2007azw.pdf
DESCRIPTION
knfvkfngkTRANSCRIPT
EVALUASI STABILITAS GENETIK TANAMAN GAHARU
(Aquilaria malaccensis Lamk.) HASIL KULTUR IN VITRO
A Z W I N
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2007
Azwin E051040091
ABSTRAK
AZWIN. Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro. Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR dan SUPRIYANTO. Gaharu (A. malaccensis Lamk.) adalah salah satu tanaman hutan tropis penghasil resin yang bernilai ekonomi tinggi. Meningkatnya permintaan gaharu dari tahun ke tahun menyebabkan terjadinya penebangan liar dari hutan alam tidak terkontrol. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan pengembangan tanaman gaharu. Teknik kultur jaringan adalah suatu metode alternatif yang dapat menghasilkan bibit secara genetik lebih baik dimasa yang akan datang. Keuntungan kultur jaringan dapat menghasilkan planlet dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat. Disamping itu, dengan teknik ini juga dapat menghasilkan tanaman yang homogen dan bebas penyakit. Meskipun demikian, teknik kultur jaringan juga dapat menyebabkan terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui perbedaan stabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro baik eksplan yang berasal dari tunas aksilar maupun eksplan dari tunas adventif, dan (2) untuk mendapatkan konsentrasi optimum zat pengatur tumbuh BAP atau TDZ untuk menginduksi tunas gaharu dalam kultur in vitro. Media dasar yang digunakan adalah media MS (Murashige and Skoog, 1962). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan konsentrasi BAP (kontrol; 0,50 ppm; 0,75 ppm; 1,0 ppm) atau TDZ (kontrol; 0,25 ppm; 0,50 ppm; 0,75 ppm), dengan 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 4 botol, setiap botol ditanam satu eksplan yang berasal dari tunas aksilar atau tunas adventif. Teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) telah digunakan untuk mengetahui variasi genetik dari pohon induk dan bibit (sebelum kultur) dan variasi somaklonal tunas aksilar dan tunas adventif (hasil kultur). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dua jenis eksplan yang ditanam secara in vitro pada media MS yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm menghasilkan jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun yang terbaik. Hasil evaluasi stabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro menggunakan penanda RAPD menunjukkan bahwa keragaman genetik (he) sebelum kultur (0,0729), hasil kultur (planlets) (0,0833), sub kultur I (0,0903) dan sub kultur II (0,0382), sedangkan keragaman genetik pohon induk sebesar 0,2454.
ABSTRACT
AZWIN. Evaluation of Genetic Stability of Agarwood (Aquilaria malaccensis Lamk.) in In Vitro Culture. Supervised by ISKANDAR Z. SIREGAR and SUPRIYANTO. Agarwood (A. malaccensis Lamk.) is one of the important tropical forest trees, which produces a high economically valuable fragrant resinous wood. The increase of agarwood demand from year to year leads to uncontrolled illegal harvest of this plant from its natural habitat. To encounter this problem, there is an urgent need to develop agarwood plantation. Tissue culture is an alternative method to provide genetically good seedlings for plantation in the future due to its short period and mass quantity of planlet production. In addition, through this method, its might also provide homogenous plant, and free from diseases. However, genetic variation of in vitro plant may also be resulted from tissue culture technique. The objectives of the study were (1) to study the difference of genetic stability of agarwood between axillaries and adventitious shoot explants during in vitro culture; and (2) to find out the optimal concentration of BAP or TDZ for inducing shoot multiplication of agarwood in in vitro conditions. MS (Murashige And Skoog, 1962), was used as basal media. The experimental design of the research was completely randomized design (CRD) with treatment of BAP concentration ( control; 0,50 ppm; 0,75 ppm; 1,0 ppm) or TDZ concentration (control; 0,25 ppm; 0,50 ppm; 0,75 ppm), in 3 replicates. Each replicate consist of 4 bottles, every bottle containing one explants coming from axillaries and adventitious shoot explants. Technique of Random Amplified Polymorphic DNA ( RAPD) have been used to study genetic variation of mother trees and seedling (before culture) and somaclonal variation of axillaries and adventitious shoots (resulted from tissue culture). Results indicated that two types of agarwood explants grown in vitro in MS basal media containing BAP 0,50 ppm or TDZ 0,25 ppm produced the highest number of shoots and leaves of agarwood plantlets, as well as its plantlet shoot length. Somaclonal variation analysis using RAPD found the variation of plantlet before culture (0,0729), after plantlet culture (0,0833), 1st subculture (0,0903) and 2nd subculture (0,0382), while the genetic variation of mother trees was 0,2454.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
EVALUASI STABILITAS GENETIK TANAMAN GAHARU
(Aquilaria malaccensis Lamk.) HASIL KULTUR IN VITRO
A Z W I N
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Judul Tesis : Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro
Nama : Azwin NIM : E051040091
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc Dr. Ir. Supriyanto Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 16 April 2007 Tanggal Lulus: 04 Mei 2007
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari sampai dengan November 2006 ialah Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro.
Gaharu merupakan sejenis tumbuhan yang hidup di hutan alam Indonesia yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama dalam bentuk gubal atau resin yang dihasilkannya. Namun sangat disayangkan tumbuhan ini sudah hampir terancam punah keberadaaanya di hutan alam, hal ini disebabkan oleh penebangan liar yang tidak terkendali serta tidak adanya usaha pelestarian. Tumbuhan gaharu dimasa yang akan datang perlu dipertahankan dan dilestarikan sebagai tumbuhan asli Indonesia dan dapat dijadikan sebagai sumber devisa bagi negara. Dalam upaya tersebut, penulis mencoba melakukan penelitian dalam rangka mendapatkan metode perbanyakan tanaman gaharu secara vegetatif melalui teknik kultur jaringan tanaman, sekaligus melakukan analisis mengenai variasi genetik yang terjadi selama proses pengkulturan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan bibit gaharu yang berkualitas dalam upaya pengembangan tanaman gaharu dimasa yang akan datang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Supriyanto, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya, sehingga masukan, saran dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Bogor, Mei 2007
Azwin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bantaian, Kabupaten Rokan Hilir Riau, pada
tanggal 05 Maret 1977 dari Ayah Muhammad Said M dan Ibu Zainabun. Penulis
merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara.
Pendidikan dasar penulis jalani di SD Negeri 028 Desa Bantaian lulus
pada tahun 1990, melanjutkan ke SMP Negeri 2 Bagansiapiapi lulus pada tahun
1993, kemudian pada tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bagansiapiapi
dan pada 1997 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Lancang Kuning
Pekanbaru pada Fakultas Pertanian dengan memilih Jurusan Agronomi, lulus pada
tahun 2003. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Institut
Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Jurusan
Budidaya Hutan. Dari tahun 1996 sampai sekarang penulis bekerja sebagai Staf
Biro Akademis Universitas Lancang Kuning Pekanbaru.
Selama mengikuti kuliah S2, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah
Silvikultur Hutan Alam dan Bioteknologi Tanaman Hutan di Fakultas Kehutanan
IPB pada tahun ajaran 2006/2007.
Nama : AZWIN, S.P, M.Si Alamat Rumah : Jln. Umban Sari Atas Gang Geso VI Ujung, RT.03 RW.08
Rumbai Pekanbaru - Riau, 28265. Alamat Surat : Univ. Lancang Kuning Jln. D.I. Pandjaitan Km.8 Rumbai
Pekanbaru - Riau, 28265. Telp. (0761) 53108. E-mail : [email protected]
UCAPAN TERIMA KASIH Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini, namun semua ini tidak terlepas dari bantuan dan motivasi dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, atas izin dan ridho-Nya, penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan pendidikan ini, semoga ilmu ini bermanfaat bagi diri penulis dan orang lain serta dapat menambah ketaqwaan kepada-Nya. Amin.
2. Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Supriyanto selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, masukan, nasehat dan dukungannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik, serta kepada Bapak Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M. For. Sc sebagai Kepala Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, yang telah memberikan keringanan biaya penelitian analisis RAPD semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan keikhlasan Bapak.
3. Bapak Ir. Ervizal A.M. Zuhud selaku Kepala Laboratorium Kultur Jaringan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, terima kasih atas izin penggunaan Laboratoriumnya.
4. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc, selaku Ketua Program Studi IPK yang telah memberikan pelayanan yang baik kepada penulis selama menjalankan pendidikan di PS IPK IPB.
5. Ibu Dr. Syarifah Iis Aisyah, M.Sc. Agr, selaku dosen penguji luar dalam ujian akhir dari tesis ini, terima kasih atas kesediaannya untuk menguji dan berbagi pengalaman.
6. Bapak Dr. Ir. Irwan Effendi, MSc, Rektor Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan S2 di IPB.
7. Pemda Provinsi Riau, yang telah memberikan bantuan dana pendidikan. 8. Yang saya muliakan dan hormati, kedua orang tua saya, Bapak M Said M, dan
Ibu Zainabun, yang selalu berdo’a siang dan malam tanpa pamrih, baik dalam suka maupun duka demi keberhasilan dan kesuksesan anaknya, semoga Allah SWT memberikan kesehatan, kekuatan dan umur panjang kepada mereka. Amin.
9. Keluarga Besar di Kampung: kakak, abang, adek, abang ipar, abang A. Kholid, SH. M.Hum, ponaan dan cucu, terima kasih atas do’a dan dukungannya.
10. Buat teman-teman: Nesa Rosalia, Nur Adnan, Duryat, Pak Khalik, Rum & Erni, Mariyana U, Tedi Y, Pak Julius, Pak La Ode, Pak Sedek, Pak Ajun J, Pak Aah, Pak Melawanto, dan semua teman-teman IPK angkatan 2004 dan 2005 yang telah banyak membantu, baik moril maupun materil. Semoga kebaikan teman-teman mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.
Bogor, Mei 2007
Azwin
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xv
PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................. 4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 6 Hipotesis............................................................................................... 6 Manfaat Penelitian ............................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) ................. 8 Penyebaran dan Tempat Tumbuh ........................................................ 9 Kandungan dan Manfaat Gubal Gaharu............................................... 10 Kultur Jaringan..................................................................................... 11 Zat Pengatur Tumbuh........................................................................... 13 Mutasi Genetik dan Variasi Somaklonal.............................................. 15 Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)................................... 18 BAHAN DAN METODE Sub Penelitian I. Kultur Jaringan ......................................................... 22 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 22 Bahan dan Alat..................................................................................... 22 Metode Penelitian ................................................................................ 23
Sumber Eksplan ................................................................................ 23 Bahan Sterilisasi Eksplan.................................................................. 24 Rancangan Percobaan ....................................................................... 24
Pelaksanaan Penelitian ......................................................................... 25 Persiapan Media Perlakuan ............................................................... 25 Penanaman Eksplan dalam Media Kultur ......................................... 26 Sub Kultur ......................................................................................... 26 Pengamatan dan Pengumpulan Data................................................. 27
Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik...................................... 27 Tempat dan Waktu ............................................................................ 27 Bahan dan Alat Analisis RAPD ........................................................ 27 Ekstraksi DNA .................................................................................. 29 Uji Kualitas DNA.............................................................................. 30 Seleksi Primer ................................................................................... 30 Amplifikasi DNA dengan PCR......................................................... 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Sub Penelitian I. Kultur Jaringan ......................................................... 33 Umum................................................................................................... 33 Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, dan Jumlah Eksplan yang Tumbuh ................................................................................................ 34 Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ Terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif ................................................... 37 1. Jumlah Tunas ................................................................................ 38 2. Panjang Tunas ............................................................................... 42 3. Jumlah Daun ................................................................................. 45 Visualisasi Perkembangan Eksplan ..................................................... 48 Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik...................................... 51 Umum................................................................................................... 51 DNA Pohon Induk Hasil Ekstraksi ...................................................... 53 DNA Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub Kultur II................ 53 Primer Hasil Seleksi............................................................................. 54 DNA Pohon Induk Hasil RAPD .......................................................... 57 DNA Hasil RAPD sebelum hingga Sub Kultur II ............................... 60 Jarak Genetik Pohon Induk, sebelum Kultur, Hasil Kultur, Sub Kultur I dan Sub Kultur II.................................................................... 68 SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 73
LAMPIRAN.................................................................................................. 80
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Sepuluh Primer yang Digunakan untuk Amplifikasi DNA dan Urutan
Basanya ................................................................................................... 30
2. Empat Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR.............. 31
3. Tahapan dalam Proses PCR .................................................................... 32
4. Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, Tidak Tumbuh dan Tumbuh dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar dan Tunas Adventif .......... 34
5. Rekapitulasi Sidik Ragam (Anova) Pengaruh Perlakuan BAP atau TDZ terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif ................. 37
6. Perbedaan Visualisasi Perkembangan Eksplan Sampai 12 MST............ 51
7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu ...... 55
8. Nilai Rata-rata na, ne dan he untuk 6 Sampel Daun Gaharu Pohon Induk 60
9. Perbedaan Nilai Heterozigositas Harapan (he) per Tahapan .................. 63
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Peta Penyebaran Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di Dunia......... 9
2. Peta Penyebaran Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di Indonesia... 10
3. Tahapan-tahapan yang Dilakukan dalam Proses Propagasi Tanaman Melalui Kultur Jaringan........................................................................... 12
4. Skema Proses Perubahan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman ....... 13
5. Respon Fisiologis ZPT Auksin dan Sitokinin terhadap Perkembangan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman ............................................... 15
6. Sel, Kromosom dan DNA Heliks Ganda ................................................. 20
7. Siklus Pembentukan Molekul DNA Baru dalam Proses PCR ................. 21
8. Bahan Tanaman Sebagai Sumber Eksplan............................................... 22
9. Bagan Alur Penelitian Kultur Jaringan dan Analisis RAPD.................... 23
10. Diagram Alir Pengambilan Sampel mulai dari Pohon Induk hingga Sub Kultur II dalam Proses Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu ... 28
11. Alat-Alat yang Digunakan untuk Ekstraksi DNA, Elektroforesis dan Analisis RAPD........................................................................................ 29
12. Pola Terjemahan Pita DNA..................................................................... 32
13. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar........................................................ 38
1. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. .................................................... 39
15. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar........................................................ 43 16. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. .................................................... 43 17. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar........................................................ 46
18. Grafik Pengaruh BAP dan TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun, dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. .................................................... 46
19. Planlet Gaharu Berumur 12 MST pada Media MS................................. 48
20. Persentase Pencokelatan dan Terkontaminasi Eksplan dari Tunas Aksilar dan Adventif yang Ditanam Pada Media MS Mengandung BAP Dan TDZ ........................................................................................ 49
21. Perbedaan Perkembangan Eksplan dalam Botol Kultur ......................... 49
xiii
22. Profil DNA Hasil Ekstraksi Pohon Induk ............................................... 53
23. Profil DNA Gaharu Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub Kultur II 54
24. Profil DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel sebelum Kultur hingga Sub Kultur II..................................................... 55
25. Profil DNA Pohon Induk Hasil RAPD ................................................... 58
26. Dendogram Kemiripan Genetik 6 Sampel dari Populasi Pohon Induk .. 59
27. Populasi Pohon Induk Tanaman Gaharu di Desa Cangkorawok Bogor . 60
28. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-06 .............. 62
29. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-08 .............. 62
30. Dendogram Kemiripan Genetik untuk Setiap Tahapan. ......................... 64
31. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 1 (ak1, ak3, ak5 ak7) sebelum hingga Sub Kultur II ............................................................................... 66
32. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8) sebelum hingga Sub Kultur II ............................................................................... 67
33. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) sebelum hingga Sub Kultur II ............................................................................... 67
34. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8) sebelum hingga Sub Kultur II. .............................................................................. 67
35. Dendogram Kemiripan Genetik Tanaman Gaharu dari Pohon Induk hingga Sub Kultur II ............................................................................... 68
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
1. Komposisi Media MS ............................................................................. 80
2. Tabel Sidik Ragam Hasil-hasil Kultur Jaringan Gaharu......................... 81
3. Matriks Kemiripan Genetik per Tahapan Berdasarkan Pola Pita RAPD 84
4. Matrik Kemiripan Genetik Bibit 1, Bibit 2, Planlet 1 dan Planlet 2, sebelum hingga Sub Kultur II. ................................................................ 86
5. Perubahan Genetik Tanaman Gaharu per Tahapan Menggunakan Primer OPY-06 dan OPY-08 .............................................................................. 87
6. Matriks Kemiripan Genetik Berdasarkan Pola Pita RAPD terhadap 22 Sampel Tanaman Gaharu ........................................................................ 88
xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat
keanekaragaman jenis pohon yang tinggi. Hasil hutan berupa kayu merupakan
komoditas utama yang dihasilkan dari hutan, akibatnya penebangan hutan secara
liar terjadi dimana-mana dengan tidak memperhatikan kerugian dan kerusakan
yang ditimbulkan, terutama merosotnya kualitas lingkungan. Selain kayu, hutan
juga menghasilkan komoditas hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Salah satunya adalah tanaman penghasil gaharu yang
banyak dihasilkan dari genus Aquilaria.
Tumbuhan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan salah satu
jenis tanaman hutan tropis penghasil resin atau produk damar yang bernilai
ekonomi tinggi. Permintaan dunia akan produk gaharu setiap tahunnya mengalami
peningkatan (Sumarna, 2002), namun dibatasi oleh kuota. Kuota untuk Indonesia
pada tahun 2000 untuk jenis A. filaria sebanyak 200 ton dan untuk A. malaccensis
sebanyak 225 ton, tetapi pada tahun 2005 kuota Indonesia anjlok masing-masing
menjadi 125 ton dan 50 ton (Wiguna, 2006).
Memperhatikan permintaan pasar atas komoditas gaharu yang terus
meningkat, maka budidaya gaharu menjadi penting di masa yang akan datang
karena telah masuk Appendix II dalam CITES (Convention on International
Trade of Endangered Species Wild Flora and Fauna) dan dalam rangka
mempersiapkan era perdagangan bebas. Gubal gaharu dengan kualitas super dapat
mencapai harga 10 - 15 juta/kg, kayu gaharu diperdagangkan sebagai komoditas
mewah untuk keperluan industri parfum, kosmetik, dupa/kemenyan, pengawet
berbagai jenis asesoris dan obat-obatan (Sumarna, 2002) serta acara ritual
keagamaan, karena aroma harum yang dihasilkannya (Barden et al. 2000).
Meningkatnya kebutuhan gaharu dari tahun ke tahun dan tingginya harga
jual, menyebabkan intensitas pemungutan liar yang berasal dari hutan alam
semakin tinggi dan tidak terkendali, khususnya terhadap jenis gaharu berkualitas
tinggi. Menurut Sumarna (2002), tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang
ada di Indonesia termasuk spesies tanaman yang mulai langka, hal ini terjadi
2
akibat perburuan liar yang tidak terkendali dan tidak mengindahkan faktor-faktor
kelestariannya. Kurangnya pengetahuan dalam membedakan pohon berisi dan
tidak berisi gaharu mengakibatkan masyarakat pemungut gaharu menebang pohon
secara spekulatif. Apabila pada akhirnya pohon tersebut tidak mengandung gaharu
setelah dikupas dan dicacah, maka pohon tersebut ditinggalkan begitu saja. Cara
perburuan tersebut terus berlangsung sehingga populasi tumbuhan A. malacensis
berada di ambang kelangkaan. Sehingga pada tahun 1994 Convention on
International Trade of Endangered Species Wild Flora and Fauna (CITES) IX di
Florida, mencantumkan tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) dalam Appendix
II karena berstatus sebagai plasma nutfah yang terancam punah (Barden et al.
2000). Menindaklanjuti hal tersebut, Departemen Kehutanan melalui Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) membatasi penjualan gaharu alam
bukan budidaya, di dalam maupun luar negeri.
Agar kesinambungan produksi gaharu berkualitas tinggi ini tetap terbina dan
tidak tergantung pada alam, maka perlu upaya pembudidayaan yang optimal pada
beberapa daerah endemik, yang sesuai dengan metode perbanyakannya yang
dapat dilakukan baik secara konvensional maupun melalui teknik kultur jaringan.
Usaha budidaya ini dilakukan karena secara alami biji gaharu sulit tumbuh dan
berkecambah jika kondisi lingkungan tidak mendukung.
Teknik kultur jaringan memberikan alternatif terhadap usaha perbanyakan
tanaman secara vegetatif pada skala yang lebih besar dalam upaya konservasi dan
pengembangan tanaman gaharu di masa yang akan datang. Beberapa kelebihan
yang diperoleh dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan
diantaranya adalah dapat menghasilkan tanaman yang homogen, berkualitas
tinggi, jumlah yang tidak terbatas, bebas hama dan penyakit, menghasilkan klon
yang lebih unggul, dapat diperbanyak dalam waktu yang relatif singkat, tidak
dibatasi oleh waktu, tetapi membutuhkan keahlian khusus. Selain itu menurut
Yusnita (2003), manfaat utama perbanyakan tanaman secara kultur jaringan
adalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman yang permintaannya tinggi tetapi
pasokan rendah, karena laju perbanyakan secara konvensional dianggap lambat.
Menurut Santoso (2001), perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan
dapat menggunakan bahan tanaman sebagai eksplan seperti: sel tanaman,
3
protoplas, jaringan meristem, kalus, dan organ tanaman. Namun eksplan yang
paling umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan adalah: daun, batang,
akar, biji, tunas, embrio, anther dan kepala sari. Bahan-bahan yang umum
digunakan ini biasanya ada yang ditanam langsung untuk mendapatkan produk
yang diinginkan tetapi ada juga digunakan hanya sebagai bahan kultur awal untuk
mendapatkan organ juvenil (muda), atau kalus yang umumnya relatif bersifat
meristematik dan aseptik.
Perbanyakan vegetatif tanaman gaharu melalui kultur jaringan sudah pernah
dilakukan oleh Situmorang (2000), Astuti (2005), Wardoyo (2004) dan peneliti
lainnya, yang telah berhasil menginduksi tunas gaharu secara in vitro namun hasil
yang diperoleh belum maksimum karena belum didapatkannya media dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) yang optimum. Apabila media dan
konsentrasi ZPT yang digunakan belum tepat maka proses induksi berlangsung
lama dan jumlah tunas yang dihasilkan sedikit. Dengan demikian, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan metode propagasi tanaman
gaharu yang tepat, sehingga memperoleh hasil yang maksimal dalam upaya
pengadaan bibit gaharu yang bermutu.
Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sering terjadi mutasi
gen, sehingga menyebabkan terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal
(Wattimena dan Mattjik, 1991). Terjadinya variasi genetik dapat disebabkan oleh
komposisi zat kimia yang terkandung dalam media kultur, sumber eksplan,
lamanya masa pengkulturan atau lingkungan terkendali yang mengalami
gangguan dan lain sebagainya. Variasi somaklonal merupakan variasi genetik
yang terjadi dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin dan
Sowcroft, 1981 dalam Wattimena dan Mattjik, 1991). Dengan demikian untuk
mendeteksi variasi somaklonal yang terjadi, maka perlu dilakukan evaluasi
stabilitas genetik dengan menggunakan penanda genetik, diantaranya adalah
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).
Penggunaan teknik RAPD untuk mendeteksi variasi somaklonal hasil kultur
in vitro telah banyak dilakukan pada beberapa spesies tanaman monokotil dan
dikotil. Pada umumnya tanaman yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan
secara genetik lebih unggul dibandingkan tanaman induknya jika mengikuti
4
kaidah-kaidah pemuliaan. Khusus pada tanaman gaharu evaluasi stabilitas genetik
hasil kultur in vitro dengan teknik RAPD belum pernah dilakukan. Penelitian ini
dilakukan untuk melihat seberapa besar variasi somaklonal yang terjadi pada
tanaman gaharu hasil kultur in vitro.
Perumusan Masalah
Gaharu adalah pohon yang tumbuh liar di hutan alam. Di Indonesia gaharu
dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi gaharu hingga
saat ini masih diperoleh dari perburuan di hutan alam. Gaharu dikelompokan
dalam komoditas kehutanan golongan hasil hutan bukan kayu. Menurut kebijakan
pemerintah masa lalu, masyarakat diberi kesempatan seluasnya untuk
memproduksi gaharu dengan pengawasan relatif rendah dan nilai jual relatif
tinggi. Hal itu mengakibatkan intensitas perburuan gaharu terjadi dimana-mana
dan tidak terkendali (Sumarna, 2002). Di lain pihak, upaya untuk melakukan
usaha budidaya gaharu secara intensif baik oleh pemerintah maupun pengusaha
hingga saat ini masih relatif sedikit, baik dengan pola monokultur maupun
tumpang sari.
Untuk mengatasi perburuan gaharu yang tidak terkendali, tentunya perlu
dilakukan upaya budidaya dan penyelamatan plasma nutfah, baik secara in situ
maupun ex situ, agar keberadaan gaharu tetap lestari di masa yang akan datang.
Pelestarian secara in vitro adalah suatu cara pelestarian ex situ. Dengan teknik in
vitro atau kultur jaringan, gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang hampir di ambang
kepunahan dapat diselamatkan atau diperbanyak hingga tidak terbatas jumlahnya.
Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan mempunyai banyak
keuntungan. Namun penggunaan teknik kultur jaringan dalam perbanyakan
tanaman kehutanan sedikit mengalami kesulitan dibandingkan tanaman pertanian,
khususnya dalam penyediaan eksplan. Tim (1991), menyatakan tanaman berkayu
seringkali mengeluarkan senyawa fenolik apabila jaringannya diisolasi. Selain itu
kesulitan lain yang sering dialami untuk mengkulturkan pucuk dari tanaman
berkayu adalah sulitnya mendapatkan eksplan yang steril.
Herawan (2004), menyatakan bahwa penggunaan eksplan bahan tanaman
dewasa, relatif lebih sulit dan hasilnya masih belum sebaik bila menggunakan
5
tanaman muda. Hal ini disebabkan karena sulitnya mensterilkan permukaan organ
tanaman dewasa yang sudah terlalu lama berada di tempat terbuka.
Eksplan yang baik adalah kecambah atau tingkat juvenil, karena jaringan
tanaman yang muda, lunak (tidak berkayu) pada umumnya lebih mudah untuk
dibiakkan dari jaringan yang tua dan berkayu (Herawan, 2004). Tim (1991) juga
menyatakan bahwa eksplan yang berasal dari tunas juvenil atau kecambah akan
tumbuh lebih baik dibanding tanaman dewasa. Pada hampir semua tanaman, di
bagian yang juvenil, keadaan sel-selnya masih aktif membelah dan merupakan
bagian tanaman yang paling baik untuk eksplan. Untuk mendapatkan jaringan
yang muda atau juvenil dapat dilakukan pembiakan secara aseptik atau bagian
tanaman yang masih muda yang berasal dari bibit, kecambah atau tunas adventif.
Nasir (2002), menyatakan propagasi tanaman melalui teknik kultur jaringan
tidak selalu sederhana, karena ketidakstabilan genetik atau kromosom dari kultur
sel atau jaringan umumnya terjadi pada banyak spesies. Berbagai perubahan
genetik dapat terjadi selama dalam proses kultur, namun demikian ketidakstabilan
genetik dalam kultur dapat terkendali dan hal tersebut memungkinkan untuk
mendapatkan variasi somaklonal.
Variasi genetik atau variasi somaklonal terjadi karena adanya mutasi gen.
Dalam kultur jaringan variasi somaklonal dapat terjadi disebabkan oleh jenis
eksplan yang digunakan, jenis dan konsentrasi ZPT, subkultur berulang, dan
komposisi zat kimia yang digunakan dalam media. Supriyanto (komunikasi
pribadi, 2006), menyatakan bahwa dalam perbanyakan tanaman melalui teknik
kultur jaringan, kemungkinan terjadinya variasi somaklonal bisa mencapai hingga
40% apabila eksplan yang digunakan adalah meristem pucuk atau tunas aksilar,
sedangkan jika menggunakan eksplan yang berasal dari tunas adventif variasi
somaklonal dapat mencapai hingga 60%, karena sensitifitas tunas adventif sangat
tinggi dan mudah berubah dibanding tunas aksilar.
Kultur in vitro merupakan teknologi potensial untuk meningkatkan
keragaman genetik tanaman gaharu, sehingga dengan adanya keragaman tersebut
maka peluang untuk mendapatkan genotipe atau klon baru yang unggul menjadi
terbuka. Untuk mengetahui perubahan gen atau variasi somaklonal yang terjadi
6
selama proses pengkulturan tanaman gaharu dapat dilakukan analisis dengan
menggunakan teknik RAPD.
Berdasarkan uraian tersebut di atas ada beberapa permasalahan yang ingin
dijawab adalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar instabilitas genetik tanaman gaharu hasil kultur in vitro
2. Apakah pemberian ZPT Benzyl Amino Purine (BAP) atau Thidiazuron (TDZ)
yang optimum akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik pada eksplan
meristem tunas aksilar yang ditanam di rumah kaca atau eksplan meristem
tunas adventif hasil kultur in vitro.
3. Apakah ada atau tidak perbedaan proses induksi tunas gaharu yang berasal
dari meristem tunas aksilar dari rumah kaca dan meristem tunas adventif hasil
kultur in vitro.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas genetik
tanaman gaharu hasil kultur in vitro, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk
menduga perubahan genetik selama proses pengkulturan serta mendapatkan
konsentrasi ZPT BAP atau TDZ yang optimum dalam proses induksi dan
multiplikasi tunas gaharu pada dua sumber eksplan yang diteliti.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Komposisi zat kimia dalam media kultur dapat menyebabkan perubahan
stabilitas genetik tanaman gaharu selama proses pengkulturan.
2. Zat pengatur tumbuh BAP atau TDZ dengan konsentrasi yang optimum
mampu menginduksi tunas gaharu secara in vitro, dan mempunyai
kemampuan induksi tunas yang berbeda pada dua sumber eksplan yang
diteliti.
7
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Dapat dijadikan sebagai bahan informasi bahwa penggunaan BAP dapat
menyebabkan variasi somaklonal pada tingkat konsentrasi tertentu.
2. Dapat menjelaskan tentang metode propagasi tanaman gaharu secara in vitro
yang tepat pada dua sumber eksplan yang berbeda yaitu eksplan tunas aksilar
yang ditanam di rumah kaca dan eksplan tunas adventif hasil kultur in vitro
apabila ZPT yang digunakan adalah BAP atau TDZ.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Gaharu (A. malaccencis Lamk.)
Dalam klasifikasi tumbuhan, gaharu (A. malaccencis Lamk.) termasuk
dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledone, ordo
Thymelaeles, famili Thymeliaceae, genus Aquilaria dan spesies A. malaccensis
Lamk (Ponirin, 1997). Menurut Sumarna (2002) di Indonesia ada 8 genus dan 16
spesies tanaman penghasil gaharu antara lain adalah dari genus Aquilaria sp,
Aetoxylon, Enkleia, Gonystylus sp, Wikstroemia sp, Grynops, Dalbergia dan
Excoccaria. Genus Aquilaria memiliki 6 spesies A. beccariana, A. cumingiana, A.
filaria, A. hirta, A. malaccensis, dan A. microcarpa (Soehartono 1997 dalam
Barden et al. 2000). Di beberapa daerah di Indonesia gaharu dikenal dengan nama
yang berbeda-beda seperti layak, pohon pelanduk, kayu linggu, menameng, dan
terentak. Dalam perdagangan dunia gaharu ini dikenal dengan nama agarwood,
aloewood dan eaglewood (Sumarna, 2002).
Secara morfologi, tinggi pohon gaharu dapat mencapai 40 meter dengan
diameter batang mencapai 60 cm. Kulit batang licin, berwarna putih atau keputih-
putihan, kadang-kadang beralur. Bentuk daunnya lonjong agak memanjang,
dengan ukuran 5 – 8 cm, lebar 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau
mengkilap (Sumarna, 2002). Menurut Ponirin (1997), daun yang kering biasanya
berwarna abu-abu kehijauan, tepi daun agak bergelombang, melengkung dan
kedua permukaannya licin serta mengkilap, tulang daun sekunder 12 – 16 pasang.
Bunga berada di ujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada
dalam polong berbentuk bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm,
dan lebar sekitar 3 cm, biji bulat atau bulat telur yang ditutupi bulu-bulu halus
berwarna kemerahan (Sumarna, 2002).
Produksi gubal gaharu memerlukan pohon gaharu dan mikroba untuk
menginduksi pembentukan senyawa gaharu. Gubal gaharu terbentuk sebagai
reaksi pertahanan pohon terhadap infeksi patogen, melalui pelukaan pada batang,
cabang, atau ranting atau pengaruh fisik lainnya. Infeksi patogen mengakibatkan
keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu. Lama kelamaan jaringan kayu
ini akan mengeras dan berubah warnanya menjadi coklat sampai kehitaman,
9
bagian ini menjadi berat dan berbau wangi (Hou, 1960). Patogen yang biasa
dijumpai menginfeksi pohon gaharu adalah dari jenis mikroorganisme seperti
cendawan. Jenis cendawan yang telah diketahui sebagai pembentuk gaharu ialah
Fusarium sp., Phytium sp., Lasiodiplodia sp., Libertela sp., Trichoderma sp.,
Scytalidium sp., dan Thielaviopsis sp. (Sumarna, 2002).
Penyebaran dan Tempat Tumbuh
Penyebaran gaharu dimulai dari Iran, India, Vietnam, Malaysia, Sumatera,
Kalimantan, Serawak dan Filiphina (Gambar 1 dan 2) (Rimbawanto dan
Pamungkas, 2004). Di Indonesia daerah penyebaran gaharu antara lain terdapat di
kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan
Jawa. Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan
ketinggian 0 – 2400 meter di atas permukaan laut. Umumnya gaharu yang
berkualitas baik tumbuh pada daerah yang beriklim panas dengan suhu 28–34º C,
kelembaban 60 – 80%, dan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun (Sumarna, 2002).
Gambar 1. Peta Penyebaran Gaharu (A. malaccensis Lamk.) di Dunia (Rimbawanto dan Pamungkas, 2004)
10
Gambar 2. Peta Penyebaran Gaharu (A. malaccensis Lamk.) di Indonesia
(Rimbawanto dan Pamungkas, 2004).
Kandungan dan Manfaat Gubal Gaharu
Hasil analisis kimia, gaharu memiliki 6 komponen utama berupa furanoid
sesquiterpene diantaranya ialah a-agarofuran, b-agarofuran, dan agarospirol.
Selain itu gaharu jenis A. malaccensis asal Kalimantan ditemukan komponen
pokok minyak gaharu berupa chromone. Chromone ini menyebabkan bau harum
dari gaharu apabila dibakar. Komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu
berupa sequiterpenoida, eudesmana, dan valencana (Sumarna, 2002).
Pemanfaatan gaharu hingga saat ini masih dalam bentuk bahan baku yaitu
kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Aroma yang
dikeluarkan gaharu sangat populer dan disukai masyarakat Timar Tengah, Saudi
Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan China, Korea, dan Jepang. Menurut
Chakrabarty et al. (1994) gubal gaharu digunakan sebagai dupa, wewangian,
penghilang rasa sakit, asma, reumatik, tonik saat hamil setelah melahirkan.
Menurut Barden et al. (2000), gubal gaharu juga dimanfaatkan sebagai pelengkap
dalam acara ritual keagamaan pada masyarakat khususnya di kawasan Asia dan
Timut Tengah dalam bentuk dupa, hio, atau kemenyan.
Di Cina, gaharu dimanfaatkan untuk pengobatan berbagai macam penyakit
yang menyerang perut, ginjal, dan dada, kemudian untuk kanker, kolik, diare,
cegukan dan tumor (paru-paru). Dalam pengobatan Ayurvedic (India kuno)
gaharu juga digunakan sebagai pengobatan penyakit mental dan pengusir roh jahat
sedangkan di Mesir digunakan untuk meminyaki jenazah (Soehartono dan
Mardiastuti, 2003).
11
Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman
seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan,
1992). Hartmann et al. (1990), menyatakan bahwa teknik ini dapat digunakan
untuk perbanyakan tanaman, perbaikan tanaman, menghasilkan tanaman bebas
virus, produksi metabolit sekunder dan preservasi tanaman. Dasar teknik kultur
jaringan adalah bahwa sel tanaman mempunyai sifat totipotensi yaitu kemampuan
sel untuk tumbuh dan berkembang membentuk tanaman lengkap dalam medium
aseptik yang mengandung unsur hara dan ZPT yang sesuai. Dengan sifat
totipotensi ini, akan menjadi konsep dasar dalam pelaksanaan kultur jaringan,
karena sel, jaringan maupun organ yang digunakan mampu tumbuh dan
berkembang sesuai arahan dan tujuan budidaya in vitro. Umumnya sifat
totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenil, muda,
dan banyak dijumpai pada daerah-daerah meristematik (Santoso dan Nursandi,
2001).
Kondisi totipotensi bahan tanaman antara satu tanaman dengan tanaman
yang lain sangat berbeda, bahkan perbedaan juga mungkin terjadi pada satu
tanaman yang sejenis (Santoso dan Nursandi, 2001). Teori totipontensi ini
dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden pada tahun 1838 dengan melakukan
berbagai penelitian untuk membuktikan teori totipotensi dan mencari kondisi yang
sesuai untuk regenerasi sel menjadi organisme utuh, namun baru berhasil
dibuktikan pada pertengahan abad 1930-an setelah ditemukannya ZPT auksin
yaitu IAA (Indole Asetic Acid) dan NAA (Naftalene Asetic Acid) (Yusnita, 2003).
Hartmann et al. (1997), menyatakan bahwa kultur jaringan merupakan suatu
istilah yang digunakan sebagai prosedur untuk memelihara dan menumbuhkan
jaringan tanaman (kalus, sel, protoplas) dan organ-organ (batang, akar, embrio)
dalam kultur aseptik (in vitro). Suksesnya mikropropagasi sebagian besar
berhubungan dengan aspek-aspek dari tahapan kultur, antara lain dengan cara
memanipulasi dengan memodifikasi media dan kontrol lingkungan. Menurut
12
Hartmann et al. (1997), secara umum ada empat tahap dalam melakukan
mikropropagasi melalui kultur jaringan seperti terlihat pada Gambar 3.
Establishment/Persiapan
Multiplikasi
Pembentukan Akar
Aklimatisasi
Empat Tahap Propagasi In Vitro
Gambar 3. Tahapan-tahapan yang Dilakukan dalam Proses Propagasi Tanaman melalui Kultur Jaringan (Hartmann et al. 1997).
Mikropropagasi melalui kultur jaringan telah menjadi bagian yang sangat
penting bagi propagasi komersial pada banyak tanaman. Keuntungan dari
mikropropagasi sebagai sistem propagasi telah dikemukakan banyak penulis dan
dapat diringkas meliputi: propagasi massal pada klon-klon spesifik, produksi
tanaman bebas pathogen, propagasi klonal dari parental stock untuk produksi
benih hibrida, produksi bibit berkelanjutan, penyelamatan plasma nutfah
(Hartmann et al. 1997), dan dapat menghasilkan tanaman baru yang mempunyai
sifat yang sama dengan induknya (Nugroho dan Sugito, 1996).
Menurut George dan Sherrington (1984), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis yaitu (1) genotip, menyangkut
semua sifat genetik dari tanaman, (2) substrat yaitu semua yang menyangkut
media, komposisi ZPT (3) lingkungan kultur dan (4) eksplan.
Teknik kultur jaringan juga dapat dimanfaatkan untuk mempelajari 4 bidang
pokok (Noerhadi, 1979 dalam Herawan, 2004) yaitu (1) perbanyakan klon-klon
terpilih (unggul) yang dapat dihasilkan dalam waktu pendek dan dalam jumlah
yang besar, (2) melestarikan keragaman sumber daya genetik alami, (3) produksi
bahan alam primer dan sekunder dan (4) perbaikan mutu dan sifat genetik
tumbuhan, termasuk tanaman bebas penyakit.
Eksplan yang digunakan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur
jaringan dapat ditumbuhkan dengan beberapa cara, antara lain dengan
pembentukan kalus, langsung embriogenesis atau somatik embriogenesis. Dari
13
kalus dapat dibentuk kultur suspensi, somatik embriogenesis dan organogenesis
dan seterusnya, seperti terlihat pada Gambar 4.
Eksplan
Kalus
Langsung Organogenesis
Somatik Embriogenesis
Kultur Suspensi
Somatik Embriogenesis
Organogenesis
Protoplas
Gambar 4. Skema Proses Perubahan Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman.
Melalui teknik kultur jaringan dapat pula dilakukan berbagai manipulasi
seperti: (1) manipulasi jumlah kromosom melalui bahan kimia atau
meregenerasikan jaringan tertentu dalam tanaman seperti endosperma yang
mempunyai kromosom 3n, (2) polinasi in vitro dan pertumbuhan embrio yang
secara internal abortif, (3) tanaman haploid dan double haploid yang homogenous,
(4) hibridisasi somatik melalui teknik fusi protoplasma baik intraspesifik maupun
interspesifik, (5) variasi somaklonal dan (6) transfer DNA (Deoxyribo Nucleic
Acid) atau organel sel untuk memperoleh sifat tertentu (Tim, 1991).
Zat Pengatur Tumbuh
Menurut Wattimena (1988), zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa
organik bukan nutrisi yang aktif dalam konsentrasi rendah yang disintesis pada
bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain organ
tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis
dan morfologis. Gunawan (1992) menyatakan bahwa ZPT dalam jumlah sedikit
(< 1 mM) dapat merangsang, menghambat atau mengubah pola pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Menurut Wudianto (2004), hormon ini hanya efektif
pada jumlah tertentu. Konsentrasi yang terlalu tinggi dapat merusak bagian yang
14
terluka. Bentuk kerusakannya berupa pembelahan sel dan kalus yang berlebihan
dan mencegah tumbuhnya tunas dan akar, sedangkan konsentrasi di bawah
optimum menjadi tidak efektif.
Zat pengatur tumbuh pada umumnya digunakan secara kombinasi dalam
kultur jaringan, dengan konsentrasi berbeda untuk tiap jenis tanaman. Penentuan
konsentrasi ZPT disesuaikan dengan tipe organ atau eksplan, metode kultur
jaringan dan tujuan kultur jaringan untuk menginduksi tunas, akar, kalus dan lain-
lain (Wattimena,1988).
Dalam kultur jaringan, dua golongan ZPT yang sangat penting adalah
sitokinin dan auksin. Purwito (2004), menyatakan bahwa auksin berfungsi untuk
induksi perakaran dan kalus dalam bentuk endogen adalah IAA sedangkan
eksogen adalah IAA, NAA, IBA, 2,4-D, Picloram, 2,4,5,-T dan sitokinin
berfungsi sebagai induksi tunas dan kalus dalam bentuk endogen zeatin dan
eksogen BAP/BA, Kinetin, 2-iP, dan Thidiazuron. Menurut Gunawan (1992),
ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan
dan organ. Interaksi dan perimbangan antara ZPT yang diberikan dalam media
dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan
suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level ZPT
endogen sel. Zat pengatur tumbuh endogen ini kemudian merupakan trigerring
factor untuk proses-proses yang tumbuh secara morfogenesis.
Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan kultur. Menurut Gunawan (1992), faktor yang perlu mendapat
perhatian dalam penggunaan ZPT antara lain: jenis ZPT yang digunakan,
konsentrasi ZPT, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur
tertentu. Wattimena dan Mattjik (1991), menyatakan bahwa ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam pemberian ZPT diantaranya ZPT harus sampai ke
dalam jaringan target, ZPT harus cukup lama dalam jaringan target, ZPT yang
diberikan akan berinteraksi dengan fitohormon dan tanaman atau bagian tanaman
yang sehat akan memberikan respon yang baik terhadap ZPT yang diberikan.
Sitokinin dan auksin merupakan ZPT yang ditambahkan dalam medium.
Sitokinin dimaksudkan untuk merangsang pembentukkan pucuk, sedangkan
auksin untuk merangsang pembentukkan akar (Narayanaswamy, 1973).
15
Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman.
Aktivitas yang utama ialah mendorong pembelahan sel dan aktivitas ini yang
menjadi kriteria untuk menggolongkan suatu zat ke dalam sitokinin. Perimbangan
ZPT sitokinin dan auksin dalam proses menentukan arah dan perkembangan suatu
eksplan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Respon Fisiologis ZPT Auksin dan Sitokinin terhadap Perkembangan
Eksplan dalam Kultur Jaringan Tanaman. Dari kiri ke kanan peningkatan Sitokinin, dari atas ke bawah peningkatan Auksin (Sumber: http://www.ncbe.reading.ac.uk/NCBE/PROTOCOLS/planttissue.htm).
Mutasi Genetik dan Variasi Somaklonal
Mutasi adalah perubahan genetik, baik gen tunggal atau sejumlah gen atau
susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian dari pertumbuhan
tanaman. Namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan
pembelahan sel. Bila mutasi terjadi pada sel somatis, maka perubahan hanya
terjadi pada bagian itu dan dapat dilihat pada perkembangan sel dan jaringan ini.
Sedangkan bila terjadi pada sel generatif, maka akan terjadi perubahan
menyeluruh pada tanaman keturunannya, dan dapat pula berakibat pada
perubahan fisiologis dan biokemis. Mutasi yang disebabkan oleh bahan kimia
dapat merubah kemampuan berpasangan rantai DNA sehingga dapat merubah
urutan susunan genetik pada kromosom (Poespodarsono, 1987).
16
Menurut Mattjik (2005), timbulnya variasi genetik dapat terjadi karena
pengaruh alam atau perbuatan manusia. Manusia dapat menimbulkan variasi
genetik suatu komoditi dengan berbagai cara antara lain melalui persilangan,
mutasi, rekayasa genetik dan penggunaan mutagen.
Di dalam kultur jaringan terjadinya variasi genetik karena adanya
penyimpangan mitosis yang dapat mengakibatkan tanaman baru yang dihasilkan
secara genetik tidak sama dengan induknya yang biasa disebut keragaman
somaklonal atau variasi somaklonal. Keragaman somaklonal didefinisikan sebagai
keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan oleh sel somatik tanaman yang
tumbuh secara in vitro. Keragaman yang berhubungan dengan kultur jaringan
dapat disebabkan oleh perubahan jumlah kromosom melalui penggandaan atau
reduksi. Keragaman tersebut dapat berasal dari eksplan yang telah memiliki
kromosom polisomik.
Terdapat dua dasar terjadinya mutasi yaitu mutasi gen, dimana gen
bermutasi dari bentuk dominan ke bentuk resesif dan sebaliknya dan mutasi
kromosom yaitu segmen kromosom atau suatu set kromosom yang berubah.
Perubahan susunan maupun jumlah kromosom ini disebut aberasi. Aberasi dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu (1) aberasi struktur kromosom meliputi dilesi,
duplikasi dan translokasi dan (2) aberasi jumlah kromosom yang terdiri dari
euploid, keragaman dari suatu set kromosom, pada keadaan abnormal dapat
menjadi satu (monoploid atau haploid), dua set (diploid), tiga set (triploid) dan
empat set (tetraploid) (Suzuki et al. 1981 dalam Mattjik, 2005).
Dalam kasus kultur jaringan yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian
ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang melakukan mutasi
akan membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan
induknya, membentuk klon baru yang berbeda dengan induknya. Tanaman baru
ini bukan hasil rekombinan atau segregesi seperti hasil persilangan.
Keragaman genetik dalam kultur jaringan dapat terjadi tergantung pada: (1)
eksplan yang digunakan (sel, protoplas, kalus atau bagian jaringan), (2) jenis dan
ZPT, (3) lamanya fase pertumbuhan, dan (4) komposisi bahan kimia yang
digunakan dalam media (Jacobsen, 1987 dalam Mattjik, 2005).
17
Chawla (2002), menyatakan variasi genetik merupakan komponen yang
esensial bagi program pemuliaan untuk memperbaiki karakteristik dari tanaman.
Kultur jaringan tanaman merupakan salah satu sumber potensial terjadinya variasi
genetik. Variasi yang dihasilkan dengan menggunakan siklus kultur jaringan
dinamakan dengan istilah variasi somaklonal oleh Larkin dan Scowcroft (1981).
Mereka mendefinisikan siklus kultur jaringan adalah suatu proses mengenai
pembentukan (establishment) dan dediferensiasi sel atau organ tanaman pada
kondisi yang telah ditentukan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal
diantaranya adalah (Chawla, 2002):
1. Genotipe; genotipe tanaman dapat mempengaruhi terjadinya frekuensi
regenerasi dan frekuensi somaklon
2. Sumber eksplan; sumber eksplan yang telah mempunyai kromosom mosaik
dan perbanyakan dengan menggunakan batang dapat menghasilkan jumlah
kromosom bervariasi.
3. Lamanya pengkulturan; variasi dapat meningkat dengan ditingkatkannya lama
pengkulturan.
4. Kondisi kultur; telah diketahui bahwa komposisi ZPT dalam media kultur
dapat menyebabkan perubahan frekuensi karyotipik dalam kultur sel. Zat
pengatur tumbuh tersebut adalah 2,4-D, NAA, BAP dan lain-lain yang secara
umum dapat menyebabkan kromosom bervariasi.
Menurut Chawla (2002), yang menjadi dasar terjadinya variasi somaklonal
adalah:
1. Perubahan karyotipe (karyotype changes): perubahan jumlah kromosom pada
berbagai tanaman secara umum berasosiasi dengan menurunnya pembuahan
dan merubah rasio genetik pada progeni tanaman dari penyerbukan sendiri.
2. Perubahan pada struktur kromosom; ini terjadi karena delesi kromosom,
duplikasi, inversi dan penyusunan kembali kromosom yang timbal balik dan
yang tidak timbal balik yang terjadi antara tanaman yang beregenerasi.
3. Mutasi gen tunggal; mutasi gen tunggal biasanya terjadi pada gen yang resesif.
4. Perubahan genetik sitoplasma, persilangan mitotik dan amplifikasi gen dan
perubahan nukleus.
18
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)
Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dimulai oleh
Williams et al. (1990) setelah berhasil mengamplifikasi DNA dan bersifat
polimorfik dengan menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq (Themus
aquaticus) DNA polimerase. Teknik ini sudah banyak digunakan para peneliti di
dunia, karena mempunyai beberapa keuntungan. Menurut Williams et al. (1990),
metode RAPD lebih sederhana, cepat, DNA yang diperlukan sedikit dan tidak
perlu terlalu murni, tidak menggunakan radioisotop maupun DNA probe, cocok
digunakan untuk sampel banyak, dan cukup menggunakan satu primer.
Teknik RAPD didasarkan pada penggunaan primer sekuens nukleotida yang
berubah-ubah untuk mengamplifikasi segmen genomik DNA acak melalui
pemanfaatan PCR (Polymerase Chain Reaction) sehingga menunjukkan
polimorfisme. Primer untuk analisis RAPD mengandung 9-10 basa panjangnya.
Polimorfisme yang teramati dengan menggunakan RAPD diyakini karena adanya
perubahan basa tunggal yang mencegah perpasangan primer dengan sekuens
target, delesi sisi utama, insersi atau delesi yang memodifikasi ukuran DNA.
Keuntungan dari metode ini adalah bahwa set oligonukleotida yang sama dapat
digunakan untuk berbagai spesies atau organisme dan setelah amplifikasi selama
2-4 jam, polimorfisme ini dapat diamati secara langsung dengan agarose normal
gel elektroforesis (Nasir, 2002).
Kary Mullis memperkenalkan PCR pada tahun 1983 dan publikasi PCR
yang pertama muncul pada tahun 1985. Menurut Muladno (2002), PCR
merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada
target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen
dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida
sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara
puluhan sampai ribuan nukleotida. Teknik PCR memerlukan dNTPs yang
mencakup dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP. Teknik RAPD ini juga telah
digunakan untuk pemetaan genom, penanda gen dan penelitian kekerabatan
tanaman. Analisis ini memerlukan sampel yang lebih sedikit dan tidak
memerlukan waktu yang lama, serta pengerjaannya relatif mudah.
19
Dalam analisis RAPD ada empat tahap yang harus dilakukan, yaitu tahap
ekstraksi DNA, tahap pengujian kuantitas DNA, tahap amplipfikasi DNA (PCR)
dan tahap elektroforesis. Ekstraksi DNA pada prinsipnya adalah suatu proses
pengisolasian DNA bahan amplifikasi dengan cara penggerusan dibantu oleh
senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu sehingga didapat DNA yang
terpisah dari kontaminan. Keberhasilan ekstraksi DNA dapat diketahui dengan
pengujian kualitas dan kuantitas DNA. Uji kualitas dan kuantitas DNA dilakukan
secara elektroforesis dengan me’running’ DNA pada bak elektroforesis yang
berisi cairan elektrolit. Pada tahap ini semua bahan yang ada dalam larutan DNA
dapat terpisah sesuai dengan berat molekulnya masing-masing. Apabila pada UV
transilluminator tidak tampak pita DNA, maka kemungkinan besar pengekstrak
tidak berhasil.
Menurut Sambrook (1989), daun yang masih muda dengan berat 0,2-0,3 g
cukup untuk menghasilkan DNA sesuai dengan kebutuhan selama analisis.
Menurut Kimball (1992), sel berkembang dengan cara menggandakan diri dan
memperbesar volume sel. Oleh karena itu semakin muda suatu jaringan daun yang
digunakan akan memberikan peluang yang lebih besar dalam menghasilkan DNA
dalam jumlah besar dari pada daun yang sudah tua.
Kemajuan dalam pemanfaatan sistem biologi modern tidak terlepas dari
prinsip dasar kimia kehidupan. Materi genetik DNA adalah persenyawaan yang
terdiri dari gula, fosfat dan basa yang tersusun secara teratur inilah yang
menentukan perkembangan dan pertumbuhan suatu organisme dan diturunkan
pada generasi berikutnya. Suatu sekuen tertentu dari rantai gula-fosfat-basa ini
disebut gen. Gen mengendalikan suatu sifat secara kimiawi melalui kerja enzim-
enzim.
Melalui teknik tersebut kita dapat melakukan hal-hal seperti menentukan
gen-gen dengan fungsi spesifik, mengisolasi gen yang spesifik tersebut,
memasukkan gen spesifik yang kita inginkan ke dalam DNA organisme lain dan
gen berekspresi memerintahkan sel inangnya untuk membuat bahan sesuai dengan
kodenya (Tim, 1991).
PCR adalah suatu metode in vitro untuk menghasilkan sejumlah fragmen
DNA spesifik dengan panjang dan sekuens yang telah ditentukan dari sejumlah
20
kecil template kompleks. PCR merupakan suatu teknik yang sangat kuat dan
sensitif yang dapat diaplikasi dalam berbagai bidang seperti biologi molekuler,
diagnostik, genetika populasi dan analisis forensik.
PCR didasarkan pada amplifikasi enzimatik fragmen DNA dengan
menggunakan dua oligonukleotida primer yang komplementer dengan ujung 5’
dari kedua untaian sekuens target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer
(primer PCR) untuk memungkinkan DNA template dikopi oleh DNA polimerase.
Untuk mendukung terjadinya annealing primer ini pada template pertama kali
diperlukan untuk memisahkan untaian DNA substrat melalui pemanasan.
Suhu reaksi selanjutnya diturunkan untuk membiarkan terjadinya
perpasangan sekuens dan akhirnya reaksi polimerisasi dilakukan oleh DNA
polimerase untuk membentuk untai komplementer. Proses ini dikenal dengan
siklus PCR (Nasir, 2002). Untuk membentuk rangkaian molekul DNA heliks
ganda (double helix) (Gambar 6), basa nitrogen dari setiap nukleotida dalam satu
rangkaian akan berpasangan dengan basa nitrogen dari setiap rangkaian lainnya
melalui ikatan hidrogen (Muladno, 2002).
Gambar 6. Sel, Kromosom dan DNA Heliks Ganda (Anonim, 2006).
Menurut Muladno (2002), ada 5 komponen utama yang dibutuhkan dalam
reaksi PCR yaitu 1) DNA target, 2) Primer, 3) Enzim Taq DNA polymerase 4)
dNTP dan 5) Larutan penyangga atau bufer. Prinsip proses PCR adalah suatu
siklus berjangka pendek (30-60 detik) dengan tiga perubahan suhu yang berubah
secara cepat, proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Ketiga tahapan suhu
dan fungsinya adalah sebagai berikut :
21
1. Denaturasi (terbentuk rantai tunggal) suhu 95oC.
Pada tahap pertama ini utas ganda molekul DNA terpisah sempurna dan
menghasilkan pita tunggal yang merupakan cetakan bagi primer. Suhu denaturasi
biasanya 940 C selama 30 detik atau 970 C selama 15 detik. Dalam Muladno
(2002) dinyatakan bahwa denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA
mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda lagi) secara cepat, dan ini
mengakibatkan gagalnya proses PCR.
2. Annealing (penempelan primer) suhu berkisar 50 oC -60oC
Temperatur penempelan yang digunakan biasanya 5 oC dibawah Tm,
dimana formula untuk menghitung Tm= 4(G + C) + 2(A + T). Semakin panjang
ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya.
3. Ekstensi (pemanjangan primer) suhu 72 oC
Selama tahap ini, Taq polymerase memulai aktivitasnya memperpanjang
DNA primer dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut
pada suhu 72 oC diperkirakan antara 35 sampai 1000 nukleotida per detik,
tergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam dan molekul DNA (Muladno,
2002).
Gambar 7. Siklus Pembentukan Molekul DNA Baru dalam Proses PCR (Muladno,
2002).
BAHAN DAN METODE
Sub Penelitian I. Kultur Jaringan
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian Kultur Jaringan dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan
Laboratorium Konservasi Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Pebruari sampai dengan Nopember 2006.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit gaharu
berumur 4 bulan yang ditanam di rumah kaca dan planlet gaharu yang berumur 14
minggu hasil kultur in vitro, seperti yang terlihat pada Gambar 8.
BA
Gambar 8. Bahan Tanaman Sebagai Sumber Eksplan. Keterangan: A: Bibit Gaharu di Rumah Kaca, dan B: Planlet Gaharu dalam Tabung Kultur.
Media dasar yang digunakan adalah Media MS (Murashige & Skoog, 1962)
(Lampiran 1), sedangkan ZPT yang digunakan adalah BAP dan TDZ berbentuk
bubuk.
Alat-alat yang digunakan dalam kultur jaringan gaharu yaitu pinset, gunting,
scalpel, mikroskop binokuler dengan lampu, petridish, kertas tissue, laminar air
flow cabinet, kamera digital dan alat-alat tulis.
23
Metode Penelitian
Sumber Eksplan
Sumber eksplan tunas aksilar diperoleh dari bibit gaharu berumur 4 bulan
yang ditanam di rumah kaca Laboratorium Konservasi Sumberdaya Hutan
Fakultas Kehutanan IPB sedangkan sumber eksplan tunas adventif adalah planlet
gaharu yang diperoleh dari Laboratorium Kultur Jaringan Konservasi Sumberdaya
Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bagian yang digunakan untuk perbanyakan dari
kedua sumber eksplan adalah jaringan meristem dengan 1 primordia daun. Bagan
alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.
Pohon Induk
Sumber Eksplan (Tunas Aksilar)
Sterilisasi
Pengambilan Bagian Meristem
Induksi Tunas Pada Media Perlakuan
Planlet
Sumber Eksplan (Planlet)
Eksplan dipotong Ukuran Lebih Kecil
Sub Kultur 1
Analisis RAPD
Sub Kultur 2
Analisis RAPD (Genetic Background)
Evaluasi Stabilitas Genetik
Gambar 9. Bagan Alur Penelitian Kultur Jaringan dan Analisis RAPD untuk Evaluasi Stabilitas Genetik
24
Bahan Sterilisasi Eksplan
Bahan sterilisasi eksplan yang digunakan meliputi: detergen, HgCl2 0,01%,
NaOCl, Alkohol 70%, dan Betadine.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan perlakuan konsentrasi BAP (kontrol; 0,50 ppm; 0,75 ppm; 1,0
ppm) atau TDZ (kontrol; 0,25 ppm; 0,50 ppm; 0,75 ppm), dengan ulangan 3 unit,
setiap unit terdiri dari 4 botol, setiap botol ditanam satu eksplan yang berasal dari
tunas aksilar atau tunas adventif. Penelitian ini terdiri dari 4 percobaan secara
terpisah yang disusun seperti di bawah ini.
Percobaan I:
Konsentrasi BAP : (B0) = Kontrol (B1) = 0,50 ppm
(B2) = 0,75 ppm (B3) = 1,0 ppm Eksplan yang digunakan adalah tunas aksilar
Percobaan II:
Konsentrasi BAP : (B0) = Kontrol (B1) = 0,50 ppm (B2) = 0,75 ppm (B3) = 1,0 ppm
Eksplan yang digunakan adalah tunas adventif
Percobaan III:
Konsentrasi TDZ : (T0) = Kontrol (T1) = 0,25 ppm
(T2) = 0,50 ppm (T3) = 0,75 ppm Eksplan yang digunakan adalah tunas aksilar
Percobaan IV:
Konsentrasi TDZ : (T0) = Kontrol (T1) = 0,25 ppm
(T2) = 0,50 ppm (T3) = 0,75 ppm Eksplan yang digunakan adalah tunas adventif
Setiap perlakuan diulang tiga kali, setiap ulangan terdiri dari 4 botol, setiap
botol ditanam satu eksplan.
25
Model linier aditif dari rancangan tersebut adalah (Mattjik dan Sumertajaya,
2002):
Yij = µ + αi + εij
i = 1, 2, ....t (ZPT)
j = 1, 2......r (ulangan)
Keterangan:
Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum
αi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Pengaruh galat dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi BAP atau TDZ terhadap
pertumbuhan kultur dilakukan uji sidik ragam. Apabila F hitung > F tabel, maka
percobaan berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Hasil sidik ragam yang
memberikan pengaruh nyata dilakukan uji lanjut wilayah berganda Duncan untuk
mengetahui pengaruh terbaik konsentrasi ZPT terhadap masing-masing jenis
meristem dalam proses induksi dan multiplikasi tunas gaharu. Pengolahan data
menggunakan program SPSS 13.0 for Windows.
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Media Perlakuan
Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Media MS
(Murashige & Skoog, 1962) yang ditambah dengan ZPT BAP atau TDZ yang
telah ditetapkan sebagai perlakuan. Media perlakuan ditetapkan pHnya 5,8 dengan
menggunakan beberapa tetes NaOH atau HCl. Selanjutnya ke dalam media
ditambah bahan pemadat berupa agar sebanyak 7 g/l dan glukosa (gula) 30 g/l,
lalu dipanaskan sampai mendidih, setelah mendidih dituang dalam botol kultur
sebanyak lebih kurang 15 ml/botol. Kemudian media disterilisasi dengan
menggunakan autoklaf dengan temperatur 1210C dan tekanan 21 psi (1,5 bar)
selama 30 menit. Setelah media disterilisasi kemudian didinginkan selama satu
minggu sekaligus untuk menyeleksi media yang terkontaminasi. Media yang tidak
terkontaminasi siap ditanam.
26
Penanaman Eksplan ke Dalam Media Kultur
Penanaman eksplan yang berasal dari meristem tunas aksilar dilakukan
dengan cara memotong pucuk atau tunas aksilar bibit gaharu sepanjang 3 cm
menggunakan gunting, daun-daun yang menempel dibuang, kemudian dilakukan
sterilisasi dengan detergen cair selama 15 menit, dicuci dengan air mengalir
sampai detergen benar-benar bersih, kemudian direndam dalam HgCl2 0,01 %
selama 7 menit, NaOCl 10%, 7,5% dan 5% masing-masing 15-20 menit kemudian
dibilas tiga kali dengan aquades steril, direndam dalam larutan Betadine 2 ml/100
ml selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pengambilan bagian meristem di
bawah mikroskop binokuler dengan cara meletakkan pucuk gaharu di dalam
cawan petri yang berisi air akuades steril. Bagian meristem yang diambil terdiri
dari satu primordia daun kemudian dimasukan ke dalam media kultur sesuai
dengan perlakuan yang telah ditetapkan.
Untuk penanaman eksplan yang berasal dari meristem tunas adventif tidak
dilakukan proses sterilisasi karena sudah dalam kondisi aseptik, tetapi
pengambilan bagian meristem dilakukan di dalam cawan petri yang berisi larutan
betadine. Proses pengambilan bagian meristem dilakukan sama dengan proses
pengambilan bagian meristem tunas aksilar yang berasal dari rumah kaca yaitu
terdiri dari satu primordia daun. Bagian meristem yang diambil dimasukan ke
dalam media kultur yang sudah ditetapkan sebagai perlakuan. Semua kultur di
inkubasi pada suhu 25 ± 20C dan diletakan pada rak kultur kemudian ditutup
dengan kertas koran, setelah lima hari kertas koran dibuka dan diberi cahaya
lampu neon 40 watt pada photoperiode 16 jam terang dan 8 jam gelap.
Sub Kultur
Sub kultur tunas gaharu dilakukan sebanyak 2 kali dengan menggunakan
media dasar MS tanpa penambahan ZPT. Sub kultur ini dilakukan untuk
mendapatkan sampel daun yang akan digunakan untuk analisis stabilitas genetik
tanaman gaharu guna melihat ada tidaknya perubahan struktur genetik yang
terjadi selama proses pengkulturan.
27
Pengamatan dan Pengumpulan Data
Pengamatan dilakukan sejak hari pertama penanaman eksplan ke dalam
media kultur, parameter yang diamati meliputi: Persentase pencokelatan
(browning), persentase terkontaminasi dan visualisasi perkembangan eksplan,
sedangkan pengamatan paramater jumlah tunas per eksplan, tinggi tunas per
eksplan, dan jumlah daun per eksplan, dimulai pada minggu kedua setelah tanam.
Pengamatan dilakukan pada kedua jenis sumber eksplan tersebut selama 12
minggu.
Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik
Tempat dan Waktu
Penelitian analisis RAPD dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan
Nopember 2006 sampai Januari 2007.
Bahan dan Alat Analisis RAPD
Bahan tanaman yang digunakan untuk evaluasi stabilitas genetik adalah
sampel daun yang berjumlah sebanyak 22 sampel yang terdiri dari 6 sampel yang
berasal dari pohon induk, 4 sampel dari sebelum dikultur (2 sampel dari bibit dan
2 sampel dari planlet), 4 sampel hasil kultur, 4 sampel subkultur I dan 4 sampel
subkultur II. Sampel diambil dari dua sumber eksplan yang diteliti yang diberi
perlakukan BAP 0,5 ppm dan 1,0 ppm. Semua bahan tanaman tersebut berasal
dari kebun induk yang ada di Desa Cangkorawok Bogor. Diagram alir
pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 10. Bahan kimia yang digunakan
adalah Buffer TE, PVP (polyvinylpyrrolidone) 2%, agarose, ethidium bromida
(ETBR), buffer ekstrak CTAB, Cloroform IAA, phenol, propanol, NaCl , etanol
100%, Taq Polymerase dan Primer.
Alat-alat yang digunakan untuk ekstraksi DNA, elektroforesis dan analisis
RAPD antara lain: tube, gelas piala, gelas ukur, sarung tangan, UV
transiluminator, kamera digital dan alat tulis serta alat-alat yang terlihat pada
Gambar 11.
28
Analisis RAPD untuk Evaluasi Stabilitas Genetik
Pohon Induk (n=6)
Bibit (Bulk Seedling)
Tunas Aksilar
Sub Kultur II (n=2) Sub Kultur II (n=2) (D)
Tunas Adventif
Hasil Kultur (n=2) Hasil Kultur (n=2)
Sub Kultur I (n=2) Sub Kultur I (n=2)
Jaringan Meristematik Dikulturkan
Bibit 1 Perlakuan BAP 0,5 ppm
(n=1)
Bibit 2 Perlakuan BAP 1,0 ppm
(n=1)
Planlet 1 Perlakuan BAP 0,5 ppm
(n=1)
Planlet 2 Perlakuan BAP 1,0 ppm
(n=1)
(C)
(A)
(B)
Gambar 10. Diagram Alir Pengambilan Sampel mulai dari Pohon Induk hingga Sub Kultur II, dalam Proses Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu.
Keterangan: Garis Putus-putus Menunjukkan Pemisahan Tahapan, A: Tahap sebelum Kultur, B: Hasil Kultur, C: Sub Kultur I, D: Sub Kultur II dan n: Jumlah Sampel.
29
B C
D E F
G H
A
I
Gambar 11. Alat-alat yang Digunakan untuk Ekstraksi DNA, Elektroforesis dan Analisis RAPD.
Keterangan: A: Mortar dan Pestel, B: Hotplate Stirer dan Neraca Analitik, C: Vortex dan Peltier Thermal Cycler, D: Alat Elektroforesis, E: Tips dan Mikropipet, F: Mikrowave, G: Freezer, H: Desikator dan Sentrifugasi dan I: Waterbath.
Ekstraksi DNA
Potongan daun gaharu berukuran 2 x 2 cm digerus dalam pestel dengan
menambahkan Buffer pengekstrak CTAB sebanyak 500 µl dan 100 µl PVP 2%,
kemudian dimasukan ke dalam tube, divortex lalu diinkubasi dalam waterbath
pada suhu 650C selama 60 menit, selama inkubasi setiap 15 menit diangkat dan
dikocok. Selanjutnya sampel didinginkan pada suhu ruang selama 15 menit dan
dicuci dengan menambahkan 500 µl Cloroform IAA dan phenol 10 µl. Campuran
digoyang perlahan-lahan dan disentrifugasi pada 13000 rpm selama 2 menit.
Setelah disentrifugasi supernatan (cairan bagian atas) diambil dan dipindahkan ke
tube baru dengan menambahkan lagi 500 µl Cloroform IAA dan phenol 10 µl,
dikocok dan disentrifugasi kembali pada 13000 rpm selama 2 menit. Ambil
supernatan dan dimasukan ke tube baru, lalu ditambah 500 µl isopropanol dingin
30
dan NaCl 300 µl, kocok. Simpan dalam freezer selama 60 menit. Selanjutnya
sentrifugasi kembali selama 2 menit dan cairan dibuang sehingga yang tertinggal
dalam tube adalah pellet DNA. Ditambah etanol 100% sebanyak 300 µl,
sentrifugasi kembali dan cairan dibuang lalu dikeringanginkan dalam desikator
selama 15 menit.
Uji Kualitas DNA
Selama proses pengeringan pellet DNA, disiapkan agarose 1% (0,33 gram
agarose dalam 33 ml TAE). Untuk proses elektroforesis, ditambahkan TE 20 µl
pada pellet DNA lalu sentrifugasi, diambil 3 µl DNA ditambahkan 2 µl BJ (Blue
Juice) 10 X dan running/elektroforesis pada tegangan 100 volt selama ± 30 menit.
Hasil elektroforesis kemudian direndam dalam larutan etidium bromide (ETBR)
10 µl per 200 ml aquades selama 3 - 5 menit dan selanjutnya dilihat pada UV
transiluminator.
Seleksi Primer
Sebelum dilakukan proses PCR terhadap DNA gaharu, terlebih dahulu
diseleksi primer yang cocok untuk proses amplifikasi, karena belum ada penelitian
sebelumnya yang telah mendapatkan primer yang dapat mengamplifikasi DNA
gaharu. Dalam penelitian ini ada 10 primer yang dipilih secara random, yaitu
primer dari golongan OPO dan OPY yang diproduksi oleh Operon Technology.
Sepuluh primer yang digunakan disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Sepuluh Primer yang Digunakan untuk Amplifikasi DNA dan Urutan
Basanya. No. Primer Urutan Basa No. Primer Urutan Basa 1. OPO-06 5’CCACGGGAAG’3 1. OPY-02 5’CATCGCCGCA’3 2. OPO-09 5’TCCCACGCAA’3 2. OPY-06 5’AAGGCTCACC’3 3. OPO-10 5’TCAGAGCGCC’3 3. OPY-08 5’AGGCAGAGCA’34. OPO-14 5’AGCATGGCTC’3 4. OPY-09 5’GTGACCGAGT’3 5. OPO-18 5’CTCGCTATCC’3 5. OPY-11 5’AGACGATGGG’3
DNA hasil ekstraksi diambil masing-masing 2 µl dicampur menjadi satu
kemudian diencerkan dengan 49 µl aquabides. Ambil komponen campuran untuk
reaksi PCR ( Master taq 7 µl, Nuclease-free water 2,5 µl, DNA mix masing-
31
masing 2 µl, dan Primer masing-masing 1,5 µl) disentrifugasi selama 5-10 detik.
Kemudian dimasukan ke mesin PCR, atur suhu dan tahapan reaksi seperti yang
disajikan dalam Tabel 3. Total siklus sebanyak 37.
DNA hasil PCR kemudian dielektroforesis dengan menggunakan agarose
2% (0,30 g agarose, 15 ml TAE) pada tegangan 90 volt selama 30 menit,
selanjutnya dilihat pada UV transiluminator. Primer yang menghasilkan pita atau
jumlah amplifikasi yang terbanyak selanjutnya digunakan untuk amplifikasi DNA
dari 16 sampel yang diuji.
Amplifikasi DNA dengan PCR
Sebelum melakukan amplifikasi PCR, DNA hasil ekstraksi diencerkan
dengan aquabides. Perbandingan antara DNA dan aquabides tergantung dari
resolusi pita DNA genomik dari hasil ekstraksi (misalnya pengenceran 90x artinya
89 µl aquabides dan 1 µl DNA hasil ekstraksi. Selanjutnya dari hasil seleksi
primer, dipilih 2 primer yang digunakan untuk proses amplifikasi DNA.
Empat komponen yang digunakan dalam proses amplifikasi DNA dengan
PCR adalah Green Go Taq (sampel dari bibit dan sampel dari planlet sebelum
hingga sub kultur II) dan HotStar Mix (sampel dari pohon induk) (Tabel 2). Empat
komponen yang telah dicampur disentrifugasi selama 5 menit kemudian
dimasukan ke dalam mesin PCR, diatur suhu PCR sesuai dengan tahapan dan
siklus reaksi seperti yang terdapat dalam Tabel 3.
Tabel 2. Empat Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR.
No. Nama Bahan 1 Sampel Reaksi X Sampel Reaksi 1. H2O 2 µl X x 2 µl 2. Green Go Taq / HotStar Mix 7,5 µl X x 7,5 µl 3. Primer 1,5 µl X x 1,5 µl 4. Cetakan DNA 2 µl X x 2 µl
32
Tabel 3. Tahapan dalam Proses PCR
Tahapan Suhu (0C) Waktu (menit) Jumlah Siklus Pre-denaturation 95 10 1 Denaturation Annealing Extension
95 37 72
1 3 2
35
Final Extension 72 10 1
DNA hasil PCR di elektroforesis dengan menggunakan konsentrasi agarose
2% (0,66 gram agarose dan 33 ml TAE) , di-running pada tegangan 90 volt
selama 45 menit. Kemudian direndam dalam larutan etidium bromide 10 µl per
200 ml aquades selama 3 - 5 menit. Visualisasi fragmen DNA dilakukan pada UV
transiluminator. Seragam tidaknya DNA diamati dari pita yang dihasilkan. Pita
DNA diterjemahkan dalam data biner berdasarkan ada tidaknya pita, dengan
ketentuan nilai 0 (nol) untuk tidak ada pita, dan nilai 1 (satu) untuk adanya pita
pada suatu posisi yang sama dari setiap individu yang dibandingkan. Cara
pemberian nilai dapat dilihat pada Gambar 12.
No A B C D E 1 2 3 4 5 6 7
No A B C D E
1 1 0 1 1 0 2 1 0 0 1 1 3 1 1 0 0 0 4 1 0 1 0 0 5 0 1 1 1 0 6 1 0 1 0 1 7 1 1 0 1 0
Diterjemahkan menjadi
Gambar 12. Pola Terjemahan Pita DNA
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan software Popgene versi
1.31, dan kesamaan antar genotipe ditentukan menurut Nei & Li (1979).
Pengelompokan data matriks dan pembuatan dendogram dilakukan dengan
metode Unweighted Pair Group Method With Arithmetic (UPGMA), fungsi
Similarity Qualitative (SIMQUAL) menggunakan program komputer NTSYSpc
versi 2. (Rohlf, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sub Penelitian I. Kultur Jaringan
Umum
Kultur jaringan tanaman terdiri dari sejumlah teknik untuk menumbuhkan
organ, jaringan dan sel tanaman secara in vitro sehingga mampu tumbuh menjadi
tanaman utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur
jaringan tanaman antara lain bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber
eksplan, metode sterilisasi yang digunakan, lingkungan kerja, alat dan bahan
kimia yang digunakan serta proses penanaman yang dilakukan.
Pada penelitian ini digunakan dua jenis bahan tanaman sebagai sumber
eksplan yaitu bahan tanaman berupa bibit gaharu berumur 4 bulan yang tumbuh
di rumah kaca dan bahan tanaman yang tumbuh dalam botol berupa planlet
berumur 14 minggu. Secara umum penggunaan bahan tanaman berupa bibit dari
rumah kaca berbeda dengan bahan tanaman berupa planlet yang masih hidup di
dalam botol (hasil kultur In vitro) dalam proses induksi, multiplikasi dan keragaan
planlet yang dihasilkan. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih mudah
untuk diperbanyak dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar. Hal ini
terlihat dari jumlah eksplan yang tumbuh, eksplan yang terkontaminasi dan waktu
munculnya tunas pertama. Kedua sumber eksplan tersebut memiliki tingkat
meristematik sel yang berbeda. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih
juvenil dan sel-selnya lebih bersifat meristematik dibanding eksplan yang berasal
dari tunas aksilar, sehingga secara umum proses perkembangan dan induksi tunas
dari eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih cepat dibanding eksplan yang
berasal dari tunas aksilar. Pierik (1987), menyatakan bahwa keberhasilan inisiasi
dan morfogenesis dari suatu eksplan dalam kultur in vitro sangat ditentukan oleh
genotipe, umur tanaman, umur jaringan/organ, fisiologi tanaman, kesehatan
tanaman, kondisi pertumbuhan letak eksplan dari tanaman (topofisis), ukuran
eksplan, perlukaan, metode inokulasi, perawatan eksplan dan persiapan atau
perlakuan terhadap tanaman induk.
34
Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi dan Jumlah Eksplan yang Tumbuh
Dalam penelitian ini, eksplan yang berasal dari tunas aksilar berjumlah 84
eksplan dan yang berasal dari tunas adventif berjumlah 84 eksplan, setiap botol
ditanam 1 eksplan, total keseluruhannya sebanyak 168 eksplan atau botol. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari rumah kaca yaitu
tunas aksilar persentase tumbuhnya lebih rendah yaitu 58,33% dibanding eksplan
yang berasal dari tunas adventif yaitu 77,38%. Total eksplan yang tumbuh adalah
sebanyak 144 eksplan atau 67.86%. Perbandingan eksplan yang mengalami
pencokelatan, terkontaminasi, tidak tumbuh, dan tumbuh disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, Tidak Tumbuh dan Tumbuh
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar dan Tunas Adventif Parameter Eksplan Aksilar (n=84) Eksplan Adventif (n=84) Pencokelatan Terkontaminasi Tidak tumbuh Tumbuh
6 (7,14%) 18 (21.42%) 11 (13.09%) 49 (58.33%)
0 (0%) 11 (13.09%) 8 (9.52%) 65 (77.38%)
Tabel 4 menunjukkan bahwa pencokelatan hanya terjadi pada eksplan yang
berasal dari tunas aksilar yaitu sebanyak 7,14%, sedangkan eksplan yang berasal
dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan. Terjadinya pencokelatan pada
eksplan yang berasal dari tunas aksilar disebabkan oleh senyawa fenolik yang
terkandung di dalam eksplan. Hal ini merupakan salah satu kendala kultur
jaringan pada tanaman berkayu. Eksplan yang digunakan jika mengalami
pencokelatan akan dapat menyebabkan kematian eksplan. Untuk meminimalisir
terjadinya pencokelatan perlu dilakukan berbagai perlakuan seperti memberikan
antioksidan baik pada media maupun pada eksplan prakultur, dengan harapan
eksplan yang ditanaman dapat tumbuh dengan baik.
Selain menggunakan antioksidan, ukuran dan umur eksplan juga sangat
mempengaruhi terjadinya pencokelatan. Pada tanaman berkayu umumnya
semakin besar ukuran atau semakin tua umur ekplan yang digunakan maka
terjadinya pencokelatan semakin tinggi karena senyawa fenolik yang terdapat di
dalam eksplan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil ukuran atau umur
eksplan yang digunakan maka persentase pencokelatan semakin rendah. Dalam
35
hal ini lebih dianjurkan menggunakan eksplan yang berasal dari jaringan yang
bersifat meristematik. Eksplan yang sehat dan segar dapat dipindahkan dari media
lama ke media baru. Pada penelitian ini penulis tidak menggunakan antioksidan
tetapi eksplan diinkubasi pada ruangan gelap selama satu minggu dengan tujuan
untuk mengurangi terjadinya pencokelatan.
Yusnita (2003), menyatakan bahwa masalah yang sering dihadapi dalam
kultur jaringan tanaman berkayu adalah terjadinya pencokelatan atau penghitaman
bagian eksplan. Pada waktu jaringan terkena stres mekanik, seperti pelukaan pada
waktu proses isolasi eksplan, proses sterilisasi, metabolisme senyawa berfenol
pada eksplan sering terangsang. Senyawa berfenol ini sering bersifat toksik,
menghambat pertumbuhan, bahkan dapat mematikan jaringan eksplan. George
dan Sherrington (1984), menyarankan beberapa tindakan untuk mengatasi
terjadinya pencokelatan yaitu dengan menggunakan arang aktif atau PVP,
merendam dengan asam sitrat atau asam askorbat, menggunakan pengkelat seperti
EDTA, perlakuan pH rendah dan inkubasi dalam ruang gelap.
Pada eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan
hal ini diduga karena eksplan masih relatif muda, bersifat heterotrof sehingga
senyawa fenolik yang terkandung di dalam eksplan relatif rendah. Pencokelatan
pada eksplan biasanya terjadi pada pangkal eksplan dan diikuti dengan pelepasan
zat phenolik ke dalam media tumbuh.
Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah eksplan yang terkontaminasi adalah
sebanyak 21,42% dari tunas aksilar dan 13,09% dari tunas adventif. Secara umum
sterilisasi berhasil dengan baik, karena dari 168 botol yang ditanam hanya 29
botol yang terkontaminasi (17,26%). Tingginya jumlah terkontaminasi pada
eksplan tunas aksilar ini diduga eksplan yang berasal dari rumah kaca banyak
membawa mikroorganisme sumber kontaminan. Meskipun sudah dilakukan
sterilisasi dengan baik, namun mikroorganisme masih sering terbawa oleh eksplan
(mikroorganisme endophytic).
Hutchinson et al. (1995), menyatakan bahwa tanaman yang berasal dari
lapangan memiliki mikroflora yang dapat mematikan eksplan sebelum kultur
berkembang. Kesalahan dan tidak berhasilnya sterilisasi dapat menyebabkan
eksplan 100% terkontaminasi. Salah satu cara untuk mengurangi kontaminasi
36
adalah dengan menumbuhkan tanaman di rumah kaca, perlakuan tanaman dengan
fungisida dan insektisida sebelum dikultur. Ditambahkan juga bahwa lamanya
waktu yang digunakan dalam proses sterilisasi tergantung dari jenis bahan
tanaman yang digunakan dan konsentrasi bahan kimia. Bahan tanaman yang
sukulen membutuhkan waktu yang lebih singkat dibanding bahan tanaman seperti
batang, pucuk, dan biji. Sebaiknya konsentrasi bahan kimia yang digunakan
memiliki konsentrasi yang rendah, sehingga waktu sterilisasinya dibuat lebih
lama.
Berdasarkan dari pengamatan yang dilakukan ada beberapa penyebab
terjadinya kontaminasi pada media kultur jaringan yaitu 1). Sterilisasi eksplan
yang kurang tepat sehingga eksplan belum benar-benar steril, 2). Sterilisasi media
kultur yang belum tepat, ini ditandai dengan masih adanya media yang
terkontaminasi meskipun tidak dilakukan inokulasi, 3). Proses inokulasi, dimana
sering terjadi kontaminasi saat memasukan eksplan ke dalam media kultur, yang
perlu diperhatikan adalah usahakan eksplan yang sudah disteril sesedikit mungkin
menyentuh benda lain, 4). Saat membuka dan menutup botol, sebaiknya jangan
menghadap hembusan udara laminar atau menghadap inokulan, jika menghadap
laminar ini dikuatirkan masuknya partikel debu yang terbawa oleh hembusan
udara laminar yang masuk ke dalam media kultur.
Selain terjadinya pencokelatan dan terkontaminasi, total dari eksplan yang
diinokulasi terdapat 19 eksplan yang tidak tumbuh atau tidak mengalami
organogenesis tetapi masih hidup dan berwarna kuning kehijauan yang
menyerupai kalus. Apabila kalus ini dibiarkan terus berkembang maka akan
terbetuk tunas-tunas baru.
Tingginya jumlah eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar diduga karena eksplan yang digunakan secara fisiologis tidak
seragam, sehingga kemampuan eksplan untuk berkembang sangat bervariasi.
Kemungkinan lainnya adalah eksplan membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan tempat tumbuh yang baru. Pada
eksplan yang berasal dari tunas aksilar terjadi perubahan lingkungan tanaman
yaitu dari lingkungan autotrof menjadi heterotrof, dari lingkungan alam menjadi
lingkungan yang terkontrol, sehingga membutuhkan waktu untuk beradaptasi,
37
sedangkan eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak membutuh waktu yang
lama untuk beradaptasi pada media baru. Selanjutnya, eksplan yang berasal dari
tunas adventif lebih bersifat meristematik dibanding yang berasal dari tunas
aksilar, sehingga faktor lingkungan, keadaan sel dan perlakuan ZPT di dalam
media kultur sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Selain itu, faktor lain
yang menyebabkan tingginya jumlah eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan
yang berasal dari tunas aksilar adalah bahan sterilisi yang digunakan yaitu HgCl2
yang memiliki sifat toksik, dan tidak stabil apabila digunakan dalam waktu yang
lama selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian pada
eksplan (Hendaroyono dan Wijayanti, 1994). Sebaliknya, sodium hipoklorida
(NaOCl) yang bersifat kurang toksik, mengandung unsur Na dan Cl, sejenis
logam organik yang lebih stabil, dapat membunuh jamur dan spora-sporanya,
sedangkan ion klor berfungsi untuk menurunkan oksidasi fenol. Penggunaan
kedua bahan sterilisasi tersebut diduga sebagai salah satu penyebab kematian,
kontaminasi dan banyaknya eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar.
Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ Terhadap Pertumbuhan
Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif
Hasil pengamatan terhadap dua sumber eksplan yang ditanam pada media
yang diberi perlakuan ZPT BAP atau TDZ menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata pada taraf uji 0,01 DMRT. Rekapitulasi hasil sidik ragam tersebut disajikan
pada Tabel 5 dan Lampiran 2.
Tabel 5. Rekapitulasi Sidik Ragam (Anova) Pengaruh Perlakuan BAP atau TDZ
terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif.
Eksplan Jumlah Tunas Panjang Tunas Jumlah Daun Tunas Aksilar 0,000** 0,000** 0,000** Tunas Adventif 0,000** 0,000** 0,000**
** Berbeda sangat nyata pada 0,01 DMRT.
Tabel 5 menunjukkan bahwa media yang diberi perlakuan ZPT BAP atau
TDZ memberikan pengaruh yang sangat nyata (DMRT 0,01) terhadap semua
parameter yang diamati yaitu Jumlah Tunas, Panjang Tunas dan Jumlah Daun,
baik pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif.
38
1. Jumlah Tunas
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas
aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan
penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas
yang dihasilkan selama 12 MST (Lampiran 2). Rata-rata jumlah tunas kumulatif
akibat pengaruh pemberian BAP atau TDZ pada eksplan yang berasal dari tunas
aksilar dan adventif dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.
Hasil pengamatan terhadap jumlah tunas planlet gaharu selama 12 MST
menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan
BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm memberikan respons yang terbaik dan
optimum terhadap proses induksi tunas dan menghasilkan rata-rata jumlah tunas
tertinggi yaitu sebanyak 5,67 dan 5,28 tunas (Gambar 13).
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, eksplan yang berasal dari tunas aksilar
yang ditanam pada media dengan perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda nyata
dengan perlakuan BAP 0,75 ppm tetapi berbeda nyata dengan perlakuan BAP 1,0
ppm dan kontrol dalam menghasilkan jumlah tunas (Gambar 13). Pada media
yang diberi perlakuan TDZ menunjukkan bahwa perlakuan TDZ 0,25 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol
(Gambar 13).
2.67
5.67 5.334.44
0123456
0 0,5 0,75 1,0
Konsentrasi BAP
Jum
lah
Tuna
s
c
a a b
2.67
5.284.39
3.17
0123456
0 0,25 0,50 0,75
Konsentrasi TDZ
Jum
lah
Tuna
s
c
ab
c
Gambar 13. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
Eksplan yang berasal dari tunas adventif yang ditanam pada media yang
diberi perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm juga memiliki respon yang
39
terbaik dan lebih optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah tunas yaitu secara
berturut-turut 6,11 dan 5,61 tunas (Gambar 14).
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak
berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 atau BAP 1,0 tetapi berbeda nyata
dengan kontrol (Gambar 14). Media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda
nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 dan kontrol, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm
tidak berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm (Gambar 14).
2.61
6.115.22
4.55
0
2
4
6
8
0 0,5 0,75 1,0
Konsentrasi BAP
Jum
lah
Tuna
s
c
a ab b
2.61
5.61
3.893.33
0123456
0 0,25 0,50 0,75
Konsentrasi TDZ
Jum
lah
Tuna
s
c
a
b b
Gambar 14. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa baik pada eksplan tunas aksilar maupun
tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm adalah
perlakuan yang terbaik dan optimum dalam menghasilkan jumlah tunas,
sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan dalam menghasilkan jumlah
tunas. Jumlah tunas yang terendah dihasilkan oleh kontrol. Hal ini berarti bahwa
konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm dapat meningkatkan jumlah tunas,
sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah tunas. Hal ini
didukung oleh pernyataan Tiwari et al. (2000) bahwa konsentrasi sitokinin yang
tinggi dapat menyebabkan jumlah tunas berkurang, dan BAP melebihi kadar
optimum yang dibutuhkan tanaman umumnya menyebabkan perkembangan tajuk
atau tunas terhambat.
Abidin (1983), menyatakan bahwa ZPT pada tanaman adalah senyawa
organik yang bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote),
menghambat (inhibit) dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Hormon
40
tumbuhan adalah zat organik yang dihasilkan oleh tanaman, yang dalam
konsentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologi, yang disintesis pada bagian
tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana
zat tersebut dapat menimbulkan pengaruh secara biokimia, fisiologis dan
morfologis (Wattimena, 1988).
Sesuai dengan fungsinya, baik ZPT BAP maupun TDZ adalah merupakan
ZPT yang termasuk ke dalam kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk
memacu pertumbuhan tunas dalam kultur jaringan tanaman. Walaupun ZPT
tersebut berasal dari golongan yang sama tetapi mempunyai daya aktivitas yang
berbeda. Pemberian konsentrasi BAP atau TDZ yang tepat dan tidak melebihi
dosis mampu menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dan vigour.
Sebaliknya pemberian konsentrasi yang melebihi kebutuhan eksplan akan
menghambat induksi tunas yang terbentuk. Seperti yang terlihat pada Gambar 13
dalam penelitian ini, baik pada eksplan tunas aksilar maupun eksplan tunas
adventif, semakin tinggi konsentrasi BAP maupun TDZ yang digunakan, maka
jumlah tunas semakin menurun. Pada konsentrasi yang rendah memberikan hasil
yang lebih baik. Meskipun demikian, visualisasi perkembangan eksplan
menunjukkan bahwa pada dua sumber eksplan yang ditanam pada konsentrasi
yang lebih tinggi terlihat adanya mata tunas yang akan berkembang menjadi
tunas, hal ini mengindikasikan bahwa ada kemungkinan bertambahnya jumlah
tunas pada perlakuan konsentrasi BAP atau TDZ yang lebih tinggi, tetapi proses
pertumbuhannya terlihat lebih lambat, sehingga dapat dikatakan bahwa
konsentrasi BAP yang tinggi tidak meningkatkan jumlah tunas.
Secara alamiah tanaman sudah mengandung hormon pertumbuhan seperti
sitokinin yang dinamakan dengan hormon endogen. Kebanyakan hormon endogen
ditanaman terdapat pada jaringan meristem yaitu jaringan yang aktif tumbuh dan
membelah. Sehingga pemberian hormon eksogen sangat mempengaruhi kerja
hormon endogen sebagai fungsinya dalam proses cytokinesis (proses pembelahan
sel) pada berbagai organ tanaman. Pemberian hormon eksogen dengan konsentrasi
yang melebihi kebutuhan tanaman dapat menyebabkan pembentukan tunas
terhambat.
41
Pemberian hormon eksogen BAP dapat merangsang pembentukan tunas
yang berbeda. Salah satu kinerja BAP adalah memacu pembentukan RNA
(Ribonucleic Acid) dan enzim (Wattimena, 1988). Pendugaan ini berdasarkan
pada fenomena yang terjadi jika terdapat zat penghambat sintesis RNA atau
protein, maka kinerja sitokinin terhambat. Salisbury dan Ross (1995), menyatakan
bahwa sitokinin mendorong pembelahan sel dalam jaringan dengan meningkatkan
laju sistesis protein.
Menurut Davies (2004), di dalam tanaman variasi dan distribusi sitokinin
tidak merata tergantung dari spesies, jaringan dan tahap perkembangan tanaman.
Meskipun beberapa sitokinin telah diidentifikasi, fungsinya secara fisiologi
terhadap suatu spesies, namun secara lengkap belum dapat dipahami. Sitokinin
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama yaitu dalam bentuk aktif,
dalam bentuk translokasi dan dalam bentuk tersimpan dan tidak aktif.
Pemberian TDZ 0,25 ppm pada media perlakuan memberikan jumlah tunas
yang terbaik dibanding perlakuan yang lainnya, baik pada eksplan tunas aksilar
maupun tunas adventif, sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan
jumlah tunas. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi TDZ yang
digunakan dapat menyebabkan toksik bagi tanaman.
Khawar et al. (2004), juga melaporkan bahwa penggunaan TDZ pada
konsentrasi tinggi dapat menurunkan regenerasi tunas, regenerasi tunas tertinggi
dihasilkan pada media MS dengan konsentrasi TDZ 0,25 ppm. Hasil penelitian
Gajdosova et al. (2006), juga melaporkan bahwa penggunaan TDZ pada
kosentrasi tinggi dapat menghambat regenerasi tunas dan menyebabkan
pencokelatan (nekrosis) pada eksplan. Ozturk et al. (2004), menyatakan
konsentrasi TDZ yang sangat rendah lebih efektif dalam proliferasi tunas dan
meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk.
Penggunaan TDZ pada konsentrasi yang lebih rendah umumnya dapat
menghasilkan proses induksi dan multiplikasi tunas yang lebih baik (Yunita,
2004; Thomas dan Puthur, 2004; Huetteman dan Preece, 1993; Onamu, et al.
2003; dan Gyves et al. 2001).
Thidiazuron menurut Lu (1993) dapat menstimulasi pembelahan sel dan
proliferasi tunas aksilar dan efektif untuk tanaman berkayu. Thidiazuron telah
42
banyak digunakan untuk kultur jaringan tanaman karena mempunyai aktivitas
menyerupai sitokinin.
Lu (1993), menyatakan bahwa TDZ dapat mendorong terjadinya perubahan
sitokinin ribonukleotida menjadi nukleotida yang lebih aktif. Menurut Thomas
dan Katterman (1986), TDZ dapat mendorong sintesis sitokinin alami. Kemudian
Suttle (1985), menyatakan bahwa komponen organik TDZ pada konsentrasi tinggi
dapat meningkatkan produksi etilen yang menghambat pertumbuhan tunas dan
Tang et al. (2002), menyatakan TDZ pada level tinggi kurang efektif
dibandingkan dengan BAP dalam regenerasi tunas pada eksplan daun cherry yang
diteliti.
2. Panjang Tunas
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas
aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan
penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap panjang
tunas planlet gaharu (Lampiran 2).
Hasil pengamatan pada panjang tunas menunjukkan bahwa eksplan berasal
dari tunas aksilar yang ditanam pada media yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm
atau TDZ 0,25 ppm menghasilkan jumlah tunas yang terbanyak yaitu secara
berturut-turut 3,15 cm dan 2,88 cm (Gambar 15). Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm dan kontrol, tetapi perlakuan BAP
0,75 ppm tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm (Gambar 15). Berbeda dengan
media yang diberi perlakuan TDZ, media yang diberi perlakuan dengan TDZ 0,25
ppm berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol
(Gambar 15).
43
1.63
3.152.5 2.5
0
1
2
3
4
0 0,5 0,75 1,0
Konsentrasi BAP
Panj
ang
Tuna
s (c
m)
c
a b b
1.63
2.88 2.72.12
00.5
11.5
22.5
33.5
0 0,25 0,50 0,75
Konsentrasi TDZ
Panj
ang
Tuna
s (c
m)
d
a bc
Gambar 15. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
Pada eksplan tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ
0,25 ppm menghasilkan panjang tunas yang terpanjang dibanding perlakuan
lainnya yaitu secara berturut-turut 2,79 cm dan 2,67 cm (Gambar 16), sedangkan
perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0 ppm, TDZ 0,50 ppm dan TDZ 0,75
ppm ) terjadi penurunan panjang tunas. Nilai terendah dihasilkan oleh kontrol
yaitu 1,6 cm.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm
berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, tetapi perlakuan BAP 0,75 ppm
tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm dan kontrol. Media yang diberi
perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan
TDZ 0,50 ppm tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,75 ppm dan kontrol.
1.6
2.79
1.94 1.79
00.5
11.5
22.5
3
0 0,5 0,75 1,0
Konsentrasi BAP
Panj
ang
Tuna
s (c
m)
b
a
b b
1.6
2.67
1.63 1.6
00.5
11.5
22.5
3
0 0,25 0,50 0,75
Konsentrasi TDZ
Panj
ang
Tuna
s (c
m)
b
a
b b
Gambar 16. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
44
Panjang tunas planlet gaharu berumur 12 MST dari dua sumber eksplan
yang dicobakan baik eksplan dari tunas aksilar maupun adventif menunjukkan
adanya perbedaan dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas, namun media
yang diberi perlakuan ZPT BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm menunjukkan rata-
rata panjang tunas yang terpanjang dibanding dengan perlakuan lainnya (Gambar
15 dan 16). Perlakuan dengan konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm
adalah konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas.
Hal ini menunjukkan bahwa BAP atau TDZ pada konsentrasi rendah lebih
optimum dalam memacu pertumbuhan tunas dibanding dengan konsentrasi BAP
atau TDZ yang lebih tinggi. Pada perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0,
TDZ 0,50 dan TDZ 0,75) mengalami penurunan panjang tunas. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT baik BAP atau TDZ maka panjang tunas
yang dihasilkan semakin menurun.
Semakin tinggi konsentrasi BAP, maka panjang tanaman semakin pendek.
Keadaan ini diduga akibat periode inkubasi eksplan yang terlalu lama pada media
yang mengandung sitokinin, sehingga perpanjangan batang terhambat. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Moncalean et al. (2001), bahwa konsentrasi BAP yang
tinggi dapat menyebabkan tinggi tanaman terhambat. Damayanti (2004), juga
menyatakan bahwa BAP tidak memperpanjang tinggi tanaman Dianthus
caryophillus, bahkan sebaliknya menyebabkan tanaman terlihat lebih pendek dan
roset
Herawan dan Hardi (2005), menyatakan bahwa BAP merupakan derivat
sitokinin yang keberadaannya dalam medium tumbuh memacu pembelahan sel-sel
di bagian apikal bakal tunas, sehingga mempengaruhi perkembangan tunas.
Sitokinin disintesis di dalam akar dan didistribusikan ke tunas untuk pertumbuhan
tunas. Penambahan sitokinin dari luar sangat diperlukan karena akar yang
mensintesis sitokinin belum terbentuk dalam tahap induksi kultur jaringan.
Menurut Suryowinoto (1996), secara umum sitokinin eksogen diperlukan untuk
merangsang diferensiasi mata tunas dengan menghasilkan tunas yang panjang.
Pertumbuhan tunas aksiler sama dengan pertumbuhan tunas pucuk yang ditandai
dengan adanya aktivitas pembelahan jaringan meristem apikal.
45
Ndoye et al. (2003), melaporkan, peningkatan konsentrasi BAP hingga 5
mg/l dapat menurunkan panjang tunas dalam kultur in vitro dan BAP yang
dikombinasikan dengan NAA lebih efektif dalam multiplikasi tunas aksilar.
Herawan dan Hardi (2005) juga melaporkan hasil penelitiannya, bahwa media
yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l merupakan konsentrasi yang paling optimum
untuk pertumbuhan tunas aksilar dibanding dengan penambahan hormon pada
konsentrasi yang lebih tinggi.
Menurut Heddy (1986), hormon pengatur tumbuh BAP, walaupun dengan
konsentrasi rendah, dapat mengatur proses fisiologis tumbuhan. Hal ini
disebabkan hormon pengatur tumbuh dipengaruhi oleh asam nukleat sehingga
langsung mempengaruhi sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim.
Sama halnya dengan BAP, pemberian TDZ dengan konsentrasi semakin
tinggi pada dua sumber eksplan yang ditanam dapat menyebabkan panjang tunas
yang terbentuk semakin rendah. Menurut Lu (1993), pemberian TDZ pada
konsentrasi tertentu akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman.
3. Jumlah Daun
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa media yang diberi
perlakuan BAP atau TDZ berpengaruh nyata terhadap jumlah daun yang
dihasilkan selama 12 MST baik eksplan yang berasal dari tunas aksilar maupun
eksplan yang berasal dari tunas adventif (Lampiran 2). Rata-rata jumlah daun
kumulatif dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa planlet gaharu untuk eksplan yang
berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm
merupakan konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah daun
planlet gaharu, hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah daun yang dihasilkan
yaitu secara berturut-turut 6,5 dan 6,28 (Gambar 17). Pada perlakuan lainnya
terjadi penurunan jumlah daun, jumlah daun yang paling sedikit dihasilkan oleh
kontrol yaitu 4,33.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang
diberi perlakuan BAP 0,50 ppm berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm,
BAP 1,0 ppm dan kontrol, sedangkan media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm
46
tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan
TDZ 0,75 ppm dan kontrol (Gambar 17).
4.33
6.5 65.39
01234567
0 0,5 0,75 1,0
Konsentrasi BAP
Jum
lah
Dau
n
d
ab
c
4.33
6.28 65.28
0
2
4
6
8
0 0,25 0,50 0,75
Konsentrasi TDZ
Jum
lah
Dau
n
c
a a b
Gambar 17. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar. Keterangan: Angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada 0,01 DMRT.
Eksplan tunas adventif yang ditanamn pada media yang diberi perlakuan
BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm lebih optimum dan menghasilkan rata-rata
jumlah daun yang terbanyak yaitu 7,22 dan 6,78 secara berturut-turut (Gambar
18). Pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah daun yang dihasilkan. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda
nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, perlakuan BAP 1,0 ppm tidak berbeda
nyata dengan kontrol (Gambar 18). Perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata
dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm tidak berbeda
nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm dan kontrol (Gambar 18).
4.5
7.226.11
4.66
0
2
4
6
8
0 0,5 0,75 1,0
Konsentrasi BAP
Jum
lah
Dau
n
b
aa
b
4.5
6.785.22 4.78
0
2
4
6
8
0 0,25 0,50 0,75
Konsentrasi TDZ
Jum
lah
Dau
n
c
a
b bc
Gambar 18. Grafik Pengaruh BAP dan TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,
dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada 0,01 DMRT.
47
Gambar 17 dan 18 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT
yang diberikan baik BAP maupun TDZ pada dua eksplan yang dicobakan, maka
rata-rata jumlah daun yang dihasilkan semakin menurun. Penambahan BAP atau
TDZ yang lebih tinggi tidak mampu meningkatkan jumlah daun. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm pada media
mampu merangsang pembelahan sel di meristem apikal tunas dibanding pada
konsentrasi yang lebih tinggi. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Herawan dan Hardi (2005) pada tanaman murbei, semakin tinggi konsentrasi ZPT
yang diberikan maka jumlah daun murbei yang dihasilkan semakin rendah.
Suryowinoto (1996), menyatakan bahwa untuk meningkatkan jumlah daun
dalam kultur jaringan sering diperlukan ZPT, karena akan mempengaruhi
pertumbuhan termasuk pembelahan dan pembesaran sel, penambahan plasma dan
diferensiasi sel untuk kemudian membentuk organ-organ lain seperti tunas, akar,
daun dan sebagainya.
Menurut Strabala et al. (1996), auksin dan sitokinin berperan dalam
perkembangan primordia daun, dan posisi inisiasi primordia daun juga
dipengaruhi oleh transport auksin. Kemudian menurut Salisbury dan Ross (1995),
transportasi auksin bersifat basipetal dari tempat sintesisnya yaitu tunas apikal
atau pucuk. Pada tunas apikal pertumbuhan daun cenderung mengarah kebagian
terminal. Akibatnya terjadi dominasi apikal yang menghambat pertumbuhan tunas
aksilar. Pada tunas aksilar arah pertumbuhan daun sering mengarah ke bagian
lateral. Apabila tunas apikal dibuang, sumber auksin endogen hilang, maka
pertumbuhan daun pada tunas aksilar mengarah kebagian terminal menggantikan
pertumbuhan tunas apikal. Pertumbuhan planlet selengkapnya dapat dilihat pada
Gambar 19.
48
A B
F
C
D E
Gambar 19. Planlet Gaharu Berumur 12 MST pada Media MS. Keterangan: A: BAP 0,50 ppm dan B: BAP 0,75 ppm Eksplan Tunas Adventif, C: BAP 0,50 ppm
Eksplan Tunas Aksilar, D: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Aksilar, E: TDZ 0,75 ppm dan F: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Adventif.
Visualisasi Perkembangan Eksplan
Visualisasi perkembangan eksplan dilakukan sejak hari keenam eksplan
ditanam di dalam media perlakuan, sedangkan lima hari sebelumnya tidak
dilakukan pengamatan karena eksplan dalam tahap inkubasi dalam ruangan gelap.
Pengamatan dilakukan terhadap perkembangan dua sumber eksplan sejak awal
hingga akhir penelitian. Pengamatan pertama dilakukan terhadap jumlah eksplan
yang terkontaminasi dan pencokelatan. Dari 168 eksplan yang ditanam, 18
(21,42%) eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan 11 (13,09%) eksplan dari
tunas adventif yang terkontaminasi. Jumlah yang mengalami pencokelatan hanya
terjadi pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar yaitu 6 (7,14%) (Gambar 20).
Eksplan tunas adventif tidak mengalami pencokelatan karena hasil kultur in vitro
dan masih muda.
49
7.14
0
21.42
13.09
0
5
10
15
20
25
PencokelatanEksplan Aksilar
PencokelatanEksplanAdventif
Kontamekslpan aksilar
Kontameksplanadventif
Pers
enta
se (%
)
Gambar 20. Persentase Pencokelatan dan Terkontaminasi Eksplan dari Tunas
Aksilar dan Adventif yang Ditanam Pada Media MS Mengandung BAP atau TDZ.
Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap proses perkembangan eksplan,
yang mana dari dua sumber eksplan yang ditanam baik eksplan tunas aksilar
maupun tunas adventif memiliki proses perkembangan yang berbeda. Perbedaan
ini disebabkan oleh daya adaptasi eksplan pada lingkungan tempat tumbuh yang
baru sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar, perkembangan eksplan didahului oleh pembengkokan sehingga
membentuk seperti lingkaran atau menggulung (Gambar 21 A), sedangkan pada
eksplan yang berasal dari tunas adventif, proses perkembangan eksplan langsung
membesar dan memanjang (Gambar 21 B).
A B
Gambar 21. Perbedaan Perkembangan Eksplan dalam Botol Kultur. Eksplan Tunas Asilar (A) dan Eksplan Tunas Adventif (B).
Tahap selanjutnya, kedua eksplan tersebut pada bagian pangkal atau bagian
pemotongan terlihat mulai membengkak menyerupai bonggol yang berwarna
putih kekuningan, sedangkan pada bagian ujungnya mulai membentuk tunas
50
pertama, selanjutnya pada bonggol terlihat mata-mata tunas yang akan muncul
menjadi tunas.
Pada setiap eksplan yang ditanam, baik pada media yang diberi perlakuan
ZPT BAP maupun TDZ, terlihat proses perkembangan eksplan yang berbeda-
beda, hal ini disebabkan oleh eksplan yang digunakan memiliki tingkat juvenilitas
dan meristematik sel yang berbeda satu dengan yang lainnya, terutama eksplan
yang berasal dari tunas aksilar. Oleh karena itu tahap awal perkembangan eksplan
terlihat lebih bervariasi dalam proses pembentukan tunas. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar lebih lambat dalam
induksi atau pembentukan tunas dibandingkan eksplan yang berasal dari tunas
adventif. Tunas pertama terbentuk pada minggu ke 5 pada eksplan yang berasal
dari tunas aksilar dan minggu ke 3 pada eksplan yang berasal dari tunas adventif.
Lambatnya proses pembentukan tunas pada eksplan yang berasal dari tunas
aksilar diduga karena eksplan berasal dari bibit yang diambil dari rumah kaca,
kemudian dilakukan sterilisasi dengan bahan sterilan, menyebabkan eksplan
tercekam akibat perlakuan mekanik sebelum inokulasi sehingga membutuhkan
waktu untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan yang baru. Selain itu
eksplan yang berasal dari lapangan yang awalnya pada lingkungan autotrof
menjadi heterotrof. Berbeda dengan eksplan yang berasal dari tunas adventif.
Pada awalnya sudah berasal dari dalam botol atau lingkungan aseptik, sehingga
apabila dipindahkan pada lingkungan baru tidak terlalu stress dan tidak
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi. Kondisi ini akan terjadi
apabila eksplan yang ditanam tidak terkontaminasi.
Secara visual proses perkembangan eksplan sampai menjadi planlet antara
eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif terlihat ada perbedaan.
Perbedaan ini terlihat dari bentuk bonggol, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah
daun, dan bentuk daun (Tabel 6). Pengamatan bentuk bonggol terlihat bahwa
eksplan tunas aksilar memiliki bentuk bonggol agak lebih besar dibanding eksplan
tunas adventif. Tetapi jumlah tunas dan jumlah daun lebih banyak dihasilkan oleh
eksplan tunas adventif. Untuk panjang tunas, eksplan tunas aksilar lebih panjang
dibanding eksplan tunas adventif. Berdasarkan jumlah daun yang terbentuk
menunjukkan bahwa planlet yang berasal dari eksplan tunas aksilar lebih panjang
51
dan lebar-lebar, sedangkan eksplan tunas adventif terlihat lebih kecil-kecil dan
panjang.
Tabel 6. Perbedaan Visualisasi Perkembangan Eksplan Sampai 12 MST.
Eksplan No. Bagian Yang Diamati Tunas Aksilar Tunas Adventif 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jumlah terkontaminasi Pencokelatan Bentuk eksplan umur 6 HST Bentuk bonggol Muncul tunas Jumlah tunas Panjang tunas Jumlah daun Bantuk daun Bakal tunas / mata tunas Warna planlet
21.42 % ada melengkung lebih besar minggu ke 5 banyak lebih panjang banyak lebar dan panjang lebih sedikit hijau
13.09 % tidak ada memanjang besar minggu ke 3 lebih banyak panjang lebih banyak kecil dan panjang lebih banyak hijau
Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik
Umum
Ekstraksi DNA dilakukan pada daun gaharu yang sudah ditetapkan sebagai
sampel untuk dianalisis dengan menggunakan teknik RAPD. Jumlah yang
digunakan adalah sebanyak 22 sampel yang terdiri dari 6 sampel dari pohon
induk, 4 sampel sebelum dikultur (sebelum diberi perlakuan BAP), 4 sampel hasil
kultur (hasil perlakuan BAP), 4 sampel sub kultur I dan 4 sampel sub kultur II.
Sampel diambil dari dua sumber eksplan yang ditanam yaitu yang berasal dari
tunas aksilar dan yang berasal dari tunas adventif (Gambar 10).
Ekstraksi DNA dilakukan bertujuan untuk memisahkan atau mengisolasi
DNA dari material daun yang lainnya, agar diperoleh DNA yang murni. Proses ini
diawali dengan penggerusan yaitu proses pemecahan dinding sel yang dibantu
oleh larutan CTAB ekstraksi untuk melisis dinding sel dan aktif pada kondisi
panas (65ºC), CTAB juga dapat menyebabkan protein dalam sel terdenaturasi.
Dalam penelitian ini, penggerusan daun gaharu dilakukan secara mekanik dengan
menggunakan mortar dan pestel. Penggerusan secara mekanik dengan
menggunakan metode ekstraksi CTAB (Murray and Thompson, 1980 dalam
Rimbawanto et al. 2004). Metode ini mengunakan buffer ekstraksi yang terdiri
52
dari 10% CTAB, I M Tris pH 9, 5 M NaCl, Mercaptoethanol, psd H2O dan 0,5 M
EDTA.
Daun gaharu yang berasal dari pohon induk dan dari bibit proses
penggerusan dilakukan lebih lama karena daun agak tua dan banyak mengandung
serat, sebaliknya pada daun gaharu dari tunas adventif atau hasil kultur jaringan
lebih mudah karena daun relatif masih muda dan sedikit mengandung serat. Untuk
lebih memudahkan dalam proses penggerusan dan untuk mengurangi aktivitas
enzim selama proses ekstraksi pada daun atau sampel yang lebih tua sebaiknya
penggerusan dilakukan dengan menggunakan nitrogen cair. Dalam penelitian ini
tidak menggunakan nitrogen cair, karena sampel yang digunakan relatif muda dan
masih mudah dalam proses penggerusan.
Selanjutnya dilakukan penambahan PVP 2% yang berfungsi untuk
menghambat enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA dan
menyebabkan teroksidasinya senyawa fenol. Senyawa fenol yang teroksidasi
ditandai dengan warna cokelat pada jaringan tanaman yang akan diisolasi. Sampel
daun gaharu yang lebih tua menghasilkan warna cairan agak kekuningan,
sedangkan sampel daun gaharu yang muda terlihat lebih bening. Hal ini
menunjukkan bahwa daun gaharu yang tua masih mengandung senyawa polifenol
di dalam jaringannya. Larutan NaCl dalam bufer berfungsi sebagai larutan
isotonik yang memberikan tekanan osmotik bagi DNA dalam sel sehingga DNA
tidak rusak, sedangkan larutan basa tris memberikan kondisi pH yang optimum.
Setelah dilisis, DNA dipisahkan dari senyawa-senyawa pengotor seperti protein
dan polisakarida dengan larutan klorofrom karena klorofrom mampu
mengendapkan protein yang terdenaturasi dan polisakarida melalui sentrifugasi.
Protein dan sebagian polisakarida akan terendapkan dalam fase organik sedangkan
asam nukleat larut dalam fase air. Pemurnian dengan larutan klorofrom ini
dilakukan dua kali agar didapatkan DNA murni. Pemurnian selanjutnya dengan
menggunakan etanol dan isopropanol. Pencucian dengan etanol dimaksudkan
untuk memisahkan senyawa lain yang masih ada seperti larutan CTAB dan
garam-garam yang menempel pada DNA.
53
DNA Pohon Induk Hasil Ekstraksi
Enam sampel yang digunakan untuk diekstraksi yang berasal dari pohon
induk menghasilkan resolusi pita DNA yang lebih seragam, hanya sampel nomor
satu yang memiliki resolusi pita yang kurang jelas (Gambar 22). Sehingga untuk
analisis PCR selanjutnya dilakukan pengenceran DNA, untuk sampel nomor 1
dilakukan pengenceran hingga 90 kali (1 µl DNA dan 89 µl aquabides),
sedangkan untuk sampel nomor 2 sampai 6 dilakukan pengenceran hingga 100
kali (1 µl DNA dan 99 µl aquabides).
pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6
80x 90x 90x 90x 90x 90x
Gambar 22. Profil DNA Hasil Ekstraksi Pohon Induk, Jumlah Sampel (pi1-pi6). Perbandingan Pengenceran DNA (80x).
DNA Hasil Ekstraksi Sampel Sebelum Kultur Hingga Sub Kultur II
Hasil 16 sampel yang diekstraksi terlihat adanya resolusi pita DNA yang
bervariasi. Sampel nomor ad3 dan ak5 terlihat resolusi pita DNA yang paling
tipis. Selanjutnya, pada sampel yang berasal dari eksplan tunas adventif (ad) ada 4
sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas yaitu pada sampel
dengan kode ad1, ad2, ad7 dan ad8, sedangkan yang berasal dari tunas aksilar (ak)
ada 5 sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas ditunjukan
oleh sampel dengan kode ak1, ak2, ak3, ak7 dan ak8 (Gambar 23).
54
M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Eksplan Tunas Aksilar (ak) Eksplan Tunas Adventif (ad)
80x 80x 20x 50x 40x 60x 80x 80x 80x 80x 80x 60x 30x 30x 80x 50x Gambar 23. Profil DNA Gaharu Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub
Kultur II. Keterangan: M: Marker, 80x: Perbandingan Pengenceran DNA. ad1-ad8: Eksplan dari Tunas
Adventif dan ak1-ak8: Eksplan dari Tunas Aksilar.
Primer Hasil Seleksi
Setiap organisme hidup memiliki DNA yang spesifik sehingga dalam
penelitian ini perlu dilakukan seleksi primer untuk mendapatkan primer yang
cocok yang digunakan selanjutnya dalam proses RAPD. Primer merupakan
sekuen DNA dengan urutan basa tertentu yang dibutuhkan oleh DNA cetakan
untuk pembentukan DNA baru. Primer dengan urutan basa yang komplemen
dengan urutan basa DNA cetakan akan diperpanjang oleh enzim polimerase DNA
dengan menambahkan dNTP sehingga membentuk DNA baru. Rimbawanto
(2004), menyatakan bahwa seleksi primer (primer screening) dimaksudkan untuk
mencari random primer yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak
semua nukleotide primers dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif)
dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik
Dalam penelitian ini digunakan primer dari Operon Technology. Dari 10
primer acak yang diseleksi dengan cara amplifikasi terhadap DNA daun gaharu
sebelum dikultur sampai pada subkultur ke 2, diperoleh 9 primer yang
menghasilkan profil pita amplifikasi yang bervariasi dan mempunyai ukuran
antara 200 sampai dengan 1500 pasang basa (pb) yaitu OPO-06, OPO-09, OPO-
10 , OPO-14, OPO-18, OPY-02, OPY-06, OPY-08, OPY-11, sedangkan satu
primer OPY-09 tidak teramplifikasi (Gambar 24). Dua primer yang menghasilkan
55
pita yang lebih jelas dan jumlah pita polimorfik yang lebih tinggi yaitu OPY-06
dan OPY-08 (Gambar 24) dan (Tabel 7), yang selanjutnya digunakan untuk
mengamplifikasi DNA dari 16 sampel daun gaharu yang diteliti.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 24. Profol DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan: M: Marker, 1: OPO-06, 2: OPO-09, 3: OPO-10 , 4: OPO-14, 5: OPO-18, 6: OPY-02, 7: OPY-06, 8: OPY-08, 9: OPY-09 dan 10: OPY-11.
Tabel 7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu
No Primer Urutan Basa Jumlah Pita Polimorfik
1. OPO-06 5’CCACGGGAAG’3 3 2. OPO-09 5’TCCCACGCAA’3 2 3. OPO-10 5’TCAGAGCGCC’3 4 4. OPO-14 5’AGCATGGCTC’3 4 5. OPO-18 5’CTCGCTATCC’3 3 6. OPY-02 5’CATCGCCGCA’3 3 7. OPY-06 5’AAGGCTCACC’3 5 8. OPY-08 5’AGGCAGAGCA’3 5 9. OPY-09 5’GTGACCGAGT’3 0 10. OPY-11 5’AGACGATGGG’3 3
Tidak terjadinya amplifikasi segmen DNA (eksplan tunas aksilar dan tunas
adventif) dengan primer di atas disebabkan oleh DNA genom (eksplan tunas
aksilar dan adventif) tidak mempunyai sekuen komplemen dengan primer-primer
tersebut, karena salah satu syarat untuk terjadinya amplifikasi DNA dengan
primer arbitrary tunggal adalah kedua utas mempunyai sekuen komplemen dengan
56
primer yang digunakan. Dalam penelitian ini pencampuran DNA dilakukan secara
komposit terhadap 16 sampel yang dianalisis. DNA yang tidak teramplifikasi
diduga terjadi karena tingkat kemurnian DNA template hasil ekstraksi masih
rendah atau masih terdapat senyawa kontaminan seperti polifenol yang dapat
menghambat terjadinya reaksi PCR.
Dalam penelitian ini pencampuran DNA contoh (bulking) didasarkan pada
asumsi bahwa jika primer yang digunakan dapat mengamplifikasi bagian genom
yang berbeda antara 16 sampel/genom tanaman maka perbedaan tersebut akan
terdeteksi pada pola pita yang dihasilkan. Primer yang menghasilkan amplifikasi
pita DNA yang sedikit dan polimorfis yang rendah tidak digunakan untuk analisis
keragaman genetik tanaman dengan metode RAPD, sehingga dalam penelitian ini
hanya digunakan 2 primer yang memberikan resolusi pita-pita yang tajam dan
jelas untuk dianalisis RAPD pada 16 sampel daun gaharu sebelum hingga sub
kultur II yaitu OPY-06 dan OPY-08.
Resolusi dari setiap pita DNA hasil amplifikasi tidak selalu terlihat dengan
jelas. Hal ini disebabkan oleh jumlah fragmen yang diamplifikasi terdapat pada
tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang teramplifikasi pada genom tanaman,
maka resolusi pita DNA yang dihasilkan akan semakin jelas. Pada genom
tanaman lebih kurang 90% dari DNA genom merupakan urutan berulang
(Weising et al. 1995). Disamping itu adanya kompetisi tempat penempelan primer
pada DNA genom menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam
jumlah yang banyak dan fragmen lainya sedikit. Faktor lain yang mempengaruhi
DNA hasil amplifikasi terlihat tidak jelas adalah kemurnian dan konsistensi
cetakan DNA, DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi dari senyawa-
senyawa seperti polisakarida dan polifenol, dan konsentrasi cetakan DNA yang
terlalu kecil sering menghasilkan penanda RAPD yang kabur dan redup.
Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer yang sama pada
individu dalam satu populasi yang sama tidak semuanya memiliki intensitas,
jumlah dan ukuran pita yang sama. Perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang
dihasilkan oleh setiap primer menggambarkan kompleksitas genom tanaman
(Grattapaglia et al. 1992). Karena pita DNA merupakan hasil berpasangannya
nukleotida primer dengan nukleotida genom tanaman, maka semakin banyak
57
primer yang digunakan akan semakin terwakili bagian-bagian genom dan semakin
tergambar keadaan genom tanaman yang sesungguhnya. Sebaran situs
penempelan primer pada DNA genom, jumlah fragmen yang diamplifikasi, serta
kemurnian dan konsentrasi DNA genom dalam reaksi mempengaruhi intensitas
pita DNA hasil amplifikasi (Weising et al. 1995).
Adanya perbedaan hasil intensitas ini disebabkan karena 1) makin banyak
fragmen DNA yang diamplifikasi pada tanaman genom, maka intensitas pita DNA
yang dihasilkan semakin tegas, 2) adanya kompetisi tempat penempelan primer
pada DNA genom yang menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi
dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit, 3) kemurnian dan konsentrasi
cetakan DNA mempengaruhi efisiensi amplifikasi. DNA yang memiliki tingkat
kontaminasi yang tinggi dari senyawa-senyawa seperti polisakarida dan fenolik
seringkali menghasilkan fenotipe penanda RAPD yang kabur.
Secara teoritis polimorfisme yang dideteksi berdasarkan RAPD merupakan
hasil dari beberapa tipe kejadian, yaitu 1) insersi DNA berukuran besar pada
fragmen diantara sepasang situs penempelan primer yang mengakibatkan jarak
amplifikasi terlalu besar sehingga fragmen tersebut hilang atau tidak
teramplifikasi, 2) delesi pada bagian genom yang membawa satu atau dua situs
penempelan primer sehingga mengakibatkan hilangnya fragmen, 3) substitusi
nukleotida yang mengubah homologi antara primer dengan DNA genom sehingga
menyebabkan hilangnya fragmen atau mengubah ukuran fragmen, 4) insersi atau
delesi fragmen kecil DNA yang dapat mengubah ukuran fragmen yang
diamplifikasi (Weising et al. 1995).
DNA Pohon Induk Hasil RAPD
Dalam penelitian ini primer yang menghasilkan amplifikasi pita DNA yang
sedikit dan polimorfisme yang rendah tidak digunakan untuk analisis keragaman
genetik dengan metode RAPD. Dua primer yang digunakan dalam proses
amplifikasi sampel DNA dari pohon induk (pi1 sampai dengan pi6) yaitu OPY-06
dan OPY-08 (Tabel 7). Penggunaan dua primer ini didasarkan atas seleksi
terhadap 10 primer yang telah dilakukan sebelumnya. Dua primer ini dianggap
menghasilkan amplifikasi yang lebih banyak dibanding 8 primer lainnya.
58
Berdasarkan hasil analisis dari dua primer yang digunakan untuk PCR DNA
pohon induk memperlihatkan pola pita yang dihasilkan cukup bervariasi seperti
yang terlihat pada Gambar 25.
M pi1 pi2 pi3 pi 4 pi5 pi6
A
M pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6
B
200 pb
1300 pb 1000 pb
300 pb
1700 pb
1000 pb
Gambar 25. Profil DNA Pohon Induk Hasil RAPD. Keterangan: M: Marker, A: Primer OPY-06, B: Primer OPY-08 dan pi1-pi6: Jumlah Sampel
Profil pita DNA pohon induk hasil amplifikasi dengan setiap primer untuk
setiap sampel pohon gaharu diinterpretasikan sebagai lokus untuk ukuran pita
yang sama. Lokus tersebut diubah dalam bantuk data biner yang digunakan untuk
menyusun matriks kemiripan. Berdasarkan Gambar 25 di atas, maka dilakukan
Cluster analysis untuk mengelompokan aksesi-aksesi yang diuji berdasarkan
kedekatan kekerabatannya. Sehingga dari Gambar 25 diperoleh dendogram
kemiripan genetik pohon induk seperti yang terlihat pada Gambar 26.
59
pi1
pi2
pi3
pi4
pi5
Coefficient
pi6
0,00 0,18 0,37
Gambar 26. Dendogram Kemiripan Genetik 6 Sampel dari Populasi Pohon Induk. 0,55 0,73
Gambar 26 adalah dendogram sampel dari populasi pohon induk yang
menunjukkan bahwa dari 6 sampel yang dianalisis terdapat 5 sampel yang
membentuk satu kelompok besar (pi2 sampai dengan pi6) dan satu sampel
terpisah (pi1). Hal ini menunjukkan bahwa hanya lima sampel yaitu pi2 hingga
pi6 yang memiliki tingkat kekerabatan dan jarak genetik yang lebih dekat yaitu 0
sampai dengan 0,37, sedangkan sampel pi1 terdapat pada jarak genetik 0,37
sampai dengan 0,73. Jarak genetik yang terkecil ditunjukkan oleh sampel pi5
dengan pi6 yaitu nol (Lampiran 3A).
Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 6 sampel dari pohon induk
memiliki nilai rata-rata he (heterozigositas harapan) sebesar 24,54% dengan lokus
polimorfik 69,44%. Populasi pohon induk menghasilkan jarak pasang basa antara
200 pb sampai 1400 pb untuk primer OPY-06 dan 300 pb sampai 2000 pb untuk
primer OPY-08 dengan 19 lokus untuk OPY-06 dan 17 lokus untuk OPY-08
(Lampiran 5). Ini mengindikasikan bahwa 6 individu dalam populasi tersebut
memiliki variasi genetik yang cukup tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh sistem
perkawinan tanaman gaharu/pohon induk, tanaman gaharu adalah jenis tanaman
biseksual atau hermaprodit yang menghasilkan gamet jantan dan betina pada
tanaman yang sama. Gamet dari tanaman yang sama mempunyai potensi untuk
bertemu dan bersatu membentuk zigot. Hal ini dapat terjadi dalam satu bunga
sering disebut menyerbuk sendiri (selfing), antar bunga dalam satu individu
(Geitonogami) atau penyerbukan dari tanaman yang berbeda (Xenogami)
60
(Finkeldey, 2005). Jenis pohon yang tumbuh dalam kerapatan populasi yang
tinggi lebih bervariasi dibanding kerapatan populasinya rendah, tetapi nilai he
dapat tinggi untuk banyak jenis walaupun pada populasi dengan kerapatan rendah.
Tabel 8. Nilai Rata-rata na, ne dan he untuk 6 Sampel Daun Gaharu Pohon Induk
Jumlah Sampel na ne he Rata-rata St. Dev
6
1,6944 0,4672
1,3996 0,3262
0,2454 0,1803
na: Jumlah allel yang diamati, ne: Jumlah allel yang efektif, he: Keragaman genetik. Jumlah lokus polimorfik 25 dan persentase lokus polimorfik 69,44%. Dalam penelitian ini, populasi pohon induk untuk analisis keragaman
genetik ditanam pada areal tidak luas dan jumlah individu yang ditanam cukup
rapat hanya berjarak 3 sampai 4 meter (Gambar 27), dengan demikian
kemungkinan terjadinya perkawinan silang (open pollination) antar individu
cukup besar sehingga dapat menyebabkan terjadinya variasi genetik pada
keturunan berikutnya.
Gambar 27. Populasi Pohon Induk Tanaman Gaharu di Desa Cangkorawok, Bogor.
DNA Hasil RAPD Sebelum Hingga Sub Kultur II
Dua dari sepuluh primer hasil seleksi yang digunakan yaitu OPY-06 dan
OPY-08 dapat mengamplifikasi DNA tanaman gaharu, baik sampel yang berasal
dari tunas aksilar (bibit) maupun sampel yang berasal dari tunas adventif (planlet).
Pada gambar 25 terlihat 16 sampel yang diamplifikasi dengan primer OPY-06 dan
pada gambar 26 dengan primer OPY-08. Nomor sampel ad1 sampai dengan ad8
adalah eksplan berasal dari tunas adventif (planlet) dan nomor sampel ak1 sampai
dengan ak8 adalah eksplan berasal dari tunas aksilar (bibit).
61
Amplifikasi dengan mengunakan dua primer yaitu OPY-06 dan OPY-08
menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran yang bervariasi yaitu 225 pb sampai
dengan 1200 pb pada OPY-06 dan 325 pb sampai 1200 pb pada OPY-08 (Gambar
28 dan 29). Jumlah pasang basa tersebut dihitung berdasarkan jumlah lokus yang
dihasilkan dari proses amplifikasi DNA. Perbedaan hasil amplifikasi karena
adanya perbedaan jumlah tempat penempelan primer dan jarak antara dua primer
yang menempel pada DNA cetakan, sedangkan untuk perbedaan ketajaman dari
intensitas pita DNA yang terlihat merupakan hasil dari banyaknya situs
penempelan yang serupa dari sekuen DNA berulang.
Variasi kuantitas DNA hasil amplifikasi dicerminkan oleh variasi intensitas
pendaratan pita DNA di dalam gen. Semakin banyak fragmen DNA maka pita
DNA akan semakin jelas di atas sinar ultra violet. Menurut Finkeldey (2005),
amplifikasi dari potongan-potongan tersebut juga tergantung pada ada tidaknya
sekuensi komplementer terhadap primer pendek, sehingga penanda RAPD ini
hanya bersifat dominan dan tidak mungkin mengenali individu yang bersifat
heterozigot.
DNA hasil PCR sampel mulai dari sebelum hingga sub kultur II pada dua
sumber eksplan, selanjutnya dilakukan skoring terhadap ada atau tidaknya pita
yang teramplifikasi, hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai he dalam individu
maupun populasi. Menurut Finkeldey (2005), nilai he ditentukan berdasarkan
struktur alelik, ditambahkan juga bahwa suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika
frekuensi dari alel yang paling sering ditemukan adalah kurang dari 95%.
Penggunaan primer OPY-06 menghasilkan 19 lokus dan OPY-08
menghasilkan 17 lokus (Lampiran 5). Masing-masing sumber eksplan
menunjukkan perbedaan jumlah pita yang dihasilkan mulai dari sebelum kultur
hingga sub kultur II. Seperti yang terlihat pada bibit pertama (ak1) dengan primer
OPY-06 hanya menghasilkan 9 lokus yang diberi nilai 1 yang memperlihatkan
adanya pita DNA, sedangkan sisanya 10 lokus tidak memperlihatkan pita DNA
diberi nilai 0, dan selanjutnya untuk OPY-08 masih pada bibit pertama
menghasilkan 5 lokus yang diberi nilai 1 dan 12 lokus diberi nilai nol, perubahan
genetik sebelum hingga sub kultur II tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.
62
Eksplan Tunas Aksilar (ak) Eksplan Tunas Adventif (ad)
Gambar 28. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-06
Gambar 29. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-08 Keterangan Gambar 25 dan 26. (ad1, ad3, ad5, ad7): sampel eksplan tunas adventif, sebelum
hingga sub kultur II dengan perlakuan BAP 0,5 ppm; (ad2, ad4, ad6, ad8): eksplan tunas adventif, sebelum hingga sub kultur II perlakuan BAP 1,0 ppm, dan (ak1, ak3, ak5, ak7): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP 0,5 ppm; (ak2, ak4, ak6, ak8): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP 1,0 ppm.
Banyaknya jumlah lokus yang dihasilkan dari dua primer tersebut
merupakan penggabungan dari hasil skoring sampel pohon induk dengan sampel
325 pb
700 pb 1000 pb 1200 pb
M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Eksplan Tunas Aksilar (ak) Eksplan Tunas Adventif (ad)
M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
225 pb
750 pb 1000 pb 1200 pb
63
sebelum hingga sub kultur II. Terlihat bahwa jumlah DNA pohon induk yang
teramplifikasi menghasilkan jumlah lokus yang lebih banyak dibanding DNA
yang berasal dari sampel sebelum hingga sub kultur II (Gambar 25, 28, 29),
meskipun analisis RAPD dilakukan secara terpisah.
Untuk melihat perbedaan nilai he pada masing-masing tahapan mulai dari
pohon induk, sebelum dikultur, hasil kultur, sub kultur I dan subkultur II pada dua
sumber eksplan yang diteliti yaitu eksplan tunas aksilar (bibit) dan eksplan tunas
adventif (planlet) dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbedaan Nilai Heterozigositas Harapan (he) Per Tahapan
Bibit 1 Bibit 2 Planlet 1 Planlet 2 Tahapan Kode Nomor Sampel he
Pohon Induk pi1 – pi6 0,2454 Sebelum Kultur ak1 ak2 ad1 ad2 0,0729
Hasil Kultur ak3 ak4 ad3 ad4 0,0833 Sub Kultur I ak5 ak6 ad5 ad6 0,0903 Sub Kultur II ak7 ak8 ad7 ad8 0,0382
Keterangan: ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar dan ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif.
Pada Tabel 9 terdiri dari 5 tahapan kultur, tahapan sebelum kultur hingga
sub kultur II terdiri dari 4 sampel per tahapan. Pada tahapan pertama yaitu ak1,
ak2, ad1 dan ad2 yang memiliki nilai he = 0,0729, selanjutnya terjadi peningkatan
nilai he pada tahap hasil kultur dan sub kultur I berturut-turut 0,0833 dan 0,0903
atau 8,33% dan 9,03%. Namun pada tahap sub kultur II terjadi penurunan nilai he
yang begitu signifikan yaitu 0,0382 atau 3,82%. Nilai he tertinggi dihasilkan oleh
sampel dari pohon induk yaitu 0.2454 atau 24,54%.
Besarnya keragaman genetik dalam setiap tahapan ditentukan berdasarkan
hubungan kemiripan genetik antara individu dengan individu lain dalam tahapan
yang sama, dengan cara membandingkan pita DNA dari setiap individu tanaman.
Berdasarkan pita DNA gaharu hasil amplifikasi dengan menggunakan dua primer
acak yang terseleksi, ditentukan matrik kemiripan genetik (matrik jarak genetik)
untuk menentukan hubungan kemiripan genetik antar individu dan antar tahapan
(Lampiran 3A-F).
Jika dilakukan perbandingan keragaman genetik dari pohon induk dengan
tahap sebelum hingga sub kultur II pada dua sumber eksplan yang diteliti, terlihat
64
berbeda sangat nyata yaitu untuk pohon induk 0,2454 atau 24,54%, sedangkan
nilai pada semua tahap hanya 0,0968 atau 9,68%. Hal ini dapat dikatakan pada
tingkat populasi induk variasi genetik pohon induk gaharu lebih tinggi dibanding
pada semua tahap kultur. Variasi genetik pada tahap sebelum hingga subkultur II
hanya berkisar antara 3,82% - 9,03%. Nilai tertinggi diperoleh pada tahap sub
kultur II dan yang terendah pada tahap subkultur II (Tabel 9).
Pada tahap sebelum kultur, hasil kultur dan sub kultur I terjadi peningkatan
nilai he, meskipun tidak signifikan tetapi dapat diduga bahwa terjadi perubahan
genetik pada tiga tahapan kultur jaringan tersebut. Meskipun variasi genetik atau
variasi somaklonal yang terjadi jauh lebih rendah dibanding dengan variasi
genetik dari pohon induk. Variasi somaklonal dikatakan tidak terjadi apabila nilai
he pada tahap sebelum kultur hingga sub kultur II adalah tetap atau tidak berubah.
Untuk melihat jarak genetik dan pengelompokan dari tiap tahapan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 30.
pi1
SBK
HK
SubK1
SubK2
0,01 0,10 0,18 0,26 0,34
Coefficient
Gambar 30. Dendogram Kemiripan Genetik untuk Setiap Tahapan mulai dari Pohon Induk, sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.
Keterangan. pi: Pohon Induk, SBK: Sebelum Kultur, HK: Hasil Kultur, SubK1: Sub Kultur I dan SubK2: Sub Kultur II.
Gambar 30 memperlihatkan bahwa sampel yang berasal dari tahap sebelum
kultur hingga sub kultur II membentuk satu kelompok besar, sedangkan sampel
dari pohon induk membentuk garis tersendiri, tetapi masih memiliki hubungan
dengan kelompok sebelum kultur hingga sub kultur II. Jarak genetik yang
65
terkecil terlihat pada tahap hasil kultur (HK) dengan Sub Kultur I (SubK1) yaitu
0.0142, dan jarak genetik yang tertinggi dihasilkan antara pohon induk (pi)
dengan tahap Sub Kultur II (SubK2) yaitu 0.3654 (Lampiran 3F). Kemiripan
genetik untuk masing-masing tahapan dapat dilihat pada Lampiran 3A-E.
Skirvin et al. (1993) dalam Soedjono (2003), menyatakan bahwa keragaman
dapat terjadi karena pembiakan vegetatif melalui kultur in vitro menggunakan
media dengan bahan kimia murni, atau lingkungan yang mengalami gangguan.
Variasi somaklonal berasal dari kultur sel pucuk, daun, akar atau organ tanaman
yang lain. Tanaman yang berasal dari variasi somaklonal dinamakan somaklon,
protoklon untuk yang dari protoplas, gametoklon dari gamet, dan kaliklon yang
berasal dari kalus. Pada umumnya setiap siklus regenerasi menghasilkan 1−3%
variasi somaklonal, meskipun tingkat perbedaannya dari 0 − 100%. Penggunaan
mutagen fisika atau kimia dosis tinggi terhadap hasil regenerasi sel seperti kalus,
protokorm atau eksplan sebelum membentuk plantlet secara in vitro, dapat
menghasilkan keragaman genetik yang lebih luas (Soertini et al. 1996 dalam
Soedjono, 2003).
Sementara itu pada tahap sub kultur II menunjukkan bahwa nilai variasi
genetik yang diperoleh lebih rendah dibandingkan pada tahap yang lain, hal ini
diduga mulai terjadi stabilisasi genetik karena media yang digunakan adalah
media MS tanpa ZPT dan ukuran eksplan yang digunakan pada tahap sub kulur II
lebih besar dibanding pada waktu penanaman awal. Selain itu, penurunan nilai he
pada tahap sub kultur II diduga disebabkan oleh pengaruh hormonal mulai
berkurang, sehingga diduga ada kemungkinan terjadinya aberasi genetik. Yeoman
dan Mc Leod (1977) dalam Harjadi et a.l (1986), menyatakan bahwa secara
umum eksplan yang berukuran besar menguntungkan karena jumlah selnya
banyak sehingga kemungkinan keberhasilan regenerasi dari jaringan yang ditanam
lebih besar.
Untuk melihat kemiripan atau perubahan genetik yang terjadi pada bibit 1
(ak1, ak3, ak5 ak7), bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8), planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) dan
planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8), mulai dari sebelum dikultur hingga sub kultur II
dapat dilihat pada dendogram atau Gambar 28, 29, 30 dan 31, sedangkan matrik
kemiripan genetik dapat dilihat pada Lampiran 4.
66
Gambar 31 adalah dendogram bibit 1 menunjukkan bahwa ak3 dengan ak7
dan ak5 dengan ak7 terlihat memiliki kemiripan genetik yang terendah yaitu
0.0572, sedangkan antara ak1 dengan ak3, ak5 dan ak7 memiliki kemiripan
genetik 0.1178 (Lampiran 4A). Gambar 32 adalah dendogram bibit 2
menunjukkan bahwa ak2, ak4 dan ak8 yang memiliki kemiripan genetik yang
terendah yaitu 0.1178 (Lampiran 4B).
Gambar 33 dan 34 adalah dendogram dari planlet 1 dan planlet 2, pada
gambar 33 terlihat bahwa ad3 dengan ad7 dan ad5 dengan ad7 yang memiliki
kemiripan genetik yang terendah yaitu 0.0572, sedangkan yang tertinggi terdapat
antara ad1 dengan ad3, ad5 dan ad7 yaitu 0.1178 (Lampiran 4C).
Secara umum dapat dilihat bahwa bibit 1 (Gambar 31) memiliki bentuk
dendogram dan nilai kemiripan genetik yang sama dengan planlet 1 (Gambar 33)
dan bibit 2 (Gambar 32) memiliki bentuk dendogram dan nilai kemiripan genetik
yang sama dengan planlet 2 (Gambar 34). Hal ini menunjukkan bahwa bibit 1
dengan planlet 1 memiliki kemiripan genetik yang sama dan tingkat kekerabatan
yang dekat, begitu juga halnya pada bibit 2 dan planlet 2 yang memiliki kemiripan
genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat. Nilai dari kemiripan genetik antara
bibit 1 dengan planlet 1 dan bibit 2 dengan planlet 2 dapat dilihat pada Lampiran
4.
ak1
ak3
ak7
ak5
0,06 0,07 0,09 0,10 0,12
Coefficient
Gambar 31. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 1 (ak1, ak3, ak5 ak7) sebelum hingga Sub Kultur II.
67
ak2
ak4
ak8
ak6
0,12 0,13 0,15 0,17 0,18
Coefficient
Gambar 32. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8) sebelum hingga Sub Kultur II
Gambar 33. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) sebelum hingga Sub Kultur II
ad2
ad4
ad8
ad6
0,12 0,13 0,15 0,17 0,18
Coefficient
ad1
ad3
ad7
ad5
0,06 0,07 0,09 0,10 0,12
Coefficient
Gambar 34. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8) sebelum hingga Sub Kultur II.
68
Jarak Genetik Pohon Induk, Sebelum Kultur, Hasil Kultur, Sub Kultur I dan Sub Kultur II
Berdasarkan penanda RAPD dengan menggunakan 2 primer yang
diturunkan dari matrik kemiripan genetik pada tanaman gaharu memperlihatkan
bahwa semua sampel yang diteliti terbagi dalam 3 kelompok (Gambar 35).
Sampel dari eksplan tunas aksilar dan tunas adventif terlihat berbaur dan
membentuk dua kelompok yaitu kelompok 1 dan 2, sedangkan sampel yang
berasal dari pohon induk membentuk satu kelompok yaitu kelompok 3. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap kelompok memiliki tingkat kekerabatan yang dekat.
Secara umum dapat digambarkan bahwa 6 sampel yang berasal dari pohon
induk tidak berbaur dengan 16 sampel lainnya yang berasal dari tunas aksilar dan
tunas adventif. Tetapi sampel yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif
terlihat lebih berbaur, karena diantara sampel-sampel tersebut berdasarkan analisis
RAPD ada yang memiliki kemiripan genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat,
seperti contoh ak3 dan ad2 dalam satu garis yang sama pada kelompok 1 yang
memiliki nilai kemiripan genetik sama dengan nol (Lampiran 6).
1
2
3
Gambar 35. Dendogram Kemiripan Genetik Tanaman Gaharu dari Pohon Induk, sebelum hingga Sub Kultur II.
Keterangan. ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar, ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif, dan pi1-pi6: Sampel Populasi Pohon Induk.
69
Hasil analisis RAPD terhadap semua sampel menunjukkan bahwa nilai he
yang dihasilkan adalah 0,2575 atau 25,25%, sedikit lebih tinggi jika dibandingkan
dengan nilai he yang berasal dari pohon induk yaitu 0,2454 atau 24,54%, dan
kedua nilai ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai pada 4 tahapan
yang telah diuraikan di atas yaitu 0,0968 atau 9,68%. Hal ini mengindikasikan
bahwa variasi genetik yang tertinggi hanya dihasilkan oleh sampel yang berasal
dari pohon induk. Hal ini diduga disebabkan oleh pohon induk yang tumbuh dan
berkembang di alam adalah merupakan hasil perkawinan silang dalam maupun
antar individu pada populasi yang sama. Hasil penelitian Yunanto (2006),
menunjukkan bahwa populasi alam tanaman Shorea johorensis memiliki
keragaman genetik lebih tinggi dibanding populasi biji, cabutan, stek dan
tanaman. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika struktur genetik sebagai akibat
dari seleksi viabilitas, sehingga tiap siklus tanaman dari benih sampai dewasa
berbeda-beda. Nilai heterozigositas (he) meningkat seiring dengan perkembangan
tanaman. Menurut Finkeldey (2005), di alam variasi genetik dapat terjadi karena
disebabkan oleh mutasi, aliran gen dan migrasi, penghanyutan genetik, seleksi dan
sistem perkawinan.
Jika dilihat hasil analisis pada tingkat individu yaitu dari 4 sumber eksplan
yang digunakan untuk dikultur (bibit 1, bibit 2, planlet 1 dan planlet 2), maka nilai
variasi genetik yang dihasilkan jauh lebih kecil dibanding pohon induk. Meskipun
demikian, apabila dilihat hasil analisis variasi genetik per tahapan yaitu dari tahap
sebelum kultur, hasil kultur, subkultur I dan sub kultur II, terlihat adanya variasi
antar tahapan. Seperti yang terlihat pada Tabel 9, tahap sebelum kultur 7,29%,
hasil kultur 8,33%, dan sub kultur I 9,03%, terjadi peningkatan nilai he. Tetapi
pada sub kultur II turun menjadi 3,82. Dari tahap sebelum hingga sub kultur I
dapat dikatakan bahwa kultur jaringan dapat menyebabkan perubahan genetik atau
variasi somaklonal, meskipun tidak terlalu tinggi dibanding pohon induk.
Terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal pada tahap hasil kultur dan sub
kultur I diduga disebabkan oleh pengaruh bahan-bahan kimia dan ZPT yang
terkandung di dalam media kultur, serta pengaruh lain saat proses pertumbuhan
eksplan.
70
Pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif hasil kultur in vitro terjadi
mutasi, yang mana menurut Poespodarsono (1988), mutasi adalah perubahan
genetik baik gen tunggal atau sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi dapat
terjadi pada setiap bagian dan pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi
pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel, misalnya tunas, biji
dan sebagainya. Apabila mutasi terjadi pada sel somatis, maka perubahan hanya
terjadi pada bagian itu saja dan dapat dilihat pada perkembangan sel atau jaringan
ini, sedangkan apabila mutasi terjadi pada sel generatif, maka akan terjadi
perubahan menyeluruh pada tanaman keturunannya.
Menurut Ancora dan Sannino (1987) dalam Mattjik (2005), keadaan
eksplan dan keseimbangan ZPT dalam media kultur jaringan dapat mempengaruhi
kestabilan genetik materi kultur. Kultur jaringan merupakan sumber potensial
untuk mendapatkan keragaman, yaitu dengan mengatur ZPT dalam komposisi
media dan lamanya mengkulturkan.
Jacobsen (1987) dalam Mattjik (2005), menyatakan terdapat tiga cara untuk
mendapatkan variasi somaklonal dari eksplan yang telah berhasil dikerjakan yaitu
(1) eksplan yang langsung membentuk tunas dan akar, (2) induksi kalus terlebih
dahulu kemudian dilanjutkan dengan penanaman sel tunggal dan (3) kultur
protoplasma. Bahan kimia yang diberikan pada kultur jaringan dapat menjadi
mutagen, karena akan mengalami penetrasi pada jaringan dan sel, apabila dapat
mencapai untai DNAnya akan dapat merubah susunan DNA tersebut sehingga
terjadi mutasi.
Perubahan susunan maupun jumlah kromosom ini disebut aberasi. Aberasi
dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu aberasi struktur kromosom yang meliputi
dilesi, duplikasi, inversi dan translokasi. Kemudian aberasi jumlah kromosom
yaitu monoploid atau haploid, diploid, triploid dan tetraploid.
Dalam kasus kultur jaringan yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian
ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang melakukan mutasi
akan membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan
induknya, membentuk klon baru yang berbeda dengan induknya. Tanaman baru
ini bukan hasil rekombinan atau segregesi seperti hasil persilangan.
71
Ostry et al. (1994), menyatakan bahwa kultur jaringan tanaman dapat
menampilkan sifat yang tidak stabil pada tingkat karyotipik, biokimia, morfologi
dan molekuler. Sejumlah eksplan yang di isolasi secara in vitro mengalami
keragaman somatik secara umum fenomena ini dinamakan variasi somaklonal.
Dinyatakan juga, bahwa frekuensi terjadinya variasi tersebut sepenuhnya belum
dipahami, hal ini tergantung dari sumber genotipe tanaman, sumber eksplan,
komponen media, dan lamanya siklus kultur. Ditambahkan pula oleh Jain (1997),
menyatakan bahwa tingkat keragaman tersebut juga tergantung dari genotype,
umur tanaman donor, perubahan sitogenetik, metilasi DNA, tipe eksplan, dan
hormon tanaman di dalam media kultur.
Berdasarkan analisis RAPD dapat disimpulkan bahwa variasi somaklonal
pada eksplan dapat terjadi selama proses pengkulturan sehingga diharapkan dapat
menghasilkan klon baru yang unggul secara genetik lebih baik dari pada tanaman
induknya dalam proses pertumbuhan maupun kualitas gaharu yang dihasilkan.
Untuk mengetahui hal tersebut, tentunya perlu dilakukan penanaman di lapangan.
Penggunaan teknik analisis RAPD untuk mendeteksi terjadinya variasi
somaklonal pada tanaman hasil kultur jaringan pernah dilakukan oleh Gajdosova
et al, (2006) pada tanaman Vaccinium Sp. dan Rubus Sp., menunjukkan bahwa
kultur jaringan dapat menyebabkan variasi somaklonal. Hal yang sama juga
pernah diteliti oleh Yulismawati (2006) pada tanaman nenas, menunjukkan bahwa
dari 20 planlet hasil kultur dengan pemberian ZPT BA dan NAA, terdapat hanya
satu perlakuan yang sama dengan kontrol yaitu media yang diberi perlakuan BA
13,32 µM yang dikombinasikan dengan NAA 2 µM, sedangkan 19 perlakuan
lainnya terjadi variasi somaklonal. Sehingga dapat dikatakan bahwa media kultur
yang diberi ZPT sitokinin dan thidiazuron pada level tertentu dapat menyebabkan
variasi somaklonal.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Analisis DNA dengan teknik RAPD dapat digunakan untuk mendeteksi
variasi genetik tanaman gaharu sebelum dikultur (pohon induk dan bibit)
maupun variasi somaklonal hasil kultur in vitro (planlet). Dua primer yang
digunakan yaitu OPY-06 dan OPY-08 mampu mengamplifikasi DNA genom
gaharu sehingga menghasilkan pita DNA polimorfik dengan jumlah lokus 19
dan 17 secara berturut-turut, dengan total lokus sebanyak 36.
2. Variasi genetik gaharu lebih tinggi dihasilkan oleh sampel yang berasal dari
pohon induk yaitu 24,54%, sedangkan variasi somaklonal yang terjadi selama
proses pengkulturan pada 4 tahapan yang diteliti masih dalam persentase yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan variasi genetik dari pohon induk yaitu
sebelum kultur adalah 7,29%, hasil kultur 8,33%, sub kultur I 9,03% dan sub
kultur II 3,82%.
3. Penambahan zat pengatur tumbuh BAP ke dalam media kultur, sumber
eksplan yang digunakan serta sub kultur dapat mempengaruhi terjadinya
variasi somaklonal.
4. Perlakuan zat pengatur tumbuh BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm merupakan
konsentrasi yang optimum dan terbaik dalam menghasilkan jumlah tunas,
panjang tunas dan jumlah daun planlet gaharu, baik eksplan yang berasal dari
tunas aksilar (bibit) maupun tunas adventif (planlet).
Saran
1. Perlu penelitian lanjutan yaitu melakukan penanaman di lapangan untuk setiap
klon atau planlet yang memiliki berbagai variasi somaklonal (hasil RAPD)
untuk mengetahui keragaan bibit dan mutu gaharu yang dihasilkan.
2. Jika ingin menghasilkan tanaman yang lebih seragam secara genetik
sebaiknya lebih cermat dalam menggunakan teknik kultur jaringan sebagai
metode perbanyakan tanaman, karena dapat menyebabkan variasi somaklonal.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 1983. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh.
Bandung. Penerbit Angkasa Anonim, 2006. http://fig.cox.miami.edu/~cmallery/150/gene/c7.19.17a.families.
rDNA.jpg (10 Desember 2006). Astuti, A.D. 2005. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh NAA (Naphthalene Acetic
Acid) dan IBA (Indole Butryric Acid) terhadap Perakaran Eksplan Tunas Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) dalam Kultur In Vitro serta Aklimatisasinya. [Skripsi] Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB
Barden, A., Awang Anak, N., Mulliken, T., and Song, M. (2000). Heart of the
Matter: Agarwood Use and Trade, and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC International.
Chakrabarty K, Kumar A, Menon V. 1994. Trade In Agarwood. TRAFFIC India
and WWF India. New Delhi. Chawla, H.S. 2002. Introduction to Plant Biotechnology. Second Edition. Science
Publishers. Inc. Enfield (NH) USA. Damayanti L. 2004. Kombinasi Konsentrasi Auksin dan Sitokinin Terhadap
Pertumbuhan Anyelir (Dianthus caryophillus) dalam Kultur In Vitro. [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. FMIPA.
Davies P.J. 2004. Plant Hormones. Biosynthesis, Signal Transduction, Action.
Ithaca. NY. USA. Cornell University. Kluwer Academic Publishers. Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Terjemahan. Bogor.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Gajdosova A, M. G. Ostrolucka, G. Libiakova, E. Ondruskova, D. Simala. 2006.
Microclonal Propagation Of Vaccinium Sp. and Rubus Sp. and Detection Of Genetik Variability In Culture In Vitro. Slovak Republic. Journal of Fruit and Ornamental Plant Research Vol. 14 (Suppl. 1)
George E.F and P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture –
Handbook and Directory of Comercial Laboratories. England. Exegetic Ltd. Eversly, Basingstoke 709 hlm.
74
Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pndidikan dan Kebudayaan.
Grattapaglia, D., J. Chaparro, P. Wilcox, S. Mc Cord, D. Werner, H. Amerson, S.
Mc Keand, F. Bridgwater, R. Whetten, D. O’Malley and R, Sederoff. 1992. Mapping in Woody Plants with RAPD Markers: Application to Breeding in Forestry and Horticulture. p. 37-40. In Application of RAPD Technology to Plant Breeding. Join Plant Breeding Symposia Series. November 1, 1992. Minneapolis.
Gyves, E M D, C A Sparks, A F Fieldsend, P A Lazzeri And H D Jones. 2001.
High Frequency of Adventitious Shoot Regeneration from Commercial Cultivars of Evening Primrose (Oenothera spp.) Using Thidiazuron. Annals of Applied Biology. Volume 138 Issue 3.
Harjadi S S, L. Wanita, G. A. Wattimena. 1986. Penelitian Kultur Jaringan
Beberapa Tanaman Hortikultura Penting. Bogor. Jurusan Budidaya Pertanian Institut Pertanian Bogor
Hartmann, H. T, DE Kester, FT Davies. 1990. Plant Propagation, Principle and
Practices. Fifth Edition. Prentice-Hall. Inc. London: International Edition. Hartmann, H. T, Kester D. E, Davis, Jr. F. T, Geneve R. L.1997. Plant
Propagation. Principles and Practices. Sixth Edition. Prentice-Hall. Inc. International Edition. Upper Saddle River, New Jersey. USA.
Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. Jakarta. CV. Rajawali Press. Hendaroyono, D. P. S dan A. Wijayanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius.
Yogyakarta. Herawan, T. 2004. Kulur Jaringan. Protokol Kultur Jaringan Tanaman Hutan.
Biotiforda. Or. Id Herawan T dan T Hardi TW. 2005. Kultur Jaringan Tiga Spesies Murbei Hasil
Persilangan. Wana Benih. Vol. 6 No. 1 Hou D. 1960. Thymelaeceae In Van Stennis (ed). Flora Malesiana series 1. Vol
ke-6. Groningen:Wolters-Noordoff. Huetteman, C.A. and J.E. Preece. 1992. Thidiazuron: a Potent Cytokinin for
Woody Plant Tissue Culture. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 33: 105-119. Hutchinson J.F. and M. Barlass, Knoxfield. 1995. Fundamentals of Plant
Propagation By Tissue Culture. State of Victoria. Department of Primary Industries. ISSN 1329-8062.
75
Jain. S. M. 1997. Micropropagation of Selected Somaclones of Begonia and Saintpaulia. Helsinki. University of Helsinki, Plant Production Department.
Khawar K M, C Sancak, S Uranbey, S .Zcan. 2004. Effect of Thidiazuron on
Shoot Regeneration from Different Explants of Lentil (Lens culinaris Medik.) via Organogenesis. Turkey. Department of Field Crops, Faculty of Agriculture, University of Ankara, 06110, DÝßkapÝ, Ankara
Kimball, J. W. 1992. Biologi. Jakarta. Erlangga. Leong, L S. 2006. Molecular Marker Technologies. Malaysia. Training Workshop
On Forest Biodiversity. Forest Research Institute Malaysia. Lu, C.Y. 1993. The Use of Thidiazuron in Tissue Culture. In vitro. Cell Dev. Biol.
29:92-96. Mattjik, A. A, dan Sumertajaya, I. M. 2002. Perancangan Percobaan dengan
Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1. Edisi Kedua. Bogor. IPB Press. Mattjik, A.N. 2005. Keragaman Somaklonal. Bahan Kuliah Mata Ajaran Kultur
Jaringan Tanaman. Bogor. Departemen Agronomi. Institut Pertanian Bogor. Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka
Wirausaha Muda dan USESE Foundation. Murashige, T and F. Skoog. 1962. A Revised Medium for Rapid Growth and
Bioassays with Tobacco Tissue Culture. Phys. Plant. 15:473-497. Narayanaswamy, S. 1977. Regeneration of Plants from Tissue Culture, Applied
and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Springer – Verlag Berlin Heidelberg. New York. 178 – 207.
Nasir, M. 2002. Bioteknologi. Potensi dan Keberhasilannya dalam Bidang
Pertanian. Jakarta. Rajawali Press. Nei, M. & W. Li (1979). Mathematical Model for Studying Genetik Variation in
Terms of Restriction Endonucleases. In Proc. Natl. Acad. Sci.USA., 767, 5269- 5273.
Ndoye M, I. Diallo dan Y. K. Gassama/Dia. 2003. In Vitro Multiplication of the
Semi-Arid Forest Tree, Balanites aegyptiaca (L.) Del. African Journal of Biotechnology Vol. 2 (11), pp. 421-424. Available online at http://www.academicjournals.org/AJB
Nugroho, A dan H Sugito. 1996. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan.
Jakarta. Penebar Swadaya. 70 hlm.
76
Onamu R, S.D. Obukosia, N. Musembi and M.J. Hutchinson. 2003. Efficacy of Thidiazuron In In Vitro Propagation of Carnation Shoot Tips: Influence of Dose and Duration of Exposure. Kenya. Department of Crop Science, University of Nairobi, P. O. Box 30197, Nairobi.
Ostry. M, W. Hackett, C. Michler, R. Serres, B. McCown. 1994. Influence of
Regeneration Method and Tissue Source on The Frequency of Somatic Variation in Populus to Infection by Septoria musiva. USDA Forest Service, North Central Forest Experiment Station. Plant Science.
Ozturk M , K. M. Khawar, H. H. Atar, C. Sancak and S. Ozcan. 2004. In Vitro
Micropropagation of the Aquarium Plant Ludwigia Repens Turkey. Department of Fisheries, Faculty of Agriculture, University of Ankara, 06110 Diskapi, Ankara
Pierik R. L. M., 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff
Publishers. Dordrecht, The Netherland. Ponirin, S. 1997. Budidaya Gaharu. Jakarta. Departemen Kehutanan.. Purwito, A. 2004. Kultur Jaringan. Diktat Bahan Kuliah. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Poespodarsono, S. 1987. Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. IUC. Life Sciences
Inter University. IPB. Poespodarsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor. Pusat
Antar Universitas. IPB. Rimbawanto, A dan T. Pamungkas. 2004. Compilation of Base Information
Pertaining to Conservation of Forest Genetik Resources (CFGR). Consultancy Report. Yogyakarta. Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement.
Rimbawanto, A , AYPBC Widyatmoko, S. Shiraishi, A. Watanabe. 2004.
Identifikasi Genetik Jenis Pinus merkusi. Biotiforda.or.id. Populasi Genetik Biotiforda.Or.Id
Rohlf, F. J. (1993). NTSYS – PC. Numerical Taxonomy and Multivariate
Analysis System. New York, Exeter Software, p.10 – 13. Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid ke-3. Bandung.
Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari Plant Physiology. Ed ke-4. Sambrook, J., E.F. Fritsch and T. Manitias. 1989. Molecular Cloning : a
Laboratory Manual. 2nd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York
77
Santoso, U dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Situmorang, J. 2000. Mikropropagasi Kayu Gaharu (Aquilaria spp.) asal Riau
serta Indentifikasi Sifat Genetiknya Berdasarkan Analisis Isoenzim. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam
Pemuliaan Tanaman. Bogor. Jurnal Litbang Pertanian Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur.
Soehartono, T. 1997 dalam Barden et al. 2000. Heart of the Matter: Agarwood
Use and Trade, and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC International.
Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di
Indonesia. Jakarta. JICA. Strabala TJ, Yan HW, Yi L. 1996. Combined Effect of Auxin Transport Inhibitor
and Cytokinin: Alterations of Organ Development in Tobacco. Plant Cell Physiol. 37(8): 1177-1182
Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Jakarta. Penebar Swadaya. Suryowinoto, U dan F. Nursandi. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. UMM-Press
Universitas Muhammadiyah Malang. 191 hlm. Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta. Suttle, J.F. 1985. Involvement of Ethylen in The Action of The Cotton Defoliant
Thidiazuron. Plant Physiol. 78:272-276. Tang, H.-R., Ren, Z.-L., Krczal, G., 2000. Somatic Embryogenesis and
Organogenesis from Immature Embryo Cotyledons of Three Sour Cherry Cultivars (Prunus cerasus L.). Sci. Hort. 83, 109–126.
Thomas, J.C. and F.R. Katterman. 1986. Cytokinin Activity Induced by
Thidiazuron.. Plant Physiol. 81:681-683. Thomas T D dan J T. Puthur. 2004. Thidiazuron Induced High Frequency Shoot
Organogenesis in Callus from Kigelia pinnata L. India. Postgraduate and Research Department of Botany, St. Thomas College, Pala, Arunapuram (P.O), Kottayam (Dt.), PIN- 686 574, Kerala
Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. 1991. Bioteknologi Tanaman.
Bogor. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor.
78
Tiwari V, Tiwari KN, Singh BD. 2000. Comparative Studies of Cytokinins on In Vitro Propagation of Bacopa monniera. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Annu. Rev. Plant Physiol. 17:435-459.
Wardoyo, T. 2004. Kajian Sterilisasi, Induksi dan Elongasi Tunas Gaharu
(Aquilaria spp.) Secara In Vitro. [Skripsi] Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor. Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor. Wattimena, G. A. 1992. Bioteknologi Tanaman, Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman. Bogor. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. 309 hal. Wattimena, G. A, dan Mattjik, N. A. 1991. Bioteknologi Tanaman.
Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Bogor. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor.
Wende, J. F. and F. Weeden. 1989. Visualization and Interpretation of Plant
Isozymes, pp 5-45. In D. E. Soltis and P. S. Soltis eds. Isozymes In Plant Biology. Advances in Plant Sciences Series. Dioscorides Press. Portland, Oregon. USA.
Weising, K, H. Nybom, K. Wolff, and W. Meyer. 1995. DNA Fengerprinting in
Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, Fla. Wiguna, I, 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus Edisi No. 438 –
Mei 2006. William, J. G. K, A. E. Kebelik, K. J. Livak, J. A. Rafalski and V. Tingey. 1990.
DNA Polymorphism Amplified by Arbitrary Primer are Usefful as Genetic Marker. Nucleic Acid Res. 18:6531-6535.
Yunanto, T. 2006. Implikasi Genetik Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
(TPTJ) Pada Jenis Shorea johorensis Foxw di PT. Sari Bumi Kusuma Berdasarkan RAPD. Bogor. [Skripsi] Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Yunita, R. 2004. Perbanyakan dan Transformasi Genetik Menggunakan
Agrobacterium tumefaciens pada Tanaman Melinjo (Gnetum gnemon) dengan Teknik Kultur Jaringan. Riau. Kelji Sumber Daya, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Yulismawati. 2006. Utilization Of Enhanced RAPD 4 Genetic Variability
Analysis on Planlets Of Smooth Cayenne Pineapple. Bogor. Departement of Agronomy. Bogor Agriculture Institute.
79
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta. Agromedia Pustaka.
80
Lampiran 1. Komposisi Media MS
Larutan Nama Bahan Kimia
Konsentrasi (mg/l)*
Konsentrasi (g/l)**
Konsentrasi Penggunaan (ml/l)
A NH4NO3 1650 82,5 20 B KNO3 1900 95 20 C KH2PO4
H3BO3Na2MoO4. 2H2O COCl2. 6H2O Kl
170 6,2 0,25 0,025 0,83
34 1,24 0,05 0,005 0,66
5
D CaCl2 2H2O 440 88 5 E MgSO4. 7H2O
MnSO4. 4H2O ZnSO4. 7H2O CuSO4. 5H2O
370 22,3 8,6
0,025
74 4,4 1,72 0,005
5
F Na2 EDTA FeSO4. 7H2O
37,3 27,8
5,57 5
Vitamin Thiamine HCl Glycine Pyridoxine HCl
0,5 2,0 0,5
0,02 0,1 0,1
5
Myo-Inositol 100 10 10 Bahan Tambahan
Sucrosa 30 Agar 7
* Sumber: Gunawan (1992) ** Sumber: Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
81
Lampiran 2. Tabel Sidik Ragam Hasil-hasil Kultur Jaringan Tanaman Gaharu. 1. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal
dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 16,251 3 5,417 83,454** 0,000 Error 0,519 8 0,065 Total 262,749 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 2. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal
dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 12,565 3 4,188 32,228** 0,000 Error 1,040 8 0,130 Total 193,715 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 3. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal
dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 3,486 3 1,162 51,165** 0,000 Error 0,182 8 0,023 Total 75,453 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 4. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Nerasal
dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 2,913 3 0,971 106,124** 0,000 Error 0,073 8 0,009 Total 68,413 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
82
Lanjutan Lampiran 2. 5. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Retara Jumlah Daun, Eksplan Berasal
dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 7,832 3 2,611 51,033** 0,000 Error 0,409 8 0,051 Total 378,649 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 6. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Retara Jumlah Daun, Eksplan Berasal
dari Tunas Aksilar selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 6,783 3 2,261 42,540** 0,000 Error 0,425 8 0,053 Total 366,478 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 7. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal
dari Tunas Adventif selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 19,916 3 6,639 23,728** 0,000 Error 2,238 8 0,280 Total 278,841 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 8. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Tunas, Eksplan Berasal
dari Tunas Adventif selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 14,710 3 4,903 46,177** 0,000 Error 0,849 8 0,106 Total 194,432 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01
83
Lanjutan Lampiran 2. 9. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal
dari Tunas Adventif selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 2,483 3 0,828 12,879** 0,002 Error 0,514 8 0,064 Total 52,488 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 10. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Panjang Tunas, Eksplan Berasal
dari Tunas Adventif selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 2,662 3 0,887 30,752** 0,000 Error 0,231 8 0,029 Total 44,408 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 11. Sidik Ragam Pengaruh BAP Terhadap Rerata Jumlah Daun, Eksplan Berasal
dari Tunas Adventif selama 12 MST.
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 14,941 3 4,980 12,022** 0,002 Error 3,314 8 0,414 Total 397,830 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01. 12. Sidik Ragam Pengaruh TDZ Terhadap Rerata Jumlah Daun, Eksplan Berasal
dari Tunas Adventif selama 12 MST
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah F. Hit Sig.
Perlakuan 9,296 3 3,099 25,942** 0,000 Error 0,956 8 0,119 Total 349,775 12
** Berbeda sangat nyata pada uji F 0,01.
84
Lampiran 3. Matriks Kemiripan Genetik per Tahapan Berdasarkan Pola Pita RAPD.
A. Sampel Daun Gaharu Pohon Induk pi1 pi 2 pi3 pi4 pi5 pi6 pi 1 pi 2 pi 3 pi 4 pi 5 pi 6
1.0000 0.7503 1.0000 0.8755 0.2513 1.0000 0.5390 0.4925 0.2513 1.0000 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 1.0000 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 0.0000 1.0000
B. Sampel Daun Gaharu Sebelum Kultur ak1 ak2 ad1 ad2 ak1 ak2 ad1 ad2
1.0000 0.0870 1.0000 0.1823 0.0870 1.0000 0.1178 0.0870 0.0572 1.0000
C. Sampel Daun Gaharu Hasil Kultur ak3 ak4 ad3 ad4 ak3 ak4 ad3 ad4
1.0000 0.0282 1.0000 0.1823 0.2162 1.0000 0.0870 0.1178 0.0870 1.0000
D. Sampel Daun Gaharu Subkultur I ak5 ak6 ad5 ad6 ak5 ak6 ad5 ad6
1.0000 0.0870 1.0000 0.1178 0.2162 1.0000 0.1495 0.1178 0.0870 1.0000
E. Sampel Daun Gaharu Subkultur II ak7 ak8 ad7 ad8 ak7 ak8 ad7 ad8
1.0000 0.0282 1.0000 0.0572 0.0870 1.0000 0.0572 0.0870 0.0000 1.0000
85
Lanjutan Lampiran 3. F. Pohon Induk, sebelum Kultur (SBK), Hasil Kultur (HK), Sub Kultur I, dan Sub
Kultur II. pi SBK HK SubK1 SubK2 pi SBK HK SubK1 SubK2
1.0000 0.3497 1.0000 0.3372 0.0750 1.0000 0.3214 0.0749 0.0142 1.0000 0.3654 0.0550 0.0216 0.0236 1.0000
86
Lampiran 4. Matrik Kemiripan Genetik Bibit 1, Bibit 2, Planlet 1 dan Planlet 2, sebelum hingga Sub Kultur II.
A. Bibit 1 ak1 ak3 ak5 ak7 ak1 ak3 ak5 ak7
1.0000 0.1178 1.0000 0.1178 0.1178 1.0000 0.1178 0.0572 0.0572 1.0000
B. Bibit 2 ak2 ak4 ak6 ak8 ak2 ak4 ak6 ak8
1.0000 0.1178 1.0000 0.2513 0.1823 1.0000 0.1178 0.1178 0.1178 1.0000
C. Planlet 1 ad1 ad3 ad5 ad7 ad1 ad3 ad5 ad7
1.0000 0.1178 1.0000 0.1178 0.1178 1.0000 0.1178 0.0572 0.0572 1.0000
D. Planlet 2 ad2 ad4 ad6 ad8 ad2 ad4 ad6 ad8
1.0000 0.1178 1.0000 0.2513 0.1823 1.0000 0.1178 0.1178 0.1178 1.0000
Lampiran 5. Perubahan Genetik Tanaman Gaharu per Tahapan Menggunakan Primer OPY-06 dan OPY-08
Tahapan Primer Bibit 1 Bibit 2 Planlet 1 Planlet 2 ak1 ak2 ad1 ad2
Sebelum Kultur OPY-06 OPY-08
1001010100110000001 00001010011000100
1000010100100000001 00011010011000100
1000110100100000101 00011010011000100
1001110100100000101 00011010011000100
ak3 ak4 ad3 ad4 Hasil Kultur OPY-06
OPY-08 1001110100100000101 00011010011000100
1001110100110000101 00011010011000100
1001111000100010101 00000010111000100
1001110100100000101 00000010111000100
ak5 ak6 ad5 ad6 Sub Kultur I OPY-06
OPY-08 1001110100110000101 00000010111000100
1001111000100000101 00000010111000100
1001010100110000101 00011010011000100
1001111000110000101 00011010011000100
ak7 ak8 ad7 ad8 Sub Kultur II OPY-06
OPY-08 1001110100100000101 00000010011000100
1001010100100000101 00000010011000100
1001110100110000101 00001010011000100
1001110100110000101 00001010011000100
Keterangan: - Angka yang diberi tanda merah adalah perubahan genetik -
dengan primer OPY-06 dan tanda biru dengan primer OPY-08 - Dari kiri ke kanan ukuran pasang basa semakin rendah. - OPY-06 terdiri dari 19 lokus dan OPY-08 terdiri dari 17 lokus
87
Lampiran 6. Matriks Kemiripan Genetik Berdasarkan Pola Pita RAPD terhadap 22 Sampel Gaharu Tanaman Gaharu.
No ak1 ak 2 ak3 ak4 ak5 ak6 ak7 ak8 ad1 ad2 ad3 ad4 ad5 ad6 ad7 ad8 pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6 ak1 ak2 ak3 ak4 ak5 ak6 ak7 ak8 ad1 ad2 ad3 ad4 ad5 ad6 ad7 ad8 pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6
1.0000 0.0870 1.0000 0.1178 0.0870 1.0000 0.0870 0.1178 0.0282 1.0000 0.1178 0.2162 0.1178 0.0870 1.0000 0.2162 0.2513 0.1495 0.1823 0.0870 1.0000 0.1178 0.1495 0.0572 0.0870 0.0572 0.0870 1.0000 0.0870 0.1178 0.0870 0.1178 0.0870 0.1178 0.0282 1.0000 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 0.1823 0.2162 0.1178 0.1495 1.0000 0.1178 0.0870 0.0000 0.0282 0.1178 0.1495 0.0572 0.0870 0.0572 1.0000 0.2513 0.2877 0.1823 0.2162 0.1178 0.0282 0.1178 0.1495 0.2513 0.1823 1.0000 0.1495 0.1823 0.0870 0.1178 0.0282 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0870 0.0870 1.0000 0.0572 0.0870 0.0572 0.0282 0.1178 0.2162 0.1178 0.0870 0.1178 0.0572 0.2513 0.1495 1.0000 0.1495 0.1823 0.0870 0.0572 0.1495 0.1178 0.1495 0.1823 0.1495 0.0870 0.1495 0.1823 0.0870 1.0000 0.0572 0.1495 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0572 0.0870 0.1178 0.0572 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 1.0000 0.0572 0.1495 0.0572 0.0282 0.0572 0.1495 0.0572 0.0870 0.1178 0.0572 0.1823 0.0870 0.0572 0.0870 0.0000 1.0000 0.6931 0.6391 0.8109 0.8755 0.8109 0.7503 0.6931 0.6391 0.8109 0.8109 0.6931 0.7503 0.8109 0.8755 0.8109 0.8109 1.0000 0.5390 0.6931 0.6391 0.5878 0.4480 0.4925 0.5390 0.5878 0.7503 0.6391 0.5390 0.4925 0.6391 0.5878 0.5390 0.5390 0.7503 1.0000 0.6391 0.6931 0.6391 0.5878 0.6391 0.6931 0.7503 0.8109 0.7503 0.6391 0.7503 0.6931 0.6391 0.5878 0.6391 0.6391 0.8755 0.2513 1.0000 0.6391 0.8109 0.7503 0.6931 0.6391 0.6931 0.7503 0.8109 0.8755 0.7503 0.7503 0.6931 0.7503 0.6931 0.6391 0.6391 0.5390 0.4925 0.2513 1.0000 0.5390 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5878 0.6391 0.6931 0.6391 0.5390 0.6391 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5390 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 1.0000 0.5390 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5878 0.6391 0.6931 0.6391 0.5390 0.6391 0.5878 0.5390 0.4925 0.5390 0.5390 0.7503 0.1823 0.0572 0.3254 0.0000 1.0000
Keterangan : 0,0000 = jarak genetik terendah 0,8755 = jarak genetik tertinggi
88