2 bab ii bab ii kajian pustaka 2.1 industri roti kukus di bali...kukus yang sering dijadikan sarana...
TRANSCRIPT
-
15
2 BAB II
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Industri Roti Kukus di Bali
Industri roti kukus merupakan industri pembuatan roti kukus yang
keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia. Industri ini sangat potensial untuk
dikembangkan, khususnya di Bali karena roti kukus secara kontinu dibutuhkan oleh
masyarakat baik untuk konsumsi sehari-hari maupun untuk sarana upakara. Roti
kukus yang sering dijadikan sarana upakara memiliki dimensi tinggi sekitar 7 cm
dan diameter kisaran 4 cm hingga 7 cm yang dialasi dengan kertas roti (Gambar
2.1). Industri roti kukus di Bali masih sederhana dengan sebagian besar masih
berskala industri rumah tangga. Hal ini tercermin dari belum adanya regulasi yang
baik dalam proses produksi sehingga potensi masalah ergonomi dapat timbul
semakin besar. Pada industri roti kukus terdapat empat proses kerja yaitu proses
mengadon, menuang adonan, mengukus, dan membungkus. Tiap proses memiliki
potensi masalah ergonomi yang berbeda-beda (Dinata et al., 2015).
Gambar 2.1 Roti kukus
-
16
Pekerja mencampur bahan-bahan dan mengaduknya dengan mesin
pengaduk (mixer) pada proses mengadon. Bahan yang digunakan pada proses ini
berupa telur ayam, tepung terigu, pengembang kue, serta gula. Dalam melakukan
tugasnya, masih ditemukan sikap kerja membungkuk saat mengangkat adonan (±30
kg) dan memindahkannya secara manual ke stasiun kerja penuangan adonan.
Setelah melalui proses mengadon, dilanjutkan dengan proses penuangan
adonan. Proses ini dilakukan dengan berbagai sikap kerja oleh tiap pekerja. Ada
pekerja yang menuang adonan dengan sikap berdiri statis dalam waktu yang lama
(± 1 jam untuk 10 kg adonan) dan ada pekerja dengan sikap kerja duduk di lantai
atau menggunakan kursi kecil dan alat cetak diletakkan di lantai. Sikap kerja berdiri
statis maupun membungkuk pada pekerja yang bekerja menggunakan kursi kecil
dapat memberi pembebanan yang besar pada otot-otot belakang dan tulang
belakang, otot-otot tungkai, serta bagian-bagian tubuh lainnya yang berkaitan. Hal
ini terbukti dari banyaknya keluhan yang timbul pada proses penuangan adonan
dibanding dengan proses lainnya. Proses ini dimulai dari menyiapkan alat cetak,
mengisi alat cetak dengan kertas roti kukus, lalu menuangkan adonan ke alat cetak
satu per satu. Pekerja sebagian besar mengeluhkan proses penuangan adonan
sebagai pekerjaan yang paling berat dan membosankan. Gerakan yang monoton
serta sikap kerja yang statis menjadi penyebabnya (Dinata et al., 2015).
Studi gerak dan waktu seorang pekerja pada proses menuang 10 kg adonan
didapatkan kecepatan menuang paling cepat pada loyang ke-2 hingga ke-4. Pada
pengerjaan loyang ke-5, kecepatan mulai menurun dan terlihat konstan hingga
-
17
akhir. Waktu yang dibutuhkan untuk menuang adonan secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 2.1
Tabel 2.1
Tabel 2.1 Kecepatan Proses Menuang Adonan
Loyang Jumlah
Cetakan
Waktu
(detik)
Kecepatan per
cetakan (detik) Gerakan tidak efektif
1 15 262 17,47
2 15 228 15,20
3 17 243 14,29
4 15 219 14,60
5 18 321 17,83 Mengelap meja
6 15 250 16,67
7 16 247 15,44
8 16 245 15,31
9 15 250 16,67 Mengelap meja
10 14 230 16,43
11 15 240 16,00
12 12 211 17,58
Pekerja mulai membersihkan adonan yang tumpah di meja setelah
mengerjakan loyang ke-5 atau setelah menuang 80 adonan ke cetakan. Gerakan ini
tergolong tidak efektif karena proses membersihkan meja dari adonan yang tumpah
bisa dilakukan setelah semua proses penuangan adonan dilakukan. Disamping itu,
juga terjadi penurunan kecepatan menuang adonan. Hal ini menandakan pekerja
mulai kelelahan. Setelah selesai menuang adonan, akan dilanjutkan ke proses
mengukus.
Pekerja terpapar panas dari kompor dan uap air pada proses mengukus yang
mencapai suhu 80oC. Pekerja mengeluh merasa gerah dan banyak mengeluarkan
-
18
keringat saat bekerja di proses mengukus. Tidak jarang pekerja mengalami luka
bakar akibat tidak sengaja bersentuhan dengan panci yang panas saat kegiatan
memasukkan adonan siap kukus ke dalam panci maupun saat mengeluarkan roti
kukus yang sudah matang. Ketinggian peletakan kompor juga tidak terlalu
mempertimbangkan antropometri pekerjanya sehingga berpotensi menimbulkan
penyakit akibat kerja. Pekerja tampak mengangkat lengannya dalam posisi yang
tidak alamiah saat meletakkan adonan yang akan dikukus maupun saat mengambil
roti kukus yang telah matang (Dinata et al., 2015).
Roti kukus yang telah matang setelah melalui proses pengukusan kemudian
akan melalui proses pembungkusan. Roti kukus harus didinginkan terlebih dahulu
sekitar 30 menit sebelum dibungkus. Sikap kerja saat proses ini dilakukan dengan
duduk di lantai. Proses membungkus dilakukan selama ± 1 jam untuk produksi 10
kg adonan sehingga dapat menimbulkan keluhan muskuloskeletal akibat sikap kerja
statis. Proses kerja yang masih sederhana dan belum terlalu memikirkan kebersihan
menjadi masalah ergonomi tersendiri. Pekerja secara langsung memegang roti
kukus yang sudah matang menggunakan tangan tanpa dilengkapi APD (Alat
Pelindung Diri) dan pengetahuan mengenai bekerja dengan higienis. Walaupun
tidak secara langsung menyebabkan bahaya bagi pekerja, namun hal tersebut dapat
membahayakan konsumen yang mengonsumsi roti yang tercemar (Dinata et al.,
2015).
Sistem kerja yang belum diatur secara baik juga dapat berpotensi
menimbulkan masalah ergonomi. Produksi dilakukan dengan tidak banyak melihat
keterbatasan pekerja, sehingga industri pembuatan roti kukus menjadi terasa berat
-
19
akibat beban-beban fisiologis yang diterima pekerja. Hal ini menyebabkan lebih
sedikit pekerja yang bersedia terjun di industri roti kukus (Dinata et al., 2015).
2.2 Respons Fisiologis
Pada tubuh manusia terjadi berbagai proses fisiologi sebagai respons
terhadap lingkungan untuk menjaga homeostasis demi kelangsungan hidupnya.
Respons maupun adaptasi yang terjadi dalam tubuh manusia sangat dipengaruhi
oleh aktivitas-aktivitas yang dilakukannya (Hall & Guyton, 2015). Respons
fisiologis yaitu proses atau dampak yang timbul pada tubuh pekerja akibat aktivitas
yang dilakukan. Respons fisiologis dapat dinilai melalui beban kerja, kelelahan,
serta keluhan muskuloskeletal.
2.2.1 Beban kerja (workload)
Denyut nadi per menit menggambarkan aktivitas jantung dalam memompa
darah ke luar masuk organ jantung. Semakin besar frekuensi denyut jantung per
menit berarti semakin tinggi aktivitas tubuh sehingga tingkat metabolisme tubuh
pun semakin tinggi (Adiputra, 2002).
Setiap beban kerja yang diterima oleh tubuh harus sesuai dengan
kemampuan fisik, kemampuan kognitif dan keterbatasan manusia. Untuk masing-
masing orang, kemampuan kerja akan berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut
Suma’mur kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda satu dengan yang
lainnya dan sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran jasmani,
keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan
(Suma’mur, 1989). Hubungan antara kapasitas kerja dengan beban kerja secara
umum dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
-
20
1. Faktor somatis terdiri dari: (a) jenis kelamin, (b) umur, (c) ukuran tubuh, (d)
kondisi kesehatan, dan (e) status gizi.
2. Faktor psikis terdiri dari: (a) sikap, (b) motivasi, (c) persepsi, (d) keinginan, dan
(e) emosi.
3. Jenis kerja yang dilakukan terdiri dari: (a) tipe kerja, (b) beban kerja, (c) irama
kerja, (d) waktu kerja, (e) jadwal kerja, (f) sikap kerja, dan (g) teknik kerja.
4. Lingkungan kerja yang terdiri dari: (a) suhu, (b) kebisingan, (c) getaran, (d)
kelembaban, (e) kecepatan udara, dan (f) polusi.
Semakin berat pekerjaan yang dilakukan maka akan semakin besar pula
energi yang dikeluarkan. Berdasarkan hal tersebut maka besarnya jumlah
kebutuhan kalori dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan beban kerja
(Tarwaka et al., 2004). Berat ringannya suatu aktivitas dapat dinilai dari kebutuhan
O2, kapasitas ventilasi paru, perubahan suhu inti tubuh, kebutuhan energi, produksi
keringat atau perubahan berat badan selama melaksanakan aktivitas tersebut.
Denyut jantung merupakan suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik.
Kategori berat ringannya beban kerja didasarkan pada metabolisme, respirasi, suhu
dan denyut jantung ada pada Tabel 2.2 (Christensen, 1991).
Tabel 2.2
Tabel 2.2 Kategori Beban Kerja
No. Kategori
Beban Kerja
Pemakaian
O2 (liter/menit)
Denyut
Jantung
(denyut/menit)
Respirasi
(liter/menit)
Suhu
Rektal
(oC)
1 Sangat ringan < 0,5 60 - 70 6 -7 37,5
2 Ringan 0,5 - 1 70 - 100 11 - 20 37,5
3 Sedang 1 - 1,5 100 - 125 20 - 31 37,5 - 38
4 Berat 1,5 - 2 125 - 150 31 - 43 38 - 38,5
5 Sangat berat 2 - 2,5 150 - 175 43 - 56 38,5 - 39
6 Sangat berat
sekali
>2,5 > 175 60 - 100 1 > 39
-
21
Sumber energi yang dibutuhkan oleh tubuh adalah energi kimia yang
tersimpan di dalam ikatan karbon-hidrogen dalam makanan. Sel tubuh tidak dapat
menggunakan energi ini secara langsung, tetapi harus mengambil energi dari
makanan dan mengubahnya menjadi suatu energi, yaitu ikatan fosfat berenergi
tinggi pada adenosintrifosfat (ATP) (Sherwood, 2016). Semua mekanisme
fisiologis yang memerlukan energi untuk kerja mendapatkan energi langsung dari
ATP. ATP merupakan senyawa kimia labil yang terdapat pada semua sel dan
merupakan gabungan adenosin, ribosa dan tiga gugusan fosfat (Hall & Guyton,
2015).
Kebutuhan ATP sangat tergantung dari tingkat beban kerja atau aktivitas
kerja yang dilakukan. Peningkatan beban kerja akan berdampak pada peningkatan
kebutuhan ATP. Melalui mekanisme feedback acselator produksi ATP di
mitokondria melalui siklus Krebs (secara aerobik) akan dipercepat. Tetapi dalam
situasi anaerobik terjadi pemecahan asam piruvat melalui glikosis anaerobik yang
hanya menghasilkan 2 ATP dari 1 mol glukosa dan residunya berupa asam laktat
yang bertindak sebagai penyebab kelelahan pada otot. Sedangkan melalui
mekanisme pada siklus asam sitrat (siklus Krebs) atau melalui jalur Emdden-
Meyerhof akan terbentuk sebanyak 38 ATP dari 1 mol glukosa (Hall & Guyton,
2015; Sherwood, 2016).
Metabolisme aerobik membutuhkan O2 dalam proses pembentukan ATP di
mitokondria yang ditransfer melalui sistem sirkulasi darah. Peningkatan beban
kerja akan mengakibatkan peningkatan ATP dan konsekuensinya kebutuhan O2
-
22
juga akan meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut frekuensi denyut
jantung akan meningkat dan diikuti dengan peningkatan frekuensi denyut nadi.
Pembuluh darah pada otot ketika melakukan aktivitas kerja akan dilatasi dan
aliran darah meningkat sehingga penyediaan O2 sebanding dengan energi yang
digunakan, dan semua kebutuhan energi dicukupi dengan proses aerobik. Akan
tetapi bila kerja otot sangat berat resintesis aerobik dan cadangan energi tidak dapat
menutup penggunaannya. Dalam keadaan demikian kreatinfosfat dipakai untuk
resintesis ATP, yang dilakukan dengan pemakaian energi yang dilepaskan oleh
pemecahan anaerobik glukosa menjadi asam laktat. Tetapi pemakaian lintasan
anaerobik ini akan membatasi diri, sebab walaupun difusi asam laktat ke dalam
aliran darah cepat namun penimbunannya dalam otot cukup besar, akhirnya
melebihi kapasitas buffer jaringan dan menyebabkan penghambatan kerja enzim
karena penurunan pH. Akan tetapi untuk waktu yang singkat pemecahan anaerobik
glukosa mengizinkan kerja otot jauh lebih banyak daripada yang dapat dilakukan
tanpa jalur tersebut (Hall & Guyton, 2015).
Ekstra O2 setelah masa kerja selesai, digunakan untuk mengoksidasi
kelebihan asam laktat dan memenuhi cadangan penyimpanan ATP dan
kreatinfosfat. Jumlah ekstra O2 yang dikonsumsi sebanding dengan banyaknya
energi yang dibutuhkan sewaktu kerja yang melebihi kapasitas sintesis aerobik dari
cadangan energi, yaitu besarnya oxygen debt yang dialami. Orang yang terlatih
mampu menaikkan konsumsi O2 otot mereka sampai tingkat yang lebih tinggi
daripada orang yang tidak terlatih. Akibatnya mereka mampu bekerja lebih berat
tanpa menaikkan kandungan asam laktat darah, dan mereka bekerja dengan oxygen
-
23
debt yang lebih kecil untuk sejumlah kerja tertentu (Hall & Guyton, 2015;
Sherwood, 2016).
Rodahl mengemukakan penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan
2 metode secara objektif yaitu metode penilaian langsung maupun metode penilaian
tidak langsung. Metode penilaian langsung yaitu dengan mengukur energi yang
dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan O2 selama bekerja. Semakin berat
beban kerja akan semakin banyak energi yang dikonsumsi. Meskipun metode
dengan menggunakan asupan O2 lebih akurat, namun hanya dapat mengukur untuk
waktu kerja yang singkat dan diperlukan peralatan yang cukup mahal. Sedangkan
metode penilaian tidak langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama
bekerja (Rodahl, 1989). Satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban
kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi O2, kapasitas ventilasi paru
dan suhu inti tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung dan suhu
mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang
dilakukan (Gawron, 2008; Christensen, 1991; Kroemer & Grandjean, 2010).
Penilaian beban kerja secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan
kuesioner, di mana dengan kuesioner tersebut akan terlihat tanda-tanda yang
menyatakan adanya suatu kelelahan yang dialami orang akibat beban kerja yang
membebaninya, oleh karena interaksi pekerja dengan jenis pekerjaan, tempat kerja,
organisasi/ cara kerja, peralatan kerja dan lingkungannya (Bridger, 1995). Salah
satu cara dalam menentukan konsumsi kalori atau pengarahan tenaga kerja untuk
mengetahui derajat beban kerja adalah perhitungan denyut nadi kerja, yaitu rerata
denyut nadi selama bekerja. Berdasarkan pemakaian O2, konsumsi kalori, denyut
-
24
nadi dan tingkat beban kerja dibedakan untuk kondisi istirahat, beban kerja sangat
ringan, ringan, agak berat, berat, sangat berat dan luar biasa berat (McCormick &
Sanders, 1987). Cara lain untuk menentukan penilaian klasifikasi beban kerja fisik
pada proses kerja adalah klasifikasi beban kerja fisik berdasarkan beban
kardiovaskuler yang dihitung berdasarkan data denyut nadi istirahat, denyut nadi
kerja dan nadi kerja maksimum 8 jam kerja (Suyasning, 1998). Grandjean
menggolongkan beban kerja berdasarkan denyut nadi seperti ditunjukkan dalam
Tabel 2.3 (Kroemer & Grandjean, 2010).
Tabel 2.3
Tabel 2.3 Penggolongan Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi
No. Kategori Beban Kerja Rentangan denyut nadi/menit
1 Sangat rendah = istirahat 60 – 70
2 Ringan 75 – 100 3 Sedang 100 – 125
4 Berat 125 – 150
5 Sangat Berat 150 – 175
6 Luar Biasa Beratnya > 175
2.2.2 Kelelahan kerja
Kelelahan pada dasarnya adalah kehilangan efisiensi, penurunan kapasitas
kerja dan ketahanan tubuh, dalam kondisi lelah perasaan subjektif mengenai
kelelahan menjadi dominan. Perasaan lelah sebenarnya merupakan perlindungan
dari keterbatasan kemampuan fisik, ketegangan, dan gangguan-gangguan
psikologis lebih lanjut, dan sekaligus memberi peringatan untuk istirahat, agar fisik
mempunyai kesempatan untuk memulihkan energinya kembali.
Kelelahan terdiri dari kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot
berupa gejala kesakitan yang amat sangat ketika otot menderita tegangan
berlebihan. Sedang kelelahan umum adalah suatu tahap yang ditandai oleh rasa
-
25
berkurangnya kesiapan untuk mempergunakan energi. Pulat mengemukakan secara
umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang
sangat melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja,
apabila rata-rata beban kerja melebihi 30%-40% dari tenaga aerobik maksimal
(Pulat, 1992).
Salah satu efek yang jelas dari kelelahan adalah berkurangnya kewaspadaan.
Seseorang tak akan mampu berkonsentrasi terus-menerus untuk kegiatan mental.
Setelah mengalami ketegangan selama masa tertentu, akan terjadi gangguan pada
persepsi, dan kecepatan reaksi menjadi lambat. Untuk mengatasi gangguan ini perlu
dilakukan penyegaran di luar tekanan. Penyegaran terjadi terutama selama waktu
tidur malam, atau periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja (Kroemer &
Grandjean, 2010).
Kontraksi berkesinambungan dari otot-otot rangka akibat gerakan repetitif
saat menuang adonan dan menahan beban lengan serta beban eksternal berupa berat
adonan menyebabkan tekanan otot meningkat pada proses penuangan adonan pada
industri roti kukus. Peningkatan tekanan otot akan mempengaruhi hambatan
pembuluh darah sehingga mengganggu mikro sirkulasi pada lengan. Di samping
hambatan sirkulasi darah, kontraksi yang melibatkan pergerakan aktin dan miosin
tersebut juga menimbulkan tingginya kebutuhan energi. Kombinasi dari sirkulasi
yang tidak adekuat dan tingginya kebutuhan energi menyebabkan cadangan energi
pada otot-otot lengan berupa adenosin trifosfat (ATP) dan cadangan glikogen otot
tidak memadai untuk mempertahankan kualitas gerakan. Hal ini berdampak pada
-
26
kelelahan yang ditandai dengan penurunan fungsi motorik otot (Hall & Guyton,
2015).
Kelelahan sesungguhnya merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh
agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai sinyal tubuh
yang mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat. Mekanisme ini diatur
oleh saraf pusat yang dapat mempercepat impuls yang terjadi di sistem inhibisi oleh
saraf parasimpatis. Menurunnya kemampuan dan ketahanan tubuh akan
mengakibatkan menurunnya efisiensi dan kapasitas kerja. Apabila kondisi seperti
ini dibiarkan berlanjut maka akan mempengaruhi produktivitas seseorang. Oesman
menyatakan kelelahan yang berlanjut dapat menyebabkan kelelahan kronis dengan
gejala sebagai berikut: (a) terjadinya penurunan stabilitas fisik, (b) kebugaran
berkurang, gerakan lamban, dan cenderung diam, (c) malas bekerja atau
beraktivitas, dan (d) adanya rasa sakit yang semakin meningkat (Oesman, 2010).
Kelelahan yang berlanjut dapat mengakibatkan efek fisiologis yang ditandai
dengan gejala-gejala berikut ini: (a) meningkatnya kejengkelan (tidak toleran,
bersikap anti sosial), (b) kecenderungan ke arah depresi (kebingungan yang tidak
bermotif), dan (c) kelemahan umum dalam perjuangan dan malas akan pekerjaan
(Kroemer & Grandjean, 2010).
Kelelahan juga menyebabkan gangguan psikosomatik yang ditandai dengan
sering sakit kepala, terengah-engah, tidak ada nafsu makan, mual, berdebar-debar,
sukar tidur di samping efek fisiologis dan psikologis. Faktor penyebab terjadinya
kelelahan sangat bervariasi dan sangat kompleks. Beberapa di antaranya faktor
aktivitas kerja fisik, aktivitas kerja mental, stasiun kerja tidak ergonomis, sikap
-
27
paksa, kerja statis, lingkungan kerja ekstrem, beban psikologis, kebutuhan kalori
kurang, waktu kerja-istirahat tidak tepat (Kroemer & Grandjean, 2010).
Proses terjadinya kelelahan otot menurut teori kimia akibat berkurangnya
cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme sebagai penyebab hilangnya
efisiensi otot. Setiap hari manusia selalu terlibat dengan kegiatan, baik itu bekerja
atau bergerak yang memerlukan energi. Tubuh manusia dapat dianggap sebagai
sebuah mesin yang dalam melaksanakan tugasnya dibatasi oleh hukum-hukum
alam. Kemampuan manusia untuk melakukan berbagai macam kegiatan tersebut
tergantung pada struktur fisik tubuh yang terdiri dari struktur tulang manusia dan
sistem otot. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut diperlukan energi yang
diperoleh dari proses metabolisme dalam otot, yaitu proses kimia yang mengubah
sari-sari makanan menjadi dua bentuk yaitu kerja fisik dan panas (Hall & Guyton,
2015).
Metabolisme merupakan salah satu proses penting dalam tubuh manusia.
Salah satu proses yang paling penting dalam tubuh adalah berubahnya energi kimia
dari makanan menjadi panas dan tenaga mekanik. Jadi sumber kalori adalah
pembakaran zat makanan dalam jaringan tubuh yang berubah menjadi panas, listrik,
kimia, dan kerja mekanik yang disebut metabolisme. Lewat proses metabolisme
akan dihasilkan panas dan energi yang diperlukan untuk kerja fisik lewat sistem
otot manusia. Di sini zat-zat makanan akan bersenyawa dengan oksigen (O2) yang
dihirup, terbakar dan menghasilkan panas serta energi (Hall & Guyton, 2015).
O2 diserap oleh darah yang ada dalam pembuluh darah paru dan dibawa ke
sel otot. Di dalam sel ini terjadi pembakaran zat makanan oleh O2 sehingga
-
28
menghasilkan panas, tenaga dan asam laktat. Bila jumlah O2 yang masuk melalui
pernafasan lebih kecil dari pada tingkat kebutuhan, berarti reaksi O2 dalam tubuh
yang akan mengurangi asam laktat untuk diubah menjadi air (H2O) dan karbon
dioksida (CO2) agar bisa dikeluarkan dari tubuh menjadi tidak seimbang dengan
pembentukan asam laktat itu sendiri. Sehingga terjadi penimbunan asam laktat
dalam jaringan otot yang mengganggu kegiatan otot selanjutnya mengakibatkan
adanya kelelahan. Gas CO2 sebagai hasil pembakaran di dalam sel tubuh ini
mencerminkan jumlah O2 yang digunakan untuk proses metabolisme di dalam sel
tubuh (Hall & Guyton, 2015).
Karbohidrat yang diperoleh dari makanan diubah menjadi glukosa dan
disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Dalam otot terjadi kontraksi otot yang
diikuti dengan terjadinya reaksi kimia (oksidasi glukosa) yang mengubah glikogen
menjadi tenaga, listrik, kimia, panas, dan asam laktat. Dalam tubuh dikenal fase
pemulihan yaitu suatu proses untuk mengubah asam laktat menjadi glikogen
kembali dengan adanya oksigen dari udara luar melalui sistem pernafasan, sehingga
memungkinkan otot-otot bergerak secara kontinu (Hall & Guyton, 2015).
Manusia saat melakukan aktivitas akan mengakibatkan pengeluaran energi
yang sangat terkait dengan konsumsi energi. Konsumsi energi pada waktu kerja
biasanya ditentukan dengan cara tidak langsung yaitu dengan pengukuran frekuensi
denyut jantung dan konsumsi O2. Dalam fisiologi kerja, konsumsi energi diukur
secara tidak langsung melalui konsumsi O2. Untuk setiap liter O2 yang dikonsumsi
rata-rata 4,8 kkal dilepas. Jumlah metabolisme aerobik atau pengeluaran energi
kerja dapat ditentukan dengan mengalikan nilai konsumsi O2 (liter/menit) dengan
-
29
4,8 kkl/liter. Sedangkan pada saat metabolisme basal diperkirakan memerlukan
0,25 liter O2 per menit (Bridger, 1995). Pemadanan konsumsi O2 dengan denyut
jantung dalam suatu aktivitas kerja adalah: (a) pekerja pria bekerja dengan frekuensi
75 denyut/menit sepadan dengan konsumsi O2 0,5 liter/menit atau sepadan dengan
pengeluaran energi 2,5 kkal/menit, dan (b) orang istirahat dengan frekuensi 62
denyut/menit, sepadan dengan konsumsi O2 250 ml/menit dan sepadan dengan
pengeluaran energi 1,25 kkal/menit (Sastrowinoto, 1985).
Frekuensi denyut nadi atau denyut jantung wanita umumnya lebih tinggi dari
pria. Dalam keadaan yang sama frekuensi denyut nadi wanita 10 denyut lebih tinggi
dari denyut pria setiap menitnya. Pada waktu istirahat orang akan mengeluarkan
energi secara konstan, yang besarnya ditentukan oleh berat badan, tinggi badan, dan
jenis kelamin. Segala aktivitas akan mengonsumsi sejumlah energi, dan jika
konsumsi energi melebihi 5,2 kkal/menit, maka seseorang akan mengalami
kelelahan, baik lelah otot, lelah visual, lelah mental maupun lelah monotonis (Hall
& Guyton, 2015).
Perubahan biokimia yang terjadi mengakibatkan dihantarkannya
rangsangan saraf melalui saraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan
otot. Selanjutnya rangsangan saraf eferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam
mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel saraf
menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi tersebut akan menurunkan kekuatan
dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas perintah kemauan menjadi lambat
(Hall & Guyton, 2015).
-
30
2.2.3 Keluhan muskuloskeletal
Muskuloskeletal adalah sistem otot yang melekat pada tulang yang terdiri
atas serat-serat lintang, dan sifat geraknya disadari (volunter), serta mempunyai
fungsi sebagai berikut (Robinson, 1998): (a) menyelenggarakan pergerakan yang
meliputi gerakan bagian-bagian tubuh atau berjalan, (b) menghasilkan panas karena
proses-proses kimia dalam otot yang dapat digunakan untuk mempertahankan suhu
tubuh, dan (c) mempertahankan sikap tertentu, karena adanya kontraksi otot secara
lokal yang memungkinkan mengambil sikap jongkok, berdiri, duduk dan sikap-
sikap lainnya.
Keluhan kerja akibat gangguan sistem muskuloskeletal adalah keluhan pada
bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan
sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara
berulang dan dalam waktu yang lama, maka dapat menyebabkan keluhan akibat
kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon (Kroemer & Grandjean, 2010).
Keluhan pada sistem muskuloskeletal disebabkan karena: (a) beban
berlebihan/ terlalu berat, (b) gerakan tertentu yang berulang-ulang, (c) sikap tubuh
ketika duduk, berdiri dan melakukan aktivitas, dan (d) tekanan kerja. Aktivitas fisik
yang dilakukan dengan peralatan yang tidak ergonomis dapat menimbulkan cedera
atau keluhan pada otot dan persendian (Gerr & Letz, 2000).
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang
berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi
pembebanan yang panjang. Grandjean menyatakan bahwa keluhan otot hanya
berkisar 15-20%, apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke
-
31
otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga
yang diperlukan (Kroemer & Grandjean, 2010).
Gerakan repetitif saat menuang adonan juga menyebabkan penumpukan
sisa-sisa metabolisme seperti asam laktat di samping terhambatnya pembentukan
energi baru akibat gangguan mikro sirkulasi. Dengan meningkatnya asam laktat,
konsentrasi ion hidrogen meningkat sehingga pH menurun. Konsentrasi ion
hidrogen yang meningkat dapat menghalangi rangkaian proses eksitasi akibat
menurunnya sejumlah ion kalsium yang dikeluarkan dari retikulum sarkoplasma
dan gangguan kapasitas pengikatan troponin. Di lain pihak peningkatan konsentrasi
ion hidrogen juga menghambat kegiatan fosfofruktokinase, enzim kunci yang
terlibat dalam glikolisis anaerob (Hall & Guyton, 2015).
Selain mempengaruhi mekanisme gerak otot, asam laktat juga berpotensi
menyebabkan meningkatnya stimulasi pada nosiseptor yang ada pada otot dan
tendon. Stimulasi nosiseptor ini akan menyebabkan potensial aksi yang kemudian
dihantarkan sepanjang saraf aferen menuju ke pusat somatosensoris di korteks
serebri sehingga timbul sensasi nyeri. Nyeri yang timbul akan berpengaruh pada
kualitas kesehatan pekerja (Hall & Guyton, 2015).
Secara garis besar otot skeletal terdiri dari kelompok otot kepala, leher,
bahu, dada, perut, punggung, anggota gerak atas, dan anggota gerak bawah. Otot
tersebut terdiri dari bagian-bagian yang lebih rinci sesuai dengan fungsinya masing-
masing (Syaifudin, 1997). Untuk melaksanakan berbagai gerakan, otot tidak
bekerja sendiri tetapi bekerja dalam kelompok. Setiap kelompok otot yang kerjanya
-
32
berlawanan dinamakan otot antagonis, dan otot yang kerjanya searah dinamakan
otot sinergis (Pearce, 2002).
Metode subjektif untuk menilai keluhan otot skeletal adalah dengan
menggunakan Nordic Body Map. Prosedur menggunakan mapping untuk menilai
keluhan otot skeletal tersebut dapat dilakukan pada interval selama keseluruhan jam
kerja dan istirahat. Subjek ditanya pada bagian-bagian anggota tubuh yang
mengalami sakit atau ketidaknyamanan melalui kuesioner pada 5 skala likert
(Corlett, 1992).
Secara garis besar keluhan muskuloskeletal dapat dikelompokkan menjadi 2
bagian besar yaitu keluhan sementara dan keluhan menetap. Keluhan otot
sementara adalah keluhan yang terjadi pada saat otot menerima beban statis dan
segera hilang apabila pemberian beban dihentikan. Sedangkan keluhan otot
menetap adalah keluhan yang bersifat lebih permanen dan rasa sakit pada otot tidak
hilang meskipun pemberian beban dihentikan (Kroemer & Grandjean, 2010).
Keluhan subjektif akibat kerja berhubungan erat dengan reaksi perasaan individu
terhadap pengalaman kerjanya (Adiputra, 1998b).
Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan
muskuloskeletal atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Kroemer & Grandjean,
2010). Keluhan pada sistem muskuloskeletal disebabkan karena , 1) memaksakan
beban yang terlalu berat, 2) gerakan tertentu yang berulang, 3) sikap tubuh ketika
duduk, berdiri dan melakukan aktivitas, 4) menggunakan teknik pengangkatan yang
salah, dan 5) tekanan kerja (Kroemer & Grandjean, 2010). Berat ringannya beban
kerja dan keluhan muskuloskeletal yang dialami oleh pekerja selain dipengaruhi
-
33
oleh faktor internal, juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu task, organisasi
kerja dan lingkungan kerja.
Nyeri atau sakit pada bagian tulang, otot, tendon, ligaments, persendian dan
piringan tulang belakang yang tersusun dalam sistem otot skeletal disebut keluhan
muskuloskeletal (Yale University, 2009). Keluhan muskuloskeletal dirasakan
sebagai fenomena yang menyakitkan, karena ada tekanan pada otot tetapi sifatnya
lokal. Keluhan muskuloskeletal diawali otot tegang berlebihan, tremor, akumulasi
asam laktat, tenaga berkurang dan gerakan lambat sehingga koordinasinya menurun
(Kroemer & Grandjean, 2010). Terjadi perlahan dan bervariasi, sesuai tingkat
adaptasi pekerja dan jenis otot yang kontraksi. Lokasi sensasi dapat meluas mulai
dari kulit, tendo, sendi, jaringan dalam dan organ (Adiatmika, 2007).
Prinsip fisiologis dan biomekanika serta antropometri harus dipahami agar
dapat terhindar dari keluhan muskuloskeletal. Prinsip fisiologi terdiri atas: (a)
pembatasan penggunaan energi, dan (b) setelah bekerja diperlukan istirahat cukup.
Prinsip biomekanika: (a) sendi berada dalam posisi fisiologis, (b) pekerjaan
dilakukan di dekat tubuh, (c) hindari sikap membungkuk, (d) hindari gerakan
memutar, (e) hindari gerakan mendadak, (f) tidak monoton, (g) batasi waktu
penggunaan otot, (h) cegah kelelahan otot, dan (i) istirahat pendek berkali-kali lebih
baik daripada istirahat panjang hanya satu kali. Prinsip antropometri: (a) pemakaian
data antropometri harus tepat untuk populasi tertentu, dan (b) salah satu faktor
penting terkait dengan ruang, tempat, peralatan dan sikap kerja (Pheasant, 1991;
Kearney, 1998).
-
34
2.2.4 Gaya Otot
Gaya otot yang ditinjau dari aspek biomekanika pada suatu proses kerja
perlu mendapat perhatian yang serius. Dalam dunia kerja yang menjadi perhatian
adalah kekuatan kerja otot yang tergantung pada posisi anggota tubuh yang bekerja,
arah gerakan kerja dan perbedaan kekuatan antar bagian tubuh. Penelaahan aspek
biomekanika mencoba memberikan gambaran ataupun solusi guna meminimalkan
gaya dan momen yang dibebankan pada otot pekerja agar tidak terjadi kecelakaan
maupun penyakit akibat kerja (Kroemer & Grandjean, 2010).
Gaya otot dapat digambarkan sebagai kekuatan yang dikeluarkan otot untuk
menahan beban baik berupa beban eksternal maupun beban internal. Gaya otot dari
kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh
saat adanya gaya dari luar. Gaya otot tersebut berhubungan langsung dengan
kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang
secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh. Beberapa kelompok otot baik
pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri
tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan
pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respons dari otot-
otot postural bekerja secara sinergis sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik
tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh (Davidovits, 2007).
Pusat gravitasi pada suatu objek yang homogen terletak tepat di tengah
benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada tubuh yang akan
mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik
ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah
-
35
sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri
tegak adalah tepat di atas pinggang atau 56% dari tinggi jika diukur dari tumit
(Davidovits, 2007).
Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: ketinggian dari
titik pusat gravitasi dengan bidang tumpu, ukuran bidang tumpu, lokasi garis
gravitasi dengan bidang tumpu, serta berat badan. Garis gravitasi merupakan garis
imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Ketika
tubuh berdiri tegak dalam posisi anatomis, maka garis gravitasi akan tepat membagi
tubuh menjadi dua bagian kanan dan kiri yang hampir identik. Hal ini akan
membuat pembebanan yang diterima oleh otot akan sama antara kelompok otot
kanan dan kiri. Ketika postur kerja berubah, akan menyebabkan perubahan letak
garis gravitasi ini sehingga pembebanan yang diterima kelompok otot kanan dan
kiri akan berbeda. Perubahan letak garis gravitasi menyebabkan pembebanan otot
tungkai lebih besar pada bagian yang lebih dekat dengan garis gravitasi
(Davidovits, 2007).
Gaya otot yang dikeluarkan oleh pekerja berbanding lurus dengan
pembebanan yang diterima. Semakin besar pembebanannya, semakin besar pula
gaya otot yang dibutuhkan untuk tetap mempertahankan postur kerja tetap
seimbang. Saat garis gravitasi terletak tepat di tengah-tengah yang membagi tubuh
menjadi kanan dan kiri, maka gaya otot yang dikeluarkan akan terbagi secara
merata antara kelompok otot kanan dan kelompok otot kiri. Saat pekerja
menjangkau suatu benda dan mengangkat benda tersebut, maka akan membebani
otot sehingga diperlukan gaya otot untuk melawan pembebanan tersebut.
-
36
Peningkatan gaya otot yang dikeluarkan akan lebih tinggi lagi akibat terjadi
perubahan postur yang menggeser garis gravitasi tidak berada tepat di tengah-
tengah lagi (Davidovits, 2007).
Selain besarnya gaya yang dikeluarkan otot, durasi pembebanan otot juga
berperan penting dalam menjaga otot tetap bekerja dengan baik. Semakin lama otot
menerima beban tambahan maka semakin tidak baik bagi otot tersebut. Beban
tambahan yang diterima otot akan memerlukan gaya otot yang lebih tinggi sehingga
membutuhkan energi yang lebih banyak. Gaya otot yang tinggi juga menyebabkan
tekanan otot meningkat sehingga menghambat pembuluh darah yang menyuplai
oksigen serta bahan makanan ke dalam otot. Jika durasi pembebanan cukup lama
akan menyebabkan proses pembentukan energi pada otot dan pembuangan sisa
metabolisme otot menjadi terhambat sehingga mengganggu kerja otot (Sherwood,
2016; Hall & Guyton, 2015).
2.3 Produktivitas
2.3.1 Produktivitas kerja
Produktivitas pada dasarnya merupakan sikap mental yang selalu
mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari
kemarin, dan hari ini dikerjakan untuk kebaikan hari esok (Sudomo, 1991; Tarwaka
et al., 2004). Untuk mencapai tingkat produktivitas yang optimal, maka perlu
dilakukan melalui pendekatan multidisipliner yang melibatkan semua usaha,
kecakapan, keahlian, modal, teknologi, manajemen, informasi dan sumber-sumber
daya lain secara terpadu untuk melakukan perbaikan dalam upaya peningkatan
kualitas hidup manusia.
-
37
Produktivitas pekerja perusahaan dapat meningkat apabila kondisi dan
suasana kerja mendukung. Oleh sebab itu guna mengetahui sebab-sebab rendahnya
produktivitas pekerja dan upaya perbaikannya sehingga produktivitas pekerja
perusahaan dapat mencapai hasil yang optimal, maka pembina maupun pengelola
perusahaan perlu mengetahui aplikasi ilmu ergonomi (Tarwaka et al., 2004).
Konsep umum dari produktivitas adalah suatu perbandingan antara luaran
(output) dan masukan (input) per satuan waktu. Produktivitas dapat dikatakan
meningkat apabila jumlah luaran meningkat dengan masukan yang sama
peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan menekan sekecil-kecilnya segala
macam biaya termasuk dalam memanfaatkan sumber daya manusia dan
peningkatan luaran sebesar-besarnya (Manuaba, 1988; Pheasant, 1991).
Pengukuran produktivitas secara umum dapat dibedakan menjadi 2 macam
yaitu: (1) Produktivitas total, adalah perbandingan antara total luaran dengan total
masukan per satuan waktu. Dalam perhitungan produktivitas total, semua faktor
masukan terhadap total luaran diperhitungkan, dan (2) Produktivitas parsial, adalah
perbandingan dari luaran dengan satu jenis masukan seperti upah tenaga kerja,
bahan daya, beban daya, skor keluhan subjektif dan lain-lain, yang secara umum
dapat dirumuskan seperti berikut:
Rumus 2.1 Produk tivitas
Produktivitas tenaga kerja = WaktuxMasukan
Luaran .............................................. (2.1)
Luaran merupakan hasil kerja dalam suatu proses produksi. Pada penelitian
ini luaran berupa jumlah roti kukus yang memenuhi standar kualitas. Masukan
dapat diproyeksikan sebagai rerata beban kerja (denyut nadi kerja), keluhan otot
skeletal (skor kuesioner Nordic Body Map), serta kelelahan (waktu reaksi).
-
38
2.3.2 Efisiensi waktu proses produksi
Definisi efisiensi adalah usaha mencapai prestasi yang sebesar-besarnya
dengan menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia (material, mesin,
manusia) dalam waktu yang sependek-pendeknya, di dalam keadaan yang nyata
(sepanjang keadaan itu bisa berubah) tanpa mengganggu keseimbangan antara
faktor-faktor tujuan, alat, tenaga, dan waktu (Syamsi, 2004).
Efisiensi disebut juga dengan hasil guna yang merupakan perbandingan
terbaik antara suatu hasil dengan usahanya. Hasil adalah suatu kegiatan yang dapat
disebut efisiensi, jika usaha tersebut memberikan hasil yang maksimum dari segi
mutu atau jumlah satuan hasil tersebut. Efisiensi juga merupakan penggunaan
masukan atau input yang dilakukan oleh pekerja yang kreatif, disiplin, profesional,
terlatih dan memiliki motivasi tinggi.
Usaha adalah suatu kegiatan yang dapat disebut efisien, jika sesuatu hasil
tertentu tercapai dengan usaha minimum, mencakup lima unsur: pikiran, tenaga
jasmani, waktu, ruang, dan benda (termasuk uang). Kegiatan dikatakan efisien
harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: dapat diukur, mengacu pada
pertimbangan rasional, tidak boleh mengorbankan kualitas, merupakan teknis
pelaksanaan, sesuai dengan kemampuan organisasi, dan ada tingkatannya.
Performance sering diartikan sebagai suatu kinerja, hasil kerja atau prestasi
kerja seseorang yang mempunyai hubungan dengan pencapaian tujuan organisasi
dan kepuasan konsumen yang memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan
kerja. Kinerja berhubungan pula dengan apa yang dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya (Armstrong, 2003). Faktor yang berpengaruh terhadap kinerja
-
39
adalah kualitas sumber daya manusia sebagai tuntutan yang digunakan untuk
mengukur dan menilai keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan,
perilaku pekerja dan hasil capaian kerja (Rivai, 2005).
Pandangan ergonomi terhadap kinerja sumber daya manusia adalah tuntutan
tugas, motivasi kerja dan kemampuan menghadapi (complexity, competition and
change-3C) (Manuaba, 2004) menyatakan bahwa hal yang sangat mendasar yang
harus dihadapi manusia adalah kompleksitas tugas pekerjaan, memenangkan
kompetisi dan sikap manusia menerima perubahan, hasil dari perubahan dapat
terjadi secara otomatisasi, informasi, transformasi dan substitusi sebagai salah satu
jawaban keinginan untuk memperbaiki diri.
Tujuan dan manfaat dari kinerja yaitu untuk melakukan penilaian terhadap
capaian hasil kerja berdasarkan tuntutan tugas yang dipengaruhi oleh karakteristik
pekerjaan task, lingkungan, (environment), dan organisasi (organization) di mana
pekerjaan itu dilakukan sehingga tercapai kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman,
efisien, efektif dan produktif yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan
kualitas hidup pekerja, kualitas penampilan kinerja dan keuntungan perusahaan
(Kroemer & Grandjean, 2010; Manuaba, 2000).
2.3.3 Ergonomi dan aspek ekonomi
Intervensi ergonomi industri yang sudah banyak dilakukan oleh cukup
banyak ahli di berbagai tempat di dunia, menghasilkan cetusan semboyan ’good
ergonomic is good economic’ (Hendrick, 1996). Semboyan ergonomi
mengindikasikan upaya aplikasi ergonomi bersifat proporsional, agar berhasil
memberi keuntungan material walaupun sasaran utama faktor kesehatan dan
-
40
keselamatan (Wilson & Corlett, 2005). Secara realistis, pencegahan risiko sudah
pasti menghasilkan keuntungan non material dan material. Sangat ironis jika
aplikasi ergonomi industri hanya berhasil membiayai perbaikan, tetapi perubahan
yang didambakan tidak terwujud sehingga McLeod berani memproklamirkan
ergonomic is for saving and earning money (McLeod, 1995).
Untuk lebih memastikan peningkatan produktivitas dan dapat memberikan
manfaat yang riil baik bagi industri roti kukus berskala industri rumah tangga, maka
diperlukan analisis rugi-laba atau Break-even cost analysis. Break-even cost
analysis dalam intervensi alat penuang berbasis ergonomi dilakukan dengan
menghitung Break even Point dengan cara sebagai berikut:
1. Menghitung seluruh biaya (dalam rupiah) pembuatan alat penuang
berbasis ergonomi total yang dilakukan dalam upaya peningkatan
produktivitas kerja.
2. Menghitung keuntungan dari selisih antara hasil kerja sebelum dan
sesudah intervensi dilakukan, dikonversi dalam rupiah. Keuntungan
yang diperoleh dapat berasal dari selisih upah per satuan waktu dan
jumlah roti kukus kualitas standar yang mampu diproduksi.
3. Break even Point dicapai pada saat terjadi titik temu antara biaya
dan manfaat yang diperoleh setelah intervensi dilakukan (saat biaya
terbayar oleh manfaat yang diperoleh setelah intervensi dilakukan).
2.4 Konsep Ergonomi
Ergonomi atau dalam dunia internasional dikenal sebagai ergonomics
berasal dari kata Yunani yaitu “ergo” yang berarti kerja dan “nomos” yang berarti
-
41
hukum. Dengan demikian ergonomi dapat diartikan sebagai disiplin keilmuan yang
mempelajari manusia dalam kaitannya dengan pekerjaannya atau studi tentang
aspek-aspek manusia dalam lingkup kerjanya yang ditinjau dari task, organisasi,
serta lingkungan. Ergonomi sebagai sebuah disiplin keilmuan meletakkan manusia
pada titik pusat perhatian (Human Center Design) dalam sebuah perancangan
maupun perbaikan sistem kerja di mana manusia terlibat di dalamnya. Disiplin
ergonomi secara khusus akan mempelajari keterbatasan dari kemampuan manusia
dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya (Helander,
2010; Setiawan, 2012). Pendekatan ergonomi mempertimbangkan bahwa manusia
memiliki batas-batas kemampuan baik jangka pendek maupun jangka panjang pada
saat berhadapan dengan keadaan sistem kerjanya yang berupa perangkat keras
(mesin, peralatan kerja, dll.) maupun perangkat lunak (metode kerja, sistem dan
prosedur, dll.) (NIOSH, 1984; Helander, 2006).
Ergonomi didefinisikan sebagai suatu ilmu, seni, dan teknologi untuk
menyerasikan alat, metode, dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan,
dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental. Kondisi kerja dan lingkungan
yang aman, nyaman, sehat, bugar, dan efisien yang pada akhirnya produktivitas
setinggi-tingginya yang diharapkan dapat tercapai dan kualitas hidup menjadi lebih
baik (Manuaba, 1998b; Adiputra, 1998a; Manuaba, 2005b; Kroemer & Grandjean,
2010).
Ergonomi sebagai ilmu terapan multidisipliner, mengaplikasikan berbagai
informasi faktor manusia untuk mendesain fasilitas kerja, alat, tugas/ sistem dan
lingkungan sehingga tercapai kondisi kerja yang sehat, aman, nyaman dan
-
42
produktif. Ergonomi menjabarkan interaksi antara manusia dengan unsur lain dari
sistem yang dipakai, disebarluaskan sebagai pengetahuan ilmiah yang memenuhi
syarat untuk menilai kualifikasi ergonomi (Pheasant & Haslegrave, 2006). Definisi
praktis dari ergonomi adalah desain untuk manusia (Pulat, 1992). Oleh karena itu
tidaklah mengherankan kalau pemahaman mengenai ergonomi mutlak untuk
dipelajari oleh semua disiplin keilmuan mulai dari kedokteran, psikologi, teknik,
sosial-ekonomi, dan sebagainya.
Ergonomi memanfaatkan prinsip dan data ilmiah berkaitan dengan manusia
untuk proses desain perlengkapan, produk, jasa, tugas, peralatan, fasilitas,
lingkungan serta sistem agar kebutuhan optimalisasi fungsi seluruh organ tubuh
yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan produktivitas
dapat terwujud (Vink, 2005; Chebykin et al., 2008). Ergonomi dibutuhkan manusia
untuk mendapat fasilitas yang mendukung proses kerja yang sehat, aman, dan
nyaman sekaligus memuaskan karena memiliki nilai estetika, friendly, dan trendi.
Tujuan aplikasi ergonomi secara luas adalah: (a) meningkatkan kondisi fisik
dan mental, khususnya mengoptimalkan keselamatan dan kesehatan kerja dengan
mencegah terjadinya penyakit akibat kerja, serta mengurangi beban fisik dan
mental, (b) meningkatkan kesejahteraan sosial dengan jalan meningkatkan kualitas
interaksi sosial, mengelola dan mengoptimalkan kenyamanan dan kemudahan kerja
dengan mengatur kerja secara tepat guna serta meningkatkan jaminan sosial baik
selama usia produktif maupun setelah tidak produktif, dan (c) menciptakan/
berkontribusi di dalam meningkatkan hubungan rasional antara aspek-aspek teknik,
ekonomi, antropologi, dan budaya dari sistem manusia-mesin, karena berusaha
-
43
mengoptimalkan efisiensi kerja manusia sehingga kualitas kerja dan kualitas hidup
dapat ditingkatkan (Adiputra, 2000; Manuaba, 1998c; Tarwaka et al., 2004).
Ada delapan aspek penting yang harus diperhatikan dalam setiap aplikasi
ergonomi di dalam industri, yaitu: (1) nutrisi, (2) pemanfaatan tenaga otot, (3) sikap
kerja, (4) kondisi lingkungan, (5) kondisi waktu, (6) kondisi sosial, (7) kondisi
informasi, dan (8) interaksi manusia-alat (Manuaba, 2003). Berdasarkan 8 aspek
tersebut, setiap orang yang memanfaatkan ergonomi minimal memperoleh
keuntungan dari 8 aspek tersebut. Ergonomi membuat produk menjadi memiliki
nilai lebih, karena mengubah kehidupan manusia (Bubb, 2006).
2.5 Antropometri dalam Desain Fasilitas Stasiun Kerja
Istilah antropometri berasal dari bahasa Yunani, yaitu antropos yang berarti
manusia dan metrein yang berarti ukuran. Secara definitif antropometri dapat
dinyatakan sebagai satu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh
manusia. Studi tentang ukuran tubuh manusia akan memberikan penjelasan kalau
setiap manusia itu pada dasarnya memiliki perbedaan satu dengan yang lain.
Manusia akan bervariasi dalam berbagai macam dimensi ukuran seperti kebutuhan,
motivasi, intelegensia, imajinasi, usia, latar belakang pendidikan, jenis kelamin,
kekuatan, bentuk dan ukuran tubuh, dan sebagainya. Antropometri secara luas akan
digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan ergonomis dalam proses
perancangan fasilitas stasiun dalam sistem kerja yang akan memerlukan interaksi
manusia (Kroemer & Grandjean, 2010).
Berdasarkan data antropometri yang tepat maka seorang perancang fasilitas
stasiun kerja akan mampu menyesuaikan bentuk dan geometris ukuran dari desain
-
44
fasilitas stasiun kerjanya dengan bentuk maupun ukuran segmen-segmen bagian
tubuh yang nantinya akan mengoperasikan fasilitas stasiun kerja tersebut. Data
antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain
dalam hal: (a) perancangan areal kerja atau stasiun kerja, (b) desain peralatan kerja
seperti mesin, peralatan, perkakas dan sebagainya (Sudiarta, 2000), (c) desain
produk-produk meja/ kursi kerja, dll., dan (d) desain lingkungan kerja fisik.
Desain fasilitas stasiun kerja harus mampu mengakomodasikan dimensi
tubuh dari populasi terbesar yang akan menggunakan fasilitas stasiun kerja hasil
desainnya tersebut. Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai
macam anggota tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar
manfaatnya pada saat suatu desain fasilitas stasiun kerja akan dibuat. Informasi
tentang berbagai macam anggota tubuh yang perlu diukur dalam aplikasi
antropometri untuk desain fasilitas stasiun kerja (Kroemer & Grandjean, 2010).
Pengukuran antropometri dilakukan pada sikap kerja duduk atau berdiri
(Gambar 2.2), sesuai keadaan saat bekerja. Pekerja yang akan diukur
antropometrinya, menggunakan pakaian seminimal mungkin dan diukur dengan
antropometer (Sutjana & Susila, 1997; Sutjana et al., 2008).
-
45
Gambar 2.2 Pengukuran Antropometri
Pada proses penuangan adonan di industri roti kukus, pekerja bekerja
dengan sikap kerja berdiri. Pengukuran antropometer pada sikap kerja berdiri
dilakukan pada beberapa ukuran yaitu (Sutjana & Susila, 1997; Sutjana et al.,
2008):
1. Tinggi tubuh (body height): tinggi dari lantai hingga vertex.
2. Tinggi mata (eye height): tinggi lantai sampai ke sudut bagian dalam mata.
3. Tinggi siku (elboy rest height): tinggi dari lantai sampai tepi bawah siku. Siku
membentuk sudut 90o.
4. Tinggi jangkauan ke atas (upper reach height): tinggi dari lantai sampai ke
pertengahan kayu/pulpen yang digenggam.
5. Jangkauan ke depan (front arm reach): jangkauan yang dapat dicapai ke depan,
dari belakang punggung sampai ke pertengahan kayu/bolpoin yang digenggam.
-
46
6. Jangkauan ke samping (side arm reach): jarak jangkauan tangan ke samping,
dari sisi bahu tangan lain sampai ke pertengahan kayu yang digenggam
kemudian dikurangi dengan lebar bahu
7. Lebar bahu (shoulder breadh): jarak dari tepi bahu kiri dan bahu kanan.
8. Tinggi genggam (grips height): tinggi dari lantai sampai pertengahan kayu
yang digenggam
9. Tinggi pantat (buttock height): tinggi dari lantai sampai pantat, diukur dari
lantai hingga tepi bawah paha yang diangkat
10. Tinggi bahu (shoulder height): tinggi dari lantai sampai bahu.
Pada penelitian yang akan dilakukan, dibutuhkan beberapa ukuran
antropometri pekerja dalam sikap berdiri di antaranya:
1. Tinggi tubuh untuk menentukan IMT (Indeks Massa Tubuh) pekerja
2. Tinggi siku untuk menentukan tinggi bidang kerja
3. Jangkauan ke depan dan ke samping untuk menentukan peletakan alat dan
bahan produksi
2.6 Sikap Kerja
Sikap kerja adalah posisi tubuh pada saat melakukan aktivitas kerja dalam
interaksinya dengan fasilitas kerja di stasiun kerja. Posisi tubuh pada saat
berinteraksi dengan fasilitas kerja merupakan orientasi relatif bagian tubuh di dalam
suatu ruangan stasiun kerja. Pemilihan sikap kerja harus sesuai dengan jenis
pekerjaan yang dilakukan. Sikap kerja sangat penting jika dikaitkan dengan
pemanfaatan energi. Energi yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas akan lebih
tinggi jika pekerja melakukan sikap kerja tidak fisiologis (Manuaba, 1988;
-
47
Takahashi, 2002). Sikap kerja yang sesuai dengan prinsip ergonomi adalah sikap
kerja yang mampu menimbulkan kondisi kerja sehat dan aman serta penggunaan
tenaga otot yang benar (fisiologis). Untuk itu diperlukan pemahaman tentang fungsi
tulang sendi dan otot serta dapat mengubah sikap kerja tidak alamiah menjadi lebih
fisiologis dan sehat. Aktivitas kerja sebaiknya dilakukan pada sekitar titik tengah
tulang sendi, terutama pada kepala, tubuh, tungkai dan lengan atas (Corlett, 1983;
Miller, 2010). Pekerja sebaiknya dilatih untuk mengerti tentang penggunaan bagian
tubuh yang salah dan yang benar, kebiasaan kerja yang merugikan dan
menguntungkan, kerja statis dan dinamis, serta cara menggunakan otot yang benar
(Kroemer & Grandjean, 2010).
Sikap kerja yang tidak fisiologis dapat menimbulkan gangguan pada sistem
muskuloskeletal yang dapat menyebabkan hilangnya stabilitas, mudah tergelincir,
dan rawan terhadap kecelakaan (Sariputra, 2003; Manuaba, 1988). Sikap kerja
membungkuk dalam waktu lama akan lebih cepat menimbulkan keluhan otot
punggung, leher, pinggang dan tungkai (Robinson, 1998; Pheasant & Haslegrave,
2006). Kontraksi otot statis dalam waktu lama akan menyebabkan rasa nyeri, dan
cepat lelah (Suma’mur, 1989; Manuaba, 1988). Berdasarkan fenomena-fenomena
di atas perlu menerapkan prinsip-prinsip ergonomi untuk menciptakan kondisi kerja
yang efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien (ENASE) serta tercapai
produktivitas yang setinggi-tingginya.
Ada tujuh petunjuk ergonomis dalam mengatasi sikap kerja selama
melakukan aktivitas kerja sebagai berikut (Pheasant, 1995): 1) cegah inklinasi ke
depan pada leher dan kepala, 2) cegah inklinasi ke depan pada tubuh, 3) cegah
-
48
penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat, 4) cegah
pemutaran badan dalam sikap asimetris, 5) penempatan barang-barang yang akan
dipakai hendaknya tidak melebihi sepertiga (1/3) dari gerakan rentangan
maksimum, 6) sediakan sandaran punggung dan pinggang pada semua tempat
duduk, dan 7) jika menggunakan tenaga otot, hendaknya dalam posisi yang
mengakibatkan kekuatan maksimum.
Mendesain stasiun kerja yang dikaitkan dengan sikap kerja perlu
memperhatikan 4 faktor sebagai berikut: (1) beban kerja otot, (2) keseimbangan dan
stabilitas tubuh, (3) keterampilan yang terlihat secara visual, dan (4) informasi-
informasi (gejala-gejala) pada saat berlangsungnya aktivitas di stasiun kerja
(Kuorinka & Forcier, 1998). Salah satu sikap kerja bisa menimbulkan gangguan
pada otot sehingga perlu dipertimbangkan jenis pekerjaan yang menyebabkan
tangan sampai ke atas kepala, siku di atas bahu, kepala menunduk, berjongkok,
punggung membungkuk, obyek licin, dan menjangkau obyek dengan sikap
tanggung (Anderson, 2009).
Sikap kerja berbagai proses produksi pada industri roti kukus (Gambar 2.3)
umumnya dilakukan dengan sikap kerja berdiri. Ada pekerja yang melakukan
pekerjaan (menuang adonan) dengan sikap berdiri statis dalam waktu ± 1 jam. Ada
juga pekerja melakukan tugasnya dengan sikap kerja duduk di lantai atau
menggunakan kursi kecil sehingga sikap kerjanya tidak alamiah (membungkuk).
-
49
Gambar 2.3 Berbagai sikap kerja pada industri roti kukus
Berbagai sikap kerja pada industri roti kukus masih memiliki masalah
ergonomi. Saat proses mengukus (Gambar 2.3 A) didapatkan sikap kerja yang tidak
alamiah yaitu ekstremitas atas pekerja dalam keadaan terangkat. Hal ini disebabkan
karena stasiun kerja (ketinggian kompor) tidak sesuai dengan antropometri pekerja.
Masalah ini dapat diatasi dengan memperbaiki stasiun kerja agar lebih ergonomis.
Pada proses kerja menuang adonan (Gambar 2.3 B), pekerja melakukan gerakan
repetitif yang dapat berdampak pada respons fisiologis dan produktivitas kerja.
Penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total dapat dijadikan solusi untuk
memecahkan masalah ini, sudah bahkan bisa berdampak positif untuk proses kerja
A B
C
-
50
yang lain. Pada proses kerja memindahkan roti kukus yang sudah matang,
dilakukan dengan sikap kerja duduk menggunakan kursi dingklik (Gambar 2.3 C).
Hal ini akan menimbulkan masalah sikap kerja yang tidak alamiah, sehingga perlu
dilakukan perbaikan stasiun kerja.
2.7 Faktor Lingkungan Kerja Fisik
Faktor lingkungan kerja perlu mendapatkan perhatian dalam proses
produksi. Faktor lingkungan dapat menimbulkan beban tambahan terhadap pekerja
sehingga menambah energi yang dikeluarkan oleh pekerja. Peningkatan
pengeluaran energi dapat mempercepat kelelahan pekerja. Suhu lingkungan yang
terlalu panas juga akan menambah beban kerja otot sehingga akan meningkatkan
keluhan otot pekerja. Akibat beban tambahan yang terjadi, kecepatan kerja menjadi
menurun dan akhirnya menurunkan produktivitas pekerja (Kroemer & Grandjean,
2010).
Lingkungan kerja fisik yang ergonomis dapat menimbulkan kenyamanan
aktivitas, kesehatan dan keamanan pekerja, serta meningkatkan produktivitas
pekerja (Adiputra, 2003; Tochihara & Ohnaka, 2005). Lingkungan fisik kerja terdiri
atas.
1) Desain intensitas pencahayaan/ penerangan
Intensitas cahaya yang sesuai jenis pekerjaan, bisa mengurangi kelelahan
dan keluhan muskuloskeletal. Memanipulasi bentuk, tekstur, warna cahaya dan
jenis pekerjaan untuk menimbulkan perbedaan serta tanggapan terhadap keinginan
manusia (Kearney, 1998). Pencahayaan umum (ambient lighting), menerangi
ruangan secara merata karena membaur (Kroemer & Grandjean, 2010).
-
51
Pencahayaan lokal (task lighting) menerangi permukaan kerja, meningkatkan daya
tarik dan nilai suatu objek (DiLouie, 2006).
Cahaya mempengaruhi kemampuan manusia melihat, mengenal ruangan,
memudahkan gerakan dan caranya merasakan sesuatu (Eikhout et al., 2005;
Kearney, 1998). Berdasarkan sumber cahaya, ada jenis cahaya alami dan buatan.
Cahaya alami adalah matahari, bulan, bintang yang memiliki variasi kekuatan
tergantung waktu serta musim dan lokasi. Cahaya buatan dihasilkan oleh elemen
rekayasa manusia, dengan kualitas dan kuantitas cahaya berbeda karena tergantung
jenisnya. Intensitas cahaya yang kurang sesuai, menyebabkan gangguan
penglihatan dan keluhan mata. Intensitas cahaya berlebihan, menimbulkan silau
dan pantulan atau bayangan (Ananda & Dinata, 2015; Niti, 2000).
2) Gerakan angin
Gerakan angin merupakan salah satu syarat perwujudan kondisi ruangan
ergonomis, karena mengeluarkan CO2 akibat proses pernafasan pemakainya. Perlu
disediakan ventilasi memadai, agar udara segar lebih banyak. Jika kandungan CO2
di dalam darah melebihi batas normal maka, pusat respirasi segera menstimulasi
terjadi pernafasan cepat dan dalam (Sherwood, 2016; Hall & Guyton, 2015).
Gerakan udara juga memberi pengaruh pada suhu yang dirasakan pekerja. Semakin
besar kecepatan aliran udara, maka semakin rendah suhu yang dirasakan oleh
pekerja (Manuaba, 1992).
3) Suhu dan kelembaban relatif
Rerata suhu udara dan suhu permukaan, merupakan suhu yang dirasakan
manusia. Pedoman yang dipakai untuk menentukan suhu nyaman, perbedaan rerata
-
52
suhu permukaan tidak lebih dari 2-3°C di atas atau di bawah suhu udara. Jika
dilewati, diperlukan ruangan transisi untuk adaptasi (Manuaba, 1998b).
Daerah nyaman orang Indonesia sekitar 22-28°C suhu kering, kelembaban
relatif 70-80% dan kecepatan angin tidak lebih dari 0,20 m/d. Suhu ruang kurang
dari 20°C mengakibatkan badan menggigil dan frekuensi pengeluaran urine
meningkat sedangkan suhu panas meningkatkan pengeluaran keringat,
vasokonstriksi dan vasodilatasi sub kutis sehingga mengganggu aktivitas pekerja
(Manuaba, 1998b).
4) Intensitas kebisingan/ suara
Pendengaran sering kali menimbulkan persepsi menyenangkan dan juga
tidak menyenangkan, karena suara dari luar diinterpretasi dengan cara berbeda.
Tergantung pendapat sebelumnya dan harapan serta pengalaman seseorang
(Nurmianto, 2003). Kebisingan meningkatkan tekanan darah, denyut jantung,
konstriksi pembuluh darah pada kulit, metabolisme, tensi otot dan menurunkan
aktivitas alat pencernaan. Berbeda dengan kebisingan yang dikehendaki seperti
suara musik sebagai pelembut suasana, jelas bermanfaat bagi pekerja bila tidak
mengganggu percakapan dan komunikasi agar kenyamanan bekerja meningkat
(Manuaba, 1998a).
2.8 Kesehatan
Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial, dan ekonomis.
Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan, dan pencegahan gangguan
kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan.
-
53
Peningkatan kesehatan pekerja dapat dicapai dengan meningkatkan minimal salah
satu dari aspek kesehatan tersebut yaitu aspek fisik, mental, dan sosial. Aspek fisik
dalam keterkaitannya dengan kesehatan pekerja tercermin dari respons fisiologis
yang timbul akibat pekerjaannya (WHO, 2017).
Pengertian kesehatan kerja adalah adanya jaminan kesehatan pada saat
melakukan pekerjaan. Menurut International Labour Office (ILO), kesehatan kerja
bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan
sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan
terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang
merugikan kesehatan, dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu
lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya.
Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap
manusia kepada pekerjaan atau jabatannya (International Labour Office, 1998).
Kesehatan kerja menurut Suma’mur didefinisikan sebagai spesialisasi dalam
ilmu kesehatan/kedokteran beserta praktiknya, agar masyarakat pekerja
memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik atau mental maupun
sosial dengan usaha-usaha preventif dan kuratif terhadap penyakit-
penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan
dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit umum (Suma’mur, 1989).
Notoatmodjo menyatakan bahwa kesehatan kerja adalah merupakan aplikasi
kesehatan masyarakat di dalam suatu tempat kerja (perusahaan, pabrik, kantor, dan
sebagainya) dan yang menjadi pasien dari kesehatan kerja ialah masyarakat pekerja
-
54
dan masyarakat sekitar perusahaan tersebut. Ciri pokoknya adalah preventif
(pencegahan penyakit) dan promotif (peningkatan kesehatan). Oleh sebab itu,
dalam kesehatan kerja pedomannya ialah: “ penyakit dan kecelakaan akibat kerja
dapat dicegah”. Dari aspek ekonomi, penyelenggaraan kesehatan kerja bagi suatu
perusahaan adalah sangat menguntungkan karena tujuan akhir dari kesehatan kerja
ialah meningkatkan produktivitas seoptimal mungkin (Notoatmodjo, 2007).
Hakikat kesehatan kerja mencakup dua hal, yakni:
1. Pertama : sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.
2. Kedua : sebagai alat untuk meningkatkan produksi, yang berlandaskan kepada
meningkatnya efisiensi dan produktivitas.
Kedua prinsip tersebut apabila dijabarkan ke dalam bentuk operasional,
maka tujuan utama kesehatan kerja adalah:
1. Pencegahan dan pemberantasan penyakit-penyakit dan kecelakaan-kecelakaan
akibat kerja.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dan gizi tenaga kerja.
3. Perawatan mempertinggi efisiensi dan produktivitas tenaga kerja.
4. Pemberantasan kelelahan kerja dan meningkatkan kegairahan serta kenikmatan
kerja.
5. Perlindungan bagi masyarakat sekitar dari bahaya-bahaya pencemaran yang
ditimbulkan oleh perusahaan tersebut.
6. Perlindungan bagi masyarakat luas dari bahaya-bahaya yang mungkin
ditimbulkan oleh produk-produk perusahaan.
-
55
2.9 Pendekatan Ergonomi Total (SHIP & TTG)
Pendekatan ergonomi total adalah suatu pendekatan yang menggabungkan
antara konsep pendekatan SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner, dan
Partisipatori) dan penerapan teknologi tepat guna (TTG) (Manuaba, 2005b).
Dengan berpikir holistik dan sistemik bahwa proses kerja merupakan bagian dari
suatu sistem, maka perbaikan yang dilakukan tidak akan mengganggu proses
lainnya, bahkan dapat memberi nilai lebih pada proses-proses lainnya.
Pertimbangan teknologi tepat guna, secara teknik mudah digunakan, secara
ekonomis penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total tersebut
menguntungkan, secara ergonomis sesuai dengan antropometri pekerjanya, dapat
diterima dari aspek sosio-budaya, tidak merusak lingkungan, dan hemat energi
(Adiatmika, 2010).
2.9.1 Pendekatan SHIP
Pendekatan SHIP merupakan 4 faktor penting dalam kajian ergonomi
industri yang terdiri atas: pendekatan sistemik, holistik, interdisipliner dan
partisipatori.
1) Pendekatan sistemik
Pendekatan sistemik memperhatikan dan menangani setiap sistem secara
terpadu, agar berbagai unsur yang saling berhubungan dapat dikembangkan
menjadi sesuatu yang mudah dikelola. Sistem dipilih dan digunakan sesuai tempat
dan waktu. Karakteristik fasilitas stasiun kerja memiliki persyaratan, harus
diperhitungkan dalam proses redesain stasiun kerja dan fasilitas stasiun kerja serta
mikroklimat ruangan.
-
56
2) Pendekatan holistik
Berbagai faktor yang mempengaruhi sikap kerja di stasiun kerja, jika
dikaitkan dengan redesain alat maupun stasiun kerja perlu kajian holistik untuk
menjaga produk yang dihasilkan bisa diterima secara manusiawi (Manuaba, 2005a).
Pendekatan holistik adalah strategi untuk menghasilkan solusi tepat guna dan
relevan dengan situasi serta kondisi sebenarnya, sebagai pengembangan alternatif
solusi dan biaya. Berdasarkan skala prioritas, tahapan proses harus diperoleh
outcomes yang tinggi sehingga solusi masalah tidak fragmentatif (Adiputra, 2000).
Keuntungan ekonomi yang didapat dari intervensi ergonomi, adalah perbaikan
sistem stasiun kerja serta produktivitas. Oleh karena itu, manajemen risiko dan
keuntungan (risk and benefit) harus dijadikan pedoman dalam setiap perbaikan
yang berorientasi pada risiko karena secara otomatis dapat diperoleh keuntungan
yang diharapkan (Manuaba, 2005b).
3) Pendekatan interdisipliner
Walaupun ergonomi sudah didukung oleh berbagai jenis ilmu, tetapi
berbagai permasalahan yang semakin kompleks ternyata belum berhasil
dipecahkannya secara optimal. Perlu melibatkan pihak lain, dari berbagai disiplin
berbeda. Kompleksitas masalah dibidang sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan
menuntut partisipasi ilmu dan teknologi untuk memecahkan masalah manusia
(Manuaba, 2000). Pendekatan interdisipliner mewajibkan keterlibatan disiplin
terkait agar desain alat dan stasiun kerja menjadi layak pakai jika ditinjau dari aspek
ergonomi, fisiologi, psikologi, antropometri, anatomi, teknologi, seni, ekonomi,
hukum dan sistem nilai pemakainya (Manuaba, 2001).
-
57
Pendekatan interdisipliner menghasilkan desain stasiun kerja yang
mendukung terwujudnya perilaku ergonomis secara sistemik dan reguler. Faktor
penyebabnya, himbauan, pelatihan, pendekatan personal, hadiah dan contoh belum
efektif untuk mengubah kebiasaan negatif yang mendarah daging (Manuaba, 2006).
4) Pendekatan partisipatori
Pekerja yang melakukan suatu proses kerja diakui lebih memahami kendala
dan kebutuhan setiap pemakaian produk (Kogi, 2006; Vink, 2005).
Memberdayakan pekerja yang memakai untuk mendapatkan solusi atas
kemampuan sendiri, agar perbaikan selanjutnya dapat dilakukan sendiri sehingga
bisa tumbuh rasa memiliki yang optimal dan sesuai kemampuan finansialnya.
Pendekatan partisipatori dilakukan melalui diskusi bertahap dan dalam bentuk
kelompok terbatas, baik dengan manajemen maupun dengan pekerja.
2.9.2 Pemanfaatan TTG
Teknologi diartikan sebagai cara, metode, upaya, alat atau hasil budidaya
manusia untuk memperoleh hasil kerja yang lebih berhasil dan berdaya guna. TTG
adalah hasil budidaya manusia yang tepat dan berguna, jika dilihat dari segala aspek
kehidupan (Manuaba, 1998c). Aspek kehidupan yang layak dipakai kriteria
penentuan keberhasilan yang tepat dan berguna antara lain: (1) secara teknis lebih
efisien dalam pemakaian dan perawatan, (2) secara ekonomis lebih
menguntungkan, (3) dari aspek ergonomi menyehatkan, (4) secara sosio-budaya
bisa diterima, (5) ramah lingkungan, dan (6) hemat energi.
-
58
2.10 Alat Penuang Berbasis Ergonomi Total
Perbaikan terhadap proses produksi penuangan adonan industri roti kukus
dalam meminimalkan gerakan repetitif perlu segera dilakukan. Solusi yang untuk
perbaikan ini adalah dengan penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total. Alat
ini dirancang sedemikian rupa sehingga gerakan repetitif penuangan adonan dapat
diganti dengan proses penuangan adonan hanya dalam sekali gerakan. Dengan
sekali penuangan, seluruh cetakan roti kukus dapat terisi adonan. Hal ini juga dapat
meniadakan gerakan tidak efisien pada gerakan repetitif sehingga proses kerja
menjadi lebih cepat.
Pelibatan pekerja dan berbagai disiplin ilmu serta berpikir sistemik dan
holistik menjadikan pendekatan ergonomi total sangat tepat dalam memecahkan
berbagai masalah di industri roti kukus. Dalam memecahkan masalah, perlu
pertimbangan teknologi tepat guna yaitu secara teknik mudah digunakan, secara
ekonomis penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total tersebut
menguntungkan, secara ergonomis sesuai dengan antropometri pekerjanya, dapat
diterima dari aspek sosio-budaya, tidak merusak lingkungan, dan hemat energi.
Pendekatan Ergonomi Total yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada
pada suatu proses produksi selain mampu memecahkan masalah yang ada, juga
dapat mencegah timbulnya masalah baru yang mungkin muncul (Adiatmika, 2010).
Proses mendesain alat penuang yang baru ini dilakukan menggunakan
pendekatan ergonomi total. Pendekatan ini dimulai dengan menganalisis masalah-
masalah ergonomi yang ada di industri roti kukus. Dari beberapa masalah yang
ditemukan, melalui wawancara mendalam terhadap para pekerja didapatkan
-
59
beberapa masalah yang kemudian dikategorikan menjadi urgent, essential, serta
important. Masalah yang paling urgen yang dikeluhkan oleh pekerja adalah pada
proses penuangan adonan. Proses ini dirasakan paling berat dan membosankan
karena pekerja harus melakukan gerakan repetitif penuangan adonan. Gerakan
repetitif yang dilakukan berupa meletakkan cetakan roti kukus ke dalam loyang satu
per satu sebanyak ±20 buah, meletakkan kertas roti ke dalam masing-masing
cetakan, serta menuangkan adonan sedikit demi sedikit ke dalam cetakan yang
dapat berlangsung 2 kali penuangan untuk satu cetakan. Total gerakan repetitif yang
terjadi pada proses penuangan adonan ini sekitar 160 gerakan per loyang. Untuk 10
kg adonan (rata-rata produksi saat hari suci purnama) biasanya pekerja akan
menuang sekitar 20 loyang sehingga gerakan repetitif yang terjadi berjumlah sekitar
3200 gerakan repetitif untuk sekali produksi. Jumlah gerakan repetitif ini tentu akan
semakin besar jika jumlah produksi meningkat terutama saat hari raya galungan.
Pekerja berharap ada alat yang dapat digunakan agar proses kerja menuang adonan
menjadi lebih ringan dan nyaman dengan meniadakan gerakan repetitif yang terjadi.
Pelibatan pekerja terhadap solusi yang diinginkan merupakan pendekatan
partisipatori yang menjadi bagian dari pendekatan ergonomi total.
Selanjutnya dilakukan pendesainan alat penuang adonan yang mampu
meminimalkan gerakan repetitif dengan konsep TTG. Pendesainan alat penuang ini
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Disiplin ilmu yang terlibat antara lain dari ilmu
teknik, ilmu kesehatan, ilmu ergonomi, ilmu ekonomi, ilmu lingkungan, serta ilmu
sosial budaya. Pengkajian dari berbagai disiplin ilmu tersebut bertujuan agar alat
yang dibuat memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan dapat digunakan dengan baik,
-
60
tidak menggunakan bahan-bahan yang dapat mencemari adonan sehingga tidak
berdampak buruk pada kesehatan konsumennya, ukuran alat mempertimbangkan
antropometri pekerja sehingga tidak berdampak buruk terhadap kesehatan pekerja,
mudah dan murah dalam pembuatan serta pemeliharaannya sehingga tidak banyak
membebani industri dan dapat memberikan nilai ekonomi yang baik, tidak
memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, serta tidak ada penolakan dari
unsur sosial budaya.
Perancangan alat penuang yang baru juga mempertimbangkan secara
sistemik dan holistik bahwa proses penuangan adonan merupakan bagian dari suatu
sistem proses produksi. Dengan berpikir holistik dan sistemik bahwa proses
penuangan adonan merupakan bagian dari suatu sistem, maka perbaikan yang
dilakukan tidak akan mengganggu proses lainnya, bahkan dapat memberi nilai lebih
pada proses-proses lainnya.
Alat penuang berbasis ergonomi total berupa cetakan roti kukus (Gambar
2.4) yang menempel permanen pada loyang (Gambar 2.5), alat tuang yang
dirancang khusus sehingga adonan dapat tertuang ke cetakan dengan sekali
penuangan (Gambar 2.6), serta alat penyangga (Gambar 2.7). Selain alat penuang
berbasis ergonomi total, proses penuangan adonan juga membutuhkan alat lain
berupa centong plastik dengan kapasitas ± 1 kg untuk menuang adonan dan kapi
plastik dengan ukuran lebar 10 cm. Penggunaan cetakan roti kukus yang menempel
permanen pada loyang dapat mengeliminasi gerakan repetitif yang terjadi saat
menggunakan alat lama di mana pekerja harus meletakkan satu per satu alat cetak
pada loyang. Penggunaan alat penuang adonan yang baru juga dapat mengeliminasi
-
61
gerakan repetitif yang terjadi pada proses penuangan adonan sistem lama. Alat
Penyangga berguna untuk membantu pekerja memosisikan alat cetak dan alat
pengarah adonan dengan tepat sehingga proses penuangan adonan yang dilakukan
dapat berjalan dengan baik. Aplikasi alat penuang berbasis ergonomi total
diharapkan dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal dan beban kerja, serta
produktivitas pekerja dapat menjadi lebih baik.
Gambar 2.4 Desain Cetakan
60
60 60
40 40
40
40
Skala 1:2 (dalam mm)
-
62
Gambar 2.5 Desain alat cetak
Gambar 2.6 Desain alat pengarah adonan
39
4
4
Tampak Atas
Tampak Depan Tampak Samping
3939
Depan TampakSkala 1:8 (dalam cm)
45
45
16,5
33
Tampak Atas
Tampak Depan Tampak Samping
4
4
45 45
45
33
33
45
45
16,5
16,5
Ø 4
Depan TampSkala 1:9 (satuan cm)
-
63
Gambar 2.7 Desain alat penyangga
Penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total ini ada beberapa tahapan
yaitu:
1. Pekerja meletakkan cetakan di atas meja kerja.
2. Pekerja meletakkan kertas roti satu per satu ke dalam cetakan.
3. Pekerja meletakkan alat pengarah adonan di atas alat cetak
sedemikian rupa sehingga seluruh lubang yang ada di dasar alat
pengarah adonan tepat di atas lubang cetakan (Gambar 2.8).
4. Pekerja menuang adonan dengan centong berkapasitas ± 1 kg adonan
secara merata ke semua lubang di alat pengarah adonan, dengan
sekali penuangan sejumlah ± ½ kg (dua kali proses menuang).
Tampak Atas
50
4
35
Tampak Depan Tampak Samping
50 50
5
42
,5
4
8,5
13,5
25
25
Skala 1:10 (dalam cm)
-
64
5. Pekerja meratakan adonan dengan kapi di alat penuang agar semua
adonan memasuki cetakan dan apabila tersisa sedikit adonan, dapat
diletakkan di sisi alat pengarah adonan yang tidak berlubang dan
dikembalikan ke wadah adonan.
6. Pekerja mengangkat alat pengarah adonan dan meletakkannya di
tempat yang sudah disediakan.
7. Pekerja memindahkan cetakan yang sudah penuh ke tempat yang
sudah disediakan dan mengulangi prosesnya dari awal sehingga
seluruh proses penuangan adonan selesai.
Gambar 2.8 Susunan alat penuang berbasis ergonomi total saat digunakan
-
65
Studi gerak dan waktu seorang pekerja pada proses menuang 10 kg adonan
didapatkan pekerja memerlukan adaptasi dalam menggunakan alat penuang
berbasis ergonomi total. Kecepatan menuang berangsur membaik dan terlihat stabil
setelah menyelesaikan 4 loyang. Tidak terlihat gerakan-gerakan tidak efektif yang
dilakukan pekerja. Kecepatan menuang adonan mulai menurun pada loyang ke-8
atau setelah menuang 154 cetakan. Hal ini mengindikasikan pekerja mulai
kelelahan. Waktu yang dibutuhkan untuk menuang adonan secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4
Tabel 2.4 Kecepatan Menuang Adonan
Loyang Jumlah
Cetakan Waktu (detik)
Kecepatan per
cetakan (detik)
Gerakan tidak
efektif
1 22 280 12,73
Tidak
ditemukan
gerakan tidak
efektif
2 22 289 13,14
3 22 222 10,09
4 22 224 10,18
5 22 201 9,14
6 22 200 9,09
7 22 219 9,95
8 22 251 11,41
9 9 313 34,78
Saat menuang adonan dengan alat baru, pekerja menggunakan gayung
plastik dengan volume tertentu sebanyak dua kali tuang. Berat adonan yang
diangkat pekerja sebesar 1,040 kg tiap gayungnya. Berat tersebut bertambah akibat
sifat adhesif dan kohesif adonan yang cukup besar. Dari pengukuran didapat berat
yang dibebankan ke pekerja untuk mengangkat centong tersebut mencapai 2,795
-
66
kg. Beban ini masih diperbolehkan karena beban maksimal yang boleh diangkat
pekerja adalah 20 kg (Kroemer & Grandjean, 2010).
Jika kecepatan proses penuangan dengan alat baru dibandingkan dengan alat
lama, maka akan diperoleh grafik seperti pada Gambar 2.9. Terlihat pada grafik,
kecepatan penuangan adonan menggunakan alat baru lebih cepat dibanding
menggunakan alat lama hampir pada keseluruhan loyang. Pengerjaan loyang ke-9
menggunakan alat baru mengalami penurunan kecepatan disebabkan karena sisa
adonan tidak mencukupi untuk mengisi seluruh loyang sehingga tidak dapat
dilakukan pengerjaan standar dalam penggunaan alat baru. Penggunaan alat baru
yang dipaksakan pada sisa adonan yang sedikit menyebabkan efisiensi menjadi
rendah yang terlihat dari penurunan kecepatan menuang adonan.
Gambar 2.9 Grafik kecepatan menuang adonan dengan alat baru dan alat lama
Penggunaan alat penuang berbasis ergonomi total ini juga dapat memberi
nilai tambah bagi proses lainnya, terutama pada proses pembungkusan. Penggunaan
alat cetak yang melekat permanen pada loyang ternyata mampu menekan gerakan
Cet
akan
/men
it
-
67
repetitif dengan sangat baik hingga 90%. Alat ini mampu mengubah gerakan
memindahkan roti kukus yang baru matang yaitu sebanyak 20 gerakan per loyang
hanya menjadi 2 gerakan saja. Selain memberi keuntungan dalam mengurangi
gerakan repetitif, proses kerja dengan menggunakan alat cetak baru ini juga
meniadakan kontak roti kukus dengan pekerja secara langsung. Hal ini memiliki
keuntungan yang baik jika ditinjau dari higiene proses kerja sehingga kontaminasi
terhadap produk dapat ditekan.