2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · 6 yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti...

19
5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Volatilitas Harga Komoditas dan Inflasi Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi antara penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand, D) semakin banyak barang yang ingin dibeli akan meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual (supply, S) semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran dalam interaksi pembentukan harga. Namun untuk komoditas pangan atau pertanian, pembentukan harga disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran (supply shock) dibandingkan sisi permintaan (demand shock). Sisi penawaran lebih berpengaruh karena sisi permintaan cenderung lebih stabil dibanding sisi penawaran yaitu mengikuti perkembangan trennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran komoditas pangan atau pertanian cenderung sulit untuk dikontrol. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga (Nicholson, 2000). Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen. Terjadinya ketidakstabilan harga beras juga dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik. Kedua, ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif sulit diramalkan. Ketidakstabilan harga tersebut dapat merugikan produsen pada musim panen dan sebaliknya memberatkan konsumen pada musim paceklik. Disamping itu juga akan berakibat luas pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi. Globalisasi juga menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar (Simatupang, 2000). Dengan pendekatan lain, dinamika harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (1) pasar komoditas internasional, (2) pasar komoditas domestik, dan (3) pasar valuta asing. Artinya intervensi pemerintah untuk kebijakan stabilisasi harga di pasar domestik semakin mengecil. Menurut Irawan (2004) pada umumnya harga beras merupakan acuan bagi harga komoditas pangan lainnya dan tingkat upah pertanian, sehingga perubahan pangan lain dan upah tenaga kerja cenderung sejalan dengan perubahan harga gabah. Dengan demikian seberapa jauh fluktuasi harga beras mempengaruhi stabilitas ekonomi makro perlu menjadi perhatian, terutama pada kondisi pasar yang derajat liberalisasinya semakin meningkat. Dalam kaitannya antara perubahan harga komoditas dan inflasi, Furlong dan Ingenito (1996) meyakini bahwa harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock

Upload: hoangduong

Post on 21-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Volatilitas Harga Komoditas dan Inflasi

Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi antara

penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas barang

yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand, D) semakin banyak barang yang

ingin dibeli akan meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual (supply, S)

semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Banyak faktor

yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran dalam

interaksi pembentukan harga. Namun untuk komoditas pangan atau pertanian,

pembentukan harga disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran (supply

shock) dibandingkan sisi permintaan (demand shock). Sisi penawaran lebih

berpengaruh karena sisi permintaan cenderung lebih stabil dibanding sisi

penawaran yaitu mengikuti perkembangan trennya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi sisi penawaran komoditas pangan atau pertanian cenderung sulit

untuk dikontrol.

Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan

permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga

(Nicholson, 2000). Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani

daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu

penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini

dikarenakan sistem tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani

belum memiliki kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen. Terjadinya

ketidakstabilan harga beras juga dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama,

ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik. Kedua,

ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau

kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif

sulit diramalkan.

Ketidakstabilan harga tersebut dapat merugikan produsen pada musim panen

dan sebaliknya memberatkan konsumen pada musim paceklik. Disamping itu juga

akan berakibat luas pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi.

Globalisasi juga menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik

semakin terbuka terhadap gejolak pasar (Simatupang, 2000). Dengan pendekatan

lain, dinamika harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis

pasar secara simultan, yaitu (1) pasar komoditas internasional, (2) pasar

komoditas domestik, dan (3) pasar valuta asing. Artinya intervensi pemerintah

untuk kebijakan stabilisasi harga di pasar domestik semakin mengecil.

Menurut Irawan (2004) pada umumnya harga beras merupakan acuan bagi

harga komoditas pangan lainnya dan tingkat upah pertanian, sehingga perubahan

pangan lain dan upah tenaga kerja cenderung sejalan dengan perubahan harga

gabah. Dengan demikian seberapa jauh fluktuasi harga beras mempengaruhi

stabilitas ekonomi makro perlu menjadi perhatian, terutama pada kondisi pasar

yang derajat liberalisasinya semakin meningkat. Dalam kaitannya antara

perubahan harga komoditas dan inflasi, Furlong dan Ingenito (1996) meyakini

bahwa harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators inflasi.

Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock

6

yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan

(aggregate demand shock). Kedua, harga komoditas juga mampu merespon

terhadap non-economic shocks seperti banjir, tanah longsor, dan bencana alam

lainnya yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut.

Pergerakan harga komoditas pangan atau pertanian akan selaras dengan

perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan

berbeda. Respon harga komoditas yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal

bahwa kenaikan harga-harga barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan

inflasi meningkat. Hasil estimasi yang dilakukan oleh Furlong dan Ingenito (1996)

dengan menggunakan pendekatan vector autoregression (VAR) dan rolling

regression menyimpulkan bahwa harga komoditas mempunyai hubungan yang

sangat kuat dengan inflasi, walaupun koefisiennya mengalami penurunan.

Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Cody dan Mills (1991) sehingga

mereka percaya bahwa peningkatan harga komoditas yang menjadi sinyal

peningkatan inflasi harus diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter. Namun,

hasil estimasi yang dilakukan menunjukkan bahwa respon bank sentral melalui

fed funds rate terhadap perubahan harga komoditas tidak signifikan sehingga

inflasi yang terjadi lebih tinggi dari level inflasi optimalnya. Dapat diyakini

bahwa laju inflasi dapat ditekan dan diturunkan, jika bank sentral memberi respon

yang lebih memadai terhadap kenaikan harga komoditas tersebut. Hal ini

mengindikasikan bahwa harga komoditas memiliki kandungan informasi yang

baik terhadap inflasi.

2.2 Transmisi Harga

Analisis yang umum dipakai untuk mengetahui hubungan antar harga adalah

transmisi harga dan integrasi pasar. Terminologi analisis harga biasanya mengacu

pada analisis kuantitatif dari keterkaitan antar aspek permintaan dan penawaran

harga. Analisis harga sering digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan

variabel-variabel yang berhubungan. Harga dianggap dapat memberikan

gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan

permintaan suatu komoditas, maka analisis harga pangan merupakan hal yang

penting guna perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi

pangan serta membuat peramalan harga.

Isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian adalah bagaimana

pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia ataupun

sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan

parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk

memperkirakan besarnya dampak terhadap harga, output, konsumsi, dan

kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara

spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya

direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion, 1986).

Spasial transmisi harga melihat bagaimana harga pada pasar yang terpisah

secara spasial di suatu negara adalah berhubungan atau bagaimana harga domestik

melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk

spasial transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan.

Beberapa negara berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang

7

berhubungan dengan lembaga pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol

terhadap perdagangan dunia.

Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia ditransmisikan ke pasar

komoditas domestik merupakan sesuatu yang penting bagi pengambil kebijakan.

Dalam istilah spasial, paradigma klasik dari hukum satu harga (law of one price)

memberikan pengertian bahwa transmisi harga disebut lengkap pada kondisi harga

keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada pasar bersaing di luar negeri dan

domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika dikonversi ke suatu mata

uang yang sudah umum digunakan dalam perdagangan dunia. Model ini

memprediksikan bahwa perubahan pada permintaan dan penawaran di satu pasar

akan mempengaruhi perdagangan dan oleh karena itu harga di pasar yang lain

pada kondisi keseimbangan dipulihkan melalui arbitrase spasial.

Fackler dan Goodwin (2002) merumuskan P1t dan P2t sebagai harga sebuah

komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya transfer untuk

mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi antara

harga tersebut adalah :

P1t = P2t + C (1)

Jika hubungan dua harga terjadi seperti formula tersebut maka kedua pasar

dikatakan terintegrasi. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi

terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut

ternyata independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat

dikatakan bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga.

Umumnya arbitrase spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari

sebuah komoditas akan berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan

biaya transfer. C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1

ke pasar 2. λ adalah konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara

harga di dua pasar tersebut diidentifikasikan sebagai berikut:

P2t – P1t = λC (2)

Fackler dan Goodwin (2002) mengacu pada hubungan diatas sebagai kondisi

arbitrase spasial dan berpendapat bahwa hubungan tersebut mengidentifikasikan

sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga, bentuk yang kuat dicirikan oleh

persaman (1). Fackler dan Goodwin juga menekankan bahwa hubungan

persamaan (2) mewakili kondisi ekuilibrium. Harga yang diobservasi dapat

berbeda dari hubungan persamaan (1), tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan

perbedaan antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer.

2.3 Model Kointegrasi

Konsep kointegrasi diperkenalkan oleh Engle dan Granger (1987), dimana

analisis formalnya dimulai dengan mendasarkan pada himpunan peubah ekonomi

yang berada pada keseimbangan jangka panjang.

β 1x1t + β 2x2t + ... + β nxnt = 0 atau β‟xt = 0

penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang disebut galat ekuilibrium (et),

sehingga εt = β‟xt dimana εt pada kondisi stasioner. Menurut Engle dan Granger

komponen suatu vektor xt „ = ( x1t, x2t, ..., xnt)‟ dikatakan berkointegrasi orde (d,b)

dan dinyatakan dengan CI (d,b), jika :

a Semua komponen x berintegrasi orde d (Vd xt : stasioner)

8

b Ada vektor β‟ = (β1 β2 ... βn) sehingga kobinasi linear β‟xt berintegrasi

orde d-b, dimana b > 0 dan β disebut vektor kointegrasi.

Prinsip dari peubah kointegrasi adalah data deret waktunya dipengaruhi oleh

penyimpangan keseimbangan jangka panjang. Jika sistem berada pada

keseimbangan jangka panjang gerakan suatu peubah harus merespon besarnya

ketidakseimbangan tersebut.

Integrasi Pasar

Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi

jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah

secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi

dengan harga di pasar-pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu

pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke pasar-pasar lain, baik dalam

jangka pendek atau jangka panjang.

Menurut Baffes dan Bruce (2003) pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila

perubahan harga yang terjadi di pasar dunia tersebut langsung diteruskan dan

direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan kata lain pola harga yang

ditunjukkan harus sama. Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan

memiliki hubungan yang positif antara harganya di wilayah pasar yang berbeda.

Selanjutnya jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di

daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah yang mengekspor

ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat

dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986). Berbeda dengan Barrett (2005)

yang menyatakan bahwa pasar yang tidak terintegrasi spasial maupun

intertemporal ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi ketidakefisienan pasar

seperti terjadi kolusi dan adanya konsentrasi pasar sehingga mengakibatkan

adanya permainan harga dan terjadinya distorsi harga di pasar. Rifin (2005)

mengatakan bahwa terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan

memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

1 Segmentansi pasar.

Pasar dikatakan tidak terintegrasi jika pasar tersegmentasi dimana apabila

perubahan harga yang terjadi di pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik

cepat atau lambat terhadap harga di pasar domestik. Dengan demikian diharapkan

dengan terintegrasinya pasar domestik, maka harga yang terjadi di pasar domestik

dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan.

2 Integrasi Jangka Pendek.

Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga

yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam harga di

pasar domestik. Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek lag pada

harga dimasa yang akan datang. Dalam makroekonomi dan ekonomi internasional

konsep yang umum dari integrasi pasar terfokus pada kemampuan dalam

melakukan perdagangan. Transfer sinyal tradabilitas terhadap kelebihan

permintaan dari suatu pasar ke pasar lainnya ditransmisikan sebagai arus fisik

aktual maupun potensial. Arus perdagangan yang positif dapat mendemontrasikan

integrasi pasar spasial berdasarkan konsep tradabilitas (Barret, 2005).

Riset integrasi spasial pasar tradisional mengasumsikan bahwa dua daerah

dengan pasar ekonomi yang sama untuk produk yang homogen terjadi jika

perbedaan harga antara dua daerah sama persis dengan biaya transaksi yang

9

berhubungan dengan perdagangan (Bernal et.al., 2003). Pada suatu keseimbangan

yang kompetitif, arus perdagangan terjadi sampai laba potensi menjadi jenuh. Jika

perbedaan harga kurang dari biaya-biaya transaksi, maka pasar mungkin

tersegmentasi atau jika perdagangan masih terjadi juga maka perbedaan ini

mengindikasikan adanya strategi maksimisasi keuntungan jangka panjang atau

kegagalan atas informasi jangka pendek. Pasar autarki menyediakan penjelasan

alternatif untuk pasar tersegmentasi dengan kondisi keseimbangan (Bernal et.al.,

2003). Kemudian Anwar (2005) menyatakan bahwa dua pasar terpadu apabila

perubahan harga suatu pasar dirambatkan ke pasar lain, semakin cepat

perambatannya maka semakin terpadu pasarnya.

Pada dasarnya analisis integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian

berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, yaitu:

1 Integrasi Pasar Spasial

Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar

regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial menunjukkan

pergerakan harga dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan

informasi diantara pasar yang terpisah secara spasial. Perilaku harga spasial dalam

pasar regional merupakan indikator penting dalam melihat market performance.

Pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat

yang dapat mendistorsi keputusan pasar produsen dan kontribusi pergerakan

produk menjadi tidak efisien.

Tingkat keefisienan antar pasar di berbagai lokasi yang berjauhan

mempunyai implikasi penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan.

Mengingat akan pentingnya masalah ini, maka sejumlah uji empiris terhadap Dalil

Harga Tunggal (The Law of One Price atau sering disingkat LOP) dan ukuran

kesatuan dan keefisienan pasar telah banyak dilakukan (Fackler dan Goodwin,

2002). Dalil ini menyatakan bahwa pada keadaan pasar bersaing, semua harga-

harga dalam suatu pasar akan seragam setelah adanya biaya tambahan terhadap

kegunaan tempat, waktu dan bentuk dari suatu barang di pasar yang bersangkutan.

Apabila pasar terintegrasi maka peningkatan harga di suatu daerah atau negara

akan ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Namun ada beberapa prinsip-prinsip

yang menentukan perbedaan harga pasar spasial antar negara berlaku sama pada

harga internasional, dimana tidak tersedia rintangan dari pergerakan produk antara

negara-negara tersebut. Untuk berbagai komoditi pertanian, tentu saja kondisi

rintangan tersebut sangat dibutuhkan dalam perdagangan bebas.

Analisis integrasi pasar spasial membagi pasar dalam dua kategori yakni:

pasar yang berpotensi defisit atau kekurangan dan pasar yang berpotensi surplus

atau berlebih. Seperti halnya Indonesia memiliki potensi defisit dalam hal

pemenuhan beras untuk dikonsumsi yang menyebabkan terjadinya impor beras.

Sedangkan di negara lain, misalnya Thailand berpotensi surplus yang menjadikan

Thailand sebagai salahsatu negara pengekspor beras terbesar di dunia.

Gambar 3 menunjukkan apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang

terjadi adalah PI yakni di pasar Indonesia (I) dan PT di pasar Thailand (T) dimana

PT < PI. Pada harga diatas PT, pasar Thailand akan mengalami excess supply,

sehingga beberapa produk akan tersedia untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan

impor akan dilakukan untuk memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) di

pasar Indonesia apabila harga dibawah PT. Selanjutnya informasi dari kurva ini

dapat digunakan untuk mengembangkan model keseimbangan spasial akibat

10

perdagangan antara dua pasar dengan menggunakan kurva excess supply dan

excess demand seperti yang ditunjukkan oleh kurva pada Gambar 4 bagian c.

Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan

faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Excess supply

adalah selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu

tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin

meningkatnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar T (PT).

Kurva excess supply di dasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply

dan demand di pasar I (Indonesia) pada harga diatas titik keseimbangan (titik b

dikurang titik a, yang ditunjukkan oleh grafik bagian a pada (gambar 4). Grafik

juga digunakan untuk menggambarkan kurva excess supply yang ditunjukkan

grafik bagian c. Seperti kurva supply biasa, kurva excess supply mempunyai

kemiringan (slope) positif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang

makin melebar akibat peningkatan harga.

Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang

ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat

dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar

I (PI). Kurva excess demand didasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva

supply dan demand dibawah titik keseimbangan pada pasar I (titik d dikurang titik

c, yang ditunjukkan oleh grafik bagian b pada Gambar 4). Grafik ini juga dapat

digunakan untuk menggambarkan kurva excess demand yang ditunjukkan grafik

bagian panel c pada Gambar 4. Kurva excess demand mempunyai kemiringan

(slope) negatif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar

akibat penurunan harga.

Kurva excess supply dan excess demand berpotongan pada harga PE jika

tidak ada biaya transfer antara dua pasar, total komoditi sebannyak QE2 (sebesar

ab=cd) dapat dijual dari pasar T ke pasar I harga diantara kedua pasar akan sama

yaitu sebesar PE. Sedangkan bila biaya transfer dari pasar T ke Pasar I melebihi

atau lebih besar dari Pt maka perdagangan tidak akan terjadi. Dalam kasus ini

demand dan supply sama di setiap pasar dan perbedaan harga akan lebih kecil dari

biaya transfer. Perubahan biaya transfer dapat diilustrasikan dengan garis volume

perdagangan yang digambarkan oleh garis xy. Garis vertikal antara 0 sampai Pt

menunjukkan besaran biaya transfer, semakin tinggi biaya transfer semakin kecil

volume perdagangan dan perdagangan tidak akan terjadi jika biaya transfer sama

atau melebihi Pt. Sedangkan garis horizontal antara 0 sampai QE2 menunjukkan

besaran perdagangan. Perdagangan akan maksimum pada QE2 ketika biaya

transfer sama dengan nol. Sebagai contoh apabila biaya transfer sebesar t, maka

total output yang akan ditransfer sebesar QE1 unit. Apabila diasumsikan harga di

setiap pasar dapat ditentukan dan slope kurva demand dan supply diperkirakan

sama maka efek dari biaya transfer sebesar t akan menurunkan harga dari PI

menjadi PI1 pada pasar I (Indonesia) dan menaikkan harga dari PT menjadi PT1

pada pasar T (Thailand). Restriksi perdagangan akan meningkatkan biaya transfer

yang menyebabkan perdagangan akan terus berlangsung samapai biaya transfer

sama dengan selisih harga. Jika biaya transfer lebih besar atau sama dengan selisih

harga antar pasar maka pedagang tidak memiliki insentif untuk melakukan

perdagangan. Hal ini mengakibatkan transfer excess demand maupun excess

supply antara kedua pasar tidak terjadi dan harga akan bergerak secara mandiri

(independence).

11

EST

DT

ST

a

QT

PT‟

PT

QI

DI

PI

SI

d c PE

EDI PT

PI

E

Komoditi (Q) 0 QE1

x

QE2

y

t

PEI1

Pt

EST

PET1

EDI

Transfer Cost (t)

Harga (P)

a. Pasar T (Surplus) b. Pasar I (Defisit) c. Keseimbangan excess supply dan excess demand

Sumber : Tomek dan Robinson, 1972

Gambar 3 Model keseimbangan integrasi spasial dua pasar

11

b

12

2 Integrasi Pasar Vertikal

Integrasi pasar vertikal terjadi ketika rantai pemasaran atau produksi dan

pemasaran secara berturut-turut saling berhubungan. Kajian mengenai integrasi

pasar vertikal penting diketahui untuk melihat keeratan hubungan antara

konsumen, lembaga pemasaran dan produsen. Jika konsumen, lembaga pemasaran

dan produsen saling berhubungan dan berinteraksi dalam penentuan harga yang

terjadi di masing-masing pasar maka dapat dikatakan bahwa pasar tersebut

berlangsung secara efisien.

Terjadinya perubahan permintaan akan menyebabkan perubahan harga

disimpul tersebut, selanjutnya akan diteruskan kepada produsen melalui

perubahan permintaan dari pedagang dan seterusnya perubahan tersebut akan

dilanjutkan lagi ke pasar produsen, demikian selanjutnya. Salah satu alasan bagi

pelaku pasar ritel mengintegrasikan proses penanaman sampai penjualan produk

ke tingkat produsen adalah untuk memastikan laju dari produk dengan spesifikasi

tertentu dengan batas jangka pengiriman yang konstan. Selanjutnya, integrasi

dapat mengurangi biaya pemasaran khususnya penjualan dari suatu tingkat ke

tingkat lainnya.

Salah satu aspek yang menarik dari integrasi pasar vertikal berdasarkan sudut

pandang ekonomi adalah perubahan alami dari sistem harga. Integrasi pasar

vertikal telah mengubah kedudukan formasi harga dan telah mengurangi jumlah

titik atau simpul dari rantai pemasaran dimana harga tersebut dibentuk.

Koordinasi harga secara parsial telah digantikan dengan koordinasi administrasi

(Tomek dan Robinson, 1972).

2.4 Teori Residual Solow

Solow mengasumsikan model yang sangat mendasar dari produksi output

tahunan selama selang waktu t. Solow menyatakan bahwa jumlah output akan

ditentukan oleh jumlah modal (infrastruktur), jumlah tenaga kerja (jumlah sumber

daya manusia dalam angkatan kerja), dan produktivitas tenaga kerja. Solow

menduga produktivitas tenaga kerja adalah faktor yang mempengaruhi

peningkatan GDP dalam jangka panjang. Dalam bentuk model ekonomi :

Y = F(K, A(t). L) (3)

Dimana A(t) adalah faktor peubah yang dipengaruhi waktu , dimana A > 0 dan

dA/dt > 0. Solow residual adalah angka yang menjelaskan pertumbuhan

produktivitas empiris dalam ekonomi dari tahun ke tahun dan dekade ke dekade.

Solow mendefinisikan peningkatan produktivitas sebagai peningkatan output

dengan input modal dan tenaga kerja yang tetap.

Teori produktivitas ini disebut sebagai residual karena menjelaskan

produktivitas yang bukan disebabkan oleh akumulasi faktor (input). Tujuan dari

metode ini adalah untuk menentukan berapa besar ketergantungan pertumbuhan

ekonomi terhadap akumulasi faktor dan berapa besar pengaruh dari

pengembangan teknologi. Berdasarkan Gambar 4 yang mengilustrasikan

kombinasi input dalam fungsi produksi (kurva kemungkinan produksi dengan dua

variabel input), besarnya pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pergerakan

sepanjang kurva produksi, yang dapat ditentukan oleh kemajuan teknologi dan

13

kompetensi organisasi, yang digambarkan oleh pergeseran kurva produksi ke

kanan atas dari A ke B dan B ke C.

Sumber : Nicholson, 2000

Gambar 4 Kurva kemungkinan produksi

2.5 Total Faktor Produktivitas

Produktivitas merupakan sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang

mengacu pada perbandingan output terhadap input (Supriyanto, 2002). Semakin

besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat

produktivitas, misalnya produktivitas tenaga kerja (Q/L). Dengan demikian,

konsep produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk

menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu (statis).

Sedangkan konsep pertumbuhan mengacu pada perubahan rasio input-output atau

produktivitas menurut dimensi waktu (dinamis).

Pendekatan pertumbuhan berdasarkan produktivitas akan lebih tepat bila

menggunakan acuan pekerja dibandingkan populasi. Konsep terakhir ini disebut

sebagai growth of employment value added ratio. Namun demikian, definisi

terakhir ini masih mengacu pada konsep produktivitas parsial, yakni tenaga kerja.

Konsep total faktor produktivitas (TFP) akan lebih tepat untuk menggambarkan

kondisi perusahaan, sektor, maupun agregat ekonomi yang memiliki lebih dari

satu input peubah.

Sumber-sumber pertumbuhan umumnya dibagi dua kelompok, yakni (1)

pertumbuhan yang berasal dari sisi permintaan dan (2) pertumbuhan yang berasal

dari sisi penawaran. Kelompok pertama menyatakan bahwa sumber-sumber

pertumbuhan berasal dari pasar, yakni konsumsi masyarakat, investasi swasta,

government expenditure, dan ekspor. Sedangkan kelompok kedua menyatakan

bahwa sumber pertumbuhan ekonomi berasal dari : (1) kontribusi modal fisik

(physical capital), (2) modal manusia (human capital), (3) pertumbuhan

K (unit)

C

B

A

0 L (jam)

14

penduduk atau tenaga kerja, serta (4) inovasi dan kemajuan teknologi. Pada

kelompok kedua ini, analisis sumber-sumber pertumbuhan yang umum digunakan

adalah Total Factor Productivity Growth (Kogel, 2003)

Konsep pertumbuhan yang digunakan umumnya relatif sama (PDB per

kapita), namun yang berbeda adalah sumber-sumber pertumbuhan, yakni dapat

berasal dari sisi penawaran atau permintaan. Jika analisis sumber pertumbuhan

bersifat sektoral umumnya digunakan pendekatan sisi penawaran, sedangkan pada

makroekonomi secara agregat umumnya digunakan analisis sumber pertumbuhan

dari sisi permintaan. Oleh karena itu, analisis sumber pertumbuhan dipengaruhi

atau tergantung dari ketersediaan data dan tujuan analisis dari studi empiris yang

dilakukan. Dalam membicarakan pertumbuhan produksi jangka panjang, paling

tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah penemuan sumber

pertumbuhan baru dan kelestarian (sustainability) dari pertumbuhan tersebut.

Produktivitas merupakan suatu ukuran efisiensi produksi yang mengacu pada

perbandingan antara besar output yang dapat dihasilkan dalam satu proses

produksi terhadap jumlah penggunaan input. Produktivitas dapat dibagi atas dua

konsep pengukuran yaitu : partial factor productivity dan total factor productivity.

Konsep partial factor productivity mengacu kepada kemampuan satu unit

input untuk menghasilkan tingkat output pada satu periode produksi tertentu.

Partial factor productivity hanya mengukur dari satu faktor produksi terhadap

output dengan mengabaikan pengaruh dari input lain yang digunakan dalam

proses produksi. Kelemahan yang mencolok dari pendekatan partial factor

productivity adalah, konsep ini tidak mengukur seluruh kontribusi produktivitas

seluruh faktor produksi yang terlibat dalam satu proses produksi padahal dalam

proses pengukuran efisiensi proses produksi diperlukan suatu analisis yang

komprehensif untuk mengukur pengaruh dari keseluruhan input yang digunakan.

Atas dasar inilah dalam konsep pengukuran produktivitas yang lebih

komprehensif diperkenalkan konsep Total Factor Productivity (TFP) yang

digunakan untuk mengukur dampak input agregat terhadap output agregat.

Metode penghitungan TFP dapat dilakukan dengan dua cara yaitu the growth

accounting framework dan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Kedua

pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan satu sama lainnya. Pendekatan

growth accounting lebih praktis dibandingkan dengan pendugaan ekonometrik

tetapi pendekatan ini memiliki keterbatasan antara lain : pendekatan ini hanya

dapat menghitung efisiensi teknis; menggunakan asumsi constant return to scale;

tidak dapat menghitung efisiensi harga dan tidak dapat menghitung elastisitas baik

elastisitas permintaan input maupun penawaran. Sementara itu, dengan

menggunakan pendekatan ekonometrika, kelemahan dari growth accounting dapat

dihilangkan sebab dengan pendekatan ekonometrika akan dapat ditangkap semua

komponen efisiensi (efisiensi teknis dan harga), dapat menentukan besaran

elastisitas permintaan dan penawaran output.

Menurut konsep neoklasik, pertumbuhan output bersumber dari faktor

akumulasi penggunaan input kapital dan input tenaga kerja serta dari

produktivitas, tetapi juga disebabkan oleh kemajuan teknologi. Mengingat betapa

pentingnya kemajuan teknologi sebagai sumber dari pertumbuhan output maka

tidaklah mengherankan jika peningkatan produktivitas lebih banyak dilakukan

melalui pengembangan teknologi.

15

Pengukuran TFP dengan pendekatan accounting growth mengasumsikan

bahwa fungsi produksi bersifat constant return to scale dan neutral technical

progress. Secara umum, fungsi produksi neo classical mengasumsikan proses

produksi menggunakan input kapital (K) dan input tenaga kerja (L) yang dapat

diformulasikan sebagai berikut :

Q = f (K, L) (4)

Dengan menggunakan variabel waktu (t) sebagai proksi atas technical progress

yang diduga juga berpengaruh terhadap jumlah output yang dapat dihasilkan.

2.6 Analisis Pass-Through Effect

Analisis efek perubahan (pass-through effect analysis) umumnya digunakan

untuk mengetahui efek perubahan nilai tukar terhadap perubahan tingkat harga,

baik harga ekspor-impor maupun harga di tingkat konsumen. Pass-through effect

akan menimbulkan efek langsung dan tidak langsung (direct and indirect pass

through effect). Svensson (2000) mengembangkan model pengaruh lintasan kurs

terhadap perekonomian. Analisis yang dilakukan oleh Svensson menyatakan

bahwa pengaruh lintasan kurs terhadap perekonomian data melalui efek langsung

maupun tidak langsung. Perubahan nilai tukar akan berpengaruh langsung

terhadap inflasi melalui perubahan harga barang-barang impor merupakan jalur

yang terjadi pada efek langsung (direct pass through), sedangkan jalur yang

terjadi pada efek tidak langsung, perubahan nilai tukar akan mempengaruhi

melalui jalur output, yaitu melalui perubahan permintaan agregat dan penawaran

agregat.

Dampak langsung lintasan nilai tukar terhadap inflasi adalah melalui

perubahan harga barang-barang impor. Depresiasi mata uang akan menyebabkan

kenaikan harga barang-barang impor. Barang-barang impor yang dapat

mengalami kenaikan harga dapat berupa bahan baku, barang modal, dan barang

konsumsi. Hartati (2004) menyatakan bahwa dampak langsung perubahan nilai

tukar mempengaruhi inflasi melalui perubahan indeks harga barang domestik

yang berasal dari impor barang-barang konsumsi (final goods). Majardi (2000)

menyatakan bahwa dampak perubahan nilai tukar yang langsung mempengaruhi

inflasi dapat digolongkan ke dalam dua kategori. Pertama, first direct pass

through, yaitu dampak melalui barang konsumsi. Barang konsumsi terpengaruh

karena perubahan harga barang impor dapat langsung mempengaruhi harga jual

produk di dalam negeri. Kelompok barang ini memiliki nilai elastisitas yang

tinggi terhadap perubahan kurs. Kedua, dampak tidak langsung (second direct

pass-through), yaitu dampak melalui impor bahan baku dan barang modal.

Dampak tidak langsung lintasan kurs dapat dilihat dari pergerakan nilai tukar.

Nilai tukar akan mempengaruhi tingkat harga domestik melalui guncangan

permintaan dan penawaran agregat. Secara teoritis, jalur tidak langsung biasanya

melalui transmisi demand pull, yaitu ketika kenaikan harga luar negeri ataupun

kenaikan mata uang asing terhadap rupiah mengakibatkan kenaikan pendapatan

eksportir dalam negeri. Hasil akhirnya adalah akan meningkatkan permintaan

eksportir terhadap barang dan jasa di dalam negeri.

16

2.7 Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian yang membahas mengenai pasar beras maupun perdagangan beras

telah banyak dilakukan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Salah

satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Harianto (2001). Harianto berfokus

pada impor beras. Menurut Harianto, impor beras merugikan produsen, disisi lain

menguntungkan konsumen beras. Penurunan harga beras akan menguntungkan

konsumen yang ada di pedesaan. Konsumen di pedesaan juga adalah petani padi

akan menghadapi dilema. Turunnya harga akan menguntungkan jika konsumen

adalah petani subsisten yang menjadi net buyer. Perubahan penawaran pangan

dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan

menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya

terjadi fluktuatifnya sisi permintaan dan atau penawaran.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitepu (2002), menyatakan

bahwa harga beras dunia selain dipengaruhi oleh jumlah ekspor dan impor beras

dunia, juga dipengaruhi oleh jumlah produksi beras dunia. Dalam hasil

penelitiannya, harga beras dunia tidak berpengaruh nyata secara positif terhadap

jumlah impor beras dunia, dan responnya juga inelastis baik jangka pendek

maupun jangka panjang. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh jumlah ekspor

beras dunia, tetapi arahnya berlawanan. Respon harga beras dunia terhadap

perubahan jumlah ekspor beras dunia juga inelastis baik jangka pendek maupun

jangka panjang. Artinya peningkatan jumlah ekspor beras dunia sebesar satu

persen, cateris paribus, akan mengurangi harga beras dunia sebesar 0.06 persen

dalam jangka pendek dan 0.08 persen dalam jangka panjang.

Disamping kedua faktor tersebut, harga beras dunia dipengaruhi secara nyata

oleh produksi beras dunia, bahkan responnya elastis baik jangka pendek (-1.91)

maupun jangka panjang (-2.73). Artinya, peningkatan volume produksi beras

dunia sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga beras dunia akan

berkurang sebesar 1.19 persen pada jangka pendek dan 2.73 persen pada jangka

panjang. Sitepu juga memasukkan faktor bedakala dalam penelitiannya. Faktor

peubah bedakala menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap harga beras dunia.

Hal ini mengindikasikan bahwa, harga beras dunia relatif lambat untuk

menyesuaikan diri kembali pada titik keseimbangannnya dalam merespon situasi

perubahan ekonomi yang berkaitan dengan perberasan dunia.

Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2009) yang

menganalisis pasar beras di tiga negara yaitu Thailand, Filipina dan Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian, telah terjadi integrasi dengan tingkat integrasi yang

sangat lemah antara pasar beras Indonesia, Thailand, dan Filipina. Artinya apabila

terjadi perubahan di dalam pasar beras dan gula suatu negara akan mempengaruhi

pergerakan pasar beras dan gula negara lainnya dengan perubahan yang sangat

kecil (dilihat dari nilai koefisiennya yang lebih kecil dari satu). Kondisi ini

disebabkan masih adanya kebijakan pengendalian impor (baik tarif maupun

nontarif) yang diterapkan oleh tiga negara ASEAN tersebut terhadap komoditi

beras dan gula.

Penelitian lain mengenai integrasi pasar beas dilakukan oleh Hidayat (2012).

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pasar beras Indonesia terintegrasi dengan

pasar beras dunia dengan derajat yang sangat lemah. Perubahan di pasar dunia

ditransmisikan ke pasar beras domestik namun tidak sempurna. Peningkatan harga

17

beras dunia dapat menyebabkan kesejahteraan petani beras meningkat, sedangkan

kesejahteraan konsumen mengalami penurunan.

Penelitian yang berkaitan dengan pengendalian harga beras pernah dilakukan

oleh Firdaus et. al. (2008). Dalam bukunya yang berjudul Swasembada Beras

dari Masa ke Masa, Telaah Efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi

Nasional menyatakan bahwa pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan

yang ditujukan untuk mengendalikan harga beras domestik. Kebijakan

pengendalian harga beras ditujukan untuk melindungi petani dan konsumen beras

melalui mekanisme stabilisasi harga. Untuk melindungi petani, sejak tahun 1970

pemerintah telah mengeluarkan kebijakan harga dasar (floor price) untuk gabah

dan beras. Untuk melindungi konsumen pemerintah menetapkan harga maksimum

(ceiling price).

Bentuk kebijakan harga lain pada beras yang masih berlaku sampai saat ini

adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM

adalah bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga beras

terlalu tinggi akibat adanya excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara

peotogan harga 10 sampai 15 persen dibawah harga pasar. Sedangkan OPK

merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal OPK adalah

penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan saat

krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM.

Penelitian mengenai harga minyak mentah dunia diantaranya adalah yang

telah dilakukan oleh Aji (2010). Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis

Integrasi Harga Minyak Bumi, Minyak Kedelai, CPO, Minyak Goreng Domestik

dan Tandan Buah Segar Kelapa Sawit”, Aji menemukan terdapat adanya integrasi

antara harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik, dan

TBS kelapa sawit. Pengaruh minyak bumi atau minyak mentah dunia terhadap

harga-harga minyak lainnya tidak terlalu besar, hal ini menunjukkan bahwa

konversi energi dari minyak bumi ke minyak nabati belum begitu besar. Dalam

penelitiannya, Aji menggunakan Granger Causality, kointegrasi multivariat,

kointegrasi bivariat, dan vector error correction model (VECM).

Studi yang dilakukan para peneliti dibidang total faktor produktivitas selama

ini dapat dibedakan ke dalam kategori berdasarkan ruang lingkup penelitian yaitu

TFP untuk aspek agregate dan TFP untuk aspek mikro (perusahaan). Penelitian

dengan data agregat banyak dilakukan untuk menunjukkan sumber-sumber

pertumbuhan ekonomi suatu negara dan dekomposisi TFP. Cororaton (2002)

untuk kasus Philippina, Jantan dan Sahlan (2002) untuk kasus Malaysia, Felipe

(1997) untuk kasus Asia Tenggara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Cororaton dengan pengamatan selama kurun waktu 1967-2000, menyatakan

bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Philippina

adalah keterbukaan terhadap perdagangan luar negeri dan investasi, kestabilan

harga, dan kondisi makroekonomi Philippina. Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh Sahlan dan Jantan 2002 dengan mengambil sampel salahsatu

kabupaten di Semenanjung Malaysia adalah menganalisis mengenai kemajuan

teknis di sektor manufaktur.

Analisis menggunakan kerangka perhitungan pertumbuhan dengan periode

analisis antara tahun 1991-1996. Kemajuan teknis atau total faktor produktivitas

merupakan faktor sisa setelah kontribusi pertumbuhan modal dan tenaga kerja

diperhitungkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi modal dan tenaga

18

kerja berkontribusi lebih dari tiga-perempat dari output total manufaktur,

sementara kemajuan teknis menyumbang kurang dari seperempat pertumbuhan

total di sektor manufaktur. Studi lanjutan adalah studi yang dilakukan oleh Felipe

1997. Felipe menganalisis faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi

di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Studi lain mengenai TFP adalah

studi yang dilakukan Supriyanto (2002).

Hasil studi Supriyanto yang menggunakan pendugaan stochastic translog

frontier production function pada industri makanan, tekstil, dan kayu menyatakan

bahwa untuk mendorong pertumbuhan (industri kecil rumah tangga) IKRT perlu

conducive business environment melalui perbaikan layanan usaha (birokrasi dan

perijinan), pengurangan transaction cost, ketenangan dan keamanan berusaha,

pengembangan infrastruktur, serta peningkatan akses pasar, modal, informasi, dan

teknologi. Disisi lain, Supriyanto mengungkapkan perlunya peningkatan kualitas

tenaga kerja pada sektor makanan, kualitas bahan baku pada sektor tekstil, dan

peningkatan kualitas kapital pada sektor kayu. Kesimpulan hasil penelitian

Supriyanto adalah ketiga sektor usaha berada pada kondisi decreasing cost

industry (increasing return to scale).

2.8 Kerangka Pemikiran Operasional

Minyak mentah merupakan salahsatu sumber energi utama bagi kehidupan

manusia. Menipisnya persediaan minyak mentah dunia akan menyebabkan

lonjakan harga ketika pasokan di pasar dunia lebih rendah dibandingkan

permintaan. Lonjakan harga yang terjadi menurut Mondi et.al. (2010)

mempengaruhi harga beras dunia melalui lima saluran utama, yaitu : kenaikan

harga pupuk, biaya transportasi, ekspektasi pasar, spekulasi di pasar berjangka,

dan efek substitusi produksi beras dengan biji-bijian lainnya yang digunakan

dalam pembuatan biofuel. Berikut merupakan grafik hasil penelitian Mondi et. al.

yang menjelaskan hubungan antara harga mnyak mentah dunia dengan harga

beras dunia.

Gambar 5 Hubungan harga minyak mentah dunia dengan harga beras dunia

menurut mondi at.al.

Indonesia yang mengalami perubahan peran, yaitu awalnya swasembada

beras tetapi beberapa tahun sebagai net importir beras, dan kemudian tiga tahun

terakhir (2008-2011) telah kembali dapat mengekspor walaupun dengan jumlah

HBD HMMD

Harga Pupuk

Biaya Transportasi

Ekspektasi Pasar

Spekulasi di Pasar

Berjangka

Efek Substitusi

19

sedikit, maka diduga kondisi pasar beras Indonesia tergantung atau dipengaruhi

oleh pasar beras dunia termasuk pergerakan harga berasnya melalui harga impor

beras yang di impor Indonesia. Beberapa studi terdahulu menyatakan bahwa harga

beras domestik terintegrasi dengan harga beras dunia, dalam hal ini harga beras

Thailand sebagai negara pengekspor beras utama di dunia.

Terkait dengan hubungan harga antara harga minyak mentah dunia, harga

beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik, maka akan melibatkan

nilai tukar baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan penelitian

Anwar (2005) nilai tukar akan mempengaruhi harga komoditi secara langsung

maupun tidak langsung. Efek langsung setiap perubahan nilai tukar akan

mempengaruhi harga di negara pembeli jika tanpa perubahan di negara produsen.

Harga dapat naik atau turun dalam jangka pendek tergantung pergerakan mata

uang, perubahan ini hanya dalam efek nominal, yaitu tidak ada efek cepat

terhadap permintaan dan penawaran. Secara arbitrase harga antarpasar relatif

sama dan hanya berbeda karena biaya transportasi. Kenyataan di lapangan harga

bervariasi antarpasar jika dikonversi dalam mata uang yang sama, akan tetapi

dalam jangka panjang perubahan nilai tukar akan mempengaruhi permintaan dan

penawaran komoditi.

Berkaitan dengan beras sebagai komoditi pokok di Indonesia, maka beras

memiliki peran yang sangat vital. Diantaranya usahatani beras diduga sebagai

Ket :

= tidak dianalisis

Gambar 6 Alur kerangka operasional penelitian

Implikasi Kebijakan

Pajak

Analisis

VECM

Input

Ustan

Padi

Pasar Beras

Domestik

Pasar Minyak

Mentah Dunia

Pasar Beras

Dunia

Pasar Valas

Beras

Impor

Harga Beras

Dunia

Harga Minyak

Mentah Dunia

TFP

Nilai Tukar

Harga Beras

Domestik

Harga Beras

Impor

Prod.

Beras

20

salahsatu penentu pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena beras melibatkan

banyak tenaga kerja dan dikonsumsi oleh jutaan masyarakat Indonesia.

Menangkap fenomena tersebut, maka kajian lain dalam penelitian ini adalah

dengan melibatkan analisis Total Faktor Produktivitas (TFP). Analisis TFP

digunakan untuk menganalisis pengaruh teknologi (efisiensi).

Sesuai dengan tujuan penelitian maka akan dianalisis apakah antara harga

minyak mentah dunia, harga beras dunia, dan harga beras domestik saling

terintegrasi atau tidak. Jika terintegrasi maka bisa menganalisis variasi harga beras

di Indonesia, seberapa besar perubahan berasal dari beras domestik itu sendiri dan

seberapa besar berasal dari pengaruh harga minyak mentah dunia dan harga beras

dunia. Hasil analisis dapat dijasikan landasan dalam mengidentifikasi implikasi-

implikasi kebijakan perdagangan beras di Indonesia.

Kondisi di Indonesia Gejolak harga energi dunia terutama yang berbahan fosil seperti minyak

mentah yang dimulai sejak awal tahun 2002 menimbulkan banyak ketertarikan

peneliti untuk menganalisa hubungan harga minyak mentah dan pasar komoditi

baik di negara-negara eksportir maupun di negara-negara importir. Guncangan

harga minyak mentah dunia ini tentunya akan berimbas pada aktivitas

perekonomian hampir di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia yang

dijadikan negara kajian dalam penelitian ini. Peranan energi yang cukup besar di

Indonesia membuat perekonomian menjadi cukup sensitif terhadap gejolak harga

minyak mentah dunia yang tentunya akan berimbas pada harga minyak mentah

dalam negeri dan pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja perekonomian di

negara tersebut.

Guncangan harga minyak mentah dunia memberikan dampak besar di

Indonesia karena Indonesia merupakan negara pengimpor minyak. Walaupun

Indonesia termasuk negara yang mampu memproduksi minyak sendiri, tetapi

sebagian diekspor karena spesifikasinya tidak sesuai dengan kebutuhan kilang

dalam negeri. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan pasokan dalam negeri

Tabel 1 Harga dan jumlah impor minyak mentah serta nilai subsidi bahan bakar

minyak Indonesia periode 2003-2012

Tahun

Harga Minyak

Mentah (US$/barel)

Impor Minyak

Mentah (juta barel)

Jumlah Subsidi

(triliun rupiah)

2003 - 137.12 -

2004 36.39 148.49 -

2005 53.66 118.30 -

2006 64.27 116.23 59.50

2007 72.31 115.81 76.27

2008 96.13 97.01 134.20

2009 61.58 120.12 34.90

2010 79.40 101.09 61.07

2011 111.55 96.04 142.92

2012 117.28 - -

Sumber : esdm.go.id

21

dilakukan impor yang sesuai dengan spesifikasi kilang dalam negeri. (Ditjen

MIGAS, 2011).

Dampak dari naiknya harga minyak mentah dunia antara lain pengurangan

subsidi terhadap bahan bakar minyak yang pada akhirnya menimbulkan

peningkatan harga-harga komoditi lain termasuk pupuk yang menjadi salah satu

input utama pada usahatani padi. Tetapi untuk kasus di Indonesia, kenaikan harga

minyak mentah dunia tidak diiringi oleh penurunan subsidi bahan bakar. Seperti

yang terlihat pada Tabel 1, subsidi BBM tidak berkurang saat harga minyak

mentah dunia terus meningkat. Subsidi BBM diskemakan mengikuti kenaikan

harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah dunia naik, maka subsidi

terhadap bahan bakar juga ikut naik.

Tabel 2 Perkembangan harga minyak mentah dunia, harga urea, dan subsidi

pupuk periode 2002-2011

Tahun Harga Minyak Mentah

Dunia (US$/barel)

Harga Urea

(Rp/kg)

Subsidi Pupuk

(Triliun)

2002 30.32 1400.32 1.200

2003 34.17 1596.87 1.315

2004 36.39 1626.77 1.353

2005 53.66 1758.06 1.833

2006 64.27 1511.92 3.004

2007 72.31 1582.54 8.000

2008 96.13 1653.17 15.001

2009 61.58 1726.94 16.460

2010 79.40 1804.01 -

2011 111.55 1884.51 -

Rata-rata kenaikan 63.98 3.74 53.63

Sumber : Depkeu, BPS, dan ditjen Migas (2012)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Mondi at.al

diantaranya : Pertama, harga minyak mentah dunia mempengaruhi harga beras

domestik lewat harga pupuk ternyata untuk kasus Indonesia tidak sama dengan

hasil penelitian Mondi at.al karena berdasarkan Tabel 2. rata-rata kenaikan harga

minyak mentah dunia jauh diatas rata-rata kenaikan harga pupuk urea yang hanya

mencapai 3.74 persen.

Sementara hasil penenlitian Mondi et.al. pupuk merupakan salahsatu jalur

yang menyebabkan kenaikan harga beras sebagai akibat kenaikan harga minyak

mentah dunia. Mondi et.al menemukan bahwa semenjak harga minyak mentah

dunia naik dalam satu dekade terakhir, maka harga pupuk ikut naik sebesar empat

kali lipat. Hal ini terjadi karena di Indonesia pupuk merupakan salah satu

komoditi yang mendapat subsidi besar juga dari pemerintah.

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kenaikkan harga pupuk urea bisa

ditekan hanya sebesar 3.74 persen sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah

dunia dengan rata-rata 63.98 persen karena didukung oleh kenaikkan subsidi

pupuk yang dilakukan pemerintah yaitu dengan rata-rata 53.63 persen. Kedua,

biaya transportasi. Biaya transpotasi yang disebutkan oleh Mondi at.al. sebagai

salah satu jalur yang mempengaruhi harga beras domestik sesuai dengan kondisi

di Indonesia. Kenaikan harga minyak mentah dunia mempengaruhi harga beras

domestik melalui kenaikan harga impor. Hal ini bisa dilihat dari kenaikan harga

beras impor yang seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Seperti

22

terlihat dalam Gambar 7, semenjak tahun 2002 yaitu saat dimulainya gejolak

harga

Gambar 7 Perkembangan harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras

domestik periode 1996-2011

minyak mentah dunia harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras

domestik meningkat drastis. Hal ini menunjukkan adanya transmisi harga dari

kenaikan harga minyak mentah dunia melalui harga beras dunia dan harga beras

impor.

Gambar 8 Hubungan harga minyak mentah dunia dengan harga beras domestik

0.001000.002000.003000.004000.005000.006000.007000.008000.009000.00

10000.00

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

HBD

HBI

HBDom

PB naik mengikuti

kenaikan jumlah

penduduk

Kebutuhan Beras

Domestik naik

TFP

Harga

pupuk&input

lain naik

termasuk upah

Domestic inflation

Subsidi

pupuk naik

Impor

HBDom

naik

HMMD

naik

HBD naik

HBI naik Biaya

transportasi

naik

Imported inflation

dan cosh push

inflation

Depresiasi

Nilai tukar

Subsidi

BBM naik

Harga

BBM naik

Indonesia

importir

minyak mentah

23

2.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu, hipotesis

yang dirumuskan adalah sebagai berikut :

1 Terjadi integrasi antara pasar beras domestik dengan pasar beras dunia.

2 Terdapat keterkaitan harga antara harga beras domestik dengan harga beras

dunia dan harga beras impor.

3 Variabel lain yang mempengaruhi harga beras domestik adalah produksi

beras, total faktor produktivitas dan nilai tukar.

4 Guncangan harga minyak mentah dunia berpengaruh negatif (menaikkan

harga beras domestik).

5 Terdapat hubungan positif antara harga minyak mentah dunia, harga beras

dunia, harga beras impor dan harga beras domestik.

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder dan

merupakan data deret waktu atau time series. Rentang waktu penelitian dari tahun

1969 sampai 2011. Penelitian dilaksanakan di Bogor dengan lokasi pengumpulan

data dan informasi di Bogor dan Jakarta. Pengumpulan data dilaksanakan dalam

jangka waktu lima bulan mulai dari bulan Februari 2012 – Juni 2012.

Tabel 3 Variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian

No. Nama Variabel Satuan Simbol Sumber

1. Harga Beras Domestik US dollar/kg HBDom Kemendag

2. Harga Minyak Mentah Dunia US dollar/kg HMMD OPEC

3. Harga Beras Dunia US dollar/kg HBD Kemendag

4. Harga Beras Impor US dollar/kg HBI BPS

5. Nilai tukar US$/Rupiah NT BI

6 Produksi Beras Domestik Ton PB Deptan US

7. TFP Rp TFP BPS

Data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait yaitu Badan

Pusat Statistik (BPS), Badan Urusan Logistik (BULOG), Departemen Pertanian,

Pusat Studi Sosial Ekonomi Pertanian (PSE), Departemen Keuangan (Depkeu),

Bank Indonesia (BI), Center for Alleviation of Poverty through Sustainable

Agriculture (CAPSA). Untuk kelengkapan serta penyesuaian data juga dilakukan

pengumpulan data dari beberapa publikasi seperti FAO (Food Agricultural

Organization), IRRI (International Rice Research Institute) dan IMF

(International Monetary Fund), World Bank serta publikasi-publikasi lainnya.

3.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data

Analisis akan dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengolahan data

program Excel 2007 dan program komputer EViews 6. Tujuan penelitian pertama

akan dijawab dengan menggunakan analisis deskriptif. Tujuan penelitian kedua