2. tinjauan pustaka 2.1. pemasaran (marketing · bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat...
TRANSCRIPT
10 Universitas Kristen Petra
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemasaran (Marketing)
Beberapa ahli mendefinisikan pemasaran (marketing) sebagai berikut:
1. American Marketing Association (n.d.) mendefinisikan pemasaran sebagai
aktivitas, kumpulan institusi, dan proses-proses untuk menciptakan,
mengkomunikasikan, menyampaikan, dan bertukar penawaran yang bernilai
bagi pelanggan, klien, kolega, dan masyarakat secara luas.
2. Kotler dan Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial
yang membuat para individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka
butuhkan dan inginkan melalui proses menciptakan, menawarkan, dan
bertukar nilai produk dan jasa secara bebas dengan orang lain.
3. Czinkota dan Ronkainen (2013) mendefinisikan pemasaran sebagai sebuah
fungsi organisasional dan sebuah kumpulan proses menciptakan,
mengkomunikasikan, menyampaikan, dan menjaga arus nilai ke pelanggan
dan untuk mengelola hubungan dengan pelanggan dalam suatu cara yang
bermanfaat bagi perusahaan, stakeholder, dan masyarakat dalam konteks
sebuah lingkungan global.
Pemasaran harus dipahami bukan hanya dengan pemikiran untuk membuat
penjualan saja, melainkan juga untuk memuaskan kebutuhan pelanggan. Jika
pemasar mengerti kebutuhan konsumen, mengembangkan produk dan layanan
yang bernilai tinggi bagi pelanggan, menentukan harga, mendistribusikan, dan
mempromosikannya dengan efektif, maka produk akan dapat dijual dengan
mudah (Amstrong dan Kotler, 2009). Kotler dan Keller (2012) menyebutkan
sepuluh kategori entitas utama yang dipasarkan, yaitu barang, jasa, kegiatan,
pengalaman, orang, tempat, kepemilikan, organisasi, informasi, dan ide.
Model sederhana dari proses pemasaran dapat dilihat pada Gambar 2.1 di
bawah ini.
11 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.1. Model Sederhana Proses Pemasaran
Sumber: Amstrong dan Kotler (2009)
2.2. Consumer Behavior
Consumer behavior adalah perilaku yang ditunjukkan konsumen dalam
mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan mengatur produk dan
layanan yang mereka harap dapat memuaskan kebutuhan mereka. Consumer
behavior berfokus pada bagaimana konsumen individu maupun keluarga atau
rumah tangga membuat keputusan dalam menggunakan sumber daya yang mereka
miliki (waktu, uang, usaha) untuk barang-barang yang berhubungan dengan
konsumsi (Schiffman, Kanuk, dan Wisenblit, 2010).
Menurut Hawkins dan Mothersbaugh (2013), bidang yang dipelajari dalam
consumer behavior adalah individu, kelompok, atau organisasi dan proses yang
digunakan dalam memilih, mendapatkan, menggunakan, dan mengatur produk,
layanan, pengalaman, atau ide untuk memuaskan kebutuhan serta dampak dari
proses-proses tersebut pada konsumen dan masyarakat.
Menurut Kotler dan Keller (2012), consumer behavior dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu faktor budaya, faktor sosial, faktor pribadi, dan faktor
psikologis. Faktor-faktor ini secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Faktor budaya
Faktor budaya terdiri dari tiga komponen, yaitu:
a. Culture (budaya), yaitu faktor fundamental yang menentukan keinginan
dan perilaku seseorang.
Memahami pasar dan
kebutuhan dan keinginan pelanggan
Mendesain strategi
pemasaran customer-
driven
Membuat program
pemasaran terintegrasi
untuk menyampaikan value superior
Membangun hubungan yang menguntungkan
dan menciptakan
kepuasan pelanggan
Mendapat nilai dari pelanggan
untuk mendapat keuntungan dan
kualitas pelanggan
Menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan dengan pelanggan
Mendapat nilai dari pelanggan sebagai
imbalannya
12 Universitas Kristen Petra
b. Subcultures (sub-budaya), yaitu bagian dari budaya yang memberikan
identifikasi dan sosialisasi yang lebih spesifik untuk anggota-anggotanya,
seperti kewarganegaraan, agama, kepercayaan, dan etnis.
c. Social classes (kelas sosial), yaitu stratifikasi sosial yang ditunjukkan
masyarakat, merupakan pembagian yang relatif homogen dan abadi di
masyarakat, serta tersusun secara hierarkis oleh anggota-anggota yang
memiliki kesamaan nilai, minat, dan perilaku.
2. Faktor sosial
Faktor sosial terdiri dari tiga komponen, yaitu:
a. Reference group (kelompok referensi), yaitu kelompok-kelompok yang
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap sikap
maupun perilaku anggota-anggotanya. Reference group mempengaruhi
anggotanya dalam tiga cara, yaitu: memperkenalkan individu pada
perilaku atau gaya hidup baru, mempengaruhi sikap dan konsep pribadi,
dan menciptakan tekanan untuk patuh yang berdampak pada pilihan
produk dan merk. Ketika reference group berpengaruh kuat, seorang
pemasar perlu memikirkan bagaimana cara mempengaruhi opinion leader
kelompok itu. Opinion leader adalah seseorang yang menyediakan
petunjuk informal atau informasi mengenai suatu produk atau kategori
produk yang spesifik, seperti brand manakah yang terbaik atau bagaimana
cara menggunakan suatu produk. Opinion leader biasanya adalah orang-
orang dengan kepercayaan diri tinggi, aktif secara sosial, dan sering
menggunakan produk itu.
b. Family (keluarga), merupakan organisasi pembelian konsumen yang
paling penting di masyarakat dan anggota keluarga merupakan reference
group yang paling berpengaruh.
c. Roles and statuses (peran dan status sosial). Role terdiri dari berbagai
aktivitas yang dijalankan seseorang. Setiap role pada akhirnya berkonotasi
dengan status.
3. Faktor pribadi
Faktor pribadi terdiri dari empat komponen, yaitu:
13 Universitas Kristen Petra
a. Age and stage in the life cycle (usia dan tahap lingkaran kehidupan). Usia
dan peristiwa kehidupan (seperti kelahiran, sakit, kepindahan, perceraian,
pekerjaan pertama, perubahan karir, pengunduran diri, dan kematian) akan
memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru dan mengubah kebutuhan akan
barang dan layanan.
b. Occupation and economic circumstances (pekerjaan dan keadaan
ekonomi). Jenis pekerjaan dan keadaan ekonomi (seperti pemasukan yang
dapat dihabiskan, tabungan dan aset, hutang, kekuatan pinjaman, dan sikap
terhadap pengeluaran dan penghematan) akan mempengaruhi pola
konsumsi dan pilihan produk dan merk.
c. Personality and self-concept (kepribadian dan konsep pribadi). Personality
adalah seperangkat ciri psikologis manusia yang istimewa yang
menyebabkan respon yang relatif konsisten dan abadi terhadap rangsangan
dari lingkungan. Self-concept adalah cara seseorang melihat dirinya
sendiri.
d. Lifestyle and values (gaya hidup dan nilai). Lifestyle adalah pola hidup
seseorang di dunia yang diekpresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya.
Value adalah sistem kepercayaan yang mendasari sikap dan perilaku.
4. Faktor psikologis
Faktor psikologis terdiri dari empat proses, yaitu:
a. Motivation (motivasi), yaitu kebutuhan yang cukup mendesak yang
mengarahkan seseorang untuk mencari kepuasan atas kebutuhan itu.
Kebutuhan itu dapat berupa kebutuhan biologis, yang muncul dari kondisi
tertekan seperti lapar, haus, dan tidak nyaman, maupun kebutuhan
psikologis, yang muncul dari kebutuhan untuk diakui, dihargai, dan
memiliki.
b. Perception (persepsi), yaitu proses memilih, mengatur, dan menafsirkan
informasi dalam membentuk gambaran yang penuh arti tentang dunia.
Persepsi tiap-tiap orang dapat berbeda meskipun terbentuk dari stimulus
yang sama karena adanya proses-proses pembentukan persepsi, yaitu:
Selective attention (perhatian selektif), adalah kecenderungan orang
untuk menyaring sebagian besar informasi yang didapat.
14 Universitas Kristen Petra
Selective distortion (distorsi selektif), adalah kecenderungan orang
untuk menafsirkan informasi menurut anggapan mereka saat itu.
Selective retention (ingatan selektif), adalah kecenderungan orang
untuk mengingat informasi yang mendukung sikap dan keyakinan
mereka.
Subliminal perception (persepsi bawah sadar), adalah proses mental
yang tidak disadari orang tetapi dapat mempengaruhi perilaku mereka.
c. Learning (pembelajaran), adalah perubahan dalam perilaku seseorang
yang ditimbulkan oleh pengalaman. Learning muncul melalui interaksi
dari drives (dorongan kuat dari dalam yang menimbulkan tindakan),
stimuli (rangsangan), cues (rangsangan minor yang menentukan di mana,
kapan, dan bagaimana seseorang harus merespon), response (tanggapan),
dan reinforcement (penguatan).
d. Memory (ingatan), adalah tempat penyimpanan informasi. Memory
dibedakan antara short-term memory (ingatan jangka pendek) – tempat
penyimpanan informasi yang sementara dan terbatas – dan long-term
memory (ingatan jangka panjang) – tempat penyimpanan informasi yang
lebih permanen dan tidak terbatas.
2.3. Brand
Sebuah nama brand menyampaikan gambaran dari produk dan jasa. Brand
adalah nama, istilah, simbol, tanda, desain, atau kombinasi dari semua itu yang
digunakan oleh sebuah perusahaan atau produsen untuk membedakan produk atau
layanan yang dia tawarkan dari kompetitornya (Czinkota dan Ronkainen, 2013,
Amstrong dan Kotler, 2009). Brand merupakan janji penjual untuk secara
konsisten memberikan fitur, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli (Rangkuti,
2002).
Menurut Keller (2008), brand merupakan sesuatu yang sangat penting
karena banyaknya fungsi yang dijalankannya, baik bagi konsumen maupun
perusahaan. Fungsi brand bagi konsumen adalah sebagai berikut.
15 Universitas Kristen Petra
Identifikasi sumber atau pembuat sebuah produk yang memungkinkan
konsumen menentukan pabrikan atau distributor mana yang bertanggung
jawab terhadap produk tersebut.
Brand yang telah dikenal konsumen dapat membantu mereka mengurangi
segala pengeluaran yang berkaitan dengan pencarian informasi sebelum
memutuskan membeli suatu produk.
Brand dapat mengurangi resiko dalam memilih produk terutama bagi
konsumen yang memiliki pengalaman dengan brand itu.
Arti sebuah brand bisa jadi sangat mendalam sehingga berfungsi sebagai
sebuah ikatan atau perjanjian dengan konsumen yang membuat mereka akan
percaya dan loyal terhadap brand selama performanya memuaskan.
Brand berperan sebagai simbol yang memungkinkan konsumen menonjolkan
gambaran dirinya sendiri.
Brand adalah simbol kualitas dan karakteristik sebuah produk yang dapat
berguna dalam penilaian dan penginterpretasian ciri dan manfaat produk.
Sementara bagi perusahaan, brand berfungsi sebagai berikut.
Brand adalah cara identifikasi untuk mempermudah dalam penanganan dan
pencarian, serta dalam pengaturan inventori dan pencatatan akunting.
Brand membantu perusahaan dalam melindungi fitur unik produk secara
hukum.
Investasi dalam sebuah brand berdampak pada adanya asosiasi dan arti unik
pada sebuah produk, yang membedakannya dari produk lain.
Brand adalah sinyal tingkatan kualitas yang dapat memuaskan pembeli dan
membuat mereka terus-menerus membeli produk itu.
Branding merupakan sebuah langkah jitu memperoleh keunggulan bersaing.
Brand merepresentasikan bagian yang sangat bernilai dari sebuah kepemilikan
sah, mampu mempengaruhi perilaku konsumen, dapat diperjualbelikan, dan
menjamin adanya pemasukan di masa depan.
2.4. Brand Equity
Sebuah brand yang sangat kuat pasti memiliki brand equity yang tinggi.
Menurut Armstrong, Kotler, dan Da Silva (2006), brand equity adalah efek positif
16 Universitas Kristen Petra
dan berbeda yang dihasilkan sebuah nama brand pada respon konsumen terhadap
suatu produk atau layanan yang dapat diukur dengan seberapa jauh kemauan
konsumen untuk membayar lebih demi brand tersebut.
Menurut Aaker (2001), brand equity adalah seperangkat aset dan liabilitas
yang terhubung dengan sebuah nama dan simbol brand yang ditambahkan ke
dalam nilai yang diberikan oleh sebuah produk dan layanan kepada perusahaan
dan/atau pelanggan perusahaan.
Lassar, Mittal, dan Sharma (1996) mencatat lima karakteristik dari brand
equity, yaitu sebagai berikut.
1. Brand equity lebih mengarah kepada konsumen daripada indikator objektif
lainnya.
2. Brand equity mengarah kepada nilai global yang terasosiasi dengan sebuah
brand.
3. Nilai global yang terasosiasi dengan brand timbul dari nama brand dan bukan
hanya dari aspek fisik dari brand tersebut.
4. Brand equity tidak bersifat absolut, melainkan relatif terhadap kompetisi.
5. Brand equity secara positif mempengaruhi performa finansial.
Brand dengan brand equity yang semakin tinggi akan memiliki brand
loyalty yang semakin tinggi, brand name awareness, perceived quality, dan brand
association yang kuat (Amstrong dan Kotler, 2009).
2.4.1. Brand Awareness
American Marketing Association (n.d.) mendefinisikan brand awareness
sebagai persentase dari pelanggan maupun calon pelanggan yang mengenali brand
yang diberikan. Sementara Rangkuti (2002) mendefinisikan brand awareness
sebagai kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat
kembali bahwa suatu merk merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Brand
awareness seringkali didapat secara cuma-cuma, tetapi dapat menjadi aset kunci
yang strategis (Aaker, 2001).
Tingkatan brand awareness secara berurutan dapat digambarkan sebagai
suatu piramida sebagai berikut.
17 Universitas Kristen Petra
Gambar 2.2. Piramida Brand Awareness.
Sumber: Rangkuti (2002)
Penjelasan mengenai piramida brand awareness menurut Rangkuti (2002)
dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi adalah sebagai berikut.
1. Unaware of brand (tidak menyadari merk)
Merupakan tingkatan terendah dalam piramida brand awareness di mana
konsumen tidak menyadari adanya suatu merk.
2. Brand recognition (pengenalan merk)
Tingkat minimal dari brand awareness. Hal ini penting pada saat seorang
pembeli memilih suatu merk pada saat melakukan pembelian.
3. Brand recall (pengingatan kembali terhadap merk)
Pengingatan kembali terhadap merk dalam suatu kelas produk tanpa perlu
dibantu untuk memunculkan merk tersebut.
4. Top of mind (puncak pikiran)
Apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan pengingatan
dan ia dapat menyebutkan satu nama merk, maka merk yang paling banyak
disebutkan pertama kali merupakan top of mind. Dengan kata lain, merk
tersebut merupakan merk utama dari berbagai merk yang ada di benak
konsumen.
Dib dan Alhaddad (2014) mengungkapkan pentingnya brand awareness
dalam membantu sebuah brand menjadi pilihan pelanggan. Jika pelanggan tidak
menyadari adanya brand itu ketika mencari suatu produk, maka kemungkinan
Top of
Mind
Brand Recall
Brand Recognition
Unaware of Brand
18 Universitas Kristen Petra
besar mereka tidak akan memilih produk itu. Brand awareness biasanya
mempengaruhi komponen kognitif, dan brand equity tidak dapat terbentuk tanpa
adanya brand awareness. Oleh karena itu, perusahaan perlu mencermati strategi
komunikasi pemasaran brand untuk menjaga aspek recognition dan recall
pelanggan terhadap nama brand mereka dibandingkan dengan kompetitor.
Berdasarkan Yoo, Donthu, dan Lee (2000) dan Pinar, Trapp, Girard, dan
Boyt (2014), brand awareness dapat diukur dengan indikator sebagai berikut.
1. Konsumen sadar akan adanya brand.
2. Konsumen dapat mengenali logo brand.
3. Brand menjadi yang pertama muncul dalam pikiran ketika mengingat produk-
produk dalam satu kategori.
2.4.2. Brand Association
Menurut Kotler dan Keller (2012), brand association adalah sekumpulan
pikiran, perasaan, persepsi, kesan, pengalaman, kepercayaan, sikap, dan
sebagainya mengenai suatu brand yang menjadi terkait dengan ingatan tentang
brand itu.
Menurut Aaker (2001), brand association adalah segala hal yang
terhubung secara langsung maupun tidak langsung dengan suatu brand di dalam
ingatan konsumen. Karakter produk dan keuntungan pelanggan adalah asosiasi
dengan relevansi yang jelas karena menimbulkan alasan untuk membeli dan oleh
karenanya adalah dasar dari brand loyalty.
Sementara Lassar, Mittal, dan Sharma (1996) mendefinisikan brand
association sebagai sebuah level abstrak yang lebih tinggi yang mampu
menangkap generalisasi semua produk pada suatu brand, tidak hanya pada
kategori produk tertentu saja.
2.4.3. Brand Loyalty
Brand loyalty menurut Rangkuti (2002) adalah ukuran kesetiaan
konsumen terhadap suatu brand. Aaker (2001) mengatakan bahwa orientasi
kepada pelanggan akan memunculkan perhatian kepada pelanggan yang dimiliki
19 Universitas Kristen Petra
dan program-program untuk menghasilkan brand loyalty. Loyalitas pelanggan
akan menghasilkan keunggulan bersaing yang sangat besar, antara lain:
1. Mengurangi biaya pemasaran karena pelanggan yang sudah ada biasanya
relatif lebih mudah dipertahankan.
2. Loyalitas dari pelanggan yang ada mewakili hambatan masuk yang sangat
kuat untuk kompetitor.
3. Pelanggan yang merasa puas memberikan gambaran bahwa brand tersebut
diterima, sukses, dan produknya bertahan lama.
Hawkins dan Mothersbaugh (2013) mengukur brand loyalty melalui
beberapa indikator, yaitu:
1. Tingkat komitmen terhadap suatu brand.
Konsumen yang berkomitmen terhadap suatu brand akan memiliki kebiasaan
membeli brand tersebut, bukan sekedar karena brand tersebut sedang tersedia
di toko, atau karena harganya yang paling murah, atau alasan-alasan dangkal
lainnya.
2. Tingkat keterikatan emosional terhadap suatu brand.
Konsumen yang terikat secara emosional pada suatu brand akan
memperlakukan brand tersebut seperti sahabat. Mereka mempercayai dan
menyukai brand tersebut.
3. Tingkat brand switching ke brand lain.
Konsumen yang loyal terhadap suatu brand tidak mempertimbangkan
informasi mengenai brand lain ketika melakukan pembelian. Mereka resisten
terhadap usaha pemasaran kompetitor. Ketika mereka membeli brand yang
berbeda untuk mengambil keuntungan dari promosi, mereka biasanya akan
kembali ke brand asli mereka pada pembelian berikutnya. Mereka juga lebih
reseptif terhadap fitur-fitur tambahan dan produk baru lain yang ditawarkan
oleh perusahaan yang sama. Selain itu, mereka lebih mudah memaafkan cacat
produk atau layanan yang kadang kala terjadi.
4. Konsumen yang loyal terhadap suatu brand akan melakukan komunikasi
word-of-mouth yang positif.
20 Universitas Kristen Petra
Komunikasi word-of-mouth yang positif dari seorang konsumen loyal akan
meningkatkan probabilitas penerima informasi untuk turut menjadi pembeli
dan menyebarkan komentar positif kepada orang lain.
2.4.4. Perceived Quality
Kualitas didefinisikan oleh Kotler dan Keller (2012) sebagai keseluruhan
fitur dan karakteristik sebuah produk atau layanan yang dibawa oleh kemampuan
produk atau layanan itu untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan maupun
yang tersirat. Oleh karena itu, perceived quality didefinisikan sebagai persepsi
pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa
layanan berkaitan dengan maksud yang diharapkan (Rangkuti, 2002). Perceived
quality bersifat dinamis dan dapat berubah, dengan demikian mempengaruhi
kesuksesan suatu stategi (Aaker, 2001).
Rangkuti (2002) menyebutkan lima keuntungan perceived quality, yaitu
sebagai berikut.
1. Alasan membeli. Perceived quality mempengaruhi brand mana yang perlu
dipertimbangkan dan selanjutnya mempengaruhi brand apa yang dipilih.
2. Diferensiasi. Artinya, karakteristik penting dari brand adalah posisinya dalam
dimensi perceived quality.
3. Harga optimum. Perceived quality memberikan pilihan-pilihan dalam
menetapkan harga optimum.
4. Meningkatkan minat para distributor. Perceived quality sangat membantu
perluasan distribusi sehingga berarti penting bagi para distributor, pengecer,
dan berbagai saluran distribusi lainnya.
5. Perluasan brand. Perceived quality dapat dieksploitasi dengan cara
mengenalkan berbagai perluasan merk, yaitu dengan menggunakan merk
tertentu untuk masuk dalam kategori produk baru.
Berdasarkan Baldauf, Cravens, Diamantopoulos, dan Zeugner-Roth
(2009), perceived quality dapat diukur dengan indikator sebagai berikut.
1. Performance (performa): Tingkat operasional karakteristik-karakteristik utama
dari suatu produk (rendah, sedang, tinggi, atau sangat tinggi).
21 Universitas Kristen Petra
2. Features (fitur): Elemen sekunder dari suatu produk yang melengkapi
karakteristik utamanya.
3. Reliability (keandalan): Performa yang konsisten sepanjang waktu dan pada
setiap pembelian.
4. Durability (ketahanan): Kondisi ekonomis produk yang diekspektasikan
2.5. Country-of-Origin (COO) Image
Perilaku membeli dapat dipengaruhi oleh negara asal dari produk maupun
layanan. Persepsi country-of-origin adalah asosiasi mental dan keyakinan yang
dipicu oleh sebuah negara. Persepsi ini dapat menjadi suatu ciri dalam pembuatan
keputusan atau mempengaruhi ciri lain dalam prosesnya (Kotler dan Keller,
2012). Istilah country-of-origin seringkali menggunakan pengertian country of
manufacture (negara tempat pembuatan), country of design (negara yang
mendesain), country of brand (negara asal brand), dan country of assembly
(negara tempat perakitan) (Pappu, Quester, dan Cooksey, 2006). Country-of-
origin biasanya diindikasian melalui label produk “made in X”.
Martin dan Eroglu (1993) menyimpulkan bahwa country image adalah
semua keyakinan deskriptif, inferensial, dan informasional yang dimiliki
seseorang tentang suatu negara. Gambaran ini dapat terbangun melalui
pengalaman langsung dengan suatu negara, misalnya ketika berkunjung ke negara
tersebut. Bisa juga dipengaruhi oleh sumber informasi dari luar, misalnya oleh
iklan atau komunikasi word-of-mouth. Yang terakhir, gambaran tentang suatu
negara dapat dihasilkan dari pengalaman di masa lalu, misalnya pengalaman
menggunakan produk yang berasal dari negara tertentu.
Konsumen saat ini cenderung membangun kesan stereotip tentang suatu
negara dan produk yang dihasilkan negara tersebut. Czinkota dan Ronkainen
(2013) mengatakan bahwa ketika konsumen menyadari country-of-origin sebuah
produk, mereka dapat bereaksi positif maupun negatif. Misalnya, banyak orang
menyukai mobil buatan Jepang, tetapi meremehkan mobil asal Rusia. Reaksi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
22 Universitas Kristen Petra
1. Stereotip suatu country-of-origin bergantung pada asal penilai dan kategori
produk yang dinilai. Misalnya, mobil asal Jepang diremehkan oleh orang
India, tetapi sangat dihargai oleh orang Rusia.
2. Opini terhadap country-of-origin bergantung pada negara asal perusahaan dan
lokasi pembuatan produk. Misalnya, konsumen menyukai mobil Voklswagens
buatan Jerman, meskipun mobil tersebut dirakit di Cina, Polanda, atau lokasi-
lokasi lain di luar Jerman.
3. Fenomena country-of-origin dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu,
bergantung pada performa negara pada industri yang dikerjakannya.
4. Kecenderungan konsumen untuk mendiskriminasi produk asing dipengaruhi
oleh faktor demografisnya. Misalnya, penduduk yang lebih tua dan orang-
orang berpendidikan rendah cenderung menghindari produk asing.
Lin dan Chen (2006) merujuk dari Nagashima (1970) mengukur country-
of-origin image melalui beberapa dimensi yaitu sebagai berikut.
1. Advanced technology (teknologi canggih), berhubungan dengan teknologi
yang digunakan dalam pembuatan suatu produk. Advanced technology dapat
diukur melalui technology developing level (tingkat pengembangan teknologi).
2. Prestige (prestise), berhubungan dengan prestise dalam penggunaan suatu
produk. Indikator dari prestige adalah self-confident level for owning this
product (tingkat kepercayaan diri untuk memiliki produk ini).
3. Workmanship (pembuatan), berhubungan dengan pembuatan suatu produk.
Indikator dari workmanship adalah product quality dan product reliability.
4. Economy (ekonomi), berhubungan dengan kondisi ekonomi negara pembuat
produk. Economy dapat diukur melalui economics development level, political
and democratic level, industrialization level, dan living standard.
2.6. Hubungan Antar Variabel
2.6.1. Pengaruh Country-of-Origin Image Terhadap Brand Awareness
Sanyal dan Datta (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “The Effect of
Country-of-Origin on Brand Equity: an Empirical Study on Generic Drugs”
mendapatkan adanya hubungan antara country-of-origin dengan brand awareness
dalam tingkat pengaruh yang tinggi. Dalam penelitian mengenai obat generik di
23 Universitas Kristen Petra
India ini, mereka menemukan bahwa brand yang berasal dari negara yang
menjaga kualitas berada pada level awareness dari physician. Penyebabnya adalah
karena physician menganggap brand yang berasal dari negara-negara yang
dianggap kaya akan riset dan pengembangan lebih dapat diandalkan. Dengan kata
lain, country of origin adalah faktor yang mempengaruhi brand awareness para
physician.
Menurut Yasin, Noor, dan Mohamad (2007) dalam penelitiannya yang
berjudul “Does Image of Country-of-Origin Matter to Brand Equity?”, country-of-
origin image suatu brand memiliki efek yang positif dan signifikan terhadap
brand awareness. Negara dengan kesan yang baik seringkali menjadi lebih
familiar di benak konsumen dan dianggap sebagai pembuat brand yang
berkualitas.
Jung, Lee, Kim, dan Yang (2014) juga mengemukakan adanya pengaruh
positif dari country images terhadap brand awareness melalui penelitiannya yang
berjudul “Impacts of Country Images on Luxury Fashion Brand : Facilitating with
the Brand Resonance Model”. Dari penelitian yang dilakukan terhadap responden
dari Korea dan Amerika Serikat ini, Jung, Lee, Kim, dan Yang mengungkapkan
bahwa country images diperhitungkan sebagai tipe informasi produk yang paling
dapat dipercaya ketika pelanggan brand fashion mewah mempersepsikan brand
awareness dan mengasosikannya dengan brand fashion mewah.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai
berikut:
H1: Country-of-origin image berpengaruh terhadap brand awareness
2.6.2. Pengaruh Country-of-Origin Image Terhadap Brand Loyalty
Yasin, Noor, dan Mohamad (2007), pada penelitiannya yang
menggunakan pasar Malaysia untuk menguji brand equity dari peralatan
elektronik rumah tangga terutama televisi, lemari es, dan pendingin ruangan,
mengungkapkan bahwa kesan yang baik terhadap country-of-origin akan
meningkatkan derajat customer loyalty. Persepsi pelanggan terharap country-of-
origin seringkali berdampak pada brand yang berasal dari negara itu. Pelanggan
merasa brand dari negara yang berkesan baik tentu akan lebih bisa diandalkan
24 Universitas Kristen Petra
sehingga akhirnya mereka lebih menyukai brand tersebut dan akan memilihnya
dalam pembuatan keputusan membeli. Pada akhirnya ketika ada pembelian
berulang, hal ini menandakan telah terbentuknya brand loyalty pada pelanggan.
Guercini dan Ranfagni (2013) mengungkapkan dalam penelitiannya di
Cina bahwa keputusan untuk mengintegrasikan country image dan brand image
produk dalam proses rebranding menghasilkan pertumbuhan performa,
pertumbuhan brand awareness dan brand loyalty, dan distribusi otonomi yang
lebih besar disertai kontrol yang lebih besar pada jalur distribusi.
Pappu, Quester, dan Cooksey (2006) mendukung adanya pengaruh dari
country-of-origin terhadap brand loyalty berdasarkan penelitiannya yang berjudul
“Consumer-Based Brand Equity and Country-of-Origin Relationships: Some
Empirical Evidence”. Konsumen dapat memilih suatu brand berdasarkan country-
of-origin disebabkan oleh pengalamannya atau karena diyakinkan oleh fitur, sifat,
atau keuntungan yang ditawarkan oleh brand tersebut. Loyalitas yang dihasilkan
oleh suatu brand dapat mendorong terciptanya country loyalty untuk kategori
produk yang sama.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai
berikut:
H2: Country-of-origin image berpengaruh terhadap brand loyalty
2.6.3. Pengaruh Country-of-Origin Image Terhadap Perceived Quality
Pappu, Quester, dan Cooksey pada penelitiannya tahun 2006 yang berjudul
“Consumer-Based Brand Equity and Country-of-Origin Relationships: Some
Empirical Evidence” mengkonfirmasi adanya pengaruh country-of-origin
terhadap persepsi pelanggan di Australia pada kualitas produk kategori mobil dan
televisi. Dalam penelitiannya, mereka menemukan pengaruh country-of-origin
terbesar pada brand equity adalah terhadap perceived quality.
Moradi dan Zarei pada tahun 2012 meneliti pengaruh sub-komponen dari
country-of-origin, yaitu country-of-brand dan country-of-manufacture, pada
brand equity dalam kategori produk laptop dan telepon genggam di Iran. Dalam
penelitiannya yang berjudul “Creating Consumer-Based Brand Equity for Young
Iranian Consumers via Country-of-Origin Sub-Components Effects” ini, mereka
25 Universitas Kristen Petra
mengungkapkan adanya dampak signifikan dan positif dari negara pemilik brand
terhadap kualitas produk di benak konsumen. Meskipun konsumen menemukan
banyak brand di pasaran dengan performa dan profil yang mirip, tetapi kesan
terhadap suatu negara yang sangat berpengalaman dalam membuat produk
berkualitas tinggi akan menambah nilai produk dan memberikan tambahan
keuntungan jika dibandingkan dengan produk kompetitor dari negara yang kurang
berpengalaman dalam industri itu.
D’Astous dan Ahmed (1999) dalam penelitiannya yang berjudul “The
Importance of Country Images in the Formation of Consumer Product
Perceptions” mengungkapkan hasil penelitiannya yang menggunakan conjoint
analysis bahwa country-of-origin berpengaruh signifikan dan berdampak terbesar
dalam perceived quality baik pada konsumen maupun pada salesman. Ketika
informasi mengenai country-of-origin tersedia pada saat proses pembelian,
konsumen akan memperhitungkannya dalam penilaian produk.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai
berikut:
H3: Country-of-origin image berpengaruh terhadap perceived quality
2.6.4. Pengaruh Brand Awareness Terhadap Perceived Quality
Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 di dua negara emerging
market Thailand dan Vietnam dengan mengambil sampel sebanyak 603 konsumen
wanita di Bangkok dan 299 konsumen wanita di Hanoi yang menggunakan brand
shampoo internasional, Nguyen, Barrett, dan Miller menemukan adanya hubungan
yang signifikan antara brand awareness dan perceived quality.
Dib dan Alhaddad (2014) juga menemukan adanya efek signifikan positif
dari brand awareness terhadap perceived quality pada penelitian mengenai pasar
telepon genggam. Penelitian berjudul “The Hierarchical Relationship Between
Brand Equity Dimensions” ini dilakukan terhadap 369 mahasiswa dari Higher
Institute of Business Administration (HIBA).
Pada penelitiannya yang berjudul “Impacts of Country Images on Luxury
Fashion Brand : Facilitating with the Brand Resonance Model” pada tahun 2014,
Jung, Lee, Kim, dan Yang menguji apakah brand awareness pelanggan brand
26 Universitas Kristen Petra
fashion mewah berpengaruh terhadap perceived quality. Hasilnya didapat adanya
pengaruh signifikan dari brand awareness terhadap perceived quality. Brand
awareness dapat mendorong munculnya persepsi positif mengenai kualitas brand
di benak konsumen. Oleh karena itu, brand awareness merupakan rangsangan
untuk membangun keunggulan yang kuat di benak konsumen.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai
berikut:
H4: Brand awareness berpengaruh terhadap perceived quality
2.6.5. Pengaruh Brand Awareness Terhadap Brand Loyalty
Gil, Andres, dan Salinas (2007) membuktikan bahwa brand awareness
bersama dengan brand association adalah salah satu faktor yang menentukan
brand loyalty pada produk-produk yang dikonsumsi sehari-hari melalui
penelitiannya yang berjudul “Family as a Source of Consumer-Based Brand
Equity. Loyalitas yang terbentuk ini pada akhirnya akan berpengaruh signifikan
terhadap brand equity.
Atilgan, Aksoy, dan Akinci (2005) mengungkapkan bahwa brand
awareness membangun pandangan yang akrab dan menyenangkan akan suatu
brand dan merupakan sinyal adanya komitmen yang merupakan brand loyalty.
Oleh karena itu, melalui penelitiannya yang berjudul “Determinants of the Brand
Equity: A Verification Approach in the Beverage Industry in Turkey” ini, mereka
menyarankan agar para manager tidak meremehkan efek dari brand awareness
dalam membangun brand loyalty.
Nguyen, Barrett, dan Miller (2011) menemukan adanya efek dari brand
awareness terhadap brand loyalty di pasar Vietnam. Brand yang mendapat
perhatian besar dari pelanggan, misalnya karena memiliki asosiasi yang berbeda
sehingga dapat membantu konsumen membedakannya dari kompetitor, tentu akan
lebih unggul. Oleh karena itu, Nguyen, Barrett, dan Miller menyarankan agar para
manager mendesain program pemasaran yang mampu mengkomunikasikan
perbedaan brand mereka untuk memperoleh brand awareness, sehingga
konsumen dapat memahami nilai dari brand mereka dan pada akhirnya dapat
meningkatkan brand loyalty.
27 Universitas Kristen Petra
Menurut Keller (1993) brand awareness berperan penting dalam
pembuatan keputusan pelanggan. Secara fundamental, level brand awareness
yang tinggi dan brand image yang positif akan meningkatkan kemungkinan dari
brand choice, sejalan dengan meningkatnya loyalitas konsumen dan menurunnya
ketidakmampuan untuk bertahan dari tindakan pemasaran yang kompetitif.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai
berikut:
H5: Brand awareness berpengaruh terhadap brand loyalty
2.6.6. Pengaruh Perceived Quality Terhadap Brand Loyalty
Nguyen, Barrett, dan Miller (2011) menemukan adanya hubungan yang
positif dan signifikan antara perceived quality dan brand loyalty untuk produk
shampo dari brand internasional dalam penelitiannya yang berjudul “Brand
Loyalty in Emerging Markets”. Hubungan ini ditemukan baik di Thailand maupun
Vietnam, negara emerging market yang menjadi objek penelitiannya.
Torres, Augusto, dan Lisboa dalam penelitiannya pada tahun 2015 yang
berjudul “Determining the Causal Relationships That Affect Consumer-Based
Brand Equity: The Mediating Effect of Brand Loyalty” mengungkapkan adanya
pengaruh dari perceived quality terhadap brand loyalty dan bahkan dampak dari
perceived quality ini adalah yang terbesar terhadap brand loyalty pada kategori
produk bir di Portugal. Oleh karena itu, Torres, Augusto, dan Lisboa menyarankan
agar para manager pemasaran memberikan perhatian lebih pada faktor ini dalam
usaha meningkatkan brand loyalty.
Gurbuz (2008) melalui penelitiannya yang berjudul “Retail Store Branding
in Turkey: Its Effect on Perceived Quality, Satisfaction and Loyalty” menyatakan
bahwa persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan berhubungan positif dan
signifikan dengan brand loyalty toko. Para pelanggan yang positif terhadap nama
brand sebuah toko dan mempersepsikan kualitas layanan dengan baik akan
cenderung membangun loyalitas terhadap toko dan brand-nya sebagai
konsekuensi. Mereka juga akan membangun ekspektasi yang akan mempengaruhi
evaluasi terhadap kualitasi layanan di masa depan dan juga brand toko tersebut.
28 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai
berikut:
H6: Perceived quality berpengaruh terhadap brand loyalty
2.7. Kerangka Konseptual Penelitian
Gambar 2.3. Kerangka Konseptual Penelitian “Pengaruh Country-of-Origin Image
terhadap Brand Loyalty dengan Brand Awareness dan Perceived Quality sebagai
Variabel Intervening pada Merk Smartphone Buatan Indonesia”.
Brand Awareness
Perceived Quality
Country-of- Origin Image
Brand Loyalty
H1
H2
H3
H4
H5
H6