2 hakikat manusia

4
Hakekat Manusia Dwi Riza Kurnia (1406540736) – Ilmu Administrasi Fiskal Negara yang baru merdeka di Asia Afrika mempunyai SDA dan SDM yang bagus. Namun perekonomiannya tak kunjung makmur. Hal tersebut dikarenakan faktor struktur masyarakat, kurangnya bakat di bidang ekonomi, faktor iklim sosial budaya yang tak cocok dengan kemajuan ekonomi. H. J. Boeke berkata ada jurang besar antara ekonomi rakyat desa dengan orang barat di perkebunan atau industri. Hal ini terjadi karena mental petani desa yang tidak punya inisiatif sendiri, terikat pada lingkungan sekitar, statis dan tidak suka bekerja. Menurut G. Gonggrip, iklim tropis yang kurang kejam tidak memberi dorongan untuk bekerja keras dan negara yang beriklim sedang lah yang bisa maju perekonomiannya karena ada kontras besar antara musim panas dan dingin sehingga membuat orang menjadi aktif dan hidup dan mendorong untuk maju. Determinisme geografis tersebut mendapat kritikan bahwa di daerah tropis juga bisa mengembangkan negaranya melalui kebudayaan dan di iklim tropis juga terdapat tantangan dalam hidup, seperti curah hujan tinggi, tanaman liar, dll. Jadi kemajuan ekonomi suatu bangsa tidak bisa diukur dengan iklim, namun harus diukur secara konkrit lewat angka rata-rata pendapatan bagi tiap warga per tahun. Dari beberapa contoh diatas terbukti bahwa tidak ada hubungan yang pasti antara iklim sedang dengan kemajuan suatu bangsa. Arnold Toynbee berpendirian bahwa suatu bangsa bisa maju apabila mengalami suatu tantangan, dan tantangan tersebut tidak terlalu kecil ataupun tidak terlalu besar. Karena apabila terlalu kecil, maka reaksi pendorong untuk maju tidak akan

Upload: icha-ittu-rizha

Post on 01-Oct-2015

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hakikat manusia

TRANSCRIPT

Hakekat ManusiaDwi Riza Kurnia (1406540736) Ilmu Administrasi Fiskal

Negara yang baru merdeka di Asia Afrika mempunyai SDA dan SDM yang bagus. Namun perekonomiannya tak kunjung makmur. Hal tersebut dikarenakan faktor struktur masyarakat, kurangnya bakat di bidang ekonomi, faktor iklim sosial budaya yang tak cocok dengan kemajuan ekonomi. H. J. Boeke berkata ada jurang besar antara ekonomi rakyat desa dengan orang barat di perkebunan atau industri. Hal ini terjadi karena mental petani desa yang tidak punya inisiatif sendiri, terikat pada lingkungan sekitar, statis dan tidak suka bekerja. Menurut G. Gonggrip, iklim tropis yang kurang kejam tidak memberi dorongan untuk bekerja keras dan negara yang beriklim sedang lah yang bisa maju perekonomiannya karena ada kontras besar antara musim panas dan dingin sehingga membuat orang menjadi aktif dan hidup dan mendorong untuk maju. Determinisme geografis tersebut mendapat kritikan bahwa di daerah tropis juga bisa mengembangkan negaranya melalui kebudayaan dan di iklim tropis juga terdapat tantangan dalam hidup, seperti curah hujan tinggi, tanaman liar, dll. Jadi kemajuan ekonomi suatu bangsa tidak bisa diukur dengan iklim, namun harus diukur secara konkrit lewat angka rata-rata pendapatan bagi tiap warga per tahun. Dari beberapa contoh diatas terbukti bahwa tidak ada hubungan yang pasti antara iklim sedang dengan kemajuan suatu bangsa. Arnold Toynbee berpendirian bahwa suatu bangsa bisa maju apabila mengalami suatu tantangan, dan tantangan tersebut tidak terlalu kecil ataupun tidak terlalu besar. Karena apabila terlalu kecil, maka reaksi pendorong untuk maju tidak akan timbul, dan apabila terlalu besar akan membuat masyarakat tidak mampu melawan dan akhirnya menyerah. Terdapat beberapa faktor yang sangat penting untuk menumbuhkan perekonomian suatu bangsa. Pertama adalah ketenangan dan kestabilan politik dapat membuat para usahawan merasa aman dan berani mengambil resiko di dalam negeri. Kedua adalah faktor susunan masyarakat yang mencakup stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Pembangunan ekonomi dilaksanakan dalam wadah suatu masyrakat yang mempunyai struktur tertentu, artinya suatu jaringan hubungan di dalam rangka masing masing golongan serta lapisan dan golongan tersebut. Faktor ketiga adalah faktor mental, yang mencakup sistem nilai budaya dan mental.Sistem nilai budaya itu merupakan rangkaian konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran masyarakat mengenai apa yang dianggap penting, dan apa yang dianggap remeh. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman serta pendorong tingkah laku manusia dalam hidup. Sikap merupakan kecondongan yang berasal dari individu untuk bertingkah laku dengan pola tertentu. Berbeda dengan nilai budaya yang berada di luar individu tersebut. Contohnya malas mengerjakan tugas yang bekerja dengan tangan. Jadi baik nilai budaya ataupun sikap bisa mempengaruhi tindakan manusia baik secara langsung maupun melalui pola cara berpikir. Ciri mental masyarakat Indonesia asli adalah orde sosial petani. Dari petani kita bisa melihat dengan suatu sistem nilai budaya yang menganggap bahwa hidup itu pada dasarnya buruk maka perlu direnungkan untuk memperbaikinya, menganggap tujuan dari bekerja hanya untuk hidup, tidak ada spesialisasi pekerjaan, teknologi masih sederhana, tidak ada pembedaan hanya mempunyai perhatian untuk hari sekarang, suka mencari keselarasan dengan alam, dan berjiwa gotong royong, Pada zaman kolonial, golongan tersebut kadang tercampur dengan nilai budaya dari orde sosial priyayi yang menganggap bahwa hidup itu pada dasarnya buruk, sehingga ada perhatian yang terlampau banyak terhadap alam kebatinan, yang menganggap tujuan kerja hanya untuk mencapai kedudukan, yang merindukan masa kejayaan di masa lampau, yang berusaha mencari keselarasan dengan alam, dengan konsep yang diperhalus lagi, dan yang berorientasi ke arah atasan. Akhirnya ada sejumlah sikap yang timbul sejajar dengan kemunduran ekonomi sejak Perang Dunia II dalam mentalitet manusia Indonesia, diantaranya sikap sikap meremehkan arti dari kualitas, berhasrat mencapai tujuan secepat cepatnya tanpa rela berusaha langkah demi langkah, sering menunjukkan sikap tak bertanggung jawab, sikap tak percaya pada diri sendiri, dan akhirnya terhinggap oleh suatu jiwa apatis dan lesu. Demikian ciri mental negatif yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, jika ciri ciri tersebut masih berakar pada sebagian manusia Indonesia, maka tak mungkin negara Indonesia dapat membangun ekonominya. Untuk itu mental tersebut harus dirombak. Dalam hal membangun suatu mental pada bangsa Indonesia yang cocok untuk pembangunan, ada dua cara yang harus dilakukan. Pertama, beberapa unsur dari nilai budaya yang menghambat pembangunan harus dirombak. Kedua, semua sikap negatif yang berkembang dalam periode sebelumnya harus dipulihkan menjadi positif kembali. Berdasarkan hal tersebut, mental yang pertama harus dirombak adalah orientasi yang terlampau banyak ke masa lalu. Ini bukan berarti bahwa kita harus melupakan sejarah, tetapi kita bisa mengambil pelajaran dari masa lampau dan mulai berorientasi ke masa yang akan datang mau bagaimana negara ini kelak. Setelah itu, mengubah nilai budaya yang menganggap tujuan kerja hanya untuk mencapai kedudukan. Mulailah untuk bekerja dengan tidak mengharapkan pengakuan masyarakat, untuk gengsi, atau untuk kedudukan, tetapi untuk rasa kepuasan dari dalam jiwa terhadap hasil dari kerja yang tercapai, sehingga akan mudah mencapai kesuksesan dalam perkembangan ekonomi. Di Indonesia, masih sedikit sekali orang yang memiliki kedua unsur nilai budaya yang terurai diatas, maka dari itu perombakan harus dimulai dengan pendidikan pada generasi anak anak Indonesia yang sekarang belum terpengaruhi oleh mentalitet lama. Untuk generasi pemuda dan tua yang sudah terpengaruh dianjurkan untuk merubah mentalitetnya dengan penerangan yang intensif. Tentu bukan perkara mudah dalam mengaplikasikannya, tapi hal ini harus diberi perhatian lebih karena merupakan hal yang serius. Mulailah mengurangi sikap negatif dan menggantinya dengan sikap positif dengan menetapkan norma norma baru, kebijakan baru, dan sanksi yang tegas dan konsisten.

Daftar PustakaRomanucci Ross, etc., Anthropology of Medicine:From Culture to Method, South Hadley Mass: J.F. Bergin Publ.Inc. 1983Koentjaraningkat, Rintangan2 Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1971