2. tinjauan pustaka 2.1 ekosistem pantai dan pengelolaannya · untuk mengatasi dampak yang...
TRANSCRIPT
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Pantai dan Pengelolaannya
Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat
produktif di perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik
dan unik, karena pada mintakat ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang
berasal daratan, perairan laut dan udara. Kekuatan dari darat dapat berwujud air
dan sedimen yang terangkut sungai dan masuk ke perairan pesisir, dan kekuatan
dari batuan pembentuk tebing pantainya. Kekuatan dari darat ini sangat beraneka.
Sedang kekuatan yang berasal dari perairan dapat berwujud tenaga gelombang,
pasang surut dan arus, sedangkan yang berasal dari udara berupa angin yang
mengakibatkan gelombang dan arus sepanjang pantai, suhu udara dan curah hujan
(Davies, 1972 in Soetikno, 1993).
Wilayah Pesisir memiliki sumberdaya alam yang unik, dinamis, dan
produktivitas yang tinggi, terdiri dari sumberdaya yang dapat pulih, sumberdaya
yang tidak dapat pulih, serta jasa–jasa lingkungan (Bengen, 2002; Bengen, 2004).
Beberapa ekosistim utama yang terdapat di wilayah pesisir adalah estuaria, hutan
mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu, berpasir, dan
berlumpur), dan pulau kecil (Bengen, 2002).
Menurut Bengen (2004) wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam
yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi maupun
kawasan rekreasi atau pariwisata. Selain itu, wilayah ini juga memiliki
aksesibilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti
transportasi dan kepelabuhanan, industri dan permukiman. Namun demikian,
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, daya
dukung ekosistem pesisir dalam menyediakan segenap sumberdaya alam dan jasa-
jasa lingkungan terancam rusak.
Selanjutnya Bengen (2004) menyatakan pengalaman membangun
sumberdaya pesisir masa lalu, selain telah menghasilkan berbagai keberhasilan,
juga telah menimbulkan berbagai permasalahan ekologis dan sosial-ekonomis
yang justru dapat mengancam kesimanbungan pembangunan nasional. Secara
ekologis, banyak kawasan pesisir, terutama di Pesisir Timur Sumatera, Pantai
10
Utara Jawa, Bali dan Makasar, yang telah terancam kapasitas keberlanjutannya
akbibat adanya pencemaran, degradasi fisik habitat, over-eksploitasi sumerdaya
alam, dan konflik penggunaan lahan (ruang) pembangunan. Secara sosial-
ekonomi, sebagian besar penduduk pesisir masih merupakan kelompok sosial
termiskin di tanah air, dan kesenjangan pembangunan antar wilayah masih sangat
besar.
Berbagai permasalahan yang muncul di kawasan pesisir sebagaimana
dikemukakan di atas ternyata banyak diakibatkan oleh faktor eksternal yang
terjadi di luar kawasan pesisir itu sendiri (baik dari daratan maupun lautan),
sehingga berbagai aktivitas yang dilakukan di kedua kawasan tersebut baik
langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak terhadap kawasan
pesisir. Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan, misalnya akibat adanya
bahan pencemar atau sedimen yang masuk ke pesisir atau adanya abrasi pantai,
sangat diperlukan pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan keterkaitan
kawasan, bagi keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir (Bengen, 2004).
Secara konseptual pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk
meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan
sumberdaya alam. Dalam skala tertentu setiap pembangunan atau pemanfaatan
sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan lautan itu sendiri. Perubahan-
perubahan itu tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup.
Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan lautan, makin tinggi pula
tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak
mernpertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan
hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir
(Dahuri et al, 1996).
Kegiatan pembangunan, terutama yang melakukan pembukaan atau
pemanfaatan lahan dan atau mengubah suatu bentuk bentang alam secara fisik di
wilayah pesisir sudah tentu harus diukur dan dilakukan penilaian untuk
menentukan keberlanjutan penggunaan atau pemanfaatan lahan tersebut. Kegiatan
pembangunan di wilayah pesisir yang juga melakukan suatu penataan dan
peletakan infrastruktur yang berfungsi untuk menunjang kegiatan pembangunan
11
seperti pengembangan kawasan untuk pemukiman, rekreasi, budidaya, serta
kegiatan lainnya, apabila tidak diperhitungkan dengan baik akan mengakibatkan
terjadinya degradasi kualitas lingkungan yaitu terjadinya erosi tanah, menurunnya
tingkat estetika lingkungan, pencemaran, menurunnya jumlah dan jenis populasi
satwa, serta berbagai bentuk vandalism lainnya. Karena itu, pembangunan atau
pemanfaatan di wilayah pesisir harus betul – betul dilakukan secara efisien,
efektif, optimal, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukung
lingkungan untuk meminimalisasi kerusakan atau membatasi penggunaan
sumberdaya pesisir
2.2 Pencemaran dan Dampak Terhadap Kualitas Perairan
Menurut Dahuri et al. (1996); Dahuri (1999) untuk keberlanjutan
pemanfaatan, salah satu dimensi yang harus diperhatikan adalah dimensi ekologis,
dengan tiga persyaratan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas assimilasi
dan daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan sumberdaya secara
berkesinambungan. Keharmonisan spasial menuntut perlunya penyusunan tata
ruang pembangunan wilayah secara tepat dan akurat berdasarkan potensi
sumberdaya yang ada
Dampak pembangunan terhadap lingkungan mempunyai dua arti. Pertama
adalah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang
diperkirakan akan ada dampak setelah pembangunan, dan kedua perbedaan antara
kondisi lingkungan yang diperkirakan akan ada dampak tampa adanya
pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah adanya
pembangunan. Jadi dampak dapat bersifat negatif dan bisa positif. Hal ini seperti
yang dinyatakan oleh Sorensen et.al.(1999) dalam Ismail (2000), bahwa antar
sektor-sektor kegiatan pemanfaatan yang ada di wilayah pesisir dan lautan saling
mempengaruhi dan menimbulkan dua jenis dampak, yaitu dampak positif dan
negatif Pencemaran air merupakan akibat logis dari pemanfaatannya, sehingga
tidak dapat ditiadakan, namun dapat dikurangi dengan cara-cara pengolahan
tertentu (Suriawiria, 1993). Limbah yang dibuang langsung ke perairan bebas
tanpa dikelola terlebih dahulu dapat menimbulkan pencemaran yang
menyebabkan gangguan serius pada lingkungan, bahkan dapat mematikan hewan,
tumbuhan dan manusia (Dix, 1981).
12
Dengan pertumbuhan peduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan yang
sangat tinggi di wilayah pesisir untuk berbagai peruntukkan (pemukiman,
perikanan, pelabuhan, dan lain sebagainya), maka tekanan ekologis terhadap
ekoistem dan sumberdaya pesisir akan semakin meningkat ( Bengen, 2004).
Meningkatnya tekanan ini sudah tentu akan mengancam keberadaan dan
kelansungan ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir baik secara langsung
(misal kegiatan konversi lahan) maupun tidak langsung (misalnya pencemaran
oleh limbah dari berbagai kegiatan pembangunan).
Pencemaran dapat mengubah struktur ekosistem dan mengurangi jumlah
spesies dalam suatu komunitas, sehingga keragamannya berkurang. Dengan
demikian indeks diversitas ekosistem yang tercemar selalu lebih kecil dari pada
ekosistem alami. Diversitas di suatu perairan biasanya dinyatakan dalam jumlah
spesies yang terdapat di tempat tersebut. Semakin besar jumlah spesies akan
semakin besar pula diversitasnya. Hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah
individu dapat dinyatakan dalam bentuk indeks diversitas.(Astirin,dkk. 2001)
Pencemaran organik merupakan limbah paling banyak di perairan yang
sumbernya berasal dari pemukiman, pertanian, industri, pengolahan makanan,
pengolahan material alam (tekstil). Kebanyakan limbah organik mengandung
sebagian besar bahan tersuspensi. Pencemaran oleh bahan organik dapat
ditelusuri dari kandungan oksigen terlarut (DO) di air dan sedimen. Persyaratan
batas maksimum yang aman bagi budidaya perikanan adalah COD = 50 ppm
(Poernomo, 1992)
Menurut Sastrawijaya (2000), adanya amonia merupakan indikator
masuknya buangan permukiman. Alerts dan Santika (1987) menyatakan amonia
dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi zat organik secara
mikrobiologis yang berasal dari buangan pemukiman penduduk. Pendapat ini
didukung oleh Kumar De(1997) yang menyatakan bahwa limbah domestik
mengandung amonia. Amonia tersebut berasal dari pembusukan protein
tanaman/hewan dan kotoran.
Pencemaran dapat berdampak pada suplai air minum, ekosistem, ekonomi,
serta kesehatan manusia dan keamanan social (social security). Sekitar 3 – 4 juta
jiwa penduduk dunia meninggal setiap tahun disebabkan oleh waterborne disease,
13
termasuk didalamnya lebih dari 2 juta jiwa anak-anak meninggal karena diare.
Negara-negara berkembang sangat rentan terkena dampak negatit dari
pencemaran khususnya perkampungan miskin dan kotor (Andreas, et al., 2001)
2.3 Konsep Kesesuaian Lingkungan Perairan
Dalam proses penentuan pola pemanfaatan ruang, menentukan lokasi yang
secara biogeofisik sesuai adalah faktor penting yang dapat menjamin
kelangsungan kegiatan pada lokasi yang ditentukan. Penempatan kegiatan
pembangunan di lokasi yang sesuai, tidak saja mencegah kerusakan lingkungan
tetapi juga menjamin keberhasilan ekonomi kegiatan tersebut.
Tahap pertama proses perencanaan pola pemanfaatan ruang adalah
penentuan kelayakan biogeofisik dari wilayah pesisir dan laut. Pendugaan
kelayakan biogeofisik dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan
biogeofisik setiap kegiatan, kemudian dipetakan (dibandingkan dengan
karakteristik biogeofisik wilayah pesisir itu sendiri). Dengan cara ini kemudian
ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) peruntukan di wilayah
pesisir dan laut. Penentuan kelayakan biogeofisik ini dapat dilakukan dengan
menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) seperti Arc View
(Kapetsy et al, 1987). Informasi dasar biasanya dalam bentuk peta tematik, yang
diperlukan untuk menyusun kelayakan biogeofisik ini tidak saja meliputi
karakteristik daratan dan hidrometeorologi seperti kelerengan, tutupan lahan,
peruntukan lahan, dan lain-lain tetapi juga oseanografi dan biologi perairan pesisir
dan laut seperti pasang surut, arus, kedalaman, ekosistem mangrove, lamun,
terumbu karang dan lain-lain.
Berdasarkan fungsinya, ruang dapat dikelompokkan menjadi kawasan
Iindung dan budidaya yang masing-masing memiliki persyaratan biogeofisik.
Kawasan Iindung merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang
tinggi, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia kecuali penelitian
ilmiah atau seremoni keagamaan/budaya oleh masyarakat lokal dan harus dapat
diterima dan didukung oleh masyarakat lokal. Sedangkan kawasan budidaya dapat
dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan sesuai dengan kemampuan lahannya
(Dacles et al., 2000).
14
Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata
bahari kategori rekreasi pantai, meliputi (Hutabarat dkk. 2009):
1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar,
kemiringan pantai (idealnya <25o
2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang,
kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km) (Wong
1991).
) dan material dasar perairan pantai (idealnya
berpasir) (Wong 1991).
3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan
biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan).
Kualitas perairan untuk budidaya laut dan pariwisata di analisis dengan
berpedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan
Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang baku
mutu air laut, seperti yang tertera pada Tabel 1 :
Tabel 1 Baku mutu untuk kegiatan budidaya dan wisata bahari
No Parameter Satuan Baku Mutu Air Laut Wisata Bahari Budidaya Laut
1 DO mg/l >5 >5 2 pH - 7-8,5 7-8,5 a) 3 Salinitas %o Alami Alami 1b) 4
1b) Nitrat mg/l 0,008 0.008
5 Fosfat mg/l 0.015 0.015 6 BOD mg/l 5 10 20 7 TSS mg/l 20 coral:20
mangrove:80 e)
lamun:20 e)
8 e)
Suhu ºC Alami Alami 1c) 9
1c) Kecerahan m >6 coral:20
mangrove:- d)
lamun:>3 d) Sumber: : Lampiran II dan III SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun
2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Keterangan: 1. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, berva riasi setiap saat (siang, malamdan musim) a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0 .2 satuan pH b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata -rata
musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 oC dari suhu alami
15
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic (lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis)
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
Tabel Baku mutu ini akan dijadikan sebagai acuan penyusunan matriks
kesesuaian, antara lain untuk matriks kesesuaian budidaya laut terdiri pH 6-9, DO
>5 mg/lt, salinitas 30-35 ppm, fosfat 0-0.5 mg/lt, nitrat 0-0.5 mg/lt, suhu
permukaan laut 26-30 °C, kecepatan arus <=0.5 m/dt, dan kecerahan >5 m .
Sementara itu untuk wisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian
yaitu kesesuaian pariwisata pantai dan pariwisata bahari, untuk kesesuaian
pariwisata pantai meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/l,
kecerahan >5 m, kecepatan arus <=0.3 m/det, dan material dasar perairan berpasir,
sedangkan untuk kesesuaian pariwisata bahari meliputi jarak dari sumber air tawar
<=0.5 km, DO >5 mg/lt, dan kecerahan >5 m kecepatan arus <=0.5 m/det, tutupan
komunitas karang >75% (Bakosurtanal,1996; Dahyar, 1999; Arifin, 2001;
Soselisa, 2006).
2.4 Konsep Daya Dukung Lingkungan Perairan
Sejak pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan, Odum (1971)
menyatakan bahwa daya dukung merupakan pembatasan penggunaan dari suatu
areal yang mempunyai beberapa faktor alam dan lingkungan. Handee et.al (1978),
dalam tulisannya di Wilderness Management, menyatakan bahwa daya dukung
merupakan suatu ukuran batas maksimal penggunaan suatu area berdasarkan
kepekaan atau toleransinya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alami seperti
ketersediaan makanan, ruang untuk tempat hidup dan tempat berlindung atau air.
Knudson (1980) menyatakan bahwa daya dukung merupakan penggunaan secara
lestari dan produktif dari suatu sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable
resources)
Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan
pengelolaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran
kemampuannya. Konsep daya dukung ini dikembangkan terutama untuk
mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan
sehingga kelestarian, keberadaan, dan fungsinya dapat tetap terwujud dan pada
16
saat yang bersamaan, masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut akan tetap
berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan (Intergenerational
Welfare). Konsep dan penghitungan terhadap daya dukung sumberdaya alam dan
lingkungan juga awalnya digunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi
dalam suatu unit ekologis (ekosistem). Sebagai contoh dari beberapa penilaian
yang umum dilakukan terhadap penghitungan daya dukung ini adalah : (1)
penghitungan terhadap ecological capacity atau daya dukung ekologis yaitu
jumlah individu yang yang dapat didukung oleh sutau habitat dan; (2)
penghitungan terhadap grazing capacity yaitu jumlah individu (biota) dalam
keadaan sehat dan kuat yang dapat didukung oleh ketersediaan pakannya dalam
suatu areal tertentu.
Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi
bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan
juga kebutuhan manusia akan sumberdaya alam dan jasa – jasa lingkungan dari
wilayah tersebut. Misalnya, daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat
kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural forces), seperti bencana
alam atau dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan melalui pengelolaan atau
penerapan teknologi. Contoh lain adalah produktivitas tambak udang yang hanya
mengandalkan alam tanpa teknologi (tradisional) adalah sekitar 200 kg/ha/tahun,
akan tetapi dengan penerapan teknologi pengelolaan tanah dan air, manajemen
pemberian pakan produktivitas dapat meningkat 6 ton/ha/thn.
Konsep daya dukung yang paling mendasar adalah menjelaskan hubungan
antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumber daya dimana populasi
tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi
yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut. Penggunaan konsep
daya dukung lingkungan tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dalam suatu
kondisi populasi atau sumber daya. Walau kadang-kadang tidak dinyatakan secara
ekspilisit, proses penentuan suatu daya dukung lingkungan untuk berbagai
aktivitas memerlukan suatu nilai justifikasi mengenai apa yang akan
dioptimumkan.
Konsep daya dukung ini sudah dikemukakan oleh banyak ilmuwan sejak
tahun 1940, dimana secara keseluruhan mempunyai kerangka acuan yang tidak
17
terlalu banyak mengalami perubahan. Hal yang terpenting dari definisi konseptual
daya dukung yang diajukan adalah pemeliharaan dan pengendalian integritas dari
suatu sumberdaya yang memberikan tingkat kesejahteraan tertinggi dan
berkualitas bagi masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut.
Konsep ini pada tahapan dan perkembangan selanjutnya juga digunakan
untuk pengelolaan/ pengembangan wilayah pesisir dan laut (ekowisata, budidaya
(tambak dan laut), pulau – pulau kecil) serta pengembangan kegiatan lainnya di
wilayah pesisir dan laut. Tujuan dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan
atau melestarikan potensi alami dari kawasan tersebut pada batas – batas
penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan.
Batasan daya dukung untuk populasi manusia dinyatakan oleh
Soerianegara (1977), yaitu merupakan jumlah individu yang dapat didukung oleh
satuan luas sumberdaya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera. Daya dukung
mempunyai dua komponen utama yang harus diperhatikan (Soerianegara, 1977),
yaitu :
1. Besarnya atau jumlah populasi mahluk hidup yang akan menggunakan
sumberdaya tersebut pada tingkat kesejahteraan yang baik
2. Ukuran atau luas sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat
memberikan kesejahteraan kepada populasi manusia pada tingkat yang
lestari.
Selanjutnya Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan
populasi organisme akuatik yang ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume
perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu (destorasi).
Sementara, Kechington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai
kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama
jangka waktu yang panjang. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung
adalah batasan untuk banyaknya orgnanisme hidup dalam jumlah atau massa yang
dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung merupakan ultimate
constrain yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan
seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, atau penyakit, siklus
predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas. Sistem daya dukung
lingkungan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia
18
yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau penggunaan energi (Clark,
1974).
Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi
dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke
dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993). Piper et al (1982 in
Meade, 1989) mendefinisikan daya dukung sebagai suatu sistem yang dapat
mendukung beban hewan yang dinyatakan sebagai pound ikan per kubik air
(lb/ft3
Haskel (1995 in Meade, 1989) membuat dua asumsi yang menyangkut
daya dukung sebagai berikut :
).
1. Daya dukung yang dibatasi oleh laju konsumsi oksigen dan akumulasi
metabolit
2. Laju konsumsi oksigen dan akumulasi tersebut sebanding dengan jumlah
pakan yang dimakan per hari
Daya tampung kawasan pesisir adalah kemampuan badan air atau perairan
di kawasan tersebut dalam menerima limbah organik termasuk didalamnya adalah
kemampuan untuk mendaur ulang atau mengasimilasi limbah tersebut sehingga
tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat terganggunya keseimbangan
ekologisnya (Krom, 1996). Sedangkan daya dukung suatu lahan perairan untuk
budidaya udang adalah biomassa udang yang dapat hidup di dalamnya secara
berkesinambungan untuk ukuran dan situasi tertentu, dan bila keadaan lahannya
berubah, daya dukungnya juga akan berubah.
Faktor penentu daya dukung lingkungan perairan adalah volume perairan,
kualitas perairan, dinamika perairan, dan beban pencemar yang ada /limbah dari
hulu. Daya dukung perairan pesisir untuk menerima limbah dipengaruhi oleh
beberapa faktor (Rompas, 1998) antara lain : (1) kualitas air perairan pesisir;
(2)dinamika perairan; (3) tingkat kesuburan perairan (oligotrofik, mesotrofik, atau
eutrofik); (4) beban limbah; (5) jenis dan jumlah mikroba; (6) aktivitas manusia di
pesisir. Karena itu, pengukuran kualitas air perairan pesisir penerima limbah atau
tingkat pencemarannya sangat penting untuk memperkirakan level pengenceran
dan kemampuan asimilasinya, apakah sudah berada pada level rendah (tingkat
pencemaran tinggi) atau masih pada level tinggi (tingkat pencemaran rendah).
19
Penentuan besarnya nilai daya dukung juga dapat dilakukan dengan
membangun suatu model hubungan kuantitatif antara faktor pembatas dan peubah
pertumbuhan, dimana nilai maksimum dan minimum pada suatu tingkat
pertumbuhan akan ditentukan pada faktor pembatas tertentu (Ortolano, 1994).
Menurut Hendee et al. (1978), bahwa penilaian kemampuan suatu kawasan
berdasarkan pendekatan daya dukung cenderung merupakan suatu probabilistic
concept atau teori kemungkinan jadi bukan merupakan suatu yang bersifat
absolut/ mutlak karena hasil perhitungan yang diperoleh merupakan nilai optimasi
atau perpaduan dari kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut denga
tingkat pengelolaan yang tersedia atau yang mungkin dapat dilakukan.
Selanjutnya dikatakan oleh Hendee et al (1978) bahwa penggunaan IPTEK yang
tidak bijaksana dan tidak terencana dengan baik dalam upaya untuk mengatasi
kerusakan sumberdaya justru akan menghancurkan lingkungan.
Proses penentuan daya dukung lingkungan untuk suatu aktivitas
ditentukan umumnya dengan dua cara, yaitu : (1) suatu gambaran hubungan
antara tingkat kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan dan pengaruhnya
terhadap parameter-parameter lingkungan, dan (2) suatu penilaian kritis terhadap
dampak-dampak lingkungan yang diinginkan dalam rejim manajemen tertentu.
Daya dukung ekologis adalah maksimum (jumlah maupun volume) dalam
penggunaan suatu ekosistem atau kawasan baik berupa jumlah maupun kegiatan
yang diakomodasikan didalamnya sebelum terjadi suatu penurunan kualitas
ekologis kawasan tersebut (Supriharyono, 2002). Scones dalam Prasetyawati
(2001) mengatakan juga bahwa daya dukung ekologis (ecological carrying
capacity) adalah jumlah maksimum hewan – hewan pada suatu lahan (tambak)
yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan
maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini
ditentukan oleh faktor – faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, CO, dan
kandungan oksigen. Menurut Piagram (1983) bahwa daya dukung ekologis
dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau ekosistem,
baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan didalamnya, sebelum
terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut,
termasuk lingkungan alami yang dimilikinya. Kawasan yang menjadi perhatian
20
utama adalah berbagai kawasan yang rapuh (fragile) dan yang tidak dapat pulih
(unrenewable) seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetlands) antara lain rawa
payau, danau, laut, pesisir, dan sungai. Ekosistem yang digunakan sebagai dasar
dari penilaian daya dukung dinyatakan sebagai suatu sistem (tatanan) kesatuan
yang utuh antara semua unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
Odum (1971) menyatakan bahwa ekosistem adalah suatu sistem dalam
alam yang mengandung makhluk hidup (unsur biotik) dan lingkungannya yang
terdiri dari zat – zat yang tidak hidup (unsur abiotik) dan saling mempengaruhi
dan diantara keduanya terjadi pertukaran zat atau energi yang dperlukan dalam
dan untuk mempertahankan kehidupannya. Kondisi ekosistem ini harus
dipertahakan walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik, karena setiap biota
yang ada dan hidup didalamnya akan menjadi tua dan mati dan selanjutnya akan
digantikan oleh biota lainnya yang sejenis. Namun apabila ada gangguan yang
melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses pemulihannya akan
memakan waktu yang sangat panjang.
Daya dukung fisik. Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal
merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat
diakomodasikan dalam kawasan atau areal tersebut tanpa menyebabkan kerusakan
atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (Piagram, 1983). Kawasan
yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat
dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan, konflik sosial yang
terjadi pada masyarakat karena terbatasnya ruang. Daya dukung fisik pada
hakekatnya juga merupakan suatu bentuk ukuran kapasitas rancangan dan juga
model rancangan untuk berbagai infrastruktur yang diakomodasikan pada suatu
kawasan. Sebagai contoh misalnya model konservasi yang akan dilakukan pada
kawasan yang mengalami erosi yang berlebihan. Tingkat atau jumlah erosi tanah
yang terjadi pada kawasan ini merupakan gambaran telah terlampauinya batas
daya dukung kawasan tersebut secara fisik. Penggunaan umum dari daya dukung
fisik ini adalah penghitungan terhadap jumlah populasi penduduk disuatu kawasan
berdasarkan ukuran dan kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Contoh
penghitungan lain yang umum untuk daya dukung fisik ini adalah ketersediaan air
bersih pada pulau – pulau kecil untuk mendukung pengembangannya sebagai
21
areal atau kawasan wisata yang reaktif, ketersediaan air irigasi untuk persawahan
produktif, jumlah sarana transpor dalam suatu kawasan serta daya dukung tanah
yang dinyatakan berdasarkan ukuran kemampuan dan kesesuaiannya.
2.5 Sistem dan Pemodelan
Fauzi (2005) menyatakan bahwa model adalah representasi dari suatu
realitas dari seorang pemodel, dengan kata lain, model adalah jembatan antara
dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecah suatu
masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut modelling atau
pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis.
Selanjutnya dikatakan bahwa proses interpretasi dunia nyata tersebut ke dalam
dunia model, berbagai proses transformasi atau model dapat dilakukan. Ada
model yang lebih mengembangkan interpretasi verbal (bahasa), ada yang
diterjemahkan ke dalam bahasa simbolik seperti bahasa matematika sehingga
menghasilkan model kuantitatif. Untuk menjembatani dunia nyata yang dalam
presepsi manusia bersifat kualitatif menjadi model yang bersifat kuantitatif
diperlukan proses transformasi berupa alat pengukuran dan proses pengembilan
keputusan
Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan
terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan
esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi, 2001).
Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu
manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer.
Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi
untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan
kelemahan dari masing – masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap
disiplin untuk membentuk sinergi.
Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian
persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya
sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari
sistem yang dianggap efektif (Eriyatno,1999). Dalam pendekatan sistem
umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada
dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2)
22
dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian
dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1)
kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti
faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa
depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi
kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1999).
Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar
terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1) Tahap seleksi konsep dan variabel
Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki
relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan
kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan
(cognitive map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari
keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara
teliti dan mendalam terhadap asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap
variable dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang
dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang.
2) Konstruksi model (tahap pengembangan model)
Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) kedalam
model dinamiknya dengan bantuan soft ware tool Powersim versi 2.5 berbasis
sistem operasi Windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi
dan verifikasi model simulasi.
3) Tahap analisis sensivitas
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai
pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan
mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang
(tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat
difokuskan pada variabel kunci.
4) Analisis kebijakan,
kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model
melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan
alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model
23
Menurut DePinto, et al.(2004) yang melakukan pemodelan terhadap total
maksimum load dari limbah dimana ditemukan bahwa model yang baik
mempunyai beberapa syarat diantaranya : definisi masalah dan pembangunan
model konseptual, sintesa data, pilihan model dan pembenaran, penjabaran
teoritis, konfigurasi spesifik, okasi dan dugaan kunci, kalibrasi dan strategi
konfirmasi dan hasil
Kerangka berfikit epistimologi dalam ICZM saling sinergis dengan
karakteristik wilayah pesisir yang merupakan suatu sistem dinamis dan saling
terkait antara sistem manusia / komunitas dengan sistem alam sehingga kedua
sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran (magnitude),
sehingga diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan
pesisir secara terpadu. Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma Social-
Ecological System disingkat SES. (Adrianto and Aziz, 2006). Social-Ecological
System (SES) didefinisikan sebagai : "a ... system of biological unit / ecosystem
unit linked with and affected by one or more social systems" (Anderies, et.al, 2004
dalam Andrianto, 2006). Salah satu contohnya adalah konsep Coastal Livelihood
System Analysis (CLSA) yang dikembangkan dalam kerangka pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan, di mana aspek sistem alam (ekologi/ekosistem)
dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan
2.6 Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Karakteristik lingkungan, modeling, dan proses pengambilan keputusan
melalui evaluasi berdasarkan survey lapangan dengan sistem informasi geografis
terdapat tiga tahapan antara lain (Carver et al., 1996) : (1) Pra-lapangan, koleksi
data/prosessing terhadap sumber-sumber data primer dan sekunder ; (2) lapangan,
koleksi data di lapangan, verifikasi, update dan modeling ; (3) pengembangan
sistem pengambilan keputusan secara spasial (SDSS; Spatial Decision Support
System), merupakan penggunaan data base dan model yang dikembangkan untuk
strategi pengembilan keputusan
Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu sistem komputer yang
mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data dan tampilan data
geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Sistem komputer ini
terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia
24
(personal) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan,
memperbaharui, memanipulasi, menganalisa dan menyajikan semua jenis
informasi yang berorientasi geografis (ESRI, 1995). Yang paling utama adalah
kemampuan SIG menyajikan data spasial yang dilengkapi dengan informasi sebab
SIG dapat menangkap data spasial baik dari peta ataupun data atribut yang
memiliki informasi geografis. SIG juga mampu menerima peta dari berbagai skala
dan proyeksi dan mentransformasi menjadi skala yang standar sehingga hasilnya
yang diperoleh juga menjadi standar. Aplikasi SIG sudah banyak digunakan
untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang perikanan, pertanian, kehutanan
serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam
beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan,
perairan dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer,
pemodelan perubahan iklim global dan geologi bahkan pada bidang politik.
Inderaja disefenisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu
alat tampa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji.
Dalam indera sistem satelit, informasi keadaan permukaan bumi direkam oleh
sensor yang dapat menangkap sinyal gelombang elektromagnetik yang
dipantulkan oleh penampakan atau gejala yang terdapat dipermukaan bumi.
Sensor yang dipasang pada satelit harus peka terhadap beberapa panjang
gelombang elektromagnetik. Sinyal dapat memberikan data dan informasi tentang
keadaan permukaan bumi. Sinyal tersebut ditangkap dan kemudian dikirim ke
stasiun bumi atau direkam terlebih dahalu bila satsiun yang ada tidak dapat
dijangkau (lillesand & Kiefer, 1990).
Menurut Hartanto (1995) paling tidak terdapat beberapa fungsi inderaja
dalam perencanaan tata ruang di wilayah pesisir dan lautan ; pertama memberikan
informasi perubahan keruangan (spatial) dari waktu ke waktu. Kedua,
menggambarkan ruang saat ini untuk berbagai kegiatan. Mendapatkan data awal
yang akan ditransformasikan kedalam perangkat lain seperti GIS (Sistem
informasi geografis) untuk analisis perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan
lautan lebih lanjut. Keempat memberikan data luasan setiap penggunaan ruang
dengan menggunakan software tertentu (IDRISI, ERDAS, ErMapper), sehingga
25
akan memberikan gambaran yang lebih jelas dalam peruntukan ruang sesuai
dengan daya dukung ruang pada wilayah pesisir dan lautan. Dan kelima,
memudahkan perencanaan dalam melakukan pemetaan (manual maupun digital),
sehingga akan menghasilkan peta yang lebih akurat dalam perencanaan tata ruang
di wilayah pesisir dan lautan.
Beberapa cara untuk mengintegrasikan indraja dengan SIG dikemukakan
oleh Campbell (1997) adalah :
1. Foto udara dan hasil photography dari citra satelit (setelah diolah dan
diklasifikasikan) dintepretasikan secara manual dan dijadikan peta tematik seperti
: penutupan lahan, dapat didigitasi kedalam SIG
2. Data digital INDERAJA dianalisis dan diklasifikasikan secara digital, output
dari proses tersebut berupa peta konvensional kemudian didigitasi ke dalam SIG
3. Data digital dianalisis dan diklasifikasikan dengan menggunakan metode
digital otomatis dan hasilnya langsung dapat ditransfer ke dalam SIG.
4. Data mentah hasil INDERAJA dimasukkan langsung ke dalam SIG apabila
terdapat perangkat lunak yang dapat menganalisis data citra dan SIG sekaligus
Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan
lahan dibidang pertanian, kehutanan, serta pembangunan pemukiman penduduk
dan fasilitasnya (transportasi). Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG
telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi.
SIG juga telah digunakan dibidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan
geologi, terutama dengan menggunakan SIG tiga dimensi
Cara yang terbaik untuk integrasi INDERAJA dan SIG adalah proses
digital dan transfer data diantara kedua sistem tersebut. Penelitian yang
menggunakan data inderaja yang dioleh secara digital, otomatis, intepretasi dan
analisis data citra belum dapat diterima seutuhnya pada tingkatan ketelitian yang
diperlukan SIG. Banyak penelitian masih difokuskan pada aspek pemerosesan
digital seperti minimalisasi distorsi dan kesalahan selama transformasi data,
teknik otomatisasi yang lebih baik untuk mengintepretasi dan meningkatkan
ketelitian pada proses klasifikasi (David and Simon ; Davis et al., 1991)
26
Tabel 2 Beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya dibidang perikanan
APLIKASI KETERANGAN
1. Pengelolaan Lahan
Pembuatan beberapa profil DAS di areal kehutanan, lahan budidaya, daerah permukiman, perubahan garis pantai, tanah payau, tanah pasir dengan kemiringan 3-6% dan parameter lain dengan memperkirakan sumber air.
2. Pengelolaan habitat air tawar
Studi kasus dalam analisis dampak pencemaran. Membangun basis data untuk habitat potensial, data atribut dari kondisi habitat dan aliran arus, DAS, lokasi pembuangan bahan pencemar. Menggambarkan dampak di bagian hilir sungai terhadap potensi kehilangan produksi ikan. Analis habitat yang terpengaruh oleh bahan pencemar, dan konversi areal habitat untuk pemiliharaan ikan
3. Pengelolaan habitat laut
Membangun basis data untuk beberapa data atribut. Membangun kriteria untuk model kesesuaian habitat dengan menggambarkan hubungan antara variabel spasial. Overlay peta untuk memproduksi data yang dihasilkan.
4. Potensi Pengembangan budidaya
Dalam penentuan lokasi untuk sesuai dengan budidaya udang diperlukan beberapa data, antara lain ; salinitas, jenis tanah, pola curah hujan, penggunaan lahan (mangrove dan non-mangrove). Data yang digunakan merupakan parameter-parameter lingkungan dan infrakstruktur yang tersedia, penggunaan lahan, jenis tanah, hidrologi, geomorfologi pantai dan karakteritik meteorologi. Sedangkan untuk lokasi yang sesuai untuk pembenihan udangdan ikan data yang diperlukan adalah sebagai berikut : kualitas air, pola penggunaan lahan, jarak dari sumber air, geomorfologi dan jarak dari tambak
5. Studi Sumberdaya wilayah Pesisir
Identifikasi variabel sosial ekonomi yang terpengaruh akibat pembangunan diwilayah pesisir. Data yang digunakan adalah populasi, ketenagkerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, infrakstruktur dan fasilitas umum.
6. Studi indeks kepekaan lingkungan
Klasifikasi P. Sumatera bagian timur dan jawa barat bagian utara, kedalam 5 kelas tingkat kepekaan lingkungan terhadap pencemaran minyak
7. Perencanaan di wilayah pesisir
Berdasarkan karakteristik biofisik/ekologi dari wilayah pesisir dibandingkan dengan kriteria kebutuhan biofisik untuk berbagai kegiatan pembangunan. Wilayah pesisir Kalimantan Timur dapat dibagi menjadi beberapa tipe kegiatan pembangunan seperti pemukiman, sawah, tambak, pertambangan dan padang penggembalaan.
Sumber : Dahuri et al., 1996
Memadukan berarti ‘menyatukan’ memberikan implikasi adanya kesatuan
(dan konsistensi) dalam pengolahan data mulai dari awal sampai akhir, yang
mempertimbangkan adanya masalah ketidakkompitebelan antar data yang
disebabkan oleh bentuk, struktur asli serta sifat-sifatnya. Memadukan indraja dan
27
SIG sudah lama menjadi masalah, sehubungan dengan adanya perbedaan struktur
dan karakteristk data yang diperoleh melalui prosedur yang berbeda-beda
Terdapat beberapa keuntungan pada kombinasi pengunaan INDERAJA
dan SIG pada pengolahan informasi untuk studi (Davis and Simonet 1991 ; Davis
et al, 1991) yaitu :
1. Data INDERAJA dapat digunakan dengan cepat pada saat memperbaharui
peta, khususnya pada data hasil survey lapang yang lambat dan belum tentu
selesai pada selang waktu proyek.
2. Basis data dan SIG dapat menyediakan data tambahan untuk membantu dalam
klasifikasi atau analisis data INDERAJA, dengan demikian dapat meningkatkan
ketepatan peta yang dihasilkan. Sebagai contoh penambahan data seperti
topography, geologi tanah, dan sebagainya, dapat berguna sebagai penunjuk yang
vital bagi intepretasi penutupan lahan dibandingkan respon dari informasi spektral
data INDERAJA.
3. Data INDERAJA sangat bermanfaat sekali apabila dikombinasikan dengan
SIG dari sumber data lainnya, atau citra dari berbagai waktu dan spektrum yang
berbeda disajikan secara bersama-sama. SIG memiliki fasilitas untuk menerima
(integrasi) dari berbagai format data. Pekerjaan dengan SIG membutuhkan data,
khususnya data spasil yang teliti, penutupan spektral dan temporal untuk analisis
dan pemodelan fenomena-fenomena alami yang kompleks dan INDERAJA dapat
memberikan semua tuntutan data tersebut
2.7 Wisata Pantai
“Wisata” merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang
mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan wisata yang dapat
dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan menjadi 2
(dua) yaitu wisata pantai dan wisata laut (bahari). Wisata pantai lebih
mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat, sedangkan wisata laut
(bahari) lebih mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air lautnya
(Yulianda, 2007).
Kota Makassar mempunyai potensi dan daya tarik pariwisata yang cukup
banyak dan dapat dikembangkan (81 objek). Objek-objek tersebut adalah objek
wisata pulau, sungai dan pantai (26 objek), objek wisata budaya dan sejarah (11
28
objek), objek wisata pendidikan (8 objek) dan fasilitas olahraga 5 objek. Diantara
objek-objek tersebut, yang masih sangat minim dan kurang dikembangkanadalah
objek wisata pulau, sungai dan pantai, padahal objek tersebut memiliki potensi
yang sangat tinggi. Kota Makassar mempunyai potensi pariwisata yang potensial,
karena wilayahnya berada di dataran dengan ketinggian 0-25 m dengan panorama
alam yang indah,terutama di sepanjang pantai dengan beberapa pulau pulau kecil,
sehingga mempunyai berbagai potensi pariwisata perairan/bahari cukup banyak.
(Pemda Makassar, 2004)
Untuk Pariwisata Alam seperti pantai banyak dijumpai di daerah ini
sehingga Kota Makassar menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan untuk
mengunjungi tempat-tempat wisata alam dan wisata sejarah karena kota Makassar
dahulu dikenal dengan kota maritim dan niaga, bahkan bandar terbesar pada saat
itu, maka akan sulit kita melepaskan antara Kota Makassar dengan Sejarah,
budaya, maritim dan religius. Beberapa lokasi wisata antara lain adalah Benteng/
fort Rotterdam, makam Pangeran Diponegoro, Makam Raja raja Tallo,
Perkampungan multi etnis, dan objek wisata lainnya. Permasalahan yang dihadapi
dalam mengembangkan potensi tersebut adalah :Kurangnya sarana dan
infrastruktur pendukung pariwisata, masih kurangnya promosi, masih kurangnya
kerjasama dalam pengelolaan objek-objek pariwisata. seperti halnya potensi pada
11 pulau di kota Makassar yaitu : Pulau Kayangan, Lae-lae, Barang Lompo,
Barang Caddi, Kodingareng Lompo, Kodingareng Keke, Bone Tambung,
Lanjukang, Langkai, Lumu-lumu, yang keseluruhannya seluas 1,4 Km2. (Pemda
Makassar, 2004)
Luas wilayah Kota Makassar adalah 175,77 km2 yang terdiri atas 14
kecamatan dan 143 kelurahan. Makassar berbatasan langsung dengan Selat
Makassar, mempunyai garis pantai sepanjang 32 Km serta mencakup 11 pulau
dengan luas keseluruhan 178.5 Ha atau 1,1% dari luas wilayah daratan. Dengan
kondisi geografis yang demikian, maka prospek pengembangan wilayah pesisir
dan kepulauan dengan melakukan eksplorasi terhadap potensi kelautan dan
perikanan, harusnya sangat kondusif bagi peningkatan investasi. Seperti diketahui
bahwa pembangunan kelautan merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya alam
dan konservasi sumberdaya di kawasan pesisir dan laut di bidang perikanan
29
dengan tujuan pelesrtarian, pengendalian dan pengawasan sumber daya hayati dan
non hayati daerah pesisir, pantai, laut dan pulau-pulau kecil. Hal ini di dorong
oleh berbagai faktor yang mempengaruhi ekosistim pesisir, laut dan pulau-pulau
kecil yang terjadi di Kota Makassar seperti terjadinya tekanan pemanfaatan lahan
dan ruang serta SDA yang ada diwilayah tersebut secara tidak terkendali, terhadap
ekosistim wilayah pesisir. Sasaran pembangunan kelautan dan perikanan meliputi
terciptanya pemanfaatan, perlindungan, pengendalian dan pengawasan
sumberdaya kelautan dan perikanan dalam menjaga kelestarian ekosistim
pesisir,laut dan pulau-pulau kecil sekaligus meningkatkan taraf hidup
nelayan/masyarakat pesisir, terciptanya penataan ruang kawasan pesisir yang akan
mendorong pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, berwawasan
lingkungan dan berbasis masyarakat guna mencegah dan menanggulangi dampak
negatif terhadap lingkungan serta mewujudkan pengembangan pariwisata bahari.
(Pemda Makassar, 2004)
Dalam pengelolaan ekowisata, kegiatan pembangunan akan tetap berlanjut
apabila memenuhi tiga prasyarat daya dukung lingkungan yang ada. Pertama,
bahwa kegiatan ekowisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik
(ekologis) sesuai dengan kebutuhan dengan kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah
dari kegiatan ekowisata dan kegiatan lain yang dibuang kedalam lingkungan
pesisir/laut hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi atau kemampuan suatu
sistem lingkungan dalam menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran
lingkungan. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat
pulih hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumber daya tersebut dalam
kurun waktu tertentu (Dahuri, 1993). Sebaiknya untuk menjaga keberlanjutan
dari pengelolaan ekowisata maka lingkungan harus bebas dari limbah, artinya
tidak diberikan ruang untuk terjadinya pencemaran di daerah wisata
Selanjutnya Fandeli (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa usaha
yang dapat meningkatkan daya tarik wisata, usaha yang demikian ini antara lain:
1. Usaha sarana wisata, penyewaan peralatan renang, selam, selancar, dan
sebagainya.
2. Usaha jasa, jasa pemandu wisata dan jasa biro perjalanan.
30
Tipologi pariwisata yang menjadi alternatif kegiatan bahari saat ini adalah
kegiatan ekoturisme (wisata alam) yang mengandalkan keindahan alam. Dari
dimensi ekologis kegiatan ini jelas mengandalkan keindahan alam sehingga
kegiatan ini akan mendorong tindakan konservasi untuk mempertahankan daya
tariknya agar keuntungan ekonomi dari kegiatan pariwisata ini dapat
dipertahankan. Sementara itu aspek sosial masyarakat setempat dimana kegiatan
ekoturisme ini berlangsung sering mendapat manfaat ekonomi dari pengembangan
kegiatan jasa pendukung wisata, selain itu juga gangguan terhadap kehidupan
tradisional masyarakat umumnya sangat kecil sekali (Dahuri, 2003).
Saifullah (2000) mengungkapkan bahwa ada beberapa manfaat
pembangunan pariwisata :
1. Bidang ekonomi
Dapat meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Meningkatkan devisa, mempunyai peluang besar untuk mendapatkan devisa
dan dapat mendukung kelanjutan pembangunan di sektor lain.
Meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat, dengan belanja
wisatawan akan meningkatkan pendapatan dan pemerataan pada masyarakat
setempat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Meningkatkan penjualan barang-barang lokal keluar.
Menunjang pembangunan daerah, karena kunjungan wisatawan cenderung
tidak terpusat di kota melainkan di pesisir, dengan demikian amat berperan
dalam menunjang pembangunan daerah.
2. Bidang sosial budaya
Keanekaragaman kekayaan sosial budaya merupakan modal dasar dari
pengembangan pariwisata. Sosial budaya merupakan salah satu aspek
penunjang karakteristik suatu kawasan wisata sehingga menjadi daya tarik bagi
wisatawan. Sosial budaya dapat memberikan ruang bagi kelestarian sumber
daya alam, sehingga hubungan antar sosial budaya masyarakat dan konservasi
sumber daya alam memiliki keterkaitan yang erat. Oleh karena itu, kemampuan
melestarikan dan mengembangkan budaya yang ada harus menjadi perhatian
pemerintah dan lapisan sosial masyarakat.
31
3. Bidang lingkungan
Karena pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk pariwisata pada dasarnya
adalah lingkungan dan ekosistem yang masih alami, menarik, dan bahkan unik,
maka pengembangan wisata alam dan lingkungan senantiasa menghindari
dampak kerusakan lingkungan hidup, melalui perencanaan yang teratur dan
terarah. Atraksi-atraksi yang dikembangkan harus sesuai dengan kaidah-kaidah
alami sehingga katerkaitan antara potensi ekosistem dengan kegiatan wisata
dapat berjalan seiring saling melengkapi menjadi satu paket ekowisata.
Berhasil tidaknya pengembangan daerah tujuan wisata sangat tergantung
pada tiga faktor utama, yaitu: atraksi, aksessibilitas dan amenitas (Samsuridjal dan
Kaelany, 1997). Betapapun baik dan menariknya suatu atraksi yang dapat
ditampilkan oleh daerah tujuan wisata, belum menarik minat wisata untuk
berkunjung karena masih ada faktor lain yang menjadi pertimbangan menyangkut
fasilitas-fasilitas penunjang yang memungkinkan mereka dapat menikmati
kenyamanan, keamanan, dan alat-alat telekomunikasi. Walaupun keberadaan
sarana dan prasarana sangat dibutuhkan, namun pengembangannya harus
menghindari bahaya eksploitasi, sehingga lingkungan hidup tidak mengalami
degradasi (Soewantoro, 2001).
2.8 Pemanfaatan Perikanan
Indonesia mempunyai potensi perikanan pantai dengan luas area sekitar 5
km dari garis pantai ke arah laut sedangkan potensi lahan kegiatan budi daya laut
diperkirakan sekitar 24,53 juta hektar yang terbentang dari ujung bagian barat
Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia. Produksi perikanan budi
daya Indonesia sampai tahun 2005 mencapai 1.295.300 ton. Meski demikian,
jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara produsen
perikanan lainnya seperti China, India, Jepang dan Filipina. Pada tahun 2005 saja
produksi perikanan budidaya China sudah mencapai sekitar 32.444.000
tonSementara itu dari sisi potensi lahan, total lahan budi daya di kawasan pesisir
(budidaya udang/tambak) mencapai 913.000 hektar yang tersebar di 28 propinsi.
Namun demikian, pemanfaatan lahan budi daya untuk tambak baru mencapai
sekitar 40 persen atau 344.759 hektar. Sebagai ilustrasi, dengan produktivitas
tambak sebesar 3 ton/ha maka apabila seluruh potensi lahan dimanfaatkan maka
32
produksi yang bisa dihasilkan dari budi daya di kawasan pesisir mencapai
2,739,000 ton per musim tanam atau kurang lebih 5,478,000 ton per tahun. (DKP,
2007)
Luasnya perairan pantai dengan pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia merupakan potensi yang cukup besar dalam pengembangan
budidaya laut (mariculture). Jenis-jenis biota laut yang dapat dibudidayakan
antara lain ikan-ikan karang, kerang dan tiram, rumput laut (algae), teripang, dan
kuda laut. Menurut Sunyoto (2000), penentuan lokasi untuk budidaya ikan kerapu
dengan metode keramba jaring apung (KJA) harus mempertimbangkan beberapa
faktor, seperti: terlindung dari badai dan gelombang besar, jauh dari pencemaran,
tidak berada dalam alur pelayaran, kondisi perairan sesuai (salinitas 33-35 ppt,
suhu 27-32°C, kecepatan arus 0,2-0,5 m/det, DO ≥ 4 p pm, p H antara 7 .6 -8.7,
amonia 0,1 ppm, BOD5
< 5 ppm, serta total bakteri < 3000 sel/m3
Lahan budidaya rumput yang cocok terutama sangat ditentukan oleh
kondisi ekologis yang meliputi kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi.
Adapun persyaratan lahan budidaya Eucheuma sp. adalah:
.
• Lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan langsung ombak yang kuat.
• Lokasi budidaya harus mempunyai gerakan air yang cukup. Kecepatan arus
yang cukup untuk budidaya Eucheuma sp. 20 - 40 cm/detik.
• Dasar perairan budidaya Eucheuma sp. adalah dasar perairan karang
berpasir.
• Pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 30 cm.
• Kejernihan air tidak kurang dari 5 m dengan jarak pandang secara horisontal.
• Suhu air berkisar 27 -30°C dengan fluktuasi harian maksirnaI 4°C.
• Salinitas (kadar garam) perairan antara 30 -35 permil (optimum sekitar 33
permil).
• pH air antara 7 -9 dengan kisaran optimum 7,3 -8,2
• Lokasi dan lahan sebaiknya jauh dari pengaruh sungai dan bebas dari
pencemaran.
Pemilihan lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut menurut Indriani
dan Suminarsih (1999) adalah sebagai berikut : lokasi harus bebas dari pengaruh
angin topan, tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, mengandung
33
makanan (nutrien) untuk tumbuhnya rumput laut, bebas dari pencemaran industri
dan rumah tangga, lokasi mudah dijangkau sehingga tidak memberatkan biaya
transportasi, serta dekat dengan sumber tenaga kerja.
Pembangunan perikanan dipengaruhi oleh kondisi geografis Kota
Makassar yang merupakan wilayah daratan dan kepulauan sehingga peningkatan
potensi perikanan diarahkan pada pendayagunaan potensi sumberdaya perikanan
dan kelautan dengan sasaran meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya baik
rumput laut, keramba jaring apung maupun pengembangan budidaya ikan hias .
Sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan salah satu kekayaan alam yang
harus dikelola dan didayagunakan sebagai piranti kekuatan ekonomi riil dan
dapat dikembangkan sebagai lokomotif perekonomian bagi kemakmuran
masyarakat oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan
bukan hanya berorientasi pada peningkatan produksi saja namun pengembangan
dan pengelolaan diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan.
2.9 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penyebab penurunan kualitas perairan pantai Losari diduga berasal dari
tiga sumber yang dominan yaitu adanya pemusatan penduduk di kota, kegiatan
industri di sekitar kota makassar dan kegiatan pertanian di hulu sungai Jeneberang
serta Sungai Tallo. Terpusatnya penduduk di kota menghasilkan limbah dalam
jumlah yang besar. Selanjutnya limbah tersebut masuk ke dalam perairan pantai
Losari melalui run-off dan mengakibatkan pendangkalan pantai serta perubahan
beberapa parameter kaulitas air seperti kandungan DO, BOD, COD, peningkatan
kandungan deterjen dan munculnya senyawa-senyawa beracun dan eutrofikasi.
Kegiatan industri yang ada di kota Makassar diduga ikut mempengaruhi
penurunan kualitas perairan pantai Losari. Dalam banyak hal limbah industri
walaupun telah diproses di IPAL, namun kualitasnya masih jelek (nilainya masih
di atas ambang batas yang telah ditetapkan) saat dibuang ke laut, sehingga masih
berpengaruh terhadap kualitas ekosistim perairan. Jenis bahan pencemar yang
berasal dari industri adalah bahan organik yang degrdable dan non degradable
(persisten) menyebabkan perubahan DO, BOD, COD, TSS, dan eutrofikasi
Samawi (2007). Selanjutnya dikatakan bahwa pencemaran terbesar yang masuk
ke pantai Makassar adalah bahan organik dan padatan tersuspensi yang
34
mengakibatkan terjadinya pencemaran pantai pada kategori ringan. Persepsi dan
partisipasi masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran perairan pantai
Kota Makassar termasuk kategori tinggi. Kota Makassar mempunyai tiga tipologi
aliran beban limbah
Analisis tentang keberlanjutan pengelolaan pesisir di Makassar
diungkapkan oleh Bohari (2010) bahwa Secara multidimensi, wilayah pesisir
Kota Makassar untuk pengembangan kawasan pesisir termasuk dalam status
kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 41,09 %. Status
keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar pada setiap dimensi masing-masing
dimensi ekologi termasuk dalam status kurang berkelanjutan (47,13%), Dimensi
ekonomi cukup berkelanjutan (53,89%), dimensi sosial-budaya kurang
berkelanjutan (34,82 %), dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan
(13,28 %) dan dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan (50,74 %)
Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kimia air yang berperan
pada kehidupan biota perairan. Penurunan okasigen terlarut dapat mengurangi
efisiensi pengambilan oksigen bagi biota perairan sehingga menurunkan
kemampuannya untuk hidup normal. Menurut Lung (1993), kelarutan oksigen
minimum untuk mendukung kehidupan ikan adalah sekitar 4 ppm. Nilai oksigen
terlarut di perairan pantai Losari adalah berkisar antara 4,48 - 8,3 ppm. Nilai
tersebut masih mendukung kehidupan biota perairan yaitu minimum 4, 0 ppm.
Namun berdasarkan kriteria Miller dan Lygre (1994) yang didasarkan pada
kandungan oksigen terlarut, maka kondisi perairan pantai Losari sudah termasuk
kategori agak tercemar (DO = 6,7 - 7,9 ppm) sampai tercemar sedang (DO = 4,5
- 6,6 ppm). Nilai DO suatu perairan mempunyai sifat yang terbalik dari indikator
lainnya, nilai DO yang semakin tinggi mempunyai indikasi yang semakin baik
sementara semakin rendah maka semakin buruk kualitas perairan tersebut
Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) adalah banyaknya oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi. Sama halnya
dengan BOD, COD juga digunakan menduga jumlah bahan organik yang dapat
dioksidasi secara kimia. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai COD perairan
Pantai Losari sudah cukup tinggi yaitu berkisar antara 32 – 82 ppm. Mutu air yang
baik untuk standar kualitas air limbah adalah 40 ppm (Allaert, 1984). Sedang nilai
35
COD yang paling tinggi untuk kehidupan biota perairan adalah sekitar 10 ppm,
dan untuk kebutuhan mandi dan renang lebih kecil dari 30 ppm Hasil penelitian
Samawi (2007) dan Bohari (2009), memperlihatkan hasil ternyata perairan pantai
Losari telah terkontaminasi oleh logam berat antara lain besi (Fe), timbal (Pb) dan
tembaga (Cu). Kandungan logam besi yang terukur adalah berkisar antara 0,00513
– 0,0324 ppm , timbal (Pb) sekitar 0,008 – 0,780 ppm dan tembaga (Cu) berkisar
antara 0,027 – 0,039 ppm. Kehadiran jenis logam ini akan mengancam kehidupan
biota perairan karena logam tersebut selain mempunyai sifat peracunan kronis
juga bersifat akut
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di sekitar pantai kota
Makassar yang berlokasi di daerah muara sungai Jenneberang dan Sungai Tallo
dan Kepmen LH No 51 tahon 2004 memperlihatkan variasi hasil pada tabel 3
Tabel 3. Nilai Beberapa parameter kualitas air di Muara Sungai Tallo dan Jenneberang
No Parameter Kualitas Air
Unit Nilai Baku Mutu Air Laut
I Fisik 1 TSS* ppm 54 – 397 80 2 Suhu* oC 30 – 32 Alami II Kimia 1 DO* ppm 3,80 – 5,10 >5 2 BOD5* ppm 2,30 – 2,70 20 3 COD* ppm 98,0 – 156,0 80 4 pH* - 7,75 – 8,14 6 – 9 5 Besi (Fe)** ppm 0,00513 – 0,0324 - 6 Timbal (Pb)** ppm 0,008 – 0,780 0,008 7 Tembaga (Cu)** ppm 0,027 – 0,039 0,008 Sumber : * = Samawi, 2009 ** = Bohari, 2010
BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan untuk mendegrdasi bahan
organik secara biokimia, sehingga juga dapat diartikan sebagai ukuran bahan yang
dapat dioksidasimelalui proses biokimia. Jadi semakin inggi kandungan BOD
semikin tercemar perairan tersebut. Oleh karena itu, tujuan pemeriksaan BOD
adalah untuk menentukan pencemaran air akibat limbah domestik atau limbah
industri. Hasil penelitian Mispar (2001), menunjukkan nilai BOD di perairan
36
pantai Losari berkisar antara 1,8 - 8,64 ppm. Menurut Miller dan Lygre (1994),
jika nilai BODdi atas dari 5,0 ppm maka perairan tersebut tergolong tercemar,
sedang Mahida (1984) menganjurkan kadar BOD yang aman adalah tidak lebih
dari 4 ppm. Dengan demikian, berdasarkan nilai BOD , perairan pantai Losari
termasuk ke dalam kategori tercemar ringan - sedang.
Kualitas perairan pantai dapat diindikasikan juga dari jumlah dan
kelimpahan organism makroozoobenthos. Hasil penelitian Samawi (2007),
menunjukkan bahwa jumlah kelas benthos yangditemukan di muara Sungai Tallo
lebih rendah yaitu sebanyak 8 (delapan) kelas sedang di muara sungai Jeneberang
sebanyak 6 kelas. Namun kelimpahan organisme benthos di muara sungai
Jenneberang lebih tinggi (16 - 64 individu/m2) dibanding muara Sungai Tallo (16
- 48 individu/m2). Hal ini menandakan bahwa stabilitas ekosistim muara sungai
Tallo relatif lebih baik dari pada muara Sungai Jenneberang, sehingga
memungkinkan beragam individu khususnya makrozoobenthos dapat hidup dan
beradaptasi di lingkungan tersebut, hal ini dilihat dari indikator organisme benthos
pada tabel 4.
Tabel 4. Jenis dan kelimpahan makrozoobenthos yang ditemukan di muara Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang
No Jenis Kelas Benthos Muara Sungai Tallo
Muara Sungai Jenneberang
1 Pholas dactylus 16 - 2 Botitium reticulatum 32 32 3 Mya arenaria 32 32 4 Montacuta ferruginosa 32 - 5 Anadara sp 48 64 6 Apseudes latrelei 32 - 7 Calapppa granulata 48 - 8 Eunice harastii 32 - 9 Centium vulagatum - 64 10 Astarta boraelis - 16 11 Tellina distorta - 16
Sumber : Samawi, 2007
37
Salah satu indikator yang dijadikan acuan kualitas lingkungan suatu
perairan adalah kandungan padatan tersuspensi. Kandungan total padatan
tersuspensi (TSS) yang terukur di perairan pantai Losari sudah sangat tinggi yaitu
sekitar 104 - 456 ppm yang dibawa oleh aliran Sungai Tallo dan Jenneberang
(Mispar, 2001). Perairan yang mempunyai nilai kandungan padatan tersuspensi
sebesar 300 - 400 ppm mutu perairan tersebut tergolong buruk (Allert, 1984).
Berdasarkan kandungan TSS, perairan pantai Losari termasuk kategori tinggi
karena kandungan padatan tersuspensinya jauh di atas ambang batas yang
diinginkan yaitu 23 ppm (Monoarfa, 2002)