2 tinjauan pustaka 2.1 deskripsi dan klasifikasi tumbuhan ... · 2.1 deskripsi dan klasifikasi...
TRANSCRIPT
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tumbuhan Api-Api (A. marina)
Ekosistem mangrove merupakan sumber alami tannin dan kayu yang
bernilai tinggi. Sebagai contoh, batang kayu rizhopora yang keras digunakan
untuk pembuatan kapal tahan rayap dan organisme laut (Rao 1994). Tanaman
mangrove dipakai sebagai obat masyarakat untuk mengobati beragam penyakit
selama berabad-abad. Beberapa tanaman mangrove telah ditapis beberapa
aktivitasnya, yaitu antiviral, antibakteri, antibisul, dan antiinflamasi
(Agoramoorthy et al. 2008)
Tumbuhan A. marina merupakan salah satu jenis mangrove yang sudah
lama dikenal oleh penduduk di Indonesia, mereka mengenalnya dengan nama
yang berbeda-beda tergantung pada daerah masing-masing. Di Pulau Jawa
tumbuhan ini dikenal dengan nama pohon Api-api, di Pulau Bali dikenal dengan
nama pohon Prapat dan di Sumatera Selatan dikenal dengan nama kayu Api-api
betina (Yusuf 2010). Bentuk dan morfologi daun Api-api dapat dilihat pada
Gambar 1. Klasifikasi A. marina menurut Duke et al. (2008) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Filum : Thacheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Avicenniaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia marina (Forsk.) Vierh
Gambar 1 Daun Api-api (A. marina) (Sumber: Borkar et al. 2011)
5
Tanaman Api-api (A. marina) termasuk pepohonan semak hingga medium
dengan ketinggian 2-5 meter (Peng dan Xin-men 1983). Spesies ini ditemukan
dari daerah hilir hingga pertengahan perairan payau di semua kawasan pasang
surut (Robertson dan Alongi 1992). Menurut Peng dan Xin-men (1983) A. marina
ditemukan di mulut sungai atau di area pasang terendah dan toleran terhadap
salinitas maksimum air payau, yaitu 85 ppt (part per thousand). Pertumbuhan
optimal terdapat pada salinitas 0-30 ppt (Robertson dan Alongi 1992).
Supriharyono (2002) menyatakan bahwa A. marina merupakan salah satu jenis
penyusun magrove yang dapat bertahan pada tempat-tempat yang bersalinitas
hingga lebih dari 90 ‰.
Tanaman Api-api (A. marina) memiliki banyak sekali manfaat dan
kegunaan, baik dalam bidang pangan, pakan, perumahan, farmasi dan lain
sebagainya. Yusuf (2010) menyebutkan, tumbuhan kayu Api-api (A. marina)
dapat digunakan untuk kayu bakar, perabot rumah tangga, mengasapi ikan, juga
dapat digunakan untuk membuat lumpang padi. Kulit batangnya dapat
dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional misalnya obat sakit gigi, dan
menurut Yusuf (2010) kulit batangnya mempunyai khasiat terhadap penurunan
produksi hormon seksual (afrodisiaka) dan sering digunakan sebagai antifertilitas.
Buahnya dapat dimakan dengan merebusnya terlebih dahulu, kemudian direndam
semalam lalu dibersihkan dari kotorannya. Api-api (A. marina) secara tradisional
telah dimanfaatkan sebagai obat-obatan untuk rematik, cacar air, borok/bisul dan
penyakit ringan lainnya (Bandaranayake 2002). Tariq et al. (2007) menyatakan
bahwa A. marina melepaskan senyawa- senyawa yang bersifat toksik terhadap
nematoda yaitu phenol, tannin, azadirachtin dan ricinin.
2.2 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul
tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul
atau sel lain. Beberapa contoh senyawa Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang
ditemukan pada organisme hidup adalah superoksida (O2*), hidroksil (OH*),
peroksil (RO2*), alkoksil (RO*) dan hidroperoksil (HO2*). Nitrit oksida dan
nitrogen oksida (*NO2) adalah dua radikal bebas nitrogen. Radikal bebas oksigen
dan nitrogen dapat dikonversi menjadi spesies reaktif non radikal lain, misalnya
6
hidrogen peroksida, asam hipoklorit (HOCl), asam hipobromous (HOBr), dan
peroksinitrit (ONOO-). Reactive Oxygen Spesies (ROS), Reactive Nitrogen
Spesies (RNS) diproduksi di dalam tubuh manusia secara fisiologis dan patologis
(Fang et al. 2002).
Radikal bebas dapat menyebabkan oksidasi DNA, sehingga DNA
termutasi dan menimbulkan kanker (Muchtadi 2000). Radikal bebas merupakan
penyebab timbulnya penyakit jantung koroner. Hal ini dikarenakan molekul besar
lemak yang disebut LDL atau low density lipoprotein teroksidasi oleh radikal
bebas akan mengendap di pembuluh darah jantung sehingga menjadi sempit dan
aliran darah terganggu sehingga sebagian sel-sel jantung tidak cukup makanan dan
mati. Selain itu, kerusakan protein akibat elektronnya diambil oleh radikal bebas
dapat mengakibatkan sel-sel jaringan tempat protein berada menjadi rusak dan
banyak terjadi pada lensa mata sehingga menyebabkan penyakit katarak
(Kumalaningsih 2006).
2.3 Antioksidan
2.3.1 Definisi antioksidan, jenis dan sumbernya
Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi. Dalam arti khusus,
antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi
oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochar dan Rossell 1990). Sauriasari
(2006) menyatakan bahwa antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh
bahaya radikal bebas atau Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang terbentuk sebagai
hasil dari metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi- reaksi kimia dan proses
metabolik yang terjadi di dalam tubuh.
Antioksidan merupakan garis depan pertahanan kita untuk melawan
kerusakan yang disebabkan radikal bebas. Kebutuhan antioksidan bahkan menjadi
lebih kritis seiring meningkatnya kehadiran radikal bebas (Percival 1998).
Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk
mempertahankan mutu pangan produk. Berbagai kerusakan misalnya ketengikan,
perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada
produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan (Trilaksani 2003).
7
Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya
antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan
yang diperoleh dari hasil sintesis kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil
ekstraksi bahan alami) (Trilaksani 2003)
1) Antioksidan sintetik
Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk
makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar di
seluruh dunia, yaitu Butylated Hidroxy Anisol (BHA), Butylated Hidroxy Toluen
(BHT), propil galat, Tert-Butylated Hidroxy Quinone (TBHQ) dan tokoferol.
Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara
sintesis untuk tujuan komersial (Buck 1991)
Butilated Hidroxy Anisole memiliki kemampuan antioksidan yang baik
pada lemak hewan dalam sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif
pada minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk
padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga
berguna untuk penambahan ke materi pengemas (Buck 1991; Coppen 1983)
Antioksidan BHT memiliki sifat serupa BHA, dan akan memberikan efek
sinergis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk kristal padat putih dan
digunakan secara luas karena relatif murah (Sherwin 1990). Antioksidan propil
galat mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik
cairnya 148 oC, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga
kemampuan antioksidannya rendah. Propil galat berbentuk kristal padat putih,
sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA
dan BHT (Buck 1991). Rahardjo & Hernani (2006) menyatakan bahwa kedua
senyawa antioksidan (BHT dan BHA) tersebut banyak dimanfaatkan dalam
industri makanan dan minuman, namun beberapa hasil penelitian yang dilakukan
oleh para ilmuwan telah membuktikan bahwa antioksidan tersebut mempunyai
efek samping yang tidak diinginkan, yaitu berpotensi sebagai karsinogenik
terhadap efek reproduksi dan metabolisme, bahkan dalam jangka waktu lama tidak
terjamin keamanannya.
Tert-Butylated Hidroxy Quinone (TBHQ) dikenal sebagai antioksidan
paling efektif untuk lemak dan minyak, khususnya minyak tanaman karena
8
memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada penggorengan tetapi rendah
pada pembakaran. Tert-Butylated Hidroxy Quinone (TBHQ) direkomendasikan
dengan BHA yang memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada
pemanggangan, maka akan memberikan kegunaan yang lebih luas. Antioksidan
TBHQ berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan cukup
pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu
tetapi dapat berubah menjadi warna merah jambu dengan adanya basa (Buck
1991). Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan pada
hampir di setiap minyak tanaman, tetapi saat ini telah dapat diproduksi secara
kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut
dalam lipida karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari
tokoferol belum diketahui, tetapi α-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E.
Di dalam jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung α->β->γ->δ-
tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik δ->γ->β-> α-tokoferol
(Belitz et al. 2009). Tetapi menurut Sherwin (1990), urutan tersebut terkadang
bervariasi tergantung pada substrat dan kondisi lain.
2) Antioksidan alami
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi- reaksi selama proses pengolahan, (c)
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke
makanan sebagai bahan tambahan (Pratt 1992). Senyawa antioksidan alami
diantaranya adalah asam fenolik, flavonoid, β- karoten, vitamin E (tokoferol),
vitamin C, asam urat, bilirubin dan albumin (Gheldof et al. 2002). Zat-zat gizi
mineral misalnya mangan, seng, tembaga dan selenium juga berperan sebagai
antioksidan (Mega dan Swastini 2010).
Antioksidan berdasarkan aktivitasnya dapat dibedakan menjadi antioksidan
primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat
menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepas atom hidrogen.
Zat- zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula buatan
misalnya tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, asam askorbat, BHA, BHT
PG (Propylgalate), dan NDGA (NorDihidro Guaioretic Acid) (Winarno 1980).
9
Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja
prooksidan sehingga dapat digolongkan secara sinergik. Beberapa asam organik
tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam
(sequestran). Contoh lain antioksidan sekunder antara lain turunan-turunan asam
fosfat, senyawa karoten, sterol, fosfolipid, dan produk-produk reaksi Maillard.
Tujuan dasar dari antioksidan sekunder adalah mencegah terjadinya radikal yang
paling berbahaya yaitu radikal hidroksil (BlueFame Forums 2008)
Ketaren (1986) menyatakan bahwa umumnya antioksidan memiliki
struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai
gugus hidroksil atau asam amino. Antioksidan berdasarkan gugus fungsinya
dibagi atas tiga golongan, yaitu golongan fenol, amin dan aminfenol. Adapun
penggolongan antioksidan menurut Ketaren (1986), adalah sebagai berikut:
1) antioksidan golongan fenol
Antioksidan yang termasuk golongan ini biasannya memiliki ciri intensitas
warna yang rendah atau tidak berwarna sama sekali dan banyak digunakan karena
beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang
dihasilkan alam dan sejumlah kecil antioksidan sintesis. Beberapa contoh
antioksidan yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon, gosipol, katekol,
resorsiol, dan eugenol.
2) antioksidan golongan amin
Antioksidan yang mengandung gugus amino dan diamino yang terikat
pada cincin benzene berpotensi tinggi sebagai antioksidan, namun beracun dan
biasanya menghasilkan warna yang intensif jika dioksidasi atau bereaksi dengan
ion logam, selain itu umumnya stabil pada suhu panas dan ekstrasi dengan
kaustik. Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini adalah N,N difenilen
diamin, difenilhidrasin, difenil guanidine dan difenil amin.
3) antioksidan golongan aminfenol
Antioksidan golongan aminfenol biasanya mengandung gugus fenolat dan
amino sebagai gugus fungsional penyebab aktivitas antioksidan. Golongan
aminfenol banyak digunakan dalam industri petroleum, untuk mencegah
terbentuknya gum dalam gasolin, contohnya N-butil-p-amino-fenol dan N-
sikloheksil-p-amino-fenol. Adanya gugus hidroksil (-OH) dan amino (-NH2) yang
10
terikat pada cincin aromatis memegang peranan penting dalam aktivitas
antioksidan. Potensi antioksidan tersebut diperbesar oleh adanya substitusi gugus
lain yang terikat pada cincin aromatis.
2.3.2 Mekanisme Oksidasi Lemak
Meyer (1973) dan Hamilton (1983) menyebutkan bahwa autooksidasi
lipida berlangsung dalam dua tahap. Selama tahap pertama autooksidasi berjalan
lambat dengan laju kecepatan seragam. Tahap pertama ini sering disebut periode
induksi. Oksidasi periode induksi ini berlangsung beberapa waktu sampai pada
waktu titik tertentu dimana reaksi memasuki tahap kedua yang mempunyai laju
oksidasi dipercepat. Laju pada oksidasi tahap kedua beberapa kali lebih cepat dari
laju oksidasi tahap pertama. Umumnya lemak dan minyak mulai terasa tengik
pada awal tahap kedua. Asam lemak yang memiliki ikatan rangkap lebih banyak
(misalnya asam linoleat) bereaksi lebih cepat dibanding yang berikatan rangkap
lebih sedikit (asam oleat) sehingga periode induksinya lebih pendek.
Mekanisme oksidasi lipida tidak jenuh dimulai dengan tahap inisiasi, yaitu
terbentuknya radikal bebas (R*) bila lipida kontak dengan panas, cahaya, ion
metal dan oksigen. Reaksi ini terjadi pada group metilen yang berdekatan dengan
ikatan rangkap –C=C- (Buck 1991). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gordon
(1990) bahwa tahap inisiasi terjadi karena bantuan sumber energi eksternal
misalnya panas, cahaya atau energi tinggi dari radiasi, inisiasi kimia dengan
terlarutnya ion logam dan metaloprotein misalnya haem.
Tahap selanjutnya adalah tahap propagasi dimana autooksidasi berawal
ketika radikal lipida (R*) hasil tahap inisiasi bertemu dengan oksigen membentuk
radikal peroksida (ROO*). Reaksi oksigenasi ini terjadi sangat cepat dengan
energi aktivitas hampir nol sehingga konsentrasi ROO* yang terbentuk jauh lebih
besar dari konsentrasi R* dalam system makanan dimana oksigen berada (Gordon
1990). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengekstrak ion hidrogen dari
lipida lain (R1H) membentuk hidroperoksida (ROOH) dan molekul radikal lipida
baru (R1*). Selanjutnya reaksi autooksidasi ini akan berulang sehingga
merupakan reaksi berantai.
Tahap terakhir oksidasi lipida adalah tahap terminasi, dimana
hidroperoksida yang sangat tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik
11
berantai pendek yaitu aldehid, keton, alkohol dan asam (Trilaksani 2003). Buch
(1991) menyebutkan faktor-faktor dan kondisi yang dapat ikut berperan pada
oksidasi lipida antara lain (a) panas, setiap peningkatan suhu sebesar 10 oC laju
kecepatan meningkat dua kali lipat, (b) cahaya, terutama ultraviolet yang
merupakan inisiator dan katalisator kuat, (c) logam berat, logam terlarut misalnya
Fe, Cu merupakan katalisator kuat meski dalam jumlah kecil, (d) kondisi alkali,
kondisi basa, ion alkali merangsang radikal bebas, (e) tingkat ketidakjenuhan,
jumlah dan posisi ikatan rangkap pada molekul lipida berhubungan langsung
dengan kerentanan terhadap oksidasi, sebagai contoh asam linoleat lebih rentan
dibanding asam oleat, dan (f) ketersediaan oksigen.
2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan
Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom
hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sebagai
antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat
ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara
turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding
radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu
memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme
pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih
stabil (Gordon 1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
maupun propagasi. Radikal- radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi
tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi
dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru. Menurut Hamilton
(1983) radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non
radikal. Mekanisme penghambatan antioksidan primer dapat dilihat pada
Gambar 2.
12
Gambar 2 Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida
(Gordon 1990)
Besarnya konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh
pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik
sering lenyap, bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah
konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan
sampel yang akan diuji.
AH + O2 ----------------------------- A* + HOO*
AH + ROOH ----------------------------- RO* + H2O + A*
Gambar 3 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi
(Gordon 1990)
Trilaksani (2003) berpendapat bahwa penghambatan oksidasi lipida oleh
antioksidan melalui lebih dari satu mekanisme tergantung pada kondisi reaksi dan
sistem makanan. Ada empat kemungkinan mekanisme penghambatan tersebut
yaitu (a) pemberian hidrogen, (b) pemberian elektron, (c) penambahan lipida pada
cincin aromatik antioksidan, (d) pembentukan kompleks antara lipida dan cincin
aromatik antioksidan. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa ketika atom
hidrogen labil pada suatu antioksidan tertentu diganti dengan deuterium,
antioksidan tersebut menjadi tidak efektif. Hal ini menunjukkan bahwa
mekanisme penghambatan dengan pemberian atom hidrogen lebih baik dibanding
pemberian elektron. Beberapa peneliti percaya bahwa pemberian hidrogen atau
elektron merupakan mekanisme utama. Sementara pembentukan kompleks antara
antioksidan dengan rantai lipida adalah reaksi sekunder.
Antioksidan sekunder, misalnya asam sitrat, asam askorbat, dan esternya,
sering ditambahkan pada lemak dan minyak sebagai kombinasi dengan
antioksidan primer. Kombinasi tersebut dapat memberi efek sinergis sehingga
Inisiasi ; R* + AH --------------------------RH + A*
Radikal lipida Antioksidan
Propagasi : ROO* + AH ------------------------- ROOH + A*
13
menambah keefektifan kerja antioksidan primer. Antioksidan sekunder ini bekerja
dengan satu atau lebih mekanisme berikut (a) memberikan suasana asam pada
medium (sistem makanan), (b) meregenerasi antioksidan lama, (c) mengkelat atau
mendeaktifkan kontaminan logam prooksidan, (d) menangkap oksigen, (e)
mengikat singlet osigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen (Gordon
1990)
Trilaksani (2003) menegaskan bahwa antioksidan sebaiknya ditambahkan
ke lipida seawal mungkin untuk menghasilkan efek maksimum. Menurut Coppen
(1983), antioksidan hanya akan benar-benar efektif bila ditambahkan seawal
mungkin selama periode induksi, yaitu suasana periode awal oksidasi lipida
terjadi, dimana oksidasi masih berjalan secara lambat dengan kecepatan seragam.
2.3.4 Metode uji aktifitas antioksidan
Pengujian anti radikal bebas senyawa-senyawa bahan alam atau sintesis
dapat dilakukan secara reaksi kimia dengan menggunakan 1,1-Di Phenyl-2-Picryl
Hydrazyl (DPPH) sebagai senyawa radikal bebas yang stabil dengan melihat
proses penghambatan panjang gelombang maksimumnya pada spektrofotometer
UV-Vis. Molyneux (2004) mengemukakan bahwa metode uji DPPH merupakan
salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan efisiensi
kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan. Hannani et al. (2005)
juga menambahkan bahwa metode DPPH dipilih karena sederhana, murah, cepat
dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel.
1,1-Di Phenyl-2-Picryl Hydrazyl ( DPPH ) merupakan radikal bebas yang
stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas
antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Prinsip dari uji aktivitas
antioksidan dengan DPPH adalah DPPH yang menerima elektron atau radikal
hidrogen akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan
dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH,
akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron radikal
bebas pada DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu
tua menjadi kuning terang dan arbsorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan
hilang (Suratmo 2009).
14
Penghambatan warna ungu merah (absorbansi pada 517 ± 20 nm)
dikaitkan dengan kemampuan sebagai anti radikal bebas (free radical scavenger)
(Mega dan Swastini 2006). Molyneux (2004) mengatakan bahwa DPPH adalah
radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokalisasi
elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif
sebagaimana radikal bebas lain. Proses delokalisasi ini ditunjukkan dengan
adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi
dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm.
Adapun reaksi penghambatan DPPH dengan senyawa anti radikal bebas
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Contoh mekanisme penghambatan antioksidan (tokoferol) terhadap
radikal bebas (DPPH) (Mega dan Swastini 2010)
Gugus- gugus fungsi yang diduga terlibat pada reaksi antara senyawa
antiradikal bebas adalah gugus –OH dan ikatan rangkap dua (-C=C-). Kapasitas
aniradikal bebas DPPH diukur dari penghambatan warna ungu merah dari DPPH
pada panjang gelombang 517 ± 20 nm (Mega dan Swastini 2010).
15
2.4 Ekstraksi Senyawa Aktif
Khopkar (2003) menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu proses
penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan
satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber
komponennya. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah
lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Ekstraksi dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu fase air dan fase organik. Fase air dilakukan dengan
menggunakan pelarut air dan fase organik merupakan ekstraksi yang dilakukan
dengan menggunakan pelarut organik (Winarno et al. 1973). Hal yang harus
diperhatikan dalam pemilihan jenis pelarut yang digunakan adalah daya
melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif
terhadap peralatan ekstraksi.
Menurut Harborne (1984) hal lain yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan pelarut adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas,
kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut. Jenis dan mutu pelarut yang
digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi, pelarut yang
digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih
yang rendah, murah, tidak toksik dan tidak mudah terbakar (Ketaren 1986). Nur
dan Adijuwana (1989) menyatakan bahwa sifat penting yang harus diperhatikan
dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus
polarnya (misal gugus OH, COOH). Derajat polaritas tergantung pada konstanta
dielektrik, makin besar konstanta dielektrik semakin polar pelarut tersebut.
Beberapa pelarut organik dan sifat-sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
Pelarut Rumus
molekul
Titik didih
(oC)
Titik beku
(oC)
Konstanta
dielektrik
(Debye)
Masa molar
(g/mol)
Heksana C6H14 69 -94 1,8 32,0
Etil asetat C4H8O2 77 -84 6,0 86,2
Metanol CH4O 65 -98 32,6 88,1
Air H2O 100 0 80,2 18,0
Sumber: Pramadhany (2006)
16
Pelarut non polar merupakan salah satu pelarut yang dikenal efektif
terhadap alkaloid dalam bentuk basa dan terpenoid dari bahan. Pelarut nonpolar
juga mengekstrak senyawa kimia misalnya lilin, lemak, dan minyak yang mudah
menguap. Pelarut semi polar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid,
alkaloid, aglikon dan glikosida. Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak
senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam
amino dan glikosida (Harbone 1987).
Metode ekstraksi dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana
dan ekstraksi khusus (Harborne 1984). Ekstraksi sederhana antara lain terdiri atas
maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi dan diakolasi. Ekstraksi sederhana
menurut Harbone (1984) adalah sebagai berikut:
a) maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut
dengan atau tanpa pengadukan;
b) perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;
c) reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk melarutkan
sampel di dalam perkolator sampai senyawa kimianya terlarutkan;
d) evakolasi, yaitu perkolasi dengan pengurangan tekanan udara;
e) diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
Metode ekstraksi khusus antara lain soxhletasi, arus balik, dan ultrasonik.
Ekstraksi khusus menurut Harbone (1984) antara lain:
a) soxhletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan
sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;
b) arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan
pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan;
c) ultrasonik, yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan
frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.
Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap penghancuran
bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan, dan pemisahan.
Penghancuran bertujuan untuk mempermudah pengadukan dan kontak bahan
dengan pelarutnya pada saat proses pelarutan. Bahan ditimbang untuk mengetahui
berat awal bahan sehingga dapat dihitung rendemen yang dihasilkan. Bahan yang
telah ditimbang kemudian direndam dalam pelarut yang sesuai. Proses
17
perendaman yang dilakukan disebut maserasi. Tahap selanjutnya adalah tahap
pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan
untuk memisahkan residu bahan dan pelarut yang telah mengandung senyawa
bioaktif. Pemisahan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat dilakukan
dengan evaporasi sehingga pelarut akan menguap dan diperoleh senyawa hasil
ekstraksi. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor
antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,
ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi,
dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995)
2.5 Komponen Bioaktif
Bentuk metabolit sekunder menunjukkan sejumlah molekul yang sedikit
penting terhadap tanaman dan memiliki peranan utama dalam perlindungan
tanaman dari tekanan lingkungan atau dalam pengontrolan pertumbuhan tanaman
(Harborne 1999).
2.5.1 Terpenoid/steroid
Terpenoid atau isoprenoid dicirikan dengan biosintesis dari isopentenil dan
dimetilalil pirofosfat dan sifatnya yang secara umum lipofilik. Terpenoid adanya
di kelenjar trikoma daun, di pucuk exudates dan kayu damar. Secara kimia,
terpenoid pada dasarnya hidrokarbon tidak jenuh siklik, dengan derajat keragaman
oksigenasi dalam kelompok pengganti yang dilekatkan terhadap kerangka karbon
utama. Terpenoid dikelompokkan berdasarkan jumlah 5-atom karbon (C5)
(Harborne 1999). Monomer aktif dari isoprenoid adalah isopentenilpirofosfat
(IPP) yang digunakan untuk membangun monoterpen (C10), sesquiterpen (C15),
dan diterpen (C20) (Edwards dan Gatehouse 1999).
Terpenoid memiliki potensi anti-inflamasi tidak hanya in-vivo pada sel
hewan, tetapi juga ex-vivo. Beberapa terpenoid bertindak sebagai hormon
tanaman yang mengatur fungsi fisiologis yang berbeda dan metabolit sekunder
lainnya berperan dalam pertahanan dan perlindungan tumbuhan/hewan dari
patogen (Heras et al. 2003). Subklasifikasi terpenoid dapat dilihat pada Tabel 2.
18
Tabel 2 Subklasifikasi terpenoid
Kelas terpenoid Deskripsi
Monoterpenoid Volatil, unsur minyak esensial
Iridoid Lakton yang berasa pahit, biasanya dalam bentuk
glikosidik
Sesquiterpenoid
Sesquiterpen lakton
Diterpenoid
Triterpenoid saponin
Steroid saponin
Kardenolid dan bufadienolid
Fitosterol
Cucurbitacin
Nortriterpenoid
Triterpenoid lainnya
Karotenoid
Unsur minyak esensial yang tinggi titik didihnya
Karakteristik dari famili Compositae
Asam dammar dan giberelin
Glikosida hemolitik
Glikosida hemolitik
Racun bagi jantung dan toxin
Unsur-unsur membran
Pahit, terutama Cucurbitaceae
Limonoid dan Quassinoid
Lupanes, hapanes, ursanes, dsb
Pigmen kuning hingga merah
Sumber : Harborne (1999)
Komponen terpenoid yang menunjukkan aktivitas insektisidal adalah
steroid. Bentuk steroid dapat berupa komponen kardenolid dan saponin yang
dapat melawan herbivora mamalia. Kardenolid berasa pahit dan sangat beracun
serta dapat menyebabkan penyakit jantung. Saponin merupakan komponen yang
dapat larut di dalam air dan lemak, serta memiliki sifat seperti sabun (Scott 2008).
Struktur beberapa terpenoida dapat dilihat pada Gambar 5.
19
Gambar 5 Beberapa terpenoid dan alkaloid steroid (Robinson 1995)
2.5.2 Alkaloid dan metabolit nitrogen lainnya
Alkaloid merupakan basa-basa organik yang memiliki sebuah atom
nitrogen sebagai bagian dari srukturnya, biasanya terkait ke dalam suatu sistem
siklik lima atau enam karbon. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat
tinggi, sekitar 20 % dari spesies angiospermae. Metabolit-nitrogen juga terbatas
di alam. Keterbatasan distribusi metabolit ini disebabkan oleh ketersediaan unsur
dari metabolit ini juga terbatas. Metabolit-nitrogen merupakan turunan dari satu
atau lebih asam amino protein (Harborne 1999).
Metabolit-nitrogen lainnya yang berperan penting adalah glukosinolat,
cianogenik glikosida, dan asam amino non-protein. Bentuk lebih lanjut dari
metabolit-nitrogen adalah betalain, pigmen tanaman. Asam amino lisin, ornitin,
fenilalanin, tirosin, triptofan, dan histidin merupakan sumber N dari mayoritas
alkaloid pada tanaman (Edwards dan Gatehouse 1999).
Alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang
bersifat asam lemah (HCl 1M atau asam asetat 10%), kemudian diendapkan
dengan amoniak pekat. Pemurnian selanjutnya dilaksanakan dengan ekstraksi
pelarut (ekstraksi cair-cair). Adanya alkaloid pada ekstrak nisbi kasar dapat diuji
dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid (Harborne 1987). Klasifikasi
alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya dapat dilihat Tabel 3.
20
Tabel 3 Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya pada tanaman
Metabolit Metabolit
Alkaloid: 11. Pirolizidin
1) Amaryllidaceae 12. Quinolin
2) Betalain 13. Quinolizidin
3) Diterpenoid (kadang beracun) 14. Steroidal
4) Indol 15. Tropana
5) Isoquinolin (kelompok terbesar alkaloid) Asam amino non-protein
6) Likopodium Amina
7) Monoterpen Cianogenik glikosida
8) Sesquiterpen Glukosinolat
9) Peptida Purin dan Pirimidin (termasuk
kafein pada kopi dan teh)
10) Pirolidin dan piperidin
Sumber : Harborne (1999)
Struktur beberapa senyawa alkaloid (Robinson 1995) dapat dilihat pada
Gambar 6 berikut.
Gambar 6. Beberapa penggolongan alkaloid (Robinson 1995)
2.5.3 Metabolit fenol
Komponen fenol merupakan metabolit sekunder dengan molekul dasar dari
beragam jenis senyawa adalah struktur fenol yang merupakan kelompok hidroksil
pada sebuah cincin aromatik. Komponen fenol menunjukkan beragam fungsi bagi
21
tanaman termasuk pertahanan dari herbivor dan patogen, penyerapan cahaya,
penarik pollinator, penghambat pertumbuhan dari tanaman pesaing, dan simbiosis
dengan bakteri penyedia nitrogen (Wildman 2001).
Fenol turut andil dalam biosintetis dari fenilalanin, merupakan salah satu
dari tiga asam amino protein yang dibentuk dari sedoheptulosa melalui jalur
shikimate. Asam p-hidroksisinamik dibentuk dari fenilalanin melalui deaminasi
dan p-hidroksilasi, yang menempati peranan sentral dalam pembentukan beragam
kelas dari fenol tanaman (Harborne 1999).
Flavonoid merupakan kelompok polifenol yang paling dikenal, memiliki
rangka karbon yang sama dengan flavon atau 2-fenilbenzopiron dan terdiri dari
4000 struktur. Flavonoid dapat ditemukan di sebagian besar tanaman dan sama
dengan struktur fenilpropanoid dan asam hidroksibenzoat (Harborne 1999).
Flavonoid adalah turunan dari chalcones yang dibentuk dari shikimate dan
prekursor asetat (Edwards dan Gatehouse 1999).
Sebagian besar karakteristik dari fenolik adalah kemampuan untuk
mengionisasi. Beberapa polifenol memiliki kelompok catechol dan karena itu
memiliki kemampuan untuk mengkelat ion logam divalen atau trivalen. Beberapa
antosianin menjadi pengkelat terhadap magnesium atau besi. Fenol dengan
substitusi o- atau p-dihidroksi dapat teroksidasi sesuai dengan quinon dan
beberapa p-quinon (Harborne 1999). Klasifikasi bagian-bagian fenolik dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Klasifikasi bagian-bagian fenolik
Subkelas Deskripsi Subkelas Deskripsi
Antosianin Pigmen merah hingga
biru pada bunga Lignan
Umumnya ada
pada kayu dan
kulit kayu
Antoklors
Pigmen kuning pada
bunga: chalcones dan
aurones
Fenol dan asam
fenolik
Beberapa asam
yang umum pada
tanaman
Benzofuran Ada pada tumbuhan
tingkat tinggi Fenolik keton
Ada pada buah
hop dan pakis
22
Tabel 4 lanjutan
Chromones Kelompok kecil dari
zat pengobatan Fenilpropanoid
Strukturnya
banyak, tersebar
luas
Kumarin
Lebih dari 700
struktur, tersebar luas
pada tanaman
Quinonoid
Benzoquinon,
naphthoquinon
dan anthraquinon
Minoritas
flavonoid
Flavanon dan
dihidroflavonol Stilbenoid
Termasuk
dihidrofenantrin
Flavon dan
flavonol
Struktur banyak,
terutama dalam
kombinasi glikosidik
Tanin Kental dan dapat
dihidrolisis
Sumber : Harborne (1999)
Struktur dari beberapa metabolit fenolik di tanaman (Robinson 1995) dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Beberapa senyawa aromatik fenol sederhana (Robinson 1995)