[2]...kekuasaan negara itu didapatkan dari gejolak revolusi, dimana kelas lain dalam masyarakat...
TRANSCRIPT
[1]
[2]
Cetakan Pertama
[3]
REVOLUSI DAN
KESADARAN: Proletar-
Borjuis dalam Struktur Kapital
Jun Bramantyo
Kritik atas Imajinasi Sosialis tentang Revolusi
Jika ditanya mengenai revolusi, maka kaum sosialis akan
secara khas dengan gayanya menjelaskan bahwa kelas
pekerja akan mendapatkan apa yang disebut sebagai
kesadaran kelas dari kepekaan terhadap eksploitasi yang
terjadi sepanjang hidupnya. Lalu kelas pekerja akan
menyadari kepentingan kelas dan posisinya di
masyarakat. Kemudian dengan perkasanya mereka akan
melakukan revolusi politik merebut dan menjalankan
kekuasaan negara sebagai pernyataan tegas bahwa
kepentingan kelas pekerja harus dipaksakan terhadap
kelas yang lain – tindakan merebut dan menguasai
negara ini disebut para sosialis sebagai kediktatoran
proletariat. Tindakan merebut dan menjalankan
kekuasaan negara itu didapatkan dari gejolak revolusi,
dimana kelas lain dalam masyarakat digulingkan dan
kelas pekerja naik ke tampuk kekuasaan untuk mengatur
kembali masyarakat sesuai kepentingan kelasnya.
[4]
Tentu tidak menutup kemungkinan bahwa dalam
penjelasan seperti garis besarnya diatas, para sosialis
dengan tendensi berbeda – sebanyak menu restoran itu –
akan memiliki beragam variasi penjelasan yang
walaupun jika diurai kembali, menjadi garis yang sama:
kesadaran kelas dan negara kelas pekerja. Kurang lebih
mereka menyamakan revolusi proletar (kelas pekerja)
dengan revolusi borjuis yang datang beberapa abad
sebelumnya.
Dalam pandangan umum kaum sosialis, skema-skema
diatas sangatlah masuk akal. Karena gagasan sedemikian
rupa tersebut dianggap memiliki relasi dengan marxisme,
dimana mereka – sekali lagi saya akan jelaskan –
memahami bahwa: kelas pekerja akan bangkit dengan
kepentingannya sebagai sebuah kelas, lalu memaksakan
kepentingan itu terhadap kelas lain, sehingga mereka
(pekerja) akan mengarah pada penggulingan dari
negara yang sudah ada. Bahkan argumen seperti itu
tidak hanya dipercayai oleh kaum sosialis, para
penentang revolusi proletar juga memakan mentah-
mentah argumen para sosialis tersebut, lalu
menganggapnya sebagai duplikasi pernyataan yang valid
dari argumen yang telah dibuat oleh Marx-Engels.
Salah satu contoh argumen dari para „penentang
revolusi‟ dapat dilihat dalam argumen Murray Rothbard
di karyanya yakni „Man, State, and Society‟, dimana ia
berkata:
[5]
“Jelas tidak masuk akal untuk memperlakukan
“masyarakat” sebagai “yang-nyata”, dengan kekuatan
independennya sendiri. Tidak ada realitas di masyarakat
selain dari individu yang menyusunnya dan yang
tindakannya menentukan jenis pola sosial yang akan
dibentuk...”[1]
Anehnya, jika kita menghiraukan argumen kardus para
sosialis yang berlaku sampai saat ini – karena Rothbard
mengkritik para kardus, Rothbard dan kaumnya akan
dibenarkan oleh Marx dan Engels dalam artian tertentu.
Marx dan Engels juga menyatakan bahwa seorang
kapitalis, misalkan, tidak akan berhenti menjadi manusia
hanya karena ia seorang kapitalis dan bertindak sebagai
individu bukannya kelas:
“Kami tidak bermaksud untuk memahami dari sini
bahwa, misalnya, rentir, kapitalis, dan lain-lain tidak lagi
menjadi manusia...”[2]
Seorang pemodal akan selalu bertindak sebagai individu
dan kepentingan modal tidak dapat menjadi
kepentingannya sebagai individu. Artinya pemodal
sendiri tidak tau kepentingan kelasnya; dia hanya tau
kepentingan dirinya sendiri sebagai individu. Hal ini
harusnya dipahami, karena secara lebih lanjut hal ini
tidak hanya berlaku untuk pemodal, tetapi juga berlaku
untuk kelas-kelas di masyarakat kapital. Tidak ada
satupun anggota kelas manapun dalam masyarakat
[6]
kapital yang dapat mengetahui kepentingan kelasnya.
Jika hal barusan berlaku untuk para pemodal dalam
masyarakat kapital, maka hal itu juga berlaku untuk
proletar (kelas pekerja) bahwa: tidak ada kualitas yang
bersifat magis ketika seseorang menjadi bagian dari
kelas proletar – karena dengan menjadi kelas proletar
(pekerja) tidak akan membuat seorang individu sadar
akan kepentingan kelasnya. Dalam berbagai kasus,
individu bertindak sebagai individu dan hanya berlaku
sebagai individu.
Tidak pernah ada dalam tulisan Marx yang menjelaskan
bahwa kelas pekerja berbeda dengan kelas borjuis karena
ia dipandu oleh suatu kesadaran – kesadaran kelas –
yang akan berujung pada pemaksaan kepentingan
kelasnya di masyarakat. Jika ia dipandu oleh suatu
kesadaran magis ini, lalu bagaimana kita menjelaskan
mengenai persaingan?
Maka, jika kelas-kelas dalam masyarakat kapital ini
diurai-urai, misalkan, ambil saja salah satunya kelas
pekerja, kita hanya akan menemui kumpulan individu
yang memperlakukan satu sama lain – sesama kelasnya –
sebagai pesaing. Begitu pula hubungan antar anggota
kelas borjuis, dimana diantara mereka hanya ada
kompetisi. Ini artinya, anggota dari kedua kelas yang
berbeda memperlakukan sesama anggota kelas yang lain
sebagai musuh, atau sebagai pesaing.
[7]
Lalu apa artinya untuk konsep kelas-kelas dalam
masyarakat dan hubungan antara individu-individu
kepada kelas tempat mereka mengada? Ini akan
membantah kaum Rothbardian dimana mereka berfikir
bahwa kelas tidak ada, atau bahwa kelas hanyalah
abstraksi murni dan sederhana. Sebuah kelas, hanya akan
muncul ketika anggotanya menemukan masing-masing
dari diri mereka dalam suatu “posisi yang berlawanan
dengan kelas lain dan, untuk diri mereka sendiri, hanya
ketika mereka menjadi bangkrut,” yakni, ketika ada
konflik yang terjadi diantara kondisi material (sistem)
dari keberadaan satu kelas dengan kondisi material
(sistem) dari keberadaan kelas yang lain.
Setidaknya ada dua alasan yang menurut saya membuat
apa yang diargumentasikan oleh Marx dan Engels
menjadi penting. Alasan pertama adalah argumen itu
menjelaskan, bahwa dari sudut pandang mereka,
serangkaian revolusi politis yang menandai transisi
antara masyarakat feodal ke masyarakat borjuis.
Bahwasanya kelas borjuis muncul dalam
pertentangannya dengan hubungan sosial feodal dan
kondisi material masyarakat lama, sehingga selanjutnya,
mereka melepaskan diri dari hubungan sosial tersebut
karena mereka akan menciptakan kondisi material
(sistem) kelasnya sendiri.
Lalu alasan yang kedua adalah argumentasi yang dibuat
oleh Marx-Engels menjelaskan mengapa, dari sudut
[8]
pandang mereka, bahwa revolusi proletar bukanlah
revolusi politik. Tidak seperti kelas borjuis, proletar
tidaklah muncul dalam pertentangannya dengan
hubungan sosial borjuis, tetapi justru sebagai produk dari
hubungan-hubungan itu – proletar adalah produk dari
dekomposisi rezim kelas yang lama dimana ia ada
karena dampak dari revolusi borjuis atas model produksi.
Revolusi industri telah menguraikan masyarakat lama
(masyarakat feodal) dan terus menerus melampauinya
dengan melakukan proletarisasi (membukat orang
menjadi pekerja). Maka, karenanya proletar bukanlah
kelas yang muncul untuk menentang kondisi material
(secara sederhana – sistem) kelas borjuis dengan kondisi
material (sistem) kelasnya, sebaliknya, revolusi proletar
adalah dekomposisi (pembubaran) dari masyarakat
kelas-kelas ini. Revolusi proletar bukanlah produk
politik, melainkan produk material; bukanlah kesadaran
kelas, melainkan kesadaran tanpa kelas – sehingga
gerakan proletar adalah gerakan yang mengekspresikan
masyarakat tanpa kelas.
Maka, seperti yang saya ungkapkan, bahwa proletar
(kelas pekerja) memang tidak memiliki kepentingan
sebagai kelas untuk memaksa dan merebut kekuasaan
dari kelas yang berkuasa – dimana hal ini bertentangan
dengan „kebijaksanaan‟ dangkal kaum sosialis hari ini.
Kondisi material dari keberadaan kelas pekerja tidak
bertentangan dengan kondisi material dari keberadaan
[9]
kelas borjuis. Inilah yang akan membuat revolusi
proletar akan menjadi aneh dibandingkan revolusi
borjuis yang lebih umum dan lazim. Kenapa menjadi
aneh? Karena revolusi proletar akan menjadi revolusi
yang tidak bersifat politis sama sekali. Revolusi proletar
tidak dinyatakan sebagai revolusi politik, karena proletar
tidak berkepentingan secara kelas melawan dan merebut
kekuasaan dari kelas penguasa.
Tidak perlu diragukan lagi, pernyataan ini sangat sulit
diterima oleh para sosialis. Mereka memiliki gagasan
revolusi proletar yang kurang lebih berjalan seperti
revolusi borjuis. Faktanya, Marx dan Engels dalam
Ideologi Jerman tidak pernah menjelaskan demikian.
Sebaliknya, revolusi proletar tidak berjalan dengan cara
revolusi politik borjuis dan tidak akan bisa berjalan
seperti itu karena alasan-alasan yang sangat spesifik.
Lalu apa? Jika revolusi proletar bukan penegasan
kepentingan kelas dari proletar terhadap kelas-kelas
lain, revolusi macam apa itu? Saya akan mencoba
menjelaskan masalah ini, merujuk pada apa yang
dijelaskan oleh Marx dan Engels dalam Ideologi Jerman
di bagian selanjutnya.
Kelas-Kelas dalam Ranah Kesadaran
[10]
Selanjutnya, pada bagian ini saya akan menyampaikan
pandangan saya tentang pertanyaan di akhir bagian
sebelumnya. Dalam bagian sebelumnya, saya
menyampaikan bahwa revolusi proletar berbeda dengan
revolusi borjuis dan tidak akan dapat berjalan seperti
revolusi kelas borjuis karena alasan-alasan yang spesifik.
Dengan klaim macam ini saya selanjutnya diharuskan
untuk menjawab pertanyaan yang sudah jelas: Bila
revolusi proletar bukan berjalan karena kepentingan
kelas proletar dan proletar tidak akan memaksakan
kepentingannya itu pada kelas lain, lalu apakah revolusi
proletar itu?
Sebagian dari jawaban ini justru bisa dilihat dari sifat
kelas borjuis itu sendiri. Kelas itu (kelas borjuis),
menurut Marx dan Engels, memiliki „keberadaan
independen‟ dari individu-individu yang menyusun kelas
tersebut. Ada perbedaan nyata yang harus dibuat antara
kelas itu sendiri dan individu yang menyusunnya. Sifat
kelas borjuis ini, menurut Marx dan Engels:
“Individu selalu berlaku sebagai diri mereka sendiri,
tetapi secara alami, diatasnya, diri mereka sendiri tidak
lebih dari apa yang diberikan kondisi dan hubungan
historis, ini bukanlah individu „murni‟ dalam pengertian
para ideolog. Tetapi dalam perjalanan evolusi sejarah,
dan tepatnya melalui fakta yang tak terelakkan dalam
pembagian kerja secara sosial, mengambil keberadaan
yang independen, nampak pada pembagian dalam
[11]
kehidupan setiap individu, sejauh itu bersifat pribadi dan
sejauh yang ditentukan oleh beberapa cabang kerja serta
kondisi yang berkaitan dengannya...”[3]
Dengan begitu, kondisi material dari setiap lapisan kelas
borjuis tidak hanya bertentangan dengan kondisi material
dari kelas lain dalam masyarakat, tetapi selain itu, dalam
dirinya sendiri, kelas ini juga tidak tergantung pada
individu yang menyusun kelasnya – artinya
independen. Dalam artian lain, keberadaan independen
kelas ini, atau keberadaan independen kepentingan
kelasnya, adalah keberadaan independen yang nyata dan
tidaklah abstrak. Dibutuhkan suatu bentuk komunitas
yang dipenuhi ilusi, sebuah negara borjuis, yang pada
akhirnya memiliki eksistensi independen – sebagai
perwujudan kepentingan kelas – untuk menekan
anggota-anggota kelas borjuis itu sendiri, serta memaksa
kelas-kelas lain tunduk pada kepentingan kelas yang
diwakili oleh negara tersebut. Negara, dalam masyarakat
borjuis, adalah kombinasi fraksional dari satu kelas yang
berdiri melawan kelas lain, tetapi di satu sisi berlaku
independen dari kelas yang kepentingannya diwakili.
Fakta ini tidaklah unik, ketika dibandingkan dengan
kemunculan kelas pekerja, yang mana menurut Marx dan
Engels, kelas yang satu ini adalah bentuk yang paling
berkembang dari pembagian antara kelas dan anggota
individu kelasnya.
[12]
Kenapa bisa seperti itu?
Jawabannya akan sederhana dan akan dipahami oleh
setiap sosialis jika mereka pernah meluangkan waktu
sedikit saja untuk memikirkannya: Dengan adanya
proletar – pekerja – masyarakat untuk pertama kali
memiliki kelas dengan cara mengada yang unik, karena
kelas pekerja adalah kelas yang keberadaan materialnya
hanya untuk memperkaya kelas lain – kelas borjuis – dan
justru memiskinkan dirinya sendiri. Sebagai sebuah
kelas, tidak ada satupun negara yang dapat mewakili
kelas pekerja, karena sebagai sebuah kelas, mereka
hanya memiliki cara mengada dimana mereka hanya
memperkaya kelas borjuis. Kelas pekerja bukan hanya
tidak bertentangan dengan cara mengada kelas borjuis
secara material, tetapi lebih jauh lagi, kelas pekerja
hanya berfungsi untuk memperkaya kelas borjuis itu
sendiri. Semua usaha kaum sosialis untuk membenarkan
bahwa kelas pekerja membutuhkan negara akan selalu
gagal. Bahkan jikalau mereka dapat “memerintah”
melalui suatu negara, negara ini akan mewakili
kepentingan dari kelas yang lain, dan bukan proletariat.
Walaupun seperti itu, fakta ini sekali lagi akan sangat
sulit untuk diterima oleh para bolshevis. Karena dalam
argumennya, mereka akan selalu mengutip Lenin yang
mengamini Kautsky perihal pengetahuan ilmiah yang
diperlukan untuk mengelola produksi sosial modern.
Kautsky dan Lenin lebih tepatnya tidak mengembangkan
[13]
gagasan Marx sampai ke tahapan praktek, karena
memang apa yang mereka tulis bukanlah gagasan Marx
– dalam hal ini kesadaran kelas. Seperti yang dirujuk
oleh Lenin dalam bukunya, “What is to be Done?”,
Kautsky menyatakan:
“Kesadaran sosialis modern dapat timbul hanya atas
dasar pengetahuan ilmiah yang mendalam. Memang,
ilmu ekonomi modern merupakan suatu syarat bagi
produksi sosialis sama halnya seperti, misalnya,
teknologi modern, dan proletarian tak dapat menciptakan
yang satu atau yang lainnya, bagaimanapun juga ia
menginginkannya: kedua-duanya timbul dari proses
sosial modern. Pembawa ilmu bukanlah proletariat,
melainkan intelegensia borjuis: dalam otak anggota-
anggota perorangan dari lapisan inilah lahir sosialisme
modern, dan merekalah yang menyampaikannya kepada
orang-orang proletas yang menonjol perkembangan
inteleknya, yang selanjutnya memasukkannnya kedalam
perjuangan klas proletariat dimana syarat-syarat
mengijinkannya. Jadi, kesadaran sosialis adalah sesuatu
yang dimasukkan ke dalam perjuangan klas proletariat
dari luar (von Aussen Hineingentragenes) dan bukan
sesuatu yang timbul dari dalamnya secara spontan
(Urwuchsig).”[4]
Jadi memang, menurut Kautsky, yang selanjutnya
diamini oleh Lenin, ideologi borjuis adalah kesadaran
dari kelas yang dominan, sementara kesadaran sosialis
[14]
(komunis) adalah “pengetahuan ilmiah yang mendalam”
untuk mengelola masyarakat sosialis. Ini bukanlah
perdebatan yang baru dizaman Lenin dan Kautsky,
perdebatan ini sudah muncul sejak Bakunin salah paham
dengan argumen-argumen Marx, Bakunin berpendapat:
“Kaum marxis menyadari kontradiksi ini dan menyadari
bahwa pemerintahan ilmuwan akan menjadi kediktatoran
yang nyata terlepas dari bentuk demokrasinya. Mereka
menghibur diri dengan gagasan bahwa aturan ini akan
bersifat sementara...”[5]
Dari pernyataan ini, Bakunin menolak kesimpulan yang
muncul dari kesalahpahamannya atas teori Marx, dan
berfikir bahwa kesadaran komunis yang Marx sebut
dalam Ideologi Jerman, adalah landasan material untuk
munculnya negara baru yang terdiri dari pekerja
intelektual dan elit-elit di dalam komune. Dengan cara
dan posisi akhir yang berbeda, dan waktu yang lebih
lampau, Bakunin tiba pada logika Leninisme beberapa
dekade sebelum Lenin sendiri muncul. Walaupun
Bakunin adalah kutub negatif dari logika leninis tersebut,
tetapi keduanya – baik Bakunin dan Lenin, sama-sama
menyalahpahami bahwa kesadaran sosialis (komunis)
adalah kesadaran “ilmiah yang medalam” dan hanya
bisa disuntikkan oleh borjuis intelejensia.
Jika dibahas lebih lanjut, Kautsky-Lenin dan Bakunin
memiliki benang merah dengan posisinya masing-
[15]
masing (baik kutub negatif dan positif), bahwa
pengetahuan ilmiah ini berada di tangan minoritas dari
komune (dalam zaman Lenin – Soviet). Lebih ketat lagi,
Kautsky dan Lenin (Minus Bakunin) dengan tegas
menjelaskan bahwa pengetahuan ilmiah bukan hanya
dipegang oleh minoritas, tetapi minoritas itu sendiri
adalah lapisan intelektual borjuis yang bergabung
dengan perjuangan proletar. Sementara itu Bakunin
membatasi kritiknya terhadap Marx dan Engels hanya
pada pengetahuan teknis dan ilmiah produktif dipegang
oleh lapisan elit produsen sosial dalam masyarakat;
Kautsky dan Lenin justru memperluas argumen ini
dengan gamblang dan merevisi konsep kesadaran
komunis ala Marx itu sendiri.
Lebih luas lagi, revisi Kautsky dan Lenin berkutat pada
pendapat bahwa kesadaran unik kelas proletar tidak
muncul dari kondisi material kelasnya, tetapi justu
langsung dari kelas lainnya. Sementara kesadaran borjuis
adalah produk dari kondisi material kelasnya (memiliki
properti pribadi), kesadaran proletar adalah – cukup aneh
disini – merupakan produk dari kondisi material borjuis
juga.
Namum, sayangnya untuk Kautsky, Marx dan Engels
secara tertulis menentang argumennya jika mereka masih
hidup. Bagian yang bisa dipertentangkan antara argumen
Marx-Engels dan Kautsky ini adalah sebagai berikut.
[16]
Kautsky menyatakan:
“Banyak kritikus revisionis kita berpendapat bahwa
Marx menyatakan bahwa perkembangan ekonomi
dan perjuangan klas tidak hanya menciptakan
syarat-syarat untuk produksi sosialis, tetapi juga,
dan secara langsung, melahirkan kesadaran tentang
keharusan produksi sosialis.”[6]
Sementara, di Ideologi Jerman, Marx dan Engels
menyatakan secara gamblang:
“Dalam pengembangan kekuatan-kekuatan
produktif muncullah suatu tahap ketika kekuatan-
kekuatan produksi dan sarana-sarana produksi
diwujudkan, yang, di bawah hubungan-hubungan
yang ada, hanya menyebabkan kerusakan, dan tidak
lagi produktif tetapi kekuatan-kekuatan destruktif
(mesin dan uang); dan terkait dengan ini sebuah kelas
dipanggil, yang harus menanggung semua beban
masyarakat tanpa menikmati keuntungannya, yang
diusir dari masyarakat, dipaksa menjadi
antagonisme yang paling pasti bagi semua kelas
lainnya; sebuah kelas yang membentuk mayoritas
dari semua anggota masyarakat, dan yang darinya
memunculkan kesadaran akan perlunya revolusi
fundamental, kesadaran komunis, yang mungkin,
tentu saja, muncul di antara kelas-kelas lain juga melalui
perenungan situasi kelas ini.”[7]
[17]
Dengan melihat perbandingan ini, kita bisa
menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan teori
revisionis oleh Kautsky adalah argumen Marx dan
Engels tentang kesadaran sosialis (komunis) itu sendiri.
Ini adalah kesalahpahaman sejarah yang cukup fatal.
Bertentangan dengan apa yang dipahami oleh kaum
sosialis kita hari ini, dan juga bertentangan dengan
pendapat Kautsky dan Lenin, kesadaran revolusioner
bukanlah kesadaran kelas, melainkan, sebagaimana yang
didefinisikan oleh Marx dan Engels, kesadaran
revolusioner ini adalah konsep kesadaran sosialis
(komunis) – yang langsung menjadi masyarakat tanpa
kelas. Karena kesadaran dalam diri proletar bukanlah
kesadaran kelas, namun apa artinya ini? Mengatakan
bahwa kesadaran revolusioner ini bukanlah kesadaran
kelas berarti, antara lain, bahwa kesadaran itu tidak
mengekspresikan pertentangan dengan kelas-kelas lain.
Ini berbeda dengan kesadaran borjuis yang merupakan
ekspresi anatagonisme kelas borjuis terhadap kelas
dalam masyarakat yang lama (kelas feodal).
Sebaliknya, kelas pekerja tidak melepaskan diri dari
kondisi-kondisi produksi borjuis, tetapi kelas pekerja itu
sendiri merupaka produk dari kondisi-kondisi produksi
borjuis itu sendiri. Oleh karena itu kesadarannya tidaklah
antagonistik dengan kondisi kehidupan material kelas
borjuis. Ini bisa terjadi karena, kondisi keberadaan
material dari kelas pekerja itu sendiri – yakni kerja
[18]
(upahan) – adalah premis dari kondisi pemenuhan
kebutuhan material dari kelas borjuis. Karena alasan ini
maka Marx dan Engels berargumen bahwa revolusi
sosial(is) kelas pekerja berarti ia (kelas pekerja) akan
mengakhiri syarat untuk kondisi kehidupan materialnya
sendiri, yakni kerja (upahan). Kesadarannya, karenanya
bukanlah untuk menggulingkan kelas lain dan berkuasa
melalui negara – kesadaran politik atau kesadaran kelas;
melainkan kesadaran untuk mengakhiri dirinya sendiri,
untuk bekerja.
Di bagian selanjutnya saya akan mencoba untuk
menjelaskan bahwa revolusi sosial(is) bukan
menitikberatkan bahwa kelas pekerja mesti
membebaskan dirinya dari kelas lain – pembebasan
politik – tetapi pembebasan kelas pekerja adalah upaya
untuk membebaskan dirinya sebagai individu dari
predikat kelas pekerja itu sendiri, yaitu dari kondisi
keberadaan materialnya sendiri, yakni kerja (upahan).
Saya akan mengulasnya menjadi bagian akhir dari
booklet ini, dimana saya akan menekankan bahwa
revolusi sosial(is) tidak dapat terwujud melalui
pertempuran melawan kelas berkuasa. Itu bukanlah
tujuan utamanya!
[19]
Dampak dari Tak Adanya Kesadaran Kelas
Pada bagian sebelumnya saya telah mengatakan bahwa
revolusi sosial(is) tidak dapat mengambil bentuknya
melalui konflik dengan kelas penguasa. Saya berfikir
bahwa sosialisme bukannya tidak muncul akibat
kurangnya kesadaran kelas dalam diri proletar hari ini
ketika menyikapi krisis, tetapi memang sedari dulu
hingga kini, kesadaran kelas yang dipaksakan ada itu
akan selalu mengalami kegagalan. Karena itulah kelas
pekerja. Ia tidak memiliki kesadaran kelas. Nah! Tetapi
ketidakhadiran perjuangan kelas saat krisis ini menjadi
tanda tanya untuk teoritikus sosialis kita.
Andaikan saja mereka akan berfikir dan berpendapat
secara maksimal, bahwa: “kesadaran kelas yang ada
pada zaman Marx sudah tidak ada lagi hari ini. Sehingga
jalanan dan kota-kota sepi dari demonstrasi.”
Jika argumen semacam ini dilemparkan, maka ini hanya
salah satu dari sekian banyak tampak yang menandakan
bahwa mereka hari ini tengah dalam kebingungan untuk
menjelaskan perlawanan kelas pekerja yang semakin
surut dan terbatas terhadap pemerintahan borjuis ataupun
kapital secara umum. Walaupun mereka akan mencari
celah dan jalan apapun untuk membuktikan bahwa
kesadaran kelas benar-benar ada, dengan mencari faktor-
faktor yang mempengaruhi kecacatan respon kelas
[20]
pekerja atas krisis hari ini, tapi pastinya akan tetap sia-
sia.
Kemungkinan mengapa kelas pekerja tidak merespon
krisis dengan perang kelas mengisyaratkan bahwa kelas
ini tidak dan tidak akan mengembangkan kesadaran
kelas yang diharapkan oleh kaum sosialis, yang
menganggap bahwa satu-satunya jalan keluar dari krisis
kapital hari ini adalah perang kelas dengan kesadaran
kelas di masing-masing kepala pekerja. Oleh karena itu,
bagi kaum sosialis hari ini, pekerja harus memiliki
kesadaran kelasnya untuk mengakhiri krisis yang
melanda kapitalisme dan memindahkan kita ke zaman
sosialisme.
Tentu kecacatan ini bukan terletak pada kelas pekerja
yang bukan dan tidak akan pernah terbentuk menjadi
kelas politik, kecacatannya sendiri ada pada kaum
sosialis, dimana mereka bukanlah dan tidak akan pernah
menjadi ekspresi dari politik kelas pekerja itu sendiri.
Karena memang kelas pekerja tidak pernah memiliki
kesadaran kelas, melainkan ia merupakan ekspresi dari
pembubaran masyarakat berkelas-kelas – oleh karenanya
ia tidak memiliki ekspresi politik berupa kesadaran
kelas.
Untuk ini saya berbagi persetujuan dengan John
Holloway yang berpendapat bahwa mengambil
kekuasaan politik bukan hanya merugikan diri sendiri,
[21]
tetapi ia juga adalah bentuk upaya yang sia-sia, oleh
karena itu John Holloway berkata bahwa:
“Lalu bagaimana kita mengubah dunia tanpa mengambil
alih kekuasaan? Di akhir buku, seperti di awal, kita tidak
tau.”[8]
Yang mana dalam akhir bukunya pun John Holloway
sialan ini mengakui bahwa ia sendiri tidak dapat
merumuskan tujuan selain dari tujuan perebutan
kekuasaan politik. Jadi, bahkan secara kritis, kaum
sosialis kita tidak mampu mengatasi keterbatasan
teoritiknya karena mereka sendiri telah mengamputasi
logika antara apa yang disebut dengan kekuasaan politik
dengan penghapusan kerja upahan. Seolah-olah
penghapusan kerja upahan tidak berdampak apapun
terhadap (kekuasaan) politik. Artinya, sampai disini,
jika argumen dasarnya masih tetap apa yang saya garis
tebalkan, kaum sosialis kita pun tidak selesai menjawab
pertanyaan: bagaimana bisa kelas yang terbatas bahkan
dari segi jumlahnya saja (kelas borjuis) dapat
memerintah kelas yang merupakan mayoritas
masyarakat (kelas proletar) dengan perbandingan
jumlah yang luar biasa? Ini bukan pertanyaan yang
harus diabaikan. Karena jika ia dibalik, akan ditemukan
sebuah pertanyaan cermin yang berhubungan dengan apa
yang saya tebalkan diatas: bagaimana bisa kelas
mayoritas yang jumlahnya sangat besar ini menjadi
penguasa politik tetapi di sisi lain menjadi budak dalam
[22]
realita ekonominya sehari-hari? Ini adalah pertanyaan
yang akan menguliti teori politik parsial di kepala para
sosialis, yang didalam kepala mereka, masih berfikir
bahwa penghapusan kerja (upahan) tidak berdampak
pada politik sosialis maupun sebaliknya.
Tapi jangan disalahpahami disini, yang dimaksud
dengan politik sosialis bukanlah politik menggunakan
kesadaran kelas sebagai kekuatannya. Marx dan Engels,
dalam manifesto komunis telah menjelaskan bahwa
bukan kemenangan politis proletariat lah yang penting,
tetapi asosiasi yang berkembang diantara hubungan
produktif yang melingkupi kelas pekerja sebagai
prasyarat material yang menghubungkannya dengan
sosialisme:
“Kadang-kadang kaum buruh memperoleh kemenangan,
tetapi hanya untuk sementara waktu. Buah yang
sebenarnya dari perjuangan mereka tidak terletak pada
hasil yang langsung, tetapi pada senantiasa makin
meluasnya persatuan kaum buruh. Persatuan ini dibantu
terus oleh kemajuan-kemajuan alat-alat perhubungan
yang dibuat oleh industri modern dan yang membawa
kaum buruh dari berbagai daerah berhubungan satu
dengan yang lain...”[9]
Tetapi kaum sosialis, setelah membaca Manifesto
Komunis, mereka malah percaya bahwa persatuan yang
dimaksud oleh Marx dalam karyanya ini, dapat dipenuhi
[23]
dengan cara-cara politis mulai dari reformasi subsidi ala
sosial demokrat hingga merebut langsung negara yang
ada. Dalam argumen para sosialis, selalu saja
penekanannya terletak di perebutan kekuasaan negara,
pada penaklukan politik atau tekanan-tekanan politis
terhadap negara itu sendiri. Dalam kasus apapun, kita
akan diarahkan pada suatu perencanaan membangun
partai proletar perebut negara borjuis, tetapi tidak
memikirkan permasalahan utamanya, yakni
menyelesaikan fragmentasi di dalam kelas pekerja secara
aktual. Karena fragmentasi merupakan hasil yang terjadi
akibat adanya premis kerja upahan dan negara, maka
penyelesaian fragmentasi dalam kelas pekerja hanya
dapat diatasi dengan penghapusan keduanya, solusinya
tentu dapat diupayakan melalui “komunitas proletariat.”
Yang tentu saja tidak bertujuan untuk merebut kekuasaan
negara, melainkan menghapuskannya.
[24]
Catatan Kaki:
[1] Karya Rothbard yang berjudul „Man,State, and
Society‟ dapat diakses di: https://mises.org/library/man-
economy-and-state-power-and-market/html/c/260
[2] Marx-Engels menuliskan itu pada karyanya yakni
The German Ideology yang dapat diakses di:
https://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/ger
man-ideology/ch01d.htm
[3] Marx-Engels menuliskan hal ini pada karyanya, The
German Ideology yang dapat diakses di:
https://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/ger
man-ideology/ch01d.htm
[4] Pendapat Kautsky dikutip oleh Lenin dalam karyanya
“What is to be Done?”, karya Lenin ini bisa dibaca di
link berikut :
https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1902/
ApaYang/Bab2.htm
[5] Ketidaksetujuan (baca: kesalahpahaman) Bakunin
atas Marx mengenai hal ini dapat dilihat di:
https://www.marxists.org/reference/archive/bakunin/wor
ks/1873/statism-anarchy.htm
[6] Pendapat Kautsky yang ini juga dikutip oleh Lenin
dalam karyanya “What is to be Done?”, karya Lenin ini
bisa dibaca di link berikut :
[25]
https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1902/
ApaYang/Bab2.htm
[7] Ini adalah terjemahan untuk fragmen Ideologi Jerman
yang merupakan salah satu karya penting Marx, yang
dapat dibaca di:
https://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/ger
man-ideology/ch01d.htm
[8] Ini adalah kutipan terkenal dari John Holloway yang
dapat dilihat di: http://libcom.org/library/chapter-11-
revolution
[9] Kutipan ini berasal dari karya Marx yang berjudul
Manifesto Komunis, dapat diakses di:
https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-
engels/1848/manifesto/ch01.htm#bab1
[26]
Facebook: Jurnal Dekomposisi
Instagram: dekomposisi.id
Blog: anarkontingensi.wordpress.com