2. landasan teori 2.1 perilaku keuangan (financial behaviour
TRANSCRIPT
Universitas Kristen Petra
7
2. LANDASAN TEORI
2.1 Perilaku Keuangan (Financial Behaviour)
Baker dan Nofsinger (2010) menjelaskan bahwa pada dasarnya instrumen-
instrumen keuangan dan nilai pasar diasumsikan rasional. Pelaku investasi atau
yang disebut dengan investor membuat keputusan sesuai dengan kepribadian
mereka masing-masing dan tidak menyebabkan keputusan tersebut menjadi bias.
Tetapi dalam perkembangannya keputusan investor tidak selalu tepat dan
mempengaruhi nilai investasi pribadi, serta nilai pasar. Proses seseorang dalam
mengambil keputusan mengenai instrumen keuangan disebut sebagai perilaku
keuangan (Financial Behaviour). Perilaku keuangan menjadi cerminan seseorang
dalam menetapkan pilihan dan keputusan dengan menganalisa keadaan ekonomi,
keputusan yang diambil seringkali berdasarkan kepercayaan serta pengalaman
pribadi. Sebagai contoh ketika memprediksi harga dolar Amerika Serikat orang
akan mengambil kesimpulan bahwa nilainya akan terus naik karena melihat data
di masa lalu atau ada juga yang melihatnya dari sisi kepercayaan (presepsi
pribadi) bahwa nilainya akan selalu naik, sehingga penilaian bersifat subyektif
dan tidak relevan serta keakuratannya tidak terjamin.
Subyektifitas menjadi salah satu faktor dalam menghasilkan keputusan
yang tidak relevan atau bisa disebut dengan bias. Suatu keputusan yang dikatakan
bias dikarenakan kurangnya validitas data yang menyebabkan seseorang menilai
dari informasi yang dimilikinya saat ini dan tidak mencari informasi lebih dalam.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada pengambilan keputusan bagi investor saja
tetapi juga pada penilai publik dalam proses penilaian yang dilakukannya. Penilai
diharapkan memberikan informasi yang sesuai dengan nilai pasar dan bisa
dikatakan akurat, tetapi banyak ditemukan perbedaan hasil penilaiannya jika
dibandingkan dengan penilai lain. Perbedaan cara pandang menyebabkan hasil
yang dikeluarkan menjadi berbeda, hal tersebut memang wajar dan bisa
dimaklumi jika dalam batas normal. Tetapi masalahnya perbedaan nilai tersebut
seringkali menunjukan selisih yang jauh berbeda dan dapat dikatakan bias karena
tidak diketahui mana yang sesuai dengan nilai pasar. Hasil penilaian yang tidak
Universitas Kristen Petra
8
sesuai dengan pasar dipengaruhi oleh kurangnya informasi yang diketahui oleh
penilai, padahal informasi yang benar dan lengkap merupakan kunci utama dalam
suatu proses penilaian. Semakin detail suatu informasi diharapkan bahwa hasil
penilaian semakin baik dan obyektif.
Penilaian yang dilakukan bergantung kepada sikap dan perilaku penilai
tersebut. Keputusan-keputusan yang akan diambil biasanya dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang tanpa disadari muncul dalam diri penilai. Suatu kebiasaan bisa
menjadi perilaku sehari-hari dan mempengaruhi cara seseorang memecahkan
masalah (Brown, 1992). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perilaku
keuangan merupakan gabungan dari sikap yang tanpa disadari muncul atau
disebut dengan psikologi kognitif dengan sifat dasar manusia untuk mencari jalan
pintas pemecahan masalah atau yang disebut dengan heuristik, keduanya dapat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
2.2 Penilaian Properti
Penelitian mengenai perilaku penilai dalam membuat suatu keputusan
merupakan suatu rangkaian proses yang mempelajari metode – metode tradisional
yang digunakan penilai hingga proses pengambilan keputusannya. Teori
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan seseorang membuktikan bahwa
pola pikir individu merupakan suatu pemrosesan informasi dengan adanya batasan
(Newell dan Simon, 1972), batasan tersebut bisa menyebabkan hasil pengambilan
keputusan efektif ataupun tidak dengan dipengaruhi banyak faktor eksternal yang
berasal dari lingkungan penilai, seperti pengalaman selama bersekolah dan
pembelajaran yang pernah didapat. Penerapan pendekatan mengenai perilaku
dalam sistem pengambilan keputusan penilai properti menemukan bahwa
terkadang penilai menyatakan hasil penilaian didasarkan pada pemikiran dan
kebiasaan dalam memecahkan masalah daripada menggunakan metode yang
pernah dipelajari (Diaz, 1987), hal tersebut seringkali mengakibatkan
ketidaksamaan hasil antar penilai dan hasil penilaian menjadi bias atau dengan
kata lain keakuratan serta objektifitas masih diragukan.
Penilai memiliki tujuan untuk mengoptimalkan hasil penilaian yang
relevan tetapi metode yang digunakan setiap penilai berbeda satu sama lain,
Universitas Kristen Petra
9
sehingga perbedaan hasil tidak bisa dihindari dan terkadang menimbulkan bias.
Potensi penilai dalam mengeluarkan hasil yang bias diteliti lebih lanjut oleh
Gallimore dan Wolverton (1997). Hasil penelitian di Amerika Serikat dan Inggris
tersebut menunjukan bahwa pengetahuan, informasi dan data yang dimiliki oleh
penilai properti menghasilkan hasil penilaian akhir yang bias jika dibandingkan
dengan nilai pasar. Hasil bias juga rentan terjadi dalam sistem penilaian properti
dan terkadang dipengaruhi budaya dan kebiasaan yang terus – menerus terjadi.
Dalam proses penilaian, penilai menggunakan metode yang disamakan
dengan tujuannya, namun penggunaan suatu metode seringkali menjadi kebiasaan
dan diterapkan ketika menilai properti lain yang memiliki spesifikasi berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Diaz (1990) menemukan bahwa metode normatif
digunakan penilai dalam proses penilaian dan menunjukan perbedaan hasil yang
signifikan jika dibandingkan dengan hasil penilaian penilai lain. Metode normatif
melakukan pendekatan secara umum dan mencari dasar permasalahan dengan
banyak kemungkinan lalu membandingkan metode yang dirasa cocok dan efisien.
Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Adair, Berry dan McGreal (1996)
menyatakan bahwa penilai properti mengeluarkan hasil penilaian yang berbeda
dengan nilai pasar dan persepsi masyarakat. Hal tersebut memunculkan suatu
pertanyaan mengenai keakuratan metode normatif dan metode yang seharusnya
digunakan.
Dalam suatu kasus yang diteliti oleh Gallimore (1994) menjelaskan bahwa
daya serap penilai dalam penerimaan informasi merupakan faktor dalam penilaian
properti sehingga informasi yang paling terakhir didapat atau yang terbaru
terkadang sangat dipercaya dan membuat penilai tidak memperhitungkan
informasi periode sebelumnya. Penilai properti juga terkadang mengeluarkan hasil
penilaian terlalu cepat dan seakan – akan tidak dipertimbangkan dengan baik.
Pengalaman juga sering kali dipakai penilai sebagai dasar penilaian, menyebabkan
saat menilai properti pada daerah yang tidak dikenal atau penilai yang tidak
terbiasa dengan suatu daerah tertentu, akan lebih gampang dipengaruhi opini dan
pendapat dari lingkungan (Diaz dan Hansz, 1997). Penelitian mengenai perilaku
penilai dalam melakukan penilaian properti yang dilakukan oleh Kinnard, Lenk
Universitas Kristen Petra
10
dan Worzala (1997) di Amerika Serikat menyebutkan bahwa hasil penilaian
terkadang dipengaruhi oleh tekanan dari klien juga umpan baliknya.
Pada penilaian properti, masyarakat menggunakan jasa penilai untuk
mengetahui nilai sebenarnya dan meyakinkan masyarakat atau konsumen dalam
mengambil keputusan transaksi. Hasil penilaian properti terdiri dari banyak faktor
yang saling berhubungan dan berkolaborasi antar ilmu pengetahuan yang menjadi
pertimbangan dalam sistem penilaian, terutama psikologi dalam diri penilai
(Black, Brown, Diaz, Gibler dan Grissom, 2003). Psikologi dalam diri penilai
yang mempengaruhi hasil penilaian disebut psikologi kognitif.
2.3 Psikologi Kognitif
Semakin banyak faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian mendorong
penilai menggunakan metode yang sesuai dengan kepercayaan dan sifat bawah
sadar yang tidak disadari muncul ketika diharuskan mengambil keputusan. Sifat
bawah sadar yang terbentuk dari lingkungan seperti pengalaman yang didapat
selama bersekolah, pengalaman mengenai kejadian sehari – hari dan informasi
eksternal yang mendorong seseorang dalam mengambil suatu keputusan disebut
psikologi kognitif. Perilaku – perilaku yang tanpa disadari muncul dan
mempengaruhi hasil penilaian terkadang menyebabkan hasil yang bias. Sebuah
penelitian menunjukan beberapa faktor yang menyebabkan ketidakakuratan hasil
penilaian yaitu, asumsi pribadi penilai, ketersediaan data, metode penilaian dan
pertimbangan penilai (Aluko, 2000).
Dalam jasa penilaian properti, psikologi kognitif menyebabkan seseorang
mengeluarkan hasil penilaiannya sesuai dengan apa yang diyakini. Properti
memiliki suatu aspek khusus yang membedakannya dengan produk-produk
komersial yang lain, yaitu lokasi, lama masa kegunaan, prospek nilai kedepan,
pengaruh peraturan pemerintah terhadap produknya dan ketertarikan pasar
(Weimer, 1996), dengan demikian seharusnya penilaian terhadap suatu properti
semakin kompleks. Faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai properti adalah
seperti desain dari bangunan juga harga pembukaan atau disebut dengan harga
penawaran yang dapat dibandingkan dengan properti lain dengan memiliki
spesifikasi sama juga menjadi pertimbangan dalam penentuan nilai. Kemampuan
Universitas Kristen Petra
11
dan tingkat pengetahuan penilai mempengaruhi hasil penilaian, atau dengan kata
lain penilai memiliki presepsi tersendiri dalan menentukan harga properti (Aluko,
2007).
Penelitian dan pendekatan terhadap psikologi kognitif dalam menjelaskan
pengolahan informasi seseorang dalan dunia real estate semakin berkembang
setiap periodenya (Osmond, 2012). Pada penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat mengenai pengaruh beberapa faktor dalam penilaian menyebutkan
awalnya kesalahan dalam proses penilaian properti disebabkan oleh kurangnya
pemahaman, kemampuan dan kinerja penilai dalam sistem penilaian properti
(Diaz, 1987). Kesalahan sistem penilaian berawal dari pemahaman yang salah
terhadap metode-metode yang digunakan dan terbatasnya informasi yang bisa
digunakan, padahal sistem penilaian seharusnya merupakan hasil penggabungan
informasi yang relevan dan akurat dengan pemahaman penilai. Informasi yang
lengkap menghasilkan hasil penilaian yang lebih baik (Brown, 1992).
Secara alamiah kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah akan
terbentuk berdasarkan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan sejak penilai
dapat berpikir dengan mandiri, secara tidak langsung menyebabkan alam bawah
sadar menyimpulkan solusi atau jalan pintas dalam pemecahan masalah. Jalan
pintas tersebut disebut heuristik. Heuristik juga menjadi definisi kompleksitas
seorang penilai dalam mengelola informasi dan menghasilkan sebuah penilaian
atau membuat suatu keputusan (Simon, 1978). Semakin banyaknya informasi
yang didapat, heuristik digunakan untuk menyeleksi informasi yang tepat untuk
digunakan atau sebaiknya dihilangkan sesuai dengan kepercayaan dan pola pikir
diri sendiri. Jadi seharusnya penggunaan heuristik yang tepat bisa mengurangi
waktu dalam proses penilaian (Hardin, 1997). Tetapi sering kali ketidaktepatan
penggunaan heuristik menyebabkan hasil penilaian bias, meskipun bisa dihindari
dengan pengelola informasi yang akurat dan pengalaman penilai yang benar
(Hogarth, 1981).
Universitas Kristen Petra
12
2.4 Tipe – Tipe Heuristik
Heuristik memiliki beberapa tipe yang membedakan proses pengambilan
keputusan, Tversky dan Kahnemann (1974) dalam prosesnya mengidentifikasi
heuristik menjadi 3 tipe ; Representative Heuristic, Availability Heuristic dan
Anchoring and Adjustment Heuristic. Selanjutnya ditambahkan faktor keempat
yaitu Positivity Heuristic (Evans, 1989).
2.4.1 Representative Heuristic
Penelitian yang dilakukan oleh Amos Tversky dan Daniel Kahnemann
(1974) menyebutkan banyak pertanyaan mengenai bagaimana suatu hal bisa
dikatakan sebagai perwujudan hal lainnya. Misalnya dikatakan bahwa A
merupakan hasil pemrosesan atau perwujudan B, koresponden yang ditanya
mengenai hal tersebut seringkali menggunakan heuristik representatif. Ketika A
memiliki karakteristik yang sama dengan B maka asumsi bahwa A merupakan
manifestasi dari B semakin kuat. Dalam hal tersebut penilai akan cenderung
melihat apakah objek yang dinilai memiliki ciri – ciri sama dengan objek lain
yang menjadi pembanding. Masalah yang sering timbul adalah ketidaksadaran
mengenai perbedaan masalah yang sedang dihadapi dengan yang dipakai untuk
membandingkan. Penilai cenderung beranggapan bahwa dengan karakteristik
permasalahan yang sama maka solusi atau jalan keluar yang dipakai juga sama.
Selain itu penilaian juga didasarkan terhadap kejadian yang hampir sama
dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Heuristik representatif menghasilkan
keputusan berdasarkan pengalaman dan asumsi yang dibuat berdasarkan kejadian
serupa yang terjadi di tempat atau dalam periode tertentu daripada memfokuskan
permasalahan yang dihadapi. Misalnya ketika memutuskan untuk berinvestasi
dengan membeli saham, beberapa orang akan berpikiran bahwa membeli saham
perusahaan yang dikenal banyak orang akan menjamin pertumbuhan investasinya.
Hal tersebut memang terdengar masuk akal tetapi tetap adanya faktor lain yang
harus dilihat seperti riwayat harga dan berita perusahaanya. Dalam hubungannya
dengan hasil penilaian properti adalah penilai cenderung menilai berdasarkan
properti yang pernah dinilai penilai lain di suatu periode waktu serta kesempatan
yang berbeda.
Universitas Kristen Petra
13
2.4.2 Availability Heuristic
Sebagian orang mengingat kembali kejadian di masa lalu yang
mempengaruhi pola pikir dan memori dalam memahami heuristik ketersediaan.
Heuristik ketersediaan merupakan faktor heuristik yang memproses pengambilan
keputusannya didukung dan informasi yang tersedia dan pengalaman yang terjadi
beberapa kali. Sebagai contoh ketika berjalan sendirian di malam hari, seseorang
akan mengingat kembali cerita – cerita tentang resiko dirampok. Heuristik
ketersediaan orang akan mencari memori yang sesuai dengan keadaan yang
sedang dihadapi.
Bagi penilai yang menggunakan heuristik ketersediaan, data yang dipakai
sebagai faktor pertimbangan harus sesuai dengan periode yang diinginkan dan
keakuratannya bisa terjamin. Faktor heuristik ini berasumsi bahwa permasalahan
bisa dihadapi jika sudah ditemukannya inti dari permasalahan yang bisa dijadikan
patokan atau dasar. Penilai cenderung membandingkan pengalaman pribadi
dengan permasalahan yang dihadapi. Tetapi tidak semua pengalaman atau ingatan
tersebut relevan dan bisa dijadikan dasar kelengkapan informasi. Data dari
lingkungan juga berperan dalam sistem penilaian. Ketidaktersediaan data menjadi
penghambat penilaian properti.
Kecenderungan dari tipe heuristik ini adalah penggunaan informasi yang
terakhir diperoleh atau informasi yang paling baru. Dengan kata lain informasi
lama atau informasi data pada periode sebelumnya tidak dipakai lagi. Penilai
memiliki asumsi bahwa dengan ketersediaan informasi yang terjadi secara berkala
diperbarui, maka hasil penilaian semakin akurat. Tetapi pada kenyataannya
perputaran informasi yang terjadi terus menerus dan dipakai sebagai dasar
penilaian menyebabkan hasil yang tidak stabil, sehingga hasil penilaian menjadi
bias.
2.4.3 Anchoring and Adjustment Heuristic
Amos Tversky dan Daniel Kahnemann (1974) menyatakan bahwa ketika
mengestimasi dan memprediksi, seseorang akan memulai dengan data awal yang
akan dikembangkan. Faktor heuristik ini berarti penilai menyatakan suatu nilai
Universitas Kristen Petra
14
berdasarkan hasil penilaian sebelumnya terhadap jenis karakteristik properti yang
hampir sama dengan yang sedang dinilai. Metode ini merupakan pembauran data
– data dari objek yang sedang diteliti saat ini dengan data objek lain di masa lalu
yang dijadikan standar. Estimasi mengenai hasil penilaian disesuaikan sebagai
informasi tambahan hingga keputusan akhir dibuat. Dengan kata lain metode ini
dilakukan ketika seorang penilai menetapkan nilai awal sebagai dasar dan bahan
referensi untuk melakukan penilaian dan penyesuaian. Penyesuaian terjadi ketika
penilai menemukan titik acuan awal berdasarkan estimasi nilai probabilitas.
Penyesuaian terhadap nilai awal tidaklah efisien dan menyebabkan hasil bias
(Tversky dan kahnemann, 1974). Hasil yang bias tersebut menyebabkan
seseorang meremehkan proses penyesuaian nilai. Terkadang dengan
menggunakan heuristik ini seseorang hanya terpaku pada suatu teori atau dasar
yang benar-benar menjadi acuan.
2.4.4 Positivity Heuristic
Kecenderungan sifat seseorang yang memiliki strategi pemecahan masalah
dan mencari informasi yang sama dengan yang ada dalam kepercayaan, pola pikir
dan keyakinan (Evans, 1989). Dalam sistem penilaian properti, seorang penilai
menilai dengan menggunakan metode yang menjadi kebiasaan dan sudah lama
digunakan, namun terkadang metode yang digunakan tidak sesuai dengan objek
penilaian sehingga terjadi hasil bias. Terkadang penilai membuat asumsi-asumsi
terlebih dahulu sebelum melakukan penilaian, sehingga sudah terbentuk pola pikir
yang mendasari penilaian tersebut. Penilai juga cenderung percaya terhadap
dirinya sendiri sehingga jika belum membuktikan langsung penilai tidak akan
mudah mendengarkan pendapat orang lain ataupun bukti tertulis, hal ini menjadi
masalah dalam menilai aset dengan nilai nominal yang besar karena hasil yang
dikeluarkan belum tentu hasil yang sebenarnya. Data yang digunakan dirasa oleh
penilai cocok dan tidak mempertimbangkan faktor lain yang bertentangan.
Timbulnya hasil bias dipengaruhi kurangnya data yang digunakan dalam menilai.
Universitas Kristen Petra
15
2.5 Hubungan Antar Konsep
Perilaku heuristik pada diri penilai menjadi faktor yang juga
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Faktor heuristik yang diteliti
pada proses penilaian dikelompokan menjadi 4 faktor yaitu Representative
Heuristic, Availability Heuristic, Anchoring and Adjustment Heuristic dan
Positivity Heuristic.
Representative Heuristic merupakan pengambilan keputusan didasarkan
terhadap kejadian lain yang hampir sama dengan permasalahan yang sedang
dihadapi atau penggunaan kembali metode penilaian yang sudah pernah
diterapkan terhadap objek yang dengan spesifikasi sama. Hasil bias yang
seringkali terjadi adalah penilai tidak mengevaluasi kembali apakah strategi
terdahulu tersebut masih layak digunakan atau sudah harus diperbarui. Kejadian
yang ditemukan Osmond (2012) pada penelitiannya di Nigeria menyatakan hasil
penilaian yang tidak relevan dan timbul bias antar penilai disebabkan oleh penilai
yang hanya sekedar menyalin strategi yang sudah digunakan sebelumnya tanpa
membandingkan dengan kondisi ekonomi saat ini serta data yang dapat
dipertanggung jawabkan. Hasil penilaian cenderung tidak menghiraukan harga
pasar dimana objek dinilai. Pola pikir penilai pada sistem penilaian sama atau
disebut sebagai stereotype, menjadikan salah satu faktor pendukung terjadinya
hasil penilaian yang bias.
Availability Heuristic merupakan keputusan berdasarkan pengalaman yang
pernah dialami si pengambil keputusan di masa lalu. Pengambil keputusan
berasumsi bahwa permasalahan bisa dihadapi jika sudah ditemukannya inti dari
permasalahan tersebut. Misalnya dalam sistem penilaian, penilai beranggapan
bahwa pengalaman yang sering kali ditemui adalah strategi yang bisa diterapkan
dalam menemukan hasil penilaian. Ketersediaan data juga mempengaruhi
penilaian properti, penilai cenderung memberikan hasil yang didasarkan pada
pengalaman ia menilai sebelumnya. Jadi dengan permasalahan yang sama atau
dengan tipe data yang sama menurut pengalamannya tersebut menjadi dasar
penilai menilai sebuah properti. Permasalahannya adalah terkadang pengalaman
saja tidak cukup dalam mengeluarkan hasil penilaian. Ketika akan menyimpulkan
bahwa harga tanah di daerah X akan naik setiap periodenya tidak bisa hanya
Universitas Kristen Petra
16
dilihat dari pengalaman pribadi terhadap objek dengan kriteria yang sama, tetapi
juga harus diperhitungkan rata – rata harga tanah di daerah tersebut, kondisi
perekonomian negara dan jenis dari propertinya, dengan kata lain faktor yang
harus diperhitungkan juga harus lebih spesifik. Disamping itu ketersediaan data
yang menjadi salah satu faktor pendukung penilaian tidak selalu akurat dan
relevan, penilai yang mengunakan heuristik ketersedian dalam menilai akan
menhasilkan hasil penilaian yang belum tentu keakuratannya jika data yang
dipakai tidak lengkap dan berujung dengan hasil penilaian bias.
Anchoring and Adjustment Heuristic berarti pengambil keputusan yang
dalam hal ini merupakan pihak penilai properti mengobservasi suatu
permasalahan, mengambil keputusan dan menyelesaikan permasalahan dengan
mengadopsi strategi lain yang bisa dipakai. Strategi yang dipakai biasanya
berhubungan dengan angka atau keadaan pasar pada periode tersebut yang bisa
didefinisikan dengan presentasi atau adanya suatu standar (Mussweiler, 2002).
Jadi jika dihubungkan dengan bagaimana penilai properti menilai sesuatu secara
obyektif didukung dengan referensi lain seperti rata-rata harga tanah, bangunan
ataupun bagaimana keadaan ekonomi pada saat itu. Data – data yang tidak relevan
tetap dijadikan patokan dan mempengaruhi hasil penilaian. Ketika seorang penilai
mengawali proses penilaian dengan data yang salah dan tidak bisa dibuktikan
kebenarnnya maka akan berdampak pada hasil akhir penilaian yang bias.
Positivity Heuristic merupakan suatu tipe dalam pengambilan keputusan
yang menyatakan bahwa kecendrungan individu untuk mencari informasi yang
sama dengan kepercayaannya. Jadi dalam penilaian properti, biasanya penilai
lebih mengutamakan presepsi pribadi dalam mengelola suatu infromasi, seperti
seorang penilai percaya bahwa harga tanah di daerah tertentu tinggi, hal tersebut
mendukung ia dalam memberikan sistem penilaian yang seharusnya mengikuti
apa yang menjadi kepercayaannya. Permasalahannya adalah ketika data yang
digunakan tidak cukup kuat untuk memberikan hasil penilaian yang relevan. Bias
yang terjadi adalah ketika penilai merasa bahwa tidak perlu membandingkan
properti dengan properti lain. Penilai cenderung menilai mengikuti nilai – nilai
yang ada dalam dirinya dan menghindari pengumpulan data lebih lanjut lagi,
Universitas Kristen Petra
17
selanjutnya meningkatkan resiko hasil bias karena kurangnya data yang dipakai
dalam penilaian.
2.6 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Heuristic Behaviour
Representative Heuristic
Availability Heuristic
Anchoring and Adjustment Heuristic
Positivity Heuristic