2 tinjauan pustaka 2.1 deskripsi dan klasifikasi sargassum … · 2013-05-17 · pada setiap...

15
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Sargassum polycystum Sargassum adalah jenis alga cokelat yang mempunyai talus bercabang seperti jari dan merupakan tanaman perairan yang berwarna cokelat, berukuran relatif besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas tanaman menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta dilengkapi dengan bagian-bagian untuk pertumbuhan (Atmadja et al. 1996). Klasifikasi rumput laut S. polycystum menurut Anggadiredja et al. (2006) adalah sebagai berikut: Divisi : Phaeophyta Kelas : Phaeophyceae Ordo : Fucales Famili : Sargassaceae Genus : Sargassum Spesies : Sargassum polycystum Morfologi S. polycystum tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri umum Phaeophyta. Talus silindris berduri-duri kecil merapat, holdfast membentuk cakram kecil dan di atasnya terdapat perakaran/stolon yang rimbun berekspansi ke segala arah. Memiliki batang pendek dengan percabangan utama tumbuh rimbun. Mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter, panjangnya mencapai 7 meter, warna talus umumnya cokelat (Aslan 1991). Bentuk morfologi rumput laut S. polycystum dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Rumput laut S. polycystum (Sumber: Anonim 2012)

Upload: vuongque

Post on 03-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Sargassum polycystum

Sargassum adalah jenis alga cokelat yang mempunyai talus bercabang

seperti jari dan merupakan tanaman perairan yang berwarna cokelat, berukuran

relatif besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas

tanaman menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta

dilengkapi dengan bagian-bagian untuk pertumbuhan (Atmadja et al. 1996).

Klasifikasi rumput laut S. polycystum menurut Anggadiredja et al. (2006)

adalah sebagai berikut:

Divisi : Phaeophyta

Kelas : Phaeophyceae

Ordo : Fucales

Famili : Sargassaceae

Genus : Sargassum

Spesies : Sargassum polycystum

Morfologi S. polycystum tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri umum

Phaeophyta. Talus silindris berduri-duri kecil merapat, holdfast membentuk

cakram kecil dan di atasnya terdapat perakaran/stolon yang rimbun berekspansi

ke segala arah. Memiliki batang pendek dengan percabangan utama tumbuh

rimbun. Mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter,

panjangnya mencapai 7 meter, warna talus umumnya cokelat (Aslan 1991).

Bentuk morfologi rumput laut S. polycystum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Rumput laut S. polycystum

(Sumber: Anonim 2012)

5

Komposisi kimia dan pigmen yang terdapat pada rumput laut cokelat

merupakan hasil dari fotosintesis yang jumlahnya sangat bervariasi, tergantung

pada jenis, masa perkembangan dan kondisi tempat tumbuh. Senyawa kimia

terbanyak yang terdapat pada rumput laut cokelat adalah alginat, dalam jumlah

sedikit terdapat pula laminaran, fukoidon, selulosa, manitol, dan senyawa bioaktif

lainnya (Yunizal 2004).

Pemanfaatan Sargassum selama ini adalah sebagai sumber alginat. Pada

jaringan talus, asam alginat mengisi ruangan antar sel sehingga memperkokoh

saluran jaringan tersebut. Alginat dapat diekstrak dari alga cokelat dengan larutan

alkali (Glicksman 1983). S. polycystum mengandung alginat, vitamin C, vitamin E

(α-tokoferol), mineral, karotenoid, klorofil, florotanin, polisakarida sulfat, asam

lemak, dan asam amino. Tumbuhan ini memiliki potensi dalam penyembuhan

penyakit kantung kemih, gondok, kolesterol, digunakan sebagai kosmetik, sumber

alginat, dan antioksidan (Matanjun 2008).

2.2 Ekstraksi Senyawa Aktif

Ekstraksi merupakan metode pemisahan komponen-komponen tertentu

antara dua atau lebih fase cairan (Keulemans dan Walraven 1965). Ekstraksi

didefinisikan sebagai proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu

bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari bahan tersebut.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi,

suhu, dan jenis pelarut yang digunakan harus memperhatikan daya melarutkan,

titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif terhadap

peralatan ekstraksi (Khopkar 2003).

Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam

pelarut yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Proses

perpindahan komponen bioakif dari dalam bahan ke pelarut terjadi secara difusi.

Proses difusi merupakan perubahan secara spontan dari fase yang memiliki

konsentrasi lebih tinggi menuju konsentrasi lebih rendah (Danesi 1992). Proses ini

akan terus berlangsung selama komponen bahan padat yang dipisahkan menyebar

diantara kedua fase. Proses difusi akan berakhir jika kedua fase berada dalam

kesetimbangan, yaitu apabila seluruh zat sudah terlarut di dalam zat air dan

konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Pengelompokkan metode

6

ektraksi ada dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus (Harborne 1987).

Ekstraksi sederhana terdiri atas:

a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam

pelarut dengan atau tanpa pengadukan;

b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;

c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk

melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;

d) Diskolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas:

a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk

melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;

b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana

sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang

berlawanan;

c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang

menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.

Sifat penting yang harus diperhatikan dalam ekstraksi adalah kepolaran

senyawa dilihat dari gugus polarnya. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang

berbeda-beda pada pelarut yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah

larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Semakin besar konstanta

dielektrik, maka pelarut tersebut semakin polar. Beberapa pelarut organik dan

sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pelarut organik dan sifat fisiknya

Jenis Pelarut Titik didih (o

Titik beku C) (o

Konstanta dielektrik C)

Heksana Dietil eter Kloroform Etil asetat Aseton Etanol Metanol Air

68 35 61 77 56 78 65 100

-94 -116 -64 -84 -95

-117 -98 0

1,8 4,3 4,8 6,0

20,7 24,3 32,6 80,2

Sumber: Nur dan Adijuwana (1989)

7

2.3 Fitokimia

Istilah fitokimia (dari kata “phyto” = tanaman dan “chemical” = zat kimia)

berarti kimia tanaman. Fitokimia menguraikan aspek kimia suatu tanaman.

Kajian fitokimia meliputi uraian tentang isolasi dan konstitusi senyawa kimia

dalam tanaman, perbandingan struktur senyawa kimia tanaman dan perbandingan

komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman atau penelitian

untuk pengembangan senyawa kimia dalam tanaman (Sirait 2007).

2.3.1 Alkaloid dari rumput laut

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang

terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Alkaloid

merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Umumnya, alkaloid

mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,

biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya

tidak berwarna, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa

cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar (Harborne 1987).

Beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang

farmakologi, diantaranya adalah nikotin (stimulan pada syaraf otonom), morfin

(analgesik), kodein (analgesik dan obat batuk), atropin (obat tetes mata),

skopolamin (sedatif/obat penenang menjelang operasi), kokain (analgesik),

piperin (antifeedant), quinin (obat malaria), vinkristin (obat kanker), ergotamin

(analgesik untuk migrain), reserpin (pengobatan simptomatis disfungsi ereksi),

mitraginin (analgesik dan antitusif), serta vinblastin (antineoplastik dan obat

kanker) (Sudarmadji et al. 2007). Kaewsritong et al. (2007) dalam Kantachumpoo

dan Chirapart (2010) melaporkan ekstrak dari Padina australis, S. polycystum dan

Turbinaria conoides yang menggunakan pelarut metanol, etanol, diklorometana

dan eter mengandung terpenoid, flavonoid dan alkaloid.

2.3.2 Triterpenoid/steroid dari rumput laut

Triterpenoid adalah senyawa senyawa alam yang terbentuk dengan proses

biosintesis dan terdistribusi secara luas dalam dunia tumbuhan dan hewan.

Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprene dengan kerangka terpenoid

terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan isoprene (C5) (Sirait 2007).

Secara umum triterpenoid diekstrak dari jaringan tumbuhan memakai eter minyak

8

bumi, eter atau kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika

gel atau alumina memakai pelarut tersebut. Terpenoid terdiri atas beberapa

macam senyawa yaitu komponen minyak atsiri, diterpenoid, giberalin,

triterpenoidem sterid dan karotenoid (Lenny 2006)

Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana

perhidrofenantrena. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol mungkin terdapat

pada setiap tumbuhan tingkat tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol dan kampesterol.

Sterol tertentu hanya terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah, contohnya

ergosterol yang terdapat dalam khamir dan sejumlah fungi. Sterol lain terutama

terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah tetapi kadang-kadang terdapat dalam

tumbuhan tingkat tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga

cokelat dan juga terdeteksi pada kelapa (Harborne 1987).

Hasil penelitian Swantara et al. (2009) menyatakan bahwa senyawa

streroid dan ester ditemukan pada ekstrak Sargassum ringgoldianum. Senyawa

steroid seperti 3β-bromo-kolest-5-ena kemungkinan bersifat antiradikal bebas

karena senyawa tersebut mengandung gugus bromo dan ikatan rangkap.

2.3.3 Flavonoid dari rumput laut

Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan

gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Flavonoid terdapat

pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah, tepung sari dan akar.

Flavonoid diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavanon, flavanonol,

isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin dan flavan-3,4-diol

(Sirait 2007).

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat

diekstraksi dengan etanol 70%. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu

warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi pada

kromatogram atau dalam larutan. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang

terkonjugasi dan karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum

Ultra Violet (UV) dan spektrum tampak. Terbentuknya warna merah, kuning atau

jingga di lapisan amil alkohol pada uji fitokimia menunjukkan adanya flavonoid

(Harborne 1987). Hasil uji Prajitno (2006) menunjukkan bahwa rumput laut

Halimeda opuntia mengandung senyawa flavonoid yang terdiri dari quercitrin,

9

epigallocathecin, cathecol, hesperidia, miricetin dan morin. Epigallocathecin

merupakan komponen penting yang digunakan sebagai aktivitas antioksidan.

2.3.4 Saponin dari rumput laut

Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna

akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau

genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi,

diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan

glukoronat. Sapogenin sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sapogenin

triterpenik dan steroidik (Muchtadi 1989).

Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun.

Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

menghemolisis sel darah. Dari segi ekonomi, saponin penting karena kadang-

kadang menimbulkan keracunan pada ternak (misalnya saponin alfalfa,

Medicago sativa) atau karena rasanya yang manis (misalnya glisirizin dari akar

manis, Glycyrrhiza glabra) (Harborne 1987). Sebagian besar saponin bereaksi

netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air).

Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin bersifat

toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah yang

menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin yang

beracun disebut sapotoksin (Sirait 2007).

Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada

epitel hidung, bronkus, ginjal dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan

menimbulkan efek diuretika. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat

oleh aktivitas permukaan. Saponin juga dapat meregangkan partikel tak larut dan

menjadikan partikel tersebut tersebar dan terbagi halus dalam larutan

(Sirait 2007). Hasil penelitian Sahayaraj dan Kalidas (2011) menunjukkan bahwa

analisis fitokimia yang dilakukan pada rumput laut Padina pavonica (Phaeophyta)

dengan ekstrak kloroform dan benzena ditemukan senyawa steroid, saponin dan

komponen fenol.

2.3.5 Fenol hidrokuinon dari rumput laut

Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berikatan dengan

satu atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan dengan gugus metil

10

atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen tersebut

berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola

sel. Flavonoid merupakan kelompok yang terbesar di antara komponen fenolat

alami yang strukturnya telah diketahui, tetapi fenol monosiklik sederhana,

fenilpropanoid dan fenolat kuinon terdapat dalam jumlah sedikit. Kuinon dapat

dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftakuinon, antrakuinon,

dan isoprenoid kuinon. Tiga kelompok pertama umumnya terhidrolisis dan

memiliki sifat fenol, sedangkan isoprenoid kuinon terdapat pada respirasi seluler

(ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon) (Harborne 1987).

Menurut Lincoln et al. (1991) dalam Smit (2004), banyak ditemukan

respon kimia berupa aktivitas antioksidan dari makroalga. Beberapa zat yang

penting pada reaksi ini adalah komponen halogen seperti alkali dan alkena,

alkohol, aldehida, hidrokuinon, dan keton.

2.3.6 Tanin dari rumput laut

Tanin adalah polifenol alami yang banyak digunakan sebagai bahan

perekat tipe eksterior, yang terutama terdapat pada bagian kulit kayu. Tanin dapat

dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik

tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang

berbeda-beda. Senyawa ini memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau

alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat

mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat antirayap dan jamur. Tanin

yang terdapat pada kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat

kerusakan akibat serangan serangga dan jamur, karena memiliki sifat antiseptik

(Carter et al. 1978 dalam Shut 2002). Menurut Cox (2010), florotanin merupakan

komponen tanin yang hanya dapat ditemukan pada alga laut. Florotanin diekstrak

dari alga cokelat yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi yang mungkin

berhubungan dengan molekul skeletonnya.

2.4 Senyawa Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi

atau suatu zat yang dapat menetralkan radikal bebas. Ada dua macam antioksidan,

yaitu antioaksidan internal dan eksternal. Antioksidan internal yaitu antioksidan

11

yang diproduksi oleh tubuh sendiri disebut sebagai antioksidan primer, secara

alami tubuh mampu menghasilkan antioksidan sendiri, tetapi kemampuan inipun

ada batasnya. Selain bertambahnya usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi

antioksidan alami pun akan semakin berkurang. Hal inilah yang menyebabkan

stres oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana jumlah radikal bebas melebihi

kapasitas kemampuan netralisasi antioksidan (Rosalina 2009).

Antioksidan eksternal tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi berasal dari

makanan seperti vitamin A, beta karoten, vitamin C, vitamin E, selenium,

flavonoid, dan lain-lain. Antioksidan yang berasal dari makanan atau dari luar

tubuh disebut juga antioksidan sekunder. Antioksidan internal bekerja dengan cara

menangkal terbentuknya radikal bebas, sedangkan antioksidan eksternal bekerja

dengan cara meredam atau menetralisir antioksidan yang sudah terbentuk

(Rosalina 2009).

Tamat et al. (2007) menjelaskan antioksidan dapat berbentuk gizi seperti

vitamin E dan C, non gizi (pigmen karoten, likopen, flavonoid dan klorofil), dan

enzim (glutation peroksidase, koenzim Q10 atau ubiquinon). Antioksidan dapat

dibagi menjadi tiga golongan, yaitu antioksidan preventif (enzim

superoksidadismutase, katalase dan glutation peroksidase), antioksidan primer

(vitamin A, fenolat, favonoid, katekin, kuersetin) dan antioksidan komplementer

(vitamin C, β-karoten dan retinoid).

Nugroho et al. (2006) menyatakan rumput laut mengandung komponen

unik yang kuat berupa fukoidan, alginat dan polifenol. Antioksidan klorofil pada

ganggang laut hijau dapat berfungsi sebagai antioksidan. Zat ini membantu

membersihkan tubuh dari reaksi radikal bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh.

Hasil penelitian Swantara et al. (2009) menunjukkan adanya aktivitas

antioksidan yang ditemukan pada ekstrak dua spesies rumput laut yaitu

Exophylum wentii dan Gracillaria coronopifolia. Penelitian Kuda et al. (2005)

menunjukkan ekstrak tiga alga cokelat yaitu Scytosiphon lomentoria,

Papenfussilla kumoro dan Nemacystus decipiens serta satu spesies ganggang

merah yaitu Porphyra sp. menghasilkan adanya senyawa fenol 2,2-9,4 mg untuk

1000 gram sampel kering yang menunjukkan sifat antioksidan yang kuat.

12

2.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

Metode uji 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH) merupakan salah satu

metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari

substansi yang berperan sebagai antioksidan. Metode ini merupakan salah satu

metode yang sederhana dengan menggunakan DPPH sebagai senyawa pendeteksi.

Struktur kimia DPPH dalam bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non

radikal (2) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH

(Sumber: Molyneux 2004) Molyneux (2004) menyatakan bahwa senyawa DPPH merupakan senyawa

radikal bebas yang bersifat stabil sehingga dapat bereaksi dengan atom hidrogen

yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi. Ada tiga tahap

reaksi antara DPPH dengan zat antioksidan, yang dapat dicontohkan dengan

reaksi antara DPPH dengan senyawa monofenolat (antioksidan). Tahap pertama

meliputi delokalisasi satu elektron pada gugus yang tersubstitusi dari senyawa

tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen untuk mereduksi DPPH. Tahap

berikutnya meliputi dimerisasi antara dua radikal fenoksil, yang akan mentransfer

radikal hidrogen dan akan bereaksi kembali dengan radikal DPPH. Tahap terakhir

adalah pembentukan kompleks antara radikal hidroksil dengan radikal DPPH.

Pembentukan dimer maupun kompleks antara zat antioksidan dengan DPPH

tergantung pada kestabilan dan potensial reaksi dari struktur molekulnya. Ketika

DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen, maka akan terbentuk molekul

diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer

elektron atau radikal hidrogen, akan menetralkan karakter radikal bebas dari

DPPH (Suratmo 2009 dalam Permatasari 2011).

13

2.6 Senyawa Antimikroba

Antimikroba adalah senyawa kimia yang dapat membunuh atau

menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Antimikroba sebagai substansi dapat

berupa senyawa kimia sintetik atau produk alami (Brock dan Madigan 2003).

Senyawa antibakteri didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang

dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri.

Berdasarkan aktivitasnya, senyawa antibakteri dapat dibedakan atas senyawa yang

bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) seperti pinisilin, basitrasin, neomisin dan

senyawa yang bersifat bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri) seperti

tetrasiklin dan kloramfenikol (Pelezar dan Chan 1986). Senyawa antibakteri

dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara

lain: konsentrasi zat antibakteri, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, sifat-sifat

mikroba seperti jenis, umur, konsentrasi, dan keadaan mikroba (Frazier dan

Westhoff 1978).

Senyawa antibakteri yang terkandung dalam berbagai ekstrak tanaman

diketahui dapat menghambat bakteri patogen maupun perusak pangan (Frazier

dan Westhoff 1978). Senyawa antibakteri yang berasal dari tanaman, sebagian

besar merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama golongan fenolik dan

terpen dalam minyak atsiri dan alkaloid. Beberapa senyawa antibakteri alami yang

berasal dari tanaman diantaranya adalah fitoaleksin, asam organik, minyak

esensial (atsiri), fenolik, dan beberapa kelompok pigmen atau senyawa sejenis

(Herbert 1995).

Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan

mikroba dibagi menjadi beberapa cara, yaitu (1) mengubah permeabilitas

membran sehingga dengan rusaknya membran akan menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan sel atau matinya sel, (2) menyebabkan terjadinya denaturasi protein,

(3) menghambat kerja enzim di dalam sel sehingga mengakibatkan terganggunya

metabolisme/matinya sel (Davidson dan Branen 1993 dalam Madigan et al. 2004),

(4) merusak dinding sel mikroorganisme sehingga menyebabkan terjadinya lisis

(Madigan et al. 2004).

Antimikroba alami umumnya berasal dari tanaman, hewan, maupun

organisme dengan melakukan proses pengekstrakkan misalnya pada rumput laut.

14

Zat yang digunakan sebagai antibakteri harus mempunyai beberapa kriteria antara

lain tidak bersifat racun, ekonomis, tidak merubah rasa, dan aroma makanan jika

digunakan dalam bahan pangan, tidak mengalami penurunan aktivitas selama

proses dan penyimpanan, tidak menyebabkan galur resisten dan sebaiknya

membunuh dibandingkan menghambat pertumbuhan bakteri (Frazier dan

Westhoff 1988).

Choudhury et al. (2005) dalam Yunus et al. (2009) menyatakan bahwa

alga laut memiliki potensi sebagai sumber antibakteri. Salah satunya yang

dilaporkan yaitu ekstrak metanol dari 56 rumput laut yang berasal dari kelas

Chlorophyta (alga hijau), Phaeophyta (alga cokelat) dan Rhodophyta

(alga merah). Dari ketiga kelas rumput laut tersebut, rumput laut cokelat memiliki

aktivitas antibakteri tertinggi.

2.7 Mikroorganisme Patogen

2.7.1 Escherichia coli

Organisme ini tersebar luas di alam biasanya lazim terdapat dalam

pencernaan manusia dan hewan. Spesies E. coli tidak dapat mengurangi asam

sitrat dan garam asam sitrat sebagai sumber karbon tunggal dan tidak

menghasilkan pigmen, tetapi kadang-kadang menghasilkan pigmen berwarna

kuning. E. coli ditularkan bersama air atau makanan yang terkontaminasi oleh

feses. E. coli berbentuk batang, tebal 0,5 µm, panjang antara 1,0-3,0 µm,

bervariasi dari bentuk koloid sampai berbentuk seperti filamen yang panjang,

tidak berbentuk spora, motil dan filamen perithin beberapa galur tidak memiliki

flagella, bersifat Gram-negatif (Merchant dan Parker 1961 dalam Wasitaningrum

2009).

E. coli bersifat aerob atau fakultatif anaerob, dapat tumbuh pada media

buatan. Beberapa sifat E. coli antara lain pertumbuhan optimum pada suhu 37oC,

dapat tumbuh pada suhu 15- 45oC, tumbuh baik pada pH 7,0 tapi tumbuh juga

pada pH yang lebih tinggi. E. coli menghasilkan katalase, tidak mencairkan

gelatin, membentuk indol, mereduksi nitrat, mengoksidasi dan mengasamkan air

susu tanpa peptonisasi, mengoksidasi kentang sehingga berwarna cokelat gelap,

tidak menghasilkan gas H2S (Merchant dan Parker 1961 dalam Wasitaningrum

2009). E. coli mengandung enterotoksin dan dapat menyebabkan penyakit diare.

15

Sebagian besar E. coli menyebabkan infeksi saluran kencing dan keracunan darah

(Fardiaz 1989).

2.7.2 Staphylococcus aureus

Staphylococcus merupakan bakteri Gram-positif berbentuk bulat, biasanya

tersusun dalam bentuk bergerombol yang tidak teratur seperti anggur.

Staphylococcus bertambah dengan cepat pada beberapa tipe media dengan aktif

melakukan metabolisme, fermentasi karbohidrat dan menghasilkan

bermacam-macam pigmen dari warna putih higga kuning gelap. Staphylococcus

cepat menjadi resisten terhadap beberapa antimikroba (Jawetz et al. 1996).

S. aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin, dan

kloramfenikol, tetapi resisten terhadap polimiksin (Pelczar dan Chan 1986).

S. aureus menghasilkan koagulase, dijumpai pada selaput hidung, kulit,

kantung rambut, dapat menyebabkan keracunan makanan, serta komplikasi pada

influenza. Keracunan makanan yang umum terjadi karena termakannya toksin

yang dihasilkan oleh galur-galur toksigenik S. aureus yang tumbuh pada makanan

tercemar. Pada umumnya gejala-gejala mual, pusing, muntah, dan diare muncul

2 sampai 6 jam setelah makan makanan tercemar itu. Tumbuh dengan cepat pada

temperatur 20-35 o

2.7.3 Bacillus subtilis

C dengan berbagai media bakteriologi di bawah suasana

aerobik dan mikrofilik. Koloni pada media padat berbentuk bulat, lambat dan

mengkilat (Jawetz et al. 1996).

B. subtilis mempunyai ciri-ciri antara lain berbentuk batang, panjang

4-5 µm, lebar 1-1.25 µm, bersifat aerob dan memiliki flagel, termasuk golongan

bakteri Gram-positif dan memiliki endospora. Genus Bacillus merupakan bakteri

basil Gram-positif pembentuk spora, bersifat aerob dan merupakan

mikroorganisme saprofit yang lazim berada dalam tanah, air, udara dan

tumbuh-tumbuhan seperti B. cereus dan B. subtilis yang menghasilkan

enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan (Greenwood et al. 1992).

B. subtilis memproduksi enzim dan antibiotik dalam respon untuk

pembatasan nutrisi. Enzim yang dihasilkan yaitu protease, amilase, selulase dan

lipase. Produksi enzim sangat maksimal saat sel berada pada fase stasioner pada

masa pertumbuhan. Produksi enzim tersebut diduga sebagai strategi pertahanan

16

hidup untuk mencari sumber energi makromolekuler saat nutrisi mulai berkurang.

Sebagian besar enzim digunakan secara luas dalam pembuatan makanan,

masakan, dan industri detergen biologis. Enzim yang memiliki manfaat bagi

manusia seperti “thermostability”, mengaktifkan jangkauan pH, aktivitas pada

detergen dan mengoksidasi lingkungan, dapat diidentifikasi oleh B. subtilis.

Peranan B. subtilis pada industri enzim adalah dapat merefraktor analisis genetik

dan itulah alasan B. subtilis dipilih untuk dipelajari mekanisme produksi

enzimnya. Selain itu, kode genetik yang heterogen dengan materi yang dapat

diklon-kan ke dalam B. subtilis yang dapat menghasilkan manipulasi untuk

gandum berkualitas tinggi (Greenwood et al. 1992).

2.7.4 Candida maltosa

Candida telah dikenal dan dipelajari sejak abad ke 18 dan penyakit yang

disebabkannya dihubungkan dengan higiene yang tidak baik. Di dalam

perkembangannya genus Candida telah dikenal lebih dari 32 spesies, tetapi hanya

7 diantaranya yang terdapat pada manusia. Spesies Candida dapat dibedakan

berdasarkan kemampuan fermentasi dan asimilasi terhadap larutan glukosa,

maltosa, sukrosa, galaktosa, dan laktosa. Candida dapat meragikan glukosa dan

maltosa, menghasilkan asam dan gas, asam dari sukrosa. Kadang peragian

karbohidrat ini bersama dengan sifat koloni dan morfologi (Dumilah 1982).

Candida merupakan suatu ragi lonjong, bertunas yang menghasilkan

pseudomiselium baik dalam biakan maupun dalam jaringan eksudat.

Candida dapat menyebabkan penyakit sistemik progresif pada penderita yang

sistem imunnya tertekan. Selain itu Candida juga dapat menimbulkan invasi

dalam aliran darah, tromboflebitis, endokarditis, infeksi mata, dan organ lain bila

masuk ke dalam tubuh secara intravena (Jawetz et al. 1992). Candida secara

mikroskopik berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong, Gram-positif, dengan

ukuran 2-5 µ x 5-28.5 µ koloni pada medium padat sedikit menimbul dari

permukaan media, dengan permukaan halus, licin atau berlipat-lipat, berwarna

putih kekuning-kuningan dan berbau ragi (Dumilah 1982).

Candida memperbanyak diri secara aseksual yaitu spora yang dibentuk

langsung dari hifa tanpa adanya peleburan inti dengan membentuk tunas, maka

spora Candida disebut dengan Blastospora atau sel ragi. Candida membentuk

17

pseudohifa yang sebenarnya adalah rangkaian Blastospora yang dapat

bercabang-cabang. Berdasarkan bentuk tersebut maka dikatakan bahwa Candida

menyerupai ragi atau yeast like, untuk membedakan dengan jamur yang hanya

membentuk Blastospora (Jawetz et al 1992).

2.8 Uji Aktivitas Antimikroba

Uji antimikroba adalah uji kepekaan mikroba terhadap obat atau bahan.

Aktivitas antimikroba ditentukan dengan mengukur diameter hambatannya, yaitu

daerah bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram. Ketentuan kekuatan

senyawa antibakteri adalah sebagai berikut: bila memiliki daerah hambatan

20 mm atau lebih berarti memiliki kekuatan antibakteri sangat kuat; bila daerah

hambatan yang dimilikinya berkisar 10-20 mm berarti kuat; bila daerah hambatan

5-10 mm berarti sedang; bila daerah hambatannya 5 mm atau kurang dari 5 mm

maka di katakan lemah (Davis dan Stout 1971). Terdapat tiga macam metode uji

yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri menurut Zubaidan

(2005) dan Istri (1999) dalam Maretania (2006) yaitu:

1. Metode penyebaran

• Metode kertas cakram yaitu meletakkan cakram kertas yang telah

direndam larutan uji di atas media padat yang telah diinokulasi dengan

bakteri kemudian diinkubasi. Pertumbuhan bakteri diamati dengan melihat

ada tidaknya zona hambat di sekeliling cakram.

• Metode silinder yaitu meletakkan beberapa silinder yang terbuat dari gelas

atau besi tahan karat di atas media agar yang telah diinokulasi dengan

bakteri. Tiap silinder diisi dengan larutan yang akan diuji dan diinkubasi.

Pertumbuhan diamati dengan melihat ada tidaknya zona hambat di

sekeliling silinder.

• Metode sumur yaitu membuat sumur pada agar padat yang telah

diinokulasi pada bakteri dan diisi dengan larutan uji. Pertumbuhan bakteri

diamati dengan terbentuknya zona hambat di sekeliling sumur.

2. Metode pengenceran

• Metode pengenceran tabung yaitu pengenceran zat mikroba dimasukkan

ke dalam tabung-tabung reaksi steril. Pada interval waktu tertentu,

18

dilakukan pemindahan dari tabung reaksi ke dalam tabung-tabung berisi

media steril yang kemudian diinkubasi dan diamati penghambatan

pertumbuhan.

• Metode pengenceran agar yaitu pengenceran zat mikroba dan dimasukkan

ke dalam agar dengan konsentrasi bahan uji yang berbeda yang kemudian

diinkubasi dan diamati penghambatan pertumbuhannya.

3. Metode bioautografi

• Metode bioautografi yaitu metode untuk mengetahui senyawa baru atau

senyawa yang belum diketahui aktivitas mikrobanya dengan menggunakan

prinsip kerja difusi senyawa yang terpisah dengan Kromatografi Lapis

Tipis (KLT) dan atau Kromatografi Kertas (KK).

• Metode bioautografi langsung yaitu zona hambatan diamati langsung pada

lempeng kromatografi yang sebelumnya disemprot dengan suatu suspensi

mikroba dalam media agar cair dan diinkubasi pada temperatur dan waktu

yang sesuai.

• Metode bioautografi kontak yaitu mencelupkan

Middelbeek dan Drijver de Haas (1992) dalam Setyaningsih et al. (2005)

menjelaskan bahwa efektivitas senyawa antimikroba dapat dilihat pada pengujian

antimikroba dengan menentukan konsentrasi terkecil agar pertumbuhan

organisme uji dapat terhambat. Pengujian antimikroba dengan menentukan

konsentrasi terkecil dilakukan dengan metode Minimum Inhibitory Concentration

(MIC). Metode MIC terdiri dari dua teknik, yaitu teknik tabung pengenceran dan

teknik difusi agar.

lempeng kromatografi

ke dalam media dan media dibiarkan mengeras. Lempeng kromatografi

kemudian diinkubasi dan daerah hambatannya diamati.