2. tinjauan pustaka 2.1. pemasaran (marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat...

19
10 Universitas Kristen Petra 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing) Beberapa ahli mendefinisikan pemasaran (marketing) sebagai berikut: 1. American Marketing Association (n.d.) mendefinisikan pemasaran sebagai aktivitas, kumpulan institusi, dan proses-proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan, dan bertukar penawaran yang bernilai bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial yang membuat para individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui proses menciptakan, menawarkan, dan bertukar nilai produk dan jasa secara bebas dengan orang lain. 3. Czinkota dan Ronkainen (2013) mendefinisikan pemasaran sebagai sebuah fungsi organisasional dan sebuah kumpulan proses menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan, dan menjaga arus nilai ke pelanggan dan untuk mengelola hubungan dengan pelanggan dalam suatu cara yang bermanfaat bagi perusahaan, stakeholder, dan masyarakat dalam konteks sebuah lingkungan global. Pemasaran harus dipahami bukan hanya dengan pemikiran untuk membuat penjualan saja, melainkan juga untuk memuaskan kebutuhan pelanggan. Jika pemasar mengerti kebutuhan konsumen, mengembangkan produk dan layanan yang bernilai tinggi bagi pelanggan, menentukan harga, mendistribusikan, dan mempromosikannya dengan efektif, maka produk akan dapat dijual dengan mudah (Amstrong dan Kotler, 2009). Kotler dan Keller (2012) menyebutkan sepuluh kategori entitas utama yang dipasarkan, yaitu barang, jasa, kegiatan, pengalaman, orang, tempat, kepemilikan, organisasi, informasi, dan ide. Model sederhana dari proses pemasaran dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.

Upload: others

Post on 04-Nov-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

10 Universitas Kristen Petra

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemasaran (Marketing)

Beberapa ahli mendefinisikan pemasaran (marketing) sebagai berikut:

1. American Marketing Association (n.d.) mendefinisikan pemasaran sebagai

aktivitas, kumpulan institusi, dan proses-proses untuk menciptakan,

mengkomunikasikan, menyampaikan, dan bertukar penawaran yang bernilai

bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas.

2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

yang membuat para individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka

butuhkan dan inginkan melalui proses menciptakan, menawarkan, dan

bertukar nilai produk dan jasa secara bebas dengan orang lain.

3. Czinkota dan Ronkainen (2013) mendefinisikan pemasaran sebagai sebuah

fungsi organisasional dan sebuah kumpulan proses menciptakan,

mengkomunikasikan, menyampaikan, dan menjaga arus nilai ke pelanggan

dan untuk mengelola hubungan dengan pelanggan dalam suatu cara yang

bermanfaat bagi perusahaan, stakeholder, dan masyarakat dalam konteks

sebuah lingkungan global.

Pemasaran harus dipahami bukan hanya dengan pemikiran untuk membuat

penjualan saja, melainkan juga untuk memuaskan kebutuhan pelanggan. Jika

pemasar mengerti kebutuhan konsumen, mengembangkan produk dan layanan

yang bernilai tinggi bagi pelanggan, menentukan harga, mendistribusikan, dan

mempromosikannya dengan efektif, maka produk akan dapat dijual dengan

mudah (Amstrong dan Kotler, 2009). Kotler dan Keller (2012) menyebutkan

sepuluh kategori entitas utama yang dipasarkan, yaitu barang, jasa, kegiatan,

pengalaman, orang, tempat, kepemilikan, organisasi, informasi, dan ide.

Model sederhana dari proses pemasaran dapat dilihat pada Gambar 2.1 di

bawah ini.

Page 2: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

11 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.1. Model Sederhana Proses Pemasaran

Sumber: Amstrong dan Kotler (2009)

2.2. Consumer Behavior

Consumer behavior adalah perilaku yang ditunjukkan konsumen dalam

mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan mengatur produk dan

layanan yang mereka harap dapat memuaskan kebutuhan mereka. Consumer

behavior berfokus pada bagaimana konsumen individu maupun keluarga atau

rumah tangga membuat keputusan dalam menggunakan sumber daya yang mereka

miliki (waktu, uang, usaha) untuk barang-barang yang berhubungan dengan

konsumsi (Schiffman, Kanuk, dan Wisenblit, 2010).

Menurut Hawkins dan Mothersbaugh (2013), bidang yang dipelajari dalam

consumer behavior adalah individu, kelompok, atau organisasi dan proses yang

digunakan dalam memilih, mendapatkan, menggunakan, dan mengatur produk,

layanan, pengalaman, atau ide untuk memuaskan kebutuhan serta dampak dari

proses-proses tersebut pada konsumen dan masyarakat.

Menurut Kotler dan Keller (2012), consumer behavior dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu faktor budaya, faktor sosial, faktor pribadi, dan faktor

psikologis. Faktor-faktor ini secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Faktor budaya

Faktor budaya terdiri dari tiga komponen, yaitu:

a. Culture (budaya), yaitu faktor fundamental yang menentukan keinginan

dan perilaku seseorang.

Memahami pasar dan

kebutuhan dan keinginan pelanggan

Mendesain strategi

pemasaran customer-

driven

Membuat program

pemasaran terintegrasi

untuk menyampaikan value superior

Membangun hubungan yang menguntungkan

dan menciptakan

kepuasan pelanggan

Mendapat nilai dari pelanggan

untuk mendapat keuntungan dan

kualitas pelanggan

Menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan dengan pelanggan

Mendapat nilai dari pelanggan sebagai

imbalannya

Page 3: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

12 Universitas Kristen Petra

b. Subcultures (sub-budaya), yaitu bagian dari budaya yang memberikan

identifikasi dan sosialisasi yang lebih spesifik untuk anggota-anggotanya,

seperti kewarganegaraan, agama, kepercayaan, dan etnis.

c. Social classes (kelas sosial), yaitu stratifikasi sosial yang ditunjukkan

masyarakat, merupakan pembagian yang relatif homogen dan abadi di

masyarakat, serta tersusun secara hierarkis oleh anggota-anggota yang

memiliki kesamaan nilai, minat, dan perilaku.

2. Faktor sosial

Faktor sosial terdiri dari tiga komponen, yaitu:

a. Reference group (kelompok referensi), yaitu kelompok-kelompok yang

berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap sikap

maupun perilaku anggota-anggotanya. Reference group mempengaruhi

anggotanya dalam tiga cara, yaitu: memperkenalkan individu pada

perilaku atau gaya hidup baru, mempengaruhi sikap dan konsep pribadi,

dan menciptakan tekanan untuk patuh yang berdampak pada pilihan

produk dan merk. Ketika reference group berpengaruh kuat, seorang

pemasar perlu memikirkan bagaimana cara mempengaruhi opinion leader

kelompok itu. Opinion leader adalah seseorang yang menyediakan

petunjuk informal atau informasi mengenai suatu produk atau kategori

produk yang spesifik, seperti brand manakah yang terbaik atau bagaimana

cara menggunakan suatu produk. Opinion leader biasanya adalah orang-

orang dengan kepercayaan diri tinggi, aktif secara sosial, dan sering

menggunakan produk itu.

b. Family (keluarga), merupakan organisasi pembelian konsumen yang

paling penting di masyarakat dan anggota keluarga merupakan reference

group yang paling berpengaruh.

c. Roles and statuses (peran dan status sosial). Role terdiri dari berbagai

aktivitas yang dijalankan seseorang. Setiap role pada akhirnya berkonotasi

dengan status.

3. Faktor pribadi

Faktor pribadi terdiri dari empat komponen, yaitu:

Page 4: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

13 Universitas Kristen Petra

a. Age and stage in the life cycle (usia dan tahap lingkaran kehidupan). Usia

dan peristiwa kehidupan (seperti kelahiran, sakit, kepindahan, perceraian,

pekerjaan pertama, perubahan karir, pengunduran diri, dan kematian) akan

memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru dan mengubah kebutuhan akan

barang dan layanan.

b. Occupation and economic circumstances (pekerjaan dan keadaan

ekonomi). Jenis pekerjaan dan keadaan ekonomi (seperti pemasukan yang

dapat dihabiskan, tabungan dan aset, hutang, kekuatan pinjaman, dan sikap

terhadap pengeluaran dan penghematan) akan mempengaruhi pola

konsumsi dan pilihan produk dan merk.

c. Personality and self-concept (kepribadian dan konsep pribadi). Personality

adalah seperangkat ciri psikologis manusia yang istimewa yang

menyebabkan respon yang relatif konsisten dan abadi terhadap rangsangan

dari lingkungan. Self-concept adalah cara seseorang melihat dirinya

sendiri.

d. Lifestyle and values (gaya hidup dan nilai). Lifestyle adalah pola hidup

seseorang di dunia yang diekpresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya.

Value adalah sistem kepercayaan yang mendasari sikap dan perilaku.

4. Faktor psikologis

Faktor psikologis terdiri dari empat proses, yaitu:

a. Motivation (motivasi), yaitu kebutuhan yang cukup mendesak yang

mengarahkan seseorang untuk mencari kepuasan atas kebutuhan itu.

Kebutuhan itu dapat berupa kebutuhan biologis, yang muncul dari kondisi

tertekan seperti lapar, haus, dan tidak nyaman, maupun kebutuhan

psikologis, yang muncul dari kebutuhan untuk diakui, dihargai, dan

memiliki.

b. Perception (persepsi), yaitu proses memilih, mengatur, dan menafsirkan

informasi dalam membentuk gambaran yang penuh arti tentang dunia.

Persepsi tiap-tiap orang dapat berbeda meskipun terbentuk dari stimulus

yang sama karena adanya proses-proses pembentukan persepsi, yaitu:

Selective attention (perhatian selektif), adalah kecenderungan orang

untuk menyaring sebagian besar informasi yang didapat.

Page 5: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

14 Universitas Kristen Petra

Selective distortion (distorsi selektif), adalah kecenderungan orang

untuk menafsirkan informasi menurut anggapan mereka saat itu.

Selective retention (ingatan selektif), adalah kecenderungan orang

untuk mengingat informasi yang mendukung sikap dan keyakinan

mereka.

Subliminal perception (persepsi bawah sadar), adalah proses mental

yang tidak disadari orang tetapi dapat mempengaruhi perilaku mereka.

c. Learning (pembelajaran), adalah perubahan dalam perilaku seseorang

yang ditimbulkan oleh pengalaman. Learning muncul melalui interaksi

dari drives (dorongan kuat dari dalam yang menimbulkan tindakan),

stimuli (rangsangan), cues (rangsangan minor yang menentukan di mana,

kapan, dan bagaimana seseorang harus merespon), response (tanggapan),

dan reinforcement (penguatan).

d. Memory (ingatan), adalah tempat penyimpanan informasi. Memory

dibedakan antara short-term memory (ingatan jangka pendek) – tempat

penyimpanan informasi yang sementara dan terbatas – dan long-term

memory (ingatan jangka panjang) – tempat penyimpanan informasi yang

lebih permanen dan tidak terbatas.

2.3. Brand

Sebuah nama brand menyampaikan gambaran dari produk dan jasa. Brand

adalah nama, istilah, simbol, tanda, desain, atau kombinasi dari semua itu yang

digunakan oleh sebuah perusahaan atau produsen untuk membedakan produk atau

layanan yang dia tawarkan dari kompetitornya (Czinkota dan Ronkainen, 2013,

Amstrong dan Kotler, 2009). Brand merupakan janji penjual untuk secara

konsisten memberikan fitur, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli (Rangkuti,

2002).

Menurut Keller (2008), brand merupakan sesuatu yang sangat penting

karena banyaknya fungsi yang dijalankannya, baik bagi konsumen maupun

perusahaan. Fungsi brand bagi konsumen adalah sebagai berikut.

Page 6: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

15 Universitas Kristen Petra

Identifikasi sumber atau pembuat sebuah produk yang memungkinkan

konsumen menentukan pabrikan atau distributor mana yang bertanggung

jawab terhadap produk tersebut.

Brand yang telah dikenal konsumen dapat membantu mereka mengurangi

segala pengeluaran yang berkaitan dengan pencarian informasi sebelum

memutuskan membeli suatu produk.

Brand dapat mengurangi resiko dalam memilih produk terutama bagi

konsumen yang memiliki pengalaman dengan brand itu.

Arti sebuah brand bisa jadi sangat mendalam sehingga berfungsi sebagai

sebuah ikatan atau perjanjian dengan konsumen yang membuat mereka akan

percaya dan loyal terhadap brand selama performanya memuaskan.

Brand berperan sebagai simbol yang memungkinkan konsumen menonjolkan

gambaran dirinya sendiri.

Brand adalah simbol kualitas dan karakteristik sebuah produk yang dapat

berguna dalam penilaian dan penginterpretasian ciri dan manfaat produk.

Sementara bagi perusahaan, brand berfungsi sebagai berikut.

Brand adalah cara identifikasi untuk mempermudah dalam penanganan dan

pencarian, serta dalam pengaturan inventori dan pencatatan akunting.

Brand membantu perusahaan dalam melindungi fitur unik produk secara

hukum.

Investasi dalam sebuah brand berdampak pada adanya asosiasi dan arti unik

pada sebuah produk, yang membedakannya dari produk lain.

Brand adalah sinyal tingkatan kualitas yang dapat memuaskan pembeli dan

membuat mereka terus-menerus membeli produk itu.

Branding merupakan sebuah langkah jitu memperoleh keunggulan bersaing.

Brand merepresentasikan bagian yang sangat bernilai dari sebuah kepemilikan

sah, mampu mempengaruhi perilaku konsumen, dapat diperjualbelikan, dan

menjamin adanya pemasukan di masa depan.

2.4. Brand Equity

Sebuah brand yang sangat kuat pasti memiliki brand equity yang tinggi.

Menurut Armstrong, Kotler, dan Da Silva (2006), brand equity adalah efek positif

Page 7: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

16 Universitas Kristen Petra

dan berbeda yang dihasilkan sebuah nama brand pada respon konsumen terhadap

suatu produk atau layanan yang dapat diukur dengan seberapa jauh kemauan

konsumen untuk membayar lebih demi brand tersebut.

Menurut Aaker (2001), brand equity adalah seperangkat aset dan liabilitas

yang terhubung dengan sebuah nama dan simbol brand yang ditambahkan ke

dalam nilai yang diberikan oleh sebuah produk dan layanan kepada perusahaan

dan/atau pelanggan perusahaan.

Lassar, Mittal, dan Sharma (1996) mencatat lima karakteristik dari brand

equity, yaitu sebagai berikut.

1. Brand equity lebih mengarah kepada konsumen daripada indikator objektif

lainnya.

2. Brand equity mengarah kepada nilai global yang terasosiasi dengan sebuah

brand.

3. Nilai global yang terasosiasi dengan brand timbul dari nama brand dan bukan

hanya dari aspek fisik dari brand tersebut.

4. Brand equity tidak bersifat absolut, melainkan relatif terhadap kompetisi.

5. Brand equity secara positif mempengaruhi performa finansial.

Brand dengan brand equity yang semakin tinggi akan memiliki brand

loyalty yang semakin tinggi, brand name awareness, perceived quality, dan brand

association yang kuat (Amstrong dan Kotler, 2009).

2.4.1. Brand Awareness

American Marketing Association (n.d.) mendefinisikan brand awareness

sebagai persentase dari pelanggan maupun calon pelanggan yang mengenali brand

yang diberikan. Sementara Rangkuti (2002) mendefinisikan brand awareness

sebagai kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat

kembali bahwa suatu merk merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Brand

awareness seringkali didapat secara cuma-cuma, tetapi dapat menjadi aset kunci

yang strategis (Aaker, 2001).

Tingkatan brand awareness secara berurutan dapat digambarkan sebagai

suatu piramida sebagai berikut.

Page 8: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

17 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.2. Piramida Brand Awareness.

Sumber: Rangkuti (2002)

Penjelasan mengenai piramida brand awareness menurut Rangkuti (2002)

dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi adalah sebagai berikut.

1. Unaware of brand (tidak menyadari merk)

Merupakan tingkatan terendah dalam piramida brand awareness di mana

konsumen tidak menyadari adanya suatu merk.

2. Brand recognition (pengenalan merk)

Tingkat minimal dari brand awareness. Hal ini penting pada saat seorang

pembeli memilih suatu merk pada saat melakukan pembelian.

3. Brand recall (pengingatan kembali terhadap merk)

Pengingatan kembali terhadap merk dalam suatu kelas produk tanpa perlu

dibantu untuk memunculkan merk tersebut.

4. Top of mind (puncak pikiran)

Apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan pengingatan

dan ia dapat menyebutkan satu nama merk, maka merk yang paling banyak

disebutkan pertama kali merupakan top of mind. Dengan kata lain, merk

tersebut merupakan merk utama dari berbagai merk yang ada di benak

konsumen.

Dib dan Alhaddad (2014) mengungkapkan pentingnya brand awareness

dalam membantu sebuah brand menjadi pilihan pelanggan. Jika pelanggan tidak

menyadari adanya brand itu ketika mencari suatu produk, maka kemungkinan

Top of

Mind

Brand Recall

Brand Recognition

Unaware of Brand

Page 9: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

18 Universitas Kristen Petra

besar mereka tidak akan memilih produk itu. Brand awareness biasanya

mempengaruhi komponen kognitif, dan brand equity tidak dapat terbentuk tanpa

adanya brand awareness. Oleh karena itu, perusahaan perlu mencermati strategi

komunikasi pemasaran brand untuk menjaga aspek recognition dan recall

pelanggan terhadap nama brand mereka dibandingkan dengan kompetitor.

Berdasarkan Yoo, Donthu, dan Lee (2000) dan Pinar, Trapp, Girard, dan

Boyt (2014), brand awareness dapat diukur dengan indikator sebagai berikut.

1. Konsumen sadar akan adanya brand.

2. Konsumen dapat mengenali logo brand.

3. Brand menjadi yang pertama muncul dalam pikiran ketika mengingat produk-

produk dalam satu kategori.

2.4.2. Brand Association

Menurut Kotler dan Keller (2012), brand association adalah sekumpulan

pikiran, perasaan, persepsi, kesan, pengalaman, kepercayaan, sikap, dan

sebagainya mengenai suatu brand yang menjadi terkait dengan ingatan tentang

brand itu.

Menurut Aaker (2001), brand association adalah segala hal yang

terhubung secara langsung maupun tidak langsung dengan suatu brand di dalam

ingatan konsumen. Karakter produk dan keuntungan pelanggan adalah asosiasi

dengan relevansi yang jelas karena menimbulkan alasan untuk membeli dan oleh

karenanya adalah dasar dari brand loyalty.

Sementara Lassar, Mittal, dan Sharma (1996) mendefinisikan brand

association sebagai sebuah level abstrak yang lebih tinggi yang mampu

menangkap generalisasi semua produk pada suatu brand, tidak hanya pada

kategori produk tertentu saja.

2.4.3. Brand Loyalty

Brand loyalty menurut Rangkuti (2002) adalah ukuran kesetiaan

konsumen terhadap suatu brand. Aaker (2001) mengatakan bahwa orientasi

kepada pelanggan akan memunculkan perhatian kepada pelanggan yang dimiliki

Page 10: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

19 Universitas Kristen Petra

dan program-program untuk menghasilkan brand loyalty. Loyalitas pelanggan

akan menghasilkan keunggulan bersaing yang sangat besar, antara lain:

1. Mengurangi biaya pemasaran karena pelanggan yang sudah ada biasanya

relatif lebih mudah dipertahankan.

2. Loyalitas dari pelanggan yang ada mewakili hambatan masuk yang sangat

kuat untuk kompetitor.

3. Pelanggan yang merasa puas memberikan gambaran bahwa brand tersebut

diterima, sukses, dan produknya bertahan lama.

Hawkins dan Mothersbaugh (2013) mengukur brand loyalty melalui

beberapa indikator, yaitu:

1. Tingkat komitmen terhadap suatu brand.

Konsumen yang berkomitmen terhadap suatu brand akan memiliki kebiasaan

membeli brand tersebut, bukan sekedar karena brand tersebut sedang tersedia

di toko, atau karena harganya yang paling murah, atau alasan-alasan dangkal

lainnya.

2. Tingkat keterikatan emosional terhadap suatu brand.

Konsumen yang terikat secara emosional pada suatu brand akan

memperlakukan brand tersebut seperti sahabat. Mereka mempercayai dan

menyukai brand tersebut.

3. Tingkat brand switching ke brand lain.

Konsumen yang loyal terhadap suatu brand tidak mempertimbangkan

informasi mengenai brand lain ketika melakukan pembelian. Mereka resisten

terhadap usaha pemasaran kompetitor. Ketika mereka membeli brand yang

berbeda untuk mengambil keuntungan dari promosi, mereka biasanya akan

kembali ke brand asli mereka pada pembelian berikutnya. Mereka juga lebih

reseptif terhadap fitur-fitur tambahan dan produk baru lain yang ditawarkan

oleh perusahaan yang sama. Selain itu, mereka lebih mudah memaafkan cacat

produk atau layanan yang kadang kala terjadi.

4. Konsumen yang loyal terhadap suatu brand akan melakukan komunikasi

word-of-mouth yang positif.

Page 11: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

20 Universitas Kristen Petra

Komunikasi word-of-mouth yang positif dari seorang konsumen loyal akan

meningkatkan probabilitas penerima informasi untuk turut menjadi pembeli

dan menyebarkan komentar positif kepada orang lain.

2.4.4. Perceived Quality

Kualitas didefinisikan oleh Kotler dan Keller (2012) sebagai keseluruhan

fitur dan karakteristik sebuah produk atau layanan yang dibawa oleh kemampuan

produk atau layanan itu untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan maupun

yang tersirat. Oleh karena itu, perceived quality didefinisikan sebagai persepsi

pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa

layanan berkaitan dengan maksud yang diharapkan (Rangkuti, 2002). Perceived

quality bersifat dinamis dan dapat berubah, dengan demikian mempengaruhi

kesuksesan suatu stategi (Aaker, 2001).

Rangkuti (2002) menyebutkan lima keuntungan perceived quality, yaitu

sebagai berikut.

1. Alasan membeli. Perceived quality mempengaruhi brand mana yang perlu

dipertimbangkan dan selanjutnya mempengaruhi brand apa yang dipilih.

2. Diferensiasi. Artinya, karakteristik penting dari brand adalah posisinya dalam

dimensi perceived quality.

3. Harga optimum. Perceived quality memberikan pilihan-pilihan dalam

menetapkan harga optimum.

4. Meningkatkan minat para distributor. Perceived quality sangat membantu

perluasan distribusi sehingga berarti penting bagi para distributor, pengecer,

dan berbagai saluran distribusi lainnya.

5. Perluasan brand. Perceived quality dapat dieksploitasi dengan cara

mengenalkan berbagai perluasan merk, yaitu dengan menggunakan merk

tertentu untuk masuk dalam kategori produk baru.

Berdasarkan Baldauf, Cravens, Diamantopoulos, dan Zeugner-Roth

(2009), perceived quality dapat diukur dengan indikator sebagai berikut.

1. Performance (performa): Tingkat operasional karakteristik-karakteristik utama

dari suatu produk (rendah, sedang, tinggi, atau sangat tinggi).

Page 12: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

21 Universitas Kristen Petra

2. Features (fitur): Elemen sekunder dari suatu produk yang melengkapi

karakteristik utamanya.

3. Reliability (keandalan): Performa yang konsisten sepanjang waktu dan pada

setiap pembelian.

4. Durability (ketahanan): Kondisi ekonomis produk yang diekspektasikan

2.5. Country-of-Origin (COO) Image

Perilaku membeli dapat dipengaruhi oleh negara asal dari produk maupun

layanan. Persepsi country-of-origin adalah asosiasi mental dan keyakinan yang

dipicu oleh sebuah negara. Persepsi ini dapat menjadi suatu ciri dalam pembuatan

keputusan atau mempengaruhi ciri lain dalam prosesnya (Kotler dan Keller,

2012). Istilah country-of-origin seringkali menggunakan pengertian country of

manufacture (negara tempat pembuatan), country of design (negara yang

mendesain), country of brand (negara asal brand), dan country of assembly

(negara tempat perakitan) (Pappu, Quester, dan Cooksey, 2006). Country-of-

origin biasanya diindikasian melalui label produk “made in X”.

Martin dan Eroglu (1993) menyimpulkan bahwa country image adalah

semua keyakinan deskriptif, inferensial, dan informasional yang dimiliki

seseorang tentang suatu negara. Gambaran ini dapat terbangun melalui

pengalaman langsung dengan suatu negara, misalnya ketika berkunjung ke negara

tersebut. Bisa juga dipengaruhi oleh sumber informasi dari luar, misalnya oleh

iklan atau komunikasi word-of-mouth. Yang terakhir, gambaran tentang suatu

negara dapat dihasilkan dari pengalaman di masa lalu, misalnya pengalaman

menggunakan produk yang berasal dari negara tertentu.

Konsumen saat ini cenderung membangun kesan stereotip tentang suatu

negara dan produk yang dihasilkan negara tersebut. Czinkota dan Ronkainen

(2013) mengatakan bahwa ketika konsumen menyadari country-of-origin sebuah

produk, mereka dapat bereaksi positif maupun negatif. Misalnya, banyak orang

menyukai mobil buatan Jepang, tetapi meremehkan mobil asal Rusia. Reaksi ini

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

Page 13: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

22 Universitas Kristen Petra

1. Stereotip suatu country-of-origin bergantung pada asal penilai dan kategori

produk yang dinilai. Misalnya, mobil asal Jepang diremehkan oleh orang

India, tetapi sangat dihargai oleh orang Rusia.

2. Opini terhadap country-of-origin bergantung pada negara asal perusahaan dan

lokasi pembuatan produk. Misalnya, konsumen menyukai mobil Voklswagens

buatan Jerman, meskipun mobil tersebut dirakit di Cina, Polanda, atau lokasi-

lokasi lain di luar Jerman.

3. Fenomena country-of-origin dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu,

bergantung pada performa negara pada industri yang dikerjakannya.

4. Kecenderungan konsumen untuk mendiskriminasi produk asing dipengaruhi

oleh faktor demografisnya. Misalnya, penduduk yang lebih tua dan orang-

orang berpendidikan rendah cenderung menghindari produk asing.

Lin dan Chen (2006) merujuk dari Nagashima (1970) mengukur country-

of-origin image melalui beberapa dimensi yaitu sebagai berikut.

1. Advanced technology (teknologi canggih), berhubungan dengan teknologi

yang digunakan dalam pembuatan suatu produk. Advanced technology dapat

diukur melalui technology developing level (tingkat pengembangan teknologi).

2. Prestige (prestise), berhubungan dengan prestise dalam penggunaan suatu

produk. Indikator dari prestige adalah self-confident level for owning this

product (tingkat kepercayaan diri untuk memiliki produk ini).

3. Workmanship (pembuatan), berhubungan dengan pembuatan suatu produk.

Indikator dari workmanship adalah product quality dan product reliability.

4. Economy (ekonomi), berhubungan dengan kondisi ekonomi negara pembuat

produk. Economy dapat diukur melalui economics development level, political

and democratic level, industrialization level, dan living standard.

2.6. Hubungan Antar Variabel

2.6.1. Pengaruh Country-of-Origin Image Terhadap Brand Awareness

Sanyal dan Datta (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “The Effect of

Country-of-Origin on Brand Equity: an Empirical Study on Generic Drugs”

mendapatkan adanya hubungan antara country-of-origin dengan brand awareness

dalam tingkat pengaruh yang tinggi. Dalam penelitian mengenai obat generik di

Page 14: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

23 Universitas Kristen Petra

India ini, mereka menemukan bahwa brand yang berasal dari negara yang

menjaga kualitas berada pada level awareness dari physician. Penyebabnya adalah

karena physician menganggap brand yang berasal dari negara-negara yang

dianggap kaya akan riset dan pengembangan lebih dapat diandalkan. Dengan kata

lain, country of origin adalah faktor yang mempengaruhi brand awareness para

physician.

Menurut Yasin, Noor, dan Mohamad (2007) dalam penelitiannya yang

berjudul “Does Image of Country-of-Origin Matter to Brand Equity?”, country-of-

origin image suatu brand memiliki efek yang positif dan signifikan terhadap

brand awareness. Negara dengan kesan yang baik seringkali menjadi lebih

familiar di benak konsumen dan dianggap sebagai pembuat brand yang

berkualitas.

Jung, Lee, Kim, dan Yang (2014) juga mengemukakan adanya pengaruh

positif dari country images terhadap brand awareness melalui penelitiannya yang

berjudul “Impacts of Country Images on Luxury Fashion Brand : Facilitating with

the Brand Resonance Model”. Dari penelitian yang dilakukan terhadap responden

dari Korea dan Amerika Serikat ini, Jung, Lee, Kim, dan Yang mengungkapkan

bahwa country images diperhitungkan sebagai tipe informasi produk yang paling

dapat dipercaya ketika pelanggan brand fashion mewah mempersepsikan brand

awareness dan mengasosikannya dengan brand fashion mewah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai

berikut:

H1: Country-of-origin image berpengaruh terhadap brand awareness

2.6.2. Pengaruh Country-of-Origin Image Terhadap Brand Loyalty

Yasin, Noor, dan Mohamad (2007), pada penelitiannya yang

menggunakan pasar Malaysia untuk menguji brand equity dari peralatan

elektronik rumah tangga terutama televisi, lemari es, dan pendingin ruangan,

mengungkapkan bahwa kesan yang baik terhadap country-of-origin akan

meningkatkan derajat customer loyalty. Persepsi pelanggan terharap country-of-

origin seringkali berdampak pada brand yang berasal dari negara itu. Pelanggan

merasa brand dari negara yang berkesan baik tentu akan lebih bisa diandalkan

Page 15: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

24 Universitas Kristen Petra

sehingga akhirnya mereka lebih menyukai brand tersebut dan akan memilihnya

dalam pembuatan keputusan membeli. Pada akhirnya ketika ada pembelian

berulang, hal ini menandakan telah terbentuknya brand loyalty pada pelanggan.

Guercini dan Ranfagni (2013) mengungkapkan dalam penelitiannya di

Cina bahwa keputusan untuk mengintegrasikan country image dan brand image

produk dalam proses rebranding menghasilkan pertumbuhan performa,

pertumbuhan brand awareness dan brand loyalty, dan distribusi otonomi yang

lebih besar disertai kontrol yang lebih besar pada jalur distribusi.

Pappu, Quester, dan Cooksey (2006) mendukung adanya pengaruh dari

country-of-origin terhadap brand loyalty berdasarkan penelitiannya yang berjudul

“Consumer-Based Brand Equity and Country-of-Origin Relationships: Some

Empirical Evidence”. Konsumen dapat memilih suatu brand berdasarkan country-

of-origin disebabkan oleh pengalamannya atau karena diyakinkan oleh fitur, sifat,

atau keuntungan yang ditawarkan oleh brand tersebut. Loyalitas yang dihasilkan

oleh suatu brand dapat mendorong terciptanya country loyalty untuk kategori

produk yang sama.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai

berikut:

H2: Country-of-origin image berpengaruh terhadap brand loyalty

2.6.3. Pengaruh Country-of-Origin Image Terhadap Perceived Quality

Pappu, Quester, dan Cooksey pada penelitiannya tahun 2006 yang berjudul

“Consumer-Based Brand Equity and Country-of-Origin Relationships: Some

Empirical Evidence” mengkonfirmasi adanya pengaruh country-of-origin

terhadap persepsi pelanggan di Australia pada kualitas produk kategori mobil dan

televisi. Dalam penelitiannya, mereka menemukan pengaruh country-of-origin

terbesar pada brand equity adalah terhadap perceived quality.

Moradi dan Zarei pada tahun 2012 meneliti pengaruh sub-komponen dari

country-of-origin, yaitu country-of-brand dan country-of-manufacture, pada

brand equity dalam kategori produk laptop dan telepon genggam di Iran. Dalam

penelitiannya yang berjudul “Creating Consumer-Based Brand Equity for Young

Iranian Consumers via Country-of-Origin Sub-Components Effects” ini, mereka

Page 16: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

25 Universitas Kristen Petra

mengungkapkan adanya dampak signifikan dan positif dari negara pemilik brand

terhadap kualitas produk di benak konsumen. Meskipun konsumen menemukan

banyak brand di pasaran dengan performa dan profil yang mirip, tetapi kesan

terhadap suatu negara yang sangat berpengalaman dalam membuat produk

berkualitas tinggi akan menambah nilai produk dan memberikan tambahan

keuntungan jika dibandingkan dengan produk kompetitor dari negara yang kurang

berpengalaman dalam industri itu.

D’Astous dan Ahmed (1999) dalam penelitiannya yang berjudul “The

Importance of Country Images in the Formation of Consumer Product

Perceptions” mengungkapkan hasil penelitiannya yang menggunakan conjoint

analysis bahwa country-of-origin berpengaruh signifikan dan berdampak terbesar

dalam perceived quality baik pada konsumen maupun pada salesman. Ketika

informasi mengenai country-of-origin tersedia pada saat proses pembelian,

konsumen akan memperhitungkannya dalam penilaian produk.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai

berikut:

H3: Country-of-origin image berpengaruh terhadap perceived quality

2.6.4. Pengaruh Brand Awareness Terhadap Perceived Quality

Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 di dua negara emerging

market Thailand dan Vietnam dengan mengambil sampel sebanyak 603 konsumen

wanita di Bangkok dan 299 konsumen wanita di Hanoi yang menggunakan brand

shampoo internasional, Nguyen, Barrett, dan Miller menemukan adanya hubungan

yang signifikan antara brand awareness dan perceived quality.

Dib dan Alhaddad (2014) juga menemukan adanya efek signifikan positif

dari brand awareness terhadap perceived quality pada penelitian mengenai pasar

telepon genggam. Penelitian berjudul “The Hierarchical Relationship Between

Brand Equity Dimensions” ini dilakukan terhadap 369 mahasiswa dari Higher

Institute of Business Administration (HIBA).

Pada penelitiannya yang berjudul “Impacts of Country Images on Luxury

Fashion Brand : Facilitating with the Brand Resonance Model” pada tahun 2014,

Jung, Lee, Kim, dan Yang menguji apakah brand awareness pelanggan brand

Page 17: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

26 Universitas Kristen Petra

fashion mewah berpengaruh terhadap perceived quality. Hasilnya didapat adanya

pengaruh signifikan dari brand awareness terhadap perceived quality. Brand

awareness dapat mendorong munculnya persepsi positif mengenai kualitas brand

di benak konsumen. Oleh karena itu, brand awareness merupakan rangsangan

untuk membangun keunggulan yang kuat di benak konsumen.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai

berikut:

H4: Brand awareness berpengaruh terhadap perceived quality

2.6.5. Pengaruh Brand Awareness Terhadap Brand Loyalty

Gil, Andres, dan Salinas (2007) membuktikan bahwa brand awareness

bersama dengan brand association adalah salah satu faktor yang menentukan

brand loyalty pada produk-produk yang dikonsumsi sehari-hari melalui

penelitiannya yang berjudul “Family as a Source of Consumer-Based Brand

Equity. Loyalitas yang terbentuk ini pada akhirnya akan berpengaruh signifikan

terhadap brand equity.

Atilgan, Aksoy, dan Akinci (2005) mengungkapkan bahwa brand

awareness membangun pandangan yang akrab dan menyenangkan akan suatu

brand dan merupakan sinyal adanya komitmen yang merupakan brand loyalty.

Oleh karena itu, melalui penelitiannya yang berjudul “Determinants of the Brand

Equity: A Verification Approach in the Beverage Industry in Turkey” ini, mereka

menyarankan agar para manager tidak meremehkan efek dari brand awareness

dalam membangun brand loyalty.

Nguyen, Barrett, dan Miller (2011) menemukan adanya efek dari brand

awareness terhadap brand loyalty di pasar Vietnam. Brand yang mendapat

perhatian besar dari pelanggan, misalnya karena memiliki asosiasi yang berbeda

sehingga dapat membantu konsumen membedakannya dari kompetitor, tentu akan

lebih unggul. Oleh karena itu, Nguyen, Barrett, dan Miller menyarankan agar para

manager mendesain program pemasaran yang mampu mengkomunikasikan

perbedaan brand mereka untuk memperoleh brand awareness, sehingga

konsumen dapat memahami nilai dari brand mereka dan pada akhirnya dapat

meningkatkan brand loyalty.

Page 18: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

27 Universitas Kristen Petra

Menurut Keller (1993) brand awareness berperan penting dalam

pembuatan keputusan pelanggan. Secara fundamental, level brand awareness

yang tinggi dan brand image yang positif akan meningkatkan kemungkinan dari

brand choice, sejalan dengan meningkatnya loyalitas konsumen dan menurunnya

ketidakmampuan untuk bertahan dari tindakan pemasaran yang kompetitif.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai

berikut:

H5: Brand awareness berpengaruh terhadap brand loyalty

2.6.6. Pengaruh Perceived Quality Terhadap Brand Loyalty

Nguyen, Barrett, dan Miller (2011) menemukan adanya hubungan yang

positif dan signifikan antara perceived quality dan brand loyalty untuk produk

shampo dari brand internasional dalam penelitiannya yang berjudul “Brand

Loyalty in Emerging Markets”. Hubungan ini ditemukan baik di Thailand maupun

Vietnam, negara emerging market yang menjadi objek penelitiannya.

Torres, Augusto, dan Lisboa dalam penelitiannya pada tahun 2015 yang

berjudul “Determining the Causal Relationships That Affect Consumer-Based

Brand Equity: The Mediating Effect of Brand Loyalty” mengungkapkan adanya

pengaruh dari perceived quality terhadap brand loyalty dan bahkan dampak dari

perceived quality ini adalah yang terbesar terhadap brand loyalty pada kategori

produk bir di Portugal. Oleh karena itu, Torres, Augusto, dan Lisboa menyarankan

agar para manager pemasaran memberikan perhatian lebih pada faktor ini dalam

usaha meningkatkan brand loyalty.

Gurbuz (2008) melalui penelitiannya yang berjudul “Retail Store Branding

in Turkey: Its Effect on Perceived Quality, Satisfaction and Loyalty” menyatakan

bahwa persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan berhubungan positif dan

signifikan dengan brand loyalty toko. Para pelanggan yang positif terhadap nama

brand sebuah toko dan mempersepsikan kualitas layanan dengan baik akan

cenderung membangun loyalitas terhadap toko dan brand-nya sebagai

konsekuensi. Mereka juga akan membangun ekspektasi yang akan mempengaruhi

evaluasi terhadap kualitasi layanan di masa depan dan juga brand toko tersebut.

Page 19: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemasaran (Marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas. 2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial

28 Universitas Kristen Petra

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai

berikut:

H6: Perceived quality berpengaruh terhadap brand loyalty

2.7. Kerangka Konseptual Penelitian

Gambar 2.3. Kerangka Konseptual Penelitian “Pengaruh Country-of-Origin Image

terhadap Brand Loyalty dengan Brand Awareness dan Perceived Quality sebagai

Variabel Intervening pada Merk Smartphone Buatan Indonesia”.

Brand Awareness

Perceived Quality

Country-of- Origin Image

Brand Loyalty

H1

H2

H3

H4

H5

H6