2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · sektor pertanian (sampai ke tingkat agro processing...

22
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agropolitan Pada dasarnya, konsep agropolitan hampir sama dengan konsep minapolitan yaitu pengembangan sistem pengelolaan sumber daya berbasis wilayah dan pengembangan produk unggulan dalam rangkaian sistem agribisnis. Kedua konsep tersebut juga memandang bahwa kemudahan-kemudahan atau peluang yang biasanya ada di perkotaan perlu dikembangkan di pedesaan. Perbedaaan yang mencolok terdapat pada karakteristik wilayah dan komoditas yang dikembangkan di masing-masing pusat pengembangan program. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan agropolitan didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) konsep agropolitan dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalahan ketidakseimbangan antara pedesaan dan perkotaan selama ini. Secara singkat, agropolitan adalah suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah pedesaan, sehingga mendorong urbanisasi (pengkotaan dalam arti positif). Pendekatan ini bisa mendorong penduduk pedesaan tetap tinggal di pedesaan melalui investasi di wilayah pedesaan. Agropolitan bisa mengantarkan tercapai tujuan akhir menciptakan daerah yang mandiri dan otonom, dan karenanya mengurangi kekuasaan korporasi transnasional atas wilayah lokal. Kepentingan lokal seperti ini akan dapat menjadi pengontrol kekuasaan pusat ataupun korporasi yang bersifat subordinatif. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tahapan pengembangan agropolitan adalah 1) penetapan lokasi sesuai dengan persyaratan lokasi agropolitan, 2) penyusunan produk tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan (dihindari langkah penyeragaman organisasi), 3) penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan, sehingga bisa dihindar adanya peluang

Upload: voanh

Post on 07-Mar-2019

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Agropolitan

Pada dasarnya, konsep agropolitan hampir sama dengan konsep minapolitan

yaitu pengembangan sistem pengelolaan sumber daya berbasis wilayah dan

pengembangan produk unggulan dalam rangkaian sistem agribisnis. Kedua

konsep tersebut juga memandang bahwa kemudahan-kemudahan atau peluang

yang biasanya ada di perkotaan perlu dikembangkan di pedesaan. Perbedaaan

yang mencolok terdapat pada karakteristik wilayah dan komoditas yang

dikembangkan di masing-masing pusat pengembangan program.

Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan

agropolitan didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat

kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan

pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan

fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem

agrobisnis.

Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) konsep agropolitan dipandang sebagai

konsep yang menjanjikan teratasinya permasalahan ketidakseimbangan antara

pedesaan dan perkotaan selama ini. Secara singkat, agropolitan adalah suatu

model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan

pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah pedesaan, sehingga mendorong

urbanisasi (pengkotaan dalam arti positif). Pendekatan ini bisa mendorong

penduduk pedesaan tetap tinggal di pedesaan melalui investasi di wilayah

pedesaan. Agropolitan bisa mengantarkan tercapai tujuan akhir menciptakan

daerah yang mandiri dan otonom, dan karenanya mengurangi kekuasaan korporasi

transnasional atas wilayah lokal. Kepentingan lokal seperti ini akan dapat menjadi

pengontrol kekuasaan pusat ataupun korporasi yang bersifat subordinatif.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tahapan pengembangan agropolitan

adalah 1) penetapan lokasi sesuai dengan persyaratan lokasi agropolitan, 2)

penyusunan produk tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan

kebutuhan (dihindari langkah penyeragaman organisasi), 3) penguatan sumber

daya manusia dan kelembagaan, sehingga bisa dihindar adanya peluang

10

pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali ke luar kawasan, dan 4)

pengembangan infrastruktur. Penguatan kelembagaan lokal dan sistem kemitraan

menjadi persyaratan utama yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam

pengembangan kawasan agropolitan.

Ciri-ciri kawasan agropolitan yang sudah berkembang adalah 1) peran

sektor pertanian (sampai ke tingkat agro processingnya) tetap dominan, 2)

pengaturan pemukiman yang tidak memusat, tetapi tersebar pada skala minimal

sehingga dapat dilayani oleh pelayanan infrastruktur seperti listrik, air minum, dan

telekomunikasi, serta infrastruktur sosial seperti pendidikan, kesehatan, rekreasi

dan olah raga, 3) aksesibilitas yang baik dengan pengaturan pembangunan jalan

sesuai dengan kelas jalan yang dibutuhkan dari jalan usaha tani sampai ke jalan

kolektor dan jalan arteri primer, dan 4) mempunyai produk tata ruang yang telah

dilegalkan dengan Peraturan Daerah dan konsistensi para pengelola kawasan,

sehingga dapat menahan setiap kemungkinan konversi dan perubahan fungsi lahan

yang menyimpang dari peruntukannya (Rustiadi dan Hadi 2006).

2.2 Minapolitan

Program minapolitan telah menjadi salah satu program unggulan

Kementerian Kelautan dan Perikanan. Oleh karena itu, tinjauan pustaka mengenai

pengertian, batasan, konsep, tujuan maupun lokasi program sebagian besar

mengacu pada pedoman umum program minapolitan.

2.2.1 Pengertian minapolitan

Minapolitan terdiri dari kata mina dan kata politan (polis). Mina berarti

ikan dan politan berarti kota, sehingga minapolitan dapat diartikan sebagai kota

perikanan atau kota di daerah lahan perikanan atau perikanan di daerah kota.

Dalam pedoman umum pengembangan kawasan minapolitan, yang dimaksud

minapolitan adalah kota perikanan yang tumbuh dan berkembang karena

berjalannya sistem dan usaha perikanan serta mampu melayani, mendorong,

menarik, menghela kegiatan pembangunan ekonomi daerah sekitarnya. Kota

perikanan dapat merupakan kota menengah, atau kota kecil atau kota kecamatan

atau kota pedesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan

ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan pedesaan dan desa-desa

11

hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak

terbatas sebagai pusat pelayanan sektor perikanan, tetapi juga membangun sektor

secara luas seperti usaha perikanan (on farm dan off farm), industri kecil, dan jasa

pelayanan. Minapolitan berada dalam kawasan pemasok hasil perikanan (sentra

produksi perikanan) yang mana kawasan tersebut memberikan kontribusi yang

besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya

kawasan tersebut (termasuk kotanya) disebut kawasan minapolitan (KKP 2009).

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

KEP.18/MEN/2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan mendefinisikan

beberapa pengertian terkait minapolitan sebagai berikut:

1) Minapolitan adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan

berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi,

berkualitas dan percepatan;

2) Kawasan minapolitan adalah suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi

utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran

komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan/atau kegiatan pendukung lainnya;

3) Sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran adalah kumpulan unit

produksi pengolahan, dan/atau pemasaran dengan keanekaragaman kegiatan di

suatu lokasi tertentu;

4) Unit produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran adalah satuan usaha yang

memproduksi, mengolah dan/atau memasarkan suatu produk atau jasa;

5) Rencana induk adalah rencana pengembangan kawasan minapolitan di daerah

kabupaten/kota yang memuat kebijakan dan strategi pengelolaan potensi

kelautan dan perikanan yang disusun dalam konsep arah kebijakan

pengembangan kawasan jangka menengah dalam kurun waktu 5 (lima)

tahunan yang diimplementasikan melalui rencana pengusahaan dan rencana

tindak;

6) Rencana pengusahaan adalah rencana pengembangan sektor dan produk

unggulan sebagai penggerak perekonomian di kawasan minapolitan dalam

kurun waktu lima tahunan sesuai dengan rencana induk;

7) Rencana tindak adalah rencana implementasi pengembangan kawasan

minapolitan di daerah kabupaten/kota yang disusun secara tahunan dengan

12

mengacu pada tahapan pembangunan lima tahunan sebagaimana yang

tercantum dalam rencana induk.

2.2.2 Ciri-ciri, batasan dan konsep minapolitan

Dalam pedoman umum pengembangan kawasan minapolitan (KKP 2009)

dijelaskan bahwa suatu kawasan minapolitan yang sudah dikembangkan memiliki

ciri-ciri sebagai berikut:

1) Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari

kegiatan perikanan (minabisnis);

2) Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan

perikanan, termasuk di dalamnya usaha industri pengolahan hasil perikanan,

perdagangan hasil perikanan (termasuk perdagangan untuk tujuan ekspor),

perdagangan minabisnis hulu (sarana perikanan dan permodalan, minawisata

dan jasa pelayanan);

3) Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland/daerah-daerah

sekitarnya di kawasan minapolitan bersifat interdependensi/timbal balik

yang harmonis dan saling membutuhkan;

4) Kehidupan masyarakat di kawasan minapolitan mirip dengan suasana kota

karena keadaan sarana yang ada di kawasan minapolitan tidak jauh berbeda

dengan di kota.

Batasan suatu kawasan minapolitan tidak ditentukan oleh batasan

administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, dsb) tetapi lebih

ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope.

Karena itu, penetapan minapolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan

memperhatikan realitas perkembangan minabisnis yang ada di setiap daerah.

Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan minapolitan dapat meliputi satu

Desa/Kelurahan atau Kecamatan atau Kabupaten (KKP 2009).

Dalam lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik

Indonesia, Nomor KEP.18/MEN/2011 Tentang Pedoman Umum Minapolitan

menjelaskan bahwa secara konseptual, minapolitan mempunyai 2 unsur utama

yaitu 1) minapolitan sebagai konsep pembangunan sektor kelautan dan perikanan

13

berbasis wilayah, dan 2) minapolitan sebagai kawasan ekonomi unggulan dengan

komoditas utama produk kelautan dan perikanan.

Selanjutnya, konsep minapolitan akan dilaksanakan melalui pengembangan

kawasan minapolitan di daerah-daerah potensial unggulan. Kawasan-kawasan

minapolitan akan dikembangkan melalui pembinaan sentra produksi yang berbasis

pada sumber daya kelautan dan perikanan. Setiap kawasan minapolitan beroperasi

beberapa sentra produksi berskala ekonomi relatif besar, baik tingkat produksinya

maupun tenaga kerja yang terlibat dengan jenis komoditas unggulan tertentu.

Dengan pendekatan sentra produksi, sumber daya pembangunan, baik sarana

produksi, anggaran, permodalan, maupun prasarana dapat dikonsentrasikan di

lokasi-lokasi potensial, sehingga peningkatan produksi kelautan dan perikanan

dapat dipacu lebih cepat.

Menurut Pedoman Umum Minapolitan tersebut, penggerak utama ekonomi

di kawasan minapolitan dapat berupa sentra produksi dan perdagangan perikanan

tangkap, perikanan budi daya, pengolahan ikan, atau pun kombinasi ketiga hal

tersebut. Sentra produksi dan perdagangan perikanan tangkap yang dapat

dijadikan penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan adalah pelabuhan

perikanan atau tempat pendaratan ikan (TPI). Sementara itu, penggerak utama

minapolitan di bidang perikanan budi daya adalah sentra produksi dan

perdagangan perikanan di lahan-lahan budi daya produktif. Sentra produksi

pengolahan ikan yang berada di sekitar pelabuhan perikanan juga dapat dijadikan

penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan.

2.2.3 Asas, prinsip dan struktur minapolitan

Pedoman Umum Minapolitan menyebutkan bahwa konsep minapolitan

didasarkan pada 3 asas, yaitu 1) demokratisasi ekonomi kelautan dan perikanan

pro rakyat, 2) keberpihakan pemerintah pada rakyat kecil melalui pemberdayaan

masyarakat, dan 3) penguatan peran ekonomi daerah dengan prinsip daerah kuat-

bangsa dan negara kuat. Ketiga prinsip tersebut menjadi landasan perumusan

kebijakan dan kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan agar

pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan benar-benar untuk

14

kesejahteraan rakyat dan menempatkan daerah pada posisi sentral dalam

pembangunan.

Dijelaskan pula bahwa dengan konsep minapolitan diharapkan

pembangunan sektor kelautan dan perikanan dapat dilaksanakan secara

terintegrasi, efisien, berkualitas, dan berakselerasi tinggi.

1) Prinsip integrasi, diharapkan dapat mendorong agar pengalokasian sumber

daya pembangunan direncanakan dan dilaksanakan secara menyeluruh atau

holistik dengan mempertimbangkan kepentingan dan dukungan stakeholders,

baik instansi sektoral, pemerintahan pusat dan daerah, kalangan dunia usaha

maupun masyarakat. Kepentingan dan dukungan tersebut dibutuhkan agar

program dan kegiatan percepatan peningkatan produksi didukung dengan

sarana produksi, permodalan, teknologi, sumber daya manusia, prasarana yang

memadai, dan sistem manajemen yang baik;

2) Prinsip efisiensi, pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus

dilaksanakan secara efisien agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan

biaya murah namun mempunyai daya guna yang tinggi. Dengan konsep

minapolitan pembangunan infrastruktur dapat dilakukan secara efisien dan

pemanfaatannya pun diharapkan akan lebih optimal. Selain itu prinsip

efisiensi diterapkan untuk mendorong agar sistem produksi dapat berjalan

dengan biaya murah, seperti memperpendek mata rantai produksi, efisiensi,

dan didukung keberadaan faktor-faktor produksi sesuai kebutuhan, sehingga

menghasilkan produk-produk yang secara ekonomi kompetitif;

3) Prinsip berkualitas, pelaksanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan

harus berorientasi pada kualitas, baik sistem produksi secara keseluruhan,

hasil produksi, teknologi maupun sumber daya manusia. Dengan konsep

minapolitan pembinaan kualitas sistem produksi dan produknya dapat

dilakukan secara lebih intensif;

4) Prinsip berakselerasi tinggi, percepatan diperlukan untuk mendorong agar

target produksi dapat dicapai dalam waktu cepat, melalui inovasi dan

kebijakan terobosan. Prinsip percepatan juga diperlukan untuk mengejar

ketinggalan dari negara-negara pesaing, melalui peningkatan market share

produk-produk kelautan dan perikanan Indonesia di tingkat dunia.

15

Menurut Sutisna (2010a), beberapa persyaratan menjadi minapolitan di

antaranya adalah komitmen daerah, komoditas unggulan, memenuhi persyaratan

untuk mengembangkan komoditas unggulan, ada kesesuaian renstra dan Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW), kelayakan lingkungan serta terdapat unit produksi,

pengolahan dan pemasaran.

Sunoto (2010) menjelaskan bahwa program nasional minapolitan

mengangkat konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah

dengan struktur yang meliputi 1) ekonomi kelautan dan perikanan berbasis

wilayah dimana Indonesia dibagi menjadi sub-sub wilayah pengembangan

ekonomi berdasarkan potensi SDA, prasarana dan geografi, 2) kawasan ekonomi

unggulan minapolitan dimana setiap propinsi dan kabupaten/kota dibagi menjadi

beberapa kawasan ekonomi unggulan bernama minapolitan, 3) sentra produksi

dimana setiap kawasan minapolitan terdiri dari sentra-sentra produksi dan

perdagangan komoditas kelautan dan perikanan dan kegiatan lainnya yang saling

terkait, dan 4) unit produksi/usaha dimana setiap sentra produksi terdiri dari unit-

unit produksi atau pelaku-pelaku usaha.

2.2.4 Tujuan, sasaran dan lokasi minapolitan

Dalam Pedoman Umum Minapolitan, tujuan minapolitan mencakup 3 hal

pokok yaitu 1) meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk

kelautan dan perikanan, 2) meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan,

dan pengolah ikan yang adil dan merata, dan 3) mengembangkan kawasan

minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah.

Ketiga tujuan tersebut sudah cukup komprehensif, namun perlu dijabarkan

secara detail capaian indikator dari masing-masing tujuan yang realistis dan

terukur. Tujuan peningkatan produksi harus memperhatikan daya dukung sumber

daya dan lingkungan sehingga keberlanjutan sumber daya tersebut dapat terjaga.

Hal ini berarti bahwa peningkatan produksi harus berbasis pada komoditas

unggulan daerah yang berdaya saing dan berkelanjutan. Pengembangan kawasan

minapolitan sebagai pusat pertumbuhan harus berorientasi pada peningkatan

pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan yang adil dan merata.

Artinya, praktek monopoli dari industri-industri modern yang berinvestasi di

16

kawasan minapolitan harus dapat diminimalisir. Peran pemerintah sangat penting

untuk menciptakan iklim yang kondusif melalui pengembangan kemitraan yang

adil (win-win partnerships).

Sasaran pelaksanaan minapolitan, meliputi:

1) Meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan skala

mikro dan kecil, antara lain berupa (1) penghapusan dan/atau pengurangan

beban biaya produksi, pengeluaran rumah tangga, dan pungutan liar, (2)

pengembangan sistem produksi kelautan dan perikanan yang efisien untuk

usaha mikro dan kecil, (3) penyediaan dan distribusi sarana produksi tepat

guna dan murah bagi masyarakat, (4) pemberian bantuan teknis dan

permodalan, serta, (5) pembangunan prasarana untuk mendukung sistem

produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran produk kelautan dan perikanan;

2) Meningkatkan jumlah dan kualitas usaha kelautan dan perikanan skala

menengah ke atas sehingga berdaya saing tinggi, antara lain berupa (1)

deregulasi usaha kelautan dan perikanan, (2) pemberian jaminan keamanan

dan keberlanjutan usaha dan investasi, (3) penyelesaian hambatan usaha dan

perdagangan (tarif dan non-tarif barriers), (4) pengembangan prasarana untuk

mendukung sistem produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran, dan (5)

pengembangan sistem insentif dan disinsentif ekspor-impor produk kelautan

dan perikanan;

3) Meningkatkan sektor kelautan dan perikanan menjadi penggerak ekonomi

regional dan nasional, antara lain berupa (1) pengembangan sistem ekonomi

kelautan dan perikanan berbasis wilayah, (2) pengembangan kawasan

ekonomi kelautan dan perikanan di daerah sebagai pusat pertumbuhan

ekonomi lokal, (3) revitalisasi sentra produksi, pengolahan, dan/atau

pemasaran sebagai penggerak ekonomi masyarakat, dan (4) pemberdayaan

kelompok usaha kelautan dan perikanan di sentra produksi, pengolahan,

dan/atau pemasaran.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

32/MEN/2010, telah ditetapkan sebanyak 197 lokasi minapolitan, yang terdiri atas

159 lokasi berfokus pada perikanan budi daya, dan 38 lokasi yang berbasis pada

perikanan tangkap. Namun, pada tahun 2011, Direktorat Jenderal Perikanan

17

Tangkap KKP memprioritaskan pada sembilan lokasi sebagai kawasan

percontohan (Medan Bisnis 2010; KKP 2011) yaitu:

1) PPN Palabuhanratu Sukabumi (Jawa Barat)

2) PPS Cilacap (Jawa Tengah)

3) PPN Tamperan Pacitan (Jawa Timur)

4) PPN Muncar Banyuwangi (Jawa Timur)

5) PPN Ternate (Maluku Utara)

6) PPN Sungai Liat Bangka (Bangka Belitung)

7) PPS Bitung (Sulawesi Utara)

8) PPS Belawan Medan (Sumatera Utara)

9) PPN Ambon (Maluku)

Penetapan 9 lokasi minapolitan berbasis perikanan tangkap tersebut cukup

realistis sebagai daerah percontohan pada tahap inisiasi program. Di samping itu,

daerah-daerah tersebut merupakan pusat produksi perikanan tangkap dan

mewakili karakteristik perikanan tangkap di Indonesia.

2.2.5 Minapolitan perikanan tangkap

Minapolitan perikanan tangkap didefinisikan sebagai kawasan

pengembangan ekonomi wilayah berbasis usaha penangkapan ikan yang

dikembangkan secara bersama oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk

menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan

lapangan kerja dan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah (KKP 2010b).

Konsep pengelolaan minapolitan perikanan tangkap didasarkan pada konsep

membangun sistem pengelolaan perikanan tangkap yang berbasis pada

kemudahan nelayan bekerja dan memotivasi mereka untuk meningkatkan

pendapatan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Di samping itu,

juga memberikan kemudahan nelayan dalam bekerja dengan penyediaan sarana

dan prasarana (pelabuhan perikanan, galangan kapal, bengkel, SPDN/SPBN, unit

pengolahan ikan, pabrik es dan unit pemasaran) di sentra-sentra nelayan,

penyederhanaan perijinan dan penyediaan permodalan (KKP 2010b).

Pelaksanaan konsep minapolitan harus disesuaikan dengan tujuannya, yaitu

peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas untuk kesejahteraan rakyat dan

18

pembangunan ekonomi daerah. Terkait dengan minapolitan perikanan tangkap

(KKP 2011), paket-paket kegiatan perikanan tangkap sekurang-kurangnya

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Komoditas unggulan dan target produksi;

2) Distribusi wilayah penangkapan pro nelayan;

3) Struktur armada nasional;

4) Sistem pengkayaan stok, moratorium, dan peningkatan produksi;

5) Sistem pelayanan perijinan;

6) Sistem pengelolaan pelabuhan perikanan dan TPI efisien pro nelayan;

7) Sistem insentif usaha dan investasi;

8) Teknologi penangkapan dan penanganan ikan di atas kapal;

9) Bantuan teknis, seperti sarana dan permodalan serta pendampingan; dan

10) Pembangunan prasarana.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa langkah-langkah strategis dalam

menggerakan produksi di bidang perikanan tangkap sebagai berikut:

1) Sasaran

(1) Pelabuhan perikanan dan TPI menjadi sentra produksi pro nelayan,

pendaratan, perdagangan dan distribusi hasil penangkapan ikan mampu

menggerakkan ekonomi nelayan; dan

(2) Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI)

yang potensial dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan dengan

produktivitas dan kualitas tinggi pro nelayan.

2) Kegiatan

(1) Menetapkan pelabuhan perikanan dan TPI unggulan sebagai sentra

produksi binaan;

(2) Meningkatkan aksesibilitas nelayan terhadap sumber daya alam dengan

memperluas hak-hak pemanfaatan dan perlindungannya;

(3) Revitalisasi sarana tempat pendaratan ikan, pelelangan, cold storage, dan

pabrik es;

(4) Revitalisasi prasarana, seperti jalan, air bersih dan listrik;

19

(5) Bantuan teknis dan permodalan, menghadirkan lembaga keuangan, pusat

penjualan sarana produksi, BBM dan logistik murah di pelabuhan dan

TPI;

(6) Mengembangkan sistem manajemen pelabuhan efisien, bersih, dan

sehat;

(7) Menertibkan pungutan-pungutan dan retribusi yang memberatkan

masyarakat;

(8) Restrukturisasi armada, wilayah penangkapan ikan, dan perijinan;

(9) Pengkayaan stok ikan (stock enhancement) sebagai penyangga produksi;

(10) Pengembangan alat penangkapan ikan yang produktif dan tidak merusak

(seperti set net);

(11) Mengembangkan investasi perikanan tangkap terpadu.

2.3 Minapolitan Perikanan Tangkap Palabuhanratu

Kawasan minapolitan perikanan tangkap Palabuhanratu adalah suatu

kawasan pengembangan ekonomi berbasis usaha penangkapan ikan yang

dikembangkan secara terintegrasi oleh pemerintah, swasta dan masyarakat untuk

menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi wilayah,

penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat kawasan Palabuhanratu,

Kabupaten Sukabumi (Kabupaten Sukabumi 2011).

Dijelaskan pula bahwa program minapolitan (kota perikanan) yang akan

diterapkan di Palabuhanratu, dilaksanakan melalui konsep kerja sama usaha inti-

plasma. Dalam pengelolaan usaha inti-plasma itu, akan dibentuk jaringan usaha

antara industri perikanan dengan beberapa unit usaha yang dijalankan oleh

masyarakat nelayan dan pesisir. Melalui jaringan usaha inti-plasma ini, semua

kegiatan usaha perikanan dari hulu sampai hilir akan terintegrasi dalam satu

manajemen usaha. Adapun tujuan program minapolitan melalui konsep usaha inti-

plasma ini, tak lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan

pesisir di Palabuhanratu. Minapolitan dengan konsep usaha inti-plasma

dilaksanakan dibawah pengelolaan Pemkab Sukabumi sedangkan untuk usaha

intinya akan dikelola langsung oleh PPN Palabuhanratu dengan membawahi

20

sejumlah unit bisnis perikanan. Sementara usaha plasma, dikerjakan oleh beberapa

unit usaha yang dilakukan kelompok masyarakat nelayan dan pesisir.

Sutisna (2011) dalam Seminar Nasional Perikanan Tangkap IV menjelaskan

komoditas unggulan minapolitan perikanan tangkap di lokasi percontohan tahun

2011 (9 lokasi) dan di lokasi percontohan tahun 2012 (10 lokasi). Khusus untuk

komoditas unggulan Kabupaten Sukabumi (Palabuhanratu) adalah tuna, layur dan

cakalang. Menurut Nasrudin (2010) komoditas unggulan di perairan

Palabuhanratu adalah tuna dan layur, namun demikian pengembangan budi daya

lobster juga dinilai prospektif karena benihnya cukup tersedia di alam.

Beberapa dukungan Pemda Kabupaten Sukabumi terhadap minapolitan

perikanan tangkap meliputi 1) penyediaan RUTRW untuk kawasan minapolitan

Palabuhanratu (PERDA), 2) membantu proses penyediaan lahan untuk perluasan

PPNP menjadi PPS, 3) peningkatan akses jalan di sekitar dan menuju wilayah

minapolitan, 4) Kemudahan pelayanan perizinan untuk mendorong investasi, 5)

jaminan ketersediaan air bersih, 6) jaminan ketersediaan pasokan listrik (adanya

PLTU), dan 7) bantuan penguatan modal, pengetahuan dan keterampilan bagi

KUB sektor kelautan dan perikanan. Di samping itu juga ada dukungan dari

stakeholder terkait seperti 1) adanya kegiatan-kegiatan dari investasi swasta untuk

pembangunan pasar Palabuhanratu menjadi pasar modern, 2) adanya pengadaan

armada kapal > 5 GT secara swadaya, dan 3) adanya penguatan modal usaha

penangkapan ikan dari perbankan (Dinas Kelautan dan Perikanan Sukabumi

2011).

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa program minapolitan perikanan tangkap

di Palabuhanratu akan berhasil apabila dapat mengembangkan perikanan tangkap

secara berkelanjutan. Oleh karena itu dibutuhkan integrasi dan optimalisasi

komponen-komponen utama seperti SDI, armada perikanan tangkap, nelayan,

sarana penunjang produksi, pelabuhan perikanan, unit pemasaran hasil tangkapan

dan unit pengolahan ikan.

2.4 Perkembangan Teori Klaster

Sejak Porter (1990) mempublikasikan ”Competitive Advantage of Nations”,

konsep klaster banyak diperbincangkan berbagai kalangan pelaku bisnis, ekonom,

21

akademisi hingga pengambil keputusan. Bahkan tidak kurang dari 30 review

dengan publikasi mencapai 50 artikel (Davies dan Ellis 2000).

Porter (1998) mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi geografis dari

industri-industri dan institusi yang saling berhubungan dalam suatu bidang

tertentu. Klaster terdiri dari rangkaian industri-industri terkait dan entitas penting

lainnya yang saling berkompetisi. Dalam dunia modern, kompetisi tergantung

pada produktivitas dan tidak tergantung pada akses input atau skala perusahaan.

Klaster mempengaruhi kompetisi dalam 3 hal yaitu 1) produktivitas, 2) inovasi,

dan 3) stimulasi pembentukan bisnis baru.

Industri cenderung beraglomerasi (Malecki 1991, diacu dalam Nuryadin et

al. 2007). Selanjutnya, Montgomery (1998) menjelaskan definisi aglomerasi

sebagai konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena

penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang

diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen.

Keuntungan-keuntungan eksternal dari konsentrasi spasial sebagai akibat dari

scale economies disebut agglomeration economies (Bradley dan Gans 1996, diacu

dalam Tarigan 2008).

Ekonomi aglomerasi diartikan sebagai penurunan biaya produksi karena

kegiatan-kegiatan ekonomi berlokasi pada tempat yang sama. Gagasan ini

merupakan sumbangan pemikiran Alfred Marshall yang menggunakan istilah

localized industry sebagai pengganti istilah ekonomi aglomerasi. Ahli Ekonomi

Hoover juga membuat aglomerasi menjadi 3 jenis yaitu large scale economies,

merupakan keuntungan yang diperoleh perusahaan karena membesarnya skala

produksi perusahaan tersebut pada suatu lokasi, localization economies,

merupakan keuntungan yang diperoleh bagi semua perusahaan dalam industri

yang sama dalam suatu lokasi dan urbanization economies merupakan

keuntungan dari semua industri pada suatu lokasi yang sama sebagai konsekuensi

membesarnya skala ekonomi (penduduk, pendapatan, output atau kemakmuran)

dari lokasi tersebut. Berbeda dengan pendapat O‟Sullivan (2002) membagi

ekonomi aglomerasi menjadi dua jenis yaitu ekonomi lokalisasi dan ekonomi

urbanisasi. Dalam hal ini yang dimaksud ekonomi aglomerasi adalah eksternalis

positif dalam produksi yaitu menurunnya biaya produksi sebagian besar

22

perusahaan sebagai akibat dari produksi perusahaan lain meningkat (Tarigan

2008).

Dalam beberapa kasus, aglomerasi lebih merupakan hasil dari “natural

advantages” seperti kesesuaian iklim dan topografi, kedekatan pada bahan baku

dan lokasi dengan akses pada jalur transportasi. Weber (1929) juga

mengemukakan bahwa aglomerasi akan menghemat biaya transportasi (Bekele

dan Jackson 2006; Ellison et al. 2010).

Selanjutnya, Porter (1998) mengembangkan konsep aglomerasi menjadi

klaster dengan dua elemen kunci yaitu 1) adanya keterkaitan antara perusahaan,

dan 2) kedekatan lokasi. Porter kemudian mengembangkan konsep integrasi

klaster vertikal dan horizontal dalam bentuk model berlian (van Hofe dan Chen

2006).

Menurut Porter (1990), dalam persaingan global saat ini, suatu bangsa atau

negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar

internasional bila memiliki empat faktor penentu dan dua faktor pendukung

(Gambar 2). Empat faktor utama yang menentukan daya saing suatu komoditi

adalah kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition),

industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and supporting

industry), serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm strategy,

structure, and rivalry). Ada dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara

keempat faktor tersebut yaitu faktor kesempatan (chance event) dan faktor

pemerintah (government). Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk

sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut Porter’s Diamond

Theory (Daryanto 2004; Tarigan 2008).

1) Kondisi Faktor (Factor Condition)

Sumber daya yang dimiliki suatu bangsa merupakan suatu faktor

produksi yang sangat penting untuk bersaing. Kondisi faktor atau faktor

input dalam analisis Porter ini merupakan variabel-variabel yang sudah ada

dan dimiliki oleh suatu klaster industri. Ada lima kelompok dalam faktor

sumber daya, yaitu:

(1) Sumber daya manusia yang meliputi jumlah tenaga kerja yang tersedia,

kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, etika kerja dan

23

tingkat upah yang berlaku. Dimana semuanya ini sangat

mempengaruhi daya saing nasional;

(2) Sumber daya modal yang terdiri dari jumlah dan biaya yang tersedia,

jenis pembiayaan atau sumber modal, aksesibilitas terhadap

pembiayaan, serta kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan. Selain

itu juga diperlukan peraturan-peraturan seperti peraturan keuangan,

peraturan moneter dan fiskal untuk mengetahui tingkat tabungan

masyarakat dan kondisi moneter dan fiskal;

(3) Sumber daya alam atau fisik yang meliputi biaya, aksesibilitas, mutu

dan ukuran. Sumber daya alam juga harus meliputi ketersediaan air,

mineral, energi serta sumber daya pertanian, perikanan dan kelautan,

perkebunan, kehutanan serta sumber daya lainnya baik yang dapat

diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga

kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis,

dan lain-lain;

(4) Sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), merupakan

sumber daya yang terdiri dari ketersediaan pengetahuan tentang pasar,

pengetahuan teknis, pengetahuan ilmiah yang menunjang dalam

memproduksi barang dan jasa. Selain itu ketersediaan sumber-sumber

pengetahuan dan teknologi dapat pula berasal dari perguruan tinggi,

lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik, literatur

bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, serta sumber

pengetahuan dan teknologi lainnya;

(5) Sumber daya infrastruktur yang terdiri dari ketersediaan jenis, mutu,

dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi daya saing,

seperti halnya sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, sistem

pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik, dan lain-lain.

Adapun kelima kelompok sumber daya tersebut sangat mempengaruhi

daya saing nasional.

2) Kondisi Permintaan (Demand Condition)

Kondisi permintaan merupakan merupakan sifat dari permintaan pasar

asal untuk barang dan jasa industri. Kondisi permintaan ini sangat

24

mempengaruhi daya saing terutama mutu permintaan. Mutu permintaan

merupakan sarana pembelajaran bagi perusahaan-perusahaan untuk bersaing

secara global. Mutu permintaan juga memberikan tantangan bagi perusahaan

untuk meningkatkan daya saingnya dengan memberikan tanggapan terhadap

persaingan yang terjadi.

Menurut Porter (1998), kondisi permintaan dalam diamond model

dikaitkan dengan sophisticated and demanding local customer. Artinya

semakin maju suatu masyarakat dan semakin demanding pelanggan dalam

negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas

produk atau melakukan inovasi guna memenuhi permintaan pelanggan lokal

yang tinggi. Dalam hal ini kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal

tetapi juga dari luar negeri karena adanya globalisasi.

3) Industri Terkait dan Industri Pendukung (Related and Supporting

Industry)

Keberadaan industri terkait dan pendukung (related and supporting

industry) akan mempengaruhi daya saing dalam hal industri hulu yang

mampu memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah,

mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan

jumlah yang sesuai dengan kebutuhan industri. Begitu pula dengan industri

hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Jika

industri hilirnya berdaya saing global, maka dapat menarik industri hulunya

menjadi ikut berdaya saing.

Adapun manfaat industri pendukung dan terkait akan meningkatkan

efisiensi dan sinergi dalam clusters. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta

terutama dalam transaction cost, technology sharing, informasi, ataupun

skills (keahlian dan keterampilan) tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh

industri atau perusahaan lainnya. Selain itu dengan adanya industri

pendukung dan terkait, maka akan meningkatkan produktivitas yang dapat

menciptakan daya saing.

25

4) Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (Firm Strategy,

Structure, and Rivalry)

Adanya tingkat persaingan bagi perusahaan akan mendorong

kompetisi dan inovasi. Persaingan dalam negeri mendorong perusahaan

untuk mengembangkan produk baru, memperbaiki produk yang telah ada,

menurunkan harga dan biaya, mengembangkan teknologi baru, dan

memperbaiki mutu serta pelayanan. Dalam hal ini, strategi perusahaan

dibutuhkan untuk memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu

meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi

baru.

Struktur perusahaan atau industri dapat menentukan daya saing dengan

melakukan perbaikan dan inovasi. Dalam situasi persaingan, hal ini juga

akan berpengaruh pada strategi yang dijalankan perusahaan atau industri.

Pada akhirnya persaingan di dalam negeri yang kuat akan mendorong

perusahaan untuk mencari pasar internasional.

5) Peran Pemerintah (Government)

Peran pemerintah akan berpengaruh terhadap faktor-faktor yang

menentukan tingkat daya saing. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator agar

perusahaan dan industri semakin meningkatkan daya saingnya. Pemerintah

dapat mempengaruhi daya saing global melalui regulasi-regulasi dan

kebijakan yang memperlemah atau memperkuat faktor penentu daya saing

tersebut. Pemerintah juga dapat memfasilitasi lingkungan industri yang

mampu memperbaiki kondisi faktor daya saing sehingga dapat berdaya guna

secara efisien dan efektif.

6) Peran Kesempatan (Chance Factor)

Peran kesempatan berada di luar kendali perusahaan maupun

pemerintah untuk mempengaruhi daya saing. Hal-hal seperti keberuntungan

merupakan peran kesempatan, seperti penemuan baru yang murni, biaya

perusahaan yang konstan akibat perubahan harga minyak atau depresiasi

mata uang. Selain itu dapat juga terjadi karena peningkatan permintaan

produk industri yang lebih besar dari pasokannya atau kondisi politik yang

menguntungkan daya saing.

26

Sumber: Porter (1990)

Gambar 2 Model Berlian dalam peningkatan daya saing industri.

2.5 Klaster Industri Berbasis Perikanan Tangkap

Akhir-akhir ini muncul gagasan dan perilaku di kalangan pebisnis perikanan

untuk mengembangkan industri perikanan, utamanya usaha mikro, kecil dan

menengah (UKM) dengan sistem klaster. Di kalangan pemerintah, pendekatan

klaster dijalankan untuk membina UKM, terutama untuk komoditas perikanan

yang memiliki nilai jual yang tinggi namun dihasilkan dengan teknologi produksi

skala kecil sederhana. Setidaknya ada dua prinsip penting pada sistem klaster

suatu industri yaitu 1) adanya kohesi kelompok yang sangat kuat di antara

perusahaan-perusahaan yang berlokasi di suatu kawasan tertentu dan

menghasilkan komoditas yang sama, serta 2) adanya integrasi atau keterpaduan

vertikal antara industri inti dengan industri sebagai pemasok faktor produksi dan

pembeli komoditas yang dihasilkan (Nikijuluw 2005).

Supomo (2006) mendefinisikan klaster industri sebagai kelompok industri

spesifik yang dihubungkan oleh jaringan mata rantai proses penciptaan/

peningkatan nilai tambah, baik melalui hubungan bisnis maupun non bisnis. Para

pelaku (stakeholder) klaster industri biasanya dikelompokkan kepada industri inti,

Change FIRM STRATEGY,

STRUCTURE, AND

RIVALRY

FACTOR

CONDITIONS DEMAND

CONDITIONS

RELATED AND

SUPPORTING

INDUSTRIES

Government

27

industri pemasok, industri pendukung, industri terkait dan pembeli serta institusi

pendukung (non industri). Menurut Widodo et al. (2003), diacu dalam Supomo

(2006) menjelaskan beberapa pengertian elemen-elemen dalam klaster industri

sebagai berikut:

1) Industri inti meliputi (1) industri yang merupakan perhatian atau tematik dan

biasanya dijadikan titik masuk kajian, dapat merupakan sentra industri, dan

(2) industri yang maju (dicirikan dengan adanya inovasi);

2) Industri pemasok meliputi (1) industri yang memasok dengan produk

khusus, dan (2) pemasok khusus (spesialis) yang mendukung kemajuan

klaster dimana yang dipasok seperti bahan baku, bahan tambahan dan

aksesoris;

3) Pembeli meliputi (1) distributor atau pemakai langsung, dan (2) pembeli

yang sangat “penuntut” yang dapat menjadi pemacu kemajuan klaster.

Pembeli antara lain terdiri dari distributor, pengecer, dan pemakai langsung;

4) Industri pendukung meliputi (1) jasa barang, termasuk layanan pembiayaan

(bank, modal ventura), (2) jasa (angkutan, bisnis distribusi, konsultan

bisnis), (3) infratruktur (jalan raya, telekomunikasi, listrik), (4) peralatan

(permesinan, alat bantu), (5) jasa pengemasan dan (6) penyedia jasa

pengembangan bisnis (business development services provider);

5) Industri terkait meliputi (1) industri yang menggunakan infrastruktur yang

sama dengan industri inti, dan (2) industri yang menggunakan sumber daya

dari sumber yang sama;

6) Lembaga pendukung meliputi (1) lembaga pemerintah yang berupa penentu

kebijakan atau melaksanakan peran publik, (2) asosiasi profesi yang bekerja

untuk kepentingan anggota, dan (3) lembaga pengembang swadaya

masyarakat yang bekerja pada bidang khusus yang mendukung.

Selanjutnya Nikijuluw (2005) menjelaskan pula bahwa klaster industri

terdiri dari 1) perusahaan sejenis, umumnya perusahaan yang sama ukuran skala

dan kapasitas usahanya, dan 2) UKM yang sejenis yang berkolaborasi atau

dikolaborasikan dengan perusahaan lain yang lebih besar skala dan kapasitas

bisnisnya sebagai perusahaan pengelola atau pembina. Meskipun bukan

merupakan hal yang mutlak, kehadiran perusahaan besar ini bisa sangat

28

membantu menyehatkan dan menjamin keberlangsungan hidup klaster industri

yang terdiri dari perusahaan UKM yang sejenis. Biasanya perusahaan besar ikut

dalam klaster sebagai pembina manajemen dan teknologi produksi, serta

menjamin pemasokan bahan baku, menjamin kualitas dan kontrol kualitas produk,

serta menjamin pasar.

2.6 Supply Chain Management

2.6.1 Definisi supply chain management

Supply Chain Management (SCM) merupakan pengelolaan kegiatan-

kegiatan dalam rangka memperoleh bahan mentah menjadi barang dalam proses

atau barang setengah jadi dan barang jadi dan kemudian mengirimkan barang

tersebut ke konsumen melalui saluran distribusi. Kegiatan-kegiatan ini mencakup

fungsi pembelian tradisional ditambah kegiatan penting lainnya yang

berhubungan antara pemasok dan distributor (Heizer dan Render 2001, diacu

dalam Septanto 2006). Menurut David et al. (2000) dalam Indrajit dan

Djokopramono (2002), diacu dalam Marimin dan Maghfiroh (2011) menyebutkan

bahwa SCM merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk

mengintegrasikan pemasok, pengusaha gudang (warehouse), dan tempat

penyimpanan lainnya secara efisien, sehingga produk yang dihasilkan dan

didistribusikan kepada konsumen dengan kuantitas dan kualitas yang tepat, lokasi

yang tepat, serta waktu yang tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan

konsumen. Mengacu pada pendapat tersebut, minapolitan dapat dianalogikan

sebagai suatu organisasi yang menghubungkan antara pemasok (supplier) dengan

customer/retailer, berfungsi untuk mengintegrasikan tuntutan kedua lembaga

tersebut agar sinergis dan dapat menjamin kecepatan dan ketepatan dalam

distribusi produk. Hubungan antara pemasok, minapolitan dan retailer ini akan

membentuk suatu rantai pemasok (supply chain).

Marimin dan Maghfiroh (2011) juga menjelaskan bahwa untuk memenuhi

permintaan konsumen yang semakin meningkat, produsen dituntut untuk memiliki

keunggulan kompetitif yang tinggi, sehingga dapat memberikan produk yang

berkualitas dan pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Namun tidak

hanya produsen, distributor dan penjual sebagai pihak yang memasok hingga ke

29

konsumen juga harus memiliki keunggulan kompetitif agar produk yang

didistibusikan dapat terjaga kualitasnya, tinggi tingkat ketersediaannya, dan

singkat waktu penyediaannya. Keunggulan kompetitif tersebut diwujudkan ke

dalam kemampuan untuk memasok/menyediakan produk kepada konsumen

dengan baik, memadai, cepat, dan tepat. Oleh karena itu, penataan dan

penyempurnaan SCM mulai dari produsen hingga ke konsumen menjadi sorotan

yang penting. Dijelaskan pula bahwa kajian SCM dapat meliputi kajian deskriptif

pada struktur dan anggota rantai, sasaran rantai, manajemen rantai, proses bisnis

rantai, performa rantai, hambatan-hambatan, serta rekomendasi. Kemudian dapat

dilanjutkan pada kajian strategi peningkatan kinerja SCM. Pada penelitian ini

analisis SCM hanya dibatasi pada kajian deskriptif struktur rantai, manajemen

rantai, proses bisnis rantai dan sumberdaya rantai.

2.6.2 Perkembangan konsep supply chain management

Pada tahun 1959 dan 1960, kebanyakan perusahaan manufaktur menerapkan

produksi masal untuk meminimalkan biaya produksi sebagai strategi utama dalam

beroperasi dengan tingkat fleksibilitas yang rendah. Tingkat pengembangan

produk baru relatif rendah dan sangat tergantung pada teknologi dan kapasitas

yang dimiliki. Operasi yang cenderung menghasilkan kondisi “bottleneck”

didukung dengan tingkat inventori yang besar untuk mempertahankan aliran

barang yang seimbang yang mengaitkan besarnya tingkat investasi pada work in

process inventory (WIP). Berbagai teknologi dan kelebihan dengan pelanggan

dan supplier dianggap terlalu beresiko dan tidak dapat diterima. Pada tahun 1970,

konsep manufacturing resource planning (MRP) diperkenankan dan para manager

kemudian menyadari besarnya pengaruh WIP yang besar terhadap biaya produksi,

kualitas, pengembangan produk baru dan waktu pengiriman. Produsen kemudian

beralih kepada konsep manajemen baru untuk meningkatkan kinerja perusahaan

(Septanto 2006).

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kompetisi global yang meningkat pada

tahun 1980 memberi tekanan pada organisasi untuk dapat menawarkan produk

dengan biaya rendah, berkualitas tinggi dan dapat diandalkan. Produsen kemudian

menerapkan konsep just-in-time (JIT) dan konsep manajemen lainnya untuk dapat

30

meningkatkan efisiensi produksi dan cycle time. Seiring waktu berjalan, para

produsen menyadari bahwa hubungan yang terjalin baik dengan pembeli dan

supplier akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar sehingga muncul

konsep supply chain management yang pada awalnya merupakan langkah

eksperimental dari para produsen. Evolusi dari SCM berlanjut sampai pada tahun

1990 dimana setiap organisasi berupaya untuk mengembangkan praktek

manajemen dengan memasukkan fungsi pemasok dan logistik ke dalam value

chain.

2.7 Penelitian Terkait

Maringi (2009) melakukan penelitian untuk mengembangkan pembangunan

pedesaan berkelanjutan melalui pendekatan pengembangan kawasan minapolitan

di Kabupaten Boyolali. Status berkelanjutan dianalisis berdasarkan dimensi

ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi serta hukum dan kelembagaan. Hasil

analisis prospektif diperoleh lima faktor kunci (faktor penentu) keberhasilan

pengelolaan kawasan minapolitan Kampung Lele, yaitu 1) teknologi budi daya

ikan lele, 2) ketersediaan instalasi pengelolaan limbah budi daya, 3) permintaan

ikan lele, 4) tingkat pendidikan rata-rata masyarakat pembudidaya, dan 5)

standarisasi mutu produk. Asmara (2010) melakukan penelitian untuk analisis

keberlanjutan kawasan Minapolitan di Kabupaten Banyumas sedangkan Setiawan

(2010) menganalisis kinerja dan status keberlanjutan kawasan Minapolitan

Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Tar (2010) mengkaji

arahan pengembangan kawasan minapolitan Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan,

Sumatera Barat.