2. tinjauan pustaka · yang lebih baik dari kondisi sekarang, pembangunan sebagai ... agenda 21...
TRANSCRIPT
4
8
8
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan
taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam,
dan sering dilakukan perubahan-perubahan ekosistem dan sumberdaya alam.
Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya dapat memberikan pengaruh
lingkungan hidup. Semakin tinggi laju pembangunan, semakin tinggi pula tingkat
pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang
terjadi pada lingkungan hidup. Perencanaan pembangunan sistem ekologi yang
berimplikasi perencanaan penggunaan sumberdaya alam, perlu diperhatikan
kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang
merugikan kelangsungan pembangunan secara menyeluruh. Perencanaan,
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam perlu dipertimbangkan secara
cermat dan terpadu, sehingga dicapai pengembangan lingkungan hidup dalam
pembangunan (Bengen, 2000). Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan terjaganya kualitas lingkungan, agar
secara agregat keputusan pembangunan dapat menguntungkan semua pihak
(Darwanto, 2000 dalam Adibroto, 2001).
Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses individu maupun
lembaga untuk menggerakkan dan mengelola sumberdaya, agar menghasilkan
perbaikan berkelanjutan menuju kualitas hidup yang diinginkan. Terdapat enam
elemen kunci dalam pembangunan yaitu perubahan, proses, perbaikan atau
pertumbuhan, keberlanjutan, distribusi dan kualias hidup. Pembangunan sebagai
suatu perubahan, mewujutkan kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat
yang lebih baik dari kondisi sekarang, pembangunan sebagai suatu pertumbuhan,
menunjukkan kemampuan kelompok untuk terus berkembang baik secara kualitas
maupun kuantitas dan merupakan keharusan dalam pembangunan (Soley, 1999).
Agenda 21 Indonesia, strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan
menyarankan pengelolaan perencanaan wilayah pesisir hendaknya
mengintegrasikan lingkungan dengan tujuan sosial dan harus dibuat dengan
partisipasi aktif dan sedini mungkin dari anggota masyarakat (Sonak et al, 2008).
4
9
9
Partisipasi dan keterlibatan masyarakat hendaknya ditingkatkan melalui program
pendidikan lingkungan serta pengelolaan limbah perairan hendaknya termasuk
dalam upaya terpadu yang melibatkan seluruh perwakilan dikabupaten kota,
provinsi hingga tingkat nasional (Lasut et al, 2008).
Seragaldin dan Steer (1993) mengemukakan bahwa terdapat empat tipe
yaitu tipe yang pertama adalah sumberdaya buatan manusia (man-made capital),
seperti mesin, pabrik, bangunan dan bentuk infrastruktur dan teknologi lain.
Wanmali (1992) menyatakan bahwa ada dua tipe infrastruktur yaitu hard
infrastructure seperti jalan, telekomunikasi, listrik dan sistem irigasi dan soft
infrastructure berbentuk pelayanan seperti transportasi, kredit dan perbankan,
input produksi dan pemasaran. Secara fisik man made capital merupakan
kekayaan hasil pembangunan yang dapat diukur dengan mudah. Tipe kedua
adalah sumberdaya yang disediakan oleh lingkungan (natural capital) seperti
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbaharui ataupun
tidak. Tipe ketiga adalah sumberdaya manusia (human capital) serta tipe keempat
adalah sumberdaya sosial (sosial capital) sebuah bentuk fungsi kelembagaan dan
budaya berbasis sosial. Fauzi (2001) mengemukakan pengelolaan sumberdaya
alam adalah bagaimana (how best) mengelola sumberdaya alam tersebut di dalam
suatu wilayah untuk dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia
dan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.
Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi,
telah mengalami perubahan menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Paradigma
pembangunan berkelanjutan mengandung makna pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk
memenuhi kebutuhannya. Konsep keberlanjutan merupakan konsep sederhana
namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan sangat multi dimensi dan
multi interprestasi. Pengertian sederhana dalam perspektif ekonomi terutama
pandangan ekonomi neo klasikal, keberlanjutan diartikan sebagai maksimalisasi
kesejahteraan sepanjang waktu. Konsep kesejahteraan menyangkut dimensi yang
sangat luas, perspektif neo-klasikal melihatnya sebagai maksimalisasi
kesejahteraan yang diturunkan dari utilitas yang diperoleh dengan mengkonsumsi
barang dan jasa. Barang dan jasa yang dikonsumsi antara lain dihasilkan dari
4
10
10
sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2004). Di banyak negara, terutama
negara berkembang, terdapat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
sumberdaya laut untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya, sebagai menahan
dampak angin topan dan tsunami, dan sebagai media transportasi laut, pariwisata,
perikanan, dan pengembangan daerah pesisir. Terdapat 1.2 juta orang (23%) dari
total penduduk dunia yang hidup di wilayah pesisir dan secara terus menurus
memberikan tekanan kepada ekosistem pesisir sehingga terjadi perubahan relative
cepat diseluruh dunia. Ekosistem pesisir juga berubah diantaranya akibat
kerusakan habitat, penangkapan ikan yang berlebihan serta dampak tumpahan
minyak. Pengelolaan wilayah pesisir teradu (ICM) berpotensi untuk menampung
banyak isu ditujukan ke proses multi-stakeholder, tetapi hendaknya didukung
kolaborasi, kontribusi dan penghargaan pemerintah. (Wilson dan Wiber, 2009).
Sumberdaya kelautan Indonesia merupakan salah satu aset pembangunan
yang penting dan memiliki peluang sangat besar untuk dijadikan sumber
pertumbuhan ekonomi baru. Setidaknya terdapat tiga alasan utama yang
mendasarinya, pertama, secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di
dunia. Kedua di wilayah pesisir dan lautan yang sangat luas terdapat potensi
pembangunan berupa aneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang
belum dimanfaatkan secara optimal (Resosudarmo et.al., 2000). Ketiga, seiring
pertambahan jumlah penduduk dunia dan semakin menipisnya sumberdaya
pembangunan didaratan, permintaan terhadap produk dan jasa kelautan
diperkirakan meningkat (Resosudarmo et.al., 2002).
Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang
sangat besar. Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan
lautan. Dilihat dari garis pantai, wilayah pesisir mempunyai dua macam batas,
yaitu batas sejajar garis pantai dan batas tegak lurus terhadap garis pantai. Secara
ekologis wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan
laut. Batas wilayah pesisir ke arah darat mencakup daratan yang masih di
pengaruhi proses-proses kelautan. Batas wilayah pesisir ke arah laut meliputi
perairan laut yang masih dipengaruhi proses-proses alamiah dan kegiatan manusia
di daratan (Dahuri, 1998).
4
11
11
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang bersifat dinamis dan merupakan
tantangan bagi sistem perencanaan wilayah pesisir dengan tingkat ketidakpastian
dan dinamika yang sangat tinggi. Lingkungan kelautan masih sedikit dimengerti
jika dibanding wilayah daratannya, terutama yang berhubungan dengan flora dan
fauna serta dampak dari perubahan yang terjadi. Secara pasti, perencanaan
wilayah pesisir jauh lebih rumit dibandingkan dengan perencanaan wilayah
daratan lainnya, karena ekosistem wilayah pesisir lebih kompleks dibandingkan
dengan ekosistem daratan lainnya. Dibutukan komunikasi yang baik antara
berbagai kelompok masyarakat lokal untuk bersama-sama bekerja dan berpikir
secara nasional dalam konteks wilayah lokal. Yang perlu diingat manajemen
wilayah pesisir terpadu (ICZM) merupakan rangkaian proses, yang lebih
mengarah kepada penjiwaan dari sekedar bentuk spesifik dari sebuah manajemen.
Tidak ada yang salah ataupun benar dalam metode penerapan ICZM, karena
setiap situasi tentunya berbeda (Stead dan McGlashan, 2006).
Kawasan pesisir dan lautan merupakan kawasan yang kaya akan berbagai
ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya total nilai
kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word’s gross
natural product (COREMAP, 1999). Wilayah pesisir pada umumnya merupakan
wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Karena kondisi
geografis dan potensi yang dimilikinya, banyak sektor ekonomi yang berkembang
diwilayah pesisir. Khususnya di wilayah pesisir, sektor-sektor ekonomi yang
dominan adalah perikanan laut, yang mencakup kegiatan penangkapan, budidaya
dan pengolahan (Anonymous, 2000).
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah proses pengaturan, para
stakeholder dan anggota kelompok memiliki kekuatan dan kesempatan formal
untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan yang merupakan hal
penting berdampak pada peraturan pengelolaan perikanan. Banyak pelaku aktifitas
ekonomi disektor perikanan tidak memiliki kemauan untuk maju dan
mendiskusikan permasalahan keamanan dan pengelolaan perikanan secara terbuka
karena pendapatnya seringkali tidak berpengaruh pada peraturan yang sedang
disusun. Masyarakat pesisir membutuhkan koordinasi lebih lanjut dengan
pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur kehidupan dimasa
4
12
12
mendatang (Kaplan dan Powell, 2000). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu telah
digunakan lebih dari satu dekade untuk mengarahkan perubahan paradigma dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir Kesuksesan dapat diraih apabila para stakeholder
yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu memiliki inisiatif untuk
berbagi pengalaman, belajar dari kesalahan masa lalu dan memiliki keinginan
untuk mengubah strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pengelolaan
wilayah pesisir terpadu hendaknya dimengerti sebagai proses dinamis dan
interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan secara ters menrus.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu membutuhkan waktu dan dukungan jangka
panjang dari pemerintah, membawa pada pendekatan pengelolaan yang efisien,
adil, bertahan, dan berkelanjutan (Hauck dan Sowman, 2001).
Sebuah tantangan bagi seluruh stakeholder yang terlibat, untuk
menemukan keseimbangan antara mendorong kegiatan dan mengelola lingkungan
pesisir yang tepat dibawah panduan yang telah disepakati secara internasional.
Untuk menjawab tantangan tersebut, beberapa rekomendasi yang diusulkan antara
lain: 1) dibutuhkan jawaban atas permasalahan lingkungan wilayah pesisir dan
termasuk respon dalam perspektif jangka panjang untuk para pembuat kebijakan,
2) dibutuhkan pengakuan terhadap kebergantungan ekonomi dan sistem
lingkungan dan untuk menentukan batas antara aktivitas manusia yang
dibutuhkan, khususnya di daerah pesisir, dan 3) dibutuhkan perlindungan terhadap
kelestarian lingkungan dan mengembalikan lingkungan yang terdegradasi (Sarda,
Avila, dan Mora, 2005). Wilayah laut terlindung (Marine Protected Areas)
merupakan salah satu bentuk program untuk melindungi keberagaman dan
mengelola habitat pesisir yang sensitif dan juga untuk melindungi spesies yang
berharga secara komersial serta beragam bentuk pengelolaan aktivitas ekonomi di
wilayah pesisir (Cho, 2005).
Dalam pendekatan pengelolaan, akan lebih efektif apabila terdapat pihak-
pihak yang pro aktif, mengambil sudut pandang strategi jangka panjang,
mengenali dinamisme dari sistem yang sedang dikelola, adaptif (dalam hal
geografis dan respon terhadap informasi baru), dan mencari solusi yang
menyeluruh (Fletcher dan Pike, 2007). Sistem pengelolaan wilayah pesisir terpadu
merupakan sistem pengelolaan wilayah pesisir yang memiliki karekateristik
4
13
13
serupa baik sumberdaya alami dan manusianya yang secara fisik terhubung
melalui laut (Laine dan Kronholm, 2005). Kelompok pesisir lokal merupakan
organisasi netral yang mewakili banyak kepentingan dan memiliki peran yang
sangat penting dalam melibatkan mayarakat, meningkatkan kesadaran, dan
menampung aspirasi (Storrier dan McGlashan, 2006).
2.2 Tipologi Perkembangan Wilayah Pesisir
Konsep ruang mempunyai beberapa elemen atau unsur yang dapat dilihat
secara terpisah, secara bersamaan dan dipergunakan dalam ruang lingkup yang
lebih luas yaitu organisasi tata ruang dari kegiatan manusia. Unsur-unsur tata
ruang penting adalah jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Keempat unsur
ini secara bersamaan menyusun unit tata ruang yang disebut Wilayah. Usaha
menetapkan batas-batas wilayah, kerapkali pengelompokan atas kriteria :
homogenitas; nodalitas dan unit program atau unit administrasi. Konsep
homogenitas menetapkan batas berdasarkan beberapa persamaan unsur tertentu,
seperti unsur ekonomi wilayah yaitu pendapatan per kapita, kelompok industri
maju, tingkat pengangguran atau keadilan sosial politik seperti identitas wilayah
berdasarkan sejarah, budaya dan sebagainya. Konsep nodalitas, menekankan
perbedaan struktur tata ruang dalam wilayah terdapat sifat ketergantungan
fungsional. Mendefinisikan konsep disadari penduduk tidak dapat hidup terpisah-
pisah sedemikian rupa, cenderung berkumpul pada pusat yang spesifik dari
kegiatan. Pusat atau kota dan wilayah belakangnya saling tergantung dan tingkat
ketergantungan dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang-barang
dan pelayanan ataupun komunikasi dan transportasi (Budiharsono, 2006).
Setiap wilayah mempunyai satu atau beberapa kota besar sebagai pusat dan
diantaranya tertinggi berwujut kota metropolitan dan prinsip dominasi atau
pengaruh kota dipakai untuk menetapkan batas wilayah. Konsep administrasi atau
unit program, lebih mudah dipahami karena didasarkan perlakuan kebijakan yang
sama disebut wilayah perencanaan atau wilayah program. Manfaat konsep ini
adalah perencana dan analisisi dapat bekerja dan lebih mudah mengadakan
evaluasi dan monitoring program pembangunan. Kelemahannya adalah batas
wilayah administrasi tidak sama dengan wilayah fungsional (Budiharsono, 2006).
4
14
14
Teori kutub dan pusat pertumbuhan menekankan pada kutub pertumbuhan
ruang ekonomi. Teori dipergunakan memahami dan menanggapi masalah di
bidang yang menunjukkan hubungan kausal diantara berbagai variabel dalam
kerangka utuh di bidang tertentu. Abstraksi ruang dibedakan atas tiga tipe yaitu :
ruang sebagai suatu rencana diagram atau cetak biru; ruang sebagai medan
kekuatan-kekuatan dan ruang sebagai suatu keadaan yang homogen. Kutub
diartikan vektor dari ruang ekonomi sebagai medan kekuatan. Ruang ekonomi
mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub yang mempunyai kekuatan centrifugal
yang memancar sekelilingnya dan mempunyai kekuatan centripental yang
menarik. Setiap pusat merupakan pusat penarik dan penolak serta mempunyai
medan sendiri dalam gugus medan pusat-pusat lainnya.
Unit ekonomi yang dominan tampil memainkan peranan utama dalam
ruang ekonomi. Persaingan diantara perusahaan-perusahaan sejenis menciptakan
keadaan hanya perusahaan kuat saja yang bisa hidup. Peranan dari unit-unit
tersebut digambarkan sebagai perusahaan pendorong. Perusahaan-perusahaan
pendorong dapat meningkatkan produksi perusahaan lainnya, jika peningkatan
produksi tularan, lebih besar dari kenaikan produksi pendorong, maka perusahaan
pendorong disebut perusahaan utama. Ciri-ciri perusahaan pendorong antara lain :
perusahaan besar dengan modal besar dan tekonologi maju; termasuk ke dalam
kelompok industri maju dan cepat tumbuh; mempunyai produktifitas tinggi dan
kemampuan besar dalam penerapan teknologi maju; mempunyai posisi penawaran
kuat dan hubungan kuat dengan kegiatan lain di wilayah tersebut (Todaro, 1995).
Pengertian kutub pertumbuhan didasarkan atas teori keseimbangan dengan
menyadari seluruh produksi bukan hanya merupakan penjumlahan produksi dari
setiap perusahaan dalam suatu matrik, tetapi merupakan fungsi pengaruh
mempengaruhi perusahaan tertentu yang ditimbulkan arus perusahaan-perusahaan
lain dan proses rangkaian dinamis menciptakan hubungan ketergantungan serta
tumbuh berkembang terus menerus.
Konsep dasar sosial ekonomi dari kutub pertumbuhan meliputi :
1. Konsep industri utama dan perusahaan pendorong, berdasarkan
karakteristiknya, industri utama dan perusahaan-perusahaan pendorong
mendominasi unit-unit ekonomi lainnya. Terdapat gugus perusahaan
4
15
15
atau industri kutub pertumbuhan tersebut. Lokasi geografis dapat
terjadi berdasarkan manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari lokasi
sumberdaya, tenaga kerja atau fasilitas prasarana;
2. Konsep polarisasi, pertumbuhan dari industri utama dan perusahaan
pendorong menimbulkan polarisasi unit-unit lainnya ke kutub
pertumbuhan. Aglomerasi ekonomi ditandai : a. economics internal to
firm dicirikan dengan biaya produksi rata-rata yang rendah, b.
economics external to firm but internal to industry, ditandai penurunan
biaya tiap unit produksi karena lokasi tertentu dari industri, seperti
dekat dengan sumber bahan baku dan tenaga kerja trampil.
3. Konsep spred backwash effect dan konsep trikling down effect, konsep-
konsep ini mengandung pengertian pemancaran, penyebaran, penetesan
dan pengertian penarikan, pengumpulan atau polarisasi yang terjadi
diantara hubungan kutub dan wilayah pengaruhnya (hinterland).
Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan
keadaan wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan sangat erat dengan kondisi
dan potensi wilayah baik dari segi fisik lingkungan, ekonomi sosial dan
kelembagaan (Todaro, 1995).
Strategi kutub dan pusat pertumbuhan telah menarik penentu kebijakan
pembangunan karena beberapa alasan antara lain :
1. Berbagai aglomerasi ekonomi cenderung menjadi alasan efisien dalam
rangka menekan biaya-biaya;
2. Konsentrasi investasi di titik-titik pertumbuhan spesifik menjadi lebih
murah, khususnyanya pembiayaan pemerintah tersebar di wilayah-
wilayah yang lebih luas dan;
3. Spred effect mengimbas ke sekitar titik pertumbuhan menanggulangi
masalah-masalah didaerah terbelakang.
Dampak atau manfaat dari strategi kutub dan pertumbuhan dipandang
kurang memuaskan, terutama spread effect atau trickling down ke daerah
pinggiran (periphery) tidak berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Telaah
dan studi dan penelitian dampak strategi kutub dan pusat pertumbuhan
menghasilkan pemahaman sebagai berikut :
4
16
16
1. Spread effect dari pusat pertumbuhan biasanya lebih kecil dari yang
diharapkan, atau lebih kecil dari backwash effect dan memberikan hasil
akhir negatif bagi hinterlandnya. Spread effect secara geografis amat
terbatas dan sempit, biasanya terbatas commuting area dan berfungsi
sesuai dengan ukuran pusat-pusat yang bersangkutan;
2. Peningkatan pendapatan di pusat-pusat berhirarki lebih rendah atau di
wilayah pedesaan menyebabkan penggandaan pendapatan yang kuat di
pusat-pusat yang jenjang hirarkinya lebih tinggi dan tidak sebaliknya
dan tampaknya lebih berorientasi ke atas dari pada ke bawah, dalam
sistem jenjang hirarki kota-kota;
3. Kerangka pembangunan lebih luas, khususnya pembangunan tata ruang,
agak sulit menerapkan kebijakan pusat pertumbuhan untuk daerah-
daerah terbelakang karena kurangnya spread effect dari kota-kota ke
daerah hinterland yang lebih luas.
Penerapan strategi kutub dan pusat pertumbuhan cenderung gagal karena
kekeliruan dalam beberapa hal diantaranya adalah :
1. Seringkali penentu kebijakan membuat keputusan melakukan
konsentrasi investasi wilayah yang kondisinya tidak menunjukkan
tingginya potensi industri untuk tumbuh didaerah-daerah terbelakang.
Daerah industri membutuhkan kondisi tertentu untuk tumbuh, selain
faktor investasi semata;
2. Pertumbuhan diprioritaskan pada distribusi atau pemerataan. Kesadaran
kutub dan pusat pertumbuhan lebih didasarkan pertimbangan fungsional
dari pada berdasarkan geografis yang cenderung diabaikan;
3. Kecenderungan kutub-kutub pertumbuhan mempunyai interaksi dengan
kutub-kutub di wilayah lain. Tidak terdapat hubungan dan interaksi yang
cukup nyata dengan industri-industri tersebar diwilayah bersangkutan.
Seharusnya terdapat interaksi kutub-kutub pertumbuhan berfungsi
dengan industri-industri. Industri seharusnya menyediakan input, bahan
baku atau bahan setengah jadi bagi industri pendorong atau industri-
industri pendorong harus memanfaatkan input dari industri-industri
4
17
17
lokal. Di bidang agroindustri, pengolahan hasil perikanan memanfaatkan
hasil-hasil tangkapan nelayan lokal di wilayah pedesaan;
4. Adanya batas pertumbuhan atau polarisasi dari kutub dan pusat
pertumbuhan, masalah Diseconomics of scale. Industri maju di kota-
kota, mengalami kemunduran disebabkan diseconomics of scale, seperti
masalah efisiensi manajemen perusahaan besar, kenaikan biaya
produksi. Manfaat aglomerasi berkurang akibat meningkatnya biaya
fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan upah, kenaikan harga bahan
baku dan energi disebabkan ongkos sosial seperti pencemaran suara,
udara dan air. Bila tidak diatasi dan tetap dipertahankan, memerlukan
biaya tinggi dibebankan kegiatan ekonomi di tempat lain;
Kutub dan pusat pertumbuhan tampil di kota-kota yang memiliki
kompleks industri pendorong, masalahnya adalah ukuran dari kota tersebut.
Pertumbuhan kota menghadapi masalah-masalah perluasan kota, baik disebabkan
tata ruang dan topografi, masalah harga tanah, teknologi, fasilitas transportasi,
jaringan komunikasi, fasilitas pelayanan sosial dan tata guna lahan.
Menanggulangi masalah ini dapat dipecahkan melalui analisa dan teori batas
ambang pertumbuhan kota yaitu cara penyebaran kota-kota dengan ukuran-ukuran
tertentu dalam sistim tata ruang, terutama di wilayah-wilayah yang kurang maju.
2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir
Sumberdaya dapat didefinisikan dalam arti luas sebagai segala sesuatu
yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki nilai untuk memenuhi
kebutuhan manusia (Randall, 1997). Menurut Adrianto (2006), sumberdaya secara
awam sering diartikan sebagai sesuatu yang bernilai untuk melaksanakan kegiatan
tertentu. Menurut pandangan ekonomi, paling tidak dikenal tiga sumberdaya yaitu
sumberdaya kapital, sumberdaya tenaga kerja dan sumberdaya alam. Sumberdaya
kapital menunjuk kepada kelompok sumberdaya yang digunakan untuk
menciptakan proses produksi yang lebih efisien. Sementara sumberdaya tenaga
kerja dimaksudkan sebagai kapasitas produktif dari manusia baik secara pisik
maupun mental yang terkait dengan kemampuan untuk bekerja atau memproduksi
suatu barang dan atau jasa. Sedangkan sumberdaya alam adalah stok materi living
4
18
18
maup non living yang terdapat dalam lingkungan pisik secara potensial memiliki
fungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Sumberdaya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal
pertumbuhan ekonomi (resource basesd economy) dan sekaligus sebagai
penopang sistem kehidupan (life support system). Sumberdaya alam sangat
berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional (BPS, 2008).
Pada dasarnya pertumbuhan ekonomi disebagian besar negara di dunia
adalah berbasiskan sumberdaya alam. Perkembangan pemikiran mengenai
perhitungan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yang biasanya dianggap sebagai
penggambaran dari kesejahteraan masyarakat (System of National Accounting /
SNA, Growth Domestic Product / GDP dan Net National Product / NNP),
ternyata masih mengabaikan perhitungan mengenai penurunan sumberdaya.
Perkembangan selanjutnya dalam neo classical ekonomi, pengukuran dengan
menggunakan GDP dan NNP, belum menjawab mengenai sumberdaya itu sendiri
dalam kaitannya dengan man-made capital, human capital dan natural capital,
yang dalam kurun waktu tertentu mengalami depresi dan apresiasi. Natural capital
sendiri pada dasarnya menghasilkan barang dan jasa yang tidak dihitung secara
utuh dalam prespektif neo-classical economy (Fauzi dan Anna, 2002).
Indonesia memiliki modal sumberdaya alam (natural capital) yang besar
dan relative masih belum optimal pemanfaatannya, ditambah dengan modal sosial
(sosial capital), teknologi dan sumberdaya manusia yang perlu didesain secara
komprehensif dalam sebuah aransemen pembangunaan yang tepat dan
berkelanjutan. Dengan meletakkan fungsi dan kebijakan ekonomi secara benar
sesuai dengan visi ecological economics (EE) maka pembangunan berkelanjutan
sebagai tujuan akhir dari visi ecological economics (EE) adalah suatu
keniscayaan, yaitu sebuah konesp pembangunan ekonomi yang lebih arif,
meletakkan keseimbangan peran manusia sebagai bagian dari komunitas dan
kelestarian ekosistem (Adrianto, 2004b).
Nilai keberadaan merupakan katagori nilai yang dimiliki ekosistem pesisir.
Nilai keberadaan ekosistem pesisir merupakan nilai kegunaan didapat seseorang
atau masyarakat mengetahui ekosistem pesisir terpelihara keberadannya.
Keberadaan sistem alam termasuk indivisible in consumtion, kegunaan diperoleh
4
19
19
seseorang yang mengetahui keberadaan spesies atau ekosistem, tidak berkurang
hanya karena orang lain juga mengetahui keberadaan spesies atau ekosistem
tersebut. Salah satu wujud nyata adanya nilai keberadaan adalah timbulnya
partisipasi didalam usaha merehabilitasi sumberdaya alam yang mengalami
kerusakan, partisipasi pelestarian tumbuhan. Kegunaan keberadaan dan
ketidakbergunaan karena kepunahan merupakan sumber nilai keberadaan.
Pertimbangan dasar penetapan ekosistem pesisir paling tidak menggunakan lima
kriteria utama yaitu (Alikodra, 1999) :
1. Keanekaragaman, yaitu sumberdaya pesisir memiliki keanekaragaman
yang besar, baik biota maupun ekosistemnya, penting dalam menentukan
stabilitas biota dan menjamin sumber genetika yang besar.
2. Keterwakilan, yaitu sumberdaya pesisir memiliki formasi biota tertentu
dan dipergunakan pembaku bagi formasi-formasi sejenis di daerah lain.
3. Keaslian, yaitu sumberdaya pesisir memiliki kondisi biota maupun fisik
sejauh mungkin masih asli atau belum dipengaruhi kegiatan manusia.
4. Kekhasan, yaitu sumberdaya pesisir harus memiliki sifat-sifat yang khas
yang tidak diketemukan di daerah lain.
5. Keefektifan, yaitu sumberdaya pesisir memiliki kondisi yang mendukung
efektifitas pengelolaan, seperti luas, batas alam seperti sungai, pantai
sehingga memudahkan pengawasan dan pengamanan.
Bertitik tolak kriteria tampak bahwa kriteria satu sampai lima dapat
menjadi sumber adanya nilai keberadaan. Pengembangan konsep nilai keberadaan
sangat membantu sebagai penghubung antara ahli ekonomi dan ahli lingkungan di
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai Penggunaan adalah
nilai kegunaan atau manfaat yang diperoleh seseorang atau masyarakat dari
penggunaan barang atau jasa lingkungan saat kini. Penggunaan barang atau jasa
lingkungan bersifat konsumtif maupun non konsumtif. Jenis nilai penggunaan
digolongkan atas dua nilai penggunaan yaitu nilai penggunaan langsung dan nilai
penggunaan tidak langsung (Dahuri, 2000)
Surplus konsumen dari sumberdaya pesisir menggunakan asumsi
ekosistem pesisir dianggap barang privat. Jumlah responden yang bersedia
membayar sama dengan jumlah permintaan dan nilai nominal yang bersedia
4
20
20
dibayar responden sama dengan harga dari nilai ekonomi pesisir. Total nilai
ekonomi dari sumberdaya pesisir dan laut terdiri dari nilai pakai dan nilai yang
bukan nilai pakai. Nilai pakai adalah nilai yang timbul dari pemanfaatan
sebenarnya terhadap fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem.
Nilai-nilai pakai selanjutnya dibagi menjadi nilai-nilai pemanfaatan secara
langsung, nilai-nilai dari pemanfaatan secara tidak langsung dan nilai pilihan.
Nilai-nilai pemanfaatan secara langsung adalah pemanfaatan sebenarnya. Nilai-
nilai pemanfaatan secara tidak langsung berupa keuntungan-keuntungan berasal
dari fungsi-fungsi ekosistem. Nilai-nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan
kesediaan seseorang membayar pelestarian sumberdaya pesisir dan laut bagi
penggunaan dimasa depan, nilai-nilai pilihan dapat dianggap sebagai premi
asuransi dan masyarakat bersedia membayarnya guna menjamin pemanfaatan di
masa depan terhadap sumberdaya pesisir dan laut (Pearce & Moran, 1994).
Menurut Spinner (2006), kekuatan ekonomi wilayah sangat tergantung
ketersediaan sumberdaya alam berkelanjutan. Hubungan manajemen sumberdaya
dan pembangunan ekonomi dijelaskan dengan konsep nilai sumberdaya. Nilai
dikuantifikasi dengan mengukur nilai hasil produksi sumberdaya, pendapatan
ekspor, jumlah orang yang terserap ke dalam lapangan pekerjaan baik langsung
maupun tidak langsung, dan nilai budaya sumberdaya yang tidak dapat
dikuantifikasi dengan uang. Berbagai perististiwa yang merusak ekosistem
wilayah, seperti banjir memiliki dampak langsung pada nilai sumberdaya dan
mempengaruhi produktivitas dan kesejahteraan ekonomi penduduk. Melalui
upaya-upaya pencegahan dan rehabilitasi kerusakan serta pengelolaan sumberdaya
terpadu, integritas ekologi menjadi terjamin dan kegiatan produksi dapat
berlangsung berkelanjutan, kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat dicapai.
Menurut Biro Pusat Statistik, tingkat kesejahteraan dikaji melalui bidang-bidang
antara lain : kependudukan, pendidikan dan kesehatan (Suwito, 2005).
Salah satu tujuan utama komunitas berbasis pengelolaan sumberdaya
pesisir adalah pemberdayaan masyarakat yang kurang beruntung, terdiri dari
sebagian besar penduduk pesisir dan seringkali terpengaruh oleh berbagai isu
pengelolaan. Pengembangan komunitas haruslah berlandaskan pendekatan
pendidikan dan pematangan organisasi komunitas sebagai dasar utama mencapai
4
21
21
tujuan yaitu melestarikan sumberdaya, rehabilitasi habitat, dan pengurangan
kemiskinan (Balgos, 2005). Mengkombinasikan partisipasi masyarakat,
pendidikan lingkungan dan dorongan ekonomi merupakan keputusan yang tepat
untuk secara bersama-sama memberikan dukungan kelembagaan dalam jangka
panjang dari pemerintah, lembaga non-pemerintah, akademisi, atau institusi
lainnya yang tergabung dalam kerangka kesuksesan penyelenggaraan wilayah laut
terlindung/Marine Protected Areas (White et al, 2005).
2.4 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan geranasi
mendatang untuk memenuhi kebuthan hidupnya. Pembangunan berkelanjutan
pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan
semacam ambang batas laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya
alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, tetapi
merupakan batas yang luwes yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial
ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk
menerima dampak kegiatan manusia. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu
strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas
fungsionalnya memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak,
sehingga pengelolaan pesisir dan laut yang berkelanjutan tidak lepas dari frame
pembangunan berkelanjutan (Dahuri, 2000).
Perikanan merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks.
Tantangan untuk memelihara sumberdaya menjadi issue yang cukup kompleks
dalam pembangunan perikanan. Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam
pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya
dan masyarakat perikanan. Walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan
sudah dapat dipahami, namun sampai sekarang masih menghadapi kesulitan
dalam menganalisis atau mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan.
Khususnya ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi
atau data dari ekologi, sosial, ekonomi maupun ehtik (Fauzi, 2002). Perikanan
sebagai suatu sumberdaya yang bersifat common property dan berada pada suatu
4
22
22
tempat yang tidak mudah untuk dipisahkan atau dibagi-bagikan, pemanfaatan
sumberdaya yang dilakukan seorang individu berpengaruh pada individu yang
lain. Persoalan eksternalitas tetap muncul saat sumberdaya tersebut dimanfaatkan,
wakaupun sumberdaya tersebut terdistribusikan merata menurut waktu dan lokasi.
Kondisi sumberdaya perikanan, eksternalitas merupakan dilemma sebuah ciri khas
dan membedakannya dari sumberdaya lainnya (Sobari, 2003).
Pembangunan perikanan berkelanjutan adalah suatu kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan dan lingkungannya guna memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Terdapat dua substansi pokok yaitu : 1) konsep kebutuhan mensejahterakan
nelayan dan generasi mendatang, 2) gagasan tentang keterbatasan yang bersumber
kepada keadaan teknologi dan organisasi sosial yang dikenakan terhadap
kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa
mendatang (Kusumastanto, 2003). Terdapat beberapa cara pengembangan
perikanan, diantaranya memperbaiki kerangka legislatif yang berpengaruh pada
sektor perikanan, dan penguatan institusional departemen perikanan berupa
kolaborasi yang lebih baik dengan departemen lain, ketiga, memecahkan masalah
pendanaan, keempat meningkatkan penelitian perikanan dan kelima
pengembangan sumberdaya manusia dibidang perikanan (Thorpe et al. 2009).
Pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan pesisir pada masa otonomi
daerah yang paling tepat adalah dengan melakukan pengelolaan secara optimal,
yang dapat menjamin potensi lestari sumberdaya perikanan dan stablitas produksi
serta keberlanjutan ditingkat usaha perikanan, sesuai Undang-undang otonomi
daerah dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya wilayah pesisir dan
sumberdaya hayati laut. Pengelolaan optimal perikanan laut memberikan ruang
tidak saja untuk keberlanjutan sumberdaya perikanan namun juga mendorong
pemerataan serta tegaknya kelembagaan dan kearifan lokal di wilayah pesisir dan
lautan. Pengelolaan optimal juga dapat mengalokasikan sumberdaya secara lebih
efektif dan efisien sehingga mendorong perubahan produksi kearah yang sesuai
dengan daya dukung ekonomi dan daya dukung ekologis wilayah pesisir
(Masydzulhak, 2006).
4
23
23
Revitalisasi perikanan merupakan upaya yang tidak dapat dilakukan dalam
jangka pendek dan merupakan upaya jangka panjang dan terus menerus.
Revitalisasi perikanan itu sendiri memerlukan prasyarat perubahan diantaranya
adalah kemauan untuk mengubah pendekatan sektoral menuju pendekatan
integratif untuk mengelola sumberdaya perikanan (Dahuri dan Adrianto, 2005).
Penurunan yang tajam pada spesies ikan lebih disebabkan oleh terjadinya
penangkapan yang berlebihan sebagai akibat dari perubahan sistem ekonomi
menjadi ekonomi pasar bebas (Vetemaa et al, 2005). Komunitas ikan di wilayah
pesisir pantai Baltik perubahan yang signifikan terjadi karena faktor eutrofikasi
dan suhu air (Adjers et al, 2005). Eutrofikasi merupakan peningkatan kadar
nitrogen dan fosfor di laut, diakui sebagai ancaman utama pada ekosistem laut
(Nordvarg dan Hakanso, 2002). Statistika penangkapan ikan yang formal sekarang
ini masih merupakan satu sumber data yang digunakan secara luas untuk
menggambarkan dinamika persediaan ikan (Lajus, Ojaveer, Tammiksaar, 2007).
Proses terpadu pengelolaan perikanan meliputi pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, pengalokasian
sumberdaya dan formulasi serta implementasi, dengan pelaksanaan peraturan
yang berpengaruh pada aktivitas perikanan dalam rangka untuk memastikan
keberlanjutan produktivitas sumberdaya (FAO, 1997). Pengelolaan perikanan
meliputi : 1) mengatur kebijakan dan tujuan budidaya perikanan yang ada maupun
potensial serta aktivitas lain terkait dengan pengaruh potensi ekonomi serta
kontribusi sosial perikanan untuk tujuan dan kebutuhan lokal maupun nasional;
2) menentukan dan mengimplementasikan tindakan yang penting untuk
memungkinkan stakeholders untuk bekerja mencapai tujuan (FAO, 1996).
Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal diantarnya meliputi nilai
pengetahuan, religi, sosial dan ekonomi. Tipe pengelolaan sumberdaya perikanan
dan kelautan dalam kerangka co–management merupakan tipe cooperatif,
pemerintah dan masyarakt terlibat secara bersama dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan dan kelautan (Ramadhan, 2006). Masalah utama dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah adanya kesenjangan antara kepercayaan publik
seperti konservasi jangka panjang stok perikanan dan lingkungan ekologi dengan
adanya keinginan tertentu dari pengguna yang mengeksploitasi sumberdaya
4
24
24
perikanan. Terdapat dua faktor utama yang berkontribusi terhadap perilaku
nelayan memanfaatkan sumberdaya perikanan yaitu faktor internal dan eskternal.
Perilaku positif nelayan merupakan perilaku yang comform, mengikuti prinsip
ekonomi dan konservasi, sedangkan perilaku negatif adalah kegiatan destruktif
yang berakibat buruk bagi kelestarian sumberdaya perikanan (Amanah, 2006).
Masyarakat dan stake holders terkait yang diwakili lembaga adat
seharusnya terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi kebijakan terkait dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan. Pentingnya untuk mengambil nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada
dalam masyarakat kedalam suatu model pengelolaan diterjemahkan dalam bentuk
co-management, secara ideal masyarakat dan pemerintah adalah mitra yang setara,
perhatian utamanya adalah bagaimana memecahkan masalah dalam sistem
pengaturan dan pengawasan (Dubbink and Viiet, 1996).
Ancaman terhadap kapasitas keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
perikanan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, baik akibat aktivitas
manusia maupun fenomena alam, menuju sumberdaya pesisir dan lautan secara
sektoral dan dapat diatasi melalui pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
dengan pendekatan terpadu dan holistik (Efendy, 2005). Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF), mengamanatkan negara-negara didunia untuk
melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab.
Prinsip-prinsip pengelolaan meliputi : 1) pelaksanan hak menangkap ikan diikuti
upaya konservasi; 2) pengelolaan mempertahankan kualitas sumberdaya,
keanekaragaman hayati dan berkelanjutan; 3) pengembangan armada sesuai
kemampuan reproduksi sumberdaya; 4) perumusan kebijakan perikanan; 5)
pengelolaan berdasakan prinsip kehati-hatian; 6) pengembangan alat penangkapan
yang selektif dan aman terhadap sumberdaya; 7) mempertahankan nilai
kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi; 8) perlindungan dan
rehabilitasi terhadap habitat sumber-sumber perikanan kritis; 9) pengintegrasian
pengelolaan sumber perikanan dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan
10) penegakan hukum (Manggabarani, 2006).
4
25
25
Undang-undang 31 tahun 2004 Bab I Pasal 1 menyatakan, pengelolaan
perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari
perundang-undangan dibidang perikanan, yang dilakukan pemerintah atau otoritas
lain diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati
perairan dan tujuan yang disepakati. Pasal 2 menyebutkan, pengelolaan perikanan
dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemeratan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian berkelanjutan. Tujuan
pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu : 1) meningkatkan taraf
hidup nelayan atau pembudidaya skala kecil, 2) meningkatkan penerimaan dan
devisa negara, 3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja, 4) meningkatkan
ketersediaan dan konsumsi protein ikan, 5) mengoptimalkan pengelolaan
sumberdaya, 6) meningkatkan poduktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, 7)
meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengeloahan ikan, 8)
mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan
lingkungan sumberdaya ikan secara optimal serta 9) menjamin kelestarian
sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.
Menurut Nikijuluw (2002), sumberdaya perikanan harus dikelola dengan
baik, karena sumberdaya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia.
Pendekatan apapun yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya,
jika pemanfaatannya dilakukan berlebihan, akhirnya sumberdaya mengalami
tekanan secara ekologi dan menurun kualitasnya. Pengelolaan sumberdaya
perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan
dengan baik dan tujuan pembangunan dapat tercapai. Sumberdaya perikanan
terdiri atas sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan serta segala sumberdaya
buatan manusia digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya. Pengelolaan
sumberdaya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumberdaya ikan,
pengelolaan lingkungannya serta pengelolaan kegiatan manusia.
Diberlakukannya Undang-undang 32 tahun 2004 membawa konsekuensi
berupa perubahan dalam tata pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan
dan perikanan. Berdasarkan Undang-undang tersebut, Pemda memiliki landasan
4
26
26
yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu,
mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian
sumberdaya dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan dan perikanan
secara berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan adalah menyusun rencana
strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya secara terpadu dari setiap provinsi
dan kabupaten kota, yaitu menyusun zonasi kawasan perairan untuk menfokuskan
sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan untuk
suatu kawasan tertentu atau suatu sumberdaya tertentu. Membuat rencana aksi
yang memuat rencana investasi berbagai sektor, untuk kepentingan pemerintah
daerah, swasta maupun masyarakat. Perencanaan hendaknya dilakukan secara
partisipatif yaitu segenap komponen daerah terlibat dalam proses dan tahapan
perencanaan pengelolaan tersebut (Dahuri, 2003).
Kerangka pembangunan perikanan khususunya perikanan tangkap,
pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola
sumberdaya perikanan, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar 1945
pasal 33 maupun Undang-undang Perikanan No 9 tahun 1985, diperbaharui
Undang-undang Perikanan No. 31 tahun 2004. Peran dimaksud adalah
memberikan mandat kepada pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam,
termasuk sumberdaya perikanan untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan
pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan, diwujutkan dalam tiga fungsi
yaitu (Nikijuluw, 2002) :
(1) Fungsi alokasi, dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
(2) Fungsi distribusi, dijalankan pemerintah agar terwujut keadilan dan
kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul setiap orang,
disamping keberpihakan pemerintah kepada yang tersisih atau lebih lemah.
(3) Fungsi stabilisasi, ditujukan agar pemanfaatan sumberdaya ikan tidak
berpotensi menimbulkan instabilitas yang merusak dan menghancurkan
tatanan sosial ekonomi masyarakat.
Tujuan pembangunan perikanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang
No. 31 tahun 2004 tentang perikanan adalah sebagai berikut :
(1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil
4
27
27
(2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara
(3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja
(4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani
(5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan
(6) Meningkatkan produktifitas, mutu, nilai tambah dan daya saing
(7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan
(8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan
lingkungan sumberdaya ikan secara optimal
(9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan budidaya ikan dan tata ruang.
Penyiapan berbagai program pembangunan dalam pengelolaan pesisir dan
lautan terpadu harus didasarkan pada kondisi biofisik, sosial ekonomi dan
kelembagaan setempat. Atas dasar kondisi biofisik dan sosial ekonomi tersebut
dapat diimplementasikan berbagai program terkait pelibatan aktif masyarakat
pesisir mulai dari perencanaan hingga tindak lanjut program (Amanah, 2004).
Kebijakan pembangunan perikanan Indonesia ke depan lebih ditekankan
pada pengendalian perikanan tangkap, pengembangan budidaya perikanan dan
peningkatan nilai tambah melalui perbaikan mutu dan pengembangan produk
mengarah pada pengembangan industri kelautan dan perikanan terpadu berbasis
masyarakat. Strategi yang ditempuh adalah peningkatan daya saing komoditas
perikanan didukung dengan peningkatan sumberdaya manusia serta pemberian
akses dan kesempatan yang sama pada seluruh pelaku usaha di bidang perikanan,
sehingga mampu menghadapi persaingan global di tengah peningkatan tuntutan
dan kebutuhan masyarakat dengan berbagai dimensinya. Kebijakan pengendalian
perikanan tangkap wilayah perairan yang sudah lebih tangkap, pengembangannya
kedepan dilakukan melalui prinsip kehati-hatian, membatasi penambahan upaya
penangkapan sekaligus mendorong nelayan dapat beralih kegiatan pembudidayaan
ikan atau pengolahan, khususunya melalui pengembangan produk. Wilayah padat
tangkap, peningkatan mutu lebih didorong guna memberikan penghasilan lebih
besar bagi para nelayan. Wilayah perairan yang masih potensial, peningkatan
produksi dilakukan secara selektif sesuai jumlah tangkapan yang diperbolehkan
dan memperhitungkan prinsip kelestarian sumberdaya ikan (Departemen Kelautan
dan Perikanan, 2004).
4
28
28
2.5 Pengelolaan Perikanan dalam Konsepsi Perencanaan dan Pengelolaan
Wilayah Pesisir
Terminologi perencanaan (planning) dan pengelolaan (management)
memiliki berbagai interpretasi yang tergantung pada tujuan waktu penggunaan
terminologi. Perencanaan merupakan serangkaian proses sebelum melakukan
sesuatu dimasa depan, yang memiliki dua komponen yaitu menentukan tujuan
yang akan dicapai dimasa depan dan mengidentifikasi langkah-langkah untuk
mencapai tujuan tersebut. Perencanaan dapat dikategorikan kedalam dua
kelompok besar yaitu perencanaan strategis (strategic planning) dan perencanaan
operasional (operasional planning). Perencanaan strategis merupakan level
tertinggi dalam perencanaan, jenis perencanaan ini menyediakan kerangka, visi
dan misi serta strategi besar untuk mencapai beberapa tujuan spesifik.
Perencanaan strategis tidak berisi detail langkah pencapaian tujuan. Rencana
pengelolaan pesisir dan laut disusun sebagai sebuah dokumen yang diharapkan
mampu mengidentifikasi isu dan permasalahan pengelolaan wilayah pesisir pada
saat yang sama mampu memberikan solusi dimasa depan.
Terminologi pengelolaan (management) memiliki berbagai makna
tergantung dari tujuan dan sudut pandang pelaku. Pengelolaan memiliki makna
sebagai proses pengaturan kegiatan sehari-hari untuk mencapai tujuan tertentu.
Pengelolaan pesisir (coastal management) dapat dipandang sebagai proses
pengaturan kegiatan sehari-hari yang terjadi di wilayah pesisir dan laut.
Pengelolaan dapat dikelompokkan menjadi pengelolaan strategis (strategic
management) dan pengelolaan operasional (operational management).
Pengelolaan strategis memfokuskan pada proses terkendali dari sebuah urusan
institusi yang terkait dengan wilayah pesisir dan laut, lebih berprespektif makro,
sedangkan pengelolaan operasional lebih menitik beratkan pengaturan kegiatan
sehari-hari di lapangan sehingga berorientasi mikro (Kay and Alder,1999).
Perencanaan strategis (strategic planning), perencanaan operasional
(operasional planning), pengelolaan strategis (strategic management) dan
pengelolaan operasional (operational management) dalam konteks pengelolaan
pesisir dan laut di Indonesia, kedua jenis perencanaan dan pengelolaan dapat
dilakukan tergantung tujuannnya. Bahkan dalam beberapa kasus, tidak ada
4
29
29
pembedaan yang tegas antara kedua jenis perencanaan dan pengelolaan tersebut
dalam kerangka pengelolaan pesisir dan laut (Kusumastanto. 2006).
Prinsip pengelolaan wilayah pesisir terdiri dari lima hal yaitu : 1) prinsip
pembangunan berkelanjutan; 2) prinsip keterpaduan; 3) prinsip desentralisasi
pengelolaan pesisir; 4) prinsip berorientasi pada masyarakat dan 5) prinsip
pengelolaan global (Cicin-Sain and Knecht,1998).
Kesatuan ekosistem menjadi hal utama dalam pengelolaan perikanan,
tetapi para ahli masih mempunyai pendapat yang berbeda pada cara mengukur
ekosistem yang sehat serta memasukkannya dalam konsep penilaian kelestarian
sumberdaya perikanan. Terdapat kecenderungan meningkatnya perhatian terhadap
kontribusi perikanan terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Berkenaan
dengan proses globalisasi, industri perikanan merupakan industri yang adaptif,
maket-driven dan sektor yang selalu berkembang dalam perkonomian dunia secara
global (FAO, 2001). Pengelolaan perikanan memiliki tujuan yang berbeda-beda
bahkan seringkali terjadi konflik diantara tujuan-tujuan itu, beberapa contoh
tujuan diantaranya adalah penyediaan berkelanjutan, peningkatan efisiensi dan
dan keuntungan ekonomi, komunitas wisata yang berkelanjutan dan kondisi kerja
yang sehat dan aman bagi para wisatawan. Tujuan ini secara umum selaras dengan
tiga tujuan pengembangan secara berkelanjutan yaitu ekologis, ekonomis, dan
pengembangan sosial, yang terdapat dalam tujuan regional. Pengembangan secara
berkelanjutan seringkali didefinisikan sebagai ketahanan secara ekonomi, ekologi,
dan sosial, untuk mencapai tujuan ini menggunakan pengelolaan perikanan
berbasis pengetahuan yang melibatkan beberapa bidang ilmu, di antaranya
biologi, ekonomi dan geografi (Heen dan Flaaten, 2007).
Kebijakan pengelolaan perikanan tidak akan berhasil optimal apabila
dilakukan secara parsial baik dalam konsteks institusi maupun pengelolaan itu
sendiri. Kabijakan dan strategi penguatan kapasitas kelembagaan yang
berorientasi pada isu dan permasalahan internasional menjadi sangat pentin dan
merupakan komplemen dari strategi kebijakan yang sudah ada dan harus
dipandang sebuah pendekatan holistic dan komprehensif (Adrianto, 2004a).
4
30
30
Pada mulanya pengelolaan sumberdaya ikan banyak didasarkan pada
faktor biologis semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable
Yield (MSY) yaitu tangkapan maksimm yang lestari. Inti pendekatan ini adalah
setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi
kapasias produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan
tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan. Akan
tetapi pendekatan pengelolaan dengan konsep ini banyak dikritik oleh berbagai
pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik
yang paling mendasar diantaranya karena pendekatan MSY tidak
mempertimbangan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya
alam (Fauzi, 2000). Pelaksanaan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu menjadikan kebijkan nyata dalam pembangunan sumberdaya pesisir dan
lautan Indonesia harus segera dilaksanakan. Peluang keberhasilan implementasi
pengelolaan wilayah pesisir paling tidak didukung oleh adanya dua kebijakan
yaitu pertama, lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang
akan memberikan peluang yang besar bagi daerah untuk mengelola kawasan psisir
dan laut, kedua terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan diharapkan
menjadi lokomotif penggerak pembangunan kelautan dan perikanan nasional
termasuk didalamnya pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Karena
kedua hal tersebut, partisipasi dan komitmen para stakeholder untuk mewujutkan
pembangunan pesisir secara lestari merupakan faktor penentu utama (Adrianto
dan Kususmastanto, 2004).
Pendekatan ekosistem perikanan diadopsi meliputi penggabungan dua hal
yang berbeda tetapi berhubungan dengan harapan dapat menyatukan paradigma.
Pertama yaitu pengelolaan ekosistem bertujuan untuk mencapai tujuan dari
penghematan struktur, keberagaman dan fungsi ekosistem melalui tindakan
pengelolaan yang fokus pada komponen biofisikal ekosistem. Kedua yaitu
pengelolaan perikanan bertujuan untuk mencapai tujuan dari pemuasan kebutuhan
manusia dan sosial akan makanan dan keuntungan ekonomi melalui tindakan
pengelolaan yang berfokus pada aktivitas mencari ikan dan sasaran sumberdaya.
Dua paradigma ini cenderung terbagi ke dua perspektif yang berbeda, tetapi
4
31
31
konsep pengembangan berkelanjutan membutuhkan keduanya untuk menjadi
pendekatan yang lebih menyeluruh untuk menyeimbangkan manusia dan
ekosistem. Pendekatan ekosistem perikanan adalah suatu cara implementasi
pengembangan berkelanjutan dalam konteks perikanan (FAO, 2003).
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah proses yang kompleks,
membutuhkan integrasi antara ekologi dan biologi sumberdaya dengan sosial
ekonomi serta faktor institusi yang mempengaruhi perilaku nelayan dan pembuat
keputusan. Tujuan dari bidang yang multidisplin ini adalah untuk membantu
pengambil keputusan guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan dari
aktivitas perikanan sehingga generasi yang akan datang juga memperoleh manfaat
dari sumberdaya (Seijo et al, 1998). Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu
proses yang terintegrasimulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam
rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan
(FAO. 1997). Indikator-indikator yang digunakan sebagai alat bantu pengelolaan
harus dapat membantu mengkomunikasikan secara jelas, efektif dan dapat
dipertanggung jawabkan dalam aspek pengelolaan sumberdaya (FAO, 2001).
Widodo dan Nurhakim (2002), mengemukakan pengelolaan sumberdaya
ikan, pada hakekatnya mencari kemungkinan tindakan yang tepat secara biologi
disatu sisi dan kegiatan penangkapan ikan yang mampu memberikan keuntungan
ekonomi di sisi lain. Pengelolaan sumberdaya ikan harus mampu mencegah
terjadinya konflik antara kegiatan pemnafaatan sumberdaya ikan untuk tujuan
ekonomi termasuk adanya keadilan didalam distribusi manfaat yang dihasilkan
sumberdaya ikan, serta upayah konservasi ikan untuk kepentingan generasi
mendatang. Secara umum tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah :
(1) Menjaga kelestarian produksi, melalui regulasi serta tindakan perbaikan.
(2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan
(3) Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut.
Dalam pengelolaan perikanan khususnya pada saat penangkapan, terdapat
suatu mekanisme yang lazim dilakukan penangkap ikan yaitu pembuangan,
merupakan bagian penangkapan yang tersisa di kapal selama penangkapan ikan
secara komersial dan dikembalikan lagi ke laut. Pembuangan ini meliputi spesies
4
32
32
komersial, bahan-bahan komersial tapi tidak dapat dijual, dan organisme yang
dapat dijual. Pola pembuangan ditentukan oleh faktor lingkungan dan sosial
termasuk peraturan dan kebiasaan nelayan terutama ditentukan kebijaksanaan
nelayan yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Mekanisme ini memberikan
dampak negatif secara ekonomi dan ekologi seperti hilangnya pendapatan yang
potensial dan juga sumber pangan bagi manusia serta dampak pada ekosistem laut
(Catchpole, Frid, dan Gray, 2005).
Penyusunan kebijakan perikanan dan kelautan memerlukan pendekatan
yang komprehensif dan berisi faktor-faktor strategis, bersifat makro kebijakan
yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi proses pengambilan keputusan yang
terkait dengan sektor perikanan dan kelautan. Untuk itu diperlukan tiga pilar
sebagai penopang implementasi kebijakan perikanan dan kelautan yaitu : 1)
integrasi fungsi dan kewenangan pengelolaan perikanan dan kelautan; 2)
implementasi kebijakan perikanan dan kelautan; 3) pendidikan dan riset perikanan
dan kelautan yang kuat. Ketiga pilar ini merupakan satu kesatuan yang dapat
digunakan sebagai landasan bagi disain sekaligus implementasi kebijakan
perikanan dan kelautan nasional (Soewardi dan Adrianto, 2005).
2.6. Pengembangan Sektor Perikanan Laut dan Industri Perikanan
Sektor perikanan di berbagai daerah mempunyai arti strategis terhadap
pembangunan wilayah, pembangunan daerah memungkinkan peningkatan
pemerataan menuju terciptanya masyarakat adil dan makmur. Pengembangan
sektor perikanan di Indonesia didukung besarnya potensi sumberdaya yang
dimiliki dan tuntutan pasar yang semakin meningkat. Kebijakan ekonomi nasional
berorientasi ekonomi kerakyatan berbasis perikanan perlu dikembangkan untuk
meningkatkan lapangan pekerjaan dan tingkat pertumbuhan perekonomian.
Pengembangan sektor perikanan menjadi penekanan pembangunan dengan tujuan
peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menciptakan kesempatan kerja
produktif dan mendorong pengembangan wilayah. Keberhasilan pembangunan
sektor perikanan akhirnya berdampak positif bagi pengembangan industri
perikanan hulu dan industri perikanan hilir (Wardoyo, 1992).
4
33
33
Pengembangan sektor perikanan menyangkut berbagai aspek yang mampu
menumbuhkan kegiatan produktif lainnya saling terkait, saling mendukung dan
saling menguntungkan, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, mulai dari
sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, sub sistem produksi, sub
sistem pengolahan hingga sub sistem pemasarannya. Pengembangan sektor
perikanan di suatu wilayah dapat dipandang sebagai jembatan dalam mewujutkan
industri yang meningkatkan nilai tambah. Industrialisasi sektor perikanan dapat
menjadi jembatan antara hasil perikanan sebagai bahan baku dengan teknologi
pengelohannya. Sektor perikanan relatif tidak terpengaruh adanya krisis ekonomi
dan dapat dijadikan sektor unggulan bagi pemulihan perekonomian nasional.
Peran strategis sektor perikanan sebagai sektor unggulan antara lain : 1. Berbahan
baku lokal, tidak tergantung komponen impor untuk proses produksinya, 2.
Meningkatkan devisa karena umumnya berorientasi ekspor, 3. Memiliki dimesi
pemerataan karena kuatnya keterkaitan kedepan dan kebelakang dengan
penggerak utamanya nelayan dan para pengusaha. Secara tidak langsung
pembangunan sektor perikanan dapat ditempuh melalui transformasi sektor
perikanan subsisten ke arah modern (Solahuddin, 1999).
Sektor perikanan dapat menjadi salah satu sektor unggulan, jika
pembangunan sektor perikanan memperhatikan arah pengembangan dan sasaran
sektor perikanan. Pengembangan sektor perikanan diarahkan mencapai komoditi
yang berdaya saing, berkeunggulan komparatif serta berwawasan lingkungan,
sasarannya adalah peningkatan peran serta sumberdaya manusia agar bernilai
tambah dan berdaya saing tinggi. Jenis komoditi atau produk sektor perikanan
yang perlu dikembangkan adalah komoditi berciri antara lain : 1. berdaya saing
tinggi, 2. termasuk dalam kebutuhan pokok masyarakat secara luas, 3. berdampak
luas terhadap sektor ekonomi lainnya (Lukmana, 1995). Nasution (1999)
menambahkan strategi peningkatan daya saing sektor perikanan dalam rangka
memasuki era pasar global, antara lain melalui :
4
34
34
1. Restrukturisasi ekonomi perikanan dalam arti luas;
2. Peningkatan investasi;
3. Penataan keterkaitan dengan sektor lain dan;
4. Peningkatan peran serta pemerintah dan swasta.
Salah satu indikator utama menilai kemampuan bersaing suatu komoditas
dari perusahaan adalah ukuran produktivitas, menunjukkan seberapa jauh sebuah
perusahaan dapat memanfaatkan sumber-sumber terbatas yang dimiliki (input)
terhadap output yang dihasilkan. Pengukuran produktivitas merupakan langkah
awal yang menentukan proses perbaikan maupun peningkatan performasi unjuk
kerja perusahaan. Produk memiliki daya saing tinggi jika terdapat upaya
penciptaan nilai tambah produk. Tiga penciptaan nilai tambah produk yaitu :
1. Pemilihan produk strategis, yaitu produk yang secara riil berpotensi
memiliki pasar domestik dan global;
2. Peningkatan kualitas unit terkecil dari sistem iptek industri-pemasaran
yang memiliki unsur SDM, teknologi, modal, sistem dan organisasi;
3. Pengenalan inovasi teknologi setiap tahap transformasi industri untuk
meningkatkan impuls nilai tambah dan keunggulan kompetitif
(Djojodihardjo, 1997).
Menurut Sahardjo (1992) dasar upaya pengembangan adalah :
1. Industri berdaya saing kuat dan peluang pasar yang cukup luas, perlu
didorong pengembangannya terutama industri pengolahan bahan baku
yang dapat diperbaharui;
2. Perlu dilakukan pengkajian dalam pemilihan teknologi yang tepat;
3. Perlu dikembangkan dukungan litbang terapan secara bertahap;
4. Menciptakan keterkaitan yang luas antara sektor pertanian dan sektor
industri sehingga mendorong peningkatan nilai tambah dan menambah
kegiatan ekonomi di daerah melalui pengaruh gandanya dan mendorong
pengembangan zona industri, kantong-kantong industri, kawasan
industri dan sentra-sentra industri kecil.
Usaha budidaya perikanan sangat beragam dan berhubungan dengan faktor
sosial, budaya, dan ekonomi. Ditinjau dari sudut pandang sosial, perkembangan
percepatan ekonomi di daerah pesisir meliputi pematangan kelembagaan
4
35
35
organisasi perikanan, penataan ruang dan sumberdaya (Guillemot et al, 2009).
Indikasi ekonomi perikanan tangkap seringkali diperhitungkan diberbagai Negara,
dalam jangka pendek meliputi pembukuan dan pengawasan pelaksanaan. Dalam
jangka panjang lebih menyoroti tentang investasi modal yang digunakan. (Floc’h
et al, 2008). Keuntungan sosial dan aktifitas ekonomi diwilayah pesisir dan
berbagai kegiatan kelautan berujung pada kesejahteraan masyarakat pesisir dan
untuk kebaikan perekonomian nasional. Kebijakan konservasi sumber daya alam
dan kelestarian budaya haruslah seimbang dengan perkembangan kebijakan,
sehingga tidak membatasi keuntungan sosial ekonomi dan kesempatan
pengembangan (Cicin-Sain dan Belfiore, 2005).
Peningkatan teknologi budidaya perairan menyebabkan adanya
peningkatan produksi ikan meliputi budidaya perikanan secara ilmiah, produksi
bibit, praktik penggabungan budidaya ikan dengan pertanian yang terintegrasi,
dan pengelolaan perusahaan bersamaan dengan komersialisasi pakan ikan yang
telah merevolusi praktik perikanan dibeberapa negara (Ninan dan Sharma, 2006).
Kekayaan biodiversitas terumbu karang merupakan tempat berkumpulnya ikan-
ikan yang mendukung sektor perikanan, berkaitan erat dengan keberlanjutan
ketersediaan pangan dan kebutuhan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir di
seluruh wilayah Pasifik (L C L Teh et al, 2009). Salah satu cara lain untuk
mengembangkan perikanan yaitu dengan memanfaatkan kekuatan angin lepas
pantai. Namun keuntungan dari metode ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu
sejumlah variabel yang berhubungan dengan lingkungan dan juga spesies ikan
yang ada di sekitar fasilitas tersebut (Fayram dan Risi, 2007).
2.7 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang mengkaji investasi salah satunya dilakukan Hadi (2001),
salah satu tujuannya adalah mempelajari perubahan kebijakan pembangunan,
investasi dalam bentuk pengeluaran pembangunan pemerintah dan adanya
desentralisasi pengelolaan serta peningkatan investasi swasta terhadap pemerataan
pembangunan wilayah terhadap disparitas ekonomi Kawasan Indonesia Timur.
Penelitian tersebut menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Antar Regional Kawasan Indoneisa Timur dan Barat sebagai kerangka kerja dan
4
36
36
analisisnya. Hasil yang didapat dalam penelitian tersebut antara lain adalah :
kebijakan pengembangan investasi dalam sektor industri manufaktur dan
perdagangan internasional yang terpusat di Kawasan Indonesia Barat
menyebabkan sektor industri manufaktur berkembang di Kawasan Indonesia
Barat. Analisis pengganda menunjukkan nilai tambah dari adanya injeksi ekonomi
dimasing-masing wilayah berjalan tidak seimbang.
Penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (1999) mengenai
kajian kebutuhan invstasi pembangunan perikanan dalam pembangunan lima
tahun mendatang (1999-2003) menggunakan pendekatan analisis Tabel I-O tahun
1995 mendapatkan hasil sebagai berikut, nilai ICOR sub sektor perikanan berkisar
antara 2,75-3,95 mengindikasikan sub sektor perikanan mempunyai prospek yang
cukup baik bagi investasi yang ditanam. ICOR Sub sektor perikanan sebesar 3,55
mengindikasikan sektor perikanan relative efisien untuk penanaman modal.
Kebutuhan investasi yang diperlukan kurun waktu 1999-2003 sebesar Rp. 16,45
trilyun dengan asumsi pertumbuhan GDP sebesar 6 % per tahun.
Susanti (2003) melalukan penelitian tentang dampak perubahan investasi
dan produktivitas sektor perikanan terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral
di Indonesia menghasilkan kesimpulan diantaranya adalah ; pengaruh peningkatan
investasi sektor perikanan terhadap kinerja sektor perekonomian secara umum
berpengaruh positif serta menimbulkan peningkatan output sektoral. Pengaruh
dari perubahan produktifitas juga memberikan hasil yang sama yakni perubahan
produktivitas baik produktivitas total, kapital maupun tenaga kerja memberikan
pengaruh meningkatkan output sektor perekonomian. Apabila investasi dan
produktivitas dirubah secara bersama-sama maka perubahan output yang terjadi di
sektor perikanan relatif lebih besar dibandingkan secara parsial. Konsumsi rumah
tangga sektoral mengalami peningkatan akibat peningkatan investasi dan
produktivitas. Harga output sektor perikanan mengalami penurunan akibat adanya
peningkatan output. Harga output sektor perekonomian lain bergerak mengikuti
mekanisme permintaan-penawaran.
Nababan (2008) mengadakan penelitian tentang tinjauan aspek ekonomi
keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal Jawa Tengah,
menghasilkan atribut yang paling berpengaruh terhadap penentuan indeks
4
37
37
keberlanjutan dari segi ekonomi adalah tingkat subsidi, besarnya pemasaran
perikanan, sifat kepemilikan sarana penangkapan dan alternatif pekerjaan dan
pendapatan. Indeks keberlanjutan untuk alat tangkap perikanan skala kecil pada
dimensi ekonomi adalah sebesar 50,51 (cukup berkelanjutan).
Hamdan (2006) mengadakan penelitian tentang analisis kebijakan
pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, Provinsi
Jawa Barat dengan tujuan penelitian ; mereview potensi SDI dan tingkat
pemanfaatannya, mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap dan
menentukan faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap keberlanjutan
perikanan tangkap. Hasil peneltian diantaranya adalah status keberlanjutan yang
terdiri dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan,
nilai indeksnya semua berada di bawah 50 berarti kebijakan pengelolaan
perikanan tangkap tidak berkelanjutan. Tiga aspek penting berpengaruh terhadap
penyusunan kebijakan yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial.
Penelitian tentang peranan sektor perikanan dan kelautan terhadap
pembangunan wilayah Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah yang dilakukan
Sobari (2007) bertujuan untuk mengidentifikasi keragaan sektor perikanan dan
kelautan, menganalisis peranan sektor perikanan dan kelautan di lihat dari
indikator pendapatan wlayah dan tenaga kerja, serta menetapkan alternatif strategi
pengembangan sektor perikanan dan kelautan di kabupaten Kendal. Hasil
peneltian diantaranya adalah kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap
PDRB dari tahun 1999 sampai tahun 2003 berkisar antara 1,48 % - 1,69 %. Trend
kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDRB cenderung menigkat.
Sektor perikanan dan kelautan berdasarkan indikator pendapatan wilayah,
memberikan dampak yang positif dan cenderung meningkat terhadap pembanguan
wilayah. Dampak sektor perikanan dan kelautan terhadap pembangunan wilayah
berdasarkan tenaga kerja cenderung menurun. Alternatif strategi yang
diprioritaskan untuk pengembangan sektor perikanan dan kelautan adalah : 1)
melakukan pengembangan pengusahaan sektor perikanan dan kelautan dengan
memanfaatkan potensi sektor perikanan dan kelautan yang besar, tenaga kerja
perikanan dan aksesibility yang mudah didapat serta adanya dukungan pemerintah
daerah lewat program pembinaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir, guna
4
38
38
memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor; 2) membuka dan mengembangkan
usaha baru dengan memanfaatkan potensi yang ada serta peluang adanya surplus
permintaan karena belum terpenuhinya produk perikanan, seiring dengan
meningkatnya pola konsumsi masyarakat.
Penelitian ekonomi perikanan dengan menggunakan alat analisisi tabel
input output, dilakukan oleh Razali (1996), di Kabupaten Sabang, dengan melihat
sejauh mana peran sektor perikanan dalam perekonomian Sabang. Penelitian
tersebut menggunakan beberapa metode analisi antara lain : 1) metode input
output (non survey–metode RAS), 2) analisis perubahan struktur perekonomian,
yaitu melihat perubahan sumbangan relatif sektor perikanan dibandingkan dengan
sektor lainnya dalam kurun waktu tertentu, 3) analisis komponen utama dan 4)
metode deskriptif. Hasil penelitian menyatakan kontribusi sektor perikanan
terhadap perekonomian Kabupaten Sabang masih kecil, baik dari nilai output,
nilai tambah bruto, nilai ekspor dan penyerapan tenaga kerja, serta sektor
perikanan belum termasuk salah satu sektor unggulan, karena memiliki nilai
keterkaitan dan nilai pengganda yang masih relatif kecil dibandingkan dengan
sektor lainnya.
Mudzakir (2003) meneliti tentang dampak pengembangan sektor
perikanan terhadap perekonomian Jawa Tengah, penelitian bertujuan antara lain
menganalisis : 1) besarnya potensi dan kontribusi sumberdaya perikanan pada
perekonomian Jawa tengah, 2) Struktur perekonomian jawa Tengah dan peranan
sektor perikanan dalam perekonomian Jawa Tengah pada pembentukan output,
permintaan antara dan permintaan akhir. Hasil penelitian menyatakan bahwa
sektor perikanan di Jawa Tengah memiliki potensi sumberdaya perikanan yang
besar, baik sumberdaya ikan maupun sumberdaya perairan lainnya dan berpotensi
untuk menghasilkan devisa negara, karena sifat usaha perikanan dengan input dari
lokal serta dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk. Investasi di jawa
Tengah masih didominasi sektor yang secara langsung berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan infrastruktur pembangunan. Sektor perikanan belum
merupakan sektor unggulan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian
Jawa Tengah.