Asetic Acid) (Yusnita, 2003).

Hartmann et al. (1997), menyatakan bahwa kultur jaringan merupakan suatu

istilah yang digunakan sebagai prosedur untuk memelihara dan menumbuhkan

jaringan tanaman (kalus, sel, protoplas) dan organ-organ (batang, akar, embrio)

dalam kultur aseptik (in vitro). Suksesnya mikropropagasi sebagian besar

berhubungan dengan aspek-aspek dari tahapan kultur, antara lain dengan cara

memanipulasi dengan memodifikasi media dan kontrol lingkungan. Menurut

Page 29: 2007azw.pdf

12

Hartmann et al. (1997), secara umum ada empat tahap dalam melakukan

mikropropagasi melalui kultur jaringan seperti terlihat pada Gambar 3.

Establishment/Persiapan

Multiplikasi

Pembentukan Akar

Aklimatisasi

Empat Tahap Propagasi In Vitro

Gambar 3. Tahapan-tahapan yang Dilakukan dalam Proses Propagasi Tanaman melalui Kultur Jaringan (Hartmann et al. 1997).

Mikropropagasi melalui kultur jaringan telah menjadi bagian yang sangat

penting bagi propagasi komersial pada banyak tanaman. Keuntungan dari

mikropropagasi sebagai sistem propagasi telah dikemukakan banyak penulis dan

dapat diringkas meliputi: propagasi massal pada klon-klon spesifik, produksi

tanaman bebas pathogen, propagasi klonal dari parental stock untuk produksi

benih hibrida, produksi bibit berkelanjutan, penyelamatan plasma nutfah

(Hartmann et al. 1997), dan dapat menghasilkan tanaman baru yang mempunyai

sifat yang sama dengan induknya (Nugroho dan Sugito, 1996).

Menurut George dan Sherrington (1984), ada beberapa faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis yaitu (1) genotip, menyangkut

semua sifat genetik dari tanaman, (2) substrat yaitu semua yang menyangkut

media, komposisi ZPT (3) lingkungan kultur dan (4) eksplan.

Teknik kultur jaringan juga dapat dimanfaatkan untuk mempelajari 4 bidang

pokok (Noerhadi, 1979 dalam Herawan, 2004) yaitu (1) perbanyakan klon-klon

terpilih (unggul) yang dapat dihasilkan dalam waktu pendek dan dalam jumlah

yang besar, (2) melestarikan keragaman sumber daya genetik alami, (3) produksi

bahan alam primer dan sekunder dan (4) perbaikan mutu dan sifat genetik

tumbuhan, termasuk tanaman bebas penyakit.

Eksplan yang digunakan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur

jaringan dapat ditumbuhkan dengan beberapa cara, antara lain dengan

pembentukan kalus, langsung embriogenesis atau somatik embriogenesis. Dari

Page 30: 2007azw.pdf

13

kalus dapat dibentuk kultur suspensi, somatik embriogenesis dan organogenesis

dan seterusnya, seperti terlihat pada Gambar 4.

Eksplan

Kalus

Langsung Organogenesis

Somatik Embriogenesis

Kultur Suspensi

Somatik Embriogenesis

Organogenesis

Protoplas

Gambar 4. Skema Proses Perubahan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman.

Melalui teknik kultur jaringan dapat pula dilakukan berbagai manipulasi

seperti: (1) manipulasi jumlah kromosom melalui bahan kimia atau

meregenerasikan jaringan tertentu dalam tanaman seperti endosperma yang

mempunyai kromosom 3n, (2) polinasi in vitro dan pertumbuhan embrio yang

secara internal abortif, (3) tanaman haploid dan double haploid yang homogenous,

(4) hibridisasi somatik melalui teknik fusi protoplasma baik intraspesifik maupun

interspesifik, (5) variasi somaklonal dan (6) transfer DNA (Deoxyribo Nucleic

Acid) atau organel sel untuk memperoleh sifat tertentu (Tim, 1991).

Zat Pengatur Tumbuh

Menurut Wattimena (1988), zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa

organik bukan nutrisi yang aktif dalam konsentrasi rendah yang disintesis pada

bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain organ

tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis

dan morfologis. Gunawan (1992) menyatakan bahwa ZPT dalam jumlah sedikit

(< 1 mM) dapat merangsang, menghambat atau mengubah pola pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Menurut Wudianto (2004), hormon ini hanya efektif

pada jumlah tertentu. Konsentrasi yang terlalu tinggi dapat merusak bagian yang

Page 31: 2007azw.pdf

14

terluka. Bentuk kerusakannya berupa pembelahan sel dan kalus yang berlebihan

dan mencegah tumbuhnya tunas dan akar, sedangkan konsentrasi di bawah

optimum menjadi tidak efektif.

Zat pengatur tumbuh pada umumnya digunakan secara kombinasi dalam

kultur jaringan, dengan konsentrasi berbeda untuk tiap jenis tanaman. Penentuan

konsentrasi ZPT disesuaikan dengan tipe organ atau eksplan, metode kultur

jaringan dan tujuan kultur jaringan untuk menginduksi tunas, akar, kalus dan lain-

lain (Wattimena,1988).

Dalam kultur jaringan, dua golongan ZPT yang sangat penting adalah

sitokinin dan auksin. Purwito (2004), menyatakan bahwa auksin berfungsi untuk

induksi perakaran dan kalus dalam bentuk endogen adalah IAA sedangkan

eksogen adalah IAA, NAA, IBA, 2,4-D, Picloram, 2,4,5,-T dan sitokinin

berfungsi sebagai induksi tunas dan kalus dalam bentuk endogen zeatin dan

eksogen BAP/BA, Kinetin, 2-iP, dan Thidiazuron. Menurut Gunawan (1992),

ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan

dan organ. Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media

dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan

suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level ZPT

endogen sel. Zat pengatur tumbuh endogen ini kemudian merupakan trigerring

factor untuk proses-proses yang tumbuh secara morfogenesis.

Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan kultur. Menurut Gunawan (1992), faktor yang perlu mendapat

perhatian dalam penggunaan ZPT antara lain: jenis ZPT yang digunakan,

konsentrasi ZPT, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur

tertentu. Wattimena dan Mattjik (1991), menyatakan bahwa ada beberapa hal

yang harus diperhatikan dalam pemberian ZPT diantaranya ZPT harus sampai ke

dalam jaringan target, ZPT harus cukup lama dalam jaringan target, ZPT yang

diberikan akan berinteraksi dengan fitohormon dan tanaman atau bagian tanaman

yang sehat akan memberikan respon yang baik terhadap ZPT yang diberikan.

Sitokinin dan auksin merupakan ZPT yang ditambahkan dalam medium.

Sitokinin dimaksudkan untuk merangsang pembentukkan pucuk, sedangkan

auksin untuk merangsang pembentukkan akar (Narayanaswamy, 1973).

Page 32: 2007azw.pdf

15

Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman.

Aktivitas yang utama ialah mendorong pembelahan sel dan aktivitas ini yang

menjadi kriteria untuk menggolongkan suatu zat ke dalam sitokinin. Perimbangan

ZPT sitokinin dan auksin dalam proses menentukan arah dan perkembangan suatu

eksplan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Respon Fisiologis ZPT Auksin dan Sitokinin terhadap Perkembangan

Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman. Dari kiri ke kanan peningkatan Sitokinin, dari atas ke bawah peningkatan Auksin (Sumber: http://www.ncbe.reading.ac.uk/NCBE/PROTOCOLS/planttissue.htm).

Mutasi Genetik dan Variasi Somaklonal

Mutasi adalah perubahan genetik, baik gen tunggal atau sejumlah gen atau

susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian dari pertumbuhan

tanaman. Namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan

pembelahan sel. Bila mutasi terjadi pada sel somatis, maka perubahan hanya

terjadi pada bagian itu dan dapat dilihat pada perkembangan sel dan jaringan ini.

Sedangkan bila terjadi pada sel generatif, maka akan terjadi perubahan

menyeluruh pada tanaman keturunannya, dan dapat pula berakibat pada

perubahan fisiologis dan biokemis. Mutasi yang disebabkan oleh bahan kimia

dapat merubah kemampuan berpasangan rantai DNA sehingga dapat merubah

urutan susunan genetik pada kromosom (Poespodarsono, 1987).

Page 33: 2007azw.pdf

16

Menurut Mattjik (2005), timbulnya variasi genetik dapat terjadi karena

pengaruh alam atau perbuatan manusia. Manusia dapat menimbulkan variasi

genetik suatu komoditi dengan berbagai cara antara lain melalui persilangan,

mutasi, rekayasa genetik dan penggunaan mutagen.

Di dalam kultur jaringan terjadinya variasi genetik karena adanya

penyimpangan mitosis yang dapat mengakibatkan tanaman baru yang dihasilkan

secara genetik tidak sama dengan induknya yang biasa disebut keragaman

somaklonal atau variasi somaklonal. Keragaman somaklonal didefinisikan sebagai

keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan oleh sel somatik tanaman yang

tumbuh secara in vitro. Keragaman yang berhubungan dengan kultur jaringan

dapat disebabkan oleh perubahan jumlah kromosom melalui penggandaan atau

reduksi. Keragaman tersebut dapat berasal dari eksplan yang telah memiliki

kromosom polisomik.

Terdapat dua dasar terjadinya mutasi yaitu mutasi gen, dimana gen

bermutasi dari bentuk dominan ke bentuk resesif dan sebaliknya dan mutasi

kromosom yaitu segmen kromosom atau suatu set kromosom yang berubah.

Perubahan susunan maupun jumlah kromosom ini disebut aberasi. Aberasi dapat

diklasifikasikan menjadi dua yaitu (1) aberasi struktur kromosom meliputi dilesi,

duplikasi dan translokasi dan (2) aberasi jumlah kromosom yang terdiri dari

euploid, keragaman dari suatu set kromosom, pada keadaan abnormal dapat

menjadi satu (monoploid atau haploid), dua set (diploid), tiga set (triploid) dan

empat set (tetraploid) (Suzuki et al. 1981 dalam Mattjik, 2005).

Dalam kasus kultur jaringan yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian

ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang melakukan mutasi

akan membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan

induknya, membentuk klon baru yang berbeda dengan induknya. Tanaman baru

ini bukan hasil rekombinan atau segregesi seperti hasil persilangan.

Keragaman genetik dalam kultur jaringan dapat terjadi tergantung pada: (1)

eksplan yang digunakan (sel, protoplas, kalus atau bagian jaringan), (2) jenis dan

ZPT, (3) lamanya fase pertumbuhan, dan (4) komposisi bahan kimia yang

digunakan dalam media (Jacobsen, 1987 dalam Mattjik, 2005).

Page 34: 2007azw.pdf

17

Chawla (2002), menyatakan variasi genetik merupakan komponen yang

esensial bagi program pemuliaan untuk memperbaiki karakteristik dari tanaman.

Kultur jaringan tanaman merupakan salah satu sumber potensial terjadinya variasi

genetik. Variasi yang dihasilkan dengan menggunakan siklus kultur jaringan

dinamakan dengan istilah variasi somaklonal oleh Larkin dan Scowcroft (1981).

Mereka mendefinisikan siklus kultur jaringan adalah suatu proses mengenai

pembentukan (establishment) dan dediferensiasi sel atau organ tanaman pada

kondisi yang telah ditentukan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal

diantaranya adalah (Chawla, 2002):

1. Genotipe; genotipe tanaman dapat mempengaruhi terjadinya frekuensi

regenerasi dan frekuensi somaklon

2. Sumber eksplan; sumber eksplan yang telah mempunyai kromosom mosaik

dan perbanyakan dengan menggunakan batang dapat menghasilkan jumlah

kromosom bervariasi.

3. Lamanya pengkulturan; variasi dapat meningkat dengan ditingkatkannya lama

pengkulturan.

4. Kondisi kultur; telah diketahui bahwa komposisi ZPT dalam media kultur

dapat menyebabkan perubahan frekuensi karyotipik dalam kultur sel. Zat

pengatur tumbuh tersebut adalah 2,4-D, NAA, BAP dan lain-lain yang secara

umum dapat menyebabkan kromosom bervariasi.

Menurut Chawla (2002), yang menjadi dasar terjadinya variasi somaklonal

adalah:

1. Perubahan karyotipe (karyotype changes): perubahan jumlah kromosom pada

berbagai tanaman secara umum berasosiasi dengan menurunnya pembuahan

dan merubah rasio genetik pada progeni tanaman dari penyerbukan sendiri.

2. Perubahan pada struktur kromosom; ini terjadi karena delesi kromosom,

duplikasi, inversi dan penyusunan kembali kromosom yang timbal balik dan

yang tidak timbal balik yang terjadi antara tanaman yang beregenerasi.

3. Mutasi gen tunggal; mutasi gen tunggal biasanya terjadi pada gen yang resesif.

4. Perubahan genetik sitoplasma, persilangan mitotik dan amplifikasi gen dan

perubahan nukleus.

Page 35: 2007azw.pdf

18

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dimulai oleh

Williams et al. (1990) setelah berhasil mengamplifikasi DNA dan bersifat

polimorfik dengan menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq (Themus

aquaticus) DNA polimerase. Teknik ini sudah banyak digunakan para peneliti di

dunia, karena mempunyai beberapa keuntungan. Menurut Williams et al. (1990),

metode RAPD lebih sederhana, cepat, DNA yang diperlukan sedikit dan tidak

perlu terlalu murni, tidak menggunakan radioisotop maupun DNA probe, cocok

digunakan untuk sampel banyak, dan cukup menggunakan satu primer.

Teknik RAPD didasarkan pada penggunaan primer sekuens nukleotida yang

berubah-ubah untuk mengamplifikasi segmen genomik DNA acak melalui

pemanfaatan PCR (Polymerase Chain Reaction) sehingga menunjukkan

polimorfisme. Primer untuk analisis RAPD mengandung 9-10 basa panjangnya.

Polimorfisme yang teramati dengan menggunakan RAPD diyakini karena adanya

perubahan basa tunggal yang mencegah perpasangan primer dengan sekuens

target, delesi sisi utama, insersi atau delesi yang memodifikasi ukuran DNA.

Keuntungan dari metode ini adalah bahwa set oligonukleotida yang sama dapat

digunakan untuk berbagai spesies atau organisme dan setelah amplifikasi selama

2-4 jam, polimorfisme ini dapat diamati secara langsung dengan agarose normal

gel elektroforesis (Nasir, 2002).

Kary Mullis memperkenalkan PCR pada tahun 1983 dan publikasi PCR

yang pertama muncul pada tahun 1985. Menurut Muladno (2002), PCR

merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada

target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen

dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida

sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara

puluhan sampai ribuan nukleotida. Teknik PCR memerlukan dNTPs yang

mencakup dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP. Teknik RAPD ini juga telah

digunakan untuk pemetaan genom, penanda gen dan penelitian kekerabatan

tanaman. Analisis ini memerlukan sampel yang lebih sedikit dan tidak

memerlukan waktu yang lama, serta pengerjaannya relatif mudah.

Page 36: 2007azw.pdf

19

Dalam analisis RAPD ada empat tahap yang harus dilakukan, yaitu tahap

ekstraksi DNA, tahap pengujian kuantitas DNA, tahap amplipfikasi DNA (PCR)

dan tahap elektroforesis. Ekstraksi DNA pada prinsipnya adalah suatu proses

pengisolasian DNA bahan amplifikasi dengan cara penggerusan dibantu oleh

senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu sehingga didapat DNA yang

terpisah dari kontaminan. Keberhasilan ekstraksi DNA dapat diketahui dengan

pengujian kualitas dan kuantitas DNA. Uji kualitas dan kuantitas DNA dilakukan

secara elektroforesis dengan me’running’ DNA pada bak elektroforesis yang

berisi cairan elektrolit. Pada tahap ini semua bahan yang ada dalam larutan DNA

dapat terpisah sesuai dengan berat molekulnya masing-masing. Apabila pada UV

transilluminator tidak tampak pita DNA, maka kemungkinan besar pengekstrak

tidak berhasil.

Menurut Sambrook (1989), daun yang masih muda dengan berat 0,2-0,3 g

cukup untuk menghasilkan DNA sesuai dengan kebutuhan selama analisis.

Menurut Kimball (1992), sel berkembang dengan cara menggandakan diri dan

memperbesar volume sel. Oleh karena itu semakin muda suatu jaringan daun yang

digunakan akan memberikan peluang yang lebih besar dalam menghasilkan DNA

dalam jumlah besar dari pada daun yang sudah tua.

Kemajuan dalam pemanfaatan sistem biologi modern tidak terlepas dari

prinsip dasar kimia kehidupan. Materi genetik DNA adalah persenyawaan yang

terdiri dari gula, fosfat dan basa yang tersusun secara teratur inilah yang

menentukan perkembangan dan pertumbuhan suatu organisme dan diturunkan

pada generasi berikutnya. Suatu sekuen tertentu dari rantai gula-fosfat-basa ini

disebut gen. Gen mengendalikan suatu sifat secara kimiawi melalui kerja enzim-

enzim.

Melalui teknik tersebut kita dapat melakukan hal-hal seperti menentukan

gen-gen dengan fungsi spesifik, mengisolasi gen yang spesifik tersebut,

memasukkan gen spesifik yang kita inginkan ke dalam DNA organisme lain dan

gen berekspresi memerintahkan sel inangnya untuk membuat bahan sesuai dengan

kodenya (Tim, 1991).

PCR adalah suatu metode in vitro untuk menghasilkan sejumlah fragmen

DNA spesifik dengan panjang dan sekuens yang telah ditentukan dari sejumlah

Page 37: 2007azw.pdf

20

kecil template kompleks. PCR merupakan suatu teknik yang sangat kuat dan

sensitif yang dapat diaplikasi dalam berbagai bidang seperti biologi molekuler,

diagnostik, genetika populasi dan analisis forensik.

PCR didasarkan pada amplifikasi enzimatik fragmen DNA dengan

menggunakan dua oligonukleotida primer yang komplementer dengan ujung 5’

dari kedua untaian sekuens target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer

(primer PCR) untuk memungkinkan DNA template dikopi oleh DNA polimerase.

Untuk mendukung terjadinya annealing primer ini pada template pertama kali

diperlukan untuk memisahkan untaian DNA substrat melalui pemanasan.

Suhu reaksi selanjutnya diturunkan untuk membiarkan terjadinya

perpasangan sekuens dan akhirnya reaksi polimerisasi dilakukan oleh DNA

polimerase untuk membentuk untai komplementer. Proses ini dikenal dengan

siklus PCR (Nasir, 2002). Untuk membentuk rangkaian molekul DNA heliks

ganda (double helix) (Gambar 6), basa nitrogen dari setiap nukleotida dalam satu

rangkaian akan berpasangan dengan basa nitrogen dari setiap rangkaian lainnya

melalui ikatan hidrogen (Muladno, 2002).

Gambar 6. Sel, Kromosom dan DNA Heliks Ganda (Anonim, 2006).

Menurut Muladno (2002), ada 5 komponen utama yang dibutuhkan dalam

reaksi PCR yaitu 1) DNA target, 2) Primer, 3) Enzim Taq DNA polymerase 4)

dNTP dan 5) Larutan penyangga atau bufer. Prinsip proses PCR adalah suatu

siklus berjangka pendek (30-60 detik) dengan tiga perubahan suhu yang berubah

secara cepat, proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Ketiga tahapan suhu

dan fungsinya adalah sebagai berikut :

Page 38: 2007azw.pdf

21

1. Denaturasi (terbentuk rantai tunggal) suhu 95oC.

Pada tahap pertama ini utas ganda molekul DNA terpisah sempurna dan

menghasilkan pita tunggal yang merupakan cetakan bagi primer. Suhu denaturasi

biasanya 940 C selama 30 detik atau 970 C selama 15 detik. Dalam Muladno

(2002) dinyatakan bahwa denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA

mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda lagi) secara cepat, dan ini

mengakibatkan gagalnya proses PCR.

2. Annealing (penempelan primer) suhu berkisar 50 oC -60oC

Temperatur penempelan yang digunakan biasanya 5 oC dibawah Tm,

dimana formula untuk menghitung Tm= 4(G + C) + 2(A + T). Semakin panjang

ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya.

3. Ekstensi (pemanjangan primer) suhu 72 oC

Selama tahap ini, Taq polymerase memulai aktivitasnya memperpanjang

DNA primer dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut

pada suhu 72 oC diperkirakan antara 35 sampai 1000 nukleotida per detik,

tergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam dan molekul DNA (Muladno,

2002).

Gambar 7. Siklus Pembentukan Molekul DNA Baru dalam Proses PCR (Muladno,

2002).

Page 39: 2007azw.pdf

BAHAN DAN METODE

Sub Penelitian I. Kultur Jaringan

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian Kultur Jaringan dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan

Laboratorium Konservasi Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan

dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian

dilaksanakan dari bulan Pebruari sampai dengan Nopember 2006.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit gaharu

berumur 4 bulan yang ditanam di rumah kaca dan planlet gaharu yang berumur 14

minggu hasil kultur in vitro, seperti yang terlihat pada Gambar 8.

BA

Gambar 8. Bahan Tanaman Sebagai Sumber Eksplan. Keterangan: A: Bibit Gaharu di Rumah Kaca, dan B: Planlet Gaharu dalam Tabung Kultur.

Media dasar yang digunakan adalah Media MS (Murashige & Skoog, 1962)

(Lampiran 1), sedangkan ZPT yang digunakan adalah BAP dan TDZ berbentuk

bubuk.

Alat-alat yang digunakan dalam kultur jaringan gaharu yaitu pinset, gunting,

scalpel, mikroskop binokuler dengan lampu, petridish, kertas tissue, laminar air

flow cabinet, kamera digital dan alat-alat tulis.

Page 40: 2007azw.pdf

23

Metode Penelitian

Sumber Eksplan

Sumber eksplan tunas aksilar diperoleh dari bibit gaharu berumur 4 bulan

yang ditanam di rumah kaca Laboratorium Konservasi Sumberdaya Hutan

Fakultas Kehutanan IPB sedangkan sumber eksplan tunas adventif adalah planlet

gaharu yang diperoleh dari Laboratorium Kultur Jaringan Konservasi Sumberdaya

Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bagian yang digunakan untuk perbanyakan dari

kedua sumber eksplan adalah jaringan meristem dengan 1 primordia daun. Bagan

alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

Pohon Induk

Sumber Eksplan (Tunas Aksilar)

Sterilisasi

Pengambilan Bagian Meristem

Induksi Tunas Pada Media Perlakuan

Planlet

Sumber Eksplan (Planlet)

Eksplan dipotong Ukuran Lebih Kecil

Sub Kultur 1

Analisis RAPD

Sub Kultur 2

Analisis RAPD (Genetic Background)

Evaluasi Stabilitas Genetik

Gambar 9. Bagan Alur Penelitian Kultur Jaringan dan Analisis RAPD untuk Evaluasi Stabilitas Genetik

Page 41: 2007azw.pdf

24

Bahan Sterilisasi Eksplan

Bahan sterilisasi eksplan yang digunakan meliputi: detergen, HgCl2 0,01%,

NaOCl, Alkohol 70%, dan Betadine.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

(RAL) dengan perlakuan konsentrasi BAP (kontrol; 0,50 ppm; 0,75 ppm; 1,0

ppm) atau TDZ (kontrol; 0,25 ppm; 0,50 ppm; 0,75 ppm), dengan ulangan 3 unit,

setiap unit terdiri dari 4 botol, setiap botol ditanam satu eksplan yang berasal dari

tunas aksilar atau tunas adventif. Penelitian ini terdiri dari 4 percobaan secara

terpisah yang disusun seperti di bawah ini.

Percobaan I:

Konsentrasi BAP : (B0) = Kontrol (B1) = 0,50 ppm

(B2) = 0,75 ppm (B3) = 1,0 ppm Eksplan yang digunakan adalah tunas aksilar

Percobaan II:

Konsentrasi BAP : (B0) = Kontrol (B1) = 0,50 ppm (B2) = 0,75 ppm (B3) = 1,0 ppm

Eksplan yang digunakan adalah tunas adventif

Percobaan III:

Konsentrasi TDZ : (T0) = Kontrol (T1) = 0,25 ppm

(T2) = 0,50 ppm (T3) = 0,75 ppm Eksplan yang digunakan adalah tunas aksilar

Percobaan IV:

Konsentrasi TDZ : (T0) = Kontrol (T1) = 0,25 ppm

(T2) = 0,50 ppm (T3) = 0,75 ppm Eksplan yang digunakan adalah tunas adventif

Setiap perlakuan diulang tiga kali, setiap ulangan terdiri dari 4 botol, setiap

botol ditanam satu eksplan.

Page 42: 2007azw.pdf

25

Model linier aditif dari rancangan tersebut adalah (Mattjik dan Sumertajaya,

2002):

Yij = µ + αi + εij

i = 1, 2, ....t (ZPT)

j = 1, 2......r (ulangan)

Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Pengaruh galat dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi BAP atau TDZ terhadap

pertumbuhan kultur dilakukan uji sidik ragam. Apabila F hitung > F tabel, maka

percobaan berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Hasil sidik ragam yang

memberikan pengaruh nyata dilakukan uji lanjut wilayah berganda Duncan untuk

mengetahui pengaruh terbaik konsentrasi ZPT terhadap masing-masing jenis

meristem dalam proses induksi dan multiplikasi tunas gaharu. Pengolahan data

menggunakan program SPSS 13.0 for Windows.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Media Perlakuan

Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Media MS

(Murashige & Skoog, 1962) yang ditambah dengan ZPT BAP atau TDZ yang

telah ditetapkan sebagai perlakuan. Media perlakuan ditetapkan pHnya 5,8 dengan

menggunakan beberapa tetes NaOH atau HCl. Selanjutnya ke dalam media

ditambah bahan pemadat berupa agar sebanyak 7 g/l dan glukosa (gula) 30 g/l,

lalu dipanaskan sampai mendidih, setelah mendidih dituang dalam botol kultur

sebanyak lebih kurang 15 ml/botol. Kemudian media disterilisasi dengan

menggunakan autoklaf dengan temperatur 1210C dan tekanan 21 psi (1,5 bar)

selama 30 menit. Setelah media disterilisasi kemudian didinginkan selama satu

minggu sekaligus untuk menyeleksi media yang terkontaminasi. Media yang tidak

terkontaminasi siap ditanam.

Page 43: 2007azw.pdf

26

Penanaman Eksplan ke Dalam Media Kultur

Penanaman eksplan yang berasal dari meristem tunas aksilar dilakukan

dengan cara memotong pucuk atau tunas aksilar bibit gaharu sepanjang 3 cm

menggunakan gunting, daun-daun yang menempel dibuang, kemudian dilakukan

sterilisasi dengan detergen cair selama 15 menit, dicuci dengan air mengalir

sampai detergen benar-benar bersih, kemudian direndam dalam HgCl2 0,01 %

selama 7 menit, NaOCl 10%, 7,5% dan 5% masing-masing 15-20 menit kemudian

dibilas tiga kali dengan aquades steril, direndam dalam larutan Betadine 2 ml/100

ml selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pengambilan bagian meristem di

bawah mikroskop binokuler dengan cara meletakkan pucuk gaharu di dalam

cawan petri yang berisi air akuades steril. Bagian meristem yang diambil terdiri

dari satu primordia daun kemudian dimasukan ke dalam media kultur sesuai

dengan perlakuan yang telah ditetapkan.

Untuk penanaman eksplan yang berasal dari meristem tunas adventif tidak

dilakukan proses sterilisasi karena sudah dalam kondisi aseptik, tetapi

pengambilan bagian meristem dilakukan di dalam cawan petri yang berisi larutan

betadine. Proses pengambilan bagian meristem dilakukan sama dengan proses

pengambilan bagian meristem tunas aksilar yang berasal dari rumah kaca yaitu

terdiri dari satu primordia daun. Bagian meristem yang diambil dimasukan ke

dalam media kultur yang sudah ditetapkan sebagai perlakuan. Semua kultur di

inkubasi pada suhu 25 ± 20C dan diletakan pada rak kultur kemudian ditutup

dengan kertas koran, setelah lima hari kertas koran dibuka dan diberi cahaya

lampu neon 40 watt pada photoperiode 16 jam terang dan 8 jam gelap.

Sub Kultur

Sub kultur tunas gaharu dilakukan sebanyak 2 kali dengan menggunakan

media dasar MS tanpa penambahan ZPT. Sub kultur ini dilakukan untuk

mendapatkan sampel daun yang akan digunakan untuk analisis stabilitas genetik

tanaman gaharu guna melihat ada tidaknya perubahan struktur genetik yang

terjadi selama proses pengkulturan.

Page 44: 2007azw.pdf

27

Pengamatan dan Pengumpulan Data

Pengamatan dilakukan sejak hari pertama penanaman eksplan ke dalam

media kultur, parameter yang diamati meliputi: Persentase pencokelatan

(browning), persentase terkontaminasi dan visualisasi perkembangan eksplan,

sedangkan pengamatan paramater jumlah tunas per eksplan, tinggi tunas per

eksplan, dan jumlah daun per eksplan, dimulai pada minggu kedua setelah tanam.

Pengamatan dilakukan pada kedua jenis sumber eksplan tersebut selama 12

minggu.

Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik

Tempat dan Waktu

Penelitian analisis RAPD dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan

Nopember 2006 sampai Januari 2007.

Bahan dan Alat Analisis RAPD

Bahan tanaman yang digunakan untuk evaluasi stabilitas genetik adalah

sampel daun yang berjumlah sebanyak 22 sampel yang terdiri dari 6 sampel yang

berasal dari pohon induk, 4 sampel dari sebelum dikultur (2 sampel dari bibit dan

2 sampel dari planlet), 4 sampel hasil kultur, 4 sampel subkultur I dan 4 sampel

subkultur II. Sampel diambil dari dua sumber eksplan yang diteliti yang diberi

perlakukan BAP 0,5 ppm dan 1,0 ppm. Semua bahan tanaman tersebut berasal

dari kebun induk yang ada di Desa Cangkorawok Bogor. Diagram alir

pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 10. Bahan kimia yang digunakan

adalah Buffer TE, PVP (polyvinylpyrrolidone) 2%, agarose, ethidium bromida

(ETBR), buffer ekstrak CTAB, Cloroform IAA, phenol, propanol, NaCl , etanol

100%, Taq Polymerase dan Primer.

Alat-alat yang digunakan untuk ekstraksi DNA, elektroforesis dan analisis

RAPD antara lain: tube, gelas piala, gelas ukur, sarung tangan, UV

transiluminator, kamera digital dan alat tulis serta alat-alat yang terlihat pada

Gambar 11.

Page 45: 2007azw.pdf

28

Analisis RAPD untuk Evaluasi Stabilitas Genetik

Pohon Induk (n=6)

Bibit (Bulk Seedling)

Tunas Aksilar

Sub Kultur II (n=2) Sub Kultur II (n=2) (D)

Tunas Adventif

Hasil Kultur (n=2) Hasil Kultur (n=2)

Sub Kultur I (n=2) Sub Kultur I (n=2)

Jaringan Meristematik Dikulturkan

Bibit 1 Perlakuan BAP 0,5 ppm

(n=1)

Bibit 2 Perlakuan BAP 1,0 ppm

(n=1)

Planlet 1 Perlakuan BAP 0,5 ppm

(n=1)

Planlet 2 Perlakuan BAP 1,0 ppm

(n=1)

(C)

(A)

(B)

Gambar 10. Diagram Alir Pengambilan Sampel mulai dari Pohon Induk hingga Sub Kultur II, dalam Proses Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu.

Keterangan: Garis Putus-putus Menunjukkan Pemisahan Tahapan, A: Tahap sebelum Kultur, B: Hasil Kultur, C: Sub Kultur I, D: Sub Kultur II dan n: Jumlah Sampel.

Page 46: 2007azw.pdf

29

B C

D E F

G H

A

I

Gambar 11. Alat-alat yang Digunakan untuk Ekstraksi DNA, Elektroforesis dan Analisis RAPD.

Keterangan: A: Mortar dan Pestel, B: Hotplate Stirer dan Neraca Analitik, C: Vortex dan Peltier Thermal Cycler, D: Alat Elektroforesis, E: Tips dan Mikropipet, F: Mikrowave, G: Freezer, H: Desikator dan Sentrifugasi dan I: Waterbath.

Ekstraksi DNA

Potongan daun gaharu berukuran 2 x 2 cm digerus dalam pestel dengan

menambahkan Buffer pengekstrak CTAB sebanyak 500 µl dan 100 µl PVP 2%,

kemudian dimasukan ke dalam tube, divortex lalu diinkubasi dalam waterbath

pada suhu 650C selama 60 menit, selama inkubasi setiap 15 menit diangkat dan

dikocok. Selanjutnya sampel didinginkan pada suhu ruang selama 15 menit dan

dicuci dengan menambahkan 500 µl Cloroform IAA dan phenol 10 µl. Campuran

digoyang perlahan-lahan dan disentrifugasi pada 13000 rpm selama 2 menit.

Setelah disentrifugasi supernatan (cairan bagian atas) diambil dan dipindahkan ke

tube baru dengan menambahkan lagi 500 µl Cloroform IAA dan phenol 10 µl,

dikocok dan disentrifugasi kembali pada 13000 rpm selama 2 menit. Ambil

supernatan dan dimasukan ke tube baru, lalu ditambah 500 µl isopropanol dingin

Page 47: 2007azw.pdf

30

dan NaCl 300 µl, kocok. Simpan dalam freezer selama 60 menit. Selanjutnya

sentrifugasi kembali selama 2 menit dan cairan dibuang sehingga yang tertinggal

dalam tube adalah pellet DNA. Ditambah etanol 100% sebanyak 300 µl,

sentrifugasi kembali dan cairan dibuang lalu dikeringanginkan dalam desikator

selama 15 menit.

Uji Kualitas DNA

Selama proses pengeringan pellet DNA, disiapkan agarose 1% (0,33 gram

agarose dalam 33 ml TAE). Untuk proses elektroforesis, ditambahkan TE 20 µl

pada pellet DNA lalu sentrifugasi, diambil 3 µl DNA ditambahkan 2 µl BJ (Blue

Juice) 10 X dan running/elektroforesis pada tegangan 100 volt selama ± 30 menit.

Hasil elektroforesis kemudian direndam dalam larutan etidium bromide (ETBR)

10 µl per 200 ml aquades selama 3 - 5 menit dan selanjutnya dilihat pada UV

transiluminator.

Seleksi Primer

Sebelum dilakukan proses PCR terhadap DNA gaharu, terlebih dahulu

diseleksi primer yang cocok untuk proses amplifikasi, karena belum ada penelitian

sebelumnya yang telah mendapatkan primer yang dapat mengamplifikasi DNA

gaharu. Dalam penelitian ini ada 10 primer yang dipilih secara random, yaitu

primer dari golongan OPO dan OPY yang diproduksi oleh Operon Technology.

Sepuluh primer yang digunakan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Sepuluh Primer yang Digunakan untuk Amplifikasi DNA dan Urutan

Basanya. No. Primer Urutan Basa No. Primer Urutan Basa 1. OPO-06 5’CCACGGGAAG’3 1. OPY-02 5’CATCGCCGCA’3 2. OPO-09 5’TCCCACGCAA’3 2. OPY-06 5’AAGGCTCACC’3 3. OPO-10 5’TCAGAGCGCC’3 3. OPY-08 5’AGGCAGAGCA’34. OPO-14 5’AGCATGGCTC’3 4. OPY-09 5’GTGACCGAGT’3 5. OPO-18 5’CTCGCTATCC’3 5. OPY-11 5’AGACGATGGG’3

DNA hasil ekstraksi diambil masing-masing 2 µl dicampur menjadi satu

kemudian diencerkan dengan 49 µl aquabides. Ambil komponen campuran untuk

reaksi PCR ( Master taq 7 µl, Nuclease-free water 2,5 µl, DNA mix masing-

Page 48: 2007azw.pdf

31

masing 2 µl, dan Primer masing-masing 1,5 µl) disentrifugasi selama 5-10 detik.

Kemudian dimasukan ke mesin PCR, atur suhu dan tahapan reaksi seperti yang

disajikan dalam Tabel 3. Total siklus sebanyak 37.

DNA hasil PCR kemudian dielektroforesis dengan menggunakan agarose

2% (0,30 g agarose, 15 ml TAE) pada tegangan 90 volt selama 30 menit,

selanjutnya dilihat pada UV transiluminator. Primer yang menghasilkan pita atau

jumlah amplifikasi yang terbanyak selanjutnya digunakan untuk amplifikasi DNA

dari 16 sampel yang diuji.

Amplifikasi DNA dengan PCR

Sebelum melakukan amplifikasi PCR, DNA hasil ekstraksi diencerkan

dengan aquabides. Perbandingan antara DNA dan aquabides tergantung dari

resolusi pita DNA genomik dari hasil ekstraksi (misalnya pengenceran 90x artinya

89 µl aquabides dan 1 µl DNA hasil ekstraksi. Selanjutnya dari hasil seleksi

primer, dipilih 2 primer yang digunakan untuk proses amplifikasi DNA.

Empat komponen yang digunakan dalam proses amplifikasi DNA dengan

PCR adalah Green Go Taq (sampel dari bibit dan sampel dari planlet sebelum

hingga sub kultur II) dan HotStar Mix (sampel dari pohon induk) (Tabel 2). Empat

komponen yang telah dicampur disentrifugasi selama 5 menit kemudian

dimasukan ke dalam mesin PCR, diatur suhu PCR sesuai dengan tahapan dan

siklus reaksi seperti yang terdapat dalam Tabel 3.

Tabel 2. Empat Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR.

No. Nama Bahan 1 Sampel Reaksi X Sampel Reaksi 1. H2O 2 µl X x 2 µl 2. Green Go Taq / HotStar Mix 7,5 µl X x 7,5 µl 3. Primer 1,5 µl X x 1,5 µl 4. Cetakan DNA 2 µl X x 2 µl

Page 49: 2007azw.pdf

32

Tabel 3. Tahapan dalam Proses PCR

Tahapan Suhu (0C) Waktu (menit) Jumlah Siklus Pre-denaturation 95 10 1 Denaturation Annealing Extension

95 37 72

1 3 2

35

Final Extension 72 10 1

DNA hasil PCR di elektroforesis dengan menggunakan konsentrasi agarose

2% (0,66 gram agarose dan 33 ml TAE) , di-running pada tegangan 90 volt

selama 45 menit. Kemudian direndam dalam larutan etidium bromide 10 µl per

200 ml aquades selama 3 - 5 menit. Visualisasi fragmen DNA dilakukan pada UV

transiluminator. Seragam tidaknya DNA diamati dari pita yang dihasilkan. Pita

DNA diterjemahkan dalam data biner berdasarkan ada tidaknya pita, dengan

ketentuan nilai 0 (nol) untuk tidak ada pita, dan nilai 1 (satu) untuk adanya pita

pada suatu posisi yang sama dari setiap individu yang dibandingkan. Cara

pemberian nilai dapat dilihat pada Gambar 12.

No A B C D E 1 2 3 4 5 6 7

No A B C D E

1 1 0 1 1 0 2 1 0 0 1 1 3 1 1 0 0 0 4 1 0 1 0 0 5 0 1 1 1 0 6 1 0 1 0 1 7 1 1 0 1 0

Diterjemahkan menjadi

Gambar 12. Pola Terjemahan Pita DNA

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan software Popgene versi

1.31, dan kesamaan antar genotipe ditentukan menurut Nei & Li (1979).

Pengelompokan data matriks dan pembuatan dendogram dilakukan dengan

metode Unweighted Pair Group Method With Arithmetic (UPGMA), fungsi

Similarity Qualitative (SIMQUAL) menggunakan program komputer NTSYSpc

versi 2. (Rohlf, 1993).

Page 50: 2007azw.pdf

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sub Penelitian I. Kultur Jaringan

Umum

Kultur jaringan tanaman terdiri dari sejumlah teknik untuk menumbuhkan

organ, jaringan dan sel tanaman secara in vitro sehingga mampu tumbuh menjadi

tanaman utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur

jaringan tanaman antara lain bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber

eksplan, metode sterilisasi yang digunakan, lingkungan kerja, alat dan bahan

kimia yang digunakan serta proses penanaman yang dilakukan.

Pada penelitian ini digunakan dua jenis bahan tanaman sebagai sumber

eksplan yaitu bahan tanaman berupa bibit gaharu berumur 4 bulan yang tumbuh

di rumah kaca dan bahan tanaman yang tumbuh dalam botol berupa planlet

berumur 14 minggu. Secara umum penggunaan bahan tanaman berupa bibit dari

rumah kaca berbeda dengan bahan tanaman berupa planlet yang masih hidup di

dalam botol (hasil kultur In vitro) dalam proses induksi, multiplikasi dan keragaan

planlet yang dihasilkan. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih mudah

untuk diperbanyak dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar. Hal ini

terlihat dari jumlah eksplan yang tumbuh, eksplan yang terkontaminasi dan waktu

munculnya tunas pertama. Kedua sumber eksplan tersebut memiliki tingkat

meristematik sel yang berbeda. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih

juvenil dan sel-selnya lebih bersifat meristematik dibanding eksplan yang berasal

dari tunas aksilar, sehingga secara umum proses perkembangan dan induksi tunas

dari eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih cepat dibanding eksplan yang

berasal dari tunas aksilar. Pierik (1987), menyatakan bahwa keberhasilan inisiasi

dan morfogenesis dari suatu eksplan dalam kultur in vitro sangat ditentukan oleh

genotipe, umur tanaman, umur jaringan/organ, fisiologi tanaman, kesehatan

tanaman, kondisi pertumbuhan letak eksplan dari tanaman (topofisis), ukuran

eksplan, perlukaan, metode inokulasi, perawatan eksplan dan persiapan atau

perlakuan terhadap tanaman induk.

Page 51: 2007azw.pdf

34

Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi dan Jumlah Eksplan yang Tumbuh

Dalam penelitian ini, eksplan yang berasal dari tunas aksilar berjumlah 84

eksplan dan yang berasal dari tunas adventif berjumlah 84 eksplan, setiap botol

ditanam 1 eksplan, total keseluruhannya sebanyak 168 eksplan atau botol. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari rumah kaca yaitu

tunas aksilar persentase tumbuhnya lebih rendah yaitu 58,33% dibanding eksplan

yang berasal dari tunas adventif yaitu 77,38%. Total eksplan yang tumbuh adalah

sebanyak 144 eksplan atau 67.86%. Perbandingan eksplan yang mengalami

pencokelatan, terkontaminasi, tidak tumbuh, dan tumbuh disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, Tidak Tumbuh dan Tumbuh

dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar dan Tunas Adventif Parameter Eksplan Aksilar (n=84) Eksplan Adventif (n=84) Pencokelatan Terkontaminasi Tidak tumbuh Tumbuh

6 (7,14%) 18 (21.42%) 11 (13.09%) 49 (58.33%)

0 (0%) 11 (13.09%) 8 (9.52%) 65 (77.38%)

Tabel 4 menunjukkan bahwa pencokelatan hanya terjadi pada eksplan yang

berasal dari tunas aksilar yaitu sebanyak 7,14%, sedangkan eksplan yang berasal

dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan. Terjadinya pencokelatan pada

eksplan yang berasal dari tunas aksilar disebabkan oleh senyawa fenolik yang

terkandung di dalam eksplan. Hal ini merupakan salah satu kendala kultur

jaringan pada tanaman berkayu. Eksplan yang digunakan jika mengalami

pencokelatan akan dapat menyebabkan kematian eksplan. Untuk meminimalisir

terjadinya pencokelatan perlu dilakukan berbagai perlakuan seperti memberikan

antioksidan baik pada media maupun pada eksplan prakultur, dengan harapan

eksplan yang ditanaman dapat tumbuh dengan baik.

Selain menggunakan antioksidan, ukuran dan umur eksplan juga sangat

mempengaruhi terjadinya pencokelatan. Pada tanaman berkayu umumnya

semakin besar ukuran atau semakin tua umur ekplan yang digunakan maka

terjadinya pencokelatan semakin tinggi karena senyawa fenolik yang terdapat di

dalam eksplan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil ukuran atau umur

eksplan yang digunakan maka persentase pencokelatan semakin rendah. Dalam

Page 52: 2007azw.pdf

35

hal ini lebih dianjurkan menggunakan eksplan yang berasal dari jaringan yang

bersifat meristematik. Eksplan yang sehat dan segar dapat dipindahkan dari media

lama ke media baru. Pada penelitian ini penulis tidak menggunakan antioksidan

tetapi eksplan diinkubasi pada ruangan gelap selama satu minggu dengan tujuan

untuk mengurangi terjadinya pencokelatan.

Yusnita (2003), menyatakan bahwa masalah yang sering dihadapi dalam

kultur jaringan tanaman berkayu adalah terjadinya pencokelatan atau penghitaman

bagian eksplan. Pada waktu jaringan terkena stres mekanik, seperti pelukaan pada

waktu proses isolasi eksplan, proses sterilisasi, metabolisme senyawa berfenol

pada eksplan sering terangsang. Senyawa berfenol ini sering bersifat toksik,

menghambat pertumbuhan, bahkan dapat mematikan jaringan eksplan. George

dan Sherrington (1984), menyarankan beberapa tindakan untuk mengatasi

terjadinya pencokelatan yaitu dengan menggunakan arang aktif atau PVP,

merendam dengan asam sitrat atau asam askorbat, menggunakan pengkelat seperti

EDTA, perlakuan pH rendah dan inkubasi dalam ruang gelap.

Pada eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan

hal ini diduga karena eksplan masih relatif muda, bersifat heterotrof sehingga

senyawa fenolik yang terkandung di dalam eksplan relatif rendah. Pencokelatan

pada eksplan biasanya terjadi pada pangkal eksplan dan diikuti dengan pelepasan

zat phenolik ke dalam media tumbuh.

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah eksplan yang terkontaminasi adalah

sebanyak 21,42% dari tunas aksilar dan 13,09% dari tunas adventif. Secara umum

sterilisasi berhasil dengan baik, karena dari 168 botol yang ditanam hanya 29

botol yang terkontaminasi (17,26%). Tingginya jumlah terkontaminasi pada

eksplan tunas aksilar ini diduga eksplan yang berasal dari rumah kaca banyak

membawa mikroorganisme sumber kontaminan. Meskipun sudah dilakukan

sterilisasi dengan baik, namun mikroorganisme masih sering terbawa oleh eksplan

(mikroorganisme endophytic).

Hutchinson et al. (1995), menyatakan bahwa tanaman yang berasal dari

lapangan memiliki mikroflora yang dapat mematikan eksplan sebelum kultur

berkembang. Kesalahan dan tidak berhasilnya sterilisasi dapat menyebabkan

eksplan 100% terkontaminasi. Salah satu cara untuk mengurangi kontaminasi

Page 53: 2007azw.pdf

36

adalah dengan menumbuhkan tanaman di rumah kaca, perlakuan tanaman dengan

fungisida dan insektisida sebelum dikultur. Ditambahkan juga bahwa lamanya

waktu yang digunakan dalam proses sterilisasi tergantung dari jenis bahan

tanaman yang digunakan dan konsentrasi bahan kimia. Bahan tanaman yang

sukulen membutuhkan waktu yang lebih singkat dibanding bahan tanaman seperti

batang, pucuk, dan biji. Sebaiknya konsentrasi bahan kimia yang digunakan

memiliki konsentrasi yang rendah, sehingga waktu sterilisasinya dibuat lebih

lama.

Berdasarkan dari pengamatan yang dilakukan ada beberapa penyebab

terjadinya kontaminasi pada media kultur jaringan yaitu 1). Sterilisasi eksplan

yang kurang tepat sehingga eksplan belum benar-benar steril, 2). Sterilisasi media

kultur yang belum tepat, ini ditandai dengan masih adanya media yang

terkontaminasi meskipun tidak dilakukan inokulasi, 3). Proses inokulasi, dimana

sering terjadi kontaminasi saat memasukan eksplan ke dalam media kultur, yang

perlu diperhatikan adalah usahakan eksplan yang sudah disteril sesedikit mungkin

menyentuh benda lain, 4). Saat membuka dan menutup botol, sebaiknya jangan

menghadap hembusan udara laminar atau menghadap inokulan, jika menghadap

laminar ini dikuatirkan masuknya partikel debu yang terbawa oleh hembusan

udara laminar yang masuk ke dalam media kultur.

Selain terjadinya pencokelatan dan terkontaminasi, total dari eksplan yang

diinokulasi terdapat 19 eksplan yang tidak tumbuh atau tidak mengalami

organogenesis tetapi masih hidup dan berwarna kuning kehijauan yang

menyerupai kalus. Apabila kalus ini dibiarkan terus berkembang maka akan

terbetuk tunas-tunas baru.

Tingginya jumlah eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan yang berasal

dari tunas aksilar diduga karena eksplan yang digunakan secara fisiologis tidak

seragam, sehingga kemampuan eksplan untuk berkembang sangat bervariasi.

Kemungkinan lainnya adalah eksplan membutuhkan waktu yang cukup lama

untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan tempat tumbuh yang baru. Pada

eksplan yang berasal dari tunas aksilar terjadi perubahan lingkungan tanaman

yaitu dari lingkungan autotrof menjadi heterotrof, dari lingkungan alam menjadi

lingkungan yang terkontrol, sehingga membutuhkan waktu untuk beradaptasi,

Page 54: 2007azw.pdf

37

sedangkan eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak membutuh waktu yang

lama untuk beradaptasi pada media baru. Selanjutnya, eksplan yang berasal dari

tunas adventif lebih bersifat meristematik dibanding yang berasal dari tunas

aksilar, sehingga faktor lingkungan, keadaan sel dan perlakuan ZPT di dalam

media kultur sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Selain itu, faktor lain

yang menyebabkan tingginya jumlah eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan

yang berasal dari tunas aksilar adalah bahan sterilisi yang digunakan yaitu HgCl2

yang memiliki sifat toksik, dan tidak stabil apabila digunakan dalam waktu yang

lama selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian pada

eksplan (Hendaroyono dan Wijayanti, 1994). Sebaliknya, sodium hipoklorida

(NaOCl) yang bersifat kurang toksik, mengandung unsur Na dan Cl, sejenis

logam organik yang lebih stabil, dapat membunuh jamur dan spora-sporanya,

sedangkan ion klor berfungsi untuk menurunkan oksidasi fenol. Penggunaan

kedua bahan sterilisasi tersebut diduga sebagai salah satu penyebab kematian,

kontaminasi dan banyaknya eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan yang berasal

dari tunas aksilar.

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ Terhadap Pertumbuhan

Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif

Hasil pengamatan terhadap dua sumber eksplan yang ditanam pada media

yang diberi perlakuan ZPT BAP atau TDZ menunjukkan perbedaan yang sangat

nyata pada taraf uji 0,01 DMRT. Rekapitulasi hasil sidik ragam tersebut disajikan

pada Tabel 5 dan Lampiran 2.

Tabel 5. Rekapitulasi Sidik Ragam (Anova) Pengaruh Perlakuan BAP atau TDZ

terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif.

Eksplan Jumlah Tunas Panjang Tunas Jumlah Daun Tunas Aksilar 0,000** 0,000** 0,000** Tunas Adventif 0,000** 0,000** 0,000**

** Berbeda sangat nyata pada 0,01 DMRT.

Tabel 5 menunjukkan bahwa media yang diberi perlakuan ZPT BAP atau

TDZ memberikan pengaruh yang sangat nyata (DMRT 0,01) terhadap semua

parameter yang diamati yaitu Jumlah Tunas, Panjang Tunas dan Jumlah Daun,

baik pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif.

Page 55: 2007azw.pdf

38

1. Jumlah Tunas

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas

aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan

penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas

yang dihasilkan selama 12 MST (Lampiran 2). Rata-rata jumlah tunas kumulatif

akibat pengaruh pemberian BAP atau TDZ pada eksplan yang berasal dari tunas

aksilar dan adventif dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

Hasil pengamatan terhadap jumlah tunas planlet gaharu selama 12 MST

menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan

BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm memberikan respons yang terbaik dan

optimum terhadap proses induksi tunas dan menghasilkan rata-rata jumlah tunas

tertinggi yaitu sebanyak 5,67 dan 5,28 tunas (Gambar 13).

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, eksplan yang berasal dari tunas aksilar

yang ditanam pada media dengan perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda nyata

dengan perlakuan BAP 0,75 ppm tetapi berbeda nyata dengan perlakuan BAP 1,0

ppm dan kontrol dalam menghasilkan jumlah tunas (Gambar 13). Pada media

yang diberi perlakuan TDZ menunjukkan bahwa perlakuan TDZ 0,25 ppm

berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol

(Gambar 13).

2.67

5.67 5.334.44

0123456

0 0,5 0,75 1,0

Konsentrasi BAP

Jum

lah

Tuna

s

c

a a b

2.67

5.284.39

3.17

0123456

0 0,25 0,50 0,75

Konsentrasi TDZ

Jum

lah

Tuna

s

c

ab

c

Gambar 13. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,

dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

Eksplan yang berasal dari tunas adventif yang ditanam pada media yang

diberi perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm juga memiliki respon yang

Page 56: 2007azw.pdf

39

terbaik dan lebih optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah tunas yaitu secara

berturut-turut 6,11 dan 5,61 tunas (Gambar 14).

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak

berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 atau BAP 1,0 tetapi berbeda nyata

dengan kontrol (Gambar 14). Media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda

nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 dan kontrol, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm

tidak berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm (Gambar 14).

2.61

6.115.22

4.55

0

2

4

6

8

0 0,5 0,75 1,0

Konsentrasi BAP

Jum

lah

Tuna

s

c

a ab b

2.61

5.61

3.893.33

0123456

0 0,25 0,50 0,75

Konsentrasi TDZ

Jum

lah

Tuna

s

c

a

b b

Gambar 14. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,

dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa baik pada eksplan tunas aksilar maupun

tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm adalah

perlakuan yang terbaik dan optimum dalam menghasilkan jumlah tunas,

sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan dalam menghasilkan jumlah

tunas. Jumlah tunas yang terendah dihasilkan oleh kontrol. Hal ini berarti bahwa

konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm dapat meningkatkan jumlah tunas,

sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah tunas. Hal ini

didukung oleh pernyataan Tiwari et al. (2000) bahwa konsentrasi sitokinin yang

tinggi dapat menyebabkan jumlah tunas berkurang, dan BAP melebihi kadar

optimum yang dibutuhkan tanaman umumnya menyebabkan perkembangan tajuk

atau tunas terhambat.

Abidin (1983), menyatakan bahwa ZPT pada tanaman adalah senyawa

organik yang bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote),

menghambat (inhibit) dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Hormon

Page 57: 2007azw.pdf

40

tumbuhan adalah zat organik yang dihasilkan oleh tanaman, yang dalam

konsentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologi, yang disintesis pada bagian

tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana

zat tersebut dapat menimbulkan pengaruh secara biokimia, fisiologis dan

morfologis (Wattimena, 1988).

Sesuai dengan fungsinya, baik ZPT BAP maupun TDZ adalah merupakan

ZPT yang termasuk ke dalam kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk

memacu pertumbuhan tunas dalam kultur jaringan tanaman. Walaupun ZPT

tersebut berasal dari golongan yang sama tetapi mempunyai daya aktivitas yang

berbeda. Pemberian konsentrasi BAP atau TDZ yang tepat dan tidak melebihi

dosis mampu menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dan vigour.

Sebaliknya pemberian konsentrasi yang melebihi kebutuhan eksplan akan

menghambat induksi tunas yang terbentuk. Seperti yang terlihat pada Gambar 13

dalam penelitian ini, baik pada eksplan tunas aksilar maupun eksplan tunas

adventif, semakin tinggi konsentrasi BAP maupun TDZ yang digunakan, maka

jumlah tunas semakin menurun. Pada konsentrasi yang rendah memberikan hasil

yang lebih baik. Meskipun demikian, visualisasi perkembangan eksplan

menunjukkan bahwa pada dua sumber eksplan yang ditanam pada konsentrasi

yang lebih tinggi terlihat adanya mata tunas yang akan berkembang menjadi

tunas, hal ini mengindikasikan bahwa ada kemungkinan bertambahnya jumlah

tunas pada perlakuan konsentrasi BAP atau TDZ yang lebih tinggi, tetapi proses

pertumbuhannya terlihat lebih lambat, sehingga dapat dikatakan bahwa

konsentrasi BAP yang tinggi tidak meningkatkan jumlah tunas.

Secara alamiah tanaman sudah mengandung hormon pertumbuhan seperti

sitokinin yang dinamakan dengan hormon endogen. Kebanyakan hormon endogen

ditanaman terdapat pada jaringan meristem yaitu jaringan yang aktif tumbuh dan

membelah. Sehingga pemberian hormon eksogen sangat mempengaruhi kerja

hormon endogen sebagai fungsinya dalam proses cytokinesis (proses pembelahan

sel) pada berbagai organ tanaman. Pemberian hormon eksogen dengan konsentrasi

yang melebihi kebutuhan tanaman dapat menyebabkan pembentukan tunas

terhambat.

Page 58: 2007azw.pdf

41

Pemberian hormon eksogen BAP dapat merangsang pembentukan tunas

yang berbeda. Salah satu kinerja BAP adalah memacu pembentukan RNA

(Ribonucleic Acid) dan enzim (Wattimena, 1988). Pendugaan ini berdasarkan

pada fenomena yang terjadi jika terdapat zat penghambat sintesis RNA atau

protein, maka kinerja sitokinin terhambat. Salisbury dan Ross (1995), menyatakan

bahwa sitokinin mendorong pembelahan sel dalam jaringan dengan meningkatkan

laju sistesis protein.

Menurut Davies (2004), di dalam tanaman variasi dan distribusi sitokinin

tidak merata tergantung dari spesies, jaringan dan tahap perkembangan tanaman.

Meskipun beberapa sitokinin telah diidentifikasi, fungsinya secara fisiologi

terhadap suatu spesies, namun secara lengkap belum dapat dipahami. Sitokinin

dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama yaitu dalam bentuk aktif,

dalam bentuk translokasi dan dalam bentuk tersimpan dan tidak aktif.

Pemberian TDZ 0,25 ppm pada media perlakuan memberikan jumlah tunas

yang terbaik dibanding perlakuan yang lainnya, baik pada eksplan tunas aksilar

maupun tunas adventif, sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan

jumlah tunas. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi TDZ yang

digunakan dapat menyebabkan toksik bagi tanaman.

Khawar et al. (2004), juga melaporkan bahwa penggunaan TDZ pada

konsentrasi tinggi dapat menurunkan regenerasi tunas, regenerasi tunas tertinggi

dihasilkan pada media MS dengan konsentrasi TDZ 0,25 ppm. Hasil penelitian

Gajdosova et al. (2006), juga melaporkan bahwa penggunaan TDZ pada

kosentrasi tinggi dapat menghambat regenerasi tunas dan menyebabkan

pencokelatan (nekrosis) pada eksplan. Ozturk et al. (2004), menyatakan

konsentrasi TDZ yang sangat rendah lebih efektif dalam proliferasi tunas dan

meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk.

Penggunaan TDZ pada konsentrasi yang lebih rendah umumnya dapat

menghasilkan proses induksi dan multiplikasi tunas yang lebih baik (Yunita,

2004; Thomas dan Puthur, 2004; Huetteman dan Preece, 1993; Onamu, et al.

2003; dan Gyves et al. 2001).

Thidiazuron menurut Lu (1993) dapat menstimulasi pembelahan sel dan

proliferasi tunas aksilar dan efektif untuk tanaman berkayu. Thidiazuron telah

Page 59: 2007azw.pdf

42

banyak digunakan untuk kultur jaringan tanaman karena mempunyai aktivitas

menyerupai sitokinin.

Lu (1993), menyatakan bahwa TDZ dapat mendorong terjadinya perubahan

sitokinin ribonukleotida menjadi nukleotida yang lebih aktif. Menurut Thomas

dan Katterman (1986), TDZ dapat mendorong sintesis sitokinin alami. Kemudian

Suttle (1985), menyatakan bahwa komponen organik TDZ pada konsentrasi tinggi

dapat meningkatkan produksi etilen yang menghambat pertumbuhan tunas dan

Tang et al. (2002), menyatakan TDZ pada level tinggi kurang efektif

dibandingkan dengan BAP dalam regenerasi tunas pada eksplan daun cherry yang

diteliti.

2. Panjang Tunas

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas

aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan

penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap panjang

tunas planlet gaharu (Lampiran 2).

Hasil pengamatan pada panjang tunas menunjukkan bahwa eksplan berasal

dari tunas aksilar yang ditanam pada media yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm

atau TDZ 0,25 ppm menghasilkan jumlah tunas yang terbanyak yaitu secara

berturut-turut 3,15 cm dan 2,88 cm (Gambar 15). Hasil uji lanjut Duncan

menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm

berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm dan kontrol, tetapi perlakuan BAP

0,75 ppm tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm (Gambar 15). Berbeda dengan

media yang diberi perlakuan TDZ, media yang diberi perlakuan dengan TDZ 0,25

ppm berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol

(Gambar 15).

Page 60: 2007azw.pdf

43

1.63

3.152.5 2.5

0

1

2

3

4

0 0,5 0,75 1,0

Konsentrasi BAP

Panj

ang

Tuna

s (c

m)

c

a b b

1.63

2.88 2.72.12

00.5

11.5

22.5

33.5

0 0,25 0,50 0,75

Konsentrasi TDZ

Panj

ang

Tuna

s (c

m)

d

a bc

Gambar 15. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,

dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

Pada eksplan tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ

0,25 ppm menghasilkan panjang tunas yang terpanjang dibanding perlakuan

lainnya yaitu secara berturut-turut 2,79 cm dan 2,67 cm (Gambar 16), sedangkan

perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0 ppm, TDZ 0,50 ppm dan TDZ 0,75

ppm ) terjadi penurunan panjang tunas. Nilai terendah dihasilkan oleh kontrol

yaitu 1,6 cm.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm

berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, tetapi perlakuan BAP 0,75 ppm

tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm dan kontrol. Media yang diberi

perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan

TDZ 0,50 ppm tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,75 ppm dan kontrol.

1.6

2.79

1.94 1.79

00.5

11.5

22.5

3

0 0,5 0,75 1,0

Konsentrasi BAP

Panj

ang

Tuna

s (c

m)

b

a

b b

1.6

2.67

1.63 1.6

00.5

11.5

22.5

3

0 0,25 0,50 0,75

Konsentrasi TDZ

Panj

ang

Tuna

s (c

m)

b

a

b b

Gambar 16. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,

dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

Page 61: 2007azw.pdf

44

Panjang tunas planlet gaharu berumur 12 MST dari dua sumber eksplan

yang dicobakan baik eksplan dari tunas aksilar maupun adventif menunjukkan

adanya perbedaan dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas, namun media

yang diberi perlakuan ZPT BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm menunjukkan rata-

rata panjang tunas yang terpanjang dibanding dengan perlakuan lainnya (Gambar

15 dan 16). Perlakuan dengan konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm

adalah konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas.

Hal ini menunjukkan bahwa BAP atau TDZ pada konsentrasi rendah lebih

optimum dalam memacu pertumbuhan tunas dibanding dengan konsentrasi BAP

atau TDZ yang lebih tinggi. Pada perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0,

TDZ 0,50 dan TDZ 0,75) mengalami penurunan panjang tunas. Hal ini berarti

bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT baik BAP atau TDZ maka panjang tunas

yang dihasilkan semakin menurun.

Semakin tinggi konsentrasi BAP, maka panjang tanaman semakin pendek.

Keadaan ini diduga akibat periode inkubasi eksplan yang terlalu lama pada media

yang mengandung sitokinin, sehingga perpanjangan batang terhambat. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Moncalean et al. (2001), bahwa konsentrasi BAP yang

tinggi dapat menyebabkan tinggi tanaman terhambat. Damayanti (2004), juga

menyatakan bahwa BAP tidak memperpanjang tinggi tanaman Dianthus

caryophillus, bahkan sebaliknya menyebabkan tanaman terlihat lebih pendek dan

roset

Herawan dan Hardi (2005), menyatakan bahwa BAP merupakan derivat

sitokinin yang keberadaannya dalam medium tumbuh memacu pembelahan sel-sel

di bagian apikal bakal tunas, sehingga mempengaruhi perkembangan tunas.

Sitokinin disintesis di dalam akar dan didistribusikan ke tunas untuk pertumbuhan

tunas. Penambahan sitokinin dari luar sangat diperlukan karena akar yang

mensintesis sitokinin belum terbentuk dalam tahap induksi kultur jaringan.

Menurut Suryowinoto (1996), secara umum sitokinin eksogen diperlukan untuk

merangsang diferensiasi mata tunas dengan menghasilkan tunas yang panjang.

Pertumbuhan tunas aksiler sama dengan pertumbuhan tunas pucuk yang ditandai

dengan adanya aktivitas pembelahan jaringan meristem apikal.

Page 62: 2007azw.pdf

45

Ndoye et al. (2003), melaporkan, peningkatan konsentrasi BAP hingga 5

mg/l dapat menurunkan panjang tunas dalam kultur in vitro dan BAP yang

dikombinasikan dengan NAA lebih efektif dalam multiplikasi tunas aksilar.

Herawan dan Hardi (2005) juga melaporkan hasil penelitiannya, bahwa media

yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l merupakan konsentrasi yang paling optimum

untuk pertumbuhan tunas aksilar dibanding dengan penambahan hormon pada

konsentrasi yang lebih tinggi.

Menurut Heddy (1986), hormon pengatur tumbuh BAP, walaupun dengan

konsentrasi rendah, dapat mengatur proses fisiologis tumbuhan. Hal ini

disebabkan hormon pengatur tumbuh dipengaruhi oleh asam nukleat sehingga

langsung mempengaruhi sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim.

Sama halnya dengan BAP, pemberian TDZ dengan konsentrasi semakin

tinggi pada dua sumber eksplan yang ditanam dapat menyebabkan panjang tunas

yang terbentuk semakin rendah. Menurut Lu (1993), pemberian TDZ pada

konsentrasi tertentu akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman.

3. Jumlah Daun

Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa media yang diberi

perlakuan BAP atau TDZ berpengaruh nyata terhadap jumlah daun yang

dihasilkan selama 12 MST baik eksplan yang berasal dari tunas aksilar maupun

eksplan yang berasal dari tunas adventif (Lampiran 2). Rata-rata jumlah daun

kumulatif dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa planlet gaharu untuk eksplan yang

berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm

merupakan konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah daun

planlet gaharu, hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah daun yang dihasilkan

yaitu secara berturut-turut 6,5 dan 6,28 (Gambar 17). Pada perlakuan lainnya

terjadi penurunan jumlah daun, jumlah daun yang paling sedikit dihasilkan oleh

kontrol yaitu 4,33.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang

diberi perlakuan BAP 0,50 ppm berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm,

BAP 1,0 ppm dan kontrol, sedangkan media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm

Page 63: 2007azw.pdf

46

tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan

TDZ 0,75 ppm dan kontrol (Gambar 17).

4.33

6.5 65.39

01234567

0 0,5 0,75 1,0

Konsentrasi BAP

Jum

lah

Dau

n

d

ab

c

4.33

6.28 65.28

0

2

4

6

8

0 0,25 0,50 0,75

Konsentrasi TDZ

Jum

lah

Dau

n

c

a a b

Gambar 17. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,

dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar. Keterangan: Angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata pada 0,01 DMRT.

Eksplan tunas adventif yang ditanamn pada media yang diberi perlakuan

BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm lebih optimum dan menghasilkan rata-rata

jumlah daun yang terbanyak yaitu 7,22 dan 6,78 secara berturut-turut (Gambar

18). Pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah daun yang dihasilkan. Hasil

uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda

nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, perlakuan BAP 1,0 ppm tidak berbeda

nyata dengan kontrol (Gambar 18). Perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata

dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm tidak berbeda

nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm dan kontrol (Gambar 18).

4.5

7.226.11

4.66

0

2

4

6

8

0 0,5 0,75 1,0

Konsentrasi BAP

Jum

lah

Dau

n

b

aa

b

4.5

6.785.22 4.78

0

2

4

6

8

0 0,25 0,50 0,75

Konsentrasi TDZ

Jum

lah

Dau

n

c

a

b bc

Gambar 18. Grafik Pengaruh BAP dan TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,

dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

Page 64: 2007azw.pdf

47

Gambar 17 dan 18 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT

yang diberikan baik BAP maupun TDZ pada dua eksplan yang dicobakan, maka

rata-rata jumlah daun yang dihasilkan semakin menurun. Penambahan BAP atau

TDZ yang lebih tinggi tidak mampu meningkatkan jumlah daun. Hal ini

menunjukkan bahwa penambahan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm pada media

mampu merangsang pembelahan sel di meristem apikal tunas dibanding pada

konsentrasi yang lebih tinggi. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Herawan dan Hardi (2005) pada tanaman murbei, semakin tinggi konsentrasi ZPT

yang diberikan maka jumlah daun murbei yang dihasilkan semakin rendah.

Suryowinoto (1996), menyatakan bahwa untuk meningkatkan jumlah daun

dalam kultur jaringan sering diperlukan ZPT, karena akan mempengaruhi

pertumbuhan termasuk pembelahan dan pembesaran sel, penambahan plasma dan

diferensiasi sel untuk kemudian membentuk organ-organ lain seperti tunas, akar,

daun dan sebagainya.

Menurut Strabala et al. (1996), auksin dan sitokinin berperan dalam

perkembangan primordia daun, dan posisi inisiasi primordia daun juga

dipengaruhi oleh transport auksin. Kemudian menurut Salisbury dan Ross (1995),

transportasi auksin bersifat basipetal dari tempat sintesisnya yaitu tunas apikal

atau pucuk. Pada tunas apikal pertumbuhan daun cenderung mengarah kebagian

terminal. Akibatnya terjadi dominasi apikal yang menghambat pertumbuhan tunas

aksilar. Pada tunas aksilar arah pertumbuhan daun sering mengarah ke bagian

lateral. Apabila tunas apikal dibuang, sumber auksin endogen hilang, maka

pertumbuhan daun pada tunas aksilar mengarah kebagian terminal menggantikan

pertumbuhan tunas apikal. Pertumbuhan planlet selengkapnya dapat dilihat pada

Gambar 19.

Page 65: 2007azw.pdf

48

A B

F

C

D E

Gambar 19. Planlet Gaharu Berumur 12 MST pada Media MS. Keterangan: A: BAP 0,50 ppm dan B: BAP 0,75 ppm Eksplan Tunas Adventif, C: BAP 0,50 ppm

Eksplan Tunas Aksilar, D: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Aksilar, E: TDZ 0,75 ppm dan F: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Adventif.

Visualisasi Perkembangan Eksplan

Visualisasi perkembangan eksplan dilakukan sejak hari keenam eksplan

ditanam di dalam media perlakuan, sedangkan lima hari sebelumnya tidak

dilakukan pengamatan karena eksplan dalam tahap inkubasi dalam ruangan gelap.

Pengamatan dilakukan terhadap perkembangan dua sumber eksplan sejak awal

hingga akhir penelitian. Pengamatan pertama dilakukan terhadap jumlah eksplan

yang terkontaminasi dan pencokelatan. Dari 168 eksplan yang ditanam, 18

(21,42%) eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan 11 (13,09%) eksplan dari

tunas adventif yang terkontaminasi. Jumlah yang mengalami pencokelatan hanya

terjadi pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar yaitu 6 (7,14%) (Gambar 20).

Eksplan tunas adventif tidak mengalami pencokelatan karena hasil kultur in vitro

dan masih muda.

Page 66: 2007azw.pdf

49

7.14

0

21.42

13.09

0

5

10

15

20

25

PencokelatanEksplan Aksilar

PencokelatanEksplanAdventif

Kontamekslpan aksilar

Kontameksplanadventif

Pers

enta

se (%

)

Gambar 20. Persentase Pencokelatan dan Terkontaminasi Eksplan dari Tunas

Aksilar dan Adventif yang Ditanam Pada Media MS Mengandung BAP atau TDZ.

Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap proses perkembangan eksplan,

yang mana dari dua sumber eksplan yang ditanam baik eksplan tunas aksilar

maupun tunas adventif memiliki proses perkembangan yang berbeda. Perbedaan

ini disebabkan oleh daya adaptasi eksplan pada lingkungan tempat tumbuh yang

baru sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Pada eksplan yang berasal

dari tunas aksilar, perkembangan eksplan didahului oleh pembengkokan sehingga

membentuk seperti lingkaran atau menggulung (Gambar 21 A), sedangkan pada

eksplan yang berasal dari tunas adventif, proses perkembangan eksplan langsung

membesar dan memanjang (Gambar 21 B).

A B

Gambar 21. Perbedaan Perkembangan Eksplan dalam Botol Kultur. Eksplan Tunas Asilar (A) dan Eksplan Tunas Adventif (B).

Tahap selanjutnya, kedua eksplan tersebut pada bagian pangkal atau bagian

pemotongan terlihat mulai membengkak menyerupai bonggol yang berwarna

putih kekuningan, sedangkan pada bagian ujungnya mulai membentuk tunas

Page 67: 2007azw.pdf

50

pertama, selanjutnya pada bonggol terlihat mata-mata tunas yang akan muncul

menjadi tunas.

Pada setiap eksplan yang ditanam, baik pada media yang diberi perlakuan

ZPT BAP maupun TDZ, terlihat proses perkembangan eksplan yang berbeda-

beda, hal ini disebabkan oleh eksplan yang digunakan memiliki tingkat juvenilitas

dan meristematik sel yang berbeda satu dengan yang lainnya, terutama eksplan

yang berasal dari tunas aksilar. Oleh karena itu tahap awal perkembangan eksplan

terlihat lebih bervariasi dalam proses pembentukan tunas. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar lebih lambat dalam

induksi atau pembentukan tunas dibandingkan eksplan yang berasal dari tunas

adventif. Tunas pertama terbentuk pada minggu ke 5 pada eksplan yang berasal

dari tunas aksilar dan minggu ke 3 pada eksplan yang berasal dari tunas adventif.

Lambatnya proses pembentukan tunas pada eksplan yang berasal dari tunas

aksilar diduga karena eksplan berasal dari bibit yang diambil dari rumah kaca,

kemudian dilakukan sterilisasi dengan bahan sterilan, menyebabkan eksplan

tercekam akibat perlakuan mekanik sebelum inokulasi sehingga membutuhkan

waktu untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan yang baru. Selain itu

eksplan yang berasal dari lapangan yang awalnya pada lingkungan autotrof

menjadi heterotrof. Berbeda dengan eksplan yang berasal dari tunas adventif.

Pada awalnya sudah berasal dari dalam botol atau lingkungan aseptik, sehingga

apabila dipindahkan pada lingkungan baru tidak terlalu stress dan tidak

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi. Kondisi ini akan terjadi

apabila eksplan yang ditanam tidak terkontaminasi.

Secara visual proses perkembangan eksplan sampai menjadi planlet antara

eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif terlihat ada perbedaan.

Perbedaan ini terlihat dari bentuk bonggol, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah

daun, dan bentuk daun (Tabel 6). Pengamatan bentuk bonggol terlihat bahwa

eksplan tunas aksilar memiliki bentuk bonggol agak lebih besar dibanding eksplan

tunas adventif. Tetapi jumlah tunas dan jumlah daun lebih banyak dihasilkan oleh

eksplan tunas adventif. Untuk panjang tunas, eksplan tunas aksilar lebih panjang

dibanding eksplan tunas adventif. Berdasarkan jumlah daun yang terbentuk

menunjukkan bahwa planlet yang berasal dari eksplan tunas aksilar lebih panjang

Page 68: 2007azw.pdf

51

dan lebar-lebar, sedangkan eksplan tunas adventif terlihat lebih kecil-kecil dan

panjang.

Tabel 6. Perbedaan Visualisasi Perkembangan Eksplan Sampai 12 MST.

Eksplan No. Bagian Yang Diamati Tunas Aksilar Tunas Adventif 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Jumlah terkontaminasi Pencokelatan Bentuk eksplan umur 6 HST Bentuk bonggol Muncul tunas Jumlah tunas Panjang tunas Jumlah daun Bantuk daun Bakal tunas / mata tunas Warna planlet

21.42 % ada melengkung lebih besar minggu ke 5 banyak lebih panjang banyak lebar dan panjang lebih sedikit hijau

13.09 % tidak ada memanjang besar minggu ke 3 lebih banyak panjang lebih banyak kecil dan panjang lebih banyak hijau

Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik

Umum

Ekstraksi DNA dilakukan pada daun gaharu yang sudah ditetapkan sebagai

sampel untuk dianalisis dengan menggunakan teknik RAPD. Jumlah yang

digunakan adalah sebanyak 22 sampel yang terdiri dari 6 sampel dari pohon

induk, 4 sampel sebelum dikultur (sebelum diberi perlakuan BAP), 4 sampel hasil

kultur (hasil perlakuan BAP), 4 sampel sub kultur I dan 4 sampel sub kultur II.

Sampel diambil dari dua sumber eksplan yang ditanam yaitu yang berasal dari

tunas aksilar dan yang berasal dari tunas adventif (Gambar 10).

Ekstraksi DNA dilakukan bertujuan untuk memisahkan atau mengisolasi

DNA dari material daun yang lainnya, agar diperoleh DNA yang murni. Proses ini

diawali dengan penggerusan yaitu proses pemecahan dinding sel yang dibantu

oleh larutan CTAB ekstraksi untuk melisis dinding sel dan aktif pada kondisi

panas (65ºC), CTAB juga dapat menyebabkan protein dalam sel terdenaturasi.

Dalam penelitian ini, penggerusan daun gaharu dilakukan secara mekanik dengan

menggunakan mortar dan pestel. Penggerusan secara mekanik dengan

menggunakan metode ekstraksi CTAB (Murray and Thompson, 1980 dalam

Rimbawanto et al. 2004). Metode ini mengunakan buffer ekstraksi yang terdiri

Page 69: 2007azw.pdf

52

dari 10% CTAB, I M Tris pH 9, 5 M NaCl, Mercaptoethanol, psd H2O dan 0,5 M

EDTA.

Daun gaharu yang berasal dari pohon induk dan dari bibit proses

penggerusan dilakukan lebih lama karena daun agak tua dan banyak mengandung

serat, sebaliknya pada daun gaharu dari tunas adventif atau hasil kultur jaringan

lebih mudah karena daun relatif masih muda dan sedikit mengandung serat. Untuk

lebih memudahkan dalam proses penggerusan dan untuk mengurangi aktivitas

enzim selama proses ekstraksi pada daun atau sampel yang lebih tua sebaiknya

penggerusan dilakukan dengan menggunakan nitrogen cair. Dalam penelitian ini

tidak menggunakan nitrogen cair, karena sampel yang digunakan relatif muda dan

masih mudah dalam proses penggerusan.

Selanjutnya dilakukan penambahan PVP 2% yang berfungsi untuk

menghambat enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA dan

menyebabkan teroksidasinya senyawa fenol. Senyawa fenol yang teroksidasi

ditandai dengan warna cokelat pada jaringan tanaman yang akan diisolasi. Sampel

daun gaharu yang lebih tua menghasilkan warna cairan agak kekuningan,

sedangkan sampel daun gaharu yang muda terlihat lebih bening. Hal ini

menunjukkan bahwa daun gaharu yang tua masih mengandung senyawa polifenol

di dalam jaringannya. Larutan NaCl dalam bufer berfungsi sebagai larutan

isotonik yang memberikan tekanan osmotik bagi DNA dalam sel sehingga DNA

tidak rusak, sedangkan larutan basa tris memberikan kondisi pH yang optimum.

Setelah dilisis, DNA dipisahkan dari senyawa-senyawa pengotor seperti protein

dan polisakarida dengan larutan klorofrom karena klorofrom mampu

mengendapkan protein yang terdenaturasi dan polisakarida melalui sentrifugasi.

Protein dan sebagian polisakarida akan terendapkan dalam fase organik sedangkan

asam nukleat larut dalam fase air. Pemurnian dengan larutan klorofrom ini

dilakukan dua kali agar didapatkan DNA murni. Pemurnian selanjutnya dengan

menggunakan etanol dan isopropanol. Pencucian dengan etanol dimaksudkan

untuk memisahkan senyawa lain yang masih ada seperti larutan CTAB dan

garam-garam yang menempel pada DNA.

Page 70: 2007azw.pdf

53

DNA Pohon Induk Hasil Ekstraksi

Enam sampel yang digunakan untuk diekstraksi yang berasal dari pohon

induk menghasilkan resolusi pita DNA yang lebih seragam, hanya sampel nomor

satu yang memiliki resolusi pita yang kurang jelas (Gambar 22). Sehingga untuk

analisis PCR selanjutnya dilakukan pengenceran DNA, untuk sampel nomor 1

dilakukan pengenceran hingga 90 kali (1 µl DNA dan 89 µl aquabides),

sedangkan untuk sampel nomor 2 sampai 6 dilakukan pengenceran hingga 100

kali (1 µl DNA dan 99 µl aquabides).

pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6

80x 90x 90x 90x 90x 90x

Gambar 22. Profil DNA Hasil Ekstraksi Pohon Induk, Jumlah Sampel (pi1-pi6). Perbandingan Pengenceran DNA (80x).

DNA Hasil Ekstraksi Sampel Sebelum Kultur Hingga Sub Kultur II

Hasil 16 sampel yang diekstraksi terlihat adanya resolusi pita DNA yang

bervariasi. Sampel nomor ad3 dan ak5 terlihat resolusi pita DNA yang paling

tipis. Selanjutnya, pada sampel yang berasal dari eksplan tunas adventif (ad) ada 4

sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas yaitu pada sampel

dengan kode ad1, ad2, ad7 dan ad8, sedangkan yang berasal dari tunas aksilar (ak)

ada 5 sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas ditunjukan

oleh sampel dengan kode ak1, ak2, ak3, ak7 dan ak8 (Gambar 23).

Page 71: 2007azw.pdf

54

M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8

Eksplan Tunas Aksilar (ak) Eksplan Tunas Adventif (ad)

80x 80x 20x 50x 40x 60x 80x 80x 80x 80x 80x 60x 30x 30x 80x 50x Gambar 23. Profil DNA Gaharu Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub

Kultur II. Keterangan: M: Marker, 80x: Perbandingan Pengenceran DNA. ad1-ad8: Eksplan dari Tunas

Adventif dan ak1-ak8: Eksplan dari Tunas Aksilar.

Primer Hasil Seleksi

Setiap organisme hidup memiliki DNA yang spesifik sehingga dalam

penelitian ini perlu dilakukan seleksi primer untuk mendapatkan primer yang

cocok yang digunakan selanjutnya dalam proses RAPD. Primer merupakan

sekuen DNA dengan urutan basa tertentu yang dibutuhkan oleh DNA cetakan

untuk pembentukan DNA baru. Primer dengan urutan basa yang komplemen

dengan urutan basa DNA cetakan akan diperpanjang oleh enzim polimerase DNA

dengan menambahkan dNTP sehingga membentuk DNA baru. Rimbawanto

(2004), menyatakan bahwa seleksi primer (primer screening) dimaksudkan untuk

mencari random primer yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak

semua nukleotide primers dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif)

dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik

Dalam penelitian ini digunakan primer dari Operon Technology. Dari 10

primer acak yang diseleksi dengan cara amplifikasi terhadap DNA daun gaharu

sebelum dikultur sampai pada subkultur ke 2, diperoleh 9 primer yang

menghasilkan profil pita amplifikasi yang bervariasi dan mempunyai ukuran

antara 200 sampai dengan 1500 pasang basa (pb) yaitu OPO-06, OPO-09, OPO-

10 , OPO-14, OPO-18, OPY-02, OPY-06, OPY-08, OPY-11, sedangkan satu

primer OPY-09 tidak teramplifikasi (Gambar 24). Dua primer yang menghasilkan

Page 72: 2007azw.pdf

55

pita yang lebih jelas dan jumlah pita polimorfik yang lebih tinggi yaitu OPY-06

dan OPY-08 (Gambar 24) dan (Tabel 7), yang selanjutnya digunakan untuk

mengamplifikasi DNA dari 16 sampel daun gaharu yang diteliti.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 24. Profol DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.

Keterangan: M: Marker, 1: OPO-06, 2: OPO-09, 3: OPO-10 , 4: OPO-14, 5: OPO-18, 6: OPY-02, 7: OPY-06, 8: OPY-08, 9: OPY-09 dan 10: OPY-11.

Tabel 7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu

No Primer Urutan Basa Jumlah Pita Polimorfik

1. OPO-06 5’CCACGGGAAG’3 3 2. OPO-09 5’TCCCACGCAA’3 2 3. OPO-10 5’TCAGAGCGCC’3 4 4. OPO-14 5’AGCATGGCTC’3 4 5. OPO-18 5’CTCGCTATCC’3 3 6. OPY-02 5’CATCGCCGCA’3 3 7. OPY-06 5’AAGGCTCACC’3 5 8. OPY-08 5’AGGCAGAGCA’3 5 9. OPY-09 5’GTGACCGAGT’3 0 10. OPY-11 5’AGACGATGGG’3 3

Tidak terjadinya amplifikasi segmen DNA (eksplan tunas aksilar dan tunas

adventif) dengan primer di atas disebabkan oleh DNA genom (eksplan tunas

aksilar dan adventif) tidak mempunyai sekuen komplemen dengan primer-primer

tersebut, karena salah satu syarat untuk terjadinya amplifikasi DNA dengan

primer arbitrary tunggal adalah kedua utas mempunyai sekuen komplemen dengan

Page 73: 2007azw.pdf

56

primer yang digunakan. Dalam penelitian ini pencampuran DNA dilakukan secara

komposit terhadap 16 sampel yang dianalisis. DNA yang tidak teramplifikasi

diduga terjadi karena tingkat kemurnian DNA template hasil ekstraksi masih

rendah atau masih terdapat senyawa kontaminan seperti polifenol yang dapat

menghambat terjadinya reaksi PCR.

Dalam penelitian ini pencampuran DNA contoh (bulking) didasarkan pada

asumsi bahwa jika primer yang digunakan dapat mengamplifikasi bagian genom

yang berbeda antara 16 sampel/genom tanaman maka perbedaan tersebut akan

terdeteksi pada pola pita yang dihasilkan. Primer yang menghasilkan amplifikasi

pita DNA yang sedikit dan polimorfis yang rendah tidak digunakan untuk analisis

keragaman genetik tanaman dengan metode RAPD, sehingga dalam penelitian ini

hanya digunakan 2 primer yang memberikan resolusi pita-pita yang tajam dan

jelas untuk dianalisis RAPD pada 16 sampel daun gaharu sebelum hingga sub

kultur II yaitu OPY-06 dan OPY-08.

Resolusi dari setiap pita DNA hasil amplifikasi tidak selalu terlihat dengan

jelas. Hal ini disebabkan oleh jumlah fragmen yang diamplifikasi terdapat pada

tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang teramplifikasi pada genom tanaman,

maka resolusi pita DNA yang dihasilkan akan semakin jelas. Pada genom

tanaman lebih kurang 90% dari DNA genom merupakan urutan berulang

(Weising et al. 1995). Disamping itu adanya kompetisi tempat penempelan primer

pada DNA genom menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam

jumlah yang banyak dan fragmen lainya sedikit. Faktor lain yang mempengaruhi

DNA hasil amplifikasi terlihat tidak jelas adalah kemurnian dan konsistensi

cetakan DNA, DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi dari senyawa-

senyawa seperti polisakarida dan polifenol, dan konsentrasi cetakan DNA yang

terlalu kecil sering menghasilkan penanda RAPD yang kabur dan redup.

Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer yang sama pada

individu dalam satu populasi yang sama tidak semuanya memiliki intensitas,

jumlah dan ukuran pita yang sama. Perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang

dihasilkan oleh setiap primer menggambarkan kompleksitas genom tanaman

(Grattapaglia et al. 1992). Karena pita DNA merupakan hasil berpasangannya

nukleotida primer dengan nukleotida genom tanaman, maka semakin banyak

Page 74: 2007azw.pdf

57

primer yang digunakan akan semakin terwakili bagian-bagian genom dan semakin

tergambar keadaan genom tanaman yang sesungguhnya. Sebaran situs

penempelan primer pada DNA genom, jumlah fragmen yang diamplifikasi, serta

kemurnian dan konsentrasi DNA genom dalam reaksi mempengaruhi intensitas

pita DNA hasil amplifikasi (Weising et al. 1995).

Adanya perbedaan hasil intensitas ini disebabkan karena 1) makin banyak

fragmen DNA yang diamplifikasi pada tanaman genom, maka intensitas pita DNA

yang dihasilkan semakin tegas, 2) adanya kompetisi tempat penempelan primer

pada DNA genom yang menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi

dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit, 3) kemurnian dan konsentrasi

cetakan DNA mempengaruhi efisiensi amplifikasi. DNA yang memiliki tingkat

kontaminasi yang tinggi dari senyawa-senyawa seperti polisakarida dan fenolik

seringkali menghasilkan fenotipe penanda RAPD yang kabur.

Secara teoritis polimorfisme yang dideteksi berdasarkan RAPD merupakan

hasil dari beberapa tipe kejadian, yaitu 1) insersi DNA berukuran besar pada

fragmen diantara sepasang situs penempelan primer yang mengakibatkan jarak

amplifikasi terlalu besar sehingga fragmen tersebut hilang atau tidak

teramplifikasi, 2) delesi pada bagian genom yang membawa satu atau dua situs

penempelan primer sehingga mengakibatkan hilangnya fragmen, 3) substitusi

nukleotida yang mengubah homologi antara primer dengan DNA genom sehingga

menyebabkan hilangnya fragmen atau mengubah ukuran fragmen, 4) insersi atau

delesi fragmen kecil DNA yang dapat mengubah ukuran fragmen yang

diamplifikasi (Weising et al. 1995).

DNA Pohon Induk Hasil RAPD

Dalam penelitian ini primer yang menghasilkan amplifikasi pita DNA yang

sedikit dan polimorfisme yang rendah tidak digunakan untuk analisis keragaman

genetik dengan metode RAPD. Dua primer yang digunakan dalam proses

amplifikasi sampel DNA dari pohon induk (pi1 sampai dengan pi6) yaitu OPY-06

dan OPY-08 (Tabel 7). Penggunaan dua primer ini didasarkan atas seleksi

terhadap 10 primer yang telah dilakukan sebelumnya. Dua primer ini dianggap

menghasilkan amplifikasi yang lebih banyak dibanding 8 primer lainnya.

Page 75: 2007azw.pdf

58

Berdasarkan hasil analisis dari dua primer yang digunakan untuk PCR DNA

pohon induk memperlihatkan pola pita yang dihasilkan cukup bervariasi seperti

yang terlihat pada Gambar 25.

M pi1 pi2 pi3 pi 4 pi5 pi6

A

M pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6

B

200 pb

1300 pb 1000 pb

300 pb

1700 pb

1000 pb

Gambar 25. Profil DNA Pohon Induk Hasil RAPD. Keterangan: M: Marker, A: Primer OPY-06, B: Primer OPY-08 dan pi1-pi6: Jumlah Sampel

Profil pita DNA pohon induk hasil amplifikasi dengan setiap primer untuk

setiap sampel pohon gaharu diinterpretasikan sebagai lokus untuk ukuran pita

yang sama. Lokus tersebut diubah dalam bantuk data biner yang digunakan untuk

menyusun matriks kemiripan. Berdasarkan Gambar 25 di atas, maka dilakukan

Cluster analysis untuk mengelompokan aksesi-aksesi yang diuji berdasarkan

kedekatan kekerabatannya. Sehingga dari Gambar 25 diperoleh dendogram

kemiripan genetik pohon induk seperti yang terlihat pada Gambar 26.

Page 76: 2007azw.pdf

59

pi1

pi2

pi3

pi4

pi5

Coefficient

pi6

0,00 0,18 0,37

Gambar 26. Dendogram Kemiripan Genetik 6 Sampel dari Populasi Pohon Induk. 0,55 0,73

Gambar 26 adalah dendogram sampel dari populasi pohon induk yang

menunjukkan bahwa dari 6 sampel yang dianalisis terdapat 5 sampel yang

membentuk satu kelompok besar (pi2 sampai dengan pi6) dan satu sampel

terpisah (pi1). Hal ini menunjukkan bahwa hanya lima sampel yaitu pi2 hingga

pi6 yang memiliki tingkat kekerabatan dan jarak genetik yang lebih dekat yaitu 0

sampai dengan 0,37, sedangkan sampel pi1 terdapat pada jarak genetik 0,37

sampai dengan 0,73. Jarak genetik yang terkecil ditunjukkan oleh sampel pi5

dengan pi6 yaitu nol (Lampiran 3A).

Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 6 sampel dari pohon induk

memiliki nilai rata-rata he (heterozigositas harapan) sebesar 24,54% dengan lokus

polimorfik 69,44%. Populasi pohon induk menghasilkan jarak pasang basa antara

200 pb sampai 1400 pb untuk primer OPY-06 dan 300 pb sampai 2000 pb untuk

primer OPY-08 dengan 19 lokus untuk OPY-06 dan 17 lokus untuk OPY-08

(Lampiran 5). Ini mengindikasikan bahwa 6 individu dalam populasi tersebut

memiliki variasi genetik yang cukup tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh sistem

perkawinan tanaman gaharu/pohon induk, tanaman gaharu adalah jenis tanaman

biseksual atau hermaprodit yang menghasilkan gamet jantan dan betina pada

tanaman yang sama. Gamet dari tanaman yang sama mempunyai potensi untuk

bertemu dan bersatu membentuk zigot. Hal ini dapat terjadi dalam satu bunga

sering disebut menyerbuk sendiri (selfing), antar bunga dalam satu individu

(Geitonogami) atau penyerbukan dari tanaman yang berbeda (Xenogami)

Page 77: 2007azw.pdf

60

(Finkeldey, 2005). Jenis pohon yang tumbuh dalam kerapatan populasi yang

tinggi lebih bervariasi dibanding kerapatan populasinya rendah, tetapi nilai he

dapat tinggi untuk banyak jenis walaupun pada populasi dengan kerapatan rendah.

Tabel 8. Nilai Rata-rata na, ne dan he untuk 6 Sampel Daun Gaharu Pohon Induk

Jumlah Sampel na ne he Rata-rata St. Dev

6

1,6944 0,4672

1,3996 0,3262

0,2454 0,1803

na: Jumlah allel yang diamati, ne: Jumlah allel yang efektif, he: Keragaman genetik. Jumlah lokus polimorfik 25 dan persentase lokus polimorfik 69,44%. Dalam penelitian ini, populasi pohon induk untuk analisis keragaman

genetik ditanam pada areal tidak luas dan jumlah individu yang ditanam cukup

rapat hanya berjarak 3 sampai 4 meter (Gambar 27), dengan demikian

kemungkinan terjadinya perkawinan silang (open pollination) antar individu

cukup besar sehingga dapat menyebabkan terjadinya variasi genetik pada

keturunan berikutnya.

Gambar 27. Populasi Pohon Induk Tanaman Gaharu di Desa Cangkorawok, Bogor.

DNA Hasil RAPD Sebelum Hingga Sub Kultur II

Dua dari sepuluh primer hasil seleksi yang digunakan yaitu OPY-06 dan

OPY-08 dapat mengamplifikasi DNA tanaman gaharu, baik sampel yang berasal

dari tunas aksilar (bibit) maupun sampel yang berasal dari tunas adventif (planlet).

Pada gambar 25 terlihat 16 sampel yang diamplifikasi dengan primer OPY-06 dan

pada gambar 26 dengan primer OPY-08. Nomor sampel ad1 sampai dengan ad8

adalah eksplan berasal dari tunas adventif (planlet) dan nomor sampel ak1 sampai

dengan ak8 adalah eksplan berasal dari tunas aksilar (bibit).

Page 78: 2007azw.pdf

61

Amplifikasi dengan mengunakan dua primer yaitu OPY-06 dan OPY-08

menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran yang bervariasi yaitu 225 pb sampai

dengan 1200 pb pada OPY-06 dan 325 pb sampai 1200 pb pada OPY-08 (Gambar

28 dan 29). Jumlah pasang basa tersebut dihitung berdasarkan jumlah lokus yang

dihasilkan dari proses amplifikasi DNA. Perbedaan hasil amplifikasi karena

adanya perbedaan jumlah tempat penempelan primer dan jarak antara dua primer

yang menempel pada DNA cetakan, sedangkan untuk perbedaan ketajaman dari

intensitas pita DNA yang terlihat merupakan hasil dari banyaknya situs

penempelan yang serupa dari sekuen DNA berulang.

Variasi kuantitas DNA hasil amplifikasi dicerminkan oleh variasi intensitas

pendaratan pita DNA di dalam gen. Semakin banyak fragmen DNA maka pita

DNA akan semakin jelas di atas sinar ultra violet. Menurut Finkeldey (2005),

amplifikasi dari potongan-potongan tersebut juga tergantung pada ada tidaknya

sekuensi komplementer terhadap primer pendek, sehingga penanda RAPD ini

hanya bersifat dominan dan tidak mungkin mengenali individu yang bersifat

heterozigot.

DNA hasil PCR sampel mulai dari sebelum hingga sub kultur II pada dua

sumber eksplan, selanjutnya dilakukan skoring terhadap ada atau tidaknya pita

yang teramplifikasi, hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai he dalam individu

maupun populasi. Menurut Finkeldey (2005), nilai he ditentukan berdasarkan

struktur alelik, ditambahkan juga bahwa suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika

frekuensi dari alel yang paling sering ditemukan adalah kurang dari 95%.

Penggunaan primer OPY-06 menghasilkan 19 lokus dan OPY-08

menghasilkan 17 lokus (Lampiran 5). Masing-masing sumber eksplan

menunjukkan perbedaan jumlah pita yang dihasilkan mulai dari sebelum kultur

hingga sub kultur II. Seperti yang terlihat pada bibit pertama (ak1) dengan primer

OPY-06 hanya menghasilkan 9 lokus yang diberi nilai 1 yang memperlihatkan

adanya pita DNA, sedangkan sisanya 10 lokus tidak memperlihatkan pita DNA

diberi nilai 0, dan selanjutnya untuk OPY-08 masih pada bibit pertama

menghasilkan 5 lokus yang diberi nilai 1 dan 12 lokus diberi nilai nol, perubahan

genetik sebelum hingga sub kultur II tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.

Page 79: 2007azw.pdf

62

Eksplan Tunas Aksilar (ak) Eksplan Tunas Adventif (ad)

Gambar 28. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-06

Gambar 29. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-08 Keterangan Gambar 25 dan 26. (ad1, ad3, ad5, ad7): sampel eksplan tunas adventif, sebelum

hingga sub kultur II dengan perlakuan BAP 0,5 ppm; (ad2, ad4, ad6, ad8): eksplan tunas adventif, sebelum hingga sub kultur II perlakuan BAP 1,0 ppm, dan (ak1, ak3, ak5, ak7): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP 0,5 ppm; (ak2, ak4, ak6, ak8): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP 1,0 ppm.

Banyaknya jumlah lokus yang dihasilkan dari dua primer tersebut

merupakan penggabungan dari hasil skoring sampel pohon induk dengan sampel

325 pb

700 pb 1000 pb 1200 pb

M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8

Eksplan Tunas Aksilar (ak) Eksplan Tunas Adventif (ad)

M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8

225 pb

750 pb 1000 pb 1200 pb

Page 80: 2007azw.pdf

63

sebelum hingga sub kultur II. Terlihat bahwa jumlah DNA pohon induk yang

teramplifikasi menghasilkan jumlah lokus yang lebih banyak dibanding DNA

yang berasal dari sampel sebelum hingga sub kultur II (Gambar 25, 28, 29),

meskipun analisis RAPD dilakukan secara terpisah.

Untuk melihat perbedaan nilai he pada masing-masing tahapan mulai dari

pohon induk, sebelum dikultur, hasil kultur, sub kultur I dan subkultur II pada dua

sumber eksplan yang diteliti yaitu eksplan tunas aksilar (bibit) dan eksplan tunas

adventif (planlet) dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Perbedaan Nilai Heterozigositas Harapan (he) Per Tahapan

Bibit 1 Bibit 2 Planlet 1 Planlet 2 Tahapan Kode Nomor Sampel he

Pohon Induk pi1 – pi6 0,2454 Sebelum Kultur ak1 ak2 ad1 ad2 0,0729

Hasil Kultur ak3 ak4 ad3 ad4 0,0833 Sub Kultur I ak5 ak6 ad5 ad6 0,0903 Sub Kultur II ak7 ak8 ad7 ad8 0,0382

Keterangan: ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar dan ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif.

Pada Tabel 9 terdiri dari 5 tahapan kultur, tahapan sebelum kultur hingga

sub kultur II terdiri dari 4 sampel per tahapan. Pada tahapan pertama yaitu ak1,

ak2, ad1 dan ad2 yang memiliki nilai he = 0,0729, selanjutnya terjadi peningkatan

nilai he pada tahap hasil kultur dan sub kultur I berturut-turut 0,0833 dan 0,0903

atau 8,33% dan 9,03%. Namun pada tahap sub kultur II terjadi penurunan nilai he

yang begitu signifikan yaitu 0,0382 atau 3,82%. Nilai he tertinggi dihasilkan oleh

sampel dari pohon induk yaitu 0.2454 atau 24,54%.

Besarnya keragaman genetik dalam setiap tahapan ditentukan berdasarkan

hubungan kemiripan genetik antara individu dengan individu lain dalam tahapan

yang sama, dengan cara membandingkan pita DNA dari setiap individu tanaman.

Berdasarkan pita DNA gaharu hasil amplifikasi dengan menggunakan dua primer

acak yang terseleksi, ditentukan matrik kemiripan genetik (matrik jarak genetik)

untuk menentukan hubungan kemiripan genetik antar individu dan antar tahapan

(Lampiran 3A-F).

Jika dilakukan perbandingan keragaman genetik dari pohon induk dengan

tahap sebelum hingga sub kultur II pada dua sumber eksplan yang diteliti, terlihat

Page 81: 2007azw.pdf

64

berbeda sangat nyata yaitu untuk pohon induk 0,2454 atau 24,54%, sedangkan

nilai pada semua tahap hanya 0,0968 atau 9,68%. Hal ini dapat dikatakan pada

tingkat populasi induk variasi genetik pohon induk gaharu lebih tinggi dibanding

pada semua tahap kultur. Variasi genetik pada tahap sebelum hingga subkultur II

hanya berkisar antara 3,82% - 9,03%. Nilai tertinggi diperoleh pada tahap sub

kultur II dan yang terendah pada tahap subkultur II (Tabel 9).

Pada tahap sebelum kultur, hasil kultur dan sub kultur I terjadi peningkatan

nilai he, meskipun tidak signifikan tetapi dapat diduga bahwa terjadi perubahan

genetik pada tiga tahapan kultur jaringan tersebut. Meskipun variasi genetik atau

variasi somaklonal yang terjadi jauh lebih rendah dibanding dengan variasi

genetik dari pohon induk. Variasi somaklonal dikatakan tidak terjadi apabila nilai

he pada tahap sebelum kultur hingga sub kultur II adalah tetap atau tidak berubah.

Untuk melihat jarak genetik dan pengelompokan dari tiap tahapan tersebut dapat

dilihat pada Gambar 30.

pi1

SBK

HK

SubK1

SubK2

0,01 0,10 0,18 0,26 0,34

Coefficient

Gambar 30. Dendogram Kemiripan Genetik untuk Setiap Tahapan mulai dari Pohon Induk, sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.

Keterangan. pi: Pohon Induk, SBK: Sebelum Kultur, HK: Hasil Kultur, SubK1: Sub Kultur I dan SubK2: Sub Kultur II.

Gambar 30 memperlihatkan bahwa sampel yang berasal dari tahap sebelum

kultur hingga sub kultur II membentuk satu kelompok besar, sedangkan sampel

dari pohon induk membentuk garis tersendiri, tetapi masih memiliki hubungan

dengan kelompok sebelum kultur hingga sub kultur II. Jarak genetik yang

Page 82: 2007azw.pdf

65

terkecil terlihat pada tahap hasil kultur (HK) dengan Sub Kultur I (SubK1) yaitu

0.0142, dan jarak genetik yang tertinggi dihasilkan antara pohon induk (pi)

dengan tahap Sub Kultur II (SubK2) yaitu 0.3654 (Lampiran 3F). Kemiripan

genetik untuk masing-masing tahapan dapat dilihat pada Lampiran 3A-E.

Skirvin et al. (1993) dalam Soedjono (2003), menyatakan bahwa keragaman

dapat terjadi karena pembiakan vegetatif melalui kultur in vitro menggunakan

media dengan bahan kimia murni, atau lingkungan yang mengalami gangguan.

Variasi somaklonal berasal dari kultur sel pucuk, daun, akar atau organ tanaman

yang lain. Tanaman yang berasal dari variasi somaklonal dinamakan somaklon,

protoklon untuk yang dari protoplas, gametoklon dari gamet, dan kaliklon yang

berasal dari kalus. Pada umumnya setiap siklus regenerasi menghasilkan 1−3%

variasi somaklonal, meskipun tingkat perbedaannya dari 0 − 100%. Penggunaan

mutagen fisika atau kimia dosis tinggi terhadap hasil regenerasi sel seperti kalus,

protokorm atau eksplan sebelum membentuk plantlet secara in vitro, dapat

menghasilkan keragaman genetik yang lebih luas (Soertini et al. 1996 dalam

Soedjono, 2003).

Sementara itu pada tahap sub kultur II menunjukkan bahwa nilai variasi

genetik yang diperoleh lebih rendah dibandingkan pada tahap yang lain, hal ini

diduga mulai terjadi stabilisasi genetik karena media yang digunakan adalah

media MS tanpa ZPT dan ukuran eksplan yang digunakan pada tahap sub kulur II

lebih besar dibanding pada waktu penanaman awal. Selain itu, penurunan nilai he

pada tahap sub kultur II diduga disebabkan oleh pengaruh hormonal mulai

berkurang, sehingga diduga ada kemungkinan terjadinya aberasi genetik. Yeoman

dan Mc Leod (1977) dalam Harjadi et a.l (1986), menyatakan bahwa secara

umum eksplan yang berukuran besar menguntungkan karena jumlah selnya

banyak sehingga kemungkinan keberhasilan regenerasi dari jaringan yang ditanam

lebih besar.

Untuk melihat kemiripan atau perubahan genetik yang terjadi pada bibit 1

(ak1, ak3, ak5 ak7), bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8), planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) dan

planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8), mulai dari sebelum dikultur hingga sub kultur II

dapat dilihat pada dendogram atau Gambar 28, 29, 30 dan 31, sedangkan matrik

kemiripan genetik dapat dilihat pada Lampiran 4.

Page 83: 2007azw.pdf

66

Gambar 31 adalah dendogram bibit 1 menunjukkan bahwa ak3 dengan ak7

dan ak5 dengan ak7 terlihat memiliki kemiripan genetik yang terendah yaitu

0.0572, sedangkan antara ak1 dengan ak3, ak5 dan ak7 memiliki kemiripan

genetik 0.1178 (Lampiran 4A). Gambar 32 adalah dendogram bibit 2

menunjukkan bahwa ak2, ak4 dan ak8 yang memiliki kemiripan genetik yang

terendah yaitu 0.1178 (Lampiran 4B).

Gambar 33 dan 34 adalah dendogram dari planlet 1 dan planlet 2, pada

gambar 33 terlihat bahwa ad3 dengan ad7 dan ad5 dengan ad7 yang memiliki

kemiripan genetik yang terendah yaitu 0.0572, sedangkan yang tertinggi terdapat

antara ad1 dengan ad3, ad5 dan ad7 yaitu 0.1178 (Lampiran 4C).

Secara umum dapat dilihat bahwa bibit 1 (Gambar 31) memiliki bentuk

dendogram dan nilai kemiripan genetik yang sama dengan planlet 1 (Gambar 33)

dan bibit 2 (Gambar 32) memiliki bentuk dendogram dan nilai kemiripan genetik

yang sama dengan planlet 2 (Gambar 34). Hal ini menunjukkan bahwa bibit 1

dengan planlet 1 memiliki kemiripan genetik yang sama dan tingkat kekerabatan

yang dekat, begitu juga halnya pada bibit 2 dan planlet 2 yang memiliki kemiripan

genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat. Nilai dari kemiripan genetik antara

bibit 1 dengan planlet 1 dan bibit 2 dengan planlet 2 dapat dilihat pada Lampiran

4.

ak1

ak3

ak7

ak5

0,06 0,07 0,09 0,10 0,12

Coefficient

Gambar 31. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 1 (ak1, ak3, ak5 ak7) sebelum hingga Sub Kultur II.

Page 84: 2007azw.pdf

67

ak2

ak4

ak8

ak6

0,12 0,13 0,15 0,17 0,18

Coefficient

Gambar 32. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8) sebelum hingga Sub Kultur II

Gambar 33. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) sebelum hingga Sub Kultur II

ad2

ad4

ad8

ad6

0,12 0,13 0,15 0,17 0,18

Coefficient

ad1

ad3

ad7

ad5

0,06 0,07 0,09 0,10 0,12

Coefficient

Gambar 34. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8) sebelum hingga Sub Kultur II.

Page 85: 2007azw.pdf

68

Jarak Genetik Pohon Induk, Sebelum Kultur, Hasil Kultur, Sub Kultur I dan Sub Kultur II

Berdasarkan penanda RAPD dengan menggunakan 2 primer yang

diturunkan dari matrik kemiripan genetik pada tanaman gaharu memperlihatkan

bahwa semua sampel yang diteliti terbagi dalam 3 kelompok (Gambar 35).

Sampel dari eksplan tunas aksilar dan tunas adventif terlihat berbaur dan

membentuk dua kelompok yaitu kelompok 1 dan 2, sedangkan sampel yang

berasal dari pohon induk membentuk satu kelompok yaitu kelompok 3. Hal ini

menunjukkan bahwa setiap kelompok memiliki tingkat kekerabatan yang dekat.

Secara umum dapat digambarkan bahwa 6 sampel yang berasal dari pohon

induk tidak berbaur dengan 16 sampel lainnya yang berasal dari tunas aksilar dan

tunas adventif. Tetapi sampel yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif

terlihat lebih berbaur, karena diantara sampel-sampel tersebut berdasarkan analisis

RAPD ada yang memiliki kemiripan genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat,

seperti contoh ak3 dan ad2 dalam satu garis yang sama pada kelompok 1 yang

memiliki nilai kemiripan genetik sama dengan nol (Lampiran 6).

1

2

3

Gambar 35. Dendogram Kemiripan Genetik Tanaman Gaharu dari Pohon Induk, sebelum hingga Sub Kultur II.

Keterangan. ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar, ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif, dan pi1-pi6: Sampel Populasi Pohon Induk.

Page 86: 2007azw.pdf

69

Hasil analisis RAPD terhadap semua sampel menunjukkan bahwa nilai he

yang dihasilkan adalah 0,2575 atau 25,25%, sedikit lebih tinggi jika dibandingkan

dengan nilai he yang berasal dari pohon induk yaitu 0,2454 atau 24,54%, dan

kedua nilai ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai pada 4 tahapan

yang telah diuraikan di atas yaitu 0,0968 atau 9,68%. Hal ini mengindikasikan

bahwa variasi genetik yang tertinggi hanya dihasilkan oleh sampel yang berasal

dari pohon induk. Hal ini diduga disebabkan oleh pohon induk yang tumbuh dan

berkembang di alam adalah merupakan hasil perkawinan silang dalam maupun

antar individu pada populasi yang sama. Hasil penelitian Yunanto (2006),

menunjukkan bahwa populasi alam tanaman Shorea johorensis memiliki

keragaman genetik lebih tinggi dibanding populasi biji, cabutan, stek dan

tanaman. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika struktur genetik sebagai akibat

dari seleksi viabilitas, sehingga tiap siklus tanaman dari benih sampai dewasa

berbeda-beda. Nilai heterozigositas (he) meningkat seiring dengan perkembangan

tanaman. Menurut Finkeldey (2005), di alam variasi genetik dapat terjadi karena

disebabkan oleh mutasi, aliran gen dan migrasi, penghanyutan genetik, seleksi dan

sistem perkawinan.

Jika dilihat hasil analisis pada tingkat individu yaitu dari 4 sumber eksplan

yang digunakan untuk dikultur (bibit 1, bibit 2, planlet 1 dan planlet 2), maka nilai

variasi genetik yang dihasilkan jauh lebih kecil dibanding pohon induk. Meskipun

demikian, apabila dilihat hasil analisis variasi genetik per tahapan yaitu dari tahap

sebelum kultur, hasil kultur, subkultur I dan sub kultur II, terlihat adanya variasi

antar tahapan. Seperti yang terlihat pada Tabel 9, tahap sebelum kultur 7,29%,

hasil kultur 8,33%, dan sub kultur I 9,03%, terjadi peningkatan nilai he. Tetapi

pada sub kultur II turun menjadi 3,82. Dari tahap sebelum hingga sub kultur I

dapat dikatakan bahwa kultur jaringan dapat menyebabkan perubahan genetik atau

variasi somaklonal, meskipun tidak terlalu tinggi dibanding pohon induk.

Terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal pada tahap hasil kultur dan sub

kultur I diduga disebabkan oleh pengaruh bahan-bahan kimia dan ZPT yang

terkandung di dalam media kultur, serta pengaruh lain saat proses pertumbuhan

eksplan.

Page 87: 2007azw.pdf

70

Pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif hasil kultur in vitro terjadi

mutasi, yang mana menurut Poespodarsono (1988), mutasi adalah perubahan

genetik baik gen tunggal atau sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi dapat

terjadi pada setiap bagian dan pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi

pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel, misalnya tunas, biji

dan sebagainya. Apabila mutasi terjadi pada sel somatis, maka perubahan hanya

terjadi pada bagian itu saja dan dapat dilihat pada perkembangan sel atau jaringan

ini, sedangkan apabila mutasi terjadi pada sel generatif, maka akan terjadi

perubahan menyeluruh pada tanaman keturunannya.

Menurut Ancora dan Sannino (1987) dalam Mattjik (2005), keadaan

eksplan dan keseimbangan ZPT dalam media kultur jaringan dapat mempengaruhi

kestabilan genetik materi kultur. Kultur jaringan merupakan sumber potensial

untuk mendapatkan keragaman, yaitu dengan mengatur ZPT dalam komposisi

media dan lamanya mengkulturkan.

Jacobsen (1987) dalam Mattjik (2005), menyatakan terdapat tiga cara untuk

mendapatkan variasi somaklonal dari eksplan yang telah berhasil dikerjakan yaitu

(1) eksplan yang langsung membentuk tunas dan akar, (2) induksi kalus terlebih

dahulu kemudian dilanjutkan dengan penanaman sel tunggal dan (3) kultur

protoplasma. Bahan kimia yang diberikan pada kultur jaringan dapat menjadi

mutagen, karena akan mengalami penetrasi pada jaringan dan sel, apabila dapat

mencapai untai DNAnya akan dapat merubah susunan DNA tersebut sehingga

terjadi mutasi.

Perubahan susunan maupun jumlah kromosom ini disebut aberasi. Aberasi

dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu aberasi struktur kromosom yang meliputi

dilesi, duplikasi, inversi dan translokasi. Kemudian aberasi jumlah kromosom

yaitu monoploid atau haploid, diploid, triploid dan tetraploid.

Dalam kasus kultur jaringan yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian

ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang melakukan mutasi

akan membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan

induknya, membentuk klon baru yang berbeda dengan induknya. Tanaman baru

ini bukan hasil rekombinan atau segregesi seperti hasil persilangan.

Page 88: 2007azw.pdf

71

Ostry et al. (1994), menyatakan bahwa kultur jaringan tanaman dapat

menampilkan sifat yang tidak stabil pada tingkat karyotipik, biokimia, morfologi

dan molekuler. Sejumlah eksplan yang di isolasi secara in vitro mengalami

keragaman somatik secara umum fenomena ini dinamakan variasi somaklonal.

Dinyatakan juga, bahwa frekuensi terjadinya variasi tersebut sepenuhnya belum

dipahami, hal ini tergantung dari sumber genotipe tanaman, sumber eksplan,

komponen media, dan lamanya siklus kultur. Ditambahkan pula oleh Jain (1997),

menyatakan bahwa tingkat keragaman tersebut juga tergantung dari genotype,

umur tanaman donor, perubahan sitogenetik, metilasi DNA, tipe eksplan, dan

hormon tanaman di dalam media kultur.

Berdasarkan analisis RAPD dapat disimpulkan bahwa variasi somaklonal

pada eksplan dapat terjadi selama proses pengkulturan sehingga diharapkan dapat

menghasilkan klon baru yang unggul secara genetik lebih baik dari pada tanaman

induknya dalam proses pertumbuhan maupun kualitas gaharu yang dihasilkan.

Untuk mengetahui hal tersebut, tentunya perlu dilakukan penanaman di lapangan.

Penggunaan teknik analisis RAPD untuk mendeteksi terjadinya variasi

somaklonal pada tanaman hasil kultur jaringan pernah dilakukan oleh Gajdosova

et al, (2006) pada tanaman Vaccinium Sp. dan Rubus Sp., menunjukkan bahwa

kultur jaringan dapat menyebabkan variasi somaklonal. Hal yang sama juga

pernah diteliti oleh Yulismawati (2006) pada tanaman nenas, menunjukkan bahwa

dari 20 planlet hasil kultur dengan pemberian ZPT BA dan NAA, terdapat hanya

satu perlakuan yang sama dengan kontrol yaitu media yang diberi perlakuan BA

13,32 µM yang dikombinasikan dengan NAA 2 µM, sedangkan 19 perlakuan

lainnya terjadi variasi somaklonal. Sehingga dapat dikatakan bahwa media kultur

yang diberi ZPT sitokinin dan thidiazuron pada level tertentu dapat menyebabkan

variasi somaklonal.

Page 89: 2007azw.pdf

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Analisis DNA dengan teknik RAPD dapat digunakan untuk mendeteksi

variasi genetik tanaman gaharu sebelum dikultur (pohon induk dan bibit)

maupun variasi somaklonal hasil kultur in vitro (planlet). Dua primer yang

digunakan yaitu OPY-06 dan OPY-08 mampu mengamplifikasi DNA genom

gaharu sehingga menghasilkan pita DNA polimorfik dengan jumlah lokus 19

dan 17 secara berturut-turut, dengan total lokus sebanyak 36.

2. Variasi genetik gaharu lebih tinggi dihasilkan oleh sampel yang berasal dari

pohon induk yaitu 24,54%, sedangkan variasi somaklonal yang terjadi selama

proses pengkulturan pada 4 tahapan yang diteliti masih dalam persentase yang

lebih rendah jika dibandingkan dengan variasi genetik dari pohon induk yaitu

sebelum kultur adalah 7,29%, hasil kultur 8,33%, sub kultur I 9,03% dan sub

kultur II 3,82%.

3. Penambahan zat pengatur tumbuh BAP ke dalam media kultur, sumber

eksplan yang digunakan serta sub kultur dapat mempengaruhi terjadinya

variasi somaklonal.

4. Perlakuan zat pengatur tumbuh BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm merupakan

konsentrasi yang optimum dan terbaik dalam menghasilkan jumlah tunas,

panjang tunas dan jumlah daun planlet gaharu, baik eksplan yang berasal dari

tunas aksilar (bibit) maupun tunas adventif (planlet).

Saran

1. Perlu penelitian lanjutan yaitu melakukan penanaman di lapangan untuk setiap

klon atau planlet yang memiliki berbagai variasi somaklonal (hasil RAPD)

untuk mengetahui keragaan bibit dan mutu gaharu yang dihasilkan.

2. Jika ingin menghasilkan tanaman yang lebih seragam secara genetik

sebaiknya lebih cermat dalam menggunakan teknik kultur jaringan sebagai

metode perbanyakan tanaman, karena dapat menyebabkan variasi somaklonal.

Page 90: 2007azw.pdf

DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 1983. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh.

Bandung. Penerbit Angkasa Anonim, 2006. http://fig.cox.miami.edu/~cmallery/150/gene/c7.19.17a.families.

rDNA.jpg (10 Desember 2006). Astuti, A.D. 2005. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh NAA (Naphthalene Acetic

Acid) dan IBA (Indole Butryric Acid) terhadap Perakaran Eksplan Tunas Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) dalam Kultur In Vitro serta Aklimatisasinya. [Skripsi] Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB

Barden, A., Awang Anak, N., Mulliken, T., and Song, M. (2000). Heart of the

Matter: Agarwood Use and Trade, and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC International.

Chakrabarty K, Kumar A, Menon V. 1994. Trade In Agarwood. TRAFFIC India

and WWF India. New Delhi. Chawla, H.S. 2002. Introduction to Plant Biotechnology. Second Edition. Science

Publishers. Inc. Enfield (NH) USA. Damayanti L. 2004. Kombinasi Konsentrasi Auksin dan Sitokinin Terhadap

Pertumbuhan Anyelir (Dianthus caryophillus) dalam Kultur In Vitro. [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. FMIPA.

Davies P.J. 2004. Plant Hormones. Biosynthesis, Signal Transduction, Action.

Ithaca. NY. USA. Cornell University. Kluwer Academic Publishers. Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Terjemahan. Bogor.

Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Gajdosova A, M. G. Ostrolucka, G. Libiakova, E. Ondruskova, D. Simala. 2006.

Microclonal Propagation Of Vaccinium Sp. and Rubus Sp. and Detection Of Genetik Variability In Culture In Vitro. Slovak Republic. Journal of Fruit and Ornamental Plant Research Vol. 14 (Suppl. 1)

George E.F and P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture –

Handbook and Directory of Comercial Laboratories. England. Exegetic Ltd. Eversly, Basingstoke 709 hlm.

Page 91: 2007azw.pdf

74

Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pndidikan dan Kebudayaan.

Grattapaglia, D., J. Chaparro, P. Wilcox, S. Mc Cord, D. Werner, H. Amerson, S.

Mc Keand, F. Bridgwater, R. Whetten, D. O’Malley and R, Sederoff. 1992. Mapping in Woody Plants with RAPD Markers: Application to Breeding in Forestry and Horticulture. p. 37-40. In Application of RAPD Technology to Plant Breeding. Join Plant Breeding Symposia Series. November 1, 1992. Minneapolis.

Gyves, E M D, C A Sparks, A F Fieldsend, P A Lazzeri And H D Jones. 2001.

High Frequency of Adventitious Shoot Regeneration from Commercial Cultivars of Evening Primrose (Oenothera spp.) Using Thidiazuron. Annals of Applied Biology. Volume 138 Issue 3.

Harjadi S S, L. Wanita, G. A. Wattimena. 1986. Penelitian Kultur Jaringan

Beberapa Tanaman Hortikultura Penting. Bogor. Jurusan Budidaya Pertanian Institut Pertanian Bogor

Hartmann, H. T, DE Kester, FT Davies. 1990. Plant Propagation, Principle and

Practices. Fifth Edition. Prentice-Hall. Inc. London: International Edition. Hartmann, H. T, Kester D. E, Davis, Jr. F. T, Geneve R. L.1997. Plant

Propagation. Principles and Practices. Sixth Edition. Prentice-Hall. Inc. International Edition. Upper Saddle River, New Jersey. USA.

Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. Jakarta. CV. Rajawali Press. Hendaroyono, D. P. S dan A. Wijayanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius.

Yogyakarta. Herawan, T. 2004. Kulur Jaringan. Protokol Kultur Jaringan Tanaman Hutan.

Biotiforda. Or. Id Herawan T dan T Hardi TW. 2005. Kultur Jaringan Tiga Spesies Murbei Hasil

Persilangan. Wana Benih. Vol. 6 No. 1 Hou D. 1960. Thymelaeceae In Van Stennis (ed). Flora Malesiana series 1. Vol

ke-6. Groningen:Wolters-Noordoff. Huetteman, C.A. and J.E. Preece. 1992. Thidiazuron: a Potent Cytokinin for

Woody Plant Tissue Culture. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 33: 105-119. Hutchinson J.F. and M. Barlass, Knoxfield. 1995. Fundamentals of Plant

Propagation By Tissue Culture. State of Victoria. Department of Primary Industries. ISSN 1329-8062.

Page 92: 2007azw.pdf

75

Jain. S. M. 1997. Micropropagation of Selected Somaclones of Begonia and Saintpaulia. Helsinki. University of Helsinki, Plant Production Department.

Khawar K M, C Sancak, S Uranbey, S .Zcan. 2004. Effect of Thidiazuron on

Shoot Regeneration from Different Explants of Lentil (Lens culinaris Medik.) via Organogenesis. Turkey. Department of Field Crops, Faculty of Agriculture, University of Ankara, 06110, DÝßkapÝ, Ankara

Kimball, J. W. 1992. Biologi. Jakarta. Erlangga. Leong, L S. 2006. Molecular Marker Technologies. Malaysia. Training Workshop

On Forest Biodiversity. Forest Research Institute Malaysia. Lu, C.Y. 1993. The Use of Thidiazuron in Tissue Culture. In vitro. Cell Dev. Biol.

29:92-96. Mattjik, A. A, dan Sumertajaya, I. M. 2002. Perancangan Percobaan dengan

Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1. Edisi Kedua. Bogor. IPB Press. Mattjik, A.N. 2005. Keragaman Somaklonal. Bahan Kuliah Mata Ajaran Kultur

Jaringan Tanaman. Bogor. Departemen Agronomi. Institut Pertanian Bogor. Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka

Wirausaha Muda dan USESE Foundation. Murashige, T and F. Skoog. 1962. A Revised Medium for Rapid Growth and

Bioassays with Tobacco Tissue Culture. Phys. Plant. 15:473-497. Narayanaswamy, S. 1977. Regeneration of Plants from Tissue Culture, Applied

and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Springer – Verlag Berlin Heidelberg. New York. 178 – 207.

Nasir, M. 2002. Bioteknologi. Potensi dan Keberhasilannya dalam Bidang

Pertanian. Jakarta. Rajawali Press. Nei, M. & W. Li (1979). Mathematical Model for Studying Genetik Variation in

Terms of Restriction Endonucleases. In Proc. Natl. Acad. Sci.USA., 767, 5269- 5273.

Ndoye M, I. Diallo dan Y. K. Gassama/Dia. 2003. In Vitro Multiplication of the

Semi-Arid Forest Tree, Balanites aegyptiaca (L.) Del. African Journal of Biotechnology Vol. 2 (11), pp. 421-424. Available online at http://www.academicjournals.org/AJB

Nugroho, A dan H Sugito. 1996. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan.

Jakarta. Penebar Swadaya. 70 hlm.

Page 93: 2007azw.pdf

76

Onamu R, S.D. Obukosia, N. Musembi and M.J. Hutchinson. 2003. Efficacy of Thidiazuron In In Vitro Propagation of Carnation Shoot Tips: Influence of Dose and Duration of Exposure. Kenya. Department of Crop Science, University of Nairobi, P. O. Box 30197, Nairobi.

Ostry. M, W. Hackett, C. Michler, R. Serres, B. McCown. 1994. Influence of

Regeneration Method and Tissue Source on The Frequency of Somatic Variation in Populus to Infection by Septoria musiva. USDA Forest Service, North Central Forest Experiment Station. Plant Science.

Ozturk M , K. M. Khawar, H. H. Atar, C. Sancak and S. Ozcan. 2004. In Vitro

Micropropagation of the Aquarium Plant Ludwigia Repens Turkey. Department of Fisheries, Faculty of Agriculture, University of Ankara, 06110 Diskapi, Ankara

Pierik R. L. M., 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff

Publishers. Dordrecht, The Netherland. Ponirin, S. 1997. Budidaya Gaharu. Jakarta. Departemen Kehutanan.. Purwito, A. 2004. Kultur Jaringan. Diktat Bahan Kuliah. Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor. Poespodarsono, S. 1987. Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. IUC. Life Sciences

Inter University. IPB. Poespodarsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor. Pusat

Antar Universitas. IPB. Rimbawanto, A dan T. Pamungkas. 2004. Compilation of Base Information

Pertaining to Conservation of Forest Genetik Resources (CFGR). Consultancy Report. Yogyakarta. Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement.

Rimbawanto, A , AYPBC Widyatmoko, S. Shiraishi, A. Watanabe. 2004.

Identifikasi Genetik Jenis Pinus merkusi. Biotiforda.or.id. Populasi Genetik Biotiforda.Or.Id

Rohlf, F. J. (1993). NTSYS – PC. Numerical Taxonomy and Multivariate

Analysis System. New York, Exeter Software, p.10 – 13. Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid ke-3. Bandung.

Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari Plant Physiology. Ed ke-4. Sambrook, J., E.F. Fritsch and T. Manitias. 1989. Molecular Cloning : a

Laboratory Manual. 2nd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York

Page 94: 2007azw.pdf

77

Santoso, U dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Situmorang, J. 2000. Mikropropagasi Kayu Gaharu (Aquilaria spp.) asal Riau

serta Indentifikasi Sifat Genetiknya Berdasarkan Analisis Isoenzim. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam

Pemuliaan Tanaman. Bogor. Jurnal Litbang Pertanian Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur.

Soehartono, T. 1997 dalam Barden et al. 2000. Heart of the Matter: Agarwood

Use and Trade, and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC International.

Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di

Indonesia. Jakarta. JICA. Strabala TJ, Yan HW, Yi L. 1996. Combined Effect of Auxin Transport Inhibitor

and Cytokinin: Alterations of Organ Development in Tobacco. Plant Cell Physiol. 37(8): 1177-1182

Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Jakarta. Penebar Swadaya. Suryowinoto, U dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. UMM-Press

Universitas Muhammadiyah Malang. 191 hlm. Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Penerbit Kanisius.

Yogyakarta. Suttle, J.F. 1985. Involvement of Ethylen in The Action of The Cotton Defoliant

Thidiazuron. Plant Physiol. 78:272-276. Tang, H.-R., Ren, Z.-L., Krczal, G., 2000. Somatic Embryogenesis and

Organogenesis from Immature Embryo Cotyledons of Three Sour Cherry Cultivars (Prunus cerasus L.). Sci. Hort. 83, 109–126.

Thomas, J.C. and F.R. Katterman. 1986. Cytokinin Activity Induced by

Thidiazuron.. Plant Physiol. 81:681-683. Thomas T D dan J T. Puthur. 2004. Thidiazuron Induced High Frequency Shoot

Organogenesis in Callus from Kigelia pinnata L. India. Postgraduate and Research Department of Botany, St. Thomas College, Pala, Arunapuram (P.O), Kottayam (Dt.), PIN- 686 574, Kerala

Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. 1991. Bioteknologi Tanaman.

Bogor. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor.

Page 95: 2007azw.pdf

78

Tiwari V, Tiwari KN, Singh BD. 2000. Comparative Studies of Cytokinins on In Vitro Propagation of Bacopa monniera. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Annu. Rev. Plant Physiol. 17:435-459.

Wardoyo, T. 2004. Kajian Sterilisasi, Induksi dan Elongasi Tunas Gaharu

(Aquilaria spp.) Secara In Vitro. [Skripsi] Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor. Pusat Antar

Universitas, Institut Pertanian Bogor. Wattimena, G. A. 1992. Bioteknologi Tanaman, Laboratorium Kultur Jaringan

Tanaman. Bogor. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. 309 hal. Wattimena, G. A, dan Mattjik, N. A. 1991. Bioteknologi Tanaman.

Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Bogor. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor.

Wende, J. F. and F. Weeden. 1989. Visualization and Interpretation of Plant

Isozymes, pp 5-45. In D. E. Soltis and P. S. Soltis eds. Isozymes In Plant Biology. Advances in Plant Sciences Series. Dioscorides Press. Portland, Oregon. USA.

Weising, K, H. Nybom, K. Wolff, and W. Meyer. 1995. DNA Fengerprinting in

Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, Fla. Wiguna, I, 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus Edisi No. 438 –

Mei 2006. William, J. G. K, A. E. Kebelik, K. J. Livak, J. A. Rafalski and V. Tingey. 1990.

DNA Polymorphism Amplified by Arbitrary Primer are Usefful as Genetic Marker. Nucleic Acid Res. 18:6531-6535.

Yunanto, T. 2006. Implikasi Genetik Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur

(TPTJ) Pada Jenis Shorea johorensis Foxw di PT. Sari Bumi Kusuma Berdasarkan RAPD. Bogor. [Skripsi] Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Yunita, R. 2004. Perbanyakan dan Transformasi Genetik Menggunakan

Agrobacterium tumefaciens pada Tanaman Melinjo (Gnetum gnemon) dengan Teknik Kultur Jaringan. Riau. Kelji Sumber Daya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Yulismawati. 2006. Utilization Of Enhanced RAPD 4 Genetic Variability

Analysis on Planlets Of Smooth Cayenne Pineapple. Bogor. Departement of Agronomy. Bogor Agriculture Institute.

Page 96: 2007azw.pdf

79

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta. Agromedia Pustaka.

Page 97: 2007azw.pdf

80

Lampiran 1. Komposisi Media MS

Larutan Nama Bahan Kimia

Konsentrasi (mg/l)*

Konsentrasi (g/l)**

Konsentrasi Penggunaan (ml/l)

A NH4NO3 1650 82,5 20 B KNO3 1900 95 20 C KH2PO4

H3BO3Na2MoO4. 2H2O COCl2. 6H2O Kl

170 6,2 0,25 0,025 0,83

34 1,24 0,05 0,005 0,66

5

D CaCl2 2H2O 440 88 5 E MgSO4. 7H2O

MnSO4. 4H2O ZnSO4. 7H2O CuSO4. 5H2O

370 22,3 8,6

0,025

74 4,4 1,72 0,005

5

F Na2 EDTA FeSO4. 7H2O

37,3 27,8

5,57 5

Vitamin Thiamine HCl Glycine Pyridoxine HCl

0,5 2,0 0,5

0,02 0,1 0,1

5

Myo-Inositol 100 10 10 Bahan Tambahan

Sucrosa 30 Agar 7

* Sumber: Gunawan (1992) ** Sumber: Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Konservasi Sumberdaya

Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Page 98: 2007azw.pdf

81

Lampiran 2. Tabel Sidik Ragam Hasil-hasil Kultur Jaringan Tanaman Gaharu. 1. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal

dari Tunas Aksilar selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 16,251 3 5,417 83,454** 0,000 Error 0,519 8 0,065 Total 262,749 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 2. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal

dari Tunas Aksilar selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 12,565 3 4,188 32,228** 0,000 Error 1,040 8 0,130 Total 193,715 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 3. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal

dari Tunas Aksilar selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 3,486 3 1,162 51,165** 0,000 Error 0,182 8 0,023 Total 75,453 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 4. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Nerasal

dari Tunas Aksilar selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 2,913 3 0,971 106,124** 0,000 Error 0,073 8 0,009 Total 68,413 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.

Page 99: 2007azw.pdf

82

Lanjutan Lampiran 2. 5. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Retara Jumlah Daun, Eksplan Berasal

dari Tunas Aksilar selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 7,832 3 2,611 51,033** 0,000 Error 0,409 8 0,051 Total 378,649 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 6. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Retara Jumlah Daun, Eksplan Berasal

dari Tunas Aksilar selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 6,783 3 2,261 42,540** 0,000 Error 0,425 8 0,053 Total 366,478 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 7. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal

dari Tunas Adventif selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 19,916 3 6,639 23,728** 0,000 Error 2,238 8 0,280 Total 278,841 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 8. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal

dari Tunas Adventif selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 14,710 3 4,903 46,177** 0,000 Error 0,849 8 0,106 Total 194,432 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01

Page 100: 2007azw.pdf

83

Lanjutan Lampiran 2. 9. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal

dari Tunas Adventif selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 2,483 3 0,828 12,879** 0,002 Error 0,514 8 0,064 Total 52,488 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 10. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal

dari Tunas Adventif selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 2,662 3 0,887 30,752** 0,000 Error 0,231 8 0,029 Total 44,408 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 11. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Daun, Eksplan Berasal

dari Tunas Adventif selama 12 MST.

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 14,941 3 4,980 12,022** 0,002 Error 3,314 8 0,414 Total 397,830 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 12. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Daun, Eksplan Berasal

dari Tunas Adventif selama 12 MST

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah F. Hit Sig.

Perlakuan 9,296 3 3,099 25,942** 0,000 Error 0,956 8 0,119 Total 349,775 12

** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.

Page 101: 2007azw.pdf

84

Lampiran 3. Matriks Kemiripan Genetik per Tahapan Berdasarkan Pola Pita RAPD.

A. Sampel Daun Gaharu Pohon Induk pi1 pi 2 pi3 pi4 pi5 pi6 pi 1 pi 2 pi 3 pi 4 pi 5 pi 6

1.0000 0.7503 1.0000 0.8755 0.2513 1.0000 0.5390 0.4925 0.2513 1.0000 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 1.0000 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 0.0000 1.0000

B. Sampel Daun Gaharu Sebelum Kultur ak1 ak2 ad1 ad2 ak1 ak2 ad1 ad2

1.0000 0.0870 1.0000 0.1823 0.0870 1.0000 0.1178 0.0870 0.0572 1.0000

C. Sampel Daun Gaharu Hasil Kultur ak3 ak4 ad3 ad4 ak3 ak4 ad3 ad4

1.0000 0.0282 1.0000 0.1823 0.2162 1.0000 0.0870 0.1178 0.0870 1.0000

D. Sampel Daun Gaharu Subkultur I ak5 ak6 ad5 ad6 ak5 ak6 ad5 ad6

1.0000 0.0870 1.0000 0.1178 0.2162 1.0000 0.1495 0.1178 0.0870 1.0000

E. Sampel Daun Gaharu Subkultur II ak7 ak8 ad7 ad8 ak7 ak8 ad7 ad8

1.0000 0.0282 1.0000 0.0572 0.0870 1.0000 0.0572 0.0870 0.0000 1.0000

Page 102: 2007azw.pdf

85

Lanjutan Lampiran 3. F. Pohon Induk, sebelum Kultur (SBK), Hasil Kultur (HK), Sub Kultur I, dan Sub

Kultur II. pi SBK HK SubK1 SubK2 pi SBK HK SubK1 SubK2

1.0000 0.3497 1.0000 0.3372 0.0750 1.0000 0.3214 0.0749 0.0142 1.0000 0.3654 0.0550 0.0216 0.0236 1.0000

Page 103: 2007azw.pdf

86

Lampiran 4. Matrik Kemiripan Genetik Bibit 1, Bibit 2, Planlet 1 dan Planlet 2, sebelum hingga Sub Kultur II.

A. Bibit 1 ak1 ak3 ak5 ak7 ak1 ak3 ak5 ak7

1.0000 0.1178 1.0000 0.1178 0.1178 1.0000 0.1178 0.0572 0.0572 1.0000

B. Bibit 2 ak2 ak4 ak6 ak8 ak2 ak4 ak6 ak8

1.0000 0.1178 1.0000 0.2513 0.1823 1.0000 0.1178 0.1178 0.1178 1.0000

C. Planlet 1 ad1 ad3 ad5 ad7 ad1 ad3 ad5 ad7

1.0000 0.1178 1.0000 0.1178 0.1178 1.0000 0.1178 0.0572 0.0572 1.0000

D. Planlet 2 ad2 ad4 ad6 ad8 ad2 ad4 ad6 ad8

1.0000 0.1178 1.0000 0.2513 0.1823 1.0000 0.1178 0.1178 0.1178 1.0000

Page 104: 2007azw.pdf

Lampiran 5. Perubahan Genetik Tanaman Gaharu per Tahapan Menggunakan Primer OPY-06 dan OPY-08

Tahapan Primer Bibit 1 Bibit 2 Planlet 1 Planlet 2 ak1 ak2 ad1 ad2

Sebelum Kultur OPY-06 OPY-08

1001010100110000001 00001010011000100

1000010100100000001 00011010011000100

1000110100100000101 00011010011000100

1001110100100000101 00011010011000100

ak3 ak4 ad3 ad4 Hasil Kultur OPY-06

OPY-08 1001110100100000101 00011010011000100

1001110100110000101 00011010011000100

1001111000100010101 00000010111000100

1001110100100000101 00000010111000100

ak5 ak6 ad5 ad6 Sub Kultur I OPY-06

OPY-08 1001110100110000101 00000010111000100

1001111000100000101 00000010111000100

1001010100110000101 00011010011000100

1001111000110000101 00011010011000100

ak7 ak8 ad7 ad8 Sub Kultur II OPY-06

OPY-08 1001110100100000101 00000010011000100

1001010100100000101 00000010011000100

1001110100110000101 00001010011000100

1001110100110000101 00001010011000100

Keterangan: - Angka yang diberi tanda merah adalah perubahan genetik -

dengan primer OPY-06 dan tanda biru dengan primer OPY-08 - Dari kiri ke kanan ukuran pasang basa semakin rendah. - OPY-06 terdiri dari 19 lokus dan OPY-08 terdiri dari 17 lokus

87

Page 105: 2007azw.pdf

Lampiran 6. Matriks Kemiripan Genetik Berdasarkan Pola Pita RAPD terhadap 22 Sampel Gaharu Tanaman Gaharu.

No ak1 ak 2 ak3 ak4 ak5 ak6 ak7 ak8 ad1 ad2 ad3 ad4 ad5 ad6 ad7 ad8 pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6 ak1 ak2 ak3 ak4 ak5 ak6 ak7 ak8 ad1 ad2 ad3 ad4 ad5 ad6 ad7 ad8 pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6

1.0000 0.0870 1.0000 0.1178 0.0870 1.0000 0.0870 0.1178 0.0282 1.0000 0.1178 0.2162 0.1178 0.0870 1.0000 0.2162 0.2513 0.1495 0.1823 0.0870 1.0000 0.1178 0.1495 0.0572 0.0870 0.0572 0.0870 1.0000 0.0870 0.1178 0.0870 0.1178 0.0870 0.1178 0.0282 1.0000 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 0.1823 0.2162 0.1178 0.1495 1.0000 0.1178 0.0870 0.0000 0.0282 0.1178 0.1495 0.0572 0.0870 0.0572 1.0000 0.2513 0.2877 0.1823 0.2162 0.1178 0.0282 0.1178 0.1495 0.2513 0.1823 1.0000 0.1495 0.1823 0.0870 0.1178 0.0282 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0870 0.0870 1.0000 0.0572 0.0870 0.0572 0.0282 0.1178 0.2162 0.1178 0.0870 0.1178 0.0572 0.2513 0.1495 1.0000 0.1495 0.1823 0.0870 0.0572 0.1495 0.1178 0.1495 0.1823 0.1495 0.0870 0.1495 0.1823 0.0870 1.0000 0.0572 0.1495 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0572 0.0870 0.1178 0.0572 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 1.0000 0.0572 0.1495 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0572 0.0870 0.1178 0.0572 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 0.0000 1.0000 0.6931 0.6391 0.8109 0.8755 0.8109 0.7503 0.6931 0.6391 0.8109 0.8109 0.6931 0.7503 0.8109 0.8755 0.8109 0.8109 1.0000 0.5390 0.6931 0.6391 0.5878 0.4480 0.4925 0.5390 0.5878 0.7503 0.6391 0.5390 0.4925 0.6391 0.5878 0.5390 0.5390 0.7503 1.0000 0.6391 0.6931 0.6391 0.5878 0.6391 0.6931 0.7503 0.8109 0.7503 0.6391 0.7503 0.6931 0.6391 0.5878 0.6391 0.6391 0.8755 0.2513 1.0000 0.6391 0.8109 0.7503 0.6931 0.6391 0.6931 0.7503 0.8109 0.8755 0.7503 0.7503 0.6931 0.7503 0.6931 0.6391 0.6391 0.5390 0.4925 0.2513 1.0000 0.5390 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5878 0.6391 0.6931 0.6391 0.5390 0.6391 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5390 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 1.0000 0.5390 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5878 0.6391 0.6931 0.6391 0.5390 0.6391 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5390 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 0.0000 1.0000

Keterangan : 0,0000 = jarak genetik terendah 0,8755 = jarak genetik tertinggi

88